Harga Mati Marketing ‘within’ Komunikasi: Catatan Kritis Relasi Marketing dan Komunikasi “Setiap orang adalah makhluk sosial yang melakukan pertukaran ... selalu dimulai dari kemampuan memasarkan diri” (Rhenald Kasali-2013) Pengantar Pernahkah kita mengingat kembali, bagaimana rasanya saat menyatakan cinta? Yang terjadi mungkin kira-kira begini. Jauh sebelum waktu menyatakan cinta itu tiba, kita sibuk mempersiapkan diri. Mulai dari berburu informasi. Kita tanya apakah sosok pujaan itu telah berdua atau masih sendiri (single). Kita telusuri beragam sumber informasi. Kita buka fesbuk, twitter, dan tanya sana-sini, lelaki seperti apa yang dia minati. Tinggi, pendek, tampan, kurus, menawan, atau lebih mementingkan kesetiaan. Sementara itu dilakukan, diri kita juga butuh persiapan. Mulailah kita membentuk dan menyusun rangkaian pesan. Mematut diri di depan cermin hampir setiap hari. Berjuang keras menghapal beberapa bait romantis sebuah puisi. Jika nyali mulai menciut, kita belajar menyusun kalimat untuk menulis sepucuk surat. Kita berjuang merangkai pesan. Mungkin seketika menjadi sadar, betapa pentingnya penampilan. Betapa perlunya kemasan. Tak ada satupun di antara kita para lelaki, mengambil resiko ditolak saat mengungkap isi hati. Begitu cinta diungkapkan, tujuannya tentu tak bertepuk sebelah tangan. Artinya kegagalan. Jika itu terjadi. Hasilnya kekecewaan. Malu. Sakit hati. Bahkan ada yang patah hati, sampai bunuh diri. Untuk beberapa orang yang nekat, mereka nampaknya sepakat. Cinta ditolak, dukun bertindak! Bagi saya pribadi, prosesi menyatakan cinta merupakan analogi untuk menggambarkan proses dinamika marketing dan komunikasi dalam konteks paling primitif. Sejak persiapan dan eksekusi menyatakan isi hati, tujuan kita cuma satu, mendapatkan persetujuan dan kesetiaan sosok idaman hati. Hanya lingkup, waktu, dan masa keterikatan yang membedakan. Jika dahulu kita merayu gadis pujaan, maka sekarang kita berjuang merayu konsumen yang selalu minta diistimewakan. Jika merayu gadis lebih banyak merupakan perjuangan personal, maka proses merayu konsumen nyaris melibatkan totalitas sistem dari banyak pihak. Gadis pujaan adalah ratu jiwa. Konsumen adalah raja. Untuk merengkuh keduanya, dibutuhkan tekat dan keuletan. Sejak pengetahuan awal berwujud riset pemasaran, penyusunan pesan dalam berbagai kata dan gambar melenakan, pilihan media untuk menyampaikan, hingga memperkirakan efektifitas pesan pada sasaran, semuanya adalah sebuah aktivitas komunikasi pemasaran. Terkadang kita meyakini aspek kemasan (ketampanan dan kehebatan diri kita yang begitu mempesona), namun terkadang aspek pesanlah yang menentukan (tak perlu ganteng katanya, cukup piawai merayu dan menggenjot kemampuan bicara). 1 Begitu lekatnya komunikasi pada setiap aktivitas marketing, hingga begitu sulit membayangkan sebuah strategi pemasaran tanpa melibatkan proses komunikasi di dalamnya. Makalah ini berupaya mengurai sejak kapan komunikasi disadari menjadi elemen penting dalam proses pemasaran, lalu problematika dalam proses komunikasi pemasaran, dan akhirnya menunjukkan berbagai bukti dan keberhasilan sebuah upaya pemasaran yang mengedepankan aspek komunikasi. A. Komunikasi: Dari Elemen Menuju Sistem Jika betul bahwa tujuan akhir dari sebuah strategi pemasaran adalah kesetiaan konsumen, komunikasi dipastikan memiliki peran sentral dalam setiap bagian pembentukan kesetiaan tersebut. Konsumen sebagai manusia pada dasarnya bisa bermakna pasif maupun aktif. Sejarah perkembangan ilmu komunikasi menunjukan pergeseran makna komunikan sejak mereka dianggap pasif pada masa retorika Yunani kuno, hingga komunikan sebagai makhluk aktif tak terprediksi pada masa twitter