Get cached

advertisement
SKRIPSI
PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI , DELIMA PUTIH , JATI
BELANDA , KECOMBRANG , dan KEMUNING SECARA IN VITRO
TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA
Oleh :
AGNES KRISMAWATI
F24103085
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI , DELIMA PUTIH , JATI
BELANDA , KECOMBRANG , dan KEMUNING SECARA IN VITRO
TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
AGNES KRISMAWATI
F24103085
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI , DELIMA PUTIH , JATI
BELANDA , KECOMBRANG , dan KEMUNING SECARA IN VITRO
TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
AGNES KRISMAWATI
F24103085
Dilahirkan di Jakarta, 10 Desember 1984
Tanggal lulus : 20 Agustus 2007
Menyetujui:
Bogor,
Agustus 2007
Dosen Pemimbing II
Dosen Pembimbing I
Dr. Ir. Endang Prangdimurti,M.Si
NIP. 132.006.117
Prof.Dr.Ir.Fransisca Zakaria R.,M.Sc
NIP. 131.476.603
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RINGKASAN PENELITIAN
Agnes Krismawati. F24103085. Pengaruh Ekstrak Tanaman Ceremai , Delima
Putih, Jati Belanda , Kecombrang , dan Kemuning Secara In Vitro Terhadap
Proliferasi Sel Limfosit Manusia. Di bawah bimbingan : Prof. Dr. Ir. Fransisca
Zakaria R, M.Sc dan Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si (2007)
Kemuning, delima putih, kecombrang, ceremai, dan jati belanda memiliki
potensi yang besar untuk kesehatan manusia. Berkembangnya tren pangan fungsional,
menjadikan suatu alasan pengembangan kelima tanaman di atas menjadi pangan
fungsional, terutama sebagai minuman fungsional
Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat toksisitas dan imunomodulator
ekstrak daun delima putih, daun kemuning, daun ceremai, daun jati belanda, dan
bunga kecombrang terhadap sel limfosit manusia secara in vitro, serta mengetahui
kapasitas antioksidan kelima ekstrak tanaman tersebut dalam menangkal radikal
bebas menggunakan metode DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil atau 1,1-diphenyl2-picrylhydrazil).
Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap. Tahap pertama adalah tahap
persiapan. Tahap ini meliputi pembuatan ekstrak tanaman yang diujikan dan isolasi
sel limfosit. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah etanol 96 % dengan
metode maserasi, dan aquades dengan metode pemanasan. Bagian tanaman yang
diekstraksi adalah daun (untuk kemuning, ceremai, jati belanda, dan delima putih)
dan bunga (untuk kecombrang). Ekstrak kelima tanaman yang akan diuji ditepatkan
volumenya menjadi 10 ml untuk keseragaman. Tahapan selanjutnya adalah analisis
kimia meliputi analisis kadar air dan analisis kadar protein terhadap bahan segar, serta
analisis kadar total fenol dan analisis kemampuan antioksidan ekstrak untuk
menangkal radikal bebas (kapasitas antioksidan) terhadap ekstrak yang dihasilkan.
Pengujian ekstrak terhadap proliferasi sel limfosit manusia digunakan
dengan menggunakan dua metode yaitu dengan perhitungan sel mati
(menggunakan pewarnaan biru tripan) dan perhitungan proliferasi sel dengan metode
MTT [3-[4,5-Dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide]. Perhitungan
proliferasi pada metode ini dilakukan dengan nilai Indeks Stimulasi (I.S) dari sel
limfosit yang dikultur dengan ekstrak dibandingkan dengan kontrol standar. Kultur
sel dilakukan pada suhu 37oC dengan kondisi atmosfer yang mengandung CO2 5%, 02
95% dan RH 96 % selama 36 jam. Untuk kontrol standar, sumur hanya berisi media
dan sel, sedangkan kontrol positif berisi suspensi sel limfosit dan larutan mitogen
Con A atau LPS.
Hasil analisi kimia menunjukkan bahwa kadar air tertinggi dimiliki oleh
bunga kecombrang yaitu sebesar 92.30 % (b.b), sedangkan kadar air terendah dimiliki
oleh daun delima putih sebesar 58.26 % (b.b). Kadar protein dihitung menggunakan
metode Kjeldahl. Hasil yang diperoleh adalah kadar protein tertinggi dimiliki oleh
daun ceremai sebesar 6.40 %, sedangkan kadar protein terendah dimiliki oleh bunga
kecombrang sebesar 1.38 %. Kadar total fenol tertinggi dimiliki oleh daun delima
putih etanol yaitu 81.37 x 102 mg/l ekstrak, sedangkan untuk kadar total fenol
terendah dimiliki oleh ekstrak daun jati belanda aquades yaitu 4.44 x 102 mg/l
ekstrak. Secara keseluruhan ekstrak etanol memiliki kadar total fenol lebih tinggi
dibandingkan ekstrak aquades. Kapasitas antioksidan ekstrak kelima tanaman
dihitung menggunakan metode DPPH. Hasil yang diperoleh adalah kapasitas
antioksidan tertinggi dimiliki oleh kecombrang etanol yaitu 92.96 %, dan terendah
dimiliki oleh kemuning etanol 70.45 %. Nilai AEAC tertinggi dimiliki oleh
kecombrang etanol yaitu 1159.28 mg/l AEAC, dan terendah dimiliki oleh kemuning
etanol 888.08 mg/l AEAC. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa daya peredaman
radikal bebas ekstrak kecombrang etanol sebanding dengan daya peredaman 1159.28
mg asam askorbat.
Hasil pengujian dengan menggunakan metode MTT diketahui bahwa
ekstrak yang memberikan indeks proliferasi sel limfosit dimiliki oleh ekstrak
kecombrang aquades sebesar 6.88 dan indeks stimulasi terendah dimiliki oleh ekstrak
daun jati belanda aquades 7.408 mg/ml (C3) sebesar 0.78. Pada metode biru tripan,
ekstrak yang memiliki tingkat kematian sel terendah dimiliki oleh ekstrak
kecombrang aquades 9.084 mg/ml (C3) dan kecombrang etanol 7.752 mg/ml (C3)
sebesar 1.2 x 105 sel mati / ml, sedangkan kematian tertinggi dimiliki oleh ekstrak jati
belanda etanol 7.332 mg/ml (C3) dan ekstrak delima aquades 9.526 mg/ml (C3)
sebesar 12 x 106 sel mati / ml. Secara keseluruhan, ekstrak memberikan indeks
stimulasi yang tinggi dan tingkat kematian sel yang rendah, sehingga dapat dikatakan
ekstrak kelima tanaman yang digunakan bersifat imunostimulan.
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Jakarta, 10 Desember 1984 dan
merupakan anak pertama dari pasangan Patricius Kardja dan
Chriatiana Kasmiyati. Penulis mengawali pendidikan formal di
TK Marga Utama, dan selanjutnya penulis melanjutkan ke SD
Strada Van Lith II, SLTP Tarakanita IV, dan SMUN 81 Jakarta.
Pendidikan non formal yang ditempuh oleh penulis antara lain
kursus Bahasa Inggris di LIA dan Bahasa Mandarin di Lingua Franka.
Pendidikan terakhir yang ditempuh adalah Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tingkat akhir
pendidikannya di IPB, penulis juga memperoleh kesempatan mengikuti program
Internship dari PT. Sara Lee Household Indonesia selama tiga bulan. Selain aktif
dalam bidang akademik, penulis juga menjadi pengurus beberapa organisasi
intrakampus yaitu sebagai koordinator sekretariat pada Keluarga Mahasiswa Katolik
IPB (KEMAKI) dan sebagai Bendahara pada UKM Tarung Derajat di IPB. Selain itu
penulis juga menjadi anggota pada Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi
Pangan (HIMITEPA) dan Tim Pendamping Mahasiswa Katolik IPB. Penulis juga
aktif sebagai panitia berbagai kepanitiaan dalam kegiatan kampus. Berbagai
pengalaman kerja juga telah diperoleh penulis, baik sebagai asisten praktikum kimia
dan biologi untuk Mahasiswa TPB, asisten praktikum mikrobiologi pangan, dan
asisten praktikum teknologi pengolahan pangan, serta menjadi guru privat mata
pelajaran matematika untuk tingkat sekolah menengah.
Penulis menyelesaikan tugas akhirnya dengan melakukan penelitian yang
berjudul “Pengaruh Ekstrak Tanaman Ceremai , Delima Putih , Jati Belanda ,
Kecombrang , dan Kemuning Secara In Vitro Terhadap Proliferasi Sel Limfosit
Manusia”. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2007 sampai dengan bulan
Juni 2007.
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati,
sekitar 40.000 jenis tumbuhan ditemukan di Indonesia dan 180 jenis di
antaranya berpotensi sebagai tanaman obat (Bermawie, 2003). Beberapa
tanaman yang sudah diketahui berpotensi dan dikenal secara umum sebagai
tanaman obat adalah ceremai, kemuning, jati belanda, kecombrang, dan
delima putih.
Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) dan kemuning (Murraya
paniculata [L..] Jack.) biasa dijadikan sebagai tanaman hias karena memiliki
corak atau warna bunga yang indah. Delima putih (Punica granatum Linn)
dan ceremai (Phyllanthus acidus [L.] Skeels.) tidak hanya bisa dijadikan
tanaman untuk memagari pekarangan (Dalimartha, 1999), tetapi dapat juga
menjadi tanaman pangan karena buahnya dapat dikonsumsi, sedangkan Jati
belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) biasa tumbuh bebas di dataran tinggi dan
jarang ditemui ditanam di pekarangan rumah.
Kelima tanaman tersebut tidak hanya dapat digunakan sebagai
tanaman hias ataupun tanaman pangan, tetapi juga dapat digunakan sebagai
tanaman obat. Masyarakat pedesaan sering menggunakan tanaman tersebut
sebagai obat tradisional, baik untuk menurunkan berat badan, menjaga
kesehatan, ataupun menyembuhkan beberapa penyakit penyakit seperti
bronkhitis, asma urat, dan reumatik.
Dalam evolusi kebudayaan manusia, akhirnya manusia tidak hanya
memikirkan untuk mengkonsumsi pangan yang nikmat saja, namun mulai
terpikir tentang pangan yang bermanfaat bagi kesehatan. Maka mulailah
dikenal istilah ”back to nature”. Beberapa produk pangan yang sekarang ini
mulai diminati oleh masyarakat diantaranya adalah produk pangan
fungsional. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan kepada kelima
tanaman di atas lebih didasarkan kepada pembuktian bahwa tanamantanaman tersebut memiliki manfaat dalam kesehatan, namun belum ada
penelitian yang berkaitan dengan pengujian awal terhadap masing-masing
2
tanaman untuk dijadikan minuman fungsional. Salah satu contoh penelitian
ilmiah tentang tanaman-tanaman di atas adalah pemberian ekstrak daun jati
belanda sebanyak 1 g / kg BB tikus percobaan ternyata dapat menurunkan
kadar kolesterol darah (Rachmadani, 2001). Jati belanda, delima putih,
ceremai, kecombrang, dan kemuning memiliki potensi yang besar untuk
kesehatan manusia maka tanaman-tanaman ini memiliki kemungkinan untuk
dikembangkan sebagai bahan pangan fungsional, terutama sebagai minuman
fungsional.
Untuk membuat sebuah produk pangan yang layak dan fungsional,
pertama-tama perlu diuji apakah produk pangan ini bersifat toksik atau tidak.
Organisme yang terpapar senyawa toksik tidak hanya akan mengalami
keracunan parah tetapi dapat juga mengalami kematian. Setelah itu dilakukan
uji imunomodulator untuk mengetahui apakah produk tersebut memiliki efek
untuk memperkuat sistem imun. Terakhir dilakukan uji antioksidan untuk
melihat apakah produk tersebut memiliki daya antioksidan yang dapat
melindungi tubuh dari timbulnya penyakit-penyakit yang disebabkan oleh
radikal bebas. Semua uji ini akan dilakukan pada kelima tanaman tersebut
untuk mengetahui apakah kelima tanaman tersebut dapat dimanfaatkan
sebagai minuman fungsional.
B. TUJUAN
Penelitian
ini
bertujuan
mengetahui
tingkat
toksisitas
dan
imunomodulator ekstrak daun delima putih, daun kemuning, daun ceremai,
daun jati belanda, dan bunga kecombrang terhadap sel limfosit manusia
secara in vitro, serta mengetahui kapasitas antioksidan kelima ekstrak
tanaman tersebut dalam menangkal radikal bebas menggunakan metode
DPPH. Tujuan lain adalah memperoleh data-data yang dapat dijadikan
sebagai acuan pengembangan produk fungsional dikemudian hari.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Ceremai (Phyllanthus acidus [L.] Skeels.)
Tumbuhan yang berasal dari India ini termasuk dalam famili
Euphorbiaccae. Ceremai memiliki nama asing Charamelier atau Country
goosberry (Dalimartha, 1999). Ceremai banyak ditanam orang di halaman,
di ladang dan tempat lain sampai ketinggian 1.000 m. Ceremai memiliki
percabangan banyak dan kulit kayunya tebal (IPTEKa, 2005 ).
Daun ceremai tunggal, bertangkai pendek, tersusun dalam tangkai
membentuk rangkaian seperti daun majemuk. Helai daun ceremai bundar
telur sampai jorong, ujung runcing, pangkal tumpul sampai bundar, tepi rata,
pertulangan menyirip, permukaan licin tidak berambut, panjang 2-7 cm,
lebar 1,5-4 cm, dan warna hijau muda. (IPTEKa, 2005).
Daun ceremai berbau khas aromatik dan tidak berasa. Kandungan
kimia yang terdapat pada daun, kulit batang, dan kayu ceremai adalah
saponin, flavonoida, tanin, dan polifenol. Akar mengandung saponin, zat
samak, dan zat beracun (toksik), sedangkan buah ceremai mengandung
vitamin C. Bagian dari pohon ceremai yang biasa digunakan sebagai obat
adalah daun, kulit akar, dan biji. Setiap bagian pohon ceremai memiliki
khasiat yang berbeda-beda untuk menyembuhkan penyakit. Daun ceremai
berkhasiat untuk menyembuhkan batuk berdahak, mual, kanker, sariawan,
dan dapat menguruskan bahan. Bagian kulit pohon ceremai dapat digunakan
mengobati asma dan sakit kulit, sedangkan biji ceremai berkhasiat untuk
mengobati sembelit dan mual akibat perut kotor (Dalimartha, 1999).
4
Gambar 1. Ceremai (Phyllanthus acidus [L.] Skeels.)
Sumber : IPTEK (2005a)
B.
Delima Putih (Punica granatum Linn)
Delima, konon, berasal dari negeri Persia, dan kemudian menyebar
ke segala penjuru dunia. Tanaman ini tersebar di daerah subtropik sampai
tropik, dari dataran rendah sampai di bawah 1.000 m. Delima sering ditanam
di kebun-kebun sebagai tanaman hias, tanaman obat, atau dikonsumsi karena
buahnya dapat dimakan. Pohon delima merupakan perdu atau pohon kecil
dengan tinggi 2-5 m. Helaian daun bentuknya lonjong, pangkal lancip, ujung
tumpul, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan mengkilap, panjang 1-9
cm, lebar 0,5-2,5 cm, warnanya hijau. Buahnya buah buni, bentuknya bulat
dengan diameter 5-12 cm, warna kulitnya beragam, seperti hijau keunguan,
putih, cokelat kemerahan, atau ungu kehitaman (IPTEKc, 2005).
Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat adalah kulit kayu, kulit
akar, kulit buah, daun, biji, dan bunganya. Kulit buah mengandung alkaloid
pelletieren, granatin, resin, triterpenoid, kalsium oksalat, dan pati. Kulit akar
dan kulit kayu mengandung sekitar 20% elligatanin dan 0,5-1% senyawa
alkaloid. Daun mengandung alkaloid, tanin, kalsium oksalat, lemak, sulfur,
dan peroksidase. Alkaloid yang terdapat pada tanaman ini dipercaya dapat
menyebabkan kelumpuhan cacing pita, cacing gelang, dan cacing keremi
(IPTEKc, 2005).
Setiap bagian tanaman ini secara tradisional digunakan untuk
menyembuhkan beberapa penyakit, yaitu kulit buah biasa digunakan untuk
5
sakit perut karena cacing, buang air besar mengandung darah dan lendir
(disentri amuba), diare kronis, perdarahan seperti wasir berdarah, muntah
darah, batuk darah, perdarahan rahim, perdarahan rektum, prolaps rektum,
radang tenggorok, radang telinga, keputihan (leukorea), dan nyeri lambung.
Bunga delima biasa digunakan untuk radang gusi, perdarahan, dan
bronkhitis. Daging buah dapat digunakan untuk cacingan, sariawan, sakit
tenggorokan, hipertensi, rematik, dan perut kembung. Bagian daun delima
dan daging buah biasa digunakan untuk menurunkan berat badan (IPTEKc,
2005).
Gambar 2. Delima Putih (Punica granatum Linn)
Sumber : IPTEK (2005c)
C.
Jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk)
Jati belanda merupakan tanaman dari jenis Sterculiaceae. Tanaman
ini merupakan tanaman pohon yang memiliki tinggi lebih kurang 10 meter.
Batang keras, bulat, permukaan kasar, banyak alur, berkayu, bercabang,
warna hijau keputih-putihan. Daun tunggal, bulat telur, permukaan kasar,
tepi bergerigi, ujung runcing, pangkal berlekuk, pertulangan menyirip,
panjang 10-16 cm, lebar 3-6 cm, warna hijau. (IPTEKd, 2005).
Jati Belanda biasa digunakan sebagai obat tradisional oleh
masyarakat Indonesia. Bagian pohon ini yang biasa digunakan adalah daun,
biji, dan buah. Masing-masing bagian memiliki khasiat mengobati yang
berbeda-beda. Daun jati Belanda dapat digunakan untuk mengurangi
6
kegemukan, sedangkan buahnya digunakan untuk menyembuhkan penyakit
bronkhitis. Selain daun jati belanda, biji dari buah jati dapat juga digunakan
sebagai obat untuk mengurangi berat badan. Senyawa kimia yang
terkandung pada jati belanda yaitu tanin, lendir, zat pahit, dan damar.
Daun jati belanda biasa digunakan untuk obat penurun kolesterol.
Daun jati belanda dipercaya bisa meluruhkan lemak dan menurunkan kadar
kolesterol dalam darah. Senyawa tanin dan musilago yang terkandung dalam
daun Jati belanda dapat mengendapkan mukosa protein yang ada di dalam
permukaan usus halus sehingga dapat mengurangi penyerapan makanan dan
proses obesitas (kegemukan) dapat dihambat (IPTEK,2005d).
Gambar 3. Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk)
Sumber : IPTEK (2005d)
D.
Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan)
Kecombrang termasuk dalam famili Zingiberaceae. Tanaman ini
merupakan tanaman tahunan berbentuk semak dengan ketinggian 1-3 m.
