Protein Disulfide Isomerase (PDI), Peranannya pada folding dan sekresi protein heterolog OLEH SHABARNI GAFFAR, M.Si. NIP: 132 313 560 JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PADJADJARAN 2008 Protein Disulfide Isomerase (PDI), Peranannya pada folding dan sekresi protein heterolog OLEH SHABARNI GAFFAR, M.Si. NIP: 132 313 560 Bandung, Agustus 2008 Mengatahui : Ketua Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Padjadjaran Dr. Unang Supratman NIP. 131929830 Protein Disulfide Isomerase (PDI), Peranannya pada folding dan sekresi protein heterolog 1. Pendahuluan Protein yang melewati jalur sekresi pada umumnya distabilkan oleh satu atau dua ikatan disulfida. Agar terjadi pembentukan ikatan disulfida yang efisien, oksidasi terjadi dalam dua kompartemen sel dimana pembentukan ikatan disulfida dan folding biasanya terjadi, yaitu retikulum endoplasma (RE) eukariot dan periplasma bakteri (Tu et al., 2000). Retikulum endoplasma memfalitasi pembentukan ikatan disulfida melalui mekanisme yang belum dimengerti. Reaksi ini membutuhkan protein disulfida isomerase (PDI) dan Ero1p. Protein disulfida isomerase (PDI), yang telah dikarakterisasi lebih dari 40 tahun yang lalu, berperan penting pada pembentukan ikatan disulfida natif in vivo. PDI merupakan protein dengan ukuran 57 kDa dan merupakan enzim penting yang mampu mengkatalisis dua reaksi oksidasi ikatan disulfida baru dan isomerisasi ikatan disulfida yang sudah ada (Woycechowsky dan Raines, 2000). Efisiensi sekresi protein rekombinan dari sel eukariot tidak hanya membutuhkan protein yang berfungsi mentargetkan protein ke RE dan mengarahkan translokasinya ke lumen RE. Bila sudah terdapat dalam lumen RE, protein heterolog harus mengalami pelipatan, modifikasi pasca translasi dan dalam beberapa kasus dirakit menjadi oligomer yang fungsional. Kemudian protein tersebut akan meninggalkan RE, dan masuk ke jalur sekresi (Gambar 1). Terdapat sejumlah mesin sel yang bertanggung jawab untuk menjamin proses ini berlangsung secara akurat yang dibantu oleh protein sekresi endogen, tapi bila sel direkayasa secara genetik untuk mengekspresikan protein heterolog dengan level tinggi, salah satu dari proses ini mungkin menjadi penentu laju atau hasil reaksi. Apakah problem ini dapat diatasi dengan memodulasi jumlah protein terlarut dan protein yang terikat ke membran sel, yang memediasi tahapan ini? Beberapa publikasi baru-baru ini 3 menunjukkan indikasi bahwa sekresi protein rekombinan oleh ragi Saccharomyces cerevisiae dan sel mamalia dapat ditingkatkan dengan manipulasi yang rasional (Tuite & Freedman, 1994). Gambar 1. Protein yang akan disekresikan disintesis di ribosom yang terikat kuat ke RE kasar dan kemudian ditranslokasikan ke lumen RE kasar, dimana urutan pengenal dipotong.. Pembentukan ikatan disulfida dan penambahan oligosakarida manosa ke residu Asp spesifik, juga terjadi dalam RE. ‘Kontrol kualitas’ dari protein yang mengalami pelipatan yang tidak benar dan protein agregat dilakukan melalui proteolisis, degradasi dalam RE: hal ini merupakan kunci utama dimana kehilangan protein heterolog dapat terjadi. Protein yang melewati pemeriksaan kualitas bergerak dari RE kasar ke kompleks Golgi melalui membran. Di Golgi terjadi juga pemotongan proteolisis atau modifikasi pasca translasi, dimana beberapa diantaranya berperan untuk penempatan protein ke tujuan akhirnya. Beberapa protein yang disekresikan diarahkan ke perangkat sekresi yang bergabung dengan membran plasma (Tuite & Freedman, 1994) Tahapan penentu utama sekresi protein rekombinan dari sel eukariot terjadi pada pengeluaran protein dari lumen RE ke Golgi. Sehingga protein yang mengalami kesalahan pelipatan atau kesalahan modifikasi, atau protein yang dirakit menjadi protein non-natif, serta agregat dengan berat molekul tinggi akan dihalangi meninggalkan RE dan dihancurkan oleh sistem proteolisis RE. “Protein sampah” ini akan menjadi masalah bila kita ingin merekayasa sel untuk mensekresikan protein heterolog dengan level yang tinggi. Protein heterolog tersebut mungkin akan cenderung mengalami pelipatan yang salah karena jumlah dari faktor pelipatan atau modifikasi pasca translasi terlalu rendah untuk menanggulangi semua protein yang akan disekresikan. Alternatif 4 lain protein mungkin tidak mengalami pelipatan dengan benar, karena satu atau lebih faktor yang dibutuhkan untuk modifikasi pasca translasi hilang. Hal ini akan menjadi masalah bila kita mencoba untuk memsekresikan protein mamalia dari ragi, dimana protein RE yang dibutuhkan untuk pelipatan protein mamalia mungkin tidak ada, atau terlalu sedikit jumlahnya dalam RE ragi (Tuite & Freedman, 1994). 2. Pembentukan ikatan disulfida dan kontrol kualitas. Usaha-usaha yang dilakukan baru-baru ini untuk meningkatkan pemrosesan protein rekombinan dalam RE ragi dan sel mamalia terutama dipusatkan pada dua komponan RE yaitu: protein disulfida isomerase (PDI), enzim yang mengkatalisis pembentukan ikatan disulfida natif pada protein sekresi; dan BiP/G1LP78, yang merupakan homolog dari Hsp70, yang berperan sebagai molecular chaperone untuk sekresi protein yang melewati RE. Pembentukan ikatan disulfida merupakan modifikasi kovalen dan merupakan modifikasi pasca translasi yang dialami oleh protein-protein yang memasuki jalur sekresi. Pembentukan ikatan disulfida natif merupakan aspek integral dari jalur pelipatan protein, dan berperan penting pada perakitan protein, dimana kebanyakan protein sekresi (contohnya, antibodi, prokolagen) merupakan oligomer dari dua atau lebih rantai polipeptida yang digabung bersama oleh rantai ikatan disulfida. Pada sel-sel sekresi mamalia, jumlah PDI relatif melimpah, sedang pada ragi jumlah PDI <0,05% dari total protein sel, yang mungkin menggambarkan rendahnya jumlah protein endogen dengan ikatan disulfida yang disekresikan oleh eukariot sederhana ini (Tuite & Freedman, 1994). 