LANTIP Volume 03. No. 02. Oktober 2013 13 KEBIJAKAN NUKLIR

advertisement
LANTIP Volume 03. No. 02. Oktober 2013
13
KEBIJAKAN NUKLIR JEPANG : MENDAYUNG DI ANTARA DISARMAMENT
DAN DETERRENCE
Tanti Nurgiyanti
Abstract
San Fransisco Agreement has forced Japan not to develop its military capabilities as a
consequence of its lost in World War II. Security Alliance with United States of America drives
US to guarantee Japan’s security against every attack from other countries. This defence
policy is latter known as “Under US’s Nuclear Umbrella. In fact, such condition rises a
contradiction in Japan’s role on Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT). In one side, Japan
performs itself to be the leader in the program because of its experience on destructuve
effect raised from the Atomic Bombing in Nagasaki and Hiroshima in the latest days of World
War II. In another sides, Japan’s policy to be under US’s nuclear umbrella influences Japan’s
steps in the NPT not against US’s interest. At last, Japan’s polivy on nuclear represents an
integration of disarmament and deterrence. Its direct participation in the NPT is a sound of
disarmament. Its still being under U’s nuclear umbrella is a deterrence for its national security
guarantee.
Keywords : nuclear, disarmament, deterrence.
A. LATAR BELAKANG
Sebelum kekalahannya atas sekutu pada perang dunia II, Jepang adalah negara
imperialis. Kekalahan atas sekutu membuat Jepang harus menjalankan kebijakan pasca
perang di bawah supervisi ketat dari AS dengan filosofi kebijakan “tidak mengembangkan
militer dan persenjataan”. Filosofi kebijakan yang lazim diterapkan kepada negara kalah
perang. Meskipun demikian, AS memberikan jaminan keamanan terhadap Jepang untuk
menghadapi serangan dari negara lain. Berdasarkan Dibawah perjanjian San fransisco,
Jepang harus mengakui (8 September 1956) dan harus mengadakan perubahan sesuai
dengan petunjuk Amerika, terutama mengenai Undang-Undang Meiji dan menjalankan
demokrasi di dalam negeri Jepang.
Pasal 9 Konstitusi Jepang berisi penolakan terhadap perang dan penggunaan
kekuatan bersenjata untuk menyelesaikan persengketaan internasional. Pasal 9 Ayat 2
berisi pelarangan kepemilikan angkatan bersenjata dan penolakan atas hak keterlibatan
dalam perang. Di balik konstitusi yang melarang Jepang mengembangkan persenjataan
dan militernya, Amerika Serikat memberikan jaminan keamanan bagi Jepang dari serangan
Negara lain. Dengan kata lain, persenjataan dan militer Jepang dijalankan peranannya oleh
jaminan keamanan dari AS. Perang dingin dan pengembangan nuklir oleh China kemudian
mengantarkan Jepang menerapkan kebijakan di bawah payung nuklir AS.
Kebijakan tersebut sangat kontradiktif dengan sejarah Jepang sebagai bangsa yang
pernah mengalami dampak langsung dari nuklir. Bom di Hiroshima dan Nagasaki telah
menanamkan trauma pada masyarakat Jepang perihal dampak negatif nuklir. Interaksi
antara kondisi domestik dan lingkungan internasional yang saling berseberangan tersebut
LANTIP Volume 03. No. 02. Oktober 2013
14
menjadikan masyarakat Jepang terpecah menjadi tiga kategori terkait nuklir. Pertama,
pasifis. Yaitu masyarakat yang sangat anti pati terhadap nuklir dan menentang
persenjataan nuklir dalam bentuk apapun. Kedua, moderat. Yaitu masyarakat yang bisa
memahami dan berempati terhadap kebijakan pemerintah untuk berlindung di bawah
payung nuklir AS. Ketiga, masyarakat yang ragu atas efektifitas perlindungan di bawah
payung nuklir AS.
Di samping itu, interaksi kondisi domestik dan lingkungan internasional juga
menempatkan pemerintah Jepang pada ambivalensi kebijakan. Di satu sisi, pemerintah
Jepang menyepakati nuclear disarmament dan non proliferation of nuclear. Di sisi lain,
Jepang berada di bawah payung nuklir AS.
B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Dua kecenderungan yang berbeda antara kondisi domestik dan lingkungan
internasional tersebut memunculkan satu pertanyaan menarik “Bagaimana kebijakan
nuklir Jepang mendayung di antara komitmen terhadap perlucutan senjata nuklir dunia
dan bernaung di bawah payung nuklir AS?”