Tanaman ini memiliki batang semu yang tegak dan berpelepah serta
bentuknya menyerupai rimpang. Daun kecombrang merupakan daun tunggal
dengan bagian ujung dan pangkal runcing. Panjang daun kecombrang sekitar
20-30 cm, dengan lebar 5-15 cm. Daunnya berwarna hijau dengan
pertulangan daun menyirip. Bunga kecombrang merupakan bunga majemuk
dengan panjang tangkainya sekitar 40-80 cm. Warna bunga kecombrang
biasanya adalah putih atau merah jambu (DepKes, 2005).
7
Umumnya bunga kecombrang sering dimanfaatkan secara tradisional
sebagai bunga hias dan disantap dalam bentuk pecel, lalapan, ataupun
sambal. Selain itu, bunga kecombrang juga banyak digunakan untuk obat
penghilang bau badan, memperbanyak air susu ibu, dan pembersih darah.
Kandungan kimia yang terdapat di daun, batang , bunga, dan rimpang
kecombrang adalah saponin dan flavonoid. Selain itu, kecombrang juga
mengandung polifenol dan minyak atsiri (DepKes, 2005). Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Naufalin et.al (2005), diketahui bahwa bunga
kecombrang dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri patogen
dan perusak pangan, seperti S. aureus, L. Monocytogenes, dan
S.typhimurium.
Gambar 4. Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan)
E.
Kemuning (Murraya paniculata [L..] Jack.)
Kemuning merupakan tanaman yang berasal dari kelas Rutaceae.
Tanaman ini biasa tumbuh liar di semak belukar, tepi hutan, atau ditanam
sebagai tanaman hias dan tanaman pagar. Selain itu dapat ditemukan sampai
ketinggian ± 400 m. Kemuning yang biasa ditanam untuk memagari
pekarangan, biasanya jenis yang berdaun kecil dan lebat (Dalimartha, 1999).
Kemuning termasuk jenis semak atau pohon kecil, bercabang
banyak, tinggi 3-8 m, batangnya keras, beralur, tidak berduri. Helaian anak
daunnya bertangkai, bentuk bulat telur sungsang atau jorong, ujung dan
pangkal runcing, tepi rata atau agak beringgit, panjang 2-7 cm, lebar 1-3 cm,
8
permukaan licin, mengilap, wamanya hijau, bila diremas tidak berbau.
Bunga kemuning merupakan bunga majemuk berbentuk tandan, warnanya
putih, dan wangi. (IPTEKb, 2005).
Setiap bagian pohon kemuning memiliki kandungan kimia yang
berbeda-beda. Daun kemuning mengandung cadinene, bisabolena, Pearyophyllena, geraniol, carene-3, eugenol, sitronellol, metil salisilat, sguaiazulan, ostholan, panikulatin, tanin, dan koumurrayin. Kulit batang
mengandung
mexotioin,
5-7-dimethoxy-8-
(2,3-dihydroxyisopentyl)
coumarin, sedangkan bunga kemuning mengandung scopeletin, dan buahnya
mengandung semi-ec-carotenone (Dalimartha, 1999).
Secara tradisional, kemuning banyak digunakan untuk radang buah
zakar (orchitis), radang saluran napas (bronkhitis), infeksi saluran kencing,
kencing nanah, keputihan, sakit gigi, haid tidak teratur, lemak tubuh
berlebihan, pelangsing tubuh, nyeri pada tukak (ulkus), kulit kasar, memar
akibat benturan, rematik, keseleo, digigit serangga dan ular berbisa, ekzema,
bisul, koreng, luka terbuka di kulit. Bagian kemuning yang biasa digunakan
sebagai obat adalah daun, ranting, akar, dan kulit batang (IPTEKb, 2005).
Gambar 5. Kemuning (Murraya paniculata [L..] Jack.)
Sumber : IPTEK (2005b)
F.
Antioksidan
Antioksidan merupakan jenis senyawa yang digunakan untuk
menangkap radikal bebas yang dapat mengakibatkan kerusakan sel dengan
9
menstabilkan radikal tersebut. Antioksidan adalah senyawa yang secara
alami terdapat dalam hampir semua bahan pangan (Andarwulan, 1995).
Menurut Buhler (2000), antioksidan adalah suatu senyawa yang dapat
melindungi sel dari kerusakan yang disebabkan oleh reactive oxygen species
(ROS) seperti singlet oxygen ataupun superoksida. Ketidakseimbangan
antara antioksidan dan ROS menyebabkan terjadinya stres oksidatif,
sehingga memicu terjadinya kerusakan sel. Antioksidan dapat menghambat
dan mencegah proses oksidasi walaupun terdapat dalam jumlah yang sedikit
dan tubuh juga memiliki sistem antioksidan alami yang dapat di produksi
sendiri.
Salah satu metode yang biasa digunakan untuk menentukan kapasitas
antioksidan
suatu
picrylhydrazil
atau
bahan
adalah
metode
DPPH
1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil).
(2,2-diphenyl-1-
DPPH
merupakan
senyawa radikal bebas yang stabil dalam larutan metanol dan berwarna ungu
tua. Mekanisme yang terjadi adalah proses reduksi senyawa DPPH oleh
antioksidan yang menghasilkan pengurangan intensitas warna dari larutan
DPPH. Pemudaran warna akan mengakibatkan penurunan nilai absorbansi
sinar tampak dari spektofotometer.
Menurut Benabadji et.al. (2004), reaksi yang terjadi adalah
α,α-diphenyl-β-picrylhydrazine,
pembentukan
melalui
kemampuan
antioksidan menyumbang hidrogen. Semakin pudarnya warna DPPH setelah
direaksikan dengan antioksidan menunjukkan kapasitas antioksidan yang
semakin besar pula.
N
N
NH
N•
NO2
NO2
NO2
+ AOH
NO2
NO2
NO2
Senyawa DPPH (biru)
DPPH tereduksi (kuning)
Gambar 6. Mekanisme reaksi antioksidan pada DPPH
10
Salah satu jenis antioksidan dalam bahan pangan adalah senyawa
fenolik. Senyawa fenolik merupakan senyawa kimia yang memiliki satu
buah cincin aromatik yang mengandung satu atau lebih gugus hidroksi.
Senyawa ini merupakan hasil metabolit sekunder dari tanaman. Senyawa
fenolik diklasifikasikan dalam tiga grup, yaitu fenol sederhana, asam
hidroksinamat, dan flavonoid. Senyawa fenol sederhana terdiri atas
monofenol, difenol, dan trifenol. Grup yang paling penting dari senyawa
fenolik adalah flavonoid, termasuk di dalamnya katekin, antosianidin,
flavon, dan glikosida (Tang,1991).
Senyawa fenolik dapat berperan sebagai senyawa antioksidan.
Senyawa ini merupakan antioksidan primer karena dapat mencegah
terjadinya autooksidasi pada lipid dan memperlambat proses oksidasi lipid
dengan menghambat kerja enzim lipoksigenase (Tang,1991). Suatu molekul
dapat berfungsi sebagai antioksidan primer jika dapat memberikan atom
hidrogen secara cepat kepada radikal lipid atau dikonversi menjadi produk
stabil. Radikal bebas yang terbentuk pada reaksi senyawa fenol dengan
radikal lemak selalu distabilkan oleh delokalisasi elektron tidak berpasangan
di sekitar cincin aromatik dari fenol. Aktivitas antioksidan dari senyawa
fenol dipengaruhi beberapa faktor, yaitu adanya agen pengkelat, pH
lingkungan sekitar, kelarutan, ketersediaan senyawa fenol dalam suatu
bahan, dan stabilitas senyawa fenol
Fungsi senyawa fenolik sebagai antioksidan ini berperan dalam
proses perlindungan membran sel limfosit dari oksidasi yang disebabkan
oleh radikal bebas. Fungsi lainnya adalah menstimulus proliferasi sel
limfosit karena dapat memicu pembentukan interleukin. Senyawa ini
memicu sel limfosit untuk berproliferasi. Akan tetapi dalam jumlah yang
terlalu banyak, seyawa fenolik dapat menyebabkan kematian sel karena
kemampuannya untuk berikatan dengan protein membran. Protein yang
berikatan akan berubah fungsi dan menyebabkan kerusakan membran
(Tang,1991).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kandungan
senyawa fenol di dalam tanaman. Sebagai contoh, senyawa fenol yang sudah
11
diketahui terdapat dalam daun rosemary adalah asam karnosik, karnosol,
rosemanol, dan asam rosmarinik, sedangkan senyawa fenol yang terdapat di
dalam kacang kedelai adalah flavonoid seperti quercetin dan rutin
(Mukhopadhyay, 2000).
G.
Uji Toksisitas
Toksisitas suatu bahan dapat diartikan sebagai sebagai kapasitas
bahan untuk memicu terjadinya reaksi berkebalikan dari mahkluk hidup.
Dalam hal ini berhubungan dengan timbulnya efek yang tidak diharapkan
oleh tubuh (Vries, 1997) . Ilmu yang mempelajari tentang toksisitas adalah
toksikologi. Toksisitas erat hubungannya dengan senyawa toksik. Senyawa
toksik dapat menyebabkan denaturasi protein dan kerusakan membran sel
sehingga menyebabkan DNA, RNA, dan komponen sel yang lain akan rusak
juga (Bitton dan Dutka, 1986).
Pengujian toksisitas suatu senyawa dilakukan secara in vitro yaitu
dengan menggunakan sel limfosit manusia. Keuntungan pengujian secara in
vitro adalah uji yang digunakan sangat sensitif dan dampak yang
ditimbulkan dapat dilihat langsung (Vries, 1997). Efek dari ketoksikan suatu
bahan dapat diamati dari seberapa banyak jumlah sel limfosit yang mati bila
dibandingkan dengan keadaan awal dan dengan mengamati tingkat
proliferasi sel limfosit. Pengujian ini tergolong dalam uji kualitatif karena
penentuan jumlah sel yang hidup didasarkan pada absorbansi kontrol standar
bukan berdasarkan perhitungan secara langsung. Jenis uji toksisitas yang
dilakukan pada penelitian ini adalah uji toksisitas akut.
H.
Sistem Imun dan Respom Imun
Sistem imun merupakan suatu sistem yang mengatur dan
melindungi tubuh dari benda-benda asing (Thomas dan Robert, 1995).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem imun antara lain genetik, umur,
kondisi metabolik, anatomi, status gizi, fisiologi manusia, dan sifat benda
asing (Bellanti, 1993).
Immunogen adalah setiap bahan yang dapat menimbulkan respon
imun, sedangkan antigen adalah setiap bahan yang bersifat imunogen dan
12
dapat mengikat komponen yang dihasilkan dari respon imun spesifik,
misalnya antibodi dan limfosit T (Baratawidjaya, 1991). Respon imun
didefinisikan sebagai respon atau reaktifitas yang terjadi jika ada kontak
antara antigen dengan molekul yang memiliki konfigurasi spesifik (Kimball,
1992).
Respon imun terdiri atas dua jenis, yaitu respon imun spesifik dan
non spesifik. Respon imun spesifik adalah respon imun yang diberi setelah
setelah sel-sel imun terlebih dulu terpapar oleh antigen. Dalam tubuh, yang
bertanggungjawab terhadap respon imun spesifik adalah sel limfosit. Respon
imun non spesifik adalah respon imun yang memberikan respon secara
langsung terhadap antigen walaupun belum pernah terpapar sebelumnya. Di
dalam tubuh yang bertanggungjawab terhadap respon non spesifik adalah
makrofag, lisosom, dan sel NK (Harlow dan David, 1988).
Respon imunspesifik limfosit terdiri atas respon humoral dan
seluler. Respon humoral dilakukan oleh sel limfosit B, dimana sel ini
menghasilkan antibodi sebagai respon imunnya, sedangkan respon imun
seluler dilakukan oleh sel limfosit T, dimana sel ini menghasilkan
limfokinesis yang dapat menolak keberadaan benda asing (Ganong, 1979).
I.
Limfosit
Limfosit merupakan satu dari beberapa jenis sel darah putih
(leukosit) dalam tubuh manusia. Terdapat sekitar 4000 – 11000 sel darah
putih per μl darah manusia.
Tabel 1. Komposisi sel darah putih manusia
Kira-kira
Sel / μl
( rata-rata ) Batas normal
Total sel darah putih
Neutrofil
Eosinofil
Basofil
Limfosit
Monosit
(Ganong, 1979)
9000
5400
275
35
2750
540
4000 – 11000
3000 – 6000
150 – 300
0 – 100
1500 – 4000
300 – 600
Persentase
jumlah total sel
darah putih
50 – 70
1–4
0.4
20 – 40
2–8
13
Sel limfosit merupakan sel dengan inti yang besar dan bulat serta
memiliki sedikit plasma. Telah dihitung bahwa pada manusia sekitar 3.5 x
1010 limfosit setiap hari masuk dalam sirkulasi darah. Menurut Guyton
(1987), persentase limfosit di dalam darah putih adalah sekitar 30 %.
Menurut Sheeler dan Bianchi (1982), sel limfosit berperan dalam sistem
perlindungan tubuh dengan mensintesis dan mensekresi antibodi atau
immunoglobulin ke dalam jaringan darah sebagai respon terhadap
keberadaan benda asing.
Terdapat tiga kelompok limfosit yang dibedakan berdasarkan
fungsinya, yaitu :
1. Limfosit B
Limfosit B merupakan sel yang berasal dari sel stem di dalam
sumsum tulang dan tumbuh menjadi sel plasma, yang menghasilkan
antibodi. Jumlah sel B limfosit adalah 25% dari total keseluruhan
limfosit tubuh. Limfosit B mampu menghasilkan berbagai jenis antibodi
yang digunakan untuk melawan antigen (Sheeler dan Bianchi, 1982). Sel
ini memiliki reseptor-reseptor pada permukaannya untuk antigen
tertentu.
2. Limfosit T
Di bawah mikroskop, morfologi Limfosit T dan B tidak dapat
dibedakan. Ada tiga bentuk sel T, yaitu sel Thelper ( Th), Tsupresor ( Ts ), dan
T
cytotoksik
(Tc) (Baratawidjaja, 1991). Sel Thelper atau sel T penolong
merupakan sel T yang berperan dalam stimulasi sintesis antibodi dan
aktivasi makrofag dengan cara mengsekresikan molekul yang disebut
sitokinin. Sel ini bekerja bersama dengan aktivitas antibodi sel B. Sel
Tsupresor berperan menekan aktivitas sel T yang lain. Sel ini mempunyai
aktivitas dapat menurunkan produksi antibodi. Sel Tcytotoksik (Tc)
memiliki kemampuan untuk menghancurkan sel alogenik dan sel sasaran
yang terinfeksi patogen intraseluler (Baratawidjaja, 1991).
14
3. Limfosit NK ( Natural Killer )
Limfosit ini memiliki ukuran yang agak lebih besar daripada
limfosit T dan B. Limfosit ini juga dikenal sebagai Large Granular
Lymphocyte (LGL) karena merupakan sel dengan sejumlah besar
sitoplasma dengan granula azurofilik (Kuby, 1992).
Uji aktivitas sel limfosit dapat dilakukan secara in vitro dan
umumya merupakan indikator respon imun. Uji ketoksikan suatu
senyawa dapat juga dilakukan dengan menggunakan limfosit. Limfosit
digunakan dalam uji ketoksikan karena sel ini sangat rentan terhadap
kerusakan yang diakibatkan oleh senyawa atau benda asing.
J.
Kultur Sel
Kultur sel merupakan teknik yang biasa digunakan untuk
mengembangbiakan sel di luar tubuh (in vitro). Kultur sel dapat digunakan
untuk mengevaluasi dampak yang ditimbulkan dari kondisi abnormal atau
dari keberadaan senyawa berbahaya pada sel (Novikoff dan Erick, 1970).
Untuk melakukan kultur sel secara in vitro dibutuhkan kondisi pertumbuhan
yang mirip dengan kondisi in vivo seperti pengaturan temperatur,
konsentrasi O2 dan CO2, pH, tekanan osmosis, dan kandungan nutrisi
(Davis, 1994). Kultur sel biasa dilakukan juga pada limfosit. Metode yang
digunakan untuk mengkultur limfosit tidak berbeda jauh dengan metode
pengkulturan sel yang lain.
Beberapa kelemahan dari teknik kultur sel, yaitu kultur sel harus
dilakukan dalam kondisi steril, butuh keahlian dan ketrampilan khusus untuk
mengkultur, dan biaya relatif mahal. Keuntungan penggunaan kultur sel
adalah lingkungan tempat hidup sel dapat dikontrol, seperti pH, tekanan
osmosis, tekanan CO2 dan O2, sehingga kondisi fisiologis dari kultur relatif
konstan (Malole, 1990).
Menurut Malole (1990), faktor yang mendukung pertumbuhan sel
dalam kultur adalah media pertumbuhan. Fungsi media kultur sel adalah
mempertahankan pH, menyediakan lingkungan yang baik dimana sel dapat
bertahan hidup, dan juga menyediakan sunbstansi-substansi yang tidak dapat
15
disintesis oleh sel itu sendiri. Nutrisi yang biasanya terkandung dalam
plasma adalah asam amino, vitamin, glukosa atau gula lain, garam, dan
protein tertentu (Novikoff dan Erick, 1970).
Pemilihan media pertumbuhan didasarkan pada kandungan zat gizi
yang disesuaikan dengan jenis sel yang ditumbuhkan (Davis, 1994). Media
yang sering digunakan untuk mengkultur sel limfosit manusia adalah RPMI1640. RPMI dikembangkan oleh Roswell Park Memorial Institute. Selain
RPMI-1640, terdapat juga RPMI-1630 dan RPMI-1629 ( Davis, 1994 ).
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam metode kultur sel adalah
konsentrasi sel yang akan dikulturkan. Menurut Bellanti (1993), limfosit
tidak dapat bertahan hidup dan tumbuh pada konsentrasi sel yang rendah
(kurang dari 1.5 x 105 sel/ml). Jumlah sel limfosit yang akan dikultur
sebaiknya sekitar 1-4 x 106 sel/ml. Saat dikulturkan, sel ditambahkan serum
sebesar 10%. Serum merupakan suplemen peningkat pertumbuhan yang
efektif untuk semua jenis sel karena kompleksitas dan banyak faktor
pertumbuhan, perlindungan sel, dan faktor nutrisi di dalamnya. Jenis serum
yang biasa digunakan dalam kultur sel adalah serum hewan. Fetal Bovine
Serum telah digunakan sebagai suplemen standar. Pada umumnya, serum
ditambahkan dengan konsentrasi 5-20 % (Walum, E.,et all, 1990).
Pada pembuatan medium untuk kultur sel, dilakukan penambahan
buffer dan antibiotik. Buffer ditambahkan dengan tujuan menjaga
keseimbangan pH agar tetap memiliki nilai 7.4. Menurut Freshney (1992),
pertumbuhan sel memerlukan pH 7.4. Bila pada proses pertumbuhan, pH
lingkungan sekitar lebih rendah dari 7, maka pertumbuhan sel akan
terhambat. Buffer yang biasa digunakan adalah NaHCO3. Penambahan
antibiotik pada medium bertujuan mencegah kontaminasi pada medium.
Faktor utama untuk memilih jenis antibiotik adalah tidak bersifat toksik,
memiliki spektrum antimikroba yang luas, ekonomis, dan kecenderungan
minimum untuk menginduksi pembentukan mikroba yang kebal.