3. Overekspresi jalur sekresi protein dalam ragi. Tidak diragukan lagi S. cerevisiae dapat mensekresikan sejumlah protein mamalia yang memiliki ikatan disulfida dengan efisien. Contohnya, serum albumin manusia (HSA) dengan pelipatan yang benar dapat disekresikan oleh S. cerevisiae dalam jumlah yang cukup besar. Beberapa publikasi mendemonstrasikan bahwa overekspresi PDI dalam S. cerevisiae 5 dapat meningkatkan level sekresi sejumlah protein heterolog yang memiliki ikatan disulfida yang biasanya disekresikan dengan level rendah. Pada satu publikasi dilaporkan sekresi dari leech protein antistasin, protein dengan 119 asam amino yang potensial untuk membentuk sepuluh jembatan disulfida antar rantai, meningkat sebanyak 3x bila PDI manusia di-koekspresikan dalam sel yang sama (Schultz et al., 1994). Koekspresi dari PDI ragi menghasilkan hampir 25x peningkatan level sekresi (Tuite et al., 1994). Pada studi yang sama, Robinson et al. (1994) memperlihatkan bahwa overekspresi PDI ragi dalam ragi menghasilkan peningkatan 10x level sekresi human platelet-derived growth factor (PDGF) dan peningkatan 4x level sekresi phosphatase asam dari Schizosaccharomyces pombe. Lebih menarik lagi, dua dari delapan jembatan disulfida yang terdapat dalam PDGF homodimer yang disekresikan merupakan ikatan disulfida dalam rantai. Robinson et al. (1994) juga melaporkan bahwa overekspresi PDI tidak meningkatkan sekresi semua protein heterolog yang dicobakan; contohnya sekresi dari granulocytecolony stimulating factor (GCSF) manusia tidak berubah. Bagaimanapun, dua penelitian ini memberikan bukti bahwa strain ragi yang meng-overekspresikan PDI mungkin merupakan inang yang lebih baik untuk mensekresikan protein heterolog yang memiliki ikatan disulfida. 4. Overekspresi jalur sekresi protein dalam sel mamalia Dapatkah overekspresi protein RE seperti PDI dan BiP meningkatkan level sekresi protein dari sel mamalia? Dengan menggunakan model kinetika struktur untuk sintesis antibodi monoclonal (mAb) dan sekresinya oleh sel hibridoma, Bibila dan Flickinger (1992) memprediksikan bahwa perakitan molekul antibodi dalam RE merupakan tahapan penentu laju sekresi oleh sel yang sedang tumbuh dengan cepat. Perakitan antibodi membutuhkan pembentukan ikatan disulfida antara rantai berat dan rantai ringan, selanjutnya Bibila dan Flickinger memperkirakan bahwa rekayasa sintesis PDI level tinggi dalam sel hibridoma akan meningkatkan laju sekresi antibodi spesifik dan hasil antibodi akhir. Walaupun belum ada publikasi yang melaporkan efektifitas overekspresi PDI dalam sel mamalia, studi tentang konsekuensi penggantian 6 level BiP/GRP78 terhadap sekresi dari sel mamalia sudah pernah dilaporkan. Pengurangan level BiP/GRP78 dalam sel Chinese hamster ovary (CHO) meningkatkan sekresi bentuk terglikosilasi dari tissue plasminogen activator (tPA). Sebaliknya overekspresi BiP/GRP78 dalan sel yang sama menghambat sekresi protein heterolog tertentu. Kemungkinan BiP/GRP78 berperan penting untuk fungsi kontrol kualitas, dimana bentuk bebas dari BiP/GRP78 berikatan dengan polipeptida yang salah atau agregat di dalam RE, sehingga mencegahnya melewati jalur sekresi. Ide ini juga didukung oleh studi pada jalur ‘respon protein unfolded’ pada ragi dan sel mamalia. Pada respon ini akumulasi protein unfolded dalam RE memicu ekspresi gen yang mengkode protein-protein RE termasuk BiP/GRP78 dan PDI. Sehingga pengurangan level BiP/GRP78 bebas akan menghasilkan sejumlah besar polipeptida yang tidak kompeten, meninggalkan RE dan disekresikan. Masalah yang kemudian timbul adalah walaupun level protein yang disekresikan meningkat, namun mengandung sejumlah besar protein yang mengalami pelipatan atau modifikasi yang salah, yang tidak ingin diproduksi oleh industri bioteknologi. Walaupun konsekuensi dari overekspresi gen BiP/GRP78 ragi (KAR2) terhadap sekresi protein heterolog belum dilaporkan, overekspresi gen KAR2 dalam sel ragi yang mengandung akumulasi protein unfolded dalam RE-nya, menghasilkan pengurangan level protein unfolded (Tuite & Freedman, 1994). Baru sedikit pendekatan manipulasi genetik yang dilakukan untuk mengoptimasi proses modifikasi pasca translasi lain dalam ragi atau sel mamalia. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan fundamental tentang identitas dan keutamaan fungsi dari faktor-faktor yang memediasi proses ini. Target selanjutnya, seharusnya glikosilasi protein, karena beberapa studi memperlihatkan bahwa glikosilasi yang abnormal atau tidak efisien dari protein akan menimbulkan misfolding dan penyimpanan di RE. Glikosilasi mungkin merupakan bagian dari proses chaperoning yang penting untuk pelipatan yang benar dalam RE (Tuite & Freedman, 1994). 7 5. Peranan PDI dalam folding protein Protein yang melewati jalur sekresi pada umumnya mengandung ikatan disulfida yang berperan penting pada proses pelipatan dan fungsi protein. Pada eukariot, retikulum endoplasma (RE) merupakan tempat masuk ke jalur sekresi dan merupakan kompartemen selular dimana terjadi folding dan pembentukan ikatan disulfida. Ikatan disulfida dapat terbentuk secara spontan in vitro dengan adanya senyawa pengoksidasi seperti molekul oksigen atau glutation dalam bentuk teroksidasi. Namun proses ini pada umumnya berlangsung lambat dan tidak efisien. Secara in vivo, pembentukan ikatan disulfida tergantung pada mesin sel untuk mengkatalisis pembentukan ikatan disulfida baru (oksidasi) dan pinata-ulangan ikatan disulfida non-natif (isomerisasi). Oksidasi dan isomerisasi dibutuhkan untuk pembentukan ikatan disulfida natif (Kulp et al., 2006). Pembentukan ikatan disulfida natif penting untuk pelipatan banyak protein. Ikatan disulfida memberikan tambahan kestabilan ekstraselular dari protein melalui ikatan kovalen silang dua residu cystein. Pembentukan disulfida kadang-kadang bersifat error-prone, terutama pada tahap awal folding, dan pemasangan cystein yang benar ke ikatan disulfida membutuhkan yang mana setiap disulfida yang mispair harus di hancurkan dan dibentuk kembali dengan konfigurasi yang berbeda untuk memperoleh struktur natif. Pada bakteri disulfida dibentuk dalam periplasma melalui elaborasi sistem oksidasi dan isomerasi yang menjamin dua residu cystein yang tepat disambungkan. Jalur transport elektron menghubungkan pembentukan ikatan disulfida dengan rantai respirasi. Protein membran, DsbB mengoksidasi sisi aktif CxxC dari protein DsbA (homolog PDI) yang kemudian mengkatalisis pembentukan ikatan disulfida pada protein yang akan mengalami folding. DsbB kemudian direoksidasi oleh ubiquinon yang dihasilkan selama respirasi (Tu et al., 2000). Pada eukariot, modifikasi pasca translasi ini terjadi dalam retikulum endoplasma (RE) dimana terdapat sejumlah enzim yang mengkatalisis pembentukan ikatan disulfida yang tepat. Pada ragi dan sel mamalia, ekivalen oksidasi untuk pembentukan ikatan disulfida pada prinsipnya dilakukan oleh 8 Ero1p (endoplasmic reticulum oxidoreductin 1 protein). Disulfida ini kemudian diberikan ke protein disulfida isomerase (PDI1), yang merupakan katalis folding yang penting dalam RE (Xiao et al., 2004). Ero1p merupakan protein yang terikat ke membran lumen RE dengan berat molekul 65 kDa yang berperan penting untuk fiabilitas S. cerevisiae. Secara in vivo, Ero1p mengoksidasi protein yang mengandung disulfida. Ero1p pertama kali diidentifikasi menggunakan skrining genetik dimana bila di overproduksi, protein ini dapat merubah sifat resistensi terhadap DTT (molekul reduktan) atau bila dimutasi dapat menyebabkan sensitifitas terhadap DTT. Penambahan oksidan tiol yaitu diamida ke media pertumbuhan dapat melengkapi defisiensi Ero1p, kemungkinan karena diamida melakukan fungsi oksidatif dari produk gen yang hilang. Hasil ini mengindikasikan bahwa fungsi utama Ero1p adalah untuk mengoksidasi protein yang baru disintesis (Frand and Kaiser, 1999). Penelitian Tu et al. (2000) menyimpulkan bahwa pada ragi, Ero1p yang memediasi folding oksidatif tergantung pada level FAD dalam sel namun tidak tergantung pada ubiquinon atau heme. