BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi telah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Globalisasi telah merubah kompleksitas struktur pasar dengan munculnya
berbagai perkembangan tekhnologi sebagai basis dari produktifitas ekonomi suatu
negara. Seperti diketahui, awalnya, kegiatan perekonomian hanya bertumpu pada
perekonomian berbasis sumber daya alam, seperti pertanian. Kini, perekonomian dunia
sudah bergeser ke perekonomian berbasis sumber daya manusia, yakni industri dan
teknologi informasi. Globalisasi ekonomi juga makin memperkuat interdepensi antar
Negara, sehingga tidak ada satupun Negara yang dapat menolak untuk melakukan
integrasi ekonomi global jika tidak ingin tertinggal lebih jauh. Hal ini sekaligus
menjadi kritik keras terhadap perspektif neoklasikal ekonomi yang menyatakan bahwa
pasar itu statis. Lebih lagi, momentum kemunculan pengembangan teknologi informasi
dan elektronik, membuat dunia tampak berevolusi dimana keterbatasan fisik yang
secara tradisional diartikan sebagai ukuran dan lokasi tidak lagi menjadi penghalang
untuk terlibat dalam dunia perdagangan dan bisnis di seluruh dunia.
Teknologi Informasi (TI) diartikan sebagai the acquisition, transmission,
processing and presentation of information in all its forms: audio, video, text and
graphics (Farhat dan Mahmood, 1996). Yang membedakannya dari tekhnologi lain
adalah kemampuannya yang secara signifikan mengurangi biaya transaksi dan
1
komunikasi dan akselerasinya dalam menembus semua aspek ekonomi dan masyarakat
juga geografis.
Sementara banyak Negara dan firma berkompetisi untuk dapat berpartisipasi
dalam liberalisasi perdagangan, partisipasi tersebut tidak dapat secara otomatis
memberi keuntungan. Menurut pandangan Hiperglobalis, di era globalisasi akan ada
dua aktor di dalamnya, yaitu pemenang dan pecundang. Menjadi pemenang dan
pecundang ditentukan oleh daya respon terhadap globalisasi. Merespon globalisasi
adalah meningkatkan kemampuan bersaing dalam era integrasi ekonomi global.
Kemampuan ini tidak hanya bertumpu pada negara, tetapi juga aktor-aktor yang terlibat
dalam globalisasi dan integrasi ekonomi, baik itu firma besar atau korporasi, individu,
atau sektor-sektor yang produktif. Mendapatkan keuntungan dari globalisasi
memastikan kemampuan yang memadai dalam hal kompetisi, yakni kemampuan
industrial baik dalam hal inovasi dan strategi produk, marketing, dan lain sebagainya.
Dalam hal kemampuan berintegrasi di dalam ekonomi global, sangat jelas
bahwa sektor yang masih mengalami kesulitan adalah industri kecil. (Fariselli, et all
dalam Soriano, Domingo Ribeiro dan Dobon (2009)) menyatakan bahwa terdapat
distorsi dalam perdagangan bebas internasional yaitu: (i) perusahaan kecil cenderung
dikucilkan dari arena perdagangan internasional karena mereka mengalami kesulitan
dalam menangkap pasar ekspor dan biaya tinggi yang harus ditanggung dalam
perdagangan lintas benua, dan (ii) Pasar Dunia cenderung didominasi oleh produsen
besar dunia (The giant TNCs). Hal ini juga didukung oleh studi OECD-APEC (2007)
mengindikasi empat hambatan terbesar dalam internasionalisasi IKM di beberapa
2
negara, terutama negara berkembang, yaitu (1) keterbatasan modal finansial untuk
melakukan ekspor; (2) mengidentifikasi kesempatan bisnis luar negeri; (3) keterbatasan
informasi untuk melokasikan dan menganalisa pasar; (4) ketidakmampuan dalam
melakukan kontak dengan potensial overseas customers.
Proses globalisasi menyatakan secara tidak langsung, bahwa untuk tetap bisa
kompetitif, industri kecil seharusnya menggunakan TI dalam tingkatan yang sesuai
dengan ukuran perusahaan. Tanpa hal itu diyakini bahwa industri kecil akan tetap
lemah dibandingkan dengan perusahaan besar dalam hal pemasaran, perdagangan,
keterampilan manajerial, dan sebagainya. Padahal, Industri Kecil dan Menengah
(IKM) merupakan sektor yang paling signifikan berkontribusi terhadap pengembangan
ekonomi Indonesia, yaitu menyumbang sekitar 60 persen dari total ekspor non migas
terhadap PDB (kemenperin.go.id). Salah satu industri yang menjadi prioritas untuk
dikembangkan oleh pemerintah adalah industri kreatif dan kreatif tertentu dengan
industri kerajinan dan barang seni masuk ke dalam sub klaster. Tercatat, ekspor industri
kreatif pada 2010 sebesar US$ 131,3 miliar. Dari total ekspor industri kreatif itu sekitar
54,8% disumbang subsektor fesyen. Penyumbang terbesar selanjutnya dipegang oleh
subsektor kerajinan yang berkontribusi 42,6% terhadap total ekspor industri kreatif.
