MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU KESEHATAN MATA MAKALAH DISKUSI TOPIK KONJUNGTIVITIS Disusun oleh : Herliani Dwi Putri Halim 0906487820 Mellisya Ramadhany 0906487884 Narasumber : dr. Lukman Edwar, SpM DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL DR CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA MARET 2013 DEFINISI KONJUNGTIVITIS Konjungtivitis adalah proses inflamasi akibat infeksi atau non-infeksi pada konjungtiva yang ditandai dengan dilatasi vaskular, infiltrasi seluler, dan eksudasi.1,2 Berdasarkan waktu, konjungtivitis dibedakan menjadi: 1. Konjungtivitis akut: awitan terpisah yang diawali dengan inflamasi unilateral, kemudian diikuti dengan inflamasi mata kedua seminggu kemudian. Lama sakit adalah kurang dari empat minggu. 2. Konjungtivitis kronik: lama sakit lebih dari tiga sampai empat minggu.2 ETIOLOGI KONJUNGTIVITIS Sama halnya dengan kornea, konjungtiva terpajan dengan lingkungan luar seperti mikroorganisme dan faktor stress.1 Permukaan konjungtiva tidak steril karena dihuni oleh flora normal. Untuk itu, terdapat mekanisme defensi alamiah seperti komponen aqueous yang melarutkan agen infeksius, mukus yang menangkap debris, kedipan mata, perfusi yang baik, dan aliran air mata yang membilas konjungtiva. Air mata sendiri mengandung antibodi dan antibakterial yaitu immunoglobulin (IgA dan IgG), lisozim, dan interferon.1,3 Inflamasi dapat terjadi dengan kontak langsung dengan patogen melalui tangan yang terkontaminasi, handuk, atau kolam renang. Secara garis besar, penyebab konjungtivitis adalah endogen (noninfeksius) atau eksogen (infeksius). Infeksius Bakterial Klamidia Viral Riketsia Parasitik Non-infeksius Alergi Autoimun Toksik (kimia atau iritan) 2 Penyakit sistemik seperti sindrom Steven-Johnson Iritasi persisten akibat produksi air mata yang kurang.2 EPIDEMIOLOGI KONJUNGTIVITIS Konjungtivitis adalah penyakit mata paling sering di dunia yang dapat terjadi pada berbagai usia.1 Akan tetapi, terdapat beberapa bentuk konjungtivitis tertentu yang terjadi pada kelompok usia tertentu. Pada anak, sering terjadi keratokonjungtivitis vernal, sedangkan keratokonjungtivitis atopik dan alergika sering terjadi pada dewasa muda. Sekitar 1-3% pengguna kontak lensa terkena konjungtivitis papiler raksasa dan 10% neonatus mengalami konjungtivitis dengan berbagai penyebab. Konjungtivitis infeksius mengenai perempuan dan laki-laki dengan insidens yang sama. Namun, konjungtivitis sicca lebih sering terjadi pada perempuan. Sebaliknya, keratokonjungtivitis vernal dan konjungtivitis akibat kimia dan mekanik lebih sering terjadi pada pria.2 Gejala dan Tanda Konjungtivitis Umumnya, konjungtivitis mengenai kedua mata dengan derajat keparahan yang berbeda. Gejala konjungtivitis adalah mata merah dengan produksi sekret yang berlebih sehingga mata terasa lengket pada pagi hari setelah bangun tidur. Selain itu, pasien dapat mengalami sensasi benda asing, terbakar, atau gatal, serta fotofobia. Rasa nyeri yang muncul biasanya menandakan kornea juga terkena. Gejala yang dirasakan oleh pasien dapat bervariasi. Oleh karena itu, penting untuk mengenali tanda dari konjungtivitis berupa: Hiperemia: mata tampak merah akibat dilatasi pembuluh darah. Jika tanpa disertai infiltrasi seluler, menandai iritasi seperti angin, matahari, dan asap. Epifora: lakrimasi yang berlebihan sebagai respons terhadap sensasi benda asing dan iritan yang harus dibedakan dengan transudat. Transudat ringan yang timbul akibat pelebaran pembuluh darah dapat bercampur dengan air mata. Eksudasi: kuantitas dan sifat eksudar (mukoid, purulen, berair, atau berdarah) bergantung dengan etiologi penyakit. Pseudoptosis: jatuhnya kelopak bola mata karena infiltrasi pada otot Muller yang dapat ditemukan pada konjungtivitis parah seperti keratokonjungtivitis trakoma. 