Sel limfosit membutuhkan O2 untuk bertahan hidup. Kondisi rendah
O2 dapat mendorong proses proliferasi, tetapi pertumbuhan tidak
berlangsung lama dalam kondisi anaerob. Suhu kultur dipertahankan 370C
16
dengan konsentrasi CO2 5% dan O2 95% untuk menyamakan dengan kondisi
di dalam tubuh. Selain memberikan pengaruh langsung terhadap
pertumbuhan sel, temperatur juga mempengaruhi pH melalui peningkatan
kelarutan CO2 dan melalui perubahan ionisasi dan dari pH buffer
(Freshney,1994).
K.
Proliferasi Sel Limfosit
Proliferasi merupakan fungsi biologis, yaitu proses diferensiasi dan
pembelahan sel secara mitosis. Respon proliferasi sel limfosit yang diuji
pada sistem in vitro dapat digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit
dan status imun individu (Fletcher et al.,1994)
Proliferasi sel limfosit dapat diinduksi oleh suatu senyawa yang
disebut mitogen. Tidak seperti immunogen yang hanya mengaktivasi
reseptor spesifik pembawa limfosit, aktivitas mitogen adalah tidak spesifik.
Beberapa mitogen hanya mampu menginduksi proliferasi sel limfosit B,
sedangkan beberapa yang lain hanya mampu menginduksi sel limfosit T,
tetapi ada juga sebagian kecil yang mampu menginduksi keduannya secara
bersamaan.
Sejumlah mitogen yang umumnya digunakan adalah lektin. Lektin
memiliki afinitas terhadap gula pada permukaan sel limfosit. Beberapa
contoh mitogen yang berasal dari lektin adalah PHA (Phytohaemagglutinin )
dan PWM (Pokeweed). Akan tetapi tidak semua mitogen merupakan lektin,
ada beberapa jenis senyawa yang biasa digunakan sebagai mitogen yaitu
Concanavalin A (Con A). Senyawa ini berasal dari ekstrak tanaman kacang
jack (Conavalin ensiformis). Mitogen ini menginduksi proliferasi sel
limfosit T. Senyawa lain yang berperan sebagai mitogen adalah pokeweed
(PWM), senyawa ini diekstrak dari tanaman pokeweed (Phytolacca
americana). Mitogen pokeweed dapat menginduksi proliferasi sel limfosit T
dan B secara bersama-sama (Tizard, 1988).
Pengamatan jumlah sel yang mati dan tingkat proliferasi sel limfosit
yang telah ditambahkan mitogen dapat diamati
menggunakan pewarna
MTT (3-[4,5-Dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide) atau
terazole. Prinsip dari metode ini adalah konversi dari garam tetrazolium
17
(MTT) yang berwarna kuning menjadi senyawa formazan yang berwarna
biru oleh aktivitas enzim suksinat dehidrogenase oleh mitokondria sel hidup.
Metode MTT ini menggunakan enzim atau substrat yang spesifik (Davis,
1994). Senyawa yang terbentuk kemudian dihitung absorbansinya
menggunakan microplate reader. Enzim suksinat dehidrogenase merupakan
enzim yang disintesis hanya pada sel hidup. Jumlah formazan yang
dihasilkan proporsional dengan jumlah sel limfosit yang hidup sehingga
dengan metode pewarnaan MTT dapat diketahui jumlah sel limfosit
hidupnya.
Selain dengan metode pewarnaan MTT, metode pengujian jumlah
sel hidup dapat juga menggunakan metode pewarnaan biru tripan. Biru
tripan merupakan larutan buffer isotonik (Sharper, 1988). Pada metode ini,
sel yang hidup dapat dibedakan dengan sel mati. Sel hidup akan tidak
berwarna dan berbentuk bulat, sedangkan sel mati akan berwarna biru dan
mengkerut. Sel mati akan berwarna biru karena menyerap biru tripan.
18
III. BAHAN DAN METODE
A. BAHAN DAN ALAT
1. BAHAN
Bahan-bahan utama yang digunakan adalah daun ceremai, daun
delima putih, daun jati belanda, bunga kecombrang, dan daun kemuning.
Tanaman yang digunakan adalah tanaman muda. Bahan-bahan utama
diperoleh dari Balitro, Bogor. Bahan kimia yang dipakai untuk ekstraksi
adalah aquades, etanol 96%, dan kertas saring Whatman No.42. Bahanbahan yang digunakan untuk isolasi limfosit dan kultur sel adalah darah
dari donor yang sehat, RPMI-1640 (Sigma. USA), aquades, etanol 70%,
antibiotik gentamycin, fycoll-histopaque (Sigma, USA), biru tripan,
larutan mitogen (Con A dan LPS) pada konsentrasi 10µg/ml, PBS
(Phospat Buffer Saline), NaHCO3 anhidrous, EDTA 0.1%, aquabides, 3[4,5-Dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium
bromide
(MTT)
(Sigma, USA), dan HCL-isopropanol 0.04 N. Bahan kimia yang dipakai
untuk analisis kimia K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, NaOH-Na2S2O3, asam
borat, HCl 0.02 N, indikator metil merah dan metil biru, dan aquades.
Bahan kimia yang digunakan untuk analisis antioksidan adalah larutan
DPPH 3 mM segar, metanol, HPO3, asam askorbat, dan larutan buffer
asetat (campuran Na-asetat dan asam asetat). Bahan kimia yang digunakan
untuk analisis total fenol adalah etanol, air deion, pereaksi Folin
Cioucalteceau 50%, Na2CO3 5%, dan asam tanat. Bahan kimia lain yang
digunakan adalah KmnO4 dan larutan formaldehid.
2. ALAT
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat untuk
ekstraksi dan persiapan sampel, yaitu blender kering, peralatan gelas,
kompor, panci, kain saring, rotary vacuum evaporator, syringe, membran
steril 0.22 μm (Sartorius), dan tabung eppendorf. Alat-alat yang digunakan
untuk isolasi limfosit dan kultur sel adalah tabung vacutainer steril,
sentrifuse CR412, tabung sentrifuse steril 15 ml disposible (Nunc),
19
mikropipet, mikrotip, vorteks, hemasitometer (Bright-line), mikroskop
(Olympus CH 20), lempeng mikrokultur (96 well), laminar flow hood,
inkubator VWR Scientific (CO2 5 %, 37oC), dan Spectrophotometer
Microplate Reader (Bio-rad model 550). Alat-alat yang digunakan untuk
analisis kimia adalah oven kering, oven vakum, gegep, neraca analitik,
erlenmeyer 100 ml, cawan alumunium, labu kjedahl, pipet 5 ml, 3 ml, dan
10 ml, alat dekstruksi, alat destilasi, buret, gelas piala, sudip, dan gelas
pengaduk. Alat-alat yang digunakan untuk analisis antioksidan dan total
fenol adalah spektrofotometer, kuvet, tabung reaksi, gelas piala, botol
gelap, mikropipet, pipet 5 ml, dan vorteks.
B. METODE PENELITIAN
Secara garis besar, penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap
persiapan meliputi pembuatan ekstrak tanaman yang diujikan dan isolasi sel
limfosit, tahap analisis kimia, dan tahap pengujian toksisitas serta daya
imunomodulator ekstrak kelima tanaman terhadap proliferasi sel limfosit
manusia secara in vitro. Analisis kimia terdiri dari analisis kadar air, analisiss
kadar protein, analisis kadar total fenol, dan analisis kemampuan antioksidan
ekstrak untuk menangkal radikal bebas (kapasitas antioksidan).
Pada analisis kadar air dan kadar protein, bahan yang diujikan adalah
bahan segar kelima tanaman tersebut, sedangkan untuk analisis kadar total
fenol, analisis kapasitas antioksidan, dan pengujian toksisitas serta daya
imunomodulator, bahan yang diujikan adalah hasil ekstraksi kelima tanaman.
Skema tahapan penelitian secara umum dapat dilihat pada Lampiran 1.
1. Tahap Persiapan
a. Ekstraksi bahan segar
Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan dua pelarut, yaitu
aquades dan etanol 96 %. Bagian tanaman yang diekstrak adalah daun
(untuk kemuning, ceremai, jati belanda, dan delima putih) dan bunga
(untuk kecombrang). Perbandingan jumlah bahan yang diekstraksi
untuk kelima tanaman tersebut tidak menggunakan perbandingan yang
20
sama tetapi jumlah bahan yang digunakan didasarkan pada konsumsi
normal masyarakat.
a.1 Ekstraksi dengan pelarut aquades
Metode ekstraksi dilakukan berdasarkan modifikasi dari
penelitian yang dilakukan oleh Pandoyo (2000). Bahan yang
telah mengalami proses pembersihan kemudian langsung
diblender dengan aquades. Jumlah bahan segar yang diekstraksi
dibuat
menjadi
Perbandingan
dua
antara
kali
jumlah
konsumsi
tanaman
normal
dan
masyarakat.
pelarut
yang
diekstraksi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan bahan segar dan pelarut yang diekstrak
Tanaman
Bahan segar (g) Pelarut (ml)
Daun ceremai
40
200
Daun kemuning
40
200
Daun delima putih
20
200
Daun jati belanda
15
150
Bunga kecombrang
40
200
Setelah diblender, campuran bahan dan aquades
tersebut kemudian dipanaskan pada suhu 80oC selama 10 menit.
Setelah itu, sampel diangkat dan disaring menggunakan kain
saring. Hasil saringan kemudian disentrifus pada 2000 rpm
selama 10 menit dengan tujuan untuk memisahkan padatan yang
masih tersisa. Supernatan yang diperoleh kemudian dipanaskan
kembali pada suhu 800C sampai diperoleh volume akhir ekstrak
10 ml.
a.2 Ekstraksi dengan pelarut etanol (Marliyati et.al, 2005)
Perbandingan antara jumlah tanaman dan pelarut yang
diekstraksi dapat dilihat pada Tabel 2. Bahan yang sudah melalui
21
proses
pembersihan
kemudian
langsung
diblender
tanpa
ditambahkan etanol. Setelah semua bahan diblender, kemudian
dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan etanol.
Perbandingan antara bahan dan pelarut sama dengan ekstraksi
menggunakan aquades. Larutan yang diperoleh kemudian
dimaserasi pada suhu ruang dengan kecepatan 35 rpm. Proses
maserasi adalah proses ekstraksi dengan cara perendaman dan
pengadukan secara terus-menerus selama 24 jam pada suhu
ruang.
Setelah
satu
malam,
larutan
tersebut
disaring
menggunakan pompa vakum yang diberi kertas saring Whatman
No. 1 pada bagian atasnya. Hasil saringan yang diperoleh
kemudian dipekatkan menggunakan rotary vacuum evaporator
pada suhu 55oC sehingga diperoleh ekstrak pekat dengan volume
10 ml.
b. Isolasi Sel Limfosit (Modifikasi dari Nurrahman et al., 1999)
Darah donor sebanyak 30 ml diambil secara aseptis di klinik
Farfa, Dramaga, Bogor oleh seorang suster. Darah kemudian
dimasukkan ke dalam tabung vacuntainer steril. Darah tersebut
kemudian dipindahkan ke dalam tabung sentrifus, pemindahan darah
ini dilakukan secara aseptis di dalam laminar hood untuk menjamin
keaseptisan proses.
Pemisahan limfosit awal dilakukan dengan pemusingan
(sentrifuse) darah 111.11 x g selama 10 menit. Setelah itu, diambil
lapisan buffycoat menggunakan mikropipet dan dilewatkan secara hatihati di atas ficoll melalui dinding tabung. Dilakukan kembali sentrifuse
185.16 x g selama 30 menit. Gambar darah hasil pemisahan dapat
dilihat pada Gambar 7. Diambil lapisan bagian atas dan dicuci dengan
penambahan 5 ml larutan media RPMI. Campuran ini kemudian
disentrifus 111.11 x g selama 10 menit dan dicuci sebanyak dua kali,
sehingga didapatkan sel limfosit. Suspensi sel limfosit kemudian
dihitung menggunakan haemacytometer dengan pewarnaan biru tripan
22
dan ditepatkan menjadi 2 x 106 sel / ml. Setelah itu ditambahkan serum
darah AB sebanyak 10 %.
Suspensi sel yang diambil
Lapisan buffycoat
Sel darah merah
Gambar 7. Hasil pemisahan sel darah manusia
N = A x FP x 104 sel / ml
Keterangan :N
= jumlah sel limfosit / ml
A
=
jumlah sel hidup
haemacytometer
FP
=
faktor Pengenceran
rata-rata
per
diagonal
2. Tahap Analisis Kimia
Analisis kimia yang dilakukan adalah analisis kadar air, kadar
protein, kadar total fenol, dan kapasitas antioksidan. Pengujian kadar air
dan kadar protein dilakukan menggunakan bahan segar tanaman. Kelima
tanaman tanpa melalui proses ekstraksi, dianalisis kadar air dan kadar
protein menggunakan metode yang sudah ditentukan. Pengujian kadar
total fenol dan kapasitas antioksidan dilakukan menggunakan ekstrak
kelima tanaman.
23
2.1. Analisis kadar air metode oven (AOAC,1984)
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit
dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian
ditimbang. Kelima tanaman (daun delima putih, daun kemuning, daun
jati belanda, daun ceremai, dan bunga kecombrang) dipotong kecilkecil kemudian ditimbang kurang lebih 5 gram dalam cawan.
Selanjutnya cawan beserta isinya ditempatkan dalam oven selama 6
jam. Kemudian cawan dipindahkan ke desikator, lalu didinginkan.
Setelah dingin ditimbang kembali dan diulang proses pengeringan
dalam oven sampai diperoleh berat yang tetap.
Kadar air diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :
Kadar air (bb) : c – (a-b) x 100 %
c
Kadar air (bk) : c – (a-b) x 100 %
(a-b)
Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g)
b = barat cawan (g)
c = berat sampel awal (g)
2.2. Analisis kadar protein (AOAC,1984)
Masing-masing
tanaman
(daun
delima
putih,
daun
kemuning, daun jati belanda, daun ceremai, dan bunga kecombrang)
ditimbang 0.1-0.15 gram. Setelah itu dimasukkan masing-masing ke
dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 1.9±0.1 g K2SO4, 40±10 mg
HgO, dan 2.0±0.1 ml H2SO4. Contoh kemudian dididihkan sampai
cairan menjadi jernih (sekitar 1 jam). Larutan jernih ini kemudian
dipindahkan ke alat destilasi. Labu Kjeldahl dicuci dengan air (1-2
ml). Air cucian dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan
10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Digunakan asam standar yaitu asam
borat yang telah ditambahkan indikator campuran merah metil dan
metil biru. Destilasi dihentikan saat terjadi perubahan warna asam
24
standar dari biru violet menjadi hijau. Cairan hasil destilasi (dalam
erlenmeyer) kemudian dititrasi oleh HCl 0.02 N. Titik akhir titrasi
ketika warna titrat berubah dari hijau menjadi biru keunguan/abuabu.
Kadar protein diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :
%N = ( ml HCL sampel – ml HCL blanko ) x N HCL x 14.007 x 100
mg contoh
Kadar Protein (KP) % = Faktor Konversi x %N
2.3. Analisis Total Fenol
Analisis terhadap total fenol kelima ekstrak tanaman
dilakukan menurut metode Chandler dan Dodds yang dimodifikasi
(Shetty et.al , 1995). Sebanyak 1 ml ekstrak tanaman (daun delima
putih, daun kemuning, daun jati belanda, daun ceremai, dan bunga
kecombrang)masing-masing diencerkan dengan perbandingan 1:100.
Kemudian sebanyak 1 ml masing-masing ekstrak dimasukkan ke
dalam tabung reaksi yang telah berisi 1 ml etanol 95 % dan 5 ml air
bebas ion. Pereaksi Folin-Ciocalteceau (50%, 0,5 ml) ditambahkan
pada masing-masing sampel. Campuran tersebut kemudian divorteks
dan didiamkan selama 5 menit. Setelah 5 menit, ditambahkan 1 ml
Na2CO3 5 %, kemudian divorteks dan disimpan selama 60 menit
dalam
ruang
gelap.
Sampel
dihomogenisasi
kembali,
dan
absorbansinya diukur pada panjang gelombang 725 nm. Standar
yang digunakan adalah asam tanat. Dengan konsentrasi 0,5,10,15,20,
dan 25 ppm.
2.4. Pengujian Kemampuan Antioksidan untuk Meredam Radikal Bebas
(Kapasitas Antioksidan) (Hatano, et.al,1988)
Analisis
kapasitas
antioksidan
dilakukan
dengan
menggunakan metode DPPH. Sebanyak 2 ml buffer asetat dicampur
25
dengan 3.75 ml metanol dan 200 μl larutan DPPH. Campuran
kemudian divorteks. Setelah itu ditambahkan masing-masing 50 μl
ekstrak tanaman (daun delima putih, daun kemuning, daun jati
belanda, daun ceremai, dan bunga kecombrang) atau kontrol standar
atau kontrol positif. Larutan kemudian divorteks dan didiamkan
selama 20 menit di ruang gelap. Absorbansi larutan diukur pada
panjang gelombang 517 nm. Kontrol standar yang digunakan adalah
metanol, sedangkan kontrol positif yang digunakan adalah adalah
asam askorbat dengan konsentrasi 50 , 100 , 200 , 500 , dan 1000
ppm. Kapasitas antioksidan diperoleh dengan perhitungan sebagai
berikut :
Kapasitas antioksidan (%) : [ A kontrol (-) – A sampel ] x 100 %
A kontrol (-)
Antioksidan yang terdapat pada ekstrak tanaman selain
dinyatakan dengan persen kapasitas antioksidan, dinyatakan juga
dalam bentuk AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant
Capacity). Dibuat kurva standar asam askorbat dengan perbandingan
antara kapasitas antioksidan (%) dan konsentrasi asam askorbat
(ppm). Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity (AEAC)
ekstrak ditentukan menggunakan persamaan kurva standar asam
askorbat yang diperoleh, dan dinyatakan dalam mg / l AEAC.
3. Pengujian Toksisitas dan Daya Imunomodulator Ekstrak Kelima
Tanaman Terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia
3.1 Persiapan ekstrak kelima tanaman untuk kultur sel
Ekstrak yang digunakan untuk pengujian toksisitas dan
daya imunomodulator diencerkan pada tiga taraf konsentrasi dengan
media RPMI-1640 sebagai media pelarut, kemudian disterilisasi
dengan membran 0.22 μm. Tiga taraf konsentrasi itu adalah C1, C2,
dan C3. C1 adalah setengah konsentrasi dari konsumsi normal, C2
adalah konsentrasi pada konsumsi normal, dan C3 adalah dua kali
26
konsentrasi normal masyarakat. Konsentrasi normal ekstrak tanaman
yang diujikan dapat dilihat pada Tabel 11
3.2. Metode biru tripan (Meiriana, 2006)
Pada masing-masing sumur ditambahkan sebanyak 20 μl
ekstrak dengan tiga taraf konsentrasi dan suspensi sel sebanyak 80 μl
(suspensi sel telah ditambahkan 10% serum terlebih dahulu). Sebagai
kontrol standar, ke dalam setiap sumur dimasukkan suspensi sel
sebanyak 80 μl dan 20 μl RPMI. Untuk kontrol positif, tiap sumur
dimasukkan 80 μl suspensi sel dan 20 μl mitogen (Con A atau LPS).