Subsektor kerajinan itu juga menyumbang sekitar 3,95% terhadap total ekspor
Indonesia.
Propinsi DIY merupakan salah satu daerah pusat budaya & tradisi yang menjadi
sumber inspirasi bagi pengembangan produk kerajinan di Indonesia. Disisi lain,
Propinsi DIY merupakan salah satu tujuan wisata, sehingga terbuka peluang yang besar
3
bagi pemasaran hasil-hasil kerajinan. Hampir di seluruh wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan mudah dapat ditemui sentra-sentra industri kerajinan barangbarang seni. Seperti halnya kerajinan batik, yang sekarang ini dikembangkan bukan
hanya pada media kain, melainkan pada media kayu, yang ada di Dusun Krebet Desa
Sendangsari Kecamatan Pajangan Kabupaten Bantul. Batik yang masyarakat ketahui
biasanya jenis batik yang digambar atau dicap diatas kain, tapi batik yang menjadi ciri
khas di dusun Krebet adalah batik kayu, yaitu batik yang digambarkan diatas media
kayu yang diukir dan bentuknya beragam.
Kerajinan batik kayu di desa Krebet, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul,
Yogyakarta seperti topeng kayu, tempat perhiasan, sandal, wayang orang, miniatur
binatang, dan pernak-pernik lainnya sudah ada sejak tahun 1980-an. Kerajinan di desa
ini makin berkembang sejak Krebet dikukuhkan sebagai desa wisata di tahun 2000.
Yulianto, Wakil Ketua Kelompok Sadar Wisata Krebet mengatakan bahwa sejak
dikukuhkan sebagai desa wisata, industri kerajinan batik kayu di desa ini berkembang
pesat. Sampai saat ini saja, tercatat sudah ada 50 sanggar kerajinan yang menyerap
lebih dari 500 perajin di desa ini. Pasar kerajinan batik kayu di desa ini semakin terbuka
lebar, itu juga yang mendorong bermunculannya sejumlah sanggar baru. Kendati
makin banyak sanggar, tingkat persaingannya masih kondusif. Setiap sanggar memiliki
pasar sendiri serta mengambil spesialisasi masing-masing, spesialisasi ukiran kayu saja
dan ada pula yang spesialis membatik, jadi kedua nya bisa saling terintegrasi. Untuk
tenaga perajinnya, mereka banyak mempekerjakan warga dari desa lain. Karena
perkembangan yang pesat itu, kini Krebet makin kesohor sebagai penghasil kerajinan
4
batik kayu. Sejak menjadi desa wisata, desa ini sering didatangi turis lokal dan asing.
Tidak heran jika selain di dalam negeri, kerajinan batik kayu desa ini juga merambah
pasar luar negeri seperti Eropa dan Asia Timur.
Dibalik potensi industri kerajinan yang cukup menjanjikan, namun kapasitas
industri batik kayu yang mayoritas adalah home industry sangat kesulitan guna
menjangkau pasar. Mereka menyadari sepenuhnya menggantungkan pasar hanya
kepada pemesanan dari turis asing maupun lokal yang datang sifatnya tidak pasti dan
akan sangat mempengaruhi keberlangsungan aktifitas ekonomi mereka. Masyarakat
pun tergerak untuk memperluas pasar selain melalui media konvensional dengan
mengikuti pameran yang difasilitasi pemerintah dan tidak sedikit juga yang mencoba
membuka pasar melalui media internet guna menjangkau pasar yang lebih luas lagi.
Namun sayangnya, studi yang dilakukan oleh Endaswari (2006), menyebutkan bahwa
dari total ekspor industri kerajinan yang berbasis tekhnologi informasi di kota bantul,
60% nya lebih dikuasai oleh industri menengah.
Jika melihat kapasitas industri kecil, hal tersebut diatas sangat tidak mungkin
untuk dilaksanakan, dengan keterbatasan modal yang ada pada umumnya mereka
menerima pesanan dari pengusaha kerajinan membuat barang kerajinannya
dipabriknya sendiri, hal ini biasa di sebut nge-sub. Potensi industri kecil yang
signifikan dan sudah terbukti sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi rakyat
Indonesia tentunya perlu ditingkatkan agar dapat berkembang secara lebih luas dan
mempunyai daya saing. Mengingat, membuat kerajinan adalah pekerjaan pokok
sebagian besar masyarakat desa Krebet. Apalagi, industri kreatif ini merupakan industri
5
berbasis ide, teknologi, seni, dan kekayaan intelektual, hingga daya saing industri kecil
sektor kerajinan dapat diwujudkan salah satunya dengan penggunaan TI untuk
meningkatkan transformasi bisnis, ketepatan dan efisiensi pertukaran informasi,
memperluas jaringan pemasaran dan memperluas market share Rahmana (2009) dalam
Wahyuningtyas (2011). Peningkatan daya saing IKM ini sangat diperlukan agar IKM
mampu bertahan dan bersaing dalam kancah perdagangan global. Ketersediaan bahan
baku yang melimpah, tentunya juga dapat membuka kesempatan yang sama bagi tiap
daerah untuk mengembangkan potensi kerajinan.