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa Ero1p merupakan FAD-binding protein. Pembentukan ikatan disulfida berlangsung melalui penghantaran ekivalen oksidasi secara langsung dari Ero1p ke substrat yang akan mengalami folding via PDI, sehingga pembentukan ikatan disulfida terjadi dengan cepat walaupun pada lingkungan reduksi. Sehingga Ero1p merupakan oksidase yang efisien yang mengkatalisis pembentukan ikatan disulfida de novo melalui mekanisme yang tergantung pada FAD. Sedangkan PDI berperan sebagai intermediet pada proses pembentukan ikatan disulfida dengan cara mentransfer ekivalen oksidasi yang diperoleh dari Ero1p ke substrat yang akan mengalami folding (Tu et al., 2000). Protein disulfida isomerase ragi dan mamalia terdiri dari empat domain (A, B, B’ dan A’) dan ekor anion (C). Dua domain katalitik (A dan A’) berlokasi pada ujung molekul dan masing-masing mengandung sisi aktif CxxC dengan urutan CGHC. Domain katalitik tioredoksin ini dipisahkan oleh dua domain nonkatalitik tioredoksin (B dan B’) pada struktur multidomain (ABB’A’C) (Xiao et al., 2004). Oksidasi melibatkan perpindahan ikatan disulfida sisi aktif dari PDI ke substrat protein, sementara itu isomerisasi membutuhkan cystein pada sisi 9 aktif berada dalam bentuk tereduksi sehingga dapat menyerang ikatan disulfida non-natif pada substrat protein, sehingga mengkatalisis penataulangan. Dengan demikian oksidasi dan isomerisasi membutuhkan bentuk redoks PDI yang berbeda (Kulp et al., 2006). Bila cystein pada sisi aktif PDI berada dalam bentuk disulfida (teroksidasi), enzim dapat memasukkan disulfida ke protein (aktivitas oksidase) melalui pertukaran tiol/disulfida. Namun, bila cystein pada sisi aktif PDI berada dalam bentuk ditiol (bentuk tereduksi) sisi aktif dapat mengkatalisis reduksi atau isomerisasi disulfida substrat. Walaupun PDI menunjukkan aktivitas oksidase dan isomerase in vitro, dan sejauh ini merupakan disulfida isomerase aktif yang diketahui, namun fungsinya secara in vivo belum jelas diketahui (Woycechowsky and Raines, 2000). Gambar 2: Jalur utama pembentukan ikatan disulfida dalam RE. PDI mentransfer bentuk teroksidasi Ero1p menjadi bentuk tereduksi (unfolded). Sel yang tidak memiliki Ero1p tidak dapat mengoksidasi protein yang baru disintesis dalam RE dan tidak dapat hidup. Ikatan disulfida non-natif harus diisomerisasi menjadi natif. Protein yang tidak memiliki ikatan disulfida natif akan didegradasi, dan sel yang tidak memiliki disulfida isomerase tidak dapat hidup. Untuk penyederhanaan, hanya satu dari dua sisi aktif PDI yang diperlihatkan. Pembentukan ikatan disulfida pada protein membutuhkan lingkungan oksidasi yang cukup. Sel eukariot mengandung sejumlah kompartemen yang mempunyai potensial reduksi yang bervariasi (Eo). Protein-protein yang akan disekresikan harus ditranslokasikan ke lingkungan pengoksidasi yaitu 10 Retikulum endoplasma (RE), Eo’ = -0,18 V, dimana pada RE protein mengalami folding dan membentuk ikatan disulfida natif. 5.1 Peranan Protein Pengoksidasi Folding protein secara oksidatif melibatkan dua reaksi yaitu oksidasi tiol dan isomerisasi ikatan disulfida non natif. Frand and Kaiser (1999) menggambarkan bagaimana Ero1p dan PDI menyelesaikan tahap pertama dari proses ini (Gambar 2). Ero1p dan PDI membentuk kompleks ikatan disulfida in vivo. PDI dan juga carboksipeptidase Y (CPY), protein yang mengandung lima ikatan disulfida, membentuk campuran disulfida. Bentuk tereduksi dari PDI dan CPY terakumulasi dalam sel yang tidak memiliki Ero1p fungsional. Bentuk tereduksi dari CPY juga terakumulasi dalam ER sel yang kehabisan PDI. Sehingga oksidasi ekivalen berjalan dari Ero1p ke PDI kemudian ke protein substrat. (Gambar 2). Rupanya, hanya sedikit dari sisi aktif PDI yang direduksi dalam ER. Kemudian bentuk ditiol dari PDI dibutuhkan untuk katalisis isomerisasi disulfida, yang merupakan fungsi utamanya (Gambar 3). Eo’ -0,18 V untuk ER ditemukan dengan mengukur konsentrasi glutation tereduksi (GSH) dan glutation teroksidasi (GSSG). Nilai ini cocok dengan nilai optimum aktivitas oksidatif folding PDI in vitro. Dalam larutan dengan Eo’ = -0,18 V, 50% dari sisi aktif PDI akan tereduksi. ER akan lebih teroksidasi dibanding yang diyakini sebelumnya, atau secara in vivo, PDI dipertahankan diluar kesetimbangan dengan lingkungannya dan jauh dari kondisi optimum in vitro-nya. Penentuan kontribusi relatif aktivitas oksidase dan isomerase selama katalisis oleh PDI tetap merupakan tantangan yang menarik. Walaupun tugas oksidase in vivo dari PDI tidak dapat dipahami, namun tugas ini tidak penting. Namun oksidasi protein yang baru disintesis secara signifikan terganggu bila tidak ada PDI. Varian PDI dengan sisi aktif CGHS (menggunakan kode asam amino satu huruf) dapat melengkapi wild-type defisiensi PDI. Varian ini tidak dapat mengkatalisis reduksi atau oksidasi, tapi merupakan katalis isomerisasi disulfida (proses dengan redoks inaktif). Mungkin Ero1p dapat mengoksidasi protein secara langsung dan PDI dibutuhkan untuk folding Ero1p, yang mengandung 14 11 residu cystein. Alternatif lain, jalur oksidasi yang tidak melibatkan Ero1p mungkin terjadi di ER (Woycechowsky and Raines, 2000). GSSG sudah lama diketahui berperan pada oksidasi protein, akumulasi GSSG disebabkan oleh pemasukannya secara selektif ke RE. Kemudian GSSG dapat dibentuk oleh Ero1p dalam RE dari GSH. Mutan ragi yang tidak dapat mensintesis glutation tidak memperlihatkan kerusakan pada pembentukan protein disulfida. Knocking out sintesis glutation mengembalikan kelangsungan hidup sel yang tidak memiliki Ero1p fungsional. Ikatan