MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU KESEHATAN MATA MAKALAH

advertisement
MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU KESEHATAN MATA
MAKALAH DISKUSI TOPIK KONJUNGTIVITIS
Disusun oleh :
Herliani Dwi Putri Halim
0906487820
Mellisya Ramadhany
0906487884
Narasumber :
dr. Lukman Edwar, SpM
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL DR CIPTO MANGUNKUSUMO
JAKARTA
MARET 2013
DEFINISI KONJUNGTIVITIS
Konjungtivitis adalah proses inflamasi akibat infeksi atau non-infeksi pada
konjungtiva yang ditandai dengan dilatasi vaskular, infiltrasi seluler, dan eksudasi.1,2
Berdasarkan waktu, konjungtivitis dibedakan menjadi:
1. Konjungtivitis akut: awitan terpisah yang diawali dengan inflamasi unilateral,
kemudian diikuti dengan inflamasi mata kedua seminggu kemudian. Lama sakit
adalah kurang dari empat minggu.
2. Konjungtivitis kronik: lama sakit lebih dari tiga sampai empat minggu.2
ETIOLOGI KONJUNGTIVITIS
Sama halnya dengan kornea, konjungtiva terpajan dengan lingkungan luar seperti
mikroorganisme dan faktor stress.1 Permukaan konjungtiva tidak steril karena dihuni oleh
flora normal. Untuk itu, terdapat mekanisme defensi alamiah seperti komponen aqueous yang
melarutkan agen infeksius, mukus yang menangkap debris, kedipan mata, perfusi yang baik,
dan aliran air mata yang membilas konjungtiva. Air mata sendiri mengandung antibodi dan
antibakterial yaitu immunoglobulin (IgA dan IgG), lisozim, dan interferon.1,3 Inflamasi dapat
terjadi dengan kontak langsung dengan patogen melalui tangan yang terkontaminasi, handuk,
atau kolam renang. Secara garis besar, penyebab konjungtivitis adalah endogen (noninfeksius) atau eksogen (infeksius).
Infeksius

Bakterial

Klamidia

Viral

Riketsia

Parasitik
Non-infeksius

Alergi

Autoimun

Toksik (kimia atau iritan)
2

Penyakit sistemik seperti sindrom Steven-Johnson

Iritasi persisten akibat produksi air mata yang kurang.2
EPIDEMIOLOGI KONJUNGTIVITIS
Konjungtivitis adalah penyakit mata paling sering di dunia yang dapat terjadi pada
berbagai usia.1 Akan tetapi, terdapat beberapa bentuk konjungtivitis tertentu yang terjadi pada
kelompok usia tertentu. Pada anak, sering terjadi keratokonjungtivitis vernal, sedangkan
keratokonjungtivitis atopik dan alergika sering terjadi pada dewasa muda.
Sekitar 1-3%
pengguna kontak lensa terkena konjungtivitis papiler raksasa dan 10% neonatus mengalami
konjungtivitis dengan berbagai penyebab. Konjungtivitis infeksius mengenai perempuan dan
laki-laki dengan insidens yang sama. Namun, konjungtivitis sicca lebih sering terjadi pada
perempuan. Sebaliknya, keratokonjungtivitis vernal dan konjungtivitis akibat kimia dan
mekanik lebih sering terjadi pada pria.2
Gejala dan Tanda Konjungtivitis
Umumnya, konjungtivitis mengenai kedua mata dengan derajat keparahan yang berbeda.
Gejala konjungtivitis adalah mata merah dengan produksi sekret yang berlebih sehingga mata
terasa lengket pada pagi hari setelah bangun tidur. Selain itu, pasien dapat mengalami sensasi
benda asing, terbakar, atau gatal, serta fotofobia.
Rasa nyeri yang muncul biasanya
menandakan kornea juga terkena. Gejala yang dirasakan oleh pasien dapat bervariasi. Oleh
karena itu, penting untuk mengenali tanda dari konjungtivitis berupa:

Hiperemia: mata tampak merah akibat dilatasi pembuluh darah. Jika tanpa disertai
infiltrasi seluler, menandai iritasi seperti angin, matahari, dan asap.

Epifora: lakrimasi yang berlebihan sebagai respons terhadap sensasi benda asing dan
iritan yang harus dibedakan dengan transudat. Transudat ringan yang timbul akibat
pelebaran pembuluh darah dapat bercampur dengan air mata.

