SKRIPSI PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI , DELIMA PUTIH , JATI BELANDA , KECOMBRANG , dan KEMUNING SECARA IN VITRO TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA Oleh : AGNES KRISMAWATI F24103085 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI , DELIMA PUTIH , JATI BELANDA , KECOMBRANG , dan KEMUNING SECARA IN VITRO TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : AGNES KRISMAWATI F24103085 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI , DELIMA PUTIH , JATI BELANDA , KECOMBRANG , dan KEMUNING SECARA IN VITRO TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : AGNES KRISMAWATI F24103085 Dilahirkan di Jakarta, 10 Desember 1984 Tanggal lulus : 20 Agustus 2007 Menyetujui: Bogor, Agustus 2007 Dosen Pemimbing II Dosen Pembimbing I Dr. Ir. Endang Prangdimurti,M.Si NIP. 132.006.117 Prof.Dr.Ir.Fransisca Zakaria R.,M.Sc NIP. 131.476.603 Mengetahui, Dr. Ir. Dahrul Syah Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan RINGKASAN PENELITIAN Agnes Krismawati. F24103085. Pengaruh Ekstrak Tanaman Ceremai , Delima Putih, Jati Belanda , Kecombrang , dan Kemuning Secara In Vitro Terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia. Di bawah bimbingan : Prof. Dr. Ir. Fransisca Zakaria R, M.Sc dan Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si (2007) Kemuning, delima putih, kecombrang, ceremai, dan jati belanda memiliki potensi yang besar untuk kesehatan manusia. Berkembangnya tren pangan fungsional, menjadikan suatu alasan pengembangan kelima tanaman di atas menjadi pangan fungsional, terutama sebagai minuman fungsional Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat toksisitas dan imunomodulator ekstrak daun delima putih, daun kemuning, daun ceremai, daun jati belanda, dan bunga kecombrang terhadap sel limfosit manusia secara in vitro, serta mengetahui kapasitas antioksidan kelima ekstrak tanaman tersebut dalam menangkal radikal bebas menggunakan metode DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil atau 1,1-diphenyl2-picrylhydrazil). Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap. Tahap pertama adalah tahap persiapan. Tahap ini meliputi pembuatan ekstrak tanaman yang diujikan dan isolasi sel limfosit. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah etanol 96 % dengan metode maserasi, dan aquades dengan metode pemanasan. Bagian tanaman yang diekstraksi adalah daun (untuk kemuning, ceremai, jati belanda, dan delima putih) dan bunga (untuk kecombrang). Ekstrak kelima tanaman yang akan diuji ditepatkan volumenya menjadi 10 ml untuk keseragaman. Tahapan selanjutnya adalah analisis kimia meliputi analisis kadar air dan analisis kadar protein terhadap bahan segar, serta analisis kadar total fenol dan analisis kemampuan antioksidan ekstrak untuk menangkal radikal bebas (kapasitas antioksidan) terhadap ekstrak yang dihasilkan. Pengujian ekstrak terhadap proliferasi sel limfosit manusia digunakan dengan menggunakan dua metode yaitu dengan perhitungan sel mati (menggunakan pewarnaan biru tripan) dan perhitungan proliferasi sel dengan metode MTT [3-[4,5-Dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide]. Perhitungan proliferasi pada metode ini dilakukan dengan nilai Indeks Stimulasi (I.S) dari sel limfosit yang dikultur dengan ekstrak dibandingkan dengan kontrol standar. Kultur sel dilakukan pada suhu 37oC dengan kondisi atmosfer yang mengandung CO2 5%, 02 95% dan RH 96 % selama 36 jam. Untuk kontrol standar, sumur hanya berisi media dan sel, sedangkan kontrol positif berisi suspensi sel limfosit dan larutan mitogen Con A atau LPS. Hasil analisi kimia menunjukkan bahwa kadar air tertinggi dimiliki oleh bunga kecombrang yaitu sebesar 92.30 % (b.b), sedangkan kadar air terendah dimiliki oleh daun delima putih sebesar 58.26 % (b.b). Kadar protein dihitung menggunakan metode Kjeldahl. Hasil yang diperoleh adalah kadar protein tertinggi dimiliki oleh daun ceremai sebesar 6.40 %, sedangkan kadar protein terendah dimiliki oleh bunga kecombrang sebesar 1.38 %. Kadar total fenol tertinggi dimiliki oleh daun delima putih etanol yaitu 81.37 x 102 mg/l ekstrak, sedangkan untuk kadar total fenol terendah dimiliki oleh ekstrak daun jati belanda aquades yaitu 4.44 x 102 mg/l ekstrak. Secara keseluruhan ekstrak etanol memiliki kadar total fenol lebih tinggi dibandingkan ekstrak aquades. Kapasitas antioksidan ekstrak kelima tanaman dihitung menggunakan metode DPPH. Hasil yang diperoleh adalah kapasitas antioksidan tertinggi dimiliki oleh kecombrang etanol yaitu 92.96 %, dan terendah dimiliki oleh kemuning etanol 70.45 %. Nilai AEAC tertinggi dimiliki oleh kecombrang etanol yaitu 1159.28 mg/l AEAC, dan terendah dimiliki oleh kemuning etanol 888.08 mg/l AEAC. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa daya peredaman radikal bebas ekstrak kecombrang etanol sebanding dengan daya peredaman 1159.28 mg asam askorbat. Hasil pengujian dengan menggunakan metode MTT diketahui bahwa ekstrak yang memberikan indeks proliferasi sel limfosit dimiliki oleh ekstrak kecombrang aquades sebesar 6.88 dan indeks stimulasi terendah dimiliki oleh ekstrak daun jati belanda aquades 7.408 mg/ml (C3) sebesar 0.78. Pada metode biru tripan, ekstrak yang memiliki tingkat kematian sel terendah dimiliki oleh ekstrak kecombrang aquades 9.084 mg/ml (C3) dan kecombrang etanol 7.752 mg/ml (C3) sebesar 1.2 x 105 sel mati / ml, sedangkan kematian tertinggi dimiliki oleh ekstrak jati belanda etanol 7.332 mg/ml (C3) dan ekstrak delima aquades 9.526 mg/ml (C3) sebesar 12 x 106 sel mati / ml. Secara keseluruhan, ekstrak memberikan indeks stimulasi yang tinggi dan tingkat kematian sel yang rendah, sehingga dapat dikatakan ekstrak kelima tanaman yang digunakan bersifat imunostimulan. BIODATA PENULIS Penulis dilahirkan di Jakarta, 10 Desember 1984 dan merupakan anak pertama dari pasangan Patricius Kardja dan Chriatiana Kasmiyati. Penulis mengawali pendidikan formal di TK Marga Utama, dan selanjutnya penulis melanjutkan ke SD Strada Van Lith II, SLTP Tarakanita IV, dan SMUN 81 Jakarta. Pendidikan non formal yang ditempuh oleh penulis antara lain kursus Bahasa Inggris di LIA dan Bahasa Mandarin di Lingua Franka. Pendidikan terakhir yang ditempuh adalah Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tingkat akhir pendidikannya di IPB, penulis juga memperoleh kesempatan mengikuti program Internship dari PT. Sara Lee Household Indonesia selama tiga bulan. Selain aktif dalam bidang akademik, penulis juga menjadi pengurus beberapa organisasi intrakampus yaitu sebagai koordinator sekretariat pada Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (KEMAKI) dan sebagai Bendahara pada UKM Tarung Derajat di IPB. Selain itu penulis juga menjadi anggota pada Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) dan Tim Pendamping Mahasiswa Katolik IPB. Penulis juga aktif sebagai panitia berbagai kepanitiaan dalam kegiatan kampus. Berbagai pengalaman kerja juga telah diperoleh penulis, baik sebagai asisten praktikum kimia dan biologi untuk Mahasiswa TPB, asisten praktikum mikrobiologi pangan, dan asisten praktikum teknologi pengolahan pangan, serta menjadi guru privat mata pelajaran matematika untuk tingkat sekolah menengah. Penulis menyelesaikan tugas akhirnya dengan melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Ekstrak Tanaman Ceremai , Delima Putih , Jati Belanda , Kecombrang , dan Kemuning Secara In Vitro Terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia”. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2007 sampai dengan bulan Juni 2007. 1 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati, sekitar 40.000 jenis tumbuhan ditemukan di Indonesia dan 180 jenis di antaranya berpotensi sebagai tanaman obat (Bermawie, 2003). Beberapa tanaman yang sudah diketahui berpotensi dan dikenal secara umum sebagai tanaman obat adalah ceremai, kemuning, jati belanda, kecombrang, dan delima putih. Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) dan kemuning (Murraya paniculata [L..] Jack.) biasa dijadikan sebagai tanaman hias karena memiliki corak atau warna bunga yang indah. Delima putih (Punica granatum Linn) dan ceremai (Phyllanthus acidus [L.] Skeels.) tidak hanya bisa dijadikan tanaman untuk memagari pekarangan (Dalimartha, 1999), tetapi dapat juga menjadi tanaman pangan karena buahnya dapat dikonsumsi, sedangkan Jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) biasa tumbuh bebas di dataran tinggi dan jarang ditemui ditanam di pekarangan rumah. Kelima tanaman tersebut tidak hanya dapat digunakan sebagai tanaman hias ataupun tanaman pangan, tetapi juga dapat digunakan sebagai tanaman obat. Masyarakat pedesaan sering menggunakan tanaman tersebut sebagai obat tradisional, baik untuk menurunkan berat badan, menjaga kesehatan, ataupun menyembuhkan beberapa penyakit penyakit seperti bronkhitis, asma urat, dan reumatik. Dalam evolusi kebudayaan manusia, akhirnya manusia tidak hanya memikirkan untuk mengkonsumsi pangan yang nikmat saja, namun mulai terpikir tentang pangan yang bermanfaat bagi kesehatan. Maka mulailah dikenal istilah ”back to nature”. Beberapa produk pangan yang sekarang ini mulai diminati oleh masyarakat diantaranya adalah produk pangan fungsional. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan kepada kelima tanaman di atas lebih didasarkan kepada pembuktian bahwa tanamantanaman tersebut memiliki manfaat dalam kesehatan, namun belum ada penelitian yang berkaitan dengan pengujian awal terhadap masing-masing 2 tanaman untuk dijadikan minuman fungsional. Salah satu contoh penelitian ilmiah tentang tanaman-tanaman di atas adalah pemberian ekstrak daun jati belanda sebanyak 1 g / kg BB tikus percobaan ternyata dapat menurunkan kadar kolesterol darah (Rachmadani, 2001). Jati belanda, delima putih, ceremai, kecombrang, dan kemuning memiliki potensi yang besar untuk kesehatan manusia maka tanaman-tanaman ini memiliki kemungkinan untuk dikembangkan sebagai bahan pangan fungsional, terutama sebagai minuman fungsional. Untuk membuat sebuah produk pangan yang layak dan fungsional, pertama-tama perlu diuji apakah produk pangan ini bersifat toksik atau tidak. Organisme yang terpapar senyawa toksik tidak hanya akan mengalami keracunan parah tetapi dapat juga mengalami kematian. Setelah itu dilakukan uji imunomodulator untuk mengetahui apakah produk tersebut memiliki efek untuk memperkuat sistem imun. Terakhir dilakukan uji antioksidan untuk melihat apakah produk tersebut memiliki daya antioksidan yang dapat melindungi tubuh dari timbulnya penyakit-penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas. Semua uji ini akan dilakukan pada kelima tanaman tersebut untuk mengetahui apakah kelima tanaman tersebut dapat dimanfaatkan sebagai minuman fungsional. B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat toksisitas dan imunomodulator ekstrak daun delima putih, daun kemuning, daun ceremai, daun jati belanda, dan bunga kecombrang terhadap sel limfosit manusia secara in vitro, serta mengetahui kapasitas antioksidan kelima ekstrak tanaman tersebut dalam menangkal radikal bebas menggunakan metode DPPH. Tujuan lain adalah memperoleh data-data yang dapat dijadikan sebagai acuan pengembangan produk fungsional dikemudian hari. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ceremai (Phyllanthus acidus [L.] Skeels.) Tumbuhan yang berasal dari India ini termasuk dalam famili Euphorbiaccae. Ceremai memiliki nama asing Charamelier atau Country goosberry (Dalimartha, 1999). Ceremai banyak ditanam orang di halaman, di ladang dan tempat lain sampai ketinggian 1.000 m. Ceremai memiliki percabangan banyak dan kulit kayunya tebal (IPTEKa, 2005 ). Daun ceremai tunggal, bertangkai pendek, tersusun dalam tangkai membentuk rangkaian seperti daun majemuk. Helai daun ceremai bundar telur sampai jorong, ujung runcing, pangkal tumpul sampai bundar, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan licin tidak berambut, panjang 2-7 cm, lebar 1,5-4 cm, dan warna hijau muda. (IPTEKa, 2005). Daun ceremai berbau khas aromatik dan tidak berasa. Kandungan kimia yang terdapat pada daun, kulit batang, dan kayu ceremai adalah saponin, flavonoida, tanin, dan polifenol. Akar mengandung saponin, zat samak, dan zat beracun (toksik), sedangkan buah ceremai mengandung vitamin C. Bagian dari pohon ceremai yang biasa digunakan sebagai obat adalah daun, kulit akar, dan biji. Setiap bagian pohon ceremai memiliki khasiat yang berbeda-beda untuk menyembuhkan penyakit. Daun ceremai berkhasiat untuk menyembuhkan batuk berdahak, mual, kanker, sariawan, dan dapat menguruskan bahan. Bagian kulit pohon ceremai dapat digunakan mengobati asma dan sakit kulit, sedangkan biji ceremai berkhasiat untuk mengobati sembelit dan mual akibat perut kotor (Dalimartha, 1999). 4 Gambar 1. Ceremai (Phyllanthus acidus [L.] Skeels.) Sumber : IPTEK (2005a) B. Delima Putih (Punica granatum Linn) Delima, konon, berasal dari negeri Persia, dan kemudian menyebar ke segala penjuru dunia. Tanaman ini tersebar di daerah subtropik sampai tropik, dari dataran rendah sampai di bawah 1.000 m. Delima sering ditanam di kebun-kebun sebagai tanaman hias, tanaman obat, atau dikonsumsi karena buahnya dapat dimakan. Pohon delima merupakan perdu atau pohon kecil dengan tinggi 2-5 m. Helaian daun bentuknya lonjong, pangkal lancip, ujung tumpul, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan mengkilap, panjang 1-9 cm, lebar 0,5-2,5 cm, warnanya hijau. Buahnya buah buni, bentuknya bulat dengan diameter 5-12 cm, warna kulitnya beragam, seperti hijau keunguan, putih, cokelat kemerahan, atau ungu kehitaman (IPTEKc, 2005). Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat adalah kulit kayu, kulit akar, kulit buah, daun, biji, dan bunganya. Kulit buah mengandung alkaloid pelletieren, granatin, resin, triterpenoid, kalsium oksalat, dan pati. Kulit akar dan kulit kayu mengandung sekitar 20% elligatanin dan 0,5-1% senyawa alkaloid. Daun mengandung alkaloid, tanin, kalsium oksalat, lemak, sulfur, dan peroksidase. Alkaloid yang terdapat pada tanaman ini dipercaya dapat menyebabkan kelumpuhan cacing pita, cacing gelang, dan cacing keremi (IPTEKc, 2005). Setiap bagian tanaman ini secara tradisional digunakan untuk menyembuhkan beberapa penyakit, yaitu kulit buah biasa digunakan untuk 5 sakit perut karena cacing, buang air besar mengandung darah dan lendir (disentri amuba), diare kronis, perdarahan seperti wasir berdarah, muntah darah, batuk darah, perdarahan rahim, perdarahan rektum, prolaps rektum, radang tenggorok, radang telinga, keputihan (leukorea), dan nyeri lambung. Bunga delima biasa digunakan untuk radang gusi, perdarahan, dan bronkhitis. Daging buah dapat digunakan untuk cacingan, sariawan, sakit tenggorokan, hipertensi, rematik, dan perut kembung. Bagian daun delima dan daging buah biasa digunakan untuk menurunkan berat badan (IPTEKc, 2005). Gambar 2. Delima Putih (Punica granatum Linn) Sumber : IPTEK (2005c) C. Jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) Jati belanda merupakan tanaman dari jenis Sterculiaceae. Tanaman ini merupakan tanaman pohon yang memiliki tinggi lebih kurang 10 meter. Batang keras, bulat, permukaan kasar, banyak alur, berkayu, bercabang, warna hijau keputih-putihan. Daun tunggal, bulat telur, permukaan kasar, tepi bergerigi, ujung runcing, pangkal berlekuk, pertulangan menyirip, panjang 10-16 cm, lebar 3-6 cm, warna hijau. (IPTEKd, 2005). Jati Belanda biasa digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat Indonesia. Bagian pohon ini yang biasa digunakan adalah daun, biji, dan buah. Masing-masing bagian memiliki khasiat mengobati yang berbeda-beda. Daun jati Belanda dapat digunakan untuk mengurangi 6 kegemukan, sedangkan buahnya digunakan untuk menyembuhkan penyakit bronkhitis. Selain daun jati belanda, biji dari buah jati dapat juga digunakan sebagai obat untuk mengurangi berat badan. Senyawa kimia yang terkandung pada jati belanda yaitu tanin, lendir, zat pahit, dan damar. Daun jati belanda biasa digunakan untuk obat penurun kolesterol. Daun jati belanda dipercaya bisa meluruhkan lemak dan menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Senyawa tanin dan musilago yang terkandung dalam daun Jati belanda dapat mengendapkan mukosa protein yang ada di dalam permukaan usus halus sehingga dapat mengurangi penyerapan makanan dan proses obesitas (kegemukan) dapat dihambat (IPTEK,2005d). Gambar 3. Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) Sumber : IPTEK (2005d) D. Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) Kecombrang termasuk dalam famili Zingiberaceae. Tanaman ini merupakan tanaman tahunan berbentuk semak dengan ketinggian 1-3 m. Tanaman ini memiliki batang semu yang tegak dan berpelepah serta bentuknya menyerupai rimpang. Daun kecombrang merupakan daun tunggal dengan bagian ujung dan pangkal runcing. Panjang daun kecombrang sekitar 20-30 cm, dengan lebar 5-15 cm. Daunnya berwarna hijau dengan pertulangan daun menyirip. Bunga kecombrang merupakan bunga majemuk dengan panjang tangkainya sekitar 40-80 cm. Warna bunga kecombrang biasanya adalah putih atau merah jambu (DepKes, 2005). 7 Umumnya bunga kecombrang sering dimanfaatkan secara tradisional sebagai bunga hias dan disantap dalam bentuk pecel, lalapan, ataupun sambal. Selain itu, bunga kecombrang juga banyak digunakan untuk obat penghilang bau badan, memperbanyak air susu ibu, dan pembersih darah. Kandungan kimia yang terdapat di daun, batang , bunga, dan rimpang kecombrang adalah saponin dan flavonoid. Selain itu, kecombrang juga mengandung polifenol dan minyak atsiri (DepKes, 2005). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Naufalin et.al (2005), diketahui bahwa bunga kecombrang dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri patogen dan perusak pangan, seperti S. aureus, L. Monocytogenes, dan S.typhimurium. Gambar 4. Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) E. Kemuning (Murraya paniculata [L..] Jack.) Kemuning merupakan tanaman yang berasal dari kelas Rutaceae. Tanaman ini biasa tumbuh liar di semak belukar, tepi hutan, atau ditanam sebagai tanaman hias dan tanaman pagar. Selain itu dapat ditemukan sampai ketinggian ± 400 m. Kemuning yang biasa ditanam untuk memagari pekarangan, biasanya jenis yang berdaun kecil dan lebat (Dalimartha, 1999). Kemuning termasuk jenis semak atau pohon kecil, bercabang banyak, tinggi 3-8 m, batangnya keras, beralur, tidak berduri. Helaian anak daunnya bertangkai, bentuk bulat telur sungsang atau jorong, ujung dan pangkal runcing, tepi rata atau agak beringgit, panjang 2-7 cm, lebar 1-3 cm, 8 permukaan licin, mengilap, wamanya hijau, bila diremas tidak berbau. Bunga kemuning merupakan bunga majemuk berbentuk tandan, warnanya putih, dan wangi. (IPTEKb, 2005). Setiap bagian pohon kemuning memiliki kandungan kimia yang berbeda-beda. Daun kemuning mengandung cadinene, bisabolena, Pearyophyllena, geraniol, carene-3, eugenol, sitronellol, metil salisilat, sguaiazulan, ostholan, panikulatin, tanin, dan koumurrayin. Kulit batang mengandung mexotioin, 5-7-dimethoxy-8- (2,3-dihydroxyisopentyl) coumarin, sedangkan bunga kemuning mengandung scopeletin, dan buahnya mengandung semi-ec-carotenone (Dalimartha, 1999). Secara tradisional, kemuning banyak digunakan untuk radang buah zakar (orchitis), radang saluran napas (bronkhitis), infeksi saluran kencing, kencing nanah, keputihan, sakit gigi, haid tidak teratur, lemak tubuh berlebihan, pelangsing tubuh, nyeri pada tukak (ulkus), kulit kasar, memar akibat benturan, rematik, keseleo, digigit serangga dan ular berbisa, ekzema, bisul, koreng, luka terbuka di kulit. Bagian kemuning yang biasa digunakan sebagai obat adalah daun, ranting, akar, dan kulit batang (IPTEKb, 2005). Gambar 5. Kemuning (Murraya paniculata [L..] Jack.) Sumber : IPTEK (2005b) F. Antioksidan Antioksidan merupakan jenis senyawa yang digunakan untuk menangkap radikal bebas yang dapat mengakibatkan kerusakan sel dengan 9 menstabilkan radikal tersebut. Antioksidan adalah senyawa yang secara alami terdapat dalam hampir semua bahan pangan (Andarwulan, 1995). Menurut Buhler (2000), antioksidan adalah suatu senyawa yang dapat melindungi sel dari kerusakan yang disebabkan oleh reactive oxygen species (ROS) seperti singlet oxygen ataupun superoksida. Ketidakseimbangan antara antioksidan dan ROS menyebabkan terjadinya stres oksidatif, sehingga memicu terjadinya kerusakan sel. Antioksidan dapat menghambat dan mencegah proses oksidasi walaupun terdapat dalam jumlah yang sedikit dan tubuh juga memiliki sistem antioksidan alami yang dapat di produksi sendiri. Salah satu metode yang biasa digunakan untuk menentukan kapasitas antioksidan suatu picrylhydrazil atau bahan adalah metode DPPH 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil). (2,2-diphenyl-1- DPPH merupakan senyawa radikal bebas yang stabil dalam larutan metanol dan berwarna ungu tua. Mekanisme yang terjadi adalah proses reduksi senyawa DPPH oleh antioksidan yang menghasilkan pengurangan intensitas warna dari larutan DPPH. Pemudaran warna akan mengakibatkan penurunan nilai absorbansi sinar tampak dari spektofotometer. Menurut Benabadji et.al. (2004), reaksi yang terjadi adalah α,α-diphenyl-β-picrylhydrazine, pembentukan melalui kemampuan antioksidan menyumbang hidrogen. Semakin pudarnya warna DPPH setelah direaksikan dengan antioksidan menunjukkan kapasitas antioksidan yang semakin besar pula. N N NH N• NO2 NO2 NO2 + AOH NO2 NO2 NO2 Senyawa DPPH (biru) DPPH tereduksi (kuning) Gambar 6. Mekanisme reaksi antioksidan pada DPPH 10 Salah satu jenis antioksidan dalam bahan pangan adalah senyawa fenolik. Senyawa fenolik merupakan senyawa kimia yang memiliki satu buah cincin aromatik yang mengandung satu atau lebih gugus hidroksi. Senyawa ini merupakan hasil metabolit sekunder dari tanaman. Senyawa fenolik diklasifikasikan dalam tiga grup, yaitu fenol sederhana, asam hidroksinamat, dan flavonoid. Senyawa fenol sederhana terdiri atas monofenol, difenol, dan trifenol. Grup yang paling penting dari senyawa fenolik adalah flavonoid, termasuk di dalamnya katekin, antosianidin, flavon, dan glikosida (Tang,1991). Senyawa fenolik dapat berperan sebagai senyawa antioksidan. Senyawa ini merupakan antioksidan primer karena dapat mencegah terjadinya autooksidasi pada lipid dan memperlambat proses oksidasi lipid dengan menghambat kerja enzim lipoksigenase (Tang,1991). Suatu molekul dapat berfungsi sebagai antioksidan primer jika dapat memberikan atom hidrogen secara cepat kepada radikal lipid atau dikonversi menjadi produk stabil. Radikal bebas yang terbentuk pada reaksi senyawa fenol dengan radikal lemak selalu distabilkan oleh delokalisasi elektron tidak berpasangan di sekitar cincin aromatik dari fenol. Aktivitas antioksidan dari senyawa fenol dipengaruhi beberapa faktor, yaitu adanya agen pengkelat, pH lingkungan sekitar, kelarutan, ketersediaan senyawa fenol dalam suatu bahan, dan stabilitas senyawa fenol Fungsi senyawa fenolik sebagai antioksidan ini berperan dalam proses perlindungan membran sel limfosit dari oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas. Fungsi lainnya adalah menstimulus proliferasi sel limfosit karena dapat memicu pembentukan interleukin. Senyawa ini memicu sel limfosit untuk berproliferasi. Akan tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, seyawa fenolik dapat menyebabkan kematian sel karena kemampuannya untuk berikatan dengan protein membran. Protein yang berikatan akan berubah fungsi dan menyebabkan kerusakan membran (Tang,1991). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa fenol di dalam tanaman. Sebagai contoh, senyawa fenol yang sudah 11 diketahui terdapat dalam daun rosemary adalah asam karnosik, karnosol, rosemanol, dan asam rosmarinik, sedangkan senyawa fenol yang terdapat di dalam kacang kedelai adalah flavonoid seperti quercetin dan rutin (Mukhopadhyay, 2000). G. Uji Toksisitas Toksisitas suatu bahan dapat diartikan sebagai sebagai kapasitas bahan untuk memicu terjadinya reaksi berkebalikan dari mahkluk hidup. Dalam hal ini berhubungan dengan timbulnya efek yang tidak diharapkan oleh tubuh (Vries, 1997) . Ilmu yang mempelajari tentang toksisitas adalah toksikologi. Toksisitas erat hubungannya dengan senyawa toksik. Senyawa toksik dapat menyebabkan denaturasi protein dan kerusakan membran sel sehingga menyebabkan DNA, RNA, dan komponen sel yang lain akan rusak juga (Bitton dan Dutka, 1986). Pengujian toksisitas suatu senyawa dilakukan secara in vitro yaitu dengan menggunakan sel limfosit manusia. Keuntungan pengujian secara in vitro adalah uji yang digunakan sangat sensitif dan dampak yang ditimbulkan dapat dilihat langsung (Vries, 1997). Efek dari ketoksikan suatu bahan dapat diamati dari seberapa banyak jumlah sel limfosit yang mati bila dibandingkan dengan keadaan awal dan dengan mengamati tingkat proliferasi sel limfosit. Pengujian ini tergolong dalam uji kualitatif karena penentuan jumlah sel yang hidup didasarkan pada absorbansi kontrol standar bukan berdasarkan perhitungan secara langsung. Jenis uji toksisitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji toksisitas akut. H. Sistem Imun dan Respom Imun Sistem imun merupakan suatu sistem yang mengatur dan melindungi tubuh dari benda-benda asing (Thomas dan Robert, 1995). Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem imun antara lain genetik, umur, kondisi metabolik, anatomi, status gizi, fisiologi manusia, dan sifat benda asing (Bellanti, 1993). Immunogen adalah setiap bahan yang dapat menimbulkan respon imun, sedangkan antigen adalah setiap bahan yang bersifat imunogen dan 12 dapat mengikat komponen yang dihasilkan dari respon imun spesifik, misalnya antibodi dan limfosit T (Baratawidjaya, 1991). Respon imun didefinisikan sebagai respon atau reaktifitas yang terjadi jika ada kontak antara antigen dengan molekul yang memiliki konfigurasi spesifik (Kimball, 1992). Respon imun terdiri atas dua jenis, yaitu respon imun spesifik dan non spesifik. Respon imun spesifik adalah respon imun yang diberi setelah setelah sel-sel imun terlebih dulu terpapar oleh antigen. Dalam tubuh, yang bertanggungjawab terhadap respon imun spesifik adalah sel limfosit. Respon imun non spesifik adalah respon imun yang memberikan respon secara langsung terhadap antigen walaupun belum pernah terpapar sebelumnya. Di dalam tubuh yang bertanggungjawab terhadap respon non spesifik adalah makrofag, lisosom, dan sel NK (Harlow dan David, 1988). Respon imunspesifik limfosit terdiri atas respon humoral dan seluler. Respon humoral dilakukan oleh sel limfosit B, dimana sel ini menghasilkan antibodi sebagai respon imunnya, sedangkan respon imun seluler dilakukan oleh sel limfosit T, dimana sel ini menghasilkan limfokinesis yang dapat menolak keberadaan benda asing (Ganong, 1979). I. Limfosit Limfosit merupakan satu dari beberapa jenis sel darah putih (leukosit) dalam tubuh manusia. Terdapat sekitar 4000 – 11000 sel darah putih per μl darah manusia. Tabel 1. Komposisi sel darah putih manusia Kira-kira Sel / μl ( rata-rata ) Batas normal Total sel darah putih Neutrofil Eosinofil Basofil Limfosit Monosit (Ganong, 1979) 9000 5400 275 35 2750 540 4000 – 11000 3000 – 6000 150 – 300 0 – 100 1500 – 4000 300 – 600 Persentase jumlah total sel darah putih 50 – 70 1–4 0.4 20 – 40 2–8 13 Sel limfosit merupakan sel dengan inti yang besar dan bulat serta memiliki sedikit plasma. Telah dihitung bahwa pada manusia sekitar 3.5 x 1010 limfosit setiap hari masuk dalam sirkulasi darah. Menurut Guyton (1987), persentase limfosit di dalam darah putih adalah sekitar 30 %. Menurut Sheeler dan Bianchi (1982), sel limfosit berperan dalam sistem perlindungan tubuh dengan mensintesis dan mensekresi antibodi atau immunoglobulin ke dalam jaringan darah sebagai respon terhadap keberadaan benda asing. Terdapat tiga kelompok limfosit yang dibedakan berdasarkan fungsinya, yaitu : 1. Limfosit B Limfosit B merupakan sel yang berasal dari sel stem di dalam sumsum tulang dan tumbuh menjadi sel plasma, yang menghasilkan antibodi. Jumlah sel B limfosit adalah 25% dari total keseluruhan limfosit tubuh. Limfosit B mampu menghasilkan berbagai jenis antibodi yang digunakan untuk melawan antigen (Sheeler dan Bianchi, 1982). Sel ini memiliki reseptor-reseptor pada permukaannya untuk antigen tertentu. 2. Limfosit T Di bawah mikroskop, morfologi Limfosit T dan B tidak dapat dibedakan. Ada tiga bentuk sel T, yaitu sel Thelper ( Th), Tsupresor ( Ts ), dan T cytotoksik (Tc) (Baratawidjaja, 1991). Sel Thelper atau sel T penolong merupakan sel T yang berperan dalam stimulasi sintesis antibodi dan aktivasi makrofag dengan cara mengsekresikan molekul yang disebut sitokinin. Sel ini bekerja bersama dengan aktivitas antibodi sel B. Sel Tsupresor berperan menekan aktivitas sel T yang lain. Sel ini mempunyai aktivitas dapat menurunkan produksi antibodi. Sel Tcytotoksik (Tc) memiliki kemampuan untuk menghancurkan sel alogenik dan sel sasaran yang terinfeksi patogen intraseluler (Baratawidjaja, 1991). 14 3. Limfosit NK ( Natural Killer ) Limfosit ini memiliki ukuran yang agak lebih besar daripada limfosit T dan B. Limfosit ini juga dikenal sebagai Large Granular Lymphocyte (LGL) karena merupakan sel dengan sejumlah besar sitoplasma dengan granula azurofilik (Kuby, 1992). Uji aktivitas sel limfosit dapat dilakukan secara in vitro dan umumya merupakan indikator respon imun. Uji ketoksikan suatu senyawa dapat juga dilakukan dengan menggunakan limfosit. Limfosit digunakan dalam uji ketoksikan karena sel ini sangat rentan terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh senyawa atau benda asing. J. Kultur Sel Kultur sel merupakan teknik yang biasa digunakan untuk mengembangbiakan sel di luar tubuh (in vitro). Kultur sel dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak yang ditimbulkan dari kondisi abnormal atau dari keberadaan senyawa berbahaya pada sel (Novikoff dan Erick, 1970). Untuk melakukan kultur sel secara in vitro dibutuhkan kondisi pertumbuhan yang mirip dengan kondisi in vivo seperti pengaturan temperatur, konsentrasi O2 dan CO2, pH, tekanan osmosis, dan kandungan nutrisi (Davis, 1994). Kultur sel biasa dilakukan juga pada limfosit. Metode yang digunakan untuk mengkultur limfosit tidak berbeda jauh dengan metode pengkulturan sel yang lain. Beberapa kelemahan dari teknik kultur sel, yaitu kultur sel harus dilakukan dalam kondisi steril, butuh keahlian dan ketrampilan khusus untuk mengkultur, dan biaya relatif mahal. Keuntungan penggunaan kultur sel adalah lingkungan tempat hidup sel dapat dikontrol, seperti pH, tekanan osmosis, tekanan CO2 dan O2, sehingga kondisi fisiologis dari kultur relatif konstan (Malole, 1990). Menurut Malole (1990), faktor yang mendukung pertumbuhan sel dalam kultur adalah media pertumbuhan. Fungsi media kultur sel adalah mempertahankan pH, menyediakan lingkungan yang baik dimana sel dapat bertahan hidup, dan juga menyediakan sunbstansi-substansi yang tidak dapat 15 disintesis oleh sel itu sendiri. Nutrisi yang biasanya terkandung dalam plasma adalah asam amino, vitamin, glukosa atau gula lain, garam, dan protein tertentu (Novikoff dan Erick, 1970). Pemilihan media pertumbuhan didasarkan pada kandungan zat gizi yang disesuaikan dengan jenis sel yang ditumbuhkan (Davis, 1994). Media yang sering digunakan untuk mengkultur sel limfosit manusia adalah RPMI1640. RPMI dikembangkan oleh Roswell Park Memorial Institute. Selain RPMI-1640, terdapat juga RPMI-1630 dan RPMI-1629 ( Davis, 1994 ). Hal lain yang perlu diperhatikan dalam metode kultur sel adalah konsentrasi sel yang akan dikulturkan. Menurut Bellanti (1993), limfosit tidak dapat bertahan hidup dan tumbuh pada konsentrasi sel yang rendah (kurang dari 1.5 x 105 sel/ml). Jumlah sel limfosit yang akan dikultur sebaiknya sekitar 1-4 x 106 sel/ml. Saat dikulturkan, sel ditambahkan serum sebesar 10%. Serum merupakan suplemen peningkat pertumbuhan yang efektif untuk semua jenis sel karena kompleksitas dan banyak faktor pertumbuhan, perlindungan sel, dan faktor nutrisi