disulfida dibentuk secara fungsional dalam RE sel ini. Hasil ini mengindikasikan bahwa glutation berkontribusi terhadap net ekivalen tereduksi RE dan berkompetisi dengan protein tiol untuk mengoksidasi. Apa kegunaan glutation dalam ER? Paling utama, berperan sebagai buffer terhadap perubahan sementara dari oksidatif stress. Mungkin juga membantu mempertahankan kumpulan PDI tereduksi. Gambar 3: Perkiraan mekanisme isomerisasi ikatan disulfida. Isomerisasi dimulai dengan serangan nukleofilik tiolat yang terdapat pada katalis (seperti PDI) terhadap ikatan disulfida non-natif. Hasilnya terbentuk kompleks kovalen substrat-katalis yang mengandung substrat tiolat dan dapat mengalami pertukatan tiol-disulfida intramulekul untuk membentuk ikatan disulfida natif dan selanjutnya melepaskan katalis (mekanisme redoksin aktif). Tiol kedua pada sisi aktif katalis dapat berperan sebagai pengatur (jam) untuk menjamin penataulangan substrat. Substrat yang lambat untuk ditata ulang dapat direduksi secara parsial (dan selanjutnya dioksidasi ulang) oleh katalis ditiol (mekanisme reduksi-reoksidasi). Katalis yang tidak memiliki tiol kedua dapat terperangkap dalam campuran disulfida dengan substrat (Woycechowsky and Raines, 2000). 12 Jika sel yang tidak memiliki Ero1p dan glutation dapat menunjukkan kinetika oksidasi normal, maka ER pasti memiliki oksidan lain. Salah satu kandidat adalah sulfidril oksidase, enzim yang mengkatalisis oksidasi tiol oleh O2. Akseptor elektron lain adalah flavin-monooksigenase, O2 dan katalis oksidasi tiol yang membutuhkan NADPH yang bertempat di permukaan ER dan menghadap ke sitosol. Sulfhydryl oxidase dan monooxygenase yang mengandung flavin diduga bertindak sebagai oksidan dugaan disebabkan karena adanya hubungan langsung yang tersedia dengan akseptor elektron yang terakhir yaitu O2. 5.2 Pentingnya katalisis kovalen Walaupun oksidasi yang efektif itu penting, isomerisasi ikatan disulfida non-natif sering membatasi laju folding protein. Fungsi utama PDI in vivo adalah untuk mengkatalisis pembentukan ikatan disulfida dalam protein lain. Mekanisme paling sederhana dari katalisis isomerisasi disulfida oleh PDI diperlihatkan pada gambar 3. Ciri-ciri utama mekanisme ini adalah hanya membutuhkan tiolat yang reaktif pada bagian katalis. Masing-masing sisi aktif CGHC dari PDI memiliki potensial reduksi disulfida yang tinggi (Eo’ = -0,18 V) dan tiol yang tidak terprotonasi (pKa = 6,7). Dengan mengkombinasikan sifat ini, dapat dihitung bahwa selama kondisi folding oksidatif in vitro yang efisien (E°’ = –0.18 V, pH 7.0, dan 30°C), 33% dari sisi aktif PDI mengandung tiolat. Untuk menjalankan mekanisme pada gambar 3, PDI dapat dipotong dari tiolat. Dukungan terhadap mekanisme ini diperoleh dari aktivitas ditiol: (±)trans-1,2-bis(2-mercaptoacetamido)cyclohexan (BMC). Sifat fisik dari BMC sama dengan sifat PDI. Tidak seperti PDI, BMC tidak dapat terikat ke substrat protein. Namun, hanya dengan menggunakan interaksi kovalen, BMC dapat mengkatalisis pembentukan ikatan disulfida natif in vitro dan in vivo (Woycechowsky et al., 1999). Secara in vitro, BMC mengkatalisis reaktivasi ribonuklease A (RNase) A, substrat dengan empat ikatan disulfida non-natif. Dalam pengujian ini BMC dan PDI menghasilkan RNase A dengan folding yang sama. GSH dan analog monotiol dari BMC memberikan hasil yang lebih rendah dibanding ditiol. Tiol yang kedua menyediakan lonceng intramolekul untuk pertukaran tiol-disulfida yang diinduksi oleh substrat. Substrat tersebut, yang sulit di tata ulang, dapat 13 dibebaskan melalui pembentukan ikatan disulfida dalam katalis. Bentuk intermediet yang tereduksi parsial ini sekarang memiliki tiolat kedua untuk menginduksi penata ulangan disulfida tambahan dan dengan segera dapat di re-oksidasi oleh katalis. Kontribusi dari mekanisme reduksi-reoksidasi ini ditentukan oleh konsentrasi efektif dari sisi aktif tiol. Mekanisme redoks inaktif membutuhkan paling kurang pertukaran dua tiol disulfida produktif dalam substrat sebelum katalis bebas (Gambar 3). Konsentrasi efektif yang lebih tinggi dalam katalis akan menurunkan kontribusi mekanisme redoks-inaktif (Woycechowsky et al., 1999). BMC yang ditambahkan ke dalam media pertumbuhan S. cerevisiae yang memproduksi asam fosfatase Schizosaccharomyces pombe, dengan delapan disulfida, menyebabkan folding protein yang lebih efisien in vivo dan menghasilkan sekresi 3x lebih banyak enzim aktif. Kenaikan ini ekivalen dengan yang dicapai melalui ko-overproduksi PDI (Table 1). Kesesuaian antara hasil yang diperoleh antara penambahan BMC eksogen dan produksi PDI endogen memberikan kesan mekanisme aksi. Seperti PDI, BMC dapat berfungsi in vivo sebagai katalis langsung isomerisasi disulfida. BMC dapat berperan untuk mereduksi sejumlah basal PDI yang terdapat dalam RE, meningkatkan efisiensi isomerasenya, atau untuk mengoksidasi asam fosfatase secara langsung (setelah dioksidasi). Bagaimanapun juga, selain pembentukan ikatan disulfida natif, konsentrasi optimum BMC mungkin juga membatasi sekresi asam fosfatase (Woycechowsky et al., 1999). . Tabel 1 Produksi asam fosfatase pada ragi Kondisi Hasil PDI (basal) 1 PDI (basal) plus BMC (0,2 mg/ml 3 PDI (15x overproduksi) 3 Penggunaan BMC mungkin merupakan metoda yang lebih baik untuk produksi protein dengan ikatan disulfida. Aksi BMC in vivo mungkin akan meningkatkan hasil protein aktif hanya dengan penambahan BMC ke dalam medium pertumbuhan. Buffer redoks-BMC mungkin juga bermanfaat untuk 14 folding in vitro yang efisien untuk protein dari badan inklusi (Woycechowsky and Raines, 2000). Penelitian Molinari and Helenius (1999) menjelaskan aspek biologi dari mekanisme yang diperlihatkan pada gambar 3, pada campuran disulfida antara PDI dan glikoprotein virus yang baru disintesis in vivo. Kompleks ini merupakan demonstrasi pertama interaksi kovalen antara PDI dan substrat dalam sel mamalia. Bersama dengan kompleks disulfida-linked yang diobservasi antara PDI dan CPY atau Ero1p dalam sel ragi, penelitian ini mendukung mekanisme katalisis PDI in vivo yang diperoleh dari studi in vitro (Gambar 3). Belum jelas apakah kompleks ini melibatkan substrat yang mengalami oksidasi atau isomerisasi (atau keduanya). Molinari dan Helenius (1999) juga menemukan bahwa PDI memiliki spesifisitas substrat in vivo. Homolog PDI, yaitu protein pancreas-specific, ditemukan secara spesifik mengenali peptida yang mengandung residu tyrosin atau triptofan. Aspek biologi dari spesifisitas substrat selama katalisis PDI belum jelas diketahui. 