C. NUKLIR, DETERRENCE, DAN DISARMAMENT
Darryl Howlett (dalam Budi Winarno, 2011)1 menyataka bahwa terdapat beberapa
faktor yang membuat proliferas nuklir menjadi sebuah isu global dalam beberapa dekade.
Pertama, pengetahuan tentang efek destruktif yang besar dari senjata nuklir terhadap
manusia, misalnya yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima pada akhir perang dunia II.
Kedua, dewasa ini beberapa negara telah memiliki infrastruktur untuk membangun
setidaknya alat-alat nuklir yang masih mentah. Ketiga, perkembangan-perkembangan
yang berasal dari bubarnya bekas Uni Sovyet pada awal tahun 1990-an juga menimbulkan
masalah-masalah baru terkait nuklir. Persoalan yang dihadapi segera setelah Uni Sovyet
bubar adalah bagaimana sebuah negara yang diakui memiliki senjata nuklir akhirnya pecah
berantakan. Kazakstan dan beberapa negara lain pecahan Uni Sovyet mempunyai senjatasenjata nuklir. Ini tentu menjadi persoalan tersendiri. Meskipun demikian, di kalangan
intelektual, sejak awal tahun 1980-an, muncul suatu tesis bahwa persebaran secara gradual
dari senjata-senjata nuklir ke negara-negara pemilik baru perlu disambut baik ketimbang
ditakuti. Tesis ini didasarkan pada proposisi bahwa nuclear deterrence mampu memelihara
stabilitas antara Barat dan Timur dalam kurun waktu Perang Dingin.
Aliansi keamanan Jepang terhadap AS membuat pemerintah Jepang mengikuti
sudut pandang yang dikembangkan oleh AS terkait nuklir. Yaitu, kepemilikan senjata nuklir
merupakan strategi paling efektif untuk mencegah terjadinya perang nuklir. Menurut
National defense Program Guidelines, pemerintah Jepang bergantung pada deterrence
nuklir AS untuk memastikan keamanan nasionalnya terhadap ancaman senjata nuklir pada
dan pasca perang dingin. Dengan posisi ini, otomatis pemerintah Jepang tetap
menganggap nuklir sebagai instrument penting bagi kepentingan nasional Jepang. Payung
nuklir AS tidak menghalangi pengembangan tiga prinsip anti nuklir dalam kebijakan
nasionalnya. Yaitu, tidak mengenalkan, tidak mengembangkan, dan tidak memiliki senjata
nuklir. Dengan kata lain, payung nuklir AS memberi keleluasaan bagi pemerintah Jepang
Prof. Drs. Budi Winarno, MA., PhD, Isu – Isu Global Kontemporer, Center for Academic Publishing Service,
2011, hal. 244
1
LANTIP Volume 03. No. 02. Oktober 2013
15
untuk tidak secara langsung menaruh perhatian pada persenjataan nuklir dalam konteks
pertahanan nasional, namun tetap bisa bernaung di bawah kepemilikan nuklir AS sebagai
pertahanan untuk menghadapi ancaman serangan nuklir.
Situasi tersebut tentu saja pada saat bersamaan memasung gerakan Jepang untuk
menindaklanjuti komitmen-komitmennya terhadap nuclear disarmament dan non
proliferation of nuclear karena pemerinta Jepang juga memiliki komitmen untuk
menjadikan nuklir sebagai deterrence. Kebijakan ini tidak dapat dipisahkan dari kuatnya
aliansi pertahanan Jepang terhadap AS. Dengan kata lain, kegiatan Jepang terkait nuclear
disarmament dan non proliferation of nuclear dapat dijalankan selama tidak bertentangan
dengan logika kebijakan yang dimiliki oleh AS.
Disarmament secara umum memiliki makna mengurangi jumlah persenjataan
nasional atau menghilangkan jenis-jenis senjata (biologi dan kimia) sampai berjumlah nol.
Disarmament memiliki tujuan perlunya mengurangi atau mengeliminasi secara drastic
semua dan berusaha menghilangkan perang itu sendiri. Disarmaments didasarkan pada
pemahaman bahwa jika tidak ada senjata maka tidak akan terjadi perang (if there were no
more weapons there would be no more war)2.
