BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara politik di era modern dewasa ini dalam lingkup Ilmu Hubungan Internasional, tidak lagi hanya membicarakan aspek power dalam kaitan pendominasian suatu negara terhadap negara lain. Aktor atau pelaku politik juga tidak lagi terbatas dilakukan oleh negara/state saja. Menariknya pula, politik juga telah memberikan ruang, bukan hanya kepada kaum lakilaki, tetapi juga kepada kaum perempuan. Pencapaian ini bukan berarti tanpa perjuangan, melainkan melalui pergerakan-pergerakan politik yang pada akhirnya dapat diterima oleh pemerintah. Perjuangan politik kaum perempuan di berbagai negara melalui proses yang berbeda-beda dan mendapatkan respon yang berbeda-beda pula. Hal ini tergantung dari ideologi negara tersebut. Negara-negara Barat atau negara maju cenderung lebih cepat menerima perjuangan perempuan dibandingkan negara-negara miskin, terlebih lagi negara-negara Islam yang sangat kaku terhadap memberikan peraturan terhadap keberadaan kaum perempuan. Negara Iran menjadi salah satu negara Islam yang cukup berbeda dari negaranegara Islam lainnya dalam memandang perempuan. Kaum perempuan adalah salah satu kekuatan masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengisi kemerdekaan 1 bangsa untuk mewujudkan sistem kehidupan dalam internal suatu negara itu sendiri maupun secara global, yang semakin memberikan penekanan pada aspek demokratisasi, perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup, serta supremasi sipil. Gerakan perempuan atau lebih dikenal sebagai gerakan gender sebagai gerakan politik sebenarnya berakar pada suatu gerakan yang dalam akhir abad ke -19 di berbagai negara Barat dikenal sebagai gerakan “suffrage”, yaitu suatu gerakan untuk memajukan perempuan baik di sisi kondisi kehidupannya maupun mengenai status dan perannya. Inti dari perjuangan mereka adalah bahwa mereka menyadari bahwa di dalam masyarakat ada satu golongan manusia yang belum banyak terpikirkan nasibnya. Golongan tersebut adalah kaum perempuan.1 Stereotipe peran seksual yang ada, mengatakan bahwa politik adalah dunia laki-laki. Politik selamanya selalu dikaitkan dengan maskulinitas, sesuatu yang bertentangan dengan feminitas.2 Pernyataan ini jika dikaitkan dengan perempuan dalam politik dikatakan sebagai dua sisi mata uang logam yang saling bertentangan. Hal ini disebabkan karena telah dibentuk oleh budaya masing-masing negara yang menekankan kedudukan perempuan dalam lingkungan keluarga sedangkan politik yang selalu berkaitan dengan “power” dikaitkan dengan laki-laki. Betapapun pada perkembangannya ke 1 Saparinah Sadli, Pengantar Tentang Kajian Wanita, dalam T.O Ihromi (ed.) Kajian Wanita Dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, jakarta, 1995, hal.14 2 Kirk Patrick, Partisipasi Politik Kaum Wanita, Jurnal Universitas Brawijaya, PT. Danur Wijaya Press, Surabaya, 1994, hal. 76 2 depan, ketika aktifitas perempuan dalam dunia politik mulai tampak, namun peranan mereka masih sangat terbatas baik secara kuantitatif yang akhirnya berdampak pada penentuan kualitas perempuan dalam politik. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila padaa level-level yang tinggi, seperti organisasi politik maupun jabatan tertinggi di kalangan pemerintahan, dimana keputusan dan kebijakan dibuat, terlihat jumlah perempuan sangat sedikit, itulah yang dikemukakan Almond seperti yang dikutip Patrick, mengatakan bahwa tingkat partisipasi politik kaum perempuan adalah rendah.3 Mendekati akhir abad ke ke-20, lebih dari 95% negara di dunia menjamin dua hak demokratik perempuan yang paling mendasar (fundamental), hak memilih (right to vote) dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan (right to stand for election).4 Negara Iran mengakui kedua hak tersebut pada tahun 19635 melalui Revolusi besar-besaran pasca berakhirnya kedudukan Shah. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, tetap saja kaum perempuan menjadi makhluk yaang termarginalkan dalam kaum politik, menjadi bagian yang tersubordinasikan dalam dunia politik seperti yang terjadi di hampir seluruh negara-negara Islam. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mengapa begitu banyak muncul feminin-feminis di negara-negara Asia dan negara-negara Arab yang lain, jawabannya adalah karena begitu banyak ketidakadilan gender (gender inequality) yang mereka alami yang kesemuanya itu disebabkan oleh politisasi 3 Ibid, hal. 77 Ibid, hal. 78 5 Lampiran I 4 3 agama yang melahirkan aturan-aturan yang tidak adil serta budaya patriarkal yang sangat kental di negara-negara mereka.6 Meskipun analisis mengenai gerakan gender bukan merupakan hal yang baru, namun minat sebagian besar masyarakat untuk tahu mengenai gerakan gender dan permasalahannya masih cenderung sedikit bahkan timbul salah pengertian dan salah duga mengenai gerakan ini dan mengertikannya sebagai sebuah gerakan yang progresif dan radikal. Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan gender amat kompleks dan rumit. Perlunya penegasan pemisahan pemahaman akan gerakan gender sebagai gerakan politik dan kajian wanita sebagai kegiatan akademik sangat urgen urgen untuk memahami permasalahan yang sebenarnya. Persoalannya adalah bagaimana menfokuskan penelitian pada apa yang diperjuangkan dan kawasan mana yang dianggap mewakili permasalahan secara keseluruhan. Meski pada kenyataannya feminisme atau gerakan gender lahir di Barat, namun tidak berarti bahwa gagasan-gagasan mereka dianggap tidak relevan bagi negara-negara Islam. Hal ini didasarkan pada pemahaman karena suatu gagasan tidak dapat dibatasi dalam batas-batas bangsa maupun geografi.7 Bagaimanapun juga, ketika istilah feminisme dan gender bersifat asing, konsep sesungguhnya mengungkapkan suatu transformasi. Jadi hal ini dapat menjelaskan bahwa feminisme tidak dimasukkan secara paksa. Feminisme 6 Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita ! : Peran Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim, Mizan, Bandung, 1999, hal.145 7 Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok mengenai Feminisme dan Relevansinya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995 : hal. 10 4 serta perjuangan feminis muncul di banyak negara disebabkan karena muncul suatu kesadaran tentang hak-hak demokrasi serta ketidakadilan yang semakin menyentuh hak-hak separuh dari penduduknya, dalam hal ini kaum perempuan. Pada kenyataannya, kesadaran feminisme ini muncul selama kurun sejarah tertentu ketka kesadaran politik memuncak, selama perjuanganperjuangan melawan despotisme lokal dari para penguasa feodal. Hak politik juga menjadi dasar yang paling penting mendorong terjadinya gerakan berbasis gender yang membawa issue kepentingan perempuan di dalamnya. Hak politik setiap manusia (laki-laki maupun perempuan) telah diatur dalam Universal Declaration of Human Rights, yaitu pada pasal 19, 20, dan 21 dengan rincian sebagai berikut 8: Pasal 19 Setiap individu berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batasbatas (wilayah). Pasal 20 1. Setiap individu mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai. 2. Tidak seorangpun boleh dipaksa untuk memasuki sesuatu perkumpulan. Pasal 21 1. Setiap individu berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas. 8 Muhammad Ali Taskhiri, Human Rights, A Study Of The Universal and The Islamic Declarations Of Human Rights, Department of Translation and Publication, Islamic Culture and Relations Organization, 1997 : hal. 44 dan 45 5 2. Setiap individu berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya. 3. Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan yang tidak membeda-bedakan, dan dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang menjamin kebebasan memberikan suara. Negara Iran adalah negara yang menjadi salah satu negara Islam yang cukup berbeda dari negara-negara Islam lainnya dalam memandang perempuan pasca Revolusi. Revolusi Islam Iran ini melahirkan konfigurasi yang khas antara negara Iran dan Institusi Islam, bahkan revolusi ini merupakan sebuah peristiwa terbesar dalam sejarah masyarakat Iran. Revolusi tersebut menandai puncak pergolakan politik antara penguasa Iran dan kelompok ulama yang telah berlangsung lama, akibatnya terjadi perubahan yang fundamental dalam sistem ketatanegaraan Iran yang berpengaruh terhadap sistem pemerintahan Iran sekarang, dimana Negara Iran akhirnya berkiblat pada Syariah Islam sebagai konstitusi negara. Selain masalah politik kenegaraan, syariat Islam yang mengatur UndangUndang Republik Islam Iran, juga berbicara tentang hak dan kewajiban kaum perempuan di dalam negara. Pengakuan atas hak dan martabat perempuan di Iran sudah ada sejak Konstitusi/UUD Republik Islam Iran pertama kali dibahas dan dirumuskan oleh para ulama yang tergabung dalam Majelis-eKhubregan. Meskipun hanya satu ulama perempuan yang tergabung dalam majelis tersebut, UUD yang dihasilkan sangat respek terhadap kepentingan 6 perempuan. Dalam Pembukaan UUD RII terdapat dua paragraf yang khusus berbicara tentang perempuan, yang intinya menyebutkan, kewajiban pemerintah memberikan penambahan (proporsi) yang besar atas penunaian hak-hak kaum perempuan yang pada rezim sebelumnya menderita opresi yang besar. Sedangkan dalam tubuh UUD RII terdapat dua pasal khusus yang berkaitan dengan perempuan, yaitu pasal 20 dan 21. Pasal 20 membahas kesetaraan di hadapan hukum. Di pasal ini tertulis, “Semua warga negara, baik laik-laki maupun perempuan, secara setara menerima perlindungan hukum dan memiliki semua hak kemanusiaan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang sesuai dengan kriteria Islam”. 9 Sedangkan pasal 21 membahas khusus tentang hak-hak perempuan. Pemerintah harus menjamin hak perempuan, yang sesuai dengan kriteria Islam, dan mewujudkan tujuan-tujuan di bawah ini: 1) menciptakan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan kepribadian perempuan dan pengembalian hak-hak mereka, baik material maupun intelektual; 2) perlindungan terhadap para ibu, terutama pada masa kehamilan dan pengasuhan anak, dan perlindungan terhadap anak-anak yatim; 3) membentuk pengadilan yang berkompeten untuk melindungi keluarga; 4) menyediakan asuransi khusus untuk janda, perempuan tua, dan perempuan tanpa pelindung; 9 RIMA (Review of Indonesian and Malaysian Affairs) http://www.rimanews.com/read/20101101/4667/kedudukan-perempuan-dalam-konstitusiiran, diakses hari Selasa, 29 Maret 2011 pukul 15.33 WITA 7 5) memberikan hak pengasuhan kepada ibu angkat untuk melindungi kepentingan anak ketika tidak ada pelindung legal.10 UU Republik Islam Iran mengatur dengan sangat idealnya posisi perempuan dan hak-hak yang dapat mereka dapatkan baik dalam tatanan sosial maupun politik. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi Iran pra Revolusi 1979. Sebelum revolusi, perempuan Iran bukan hanya dipandang sebagai alat reproduksi serta disalahgunakan, tapi dari sisi pemikiran mereka juga tertawan oleh budaya asing. Perempuan Iran sebelum revolusi adalah kaum yang konvensional dengan pemikiran yang terbelakang. Paradigma lama memposisikan wanita sebagai harta yang dimiliki pria, yang menempatkan posisi pria lebih tinggi daripada wanita. Akibatnya, hanya kaum pria yang dapat memiliki kekuasaan dalam berbagai bidang, sementara wanita dianggap tidak cocok untuk terjun dan mempunyai peranan dalam berbagai bidang di masyarakat. Perubahan kedudukan perempuan sebelum revolusi dan setelah revolusi menjadi alasan ketertarikan penulis untuk menganalisis perjuangan pergerakan perempuan di Iran ke dalam skripsi berjudul “Perjuangan Politik Kaum Perempuan di Iran : Kendala dan Prospeknya” B. Batasan dan Rumusan Masalah Judul yang dipilih penulis berfokus pada perjuangan politik yang dilakukan kaum perempuan Iran dimana permasalahan yang terjadi adalah 10 Ibid, paragraph 8 8 permasalahan yang hampir di semua negara-negara Islam mengalaminya, yaitu adanya pengakuan akan eksistensi kaum perempuan namun dalam pengaplikasiannya masih termarginalkan. Masalah yang terjadi adalah hampir semua negara Islam mempunyai persoalan umum yang sama seperti patriarki, subordinasi perempuan, persepsi dari public domain yang telah melekat pada laki-laki dan bahwa kontrak sosial adalah mengenai hubungan antara lakilaki dan pemerintahan dan bukan warga negara (laki-laki dan perempuan) dengan pemerintahan, yang kesemuanya itu menjadikan perempuan terpinggirkan meskipun hak-haknya dijamin oleh hukum dan retorika politik pemerintahan yang baik. Di banyak negara Islam, perempuan terus mengalami kesulitan dalam memperoleh hak pilih akibat adanya kendala-kendala kultural, agama, patriarki, dan ekonomi. Bahkan dalam mengenyam pendidikanpun, perempuan sering terpinggirkan. Di lain pihak, ketika perempuan berada dalam lembaga pemerintahan, pun akan tetap menghadapi kendala-kendala baru yaitu pembatasan kapasitas untuk mengambil peran, serta anggapananggapan yang bersifat mendiskreditkan perempuan tanpa melihat kualitas dan kinerja dari mereka. Berdasarkan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini akan diarahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana gerakan perempuan terhadap perjuangan hak-hak politik kaum perempuan di Iran ? 