di dalamnya. Jenis serum yang biasa digunakan dalam kultur sel adalah serum hewan. Fetal Bovine Serum telah digunakan sebagai suplemen standar. Pada umumnya, serum ditambahkan dengan konsentrasi 5-20 % (Walum, E.,et all, 1990). Pada pembuatan medium untuk kultur sel, dilakukan penambahan buffer dan antibiotik. Buffer ditambahkan dengan tujuan menjaga keseimbangan pH agar tetap memiliki nilai 7.4. Menurut Freshney (1992), pertumbuhan sel memerlukan pH 7.4. Bila pada proses pertumbuhan, pH lingkungan sekitar lebih rendah dari 7, maka pertumbuhan sel akan terhambat. Buffer yang biasa digunakan adalah NaHCO3. Penambahan antibiotik pada medium bertujuan mencegah kontaminasi pada medium. Faktor utama untuk memilih jenis antibiotik adalah tidak bersifat toksik, memiliki spektrum antimikroba yang luas, ekonomis, dan kecenderungan minimum untuk menginduksi pembentukan mikroba yang kebal. Sel limfosit membutuhkan O2 untuk bertahan hidup. Kondisi rendah O2 dapat mendorong proses proliferasi, tetapi pertumbuhan tidak berlangsung lama dalam kondisi anaerob. Suhu kultur dipertahankan 370C 16 dengan konsentrasi CO2 5% dan O2 95% untuk menyamakan dengan kondisi di dalam tubuh. Selain memberikan pengaruh langsung terhadap pertumbuhan sel, temperatur juga mempengaruhi pH melalui peningkatan kelarutan CO2 dan melalui perubahan ionisasi dan dari pH buffer (Freshney,1994). K. Proliferasi Sel Limfosit Proliferasi merupakan fungsi biologis, yaitu proses diferensiasi dan pembelahan sel secara mitosis. Respon proliferasi sel limfosit yang diuji pada sistem in vitro dapat digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu (Fletcher et al.,1994) Proliferasi sel limfosit dapat diinduksi oleh suatu senyawa yang disebut mitogen. Tidak seperti immunogen yang hanya mengaktivasi reseptor spesifik pembawa limfosit, aktivitas mitogen adalah tidak spesifik. Beberapa mitogen hanya mampu menginduksi proliferasi sel limfosit B, sedangkan beberapa yang lain hanya mampu menginduksi sel limfosit T, tetapi ada juga sebagian kecil yang mampu menginduksi keduannya secara bersamaan. Sejumlah mitogen yang umumnya digunakan adalah lektin. Lektin memiliki afinitas terhadap gula pada permukaan sel limfosit. Beberapa contoh mitogen yang berasal dari lektin adalah PHA (Phytohaemagglutinin ) dan PWM (Pokeweed). Akan tetapi tidak semua mitogen merupakan lektin, ada beberapa jenis senyawa yang biasa digunakan sebagai mitogen yaitu Concanavalin A (Con A). Senyawa ini berasal dari ekstrak tanaman kacang jack (Conavalin ensiformis). Mitogen ini menginduksi proliferasi sel limfosit T. Senyawa lain yang berperan sebagai mitogen adalah pokeweed (PWM), senyawa ini diekstrak dari tanaman pokeweed (Phytolacca americana). Mitogen pokeweed dapat menginduksi proliferasi sel limfosit T dan B secara bersama-sama (Tizard, 1988). Pengamatan jumlah sel yang mati dan tingkat proliferasi sel limfosit yang telah ditambahkan mitogen dapat diamati menggunakan pewarna MTT (3-[4,5-Dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide) atau terazole. Prinsip dari metode ini adalah konversi dari garam tetrazolium 17 (MTT) yang berwarna kuning menjadi senyawa formazan yang berwarna biru oleh aktivitas enzim suksinat dehidrogenase oleh mitokondria sel hidup. Metode MTT ini menggunakan enzim atau substrat yang spesifik (Davis, 1994). Senyawa yang terbentuk kemudian dihitung absorbansinya menggunakan microplate reader. Enzim suksinat dehidrogenase merupakan enzim yang disintesis hanya pada sel hidup. Jumlah formazan yang dihasilkan proporsional dengan jumlah sel limfosit yang hidup sehingga dengan metode pewarnaan MTT dapat diketahui jumlah sel limfosit hidupnya. Selain dengan metode pewarnaan MTT, metode pengujian jumlah sel hidup dapat juga menggunakan metode pewarnaan biru tripan. Biru tripan merupakan larutan buffer isotonik (Sharper, 1988). Pada metode ini, sel yang hidup dapat dibedakan dengan sel mati. Sel hidup akan tidak berwarna dan berbentuk bulat, sedangkan sel mati akan berwarna biru dan mengkerut. Sel mati akan berwarna biru karena menyerap biru tripan. 18 III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT 1. BAHAN Bahan-bahan utama yang digunakan adalah daun ceremai, daun delima putih, daun jati belanda, bunga kecombrang, dan daun kemuning. Tanaman yang digunakan adalah tanaman muda. Bahan-bahan utama diperoleh dari Balitro, Bogor. Bahan kimia yang dipakai untuk ekstraksi adalah aquades, etanol 96%, dan kertas saring Whatman No.42. Bahanbahan yang digunakan untuk isolasi limfosit dan kultur sel adalah darah dari donor yang sehat, RPMI-1640 (Sigma. USA), aquades, etanol 70%, antibiotik gentamycin, fycoll-histopaque (Sigma, USA), biru tripan, larutan mitogen (Con A dan LPS) pada konsentrasi 10µg/ml, PBS (Phospat Buffer Saline), NaHCO3 anhidrous, EDTA 0.1%, aquabides, 3[4,5-Dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide (MTT) (Sigma, USA), dan HCL-isopropanol 0.04 N. Bahan kimia yang dipakai untuk analisis kimia K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, NaOH-Na2S2O3, asam borat, HCl 0.02 N, indikator metil merah dan metil biru, dan aquades. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis antioksidan adalah larutan DPPH 3 mM segar, metanol, HPO3, asam askorbat, dan larutan buffer asetat (campuran Na-asetat dan asam asetat). Bahan kimia yang digunakan untuk analisis total fenol adalah etanol, air deion, pereaksi Folin Cioucalteceau 50%, Na2CO3 5%, dan asam tanat. Bahan kimia lain yang digunakan adalah KmnO4 dan larutan formaldehid. 2. ALAT Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat untuk ekstraksi dan persiapan sampel, yaitu blender kering, peralatan gelas, kompor, panci, kain saring, rotary vacuum evaporator, syringe, membran steril 0.22 μm (Sartorius), dan tabung eppendorf. Alat-alat yang digunakan untuk isolasi limfosit dan kultur sel adalah tabung vacutainer steril, sentrifuse CR412, tabung sentrifuse steril 15 ml disposible (Nunc), 19 mikropipet, mikrotip, vorteks, hemasitometer (Bright-line), mikroskop (Olympus CH 20), lempeng mikrokultur (96 well), laminar flow hood, inkubator VWR Scientific (CO2 5 %, 37oC), dan Spectrophotometer Microplate Reader (Bio-rad model 550). Alat-alat yang digunakan untuk analisis kimia adalah oven kering, oven vakum, gegep, neraca analitik, erlenmeyer 100 ml, cawan alumunium, labu kjedahl, pipet 5 ml, 3 ml, dan 10 ml, alat dekstruksi, alat destilasi, buret, gelas piala, sudip, dan gelas pengaduk. Alat-alat yang digunakan untuk analisis antioksidan dan total fenol adalah spektrofotometer, kuvet, tabung reaksi, gelas piala, botol gelap, mikropipet, pipet 5 ml, dan vorteks. B. METODE PENELITIAN Secara garis besar, penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap persiapan meliputi pembuatan ekstrak tanaman yang diujikan dan isolasi sel limfosit, tahap analisis kimia, dan tahap pengujian toksisitas serta daya imunomodulator ekstrak kelima tanaman terhadap proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro. Analisis kimia terdiri dari analisis kadar air, analisiss kadar protein, analisis kadar total fenol, dan analisis kemampuan antioksidan ekstrak untuk menangkal radikal bebas (kapasitas antioksidan). Pada analisis kadar air dan kadar protein, bahan yang diujikan adalah bahan segar kelima tanaman tersebut, sedangkan untuk analisis kadar total fenol, analisis kapasitas antioksidan, dan pengujian toksisitas serta daya imunomodulator, bahan yang diujikan adalah hasil ekstraksi kelima tanaman. Skema tahapan penelitian secara umum dapat dilihat pada Lampiran 1. 1. Tahap Persiapan a. Ekstraksi bahan segar Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan dua pelarut, yaitu aquades dan etanol 96 %. Bagian tanaman yang diekstrak adalah daun (untuk kemuning, ceremai, jati belanda, dan delima putih) dan bunga (untuk kecombrang). Perbandingan jumlah bahan yang diekstraksi untuk kelima tanaman tersebut tidak menggunakan perbandingan yang 20 sama tetapi jumlah bahan yang digunakan didasarkan pada konsumsi normal masyarakat. a.1 Ekstraksi dengan pelarut aquades Metode ekstraksi dilakukan berdasarkan modifikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Pandoyo (2000). Bahan yang telah mengalami proses pembersihan kemudian langsung diblender dengan aquades. Jumlah bahan segar yang diekstraksi dibuat menjadi Perbandingan dua antara kali jumlah konsumsi tanaman normal dan masyarakat. pelarut yang diekstraksi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan bahan segar dan pelarut yang diekstrak Tanaman Bahan segar (g) Pelarut (ml) Daun ceremai 40 200 Daun kemuning 40 200 Daun delima putih 20 200 Daun jati belanda 15 150 Bunga kecombrang 40 200 Setelah diblender, campuran bahan dan aquades tersebut kemudian dipanaskan pada suhu 80oC selama 10 menit. Setelah itu, sampel diangkat dan disaring menggunakan kain saring. Hasil saringan kemudian disentrifus pada 2000 rpm selama 10 menit dengan tujuan untuk memisahkan padatan yang masih tersisa. Supernatan yang diperoleh kemudian dipanaskan kembali pada suhu 800C sampai diperoleh volume akhir ekstrak 10 ml. a.2 Ekstraksi dengan pelarut etanol (Marliyati et.al, 2005) Perbandingan antara jumlah tanaman dan pelarut yang diekstraksi dapat dilihat pada Tabel 2. Bahan yang sudah melalui 21 proses pembersihan kemudian langsung diblender tanpa ditambahkan etanol. Setelah semua bahan diblender, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan etanol. Perbandingan antara bahan dan pelarut sama dengan ekstraksi menggunakan aquades. Larutan yang diperoleh kemudian dimaserasi pada suhu ruang dengan kecepatan 35 rpm. Proses maserasi adalah proses ekstraksi dengan cara perendaman dan pengadukan secara terus-menerus selama 24 jam pada suhu ruang. Setelah satu malam, larutan tersebut disaring menggunakan pompa vakum yang diberi kertas saring Whatman No. 1 pada bagian atasnya. Hasil saringan yang diperoleh kemudian dipekatkan menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 55oC sehingga diperoleh ekstrak pekat dengan volume 10 ml. b. Isolasi Sel Limfosit (Modifikasi dari Nurrahman et al., 1999) Darah donor sebanyak 30 ml diambil secara aseptis di klinik Farfa, Dramaga, Bogor oleh seorang suster. Darah kemudian dimasukkan ke dalam tabung vacuntainer steril. Darah tersebut kemudian dipindahkan ke dalam tabung sentrifus, pemindahan darah ini dilakukan secara aseptis di dalam laminar hood untuk menjamin keaseptisan proses. Pemisahan limfosit awal dilakukan dengan pemusingan (sentrifuse) darah 111.11 x g selama 10 menit. Setelah itu, diambil lapisan buffycoat menggunakan mikropipet dan dilewatkan secara hatihati di atas ficoll melalui dinding tabung. Dilakukan kembali sentrifuse 185.16 x g selama 30 menit. Gambar darah hasil pemisahan dapat dilihat pada Gambar 7. Diambil lapisan bagian atas dan dicuci dengan penambahan 5 ml larutan media RPMI. Campuran ini kemudian disentrifus 111.11 x g selama 10 menit dan dicuci sebanyak dua kali, sehingga didapatkan sel limfosit. Suspensi sel limfosit kemudian dihitung menggunakan haemacytometer dengan pewarnaan biru tripan 22 dan ditepatkan menjadi 2 x 106 sel / ml. Setelah itu ditambahkan serum darah AB sebanyak 10 %. Suspensi sel yang diambil Lapisan buffycoat Sel darah merah Gambar 7. Hasil pemisahan sel darah manusia N = A x FP x 104 sel / ml Keterangan :N = jumlah sel limfosit / ml A = jumlah sel hidup haemacytometer FP = faktor Pengenceran rata-rata per diagonal 2. Tahap Analisis Kimia Analisis kimia yang dilakukan adalah analisis kadar air, kadar protein, kadar total fenol, dan kapasitas antioksidan. Pengujian kadar air dan kadar protein dilakukan menggunakan bahan segar tanaman. Kelima tanaman tanpa melalui proses ekstraksi, dianalisis kadar air dan kadar protein menggunakan metode yang sudah ditentukan. Pengujian kadar total fenol dan kapasitas antioksidan dilakukan menggunakan ekstrak kelima tanaman. 23 2.1. Analisis kadar air metode oven (AOAC,1984) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang. Kelima tanaman (daun delima putih, daun kemuning, daun jati belanda, daun ceremai, dan bunga kecombrang) dipotong kecilkecil kemudian ditimbang kurang lebih 5 gram dalam cawan. Selanjutnya cawan beserta isinya ditempatkan dalam oven selama 6 jam. Kemudian cawan dipindahkan ke desikator, lalu didinginkan. Setelah dingin ditimbang kembali dan diulang proses pengeringan dalam oven sampai diperoleh berat yang tetap. Kadar air diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut : Kadar air (bb) : c – (a-b) x 100 % c Kadar air (bk) : c – (a-b) x 100 % (a-b) Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = barat cawan (g) c = berat sampel awal (g) 2.2. Analisis kadar protein (AOAC,1984) Masing-masing tanaman (daun delima putih, daun kemuning, daun jati belanda, daun ceremai, dan bunga kecombrang) ditimbang 0.1-0.15 gram. Setelah itu dimasukkan masing-masing ke dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 1.9±0.1 g K2SO4, 40±10 mg HgO, dan 2.0±0.1 ml H2SO4. Contoh kemudian dididihkan sampai cairan menjadi jernih (sekitar 1 jam). Larutan jernih ini kemudian dipindahkan ke alat destilasi. Labu Kjeldahl dicuci dengan air (1-2 ml). Air cucian dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Digunakan asam standar yaitu asam borat yang telah ditambahkan indikator campuran merah metil dan metil biru. Destilasi dihentikan saat terjadi perubahan warna asam 24 standar dari biru violet menjadi hijau. Cairan hasil destilasi (dalam erlenmeyer) kemudian dititrasi oleh HCl 0.02 N. Titik akhir titrasi ketika warna titrat berubah dari hijau menjadi biru keunguan/abuabu. Kadar protein diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut : %N = ( ml HCL sampel – ml HCL blanko ) x N HCL x 14.007 x 100 mg contoh Kadar Protein (KP) % = Faktor Konversi x %N 2.3. Analisis Total Fenol Analisis terhadap total fenol kelima ekstrak tanaman dilakukan menurut metode Chandler dan Dodds yang dimodifikasi (Shetty et.al , 1995). Sebanyak 1 ml ekstrak tanaman (daun delima putih, daun kemuning, daun jati belanda, daun ceremai, dan bunga kecombrang)masing-masing diencerkan dengan perbandingan 1:100. Kemudian sebanyak 1 ml masing-masing ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 1 ml etanol 95 % dan 5 ml air bebas ion. Pereaksi Folin-Ciocalteceau (50%, 0,5 ml) ditambahkan pada masing-masing sampel. Campuran tersebut kemudian divorteks dan didiamkan selama 5 menit. Setelah 5 menit, ditambahkan 1 ml Na2CO3 5 %, kemudian divorteks dan disimpan selama 60 menit dalam ruang gelap. Sampel dihomogenisasi kembali, dan absorbansinya diukur pada panjang gelombang 725 nm. Standar yang digunakan adalah asam tanat. Dengan konsentrasi 0,5,10,15,20, dan 25 ppm. 2.4. Pengujian Kemampuan Antioksidan untuk Meredam Radikal Bebas (Kapasitas Antioksidan) (Hatano, et.al,1988) Analisis kapasitas antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode DPPH. Sebanyak 2 ml buffer asetat dicampur 25 dengan 3.75 ml metanol dan 200 μl larutan DPPH. Campuran kemudian divorteks. Setelah itu ditambahkan masing-masing 50 μl ekstrak tanaman (daun delima putih, daun kemuning, daun jati belanda, daun ceremai, dan bunga kecombrang) atau kontrol standar atau kontrol positif. Larutan kemudian divorteks dan didiamkan selama 20 menit di ruang gelap. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 517 nm. Kontrol standar yang digunakan adalah metanol, sedangkan kontrol positif yang digunakan adalah adalah asam askorbat dengan konsentrasi 50 , 100 , 200 , 500 , dan 1000 ppm. Kapasitas antioksidan diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut : Kapasitas antioksidan (%) : [ A kontrol (-) – A sampel ] x 100 % A kontrol (-) Antioksidan yang terdapat pada ekstrak tanaman selain dinyatakan dengan persen kapasitas antioksidan, dinyatakan juga dalam bentuk AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity). Dibuat kurva standar asam askorbat dengan perbandingan antara kapasitas antioksidan (%) dan konsentrasi asam askorbat (ppm). Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity (AEAC) ekstrak ditentukan menggunakan persamaan kurva standar asam askorbat yang diperoleh, dan dinyatakan dalam mg / l AEAC. 3. Pengujian Toksisitas dan Daya Imunomodulator Ekstrak Kelima Tanaman Terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia 3.1 Persiapan ekstrak kelima tanaman untuk kultur sel Ekstrak yang digunakan untuk pengujian toksisitas dan daya imunomodulator diencerkan pada tiga taraf konsentrasi dengan media RPMI-1640 sebagai media pelarut, kemudian disterilisasi dengan membran 0.22 μm. Tiga taraf konsentrasi itu adalah C1, C2, dan C3. C1 adalah setengah konsentrasi dari konsumsi normal, C2 adalah konsentrasi pada konsumsi normal, dan C3 adalah dua kali 26 konsentrasi normal masyarakat. Konsentrasi normal ekstrak tanaman yang diujikan dapat dilihat pada Tabel 11 3.2. Metode biru tripan (Meiriana, 2006) Pada masing-masing sumur ditambahkan sebanyak 20 μl ekstrak dengan tiga taraf konsentrasi dan suspensi sel sebanyak 80 μl (suspensi sel telah ditambahkan 10% serum terlebih dahulu). Sebagai kontrol standar, ke dalam setiap sumur dimasukkan suspensi sel sebanyak 80 μl dan 20 μl RPMI. Untuk kontrol positif, tiap sumur dimasukkan 80 μl suspensi sel dan 20 μl mitogen (Con A atau LPS). Konsentrasi mitogen yang digunakan adalah 10 μg mitogen / μl RPMI-1640. Kultur kemudian diinkubasi pada suhu 37oC (5% CO2, 95% O2) dan RH 96% selama 72 jam. Pengukuran jumlah sel mati dihitung dengan bantuan pewarnaan biru tripan menggunakan haemocytometer. 3.3. Metode MTT (Meiriana, 2006) Langkah-langkah yang dilakukan sama dengan metode biru tripan, hanya saja 4 jam sebelum masa inkubasi berakhir, kultur sel ditambahkan 10 μl larutan MTT 0.5 %. Setelah masa inkubasi berakhir, pada masing-masing sumur kultur sel, ditambahkan dengan 100 μl HCL-Isopropanol 0.04 N untuk melarutkan kristal formazan yang terbentuk. Setelah itu dilakukan pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 570 nm menggunakan Spectrophotometer Microplate Reader. Nilai absorbansi yang terbaca bersifat proporsional terhadap jumlah sel yang hidup. Indeks Stimulasi (I.S) dihitung menggunakan persamaan berikut : % IS = (Absorbansi sampel/Absorbansi kontrol) x 100 % 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Ekstraksi Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi terhadap lima tanaman yaitu kemuning, ceremai, delima putih, jati belanda, dan kecombrang. Untuk kemuning, delima putih, jati belanda, dan ceremai, bagian yang diekstrak adalah daun, sedangkan bagian yang diekstrak dari kecombrang adalah bunga. Pemilihan bagian tanaman tersebut berdasarkan pemanfaatan bagian tanaman secara tradisional oleh masyarakat. Ekstraksi adalah metode pemisahan dimana komponen-komponen terlarut dari suatu campuran dipisahkan dari komponen-komponen yang tidak larut dengan pelarut yang sesuai (Leniger dan Beverloo, 1975). Metode paling sederhana untuk mengekstraksi padatan adalah dengan mencampur seluruh bahan dengan pelarut, lalu memisahkan larutan dengan padatan tidak terlarut. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi pada penelitian ini adalah aquades dan etanol 96 %. Ekstrak dengan pelarut aquades digunakan sebagai pendekatan terhadap keadaan nyata konsumsi tanaman tersebut sehari-hari secara umum, karena secara tradisional pengkonsumsian kelima tanaman tersebut menggunakan pelarut air. Pelarut etanol digunakan karena memiliki polaritas lebih tinggi daripada aquades sehingga akan lebih banyak melarutkan komponen polar. Etanol mudah untuk melarutkan senyawa resin, lemak, minyak, asam lemak, dan senyawa organik lainnya, serta merupakan pelarut yang aman dalam arti tidak toksik (Somaatmaja, 1981), selain itu untuk mengekstrak suatu bahan yang belum diketahui kandungan kimianya secara jelas diharuskan menggunakan pelarut etanol atau air untuk alasan keamanan (DepKes, 2000). Penelitian lain yang telah dilakukan dengan menggunakan pelarut aquades dan etanol 96% telah dilakukan oleh Nora (2003). Ekstrak tanaman yang digunakan adalah daun kumis kucing dan bunga kenop. Perbandingan antara jumlah tanaman dan pelarut pada saat ekstraksi berdasarkan konsumsi normal masyarakat. Hasil ekstraksi kemudian diujikan pada sel limfosit tikus 28 untuk mengetahui tingkat toksisitas dan daya imunomodulator ekstrak. Hasil yang diperoleh adalah semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun kumis kucing yang dikulturkan pada kultur sel limfosit, indeks stimulasi proliferasi sel limfosit akan semakin meningkat. Indeks proliferasi tertinggi terjadi pada konsentrasi ekstrak daun kumis kucing 38.4 mg / ml. Perbandingan antara bahan dan pelarut didasarkan pada konsumsi sehari-hari masyarakat. Tujuan dari penentuan perbandingan bahan berdasarkan konsumsi normal adalah mengetahui tingkat efektifitas kelima tanaman ketika dikonsumsi dalam jumlah normal terhadap keseluruhan pengujian yang akan dilakukan. Perbandingan konsumsi sehari-hari bahan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Konsumsi normal masyarakat terhadap kelima tanaman Tanaman Konsumsi Normal Bahan segar (g) Pelarut (ml) Daun ceremai 3 – 25a 200 Daun kemuning 20 – 60b 200 Daun delima putih 5 – 10c 200 Daun jati belanda 5 – 10d 150 Bunga kecombrang 20-50e 200 a IPTEKa,2005 IPTEKb,2005 c IPTEKc,2005 d IPTEKd,2005 e DepKes,2005 b Jumlah bahan segar yang diekstraksi pada penelitian ini, dibuat menjadi dua kali konsumsi normal masyarakat. Perbandingan antara jumlah tanaman dan pelarut yang diekstraksi dapat dilihat pada Tabel 2. Bahan yang diekstraksi merupakan bahan segar. Hal ini mengacu pada cara ekstraksi tradisional masyarakat saat mengkonsumsi kelima tanaman tersebut, yaitu bahan segar. Bagian tanaman (daun delima putih, daun kemuning, daun jati belanda, daun ceremai, dan bunga kecombrang) yang akan diekstrak mengalami proses 29 penghalusan menggunakan blender dengan maksud memperluas daya pelarutan sampel, sehingga pelarutan komponen pada sampel dapat lebih merata. Ekstraksi menggunakan pelarut aquades berdasarkan modifikasi dari penelitian Pandoyo (2000). Pada ekstraksi menggunakan pelarut aquades, dilakukan pemanasan pada suhu 80oC selama 10 menit. Tujuannya adalah mempercepat proses pelarutan dan menginaktivasi enzim tertentu yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi sehingga perubahan kimiawi pada ekstrak dapat dicegah contohnya proses oksidasi yang dilakukan oleh enzim fenolase (Giner, 2001). Penggunaan suhu yang agak tinggi dalam waktu yang relatif singkat bertujuan mencegah kerusakan komponen aktif ekstrak dalam jumlah besar. Setelah itu, sampel kemudian disaring menggunakan kain saring. Filtrat yang diperoleh kemudian disentrifus pada 2000 rpm selama 10 menit dengan tujuan mengendapkan padatan yang masih tersisa. Ekstraksi menggunakan pelarut etanol dilakukan dengan metode maserasi, yaitu proses ekstraksi dengan cara perendaman dan pengadukan secara terus menerus selama 24 jam pada suhu ruang. Setelah dimaserasi, ekstrak dipisahkan dari ampas dengan menggunakan pompa vakum. Pada tahap akhir, baik untuk ekstrak yang menggunakan pelarut aquades ataupun etanol, dilakukan pemisahan ekstrak dari pelarut, untuk pelarut aquades dilakukan pemisahan dengan memanaskan sampel pada suhu 80oC sampai diperoleh volume akhir 10 ml, sedangkan untuk etanol pemisahan dilakukan menggunakan rotary evaporator pada suhu 55oC sehingga diperoleh volume akhir 10 ml. Penentuan suhu 55oC berdasarkan metode ekstraksi yang dilakukan oleh Marliyati et.al (2005). Menurut Oher (2002), kisaran suhu yang biasa digunakan untuk memekatkan etanol menggunakan rotary evaporator adalah 40oC – 55oC. Pada kisaran suhu tersebut, etanol sudah mulai menguap. Pada penelitian ini, proses ekstraksi dihentikan setelah diperoleh volume ekstrak 10 ml. Pada volume 10 ml diharapkan residu pelarut di ekstrak dalam jumlah kecil sehingga tidak memberikan efek yang signifikan pada hasil penelitian walaupun kemungkinan sisa pelarut tersebut juga mempengaruhi pengujian toksisitas pada sel limfosit. Hasil ekstraksi 30 kemudian dihitung bobotnya pada volume 10 ml. Bobot hasil ekstraksi dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 4. Contoh perbandingan warna antara ekstrak dengan pelarut aquades dan etanol dapat dilihat pada Gambar 8. Tabel 4. Bobot hasil ekstraksi kelima tanaman pada volume 10 ml Bahan Bobot hasil ekstraksi (gr) Etanol Aquades Daun ceremai 9.42 10.50 Daun kemuning 9.36 11.70 Bunga kecombrang 9.31 10.90 Daun delima putih 8.94 11.43 Daun jati belanda 8.80 8.89 a. ceremai air b. ceremai etanol c. kemuning air d. kemuning etanol Gambar 8. Perbandingan warna antara hasil ekstraksi menggunakan pelarut aquades dan etanol Pada penelitian ini, tidak dilakukan pengujian untuk mengetahui residu etanol ataupun aquades yang tersisa pada ekstrak. Pemekatan sisa pelarut dapat dilakukan menggunakan gas N2, tetapi pada penelitian ini tidak dilakukan. Indikator terdapatnya residu etanol dalam jumlah kecil dapat diketahui dari tidak terdeteksinya lagi aroma etanol pada ekstrak seperti pada awal proses ekstraksi. Menurut Sandres (1995), etanol merupakan salah satu jenis pelarut yang diizinkan untuk digunakan dalam pengujian walaupun masih tersisa residu di dalamnya. Pelarut lain yang juga diizinkan adalah propanol. Walaupun masih diizinkan, tetapi harus juga diperhatikan konsentrasi ekstrak yang diujikan. Penelitian untuk mengetahui efek yang ditimbulkan oleh residu etanol terhadap proliferasi sel limfosit B manusia 31 telah dilakukan Alexander, et.all (2003). Penelitian ini dilakukan menggunakan tanaman Cissampelos s.eichl. Hasil yang diperoleh penambahan ekstrak tanaman pada konsentrasi 100 mg/ml ke dalam kultur sel limfosit ternyata tidak mempengaruhi proliferasi sel limfosit. Ekstrak yang ditambahkan ke dalam kultur masih mengandung residu etanol dalam jumlah yang tidak diketahui. 2. Analisis Kimia Kadar Air Air merupakan komponen terbesar yang terdapat secara umum pada setiap tanaman tropis. Air berperan sebagai pembawa zat-zat makanan dan sisa-sisa metabolisme, sebagai media reaksi yang menstabilkan pembentukan biopolimer, dan sebagainya (Winarno, 1992). Kadar air suatu bahan pangan erat kaitannya dengan mutu bahan dan kecepatan kerusakan bahan, baik yang sifatnya mikrobiologi ataupun kimia. Penentuan kadar air merupakan suatu cara untuk mengukur banyaknya air yang terdapat di dalam bahan pangan. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menentukan kadar air, diantaranya metode oven vakum, oven kering, destilasi azeotropik, dan lain-lain. Pemilihan metode tersebut disesuaikan dengan sampel yang akan diukur. Pada penelitian ini, dilakukan penentuan kadar air menggunakan metode oven kering. Suhu oven yang digunakan untuk mengeringkan memiliki kisaran antara 105-110oC. Untuk menghindari terjadinya kesalahan positif, yaitu adanya penambahan kadar air sampel yang berasal dari cawan yang digunakan, sebelumnya dilakukan pengeringan terhadap cawan tersebut. Sampel yang akan diukur kadar airnya kemudian dimasukkan ke dalam oven selama enam jam. Setelah enam jam, sampel diukur bobotnya, kemudian dimasukkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh bobot yang tetap. Pada penelitian ini, perhitungan kadar air kelima tanaman menggunakan bahan segar tanaman tersebut artinya bahan yang diujikan 32 tidak mengalami proses pengeringan terlebih dahulu. Kelima tanaman tanpa mengalami proses ekstraksi, langsung dihitung menggunakan metode perhitungan kadar air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bunga kecombrang memiliki kadar air tertinggi bila dibandingkan dengan keempat sampel lain, yaitu 92.30 % (b.b), sedangkan daun delima putih memiliki kadar air terendah yaitu 58.26 % (b.b). Hasil perhitungan kadar air lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kadar air bahan segar dari kelima tanaman yang digunakan Bahan Kadar Air (% b.b) Daun ceremai 65.20 Daun kemuning 67.96 Bunga kecombrang 92.30 Daun jati belanda 63.02 Daun delima putih 58.26 Sebagai pembanding, telah dilakukan penelitian oleh Ayu (2004), diperoleh hasil bahwa kadar air daun jati belanda basah sekitar 72.92 %, sedangkan kadar air daun kemuning sekitar 69.82 %. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni (2007), menunjukkkan bahwa kadar air bunga kecombrang berdasarkan bobot basahnya adalah 90.23 %. Kadar air tanaman lain diantaranya kadar air daun kumis kucing berdasarkan bobot basah adalah 81.42 % dan kadar air bunga knop berdasarkan bobot basah adalah 73.13 % (Nora, 2003). Kadar air daun sambiloto adalah 79.5 %, kadar air daun saga adalah 83.39 %, dan kadar air daun pare adalah 83.25 % (Jurai, 2007). Kadar Protein Analisis kadar protein pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Kjeldahl. Alasan pemilihan metode ini karena dapat diaplikasikan untuk semua jenis bahan pangan, sederhana, tidak mahal, 33 dan cukup akurat untuk menghitung protein kasar (Winarno, 1992). Pada metode ini, dilakukan pengukuran terhadap kadar nitrogen total dalam sampel. Prinsip metode ini adalah mula-mula sampel didekstruksi dengan asam sulfat pekat menggunakan katalis. Amonia yang terjadi ditampung dan dititrasi dengan bantuan indikator (Winarno, 1992). Penentuan kadar protein dilakukan dengan menggunakan bahan segar dari setiap tanaman yang diujikan. Setiap tanaman tanpa mengalami proses ekstraksi, langsung dihitung kadar proteinnya. Kadar protein kelima tanaman yang diujikan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kadar protein dari bahan segar kelima tanaman yang digunakan Bahan Kadar Protein (%) Daun ceremai 6.40 Daun kemuning 4.65 Bunga kecombrang 1.38 Daun jati belanda 6.05 Daun delima putih 5.88 Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa bunga kecombrang memiliki kadar protein terendah yaitu sekitar 1.38 % berdasarkan bobot basahnya, sedangkan daun ceremai memiliki kadar protein tertinggi yaitu 6.40 % perbobot basahnya. Kadar protein beberapa daun-daunan menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), yaitu daun bayam sebesar 3.5 % (b.b), daun pepaya sebesar 8.0 % (b.b), daun singkong sebesar 6.8 % (b.b). Sebagai pembanding, berdasarkan penelitian Ayu (2004), diketahui kadar protein jati belanda sebesar 8.44 % (b.b) dan kadar protein kemuning sebesar 7.38 % (b.b), sedangkan berdasarkan penelitian Daroini (2006), diketahui bahwa kadar protein daun ceremai berdasarkan bobot keringnya adalah 12.65 %. Kadar protein daun saga adalah 16.48 %, kadar protein daun sambiloto adalah 20.79 %, dan kadar protein daun pare adalah 12.09 % (Jurai, 2007). 34 Kekurangan protein dan asam amino sangat mengganggu sistem kekebalan tubuh terutama imunitas seluler, fungsi fagositosis, kadar komplemen, antibodi yang disekresi dan afinitas antibodi (Zakaria, 1996). Dengan mengetahui adanya pengaruh kandungan protein terhadap sistem imun, maka dianggap perlu dilakukan analisis terhadap kadar protein pada kelima tanaman yang diujikan. Selain itu, perhitungan protein juga berkaitan erat dengan kandungan fenol di dalam suatu tanaman. Fenol bebas dan produk oksidasinya diketahui berinteraksi dengan protein bahan pangan dan menghambat aktivitas enzim-enzim seperti oksidase, tripsin, arginase, dan lipase (Haslam, E. et.al., 1992). Interaksi ini dapat mempengaruhi metabolisme komponen fenolik atau protein itu sendiri di dalam tubuh atau secara invitro. Walaupun setiap bahan yang diujikan memiliki kadar protein yang lebih rendah dibandingkan kadar protein yang berasal dari sumber protein contohnya kacang hijau. Kacang hijau memiliki kadar protein sekitar 20.7 % (b.b) (Muchtadi dan Sugiyono,1989). Namun apabila dikonsumsi dalam jumlah yang sesuai, diharapkan dapat memberikan sumbangan protein bagi tubuh. Kadar Total Fenol Komponen fenol dapat berfungsi sebagai antioksidan karena dapat menghentikan reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipid (Kochlar dan Russell,1990). Aktivitas fenol sebagai antioksidan berhubungan dengan kemampuannya untuk menyumbangkan atom hidrogen (Singh et.al, 2002). Pada penelitian ini, standar yang digunakan untuk penentuan total fenol adalah asam tanat. Data kurva standar dapat dilihat pada Tabel 7. Persamaan yang diperoleh dari kurva standar akan digunakan untuk menentukan total fenol dari ekstrak yang diujikan. 