Pemerintah Indonesia telah mengatur pengadaan teknologi informasi dalam UU
no 11/2008 yang disebut sebagai UU ITE. Dalam undang-undang ITE (Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik), dalam UU ini diamanahkan 9 PP, diantara 9 PP
ini 7 diantaranya mengatur penyelenggara sistem elektronik, agen elektronik, sertifikat
elektronik, transaksi elektronik kemudian 7 PP dijadikan satu menjadi PP PSTE (dulu
disebut PITE). Tanggung jawab atas hukum dan kebijakan mengenai teknologi
informasi dan komunikasi berada di bawah naungan Kementerian Komunikasi dan
Informasi. Strategi lanjutan, Pemerintah Indonesia melalui Perpres no.32 tahun 2011,
memandang ICT (Information and Communication Teckhnology) sebagai salah satu
komponen utama dalam roda perekonomian Indonesia. Eddy Satriya sebagai Asisten
Deputi Telekomunikasi dan Utilitas menyatakan bahwa Dalam MP3I yaitu Master Plan
Percepatan dan Perluasan perekonomian Indonesia 2011-2025: ICT sudah termasuk
dalam 22 komponen kegiatan utama perekonomian.
6
Dibandingkan dengan Negara tetangganya, Indonesia terlihat agak terlambat di
dalam pengadaan teknologi informasi sebagai salah satu basis produksi. Singapura
telah melakukan upaya yang begitu luar biasa dalam melaksanakan strateginya. Fase
awal di tahun 1980-1985, dengan terlebih dahulu mewujudkan sistem pemerintahan
yang terkomputerisasi. Pelaksanaan itu dimulai dengan penerapan pemanfaatan
tekhnologi informasi (IT) dalam industri, pemerintahan dan universitas-universitas
(Heng, 2002: 147-148).
Fase kedua dilaksanakan pada tahun 1986-1990, dengan mengupayakan agar
komputerisasi dan kemudahan akses informasi dapat dinikmati masyarakat nasional
sehingga di fase ketiga sepanjang 1990-1999, Singapura dapat menjadi ‘Intellegent
Island’ dan Pusat IT. Bahkan, Pemerintah Singapura juga secara khusus
menggalangkan Small Enterprise Computerization Program (SECP), mengingat
ekonomi Negara ini 92% di tunjang oleh keberadaan UKM, dan berkontribusi sekitar
30% barang dan jasa dari total produksi juga menyerap tenaga kerja sebesar 49% (IT
Focus, 1997). Program ini menyediakan beberapa insentif kepada UKM untuk
mengadopsi TI. Beberapa insentif diantaranya subsidi finansial untuk feasibility
studies, kesadaran pendidikan untuk the chief executive officers, Perjanjian dengan
advisor National Computer Board (NCB) untuk feasibility studies dan pelayanan
konsultasi dari akademis untuk memberitahu perusahaan cara yang paling efektif
dalam pemanfaatan TI.
Agenda difusi Singapore’s national IT berjalan sukses. Angka penetrasi
komputer meningkat dari 27% tahun 1989 menjadi 39% tahun 1992, dan 70% tahun
7
1994 (IT Usage Survey, 1994). Bahkan pada tahun 1996, pendapatan UKM meningkat
dari US$ 323,000 menjadi US$ 1.2 juta. Dibawah skema Local Enterprised
Computerization Program (LECP) perusahaan dapat memperoleh biaya hingga 70%
untuk dapat terlibat dalam feasibility studies, pengadaan dan konsultasi TI (IT Focus,
1997). Pemerintah Singapura juga meluncurkan program Local Industry Upgrading
Program (LIUP) dipertengahan tahun 1996. Program ini bertujuan dalam menyediakan
insentif untuk MNCs untuk berkolaborasi dengan perusahaan lokal TI dalam
mentransfer kemampuannya kepada partner bisnis lokal. Tentunya program ini dapat
mengakselerasi lebih jauh kemampuan UKM dalam pengapdosian TI yang lebih
sophisticated.
Studi pada industri kecil di Sentra Industri Kerajinan Batik Kayu Krebet,
Yogyakarta adalah karena sektor tersebut menjangkau penjualan hingga skala
Internasional dan terpilihnya Yogyakarta sebagai pusat TI UKM, Pusat teknologi
informasi UKM ini adalah hasil kerja sama antara Federasi Teknologi Informasi
Indonesia FTII dan APEC Digital Opportunity Center (ADOC) yang dirintis awal 2006
dan akan menggandeng instansi pemerintah serta perguruan tinggi (kemendagri.go.id).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, dalam penelitian ini dirumuskan pertanyaan
sebagai berikut: yakni, Bagaimana peran pemerintah dalam mendukung industri kecil
sektor kerajinan memasuki pasar internasional melalui penggunaan teknologi
informasi?
