LANTIP Volume 03. No. 02. Oktober 2013 13 KEBIJAKAN NUKLIR JEPANG : MENDAYUNG DI ANTARA DISARMAMENT DAN DETERRENCE Tanti Nurgiyanti Abstract San Fransisco Agreement has forced Japan not to develop its military capabilities as a consequence of its lost in World War II. Security Alliance with United States of America drives US to guarantee Japan’s security against every attack from other countries. This defence policy is latter known as “Under US’s Nuclear Umbrella. In fact, such condition rises a contradiction in Japan’s role on Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT). In one side, Japan performs itself to be the leader in the program because of its experience on destructuve effect raised from the Atomic Bombing in Nagasaki and Hiroshima in the latest days of World War II. In another sides, Japan’s policy to be under US’s nuclear umbrella influences Japan’s steps in the NPT not against US’s interest. At last, Japan’s polivy on nuclear represents an integration of disarmament and deterrence. Its direct participation in the NPT is a sound of disarmament. Its still being under U’s nuclear umbrella is a deterrence for its national security guarantee. Keywords : nuclear, disarmament, deterrence. A. LATAR BELAKANG Sebelum kekalahannya atas sekutu pada perang dunia II, Jepang adalah negara imperialis. Kekalahan atas sekutu membuat Jepang harus menjalankan kebijakan pasca perang di bawah supervisi ketat dari AS dengan filosofi kebijakan “tidak mengembangkan militer dan persenjataan”. Filosofi kebijakan yang lazim diterapkan kepada negara kalah perang. Meskipun demikian, AS memberikan jaminan keamanan terhadap Jepang untuk menghadapi serangan dari negara lain. Berdasarkan Dibawah perjanjian San fransisco, Jepang harus mengakui (8 September 1956) dan harus mengadakan perubahan sesuai dengan petunjuk Amerika, terutama mengenai Undang-Undang Meiji dan menjalankan demokrasi di dalam negeri Jepang. Pasal 9 Konstitusi Jepang berisi penolakan terhadap perang dan penggunaan kekuatan bersenjata untuk menyelesaikan persengketaan internasional. Pasal 9 Ayat 2 berisi pelarangan kepemilikan angkatan bersenjata dan penolakan atas hak keterlibatan dalam perang. Di balik konstitusi yang melarang Jepang mengembangkan persenjataan dan militernya, Amerika Serikat memberikan jaminan keamanan bagi Jepang dari serangan Negara lain. Dengan kata lain, persenjataan dan militer Jepang dijalankan peranannya oleh jaminan keamanan dari AS. Perang dingin dan pengembangan nuklir oleh China kemudian mengantarkan Jepang menerapkan kebijakan di bawah payung nuklir AS. Kebijakan tersebut sangat kontradiktif dengan sejarah Jepang sebagai bangsa yang pernah mengalami dampak langsung dari nuklir. Bom di Hiroshima dan Nagasaki telah menanamkan trauma pada masyarakat Jepang perihal dampak negatif nuklir. Interaksi antara kondisi domestik dan lingkungan internasional yang saling berseberangan tersebut LANTIP Volume 03. No. 02. Oktober 2013 14 menjadikan masyarakat Jepang terpecah menjadi tiga kategori terkait nuklir. Pertama, pasifis. Yaitu masyarakat yang sangat anti pati terhadap nuklir dan menentang persenjataan nuklir dalam bentuk apapun. Kedua, moderat. Yaitu masyarakat yang bisa memahami dan berempati terhadap kebijakan pemerintah untuk berlindung di bawah payung nuklir AS. Ketiga, masyarakat yang ragu atas efektifitas perlindungan di bawah payung nuklir AS. Di samping itu, interaksi kondisi domestik dan lingkungan internasional juga menempatkan pemerintah Jepang pada ambivalensi kebijakan. Di satu sisi, pemerintah Jepang menyepakati nuclear disarmament dan non proliferation of nuclear. Di sisi lain, Jepang berada di bawah payung nuklir AS. B. RUMUSAN PERMASALAHAN Dua