9 2. Bagaimana kendala dan prospek perjuangan politik perempuan di Iran ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian C.1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1) Untuk mengetahui gerakan politik kaum perempuan di Iran. 2) Untuk mengetahui kendala dan prospek perjuangan politik perempuan di Iran. C.2 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah : 1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan menjadi bahan kajian bagi pengembangan studi Hubungan Internasional di masa mendatang, khususnya bagi pemerhati kaum perempuan dan yang tertarik untuk menganalisis pergerakan kaum feminis di masa yang akan datang. 2) Penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak dan para pengambil kebijakan. D. Kerangka Konseptual Sebelum abad ke-19, kehidupan kaum perempuan terpuruk dan dianggap sebagai kaum terpinggirkan oleh sekelompok masyarakat dan 10 pemerintah dalam berbagai kebijakannya. Perempuan adalah sosok lemah yang tidak bebas karena pada dasarnya masyarakat telah mencitrakan perempuan sebagai bangsa kelas kedua di bawah kedudukan kaum laki-laki. Perempuan merupakan kaum yang tidak dapat meraih hak-hak politiknya karena tidak adanya ruang yang terbuka untuk kaum perempuan dalam berpolitik. Berawal dari Dunia Barat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, perempuan telah mulai diberikan ruang bernafas sehingga mampu menaikkan posisinya dan sobordinatnya di berbagai bidang, termasuk politik. Munculnya perempuan dalam panggung politik merupakan suatu hal yang masih merupakan hal baru yang kehadirannya bukan didukung oleh objektivitas masyarakat, apalagi historical dari negara masing-masing. Melainkan sangat terkait dengan kesadaran kaum perempuan itu sendiri untuk melepaskan diri dari diskriminasi yang melecehkan keberadaan kaum perempuan dalam politik. Fenomena tersebut diungkap oleh Naisbitt dan Aburdane dalam bukunya Mega Trend 2000 11 yang secara gamblang mengatakan bahwa dunia memperlihatkan adanya gelombang perubahan yang menyebabkan hadirnya apa yang disebut dasawarsa perempuan. Perempuan telah memegang tampuk kekuasaan di masing-masing negara mereka. Hal ini disebabkan karena terjadinya pergeseran peran sosial perempuan. Perempuan 11 Ariwibowo dan Muhammad Asfar, Potret Politisi Wanita,Airlangga University Press, Surabaya, 1996, hal. 124 11 tidak saja menjalankan tugas-tugas kewanitaannya, namun sudah mulai memasuki pekerjaan atau profesi yang digeluti dunia laki-laki, termasuk dunia politik. Bentuk masyarakat yang demokratis, maka akselerasi pembangunan politik yang kian meluas dan semakin transparan, akan mendorong perubahan sikap dan nilai seseorang dalam memandang persamaan hak. Tetapi ketika perempuan menuntut hak politiknya, masyarakat awam melihat sesuatu itu merupakan gerakan radikal untuk mencari perhatian. Anggapan ini dibentuk oleh struktur sosial yang diciptakan di tengah-tengah masyarakat. Pada umumnya, masyarakat memandang dunia politik sebagai dunia yang intinya berbicara tentang kekuasaan, “struggle for power”, yang akibatnya mengisyaratkan bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki. Inilah yang mengakibatkan termarginalisasinya perempuan karena adanya streotipe yang kuat dalam pikiran masyarakat. Sementara itu, sikap seseorang dalam menghadapi masalah-masalah politik tidak selalu sama satu sama lain, meskipun bergabung dalam organisasi yang sama misalnya. Alter 12 mengatakan bahwa acapkali sikap politik seseorang itu tersebar menurut garis-garis pekerjaan, kepentingankepentingan setempat dan garis-garis lain yang secara kultural berbeda. Sikap politik perempuan dalam hal ini akan mempengaruhi besar tidaknya partisipasi mereka. 12 Ibid, hal. 124 12 Perempuan, individu, atau kelompok yang terlibat dalam kegiatan politik juga dipengaruhi oleh apirasi politik mereka. Perempuan dalam hal ini yang memiliki aspirasi politik tertentu biasanya akan berusaha untuk mengaktualisasikan aspirasinya dalam kegiatan politik. Hal ini didukung oleh teori kebutuhan yang dikemukakan Mc.Clelland13, yang mengemukakan tiga motivasi sosial, yaitu : 1. Motivasi yang didorong untuk berprestasi, 2. Motivasi yang didorong untuk berafiliasi, 3. Motivasi yang didorong untuk berkuasa Dengan adanya motivasi tersebut sangat diharapkan untuk melahirkan sikap untuk berpartisipasi dalam memperoleh hak-hak politik perempuan tersebut. Ada empat motif yang dikemukakan Weber 14 yaitu : 1. Motif yang rasional – bernilai, yaitu yang didasarkan atas penerimaan secara rasional atas nilai-nilai suatu kelompok. 2. Motif yang afektual – emosional, yaitu motif yang didasarkan atas kebenaran terhadap suatu ide, organisasi atau individu. 3. Motif yang tradisional, yaitu motif yang didasarkan atas penerimaan norma, tingkah laku individu dari suatu kelompok. 4. Motif yang rasional – bertujuan, yaitu motif yang didasarkan atas kepentingan pribadi. 13 Mc.Clelland dalam Malayu S.P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, PT. Toko Gunung Agung, 1995: hal. 161 14 Weber dalam Sudjono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, IKIP Semarang Press, 1995, hal.83 13 Aspirasi politik seseorang secara sederhana dapat diamati dari tuntutan politiknya, dengan kata lain perjuangan politik kaum perempuan di Iran dapat dilihat dari partisipasi politik mereka. Menurut Nie dan Verba15, partisipasi politik adalah kegiatan yang dilakukan oleh warga negara yang sedikit banyaknya bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Bentuk partisipasi politik menurut Almond16 terbagi atas konvensional dan non konvensional. Bentuk partisipasi konvensioanal terbagi atas partisipasi dalam organisasi politik, komunikasi dengan pejabat, rapat politik, kampanye, diskusi politik, voting dan mengikuti artikel politik. Sementara partisipasi non konvensional (ilegal) yaitu berupa pemberontakan, demonstrasi, pembunuhan, pengrusakan dalam bentuk materi. E. Definisi Operasional 1. Gerakan adalah segala tindakan yang dilakukan secara sadar yang dilakukan untuk memperjuangkan apa yang menjadi tujuannya. 2. Gender yang dimaksud adalah pelabelan sifat maskulin dan feminim yang dibentuk masyarakat 3. Gerakan perempuan atau gerakan gender adalah segala tindakan baik bersifat individu maupun kelompok yang memperjuangkan keadilan bagi perempuan di Negara Iran. 15 Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Soemarno, Pendapat Umum dalam Sistem Politik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal. 78 16 Russet dan Starr dalam A. Eby hara, “Decision Making Theories” dalam Studi HI, Suatu Upaya Teorisasi, Jurnal Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hal. 24-25 14 4. Hak-hak politik adalah hak yang seharusnya diperoleh setiap warga negara termasuk perempuan yang telah diatur dalam konstitusi tiap negara. F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan fakta-fakta dari perjuangan pergerakan perempuan yang terjadi di Negara Iran. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah telaah pustaka (library research) yaitu dengan cara mengumpulkan data dari literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas, dan kemudian menganalisanya. Literatur ini berupa buku-buku, dokumen, jurnal-jurnal, majalah, surat kabar, dan situs-situs internet ataupun laporan-laporan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan penulis teliti. 3. Jenis Data Jenis data yang penulis gunakan adalah data sekunder, yang diperoleh dari berbagai literatur dan hasil olahan yang diperoleh dari berbagai sumber. 15 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah teknik analisis data kualitatif, dimana permasalahan digambarkan berdasarkan fakta-fakta yang ada kemudian dihubungkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lainnya, kemudian ditarik sebuah kesimpulan. 5. Metode Penulisan Metode penulisan yang penulis gunakan adalah metode deduktif, dimana penulis terlebih dahulu akan menggambarkan permasalahan secara umum, lalu kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus. 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Perjuangan Politik Apabila berbicara mengenai perjuangan, hal yang paling pertama yang harus kita ketahui adalah maksud dari kata perjuangan itu sendiri. Perjuangan berasal dari kata juang yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai usaha mempertahankan dan memperbaiki.17 Selama ini perjuangan diasumsikan sebagai sesuatu hal yang komunal atau sebagai reaksi kolektif terhadap sebuah ketidakadilan.18 Perjuangan politik identik dengan pergerakan politik yang merupakan gerakan dari kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik atau kadang-kadang malah ingin menciptakan suatu tata masyarakat yang baru sama sekali, dengan menggunakan jalur-jalur atau cara-cara politik. Jika dibandingkan dengan partai politik, maka gerakan mempunyai tujuan yang lebih terbatas dan fundamental sifatnya, dan terkadang lebih bersifat ideologis. Orientasi ini merupakan ikatan yang kuat di antara anggota-anggotanya dan dapat menumbuhkan suatu identitas kelompok (group identity) yang kuat. Organisasinya kurang ketat dibandingkan partai politik, berbeda dengan 17 18 Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2004. Hal. 234 Ibid 17 partai politik, gerakan sering tidak mengadukan nasib dalam pemilihan umum.19 Pemahaman tentang perjuangan kelompok sosial dan kelompok politik dalam suatu masyarakat, meskipun sebagai subjek dan objek yang sama, kedua kelompok tersebut akan bersinggungan dalam suatu titik bernama kelompok sosial politik. Perjuangan mereka pun bermuara kepada pemenuhan kebutuhan sosial politik seperti keterlibatan dalam politik formal, pembuatan kebijakan publik, proaktif terhadap pelaksanaan sistem politik yang ada, dan sebagainya. Gerakan sosial merupakan salah satu bentuk utama dari perilaku kolektif. Gerakan sosial adalah suatu usaha kolektif yang bertujuan untuk menunjang atau menolak perubahan. Gerakan sosial juga didefinisikan sebagai suatu kolektifitas yang melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektifitas itu sendiri.20 Gerakan sosial lahir pada mulanya sebagai suatu kelompok yang tidak puas terhadap keadaan. Menurut teori sosiologis salah satunya yaitu teori Mobilitas Sumber Daya yang menggarisbawahi pentingnya pendayagunaan sumber daya secara efektif dalam menunjang gerakan sosial. Sebab gerakan sosial yang berhasil sangat memerlukan organisasi dan taktik yang efektif. Para 19 Miriam Budiarjo. 1981. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia. Hal. 162 Horton Paul B dan Haunt Chester L. 1992. Sosiologi (terjemahan) edisi ke-6. Erlangga. Hal. 195 20 18 pendukung teori ini berpandangan bahwa tanpa adanya keluhan dan ketidakpuasan tidak akan banyak terjadi gerakan. Namun demikian, diperlukan adanya mobilisasi untuk mengarahkan ketidakpuasan itu agar dapat menjadi gerakan massa yang aktif.21 Sumber daya yang harus dimobilisasi adalah : pandangan dan tradisi penunjang, peraturan hukum yang dapat mendukung, organisasi dan pejabat yang dapat membantu, manfaat yang memungkinkan untuk dipromosikan, kelompok sasaran yang dapat terpikat oleh manfaat tersebut, dan sumber daya penunjang lainnya. Semua itu memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya pengorbanan pribadi dalam gerakan sosial, tantangan yang akan dihadapi, kesulitan lain yang harus diatasi, dan taktik pelaksanaan yang akan diterapkan. Adapun bentuk-bentuk gerakan sosial, yaitu : (1) Gerakan perpindahan (migratory movement), yakni arus perpindahannya penduduk ke suatu tempat baru; (2) gerakan ekspresif (expressive movement), yakni tindakan penduduk untuk mengubah sikap mereka sendiri, dan bukannya mengubah masyarakat; (3) gerakan utopia (utopia movement), yakni upaya untuk menciptakan masyarakat sejahtera (sempurna) yang berskala kecil ; (4)gerakan reformasi (reform movement), yakni gerakan yang berupaya memperbaiki beberapa kepincangan dalam masyarakat; (5) gerakan refolusioner (refolusionary movement) yang berusaha untuk mengganti 21 Ibid 19 sistem yang ada dengan sistem yang baru; dan (6)gerakan perlawanan (resistance movement) yang berusaha melawan perubahan sosial tertentu.22 Gerakan perempuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gerakan sebagai tindakan kolektif yang dilakukan oleh para perempuan. Terutama berkaitan dengan tingkah laku atau kegiatan-kegiatan partisipasi politik perempuan dalam ikut serta mempengaruhi policy yang mendukung perkembangan gerakan perempuan di Iran. Jika dilihat dari sudut pandang perempuan, maka memandang gerakan sebagai reaksi kolektif hanya akan mengecilkan atau menegaskan kontribusi mayoritas perempuan. Karena mayoritas perempuan dalam masyarakat masih patriarchal (patrilinial). Ruang mereka di ranah domestik dan ekspresi keprihatinan maupun aksinya masih bersifat individual. Kalau kemudian dimiopikan atau disempitkan menjadi gerakan kolektif, artinya akan banyak perempuan-perempuan yang sebetulnya melakukan resistensi di tingkat individual, di ranah domestik, kemudian keprihatinannya dilakukan di wilayah yang paling mikro, di level privat dengan definisi mainstream selama ini, mereka tidak akan tercatat dan tidak dianggap sebagai bagian dari gerakan. A.1 Hak-hak Politik Kaum Perempuan A.1.1. Pengertian Hak-hak Politik Menurut Ja’far23, yang dimaksud hak-hak politik adalah hakhak yang ditetapkan dan diakui undang-undang atau konstitusi 22 Ibid, hal.203 20 berdasarkan keanggotaan sabagai warga negara. Pada umumnya, konstitusi mengaitkan antara pemenuhan hak-hak ini dan syarat kewarganegaraan. Dalam hak-hak politik terhimpun antara konsep hak dan kewajiban sekaligus. Sebab, hak-hak politik pada tingkatan tertentu menjadi hak bagi individu karena hak-hak itu menjadi wajib bagi mereka. Hal itu disebabkan hak mutlak, sebagaimana yang diterima, membolehkan seseorang menggunakannya atau tidak menggunakannya tanpa ikatan apapun. Hak-hak politik ini menyiratkan partisipasi individu dalam pembentukan pendapat umum, baik dalam pemilihan wakil-wakil mereka di majelis-majelis dan berbagai lembaga perwakilan, atau pencalonan diri mereka untuk menjadi anggota majelis atau lembaga perwakilan tersebut. Hak-hak politik itu mencakup : 1. Hak dalam mengungkapkan pendapat dalam pemilihan dan referendum denagan berbagai cara. 2. Hak dalam pencalonan menjadi anggota lembaga perwakilan danlembaga setempat. Dr. Muhammad Anis Qasim Ja’far, Perempuan dan Kekuasaan (Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam), Zaman Wacana Mulia, Bandung, 1998, hal.35 23 21 3. Hak dalam pencalonan menjadi presiden, dan haal-hal lain yang mengandung persekutuan dan penyampaian pendapat yang berkaitan dengan politik.24 Seperti yang dikemukakan oleh Dahl25, dalam sebuah negara yang demokratis, harus menjamin kebebasan dan hak-hak untuk : 1. 2. 3. 4. 5. Freedom to form and join organization Freedom of expression Right to vote Eligibity for public office Right of political leaders for support 5.a Right of political leaders to compete for votes 6. Alternative sources of information 7. Free and fair election 8. Institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference. A.1.2. Legislasi Internasional mengenai Hak-hak Politik kaum Perempuan Dewasa kini, pembicaraan tentang perempuan dan Hak Asasi Manusia (HAM) baik yang berkaitan dengan konsepnya maupun implementasinya dalam artian tuntutan perempuan terhadap hak asasi mereka semakin menonjol. Pada intinya, kaum perempuan di seluruh dunia merasa bahwa mereka belum sepenuhnya dapat menikmati hak-hak mereka karena belum terjamin dalam peraturan perundangan di negara 24 Ibid Robert A. Dahl, Poliarchy : Participation and Opposition, Yale University Press, New Haven, 1971, hal.3, Georg Sorensen, Democracy and Democratization : Processes and Prospect in a Changing World, Westview Press, Inc., Boulder, 1993, hal.12, dan Samuel P. Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga, PT. Midas Surya Grafindo, Jakarta, 1997, hal. 6. 25 22 mereka masing-masing ataupun karena secara de facto hak-hak mereka belum dilaksanakan. Selain itu, yang tampak paling menonjol adalah upaya kaum perempuan untuk memasukkan perspektif perempuan dalam konsep HAM itu sendiri. Perjuangan untuk memasukkan perspektif perempuan dalam konsep HAM ini didasarkan pada kenyataan bahwa pelanggaran hak asasi perempuan (women’s right) oleh struktur masyarakat yang patriarki di berbagai bidang kehidupan semakin dirasakan sangat tidak adil oleh kaum perempuan. Pembagian peran secara seksual yakni penempatan perempuan di rumah (sektor domestik/privat) dan laki-laki di luar rumah (sektor publik) menyebabkan terbatasnya akses kaum perempuan terhadap sumber daya ekonomi, sosial, terlebih pada sumber daya politik. Jika kita lihat dalam sejarah, tampak bahwa upaya untuk memperbaiki konsep hak asasi perempuan telah berlangsung cukup lama. Pernyataan pertama yang memuat prinsip bahwa jenis kelamin tidak semestinya menjadi dasar dari segala bentuk diskriminasi termuat dalam preambule Piagam PBB tahun 1945 (The United Nations Charter) yang antara lain menyatakan : ”Kita masyarakat Perserikatan Bangsa-Bangsa telah bersumpah kepada diri kita untuk menegaskan lagi kepercayaan pada hak-hak politik, harkat dan martabat manusia. Dan bahwa laki-laki, perempuan dan seluruh 23 anggota masyarakat baik besar maupun kecil mempunyai hak yang sama.” Prinsip tersebut diulangi lagi dalam pasal-pasal 1, 13(1), 55(c), 58, 62(2), dan pasal 76(c) Piagam PBB tersebut. Selanjutnya prinsip non-diskriminasi ini ditegaskan kembali dalam Deklarasi Sedunia tentang HAM 1948 (The Universal Declaration of Human Rights) mencantumkan pada pasal 21 bahwa tiap orang, tanpa memandang jenis kelaminnya, mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan di negara masing-masing dan untuk mendapatkan akses yang sama atas pelayanan publik.26 Konvensi mengenai Hak-hak Politik Kaum Perempuan 195227 mengatur bahwa perempuan mempunyai hak untuk memilih, berhak untuk mencalonkan diri serta dipilih dalam pemilihan umum, dan berhak memegang jabatan publik, semuanya dengan syaratsyarat yang sama dengan kaum laki-laki. Selain itu, Deklarasi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tanggal 16 Desember 196628 yang dikeluarkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada butir 3 ditetapkan bahwa negara-negara anggota berjanji untuk menjamin persamaan antara laki-laki dan perempuan dengan menggunakan semua hak sipil dan politik yang termuat dalam deklarasi yang berlaku hingga sekarang. 26 Muhammad Ali Taskhiri, Human Rights, A Study Of The Universal and The Islamic Declarations Of Human Rights, Department of Translation and Publication, Islamic Culture and Relations Organization, 1997 : hal. 45 27 Ibid hal. 47 28 Ibid hal. 48 24 Dalam butir 25 juga disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun, untuk ikut serta dalam menjalankan kepentingan umum baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang mereka pilih secara bebas. Kaum perempuan pun bebas untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan-pemilihan berkala dan umum. Konvensi yang lain adalah Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan 1979 (Convention for The Elimination of all Forms of Discrimination Againts Women atau CEDAW)29. Konvensi ini merupakan sebuah pernyataan hak asasi internasional untuk kaum perempuan. Konvensi ini membangun norma-norma hukum tentang non-diskriminasi dari perspektif perempuan. Konvensi ini bergerak dari norma jenis kelamin netral yang mengharuskan perlakuan sama laki-laki dan perempuan, biasanya diukur oleh bagaimana laki-laki diperlakukan, sampai mengakui kenyataan bahwa sifat khusus diskriminasi terhadap perempuan adalah jawaban hukum yang pantas dihormati. Kemajuan yang dicapai CEDAW adalah melampaui konvensi-konvensi hak asasi sebelumnya yang menghadapkan sifat mudah menyebar dan sistematis diskriminatif terhadap perempuan, dan mengenali kebutuhan yang dihadapkan penyebab sosial 29 Mohammad farid (ed.), Perisai Perempuan; Kesepakatan Internasional untuk Perlindungan Perempuan, LBH APIK & Ford fondation, Bogor, 1996, hal.159 25 ketidaksetaraan perempuan dengan menegaskan “segala bentuk” diskriminasi yang diderita perempuan. Di bidang hak-hak politik perempuan, CEDAW memperluas konsep seperti yang ditetapkan dalam Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Politik Perempuan tahun 1952. CEDAW menambahkan hak perempuan untuk bersuara dalam referendum umum, partisipasi perempuan dalam perumusan dan implementasi kebijakan pemerintah selain representasi mereka pada tingkat internasional. Dengan kata lain, CEDAW memajukan perjanjian Internasional tentang Hak-hak Politik Perempuan. Pada pasal 7 dalam konvensi ini tentang politik dan kehidupan masyarakat bagi perempuan ditegaskan kembali mengenai : 1. Hak untuk memilih dan dipilih 2. Berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, memegang jabata dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat. 3. Berpartisipasi dalam organisasi-organisasi perkumpulan-perkumpulan non-pemerintah dan yang berhubungan dengan masyarakat dan politik negara.30 30 Mohammad farid (ed.), Perisai Perempuan; Kesepakatan Internasional untuk Perlindungan Perempuan, LBH APIK & Ford fondation, Bogor, 1996, hal.161 26 Selain itu, tercatat beberapa konverensi di tingkat internasional yang membahas masalah-masalah perempuan antara lain : Konferensi Internasional Perempuan Pertama (First World Conference for Women) di Mexico City tahun 1975 sebagai awal dari dekade perempuan yang menghasilkan Deklarasi Meksiko dimana telah menggariskan hubungan antara status perempuan dan sistem politik dan ekonomi internasional. Konferensi Internasional Perempuan Kedua (Second World Conference for Women) di Kopenhagen, Denmark tahun 1980. Konferensi Internasional Perempuan Ketiga (Third World Conference for Women) di Nairobi pada tahun 1985. Konferensi (Fourth Internasional World Conference Perempuan for Keempat Women) yang diselenggarakaan di Beijing, China pada tahun 1995 yang memfokuskan perhatiannya pada 12 “wilayah perhatian khusus” : Kemiskinan Ketidaksetaraan dalam akses pendidikan Ketidaksetaraan dalam akses kesehatan 27 Perempuan dalam konflik bersenjata Kekerasan terhadap perempuan Partisipasi dalam kehidupan politik dan ekonomi Berbagi kekuasaan dan pengambilan keputusan Mekanisme kelembagaan terhadap stereotipe gender Hak-hak asasi perempuan Sistem komunikasi terutama media massa Distribusi sumber daya dan lingkungan Hak-hak perempuan muda Sementara dalam Platform Aksi Beijing (1995)31 disebutkan bahwa “...pemberdayaan perempuan dan partisipasi penuh mereka sebagai dasar dari keadilan dalam semua aspek kehidupan masyarakat, termasuk partisipasi mereka dalam proses pembuatan keputusan dan akses menuju kekuasaan merupakan asas bagi tercapainya keadilan, pembangunan, dan perdamaian.” 