Eksudasi: kuantitas dan sifat eksudar (mukoid, purulen, berair, atau berdarah)
bergantung dengan etiologi penyakit.

Pseudoptosis: jatuhnya kelopak bola mata karena infiltrasi pada otot Muller yang
dapat ditemukan pada konjungtivitis parah seperti keratokonjungtivitis trakoma.
3

Hipertrofi papiler: reaksi konjungtiva yang tidak spesifik berupa papil berukuran
kecil, halus, dan seperti beludru. Papil berwarna kemerahan pada infeksi bacterial,
sedangkan bentuk cobblestone ditemui pada konjungtivitis vernal.

Kemosis: pembengkakan konjungtiva yang sering ditemukan pada konjungtivitis
alergika, bakterial (konjungtivitis gonokokus), dan adenoviral.

Folikel: hiperplasia limfoid lokal konjungtiva yang terdiri dari sentrum germinativum
yang paling sering ditemukan pada infeksi virus. Selain infeksi virus, ditemui pula
pada infeksi parasit dan yang diinduksi oleh obat idoxuridine, dipivefrin, dan miotik.

Pseudomembran: terbentuk akibat proses eksudatif dimana epitel tetap intak ketika
pseudomembran dibuang.

Konjungtiva lignose: terbentuk pada pasien yang mengalami konjungtivitis
membranosa berulang.

Flikten: diawali dengan perivaskulitis limfositik yang kemudian berkembang menjadi
ulkus konjungtiva. Selain itu, flikten menandakan reaksi delayed hipersensitivitas
terhadap antigen microbial.

