Nila Siswandya - Directory UMM

advertisement
Nila Siswandya
04.610.302 / VI.F
Manajemen
Tugas 7 SKB
Menyoal Kepemilikan Saham Temasek pada Perusahaan Telekomunikasi di
Indonesia
Oleh Ita Kurniasih
[22/3/07]
Dalam jawaban tertulis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada Rapat Dengar
Pendapat dengan Komisi VI DPR-RI pada 5 Februari 2007, KPPU menyampaikan hasil
evaluasinya tentang kebijakan di sektor telekomunikasi.
Berkaitan dengan privatisasi dan merger perusahaan telekomunikasi, KPPU
mengharapkan pemerintah tidak melakukan penjualan kepada pelaku usaha yang
juga telah memiliki perusahaan telekomunikasi di Indonesia agar tidak mereduksi
terjadinya
persaingan
usaha.
Khusus
mengenai
privatisasi
perusahaan
telemokunikasi, kepemilikan Temasek pada perusahaan telekomunikasi di Indonesia
menimbulkan masalah dari segi hukum persaingan usaha.
Melalui divestasi saham PT Indosat Tbk sebesar 41,94% pada 15 Desember 2002
lalu, Temasek menjadi pemegang saham ganda atas perusahaan telekomunikasi di
Indonesia. Setidaknya secara tidak langsung melalui Singapore Technologies
Telemedia (STT) yang 100% dimiliki oleh Temasek. Padahal, sejak 2002 sampai kini
melalui Singapore Telecommunication Limited (Singtel)- yang 100% sahamnya
dimiliki juga oleh Temasek- telah memiliki saham sebesar 35% di PT Telkomsel
yang juga merupakan anak perusahaan PT Telkom Tbk. Hubungan STT, Singtel dan
Temasek pada posisi tahun 2002 terlihat dalam bagan berikut.
Berdasarkan gambaran di atas dan diagram terlampir, penulis mencoba menganalisa
apakah tindakan Temasek melalui STT tersebut akan membahayakan persaingan
usaha di bidang telekomunikasi di Indonesia. Pasal 28 Ayat 2 UU Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat menyatakan
’Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila
tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau usaha
persaingan tidak sehat.’ Memang ketentuan itu tidak menjelaskan apa ukurannya
suatu pengambilalihan saham sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau usaha persaingan tidak sehat. Namun ada beberapa parameter
penilaian yang dapat diuji terkait dengan tindakan Temasek tersebut untuk posisi
2002.
Pertama, penguasaan pasar di bidang telekomunikasi. STT, yang seluruh dimiliki
oleh Temasek yaitu badan usaha milik pemerintah Singapura, pada Juli 2002
bersama Hutchinson Whampoa membeli Global Crosing senilai US$ 750 juta. Global
Crosing adalah perusahaan telekomunikasi terbesar di dunia yang menguasai
jaringan serat optik sepanjang 10 ribu mil yang menjangkau 27 negara di dunia
termasuk Amerika, Eropa dan Asia Pasifik.
Dalam pengembangan jaringan globalnya, STT pada Oktober 2002 juga membeli
Equinix dan Pihana Pasific. Keduanya adalah penyelenggara internet business
exchange (IBM) sedang Pihana Pasific menyelenggarakan neutral internet exchange
data center di Asia Pasific. Kemudian pada Desember 2002 STT dinyatakan sebagai
pemenang atas divestasi saham PT Indosat Tbk sebesar 41,94%. Selain itu, melalui
Singtel sebagai perpanjangan tangannya Temasek juga memilliki saham sebesar
35% di PT Telkomsel yang merupakan anak perusahaan dari PT Telkom Tbk.
Sehingga dengan menguasai Indosat, Telkomsel, Global Crossing, Pihana Pasific dan
Equinix, berarti Temasek menguasai hampir separuh jaringan telekomunikasi dunia.
Kedua, soal posisi dominan dalam bidang telekomunikasi. Setelah diketahui bahwa
Temasek menguasi pasar di bidang telekomunikasi dan struktur kepemilikan saham
Temasek diatas, maka dapat dikatakan Temasek berada dalam posisi dominan dalam
bidang telekomunikasi. Karena, dengan menguasai mayoritas kepemilikan saham di
bidang telekomunikasi itu, Temasek dapat mendominasi susunan anggota direksi
dan komisaris. Akibatnya, Temasek berada dalam posisi sentral untuk mendorong
dan mengarahkan rencana dan strategi perusahaan-perusahaan terkait. Keadaan
demikian sangat berpotensi menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan
yang tidak sehat.