Konsentrasi mitogen yang digunakan adalah 10 μg mitogen / μl
RPMI-1640. Kultur kemudian diinkubasi pada suhu 37oC (5% CO2,
95% O2) dan RH 96% selama 72 jam. Pengukuran jumlah sel mati
dihitung dengan bantuan pewarnaan biru tripan menggunakan
haemocytometer.
3.3. Metode MTT (Meiriana, 2006)
Langkah-langkah yang dilakukan sama dengan metode biru
tripan, hanya saja 4 jam sebelum masa inkubasi berakhir, kultur sel
ditambahkan 10 μl larutan MTT 0.5 %. Setelah masa inkubasi
berakhir, pada masing-masing sumur kultur sel, ditambahkan dengan
100 μl HCL-Isopropanol 0.04 N untuk melarutkan kristal formazan
yang terbentuk. Setelah itu dilakukan pengukuran absorbansi pada
panjang gelombang 570 nm menggunakan Spectrophotometer
Microplate
Reader.
Nilai
absorbansi
yang
terbaca
bersifat
proporsional terhadap jumlah sel yang hidup. Indeks Stimulasi (I.S)
dihitung menggunakan persamaan berikut :
% IS = (Absorbansi sampel/Absorbansi kontrol) x 100 %
27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Ekstraksi
Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi terhadap lima tanaman yaitu
kemuning, ceremai, delima putih, jati belanda, dan kecombrang. Untuk
kemuning, delima putih, jati belanda, dan ceremai, bagian yang diekstrak
adalah daun, sedangkan bagian yang diekstrak dari kecombrang adalah bunga.
Pemilihan bagian tanaman tersebut berdasarkan pemanfaatan bagian tanaman
secara tradisional oleh masyarakat.
Ekstraksi adalah metode pemisahan dimana komponen-komponen
terlarut dari suatu campuran dipisahkan dari komponen-komponen yang tidak
larut dengan pelarut yang sesuai (Leniger dan Beverloo, 1975). Metode paling
sederhana untuk mengekstraksi padatan adalah dengan mencampur seluruh
bahan dengan pelarut, lalu memisahkan larutan dengan padatan tidak terlarut.
Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi pada penelitian ini adalah aquades dan
etanol 96 %.
Ekstrak dengan pelarut aquades digunakan sebagai pendekatan
terhadap keadaan nyata konsumsi tanaman tersebut sehari-hari secara umum,
karena
secara
tradisional
pengkonsumsian
kelima
tanaman
tersebut
menggunakan pelarut air. Pelarut etanol digunakan karena memiliki polaritas
lebih tinggi daripada aquades sehingga akan lebih banyak melarutkan
komponen polar. Etanol mudah untuk melarutkan senyawa resin, lemak,
minyak, asam lemak, dan senyawa organik lainnya, serta merupakan pelarut
yang aman dalam arti tidak toksik (Somaatmaja, 1981), selain itu untuk
mengekstrak suatu bahan yang belum diketahui kandungan kimianya secara
jelas diharuskan menggunakan pelarut etanol atau air untuk alasan keamanan
(DepKes, 2000).
Penelitian lain yang telah dilakukan dengan menggunakan pelarut
aquades dan etanol 96% telah dilakukan oleh Nora (2003). Ekstrak tanaman
yang digunakan adalah daun kumis kucing dan bunga kenop. Perbandingan
antara jumlah tanaman dan pelarut pada saat ekstraksi berdasarkan konsumsi
normal masyarakat. Hasil ekstraksi kemudian diujikan pada sel limfosit tikus
28
untuk mengetahui tingkat toksisitas dan daya imunomodulator ekstrak. Hasil
yang diperoleh adalah semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun kumis kucing
yang dikulturkan pada kultur sel limfosit, indeks stimulasi proliferasi sel
limfosit akan semakin meningkat. Indeks proliferasi tertinggi terjadi pada
konsentrasi ekstrak daun kumis kucing 38.4 mg / ml.
Perbandingan antara bahan dan pelarut didasarkan pada konsumsi
sehari-hari
masyarakat.
Tujuan
dari
penentuan
perbandingan
bahan
berdasarkan konsumsi normal adalah mengetahui tingkat efektifitas kelima
tanaman ketika dikonsumsi dalam jumlah normal terhadap keseluruhan
pengujian yang akan dilakukan. Perbandingan konsumsi sehari-hari bahan
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Konsumsi normal masyarakat terhadap kelima tanaman
Tanaman
Konsumsi Normal
Bahan segar (g)
Pelarut (ml)
Daun ceremai
3 – 25a
200
Daun kemuning
20 – 60b
200
Daun delima putih
5 – 10c
200
Daun jati belanda
5 – 10d
150
Bunga kecombrang
20-50e
200
a
IPTEKa,2005
IPTEKb,2005
c
IPTEKc,2005
d
IPTEKd,2005
e
DepKes,2005
b
Jumlah bahan segar yang diekstraksi pada penelitian ini, dibuat
menjadi dua kali konsumsi normal masyarakat. Perbandingan antara jumlah
tanaman dan pelarut yang diekstraksi dapat dilihat pada Tabel 2. Bahan yang
diekstraksi merupakan bahan segar. Hal ini mengacu pada cara ekstraksi
tradisional masyarakat saat mengkonsumsi kelima tanaman tersebut, yaitu
bahan segar.
Bagian tanaman (daun delima putih, daun kemuning, daun jati belanda,
daun ceremai, dan bunga kecombrang) yang akan diekstrak mengalami proses
29
penghalusan menggunakan blender dengan maksud memperluas daya
pelarutan sampel, sehingga pelarutan komponen pada sampel dapat lebih
merata.
Ekstraksi menggunakan pelarut aquades berdasarkan modifikasi dari
penelitian Pandoyo (2000). Pada ekstraksi menggunakan pelarut aquades,
dilakukan pemanasan pada suhu 80oC selama 10 menit. Tujuannya adalah
mempercepat proses pelarutan dan menginaktivasi enzim tertentu yang dapat
menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi sehingga perubahan kimiawi pada
ekstrak dapat dicegah contohnya proses oksidasi yang dilakukan oleh enzim
fenolase (Giner, 2001). Penggunaan suhu yang agak tinggi dalam waktu yang
relatif singkat bertujuan mencegah kerusakan komponen aktif ekstrak dalam
jumlah besar. Setelah itu, sampel kemudian disaring menggunakan kain
saring. Filtrat yang diperoleh kemudian disentrifus pada 2000 rpm selama 10
menit dengan tujuan mengendapkan padatan yang masih tersisa. Ekstraksi
menggunakan pelarut etanol dilakukan dengan metode maserasi, yaitu proses
ekstraksi dengan cara perendaman dan pengadukan secara terus menerus
selama 24 jam pada suhu ruang. Setelah dimaserasi, ekstrak dipisahkan dari
ampas dengan menggunakan pompa vakum. Pada tahap akhir, baik untuk
ekstrak yang menggunakan pelarut aquades ataupun etanol, dilakukan
pemisahan ekstrak dari pelarut, untuk pelarut aquades dilakukan pemisahan
dengan memanaskan sampel pada suhu 80oC sampai diperoleh volume akhir
10 ml, sedangkan untuk etanol pemisahan dilakukan menggunakan rotary
evaporator pada suhu 55oC sehingga diperoleh volume akhir 10 ml.
Penentuan suhu 55oC berdasarkan metode ekstraksi yang dilakukan oleh
Marliyati et.al (2005). Menurut Oher (2002), kisaran suhu yang biasa
digunakan untuk memekatkan etanol menggunakan rotary evaporator adalah
40oC – 55oC. Pada kisaran suhu tersebut, etanol sudah mulai menguap.
Pada penelitian ini, proses ekstraksi dihentikan setelah diperoleh
volume ekstrak 10 ml. Pada volume 10 ml diharapkan residu pelarut di ekstrak
dalam jumlah kecil sehingga tidak memberikan efek yang signifikan pada
hasil
penelitian
walaupun
kemungkinan
sisa
pelarut
tersebut
juga
mempengaruhi pengujian toksisitas pada sel limfosit. Hasil ekstraksi
30
kemudian dihitung bobotnya pada volume 10 ml. Bobot hasil ekstraksi dapat
dilihat secara lengkap pada Tabel 4. Contoh perbandingan warna antara
ekstrak dengan pelarut aquades dan etanol dapat dilihat pada Gambar 8.
Tabel 4. Bobot hasil ekstraksi kelima tanaman pada volume 10 ml
Bahan
Bobot hasil ekstraksi (gr)
Etanol
Aquades
Daun ceremai
9.42
10.50
Daun kemuning
9.36
11.70
Bunga kecombrang
9.31
10.90
Daun delima putih
8.94
11.43
Daun jati belanda
8.80
8.89
a. ceremai air
b. ceremai etanol
c. kemuning air
d. kemuning etanol
Gambar 8. Perbandingan warna antara hasil ekstraksi menggunakan pelarut
aquades dan etanol
Pada penelitian ini, tidak dilakukan pengujian untuk mengetahui residu
etanol ataupun aquades yang tersisa pada ekstrak. Pemekatan sisa pelarut
dapat dilakukan menggunakan gas N2, tetapi pada penelitian ini tidak
dilakukan. Indikator terdapatnya residu etanol dalam jumlah kecil dapat
diketahui dari tidak terdeteksinya lagi aroma etanol pada ekstrak seperti pada
awal proses ekstraksi. Menurut Sandres (1995), etanol merupakan salah satu
jenis pelarut yang diizinkan untuk digunakan dalam pengujian walaupun
masih tersisa residu di dalamnya. Pelarut lain yang juga diizinkan adalah
propanol. Walaupun masih diizinkan, tetapi harus juga diperhatikan
konsentrasi ekstrak yang diujikan. Penelitian untuk mengetahui efek yang
ditimbulkan oleh residu etanol terhadap proliferasi sel limfosit B manusia
31
telah
dilakukan
Alexander,
et.all
(2003).
Penelitian
ini
dilakukan
menggunakan tanaman Cissampelos s.eichl. Hasil yang diperoleh penambahan
ekstrak tanaman pada konsentrasi 100 mg/ml ke dalam kultur sel limfosit
ternyata tidak mempengaruhi proliferasi sel limfosit. Ekstrak yang
ditambahkan ke dalam kultur masih mengandung residu etanol dalam jumlah
yang tidak diketahui.
2. Analisis Kimia
Kadar Air
Air merupakan komponen terbesar yang terdapat secara umum
pada setiap tanaman tropis. Air berperan sebagai pembawa zat-zat
makanan dan sisa-sisa metabolisme, sebagai media reaksi yang
menstabilkan pembentukan biopolimer, dan sebagainya (Winarno, 1992).
Kadar air suatu bahan pangan erat kaitannya dengan mutu bahan dan
kecepatan kerusakan bahan, baik yang sifatnya mikrobiologi ataupun
kimia.
Penentuan kadar air merupakan suatu cara untuk mengukur
banyaknya air yang terdapat di dalam bahan pangan. Ada beberapa metode
yang dapat digunakan untuk menentukan kadar air, diantaranya metode
oven vakum, oven kering, destilasi azeotropik, dan lain-lain. Pemilihan
metode tersebut disesuaikan dengan sampel yang akan diukur. Pada
penelitian ini, dilakukan penentuan kadar air menggunakan metode oven
kering. Suhu oven yang digunakan untuk mengeringkan memiliki kisaran
antara 105-110oC.
Untuk menghindari terjadinya kesalahan positif, yaitu adanya
penambahan kadar air sampel yang berasal dari cawan yang digunakan,
sebelumnya dilakukan pengeringan terhadap cawan tersebut. Sampel yang
akan diukur kadar airnya kemudian dimasukkan ke dalam oven selama
enam jam. Setelah enam jam, sampel diukur bobotnya, kemudian
dimasukkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh bobot yang tetap.
Pada penelitian ini, perhitungan kadar air kelima tanaman
menggunakan bahan segar tanaman tersebut artinya bahan yang diujikan
32
tidak mengalami proses pengeringan terlebih dahulu. Kelima tanaman
tanpa mengalami proses ekstraksi, langsung dihitung menggunakan
metode perhitungan kadar air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bunga
kecombrang memiliki kadar air tertinggi bila dibandingkan dengan
keempat sampel lain, yaitu 92.30 % (b.b), sedangkan daun delima putih
memiliki kadar air terendah yaitu 58.26 % (b.b). Hasil perhitungan kadar
air lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kadar air bahan segar dari kelima tanaman yang digunakan
Bahan
Kadar Air
(% b.b)
Daun ceremai
65.20
Daun kemuning
67.96
Bunga kecombrang
92.30
Daun jati belanda
63.02
Daun delima putih
58.26
Sebagai pembanding, telah dilakukan penelitian oleh Ayu (2004),
diperoleh hasil bahwa kadar air daun jati belanda basah sekitar 72.92 %,
sedangkan kadar air daun kemuning sekitar 69.82 %. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Anggraeni (2007), menunjukkkan bahwa kadar air bunga
kecombrang berdasarkan bobot basahnya adalah 90.23 %. Kadar air
tanaman lain diantaranya kadar air daun kumis kucing berdasarkan bobot
basah adalah 81.42 % dan kadar air bunga knop berdasarkan bobot basah
adalah 73.13 % (Nora, 2003). Kadar air daun sambiloto adalah 79.5 %,
kadar air daun saga adalah 83.39 %, dan kadar air daun pare adalah 83.25
% (Jurai, 2007).
Kadar Protein
Analisis kadar protein pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode Kjeldahl. Alasan pemilihan metode ini karena dapat
diaplikasikan untuk semua jenis bahan pangan, sederhana, tidak mahal,
33
dan cukup akurat untuk menghitung protein kasar (Winarno, 1992). Pada
metode ini, dilakukan pengukuran terhadap kadar nitrogen total dalam
sampel. Prinsip metode ini adalah mula-mula sampel didekstruksi dengan
asam sulfat pekat menggunakan katalis. Amonia yang terjadi ditampung
dan dititrasi dengan bantuan indikator (Winarno, 1992).
Penentuan kadar protein dilakukan dengan menggunakan bahan
segar dari setiap tanaman yang diujikan. Setiap tanaman tanpa mengalami
proses ekstraksi, langsung dihitung kadar proteinnya. Kadar protein kelima
tanaman yang diujikan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Kadar protein dari bahan segar kelima tanaman yang digunakan
Bahan
Kadar Protein
(%)
Daun ceremai
6.40
Daun kemuning
4.65
Bunga kecombrang
1.38
Daun jati belanda
6.05
Daun delima putih
5.88
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa bunga kecombrang
memiliki kadar protein terendah yaitu sekitar 1.38 % berdasarkan bobot
basahnya, sedangkan daun ceremai memiliki kadar protein tertinggi yaitu
6.40 % perbobot basahnya. Kadar protein beberapa daun-daunan menurut
Muchtadi dan Sugiyono (1989), yaitu daun bayam sebesar 3.5 % (b.b),
daun pepaya sebesar 8.0 % (b.b), daun singkong sebesar 6.8 % (b.b).
Sebagai pembanding, berdasarkan penelitian Ayu (2004), diketahui kadar
protein jati belanda sebesar 8.44 % (b.b) dan kadar protein kemuning
sebesar 7.38 % (b.b), sedangkan berdasarkan penelitian Daroini (2006),
diketahui bahwa kadar protein daun ceremai berdasarkan bobot keringnya
adalah 12.65 %. Kadar protein daun saga adalah 16.48 %, kadar protein
daun sambiloto adalah 20.79 %, dan kadar protein daun pare adalah 12.09
% (Jurai, 2007).
34
Kekurangan protein dan asam amino sangat mengganggu sistem
kekebalan tubuh terutama imunitas seluler, fungsi fagositosis, kadar
komplemen, antibodi yang disekresi dan afinitas antibodi (Zakaria, 1996).
Dengan mengetahui adanya pengaruh kandungan protein terhadap sistem
imun, maka dianggap perlu dilakukan analisis terhadap kadar protein pada
kelima tanaman yang diujikan. Selain itu, perhitungan protein juga
berkaitan erat dengan kandungan fenol di dalam suatu tanaman. Fenol
bebas dan produk oksidasinya diketahui berinteraksi dengan protein bahan
pangan dan menghambat aktivitas enzim-enzim seperti oksidase, tripsin,
arginase, dan lipase (Haslam, E. et.al., 1992). Interaksi ini dapat
mempengaruhi metabolisme komponen fenolik atau protein itu sendiri di
dalam tubuh atau secara invitro.
Walaupun setiap bahan yang diujikan memiliki kadar protein yang
lebih rendah dibandingkan kadar protein yang berasal dari sumber protein
contohnya kacang hijau. Kacang hijau memiliki kadar protein sekitar 20.7
% (b.b) (Muchtadi dan Sugiyono,1989). Namun apabila dikonsumsi dalam
jumlah yang sesuai, diharapkan dapat memberikan sumbangan protein
bagi tubuh.
Kadar Total Fenol
Komponen fenol dapat berfungsi sebagai antioksidan karena dapat
menghentikan reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipid (Kochlar dan
Russell,1990). Aktivitas fenol sebagai antioksidan berhubungan dengan
kemampuannya untuk menyumbangkan atom hidrogen (Singh et.al, 2002).
Pada penelitian ini, standar yang digunakan untuk penentuan total
fenol adalah asam tanat. Data kurva standar dapat dilihat pada Tabel 7.
Persamaan yang diperoleh dari kurva standar akan digunakan untuk
menentukan total fenol dari ekstrak yang diujikan.
35
Tabel 7. Data kurva standar asam tanat
Standar
[ ] ppm Absorbansi
Asam Tanat
0
0.000
5
0.095
10
0.160
15
0.240
20
0.298
25
0.386
Ekstrak yang akan dihitung kandungan fenolnya harus diencerkan
terlebih dahulu. Pada umumnya sebelum digunakan, ekstrak diencerkan
dengan perbandingan antara 1:500 sampai 1:1000 (Singh et.al, 2002).
Pada penelitian ini, faktor pengenceran yang digunakan adalah 1:100
mempertimbangkan jumlah fenol yang terdapat di dalam ekstrak.
Pengenceran diperlukan karena kandungan fenol yang tinggi sehingga
absorbansi tidak dapat terbaca di spektrofotometer. Hasil pengukuran
kadar total fenol pada ekstrak kelima tanaman dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kadar total fenol ekstrak kelima tanaman pada konsumsi normal
masyarakat
Ekstrak
[ ] Fenol ( x 102 ppm)
Tanaman
Etanol
Aquades
Daun ceremai
32.24
41.57
Daun kemuning
77.84
44.11
Bunga kecombrang
25.84
16.57
Daun jati belanda
15.51
4.44
Daun delima putih
81.37
62.31
Secara keseluruhan, ekstrak dengan pelarut etanol cenderung
memiliki kadar fenol yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut
aquades (Tabel 8). Hal ini disebabkan karena komponen fenolik mudah
larut pada pelarut organik yang bersifat polar seperti etanol (Hounghton
36
dan Raman, 1998). Terjadi penyimpangan pada ekstrak daun ceremai.