terfasilitasi android dan tablet hari ini (Fisher,1978; Baran & Davis,2003; McChesney,2007; Kasali,2013). Sajian atas dinamika model komunikasi yang dipaparkan McQuail & Windahl (1993), menunjukkan betapa kompleksnya relasi antara pihak penghasil pesan dan penerima pesan. Melalui penggunaan dan pemanfaatan model komunikasi Shannon & Weaver, Philip Kotler memperkenalkan signifikansi information source, transmitter, channel, receiver, dan noise source, dalam sebuah proses penyampaian brand, produk, dan apapun yang bisa dijual. Mengikuti logika retorika, konsumen dianggap sebagai pihak pasif yang dihujani pesan dengan paradigma bullet theory (teori peluru). Seiring dengan semakin dinamisnya masyarakat informasi dan demokrasi bersendi spirit egalitarianisme pada setiap individu (Wilhelm,2000), maka posisi konsumen tidak lagi sebatas pembeli barang dan pemberi kesetiaan pada merek. Mereka adalah “pemamah” sekaligus penghasil informasi. Tak bisa lagi dipisahkan antara pesan-pesan pemasaran yang dihasilkan melalui kerja kreatif biro iklan, dan pesanpesan bersendikan kebutuhan kejujuran dari sang audiens. Mereka telah menyatu dalam rangkaian sistem informasi dan komunikasi yang begitu kompleks. Inilah sebuah sistem komunikasi yang merelasikan semua aspek di dalamnya, dengan kuasa media sebagai tuhannya (Luhmann, 2000; Jenkins; 2006). Dalam dunia komunikasi pemasaran, kita menyebutnya integrated marketing communication (IMC). Terintegrasi bukan hanya dalam makna beragam bauran promosi dan pemasaran yang digunakan, melainkan integrasi dalam melihat dinamika sumber dan penerima pesan, lengkap dengan kompleksitas konteks komunikasi yang meliputi aspek sosial, politik, budaya, dan ekonomi (Bryan & Oliver,2009; Dahlen, Lange, & Smith,2010). Fakta yang kita jumpai hari ini, mempelajari komunikasi pemasaran harus bersiap merambah hampir ke semua lini. Inilah masa new marketing communications (Smith & Zook,2011). Model komunikasi yang bersifat atomistik, sudah tidak mampu lagi menampung kompleksitas pesan yang disampaikan perusahaan dalam sajian produk dan merek. Sementara itu posisi audiens atau konsumen tidak cukup terwadahi hanya sebatas pihak penerima informasi. Keberlimpahan informasi ala cyber technology membuat konsumen memiliki akses tak terbatas (Creeber & Martin,2009). Pada titik ekstrem, 2 konsumen menjadi pihak yang aktif memproduksi pesan sedemikian rupa. Menyudutkan posisi brand yang tadinya nampak perkasa. Segenap aspek dari sebuah komunikasi (sebagai proses menyiapkan diri, menyusun pesan, dan mengatur momen penyampaian) ditujukan agar penyampaian cinta menjadi efektif berujung diterima. Seluruh proses komunikasi pemasaran (marketing communication) pada dasarnya adalah upaya merayu, mempengaruhi, dan menciptakan keyakinan kepada konsumen atau audiens, bahwa segenap pesan kita diterima. Lalu terjadilah penerimaan alias pembelian. Pada titik paling jauh tercipta ikatan kesetiaan. Komunikasi selalu menjadi salah satu aktivitas yang signifikan bagi keberhasilan organisasi pemasar, terutama saat melakukan dialog dengan konsumen. Upaya untuk melakukan dialog dengan konsumen adalah sebuah cara strategis untuk mendapatkan keunggulan dalam melakukan penetrasi pada pasar. Dalam proses dialog ini, para pelaku pemasaran berinteraksi dengan konsumennya masingmasing melalui upaya keterpaduan pesan, satu tampilan, satu nada, dengan memastikan arah, kejelasan, konsistensi, dan dalam waktu yang tepat, di pasar yang mereka tuju. B. Problematika Komunikasi Pemasaran Ketika menyajikan model komunikasi teknisnya, Shannon & Weaver mengingatkan akan tiga level permasalahan yang bisa terjadi dalam proses penyampaian pesan (Fiske,1990). Tiga level itu