PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PRAKTEK REAL EARNINGS MANAGEMENT PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BEI Disusun oleh: Fransisca Irena Mulyani 090417987 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA 2012 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di era sekarang ini, istilah Good Corporate Governance (GCG) menjadi topik yang kian populer. Penerapan corporate governance secara efektif dapat menjadi salah satu elemen kunci dalam meningkatkan pengelolaan dan pengendalian dalam suatu perusahaaan namun kenyataannya penerapan corporate governance belum sepenuhnya berjalan secara efektif. Beberapa fakta menunjukkan lemahnya prinsip corporate governance. Daniri (2005) menjelaskan krisis di kawasan Asia dan Amerika diyakini muncul karena kegagalan penerapan corporate governance. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga menjelaskan bahwa krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat juga disebabkan oleh tidak diterapkannya prinsip-prinsip corporate governance. Beberapa kasus terbukanya skandal keuangan seperti Enron Corp., Worldcom, Xerox dan lainnya melibatkan top eksekutif perusahaan tersebut menggambarkan tidak diterapkannya prinsip-prinsip corporate governance. Krisis finansial di Asia pada pertengahan tahun 1997 juga dipandang sebagai salah satu fakta lemahnya penerapan corporate governance. Lemahnya penerapan ini diyakini sebagai sumber utama kerawanan ekonomi yang menyebabkan memburuknya perekonomian pada beberapa negara di Asia. Di Indonesia, krisis yang melanda pada tahun 1997-1998 dipandang sebagai salah satu dampak dari buruknya penerapan corporate governance. Oleh karena beberapa permasalahan tersebut, maka corporate governance bukan hanya dipandang sekedar teori bagi perusahaan publik maupun perusahaan swasta. corporate governance menjadi penting untuk diimplementasikan karena perusahaan –perusahaan baik publik maupun swasta merupakan fondasi bagi perekonomian di Indonesia. Nasution et al. (2007) menjelaskan corporate governance merupakan konsep yang diajukan demi peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau monitoring kinerja manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan pada kerangka peraturan. Mereka juga menyebutkan bahwa konsep corporate governance diajukan demi tercapainya pengelolaan perusahaan yang lebih transparan bagi semua pengguna laporan keuangan. Corporate governance berhubungan dengan agency theory yang merupakan konsep pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Pemisahan ini akan menimbulkan masalah karena adanya perbedaan kepentingan antara pemegang saham (sebagai prinsipal) dengan pihak manajemen (sebagai agen) (Jensen dan Meckling, 1976). Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Akan tetapi informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai informasi yang tidak simetris atau asimetri informasi (information asymmetric) (Haris, 2004 dalam Ujiyantho 2007). Asimetri antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings management) (Richardson, 1998 dalam Ujiyantho 2007). Beberapa contoh kasus seperti skandal keuangan Enron di Amerika Serikat yang telah dijelaskan di atas, mencerminkan tindakan manajemen laba yang salah satunya karena lemahnya penerapan GCG. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, seperti PT. Lippo Tbk dan PT. Kimia Farma Tbk juga melibatkan pelaporan keuangan (financial reporting) yang berawal dari terdeteksi adanya manipulasi (Gideon, 2005 dalam Ujiyantho 2007). Hashemi dan Rabiee (2011) menyatakan bahwa saat ini praktek manajemen laba tidak hanya berfokus pada manajemen laba tipe akrual seperti pengakuan pendapatan secara agresif, salah saji persediaan, piutang dan sebagainya. Cara lain dalam melakukan manajemen laba adalah dengan manipulasi aktivitas rill atau real earnings management (REM). Pada umumnya, REM dilakukan dengan menunda produksi atau aktivitas operasi yang menyesuaikan laba dengan target yang diinginkan. Graham et al. (2005) mendokumentasikan bahwa manajer cenderung beralih ke praktek manajemen laba manipulasi aktivitas rill ini karena banyak media dan perhatian analis berfokus pada manajemen laba tipe akrual. Peralihan ini dilakukan karena REM dianggap lebih sulit untuk terdeteksi karena relatif langka dan baru. Roychowdury (2006) menggambarkan REM berawal dari praktek operasi normal yang termotivasi oleh keinginan manajer untuk menyesatkan setidaknya beberapa pemangku kepentingan agar percaya bahwa tujuan laporan keuangan tertentu telah terpenuhi dalam kegiatan usaha normal. Roychowdury (2006) jua menyelidiki bahwa REM terjadi pada tiga komponen yaitu pola arus kas operasi, biaya diskresioner, dan biaya produksi. Pada pola arus kas operasi, REM dilakukan dengan penjualan yang tinggi dengan diskon. Pada biaya diskresioner, REM dilakukan dengan mereduksi biaya R&D, advertising, dan biaya pemeliharaan. Pada biaya produksi, REM dilakukan melalui overproduction. Dari contoh-contoh yang dikemukakan mengenai praktek manajemen laba, maka diperlukan suatu mekanisme untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan dengan menerapkan GCG. FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia) menyatakan GCG akan mendorong perusahaan untuk terkelola secara transparan, bertanggung jawab, dan adil bagi pihak-pihak yang berkepentingan. 