Daun ceremai yang diekstrak menggunakan etanol memiliki total fenol
lebih rendah dibanding ekstrak dengan aquades. Hal ini dapat disebabkan
karena fenol yang terdapat pada daun ceremai merupakan fenol yang
terikat dengan senyawa lain. Menurut Suradikusuma (1989), senyawa
fenol yang berikatan dengan protein ataupun gula glikosida cenderung
mudah larut pada pelarut aquades dibandingkan pelarut yang lain.
Ekstrak yang memiliki kandungan fenol tertinggi adalah ekstrak
daun delima putih dengan etanol yaitu sebesar 81.37 x 102 ppm (mg/l
ekstrak), sedangkan ekstrak dengan total fenol terendah adalah ekstrak
daun jati belanda dengan aquades yaitu 4.44 x 102 ppm (mg/l ekstrak).
Sebagai pembanding, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Anggraeni (2007), diketahui bahwa kadar total fenol bunga kecombrang
menggunakan pelarut aquades adalah 5.41 x 102 ppm. Penelitian lain
tentang kadar total fenol tanaman lain adalah total fenol pada daun cincau
hijau yang diekstrak dengan aquades adalah 5.7 x 102 ppm dan dengan
pelarut etanol 1.2 x 102 ppm (Pandoyo, 2000), sedangkan kadar total fenol
pada bunga kenop adalah 3.40 x 103 ppm (Nora, 2003).
Fungsi fisiologis senyawa fenol antara lain sebagai antikanker,
antimikroba, antioksidan, dan merangsang sistem daya tahan tubuh. Oleh
karena itu, senyawa fenol dapat menjadi senyawa yang melindungi
limfosit dari senyawa asing seperti radikal bebas (Singh et.al, 2002).
Pengujian Kemampuan Antioksidan untuk Meredam Radikal Bebas
(Kapasitas Antioksidan)
Pada penelitian ini, perhitungan kapasitas antioksidan dilakukan
dengan menggunakan metode DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil atau
1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil). Metode ini dipilih karena cukup sederhana
untuk menghitung kapasitas antioksidan dan hanya membutuhkan waktu
singkat. Prinsip kerja dari metode ini adalah proses reduksi senyawa
DPPH oleh antioksidan yang menghasilkan pengurangan intensitas warna
dari larutan DPPH. Pemudaran warna akan mengakibatkan penurunan nilai
37
absorbansi sinar tampak dari spektofotometer. Perubahan warna pada uji
ini berhubungan dengan kemapuan meredam radikal bebas.
Perhitungan
kapasitas
antioksidan
dilakukan
dengan
membandingkan sampel dan kontrol standar yang menggunakan metanol
untuk
mengetahui
persentase
kekuatan
sampel
sesuai
dengan
konsentrasinya dalam larutan. Bahan segar yang digunakan untuk ekstraksi
tidak dalam jumlah yang sama disebabkan untuk mengetahui tingkat
kekuatan masing-masing tanaman sebagai antioksidan bila dikonsumsi
secara normal perhari.
Hasil penelitian tentang kapasitas antioksidan
ekstrak dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Kapasitas antioksidan kelima ekstrak tanaman pada konsumsi
normal masyarakat
Sampel
Kemampuan memerangkap radikal bebas
(%)
Etanol
Aquades
Daun ceremai
92.02
85.88
Daun kemuning
70.45
80.00
Bunga kecombrang
92.96
92.26
Daun jati belanda
78.64
83.37
Daun delima putih
85.93
87.00
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa ekstrak kecombrang
dengan pelarut etanol memiliki konsentrasi tertinggi yaitu 92.96 %.
Komponen antioksidan pada kecombrang ternyata memiliki kekuatan yang
cukup besar untuk menangkal senyawa radikal bebas (DPPH) sehingga
mencegah terjadinya oksidasi. Tiga tanaman yaitu kemuning, jati belanda,
dan delima putih memiliki kapasitas antioksidan lebih tinggi saat diekstrak
dengan aquades dibandingkan dengan etanol. Hal ini berkebalikan dengan
kadar total fenol ekstrak yang memiliki jumlah tertinggi saat diekstrak
menggunakan etanol. Kadar total fenol dan kapasitas antioksidan ekstrak
kelima tanaman menunjukkan adanya hubungan negatif. Hal ini dapat
disebabkan karena komponen antioksidan yang terekstrak oleh pelarut
38
tidak hanya berasal dari komponen fenol saja melainkan dari komponen
lain, selain itu, adanya perbedaan jenis senyawa fenolik yang terkandung
pada masing-masing ekstrak menyebabkan adanya perbedaan juga dalam
kemampuan senyawa fenol tersebut sebagai antioksidan.
Antioksidan yang terdapat pada ekstrak tanaman selain dinyatakan
dengan persen kapasitas antioksidan, tetapi dinyatakan juga dalam bentuk
AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity). Kontrol positif
yang digunakan pada penelitian ini adalah asam askorbat dengan
konsentrasi 50 , 100 , 200 , 500 , dan 1000 mg/l. Pada penelitian dibuat
kurva standar asam askorbat mengebai hubungan antara kapasitas
antioksidan (%) dengan konsentrasi asam askorbat (mg/l). Kapasitas
antioksidan ekstrak dimasukkan dalam kurva standar asam askorbat,
sehingga akan diperoleh kekuatan antioksidan ekstrak yang dinyatakan
dalam mg / l AEAC. Standar asam askorbat dapat dilihat pada Tabel 10.
Kapasitas antioksidan ekstrak tanaman dalam mg / l AEAC dapat dilihat
pada Gambar 9.
Tabel 10. Data kurva standar asam askorbat
Standar
[ ] ppm Absorbansi
Daya
peredaman
radikal
bebas (%)
Asam
Askorbat
50
1.180
2.88
100
1.170
3.70
200
1.050
13.58
500
0.778
36.79
1000
0.233
80.82
39
1074.59
bunga
kecombrang
400
200
0
1147.96
1043.75
1087.84
1003.14
etanol
aquades
daun
ceremai
1150.86
daun delima
putih
1000
800 888.08
1088.45
600
986.75
daun jati
belanda
1159.28
daun
kemuning
mg / l AEAC
1400
1200
Ekstrak tanaman
Gambar 9. Kapasitas antioksidan ekstrak tanaman dalam mg / l AEAC
Hasil perhitungan menggunakan Ascorbic acid Equivalent Antioxidant
Capacity menunjukkan hasil bahwa ekstrak tanaman yang memiliki AEAC
tertinggi adalah ekstrak bunga kecombrang baik menggunakan pelarut
aquades ataupun etanol, sedangkan ekstrak tanaman yang memiliki AEAC
terendah adalah ekstrak daun kemuning aquades. Perhitungan dengan
Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity (AEAC) ini dimaksudkan
untuk mengetahui perbandingan kemampuan antioksidan ekstrak bila
dinyatakan dalam daya peredaman radikal bebas oleh asam askorbat.
Pemilihan asam askorbat dikarenakan asam askorbat sudah digunakan secara
umum oleh masyarakat luas sebagai antioksidan.
Aplikasi dengan adanya perhitungan ini bagi masyarakat adalah untuk
mengetahui keefektifan pengkonsumsian ekstrak tanaman yang diuji
dibandingkan dengan pengkonsumsian asam askorbat dilihat dari sudut fungsi
asam askorbat sebagai senyawa antioksidan. Pada ekstrak bunga kecombrang
etanol, diketahui bahwa daya peredaman ekstrak sebanding dengan 1159,28
mg/l asam askorbat. Angka itu menunjukkan bahwa di dalam satu liter larutan
yang dikonsumsi, terdapat sekitar 1159.28 mg asam askorbat. Dalam
penggunaan sehari-hari, pengkonsumsian sebanyak satu liter ekstrak tidak
40
dianjurkan karena akan terbuang percuma oleh sistem metabolisme tubuh.
Pengkonsumsian yang dianjurkan adalah sebanyak 100 ml ekstrak untuk
dikunsumsi setiap hari. Bila dilihat dari kemampuan daya peredaman, dengan
mengkonsumsi sebanyak 100 ml ekstrak bunga kecombrang etanol, maka
konsumsi ini setara dengan kemampuan daya peredaman radikal bebas ketika
kita mengkonsumsi 115,93 mg asam askirbat (vitamin C). Kebutuhan seharihari asam askorbat menurut FAO (2006) adalah 60 mg asam askorbat setiap
hari.
Untuk ekstrak yang lain, dengan mengkonsumsi sebanyak 100 ml
ekstrak setiap hari, maka kemampuan daya peredaman radikal bebas
sebanding dengan 88.81 mg asam askorbat untuk ekstrak daun kemuning
etanol, dan 108.84 untuk ekstrak daun kemuning aquades. Untuk ekstrak
bunga kecombrang, kemampuan peredaman tersebut sebanding dengan 115.09
mg asam askorbat. Untuk ekstrak daun jati belanda etanol, kemampuan
tersebut sebanding dengan 98.67 mg asam askorbat, sedangkan untuk ekstrak
aquades, nilainya sebanding dengan 104.38 mg asam askorbat. Untuk ekstrak
daun delima putih etanol, nilainya sebanding dengan 107.46 mg asam
askorbat, sedangkan untuk ekstrak aquades, nilainya sebanding dengan 108.78
mg asam askorbat. Untuk ekstrak daun ceremai etanol, nilainya sebanding
dengan 114.80 mg asam askorbat, sedangkan untuk ekstrak aquades, nilainya
sebanding dengan 100.31 mg asam askorbat.
3. Proliferasi Sel Limfosit Manusia
Metode pengujian secara in vitro memerlukan kondisi lingkungan
pertumbuhan yang sama dengan keadaaan dalam tubuh. Hal ini bertujuan agar
proses biologis yang terjadi di dalam kultur sel berlangsung mendekati
keadaan sebenarnya di dalam tubuh. Kondisi lingkungan tersebut diantaranya
pH, asupan nutrisi yang diberi, ataupun fase gas yang sesuai untuk
pertumbuhan sel. Mengamati proses pertumbuhan sel secara in vitro memiliki
keuntungan bila dibandingan secara in vivo. Keuntungan metode ini adalah
keadaan lingkungan pertumbuhan dapat stabil karena dapat diamati secara
langsung, selain itu karakteristik dari sel yang ingin ditumbuhkan dapat diatur
(Harrison, 1997).
41
Darah yang akan diisolasi sel limfositnya diambil secara aseptis di
klinik Farfa Dramaga oleh seorang suster. Darah ini dimasukkan dalam tabung
vacuntainer steril. Pemisahan sel limfosit dari sel-sel darah lain dilakukan
dengan menggunakan larutan ficoll (Histopaque). Larutan ini memiliki
densitas 1.077 + 0.0001 g/ml sehingga mampu menahan sel-sel agranulosit
yang berdensitas rendah seperti limfosit untuk berada tetap dibagian atas.
Volume total kultur sel pada penelitian ini adalah 100 μl untuk setiap
sumur. Jumlah sel limfosit hidup yang dikultur pada penelitian ini adalah 2 x
106 sel/ml. Jumlah limfosit yang hidup ini disesuaikan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Meiriana (2006). Dengan jumlah sel tersebut, diharapkan sel
limfosit akan mampu bertahan hidup dan melewati siklus hidupnya dalam
waktu inkubasi selama 72 jam. Pemilihan waktu inkubasi 72 jam ini
disesuaikan dengan perkiraan berkurangnya zat-zat gizi dari medium untuk
mendukung proses pertumbuhan sel. Menurut Freshney (1994), medium
pertumbuhan sel limfosit berfungsi maksimal selama tiga hari. Bila ingin
dikultur lebih lama, harus dilakukan penyegaran media dan penambahan
glutamin. Alasan lain penentuan waktu inkubasi adalah menurut Paul (1972),
kultur sel limfosit manusia harus dihitung tidak lebih dari tiga hari, karena bila
lewat dari waktu tersebut, sel yang dikultur akan mati perlahan. Volume sel
limfosit yang ditambahkan ke dalam sumur adalah 80 μl. Jumlah sel limfosit
hidup setelah ditambahkan ekstrak akan dibandingkan dengan jumlah sel
limfosit yang hidup tanpa penambahan ekstrak dengan melihat peningkatan
ataupun penurunan jumlahnya selama 72 jam.
Penentuan konsentrasi ekstrak sampel yang akan digunakan dalam
kultur sel didasarkan pada asumsi perhitungan konsentrasi ekstrak yang akan
terdapat di darah berdasarkan dua kali konsumsi normal (C3). Contoh
perhitungan konsentrasi ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 2. Setelah itu
dilakukan dua kali penegenceran dengan konsentrasi setengah konsentrasi
awal (C2) dan seperempat konsentrasi awal (C1). Untuk konsentrasi ekstrak
berdasarkan konsumsi sehari-hari dilambangkan dengan C2, satu taraf lebih
rendah dilambangkan dengan C1, dan satu taraf lebih tinggi dari konsumsi
normal dilambangkan dengan C3. Penggunaan konsentrasi bertingkat ini
42
bertujuan mengetahui signifikansi peningkatan dosis dengan efek terhadap
respon toksisitas ataupun respon proliferasi sel yang dihasilkan. Konsentrasi
ekstrak sehari-hari dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Konsentrasi ekstrak tanaman dari konsumsi normal perhari
Tanaman
C2
(mg ekstrak/ml RPMI)
Etanol
Aquades
Daun kemuning
3.899
4.875
Bunga kecombrang
3.876
4.542
Daun jati belanda
3.666
3.704
Daun delima putih
3.725
4.763
Daun ceremai
3.923
4.375
Pengujian aktivitas proliferasi dilakukan dengan perhitungan sel
menggunakan metode biru tripan dan pengukuran secara spektrofotometer
menggunakan metode MTT. Metode biru tripan digunakan untuk menghitung
jumlah sel limfosit yang mati, sedangkan metode MTT digunakan untuk
menghitung jumlah sel limfosit yang hidup. Metode MTT selain dapat
digunakan untuk menghitung proliferasi sel limfosit manusia, biasa juga
digunakan untuk menghitung proliferasi sel kanker. Menurut Liu, et.al (2002),
pengamatan terhadap penghambtan proliferasi sel kanker hati manusia oleh
ekstrak aquades tanaman raspberries dilakukan dengan menggunakan metode
MTT. Hasil yang diperoleh adalah ekstrak raspberries dapat menghambat
proliferasi sel kanker hati manusia HepG2 pada konsentrasi ekstrak 50 mg /
ml. Hasil ini ditunjukkan dengan nilai Indeks Stimulasi yang lebih rendah
dibandingkan dengan kontrol standar.
Kesalahan perhitungan absorbansi dapat terjadi pada metode MTT
(Sigma,2006). Kesalahan ini disebabkan adanya kontaminasi dari bakteri
ataupun kamir. Mitokondria sel bakteri juga menghasilkan enzim suksinat
dehidrogenase yang dapat bereaksi dengan garam tetrazolium dari MTT
sehingga menghasilkan kristal formazan berwarna biru. Kesalahan yang
43
terjadi adalah kesalahan positif karena jumlah kristal formazan yang terbentuk
tidak hanya berasal dari sel limfosit yang hidup saja melainkan dari sel bakteri
juga. Untuk mengantisipasi kontaminasi yang terjadi, penelitian dilakukan
dalam kondisi yang aseptis. Pada metode trifan blue juga dapat terjadi
kesalahan akibat kelelahan mata saat menghitung, oleh karena itu perhitungan
sel sebaiknya dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.
4. Pengujian Toksisitas dan Daya Imunomodulator Ekstrak Terhadap
Proliferasi Sel Limfosit Manusia
Proliferasi adalah proses perbanyakan sel melalui pembelahan sel
atau mitosis sebagai respon terhadap antigen ataupun mitogen. Respon
proliferasi sel limfosit yang diuji pada sistem in vitro dapat digunakan untuk
menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu (Fletcher et
al.,1994). Aktivitas sel limfosit T dan B yang berproliferasi dapat diukur
melalui indeks stimulasi.
Pada penelitian ini digunakan senyawa mitogen untuk memicu
terjadinya proliferasi non spesifik dari sel limfosit. Mitogen dapat memicu
proliferasi karena dapat mengaktivasi hormon tirosin kinase yang merupakan
faktor pertumbuhan. Hormon ini akan mengirimkan sinyal-sinyal yang
berpengaruh terhadap faktor transkripsi dan aktivasi gen sehingga terjadi
proliferasi sel (Decker, 2001). Mitogen yang digunakan pada penelitian ini
adalah Concanavalin A (Con A) dan Lipopolisakarida (LPS).
Con A adalah protein yang berasal dari bibit jack bean (Canavalia
ensiformis) yang berikatan dengan gula yang mengandung α-D-mannose atau
α-D-glucose (Kuby,1992), sedangkan LPS berasal dari komponen dinding sel
bakteri gram standar seperti Salmonella typhii ataupun E.coli. Alasan
digunakan kedua mitogen ini karena keduanya memiliki fungsi yang berbeda
terhadap proliferasi sel limfosit, yaitu Con A dapat memicu proliferasi sel T,
sedangkan LPS dapat memicu proliferasi sel B, sehingga dapat dijadikan
perbandingan pada hasil yang diperoleh. Konsentrasi mitogen yang
ditambahkan pada sel adalah 10 μg/ml. Konsentrasi ini mengacu pada
penelitian yang dilakukan oleh Pandoyo (2000). Pada penelitian yang
44
dilakukan oleh Pandoyo (2000), hasil yang diperoleh adalah kultur sel yang
dikultur dengan mitogen, memiliki indeks stimulasi sel yang tidak berbeda
nyata dengan kontrol standar. Hal ini mungkin disebabkan mitogen belum
dapat menginduksi proliferasi sel limfosit secara optimal pada waktu inkubasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Pandoyo, dilakukan dengan waktu inkubasi 36
jam. Pada penelitian ini, waktu inkubasi dijadikan menjadi 72 jam, diharapkan
mitogen yang digunakan dapat menginduksi proliferasi sel limfosit sehingga
kenaikan indeks stimulasi sesuai yang diinginkan.
Hasil dari proliferasi sel limfosit yang dikultur dengan mitogen, baik
Con A ataupun LPS menunjukkan indeks stimulasi yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kontrol standar. Hal ini menunjukkan mitogen yang
digunakan berfungsi dengan baik sehingga dapat memicu terjadinya
proliferasi sel limfosit. Hanya saja sel yang dikultur dengan mitogen LPS
memiliki indeks stimulasi yang lebih tinggi dibandingkan sel yang dikultur
dengan Con A. Mitogen LPS lebih aktif dalam memicu proliferasi sel limfosit
B bila dibandingkan dengan mitogen Con A pada konsentrasi yang sama.
Indeks stimulasi dari sel yang dikultur dengan mitogen Con A adalah 1.27,
sedangkan indeks stimulasi sel yang dikultur dengan mitogen LPS adalah
1.54. Gambar 10 dan Gambar 11 (perbesaran 1000x) menunjukkan sel limfosit
yang telah dikultur selama tiga hari.