3 Hipertrofi papiler: reaksi konjungtiva yang tidak spesifik berupa papil berukuran kecil, halus, dan seperti beludru. Papil berwarna kemerahan pada infeksi bacterial, sedangkan bentuk cobblestone ditemui pada konjungtivitis vernal. Kemosis: pembengkakan konjungtiva yang sering ditemukan pada konjungtivitis alergika, bakterial (konjungtivitis gonokokus), dan adenoviral. Folikel: hiperplasia limfoid lokal konjungtiva yang terdiri dari sentrum germinativum yang paling sering ditemukan pada infeksi virus. Selain infeksi virus, ditemui pula pada infeksi parasit dan yang diinduksi oleh obat idoxuridine, dipivefrin, dan miotik. Pseudomembran: terbentuk akibat proses eksudatif dimana epitel tetap intak ketika pseudomembran dibuang. Konjungtiva lignose: terbentuk pada pasien yang mengalami konjungtivitis membranosa berulang. Flikten: diawali dengan perivaskulitis limfositik yang kemudian berkembang menjadi ulkus konjungtiva. Selain itu, flikten menandakan reaksi delayed hipersensitivitas terhadap antigen microbial. Limfadenopati preaurikular: pembesaran kelenjar getah bening yang dapat disertai rasa nyeri pada infeksi akibat herpes simpleks, konjungtivitis inklusi, atau trakoma.1,2,3 Tanda Konjungtvitis3 Mata tampak merah dengan dilatasi pembuluh darah konjungtiva yang difus (injeksi konjungtiva). 4 A. KONJUNGTIVITIS BAKTERIAL a) Tanda dan Gejala Dua bentuk konjungtivitis bakterial adalah akut dan kronik. Konjungtivitis bacterial akut (subakut) yang disebabkan oleh Haemophilus influenza bersifat self-limited dengan lama sakit melebihi dua minggu (tanpa pengobatan) dan eksudat tipis, berair, serta flokulen. Konjungtivitis purulen yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae atau Neisseria meningitidis menyebabkan komplikasi yang serius jika tidak diobati dengan benar. Konjungtivitis bilateral dengan eksudat purulen dan biasanya pembengkakan kelopak mata. Umumnya, infeksi bersifat unilateral pada mulanya kemudian mengenai mata yang lain melalui tangan. Konjungtivitis purulen yang banyak dapat disebabkan oleh N gonorrhoeae, Neisseria kochii, dan N meningitides yang membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan pengobatan segera. Penundaan dapat menyebabkan kerusakan kornea, kebutaan, dan sepsis. Sedangkan konjungtivitis mukopurulen akut, penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae. Konjungtivitis kronik terjadi pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakriminal dan dakriosistitis kronik. Disamping itu, blefaritis bacterial kronik atau disfungsi kelenjar meibom juga dapat menyebabkan konjungtivitis kronik.1 b) Pemeriksaan Laboratorium Sebagian besar diagnosis dapat ditegakkan dengan tanda dan gejala. Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium dilakukan apabila konjungtivitis tidak responsif terhadap antibitotik. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pewarnaan Gram untuk mengidentifikasi mikroorganisme penyebab. Pewarnaan Giemsa bertujuan untuk mengidentifikasi tipe sel dan morfologi. Kerokan konjungtiva dan kultur dianjurkan apabila terdapat sekret purulen, membranosa, atau pseudomembranosa. 