Hal ini dapat dilihat sebagaimana dituangkan dalam Shareholder Agreement dalam
divestasi saham PT Indosat Tbk. Disebutkan bahwa dalam pemilihan dewan
komisaris dan direksi ditetapkan berdasarkan simple majority. Akibatnya,
Kementrian Negara BUMN sebagai kuasa pemegang saham seri A atau saham golden
share namun memiliki jumlah kepemilikannya kecil hanya dapat mencalonkan
komisaris dan direksi masing-masing hanya satu orang. Pertanyaan selanjutnya
adalah seberapa efektifnya kepemilikan atas saham seri A tersebut dan seberapa
besar pengaruh satu orang direksi atau komisaris yang dicalonkan oleh Kementrian
BUMN tersebut untuk dapat mengubah kebijakan PT Indosat Tbk tersebut apabila
bertentangan dengan kebijakan dari STT?
Meskipun sebagai pemegang saham seri A Kementrian BUMN memiliki hak veto,
tetapi dengan komposisi kepemilikan yang kecil tersebut dan pemilihan dewan
komisaris dan dewan direksi ditentukan dengan simple majority, hak veto itu sulit
untuk dapat dilaksanakan. Karena, memiliki saham golden share tanpa menjadi
pemegang saham mayoritas maka saham golden share tersebut menjadi tidak
berarti karena haknya hanya untuk pencalonannya satu orang direksi dan komisaris,
pada akhirnya yang memutuskan adalah RUPS dengan simple majority.
Ketiga, analisa atas potensi kerugian akibat tindakan pengambilalihan saham PT
Indosat tersebut. Divestasi sebesar 41,94% saham PT Indosat Tbk tersebut,
menimbulkan potensi kerugian bagi Indonesia karena harga penjualan saham
tersebut jauh di bawah nilai strategis PT Indosat Tbk. Adapun nilai strategis PT
Indosat Tbk antara lain:
a. Indosat sebagai pemegang lisensi frekuensi GSM selular dengan total 15 Mhz
paling besar dibandingkan dengan Telkomsel dan Exelcom sebesar 12,5 Mhz;
b.
Lisensi yang dimiliki oleh Indosat Group adalah seluler, telepon lokal,
telepon SLJJ, telepon SLI 001dan 008, satelit, Network Access Point Internet,
VOIP 2 buah, TV kabel dan multimedia;
c.
Pelanggan Indosat terdiri dari:
(1) 3,1 juta pelanggan seluler Satelindo;
(2) 500.000 pelanggan IM-3
(3) 100% pelanggan SLI 001 (Indosat) dan 008 (Satelindo);
(4) Pelanggan Lintasarta, IM2 meliputi komunikasi data, internet, multimedia,
75% jaringan perbankan Indonesia, 30.000 pelanggan internet IM2, 300
pelanggan TV kabel IM2
d. Perangkat teknologi:
(1) 4 sentral gerbang teknologi
(2) 2 stasiun kabel laut internasional
(3) 5 stasiun bumi satelit
(4) Satelit palapa (untuk domestik), Intelsat & Inmarsat (untuk internasional)
e. Dari segi geografis, negara Indonesia diklasifikasikan sebagai space power
state artinya negara yang berpotensi menjadi negara ruang angkasa sebagai
suatu negara kepulauan memiliki kekayaan alam yang melimpah, keadaan
cuaca yang positif dan memiliki laut pedalaman yang luas. Belum lagi
penduduk yang besar sehingga berpotensi untuk pasaran telekomunikasi.
f.
Kemudian Indonesia negara yang dipotong oleh garis khatulistiwa sehingga
berada dibawah geo stationary orbit (GSO) berjarak kurang lebih 360.000 km
dari permukaan bumi merupakan tempat yang efisien dan ekonomis untuk
meletakkan satelit telekomunikasi karena bebas dari pengaruh negatif seperti
gempa bumi, badai listrik, tanah longsor. Satelit Indosat mempunyai
kedudukan di GSO di atas Indonesia dan mempunyai nilai dari segi ekonomis,
budaya, strategi keamanan, pertahanan dan masa depan pembangunan
bangsa Indonesia. Dengan adanya satelit Indosat memudahkan untuk
mengakses informasi mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan sehingga
dapat dikatakan: “who controls Indosat, controls not only Indonesia but the
whole South East Asia” (Priyatna Abdurasyid, 2003).