Gambar 10. Kultur sel yang dikultur dengan media standar
(1000x)
45
(a)
(b)
Gambar 11. Kultur sel yang dikultur dengan mitogen : a) Mitogen Con A ;
b) Mitogen LPS (1000x)
Pengujian terhadap proliferasi sel limfosit dilakukan dengan dua
metode, yaitu metode MTT dan metode biru tripan. Metode MTT digunakan
untuk mengetahui indeks stimulasi dari sel limfosit yang hidup, sedangkan
metode biru tripan digunakan untuk menghitung jumlah sel yang mati.
Perhitungan Kematian Sel Menggunakan Metode Biru Tripan
a. Pengaruh ekstrak daun ceremai terhadap kematian sel
Hasil penelitian jumlah sel limfosit yang mati dengan
pemberian ekstrak aquades menunjukkan bahwa kematian limfosit
tertinggi terjadi pada konsentrasi C1 (2.188 mg/ml) yaitu 8.4 x 105 sel
mati / ml. Terjadi penurunan jumlah sel yang mati pada konsentrasi C2
(4.375 mg/ml) yaitu 2.8 x 105 sel mati / ml, kemudian terjadi
peningkatan kematian sel lagi pada C3 (8.750 mg/ml) yaitu 7.4 x 105
sel mati / ml. Hasil ini sebanding dengan indeks stimulasi ekstrak,
yaitu indeks stimulasi tertinggi terjadi pada konsentrasi C2 (4.375
mg/ml).
Pada ekstrak etanol, kematian limfosit tertinggi terjadi pada
konsentrasi ekstrak C1 (1.962 mg/ml) yaitu 6 x 105 sel mati / ml,
sedangkan terendah terjadi pada C2 (3.923 mg/ml) yaitu 3.4 sel mati /
ml. Secara keseluruhan, kematian sel yang dipicu oleh ekstrak lebih
rendah dibandingkan kematian sel pada kontrol. Hal ini menunjukkan
46
bahwa sel masih sempat berproliferasi dan sedikit yang mengalami
kematian. Secara keseluruhan, ekstrak aquades menyebabkan kematian
sel limfosit lebih besar dibanding ekstrak etanol. Besarnya tingkat
kematian sl pada ekstrak aquades dapat disebabkan karena pada
ekstrak aquades, komponen yang terekstrak lebih bersifat toksik
dibandingkan pada ekstrak etanol sehingga memicu terjadinya lisis
pada sel dan menyebabkan kematian sel. Perbandingan jumlah sel
limfosit yang mati pada ekstrak daun ceremai etanol dan aquades dapat
dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Jumlah sel limfosit mati pada kultur yang diberi ekstrak
daun ceremai
b. Pengaruh ekstrak daun delima putih terhadap kematian sel
Pada ekstrak aquades daun delima putih, kematian sel limfosit
tertinggi terjadi pada konsentrasi C3 (9.526 mg/ml), yaitu 12 x 105 sel
mati / ml. Indeks stimulasi pada konsentrasi ini juga merupakan indeks
stimulasi terendah dibandingkan konsentrasi lain. Kematian sel yang
terjadi pada konsentrasi ini lebih banyak bila dibandingkan kontrol
standar. Kematian sel yang tinggi ini dapat disebabkan oleh komponen
polar yang terekstrak. Komponen tersebut tidak hanya komponen
47
fenolik yang mampu memicu proliferasi sel, tetapi juga kemungkinan
adanya komponen lain yang bersifat toksik bagi sel limfosit. Kematian
sel terendah terjadi pada konsentasi C2 (2.382 mg/ml), dimana
konsentrasi ini merupakan dosis konsumsi normal perhari.
Hasil penelitian pada ekstrak etanol menunjukkan bahwa
kematian sel tertinggi terjadi pada konsentrasi C2 (3.725 mg/ml), yaitu
5.8 x 105 sel mati / ml. Kematian sel terendah terjadi pada konsentrasi
C1 (1.863 mg/ml), yaitu 4.2 x 105 sel mati / ml. Walaupun begitu,
untuk ketiga konsentrasi yang digunakan, jumlah sel limfosit yang
mati
jauh
lebih kecil dibandingkan kontrol standar. Secara
keseluruhan, ekstrak etanol menyebabkan kematian sel limfosit lebih
rendah bila dibandingkan ekstrak aquades, kecuali pada konsentrasi C2
(3.735 mg/ml).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pandoyo
(2000), diketahui bahwa pada konsentrasi C2 (dosis normal) ekstrak
aquades batang cincau hijau memiliki tingkat kematian sel lebih tinggi
bila dibandingkan konsentrasi lain yang diujikan. Penurunan tingkat
kematian sel terjadi pada konsentrasi C1 dan C2. Jumlah sel limfosit
uang mati pada ekstrak daun delima putih dapat dilihat pada Gambar
13.
Gambar 13. Jumlah sel limfosit mati pada kultur sel yang ditambahkan
ekstrak daun delima putih
48
c. Pengaruh ekstrak daun jati belanda terhadap kematian sel
Pada ekstrak aquades daun jati belanda, jumlah limfosit yang
mengalami kematian tertinggi pada konsentrasi C1 (2.438 mg/ml).
Indeks stimulasi pada konsentrasi ini merupakan indeks stimulasi
terendah dibandingkan konsentrasi yang lain. Kematian sel limfosit
menurun secara berturut-turut pada konsentrasi C1 (1.852 mg/ml) , C2
(3.704 mg/ml), dan C3 (6.148 mg/ml). Jumlah sel limfosit yang mati
pada ekstrak aquades memiliki jumlah yang lebih kecil bila
dibandingkan dengan kontrol standar.
Pada ekstrak etanol, diketahui jumlah sel limfosit yang
mengalami kematian tertinggi pada konsentrasi C3 (7.332 mg/ml),
sedangkan kematian terendah terjadi pada konsentrasi C2 (3.666
mg/ml). Bila dibandingkan dengan kontrol standar, jumlah sel limfosit
yang mati lebih kecil, kecuali pada ekstrak etanol dengan konsentrasi
C3 (7.332 mg/ml). Tingginya tingkat kematian pada konsentrasi C3
(7.332 mg/ml) sebanding dengan rendahnya indeks stimulasi ekstrak
menggunakan metode MTT. Hal ini dapat disebabkan karena pada
konsentrasi C3 (7.332 mg/ml), banyak komponen yang terekstrak oleh
etanol memiliki sifat sebagai prooksidan bagi sel limfosit. Menurut
Mukhopadhyay (2000), suatu senyawa dapat berfungsi sebagai
antioksidan pada konsentrasi tertentu, sedangkan pada konsentrasi lain
dapat berfungsi sebagai prooksidan. Pada kasus ini, komponen yang
terekstrak tidak dapat melindungi sel limfosit yang ada. Pada
umumnya semakin tinggi konsentrasi suatu senyawa semakin tinggi
juga kemampuannya sebagai prooksidan. Jumlah kematian sel limfosit
pada ekstrak daun jati belanda dapat dilihat pada Gambar 14.
49
Gambar 14. Jumlah sel limfosit mati pada ekstrak daun jati belanda yang
diberi ke dalam kultur sel
d. Pengaruh ekstrak bunga kecombrang terhadap kematian sel
Secara keseluruhan, hasil penelitian terhadap ekstrak bunga
kecombrang menunjukkan nilai kematian sel yang rendah. Pada
ekstrak aquades, diperoleh hasil bahwa tingkat kematian sel limfosit
tertinggi terjadi pada konsentrasi C1 (2.271 mg/ml) sebanyak 4.6 x 105
sel mati / ml Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan, semakin
rendah sel yang mati. Tingkat kematian sel terendah terjadi pada
konsentrasi C3 (9.084 mg/ml) yaitu 1.2l. Bila dibandingkan dengan
kontrol standar, sel yang mati pada ekstrak jauh lebih rendah.
Pada ekstrak etanol, jumlah kematian sel juga sangat rendah
bila dibandingkan kontrol standar. Kematian sel tertinggi terjadi pada
konsentrasi C2 (3.876 mg/ml), sedangkan kematian terendah terjadi
pada konsentrasi C3 (7.752 mg/ml). Secara keseluruhan, ekstrak etanol
kecombrang
menyebabkan
kematian
sel
limfosit
lebih
kecil
dibandingkan ekstrak aquades. Jumlah kematian sel limfosit secara
lengkap bisa dilihat pada Gambar 15. Jumlah kematian sel yang
dikultur dengan ekstrak bunga kecombrang memiliki nilai yang paling
rendah dibandingkan ekstrak keempat tanaman lain. Hal ini
berhubungan dengan kapasitas antioksidan dari ekstrak kecombrang
yang paling tinggi dibandingkan ekstrak lain. Komponen yang
50
terekstrak dapat berfungsi sebagai antioksidan dengan baik sehingga
melindungi sel dari kematian. Ekstrak tanaman ini tidak memicu
terjadinya kematian sel dalam jumlah besar walaupun diberikan dalam
dosis tinggi.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pandoyo
(2000) tentang efek pemberian ekstrak aquades daun cincau hijau
terhadap proliferasi sel limfosit diperoleh hasil bahwa ekstrak aquades
daun cincau tidak memperlihatkan tingkat kematian sel yang tinggi
pada konsentrasi rendah. Akan tetapi pada konsentrasi yang semakin
tinggi, terjadi peningkatan jumlah sel yang mati walaupun secara sifat
tidak signifikan. Hal ini diperlihatkan dengan adanya penurunan
jumlah sel limfosit hidup.
Gambar 15. Jumlah sel limfosit mati pada kultur yang ditambahkan
ekstrak bunga kecombrang
e. Pengaruh ekstrak daun kemuning terhadap kematian sel
Hasil penelitian kematian sel limfosit dengan pemberian
ekstrak aquades daun kemuning menunjukkan hasil bahwa kematian
tertinggi terjadi pada konsentrasi C1 (2.438 mg/ml) yaitu 4 x 105 sel
mati / ml. Terjadi penurunan kematian sel pada konsentrasi
51
selanjutnya. Bila dibandingkan dengan kontrol standar, diketahui
bahwa kematian sel pada ekstrak lebih rendah. Penurunan jumlah sel
yang mati ini sebanding dengan peningkatan indeks stimulasi.
Semakin tinggi konsentrasi, jumlah sel yang mati akan berkurang dan
tingkat proliferasi akan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa
ekstrak aquades daun ceremai tidak bersifat toksik sehingga tidak
menyebabkan kematian sel.
Pada ekstrak etanol, jumlah sel limfosit yang mati berfluktuasi
pada masing-masing konsentrasi. Kematian tertinggi terjadi pada
konsentrasi C3 (7,798 mg/ml) yaitu 7 x 105 sel mati / ml, sedangkan
kematian terendah terjadi pada C2 (3.899 mg/ml) yaitu 3 x 105 sel mati
/ ml. Pada konsumsi normal ekstrak (C2), walaupun terjadi kematian
sel, namun bila dibandingkan dengan kontrol standar, nilainya jauh
lebih kecil. Begitu pula pada konsentrasi C3 (7,798 mg/ml) walaupun
memiliki tingkat kematian sel yang tertinggi, tetapi nilai tersebut lebih
kecil dibandingkan kontrol standar. Tingkat kematian sel dapat dilihat
pada Gambar 16.
Gambar 16. Jumlah sel limfosit mati pada kultur yang ditambahkan
ekstrak daun kemuning
Penelitian yang telah dilakukan oleh Meiriana (2006), diketahui
bahwa pada ekstrak buah merah menggunakan pelarut aquades,
52
kematian sel limfosit tertinggi terjadi pada konsentrasi C2 (8.333
μg/ml). Pada konsentrasi yang lebih tinggi, sel limfosit yang mati
mengalami penurunan.
f. Kesetaraan seluruh ekstrak yang diujikan terhadap kematian sel
Kelima tanaman yang diujikan menggunakan perbandingan
yang berbeda antara jumlah bahan segar yang diekstraksi dengan
jumlah pelarut. Tiga tanaman, yaitu kemuning, kecombrang, dan
ceremai menggunakan jumlah perbandingan yang sama antara pelarut
dan bahan segar, sedangkan untuk delima putih dan jati belanda,
perbandingan yang digunakan berbeda. Jumlah perbandingan antara
bahan segar dan pelarut untuk kemuning, ceremai, dan kecombrang
adalah 1 : 10, sedangkan untuk jati belanda dan delima putih adalah 1 :
5. Berdasarkan perbandingan tersebut, dapat diketahui bahwa hasil
ekstraksi ceremai, kemuning, dan kecombrang lebih pekat bila
dibandingkan dengan hasil ekstraksi delima putih dan jati belanda.
Sehingga konsentrasi konsumsi normal pada tanaman delima putih dan
jati belanda merupakan setengah kali konsentrasi konsumsi normal
pada kemuning, ceremai, dan kecombrang. Kesetaran pengaruh
seluruh ekstrak tanaman dapat diamati dengan membandingkan
keseluruhan pengaruh ekstrak pada satu konsentrasi yang setara. Pada
penelitian ini, kesetaraan diamati pada konsentrasi konsumsi normal
(C2) untuk delima putih dan jati belanda, sedangkan untuk kemuning,
ceremai, dan kecombrang menggunakan setengah dari konsentrasi
konsumsi normal (C1). Gambar kesetaraan seluruh ekstrak terhadap
kematian sel dapat dilihat pada Gambar 17.
53
Gambar 17. Kesetaraan pengaruh seluruh ekstrak terhadap kematian
sel
Berdasarkan Gambar 17. diketahui bahwa pada konsentrasi
yang setara, ekstrak daun ceremai aquades menyebabkan kematian sel
lebih tinggi bila dibandingkan ekstrak lain, yaitu sebesar 8.4 x 105 sel
mati / ml, sedangkan kematian sel terendah dimiliki oleh ekstrak etanol
daun jati belanda yaitu 2 x 105 sel / ml. Pada konsentrasi ini, ekstrak
aquades
menyebabkan
kematian
sel
yang
lebih
tinggi
bila
dibandingkan dengan ekstrak etanol.
Metode MTT
Prinsip metode ini didasarkan pada penyerapan warna biru dari
kristal formazan blue yang dihasilkan dari reaksi antara enzim suksinat
dehidrogenase dengan garam tetrazolium (MTT). Sebelum perhitungan,
dilakukan penambahan HCL-isopropanol pada kultur sel. Tujuan
penambahan ini untuk melarutkan kristal biru formazan yang terbentuk
dan untuk melisiskan sel limfosit.
54
a. Pengaruh ekstrak daun ceremai terhadap proliferasi sel limfosit
Hasil penelitian terhadap proliferasi sel limfosit manusia
setelah diberi ekstrak aquades daun ceremai adalah terjadi fluktuasi
pada indeks stimulasi yang diperoleh. Ekstrak yang memiliki
absorbansi tertinggi terjadi pada konsentrasi C2 (4.375 mg/ml).
Peningkatan indeks stimulasi terjadi sampai konsentrasi C2 (4.375
mg/ml) kemudian terjadi penurunan pada konsentrasi C3 (8.750
mg/ml). Fluktuasi indeks stimulasi proliferasi sel limfosit juga terjadi
pada
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Nora
(2003)
dengan
menggunakan ekstrak bunga kenop. Indeks Stimulasi tertinggi terjadi
pada konsentrasi ekstrak 0.8 mg / ml. Terjadinya peningkatan dan
penurunan indeks stimulasi sel pada konsentrasi yang diujikan dapat
terjadi karena pada konsentrasi tertentu, kandungan senyawa yang
terdapat dalam ekstrak berada dalam jumlah yang optimum untuk
memicu aktifitas proliferasi sel.
Dibandingkan dengan hasil absorbansi ekstrak aquades, ekstrak
yang menggunakan pelarut etanol secara keseluruhan memiliki indeks
stimulasi lebih rendah walaupun masih berada di atas kontrol standar.
Indeks stimulasi tertinggi terjadi pada konsentrasi C3 (7.846 mg/ml),
sedangkan terendah terjadi pada C1 (1.962 mg/ml). Pada ekstrak
etanol,
terjadi
peningkatan
indeks
stimulasi
proliferasi
pada
seiring
dengan
peningkatan konsentrasi.
Tingginya
tingkat
ekstrak
aquades
kemungkinan besar disebabkan oleh tingginya kandungan fenol pada
ekstrak ini bila dibandingkan ekstrak etanol. Senyawa fenolik dapat
berfungsi sebagai senyawa yang meningkatkan sistem imun tubuh.
Indeks stimulasi ekstrak daun ceremai dapat dilihat pada Gambar 18.
55
Gambar 18. Indeks stimulasi sel limfosit pada kultur yang diberi
ekstrak daun ceremai
b. Pengaruh ekstrak daun delima putih terhadap proliferasi sel limfosit
Hasil penelitian terhadap proliferasi sel limfosit yang diberi
ekstrak daun delima putih aquades menunjukkan terjadinya penurunan
indeks stimulasi. Indeks stimulasi tertinggi terjadi pada konsentasi C1
(2.382 mg/ml). Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun delima putih
aquades yang diberi menyebabkan terjadinya penurunan indeks
stimulasi kultur sel. Walaupun terjadi penurunan indeks stimulasi
proliferasi sel pada dua kali konsentrasi normal, tetapi nilai yang
diperoleh masih lebih tinggi dibandingkan kontrol standar sehingga
dapat dianggap ekstrak yang diberi masih mampu menstimulir
proliferasi. Indeks stimulasi ekstrak yang lebih tinggi dibanding
kontrol menunjukkan bahwa ekstrak aquades daun delima putih
bersifat immunostimulan dan tidak bersifat toksik. Akan tetapi perlu
dilakukan pengujian terhadap konsentrasi dengan tingkatan lebih
tinggi memningat terjadinya penurunan indeks stimulasi seiring
dengan peningkatan konsentrasi.
56
Pada
ekstrak
etanol,
indeks
stimulasi
yang
diperoleh
menunjukkan kenaikan sebanding dengan peningkatan konsentrasi.
Indeks stimulasi tertinggi terjadi pada konsentrasi C3 (7.450 mg/ml),
sedangkan terendah terjadi pada C1 (1.863 mg/ml). Secara
keseluruhan, indeks stimulasi ekstrak etanol daun delima putih lebih
tinggi dibandingkan ekstrak aquades. Hal ini kemungkinan disebabkan
kandungan senyawa fenol di ekstrak etanol lebih banyak bila
dibandingkan senyawa fenol pada ekstrak aquades. Aktivitas senyawa
ini tidak hanya sebagai antioksidan untuk melindungi sel limfosit dari
radikal bebas tetapi juga dapat memicu faktor proliferasi untuk
meningkatkan proliferasi sel limfosit (Dayong,1998). Indeks stimulasi
proliferasi sel limfosit yang dikultur dengan ekstrak daun delima putih
dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar
19. Indeks stimulasi sel limfosit pada kultur yang diberi
ekstrak daun delima putih
c. Pengaruh ekstrak jati belanda terhadap proliferasi sel limfosit
Pada
kultur
sel
yang
ditambahkan
ekstrak
aquades,
menunjukkan bahwa nilai indeks stimulasi tertinggi pada konsentrasi
C1 (1.852 mg/ml) yaitu sebesar 1.48. Semakin tinggi konsentrasi yang
ditambahkan, diperoleh hasil bahwa terjadi penurunan indeks stimulasi
57
sel limfosit. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa ekstrak
aquades jati belanda bersifat sebagai immunosuppresif
bagi sel
limfosit. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan indeks stimulasi
dengan adanya peningkatan konsentrasi ekstrak. Hal lain yang dapat
disimpulkan, dengan peningkatan konsentrasi ekstrak, ternyata
komponen toksik yang terekstrak dalam jumlah banyak sehingga
memicu kematian sel limfosit.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Pandoyo (2000),
diketahui bahwa ekstrak aquades daun cincau hijau memiliki indeks
stimulasi tertinggi pada konsentrasi C5, sedangkan secara keseluruhan,
kultur sel yang diberi ekstrak aquades daun cincau hijau memiliki
indeks stimulasi di bawah kontrol standar pada semua taraf
konsentrasi.