1.2. Rumusan Masalah Penerapan GCG sangatlah penting bagi perusahaan. GCG dengan mekanisme yang baik dapat meningkatkan pengendalian perusahaan sehingga mampu menciptakan nilai tambah bagi perusahaan serta mengurangi atau membatasi peluang untuk melakukan praktek manajemen laba. Oleh karena itu, peneliti ingin menguji apakah karakteristik tertentu dari tata kelola perusahaan dapat membatasi praktek REM. Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah ukuran dewan direksi berpengaruh terhadap REM? 2. Apakah dewan komisaris indepeden berpengaruh terhadap REM 1.3. Tujuan Penelitian 1. Untuk memperoleh bukti empiris bahwa ukuran dewan direksi berpengaruh terhadap praktek REM 2. Untuk memberikan bukti empiris bahwa dewan komisaris independen berpengaruh terhadap praktek REM 1.4. Manfaat Penelitian 1. Kontribusi Teori Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang teori keagenan, teori akuntansi positif, dan adanya pengaruh corporate governance yang diukur berdasarkan ukuran dewan direksi dan dewan komisaris independen terhadap praktek REM. Dengan demikian diharapkan bahwa penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan sebagai bahan referensi untuk penelitian di masa yang akan datang. 2. Kontribusi Praktek Penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak internal dalam meningkatkan pengendalian perusahaan dengan sistem tata kelola perusahaan yang baik sehingga dapat memperkecil kemungkinan praktek REM. II. KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Teori Keagenan Menurut Elqorni (2009), teori keagenan (Agency Theory) merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang selama ini digunakan. Dalam teori keagenan, hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut (Jensen dan Meckling, 1976). Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Elqorni (2009) juga menyatakan perbedaan kepentingan ekonomis menyebabkan timbulnya informasi asimetri (kesenjangan informasi) antara pemegang saham (stakeholders) dan organisasi. Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri. Pemegang saham selaku prinsipal diasumsikan hanya tertarik pada hasil keuangan yang dapat menambah hasil investasi mereka di perusahaan. Para agen diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan syarat-syarat yang menyertai dalam hubungan tersebut. Perbedaan kepentingan ini menjadikan masingmasing pihak berusaha untuk memperbesar keuntungan bagi diri sendiri. Prinsipal menginginkan pengembalian yang sebesar-besarnya atas investasi yang salah satunya dicerminkan oleh kenaikan porsi dividen dari setiap saham yang dimiliki. Agen menginginkan adanya pemberian kompensasi/bonus/insentif/renumerasi yang baginya memadai dan sebesar-besarnya atas kinerjanya. Prinsipal menilai prestasi agen berdasarkan kemampuannya memperbesar laba untuk dialokasikan pada pembagian dividen. Semakin tinggi laba, harga saham dan dividen, maka agen dianggap berhasil dalam kinerjanya sehingga layak mendapat insentif yang tinggi. Sebaliknya, agenpun memenuhi tuntutan prinsipal agar mendapat kompensasi atau insentif yang tinggi sehingga apabila tidak ada pengawasan yang memadai maka agen akan dapat lebih mudah memainkan beberapa kondisi perusahaan agar seolah-olah targetnya bisa tercapai. Permainan tersebut dapat berasal dari prakarsa prinsipal maupun inisiatif agen sendiri. Oleh karena alasan tersebut maka terjadilah creative accounting. Ujiyantho (2007) juga menyatakan dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal. Dalam kondisi yang asimetri tersebut, agent dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba. Berdasarkan teori ini, manajemen dalam mengelola perusahaan cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadinya daripada meningkatkan nilai perusahaan. Misalnya saja, contoh dominan terjadi dalam kegiatan perusahaan karena pihak agensi memiliki keunggulan informasi keuangan daripada pihak prinsipal, sedangkan dari pihak prinsipal kemungkinan memanfaatkan kepentingan pribadinya sendiri karena memiliki keunggulan kekuasaan. Dalam teori agensi, terdapat tiga masalah utama dalam hubungan agensi yaitu kontrol pemegang saham kepada manajer, biaya yang menyertai hubungan agensi, serta