5.3. Basis Struktur untuk Katalisis oleh PDI Struktur tiga dimensi PDI belum diketahui. PDI terdiri dari empat domain dengan struktur yang homologi dengan domain oksidoreduktase tioreduksin yang mengandung CXXC plus terminal asam karboksi domain. Domain pertama dan keempat mengandung dua sisi aktif. Penelitian baru-baru ini telah mengidentifikasi kegunaan utama dari domain ketiga dalam pengikatan substrat. Domain C terminal tidak dibutuhkan untuk aktifitas katalitik (Woycechowsky and Raines, 2000). Struktur kristal homolog PDI dari Pyrococcus furiosus hanya mengandung dua domain katalitik dan varian sisi aktif dimer tioredoksin E. coli yang meningkatkan aktivitas isomerase memberikan petunjuk bagaimana domain mirip-tioredoksin pada PDI berinteraksi. Pada struktur tersebut, domain tioredoksin membentuk struktur β-sheet berulang (interface terjadi pada sudut berlawanan dari β-sheet). Pengaturan ini menyarankan bahwa domain tioredoksin dari PDI mungin ko-linear (Koivunen et al., 1999) 15 Struktur kristal dari homolog dimer PDI bakteri, yaitu DsbC memberikan model strutur yang berbeda dari PDI. Dimer DsbC mengandung dua domain katalitik dan dua domain dimerisasi. Pengaturan ini mirip dengan empat domain mirip-tioredoksin pada PDI. Struktur dimer berbentuk V, dengan dua sisi aktif CXXC yang saling berhadapan diantara potongan hidrofobik. Potongan (cleft) ini sepertinya cocok untuk pengikatan protein unfolded. Domain katalitik dan domain dimerisasi pada monomer DsbC terhubung oleh heliks yang memungkinkan terjadinya perubahan konformasi ketika pengenalan substrat. Kefleksibelan ini berimplikasi pada katalisis oleh PDI, walaupun belum diketahui apakah PDI memiliki ikatan interdomain seperti DsbC. Pengetahuan tentang struktur utuh PDI akan memberikan model mekanisme kerja yang lebih detil tentang katalisis pembentukan ikatan disulfida natif (Mc Carthy et al., 2000). 5.4 Pentingnya lingkungan redoks Ikatan disulfida yang stabil jarang terbentuk di sitosol. Sitosol bakteri (E°’ = –0.27 V) biasanya bahkan lebih tereduksi dibanding eukariot (E°’ = – 0.23 V) dan bukan merupakan lingkungan yang baik untuk produksi protein yang mengalami pelipatan dengan banyak ikatan disulfida. Tentu saja sistem ekspresi bakteri dapat memproduksi sejumlah besar protein heterolog dalam jumlah yang banyak. Namun bentuk agregat yang tidak larut dari protein ini cenderung terbentuk bila protein mengalami misfold, dan folding in vitro dari badan inklusi ini akan sulit dan menghabiskan waktu (Rudolph et al., 1996). Salah satu pendekatan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mensekresikan protein yang memiliki ikatan disulfida bersama dengan PDI ke periplasma E. coli (Zhan et al., 1999). Pendekatan ini adalah hit-or-miss, dimana PDI tikus tidak meningkatkan hasil dari protein dengan 17-disulfida yaitu human tissue plasminogen activator (tPA), , akan tetapi PDI ragi dapat meningkatkan hasil sampai 50%. Dalam masalah spesifisitas, aktivitas PDI mungkin dihambat oleh lingkungan redoks periplasma. Hasil dari tPA aktif yang diperoleh melalui ko-produksi PDI ragi lebih rendah dibandingkan dengan yang diperoleh dari sel dengan overproduksi DsbC, dimana sisi aktif CXXC dipertahankan dalam bentuk tereduksi (Qiu et al., 1998). Mungkin lingkungan 16 periplasma terlalu oksidatif untuk terjadinya katalisis isomerisasi disulfida yang efisien oleh PDI. Ide ini didukung oleh penelitian tentang kemampuan PDI untuk berfungsi sebagai DsbA (oksidan periplasma) selama folding oksidatif alkalin fosfatase E. coli (Zhan et al.,1999). Pada periplasma E. coli, overproduksi DsbC atau DsbA (analog Ero1p pada bakteri) melipat gandakan produksi insulin-like growth factor-I (IGF-I). Protein DsbC yang melimpah dalam periplasma selama produksi IGF-I, meningkatkan agregasi dibandingkan folding in vivo yang efisien. Namun, IGF-I dapat dengan mudah dilipat dari badan inklusi, dan 8,5 g IGF-I dapat diisolasi dari 1 liter kultur sel. Hasil yang tinggi ini mungkin karena proteksi translokasi IGF-I dari proteolisis atau terdapat bantuan pada saat translokasi. Lebih mengejutkan lagi, setelah overproduksi, DsbA di dalam sel ditemukan dalam bentuk tereduksi (normalnya terakumulasi dalam bentuk teroksidasi dan bertanggung jawab untuk mengkatalisis oksidasi protein dalam periplasma). Penurunan efisiensi folding di periplasma ketika IGF-I diproduksi diikuti dengan overproduksi DsbA atau DsbC membantah peningkatan pertukaran tiol disulfida sebagai penyebab peningkatan hasil (Joly et al., 1998). Manipulasi lingkungan redoks dalam sitosol bakteri mungkin menyebabkan terjadinya pelipatan oksidatif protein in vivo yang lebih efektif. Strategi ini dimungkinkan melalui pengembangan strain E. coli yang dapat tumbuh normal meskipun dengan lingkungan sitosol yang oksidatif. Strain ini diisolasi sebagai supresor dari fenotip yang tumbuh dengan lambat yang disebabkan oleh sel yang tidak memiliki gen untuk tioredoksin reduktase dan glutation sintetase. Folding sitosol dari empat protein yang disekresikan, dengan multi ikatan disulfida lebih efisien pada strain ini dibandingkan wild type. Tioredoksin yang normalnya berperan sebagai reduktan sitosol, berperan sebagai oksidan protein dalam strain ini, konsisten dengan kemampuannya untuk berperan sebagai oksidan bila dieksport ke periplasma (Stewart et al., 1998). Folding sitosol dari tPA yang terpotong (vtPA), yang memiliki sembilan ikatan disulfida, dapat ditingkatkan dengan overproduksi sisi aktif varian tioredoksin dengan Eo’ yang lebih tinggi. Hasil optimum vtPA dalam sitosol diperoleh melalui ko-produksi dengan DsbC dalam strain mutan ini, yang 17 memberikan peningkatan efisiensi folding 200x dibandingkan dengan sel wild type (Tabel 2). Hasil ini menegaskan pentingnya katalis ditiol untuk penggantian (shuffling) ikatan disulfida non-natif (Gambar 3). Mengejutkan, koproduksi PDI dalam sitosol memiliki pengaruh kecil terhadap folding vtPA sitosol. Folding vtPA dalam sitosol strain mutan lebih efisien dibanding foldingnya di periplasma wild type (Tabel 2). Oksidasi mungkin lebih lambat di sitosol dibanding periplasma, menurunkan kebutuhan akan isomerisasi disulfida, sehingga memperbesar folding di sitosol (Bassette et al., 1999). Tabel 2 Produksi vtPA dalam bakteri Kondisi Hasil relatif Sitosol-wildtype 0,1 Sitosol-oksidasi 1 Periplasma wildtype plus DsbC 10 Sitosol oksidasi plus DsbC 21 Data dari Bassette et al. (1999) Modulasi lingkungan redoks dalam sitosol mungkin merupakan