Indeks Stimulasi ekstrak etanol memiliki nilai tertinggi pada
konsentrasi C2 (3.666 mg/ml), namun mengalami penurunan pada
konsentrasi C3 (7.332 mg/ml). Indeks Stimulasi kultur sel pada
konsentrasi C3 (7.332 mg/ml) memiliki nilai yang jauh lebih rendah
bila dibandingkan dengan kontrol standar. Penurunan tingkat
proliferasi ini disebabkan adanya komponen yang bersifat toksik
terekstrak oleh etanol sehingga menyebabkan kematian sel. Jumlah sel
limfosit yang berproliferasi tidak sebanding dengan sel limfosit yang
mati.
Indeks Stimulasi ekstrak aquades secara keseluruhan lebih
besar bila dibandingkan dengan ekstrak etanol. Perbedaan yang tampak
dari kedua ekstrak ini adalah pada ekstrak aquades, lendir yang
terdapat pada daun jati ikut terekstrak, sedangkan pada ekstrak etanol,
tidak terdapat lendir. Penyebab perbedaan indeks stimulasi ini
kemungkinan disebabkan oleh aktivitas lendir yang terdapat pada
ekstrak aquades. Ekstrak daun jati belanda merupakn ekstrak yang
memberikan indeks stimulasi paling rendah dibanding ekstrak keempat
tanaman lain. Hal ini sebanding dengan kadar total fenol daun jati
58
belanda yang paling rendah bila debandingkan dengan keempat
tanaman lain.
Gambar
20. Indeks stimulasi sel limfosit pada kultur yang diberi
ekstrak daun jati belanda
d. Pengaruh ekstrak bunga kecombrang terhadap proliferasi sel limfosit
Hasil penelitian kultur sel dengan penambahan ekstrak aquades
menunjukkan hasil bahwa indeks stimulasi tertinggi terjadi pada
konsentrasi C3 (9.750 mg/ml) yaitu 6.88, sedangkan indeks stimulasi
terendah terjadi pada konsentrasi C2 (4.875 mg/ml). Secara umum,
ekstrak aquades tidak bersifat toksik terhadap sel limfosit dan
cenderung memiliki sifat imunostimulan.
Hasil penelitian menggunakan ekstrak etanol diketahui bahwa
semakin tinggi konsentrasi yang diberi akan memberikan respon
stimulasi yang semakin tinggi juga. Indeks stimulasi tertinggi terjadi
pada C3 (7.752 mg/ml), yaitu 2.16, sedangkan yang terendah adalah
konsentrasi C1 (1.938 mg/ml). Secara keseluruhan, ekstrak aquades
memiliki indeks stimulasi lebih besar dibandingkan ekstrak etanol.
59
Tingginya stimulasi ekstrak aquades bunga kecombrang pada
sel limfosit manusia dapat disebabkan karena pada ekstrak terkandung
komponen bioaktif yang dapat memicu bekerjanya faktor proliferasi
seperti Interleukin. Penelitian yang telah dilakukan oleh Dash, et.al
(2006) menunjukkan hasil bahwa ekstrak akar dari tanaman Heradeum
nepalente pada konsentrasi 1000 µg/ml dapat meningkatkan respon
proliferasi sel limfosit manusia. Hal ini erat hubungannya dengan
kemampuan
komponen
bioaktif
pada
ekstrak
yang
mampu
menginduksi Interleukin untuk memicu proliferasi sel.
Gambar 21. Indeks stimulasi sel limfosit pada kultur sel yang diberi
ekstrak bunga kecombrang
e. Pengaruh ekstrak daun kemuning terhadap proliferasi sel limfosit
Ekstrak aquades berpengaruh positif terhadap peningkatan
jumlah sel pada semua taraf konsentrasi. Indeks stimulasi kultur sel
yang diberikan ekstrak aquades daun kemuning memiliki nilai yang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol standar. Indeks stimulasi
tertinggi dimiliki oleh ekstrak dengan konsentrasi C2 (4.875 mg/ml)
yaitu 3.93, dan terendah terjadi pada konsentrasi C1 (2.438 mg/ml).
60
Pada ekstrak etanol, indeks stimulasi tertinggi terjadi pada
konsentrasi C2 (3.899 mg/ml), dan terjadi penurunan pada C3 (7.798
mg/ml). Secara keseluruhan, ekstrak daun kemuning menggunakan
aquades memiliki indeks stimulasi lebih tinggi bila dibandingkan
ekstrak etanol. Hal ini kemungkinan besar disebabkan kandungan
bioaktif yang ada di ekstrak aquades lebih efektif untuk memicu
proliferasi sel limfosit dibandingkan komponen bioaktif yang
terekstrak di etanol.
Indeks stimulasi yang tinggi ini menunjukkan bahwa ekstrak
daun kemuning baik yang diekstrak menggunakan etanol ataupun
aquades bersifat sebagai imunostimulan dan tidak bersifat toksik.
Indeks stimulasi ekstrak daun kemuning dapat dilihat pada Gambar 22.
Bila dilihat dari kadar total fenol yang terdapat di dalam kedua jenis
ekstrak, diketahui bahwa ekstrak etanol daun kemuning memiliki total
fenol lebih tinggi daripada ekstrak aquades. Kandungan fenol yang
terdapat pada ekstrak ini kemungkinan besar mempengaruhi tingkat
proliferasi sel limfosit. Berdasarkan studi in vito, flavonoid yang
termasuk
dalam
kelompok
fenolik
memiliki
kemampuan
meningkatkan sistem imun mencakup proliferasi sel limfosit, sel MK,
dan sekresi sitokinin (Middleton, 1998).
Gambar
22. Indeks stimulasi sel limfosit pada kultur yang diberi
ekstrak daun kemuning
61
f. Kesetaraan seluruh ekstrak yang diujikan terhadap kematian sel
Sama seperti pada pengaruh ekstrak terhadap kematian sel,
pengaruh ekstrak terhadap indeks stimulasi sel juga dibuat kesetaraan.
Kelima tanaman yang diujikan menggunakan perbandingan yang
berbeda antara jumlah bahan segar yang diekstraksi dengan jumlah
pelarut. Tiga tanaman, yaitu kemuning, kecombrang, dan ceremai
menggunakan jumlah perbandingan yang sama antara pelarut dan
bahan segar, sedangkan untuk delima putih dan jati belanda,
perbandingan yang digunakan berbeda. Jumlah perbandingan antara
bahan segar dan pelarut untuk kemuning, ceremai, dan kecombrang
adalah 1 : 10, sedangkan untuk jati belanda dan delima putih adalah 1 :
5. Berdasarkan perbandingan tersebut, dapat diketahui bahwa hasil
ekstraksi ceremai, kemuning, dan kecombrang lebih pekat bila
dibandingkan dengan hasil ekstraksi delima putih dan jati belanda.
Sehingga konsentrasi konsumsi normal pada tanaman delima putih dan
jati belanda merupakan setengah kali konsentrasi konsumsi normal
pada kemuning, ceremai, dan kecombrang. Kesetaran pengaruh
seluruh ekstrak tanaman dapat diamati dengan membandingkan
keseluruhan pengaruh ekstrak pada satu konsentrasi yang setara. Pada
penelitian ini, kesetaraan diamati pada konsentrasi konsumsi normal
(C2) untuk delima putih dan jati belanda, sedangkan untuk kemuning,
ceremai, dan kecombrang menggunakan setengah dari konsentrasi
konsumsi normal (C1). Gambar kesetaraan seluruh ekstrak terhadap
indeks stimulasi sel dapat dilihat pada Gambar 23.
62
Gambar 23. Kesetaraan pengaruh seluruh ekstrak terhadap indeks
stimulasi sel.
Berdasarkan Gambar 23. diketahui bahwa pada konsentrasi
yang setara, ekstrak daun delima putih etanol memiliki indeks
stimulasi yang lebih tinggi bila dibandingkan ekstrak lain, yaitu
sebesar 4.65, sedangkan indeks stimulasi terendah dimiliki oleh
ekstrak daun jati belanda aquades. Pada konsentrasi ini, ekstrak etanol
memiliki indeks stimulasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
ekstrak aquades. Hal ini kemungkinan besar disebabkan kandungan
total fenol pada ekstrak etanol lebih besar bila dibandingkan ekstrak
aquades.
Pengaruh Ekstrak Tanaman Secara Keseluruhan terhadap Proliferasi Sel
Limfosit
Secara keseluruhan, ekstrak kelima tanaman baik yang diekstrak
menggunakan aquades ataupun etanol pada tiga konsentrasi memberikan
respon positif, yaitu dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit.
Peningkatan proliferasi ini ditunjukkan dengan terjadinya penambahan
jumlah sel limfosit hidup. Berdasarkan pengujian kadar total fenol,
diketahui secara keseluruhan, ekstrak etanol memiliki kandungan fenol
63
lebih tinggi dibandingkan ekstrak aquades. Hal tersebut disebabkan
banyaknya komponen fenolik yang ikut terekstrak oleh pelarut etanol.
Jumlah kematian sel limfosit yang diberi ekstrak kelima tanaman
secara keseluruhan menunjukkan jumlah kematian yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan kontrol standar. Secara keseluruhan, tingkat
kematian sel tertinggi terjadi pada konsentrasi C1 untuk setiap ekstrak baik
menggunakan pelarut etanol ataupun aquades. Ekstrak yang menyebabkan
kematian sel limfosit tertinggi adalah ekstrak delima dengan pelarut
aquades dan ekstrak jati belanda dengan pelarut etanol, jumlah sel yang
mati pada ekstrak ini adalah 12 x 106 sel mati / ml. Ekstrak yang
menyebabkan kematian sel limfosit terendah adalah ekstrak kecombrang,
baik menggunakan pelarut etanol ataupun aquades. Nilai kematian sel
pada ekstrak ini adalah 1.2 x 105 sel mati / ml.
Indeks stimulasi dan tingkat kematian ekstrak etanol walaupun
memiliki nilai yang berbeda dengan ekstrak aquades, namun hasil yang
diperoleh masih lebih baik dibandingkan kontrol standar. Hal ini
menunjukkan bahwa residu etanol yang tersisa pada ekstrak tidak
mempengaruhi pengujian terhadap sel limfosit manusia. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Kapasi (2003) tentang pengaruh etanol
terhadap sel limfosit, diperoleh hasil bahwa etanol dapat memicu
kerusakan sel limfosit bila diberikan dalam konsentrasi di atas 200 mM.
Bila masih terdapat residu etanol dalam jumlah lebih rendah dari angka di
atas, maka proliferasi sel limfosit tidak akan terganggu secara signifikan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pandoyo (2000),
diketahui bahwa secara keseluruhan pengaruh ekstrak cincau hijau (Cyclea
barbata L. Miers) umumnya bersifat imunostimulan pada konsentrasi
rendah, sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Meiriana
(2006), secara keseluruhan, ekstrak buah merah pada tingkat konsentrasi
4.167 µg/ml, 8.333 µg/ml, dan 16.667 µg/ml memberikan respon positif,
yaitu dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit dimana terjadi
penambahan jumlah sel limfosit hidup.
64
Peningkatan proliferasi dari kelima ekstrak tanaman dan
rendahnya tingkat kematian sel limfosit secara keseluruhan pada kultur sel
menunjukkan bahwa ekstrak yang diberikan dapat memacu proliferasi sel
limfosit dan melindungi sel dari kematian. Oleh karena itu, secara umum
ekstrak kelima tanaman yaitu daun jati belanda, daun ceremai, daun
kemuning, daun delima putih, dan bunga kecombrang tidak bersifat toksik
dan dapat dianggap sebagai imunomodulator yang baik pada tiga
konsentrasi yang diujikan.
65
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Respon proliferasi sel limfosit umumnya sangat tergantung dari
kondisi kultur. Berdasarkan pengujian terhadap proliferasi dan jumlah
kematian sel limfosit menggunakan metode MTT dan biru tripan, serta
analisis kimia yang meliputi penentuan kadar air, kadar protein, kadar fenol,
dan kapasitas antioksidan sampel dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Secara keseluruhan, kesemua ekstrak dari berbagai sampel dan perlakuan
dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit.
2. Indeks stimulasi ekstrak etanol daun kemuning adalah 2.37 (C1), 2.43
(C2), dan 1.63 (C3), sedangkan indeks stimulasi ekstrak aquades daun
kemuning adalah 2.75 (C1), 3.93 (C2), dan 3.67 (C3). Indeks stimulasi
ekstrak etanol bunga kecombrang adalah 2.95 (C1), 2.59 (C2), dan 2.16
(C3), sedangkan indeks stimulasi ekstrak aquades bunga kecombrang
adalah 1.85 (C1), 1.74 (C2), dan 6.88 (C3). Indeks stimulasi ekstrak etanol
daun ceremai adalah 1.11 (C1), 1.80 (C2), dan 2.17 (C3), sedangkan
indeks stimulasi ekstrak aquades adalah 1.05 (C1), 3.09 (C2), dan 2.09
(C3). Indeks stimulasi ekstrak etanol daun jati belanda adalah 1.09 (C1),
1.13 (C2), dan 0.83 (C3), sedangkan indeks stimulasi ekstrak aquades
adalah 1.48 (C1), 0.85 (C2), dan 0.78 (C3). Indeks stimulasi ekstrak etanol
daun delima putih adalah 3.51 (C1), 4.65 (C2), dan 4.74 (C3), sedangkan
indeks stimulasi ekstrak aquades adalah 1.67 (C1), 1.15 (C2), dan 1.02
(C3).
3. Hasil uji terhadap ekstrak daun delima putih, ceremai, kemuning, dan
bunga kecombrang menunjukkan hasil bahwa keempat ekstrak tersebut
tidak bersifat toksik terhadap sel limfosit karena dapat memicu proliferasi
sel limfosit sebelum mengalami kematian, sedangkan untuk ekstrak daun
jati belanda, semakin tinggi konsentasi yang diberi menyebabkan indeks
stimulasi rendah.
66
4. Hasil uji menggunakan metode biru tripan tidak selalu berbanding lurus
dengan hasil uji menggunakan metode MTT
5. Bunga kecombrang memiliki kadar air tertinggi diantara keempat sampel
yang lain, yaitu 92.30 % (b.b).
6. Daun ceremai memiliki kadar protein tertinggi yaitu 6.40 % perbobot
basahnya.
7. Kandungan fenol terbanyak dimiliki oleh ekstrak daun delima putih yang
diekstrak menggunakan pelarut etanol yaitu sebesar 81.37 . 102 ppm
8. Kapasitas antioksidan tertinggi dimiliki oleh ekstrak bunga kecombrang
dengan pelarut etanol yaitu 92.96 % atau 1159.28 mg/l AEAC
B. SARAN
1. Diperlukan pengujian lebih lanjut tentang mekanisme proliferasi sel
limfosit akibat pemberian kelima ekstrak
2. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang aktivitas masing-masing
senyawa yang terkandung dalam ekstrak terhadap proliferasi sel limfosit,
sehingga dapat diketahui senyawa apa yang berperan dalam proses
tersebut.
3. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh ekstrak kelima
tanaman tersebut terhadap proliferasi sel limfosit pada kondisi in vivo
untuk melihat pengaruhnya secara langsung dalam metabolisme tubuh
sekaligus membuktikan hasil penelitian ini.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah ekstrak
kelima tanaman tersebut berpengaruh terhadap proliferasi sel kanker.
5. Perlu juga dicoba menggunakan pelarut lain untuk mengekstrak sampel
sehingga diketahui tingkat proliferasi sel limfosit dari berbagai jenis
pelarut untuk menentukan pelarut paling baik
6. Diperlukan pengujian dalam jangka waktu lama pengkonsumsian ekstrak
kelima tanaman untuk mengetahui apakah ada efek akumulasi yang
berakibat fatal
7. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kadar vitamin C dari
masing-masing ekstrak
67
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M.S., M.R. Piuvezam and L.M.T. Pecanha. 2003. Modulation of B
Lymphocyte Function by an Aqueous Fraction of Etanol Exttact of
Cissampelos s.eichl (Menispermaceae) Brazilian Journal of medical and
Biological Research. 36 : 1511 - 1522
Andarwulan, N. 1995. Isolasi dan Karakterisasi Antioksidan dari Jinten. Tesis :
Program Pasca Sarjana, IPB., Bogor.
Anggraeni, D. 2007. Aplikasi Ekstrak Bunga Kecombrang (Nicolaia speciosa
Horan). Skripsi. Fateta, IPB, Bogor.
AOAC. 1984. Official Methods OF Analysis The Association Analytical Chemist.
14th ed. AOAC, Inc, Arlington.
Ayu, T.W.C. 2004. Pengaruh Jenis Bahan Pengisi dan Pemanis Terhadap
Minuman Instan dari Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lam ) dan
Daun Kemuning (Murraya paniculata [L..] Jack.). Skripsi. Fateta, IPB,
Bogor.
Azima, F, D. Muchtadi, F.R. Zakaria, dan B.P. Priosoeryanto. 2004. Potensi AntiHiperkolesterolemia Ekstrak Cassia Vera (Cinnamomum burmanni Nees ex
Blume). Jurnal Teknol. dan Industri Pangan, Vol. XV No. 2. 145:158
Baratawidjaya, K.G. 1991. Immunologi Dasar. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Bellanti, J.A. 1993. Imunologi II. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Benabadji, S. H., Wen, R. Zheng, J. B., Dong, X., and Yuan, S. 2004.
Anticarcinogenic and antioxidant activity of diindolymethane derivatives.
Acta Pharmacol Sin. 25: 666-671.
Bermawie, N dan Natalini N.K. 2003. Penyimpanan In Vitro Tanaman Obat
Potensial. Jurnal Perkembangan Teknologi TRO. Vol. 15 No. 1. 51 : 60
Bitton, G and B.J. Dutka. 1986. Introduction and Review of Microbial and
Biochemical Toxicity Screening Procedures. Di dalam : Bitton, G dan B.J.
Dutka . 1986. Toxicity Testing Using Microorganism. Volume II. Hal 1: 8
Buhler, D and C. Miranda. 2000. Antioxidant Activities of Flavonoids.
www.lpi.oregonstate.edu.com. [20 Agustus 2007]
C. Oher and Richard M. 2002. Polydentate Ligand Construction : Preparation of
Oxime-Imine Complexes via Intramolecular Condensation Reactions. J.