8
C. Tinjauan Literatur
Sebagai permulaan, banyak gambaran mengenai batasan definisi sebuah
Negara ketika memposisikan diri dalam memberikan pengaruh terhadap pembangunan
ekonomi. Robert Solow (1950) dalam Gilpin (2001) menjelaskan pandangan
neoklasikal bahwa pertumbuhan ekonomi adalah produk akumulasi modal dan tenaga
kerja yang dipekerjakan. Teori ini memiliki kelemahan di dalam merespon perubahan
perkembangan teknologi, dalam level kebijakan interdependensi yang lebih jauh
digambarkan oleh sebuah konsensus yang dilakukan oleh para pembuat kebijakan
ekonomi, kebijakan untuk melakukan liberalisasi dan deregulasi yang menjelaskan
bahwa pasar yang tidak dikekang tanpa adanya campur tangan pemerintah adalah jalan
terbaik untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi; hal yang wajar dilakukan adalah
bahwa ekonomi harus dibuka untuk two-way flows of trade, teknologi, dan modal,
sehingga diharapkan dapat memperoleh keuntungan terbaik dari kesempatan integrasi
ekonomi yang ditawarkan oleh globalisasi ekonomi dunia (Farhat dan Mahmood,
1996). Dalam konsep ini, Negara berkembang dalam mengejar ketertinggalan dan
konsekuensi integrasi ke dalam ekonomi global oleh karena itu konsep keterbukaan
pasar dan liberalisasi dianggap mampu meningkatkan kesejahteraan.
Zaire menyatakan sebaliknya, justru akibat keterbukaan pasar membuat
perusahaan besar tersebut menjadi predator didalam pengembangan pelaku usaha kecil
di banyak Negara ke-3. Mereka yang mengontrol aparatus Negara tampak merampas
kesejahteraan penduduk dengan hanya mementingkan kejahteraan mereka yang
disebut sebagai predator. Berbeda dengan padangan Zaire yang melakukan generalisasi
9
bahwa partisipasi aktif Negara ke-3 di dalam transformasi ekonomi adalah sepenuhnya
merugikan. Ternyata, kebanyakan Negara tetap berhasil mengembangkan ekonomi
jangka panjang mereka diantara keberadaan private elites dengan meningkatkan
insentif untuk ikut serta di dalam investasi transformatif dan menurunkan resiko
keterlibatan di dalam investasi. Negara tidak kebal terhadap rent seeking atau
menggunakan surplus sosial untuk akhir masa jabatan dan Negara lebih
memprioritaskan untuk
lebih pro penduduk, tetapi
sebagai
penyeimbang,
konsekuensinya pembuat kebijakan (pemerintah) merumuskan sebuah kebijakan untuk
tetap mendukung daripada menghalangi transformasi ekonomi global. Pandangan ini
di kenal dengan “developmental states” (cf. Jonhson, 1982; White and Wade, 1988).
Globalisasi memiliki tiga dimensi. Pertama, dimensi ide atau ideologi yaitu
“kapitalisme”. Kedua, dimensi ekonomi, yaitu pasar bebas yang artinya arus barang
dan jasa antar negara tidak dihalangi sedikit pun juga. Ketiga, dimensi teknologi,
khususnya teknologi informasi yang akan membuka batas-batas negara sehingga
negara makin tanpa batas (Friedman, 2002). Ketiga dimensi ini sangat mempengaruhi
perdagangan internasional yang dilakukan oleh suatu negara. Dalam interaksinya
negara-negara harus mampu melihat peluang dan ancaman yang dihasilkan oleh
dampak globalisasi. Begitu juga halnya Indonesia, karena tidak dapat menolak
globalisasi yang telah terjadi, Indonesia harus mampu memanfaatkan peluang yang
diciptakan oleh globalisasi dan meminimalis ancaman-ancamannya.
Industri Kecil dan Menengah tergolong batasan Usaha Kecil dan Menengah
menurut Undang-undang No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
10
didefinisikan sebagai berikut: Industri Kecil adalah kegiatan ekonomi produktif yang
berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai,
atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau
Usaha Besar yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan
tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling
banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Batasan mengenai
skala usaha menurut BPS, yaitu berdasarkan kriteria jumlah tenaga kerja sebagai
berikut: Industri Kecil (5-19 orang) dan Industri Menengah (20-99 orang).
Ekspansi Internasional merupakan keputusan yang sangat siginifikan bagi IKM
yang secara tradisional memiliki small financial base, fokus domestik, dan cakupan
geografis yang terbatas (Lu dan Beamish, 2002 dalam studi OECD-APEC (2007)).
Sementara, UKM yang ”born to global”, memilki keterbatasan sumber daya yang
dibutuhkan dalam internasionalisasi pasar dan secara tradisional mereka akan memiliki
keengganan untuk berinteraksi di pasar global (Kirby dan Kaiser, 2003 dalam studi
OECD-APEC (2007).