strategi yang efektif untuk produksi protein eukariot yang disekresikan dalam bakteri. Efisiensi folding pada sistem ini dapat ditingkatkan dengan ko-produksi disulfida isomerase dengan sifat sisi aktif yang cocok untuk lingkungan redoks. Mekanisme isomerisasi ikatan disulfida (Gambar 3) dapat mengarahkan disain dan pemilihan katalis ini. 6. Arsitektur Domain PDI dan peranannya sebagai oksidase dan isomerase. Analisis tentang peran PDI dalam sel telah menimbulkan gambaran yang bertentangan tentang apakah fungsi utamanya sebagai isomerase atau oksidase. S cerevisiae dengan mutan PDI dimana cystein kedua pada sisi aktif pada kedua domain katalitik diganti dengan serin (CxxSCxxS) dapat mempertahankan fiabilitas strain pdi1. Karena isomerisasi hanya membutuhkan satu cystein untuk setiap sisi aktif, hal ini menyatakan secara tidak langsung pentingnya aktivitas isomerase PDI. Bagaimanapun inaktivasi PDI pada S. cerevisiae merusak pembentukan ikatan disulfida de novo pada 18 protein yang baru disintesis. Sehingga PDI juga berperan penting mengkatalisis oksidasi disulfida (Kulp et al., 2006). Terdapat empat homolog PDI pada ER ragi, yaitu: Mpd1p, Mpd2p, Eug1p, dan Eps1p. Keluarga PDI bahkan lebih besar pada metozoa dan pada manusia paling kurang termasuk 17 protein yang berbeda. Homolog ini memiliki kombinasi domain tioredoksin katalitik dan non-katalitik yang bervariasi, tambahan trans membran dan domain chaperone. Secara umum, kontribusi apa yang diberikan oleh arsitektur domain yang rumit sehingga domain tioredoksin merupakan unit katalitik belum dimengerti. Satu kemungkinan adalah kombinasi domain spesifik menghasilkan interaksi antara homolog PDI dengan chaperone lain yang terdapat di ER untuk menentukan folding substrat. Sebagai contoh PDI manusia ERp57, yang berperan bersama dengan chaperone RE; lectin, calreticulin dan calnexin berfungsi untuk mengarahkan folding substrat yang terglikosilasi secara spesifik (Oliver et al., 1997; Oliver et al., 1999). Kemungkinan lain adalah kombinasi domain yang berbeda mungkin menentukan fungsi redoks yang berbeda untuk homolog PDI. Banyak studi telah mengeksplorasi perbedaan fungsi antara homolog PDI melalui pengujian sifat redoks dari domain katalitik tioredoksin yang berbeda. Studi ini secara khusus memfokuskan pada pengukuran potensial redoks menggunakan molekul kecil agen tiol seperti glutation. Potensial redoks dari domain tioredoksin dapat digunakan untuk membedakan domain tioredoksin sitosol reduktif dan anggota kelompok PDI yang terdapat di RE. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa ikatan disulfida tidak tergantung pada glutation, baik in vivo maupun in vitro (Cuazo dan Kaiser, 1999). Secara in vivo, bentuk redoks PDI ditentukan oleh interaksinya dengan Ero1p, bukan oleh kesetimbangan dengan buffer redoks glutation dalam RE (Frand dan Kaiser, 1999). Ero1p merupakan protein penting yang conserve, yang membentuk disulfida pada reaksi yang tergantung pada flavin yang mengkonsumsi oksigen (Gambar 4). Ero1p tidak mentransfer ekivalen oksidan langsung ke substrat folding. Ero1p secara spesifik mengoksidasi PDI yang kemudian melanjutkan ekivalen oksidan ke substrat (Gambar 4). Sehingga dengan mengerti fungsi selular dari 19 PDI dan homolognya, kita dapat membuktikan apakah dan bagaimana protein ini berinteraksi dengan Ero1p (Kulp et al., 2006). Gambar 4. Model skema mekanisme folding protein secara oksidatif di RE. Ikatan disulfida dibentuk pada substrat protein melalui pertukaran tiol-disulfida oleh PDI teroksidasi. Disulfida pada PDI diregenerasi oleh interaksi dengan Ero1p, protein yang terikat ke FAD. Ero1p dioksidasi oleh molekul oksigen pada kondisi aerob dan menjadi akseptor elektron pada kondisi anaerob (Tu dan Weissman, 2002). Kulp et al. (2006) mengeksplorasi secara spesifik kontribusi PDI terhadap pembentukan ikatan disulfida natif pada reaksi yang dijalankan oleh Ero1p. Berdasarkan jalur Ero1p, diperlihatkan bahwa terdapat laju oksidasi yang asimetri pada dua domain katalitik PDI yang memungkinkannya berfungsi sebagai disulfida oksidase/isomerase. Penelitian ini juga mendemonstrasikan bahwa hasil yang asimetri ini dihasilkan oleh kombinasi dua efek: pertama, peningkatan laju oksidasi domain A’ dalam konteks protein keseluruhan dan kedua, inhibisi yang dimediasi oleh substrat dari oksidasi domain A. Penelitian ini kemudian membuktikan bahwa pada hakekatnya masing-masing domain bukanlah asimetri dan pengaturan domain tioredoksin spesifik pada PDI penting untuk fungsi asimetri pada sisi aktifnya. Kontribusi dua sisi aktif PDI ragi pada pembentukan ikatan disulfida yang dimediasi oleh Ero1p belum pernah dikarakterisasi. Kulp et al. (2006) membuat dua sisi aktif mutan, yang mana pasangan cystein pada sisi aktif domain tioredoksin dimutasi menjadi alanin: (AAxxAA’CxxC) dan (ACxxCA’AxxA). Mutan 20 ini digunakan untuk me-refolding RNase A. Ternyata dua sisi aktif mutan PDI ini tidak bisa me-refolding RNase A dibandingkan dengan PDI wild type. Ketidak sesuaian dalam kemampuan mutan sisi aktif untuk me-refolding RNase A dapat disebabkan oleh rusaknya oksidasi atau isomerisasi disulfida. Penelitian ini selanjutnya membuktikan bahwa dua sisi aktif PDI mempunyai peran yang berbeda. Domain A terutama berperan sebagai isomerase, sementara domain A’ merupakan oksidase. Kulp et al. (2006) juga mengeksplorasi kemampuan Ero1p untuk mengoksidasi sisi aktif PDI. Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa Ero1p tidak dapat mengoksidasi sisi aktif pada N terminal PDI (Tsai et al., 2002). Namun penelitian tersebut menggunakan Ero1p tanpa penambahan FAD yang diketahui dibutuhkan untuk aktifitasnya. Selain itu jumlah Ero1p yang digunakan jauh lebih banyak dari PDI (10:1). Sementara data Kulp et al. (2006) menunjukkan bahwa Ero1p dapat mengoksidasi kedua sisi aktif PDI dengan adanya FAD, namun dengan kecepatan yang berbeda dimana sisi aktif (ACxxCA’AxxA) teroksidasi lebih lambat dibanding (AAxxAA’CxxC). Hasil ini menyimpulkan bahwa kedua domain dioksidasi secara terpisah. Selain itu Ero1p dapat mengoksidasi domain A’ yang diisolasi, hal ini menunjukkan bahwa satu domain tioredoksin sudah cukup untuk pengenalan. Namun laju oksidasi domain A’ adalah setengah dari AAxxAA’CxxC yang menunjukkan bahwa peningkatan laju oksidasi dari domain A’ pada protein utuh tergantung pada adanya domain A. Laju oksidasi BB’A’, B’A’ dan A’ adalah sama, sehingga penghilangan domain B atau B’ tidak akan mempengaruhi interaksi PDI dengan Ero1p. Juga, tidak terdapat perbedaan laju oksidasi sisi aktif N-terminal dan C-terminal pada mutan PDI terpotong (A versus A’). hal ini bertentangan dengan 2x perbedaan antara laju oksidasi sisi aktif N dan Cterminal pada mutan PDI (AAxxAA’CxxC) dan (ACxxCA’AxxA). Sehingga yang berperan penting pada pengenalan adalah domain tioredoksin, karena Ero1p dapat mengoksidasi domain A dan A’ terisolasi. Hasil penelitian ini memperjelas peran arsitektur domain tioredoksin pada pengaturan asimetri dalam sisi aktif PDI, karena peningkatan laju oksidasi domain A’ hanya terlihat dalam konteks AAxxAA’CxxC utuh (Kulp et al., 2006). 