Teori Perlucutan Senjata sebagai strategi untuk mewujudkan perdamaian terletak
pada asumsi bahwa kekuatan militer yang besar dan teknologi persenjataan yang tinggi
akan meningkatkan kecenderungan pemerintah suatu Negara untuk menggunakan
kekuatan militer sebagai alat utama negara. Ketika kekuatan militer adalah alat utama
pertimbangan kebijakan luar negeri, maka para pengambil kebijakan cenderung melihat
isu internasional dari kacamata tindakan militer3.
C. DUALISME KEBIJAKAN NUKLIR JEPANG
Setelah bom atom meledak, AS melucuti militer Jepang. Jepang menjadi negara
yang seolah-olah ”dipasung” oleh AS untuk menjadi negara yang tidak dimungkinkan lagi
memiliki kekuatan militer. Tak ada lagi pasukan militer yang ekspansionis, dan
membutuhkan dana yang sangat besar di Jepang. Konstitusi Jepang yang dibuat AS
tampak secara sengaja mengatur Jepang untuk tidak memiliki kekuatan militer
kembali.Konstitusi 1947 tersebut tertuang dalam pasal 9,isinya:”Aspiring sincerely to an
internatonal peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as
sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of settling international
disputes. In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces,
as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the state
will not be recognizes”.
Kebijakan Jepang pasca perang di bidang persenjataan nuklir dan non proliferasi
adalah penolakan secara resmi terhadap program nuklir militer. Meskipun pada
kenyataannya di tahun 1970-an Jepang telah memiliki sumber daya teknis, saintifik, dan
industri yang diperlukan untuk pengembangan persenjataan nuklirnya sendiri, kebijakan
Jepang tetaplah menentang pengembangan persenjataan nuklir. Kebijakan tersebut
dikembangkan dalam situasi ketergantungan pada payung nuklir AS dan jaminan
2
Vioti, Paul R., dan Mark V. Kauppi. 2009. International Relations and World Politics: Controlling Global
Armaments, hal 224.
3
Cortright, David. 2008. Peace A Historyof Movements and Ideas, hal 93.
LANTIP Volume 03. No. 02. Oktober 2013
16
keamanan AS. Mutual Security Assistance Pact ang ditandatangani pada 1952 dan Treaty of
Mutual Cooperation and Security pada tahun 1960 membuat Jepang mengijinkan AS
membangun basis militernya di Jepang. Penolakan persenjataan nuklir oleh masyarakat AS
lebih merupakan aksi moral daripada berdasarkan pertimbangan pragmatis. Jepang juga
telah menggariskan kebijakan penting terkait nuklir. Pertama, penetapan tiga prinsip non
nuklir di tahun 1967. Kedua, penandatangan Nuclear Non-Proliferation Treaty(NPT) di tahun
19764.
Dua realitas kebijakan yang berbeda tersebut ditemukan rasionalnya pada dua
kondisi yang melingkupi Jepang. Pertama, pengalaman Jepang sebagai Negara yang
pernah menerima dampak negatif langsung nuklir pada peristiwa bom atom di Nagasaki
dan Hiroshima melahirkan sikap anti pati Jepang terhadap persenjataan nuklir. Kedua,
kepemilikan nuklir oleh China dan Korea Utara mendorong Jepang untuk berlindung di
bawah payung nuklir AS sebagai deterrence terhadap persenjataan nuklir yang ada di
sekitarnya. Kebijakan nuklir Jepang juga dipengaruhi keinginan rakyatnya. Pandangan
masyarakat Jepang tentang nuklir terbagi menjadi 3. Pertama, pasifis. Menentang nuklir
secara penuh. Kedua, moderat. Memahami dan berempati terhadap posisi pemerintah
tentang pentingnya payung nuklir AS. Ketiga, meragukan efektifitas payung nuklir AS5.
Berakhirnya perang dingin memberi peluang bagi Tokyo untuk memiliki
pemahaman baru. Ingin memainkan peran global terkait nuclear disarmament, Tokyo
mulai bersuara tentang perlucutan senjata nuklir dalam bentuk apapun. Hal ini dapat
dirujuk pada pidato PM Noboru Takeshita dalam Majelis Umum PBB pada tahun 1988.
Dalam konferensi tersebut, Jepang menekankan keinginannya untuk menjadi tuan rumah
konferensi tentang disarmament.