35 Tabel 7. Data kurva standar asam tanat Standar [ ] ppm Absorbansi Asam Tanat 0 0.000 5 0.095 10 0.160 15 0.240 20 0.298 25 0.386 Ekstrak yang akan dihitung kandungan fenolnya harus diencerkan terlebih dahulu. Pada umumnya sebelum digunakan, ekstrak diencerkan dengan perbandingan antara 1:500 sampai 1:1000 (Singh et.al, 2002). Pada penelitian ini, faktor pengenceran yang digunakan adalah 1:100 mempertimbangkan jumlah fenol yang terdapat di dalam ekstrak. Pengenceran diperlukan karena kandungan fenol yang tinggi sehingga absorbansi tidak dapat terbaca di spektrofotometer. Hasil pengukuran kadar total fenol pada ekstrak kelima tanaman dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Kadar total fenol ekstrak kelima tanaman pada konsumsi normal masyarakat Ekstrak [ ] Fenol ( x 102 ppm) Tanaman Etanol Aquades Daun ceremai 32.24 41.57 Daun kemuning 77.84 44.11 Bunga kecombrang 25.84 16.57 Daun jati belanda 15.51 4.44 Daun delima putih 81.37 62.31 Secara keseluruhan, ekstrak dengan pelarut etanol cenderung memiliki kadar fenol yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut aquades (Tabel 8). Hal ini disebabkan karena komponen fenolik mudah larut pada pelarut organik yang bersifat polar seperti etanol (Hounghton 36 dan Raman, 1998). Terjadi penyimpangan pada ekstrak daun ceremai. Daun ceremai yang diekstrak menggunakan etanol memiliki total fenol lebih rendah dibanding ekstrak dengan aquades. Hal ini dapat disebabkan karena fenol yang terdapat pada daun ceremai merupakan fenol yang terikat dengan senyawa lain. Menurut Suradikusuma (1989), senyawa fenol yang berikatan dengan protein ataupun gula glikosida cenderung mudah larut pada pelarut aquades dibandingkan pelarut yang lain. Ekstrak yang memiliki kandungan fenol tertinggi adalah ekstrak daun delima putih dengan etanol yaitu sebesar 81.37 x 102 ppm (mg/l ekstrak), sedangkan ekstrak dengan total fenol terendah adalah ekstrak daun jati belanda dengan aquades yaitu 4.44 x 102 ppm (mg/l ekstrak). Sebagai pembanding, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni (2007), diketahui bahwa kadar total fenol bunga kecombrang menggunakan pelarut aquades adalah 5.41 x 102 ppm. Penelitian lain tentang kadar total fenol tanaman lain adalah total fenol pada daun cincau hijau yang diekstrak dengan aquades adalah 5.7 x 102 ppm dan dengan pelarut etanol 1.2 x 102 ppm (Pandoyo, 2000), sedangkan kadar total fenol pada bunga kenop adalah 3.40 x 103 ppm (Nora, 2003). Fungsi fisiologis senyawa fenol antara lain sebagai antikanker, antimikroba, antioksidan, dan merangsang sistem daya tahan tubuh. Oleh karena itu, senyawa fenol dapat menjadi senyawa yang melindungi limfosit dari senyawa asing seperti radikal bebas (Singh et.al, 2002). Pengujian Kemampuan Antioksidan untuk Meredam Radikal Bebas (Kapasitas Antioksidan) Pada penelitian ini, perhitungan kapasitas antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil atau 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil). Metode ini dipilih karena cukup sederhana untuk menghitung kapasitas antioksidan dan hanya membutuhkan waktu singkat. Prinsip kerja dari metode ini adalah proses reduksi senyawa DPPH oleh antioksidan yang menghasilkan pengurangan intensitas warna dari larutan DPPH. Pemudaran warna akan mengakibatkan penurunan nilai 37 absorbansi sinar tampak dari spektofotometer. Perubahan warna pada uji ini berhubungan dengan kemapuan meredam radikal bebas. Perhitungan kapasitas antioksidan dilakukan dengan membandingkan sampel dan kontrol standar yang menggunakan metanol untuk mengetahui persentase kekuatan sampel sesuai dengan konsentrasinya dalam larutan. Bahan segar yang digunakan untuk ekstraksi tidak dalam jumlah yang sama disebabkan untuk mengetahui tingkat kekuatan masing-masing tanaman sebagai antioksidan bila dikonsumsi secara normal perhari. Hasil penelitian tentang kapasitas antioksidan ekstrak dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Kapasitas antioksidan kelima ekstrak tanaman pada konsumsi normal masyarakat Sampel Kemampuan memerangkap radikal bebas (%) Etanol Aquades Daun ceremai 92.02 85.88 Daun kemuning 70.45 80.00 Bunga kecombrang 92.96 92.26 Daun jati belanda 78.64 83.37 Daun delima putih 85.93 87.00 Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa ekstrak kecombrang dengan pelarut etanol memiliki konsentrasi tertinggi yaitu 92.96 %. Komponen antioksidan pada kecombrang ternyata memiliki kekuatan yang cukup besar untuk menangkal senyawa radikal bebas (DPPH) sehingga mencegah terjadinya oksidasi. Tiga tanaman yaitu kemuning, jati belanda, dan delima putih memiliki kapasitas antioksidan lebih tinggi saat diekstrak dengan aquades dibandingkan dengan etanol. Hal ini berkebalikan dengan kadar total fenol ekstrak yang memiliki jumlah tertinggi saat diekstrak menggunakan etanol. Kadar total fenol dan kapasitas antioksidan ekstrak kelima tanaman menunjukkan adanya hubungan negatif. Hal ini dapat disebabkan karena komponen antioksidan yang terekstrak oleh pelarut 38 tidak hanya berasal dari komponen fenol saja melainkan dari komponen lain, selain itu, adanya perbedaan jenis senyawa fenolik yang terkandung pada masing-masing ekstrak menyebabkan adanya perbedaan juga dalam kemampuan senyawa fenol tersebut sebagai antioksidan. Antioksidan yang terdapat pada ekstrak tanaman selain dinyatakan dengan persen kapasitas antioksidan, tetapi dinyatakan juga dalam bentuk AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity). Kontrol positif yang digunakan pada penelitian ini adalah asam askorbat dengan konsentrasi 50 , 100 , 200 , 500 , dan 1000 mg/l. Pada penelitian dibuat kurva standar asam askorbat mengebai hubungan antara kapasitas antioksidan (%) dengan konsentrasi asam askorbat (mg/l). Kapasitas antioksidan ekstrak dimasukkan dalam kurva standar asam askorbat, sehingga akan diperoleh kekuatan antioksidan ekstrak yang dinyatakan dalam mg / l AEAC. Standar asam askorbat dapat dilihat pada Tabel 10. Kapasitas antioksidan ekstrak tanaman dalam mg / l AEAC dapat dilihat pada Gambar 9. Tabel 10. Data kurva standar asam askorbat Standar [ ] ppm Absorbansi Daya peredaman radikal bebas (%) Asam Askorbat 50 1.180 2.88 100 1.170 3.70 200 1.050 13.58 500 0.778 36.79 1000 0.233 80.82 39 1074.59 bunga kecombrang 400 200 0 1147.96 1043.75 1087.84 1003.14 etanol aquades daun ceremai 1150.86 daun delima putih 1000 800 888.08 1088.45 600 986.75 daun jati belanda 1159.28 daun kemuning mg / l AEAC 1400 1200 Ekstrak tanaman Gambar 9. Kapasitas antioksidan ekstrak tanaman dalam mg / l AEAC Hasil perhitungan menggunakan Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity menunjukkan hasil bahwa ekstrak tanaman yang memiliki AEAC tertinggi adalah ekstrak bunga kecombrang baik menggunakan pelarut aquades ataupun etanol, sedangkan ekstrak tanaman yang memiliki AEAC terendah adalah ekstrak daun kemuning aquades. Perhitungan dengan Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity (AEAC) ini dimaksudkan untuk mengetahui perbandingan kemampuan antioksidan ekstrak bila dinyatakan dalam daya peredaman radikal bebas oleh asam askorbat. Pemilihan asam askorbat dikarenakan asam askorbat sudah digunakan secara umum oleh masyarakat luas sebagai antioksidan. Aplikasi dengan adanya perhitungan ini bagi masyarakat adalah untuk mengetahui keefektifan pengkonsumsian ekstrak tanaman yang diuji dibandingkan dengan pengkonsumsian asam askorbat dilihat dari sudut fungsi asam askorbat sebagai senyawa antioksidan. Pada ekstrak bunga kecombrang etanol, diketahui bahwa daya peredaman ekstrak sebanding dengan 1159,28 mg/l asam askorbat. Angka itu menunjukkan bahwa di dalam satu liter larutan yang dikonsumsi, terdapat sekitar 1159.28 mg asam askorbat. Dalam penggunaan sehari-hari, pengkonsumsian sebanyak satu liter ekstrak tidak 40 dianjurkan karena akan terbuang percuma oleh sistem metabolisme tubuh. Pengkonsumsian yang dianjurkan adalah sebanyak 100 ml ekstrak untuk dikunsumsi setiap hari. Bila dilihat dari kemampuan daya peredaman, dengan mengkonsumsi sebanyak 100 ml ekstrak bunga kecombrang etanol, maka konsumsi ini setara dengan kemampuan daya peredaman radikal bebas ketika kita mengkonsumsi 115,93 mg asam askirbat (vitamin C). Kebutuhan seharihari asam askorbat menurut FAO (2006) adalah 60 mg asam askorbat setiap hari. Untuk ekstrak yang lain, dengan mengkonsumsi sebanyak 100 ml ekstrak setiap hari, maka kemampuan daya peredaman radikal bebas sebanding dengan 88.81 mg asam askorbat untuk ekstrak daun kemuning etanol, dan 108.84 untuk ekstrak daun kemuning aquades. Untuk ekstrak bunga kecombrang, kemampuan peredaman tersebut sebanding dengan 115.09 mg asam askorbat. Untuk ekstrak daun jati belanda etanol, kemampuan tersebut sebanding dengan 98.67 mg asam askorbat, sedangkan untuk ekstrak aquades, nilainya sebanding dengan 104.38 mg asam askorbat. Untuk ekstrak daun delima putih etanol, nilainya sebanding dengan 107.46 mg asam askorbat, sedangkan untuk ekstrak aquades, nilainya sebanding dengan 108.78 mg asam askorbat. Untuk ekstrak daun ceremai etanol, nilainya sebanding dengan 114.80 mg asam askorbat, sedangkan untuk ekstrak aquades, nilainya sebanding dengan 100.31 mg asam askorbat. 3. Proliferasi Sel Limfosit Manusia Metode pengujian secara in vitro memerlukan kondisi lingkungan pertumbuhan yang sama dengan keadaaan dalam tubuh. Hal ini bertujuan agar proses biologis yang terjadi di dalam kultur sel berlangsung mendekati keadaan sebenarnya di dalam tubuh. Kondisi lingkungan tersebut diantaranya pH, asupan nutrisi yang diberi, ataupun fase gas yang sesuai untuk pertumbuhan sel. Mengamati proses pertumbuhan sel secara in vitro memiliki keuntungan bila dibandingan secara in vivo. Keuntungan metode ini adalah keadaan lingkungan pertumbuhan dapat stabil karena dapat diamati secara langsung, selain itu karakteristik dari sel yang ingin ditumbuhkan dapat diatur (Harrison, 1997). 41 Darah yang akan diisolasi sel limfositnya diambil secara aseptis di klinik Farfa Dramaga oleh seorang suster. Darah ini dimasukkan dalam tabung vacuntainer steril. Pemisahan sel limfosit dari sel-sel darah lain dilakukan dengan menggunakan larutan ficoll (Histopaque). Larutan ini memiliki densitas 1.077 + 0.0001 g/ml sehingga mampu menahan sel-sel agranulosit yang berdensitas rendah seperti limfosit untuk berada tetap dibagian atas. Volume total kultur sel pada penelitian ini adalah 100 μl untuk setiap sumur. Jumlah sel limfosit hidup yang dikultur pada penelitian ini adalah 2 x 106 sel/ml. Jumlah limfosit yang hidup ini disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Meiriana (2006). Dengan jumlah sel tersebut, diharapkan sel limfosit akan mampu bertahan hidup dan melewati siklus hidupnya dalam waktu inkubasi selama 72 jam. Pemilihan waktu inkubasi 72 jam ini disesuaikan dengan perkiraan berkurangnya zat-zat gizi dari medium untuk mendukung proses pertumbuhan sel. Menurut Freshney (1994), medium pertumbuhan sel limfosit berfungsi maksimal selama tiga hari. Bila ingin dikultur lebih lama, harus dilakukan penyegaran media dan penambahan glutamin. Alasan lain penentuan waktu inkubasi adalah menurut Paul (1972), kultur sel limfosit manusia harus dihitung tidak lebih dari tiga hari, karena bila lewat dari waktu tersebut, sel yang dikultur akan mati perlahan. Volume sel limfosit yang ditambahkan ke dalam sumur adalah 80 μl. Jumlah sel limfosit hidup setelah ditambahkan ekstrak akan dibandingkan dengan jumlah sel limfosit yang hidup tanpa penambahan ekstrak dengan melihat peningkatan ataupun penurunan jumlahnya selama 72 jam. Penentuan konsentrasi ekstrak sampel yang akan digunakan dalam kultur sel didasarkan pada asumsi perhitungan konsentrasi ekstrak yang akan terdapat di darah berdasarkan dua kali konsumsi normal (C3). Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 2. Setelah itu dilakukan dua kali penegenceran dengan konsentrasi setengah konsentrasi awal (C2) dan seperempat konsentrasi awal (C1). Untuk konsentrasi ekstrak berdasarkan konsumsi sehari-hari dilambangkan dengan C2, satu taraf lebih rendah dilambangkan dengan C1, dan satu taraf lebih tinggi dari konsumsi normal dilambangkan dengan C3. Penggunaan konsentrasi bertingkat ini 42 bertujuan mengetahui signifikansi peningkatan dosis dengan efek terhadap respon toksisitas ataupun respon proliferasi sel yang dihasilkan. Konsentrasi ekstrak sehari-hari dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Konsentrasi ekstrak tanaman dari konsumsi normal perhari Tanaman C2 (mg ekstrak/ml RPMI) Etanol Aquades Daun kemuning 3.899 4.875 Bunga kecombrang 3.876 4.542 Daun jati belanda 3.666 3.704 Daun delima putih 3.725 4.763 Daun ceremai 3.923 4.375 Pengujian aktivitas proliferasi dilakukan dengan perhitungan sel menggunakan metode biru tripan dan pengukuran secara spektrofotometer menggunakan metode MTT. Metode biru tripan digunakan untuk menghitung jumlah sel limfosit yang mati, sedangkan metode MTT digunakan untuk menghitung jumlah sel limfosit yang hidup. Metode MTT selain dapat digunakan untuk menghitung proliferasi sel limfosit manusia, biasa juga digunakan untuk menghitung proliferasi sel kanker. Menurut Liu, et.al (2002), pengamatan terhadap penghambtan proliferasi sel kanker hati manusia oleh ekstrak aquades tanaman raspberries dilakukan dengan menggunakan metode MTT. Hasil yang diperoleh adalah ekstrak raspberries dapat menghambat proliferasi sel kanker hati manusia HepG2 pada konsentrasi ekstrak 50 mg / ml. Hasil ini ditunjukkan dengan nilai Indeks Stimulasi yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol standar. Kesalahan perhitungan absorbansi dapat terjadi pada metode MTT (Sigma,2006). Kesalahan ini disebabkan adanya kontaminasi dari bakteri ataupun kamir. Mitokondria sel bakteri juga menghasilkan enzim suksinat dehidrogenase yang dapat bereaksi dengan garam tetrazolium dari MTT sehingga menghasilkan kristal formazan berwarna biru. Kesalahan yang 43 terjadi adalah kesalahan positif karena jumlah kristal formazan yang terbentuk tidak hanya berasal dari sel limfosit yang hidup saja melainkan dari sel bakteri juga. Untuk mengantisipasi kontaminasi yang terjadi, penelitian dilakukan dalam kondisi yang aseptis. Pada metode trifan blue juga dapat terjadi kesalahan akibat kelelahan mata saat menghitung, oleh karena itu perhitungan sel sebaiknya dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. 