31 Ibid 28 B. Konsep Gerakan Gender B.1. Latar Belakang Kata “gender” telah memasuki pembendaharaan di setiap diskusi dan tulisan dimulai dari adanya perubahan sosial dan pembangunan di Dunia Ketiga. Gender sebagai alat analisis mulanya muncul sebagai alternatif pemikiran yang dikembangkan oleh sebagian kecil LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang telah menyumbangkan pemikiran bahwa perbedaan gender ternyata melahirkan ketidakadilan gendel (gender inequality) dan manifestasi ketidak adilan tersebut mempengaruhi kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pengambilan keputusan birokrasi dalam segala bidang kehidupan bernegara. Gerakan gender lahir sebagai bentuk dari perjuangan hak asasi politik kaum perempuan yang akhirnya menyadari dan memerlukan adanya perhatian dari pemerintah setempat. B.2. Pengertian, Bentuk, dan Klasifikasi Hampir semua uraian tentang pembangunan masyarakat maupun pembangunan di kalangan organisasi non-pemerintah membicarakan masalah gender. Apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan gender tersebut? Dari pengamatan yang ada, masih terdapat ketidak jelasan kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya dengan usaha emansipasi kaum perempuan. Kata gender dalam Bahasa Indonesia disadur dari kata Bahasa Inggris. Jika ditilik dari kamus, tidak dapat dibedakan dengan jelas pengertian sex dan gender. Timbulnya 29 ketidakjelasan dalam mengartikan gender disebabkan oleh kurangnya penjelasan tentang kaitan antara konsep gender dengan masalahaa ketidakadilan lainnya. Fakih32 berpendapat bahwa untuk memahami konsep gender harus dibedakan dulu antara gender dengan kata sex (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin tertentu yang secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat. Sedangkan konsep gender, yakni sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan dikenal dengan sifat lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut dan keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu, berbeda dari kelas ke kelas lainnya, itulah yang dikenal sebagai konsep gender. 32 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999. Hal. 8-9 30 Sementara Mosse33 berpendapat bahwa secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis, jenis kelamin merupakan pemberian seperti kita dilahirkan sebagai laki-laki atau sebagai perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blokblok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis kultur kita. Gender adalah seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini –yang mencakup penampilan, sikap, kepribadian, bekerja di dalam atau di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya- secara bersama-sama memoles “peran gender” setiap individu. Errington seperti yang dikutip Wahid34 merumuskan gender sebagai hal-hal yang oleh kebudayaan-kebudayaan yang berbeda itu dikonstruksikan dari seks/jenis kelamin (what different cultures make of sex). Oleh karena itu merupakan bentukan masyarakat maka peranan gender bersifat dinamis dan berlainan dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain, serta dari satu waktu ke waktu yang lain. Pandangan ini menimbulkan perdebatan mengenai perbedaanperbedaan di kalangan perempuan, di mana tidak hanya perbedaan perempuan dari laki-laki saja yang ditunjukkan, tetapi perempuan itu sendiri pun dilihat terbagi-bagi di antara sesama mereka sendiri, melalui Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal.6-7 34 Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Gender dalam Wacana Teologis, dalam Pemimpin Perempuan, Mengapa Tidak, Rozi Munir dkk (ed.), Panitia Muktamar XXX NU, Jakarta, 1999, hal.3 33 31 perbedaan dalam praktek budaya dan ekonomi. Perdebatan ini menimbulkan sejumlah diskusi tentang identitas perempuan. Politik identitas feminisme timbul dari kegairahan usaha dalam mencari pengalaman baru feminisme, yang dirangkaikan dengan penolakan terhadap sistem pengetahuan yang telah melahirkan identitas perempuan sebagai individu pasif dengan kepatuhan yang alamiah. Di atas semua itu, sesungguhnya perbedaan gender tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequality). Namun, yang menjadi persoalan adalah bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki maupun kaum perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Untuk memahami bagaimana peran gender melahirkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada, yakni; marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan streotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violance), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak(burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan gender ini tidak bisa dipisah-pisahkan, karena saling berkaitan dan berhubungan, saling mempengaruhi secara dialektis.35 35 Mansour fakih, Ibid., hal. 13 32 Munculnya kesadaran kaum perempuan yang merasakan ketidakadilan atas peran gender mereka merupakan latar belakang lahirnya gerakan gender ini. Gerakan ini bertujuan untuk demi terwujudnya kebebasan dari segala bentuk tindak penindasan, baik struktural maupun personal, kelas, warna kulit, dan ekonomi internasional. Bentuk dari gerakan ini dapat dilihat dari tujuan kegiatannya : a. Kebutuhan praktis gender Kebutuhan praktis gender adalah kebutuhan-kebutuhan perempuan dan laki-laki untuk dapat melaksanakan perannya secara lebih mudah, lebih efektif dan efesien dan biasanya kebutuhan itu dapat diidentifikasi oleh mereka sendiri.36 Kebutuhan praktis gender acapkali hanya berupa kebutuhan akan pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, makanan, bahan bakar, sumber air, dan lain-lain. Contoh-contoh kegiatan yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan praktis gender : Pengurangan beban kerja, misalnya pembangunan sumur pompa tangan dan sebagainya. Perbaikan kesehatan, misalnya mendirikan Puskesmas/Bina Keluarga Balita. Perbaikan sarana pendidikan 36 A. Yuliani paris, Pemenuhan Gender Vs Pembentukan Biro Wanita, Harian Fajar, 22 Desember 1998, hal.2 33 Peningkatan pendapatan, misalnya kursus keterampilan dan kelompok kredit37 Berdasarkan contoh-contoh di atas, maka kebutuhan praktis gender mempunyai ciri-ciri : 1. Cenderung bantuan langsung dan bersifat jangka pendek 2. Ditujukan spesifik (misalnya program khusus untuk perempuan) 3. Berupa pemenuhan dan penyediaan input-input tertentu 4. Tidak mengubah peran tradisional perempuan dan laki-laki 5. Tidak memperbaiki hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga38 b. Kebutuhan strategis gender Kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan yang berhubungan dengan perubahan posisi “subordinasi” perempuan dalam masyarakat. Dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender, perempuan akan dapat mencapai persamaan-persamaan peran yang telah ada dan kemudian mengusahakan perubahan posisi “subordinasi” perempuan. Berhubung pemenuhan kebutuhan strategis gender berkaitan pada perbaikan posisi baik perempuan maupun laki-laki di masyarakat, maka pemenuhan strategis gender cenderung jangka panjang.39 37 Ibid Ibid 39 Ibid. 38 34 Contoh-contoh kegiatan yang bertujuan sebagai pemenuhan kebutuhan strategis gender : Perbaikan dalam bidang pendidikan, misalnya menggunakan guru perempuan sebagai contoh/panutan, buku-buku sokalah yang gambar dan kalimatnya tidak bias gender dan menghapus diskriminasi terhadap jenis kelamin tertentu untuk diterima pada sekolah tertentu (sekolah teknik tidak diperuntukkan untuk lakilaki saja). Perbaikan akses terhadap aset produksi, misalnya status sah atas kepemilikan lahan, hak untuk menggunakan fasilitas umum, hak untuk membuka rekening atas nama pribadi dan tanpa perlu persetujuan suami. Kegiatan-kegiatan yang ditujukan baik untuk laki-laki maupun perempuan diadakan bersamaan dan tidak dipisahkan serta berkaitan dengan peningkatan akses dan kontrol terhadap sumber daya, kesamaan hak di dalam segala bidang termasuk bidang politik.40 C. Gender dan Feminisme Tidak seperti banyak “isme” yang lain, feminisme tidak mengambil dasar konseptual dan teoritisnya dari suatu rumusan teori tunggal. Oleh karena itu, tidak ada defenisi yang khusus tentang feminisme yang dapat diterapkan bagi semua perempuan pada segenap 40 Ibid 35 waktu. Dengan demikian, definisinya dapat berubah dan pada kenyataannya memang berubah-ubah. Hal ini disebabkan feminisme berdasarkan atas realitas kultural dan kenyataan sejarah yang kongkret, maupun atas tingkatan-tingkatan kesadaran, persepsi serta tindakan. Hal ini berarti bahwa feminisme pada abad ke-1741 (ketika kata feminisme pertama kali digunakan) dan kata feminisme pada 1980-an memiliki makna yang tidak sama. Ia juga dapat diungkapkan secara berbeda-beda di berbagai bagian dunia atau dalam suatu negeri. Pengungkapan itu akan berbeda-beda juga karena diungkapkan oleh perempuan yang berlainan tingkat pendidikan, kesadaran, dan sebagainya. Meskipun demikian, seperti yang dikemukakan oleh Bashin dan Khan, defenisi yang hampir dapat diterima oleh perempuan-perempuan muslim adalah : “suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.”42 Untuk menganalisis permasalahan perempuan, di Barat telah dikembangkan beberapa perspektif yang masing-masing perspektif mencoba mendeskripsikan keterbelakangan atau opresi yang dialami oleh perempuan serta menjelaskan sebab-sebabnya, apa saja konsekuensi dari keterbelakangan atau opresi tersebut, serta mengemukakan strategi 41 Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok mengenai Feminisme dan Relevansinya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hal. 5 42 Ibid 36 mereka untuk membebaskan diri dari opresi tersebut. Tentu saja masingmasing perspektif ini menjawab permasalahan perempuan hanya sebahagian dan sementara saja, sesuai dengan kelebihan dan kelemahan metode yang mereka gunakan.43 Perspektif feminisme tersebut antara lain, Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxis,Feminisme Psikoanalisis, dan Feminisme Sosialis. Keempat perspektif yang terakhir merupakan perspektif yang bereaksi terhadap Feminisme Liberal. Oleh karena itu, Tong44 mengajak untuk menganalisis Feminisme Liberal terlebih dahulu sebelum lanjut untuk menganalisa lebih jauh tentang perspektif yang lainnya. C.1. Feminisme Liberal Feminisme ini pertama kali dirumuskan oleh Mary Wollstonecraft (1759-1799) dalam tulisannya A Vindication of The Rights of Women (Feminisme Liberal abad ke-18) dan John Stuart Mill dalam tulisannya The Subjection of Women (Feminisme Liberal abad ke19), Kemudian Betty Friedan dalam tulisannya The Feminine Mystique dan The Second Stage45. Penekanan mereka adalah bahwa subordinasi perempuan itu berakar dalam keterbatasan hukum dan adat yang menghalangi perempuan untuk masuk ke lingkungan publik. Masyarakat beranggapan bahwa perempuan, karena kondisi alamiah mereka yang 43 Rosemarie Tong, Feminist Thought : A Comprehensive Introduction, Unwin Hyman, London, 1989, hal.1 44 Ibid 45 Ibid 37 dimilikinya, kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu, wanita dianggap tidak mampu menjalankan peran di lingkungan publik. Anggapan tersebut disangkal oleh Feminisme Liberal yang mendasarkan pemikirannya pada konsep liberal tentang hakikat manusia yang mengatakan bahwa yang membedakan manusia dari binatang adalah kemampuan yang dimiliki oleh manusia, seperti rasionalitas, yang mempunyai dua aspek yaitu moralitas atau pembuat keputusan otonom dan prudentialitas atau pemenuh kebutuhan sendiri. Manusia, perempuan dan laki-laki, diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama, dan harus pula memperoleh kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. The Vindication of The Rights of Women46 ditulis pada saat kedudukan sosial dan ekonomi perempuan Eropa sedang mengalami kemunduran, karena industrialisasi tidak memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam pasaran tenaga kerja dan mengurung mereka dalam rumah, serta hanya melakukan kegiatan rumah tangga. Hal tersebut membuat perempuan sama sekali tidak berkembang. Sebaliknya, pria leluasa bergerak di luar rumah dan dapat mengembangkan dirinya secara optimal. Menurut perspektif ini, hal yang sama juga dapat terjadi jika pria juga dikurung dalam rumah, maka perempuanlah yang dapat 46 Ibid 38 mengembangkan dirinya secara optimal. Jadi, Wollstonecraft47 menyangkal adanya pandangan bahwa kondisi alamiah perempuan menyebabkan mereka kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik seperti laki-laki. Agar perempuan dapat berkembang seperti laki-laki, maka perempuan harus sama berpendidikannya dengan laki-laki. Berbeda dengan Wollstonecraft, Mill48 berpendapat agar persamaan antara laki-laki dan perempuan dapat tercapai, perempuan tidak hanya harus diberikan kesempatan yang sama dalam pendidikan, tetapi juga perlu berperan serta dalam kegiatan ekonomi dan mempunyai hak sipil yang sama seperti laki-laki. Hal ini dikemukakannya karena menurut mereka individu harus diberi hak untuk mengejar apa yang diinginkan, dengan syarat mereka tidak saling menjegal dalam usaha pencapaian apa yang diinginkannya. Tong49 berkesimpulan bahwa kaum Feminis Liberal ini berkeinginan agar manusia, pria dan wanita, mengembangkan kepribadian yang androgini.50 C.2. Feminisme Marxis Sebagai reaksi terhadap Feminis Liberal tentang bagaimana meningkatkan status dan peranan perempuan, Feminis Marxis 47 Ibid Ibid 49 Ibid 50 Androgini merupakan suatau pendekatan konseptual yang tidak mengaitkan derajat hirarki dengan jenis kelaminnya. Androgyn berasal dari kata yunani, andro = laki-laki, gyn = perempuan 48 39 berpendapat bahwa ketertinggalan yang dialami oleh perempuan bukan disebabkan oleh tindakan individu secara sengaja, tetapi akibat dari struktur sosial, politik dan ekonomi yang erat kaitaannya dengan sistem kapitalisme. Menurut mereka, tidak mungkin perempuan dapat memperoleh kesempatan yang sama seperti laki-laki jika mereka masih hidup dalam masyarakat yang berkelas. Bertolak dari konsep Marxis tentang hakikat manusia (human nature) dan teori Marxis tentang masyarakat, ekonomi dan politik, serta teori Engels tentang keluarga, perspektif ini mencoba untuk memahami mengapa perempuan tidak pernah memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki dengan menganalisa hubungan antara status pekerjaan perempuan dengan citra diri perempuan. Oleh karena itu, tidak sedikit pun feminisme Marxis yang mempersoalkan hal-hal yang berhubungan dengan masalah reproduksi (misalnya kehamilan, kelahiran, dan mengasuh anak) dan sekaligus seksualitas perempuan (misalnya pornografi dan prostitusi). Fokus mereka berkisar pada hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan perempuan, bagaimana pranata keluarga dikaitkan dengan sistem kapitalisme, bagaimana pekerjaan perempuandalam mengurus rumah tangga tidak dianggap penting dan dianggap bukan pekerjaan. Para Feminis Marxis setuju kepada ketidakadilan pembagian pekerjaan secara seksual yang berlaku di tempat kerja. 40 C.3. Feminisme Radikal Jika permasalahan Feminis Marxis perempuan yang memfokuskan berhubungan perhatiannya dengan pada pekerjaan perempuan, maka Feminis Radikal memberikan perhatiannya kepada permasalahan perempuan yang berkaitan dengan masalah reproduksi dan seksualitas perempuan. Asumsi dasar dari perspektif ini adalah patriarki, yaitu sistem kekuasaan dalam keluarga dan masyarakat, yang menyebabkan keterbelakangan perempuan. Oleh karena itu, menurut mereka, sistem patriarki ini tidak saja harus dirombak, tetapi harus dicabut hingga ke akarnya. Meskipun di antara feminis radikal terjadi pertentangan pendapat, namun satu hal yang mereka sepakati adalah seksualitas sangat penting dalam teori feminis, karena identitas kepribadian perempuan berkaitan dengan seksualitasnya. C.4. Feminisme Psikoanalisis Perspektif ini bertolak dari teorinya Freud51 yang menekankan seksualitas adalah unsur yang krusial dalam mengembangkan hubungan gender. Menurut Freud, seksualitas perempuan dan laki-laki berbeda yang berakar pada perbedaan psyche yang disebabkan perbedaan biologi antara kedua jenis kelamin. 51 Ibid 41 Menurut Freud, anak, dalam perkembangannya menjadi manusia dewasa, harus melewati beberapa tahapan perkembangan psikoseksual. Temperamen mereka setelah dewasa sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka melalui tahapan perkembangan psikoseksual tersebut. Gender sebagai perbedaan temperamen, perilaku, sifat antara laki-laki dan perempuan adalah hasil dari proses pendewasaan seksual. C.5. Feminisme Sosialis Perspektif ini muncul karena ketidakpuasaan terhadap analisis feminis marxis yang pada intinya berdasarkan pada pemikiran Marxis yang buta gender. Artinya, masalah kelas sosial tidak ada sangkut pautnya dengan masalah gender yang hidup dalam masyarakat. Asumsi yang digunakan feminis Sosialis adalah bahwa hidup dalam masyarakat yang kapitalistik bukan satu-satunya penyebab utama keterbelakangan perempuan sebagai perempuan. Selain di negara-negara kapitalis, di negara-negara sosialis, para perempuan juga terjun dalam pasaran tenaga kerja dan sebagian besar secara ekonomi mereka sudah mandiri. Namun, pada kenyataannya mereka masih hidup dalam kungkungan sistem patriarki. Menurut mereka, pendekatan yang perlu digunakan adalah mencoba menganalisis kapitalisme dan patriarki secara bersama-sama dengan menggunakan satu konsep. Kapitalisme dan patriarki tidak dapat dipisahkan, sama halnya seperti pikiran yang tidak dapat dipisahkan dari badan. 42 BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG IRAN DAN LANDASAN PERJUANGAN POLITIK PEREMPUAN DI IRAN A. Sekilas tentang Negara Iran A.1. Profil Negara Iran Iran atau Persia merupakan salah satu negara Timur Tengah yang terletak di Asia Barat Daya. Meski di dalam negeri negara ini telah dikenal sebagai Iran sejak zaman kuno, hingga tahun 1935 Iran masih dinamakan Persia oleh dunia Barat. Pada tahun 1959, Mohammad Reza Shah Pahlevi mengumumkan bahwa kedua istilah tersebut boleh digunakan. Nama Iran adalah sebuah kognat perkataan "Arya" yang berarti "Tanah Bangsa Arya". Iran berbatasan dengan Azerbaijan (500 km) dan Armenia (35 km) di barat laut dan Laut Kaspia di utara, Turkmenistan (1000 km) di timur laut, Pakistan (909 km) dan Afganistan (936 km) di timur, Turki (500 km) dan Irak (1.458 km) di barat, dan perairan Teluk Persia dan Teluk Oman di selatan.52 Secara konseptual, masyarakat Iran memiliki madzhab dan ideologi yang sama. Sedangkan secara geografis, bangsa Iran terpecah-pecah menjadi desa-desa yang terpencil, kota-kota yang 52 Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Iran Diakses hari selasa tanggal 29 Maret 2011 pukul 15.30 43 terpiah satu sama lain, dipisahkan oleh padang pasir yang luas dan empat rangkaian pegunungan yang besar, Zagros, Elborz, gunung Damavand, dan gunung Taftan. Iran yang memiliki luas tanah sekitar 1.645 ribu kilometer persegi, secara kasarnya terbagi atas tiga area, sepertiga pegunungan, sepertiga padang pasir, dan sisanya hutan belantara plus dataran berhutan.53 Secara etnis, di Iran terdapat berbagai suku bangsa dengan beragam bahasa. Di dataran rendah, masyarakat berbicara dengan bahasa Persia; penduduknya menggunakan Persia Bakhtiyari, Lurid, dan Armenia. Di beberapa tempat, juga terdapat beberapa masyarakat yang menggunakan bahasa Arab. Mayoritas masyarakat Iran memang orang muslim, tetapi banyak juga minoritas non-muslim seperti Armenia, Assiria, Yahudi, Zoroaster, dan sisa-sisa agama purba seperti yang terdapat di Kerman, Yazd, dan Teheran. Di antara mayoritas muslim sendiri terbagi atas mayoritas Syi’ah dan mayoritas Sunni. Di antara masyarakat beralirah Syi’ah pun masih terdapat beragam macam Syi’ah yang di dalamnya terdapat berbagai macam sekte. Dengan kondisi sosial budaya seperti itu, maka sebuah kesatuan pandangan hidup bagi masyarakat Iran boleh dikatakan suatu mujizat. 53 Ibid 44 Iran juga merupakan salah satu negara tertua di dunia. Sejarahnya telah dimulai sejak ribuan tahun yang lalu. Seiring dengan berjalannya sejarah panjang ini, Iran telah mengalami berbagai invasi dan dijajah oleh negara asing yang akhirnya sedikit demi sedikit merubah pola pikir pemerintah maupun masyarakat Iran, mengubah Iran kuno menjadi Iran modern. Era modern di Iran bisa dibagi menjadi tiga subperiode54 yakni, periode pertama yang dibuka dengan abad ke-19, Iran bisa digambarkan sebagai negara semi koloni. Periode ini mencapai titik kulminasi pada revolusi konstitusional pada tahun 1906 (di bawah pengaruh revolusi Rusia tahun 1905 yang nantinya akan berdampak pada kesadaran masyarakat akan perubahan secara besar-besaran) dan berakhir dengan bermulanya produksi minyak bumi secara ekstensif tahun 1908. Periode kedua (1908-1953) ditandai dengan meningkatnya integrasi Iran di pasar dunia (meski masih berupa negara semi koloni). Periode ini diikuti dengan pertumbuhan produksi minyak dan industrialisasi, serta pertumbuhan dan peningkatan konsentrasi kelas pekerja. Perselisihan menyangkut kemandirian minyak bumi dan bagian Iran atas pendapatan darinya adalah wajah karakteristik periode ini. Konflik ini mencapai klimaks pada masa pemberontakan 54 Dikutip dari http://www.marxist.com/iran-latar-belakang-sejarah.htm Diakses hari Selasa, tanggal 29 Maret 2011 pukul 15.33 45 sosial (1941-1953) yang diikuti dengan pengunduran diri Shah Reza (1926-1941). Periode ini berakhir dengan bangkit dan jatuhnya gerakan nasionalis Mossadeq (1951-1953). Periode ketiga (1953-1979) ditandai dengan tumbuhnya partisipasi Iran dalam pasar dunia sebagai negara yang berdaulat, dengan kontrol yang kuat atas sumber daya minyak bumi, peningkatan pendapatan yang tinggi dari minyak dan pertumbuhan ekonomi yang sangat mengesankan. A.2. Sistem Ketatanegaraan Iran Struktur politik Iran mengalami perubahan secara besarbesaran sejak berakhirnya kekuasaan Shah. Bentuk negara berubah dari monarki-absolut dimana Shah berkuasa, menjadi sebuah republik yang berdasarkan pada ajaran agama Islam mazhab Syi’ah. Perubahan konstitusional dan institusional yang secara substantif dilakukan melalui pemilihan. Bentuk Republik Islam dan Undang-undang Dasar Republik Islam Iran secara resmi disetujui mayoritas rakyat Iran melalui referendum yang diadakan pada tahun 1979. Bagi masyarakat dunia Islam, Revolusi Islam Iran merupakan kejadian yang secara simbolis penting. Revolusi Iran memperlihatkan bahwa rezim sekuler yang dipengaruhi oleh Barat dapat ditumbangkan dengan kekuatan oposisi yang diorganisir oleh para pembaharu Islam. Karena kaum buruh telah mendengungkan perubahan itu sejak akhir 46 abad ke-19, namun dengan sukses, revolusi Islam ini mampu memberikan daya dorong baru bagi perjuangan mereka dan memicu munculnya aktivitas fundamentalis di dunia Islam lain. Revolusi Islam di Iran yang menjadikan perubahan nama dari Iran menjadi Republik Islam Iran berhasil mengubah wajah bentuk pemerintahan Iran dari yang awalnya moderat dan sekuler menjadi Negara Islamis. Syariat Islam menjadi landasan hukum di Republik Islam Iran. Di samping itu, dalam tradisi masyarakat Iran (khususnya Syi’ah), konsep syariat memiliki pemahaman dan makna yang cukup luas yang mencakup permasalahan aqidah, fiqih, dan akhlak. Fiqih sendiri terbagi atas dua bab besar : pertama personal, dan kedua sosial yang kesemuanya harus menjadi kesatuan yang tunggal, walaupun secara konseptual memiliki perbedaan.55 Adapun implementasi syariah Islam dalah hal politik kenegaraan, Iran memiliki struktur kenegaraan sebagai berikut56 : 1. Adanya kepemimpinan 2. Adanya judiciary 3. Adanya lembaga legislative 4. Adanya lembaga eksekutif Adanya hal kepemimpinan, ditandai dengan adanya Majelis Ahli yang bertugas menunjuk pemimpin besar dan memantau jalannya 55 56 Ihsan al-Ha Zhamir, al-Syi’ah wa al-Qur’an, hal. 38-40 Abu Zahrah, Ushul Fiqh al-Ja’fari, hal. 28-30 47 kinerja pemimpin besar. Majelias ini beranggotakan 86 anggota yang dipilih untuk delapan tahun. Badan ini bertugas sebagai penasihat yang bertugas menyelesaikan perbedaan antara judiciary dan parlemen. Judiciary itu sendiri membentuk badan yang bernama The Guardian Council57. Badan ini beranggotakan dua belas anggota yang berisi atas semua potensi calon Majelis Ahli, Presiden, dan Parlemen. Majelis inipun merupakan Dewan Konservatif yang memiliki kewenangan untuk memveto perundang-undangan jika dinilai tidak konsisten dengan konstitusi atau hukum Islam. Pemimpin tertinggi terdapat di lembaga eksekutif yang bertindak sebagai Kepala Negara (presiden dalam kabinet parlementer). Sedangkan kepala pemerintahannya (yang setingkat dengan perdana menteri, meski di luar diperkenalkan dengan nama presiden). Adapun khusus untuk dewan legislative, merupakan lembaga resmi setingkat dewan menteri (parlemen) yang diberi nama Majlis-e-Shuray e-Islami (Majelis Nasional).58 57 58 Ibid, hal 30 Ibid, hal.30 48 A.3. Hak-hak Perempuan sebagai Warga Negara Sebelum dan Setelah Revolusi Iran sebelum Revolusi memandang wanita sebagai makhluk yang tidak merdeka baik secara sosial maupun ekonomi. Statusnya dibedakan selama Dinasti Parthiyyah dan Dinasti Sasaniyyah. Wanita pada umumnya diaggap sebagai budak terkecuali untuk “istri favorit”. Karena perempuan sebelum revolusi dianggap sebagai budak, secara otomatis hak-hak mereka sebagai manusia secara umumnya dan perempuan secara khususnya, tidak dapat mereka peroleh. Adanya pandangan dalam filsafat yang secara ringkas menggambarkan kaum perempuan sebagai berikut : 1. Perempuan adalah makhluk parasit. 