1,2 c) Komplikasi Pada infeksi staphylococcal dapat terbentuk blefaritis marginal kronik. Selain itu, konjungtivitis pseudomembranosa dan membranosa akan menimbulkan sikatriks dalam proses penyembuhan, dan lebih jarang menyebabkan ulkus kornea. Ulkus kornea marginal mempermudah infeksi N gonorrhoeae, N kochii, N meningitidis, H aegyptius, S aureus, dan M catarrhalis. Apabila produk toksik N gonorrhoeae menyebar pada bilik mata depan, akan terjadi iritis toksik.1 5 d) Pengobatan Terapi empiris didahulukan sebelum hasil tes sensitivitas antibiotik tersedia. Adapun terapi empiris yang dapat diberikan adalah Polytrim dalam bentuk topical. Sediaan topikal yang diberikan dalam bentuk salep atau tetes mata adalah seperti gentamisin, tobramisin, aureomisin, kloramfenikol, polimiksin B kombinasi dengan basitrasin dan neomisis, kanamisis, asam fusidat, ofloksasin, dan asidamfenikol. Kombinasi pengobatan antibiotik spektrum luas dengan deksametason atau hidrokortison dapat mengurangi keluhan yang dialami oleh pasien lebih cepat.1,2 Namun, apabila hasil mikroskopik menunjukkan bakteri gram-negatif diplokokus seperti neisseria, maka terapi sistemik dan topikal harus diberikan secepatnya. Seftriakson 1 g, dosis tunggal intramuscular, diberikan apabila tidak mengenai kornea. Jika ada keterlibatan kornea, maka diberikan seftriakson 1-2 g/hari secara parenteral selama 5 hari. Pemberian obat tersebut diikuti dengan doksisiklin 100 mg dua kali sehari atau eritromisin 500 mg empat kali sehari selama 1 minggu. Pada konjungtivitis kataral kronik, diberikan antibiotik topikal seperti kloramfenikol atau gentamisin diberikan 3-4 kali/ hari selama dua minggu untuk mengeliminasi infeksi kronik.1,4 Selain itu, eksudat dibilas dengan larutan saline pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen akut. Untuk mencegah penyebaran penyakit, pasien dan keluarga diedukasi untuk memerhatikan kebersihan diri.1,2 e) Prognosis Konjungtivitis bacterial akut dapat sembuh sendiri dalam 10-14 hari tanpa pengobatan. Namun, konjungtivitis akan sembuh lebih cepat dalam 1-3 hari apabila diobati dengan tepat. Sebaliknya, infeksi kronik membutuhkan terapi yang adekuat untuk dapat pulih. Infeksi staphylococcal dapat menimbulkan blefarokonjungtivitis. Kemudian, konjungtivitis gonococcal dapat menyebabkan ulkus kornea dan endoftalmitis jika tidak diobati. Oleh karena konjungtiva dapat menjadi port d’entry, maka septikemia dan meningitis menjadi komplikasi dari konjungtivitis meningococcal.1 6 B. KONJUNGTIVITIS VIRAL Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus. Adenovirus adalah penyebab tersering, sementara Herpes Simplex Virus merupakan etiologi yang paling membahayakan. Selain itu penyakit ini juga dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster, Picornavirus, Poxvirus, dan Human Immunodeficiency Virus. Transmisi terjadi melalui kontak dengan sekret respiratori, sekret okular, serta benda-benda yang menyebarkan virus (fomites) seperti handuk. Infeksi dapat muncul sporadik atau epidemik pada tempat ramai seperti sekolah, RS, atau kolam renang. 1 a) Tanda dan gejala Presentasi klinis yang muncul berbeda-beda tergantung agen penyebabnya. Namun pada umumnya konjungtivitis viral, mata akan sangat berair dengan eksudat minimal, disertai adenopati preaurikular atau radang tenggorokan dan demam. Vaughan membagi konjungtivitis ke dalam 3 kelompok sbb: 1. Konjungtivitis folikuler viral akut 1 a) Pharyngoconjunctival fever. Disebabkan oleh adenovirus tipe 3, 4, dan 7. Ditandai dengan demam 38 – 40 o C, nyeri tenggorokan, dan konjungtivitis folikuler pada satu atau kedua mata. Tanda lain dapat berupa injeksi, mata