Sangat sedikit sekali literatur yang membahas pengaruh penggunaan teknologi
informasi terhadap industri kecil dan menengah, karena secara definisi yang diatur
didalam undang-undang menyebutkan bahwa ikm masih merupakan bagian dari
umkm, maka penulis menggunakan review general terhadap pengaruh peningkatan
11
daya saing bagi ukm dalam memanfaatkan teknologi informasi. Penulis akan
menganilisa lebih lanjut pengaruh penggunaan teknologi infrormasi dalam mendukung
daya saing bagi industri kecil. Menurut Sarosa dan Zowghi (2003) dalam Endaswari
(2006) TI adalah semua teknologi yang digunakan untuk mengumpulkan, memproses
dan menyebarkan informasi. Penggunaan teknologi internet oleh sektor usaha kecil
misalnya, adalah penting bagi kelangsungan hidupnya. Internet dapat meningkatkan
kemampuan usaha kecil untuk bersaing dengan usaha besar dan juga memungkinkan
usaha kecil untuk beroperasi dalam skala internasional. Teknologi internet bagi usaha
kecil memberikan biaya yang efektif, pengenalan produk baru, meningkatkan
komunikasi, mengumpulkan informasi dan mencari mitra bisnis yang potensial.
Dalam era ekonomi global saat ini, UKM dituntut untuk melakukan perubahan
guna meningkatkan daya saingnya. Salah satu faktor penting yang akan menentukan
daya saing UKM adalah teknologi informasi (TI). Penggunaan TI dapat meningkatkan
transformasi bisnis melalui kecepatan, ketepatan dan efisiensi pertukaran informasi
dalam jumlah yang besar (UNDP, 2007). Jovanic (2001) menyimpulkan bahwa: “The
new economy is one in which technologies and products become obsolete at a much
faster rate than a few decades ago… it is clear that we are entering the era of the young
firm. The small firm will thus resume a role that, in its importance, is greater than it
has been at any time in the last 70 years or so.” Sangat jelas disebutkan bahwa
kemajuan Teknologi Informasi (TI) mampu memberikan akselerasi pengembangan
pola produktivitas bagi pelaku bisnis kecil dan menengah dan mereka juga dituntut agar
mampu melakukan resume peran dan terus melakukan upgrade penyesuaian dalam
12
pemanfaatan teknologi. Hal penting lainnya juga ditemukan oleh Jovanic (2001) bahwa
UKM harus berusaha untuk meningkatkan aplikasi dari metode komunikasi teknologi
informasi, seperti e-mail dan Internet, untuk meningkatkan kemampuan usaha.
Definisi daya saing yang paling populer diungkapkan dalam karya Pimpinan
Penasihat Perekonomian, Laura S’Andrea Tyson, “Who Bashing Whom” yaitu, “Daya
Saing adalah kemampuan kita untuk memproduksi barang dan jasa yang memenuhi uji
persaingan internasional sementara para warga negara kita menikmati standar
berkesinambungan” (Cho dan Moon, 2003). Dalam memaknai definisi yang
diungkapkan oleh Tyson, daya saing dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan.
Sedangkan Porter memandang daya saing sebagai hal yang sifatnya eksternal. Porter
melihat daya saing sebagai suatu peluang untuk menerima bisnis yang baru dan
kesempatan berinovasi dan berkembang. Porter (1985) manyatakan daya saing akan
dipengaruhi dari keadaan lingkungan yang menawarkan kondisi yang paling produktif
bagi bisnis. Kajian mengenai adopsi TI oleh UKM di Indonesia sebelumnya telah
dilakukan oleh Yuniar (2006), menemukan bahwa adopsi Teknologi Informasi
berdampak positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan. Teknologi Informasi
(TI) tidak hanya dapat dimanfaatkan oleh perusahaaan besar namun juga oleh
perusahaan kecil, karena model bisnis dapat disesuaikan menurut karakteristik bisnis.
Tingkat kompleksitasnya pun dapat disesuaikan dengan tujuan bisnis.
UMKM dapat mengambil manfaat (keunggulan) dari Teknologi Informasi (TI)
berbasis Web untuk mengambil peluang dan pemasaran, ekspansi bisnis, business
launches, penurunan biaya (cost cutting), dan mendekatkan dengan mitra aliansi
13
(Turban et al, 2008). Hal ini didukung oleh pendapat direktur pemasaran PT
Myohdotcom Indonesia, Rendra Hertiadhi yang menyatakan bahwa peranan TI dalam
bisnis adalah sebagai alat yang harus mampu berperan dalam mendukung terciptanya
produktivitas kinerja yang optimal dan probabilitas yang maksimal dalam berkompetisi
untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas (www.ristek.go.id).
Banyak temuan empiris terdahulu mengarahkan pada premis bahwa semakin
tinggi tingkat intensitas adopsi Teknologi Informasi (TI), makin kinerja perusahaan
semakin meningkat. Namun, adopsi penggunaan Teknologi Informasi (TI) masih
belum maksimal dimanfaatkan oleh UKM di Indonesia khususnya industri kecil.
Dalam penelitian ini, peneliti akan memposisikan diri untuk melihat penggunaan
tekhnologi informasi bagi industri kecil dan hubungannya dalam peningkatan daya
saing, serta peran pemerintah dalam mengalihkan basis model transaksi perdagangan
internasional yang bersifat tradisional menjadi model transaksi yang berbasis
tekhnologi informasi.