Limfadenopati preaurikular: pembesaran kelenjar getah bening yang dapat disertai
rasa nyeri pada infeksi akibat herpes simpleks, konjungtivitis inklusi, atau
trakoma.1,2,3
Tanda Konjungtvitis3
Mata tampak merah dengan dilatasi pembuluh darah konjungtiva yang difus (injeksi
konjungtiva).
4
A. KONJUNGTIVITIS BAKTERIAL
a) Tanda dan Gejala
Dua bentuk konjungtivitis bakterial adalah akut dan kronik. Konjungtivitis bacterial akut
(subakut) yang disebabkan oleh Haemophilus influenza bersifat self-limited dengan lama
sakit melebihi dua minggu (tanpa pengobatan) dan eksudat tipis, berair, serta flokulen.
Konjungtivitis purulen yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae atau Neisseria
meningitidis menyebabkan komplikasi yang serius jika tidak diobati dengan benar.
Konjungtivitis bilateral dengan eksudat purulen dan biasanya pembengkakan kelopak mata.
Umumnya, infeksi bersifat unilateral pada mulanya kemudian mengenai mata yang lain
melalui tangan. Konjungtivitis purulen yang banyak dapat disebabkan oleh N gonorrhoeae,
Neisseria kochii, dan N meningitides yang membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan
pengobatan segera. Penundaan dapat menyebabkan kerusakan kornea, kebutaan, dan sepsis.
Sedangkan konjungtivitis mukopurulen akut, penyebab tersering adalah
Streptococcus
pneumoniae.
Konjungtivitis kronik terjadi pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakriminal dan
dakriosistitis kronik. Disamping itu, blefaritis bacterial kronik atau disfungsi kelenjar meibom
juga dapat menyebabkan konjungtivitis kronik.1
b) Pemeriksaan Laboratorium
Sebagian besar diagnosis dapat ditegakkan dengan tanda dan gejala. Oleh karena itu,
pemeriksaan laboratorium dilakukan apabila konjungtivitis tidak responsif terhadap
antibitotik. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pewarnaan Gram untuk
mengidentifikasi
mikroorganisme
penyebab.
Pewarnaan
Giemsa
bertujuan
untuk
mengidentifikasi tipe sel dan morfologi. Kerokan konjungtiva dan kultur dianjurkan apabila
terdapat sekret purulen, membranosa, atau pseudomembranosa. 1,2
c) Komplikasi
Pada infeksi staphylococcal dapat terbentuk blefaritis marginal kronik. Selain itu,
konjungtivitis pseudomembranosa dan membranosa akan menimbulkan sikatriks dalam
proses penyembuhan, dan lebih jarang menyebabkan ulkus kornea. Ulkus kornea marginal
mempermudah infeksi N gonorrhoeae, N kochii, N meningitidis, H aegyptius, S aureus, dan
M catarrhalis. Apabila produk toksik N gonorrhoeae menyebar pada bilik mata depan, akan
terjadi iritis toksik.1
5
d) Pengobatan
Terapi empiris didahulukan sebelum hasil tes sensitivitas antibiotik tersedia. Adapun terapi
empiris yang dapat diberikan adalah Polytrim dalam bentuk topical. Sediaan topikal yang
diberikan dalam bentuk salep atau tetes mata adalah seperti gentamisin, tobramisin,
aureomisin, kloramfenikol, polimiksin B kombinasi dengan basitrasin dan neomisis,
kanamisis, asam fusidat, ofloksasin, dan asidamfenikol. Kombinasi pengobatan antibiotik
spektrum luas dengan deksametason atau hidrokortison dapat mengurangi keluhan yang
dialami oleh pasien lebih cepat.1,2
Namun, apabila hasil mikroskopik menunjukkan bakteri gram-negatif diplokokus seperti
neisseria, maka terapi sistemik dan topikal harus diberikan secepatnya. Seftriakson 1 g, dosis
tunggal intramuscular, diberikan apabila tidak mengenai kornea. Jika ada keterlibatan kornea,
maka diberikan seftriakson 1-2 g/hari secara parenteral selama 5 hari. Pemberian obat
tersebut diikuti dengan doksisiklin 100 mg dua kali sehari atau eritromisin 500 mg empat kali
sehari selama 1 minggu. Pada konjungtivitis kataral kronik, diberikan antibiotik topikal
seperti kloramfenikol atau gentamisin diberikan 3-4 kali/ hari selama dua minggu untuk
mengeliminasi infeksi kronik.1,4
Selain itu, eksudat dibilas dengan larutan saline pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen
akut. Untuk mencegah penyebaran penyakit, pasien dan keluarga diedukasi untuk
memerhatikan kebersihan diri.1,2
e) Prognosis
Konjungtivitis bacterial akut dapat sembuh sendiri dalam 10-14 hari tanpa pengobatan.
Namun, konjungtivitis akan sembuh lebih cepat dalam 1-3 hari apabila diobati dengan tepat.
Sebaliknya, infeksi kronik membutuhkan terapi yang adekuat untuk dapat pulih. Infeksi
staphylococcal
dapat
menimbulkan
blefarokonjungtivitis.
Kemudian,
konjungtivitis
gonococcal dapat menyebabkan ulkus kornea dan endoftalmitis jika tidak diobati. Oleh
karena konjungtiva dapat menjadi port d’entry, maka septikemia dan meningitis menjadi
komplikasi dari konjungtivitis meningococcal.1
6
B. KONJUNGTIVITIS VIRAL
Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus. Adenovirus adalah
penyebab tersering, sementara Herpes Simplex Virus merupakan etiologi yang paling
membahayakan. Selain itu penyakit ini juga dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster,