4. Pengujian Toksisitas dan Daya Imunomodulator Ekstrak Terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia Proliferasi adalah proses perbanyakan sel melalui pembelahan sel atau mitosis sebagai respon terhadap antigen ataupun mitogen. Respon proliferasi sel limfosit yang diuji pada sistem in vitro dapat digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu (Fletcher et al.,1994). Aktivitas sel limfosit T dan B yang berproliferasi dapat diukur melalui indeks stimulasi. Pada penelitian ini digunakan senyawa mitogen untuk memicu terjadinya proliferasi non spesifik dari sel limfosit. Mitogen dapat memicu proliferasi karena dapat mengaktivasi hormon tirosin kinase yang merupakan faktor pertumbuhan. Hormon ini akan mengirimkan sinyal-sinyal yang berpengaruh terhadap faktor transkripsi dan aktivasi gen sehingga terjadi proliferasi sel (Decker, 2001). Mitogen yang digunakan pada penelitian ini adalah Concanavalin A (Con A) dan Lipopolisakarida (LPS). Con A adalah protein yang berasal dari bibit jack bean (Canavalia ensiformis) yang berikatan dengan gula yang mengandung α-D-mannose atau α-D-glucose (Kuby,1992), sedangkan LPS berasal dari komponen dinding sel bakteri gram standar seperti Salmonella typhii ataupun E.coli. Alasan digunakan kedua mitogen ini karena keduanya memiliki fungsi yang berbeda terhadap proliferasi sel limfosit, yaitu Con A dapat memicu proliferasi sel T, sedangkan LPS dapat memicu proliferasi sel B, sehingga dapat dijadikan perbandingan pada hasil yang diperoleh. Konsentrasi mitogen yang ditambahkan pada sel adalah 10 μg/ml. Konsentrasi ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Pandoyo (2000). Pada penelitian yang 44 dilakukan oleh Pandoyo (2000), hasil yang diperoleh adalah kultur sel yang dikultur dengan mitogen, memiliki indeks stimulasi sel yang tidak berbeda nyata dengan kontrol standar. Hal ini mungkin disebabkan mitogen belum dapat menginduksi proliferasi sel limfosit secara optimal pada waktu inkubasi. Penelitian yang dilakukan oleh Pandoyo, dilakukan dengan waktu inkubasi 36 jam. Pada penelitian ini, waktu inkubasi dijadikan menjadi 72 jam, diharapkan mitogen yang digunakan dapat menginduksi proliferasi sel limfosit sehingga kenaikan indeks stimulasi sesuai yang diinginkan. Hasil dari proliferasi sel limfosit yang dikultur dengan mitogen, baik Con A ataupun LPS menunjukkan indeks stimulasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol standar. Hal ini menunjukkan mitogen yang digunakan berfungsi dengan baik sehingga dapat memicu terjadinya proliferasi sel limfosit. Hanya saja sel yang dikultur dengan mitogen LPS memiliki indeks stimulasi yang lebih tinggi dibandingkan sel yang dikultur dengan Con A. Mitogen LPS lebih aktif dalam memicu proliferasi sel limfosit B bila dibandingkan dengan mitogen Con A pada konsentrasi yang sama. Indeks stimulasi dari sel yang dikultur dengan mitogen Con A adalah 1.27, sedangkan indeks stimulasi sel yang dikultur dengan mitogen LPS adalah 1.54. Gambar 10 dan Gambar 11 (perbesaran 1000x) menunjukkan sel limfosit yang telah dikultur selama tiga hari. Gambar 10. Kultur sel yang dikultur dengan media standar (1000x) 45 (a) (b) Gambar 11. Kultur sel yang dikultur dengan mitogen : a) Mitogen Con A ; b) Mitogen LPS (1000x) Pengujian terhadap proliferasi sel limfosit dilakukan dengan dua metode, yaitu metode MTT dan metode biru tripan. Metode MTT digunakan untuk mengetahui indeks stimulasi dari sel limfosit yang hidup, sedangkan metode biru tripan digunakan untuk menghitung jumlah sel yang mati. Perhitungan Kematian Sel Menggunakan Metode Biru Tripan a. Pengaruh ekstrak daun ceremai terhadap kematian sel Hasil penelitian jumlah sel limfosit yang mati dengan pemberian ekstrak aquades menunjukkan bahwa kematian limfosit tertinggi terjadi pada konsentrasi C1 (2.188 mg/ml) yaitu 8.4 x 105 sel mati / ml. Terjadi penurunan jumlah sel yang mati pada konsentrasi C2 (4.375 mg/ml) yaitu 2.8 x 105 sel mati / ml, kemudian terjadi peningkatan kematian sel lagi pada C3 (8.750 mg/ml) yaitu 7.4 x 105 sel mati / ml. Hasil ini sebanding dengan indeks stimulasi ekstrak, yaitu indeks stimulasi tertinggi terjadi pada konsentrasi C2 (4.375 mg/ml). Pada ekstrak etanol, kematian limfosit tertinggi terjadi pada konsentrasi ekstrak C1 (1.962 mg/ml) yaitu 6 x 105 sel mati / ml, sedangkan terendah terjadi pada C2 (3.923 mg/ml) yaitu 3.4 sel mati / ml. Secara keseluruhan, kematian sel yang dipicu oleh ekstrak lebih rendah dibandingkan kematian sel pada kontrol. Hal ini menunjukkan 46 bahwa sel masih sempat berproliferasi dan sedikit yang mengalami kematian. Secara keseluruhan, ekstrak aquades menyebabkan kematian sel limfosit lebih besar dibanding ekstrak etanol. Besarnya tingkat kematian sl pada ekstrak aquades dapat disebabkan karena pada ekstrak aquades, komponen yang terekstrak lebih bersifat toksik dibandingkan pada ekstrak etanol sehingga memicu terjadinya lisis pada sel dan menyebabkan kematian sel. Perbandingan jumlah sel limfosit yang mati pada ekstrak daun ceremai etanol dan aquades dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12. Jumlah sel limfosit mati pada kultur yang diberi ekstrak daun ceremai b. Pengaruh ekstrak daun delima putih terhadap kematian sel Pada ekstrak aquades daun delima putih, kematian sel limfosit tertinggi terjadi pada konsentrasi C3 (9.526 mg/ml), yaitu 12 x 105 sel mati / ml. Indeks stimulasi pada konsentrasi ini juga merupakan indeks stimulasi terendah dibandingkan konsentrasi lain. Kematian sel yang terjadi pada konsentrasi ini lebih banyak bila dibandingkan kontrol standar. Kematian sel yang tinggi ini dapat disebabkan oleh komponen polar yang terekstrak. Komponen tersebut tidak hanya komponen 47 fenolik yang mampu memicu proliferasi sel, tetapi juga kemungkinan adanya komponen lain yang bersifat toksik bagi sel limfosit. Kematian sel terendah terjadi pada konsentasi C2 (2.382 mg/ml), dimana konsentrasi ini merupakan dosis konsumsi normal perhari. Hasil penelitian pada ekstrak etanol menunjukkan bahwa kematian sel tertinggi terjadi pada konsentrasi C2 (3.725 mg/ml), yaitu 5.8 x 105 sel mati / ml. Kematian sel terendah terjadi pada konsentrasi C1 (1.863 mg/ml), yaitu 4.2 x 105 sel mati / ml. Walaupun begitu, untuk ketiga konsentrasi yang digunakan, jumlah sel limfosit yang mati jauh lebih kecil dibandingkan kontrol standar. Secara keseluruhan, ekstrak etanol menyebabkan kematian sel limfosit lebih rendah bila dibandingkan ekstrak aquades, kecuali pada konsentrasi C2 (3.735 mg/ml). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pandoyo (2000), diketahui bahwa pada konsentrasi C2 (dosis normal) ekstrak aquades batang cincau hijau memiliki tingkat kematian sel lebih tinggi bila dibandingkan konsentrasi lain yang diujikan. Penurunan tingkat kematian sel terjadi pada konsentrasi C1 dan C2. Jumlah sel limfosit uang mati pada ekstrak daun delima putih dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13. Jumlah sel limfosit mati pada kultur sel yang ditambahkan ekstrak daun delima putih 48 c. Pengaruh ekstrak daun jati belanda terhadap kematian sel Pada ekstrak aquades daun jati belanda, jumlah limfosit yang mengalami kematian tertinggi pada konsentrasi C1 (2.438 mg/ml). Indeks stimulasi pada konsentrasi ini merupakan indeks stimulasi terendah dibandingkan konsentrasi yang lain. Kematian sel limfosit menurun secara berturut-turut pada konsentrasi C1 (1.852 mg/ml) , C2 (3.704 mg/ml), dan C3 (6.148 mg/ml). Jumlah sel limfosit yang mati pada ekstrak aquades memiliki jumlah yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kontrol standar. Pada ekstrak etanol, diketahui jumlah sel limfosit yang mengalami kematian tertinggi pada konsentrasi C3 (7.332 mg/ml), sedangkan kematian terendah terjadi pada konsentrasi C2 (3.666 mg/ml). Bila dibandingkan dengan kontrol standar, jumlah sel limfosit yang mati lebih kecil, kecuali pada ekstrak etanol dengan konsentrasi C3 (7.332 mg/ml). Tingginya tingkat kematian pada konsentrasi C3 (7.332 mg/ml) sebanding dengan rendahnya indeks stimulasi ekstrak menggunakan metode MTT. Hal ini dapat disebabkan karena pada konsentrasi C3 (7.332 mg/ml), banyak komponen yang terekstrak oleh etanol memiliki sifat sebagai prooksidan bagi sel limfosit. Menurut Mukhopadhyay (2000), suatu senyawa dapat berfungsi sebagai antioksidan pada konsentrasi tertentu, sedangkan pada konsentrasi lain dapat berfungsi sebagai prooksidan. Pada kasus ini, komponen yang terekstrak tidak dapat melindungi sel limfosit yang ada. Pada umumnya semakin tinggi konsentrasi suatu senyawa semakin tinggi juga kemampuannya sebagai prooksidan. Jumlah kematian sel limfosit pada ekstrak daun jati belanda dapat dilihat pada Gambar 14. 49 Gambar 14. Jumlah sel limfosit mati pada ekstrak daun jati belanda yang diberi ke dalam kultur sel d. Pengaruh ekstrak bunga kecombrang terhadap kematian sel Secara keseluruhan, hasil penelitian terhadap ekstrak bunga kecombrang menunjukkan nilai kematian sel yang rendah. Pada ekstrak aquades, diperoleh hasil bahwa tingkat kematian sel limfosit tertinggi terjadi pada konsentrasi C1 (2.271 mg/ml) sebanyak 4.6 x 105 sel mati / ml Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan, semakin rendah sel yang mati. Tingkat kematian sel terendah terjadi pada konsentrasi C3 (9.084 mg/ml) yaitu 1.2l. Bila dibandingkan dengan kontrol standar, sel yang mati pada ekstrak jauh lebih rendah. Pada ekstrak etanol, jumlah kematian sel juga sangat rendah bila dibandingkan kontrol standar. Kematian sel tertinggi terjadi pada konsentrasi C2 (3.876 mg/ml), sedangkan kematian terendah terjadi pada konsentrasi C3 (7.752 mg/ml). Secara keseluruhan, ekstrak etanol kecombrang menyebabkan kematian sel limfosit lebih kecil dibandingkan ekstrak aquades. Jumlah kematian sel limfosit secara lengkap bisa dilihat pada Gambar 15. Jumlah kematian sel yang dikultur dengan ekstrak bunga kecombrang memiliki nilai yang paling rendah dibandingkan ekstrak keempat tanaman lain. Hal ini berhubungan dengan kapasitas antioksidan dari ekstrak kecombrang yang paling tinggi dibandingkan ekstrak lain. Komponen yang 50 terekstrak dapat berfungsi sebagai antioksidan dengan baik sehingga melindungi sel dari kematian. Ekstrak tanaman ini tidak memicu terjadinya kematian sel dalam jumlah besar walaupun diberikan dalam dosis tinggi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pandoyo (2000) tentang efek pemberian ekstrak aquades daun cincau hijau terhadap proliferasi sel limfosit diperoleh hasil bahwa ekstrak aquades daun cincau tidak memperlihatkan tingkat kematian sel yang tinggi pada konsentrasi rendah. Akan tetapi pada konsentrasi yang semakin tinggi, terjadi peningkatan jumlah sel yang mati walaupun secara sifat tidak signifikan. Hal ini diperlihatkan dengan adanya penurunan jumlah sel limfosit hidup. Gambar 15. Jumlah sel limfosit mati pada kultur yang ditambahkan ekstrak bunga kecombrang e. Pengaruh ekstrak daun kemuning terhadap kematian sel Hasil penelitian kematian sel limfosit dengan pemberian ekstrak aquades daun kemuning menunjukkan hasil bahwa kematian tertinggi terjadi pada konsentrasi C1 (2.438 mg/ml) yaitu 4 x 105 sel mati / ml. Terjadi penurunan kematian sel pada konsentrasi 51 selanjutnya. Bila dibandingkan dengan kontrol standar, diketahui bahwa kematian sel pada ekstrak lebih rendah. Penurunan jumlah sel yang mati ini sebanding dengan peningkatan indeks stimulasi. Semakin tinggi konsentrasi, jumlah sel yang mati akan berkurang dan tingkat proliferasi akan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak aquades daun ceremai tidak bersifat toksik sehingga tidak menyebabkan kematian sel. Pada ekstrak etanol, jumlah sel limfosit yang mati berfluktuasi pada masing-masing konsentrasi. Kematian tertinggi terjadi pada konsentrasi C3 (7,798 mg/ml) yaitu 7 x 105 sel mati / ml, sedangkan kematian terendah terjadi pada C2 (3.899 mg/ml) yaitu 3 x 105 sel mati / ml. Pada konsumsi normal ekstrak (C2), walaupun terjadi kematian sel, namun bila dibandingkan dengan kontrol standar, nilainya jauh lebih kecil. Begitu pula pada konsentrasi C3 (7,798 mg/ml) walaupun memiliki tingkat kematian sel yang tertinggi, tetapi nilai tersebut lebih kecil dibandingkan kontrol standar. Tingkat kematian sel dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16. Jumlah sel limfosit mati pada kultur yang ditambahkan ekstrak daun kemuning Penelitian yang telah dilakukan oleh Meiriana (2006), diketahui bahwa pada ekstrak buah merah menggunakan pelarut aquades, 52 kematian sel limfosit tertinggi terjadi pada konsentrasi C2 (8.333 μg/ml). Pada konsentrasi yang lebih tinggi, sel limfosit yang mati mengalami penurunan. f. Kesetaraan seluruh ekstrak yang diujikan terhadap kematian sel Kelima tanaman yang diujikan menggunakan perbandingan yang berbeda antara jumlah bahan segar yang diekstraksi dengan jumlah pelarut. Tiga tanaman, yaitu kemuning, kecombrang, dan ceremai menggunakan jumlah perbandingan yang sama antara pelarut dan bahan segar, sedangkan untuk delima putih dan jati belanda, perbandingan yang digunakan berbeda. Jumlah perbandingan antara bahan segar dan pelarut untuk kemuning, ceremai, dan kecombrang adalah 1 : 10, sedangkan untuk jati belanda dan delima putih adalah 1 : 5. Berdasarkan perbandingan tersebut, dapat diketahui bahwa hasil ekstraksi ceremai, kemuning, dan kecombrang lebih pekat bila dibandingkan dengan hasil ekstraksi delima putih dan jati belanda. Sehingga konsentrasi konsumsi normal pada tanaman delima putih dan jati belanda merupakan setengah kali konsentrasi konsumsi normal pada kemuning, ceremai, dan kecombrang. Kesetaran pengaruh seluruh ekstrak tanaman dapat diamati dengan membandingkan keseluruhan pengaruh ekstrak pada satu konsentrasi yang setara. Pada penelitian ini, kesetaraan diamati pada konsentrasi konsumsi normal (C2) untuk delima putih dan jati belanda, sedangkan untuk kemuning, ceremai, dan kecombrang menggunakan setengah dari konsentrasi konsumsi normal (C1). Gambar kesetaraan seluruh ekstrak terhadap kematian sel dapat dilihat pada Gambar 17. 53 Gambar 17. Kesetaraan pengaruh seluruh ekstrak terhadap kematian sel Berdasarkan Gambar 17. diketahui bahwa pada konsentrasi yang setara, ekstrak daun ceremai aquades menyebabkan kematian sel lebih tinggi bila dibandingkan ekstrak lain, yaitu sebesar 8.4 x 105 sel mati / ml, sedangkan kematian sel terendah dimiliki oleh ekstrak etanol daun jati belanda yaitu 2 x 105 sel / ml. Pada konsentrasi ini, ekstrak aquades menyebabkan kematian sel yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan ekstrak etanol. Metode MTT Prinsip metode ini didasarkan pada penyerapan warna biru dari kristal formazan blue yang dihasilkan dari reaksi antara enzim suksinat dehidrogenase dengan garam tetrazolium (MTT). Sebelum perhitungan, dilakukan penambahan HCL-isopropanol pada kultur sel. Tujuan penambahan ini untuk melarutkan kristal biru formazan yang terbentuk dan untuk melisiskan sel limfosit. 54 a. Pengaruh ekstrak daun ceremai terhadap proliferasi sel limfosit Hasil penelitian terhadap proliferasi sel limfosit manusia setelah diberi ekstrak aquades daun ceremai adalah terjadi fluktuasi pada indeks stimulasi yang diperoleh. Ekstrak yang memiliki absorbansi tertinggi terjadi pada konsentrasi C2 (4.375 mg/ml). Peningkatan indeks stimulasi terjadi sampai konsentrasi C2 (4.375 mg/ml) kemudian terjadi penurunan pada konsentrasi C3 (8.750 mg/ml). Fluktuasi indeks stimulasi proliferasi sel limfosit juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Nora (2003) dengan menggunakan ekstrak bunga kenop. Indeks Stimulasi tertinggi terjadi pada konsentrasi ekstrak 0.8 mg / ml. Terjadinya peningkatan dan penurunan indeks stimulasi sel pada konsentrasi yang diujikan dapat terjadi karena pada konsentrasi tertentu, kandungan senyawa yang terdapat dalam ekstrak berada dalam jumlah yang optimum untuk memicu aktifitas proliferasi sel. Dibandingkan dengan hasil absorbansi ekstrak aquades, ekstrak yang menggunakan pelarut etanol secara keseluruhan memiliki indeks stimulasi lebih rendah walaupun masih berada di atas kontrol standar. Indeks stimulasi tertinggi terjadi pada konsentrasi C3 (7.846 mg/ml), sedangkan terendah terjadi pada C1 (1.962 mg/ml). Pada ekstrak etanol, terjadi peningkatan indeks stimulasi proliferasi pada seiring dengan peningkatan konsentrasi. Tingginya tingkat ekstrak aquades kemungkinan besar disebabkan oleh tingginya kandungan fenol pada ekstrak ini bila dibandingkan ekstrak etanol. Senyawa fenolik dapat berfungsi sebagai senyawa yang meningkatkan sistem imun tubuh. Indeks stimulasi ekstrak daun ceremai dapat dilihat pada Gambar 18. 55 Gambar 18. Indeks stimulasi sel limfosit pada kultur yang diberi ekstrak daun ceremai b. Pengaruh ekstrak daun delima putih terhadap proliferasi sel limfosit Hasil penelitian terhadap proliferasi sel limfosit yang diberi ekstrak daun delima putih aquades menunjukkan terjadinya penurunan indeks stimulasi. Indeks stimulasi tertinggi terjadi pada konsentasi C1 (2.382 mg/ml). Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun delima putih aquades yang diberi menyebabkan terjadinya penurunan indeks stimulasi kultur sel. Walaupun terjadi penurunan indeks stimulasi proliferasi sel pada dua kali konsentrasi normal, tetapi nilai yang diperoleh masih lebih tinggi dibandingkan kontrol standar sehingga dapat dianggap ekstrak yang diberi masih mampu menstimulir proliferasi. Indeks stimulasi ekstrak yang lebih tinggi dibanding kontrol menunjukkan bahwa ekstrak aquades daun delima putih bersifat immunostimulan dan tidak bersifat toksik. Akan tetapi perlu dilakukan pengujian terhadap konsentrasi dengan tingkatan lebih tinggi memningat terjadinya penurunan indeks stimulasi seiring dengan peningkatan konsentrasi. 