D. Landasan Teori
Dalam penelitian ini penulis menggunakan konsep Capitalist Developmental
State dalam melihat upaya pemerintah untuk mendukung daya saing industri kecil
sektor kerajinan dalam penggunaan teknologi informasi. Menurut Johnson (1982)
sebagai pioneer dari konsep tersebut menyatakan bahwa, pengembangan ekonomi
didefinisikan baik dalam pertumbuhan, produktivitas, competitiveness, merupakan the
foremost dan single-minded priority state action. Ada sebuah jaminan komitmen untuk
14
kepemilikan swasta dan pasar, dan intervensi pemerintah sangat kuat dibatasi dengan
komitmen ini. Fundamental karakteristik dari konsep ini adalah:
1. Pasar, bagaimanapun dipandu dengan formulasi instrumen oleh skala kecil elit
birokrasi ekonomi yang di pilih dari the best managerial talent yang terbaik
dalam sistem yang berlaku. Meskipun Negara tidak menggantikan kepemilikan
swasta secara langsung, namun pemerintah melakukan intervensi dan
menginstruksikan sektor swasta berdasarkan strategi nasional.
2. Dalam birokrasi, sebuah pilot agency memiliki peran yang besar dalam
formulasi dan implementasi kebijakan. Close institutionalized links dibangun
antara birokrasi elit dan bisnis swasta untuk konsultasi dan kerjasama.
Hubungan institusional dan organizational antara elit birokrasi dan industri
sektor swasta utama adalah penting dalam konsesus pencapaian tujuan,
termasuk dalam pertukaran informasi, dimana keduanya mengisi komponen
esensial dalam proses formulasi dan implementasi kebijakan.
3. Komponen penting lainnya adalah dalam sistem politik dimana birokrasi
diberikan jangkauan yang memadai untuk mengambil langkah inisiatif dan
operasi secara efektif. Dimana politisi bertindak sebagai “reign” dan birokrat
sebagai “rule”. Objektif dari political elite adalah untuk melegitimasi aksi dari
elit agensi birokratik dan memberikan ruang untuk melaksanakan beberapa
aksi.
Dengan menjadi salah satu Negara dengan populasi terbanyak dan potensi
industri yang menjanjikan, Indonesia dalam tekanan untuk segera melakukan
15
pengembangan. Kaitannya dengan otonomi di dalam pencapaian konsensus pengaturan
strategi, dengan sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia, dan komposisi
pemerintahan yang terdiri dari banyak partai serta sistem pemerintahan yang
terdesentralisasi membuat pencapaian stabilisasi kepentingan politik Indonesia serta
kekuatan Negara di berbagai aspek kemudian menjadi tantangan tersendiri. Berbeda
dengan Cina, yang sangat menikmati otonomi kekuasaan dengan sistem pemerintahan
satu partai, sehingga pencapaian stabilisasi politik lebih mudah dilakukan. Keberadaan
MP3EI sebagai pilot agency untuk pengembangan ekonomi Indonesia, dan diharapkan
dapat menjadi basis penguatan industri Indonesia, terutama industri kecil yang baru
tumbuh. Ini juga dapat menjadi acuan bagi menteri dan pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian untuk menetapkan kebijakan sektoral dalam rangka pelaksanaan
percepatan dan pembangunan di bidang masing-masing serta acuan pengembangan di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota terkait.
Untuk memperlihatkan yang dimaksud daya saing penulis menggunakan teori
yang dikemukakan oleh Michael E.Porter dan Altenburg et al (1998) dalam Indonesian
Institute of Science (LIPI, 2008).
16
Gambar 1. Konsep Daya Saing Menurut Porter dan Altenburg
Menurut Porter daya saing diidentikan dengan produktivitas, yakni peningkatan
produktivitas yang disebabkan oleh peningkatan modal, tenaga kerja, kualitas bahan
baku, dan peningkatan teknologi (total factor productivity) serta faktor-faktor
pendukung lainnya. Porter mengatakan bahwa terdapat empat faktor utama yang
menentukan keunggulan bersaing industri nasional, yaitu kondisi faktor (factor
condition), kondisi permintaan (demand condition), industri terkait dan industri
pendukung (related and supporting industry), dan struktur persaingan dan strategi
industry (firm strategy, structure and rivairy). Disamping itu, terdapat dua faktor yang
mempengaruhi interaksi antara keempat faktor tersebut yaitu, faktor kesempatan
(chance event) dan faktor pemerintah (government). Produktivitas yang semakin tinggi
memberikan pendanaan bagi rencana ekspansi perusahaan, dan dalam jangka pendek
17
masyarakat memperoleh keuntungan dari produk yang lebih bagus dan lebih murah di
pasar, dan dalam jangka menengah berdampak pada pertumbuhan lapangan kerja.
Pertumbuhan produktivitas bergantung pada sejumlah faktor diantaranya yang paling
penting adalah investasi pada sektor TI (Wyskokinska, 2003). Alternbug juga
menyatakan bahwa daya saing sebuah perusahaan merupakan kemampuan untuk
mempertahankan posisi pasar dengan mensuplai produk secara tepat waktu dan pada
harga yang kompetitif melalui fleksibilitas untuk merespon perubahan permintaan
secara cepat dan melalui manajemen diferensiasi produk yang sukses dengan
membangun kapasitas inovatif dan sistem pemasaran yang efektif.