kecenderungan yang berbeda antara kondisi domestik dan lingkungan internasional tersebut memunculkan satu pertanyaan menarik “Bagaimana kebijakan nuklir Jepang mendayung di antara komitmen terhadap perlucutan senjata nuklir dunia dan bernaung di bawah payung nuklir AS?” C. NUKLIR, DETERRENCE, DAN DISARMAMENT Darryl Howlett (dalam Budi Winarno, 2011)1 menyataka bahwa terdapat beberapa faktor yang membuat proliferas nuklir menjadi sebuah isu global dalam beberapa dekade. Pertama, pengetahuan tentang efek destruktif yang besar dari senjata nuklir terhadap manusia, misalnya yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima pada akhir perang dunia II. Kedua, dewasa ini beberapa negara telah memiliki infrastruktur untuk membangun setidaknya alat-alat nuklir yang masih mentah. Ketiga, perkembangan-perkembangan yang berasal dari bubarnya bekas Uni Sovyet pada awal tahun 1990-an juga menimbulkan masalah-masalah baru terkait nuklir. Persoalan yang dihadapi segera setelah Uni Sovyet bubar adalah bagaimana sebuah negara yang diakui memiliki senjata nuklir akhirnya pecah berantakan. Kazakstan dan beberapa negara lain pecahan Uni Sovyet mempunyai senjatasenjata nuklir. Ini tentu menjadi persoalan tersendiri. Meskipun demikian, di kalangan intelektual, sejak awal tahun 1980-an, muncul suatu tesis bahwa persebaran secara gradual dari senjata-senjata nuklir ke negara-negara pemilik baru perlu disambut baik ketimbang ditakuti. Tesis ini didasarkan pada proposisi bahwa nuclear deterrence mampu memelihara stabilitas antara Barat dan Timur dalam kurun waktu Perang Dingin. Aliansi keamanan Jepang terhadap AS membuat pemerintah Jepang mengikuti sudut pandang yang dikembangkan oleh AS terkait nuklir. Yaitu, kepemilikan senjata nuklir merupakan strategi paling efektif untuk mencegah terjadinya perang nuklir. Menurut National defense Program Guidelines, pemerintah Jepang bergantung pada deterrence nuklir AS untuk memastikan keamanan nasionalnya terhadap ancaman senjata nuklir pada dan pasca perang dingin. Dengan posisi ini, otomatis pemerintah Jepang tetap menganggap nuklir sebagai instrument penting bagi kepentingan nasional Jepang. Payung nuklir AS tidak menghalangi pengembangan tiga prinsip anti nuklir dalam kebijakan nasionalnya. Yaitu, tidak mengenalkan, tidak mengembangkan, dan tidak memiliki senjata nuklir. Dengan kata lain, payung nuklir AS memberi keleluasaan bagi pemerintah Jepang Prof. Drs. Budi Winarno, MA., PhD, Isu – Isu Global Kontemporer, Center for Academic Publishing Service, 2011, hal. 244 1 LANTIP Volume 03. No. 02. Oktober 2013 15 untuk tidak secara langsung menaruh perhatian pada persenjataan nuklir dalam konteks pertahanan nasional, namun tetap bisa bernaung di bawah kepemilikan nuklir AS sebagai pertahanan untuk menghadapi ancaman serangan nuklir. Situasi tersebut tentu saja pada saat bersamaan memasung gerakan Jepang untuk menindaklanjuti komitmen-komitmennya terhadap nuclear disarmament dan non proliferation of nuclear karena pemerinta Jepang juga memiliki komitmen untuk menjadikan nuklir sebagai deterrence. Kebijakan ini tidak dapat dipisahkan dari kuatnya aliansi pertahanan Jepang terhadap AS. Dengan kata lain, kegiatan Jepang terkait nuclear disarmament dan non proliferation of nuclear dapat dijalankan selama tidak bertentangan dengan logika kebijakan yang dimiliki oleh AS. Disarmament secara umum memiliki makna mengurangi jumlah persenjataan nasional atau menghilangkan jenis-jenis senjata (biologi dan kimia) sampai berjumlah nol. Disarmament memiliki tujuan perlunya mengurangi atau mengeliminasi secara drastic semua dan berusaha menghilangkan perang itu sendiri. Disarmaments didasarkan pada pemahaman bahwa jika tidak ada senjata maka