Picornavirus, Poxvirus, dan Human Immunodeficiency Virus. Transmisi terjadi melalui
kontak dengan sekret respiratori, sekret okular, serta benda-benda yang menyebarkan virus
(fomites) seperti handuk. Infeksi dapat muncul sporadik atau epidemik pada tempat ramai
seperti sekolah, RS, atau kolam renang. 1
a) Tanda dan gejala
Presentasi klinis yang muncul berbeda-beda tergantung agen penyebabnya. Namun
pada umumnya konjungtivitis viral, mata akan sangat berair dengan eksudat minimal,
disertai adenopati preaurikular atau radang tenggorokan dan demam. Vaughan membagi
konjungtivitis ke dalam 3 kelompok sbb:
1. Konjungtivitis folikuler viral akut 1
a) Pharyngoconjunctival fever. Disebabkan oleh adenovirus tipe 3, 4, dan 7. Ditandai
dengan demam 38 – 40 o C, nyeri tenggorokan, dan konjungtivitis folikuler pada
satu atau kedua mata. Tanda lain dapat berupa injeksi, mata berair, limfadenopati
preaurikular, atau keratitis epitelial superfisial.
b) Epidemic keratoconjunctivitis. Disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, dan 29.
Sering hanya muncul pada satu mata, atau bilateral dengan lesi salah satu mata
akan lebih berat. Ditandai dengan injeksi, nyeri, mata berair, kemudian dalam 5 –
14 hari diikuit dengan fotofobia, keratitis epitelial, dan opasitas subepitelial.
Tanda lain berupa nodul preaurikular, edema kelopak mata, kemosis,
subkonjungtiva hiperemis, dan kadang pseudomembran dan symblepharon. Pada
dewasa, infeksi ini hanya terbatas pada mata, sedangkan pada anak-anak gejala
nyeri tenggorokan dan demam akan terlihat nyata.
c) Herpes simplex virus conjungtivitis. Biasanya ditemukan pada anak-anak, ditandai
dengan infeksi unilateral, iritasi, keluar sekret mukoid, nyeri, dan fotofobia ringan.
Muncul pada infeksi primer HSV atau pada episode rekuren herpes okuler.
Kadang disertai pula dengan keratitis herpes simplex. Bentuk konjungtivitis
7
berupa folikuler atau pseudomembran (jarang). Dapat pula muncul vesikel
herpetik pada kelopak mata dan nyeri pada nodul preaurikuler.
d) Acute hemorrhagic conjunctivitis. Disebabkan oleh enterovirus tipe 70 atau
coxsackievirus tipe A24 (jarang). Penyakit ini memiliki masa inkubasi yang
pendek 8 – 48 jam, dan perjalanan penyakit yang ringkas 5 – 7 hari. Tanda klinis
berupa nyeri, fotofobia, sensasi benda asing, mata berair, mata merah, kelopak
mata
bengkak,
perdarahan
subkonjungtiva,
kemosis.
Disertai
dengan
limfadenopati preaurikular, folikel konjungtiva, dan keratitis epitelial.
2. Konjungtivitis folikuler viral kronik 1
Infeksi Molluscum contagiosum ditandai dengan konjungtivitis folikular unilateral
kronik, keratitis superior, dan pannus superior. Lesi berbentuk nodul bulat, waxy,
berwarna putih mutiara, dengan pusatnya bertangkai.
Gambar . (A) Konjungtivitis folikular dengan lesi molluscum; (B) lesi molluscum pada
konjungtiva bulbar; (C) lesi molluscum ekstensif pafa pasien HIV 5
8
3. Blefarokonjungtivitis viral 1
Infeksi oleh varicella dan herpes zoster, ditandai dengan konjungtivitis hiperemis, lesi
erupsi vesikular sepanjang cabang optalmika dari nervus trigeminalis. Lesi berbentuk
papil, kadang folikel, pseudomembran, dan vesikel. Lesi varicella dapat muncul pada
kulit disekitar mata.
Dengan demikian, presentasi klinis yang mungkin muncul pada konjungtivitis viral
adalah sebagai berikut :
1. Oedema kelopak mata dan limfadenopati preaurikular,
2. Konjungtiva hiperemis dan muncul folikel,
3. Inflamasi berat dapat diasosiasikan dengan adanya perdarahan konjungtiva
(umumnya ptekiae), chemosis, membran, dan pseudomembran
4. Adanya jaringan parut yang dapat timbul akibat resolusi pseudomembran atau
membran
5. Uveitis anterior ringan, namun jarang terjadi
b) Pemeriksaan
Pada prinsipnya, diagnosis konjungtivitis viral ini dapat ditegakkan melalui
anamnesa dan pemeriksaan oftalmologi, tanpa harus menggunakan pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesa, penting ditanyakan riwayat kontak dengan penderita
konjungtivitis akut.
Namun, bila meragukan etiologinya, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
dengan scrap konjungtiva dilanjutkan dengan pewarnaan giemsa. Pada infeksi
adenovirus akan banyak ditemukan sel mononuklear. Sementara pada infeksi herpes
akan ditemukan sel raksasa multinuklear. Badan inklusi intranuklear dari HSV dapat
ditemukan pada sel konjungtiva dan kornea menggunakan metode fiksasi Bouin dan
pewarnaan Papanicolau. Adapaun pemeriksaan yang lebih spesifik lagi antara lain
amplifikasi DNA menggunakan PCR, kultur virus, serta imunokromatografi.1,5
9
Gambar . Keratokonjungtivitis adenoviral. (A) Konjungtivitis folikular, (B)
pseudomembran, (C) residu jaringan parut, (D-F) keratitis 5
c) Komplikasi
Konjungtivitis viral bisa berkembang menjadi kronis hingga menimbulkan
blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya dapat berupa timbulnya pseudomembran,
jaringan parut, keterlibatan kornea, serta muncul vesikel pada kulit.
d) Tatalaksana 1,5