berair, limfadenopati preaurikular, atau keratitis epitelial superfisial. b) Epidemic keratoconjunctivitis. Disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, dan 29. Sering hanya muncul pada satu mata, atau bilateral dengan lesi salah satu mata akan lebih berat. Ditandai dengan injeksi, nyeri, mata berair, kemudian dalam 5 – 14 hari diikuit dengan fotofobia, keratitis epitelial, dan opasitas subepitelial. Tanda lain berupa nodul preaurikular, edema kelopak mata, kemosis, subkonjungtiva hiperemis, dan kadang pseudomembran dan symblepharon. Pada dewasa, infeksi ini hanya terbatas pada mata, sedangkan pada anak-anak gejala nyeri tenggorokan dan demam akan terlihat nyata. c) Herpes simplex virus conjungtivitis. Biasanya ditemukan pada anak-anak, ditandai dengan infeksi unilateral, iritasi, keluar sekret mukoid, nyeri, dan fotofobia ringan. Muncul pada infeksi primer HSV atau pada episode rekuren herpes okuler. Kadang disertai pula dengan keratitis herpes simplex. Bentuk konjungtivitis 7 berupa folikuler atau pseudomembran (jarang). Dapat pula muncul vesikel herpetik pada kelopak mata dan nyeri pada nodul preaurikuler. d) Acute hemorrhagic conjunctivitis. Disebabkan oleh enterovirus tipe 70 atau coxsackievirus tipe A24 (jarang). Penyakit ini memiliki masa inkubasi yang pendek 8 – 48 jam, dan perjalanan penyakit yang ringkas 5 – 7 hari. Tanda klinis berupa nyeri, fotofobia, sensasi benda asing, mata berair, mata merah, kelopak mata bengkak, perdarahan subkonjungtiva, kemosis. Disertai dengan limfadenopati preaurikular, folikel konjungtiva, dan keratitis epitelial. 2. Konjungtivitis folikuler viral kronik 1 Infeksi Molluscum contagiosum ditandai dengan konjungtivitis folikular unilateral kronik, keratitis superior, dan pannus superior. Lesi berbentuk nodul bulat, waxy, berwarna putih mutiara, dengan pusatnya bertangkai. Gambar . (A) Konjungtivitis folikular dengan lesi molluscum; (B) lesi molluscum pada konjungtiva bulbar; (C) lesi molluscum ekstensif pafa pasien HIV 5 8 3. Blefarokonjungtivitis viral 1 Infeksi oleh varicella dan herpes zoster, ditandai dengan konjungtivitis hiperemis, lesi erupsi vesikular sepanjang cabang optalmika dari nervus trigeminalis. Lesi berbentuk papil, kadang folikel, pseudomembran, dan vesikel. Lesi varicella dapat muncul pada kulit disekitar mata. Dengan demikian, presentasi klinis yang mungkin muncul pada konjungtivitis viral adalah sebagai berikut : 1. Oedema kelopak mata dan limfadenopati preaurikular, 2. Konjungtiva hiperemis dan muncul folikel, 3. Inflamasi berat dapat diasosiasikan dengan adanya perdarahan konjungtiva (umumnya ptekiae), chemosis, membran, dan pseudomembran 4. Adanya jaringan parut yang dapat timbul akibat resolusi pseudomembran atau membran 5. Uveitis anterior ringan, namun jarang terjadi b) Pemeriksaan Pada prinsipnya, diagnosis konjungtivitis viral ini dapat ditegakkan melalui anamnesa dan pemeriksaan oftalmologi, tanpa harus menggunakan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa, penting ditanyakan riwayat kontak dengan penderita konjungtivitis akut. Namun, bila meragukan etiologinya, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang dengan scrap konjungtiva dilanjutkan dengan pewarnaan giemsa. Pada infeksi adenovirus akan banyak ditemukan sel mononuklear. Sementara pada infeksi herpes akan ditemukan sel raksasa multinuklear. Badan inklusi intranuklear dari HSV dapat ditemukan pada sel konjungtiva dan kornea menggunakan metode fiksasi Bouin dan pewarnaan Papanicolau. Adapaun pemeriksaan yang lebih