menghindari dan meminimalisasi biaya agensi. Menurut Daniri (2005), berbagai pemikiran mengenai corporate governance berkembang dengan bertumpu pada teori keagenan dimana pengelolaan perusahaan harus diawasi dan dikendalikan untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Upaya ini menimbulkan apa yang dimaksud dengan agency costs yang menurut teori ini harus dikeluarkan sehingga biaya untuk mengurangi kerugian yang timbul karena ketidakpatuhan setara dengan peningkatan biaya enforcement-nya. Agency costs ini mencakup biaya untuk pengawasan oleh pemegang saham, biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan laporan yang transparan,termasuk biaya audit yang independen dan pengendalian internal, serta biaya yang disebabkan karena menurunnya nilai kepemilikan pemegang saham sebagai bentuk “bonding expenditure” yang diberikan kepada manajemen dalam bentuk opsi dan berbagai manfaat untuk tujuan menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang saham. 2.2 Teori Akuntansi Positif Teori akuntansi positif berupaya menjelaskan sebuah proses, yang menggunakan kemampuan, pemahaman, dan pengetahuan akuntansi serta penggunaan kebijakan akuntansi yang paling sesuai untuk menghadapi kondisi tertentu dimasa mendatang. Teori akuntansi positif pada prinsipnya beranggapan bahwa tujuan dari teori akuntansi adalah untuk menjelasakan dan memprediksi praktik-praktik akuntansi. Scott (2007) menyatakan bahwa Positive Accounting Theory (PAT) berkaitan dengan memprediksi tindakan seperti pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer perusahaan dan bagaimana manajer akan menanggapi untuk mengusulkan standar akuntansi baru. Ada tiga hipotesis yang dijadikan sebagai dasar pengembangan manajemen laba yang meliputi: 1. The Bonus Plan Hypothesis Manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih mungkin untuk memilih prosedur akuntansi yang menggeser laba yang dilaporkan dari periode mendatang ke periode berjalan. 2. The Debt Covenant Hypothesis Semakin dekat perusahaan adalah pelanggaran akuntansi berbasis perjanjian utang, semakin besar kemungkinan para manajer perusahaan adalah untuk memilih prosedur akuntansi yang menggeser laba yang dilaporkan dari periode mendatang ke periode berjalan 3. The Political Cost Hypothesis Semakin besar biaya politik yang dihadapi oleh perusahaan, semakin besar kemungkinan manajer adalah memilih prosedur akuntansi yang menunda laba yang dilaporkan dari cuurent untuk masa mendatang 2.3 Good Corporate Governance 2.3.1 Pengertian Good Corporate Governance Menurut FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia), GCG merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. Di samping itu, FCGI juga menjelaskan bahwa tujuan dari corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). GCG didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan (Direksi, dewan komisaris, dan RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku (Daniri, 2005). Dari definisi diatas dapat disimpulkam bahwa GCG merupakan: 1. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris, Direksi, RUPS, dan para stakeholder lainnya. 2. Suatu sistem check and balance mencakup perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang yaitu pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan. 3. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, dan pengukuran kinerja. 2.3.2 Prinsip-prinsip Dasar Pengertian Good Corporate Governance Daniri (2005) juga menyatakan bahwa secara umum ada lima prinsip dasar GCG yaitu transparency, accountability, responsibility, independency, dan fairness. Prinsip-prinsip ini dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Transparency (Keterbukaan Informasi) Transparansi dapat diartikan sebagai keterbukaan informasi, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Menurut peraturan di pasar modal Indonesia, yang dimaksud informasi material dan relevan adalah informasi yang dapat mempengaruhi naik turunnya harga saham perusahaan atau yang memperngaruhi secara signifikan risiko serta prospek udsaha perusahaan yang bersangkutan. Dalam mewujudkan transparansi, perusahaan harus menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut. Setiap perusahaan diharapkan pula dapat mempublikasikan informasi keuangan serta informasi lainnya yang material dan berdampak signifikan pada kinerja perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Selain itu, para investor juga harus dapat mengakses informasi penrting perusahaan secara mudah pada saat diperlukan. 