Mengurangi risiko transmisi
o Menjaga kebersihan tangan, mencegah menggaruk mata
o Tidak menggunakan handuk bersamaan
o Disinfeksi alat-alat kedokteran setelah digunakan pada pasien yang terinfeksi
menggunakan sodium hipoklorit, povidone-iodine

Steroid topikal
o Prednisolone 0,5% 4xsehari  pada konjungtivitis psuedomembranosa atau
membranosa
10
o Keratitis simtomatik  steroid topikal lemah, hati-hati dalam penggunaan,
gejala dapat muncul kembali karena steroid hanya menekan proses inflamasi.
o Steroid dapat membantu replikasi virus dan memperlama periode infeksius
pasien.
o Harus monitoring tekanan intraokular jika penggunaan steroid diperpanjang

Lainnya
o Untuk infeksi varicella zoster, Acyclovir oral dosis tinggi (800 mg 5x sehari
selama 10 hari) diberikan jika progresi memburuk.
o Pada keratitis herpetik dapat diberikan acyclovir 3% salep 5x/hari, selama 10
hari, atau dengan acyclovir oral, 400 mg 5x/hari selama 7 hari.
o Stop menggunakan lensa kontak
o Artificial tears 4xsehari
o Kompres hangat atau dingin
o Insisi/pengankatan jaringan pseudomembran atau membran
o Antibiotik topikal jika diduga ada infeksi bateri sekunder
o Povidone-iodine
o Jika sudah ada ulkus kornea, lakukan debridemant
e) Prognosis
Konjungtivitis virus merupakan penyakit limited disease, yang dapat sembuh dengan
sendirinya tanpa pengobatan khusus. Pada infeksi adenovirus, infeksi dapat hilang
sempurna dalam 3 – 4 minggu, dan 2 – 3 minggu untuk HSV. Dan infeksi enterovirus
tipe 70 atau coxsackievirus tipe A24  sembuh dalam 5 – 7 hari, tanpa butu
tatalaksana khusus. 1
C. KONJUNGTIVITIS ALLERGIKA
Merupakan bentuk alergi pada mata yang disebabkan oleh reaksi sistem imun pada
konjungtiva.
a) Tanda dan gejala
Bervariasi untuk tiap kelompok.
1. Reaksi hipersensitivitas tipe cepat (humoral) 1
a. Hay fever conjunctivitis (pollens, grasses, animal danders, etc).
11
Merupakan inflamasi nonspesifik yang diasosiasikan dengan hay fever (rinitis
alergika). Terdapat riwayat alergi pada pollen, rumput, atau bulu hewan
sebelumnya. Mata akan gatal, berair, dan sangat merah. Jika alergern
persisten, maka akan tampak gambaran konjungtivitis papiler.
b. Vernal keratoconjunctivitis
Dikatakan sebagai konjungtivitis musiman, yang penyebabkan kadang sulit
untuk diketahui. Riwayat alergi sebelumnya kadang diketahui. Gejala berupa
gatal dan keluar kotoran jernih yang kental. Tampakan dapat berupa
konjungtivitis folikuler atau papiler yang besar-besar.
c. Atopic keratoconjunctivitis
Dimiliki pada pasien dengan dermatitis atopik. Gejala berupa sensasi panas
terbakar dengan kotoran mukoid pada mata, mata merah, dan fotofobia. Papila
koeratokonjungtivitis lebih kecil.
d. Giant papillary conjunctivitis
Gejala mirip konjungtivitis vernal yang berkembang pada pasien dengan
penggunaan air mata artifisial dan lensa kontak.
2. Reaksi hipersensitivitas tipe lambat (seluler)
1
a. Phylctenulosis
Disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada protein mikroba,
termasuk basil tuberkulosis, spesies staphylococcus species, Candida albicans,
Coccidioides immitis, Haemophilus aegyptius, dann Chlamydia trachomatis.
Gejala diawali dengan lesi kecil, merah, tinggi, yang dikelilingi dengan zona
hiperemi, terasa gatal dan mata berair. Pada limbus terdapat bentuk triangular