Keempat, analisa peraturan terkait dengan privatisasi. Ketentuan tentang privatisasi
yang dikeluarkan oleh Kementrian BUMN dan PP No. 30 tahun 2002 tentang
Penjualan Saham Milik Negara Republik Indonesia pada Perusahaan Perseroan
(Persero) PT Indosat Tbk, mensyaratkan kriteria calon investor adalah:
a. pihak yang bukan merupakan:
(1) operator telekomunikasi yang berdomisili hukum di Indonesia dan dimiliki
oleh Pemerintah RI sebesar 25% atau lebih dari saham yang ditempatkan
dalam pihak ini;
(2) anak perusahaan dari pihak (1) di atas yang memiliki ijin
penyelenggaraan bisnis seluler bersifat nasional;
(3) anak perusahaan dari pihak (1) dan (2) di atas;
(4) pemilik saham mayoritas (lebih dari 25%) atas pihak (1) dan (2) diatas;
b. memiliki total asset atau dana dalam pengelolaan berdasarkan laporan
keuangan terbaru minimal US$ 450 juta;
c. memiliki pengalaman signifikan sebagai operator dan/atau investor dalam
bidang telekomunikasi dan/atau dapat menunjukan bahwa pihak tersebut
memiliki kemampuan untuk memberikan kontribusi dalam bidang
telekomunikasi.
Mengingat STT dimiliki 100% oleh Temasek dan Temasek juga memiliki 100% atas
Singtel dimana Singtel sebagai salah satu pemegang saham dari PT Telkomsel
sebagai anak perusahaan dari PT Telkom Tbk, sebagai salah satu operator
telekomunikasi di Indonesia. Sehingga dapat dikatakan Temasek sebagai pemegang
saham ganda di dua operator telekomunikasi dan menguasai industri telekomunikasi
di Indonesia.
Berdasarkan analisa di atas, maka dapat dikatakan pengambilalihan saham Indosat
oleh Temasek selaku pelaku usaha dalam bidang telekomunikasi mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau usaha persaingan tidak sehat di industri
telekomunikasi. Sehingga, sudah tepat KPPU melakukan kajian atas tindakan
Temasek tersebut khususnya hubungan STT dengan Temasek yang menguasai 35%
saham di PT Telkomsel.
Salah satu kewenangan KPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 36 butir b dan l
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999): ”KPPU berwenang melakukan
penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat dan menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku
usaha yang melanggar undang-undang’.
Opsi tindak lanjut KPPU sesuai Pasal 47 ayat 2 huruf e UU No. 5/1999 adalah
penetapan pembatalan atas pengambilalihan saham Indosat oleh Temasek. Selain
itu, pelanggaran atas Pasal 28 juga diancam dengan pidana denda dan pidana
tambahan sebagaimana dalam Pasal 48 ayat 1 jo Pasal 49 UU No. 5/1999 pidana
denda minimal Rp. 25 milyar dan maksimal Rp. 100 milyar atau pidana kurungan
pengganti denda maksimal 6 bulan dan pidana tambahan berupa pencabutan izin
usaha atau larangan untuk menjadi direktur atau komisaris minimal 2 tahun dan
maksimal 5 tahun atau penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang
menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Oleh karena itu, pengambilalihan saham yang dilakukan Temasek melalui STT atas
saham Indosat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat melanggar
UU No. 5/1999 sehingga harus dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam undangundang itu. UU No. 5/1999 memang dirancang untuk mengoreksi tindakan dari
pelaku ekonomi yang memiliki posisi yang dominan kaena mereka dapat
menggunakan
kekuatannya
untuk
berbagai
macam
kepentingan
yang
menguntungkan pelaku usaha tersebut. Selain itu maksud dari diadakannya
privatisasi adalah untuk mendorong persaingan yang sehat bukannya untuk
memonopoli usaha dibidang telekomunikasi di Indonesia.