Pada tahun 1994, Jepang menyampaikan resolusi nuclear disarmament ke Komisi
Satu majelis Umum PBBtentang Disarmament dan Keamanan Internasional. Bersama
dengan Australia, Jepang menyampaikan Sembilan poin draft resolusi kepada PBB pada
tahun 2002, meminta semua Negara untuk menggiatkan lagi usahanya untuk mencegah
pengembangan nuklir dan senjata pemusnah masal lainnya. Pada tahun 1994 dan 1995,
Tokyo menyampaikan pernyataan tertulis ke International Court of Justice (ICJ) yang
berpendapat bahwa senjata nuklir bertentangan dengan hukum internasional. Pada
pidatonya di tahun 1995, PM Tomiichi Murayama menekankan bahwa Tokyo akan terus
memperjuangkan penghapusan semua persenjataan nuklir dan melaksanakan the
Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT). Melalui Menteri Luar Negerinya, pada tahun yang
sama Jepang juga menegaskan “penghentian total uji coba nuklir”. Sayangnya di tahun
1997, pernyataan tersebut direvisi ketika AS mengkritisi hal tersebut yang menyebabkan
Tokyo menerima prosedur uji coba baru yang disampaikan Washington6.
Di tahun 2003 diadakan pertemuan negara-negara PBB yang diketuai oleh wakil
tetap Jepang untuk konferensi perlucutan senjata. Pertemuan ini diadakan untuk
Emma Chanlet Avery, Mary Beth Nikitin, Japan’s Nuclear Future : Policy Debate, Prospect and US Interest,
Congressial Research Service, 19 Februari 2009.
4
5
ToyokoKimota, Japan & Nuclear Disarmament : Looking Through US Umbrella, CBRN South Asia Brief, Juli
2009
6
Anthony DiFilippo, The Politics of Japanese Nuclear Disarmament Initiatives: Where Government Policies and
Civil Society Converge and Diverge, makalah, 27 Februari 2003.
LANTIP Volume 03. No. 02. Oktober 2013
17
mempertimbangkan implementasi program PBB yaitu tindakan untuk mencegah,
memerangi, dan memberantas perdagangan gelap senjata kecil dan ringan. Dalam
pertemuan kabinet Jepang pada tanggal 10 Desember 2004, Jepang diminta berpartisipasi
pada misi penjagaan perdamaian internasional. Namun peran Jepang hanya sebatas
melakukan tugas-tugas kemanusiaan, tidak terlibat pada zona perang di negara yang
terlibat pertikaian bersenjata. Ditegaskan, Jepang akan turut memainkan peran menjaga
keamanan global, sesuai dengan status Jepang sebagai salah satu kekuatan ekonomi
global. Jepang tetap mempertahankan sikap tidak memiliki senjata nuklir, tidak akan
memproduksi, dan tidak akan mengizinkan jenis senjata itu masuk wilayah Jepang.
Jepang juga menjadikan komitmen terhadap nuclear disarmament dan nuclear non
proliferatin dalam memberlakukan kebijakan bantuan ekonomi dalam skema Official
Development Assistance (ODA). Yaitu, bahwa salah satu bagian penting yang dijadikan
pertimbangan oleh pemerintah jepang dalam mengalokasikan bantuan pembangunan
ekonomi melalui ODA adalah komitmen Negara tujuan terhadap kebijakan anti nuklir7.
Dengan kata lain, Jepang memiliki kebijakan nuklir yang kontradiktif sejak Perang
Dunia II. Di satu sisi, Jepang menyetujui nuclear disarmament dan non proliferation of
nuclear. Di sisi lain, Jepang terus berada di bawah payung nuklir AS. Senjata nuklirlah yang
membuat Jepang dikalahkan AS dan Jepang mentaati konstitusi damai yang
direkomendasikan oleh AS. Perang Dingin dan akuisisi persenjataan nuklir China membuat
Jepang terus mengupayakan deterrence dari AS.
Faktor yang mempengaruhi kebijakan nuklir Jepang degan wajah kontradiktifnya
dapat dikategorikan menjadi faktor domestik dan faktor eksternal. Faktor domestik
meliputi pandangan umum masyarakat Jepang, pandangan elit pengambil kebijakan, tiga
prinsip non nuklir, dan batasan konstitusi. Sedangkan faktor eksternal meliputi hukum
internasional, program nuklir untuk perluan sipil, dan diplomasi internasional8.