tidak akan terjadi perang (if there were no more weapons there would be no more war)2. Teori Perlucutan Senjata sebagai strategi untuk mewujudkan perdamaian terletak pada asumsi bahwa kekuatan militer yang besar dan teknologi persenjataan yang tinggi akan meningkatkan kecenderungan pemerintah suatu Negara untuk menggunakan kekuatan militer sebagai alat utama negara. Ketika kekuatan militer adalah alat utama pertimbangan kebijakan luar negeri, maka para pengambil kebijakan cenderung melihat isu internasional dari kacamata tindakan militer3. C. DUALISME KEBIJAKAN NUKLIR JEPANG Setelah bom atom meledak, AS melucuti militer Jepang. Jepang menjadi negara yang seolah-olah ”dipasung” oleh AS untuk menjadi negara yang tidak dimungkinkan lagi memiliki kekuatan militer. Tak ada lagi pasukan militer yang ekspansionis, dan membutuhkan dana yang sangat besar di Jepang. Konstitusi Jepang yang dibuat AS tampak secara sengaja mengatur Jepang untuk tidak memiliki kekuatan militer kembali.Konstitusi 1947 tersebut tertuang dalam pasal 9,isinya:”Aspiring sincerely to an internatonal peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of settling international disputes. In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the state will not be recognizes”. Kebijakan Jepang pasca perang di bidang persenjataan nuklir dan non proliferasi adalah penolakan secara resmi terhadap program nuklir militer. Meskipun pada kenyataannya di tahun 1970-an Jepang telah memiliki sumber daya teknis, saintifik, dan industri yang diperlukan untuk pengembangan persenjataan nuklirnya sendiri, kebijakan Jepang tetaplah menentang pengembangan persenjataan nuklir. Kebijakan tersebut dikembangkan dalam situasi ketergantungan pada payung nuklir AS dan jaminan 2 Vioti, Paul R., dan Mark V. Kauppi. 2009. International Relations and World Politics: Controlling Global Armaments, hal 224. 3 Cortright, David. 2008. Peace A Historyof Movements and Ideas, hal 93. LANTIP Volume 03. No. 02. Oktober 2013 16 keamanan AS. Mutual Security Assistance Pact ang ditandatangani pada 1952 dan Treaty of Mutual Cooperation and Security pada tahun 1960 membuat Jepang mengijinkan AS membangun basis militernya di Jepang. Penolakan persenjataan nuklir oleh masyarakat AS lebih merupakan aksi moral daripada berdasarkan pertimbangan pragmatis. Jepang juga telah menggariskan kebijakan penting terkait nuklir. Pertama, penetapan tiga prinsip non nuklir di tahun 1967. Kedua, penandatangan Nuclear Non-Proliferation Treaty(NPT) di tahun 19764. Dua realitas kebijakan yang berbeda tersebut ditemukan rasionalnya pada dua kondisi yang melingkupi Jepang. Pertama, pengalaman Jepang sebagai Negara yang pernah menerima dampak negatif langsung nuklir pada peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima melahirkan sikap anti pati Jepang terhadap persenjataan nuklir. Kedua, kepemilikan nuklir oleh China dan Korea Utara mendorong Jepang untuk berlindung di bawah payung nuklir AS sebagai deterrence terhadap persenjataan nuklir yang ada di sekitarnya. Kebijakan nuklir Jepang juga dipengaruhi keinginan rakyatnya. Pandangan masyarakat Jepang tentang nuklir terbagi menjadi 3. Pertama, pasifis. Menentang nuklir secara penuh. Kedua, moderat. Memahami dan berempati terhadap posisi pemerintah tentang pentingnya payung nuklir AS. Ketiga, meragukan efektifitas payung nuklir AS5. Berakhirnya perang dingin memberi peluang bagi Tokyo untuk memiliki pemahaman baru. Ingin memainkan peran global terkait nuclear disarmament, Tokyo mulai bersuara tentang perlucutan senjata nuklir dalam bentuk apapun. Hal ini dapat dirujuk pada pidato PM Noboru Takeshita dalam Majelis Umum PBB pada tahun 1988. Dalam konferensi tersebut, Jepang menekankan