*) Penulis adalah peneliti pada Centre for Finance, Investment and Securities Law
(CFISEL)
Kekeliruan Divestasi Indosat
Jakarta, 28 Desember 2002
Kita sadari bahwa pemerintah sedang menghadapi masalah keuangan yang sangat sulit. Ditambah lagi
dengan berbagai musibah bencana alam dan menanggulangi akibat gangguan keamanan. Tidak mudah
bagi pemerintah untuk dapat melaksanakan program kerja sesuai dengan APBN. Di sisi penerimaan, antara
lain, yang paling dapat diandalkan adalah penjualan aset yang berada di BPPN.
Pemerintah melalui BPPN telah memilih untuk menjual antara lain saham pemerintah yang ada di PT
Indosat melalui cara competitive bidding yang transparan, yang kemudian dimenangkan oleh Singapore
Technologies Telemedia Pte Ltd (STT). Pejualan saham Indosat kepada STT melalui suatu tender
merupakan satu proses yang sah. Tetapi ada dua implikasi yang tidak dicermati oleh BPPN, dan bisa
menyulitkan perkembangan ekonomi dan masyarakat di masa depan. Pertama, adalah terjadinya monopoli
atau sekurang-kurangnya posisi dominan STT dalam sektor telekomunikasi di Indonesia. Kedua,
telekomunikasi adalah bagian dari infrastruktur yang merupakan jasa publik, dan bukan komoditi biasa.
Sudah banyak kelompok masyarakat, termasuk KPPU, Mastel (Masyarakat Telekomunikasi Indonesia) dan
PT Telkom Tbk serta kalangan legislatif, yang concerned mengenai penjualan saham Indosat kepada STT
ini, yang menempatkan posisi dominan STT di sektor telekomunikasi kita makin mencolok. STT adalah
perusahaan milik pemerintah Singapura yang sudah menguasai sebagian telekomunikasi di Indonesia, yaitu
sebagai mitra PT Telkom dalam KSO di wilayah Indonesia bagian timur, pemilikan saham 35 persen di PT
Telkomsel. Dan, sekarang
ini akan memiliki saham
41,9 persen
di PT Indosat.
Kepemilikan saham di Indosat itu berarti juga menguasai perusahaan telepon selular lainnya, yaitu IM3 dan
Satelindo. Keadaan yang demikian ini sangat mengkhawatirkan perkembangan telekomunikasi di Indonesia
dan jelas menempatkan STT menjadi posisi dominan. Dengan demikian, posisi ini dapat bertentangan
dengan Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Monopoli, dan hal inipun sangat dikhawatirkan oleh
PT
Telkom.
Kekhawatiran PT Telkom itu sangat berdasar mengingat selain posisi STT tersebut di atas, juga hampir
semua hubungan internasional akan dikuasai oleh STT, termasuk kabel di bawah laut dan hubungan
melalui Singapura. Kita perlu mencermati arti posisi dominan dalam UU Nomor 5/1999, yang tidak
selamanya harus dilihat dari 'pasar' seluruh Indonesia, tetapi harus dilihat dari 'pasar' pada 'wilayah
tertentu'.
Dengan pengertian di atas, kita akan melihat betapa pengaruhnya pemilikan STT di Indosat ini di wilayah
Indonesia bagian timur dan hubungan telekomunikasi internasional. Walaupun pemerintah telah
menetapkan bahwa dalam telepon fixed line, kita menganut duopoly, tetapi dalam pengertian bahwa
duopoly
tersebut
akan
bersaing
dengan
sehat.
Kedudukan telekomunikasi dalam perkembangan ekonomi dimasa mendatang, menuju masyarakat
informatika (information society), sangatlah menentukan. Berbagai jenis kegiatan 'E' -- seperti E-Business,
E-Banking, E-Government, dan E-Education -- sudah marak berkembang dan akan makin berkembang lagi.
Perkembangan itu tidak lepas dari ketersediaan infrastruktur fisik telekomunikasi. Saat ini, misalnya kita
sudah menghadapi kendala bahwa dibeberapa wilayah di Pulau Bali, yang merupakan pusat parawisata
nasional sudah mengalami kekurangan fixed line, karena adanya posisi natural monopoly dari KSO wilayah
timur, dikarenakan STT yang menjadi mitra Telkom, enggan mengadakan perluasan investasi.