dengan apex mengarah pada kornea yang dapat membuat ulkus. Biasanya
dipicu dengan blefaritis, konjungtivitis bakterial akut, dan defisiensi diet.
b. Konjungtivitis ringan sekunder akibat kontak dengan blepharitis
Blefaritis kontak akubat atropine, antibiotik, neomycin, atau broad-spectrum
antibioticsdiikuti dengan hiperemia, papiler, kotoran mukoid, dan iritasi.
3. Penyakit autoimun
a. Keratoconjunctivitis sicca yang diasosiasikan dengan sindroma Sjögren
Sinrom ini ditandai dengan triad: keratoconjunctivitis sicca, xerostomia, dan
arthritis. Kelenjar lakrimal terinfiltrasi oleh limfosit dan sel plasma sehingga
12
rusak. Muncul gejala berupa konjungtiva bulbar hiperemis, iritasi, denngan
kotoran mukoid,
b. Cicatricial pemphigoid
Diawali dengan konjungtivitis kronik nonspesifik yang resisten terhadap
terapi. Progresi hingga membentuk scar pada fornix dan entropion dengan
trichiasis.
b) Pemeriksaan
Pemeriksaan diarahkan pada anamnesis riwayat alergi dan tampilan klinis.
Penggunaan metode scrapping dan melihat sel imun dibawah mikroskop dapat
dilakukan, namun kurang efektif. Hanya pada konjungtivitis sicca, diagnosis
dilakukan menggunakan biopsi dan menemukan infiltrasi sel limfositik dan plasma
pada kelenjar saliva. 1
c) Komplikasi
Komplikasi bergantung pada perjalanan dan lokasi penyakit. Jika konjungtivitis
berlangsung kronik atau mengenai media refraksi, maka dapat meinggalkan jaringan
parut yang akan mengganggu pandangan. 1
d) Tatalaksana
Pada dasarnya terapi yang diberikan berupa terapi suportif pemberian
vasokonstriktor-antihistamin topikal, kompres dingin untuk mengurangi gatal,
antihistamin oral, dan steroid topikal untuk mengurangi infeksi. Pemberian steroid
harus dengan hati-hati, karena hanya mensupresi gejala, bukan menyingkirkan
penyebab utama. Pada pasien dengan kecurigaan infeksi sekunder bakteri, dapat
diberikan antibiotik topikal. Sedangkan pada kasus-kasus akibat alergi dengan air
mata artifisial atau lensa kontak, penanganan terbaik adalah menghentikan
penggunaannya atau mengalihkan dengan jenis lain. Sedangkan pada konjungtivitis
sicca, tatalaksana hanya berupa suportif, menggantikan fungsi kelenjar air mata yang
hilang, menggunakan air mata artifisial. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah
mengupayakan untuk menghindari kontak dengan alergen. 1
e) Prognosis
13
Konjungtivitis ini bersifat self limited, ketika alergen hilang, maka reaksi inflamasi
diharapkan juga berhenti. Beberapa memiliki masa perjalanan penyakit yang pendek,
namun ada pula yang berjalan kronik, tergantung dengan kapasitas sitem imun pasien.
Penyakit ini banyak timbul pada usia anak, remaja, hingga dewasa. Pada sebagian
kasus rekurensi berkurang jauh ketika meninjak usia tua, diatas 40 – 50 tahun. 1
Daftar Pustaka:
1. Ferrer FJG, Schwab IR, Shetlar DJ. Conjunctiva. In Vaughan and Asbury’s General
Ophthalmology.16th ed. USA: Mc.Graw-Hill companies; 2007.
2. Lang GK. Conjunctiva. In Lang ophthalmology. New York: Thieme; 2000.
3. Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, Mielke J. Pocket atlas of ophthalmology. New
York: Thieme; 2006.
4. Khurana AK. Comprehensive ophtalmology. 4th edition. New Delhi: New Age
Publishers; 2007
5. Nischal, Pearson. Kanski Clinical Ophtalmology. 7th ed. [ebook]. Elsevier. 2011
14
Download