spesifik lagi antara lain amplifikasi DNA menggunakan PCR, kultur virus, serta imunokromatografi.1,5 9 Gambar . Keratokonjungtivitis adenoviral. (A) Konjungtivitis folikular, (B) pseudomembran, (C) residu jaringan parut, (D-F) keratitis 5 c) Komplikasi Konjungtivitis viral bisa berkembang menjadi kronis hingga menimbulkan blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya dapat berupa timbulnya pseudomembran, jaringan parut, keterlibatan kornea, serta muncul vesikel pada kulit. d) Tatalaksana 1,5 Mengurangi risiko transmisi o Menjaga kebersihan tangan, mencegah menggaruk mata o Tidak menggunakan handuk bersamaan o Disinfeksi alat-alat kedokteran setelah digunakan pada pasien yang terinfeksi menggunakan sodium hipoklorit, povidone-iodine Steroid topikal o Prednisolone 0,5% 4xsehari pada konjungtivitis psuedomembranosa atau membranosa 10 o Keratitis simtomatik steroid topikal lemah, hati-hati dalam penggunaan, gejala dapat muncul kembali karena steroid hanya menekan proses inflamasi. o Steroid dapat membantu replikasi virus dan memperlama periode infeksius pasien. o Harus monitoring tekanan intraokular jika penggunaan steroid diperpanjang Lainnya o Untuk infeksi varicella zoster, Acyclovir oral dosis tinggi (800 mg 5x sehari selama 10 hari) diberikan jika progresi memburuk. o Pada keratitis herpetik dapat diberikan acyclovir 3% salep 5x/hari, selama 10 hari, atau dengan acyclovir oral, 400 mg 5x/hari selama 7 hari. o Stop menggunakan lensa kontak o Artificial tears 4xsehari o Kompres hangat atau dingin o Insisi/pengankatan jaringan pseudomembran atau membran o Antibiotik topikal jika diduga ada infeksi bateri sekunder o Povidone-iodine o Jika sudah ada ulkus kornea, lakukan debridemant e) Prognosis Konjungtivitis virus merupakan penyakit limited disease, yang dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan khusus. Pada infeksi adenovirus, infeksi dapat hilang sempurna dalam 3 – 4 minggu, dan 2 – 3 minggu untuk HSV. Dan infeksi enterovirus tipe 70 atau coxsackievirus tipe A24 sembuh dalam 5 – 7 hari, tanpa butu tatalaksana khusus. 1 C. KONJUNGTIVITIS ALLERGIKA Merupakan bentuk alergi pada mata yang disebabkan oleh reaksi sistem imun pada konjungtiva. a) Tanda dan gejala Bervariasi untuk tiap kelompok. 1. Reaksi hipersensitivitas tipe cepat (humoral) 1 a. Hay fever conjunctivitis (pollens, grasses, animal danders, etc). 11 Merupakan inflamasi nonspesifik yang diasosiasikan dengan hay fever (rinitis alergika). Terdapat riwayat alergi pada pollen, rumput, atau bulu hewan sebelumnya. Mata akan gatal, berair, dan sangat merah. Jika alergern persisten, maka akan tampak gambaran konjungtivitis papiler. b. Vernal keratoconjunctivitis Dikatakan sebagai konjungtivitis musiman, yang penyebabkan kadang sulit untuk diketahui. Riwayat alergi sebelumnya kadang diketahui. Gejala berupa gatal dan keluar kotoran jernih yang kental. Tampakan dapat berupa konjungtivitis folikuler atau papiler yang besar-besar. c. Atopic keratoconjunctivitis Dimiliki pada pasien dengan dermatitis atopik. Gejala berupa sensasi panas terbakar dengan kotoran mukoid pada mata, mata merah, dan fotofobia. Papila koeratokonjungtivitis lebih kecil. d. Giant papillary conjunctivitis Gejala mirip konjungtivitis vernal yang berkembang pada pasien dengan penggunaan air mata artifisial dan lensa kontak. 