56 Pada ekstrak etanol, indeks stimulasi yang diperoleh menunjukkan kenaikan sebanding dengan peningkatan konsentrasi. Indeks stimulasi tertinggi terjadi pada konsentrasi C3 (7.450 mg/ml), sedangkan terendah terjadi pada C1 (1.863 mg/ml). Secara keseluruhan, indeks stimulasi ekstrak etanol daun delima putih lebih tinggi dibandingkan ekstrak aquades. Hal ini kemungkinan disebabkan kandungan senyawa fenol di ekstrak etanol lebih banyak bila dibandingkan senyawa fenol pada ekstrak aquades. Aktivitas senyawa ini tidak hanya sebagai antioksidan untuk melindungi sel limfosit dari radikal bebas tetapi juga dapat memicu faktor proliferasi untuk meningkatkan proliferasi sel limfosit (Dayong,1998). Indeks stimulasi proliferasi sel limfosit yang dikultur dengan ekstrak daun delima putih dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19. Indeks stimulasi sel limfosit pada kultur yang diberi ekstrak daun delima putih c. Pengaruh ekstrak jati belanda terhadap proliferasi sel limfosit Pada kultur sel yang ditambahkan ekstrak aquades, menunjukkan bahwa nilai indeks stimulasi tertinggi pada konsentrasi C1 (1.852 mg/ml) yaitu sebesar 1.48. Semakin tinggi konsentrasi yang ditambahkan, diperoleh hasil bahwa terjadi penurunan indeks stimulasi 57 sel limfosit. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa ekstrak aquades jati belanda bersifat sebagai immunosuppresif bagi sel limfosit. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan indeks stimulasi dengan adanya peningkatan konsentrasi ekstrak. Hal lain yang dapat disimpulkan, dengan peningkatan konsentrasi ekstrak, ternyata komponen toksik yang terekstrak dalam jumlah banyak sehingga memicu kematian sel limfosit. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Pandoyo (2000), diketahui bahwa ekstrak aquades daun cincau hijau memiliki indeks stimulasi tertinggi pada konsentrasi C5, sedangkan secara keseluruhan, kultur sel yang diberi ekstrak aquades daun cincau hijau memiliki indeks stimulasi di bawah kontrol standar pada semua taraf konsentrasi. Indeks Stimulasi ekstrak etanol memiliki nilai tertinggi pada konsentrasi C2 (3.666 mg/ml), namun mengalami penurunan pada konsentrasi C3 (7.332 mg/ml). Indeks Stimulasi kultur sel pada konsentrasi C3 (7.332 mg/ml) memiliki nilai yang jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol standar. Penurunan tingkat proliferasi ini disebabkan adanya komponen yang bersifat toksik terekstrak oleh etanol sehingga menyebabkan kematian sel. Jumlah sel limfosit yang berproliferasi tidak sebanding dengan sel limfosit yang mati. Indeks Stimulasi ekstrak aquades secara keseluruhan lebih besar bila dibandingkan dengan ekstrak etanol. Perbedaan yang tampak dari kedua ekstrak ini adalah pada ekstrak aquades, lendir yang terdapat pada daun jati ikut terekstrak, sedangkan pada ekstrak etanol, tidak terdapat lendir. Penyebab perbedaan indeks stimulasi ini kemungkinan disebabkan oleh aktivitas lendir yang terdapat pada ekstrak aquades. Ekstrak daun jati belanda merupakn ekstrak yang memberikan indeks stimulasi paling rendah dibanding ekstrak keempat tanaman lain. Hal ini sebanding dengan kadar total fenol daun jati 58 belanda yang paling rendah bila debandingkan dengan keempat tanaman lain. Gambar 20. Indeks stimulasi sel limfosit pada kultur yang diberi ekstrak daun jati belanda d. Pengaruh ekstrak bunga kecombrang terhadap proliferasi sel limfosit Hasil penelitian kultur sel dengan penambahan ekstrak aquades menunjukkan hasil bahwa indeks stimulasi tertinggi terjadi pada konsentrasi C3 (9.750 mg/ml) yaitu 6.88, sedangkan indeks stimulasi terendah terjadi pada konsentrasi C2 (4.875 mg/ml). Secara umum, ekstrak aquades tidak bersifat toksik terhadap sel limfosit dan cenderung memiliki sifat imunostimulan. Hasil penelitian menggunakan ekstrak etanol diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi yang diberi akan memberikan respon stimulasi yang semakin tinggi juga. Indeks stimulasi tertinggi terjadi pada C3 (7.752 mg/ml), yaitu 2.16, sedangkan yang terendah adalah konsentrasi C1 (1.938 mg/ml). Secara keseluruhan, ekstrak aquades memiliki indeks stimulasi lebih besar dibandingkan ekstrak etanol. 59 Tingginya stimulasi ekstrak aquades bunga kecombrang pada sel limfosit manusia dapat disebabkan karena pada ekstrak terkandung komponen bioaktif yang dapat memicu bekerjanya faktor proliferasi seperti Interleukin. Penelitian yang telah dilakukan oleh Dash, et.al (2006) menunjukkan hasil bahwa ekstrak akar dari tanaman Heradeum nepalente pada konsentrasi 1000 µg/ml dapat meningkatkan respon proliferasi sel limfosit manusia. Hal ini erat hubungannya dengan kemampuan komponen bioaktif pada ekstrak yang mampu menginduksi Interleukin untuk memicu proliferasi sel. Gambar 21. Indeks stimulasi sel limfosit pada kultur sel yang diberi ekstrak bunga kecombrang e. Pengaruh ekstrak daun kemuning terhadap proliferasi sel limfosit Ekstrak aquades berpengaruh positif terhadap peningkatan jumlah sel pada semua taraf konsentrasi. Indeks stimulasi kultur sel yang diberikan ekstrak aquades daun kemuning memiliki nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol standar. Indeks stimulasi tertinggi dimiliki oleh ekstrak dengan konsentrasi C2 (4.875 mg/ml) yaitu 3.93, dan terendah terjadi pada konsentrasi C1 (2.438 mg/ml). 60 Pada ekstrak etanol, indeks stimulasi tertinggi terjadi pada konsentrasi C2 (3.899 mg/ml), dan terjadi penurunan pada C3 (7.798 mg/ml). Secara keseluruhan, ekstrak daun kemuning menggunakan aquades memiliki indeks stimulasi lebih tinggi bila dibandingkan ekstrak etanol. Hal ini kemungkinan besar disebabkan kandungan bioaktif yang ada di ekstrak aquades lebih efektif untuk memicu proliferasi sel limfosit dibandingkan komponen bioaktif yang terekstrak di etanol. Indeks stimulasi yang tinggi ini menunjukkan bahwa ekstrak daun kemuning baik yang diekstrak menggunakan etanol ataupun aquades bersifat sebagai imunostimulan dan tidak bersifat toksik. Indeks stimulasi ekstrak daun kemuning dapat dilihat pada Gambar 22. Bila dilihat dari kadar total fenol yang terdapat di dalam kedua jenis ekstrak, diketahui bahwa ekstrak etanol daun kemuning memiliki total fenol lebih tinggi daripada ekstrak aquades. Kandungan fenol yang terdapat pada ekstrak ini kemungkinan besar mempengaruhi tingkat proliferasi sel limfosit. Berdasarkan studi in vito, flavonoid yang termasuk dalam kelompok fenolik memiliki kemampuan meningkatkan sistem imun mencakup proliferasi sel limfosit, sel MK, dan sekresi sitokinin (Middleton, 1998). Gambar 22. Indeks stimulasi sel limfosit pada kultur yang diberi ekstrak daun kemuning 61 f. Kesetaraan seluruh ekstrak yang diujikan terhadap kematian sel Sama seperti pada pengaruh ekstrak terhadap kematian sel, pengaruh ekstrak terhadap indeks stimulasi sel juga dibuat kesetaraan. Kelima tanaman yang diujikan menggunakan perbandingan yang berbeda antara jumlah bahan segar yang diekstraksi dengan jumlah pelarut. Tiga tanaman, yaitu kemuning, kecombrang, dan ceremai menggunakan jumlah perbandingan yang sama antara pelarut dan bahan segar, sedangkan untuk delima putih dan jati belanda, perbandingan yang digunakan berbeda. Jumlah perbandingan antara bahan segar dan pelarut untuk kemuning, ceremai, dan kecombrang adalah 1 : 10, sedangkan untuk jati belanda dan delima putih adalah 1 : 5. Berdasarkan perbandingan tersebut, dapat diketahui bahwa hasil ekstraksi ceremai, kemuning, dan kecombrang lebih pekat bila dibandingkan dengan hasil ekstraksi delima putih dan jati belanda. Sehingga konsentrasi konsumsi normal pada tanaman delima putih dan jati belanda merupakan setengah kali konsentrasi konsumsi normal pada kemuning, ceremai, dan kecombrang. Kesetaran pengaruh seluruh ekstrak tanaman dapat diamati dengan membandingkan keseluruhan pengaruh ekstrak pada satu konsentrasi yang setara. Pada penelitian ini, kesetaraan diamati pada konsentrasi konsumsi normal (C2) untuk delima putih dan jati belanda, sedangkan untuk kemuning, ceremai, dan kecombrang menggunakan setengah dari konsentrasi konsumsi normal (C1). Gambar kesetaraan seluruh ekstrak terhadap indeks stimulasi sel dapat dilihat pada Gambar 23. 62 Gambar 23. Kesetaraan pengaruh seluruh ekstrak terhadap indeks stimulasi sel. Berdasarkan Gambar 23. diketahui bahwa pada konsentrasi yang setara, ekstrak daun delima putih etanol memiliki indeks stimulasi yang lebih tinggi bila dibandingkan ekstrak lain, yaitu sebesar 4.65, sedangkan indeks stimulasi terendah dimiliki oleh ekstrak daun jati belanda aquades. Pada konsentrasi ini, ekstrak etanol memiliki indeks stimulasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan ekstrak aquades. Hal ini kemungkinan besar disebabkan kandungan total fenol pada ekstrak etanol lebih besar bila dibandingkan ekstrak aquades. Pengaruh Ekstrak Tanaman Secara Keseluruhan terhadap Proliferasi Sel Limfosit Secara keseluruhan, ekstrak kelima tanaman baik yang diekstrak menggunakan aquades ataupun etanol pada tiga konsentrasi memberikan respon positif, yaitu dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit. Peningkatan proliferasi ini ditunjukkan dengan terjadinya penambahan jumlah sel limfosit hidup. Berdasarkan pengujian kadar total fenol, diketahui secara keseluruhan, ekstrak etanol memiliki kandungan fenol 63 lebih tinggi dibandingkan ekstrak aquades. Hal tersebut disebabkan banyaknya komponen fenolik yang ikut terekstrak oleh pelarut etanol. Jumlah kematian sel limfosit yang diberi ekstrak kelima tanaman secara keseluruhan menunjukkan jumlah kematian yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol standar. Secara keseluruhan, tingkat kematian sel tertinggi terjadi pada konsentrasi C1 untuk setiap ekstrak baik menggunakan pelarut etanol ataupun aquades. Ekstrak yang menyebabkan kematian sel limfosit tertinggi adalah ekstrak delima dengan pelarut aquades dan ekstrak jati belanda dengan pelarut etanol, jumlah sel yang mati pada ekstrak ini adalah 12 x 106 sel mati / ml. Ekstrak yang menyebabkan kematian sel limfosit terendah adalah ekstrak kecombrang, baik menggunakan pelarut etanol ataupun aquades. Nilai kematian sel pada ekstrak ini adalah 1.2 x 105 sel mati / ml. Indeks stimulasi dan tingkat kematian ekstrak etanol walaupun memiliki nilai yang berbeda dengan ekstrak aquades, namun hasil yang diperoleh masih lebih baik dibandingkan kontrol standar. Hal ini menunjukkan bahwa residu etanol yang tersisa pada ekstrak tidak mempengaruhi pengujian terhadap sel limfosit manusia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kapasi (2003) tentang pengaruh etanol terhadap sel limfosit, diperoleh hasil bahwa etanol dapat memicu kerusakan sel limfosit bila diberikan dalam konsentrasi di atas 200 mM. Bila masih terdapat residu etanol dalam jumlah lebih rendah dari angka di atas, maka proliferasi sel limfosit tidak akan terganggu secara signifikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pandoyo (2000), diketahui bahwa secara keseluruhan pengaruh ekstrak cincau hijau (Cyclea barbata L. Miers) umumnya bersifat imunostimulan pada konsentrasi rendah, sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Meiriana (2006), secara keseluruhan, ekstrak buah merah pada tingkat konsentrasi 4.167 µg/ml, 8.333 µg/ml, dan 16.667 µg/ml memberikan respon positif, yaitu dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit dimana terjadi penambahan jumlah sel limfosit hidup. 64 Peningkatan proliferasi dari kelima ekstrak tanaman dan rendahnya tingkat kematian sel limfosit secara keseluruhan pada kultur sel menunjukkan bahwa ekstrak yang diberikan dapat memacu proliferasi sel limfosit dan melindungi sel dari kematian. Oleh karena itu, secara umum ekstrak kelima tanaman yaitu daun jati belanda, daun ceremai, daun kemuning, daun delima putih, dan bunga kecombrang tidak bersifat toksik dan dapat dianggap sebagai imunomodulator yang baik pada tiga konsentrasi yang diujikan. 65 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Respon proliferasi sel limfosit umumnya sangat tergantung dari kondisi kultur. Berdasarkan pengujian terhadap proliferasi dan jumlah kematian sel limfosit menggunakan metode MTT dan biru tripan, serta analisis kimia yang meliputi penentuan kadar air, kadar protein, kadar fenol, dan kapasitas antioksidan sampel dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Secara keseluruhan, kesemua ekstrak dari berbagai sampel dan perlakuan dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit. 2. Indeks stimulasi ekstrak etanol daun kemuning adalah 2.37 (C1), 2.43 (C2), dan 1.63 (C3), sedangkan indeks stimulasi ekstrak aquades daun kemuning adalah 2.75 (C1), 3.93 (C2), dan 3.67 (C3). Indeks stimulasi ekstrak etanol bunga kecombrang adalah 2.95 (C1), 2.59 (C2), dan 2.16 (C3), sedangkan indeks stimulasi ekstrak aquades bunga kecombrang adalah 1.85 (C1), 1.74 (C2), dan 6.88 (C3). Indeks stimulasi ekstrak etanol daun ceremai adalah 1.11 (C1), 1.80 (C2), dan 2.17 (C3), sedangkan indeks stimulasi ekstrak aquades adalah 1.05 (C1), 3.09 (C2), dan 2.09 (C3). Indeks stimulasi ekstrak etanol daun jati belanda adalah 1.09 (C1), 1.13 (C2), dan 0.83 (C3), sedangkan indeks stimulasi ekstrak aquades adalah 1.48 (C1), 0.85 (C2), dan 0.78 (C3). Indeks stimulasi ekstrak etanol daun delima putih adalah 3.51 (C1), 4.65 (C2), dan 4.74 (C3), sedangkan indeks stimulasi ekstrak aquades adalah 1.67 (C1), 1.15 (C2), dan 1.02 (C3). 3. Hasil uji terhadap ekstrak daun delima putih, ceremai, kemuning, dan bunga kecombrang menunjukkan hasil bahwa keempat ekstrak tersebut tidak bersifat toksik terhadap sel limfosit karena dapat memicu proliferasi sel limfosit sebelum mengalami kematian, sedangkan untuk ekstrak daun jati belanda, semakin tinggi konsentasi yang diberi menyebabkan indeks stimulasi rendah. 66 4. Hasil uji menggunakan metode biru tripan tidak selalu berbanding lurus dengan hasil uji menggunakan metode MTT 5. Bunga kecombrang memiliki kadar air tertinggi diantara keempat sampel yang lain, yaitu 92.30 % (b.b). 6. Daun ceremai memiliki kadar protein tertinggi yaitu 6.40 % perbobot basahnya. 7. Kandungan fenol terbanyak dimiliki oleh ekstrak daun delima putih yang diekstrak menggunakan pelarut etanol yaitu sebesar 81.37 . 102 ppm 8. Kapasitas antioksidan tertinggi dimiliki oleh ekstrak bunga kecombrang dengan pelarut etanol yaitu 92.96 % atau 1159.28 mg/l AEAC B. SARAN 1. Diperlukan pengujian lebih lanjut tentang mekanisme proliferasi sel limfosit akibat pemberian kelima ekstrak 2. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang aktivitas masing-masing senyawa yang terkandung dalam ekstrak terhadap proliferasi sel limfosit, sehingga dapat diketahui senyawa apa yang berperan dalam proses tersebut. 3. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh ekstrak kelima tanaman tersebut terhadap proliferasi sel limfosit pada kondisi in vivo untuk melihat pengaruhnya secara langsung dalam metabolisme tubuh sekaligus membuktikan hasil penelitian ini. 4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah ekstrak kelima tanaman tersebut berpengaruh terhadap proliferasi sel kanker. 5. Perlu juga dicoba menggunakan pelarut lain untuk mengekstrak sampel sehingga diketahui tingkat proliferasi sel limfosit dari berbagai jenis pelarut untuk menentukan pelarut paling baik 6. Diperlukan pengujian dalam jangka waktu lama pengkonsumsian ekstrak kelima tanaman untuk mengetahui apakah ada efek akumulasi yang berakibat fatal 7. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kadar vitamin C dari masing-masing ekstrak 67 DAFTAR PUSTAKA Alexander, M.S., M.R. Piuvezam and L.M.T. Pecanha. 