Chem. Soc. Dalton Trans. 4193 : 4200
68
Dalimartha, S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesi. Jilid I. Trubus Agriwidya,
Jakarta.
Dash,S., L.K.Nath, S.Bhise, P.Kar, and S.Bhattachanya. 2006. Stimulation of
Immune Function Activity by The Alcoholic Root Extract of Heradeum
nepalente. Indian J.Pharmacl. 38: 336-340
Davis, J.M. 1994. Basic Cell Culture : A Practical Approach. Oxford University
Press, new York.
Dayong, M.D and Simon N.M. 1998. Antioxidants and Immune Function. CRC
Press, London.
Decker, J.M. 2001. Introduction to Immunology. Blackwell Science, Inc.
Massachusetts, USA.
DepKes. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Dirjen POM,
DepKes RI, Jakarta.
DepKes . 2005. Nicolaia Speciosa Horan. http://iptek.apjii.or.id/ artikel
/ttg_tanaman_ obat/DepKes/buku1/1-205.pdf. [ 2 Februari 2007 ]
FAO. 2006. Ascorbic Acid Requirements For Smokers: Analysis Of A Population
Survey. www.fao.org. [ 20 Agustus 2007 ]
Fletcher, M.A., N. Klimas, R. Morgan, and G. Gjerset. 1994. Lymphocyte
Proliferation. Di dalam : Rose, N.R., E.C. deMacario, J.L. Fahey, H.
Friedman, and G.M. Penn (eds). Manual Clinical Laboratory Immunology.
4th edition. Pp : 213 – 219.
Freshney, I.R. 1994. Culture of Animal Cell. 3rd ed. Willey Liss, New York.
Ganong, W.F. 1979. Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
Giner, C. 2001. In Tanins : Chemical Analysis. www.ansa.cornel.edu.com. [20
Juli 2007].
Guyton, A.C. 1987. Human Physiology and Mechanisms of Disease. 4th ed. W.B.
Saunders Co., Philadelphia.
Hagerman, Ann E. 1992. Tannin-Protein Interaction. Di dalam : Phenolic
Compounds in Food and Their Effects on Health I. Chi-Tang Ho, Chang Y.
Lee, Mou-Tan Huang. American Chemical Society. Washington DC.
Harlow and David L. 1988. Antibodies : A Laboratory Manual. Cold Spring
Harbor Laboratory, Washington D.C.
69
Harrison, M.A and Ian F.R. 1997. General Techniques of Cell Culture.
Cambridge. University Press, London.
Hatano, T., H.Kagawa,. T. Yasuhaga, and I. Okuda. 1988. Two New Falvonoids
and Other Constituents in Licorice Roots : Their Relative Astrigency and
Radical Scavenging Effect. Chem. Phamrm. Bull. 36 :2090-2097
Hounghton, P.J and Raman . 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of
Natural Extract. Chapman & Hall, London.
IPTEKa.2005. Ceremai. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=109
[ 16 Desember 2006 ]
b
.2005.
Kemuning.
http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/
php?id=116. [ 16 Desember 2006 ]
c
.2005.
Delima.
http://www.
iptek.net.id/
view.php?id=216. [ 16 Desember 2006 ]
ind/pd_
view.
tanobat/
d
.2005.
Jati
Belanda.
http://www.iptek.net.id/ind/pd
tanobat/view.php?id=294. [ 16 Desember 2006 ]
Jurai, M. 2007. www.damandiri.or.id. [20 Juli 2007]
Kapasi, A., G. patel, A. Goenka, N. Nahar, N. Modi, M. Bhaskaran, K.Reddy,
N.Franki, J.Patel, dan P.C. Singhal. 2003. ethanol Promotes T Cell
Apoptosis Through the Mitochondrial Pathway. Journal of Immunology.
108 : 313-320
Kimball, J.W. 1992. Biologi. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Kochhar, S. P. and J. B. Russell. 1990. Detection, Estimation and Evaluation of
Antioxidant in Food System. Di dalam : Food Antioxidant. B. J. F, Hudson
(ed) hal 19. Elsevier Applied Science, London.
Kuby, J. 1992. Immunology. W.H. Freeman and Company, New York.
Leniger, H.H dan W. A . Beverloo. 1975. Food Process Engineering. D. Reidel
Publ. Co. Boston.
Liu, M. Xin Q., Courtney W., Chang Y., Janice B., and Rui H. 2002. Antioxidant
Antiproliferation Activities of Raspberries. J. Agric and Food Chem.
50 : 2926 - 2930.
Malole, M.B.M. 1990. Kultur Sel dan Jaringan Hewan. Pusat Antar Universitas,
IPB.
70
Marieb, E. 1988. Essential of Human Anatomy and Physicology. 2nd ed. The
Benjamin Publishing Company, Inc, California.
Marliyati, S.A. Hidayat S.. Deddy M, Latifah K.D, dan Rimbawan. 2005.
Ekstraksi dan Analisis Fitosterol Lembaga Gandum (Triticum sp). Jurnal
Teknol. dan Ind. Pangan. Vol XVI. No. 1 : 1-12
Meiriana, Y. 2006. Pengaruh Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.)
Terhadap Aktivitas Proliferasi Sel Limfosit Manusia Secara In Vitro.
Skripsi. Fateta, IPB, Bogor.
Middleton, E. 1998. Effect of Plant Flavonoids on Immune and Inflammatory Cell
Function. Adv Exp Med Biop 439 :175-182.
Muchtadi, T.R dan Sugiyono. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU, IPB,
Bogor.
Mukhopadhyay, M. 2000. Natural Extract Using Supercritical Carbon Dioksida.
CRC Press, Washington D.C
Naufalin, R., Betty S.L.J., Feri K., Mirnawati S., dan Herastuti R. 2005. Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Bunga Kecombrang Terhadap Bakteri Patogen dan
Perusak Pangan. Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan. 16 : 119-125.
Neto,C.C. 2007. Cranberry and Its Phytochemicals : A Review of In Vitro
Anticancer Studies. J. Nutr. 137 : 186S-193S
Nora, Z. 2003. Pengaruh Ekstrak Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth)
dan Bunga Kenop (Gomphena globosa L.) terhadap Proliferasi Sel Limfosit
Tikus. Tesis. Ilmu Pangan, IPB.
Novikoff, A.B. and Erick H. 1970. Cells and Organelles. Holt, Rinehart, and
Winston, Inc, London.
Nurrahman, F. R. Zakaria, D. Sayuthi, dan Sanjaya. 1999. Pengaruh Konsumsi
Sari jahe terhadap Perlindungan Limfosit dari Stress Oksidatif pada
Mahasiswa Pondok Pesantren Ulil Al Baab. Makalah Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Pangan, PATPI & MENPANGHOR, Jakarta.
Omaye, S.T. 2004. Food and Nutritional Toxicology. CRC Press, Florida.
Pandoyo, A.S. 2000. Pengaruh Ekstrak Tanaman Cincau Hijau (Cyclea barbata L.
Miers) Terhadap Aktivitas Proliferasi Sel Limfosit Darah Tepi Manusia
Secara In Vitro. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor.
Paul, J. 1972. Cell and Tissue Culture. Churchill livingstone, London.
71
Puspaningrum, R. 2003. Pengaruh Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia sappan
Linn) terhadap Proliferasi Sel Limfosit Limfa Tikus dan Sel Kanker K-562
(Chronic myelogenous leukimia) secara in vitro. Skripsi. Fateta, IPB.
Sandres, N. 1995. Food Legislation and The Scope For Increased Use of NearCritical Fluid Extraction Operations in The Food Flavouring and
Pharmaceutical Industries. Blackie Academic and Professional, United
Kingdom.
Sharper, P.T. 1988. Methods of Cell Separation. Elsevier, Amsterdam.
Sheeler, P. and Bianchi, D.E. 1982. Cell Biology Structure, Biochemistry, and
Function. 2nd ed. John Wiley & Sons, Inc. New York.
Sigma.
2006.
Cell
Growth
Determination
www.sigmaaldrich.com. [20 Agustus 2007]
Kit
MTT
Based.
Singh, R.P., K.N. Chidambara, G.K. Jayaprakasha. 2002. Studies on The
Antioxidant Activity of Pomegranate (Punica granatum) Peel and Seed
Extract Using In Vitro Models. J. Agric. Food Chem. 2002, 50, 81-86
Somaatmadja, D. 1981. Prospek Pengembangan Industri Oleoresin di Indonesia.
Komunikasi 201. BPIHP, Bogor
Suradikusuma, E. 1989. Kimia Tumbuhan. Depdikbud, Dirjen Dikti, PAU Ilmu
Hayati, IPB, Bogor.
Sugiarti, I.M. 1990. Pengaruh Pemberian Infus Daun Kemuning (Murraya
paniculata [L..] Jack.) terhadap berat badan mencit. Skripsi. FMIPA
UNAIR.
Tang, Chi . 1991. Phenolic Compounds in Food. Di dalam : Phenolic Compounds
in Food and Their Fffects on Health. Chi-Tang, Chang Y. Lee, dan MouTuan Huang (ed) hal 1-7. American Chemical Society, Washington D.C.
Tizard, I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press,
Surabaya.
Thomas, P.T. and Robert V.H. 1995. Preclinical Immunotoxicity Assesment. In :
Derelanko, M.J. dan Mannfred A.H. (Eds.). CRC Handbook of Toxicology.
66:70
Tortora, G dan Nicholas P.A. 1990. Principles of Anatomy and Physicology. 6th
ed. Harper and Row Publisher, New York.
Vries, J.D . 1997 . Food Safety and Toxicity. 1997. CRC Press, London.
72
Walum E., K. Stenberg, and D. Jenssen. 1990. Understanding Cell Toxicology
Principles and Practise. Ellis Horwood, New York
Winarno, F.G. 1992 . Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta
Zakaria, F.R. 1996. Sintesis Senyawa Radikal dan Elektrofil dalam dan oleh
Komponen Pangan, Reaksi Biomolekul, Dampak terhadap Kesehatan dan
Penangkalnya. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi dengan Kedutaan
Besar Perancis, Jakarta. Fransisca, R.Z., Sedarnawati dan Ratih Dewanti
(eds). 4 April 1996, Bogor.
73
Lampiran 1. Skema Tahapan Penelitian Secara Umum
Tahap Persiapan
Tanaman Segar
Darah
Ekstraksi
Bahan Segar
Ekstrak
tanaman
Pengujian Toksisitas dan
daya Imunomodulator
Ekstrak terhadap
Proliferasi Sel Limfosit
Analisis
Kimia
Kadar Air
dan
Kadar Protein
Isolasi Sel
Limfosit
Manusia
Kadar Total
Fenol,
Kapasitas
Antioksidan
Metode
MTT
Metode
Biru
Tripan
74
Lampiran 2. Kandungan Medium RPMI-1640
Komponen
Konsentrasi
Komponen
Konsentrasi
(mg/l)
Asam Amino
(mg/l)
Vitamin
Arginin
200
Biotin
0.2
Asparagin
50
Vitamin B12
0.005
Asam Aspartat
20
Kalsium pantotenat
0.25
Sistin
50
Kolin klorida
3.0
Asam Glutamat
20
Asam folat
1.0
Glutamin
300
I-inositol
35.0
Glisin
10
Nikotinamid
1.0
Histidin
15
Asam p-aminobenzoat
1.0
Hidro prolin
20
Piridoksin HCL
1.0
Isoleusin
50
Riboflavin
0.2
Leusin
50
Tiamin HCL
1.0
Lisin-HCL
40
Metionin
15
Garam Anorganik
Fenilalanin
15
NaCl
6000
Prolin
20
KCL
400
Serin
30
Na2HPO4.H2O
1512
Treonin
20
MgSO4.7H2O
100
Triptofan
5
NaHCO3
2000
Tirosin
20
Ca(NO3).4H2O
100
Valin
20
75
Lampiran 3. Contoh Perhitungan Konsentrasi Ekstrak
Daun kemuning aquades.
Bobot hasil ekstraksi yang diperoleh pada konsentrasi C3 = 11.70 gr
Asumsi hasil ekstraksi masuk ke dalam 6 liter darah (in vivo), sehingga
konsentrasinya menjadi :
11.70 gr / 6000 ml = 1.95 x 10-3 (gr/ml)
Konsentrasi dalam darah tersebut harus disesuaikan dengan konsentrasi ekstrak di
dalam sumur (in vitro), sehingga
V1 x M1 = V2 x M2
100 µl x 1.95 x 10-3 = 20 µl x M2
M2 = 9.75 x 10-3 gr/ml = 9.750 mg/ml
Keterangan :
V1 = Volume total sumur
M1 = Konsentrasi ekstrak dalam sumur (C)
V2 = Volume ekstrak yang ditambahkan ke dalam sumur
M2 = Konsentrasi ekstrak yang ditambahkan ke dalam sumur
Perluasan taraf konsentrasi dilakukan sebagai berikut :
C1 = 2.438 mg/ml ( ½ C2)
C2 = 4.875 mg/ml (pendekatan konsumsi perhari)
C3 = 9.750 mg/ml (2 x C2)
Faktor penyerapan dalam tubuh diasumsikan mendekati faktor penyerapan ekstrak
selama proses penyaringan dengan membran filter.
76
Lampiran 4. Data Indeks Stimulasi ( Metode MTT)
1. Daun jati belanda
a. Ekstrak aquades
Dosis
2x
1x
0.5x
1
0.87
0.85
1.35
2
0.74
0.83
1.45
3
0.74
0.88
1.65
Rata-rata IS
0.78
0.85
1.48
2x
1x
0.5x
1
0.77
1.07
0.96
2
0.83
1.14
1.06
3
0.88
1.17
1.26
Rata-rata IS
0.83
1.13
1.09
2x
1x
0.5x
1
1.05
1.37
1.55
2
0.94
0.99
1.75
3
1.06
1.09
1.70
Rata-rata IS
1.02
1.15
1.67
Ulangan
b. Ekstrak etanol
Dosis
Ulangan
2. Daun delima putih
a. Ekstrak etanol
Dosis
Ulangan
77
b. Ekstrak aquades
Dosis
2x
1x
0.5x
1
3.74
5.23
4.35
2
2.63
5.09
5.29
3
4.16
3.64
5.28
Rata-rata IS
3.51
4.65
4.74
2x
1x
0.5x
1
3.56
4.68
2.79
2
3.98
4.33
2.85
3
3.47
2.79
2.69
Rata-rata IS
3.67
3.93
2.75
2x
1x
0.5x
1
2.47
2.40
2.22
2
1.35
2.41
2.47
3
1.06
2.47
2.42
Rata-rata IS
1.63
2.43
2.37
Ulangan
3. Daun kemuning
a. Ekstrak aquades
Dosis
Ulangan
b. Ekstrak etanol
Dosis
Ulangan
78
4. Daun ceremai
a. Ekstrak aquades
Dosis
2x
1x
0.5x
1
2.00
3.22
1.01
2
3.00
3.04
1.07
3
1.29
3.02
1.08
Rata-rata IS
2.09
3.09
1.05
2x
1x
0.5x
1
2.62
1.41
1.04
2
1.46
1.93
1.10
3
2.43
2.05
1.20
Rata-rata IS
2.17
1.80
1.11
2x
1x
0.5x
1
6.45
1.61
1.83
2
6.94
1.96
1.82
3
7.26
1.66
1.91
Rata-rata IS
6.88
1.74
1.85
Ulangan
b. Ekstrak etanol
Dosis
Ulangan
5. Bunga kecombrang
a. Ekstrak aquades
Dosis
Ulangan
79
b. Ekstrak etanol
Dosis
2x
1x
0.5x
1
1.18
1.88
2.32
2
2.40
2.90
3.24
3
2.90
3.00
3.30
Rata-rata IS
2.16
2.59
2.95
Ulangan
80
Lampiran 5. Kurva Standar Total Fenol
Standar
[ ] ppm
Absorbansi
(mg/l)
Asam Tanat
0
0.000
5
0.095
10
0.160
15
0.240
20
0.298
25
0.386
0.45
y = 0.015x + 0.0094
R2 = 0.9963
0.4
Absorbansi
0.35
0.3
25, 0.386
20, 0.298
0.25
15, 0.24
0.2
10, 0.16
0.15
0.1
5, 0.095
0.05
0, 0
0
0
5
10
15
20
25
30
[ ] (ppm )
Contoh perhitungan kandungan total fenol pada ekstrak aquades daun ceremai :
Rata-rata nilai absorbansi = 0.635
y = 0.015x + 0.0094
0.635 = 0.015x + 0.0094
X = 41.57 ppm ekstrak
Æ karena pada awalnya sampel diencerkan 100 x, maka total fenol sampel
sebenarnya adalah 41.57 x 102 ppm ekstrak
81
Lampiran 6. Kurva Standar asam Askorbat
Standar
[ ] ppm
Absorbansi
(mg/l)
Daya
peredaman
radikal
bebas (%)
Asam
Askorbat
50
1.180
2.88
100
1.170
3.70
200
1.050
13.58
500
0.778
36.79
1000
0.233
80.82
Daya peredaman radikal
bebas (%)
100
80
60
y = 0.083 x -3.261
40
20
0
-20
50
100
200
500
1000
Konsentrasi asam askorbat (ppm)
Contoh perhitungan kadar AEAC pada ekstrak aquades daun ceremai :
Rata-rata daya peredaman radikal bebas (%) = 85.88 %
y = 0.083 x -3.261
85.88 = 0.083 x -3.261
x = 1003.14 mg/l AEAC
82
Lampiran 7. Inform Concern
INFORM CONCERN
PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN
PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Andal Kuntarso
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan
: Mahasiswa Ilmu dan Teknologi pangan (ITP)
NRP
: F24103112
Alamat
: Pagelaran GG.2 No.9, Ciomas, Bogor
Telepon
: 0251-634016
Menyatakan dalam keadaan sehat dan bersedia atau tidak berkeberatan
untuk dilakukan pengambilan darah untuk keperluan penelitian yang berjudul
“Pengaruh ekstrak tanaman ceremai, delima putih, jati belanda, kecombrang, dan
kemuning terhadap proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro sebagai tahapan
awal menuju minuman fungsional”. Penelitian ini dilakukan dalam rangka
penulisan skripsi oleh Agnes Krismawati / NRP F24103085.
Pengambilan darah dilakukan di klinik praktek dokter evi afifah darmagabogor pada bulan Maret-Mei 2007.
Demikian keterangan ini dibuat untuk digunakan seperlunya.
Bogor, Mei 2007
Petugas Pengambil Darah
(Neng)
Responden
(Andal Kuntarso)
83
Lampiran 8. Foto kultur sel yang ditambahkan ekstrak
a. kultur yang ditambahkan bunga
kecombrang aquades C1 (1000x)
c. kultur yang ditambahkan daun jati
belanda aquades C2 (1000 x)
b. Kultur yang ditambahakan ekstrak
bunga kecombrang aquades C3 (400x)
a. kultur yang ditambahkan daun jati
belanda aquades C3 (400 x )
e. kultur yang ditambahkan ekstrak daun delima putih C1 (400 x)
84
Download