Pandangan umum tentang isu pertahanan di Jepang sudah mengalami pergeseran,
namun keberadaan masyarakat pasifis masih signifikan. Tragedi Bom Atom masih melekat
dalam ingatan masyarakat Jepang sehingga alergi terhadap penggunaan energi nuklir
untuk kepentingan militer. Di sisi lain, pengambil kebijakan di Jepang tidak bisa menutup
mata terhadap kemunculan China dan kepemilikan senjata nuklir oleh Korea Utara.
Perhatian terhadap situasi regional ini yang kemudian mendorong pengambil kebijakan
untuk tidak mengambil resiko melepaskan diri dari payung nuklir AS meskipun para
pengambil kebijakan pada saat yang bersamaan juga memahami bahwa hal itu tidak
bersesuaian dengan tiga prinsip non nuklir Jepang. Kebijakan tersebut dianggap yang
paling rasional dengan mempertimbangkan amanah konstitusi Jepang yang tidak
memberi ruang bagi pengembangan persenjataan dan militer.
Faktor eksternal yang ikut mempengaruhi wajah kontradiktif Jepang adalah hukum
internasional, program nuklir sipil, dan diplomasi internasional. Pasal 2 NPT mewajibkan
Jepang untuk tidak menerima transfer persenjataan nuklir baik secara langsung maupun
tidak langsung; dan tidak mengelola persenjataan nuklir. Pasal 3 mewajibkan Jepang untuk
penerima pengawasan total dari IAEA pada program nuklir untuk sipil yang
dikembangkannya. Jepang menandatangai Additional Protocol pada tahun 1998 di mana
7
8
Ibid
Emma Chanlet Avery, op cit
LANTIP Volume 03. No. 02. Oktober 2013
18
IAEA dapat menggunakan pertimbangan-pertimbangan untuk memverifikasi bahwa
fasilitas dan material program nuklir untuk sipil tidak dialihkan menjadi program militer.
Jepang tidak memiliki cadangan uranium sendiri. Jepang bekerjasama dengan AS,
Perancis, Inggris, China, Canada, dan Australia melalui skema kerjasama nuklir sipil untuk
memperoleh cadangan uranium. Ketika program sipil tersebut beralih menjadi program
militer maka Jepang berkewajiban mengembalikan uranium ke Negara asalnya. Program
nuklir untuk sipil Jepang –menyediakan 1/3 cadangan energi yang dibutuhkan- akan
terganggu dengan pemotongan ketersediaan uranium. Selain itu, ketika Jepang menarik
diri dari NPT maka Jepang terancam sanksi isolasi diplomatik dan ekonomi dari PBB.
Implikasinya, akan terjadi hambatan dengan Negara-negara penyedia uranium untuk
kepentingan sipil yang secara langsung mengancam kepentingan nasional Jepang di
bidang energi. Dalam konteks diplomasi, Jepang menduduki posisi sentral sebagai
pemimpin non proliferasi dan promotor nuclear disarmament. Jepang secara konsisten
menyuarakan “dunia yang aman, bebas dari persenjataan nuklir, pada kesempatan
pertama”.
Dari kedua kategori faktor tersebut dapat ditemukan rasional ambivalensi Jepang
terkait kebijakan nuklir. Jepang menghadapi dua kondisi yang berseberangan dalam waktu
yang bersamaan. Kondisi trauma Jepang atas tragedi bom atom membuat Jepang berada
di garda depan nuclear non proliferation dan nuclear disarmament. Hal inilah yang
kemudian memunculkan politik luar negeri Jepang yang sangat aktif terhadap non
proliferasi dan perlucutan senjata nuklir.
Pada saat bersamaan, Jepang juga harus menghadapi ancaman strategis dari
keberadaan senjata nuklir yang dimiliki oleh beberapa Negara di sekitarnya (China, Korea
Utara dan India). Faktor-faktor domestik dan faktor-faktor eksternal yang telah mengikat
Jepang pada peran sentral di bidang anti nuklir membuat Jepang sulit untuk merubah
kebijakannya dengan mengembangkan persenjataan nuklirnya sendiri sebagai jaminan
keamanan. Implikasinya, intensifikasi aliansi keamanan dengan AS termasuk perlindungan
di bawah payung nuklir AS menjadi pilihan kebijakan paling strategis untuk menjalankan
deterence nuklir atas keberadaan persenjataan nuklir di sekitar Jepang. Meskipun
sebagian kalangan di Jepang meragukan efektifitas kebijakan tersebut apabila Jepang
memang benar-benar menghadapi serangan nuklir, setidaknya kebijakan tersebut
merupakan pilihan paling rasional untuk dikembangkan berdasarkan situasi domestik dan
internasional yang melingkupinya.