Pemerintah yang beranggapan bahwa dengan pemilikan golden share masih bisa mengendalikan
perusahaan untuk tidak dimanfaatkannya 'posisi dominan' oleh STT untuk mengatur pasar, merupakan
anggapan yang keliru, karena pemilikan golden share tidak dapat mempengaruhi kebijakan operasional
perusahaan.
Yang kedua adalah masalah kedudukan telekomunikasi yang termasuk infrastruktur ekonomi, yang berarti
bahwa telekomunikasi digolongkan sebagai public good. Sebagai public good berarti mempunyai dua ciri
pokok yaitu sebagai non-rivalry good, yang berarti masyarakat dapat memanfaatkan tanpa bersaing dan
mendapat pelayanan yang wajar; dan non-excludable good, yang berati telekomunikasi tidak dapat
dikhususkan
hanya
untuk
sekelompok
pengguna
saja.
Pola
kemitraan
Pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat pada tahun 1980-an dan awal 1990-an, menyebabkan
pemerintah, yang mempunyai kewajiban untuk menyediakan infrastruktur yang diperlukan bagi masyarakat,
menghadapi kekurangan dana untuk mengadakan investasi. Inilah salah satu ciri dari komoditi yang bersifat
pure
public
good,
yaitu
lambannya
perluasan
kapasitas
oleh
pemerintah.
Oleh sebab itu, sejak pertengahan tahun 1990-an, dikembangkan berbagai pemikiran untuk melibatkan dan
meningkatkan peran swasta sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan infrastruktur. Diterapkanlah
berbagai kebijakan pada waktu itu seperti BOT (Build Operate Transfer), BTO (Build Transper Operate),
BOO (Build Own Operate), KSM (Kerja Sama Manajemen) dan KSO (Kerja Sama Operasi), maupun
swastanisasi.
Dengan diterapkannya berbagai pola kemitraan tersebut, sebagian infrastruktur mulai beralih dari pure
public
good
menjadi
semi
public
good.
Walaupun perubahan itu terjadi, tetapi dua hal yang tetap melekat sebagai infrastruktur adalah sifatnya
sebagai natural monopoly dan implikasinya yang cross sectoral. Dua hal inilah yang harus menjadi dasar
bagi pemerintah dalam mengusahakan infrastruktur, tidak dapat hanya dilihat berdasarkan untung-rugi
perusahaan semata, karena pengaruhnya yang luas kepada perekonomian nasional dan kehidupan sosial
masyarakat. Sehingga, keputusan penjualan saham pemerintah kepada STT perlu ditinjau kembali.
Selain telekomunikasi, kita masih menghadapi berbagai masalah sejenis dalam bidang infrastruktur ini,
seperti tenaga listrik, air minum, jalan tol, pelabuhan, bandara dan lain-lain. Dengan belum adanya
kejelasan mengenai 'kemitraan' dalam pengusahaan infrastruktur, saat ini kita telah dihadapkan dengan
keadaan
yang
sudah
mengganggu
produktivitas
masyarakat
maupun
ekonomi
kita.
Kemacetan dijalan tol sudah merupakan pemandangan sehari-hari dan seolah-olah sudah kronis. Pada jamjam tertentu, kemacetan dijalan tol sudah tidak ada bedanya dengan meacetan dijalan biasa. PLN sudah
mulai dengan kemungkinan diberlakukannya giliran padaman listrik, kwalitas aliran listrik menurun di
beberapa wilayah. Penyelenggaraan air minum, walaupun menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,
masih
jauh
dari
yang
diharapkan.
Untuk melaksanakan komitmen BPPN dalam APBN, penjualan saham atau aset pemerintah sebaiknya
diutamakan dari perusahaan kontraktor, perdagangan, perbankan serta industri yang bukan merupakan
unggulan
nasional
(national
champion).
BPPN sebagai bagian dari pemerintah, dalam menentukan mitra swasta untuk perusahaan yang bidang
usahanya public good, haruslah had the public in mind, bukanhanya sekedar memenuhi target.
Oleh : Rahardi Ramelan, Mantan Komisaris Utama PT Telkomsel dan Anggota Badan Pertimbangan
Telekomunikasi
Download