Berdasarkan sifat usahanya yang relatif lebih sederhana dibandingkan dengan
UKM skala menengah, maka proses adopsi TI skala kecil juga dilakukan dengan pola
yang lebih sederhana dibanding UKM skala menengah (LIPI, 2008).
Kesadaran &
Pengetahuan
Pemilik
Peluang Pasar
Pemilik/
Manager
Evaluasi Kebutuhan
Persiapan Implementasi
Pelatihan Operasi & Maintenance
Implementasi
BUMN/Pemerintah
Finansial & Pelatihan
Gambar 2. Tahapan Ideal adopsi TI di UKM Skala Kecil
Pada tahap awal adopsi TI, UKM Skala Kecil melakukan evaluasi terhadap
kebutuhan TI. Tahap ini ditentukan oleh visi owner/manager yang didorong oleh
18
keasadaran dan pengetahuan pemilik mengenai TI dan manfaatnya. Ketika melakukan
evaluasi terhadap kebutuhan TI, perusahaan harus mempertimbangkan keberadaan
sumber daya dan infrastruktur yang harus dimiliki untuk mengadopsi TI. Hal ini
menjadi penting agar kebutuhan TI yang ingin diimplementasikan memang sesuai
dengan kemampuan perusahaan. Sumberdaya yang dimaksud ini adalah sumber daya
finansial dan sumberdaya manusia. Mengingat keterbatasan sumber daya yang ada
pada umumnya dihadapi oleh UKM (khususnya UKM berskala kecil), maka
dibutuhkan adanya dukungan dari pemerintah dan stakeholder lainnya. Tahap
selanjutnya adalah persiapan implementasi. Kegiatan utama yang dilakukan oleh UKM
skala kecil pada tahap ini adalah memberikan pelatihan. Hal ini penting untuk
dilakukan karena sumber daya manusia di UKM skala kecil mempunyai keterampilan
dan kemampuan yang terbatas dalam hal penerapan TI, sehingga sebelum melakukan
implementasi TI perusahaan perlu mempersiapkan karyawannya sebagai pengguna TI.
Penjelasan konsep capitalist developmental state diatas nantinya akan
berhubungan dengan teori pembuatan kebijakan publik (public policy making
theories). Michael E. Kraft dan Scott R. Furlong mengatakan bahwa dalam teori
pembuatan kebijakan publik akan memperlihatkan bagaimana aktor-aktor dan faktorfaktor penting yang berkaitan akan memberikan efek bagi pemerintah saat menetapkan
kebijakan (decision making effect). Dimana dalam penelitian ini melihat apa yang
mendorong pembuatan kebijakan TI bagi Industri Kecil Indonesia. Bagaimana
kebijakan tersebut dirancang, siapa yang diuntungkan, apakah ada aktor-aktor yang
19
mempengaruhi pembuatan kebijakan dan akan dianalisis berdasarkan implementasi
lapangan.
Faktor pemerintah dan kebijakan yang dihasilkan akan sangat mempengaruhi
sinergi aktivitas produksi yang ada di Indonesia. Pengambilan kebijakan sangat
dipengaruhi oleh peran kelompok-kelompok kepentingan yang berada di sekitar
pembuat kebijakan. Thomas Oatley mengatakan bahwa pengambilan kebijakan
ekonomi politik internasional dilihat melalui dua aspek, yaitu pertama aspek
kepentingan (interest) yang muncul dari masyarakat. Dan yang kedua adalah aspek
institusi politik, yaitu bagaimana institusi politik dalam sebuah Negara menampung,
memandu serta mewujudkan interest yang ada di masyarakat menjadi sebuah
kebijakan.
Dalam ekonomi politik penggunan TI sebagai model transaksi perdagangan
Internasional bagi industri kecil sektor kerajinan di Indonesia, maka akan dilihat
interest yang hendak dicapai oleh aktor-aktor dalam sistem politik dan ekonomi seperti
individu, perusahaan, serikat (organisasi), maupun kelompok kepentingan. Sehingga
kebijakan ekonomi politik yang dihasilkan oleh pemerintah dalam penggunaan TI bagi
industri kecil akan selalu menyorot aktor-aktor yang memperoleh keuntungan dengan
dikeluarkannya kebijakan tersebut. Pemerintah sebagai institusi politik akan berfungsi
untuk menampung dan mengolah interest yang ada dalam masyarakat sehingga
kebijakan yang dihasilkan dapat mewakili interest setiap aktor yang terlibat. Kebijakan
yang dihasilkan tidak hanya mengatasi dan mewakili satu permasalahan dan
kepentingan tertentu.
20
E. Argumen Utama
Argumen yang dibangun dalam penelitian ini adalah Pentingnya adopsi TI
dalam peningkatan produktivitas telah direspon positif oleh banyak Negara di dunia.
Memanfaatkan Teknologi Informasi (TI) bagi pelaku industri kecil sektor kerajinan di
Indonesia bisa lebih meningkatkan sistem pemasaran yang lebih efektif, dan
menjadikan peluang pasar lebih terbuka. TI memiliki kemampuan untuk mendukung
daya saing industri kecil sektor kerajinan dalam mempertahankan posisi pasar dengan
meningkatkan komunikasi, mengumpulkan informasi dan mencari mitra bisnis yang
potensial dan pada harga yang kompetitif melalui fleksibilitas untuk merespon
perubahan permintaan secara cepat dan membangun kapasitas inovatif.