21 Substrat dapat mempengaruhi laju reaksi dalam dua cara: pertama, substrat merupakan sumber reduktan untuk PDI, dan kedua, substrat merupakan protein tidak terlipat yang terikat ke PDI dan dapat merubah kemampuan Ero1p untuk berinteraksi dengan PDI. Pengikatan substrat secara spesifik memproteksi domain tioredoksin pertama dari oksidasi oleh Ero1p. laju oksidasi (ACxxCA’AxxA) menurun menjadi 40,4% dengan adanya RNase A. sebaliknya laju oksidasi (AAxxAA’CxxC) tidak dipengaruhi oleh adanya substrat. Gambar 5. Model skema proteksi keseluruhan PDI dari Ero1p. Struktur tiga dimensi PDI belum diketahui, sehingga interaksi antara domain tioredoksinnya belum ditentukan. Domain B’ dan A’ penting untuk interaksi PDI dengan RNaseA dan juga penting untuk proteksi sisi aktif N-terminal dari Ero1p (Kulp et al., 2006). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat asimetri pada sisi aktif PDI sehingga PDI dapat berperan ganda sebagai oksidase dan isomerase. Sisi aktif C terminal merupakan pengoksidasi RNase A yang efisien namun tidak dapat mengkatalisis pembentukan disulfida yang tepat. Sebaliknya sisi aktif N terminal terutama berperan pada pembentukan RNase fungsional karena dapat mengisomerisasi disulfida yang tidak tepat. Asimetri pada sisi aktif PDI ini diperoleh dengan membandingkan dua efek: laju oksidasi domain A’ yang tidak tergantung pada substrat dan inhibisi oksidasi domain A yang dimediasi oleh substrat. Selain itu laju oksidasi setiap domain katalitik A dan A’ juga tidak sama. Ketidaksamaan laju oksidasi dua sisi aktif hanya diobservasi dalam konteks protein utuh dan tergantung pada posisi domain tioredoksin. Perbedaan laju oksidasi kedua sisi aktif meyakinkan bahwa domain A’ berada dalam bentuk teroksidasi, yang dibutuhkan untuk mengkatalisis pembentukan 22 ikatan disulfida, sementara domain A dalam bentuk tereduksi dan dapat melakukan isomerisasi ikatan disulfida (Kulp et al., 2006). Pada penelitian sebelumnya tentang aktifitas sisi aktif PDI mutan pada S. cerevisiae, sisi aktif C terminal PDI ditunjukkan tidak berguna untuk pematangan pro-CPY (procarboxipeptidase Y), sementara bila sisi aktif N terminal tidak ada akan memperlambat pematangan CPY. Studi in vivo ini berlawanan dengan studi in vitro PDI dalam buffer redoks glutation, yang mana sisi aktif C terminal me-refolding CPY dengan lebih efisien (Holst et al., 1997; Westphal et al., 1999) Hasil penelitian Kulp et al. (2006) memperlihatkan bahwa dalam konteks jalur Ero1p-PDI, sisi aktif N terminal merupakan oksidase yang tidak efisien namun merupakan isomerase yang efisien. Hal ini menyarankan bahwa tahap penentu laju pematangan CPY (protein dengan lima disulfida) adalah isomerisasi disulfida, yang dapat menjelaskan pentingnya sisi aktif N terminal pada folding CPY in vivo. Penelitian baru-baru ini dengan menggunakan sel mamalia juga menemukan bahwa PDI secara parsial tereduksi in vivo, sehingga proteksi sisi aktif PDI yang diobservasi in vitro mungkin juga dapat diobservasi in vivo dan mengimplikasikan bahwa terdapat kumpulan sisi aktif PDI tereduksi yang dapat berfungsi sebagai isomerase in vivo (Xiao et al., 2004). Strategi pembentukan ikatan disulfida dalam RE ini berbeda dengan model prokariot. Homolog dari Ero1p dalam prokariot adalah DsbB. Protein Ero1p dan DsbB secara spesifik mengoksidasi protein dengan domain tioredoksin (PDI dalam kasus Ero1p dan DsbA dalam kasus DsbB), yang kemudian langsung mengoksidasi substrat (Tu dan Weissman, 2004). Bakteri memiliki jalur yang terpisah untuk mengkatalisis isomerisasi disulfida, menggunakan dua protein kunci DsbC dan DsbD (Ritz dan Beckwith, 2001; Collet dan Bardwell, 2002). Ekivalen dari jalur DsbD belum pernah diidentifikasi dalam RE. Sebaliknya sekarang terlihat bahwa jalur Ero1p-PDI berperan ganda pada oksidasi dan isomerisasi disulfida. Strategi yang berbeda pada pembentukan ikatan disulfida ini mungkin disebabkan oleh perbedaan sifat fisik antara RE dan periplasma. Tidak seperti periplasma, lingkungan RE bersifat lebih reduksi dengan aliran glutation dari sitosol. Penelitian sebelumnya telah memperlihatkan bahwa glutation berperan menyediakan 23 ekivalen pereduksi kepada RE. Terdapatnya molekul reduktan kecil dan kemampuan PDI untuk berperan sebagai isomerasi dapat meminimalisir kebutuhan akan adanya jalur reduksi disulfida pada eukariot (Kulp et al., 2006). . Mekanisme yang terjadi pada eukariot memberikan manfaat potensial dibanding sistem prokariot. Protein PDI yang berfungsi ganda sebagai oksidase/isomerase dapat memfolding substrat model dengan lebih efisien, mungkin karena tingginya konsentrasi kedua sisi aktif. Juga regulasi tingkat redoks PDI oleh substrat memberikan implikasi yang penting terhadap folding protein secara oksidatif dalam RE. Apabila terdapat terlalu sedikit substrat yang akan mengalami folding, Ero1p dapat mempertahankan PDI dalam bentuk teroksidasi, berhenti mentransfer disulfida pada protein substrat. Bila PDI berikatan dengan substrat, maka PDI dapat berperan ganda sebagai oksidase dan isomerase. Dengan cara ini, kompleks Ero1p, PDI dan substrat menjadi selektif pada pembentukan ikatan disulfida, memperbesar pengaruh asimetri pada sisi aktif PDI. Mungkin juga sifat dari substrat akan menentukan proteksi terhadap sisi aktif N terminal. Sehingga peran PDI sebagai oksidase versus isomerase tergantung pada kebutuhan substrat. Manfaat dari jalur Ero1p-PDI terutama cocok dengan kebutuhan folding pada protein substrat eukariot kompleks, yang pada umumnya memiliki disulfida lebih banyak dibanding substrat pada bakteri (Kulp et al., 2006). Hasil penelitian ini juga menyediakan mekanisme pengenalan PDI oleh Ero1p. Salah satu model yang disarankan adalah bahwa sisi pengikatan substrat pada PDI yang unfold, dapat juga memediasi pengenalan Ero1p melalui pengikatan loop yang tidak terstruktur pada struktur kristal Ero1p (Gross et al., 2004). Namun domain pengikatan substrat (B’) tidak dibutuhkan untuk proteksi interaksi dengan Ero1p. Ero1p mengenali domain tioredoksin secara tidak spesifik, hal ini menjelaskan kenapa ekspresi beberapa homolog PDI dapat menyelamatkan fiabilitas strain pdi1 (Norgaard et al., 2001). 