2. Perempuan diciptakan untuk pria dan bukan sebaliknya. Tidak ada hubungan timbal balik antara keduanya. 3. Perempuan adalah makhluk terbelakang dan kotor. 4. Pria memiliki martabat dan perempuan tidak. 5. Perempuan sumber kejahatan, dosa serta kebencian. 6. Perempuan tidak ada yang akan masuk surga.59 Hal di atas sangat berbeda jauh dengan kondisi yang diinginkan para ulama di Iran pasca Revolusi. Menurut Khomeini, 59 Syahid Muthahhari, The Rights of Woman in Iran, dalam Risalah Hak Asasi Wanita “Studi Komparatif Antara Pandangan Islam dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia”, Sandra Islamic Philosopy Research Institute (SIPRIn) Publication, Teheran, 2004, hal. 29-30 49 tokoh yang sangat memiliki andil dalam perubahan sistem ketatanegaraan dan ideologi di Iran, perempuan adalah kaum yang sama derajatnya dengan kaum laki-laki dan bahkan memiliki hak-hak istimewa yang laki-laki tidak mampu miliki. Adapun hak-hak kaum perempuan di Iran berdasarkan ajaran Islam dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu, pertama : hak-hak umum bersama dengan laki-laki, dan kedua : hak-hak khusus yang hanya menyinggung kaum perempuan yang dipandang sebagai hak istimewa bagi kaum perempuan.60 I. Hak-hak Umum Hak-hak umum adalah hak-hak dimana hak pria dan perempuan menjadi satu untuk menjadi andil bersama sebagai umat manusia. Di sepanjang sejarah, perempuan telah dirampas sebagian dari hak-hak kemanusiannya. Islam akhirnya mampu mengembalikan hak-hak tersebut kepada perempuan. Menurut Islam, asas yang berlaku adalah persamaan laki-laki dan perempuan. Karena kemanusiaannya, tidak ada perbedaan yang mesti hadir di antara mereka dan “asas persamaan” mesti berlaku. Persamaan hak tersebut meliputi hak ekonomi, politik, keluarga, pengadilan, dan sosial sebagai berikut : Prof. S.M Khamenei, Risalah Hak Asasi Wanita “Studi Komparatif Antara Pandangan Islam dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia”, Sandra Islamic Philosopy Research Institute (SIPRIn) Publication, Teheran, 2004, hal. 74 60 50 Hak-hak ekonomi Hak-hak ekonomi yang islam berikan ini diberikan kepada kaum perempuan baik di zaman jahiliyah hingga sekarang. Hak-hak tersebut mencakup : 1. Hak kepemilikan Disepanjang sejarah, perempuan tidak menikmati hak untuk memiliki barang-barang. Malah kaum perempuan acapkali dianggap sebagai barang yang dimiliki oleh kaum lakilaki. Di Eropa, dalam beberapa dekade juga diberlakukan perempuan adanya untuk pelarangan memiliki kaum barang-barang. Bahkan ketika kaum perempuan menikahpun, kepemilikan atau setidaknya menikmatinya merupakan hal yang dilarang bagi kaum wanita, dan suaminyalah yang mengontrol. Islam bertentangan dengan apa yang diyakini oleh masyarakat tempo dulu tersebut. Islam mengakui kemerdekaan wanita dalam kepemilikan, dan menikmati kekayaannya seperti layaknya pria. Al-Qur’an mengatakan dengan tegas,...Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita pun 51 ada bagian dari apa yang mereka usahakan. (QS an-Nisa :32) 2. Hak waris Warisan juga bagian dari hak milik wanita dan dalam kebanyakan peradaban, khususnya selama Islam belum berkibar, hak ini dirampas dari wanita. Adat istiadat ini terus berlanjut bahkan sampai berabad-abad. Islam meruntuhkan kebiasaan-kebiasaan tersebut dan menuntut hak-hak untuk perempuan menerima warisan saparuh dari hak laki-laki. Adapun jumlah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam hal warisan, disebabkan karena separuh dari bagian laki-laki secara alami akan dikeluarkan untuk biaya perawatan (nafaqah), dan karena hal tersebut dalam Islam dianggap sebagai sesuatu yang adil bagi kedua belah pihak. Hak-hak politik Hak-hak politik adalah hak yang paling penting yang dinikmati oleh berbagai individu. Hak ini membuat individu menjadi efektif dalam keuntungan politiknya, sosial dan ekonominya. Dengan hak ini, ia 52 dapat ikut menentukan peraturan pemerintah, organisasi, dan tatakramanya. Hak-hak ini mencakup : 1. Baiat atau hak memberikan suara 2. Hak berserikat 3. Berperang dan mempertahankan 4. Hak obligasi Hak-hak keluarga Hak ini memberikan kaum perempuan untuk memilih pasangan mereka, yang menunjukkan kemerdekaan pribadi yang telah dirampas sejak zaman dahulu kala. Berdasarkan hak-hak keislamannya, perempuan dapat menolak siapa saja yang ia anggap tidak memenuhi syarat dalam Islam untuk menjadi pasangan. Sebelum datangnya Islam, ayah memiliki hak untuk memilih suami bagi putrinya. Dia yang memutuskan pernikahan putrinya dan putrinya tersebut tidak boleh menentang. Kadang-kadang malah dua orang saling bertukar putri untuk menikah dengan mereka satu sama lain. Ini dikenal sebagai pernikahan pengaingan (shigar) yang akhirnya diketahui sebagai sesuatu yang haram dalam pandangan Islam. 53 Hak-hak pengadilan Ini meliputi hak untuk mengeluh dan merujuk kepada pusat-pusat pengadilan untuk menentang kehendak suami atau ayah yang keluar dari ajaran Islam. Wanita memiliki hak untuk petisi, hak untuk ikut dalam rapat-rapat sidang pengadilan, memohon pelaksanaaan qisas (banding) dan ia juga dapat bertindak sebagai saksi. Hak-hak sosial Hak ini meliputi hak untuk berbuat dalam masyarakat, untuk terjun langsung dalam penetuan dan pelayanan sosial, bekerja, mempelajari seni atau profesi, menunaikan kegiatan-kegiatan sosial seperti berhaji atau bergabung dalam perkumnpulan-perkumpulan sosial. II. Hak-hak Khusus Wanita Selain hak-hak umum, Islam memberikan hak-hak khusus kepada wanita berkenaan dengan ciri-ciri alami dan sosialnya. Hak-hak khusus bagi kaum perempuan juga memiliki pembagian-pembagian yang sama seperti telah disebutkan, yang selanjutnya dibagi ke dalam hak-hak finansial dan hak-hak spiritual. Hak-hak finansial 54 Hak ini meliputi : 1. Hak untuk memiliki bagian dari pernikahan atau sering disebut sebagai mahar. 2. Tunjangan hidup (nafaqah) yanag diberikan seorang suami kepada istri dan anak-anaknya. Hak-hak spiritual Untuk hak spiritual sendiri meliputi : 1. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang baik 2. Hak untuk mendapatkan kesejahteraan 3. Hak untuk hidup bersama B. Landasan Perjuangan Politik Kaum Perempuan di Iran Perempuan Iran sama halnya dengan mayoritas perempuan di berbagai negara Islam yang cenderung menganut paham patriarki di mana laki-laki mendominasi pengambilan keputusan baik di sektor publik maupun di sektor privat (domestik). Hal ini mengakibatkan jarang yang mampu untuk memobilisasi serta memberikan sesuatu yang berarti bagi perolehan hak-hak mereka. Gerakan gender sebagai tindakan yang dilakukan dalam upaya untuk memperjuangkan keadilan dan menghapus diskriminasi diawali pada tahun 1950an yang meskipun tidak berbasis pada aksi namun mampu menyadarkan beberapa kaum perempuan di berbagai belahan dunia. Hal ini juga sedikit banyaknya mengajak perempuan Iran mengkaji posisi perempuan dalam Islam dan peranan perempuan di negara Islam modern. 55 Hal yang menguntungkan bagi perempuan Iran adalah, pasca Revolusi yang mengubah sistem ketatanegaraan Iran menjadi Republik Islam Iran yang berbasis pada mazhab Syi’ah, perempuan Iran sangat diperhatikan keberadaannya dan tertuang dalam konstitusi negara. Meskipun demikian, pada kenyataannya, meski hak-hak politik mereka telah diakui oleh negara, namun dalam praktikalitasnya, perempuan Iran tetap berjuang untuk keluar dari subordinasi politik yang menimpa mereka. B.1. Dasar Perjuangan Paham Islam yang menjadi landasan negara Iran, seringkali menjadi alasan konsep hak asasi manusia maupun implementasinya untuk masih cenderung berpihak pada kepentingan laki-laki (male bias). Hal ini mengingat struktur yang masih tertanam kuat dalam masyarakat Iran yang cenderung patriarki, yakni struktutr yang menempatkan laki-laki berada pada posisi “kuat” dan “memegang” perempuan. Pandangan ini pulalah yang membatasi perempuan dalam politik. Dalam bidang politik, kaum perempuan dianggap sekunder dan tidak memiliki otonomi penuh berkuasa atas dirinya. Paham Islam menyebutkan bahwa, pada level mikro (keluarga), kepentingan seorang perempuan diwakili oleh suara laki-laki : untuk perempuan yang belum menikah diwakili oleh ayahnya, sementara bagi perempuan yang telah bersuami, maka yang mewakili suaranya adalah suaminya. 56 Hal ini berlandaskan pada asumsi yang menurut mereka berlandaskan Islam, bahwa laki-laki adalah kepala keluarga, dan implikasinya yang acapkali berkembang adalah bahwa urusan perempuan adalah urusannya yang harus diwakilkan kepada laki-laki. Hal ini berarti perempuan tidak memiliki hak suara. Berdasarkan pandangan ini, maka seringkali keterlibatan perempuan dalam urusanurusan publik pun diwakili oleh wali yang berjenis kelamin laki-laki, entah itu suami atau ayahnya. Sementara pada level makro, isu partisipasi politik perempuan masih diperdebatkan. Salah satu isu yang diangkat adalah anggapan bahwa perempuan diakui memiliki hak untuk memilih tetapi hak untuk dipilih masih dipertanyakan karena adanya anggapan dalam Islam bahwa yang seharusnya memimpin adalah laki-laki dan perempuan tidak pantas memimpin. Meskipun pada kenyataannya, Iran telah mengakui hak politik perempuan pada tahun 1963, terbukti pada adanya pengakuan negara Iran terhadap pembolehan perempuan untuk mencalonkan diri, namun tetap pada level praktikalitas, tetap perempuan masih di bawah level laki-laki. Berangkat dari hal tersebut, maka dasar perjuangan perempuan di Iran adalah upaya-upaya untuk menghapuskan perempuan dari beberapa hal sebagai berikut : 1. Diskriminasi dan pembatasan hak-hak perempuan 2. Stereotipe dan prasangka terhadap perempuan 57 3. Perempuan cenderung tidak sadar akan kedudukannya di mata hukum, hak-hak yang dimilikinya, pengaruh hukum atas dirinya, serta keberadaannya yang cenderung dijadikan sasaran/objek ketidakadilan.61 B.2. Tujuan Perjuangan Gerakan para feminis dari berbagai negara memiliki tujuan yang sama yaitu untuk penghapusan diskriminasi yang terjadi kepada kaum perempuan dan untuk memperoleh hak-hak politik yang telah dijanjikan dalam beberapa deklarasi serta konvensi yang pada akhirnya tertuang dalam konsitusi negara masing-masing. Namun, secara eksplisit disebutkan bahwa tujuan para feminis Iran difokuskan pada upaya untuk : 1. Menciptakan front solidaritas perempuan Iran untuk membela hak-hak perempuan dan meningkatkan kesadaran serta menghimpun kekuatan perempuan melalui persatuan dan solidaritas. 