Kedua, Peningkatan konsentrasi pemanfaatan Teknologi Informasi bagi
industri kecil sektor kerajinan sebagai upaya Indonesia dalam mendukung daya saing
lokal jangka panjang juga akan dipengaruhi oleh bagaimana kebijakan dan mekanisme
kebijakan yang dihasilkan. Pemerintah, swasta dan rezim perdagangan internasional
merupakan aktor-aktor yang mempengaruhi suatu kebijakan yang dihasilkan dan
sinergi antar pihak yang terkait juga menjadi faktor terpenting dalam menggerakkan
model pengembangan ekonomi negara.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini yang digunakan adalah metode Penelitian Kualitatif,
metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Metode ini menggunakan data-data yang relevan dengan untuk kemudian dijelaskan
21
menggunakan kerangka konseptual yang ada untuk memperoleh kesimpulan. Data
yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua sumber yakni data primer dan
data sekunder. Penulusuran Informasi data primer yang diperoleh dari narasumber yang
relevan dan terpercaya baik melalui penelitian lapangan maupun telaah literatur, serta
mengumpulkan data-data sekunder yang berasal dari beragam literatur seperti buku,
jurnal, dokumen ataupun rilis media sebagai data penunjang. Subjek penelitian dan
pengambilan sampel dilakukan secara purposive, yang berarti dipilih menurut tujuan
penelitian. Sasarannya antara lain Industri Kecil di sentra industri kerajinan Batik
Kayu, Krebet, Yogyakarta yang basis penjualan dan pemasarannya baik orientasi lokal
maupun ekspor. Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Industri, Kementerian
komunikasi dan informasi, Kementerian perdagangan, dan MP3EI dan Dinas Kerajinan
Nasional, DIY, dan DISPERINDAGKOP DIY.
G. Jangkauan Penelitian
Penulis melakukan pembatasan penelitian guna menghindari perluasan objek
yang diteliti. Jangkauan penelitian yang dipilih adalah dari tahun 2010-2013. Hal ini
dikarenakan perkembangan teknologi informasi sangat mudah dimodifikasi dengan
cepat dan rentan dengan perubahan, sehingga penulis memilih tahun sejak program
diinisiasi sampai tahun terakhir implementasi.
H. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini secara keseluruhan ditulis dalam beberapa bagian, Bab I
akan menguraikan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah yang menjadi titik
22
tolak penelitian ini, perumusan masalah yang menjadi fokus utama yang ingin dijawab
dalam penelitian ini, argumen sementara, metodologi penelitian yang digunakan serta
sistematika penulisan. Bab II akan diperlihatkan keadaan serta potensi perdagangan
internasional IKM sektor kerajinan Indonesia dan Bab III akan menjelaskan sinergi
aktor-aktor yang terlibat dalam pengembangan industri kecil sektor kerajinan Indonesia
dalam penggunaan TI. Bab IV adalah bagian analisis yang menjelaskan peran
pemerintah dalam mendukung daya saing industri kecil Kerajinan Batik Kayu Krebet,
Yogyakarta dalam penggunaan TI. Bab V merupakan bagian penutup yang berisikan
kesimpulan dari hasil dan pemberian saran terhadap pengembangan Industri Kecil
sektor kerajinan di Indonesia.
23
BAB II
DIPLOMASI PERDAGANGAN DALAM PENGEMBANGAN EKSPOR
KERAJINAN INDONESIA
A. Tendensi Pengembangan Diplomasi Ekonomi dalam Globalisasi
Model praktek diplomasi lama selalu lebih banyak mengurusi masalah high
politic antarnegara, kebanyakan yang menjadi sorotan, dan seperti mengabaikan
keberadaan diplomasi komersil. Bukan ingin mengaburkan keberadaan diplomasi
komersil, justru konsep diplomasi komersil ini juga masih menjadi bagian integral dari
diplomasi secara menyeluruh, tetapi bentuknya tengah melalui proses restrukturisasi,
terkait dengan hubungan antara pemerintah dan pelaku bisnis yang mengalami
perubahan dengan konsekuensi penting untuk praktek diplomasi. Kumunculan aktifitas
perdagangan dunia yang semakin kompleks telah merubah pilihan, dilema tidak lagi
antara perdagangan bebas dan proteksionisme. Gaya baru pembuatan kebijakan pun
tercipta, yaitu mengambil langkah dengan tetap membuka pasar ke kompetisi luar
negeri dan secara berbarengan juga tetap membuat kebijakan yang pro terhadap
industri nasional.
Kepentingan internasionalisasi bagi perusahaan atau ukm lokal menunjukkan
bahwa kepentingan ekonomi menjadi fokus besar beberapa Negara saat ini untuk
direpresentasikan dalam praktek diplomatik modern. Hal ini tentu juga disertai dengan
perubahan dalam praktek diplomasi dan organisasi, lebih spesifik nya terhadap
kemunculan importance attached dari elemen komersil/ekonomi dalam diplomasi. Di
24
Download