2. Accountability (Akuntabilitas) Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Masalah yang biasanya ditemukan di Indonesia adalah kurangnya fungsi pengawasan Dewan Komisaris atau mungkin sebaliknya, komisaris utama mengambil peran berikut wewenang yang seharusnya dijalankan Direksi padahal diperlukan kejelasan tugas serta fungsi organ perusahaan agar tercipta suatu mekanisme check and balances kewenangan dan peran dalam mengelola perusahaan. Salah satu penerapan prinsip ini adalah kewajiban untuk memiliki komisaris independen dan komite audit sebagaimana yang ditetapkan oleh Bursa Efek Jakarta (BEJ). Apabila prinsip ini dapat diterapkan secara efektif, maka ada kejelasan fungsi, hak, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris, serta Direksi. Dengan demikian maka perusahaan akan terhindar dari kondisi agency problem (benturan kepentingan peran). 3. Responsibility (Pertanggungjawaban) Pertanggungjawaban perusahaan adalah kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan yang berlaku. Peraturan yang berlaku di sini termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial, perlindungan lingkungan hidup, kesehatan/keselamatan kerja, standar penggajian, dan persaingan yang sehat. Penerapan prinsip ini diharapkan membuat perusahaan menyadari bahwa dalam kegiatan operasionalnya seringkali ia menghasilkan eksternalitas (dampak luar kegiatan perusahaan) negatif yang harus ditanggung oleh masyarakat. Di luar hal itu, lewat prinsip ini juga diharapkan membantu peran pemerintah dalam mengurangi kesenjangan pendapatan dan kesempatan kerja pada segmen masyarakat yang belum mendapatkan manfaat dari mekanisme pasar. 4. Independency (Kemandirian) Independensi merupakan suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Independensi terutama penting dalam proses pengambilan keputusan. Hilangnya independensi dalam proses pengambilan keputusan akan menghilangkan objektivitas dalam pengambilan keputusan tersebut. Independensi bagi para anggota Direksi mewujud dalam keputusan-keputusan transaksi yang seharusnya tidak mengandung benturan kepentingan atau tidak mengambil keputusan pribadi dari kegiatan perusahaan yang dikelolanya. Untuk meningkatkan independensi dalam pengambilan keputusan bisnis, perusahaan hendaknya mengembangkan beberapa aturan di tingkat corporate board terutama tingkat dewan komisaris dan Direksi yang oleh Undang-undang didaulat untuk mengurus perusahaan dengan sebaik-baiknya. 5. Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran) Kesetaraan dan kewajaran dapat didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Prinsip ini diharapkan membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara baik dan prudent sehingga muncul perlindungan kepentingan pemegang saham secara fair. Prinsip ini juga diharapkan dapat menjadi jiwa untuk mrmonitor dan menjamin perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan. Ada enam aspek yang dijabarkan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) sebagai pedoman pengembangan kerangka kerja legal, institusional, dan regulatori untuk GCG di suatu negara. Aspek-aspek tersebut meliputi: 1. Memastikan adanya basis yang efektif untuk kerangka kerja corporate governance. Kerangka kerja corporate governance mendukung terciptanya pasar yang transparan dan efisien sejalan dengan ketentuan perundangan dan mengartikulasi dengan jelas pembagian tanggung jawab di antara para pihak seperti pengawas, instansi pembuat regulasi, dan instansi penegakannya. 2. Hak-hak pemegang saham dan funngsi kepemilikan. Hak-hak pemegang saham harus dilindungi dan difasilitasi. 3. Perlakuan setara terhadap seluruh pemegang saham. Seluruh pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing harus diperlakukan setara. Seluruh pemegang saham harus diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan perhatian bila hk-haknya dilanggar. 4. Peran stakeholder dalam corporate governance. Hak-hak para pemangku kepentingan harus diakui sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan kontrak kerjasama aktif antara perusahaan dan para stakeholder harus dikembangkan dalam upaya bersama menciptakan aset, pekerjaan, dan kelangsungan perusahaan. 5. Disclosure dan transparansi. Pengungkapan yang tepat waktu dan akurat mengenai segala aspek material perusahaan termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan governance perusahaan. 