2. Ikut andil dalam mengangkat status sosial dan budaya perempuan di sektor-sektor umum dan khusus. 3. Ikut serta secara aktif dalam menyumbangkan gagasan, pendapat dan karya sesuai program-program nasional 61 Ida Ruwaida Noor, Agenda Demokratisasi oleh dan untuk Perempuan, dalam Jurnal demokrasi & HAM, The Institute for democracy and Human Right, The habibie Centre, Jakarta, Vol.1, No.1, Mei-Agustus 2000, hal. 127 58 yang bertujuan mengembangkan kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi kaum perempuan. 4. Ikut ambil bagian dalam pemberantasan buta huruf melalui penyelenggaraan paket pendidikan dan pengajaran tulis baca disamping peningkatan kesadaran sosial, budaya dan politik. 5. Berupaya mendirikan lembaga pendidikan sosial dan individual perempuan yang bertujuan memecahkan berbagai masalah-masalah umum dan khusus perempuan. 6. Mendirikan penerbitan untuk lahan penyebaran hasil karya perempuan di berbagai bidang keilmuan, seni, keterampilan, dan kebudayaan. 7. Mengikutsertakan perempuan dalam kehidupan politik sebagai salah satu pilar demokrasi yang hakiki.62 Ali Hosein Hakeem, et, al, Membela Perempuan “Menakar Feminisme dengan Nalar Agama”, Al Huda, 2005. 62 59 BAB IV PERJUANGAN POLITIK KAUM PEREMPUAN DI IRAN, KENDALA DAN PROSPEKNYA Gender sebagai alat analisis umumnya dipakai oleh penganut aliran ilmu sosial konflik yang memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural dan sistem yang disebabkan oleh gender. Gender, bukanlah merupakan perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen berbeda. Sedangkan gender adalah perbedaan perilaku (behaviour differences) antara lakilaki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang buka kodrat atau bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial yang panjang. Perbedaan gender (gender differences) pada proses berikutnya melahirkan peran gender (gender role) dan dianggap tidak menimbulkan masalah, maka tidak pernah digugat. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan kemampuan manusia lebih tepatnya kaum perempuan untuk merasakan adanya struktur ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan label antara laki-laki perempuan. Secara umum, ketidakadilan yang acapkali menghantam kaum perempuan berangkat dari pelabelan gender adalah sebagai berikut : 60 Marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan Meskipun tidak setiap marginalisasi perempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender, namun yang dipersoalkan adalah marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender. Kita ambil contoh dalam dunia kerja skala kecil, guru taman kanak-kanak dengan gaji yang dapat kita perkirakan selalu merujuk sebagai pekerjaan wanita dan bos besar dengan gaji yang melimpah selalu merujuk pada kaum laki-laki. Atau dengan adanya paradigma bahwa sekretaris selalu menjadi jabatan yang diduduki oleh perempuan, yang nilainya jauh lebih lebih, berada di bawah kendali dan kontrol atasan yang notebene dilabelkan pada kaum laki-laki. Hal ini semuanya merupakan permasalahan pemiskinan perempuan akibat dari bias gender. Subordinasi pada salah satu jenis kelamin, umumnya kepada kaum perempuan Dalam rumah tangga, masyarakat maupun negara-negara Islam banyak membuat kebijakan tanpa menganggap penting kaum perempuan. Apalagi di beberapa negara-negara Islam yang berkedok dengan alasan agama bahwa perempun adalah kelas kedua di bawah perintah laki-laki sebagai pemimpin dalam sebuah rumah tangga. Terlebih lagi, dengan adanya anggapan bahwa kelak perempuan akan berakhir di dapur, jadi mengapa harus bersusah-susah untuk disekolahkan tinggi-tinggi. Hal demikian adalah bentuk subordinasi yang dimaksudkan. Bentuk dan mekanisme proses subordinasi tersebut dari waktu ke waktu dan dari 61 tempat ke tempat berbeda. Misalnya, karena perempuan memiliki pembawaan “emosional” sehingga dianggap tidak tepat tampil sebagai pemimpin partai atau manager, adalaah juga proses subordinasi dan diskriminasi berdasarkan gender. Untuk negara-negara Islam, dengan alasan doktrin agama, kaum perempuan tidak boleh memimpin apapun, termasuk masalah keduaniawian, tidak dipercaya memberikan kesaksian, bahkan tidak memperoleh warisan. Adanya salah penafsiran akan agama yang mengakibatkan subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan itulah yang dipermasalahkan. Pelabelan negatif (stereotipe) terhadap jenis kelamin tertentu Akibat dari stereotipe ini terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakasilan lainnya. Umumnya di dalam masyarakat Islam, banyak sekali stereotipe yang dilekatkan kepada kaum perempuan yang berakibat, membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Karena adanya keyakinan masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah (bread winer) misalnya, maka setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dinilai hanya ssebagai tambahan saja, dan oleh karenanya boleh dan layak dengan dibayar lebih rendah. Itulah juga sebab mengapa dalam sebuah keluarga, sopir (dianggap sebagai pekerjaan laki-laki) seringkali dibayar jauh lebih tinggi dibanding pembantu rumah tangga (peran gender perempuan), meski pada kenyataannya tidak ada seorangpun yang mampu menjamin bahwa pekerjaan sopir lebih berat dan sulit dibanding memasak, mencuci dan sebagainya. 62 Kekerasan (violanve) terhadap jenis kelamin tertentu Kekerasan ini umumnya terhadap perempuan, karena perbedaan gender. Kekerasan ini mencakup kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan yang lebih halus bentuknya seperti pelecehan seksual (sexual harassment). Banyak sekali kekerasan terhadap perempuan yang terjadi karena adanya stereotipe gender. Karena adanya perbedaan gender dan sosialisasi gender yang amat lama, sehingga mengakibatkan kaum perempuan dianggap secara fisik lemah dan laki-laki pada umumnya lebih kuat. Untuk kasus pada beberapa negara-negara yang bernafas Islam, unsur kekerasan terjadi karena lagi-lagi adanya paham bahwa perempuan selalu berada di kelas bawah dan berada dalam kontrol dan kemauan laki-laki. Adalah sah bagi laki-laki untuk memukul dan mencambuk istri dan anak-anaknya dengan mengatasnamakan agama. Stereotipe gender yang dilekatkan pada kaum perempuan menjadi alasan kekerasan kebanyakan terjadi dan menimpa kaum perempuan. Beban kerja yang lebih lama Karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban domestik lebih banyak dan lebih lama (burden). Dengan kata lain, peran gender perempuan mengelola, menjaga dan memelihara kerapian tersebut, telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyrakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik. 63 Sosialisasi peran gender tersebut menimbulkan rasa bersalah pada perempuan jika tidak menjalankan tugas-tugas domestik tersebut. Sedangkan bagi kaum laki-laki, tidak saja merasa bahwa hal tersebut bukan salah satu dari tanggung jawabnya, bahkan di banyak tradisi mereka dilarang untuk terlibat dalam pekerjaan domestik. Beban kerja tersebut secara logis akan bertambah, jika perempuan yang juga bekerja dan menghasilkan nafkah di luar, karena mereka masih tetap harus bertanggung jawab atas keseluruhan pekerjaan domestik. Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling berkait dan secara dialektika saling mempengaruhi. Manifestasi ketidakadilan tersebut “tersosialisasi” kepada kaum laki-laki secara perlahan namun pasti, yang lambat laun akhirnya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya dipercaya bahwa peran gender tersebut seolah-olah adalah kodrat. Lambat laun terciptalah suatu struktur dan sistem ketidakadilan gender yang “diterima” dan sudah tidak dirasakan lagi adanya sesuatu yang salah. Persoalan ini akhirnya menjadi kepentingan kelas, dimana banyak pihak yang akhirnya berupaya untuk mempertahankan sistem dan struktur tersebut. A. Perjuangan Hak Politik Kaum Perempuan di Iran Berdasarkan deskripsi di atas, maka pertanyaan yang sesuai dengan pertanyaan penelitian adalah bagaimana gerakan gender tehadap perjuangan politik kaum perempuan di Iran? Seperti yang telah disebutkan di atas, salah satu manifestasi ketidakadilan gender adalah subordinasi gender khususnya kaum 64 perempuan. Anggapan bahwa perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi ini diperkuat oleh tatanan budaya dan agama yang semakin menekan kebebasan perempuan untuk memperoleh hak-hak politik mereka, perempuan dan politik merupakan sebuah perpaduan kontras yang menurut sebagian besar masyarakat adalah tidak mungkin. Gerakan perempuan di Republik Islam Iran terbilang lebih maju dibandingkan negara-negara Islam lainnya di Timur Tengah. Meski mengalami banyak hambatan mulai dari tafsir agama maupun budaya etnis serta kebijakan pemerintah, namun kenyataannya gerakan perempuan di Iran dapat tumbuh dan berkembang, bahkan muncul banyak tokoh-tokoh perempuan Iran yang eksistensinya diakui masyarakat internasional. Terdapat tiga (3) fase dalam menggambarkan gerakan perempuan di Iran pasca kemenangan revolusi Islam : Fase pertama, sepuluh tahun pertama pasca revolusi Islam (1979-1989, di era pemerintahan Ayatullah Khomeini) menghasilkan berbagai peraturan yang bias gender. Misalnya peraturan yang melarang jabatan hakim bagi perempuan, dengan alasan wanita lebih emosional dan irasional. Pada era ini, sudah mulai muncul oposisi gerakan perempuan Iran yang melakukan perlawanan terhadap berbagai kebijakan yang merugikan hak-hak kaum perempuan dan korban kekerasan. 65 Fase kedua, sepuluh tahun kedua (1989-1999) pasca revolusi islam terjadi perubahan terhadap berbagai peraturan yang bias gender. Peraturan tersebut secara bertahap mulai direvisi. Sehingga 11 tahun setelah revolusi islam, pemerintah mencabut pelarangan hakim perempuan di Iran. Pada era ini, pemerintahan Iran juga membuat kebijakan yang menjamin hak-hak reproduksi Perempuan. Perempuan Iran sudah ada yang menjadi anggota parlemen, bahkan ada yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan. Hal ini tentunya dampak signifikan dari jaminan pelaksanaan hak atas pendidikan rakyat Fase ketiga, sepuruh tahun ketiga (1999 sampai dengan sekarang), pada fase ini, banyak perempuan, baik secara individu maupun berkelompok terus memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi di Iran. Mereka yang kemudian menciptakan model gerakan perempuan di Iran. Model yang dikembangkan adalah: tuntutan yang diajukan kaum perempuan didominasi oleh persamaan hak-hak perempuan dan perlindungan hak anak. tuntutan merevisi hukum keluarga di Iran karena banyak yang mengabaikan hak perempuan dan anakanak, terutama hukum yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian dan implikasinya. menyuarakan gagasan bahwa HAM universal tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal-hal yang sudah 66 jelas di atur dalam Al-Quran., misalnya hak waris yang berbeda antara laki-Iaki dan perempuan, daan kewajiban menggunakan jilbab, tidaklah menjadi bagian yang mereka gugat. Inilah yang membedakan gerakan perempuan barat dengan gerakan perempuan di Iran, di Iran gerakan perempuannya justru menyakini banyak pihak bahwa ajaran Islam dan hukurn Islam tidaklah bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM universal.63 Adapun faktor-faktor yang mendorong sehingga terjadi perubahan kebijakan di Iran terhadap perempuan dan yang secara signifikan juga telah mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya gerakan perempuan di Republik Islam Iran adalah sebagai berikut: o Faktor pertama adalah meningkatnya pendidikan. o Faktor yang kedua adalah perubahan politik di dalam negeri karena munculnya kesadaran dan tafsir hukum Islam yang tidak lagi didasari budaya patriarki. Selain itu ada temuan yang menarik, ternyata perempuan-perempuan Iran yang terusir dari negeri Iran karena menolak kebijakan pemerintah tetap bisa berhubungan dengan organisasi perempuan dalam negeri Iran, atau tetap bisa 63 Syafiq Basri, Iran Pasca Revolusi : Sebuah Reportase Perjalanan, PT.New Aqua