keinginannya untuk menjadi tuan rumah konferensi tentang disarmament. Pada tahun 1994, Jepang menyampaikan resolusi nuclear disarmament ke Komisi Satu majelis Umum PBBtentang Disarmament dan Keamanan Internasional. Bersama dengan Australia, Jepang menyampaikan Sembilan poin draft resolusi kepada PBB pada tahun 2002, meminta semua Negara untuk menggiatkan lagi usahanya untuk mencegah pengembangan nuklir dan senjata pemusnah masal lainnya. Pada tahun 1994 dan 1995, Tokyo menyampaikan pernyataan tertulis ke International Court of Justice (ICJ) yang berpendapat bahwa senjata nuklir bertentangan dengan hukum internasional. Pada pidatonya di tahun 1995, PM Tomiichi Murayama menekankan bahwa Tokyo akan terus memperjuangkan penghapusan semua persenjataan nuklir dan melaksanakan the Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT). Melalui Menteri Luar Negerinya, pada tahun yang sama Jepang juga menegaskan “penghentian total uji coba nuklir”. Sayangnya di tahun 1997, pernyataan tersebut direvisi ketika AS mengkritisi hal tersebut yang menyebabkan Tokyo menerima prosedur uji coba baru yang disampaikan Washington6. Di tahun 2003 diadakan pertemuan negara-negara PBB yang diketuai oleh wakil tetap Jepang untuk konferensi perlucutan senjata. Pertemuan ini diadakan untuk Emma Chanlet Avery, Mary Beth Nikitin, Japan’s Nuclear Future : Policy Debate, Prospect and US Interest, Congressial Research Service, 19 Februari 2009. 4 5 ToyokoKimota, Japan & Nuclear Disarmament : Looking Through US Umbrella, CBRN South Asia Brief, Juli 2009 6 Anthony DiFilippo, The Politics of Japanese Nuclear Disarmament Initiatives: Where Government Policies and Civil Society Converge and Diverge, makalah, 27 Februari 2003. LANTIP Volume 03. No. 02. Oktober 2013 17 mempertimbangkan implementasi program PBB yaitu tindakan untuk mencegah, memerangi, dan memberantas perdagangan gelap senjata kecil dan ringan. Dalam pertemuan kabinet Jepang pada tanggal 10 Desember 2004, Jepang diminta berpartisipasi pada misi penjagaan perdamaian internasional. Namun peran Jepang hanya sebatas melakukan tugas-tugas kemanusiaan, tidak terlibat pada zona perang di negara yang terlibat pertikaian bersenjata. Ditegaskan, Jepang akan turut memainkan peran menjaga keamanan global, sesuai dengan status Jepang sebagai salah satu kekuatan ekonomi global. Jepang tetap mempertahankan sikap tidak memiliki senjata nuklir, tidak akan memproduksi, dan tidak akan mengizinkan jenis senjata itu masuk wilayah Jepang. Jepang juga menjadikan komitmen terhadap nuclear disarmament dan nuclear non proliferatin dalam memberlakukan kebijakan bantuan ekonomi dalam skema Official Development Assistance (ODA). Yaitu, bahwa salah satu bagian penting yang dijadikan pertimbangan oleh pemerintah jepang dalam mengalokasikan bantuan pembangunan ekonomi melalui ODA adalah komitmen Negara tujuan terhadap kebijakan anti nuklir7. Dengan kata lain, Jepang memiliki kebijakan nuklir yang kontradiktif sejak Perang Dunia II. Di satu sisi, Jepang menyetujui nuclear disarmament dan non proliferation of nuclear. Di sisi lain, Jepang terus berada di bawah payung nuklir AS. Senjata nuklirlah yang membuat Jepang dikalahkan AS dan Jepang mentaati konstitusi damai yang direkomendasikan oleh AS. Perang Dingin dan akuisisi persenjataan nuklir China membuat Jepang terus mengupayakan deterrence dari AS. Faktor yang mempengaruhi kebijakan nuklir Jepang degan wajah kontradiktifnya dapat dikategorikan menjadi faktor domestik dan faktor eksternal. Faktor domestik meliputi pandangan umum masyarakat Jepang, pandangan elit pengambil kebijakan, tiga prinsip non nuklir, dan batasan konstitusi. Sedangkan faktor eksternal meliputi hukum internasional, program nuklir untuk