6. Tanggung jawab perusahaan (corporate boards). Pengawasan dewan komisaris terhadap pengelolaan perusahaan oleh Direksi harus berjalan efektif disertai adanya tuntutan strategik terhadap manajemen serta akuntabilitas dan loyalitas Direksi dan dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham. 2.3.3 Manfaat Good Corporate Governance Esensi dari corporate governance adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau pemantauan kinerja manajemen danm adanya akuntabilitas manajemen terhadap pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku (Gunarsih, 2003). GCG memberikan kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan berjalan efektif sehingga tercipta mekanisme check and balances di perusahaan. Daniri (2005:14) menjabarkan beberapa manfaat GCG. Manfaat GCG antara lain (1) mengurangi biaya agensi, (2) mengurangi biaya modal, (3) meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus meningkatkan citra perusahaan di mata publik dalam jangka panjang, dan (4) menciptakan dukungan para stakeholder terhadap keberadaan perusahaan serta berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan. 2.3.4 Struktur Pengurus Perusahaan Secara umum, struktur kepengurusan perusahaan di Indonesia menggunakan two tier sistem yang terdiri dari dewan pengawas perusahaan (Dewan Komisaris) dan Direksi yang memiliki fungsi dan wewenang mengelola perusahaan. Menurut Bacon and Brown dari Coference Board, ada tiga karakteristik utama two tier board, yaitu: 1. Struktur sistem ini memisahkan antara fungsi, tugas dan wewenang dewan pengelola dengan dewan pengawas perusahaan 2. Pemisahan secara fisik antara tugas dan wewenang kedua dewan ini dapat menghindari campur tangan dan tugas ganda. 3. Dalam sistem ini, dewan pengawas sama sekali tidak diberi wewenang unutk campur tangan dalam pengelolaan perusahaan. Dewan pengawas berfokus pada tugas memberikan pengawasan. Pada sistem ini, RUPS memiliki tugas dan wewenang untuk memilih, mengangkat, mengawasi, dan memberhentikan anggota Dewan Komisaris dan Direksi. Anggota Dewan Komisaris terpilih memiliki tugas dan wewenang untuk mengawasi dan dan memberikan nasihat pada Direksi yang akan memimpin jalannya roda perusahaan (Daniri, 2005). Beberapa fungsi, wewenang, dan tanggung jawab Dewan Komisaris : 1. Mengawasi pelaksanaan tugas dan tanggung jawab para Direksi untuk menjalankan perusahaan untuk mencapai target yang telah ditentukan RUPS. 2. Memastikan bahwa perusahaan telah berjalan pada jalur yang benar dan dengan cara yang efisien dan efektif serta menghindari seminimal mungkin risiko 3. Memastikan diterapkannya GCG. 2.4 Manajemen Laba melalui Manipulasi Aktivitas Rill Informasi laba merupakan indikator untuk mengukur kinerja atas pertanggungjawaban manajemen dalam mencapai tujuan operasi serta membantu earnings power perusahaan di masa yang akan datang. Informasi laba ini sering menjadi target rekayasa melalui tindakan oportunis manajemen agar seolah-olah kinerjanya baik. Manajemen biasanya melakukan rekayasa terhadap laba dengan cara memilih kebijakan akuntansi tertentu sehingga laba dapat dimanipulasi sesuai dengan keinginannya. Tindakan atau perilaku ini biasa dikenal dengan istilah earnings management atau manajemen laba. Dalam bukunya, Scott menyatakan bahwa, “Earnings management is the choice by a manager of accounting policies so as to achieve some specific objective” Manajemen laba memiliki memiliki dua mekanisme yaitu accrual earnings management dan real earning management (REM). Menurut penelitian Hashemi dan Rabiee (2011), sebagian besar perusahaan berfokus pada manajemen laba tipe akrual misal pengakuan laba secara agresif. Scott (2007) juga menjelaskan bahwa strategi yang digunakan untuk melakukan manajemen laba yaitu meningkatkan pendapatan dengan cara mempercepat pencatatan pendapatan dan menunda biaya atau mengalihkan biaya ke periode yang lain. Manipulasi laba yang ada dalam perusahaan nyatanya tidak selalu menggunakan tipe akrual tetapi juga dengan menunda produksi atau aktivitas operasi yang disesuaikan dengan target laba. Tindakan ini disebut manajemen laba melalui menipulasi aktivitas rill atau REM. REM cenderung mengarah ke penurunan nilai dengan misalokasi kegiatan perusahaan. Roychowdury (2006) menggambarkan REM berawal dari praktek operasi normal yang termotivasi oleh keinginan manajer untuk menyesatkan setidaknya beberapa pemangku kepentingan agar percaya bahwa tujuan laporan keuangan tertentu telah terpenuhi dalam kegiatan usaha normal. Berdasarkan penelitian Roychowdury (2006), manajemen laba melalui aktivitas riil terjadi pada : 1. Sales Manipulation Didefinisikan oleh Roychowdury (2006) sebagai usaha manajer dalam periode waktu tertentu untuk meningkatkan penjualan dalam satu tahun dengan menawarkan potongan harga atau perjanjian utang yang lebih lunak. Usaha manajer tersebut dapat meningkatkan volume penjualan sementara waktu, namun volume penjualan akan kembali pada kondisi normal ketika perusahaan kembali kepada tingkat harga yang lama. Volume penjualan pada periode perusahaan melakukan manipulasi penjualan akan meningkat, namun di sisi lain arus kas yang dilaporkan menjadi lebih rendah. Dari sisi arus kas, teknik ini menyebabkan arus kas dari kegiatan operasi pada periode berjalan lebih rendah dibandingkan level penjualan normal 2. Over Production Didefinisikan oleh Roychowdury (2006) sebagai usaha manajer untuk