Kebangkitan nasionalisme generasi baru Jepang yang bergerak untuk menuntut
Jepang melepaskan ketergantungan terhadap perlindungan militer AS dan kritik tajam
atas kebijakan nuclear disarmament yang setengah hati karena Tokyo harus
memperhatikan kepentingan Washington tetap memicu kontroversi dengan kalangan
konservatif di Jepang yang berpegang pada prinsip pentingnya aliansi keamanan dengan
AS untuk melindungi keamanan dan kepentingan nasional Jepang.
Terdapat 3 alasan kenapa Pemerintah Jepang tidak mengembangkan 3 prinsip
dasar tentang perluncutan senjata nuklir menjadi hukum nasional. Pertama, pemerintah
Jepang beranggapan bahwa asiap pasifik, khususnya Asia Utara, tidaklah aman sehingga
Pemerintah Jepang merasa perlu untuk tetap berada di bawah payung persenjataan nuklir
AS. Kedua, penguatan aliansi AS – Jepang di mana Jepang dalam posisi partner junior
membuat Jepang harus sepenuhnya mempertimbangkan kepentingan dan tujuan AS
sebelum mengembangkan isu-isu keamanan, terutama yang berkaitan dengan perlucutan
LANTIP Volume 03. No. 02. Oktober 2013
19
senjata nuklir. Ketiga, kuatnya kekuatan konservatif di Jepang yang menginginkan akses
yang lebih luas terhadap keamanan Jepang di masa mendatang9.
D. KESIMPULAN
Kebijakan nuklir Jepang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan AS terhadap
Jepang. Payung nuklir AS terhadap Jepang tidak semata-mata untuk kepentingan Jepang
melainkan representasi dari upaya AS untuk membangun basis pertahanan dan
keamanannya guna memastikan pengendalian terhadap Timur Jauh. Ketergantungan
pertahanan dan keamanan terhadap AS yang dinikmati Jepang sejak kekalahan pada
Perang Dunia II membuat Jepang tidak bisa bersikap tegas terhadap AS, termasuk dalam
kaitannya dengan nuclear non proliferation dan nuclear disarmament.
Lebih lagi, posisi Jepang di kawasan dengan beberapa negara memiliki
persenjataan nuklir, membuat Jepang tetap memandang payung nuklir AS sebagai
deterrence terhadap persenjataan nuklir yang dimiliki beberapa negara tetangga.
Ambivalensi kebijakan Jepang terkait nuklir adalah cerminan dari upaya Jepang untuk
memaksimalkan pencapaian kepentingan nasionalnya. Disarmament dan deterrence
sama-sama memberi nilai strategis bagi Jepang dalam pencapaian kepentingan
nasionalnya
DAFTAR PUSTAKA
Chanlet Avery, Emma, Mary Beth Nikitin, Japan’s Nuclear Future : Policy Debate, Prospect
and US Interest, Congressial Research Service, 19 Februari 2009.
DiFilippo, Anthony, The Politics of Japanese Nuclear Disarmament Initiatives: Where
Government Policies and Civil Society Converge and Diverge, makalah, 27 Februari 2003.
________, Japan’s Nuclear Disarmament Policy and The US Security Umbrella, Palgrav
MacMillan, 2006.
Kimota, Toyoko, Japan & Nuclear Disarmament : Looking Through US Umbrella, CBRN
South Asia Brief, Juli 2009.
Tetsuya, ENDO,Nuclear Disarmament and Japan, http://icnnd.org/ Documents/
Endo_Disarmt_and_Japan.pdf
Winarno, Prof. Drs. Budi, MA., PhD, Isu – Isu Global Kontemporer, Center for Academic
Publishing Service, 2011, hal. 244
Vioti, Paul R., dan Mark V. Kauppi, International Relations and World Politics: Controlling
Global Armaments, 2009.
Cortright, David. Peace A Historyof Movements and Ideas, 2008
Anthony diFilippo, Japan’s Nuclear Disarmament Policy and The US Security Umbrella, Palgrav MacMillan,
2006.
9
LANTIP Volume 03. No. 02. Oktober 2013
20
Download