perluan sipil, dan diplomasi internasional8. Pandangan umum tentang isu pertahanan di Jepang sudah mengalami pergeseran, namun keberadaan masyarakat pasifis masih signifikan. Tragedi Bom Atom masih melekat dalam ingatan masyarakat Jepang sehingga alergi terhadap penggunaan energi nuklir untuk kepentingan militer. Di sisi lain, pengambil kebijakan di Jepang tidak bisa menutup mata terhadap kemunculan China dan kepemilikan senjata nuklir oleh Korea Utara. Perhatian terhadap situasi regional ini yang kemudian mendorong pengambil kebijakan untuk tidak mengambil resiko melepaskan diri dari payung nuklir AS meskipun para pengambil kebijakan pada saat yang bersamaan juga memahami bahwa hal itu tidak bersesuaian dengan tiga prinsip non nuklir Jepang. Kebijakan tersebut dianggap yang paling rasional dengan mempertimbangkan amanah konstitusi Jepang yang tidak memberi ruang bagi pengembangan persenjataan dan militer. Faktor eksternal yang ikut mempengaruhi wajah kontradiktif Jepang adalah hukum internasional, program nuklir sipil, dan diplomasi internasional. Pasal 2 NPT mewajibkan Jepang untuk tidak menerima transfer persenjataan nuklir baik secara langsung maupun tidak langsung; dan tidak mengelola persenjataan nuklir. Pasal 3 mewajibkan Jepang untuk penerima pengawasan total dari IAEA pada program nuklir untuk sipil yang dikembangkannya. Jepang menandatangai Additional Protocol pada tahun 1998 di mana 7 8 Ibid Emma Chanlet Avery, op cit LANTIP Volume 03. No. 02. Oktober 2013 18 IAEA dapat menggunakan pertimbangan-pertimbangan untuk memverifikasi bahwa fasilitas dan material program nuklir untuk sipil tidak dialihkan menjadi program militer. Jepang tidak memiliki cadangan uranium sendiri. Jepang bekerjasama dengan AS, Perancis, Inggris, China, Canada, dan Australia melalui skema kerjasama nuklir sipil untuk memperoleh cadangan uranium. Ketika program sipil tersebut beralih menjadi program militer maka Jepang berkewajiban mengembalikan uranium ke Negara asalnya. Program nuklir untuk sipil Jepang –menyediakan 1/3 cadangan energi yang dibutuhkan- akan terganggu dengan pemotongan ketersediaan uranium. Selain itu, ketika Jepang menarik diri dari NPT maka Jepang terancam sanksi isolasi diplomatik dan ekonomi dari PBB. Implikasinya, akan terjadi hambatan dengan Negara-negara penyedia uranium untuk kepentingan sipil yang secara langsung mengancam kepentingan nasional Jepang di bidang energi. Dalam konteks diplomasi, Jepang menduduki posisi sentral sebagai pemimpin non proliferasi dan promotor nuclear disarmament. Jepang secara konsisten menyuarakan “dunia yang aman, bebas dari persenjataan nuklir, pada kesempatan pertama”. Dari kedua kategori faktor tersebut dapat ditemukan rasional ambivalensi Jepang terkait kebijakan nuklir. Jepang menghadapi dua kondisi yang berseberangan dalam waktu yang bersamaan. Kondisi trauma Jepang atas tragedi bom atom membuat Jepang berada di garda depan nuclear non proliferation dan nuclear disarmament. Hal inilah yang kemudian memunculkan politik luar negeri Jepang yang sangat aktif terhadap non proliferasi dan perlucutan senjata nuklir. Pada saat bersamaan, Jepang juga harus menghadapi ancaman strategis dari keberadaan senjata nuklir yang dimiliki oleh beberapa Negara di sekitarnya (China, Korea Utara dan India). Faktor-faktor domestik dan faktor-faktor eksternal yang telah mengikat Jepang pada peran sentral di bidang anti nuklir membuat Jepang sulit untuk merubah kebijakannya dengan mengembangkan persenjataan nuklirnya sendiri sebagai jaminan keamanan. Implikasinya, intensifikasi aliansi keamanan dengan AS termasuk perlindungan di bawah payung nuklir AS menjadi pilihan kebijakan paling strategis untuk menjalankan deterence