meningkatkan penerimaan dengan memproduksi barang dalam jumlah lebih dari yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan kebutuhan sesuai ekspektasi. Saat manajer memproduksi barang lebih banyak, maka manajer dapat menyebarkan fixed cost kepada unit produksi yang besar. Hal ini akan menyebabkan biaya tetap per masing-masing unit menjadi lebih kecil sepanjang biaya tersebut tidak ditambah lagi oleh biaya marginal lain. Konsekuensi dari teknik ini adalah munculnya production cost dan holding cost dari produksi yang berlebihan sehingga arus kas menjadi lebih rendah daripada tingkat penjualan pada kondisi normal 3. Reduction of Discretionary Expenditures Didefinisikan oleh Roychowdury (2006) sebagai perilaku akuntansi dengan membebankan pengeluaran diskresioner seperti biaya penelitian dan pengembangan, iklan, perawatan, biaya umum, dan administrasi dalam periode yang sama ketika terjadinya biaya. Hal ini umumnya terjadi ketika biaya diskresioner tidak secara langsung menghasilkan penerimaan. Penurunan biaya diskresioner akan menyebabkan penurunan aliran kas keluar sehingga memiliki dampak positif terhadap arus kas dari operasi abnormal pada periode sekarang namun dapat menyebabkan risiko arus kas lebih rendah di periode selanjutnya. 2.5 Hipotesis Penelitian 2.5.1 Board Size dan REM Board Size atau ukuran dewan direksi merupakan faktor penting dari efisiensi struktur dewan perusahaan. Namun, belum ada persetujuan tentang ukuran struktur dewan direksi yang optimal. Beberapa peneliti menyatakan bahwa dewan yang berukuran besar dapat memperluas informasi manajemen dan meningkatkan sumber informasi. Dalam konteks ini, Charreaux dan Pitol-Berlin (1997) dalam Hashemi dan Rabiee (2011) menganggap bahwa ukuran dewan direksi mencerminkan seberapa besar praktek pengendalian pengurus perusahaan. Dengan demikian, ukuran dewan direksi yang besar mengindikasikan adanya pendapat yang beragam dan pengendalian yang lebih baik. Sebaliknya, struktur komposisi dewan yang lemah akan lebih mudah untuk didominasi manajer. Dechow et al. (1998) menunjukkan bahwa perusahaan yang memanipulasi laba lebih suka memiliki board of director atau direksi yang didominasi oleh manajemen. Probabilitas atau kemunginan manipulasi laba lebih rendah untuk perusahaan yang struktur kepengurusannya melibatkan komite audit yang mempunyai dewan komisaris independen yang ahli dalam bidang keuangan (Agrawal dan Chadha, 2005). Souid dan Stepanewiski (2010) telah menunjukkan bahwa pengurus dengan proporsi yang tinggi dalam dewan direksi dapat membatasi keputusan manajer untuk melakukan praktek manajemen laba. Mekanisme pengendalian ini dapat mengurangi prilaku oportunistik manajer. Dengan penjabaran di atas, maka hipotesis yang dibuat adalah: H1 : Ukuran dewan direksi berhubungan negatif dengan REM H1a : Ukuran dewan direksi berhubungan negatif dengan abnormal cash flow (ACFO) H1b : Ukuran dewan direksi berhubungan negatif dengan abnormal discretionary expenses (ADISEXP) H1c : Ukuran dewan direksi berhubungan negatif dengan abnormal production (APROD) 2.5.2 Dewan Komisaris Independen dan REM Fungsi dewan komisaris adalah sebagai pengawas dan pemberi nasehat kepada manajer (direksi) atas nama para pemegang saham. Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengendalian internal perusahaan memiliki peranan terhadap terhadap aktivitas pengawasan. (Siallagan dan Machfoedz, 2006 dalam Fatma 2010). Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak terafiliasi dengan Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya dan Pemegang Saham Pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan Perusahaan. (KNKG, 2006). Fama dan Jensen (1983) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa non-executive director (komisaris independen) dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang GCG. Chen et al. (2006) menemukan bahwa proporsi dewan komisaris independen dalam struktur dewan perusahaan berhubungan positif dengan kelengkapan pengungkapan finansial. Klein (2002) menemukan hubungan negatif antara dewan komisaris independen dan abnormal accruals, sebagai ukuran manajemen laba. Beasley (1996) dan Dechow (1998) menemukan bahwa dewan komisaris independen berhubungan negatif dengan peristiwa penipuan laporan keuangan. Temuan tersebut menunjukkan bahwa dewan komisaris independen berhubungan negatif dengan REM. Dari penjabaran di atas, maka hipotesis yang dibuat adalah: H2 : Porporsi dewan komisaris independen berhubungan negatif dengan REM H2a : Proporsi dewan komisaris independen berhubungan negatif dengan abnormal cash flow (ACFO) H2b : Proporsi dewan komisaris independen berhubungan negatif dengan abnormal discretionary expenses (ADISEXP) H2c : Proporsi dewan komisaris independen berhubungan negatif dengan abnormal production (APROD) III. METODE PENELITIAN 3.1 Sampel dan Data Penelitian 3.1.1 Sampel 3.1.1.1 Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang ada di Indonesia. Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 3.1.1.2 Metode Proses Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu dengan tujuan untuk mendapatkan sampel yang sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Adapun kriteria yang digunakan dalam pengambilan sampel ini adalah sebagai berikut: 1. Perusahaan tersebut merupakan perusahaan manufaktur. 2. Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007-2011 3. Perusahaan yang memiliki periode pelaporan laporan keuangan yang berakhir pada 31 Desember 4. Perusahaan tersebut telah menerbitkan laporan keuangan tahunan (annual report) untuk periode 2007-2011 5. Perusahaan yang menggunakan mata uang pelaporan dalam bentuk Rupiah 3.1.2 Data 3.1.2.1 Strategi Pengumpulan Data Strategi pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah strategi arsip, yaitu data dikumpulkan dari catatan atau basis data yang sudah ada. 3.1.2.2 Sumber Data Sumber data yang digunakan adalah data sekunder berupa laporan keuangan perusahaan yang diperoleh melalui Pojok Bursa & Galeri Valbury Asian Securities (VAST) Universitas Atma Jaya Yogyakarta, situs keuangan di internet seperti www.idx.co.id, serta dari situs masing–masing perusahaan sampel. 3.1.2.3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan strategi arsip. Oleh karena data yang digunakan adalah data sekunder, maka teknik pengumpulan data yang dapat digunakan adalah teknik pengumpulan data dari basis data. 3.2 Definisi Operasional Variabel dan Pengukurannya 3.2.1 Variabel Independen 3.2.1.1 Ukuran Dewan Direksi Direksi sebagai organ Perusahaan bertugas dan bertanggung-jawab secara kolegial. Masing-masing anggota direksi dapat melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya Namun pelaksanaan tugas dari masing-masing anggota direksi tetap merupakan tanggung-jawab bersama. (KNKG, 2006). Pengukuran dewan direksi (BSIZE) dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menghitung jumlah anggota dewan direksi dalam perusahaan. 3.2.1.2 Proporsi Dewan Komisaris Independen Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (KNKG, 2006). Proporsi dewan komisaris independen (BIND) diukur dengan menggunakan indikator persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh ukuran anggota dewan komisaris perusahaan. 3.2.2 Variabel Dependen 3.2.2.1 Abnormal Cash Flow from Operations Model Abnormal Cash Flow from Operations dituliskan sebagai berikut: πΆπΉπππ‘ 1 πππππ ππ‘ βπππππ ππ‘ = πΌ0 ( ) + πΌ1 ( ) + πΌ2 ( ) + πππ‘ ππ΄ππ‘−1 ππ΄ππ‘−1 ππ΄ππ‘−1 ππ΄ππ‘−1 CFOit = Arus kas operasional perusahaan i pada tahun t TAit-1 = Total aset untuk perusahaan i pada tahun t-1 Salesit = Penjualan untuk perusahaan i selama periode tahun t Kemungkinan perusahaan melakukan REM dengan manipulasi penjualan jika nilai residu abnormal CFO negatif. 3.2.2.2 Abnormal Discretionary Expenses Model Abnormal Discretionary Expenses dituliskan sebagai berikut: π·πΌππΈππππ‘ 1 πππππ ππ‘ = πΌ0 ( ) + πΌ1 ( ) + πππ‘ ππ΄ππ‘−1 ππ΄ππ‘−1 ππ΄ππ‘−1 DISEXP merupakan beban penelitian dan pengembangan ditambah beban iklan dan beban penjualan, administrasi, dan umum. Kemungkinan perusahaan melakukan REM melalui manipulasi biaya diskresioner jika nilai residu abnormal discretionary expenses negatif. 3.2.2.3 Abnormal production-operating costs Model Abnormal production-operating costs dituliskan sebagai berikut: ππ ππ·ππ‘ 1 πππππ ππ‘ βπππππ ππ‘ βπππππ ππ‘−1 = πΌ0 ( ) + πΌ1 ( ) + πΌ2 ( ) + πΌ3 ( ) + πππ‘ ππ΄ππ‘−1 ππ΄ππ‘−1 ππ΄ππ‘−1 ππ΄ππ‘−1 ππ΄ππ‘−1 PROD merupakan beban pokok penjualan ditambah perubahan persediaan. Kemungkinan perusahaan melakukan REM dengan manipulasi biaya produksi jika nilai residu abnormal production cost positif. 3.2.3 Variabel Kontrol Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Variabel Kontrol Keterangan SIZEI Logaritma dari market value of equity MTBI Rasio dari market value of equity dengan book value of equity INVRECI Persentase jumlah piutang dan persediaan dari keseluruhan total aset NODUAL Dummy variabel (1 jika CEO tidak sekaligus sebagai Chairman dan 0 jika selain itu.) 3.3 Model Empiris Pengujian hipotesis tentang pengaruh GCG terhadap REM menggunakan alat analisis regresi berganda dengan tiga model sebagai berikut: π΄πΆπΉπππ‘ = πΌ0 + πΌ1 π΅ππΌππΈππ‘ + πΌ2 πππ·ππ΄πΏππ‘ + πΌ3 π΅πΌππ·ππ‘ + πΌ4 ππΌππΈππ‘ + πΌ4 πππ΅πΌππ‘ +πΌ5 πΌπππ πΈπΆπΌππ‘ + πππ‘ π΄π·πΌππΈππππ‘ = πΌ0 + πΌ1 π΅ππΌππΈππ‘ + πΌ2 πππ·ππ΄πΏππ‘ + πΌ3 π΅πΌππ·ππ‘ + πΌ4 ππΌππΈππ‘ + πΌ4 πππ΅πΌππ‘ +πΌ5 πΌπππ πΈπΆπΌππ‘ + πππ‘ π΄ππ ππ·ππ‘ = πΌ0 + πΌ1 π΅ππΌππΈππ‘ + πΌ2 πππ·ππ΄πΏππ‘ + πΌ3 π΅πΌππ·ππ‘ + πΌ4 ππΌππΈππ‘ + πΌ4 πππ΅πΌππ‘ +πΌ5 πΌπππ πΈπΆπΌππ‘ + πππ‘ Keterangan: BSIZE = jumlah anggota dewan direksi NODUAL = dummy variable BIND = proporsi dewan komisaris independen SIZE = logaritma dari market value of equity MTBI = market to book ratio INVRECI = Persentase jumlah piutang dan persediaan dari keseluruhan total aset 3.4 Analisis Data 3.4.1 Analisis Statistik Deskriptif Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui nilai rata-rata, minimum, maksimum, dan standar deviasi dari variabel-variabel yang diteliti. 