2003. Modulation of B Lymphocyte Function by an Aqueous Fraction of Etanol Exttact of Cissampelos s.eichl (Menispermaceae) Brazilian Journal of medical and Biological Research. 36 : 1511 - 1522 Andarwulan, N. 1995. Isolasi dan Karakterisasi Antioksidan dari Jinten. Tesis : Program Pasca Sarjana, IPB., Bogor. Anggraeni, D. 2007. Aplikasi Ekstrak Bunga Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan). Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. AOAC. 1984. Official Methods OF Analysis The Association Analytical Chemist. 14th ed. AOAC, Inc, Arlington. Ayu, T.W.C. 2004. Pengaruh Jenis Bahan Pengisi dan Pemanis Terhadap Minuman Instan dari Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lam ) dan Daun Kemuning (Murraya paniculata [L..] Jack.). Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. Azima, F, D. Muchtadi, F.R. Zakaria, dan B.P. Priosoeryanto. 2004. Potensi AntiHiperkolesterolemia Ekstrak Cassia Vera (Cinnamomum burmanni Nees ex Blume). Jurnal Teknol. dan Industri Pangan, Vol. XV No. 2. 145:158 Baratawidjaya, K.G. 1991. Immunologi Dasar. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Bellanti, J.A. 1993. Imunologi II. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Benabadji, S. H., Wen, R. Zheng, J. B., Dong, X., and Yuan, S. 2004. Anticarcinogenic and antioxidant activity of diindolymethane derivatives. Acta Pharmacol Sin. 25: 666-671. Bermawie, N dan Natalini N.K. 2003. Penyimpanan In Vitro Tanaman Obat Potensial. Jurnal Perkembangan Teknologi TRO. Vol. 15 No. 1. 51 : 60 Bitton, G and B.J. Dutka. 1986. Introduction and Review of Microbial and Biochemical Toxicity Screening Procedures. Di dalam : Bitton, G dan B.J. Dutka . 1986. Toxicity Testing Using Microorganism. Volume II. Hal 1: 8 Buhler, D and C. Miranda. 2000. Antioxidant Activities of Flavonoids. www.lpi.oregonstate.edu.com. [20 Agustus 2007] C. Oher and Richard M. 2002. Polydentate Ligand Construction : Preparation of Oxime-Imine Complexes via Intramolecular Condensation Reactions. J. Chem. Soc. Dalton Trans. 4193 : 4200 68 Dalimartha, S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesi. Jilid I. Trubus Agriwidya, Jakarta. Dash,S., L.K.Nath, S.Bhise, P.Kar, and S.Bhattachanya. 2006. Stimulation of Immune Function Activity by The Alcoholic Root Extract of Heradeum nepalente. Indian J.Pharmacl. 38: 336-340 Davis, J.M. 1994. Basic Cell Culture : A Practical Approach. Oxford University Press, new York. Dayong, M.D and Simon N.M. 1998. Antioxidants and Immune Function. CRC Press, London. Decker, J.M. 2001. Introduction to Immunology. Blackwell Science, Inc. Massachusetts, USA. DepKes. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Dirjen POM, DepKes RI, Jakarta. DepKes . 2005. Nicolaia Speciosa Horan. http://iptek.apjii.or.id/ artikel /ttg_tanaman_ obat/DepKes/buku1/1-205.pdf. [ 2 Februari 2007 ] FAO. 2006. Ascorbic Acid Requirements For Smokers: Analysis Of A Population Survey. www.fao.org. [ 20 Agustus 2007 ] Fletcher, M.A., N. Klimas, R. Morgan, and G. Gjerset. 1994. Lymphocyte Proliferation. Di dalam : Rose, N.R., E.C. deMacario, J.L. Fahey, H. Friedman, and G.M. Penn (eds). Manual Clinical Laboratory Immunology. 4th edition. Pp : 213 – 219. Freshney, I.R. 1994. Culture of Animal Cell. 3rd ed. Willey Liss, New York. Ganong, W.F. 1979. Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Giner, C. 2001. In Tanins : Chemical Analysis. www.ansa.cornel.edu.com. [20 Juli 2007]. Guyton, A.C. 1987. Human Physiology and Mechanisms of Disease. 4th ed. W.B. Saunders Co., Philadelphia. Hagerman, Ann E. 1992. Tannin-Protein Interaction. Di dalam : Phenolic Compounds in Food and Their Effects on Health I. Chi-Tang Ho, Chang Y. Lee, Mou-Tan Huang. American Chemical Society. Washington DC. Harlow and David L. 1988. Antibodies : A Laboratory Manual. Cold Spring Harbor Laboratory, Washington D.C. 69 Harrison, M.A and Ian F.R. 1997. General Techniques of Cell Culture. Cambridge. University Press, London. Hatano, T., H.Kagawa,. T. Yasuhaga, and I. Okuda. 1988. Two New Falvonoids and Other Constituents in Licorice Roots : Their Relative Astrigency and Radical Scavenging Effect. Chem. Phamrm. Bull. 36 :2090-2097 Hounghton, P.J and Raman . 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natural Extract. Chapman & Hall, London. IPTEKa.2005. Ceremai. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=109 [ 16 Desember 2006 ] b .2005. Kemuning. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/ php?id=116. [ 16 Desember 2006 ] c .2005. Delima. http://www. iptek.net.id/ view.php?id=216. [ 16 Desember 2006 ] ind/pd_ view. tanobat/ d .2005. Jati Belanda. http://www.iptek.net.id/ind/pd tanobat/view.php?id=294. [ 16 Desember 2006 ] Jurai, M. 2007. www.damandiri.or.id. [20 Juli 2007] Kapasi, A., G. patel, A. Goenka, N. Nahar, N. Modi, M. Bhaskaran, K.Reddy, N.Franki, J.Patel, dan P.C. Singhal. 2003. ethanol Promotes T Cell Apoptosis Through the Mitochondrial Pathway. Journal of Immunology. 108 : 313-320 Kimball, J.W. 1992. Biologi. Penerbit Erlangga, Jakarta. Kochhar, S. P. and J. B. Russell. 1990. Detection, Estimation and Evaluation of Antioxidant in Food System. Di dalam : Food Antioxidant. B. J. F, Hudson (ed) hal 19. Elsevier Applied Science, London. Kuby, J. 1992. Immunology. W.H. Freeman and Company, New York. Leniger, H.H dan W. A . Beverloo. 1975. Food Process Engineering. D. Reidel Publ. Co. Boston. Liu, M. Xin Q., Courtney W., Chang Y., Janice B., and Rui H. 2002. Antioxidant Antiproliferation Activities of Raspberries. J. Agric and Food Chem. 50 : 2926 - 2930. Malole, M.B.M. 1990. Kultur Sel dan Jaringan Hewan. Pusat Antar Universitas, IPB. 70 Marieb, E. 1988. Essential of Human Anatomy and Physicology. 2nd ed. The Benjamin Publishing Company, Inc, California. Marliyati, S.A. Hidayat S.. Deddy M, Latifah K.D, dan Rimbawan. 2005. Ekstraksi dan Analisis Fitosterol Lembaga Gandum (Triticum sp). Jurnal Teknol. dan Ind. Pangan. Vol XVI. No. 1 : 1-12 Meiriana, Y. 2006. Pengaruh Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) Terhadap Aktivitas Proliferasi Sel Limfosit Manusia Secara In Vitro. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. Middleton, E. 1998. Effect of Plant Flavonoids on Immune and Inflammatory Cell Function. Adv Exp Med Biop 439 :175-182. Muchtadi, T.R dan Sugiyono. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU, IPB, Bogor. Mukhopadhyay, M. 2000. Natural Extract Using Supercritical Carbon Dioksida. CRC Press, Washington D.C Naufalin, R., Betty S.L.J., Feri K., Mirnawati S., dan Herastuti R. 2005. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Bunga Kecombrang Terhadap Bakteri Patogen dan Perusak Pangan. Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan. 16 : 119-125. Neto,C.C. 2007. Cranberry and Its Phytochemicals : A Review of In Vitro Anticancer Studies. J. Nutr. 137 : 186S-193S Nora, Z. 2003. Pengaruh Ekstrak Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) dan Bunga Kenop (Gomphena globosa L.) terhadap Proliferasi Sel Limfosit Tikus. Tesis. Ilmu Pangan, IPB. Novikoff, A.B. and Erick H. 1970. Cells and Organelles. Holt, Rinehart, and Winston, Inc, London. Nurrahman, F. R. Zakaria, D. Sayuthi, dan Sanjaya. 1999. Pengaruh Konsumsi Sari jahe terhadap Perlindungan Limfosit dari Stress Oksidatif pada Mahasiswa Pondok Pesantren Ulil Al Baab. Makalah Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan, PATPI & MENPANGHOR, Jakarta. Omaye, S.T. 2004. Food and Nutritional Toxicology. CRC Press, Florida. Pandoyo, A.S. 2000. Pengaruh Ekstrak Tanaman Cincau Hijau (Cyclea barbata L. Miers) Terhadap Aktivitas Proliferasi Sel Limfosit Darah Tepi Manusia Secara In Vitro. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. Paul, J. 1972. Cell and Tissue Culture. Churchill livingstone, London. 71 Puspaningrum, R. 2003. Pengaruh Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia sappan Linn) terhadap Proliferasi Sel Limfosit Limfa Tikus dan Sel Kanker K-562 (Chronic myelogenous leukimia) secara in vitro. Skripsi. Fateta, IPB. Sandres, N. 1995. Food Legislation and The Scope For Increased Use of NearCritical Fluid Extraction Operations in The Food Flavouring and Pharmaceutical Industries. Blackie Academic and Professional, United Kingdom. Sharper, P.T. 1988. Methods of Cell Separation. Elsevier, Amsterdam. Sheeler, P. and Bianchi, D.E. 1982. Cell Biology Structure, Biochemistry, and Function. 2nd ed. John Wiley & Sons, Inc. New York. Sigma. 2006. Cell Growth Determination www.sigmaaldrich.com. [20 Agustus 2007] Kit MTT Based. Singh, R.P., K.N. Chidambara, G.K. Jayaprakasha. 2002. Studies on The Antioxidant Activity of Pomegranate (Punica granatum) Peel and Seed Extract Using In Vitro Models. J. Agric. Food Chem. 2002, 50, 81-86 Somaatmadja, D. 1981. Prospek Pengembangan Industri Oleoresin di Indonesia. Komunikasi 201. BPIHP, Bogor Suradikusuma, E. 1989. Kimia Tumbuhan. Depdikbud, Dirjen Dikti, PAU Ilmu Hayati, IPB, Bogor. Sugiarti, I.M. 1990. Pengaruh Pemberian Infus Daun Kemuning (Murraya paniculata [L..] Jack.) terhadap berat badan mencit. Skripsi. FMIPA UNAIR. Tang, Chi . 1991. Phenolic Compounds in Food. Di dalam : Phenolic Compounds in Food and Their Fffects on Health. Chi-Tang, Chang Y. Lee, dan MouTuan Huang (ed) hal 1-7. American Chemical Society, Washington D.C. Tizard, I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press, Surabaya. Thomas, P.T. and Robert V.H. 1995. Preclinical Immunotoxicity Assesment. In : Derelanko, M.J. dan Mannfred A.H. (Eds.). CRC Handbook of Toxicology. 66:70 Tortora, G dan Nicholas P.A. 1990. Principles of Anatomy and Physicology. 6th ed. Harper and Row Publisher, New York. Vries, J.D . 1997 . Food Safety and Toxicity. 1997. CRC Press, London. 72 Walum E., K. Stenberg, and D. Jenssen. 1990. Understanding Cell Toxicology Principles and Practise. Ellis Horwood, New York Winarno, F.G. 1992 . Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta Zakaria, F.R. 1996. Sintesis Senyawa Radikal dan Elektrofil dalam dan oleh Komponen Pangan, Reaksi Biomolekul, Dampak terhadap Kesehatan dan Penangkalnya. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi dengan Kedutaan Besar Perancis, Jakarta. Fransisca, R.Z., Sedarnawati dan Ratih Dewanti (eds). 4 April 1996, Bogor. 73 Lampiran 1. Skema Tahapan Penelitian Secara Umum Tahap Persiapan Tanaman Segar Darah Ekstraksi Bahan Segar Ekstrak tanaman Pengujian Toksisitas dan daya Imunomodulator Ekstrak terhadap Proliferasi Sel Limfosit Analisis Kimia Kadar Air dan Kadar Protein Isolasi Sel Limfosit Manusia Kadar Total Fenol, Kapasitas Antioksidan Metode MTT Metode Biru Tripan 74 Lampiran 2. Kandungan Medium RPMI-1640 Komponen Konsentrasi Komponen Konsentrasi (mg/l) Asam Amino (mg/l) Vitamin Arginin 200 Biotin 0.2 Asparagin 50 Vitamin B12 0.005 Asam Aspartat 20 Kalsium pantotenat 0.25 Sistin 50 Kolin klorida 3.0 Asam Glutamat 20 Asam folat 1.0 Glutamin 300 I-inositol 35.0 Glisin 10 Nikotinamid 1.0 Histidin 15 Asam p-aminobenzoat 1.0 Hidro prolin 20 Piridoksin HCL 1.0 Isoleusin 50 Riboflavin 0.2 Leusin 50 Tiamin HCL 1.0 Lisin-HCL 40 Metionin 15 Garam Anorganik Fenilalanin 15 NaCl 6000 Prolin 20 KCL 400 Serin 30 Na2HPO4.H2O 1512 Treonin 20 MgSO4.7H2O 100 Triptofan 5 NaHCO3 2000 Tirosin 20 Ca(NO3).4H2O 100 Valin 20 75 Lampiran 3. Contoh Perhitungan Konsentrasi Ekstrak Daun kemuning aquades. Bobot hasil ekstraksi yang diperoleh pada konsentrasi C3 = 11.70 gr Asumsi hasil ekstraksi masuk ke dalam 6 liter darah (in vivo), sehingga konsentrasinya menjadi : 11.70 gr / 6000 ml = 1.95 x 10-3 (gr/ml) Konsentrasi dalam darah tersebut harus disesuaikan dengan konsentrasi ekstrak di dalam sumur (in vitro), sehingga V1 x M1 = V2 x M2 100 µl x 1.95 x 10-3 = 20 µl x M2 M2 = 9.75 x 10-3 gr/ml = 9.750 mg/ml Keterangan : V1 = Volume total sumur M1 = Konsentrasi ekstrak dalam sumur (C) V2 = Volume ekstrak yang ditambahkan ke dalam sumur M2 = Konsentrasi ekstrak yang ditambahkan ke dalam sumur Perluasan taraf konsentrasi dilakukan sebagai berikut : C1 = 2.438 mg/ml ( ½ C2) C2 = 4.875 mg/ml (pendekatan konsumsi perhari) C3 = 9.750 mg/ml (2 x C2) Faktor penyerapan dalam tubuh diasumsikan mendekati faktor penyerapan ekstrak selama proses penyaringan dengan membran filter. 76 Lampiran 4. Data Indeks Stimulasi ( Metode MTT) 1. Daun jati belanda a. Ekstrak aquades Dosis 2x 1x 0.5x 1 0.87 0.85 1.35 2 0.74 0.83 1.45 3 0.74 0.88 1.65 Rata-rata IS 0.78 0.85 1.48 2x 1x 0.5x 1 0.77 1.07 0.96 2 0.83 1.14 1.06 3 0.88 1.17 1.26 Rata-rata IS 0.83 1.13 1.09 2x 1x 0.5x 1 1.05 1.37 1.55 2 0.94 0.99 1.75 3 1.06 1.09 1.70 Rata-rata IS 1.02 1.15 1.67 Ulangan b. Ekstrak etanol Dosis Ulangan 2. Daun delima putih a. Ekstrak etanol Dosis Ulangan 77 b. Ekstrak aquades Dosis 2x 1x 0.5x 1 3.74 5.23 4.35 2 2.63 5.09 5.29 3 4.16 3.64 5.28 Rata-rata IS 3.51 4.65 4.74 2x 1x 0.5x 1 3.56 4.68 2.79 2 3.98 4.33 2.85 3 3.47 2.79 2.69 Rata-rata IS 3.67 3.93 2.75 2x 1x 0.5x 1 2.47 2.40 2.22 2 1.35 2.41 2.47 3 1.06 2.47 2.42 Rata-rata IS 1.63 2.43 2.37 Ulangan 3. Daun kemuning a. Ekstrak aquades Dosis Ulangan b. Ekstrak etanol Dosis Ulangan 78 4. Daun ceremai a. Ekstrak aquades Dosis 2x 1x 0.5x 1 2.00 3.22 1.01 2 3.00 3.04 1.07 3 1.29 3.02 1.08 Rata-rata IS 2.09 3.09 1.05 2x 1x 0.5x 1 2.62 1.41 1.04 2 1.46 1.93 1.10 3 2.43 2.05 1.20 Rata-rata IS 2.17 1.80 1.11 2x 1x 0.5x 1 6.45 1.61 1.83 2 6.94 1.96 1.82 3 7.26 1.66 1.91 Rata-rata IS 6.88 1.74 1.85 Ulangan b. Ekstrak etanol Dosis Ulangan 5. Bunga kecombrang a. Ekstrak aquades Dosis Ulangan 79 b. Ekstrak etanol Dosis 2x 1x 0.5x 1 1.18 1.88 2.32 2 2.40 2.90 3.24 3 2.90 3.00 3.30 Rata-rata IS 2.16 2.59 2.95 Ulangan 80 Lampiran 5. Kurva Standar Total Fenol Standar [ ] ppm Absorbansi (mg/l) Asam Tanat 0 0.000 5 0.095 10 0.160 15 0.240 20 0.298 25 0.386 0.45 y = 0.015x + 0.0094 R2 = 0.9963 0.4 Absorbansi 0.35 0.3 25, 0.386 20, 0.298 0.25 15, 0.24 0.2 10, 0.16 0.15 0.1 5, 0.095 0.05 0, 0 0 0 5 10 15 20 25 30 [ ] (ppm ) Contoh perhitungan kandungan total fenol pada ekstrak aquades daun ceremai : Rata-rata nilai absorbansi = 0.635 y = 0.015x + 0.0094 0.635 = 0.015x + 0.0094 X = 41.57 ppm ekstrak Æ karena pada awalnya sampel diencerkan 100 x, maka total fenol sampel sebenarnya adalah 41.57 x 102 ppm ekstrak 81 Lampiran 6. Kurva Standar asam Askorbat Standar [ ] ppm Absorbansi (mg/l) Daya peredaman radikal bebas (%) Asam Askorbat 50 1.180 2.88 100 1.170 3.70 200 1.050 13.58 500 0.778 36.79 1000 0.233 80.82 Daya peredaman radikal bebas (%) 100 80 60 y = 0.083 x -3.261 40 20 0 -20 50 100 200 500 1000 Konsentrasi asam askorbat (ppm) Contoh perhitungan kadar AEAC pada ekstrak aquades daun ceremai : Rata-rata daya peredaman radikal bebas (%) = 85.88 % y = 0.083 x -3.261 85.88 = 0.083 x -3.261 x = 1003.14 mg/l AEAC 82 Lampiran 7. Inform Concern INFORM CONCERN PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Andal Kuntarso Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Mahasiswa Ilmu dan Teknologi pangan (ITP) NRP : F24103112 Alamat : Pagelaran GG.2 No.9, Ciomas, Bogor Telepon : 0251-634016 Menyatakan dalam keadaan sehat dan bersedia atau tidak berkeberatan untuk dilakukan pengambilan darah untuk keperluan penelitian yang berjudul “Pengaruh ekstrak tanaman ceremai, delima putih, jati belanda, kecombrang, dan kemuning terhadap proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro sebagai tahapan awal menuju minuman fungsional”. Penelitian ini dilakukan dalam rangka penulisan skripsi oleh Agnes Krismawati / NRP F24103085. Pengambilan darah dilakukan di klinik praktek dokter evi afifah darmagabogor pada bulan Maret-Mei 2007. Demikian keterangan ini dibuat untuk digunakan seperlunya. Bogor, Mei 2007 Petugas Pengambil Darah (Neng) Responden (Andal Kuntarso) 83 Lampiran 8. Foto kultur sel yang ditambahkan ekstrak a. kultur yang ditambahkan bunga kecombrang aquades C1 (1000x) c. kultur yang ditambahkan daun jati belanda aquades C2 (1000 x) b. Kultur yang ditambahakan ekstrak bunga kecombrang aquades C3 (400x) a. kultur yang ditambahkan daun jati belanda aquades C3 (400 x ) e. kultur yang ditambahkan ekstrak daun delima putih C1 (400 x) 84