2. Reaksi hipersensitivitas tipe lambat (seluler) 1 a. Phylctenulosis Disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada protein mikroba, termasuk basil tuberkulosis, spesies staphylococcus species, Candida albicans, Coccidioides immitis, Haemophilus aegyptius, dann Chlamydia trachomatis. Gejala diawali dengan lesi kecil, merah, tinggi, yang dikelilingi dengan zona hiperemi, terasa gatal dan mata berair. Pada limbus terdapat bentuk triangular dengan apex mengarah pada kornea yang dapat membuat ulkus. Biasanya dipicu dengan blefaritis, konjungtivitis bakterial akut, dan defisiensi diet. b. Konjungtivitis ringan sekunder akibat kontak dengan blepharitis Blefaritis kontak akubat atropine, antibiotik, neomycin, atau broad-spectrum antibioticsdiikuti dengan hiperemia, papiler, kotoran mukoid, dan iritasi. 3. Penyakit autoimun a. Keratoconjunctivitis sicca yang diasosiasikan dengan sindroma Sjögren Sinrom ini ditandai dengan triad: keratoconjunctivitis sicca, xerostomia, dan arthritis. Kelenjar lakrimal terinfiltrasi oleh limfosit dan sel plasma sehingga 12 rusak. Muncul gejala berupa konjungtiva bulbar hiperemis, iritasi, denngan kotoran mukoid, b. Cicatricial pemphigoid Diawali dengan konjungtivitis kronik nonspesifik yang resisten terhadap terapi. Progresi hingga membentuk scar pada fornix dan entropion dengan trichiasis. b) Pemeriksaan Pemeriksaan diarahkan pada anamnesis riwayat alergi dan tampilan klinis. Penggunaan metode scrapping dan melihat sel imun dibawah mikroskop dapat dilakukan, namun kurang efektif. Hanya pada konjungtivitis sicca, diagnosis dilakukan menggunakan biopsi dan menemukan infiltrasi sel limfositik dan plasma pada kelenjar saliva. 1 c) Komplikasi Komplikasi bergantung pada perjalanan dan lokasi penyakit. Jika konjungtivitis berlangsung kronik atau mengenai media refraksi, maka dapat meinggalkan jaringan parut yang akan mengganggu pandangan. 1 d) Tatalaksana Pada dasarnya terapi yang diberikan berupa terapi suportif pemberian vasokonstriktor-antihistamin topikal, kompres dingin untuk mengurangi gatal, antihistamin oral, dan steroid topikal untuk mengurangi infeksi. Pemberian steroid harus dengan hati-hati, karena hanya mensupresi gejala, bukan menyingkirkan penyebab utama. Pada pasien dengan kecurigaan infeksi sekunder bakteri, dapat diberikan antibiotik topikal. Sedangkan pada kasus-kasus akibat alergi dengan air mata artifisial atau lensa kontak, penanganan terbaik adalah menghentikan penggunaannya atau mengalihkan dengan jenis lain. Sedangkan pada konjungtivitis sicca, tatalaksana hanya berupa suportif, menggantikan fungsi kelenjar air mata yang hilang, menggunakan air mata artifisial. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah mengupayakan untuk menghindari kontak dengan alergen. 1 e) Prognosis 13 Konjungtivitis ini bersifat self limited, ketika alergen hilang, maka reaksi inflamasi diharapkan juga berhenti. Beberapa memiliki masa perjalanan penyakit yang pendek, namun ada pula yang berjalan kronik, tergantung dengan kapasitas sitem imun pasien. Penyakit ini banyak timbul pada usia anak, remaja, hingga dewasa. Pada sebagian kasus rekurensi berkurang jauh ketika meninjak usia tua, diatas 40 – 50 tahun. 1 Daftar Pustaka: 1. Ferrer FJG, Schwab IR, Shetlar DJ. Conjunctiva. In Vaughan and Asbury’s General Ophthalmology.16th ed. USA: Mc.Graw-Hill companies; 2007. 2. Lang GK. Conjunctiva. In Lang ophthalmology. New York: Thieme; 2000. 3. Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, Mielke J. Pocket atlas of ophthalmology. New York: Thieme; 2006. 4. Khurana AK. Comprehensive ophtalmology. 4th edition. New Delhi: New Age Publishers; 2007 5. Nischal, Pearson. Kanski Clinical Ophtalmology. 7th ed. [ebook]. Elsevier. 2011 14