3.4.2 Uji Asumsi Klasik 3.4.2.1 Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel terikat dan variabel bebas, keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal. Uji ini dilakukan dengan cara melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal atau grafik. Apabila data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. Apabila data menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas. (Ghozali, 2006) 3.4.2.2 Uji Multikolinearitas Ghozali (2006) menyatakan bahwa uji ini bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Pada model regresi yang baik seharusnya antar variabel independen tidak terjadi korelasi. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas dalam model regresi dapat dilihat dari tolerance value atau variance inflation factor (VIF). Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas didalam model ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisa matrik korelasi antar variabel bebas jika terdapat korelasi antar variabel bebas yang cukup tinggi (> 0,9) hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas. 2. Dilihat dari nilai VIF dan Tolerance. Nilai cut off Tolerance < 0.10 dan VIF > 10 (berarti terdapat multikolinearitas) 3.4.2.3 Uji Heterokedastisitas Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Model regresi yang baik adalah yang terjadi homokedastisitas atau tidak terjadi heterokedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heterokedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejser. Dasar pengambilan keputusan uji heterokedastisitas melalui uji Glejser dilakukan sebagai berikut: 1. Apabila koefisien parameter beta dari persamaan regresi signifikan statistik, yang berarti data empiris yang diestimasi terdapat heterokedastisitas. 2. Apabila probabilitas nilai test tidak signifikan statistik, maka berarti data empiris yang diestimasi tidak terdapat heterokedastisitas. 3.4.2.4 Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode ke–t dengan kesalahan periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada problem autokorelasi. Model regresi yang baik adalah yang bebas autokorelasi. Untuk mendeteksi autokorelasi, dapat dilakukan uji statistik melalui uji Durbin Watson (DW test) (Ghozali, 2006). Dasar pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi adalah sebagai berikut: 1. Bila nilai DW terletak diantara batas atas atau upper bound (du) dan (4du) maka koefisien autokorelasi = 0, berarti tidak ada autokorelasi. 2. Bila nilai DW lebih rendah daripada batas bawah atau lower bound (dl) maka koefisien autokorelasi > 0, berarti ada autokorelasi positif. 3. Bila nilai DW lebih besar dari (4-dl) maka koefisien autokorelasi < 0, berarti ada autokorelasi negatif. Bila nilai DW terletak antara du dan dl atau DW terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan. DAFTAR PUSTAKA Daniri, Mas Achmad, 2005, Good Corporate Gocernance: Konsep dan Penerapannya Dalam Konteks Indonesia, (Gloria Printing, Jakarta). FCGI. 2002. Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance) The Essence Of Good Corporate Governance; Konsep dan Implementasi Perusahaan Publik dan Korporasi Indonesia. Yayasan Pendidikan Pasar Modal Indonesia & Sinergy Communication, Jakarta. Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivarite dengan SPSS, Cetakan Keempat, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Hartono, Jogiyanto. 2010.Metodologi Penelitian Bisnis. BPFE UGM, Yogyakarta. Hashemi, S and Rabiee,H. 2011. The role of Corporate Governance in Real Earnings Management. Interdiciplinary Journal of Contemporary Research in Business Vol. 3, No. 6, pp. 848-857. Jensen, M. C. & Meckling, W. H. 1976. Theory of the firm: managerial behavior, agency costs and ownership structure, Journal of Financial of Economics, 3 (4): pp. 305-360. Komite Nasional Kebijakan Governance. 2006. Pedoman umum GCG Indonesia, Jakarta. Nasution, Marihot dan Doddy Setiawan. 2007. “Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba Di Industri Perbankan”. Simposium Nasional Akuntansi X, IAI, Makasar 2007 Scott, William R. 2007. Financial Accounting Theory. 4th edition. Prentice Hall : Canada. Ujiyantho dan Pamuka. 2007. Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba Kinerja Keuangan. Simposium Nasional Akuntansi X, Makasar. dan