24 DAFTAR PUSTAKA Bessette PH, Åslund F, Beckwith J, Georgiou G: Efficient folding of proteins with multiple disulfide bonds in the Escherichia coli cytoplasm. Proc Natl Acad Sci USA 1999, 96:13703-13708. Bibila, T. A. and Flickinger, M. C. (1992). Use of a structured kinetic model of antibody synthesis and secretion for optimization of antibody production systems: I. Steady-state analysis. Biotechnol. Bioeng. 39(3): 251-261 Cuozzo, J. W., and Kaiser, C. A. (1999). Competition between glutathione and protein thiols for disulphide-bond formation. Nat. Cell Biol. 1, 130–135 Collet, J. F., and Bardwell, J. C. (2002). Oxidative protein folding in bacteria. Mol. Microbiol. 44, 1–8 Frand, A.R., and Kaiser, C.A. 1999. Ero1p oxidizes protein disulfide isomerase in a pathway for disulfide bond formation in the endoplasmic reticulum. Molecular Cell 4, 469–477. Gross, E., Kastner, D. B., Kaiser, C. A., and Fass, D. (2004). Structure of Ero1p, source of disulfide bonds for oxidative protein folding in the cell. Cell 117, 601–610 Holst, B., Tachibana, C., and Winther, J. R. (1997). Active site mutations in yeast protein disulfide isomerase cause dithiothreitol sensitivity and a reduced rate of protein folding in the endoplasmic reticulum. J. Cell Biol. 138, 1229–1238 Humphreys, D.P., Weir, N., Lawson, A., Mountain, A., Lund, P.A. 1996. Coexpression of human protein disulfide isomerase (PDI) can increase the yield of an antibody Fab’ fragment expressed in Escherichia coli. FEBS letters. 330. 194-197. Joly JC, Leung WS, Swartz JR: Overexpression of Escherichia coli oxidoreductases increases recombinant insulin-like growth factor-I accumulation. Proc Natl Acad Sci USA 1998, 95:2773-2777. Kulp, M.S., Frickel, E.M., Ellgaard, L., Waissman, J.S. 2006. Domain architecture of protein-disulfide isomerase facilitates its dual role as an oxidase and an isomerase in Ero1p-mediated disulfide formation. The Journal of Biologycal Chemistry. 281. 2. 876-884. Koivunen P, Pirneskoski A, Karvonen P, Ljung J, Helaakoski T, Notbohm H, Kivirikko KI: The acidic C-terminal domain of protein disulfide isomerase is not critical for the enzyme subunit function or for the chaperone or disulfide isomerase activities of the polypeptide. EMBO J 1999, 18:65-74. Molinari M, Helenius A: Glycoproteins form mixed disulfides with oxidoreductases during folding in living cells. Nature 1999, 402:90-93. McCarthy AA, Haebel PW, Törrönen A, Rybin V, Baker EN, Metcalf P: Crystal structure of the protein disulfide bond isomerase DsbC from Escherichia coli. Nat Struct Biol 2000, 7:196-199. Norgaard, P., Westphal, V., Tachibana, C., Alsoe, L., Holst, B., and Winther, J. R. (2001). Functional differences in yeast protein disulfide isomerases. J. Cell Biol. 152, 553–562. Oliver, J. D., van der Wal, F. J., Bulleid, N. J., and High, S. (1997). Interaction of the thiol-dependent reductase ERp57 with nascent glycoproteins. Science 275, 86–88 25 Oliver, J. D., Roderick, H. L., Llewellyn, D. H., and High, S. (1999). ERp57 functions as a subunit of specific complexes formed with the ER lectins calreticulin and calnexin. Mol. Biol. Cell 10, 2573–2582 Qiu J, Swartz JR, Georgiou G: Expression of human tissue-type plasminogen activator in Escherichia coli. Appl Environ Microbiol 1998, 64:4891-4896. Ritz, D., and Beckwith, J. (2001). Roles of thiol-redox pathways in bacteria. Annu. Rev. Microbiol. 55, 21–48 Robinson, A. S., Hines, V., Wittrup, K. D. 1994. Protein disulphide isomerase overexpression increases secretion of foreign proteins in Saccharomyces cerevisiae. Bio/Technology. 12, 381-384 Rudolph R, Lilie H: In vitro folding of inclusion body proteins. FASEB J 1996, 10:49-56. Shusta, E. V., Raines, R. T., Pluckthun, A., Wittrup, K. D. 1998. Increasing the secretory capacity of Saccharomyces cerevisiae for production of single chain antibody fragment. Nature Biotechnol., 16, 773-777 Schultz, L. D., Markus, H. Z., Hofmann, K. J., Montgomery, D. L., Dunwiddier, C. T., Kniskern, P. J., Freedman, R. B., Ellis, R. W., Tuite, M. F. 1994. Using molecular genetic to improve the production of recombinant proteins by the yeast Saccharomyces cerevisiae. Ann. N. Y. Acad. Sci. 721, 148-157 Stewart EJ, Åslund F, Beckwith J: Disulfide bond formation in the Escherichia coli cytoplasm: An in vivo role reversal for the thioredoxins. EMBO J 1998, 17:5543-5550. Tsai, B., and Rapoport, T. A. (2002). Unfolded cholera toxin is transferred to the ER membrane and released from protein disulfide isomerase upon oxidation by Ero1. J. Cell Biol. 159, 207–216 Tu, B. P., and Weissman, J. S. (2002). The FAD- and O(2)-dependent reaction cycle of Ero1-mediated oxidative protein folding in the endoplasmic reticulum. Mol. Cell 10, 983–994 Tu, B. P., and Weissman, J. S. (2004). Oxidative protein folding in eukaryotes: mechanisms and consequences. J. Cell Biol. 164, 341–346 Tu, B.P., Ho-Schleyer, S.C., Travers, K.J., Weissman, J.S. 2000. Biochemical Basis of Oxidative Protein Folding in the Endoplasmic Reticulum, Science, 290, 1571-1574. Tuite, M.F. and Freedman, R.B. 1994, Improving secretion of recombinant prteins from yeast and mammalian cells; rational of empirical design? Trends in Biotechnology. Woycechowsky, K.J. and Raines, R.T. 2000. Native disulfide bond formation in proteins. Current Opinion in Chemical Biology. 4:533-539. Woycechowsky KJ, Wittrup KD, Raines RT: A small-molecule catalyst of protein folding in vitro and in vivo. Chem Biol 1999, 6:871-879. Westphal, V., Darby, N. J., and Winther, J. R. (1999). Functional properties of the two redox-active sites in yeast protein disulphide isomerase in vitro and in vivo. J. Mol. Biol. 286, 1229–1239 Xiao, R., Wilkinson, B., Solovyov, A., Winther, J.R., Holmgren, A., LundstromLjung, J., Gilbert, H.F. 2004. The contributions of protein disulfide isomerase and its homologues to oxidative protein folding in the yeast endoplasmic reticulum. The Journal of Biological Chemistry. 279. 48. 49780-49786. 26 Zhan X, Schwaller M, Gilbert HF, Georgiou G: Facilitating the formation of disulfide bonds in the Escherichia coli periplasm via coexpression of yeast protein disulfide isomerase. Biotechnol Prog 1999, 15:1033-1038. 27