nuklir atas keberadaan persenjataan nuklir di sekitar Jepang. Meskipun sebagian kalangan di Jepang meragukan efektifitas kebijakan tersebut apabila Jepang memang benar-benar menghadapi serangan nuklir, setidaknya kebijakan tersebut merupakan pilihan paling rasional untuk dikembangkan berdasarkan situasi domestik dan internasional yang melingkupinya. Kebangkitan nasionalisme generasi baru Jepang yang bergerak untuk menuntut Jepang melepaskan ketergantungan terhadap perlindungan militer AS dan kritik tajam atas kebijakan nuclear disarmament yang setengah hati karena Tokyo harus memperhatikan kepentingan Washington tetap memicu kontroversi dengan kalangan konservatif di Jepang yang berpegang pada prinsip pentingnya aliansi keamanan dengan AS untuk melindungi keamanan dan kepentingan nasional Jepang. Terdapat 3 alasan kenapa Pemerintah Jepang tidak mengembangkan 3 prinsip dasar tentang perluncutan senjata nuklir menjadi hukum nasional. Pertama, pemerintah Jepang beranggapan bahwa asiap pasifik, khususnya Asia Utara, tidaklah aman sehingga Pemerintah Jepang merasa perlu untuk tetap berada di bawah payung persenjataan nuklir AS. Kedua, penguatan aliansi AS – Jepang di mana Jepang dalam posisi partner junior membuat Jepang harus sepenuhnya mempertimbangkan kepentingan dan tujuan AS sebelum mengembangkan isu-isu keamanan, terutama yang berkaitan dengan perlucutan LANTIP Volume 03. No. 02. Oktober 2013 19 senjata nuklir. Ketiga, kuatnya kekuatan konservatif di Jepang yang menginginkan akses yang lebih luas terhadap keamanan Jepang di masa mendatang9. D. KESIMPULAN Kebijakan nuklir Jepang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan AS terhadap Jepang. Payung nuklir AS terhadap Jepang tidak semata-mata untuk kepentingan Jepang melainkan representasi dari upaya AS untuk membangun basis pertahanan dan keamanannya guna memastikan pengendalian terhadap Timur Jauh. Ketergantungan pertahanan dan keamanan terhadap AS yang dinikmati Jepang sejak kekalahan pada Perang Dunia II membuat Jepang tidak bisa bersikap tegas terhadap AS, termasuk dalam kaitannya dengan nuclear non proliferation dan nuclear disarmament. Lebih lagi, posisi Jepang di kawasan dengan beberapa negara memiliki persenjataan nuklir, membuat Jepang tetap memandang payung nuklir AS sebagai deterrence terhadap persenjataan nuklir yang dimiliki beberapa negara tetangga. Ambivalensi kebijakan Jepang terkait nuklir adalah cerminan dari upaya Jepang untuk memaksimalkan pencapaian kepentingan nasionalnya. Disarmament dan deterrence sama-sama memberi nilai strategis bagi Jepang dalam pencapaian kepentingan nasionalnya DAFTAR PUSTAKA Chanlet Avery, Emma, Mary Beth Nikitin, Japan’s Nuclear Future : Policy Debate, Prospect and US Interest, Congressial Research Service, 19 Februari 2009. DiFilippo, Anthony, The Politics of Japanese Nuclear Disarmament Initiatives: Where Government Policies and Civil Society Converge and Diverge, makalah, 27 Februari 2003. ________, Japan’s Nuclear Disarmament Policy and The US Security Umbrella, Palgrav MacMillan, 2006. Kimota, Toyoko, Japan & Nuclear Disarmament : Looking Through US Umbrella, CBRN South Asia Brief, Juli 2009. Tetsuya, ENDO,Nuclear Disarmament and Japan, http://icnnd.org/ Documents/ Endo_Disarmt_and_Japan.pdf Winarno, Prof. Drs. Budi, MA., PhD, Isu – Isu Global Kontemporer, Center for Academic Publishing Service, 2011, hal. 244 Vioti, Paul R., dan Mark V. Kauppi, International Relations and World Politics: Controlling Global Armaments, 2009. Cortright, David. Peace A Historyof Movements and Ideas, 2008 Anthony diFilippo, Japan’s Nuclear Disarmament Policy and The US Security Umbrella, Palgrav MacMillan, 2006. 9 LANTIP Volume 03. No. 02. Oktober 2013 20