adalah masalah teknis, masalah semantik, dan masalah efektivitas. Tiga level yang dalam komunikasi pemasaran memiliki pengaruh serius berujung kegagalan mempengaruhi perilaku pembelian dan kesetiaan pelanggan. Terlebih jika kita terjemahkan problematika tiga level ini dalam era teknologi. Mari kita ulas sedikit tiga level masalah itu. Pertama, permasalahan pada level teknis. Menurut Shannon & Weaver, masalah dalam proses komunikasi selalu menyangkut bagaimana keakuratan pesan komunikasi ditransmisikan sedemikian rupa agar bisa mengalir dari sumber informasi pada penerima informasi. Dalam kaitannya dengan dunia komunikasi pemasaran, dukungan perangkat teknologi komunikasi sudah mampu meminimalisasi permasalahan level ini. Dalam era new wave marketing, seorang penerima informasi memiliki kuasa mempergunakan media apa saja untuk mendapatkan cerita brand (kartajawa,2010). Namun di tengah segala peluang itu, perangkat teknologi menjanjikan pula bias pesan dalam balutan beragam kepentingan (Edelman,2001), pencipta ketergantungan dan hasrat penggunaan (Langer,1998), sampai problematika sosial ekonomi, budaya, dan politik dari sebuah masyarakat informatif (Webster,1995). Seperti dikatakan kaum destopian, teknologi jika tidak disikapi dengan hati-hati, akan menciptakan kebingungan dan alienasi diri (Don Ihde,2002;2009). Kedua, permasalahan semantik. Pada level ini, persoalannya adalah bagaimana sinyal komunikasi atau pesan komunikasi yang terkirimkan, maknanya bisa dipahami serupa dan presisi oleh penerima pesan (destination), seperti makna yang serupa diinginkan sumber pesan (source). Dalam komunikasi pemasaran, komunikasi melibatkan transaksi budaya. Pesan tidak pernah berdiri sendiri. Pesan 3 berada dalam konteks budaya. Pesan-pesan pemasaran yang dikirimkan harus berada dalam situasi tertentu berdasarkan konteks budaya tertentu (Carte & Fox,2006). Pada titik ini, sudah tak terhitung lagi banyaknya pesan-pesan pemasaran yang gagal karena perbedaan makna karena budaya konsumen yang berbeda (Trout,2001). Setiap negara memiliki keunikan tersendiri dalam kata dan makna (Tjiptono,2012). Setiap brand berpotensi mengalami masalah dalam konteks semiotika berupa visualisasi dan representasi mereka (Vihma & Vakeva,2009). Ketiga, terkait masalah efektivitas. Perhatiannya pada bagaimana pesan yang terkirimkan dan telah diterima oleh tujuan (destination) menghasilkan pengaruh sesuai dengan kehendak sumber pesan (source). Jika pada masa lalu, banyak perusahaan hanya menginginkan produk mereka dibeli dan dikonsumsi, maka saat ini perusahaan adalah agen kebudayaan. Mereka menginginkan penciptaan budaya pada masyarakat yang dependensi terhadap produknya. Cerita panjang keberhasilan McDonnald dalam menciptakan budaya instan membuat iri perusahaan fastfood di seluruh dunia, dan mereka menirunya (Ritzer,1996). Hampir tidak ada seorangpun yang percaya betapa kuatnya pengaruh ‘bermain’ yang diciptakan Walt Disney dalam setiap produknya. Budaya yang tercipta mendorong sebuah gaya hidup yang tak selamanya baik. Terjadi efek yang bahkan melebihi apa yang dibayangkan sebuah brand (Capodagli & Jackson,2002). Sebuah kebanggaan persuasi penggunaan produk, pada tahap selanjutnya menghasilkan budaya ketergantungan dan gaya hidup yang sama sekali tidak terbayangkan oleh perusahaan (Baudrillard, 1998). Efektivitas yang terbayangkan, kehilangan esensi berwujud kebingungan tak bertujuan. C. Marketing Public Relations: Gagasan Harmonisasi Tujuan Jika kemudian diasumsikan bahwa tujuan pemasaran adalah menciptakan loyalitas pelanggan atas sebuah merek, maka tujuan komunikasi akan mengurangi distorsi atas kata yang bernama kesetiaan itu tadi. Dalam sebuah logika komunikasi pemasaran, hampir tidak bisa dibedakan mana pesan pemasaran yang bermaksud benar-benar menolong kebutuhan konsumen, atau sekadar membodohi konsumen. Pemasaran yang berhasil tidak sebatas mampu menjual produk berujung kesetiaan pelanggan. Esensi pemasaran adalah meletakkan konsumen pada titik tertinggi kebahagiaan. Komunikasi yang berhasil tidak sekadar dimaknai efektif ketika sang komunikan rela berbuat seperti yang diinginkan komunikator. Komunikasi yang berhasil adalah bekerjanya sebuah sistem yang membuat setiap pihak yang terlibat di dalamnya merasa nyaman melakukan transaksi pesan. Seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi, dan semakin cerdasnya konsumen, prinsip-prinsip pemasaran bernuansa pembodohan sudah lama ditinggalkan. Negosiasi antara perusahaan, berikut konsultan periklanan, dengan konsumen adalah sebuah negosiasi komunikasi. Seseorang setia kepada sebuah brand benarbenar karena ketulusan dan kerelaan. Bukan sebagai hasil manipulasi, kebohongan, dan penipuan. Komunikasi pemasaran masa depan adalah sebuah ruang negosiasi makna. Hasilnya pemahaman bersama. Tak ada pihak yang merasa dirugikan. Apalagi dikorbankan. Komunikasi pemasaran masa lalu yang memandang manusia dalam terma konsumen dan pelanggan berdarkan paradigma behavioristik, sudah 4 semestinya digeser menuju paradigma humanistik, dalam konteks psikologi (Rakhmat, 2001). Ilmu komunikasi yang melekat erat pada strategi pemasaran harus lebih diarahkan pada pemahaman paradigma semiotika, daripada paradigma proses komunikasi (Fiske,1990; Rogers,1997). Saat komunikasi pemasaran berujud periklanan dan bauran promosi lainnya mendapatkan citra negatif di mata pelanggan, ruang komunikasi lain terbuka untuk disodorkan. Al Rais & Laura Rais melihat peluang pemaksimalan fungsi public relations. Buku ‘The Fall of Advertising, and the Rise of PR’ yang mereka tulis membuat gelisah para pelaku komunikasi pemasaran. Seluruh jurus dan strategi komunikasi pemasaran yang terbukti berhasil selama ini, dibantah dan digugurkan oleh dua orang ini. Mereka menunjukan banyak bukti atas kegagalan tersebut. Menurut mereka, kekuatan public relations sudah seharusnya diperhitungkan dalam dunia pemasaran. Kekuatan persuasif yang selama ini membodohi konsumen dan pelanggan, telah digantikan oleh sebuah program komunikasi berbasis penyampaian informasi yang memang diharapkan oleh konsumen dalam konteks publik dan audiens. Mutual understanding yang selama dijembatani oleh strategi persuasif brand, bergesar menjadi terjembatani oleh tarik menarik kepentingan dan kenyamanan mendapatkan informasi dalam diri audiens, user, dan pelanggan. D. Komunikasi Pemasaran yang Humanis: sebuah Utopia Tragis ? Membicarakan dunia marketing dan dunia komunikasi akan mengarahkan kita pada dua konteks menarik yang mengemuka dalam perjalanan sejarah dua disiplin ini. Konteks pertama adalah orientasi hasil. Komunikasi bisa memberikan kontribusi maksimal dalam proses transaksi barang dan jasa. Melalui kekuatan mazhab behavioristik dalam ilmu Psikologi, pesan-pesan disusun dengan tendensi mengarahkan dan mempersuasi pelanggan. Repetisi jadi andalan. Sasaran tak perlu mengerti dan memahami sepenuhnya apa maksud pesan. Mereka adalah sekelompok orang yang akan mengkonsumsi saja barang dan jasa. Mereka membeli apa yang kita katakan penting untuk dibeli. Sosok penganjur mazhab behavioris, Watson telah berjasa menyebarkan ‘fatwa’ ini. Perkembangan dunia pemasaran begitu mengejutkan. Tiba-tiba konsumen dan pelanggan menjadi pintar. Seluruh strategi persuasi gagal mempengaruhi mereka untuk mengonsumsi. Paradigma behavioris sudah selayaknya diganti. Pelanggan menyadari bahwa mereka dibodohi. Mereka tahu telah terjadi manipulasi. Memang pada satu kesempatan mereka bisa termanipulasi. Namun mereka akan sadar selepasnya. Pada titik itulah sebuah brand yang menggunakan pesan pemasaran penuh tipuan, akan ditinggalkan. Konsumen sebagai audiens akan mencari brand dan produk mana yang benar-benar memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka. Pelanggan pada titik ini sudah didekati dengan perspektif humanistik. Kesadaran aktualisasi diri yang masuk akal dan rasional pada diri pelanggan, menjadi energi untuk melakukan komunikasi pemasaran. Dalam kasus demikian, hasil dan efek komunikasi dalam pemasaran tidak lagi digunakan untuk ‘menggoda’ hasrat konsumtif pelanggan. Komunikasi sudah diorientasikan pada meletakkan pelanggan untuk memperoleh ruang nyaman. 5 Konteks kedua terkait dengan proses komunikasi yang dilakukan dalam dunia pemasaran. Proses bisa dimaknai sebagai alur mengalirnya pesan dari seorang komunikator pada komunikan. Pesan-pesan pemasaran tentang brand dan produk yang disampaikan bermuara pada dua pilihan. Proses penyusunan pesan bisa dimanipulasi sedemikian rupa membodohi audiens. Atau pesan bisa diarahkan penuh dengan informasi yang meningkatkan pengetahuan, dan kepedulian mereka. Seiring dengan meningkatnya kesadaran konsumen maka, proses komunikasi tidak lagi menghamba pada kepentingan bisnis semata. Menciptakan pembelian sedemikian rupa. Menghabiskan barang dan jasa. Kembali pada analogi menyatakan cinta pada kekasih hati. Manakah yang lebih kita pilih: memuaskan hasrat untuk menguasai setelah sang pujaan hati jatuh bertekuk lutut, atau menjaga sebuah relasi berbasis saling menguntungkan dalam balutan kebahagiaan. Tujuan akhir sebuah hubungan percintaan adalah saling membahagiakan. Apa gunanya mampu untuk menarik perhatian, dan membuat seseorang menerima cinta kita, jika kemudian sepanjang relasi dia menderita ? Dalam dunia pemasaran, komunikasi sebagai sebuah determinan sudah selayaknya tak berhenti pada angka statistik meningkatnya penjualan. Komunikasi dalam pemasaran diarahkan pada prinsip mutual understanding antara brand dan pelanggan menuju ‘atmosfer nyaman’ menjaga kebahagiaan. Pertanyaannya, seberapa jauh minat dan motif seluruh pelaku pamasaran untuk melirik perspektif humanistik, dari pada perspektif behavioristik ? Sebuah diskusi cerdas sangat mungkin memandu kita menemukan jawabannya. Semoga ... Bulaksumur, Juni 2013 Referensi Ariely, Dan, 2008. Irrational Consumer, Penerjemah Annisa Rahmalia, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Tjiptono, Fandy, 2012. Kasus-kasus Cross-Cultural Misunderstanding: Paham Budaya Sukses Bisnis Global, Yogyakarta: Penerbit Andi. Creeber, Glen, & Royston Martin (ed), 2009. Digital Cultures: Understanding New Media, New York: Open University Press. McQuail, Dennis, & Sven Windahl, 1993. Communication Models for the Study of Mass Communication, 2nd edition, Singapore: Longman Publishing. Kasali, Rhenald, 2013. Camera Branding, Cameragenic vs. Auragenic: Televisi, Kita, dan Perubahan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Rogers, Everett, M., 1997. A History of Communication Study: A Biographical Approach, New York: The Free Press. Fiske, John, 1990. Introduction to Communication Studies, 2nd edition, London: Routledge. 6 Jenkins, Henry, 2006. Convergence Culture: Where old and New Media Collide, New York: New York University Press. Luhman, Niklas, 2000. The Reality of the Mass Media, Oxford: Polity Pres. McChesney, Robert, 2007. Communication Revolution: Critical Junctures and the Future of Media, New York: The New Press. Fisher, B. Aubrey, 1978. Perspectives on Human Communication, New York: MacMillan Publishing Co.Inc. 7