Press, 1987. Hal.29-31 67 rnemberikan informasi berkaitan dengan perkembangan Iran. o Faktor ketiga, Munculnya tokoh-tokoh perempuan Iran yang berani melawan kondisi sosial politik dan sosial budaya di Iran, mereka berjuang sesuai dengan latar belakang keahliannya. Tokoh-tokoh tersebut berupaya menegakan HAM dan demokrasi di negerinya. o Faktor keempat, ada faktor lain, yaitu munculnya kesadaran Para Mullah (pemuka agama) dan pemimpin Iran bahwa ajaran Al Quran senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan kitab tersebutlah yang menjadi dasar islami bagi konstitusi Iran, sehingga pemerintah pun mau melakukan telaah kembali bagi kebijakan-kebijakan pemerintahan Iran yang bias gender. o Faktor kelima, Faktor sosial budaya masyarakat yang menghormati perempuan mulia dalam sejarab Islam, misalnya, Putri Rasullah SAW, Fatimah Az Zahra, dimana kemuliaan Fatimah, perilakunya yang santun, lemah lembut, pintar, berani dan bijak, dijadikan doktrin nilainilai yang dianut masyarakat Iran dan terinternalisasi dalam budaya masyarakat. Nilai-nilai ini berisi ajaran agar kaum laki-laki dan perempuan saling menghargai, 68 menghormati, memahami hak dan kewajibannya masingmasing.64 Di Iran, gerakan gender yang lahir memberikan konstribusi yang sangat penting dalam mewujudkan keadilan gender bagi perempuan dan menghapus subordinasi perempuan dalam bidang politik. Organaisasiorganisasi yang memfokuskan perhatian mereka pada terwujudnya keadilan gender bagi kaum perempuan serta menghapus subordinasi perempuan dalam bidang politik secara nyata dan dapat memberikan partisipasi politik aktif baik secara konvensional maupun dalam bentuk non-konvensional. Organisasi-organisasi LSM perempuan di Iran tercatat sebanyak 326 LSM yang bergerak di berbagai bidang, seperti pendidikan, budaya, dan beberapa yang mengkhususkan diri dalam membantu dan memberikan pelayanan sosial kepada kaum miskin. Pendukung paling utama adalah bahwa kebijakan pemerintah Iran yang telah merevisi beberapa dari kebijakan mereka yang bias gender. Dahulu, tidak dapat dipungkiri, kebijakan pemerintah tidak bisa lepas dari budaya yang berlaku secara nasional. Karena itu, tidak mengherankan jika tidak sedikit kebijakan pemerintah yang menganut budaya Timur di negara-negara Timur Tengah dan Islam yang terkait dengan perempuan menampakkan bias gender. Namun, yang terjadi di Iran pasca kemenangan Revolusi Islam telah terjadi perbaikan kebijakan negara secara bertahap berkaitan dengan persamaan hak perempuan. 64 Ibid 69 Padahal jika kita menilik ke belakang, di awal revolusi, banyak juga kebijakan pemerintah yang mendiskriminasikan kaum perempuan, di antaranya yang dialami oleh Shirin Ebadi yang telah menjadi hakim selama empat tahun di era Shah Pahlevi, yang kemudian diturunkan dari jabatannya karena kebijakan pemerintah Khomeini beranggapan perempuan tidak dapat dijadikan hakim karena lebih mengutamakan emosional atau perasaan serta irasional. Namun sekarang, kebijakan yaang mendiskreditkan perempuan sebagai hakim telah berubah. Data terakhit menyebutkan bahwa hakim perempuan di Iran hingga tahun 2010 telah mencapai 300-an lebih orang. Meski demikian, para hakim tersebut, masih belum menduduki jabatan pimpinan pengadilan dan masih sebatas menangani kasus yang berkaitan dengan hukum keluarga (perkawinan, perceraian, dan waris atau pembagian harta).65 Perubahan sosial dan budaya yang berpihak terhadap perempuan di Iran ternyata sangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu, pertama, political will dari pemerintahan Iran dan yang kedua, adanya peran dari para ulama setempat. Perkembangan konstitusi tentang kebijakan-kebijakan yang dampaknya mengarah ke kaum perempuan oleh pemerintah, ditandai dengan adanya kebijakan sebagai berikut : 65 Ministry of Science, Research and Technology, quoted in Iran Newspaper,2010 70 Menetapkan hari kelahiran fatimah Az-Zahrah sebagai “Hari Ibu” di Iran Dukungan bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perempuan di Iran. Mewajibkan wanita di Iran untuk mengenakan Hijab Sementara itu, berdasarkan laporan nasional tahunan yang dibuat oleh pemerintah Iran dalam National Report on Women’s Status in The Islamic Republic of Iran66 yang diterbitkan oleh pemerintah Republik Islam Iran, menunjukkan data mengenai kesungguhan pemerintah Republik Islam Iran dalam menjamin dan melindungi hak-hak perempuan serta anak-anak. Laporan tersebut mengungkapkan bahwa perempuanperempuan Iran mendapatkan jaminan hak kebebasan dalam segala bidang kehidupan (sosial, budaya, ekonomi, hukum, dan terlebih dalam politik). Berikut adalah kutipan dari bagian laporan tahunan pemerintah Iran berkaitan dengan kebijakan pemerintah Republik Islam Iran terhadap perlindungan dan jaminan hak perempuan dan anak-anak, yang memperlihatkan adanya perhatian dan tindakan yang signifikan yang dilakukan pemerintah Republik Islam Iran dalam menangani masalah perempuan sebagai jawaban atau feedback dari perjuangan politik kaum perempuan di Iran. 66 Ibid 71 Tabel 1. kebijakan pemerintah Republik Islam Iran terhadap perlindungan dan jaminan hak perempuan dan anak-anak Issue Kekerasan Tujuan Kebijakan Pemerintah Iran Mengurangi penjualan Menandatangani Konvensi terhadap wanita dan membantu Palermo dalam upaya kaum korban kekerasan memberantas kejahatan perempuan akibat prostitusi dan transnasional pada tahun penjualan 2000. Mengevaluasi Kesetaraan Membentuk organisasi gender dalam penerimaan Iran resmi urusan wanita bidang terhadap konvensi dan sebagai pusat partisipasi politik protokol mengenai kaum perempuan dengan anti kekerasan tujuan dalam membuat terhadap perempuan kebijakan, perencanaan, dan persamaan hak- koordinasi dan monitor hak perempuan isu-isu perempuan. Mendukung financial 483 proyek NGO pusat partisipasi perempuan tahun-tahun terakhir Pada paragraf 7 bagian (b) pada aturan belanja tahun 2003, program 30228 diberlakukan untuk memperkuat peranan wanita dalam pembangunan negara dan lembaga keluarga, setelah disetujui oleh organisasi perencanaan dan 72 manajemen. Alokasi anggaran belanja terhadap 34 departemen dan organisasi di 28 provinsi dan 105 universitas bagi pembangunan sosial kaum perempuan dan partisipasi budaya sejak tahun 2003. Organisasi seperti Komisi bantuan Imam Khomeini, Organisasi Veteran Perang, Lembaga Simpatisan dan Veteran Cacat, Lembaga Sosial, Konsulat Budaya dan Sosial Wanita, Organisasi Olahraga Kaum Wanita dan semua yang memiliki anggaran mandiri untuk isu-isu gender Meningkatkan 700% anggaran belanja yang dialokasikan pada proyek bagi perempuan di tahun 2003. Persamaan hak politik Mendirikan Urusan tergabung Departemen Wanita yang dalam departemen dalam Negeri 73 da penempatan 14 organisasi di bawahnya. Mendirikan 48 kantor yang berhubungan dengan isu-isu wanita di kementrian dan badan pemerintahan seperti Departemen pendidikan, Departemen Kesehatan dan eksekutif lainnya badan- badan dan tingkat pembuat kebijakan di tahun 2000. Menerbitkan buku pegangan CEDAW oleh pusat partisipasi kaum perempuan. Perlindungan Menyetujui anggaran atas Reformasi terhadap aturan hukum bagi “hukuman atau warganegara untuk kaum pencegahan atas menentukan dukungan perempuan penjualan dan financial bagi wanita yang wanita anak” di parlemen mulai dari tahun 2003 telah bercerai. Reformasi terhadap aturan warganegara untuk menyediakan biaya hidup bagi istri dan anak oleh suaminya. Perbaikan terhadap aturan bagi warganegara untuk meningkatkan usia resmi 74 gadis untuk menikah dari usia 9 tahun menjadi 15 tahun dan kondisi menikah sebelum pubertas, yang membolehkan menikah di bawah usia nikah seijin wali dan pengadilan Sumber : Ministry of Science, Research and Technology, quoted in Iran ` Newspaper 2010 B. Kendala Perjuangan Politik Perempuan di Iran Kurangnya representasi perempuan di jajaran pemerintahan Penelitian menunjukkan bahwa struktur politik, dibandingkan faktor-faktor sosial memainkan peran yang lebih menetukan dalam rekruitmen anggota parlemen perempuan. Representasi perempuan dalam parlemen penulis gunakan untuk mencerminkan sejauhmana hak-hak politik secara langsung dilaksanakan dan bukan hanya sebatas jaminan dalam hukum dan perundang-undangan negara. Memasuki awal abad ke-21, lebih dari 95% negara di dunia menjamin dua hak demokratik perempuan yang paling mendasar yaitu : hak memilih (right to vote) dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan (right to stand for election). Selandia Baru adalah negara pertama yang memberikan perempuan hak suara pada 1893, dan Finlandia adalah negara pertama 75 melakukan adopsi dua hak mendasar tersebut pada tahun 1906. Di lain pihak, masih terdapat beberapa negara yang menolak dua hak perempuan tersebut seperti Kuwait dan Uni Emirat Arab. Republik Islam Iran sendiri mengakui hak untuk mencalonkan diri pada tahun 1963 dan nanti beberapa tahun terakhir negara Iran mengakui hak untuk memilih. (lihat Lampiran 1) Hal tersebut di atas menyebabkan tingkat representasi perempuan di parlemen menjadi rendah (lihat Lampiran 2), yang akhirnya mengakibatkan gampang terjadinya pelanggaran hak-hak demokratis perempuan. Tingkat representasi yang tidak setara dalam badan legislatif mengartikan bahwa representasi perempuan, yang sepatutnya menjadi suatu fungsi demokratisasi, ternyata lebih berfungsi untuk mempertahankan status quo. Beban ganda mengenai tugas-tugas rumah tangga dan kewajiban profesional Kenyataan umum menyebutkan bahwa perempuan membawa ketidakseimbangan pembagian kerja rumah tangga. Partisipasi perempuan dalam politik selanjutnya dibatasi oleh kemiskinan dan kurangnya informasi. Harus diakui bahwa sulit bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik ketika perhatian utamanya adalah kelangsungan hidup mereka sendiri serta ketika mereka tidak mempunyai pilihan kecuali untuk meluangkan waktu mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. 76 Menjadi perempuan yang memiliki pekerjaan hanya memiliki dua kemungkinan, mempunyai kerjaan penuh waktu (fulltime jobs) seperti bertindak sebagai istri dan ibu saja atau memiliki karier lainnya yang juga penuh waktu (sepertti menjadi ahli hukum, dokter, peneliti, dan lain-lain). Menjadi anggota parlemen dalam kondisi seperti itu kemungkinan akan dipertimbangkan sebagai pekerjaan penuh waktu yang ketiga (tersier) Ideologi gender dan pola-pola kultural maupun peran sosial yang ditetapkan sebelumnya yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki Di banyak negara Islam, trdisi tetap berlaku untuk menekan dan sering mendikte bahwa peran utama perempuan adalah sebagai istri dan ibu. Sistem nilai patriarki, kaku, dan tradisional menampilkan peran-peran yang tersegregasi secara seksual, dan ini yang disebut sebagai “nilai-nilai kultural tradisisonal” yang menghalangi terjadinya kemajuan, perkembangan dan partisipasi perempuan dalam berbagai proses politik. Masyaraakat di seluruh dunia didominasi oleh suatu ideologi tentang “kedudukan perempuan”. Menurut ideologi ini, perempuan tidak harus memainkan peran “ibu yang bekerja”, yang secara umum diupah rendah dan apolitis. Ini adalah lingkungan yang paling banyak dihadapi oleh perempuan yakni suatu imajinasi kolektif yang pasti tentang 77 perempuan dalam peran-peran tradisional yang terus berlangsung. Imajinasi tentang seorang pemimpin adalah seseorang yang bersifat aseksual dalam berbagai sikap dan pernyataannya, meskipun ia adalah seorang perempuan. Kenyataan bahwa adanya aturan permainan laki-laki yang tidak tertulis menyebabkan politisi perempuan pada umumnya, dan perempuan anggota palemen khususnya, harus mengalami kesulitan yang tidak menyenangkan ini dalam arena politik. Seakan-akan mereka berada di suatu tempat yang bukan tempat mereka, dan berperilaku dengan caracara yang tidak alamiah bagi mereka. Persepsi perempuan tentang politik sebagai permainan “kotor” Basis dari politik menurut perempuan adalah korupsi yang pasif yang dapat dijelaskan melalui suatu pertukaran antara kemajuan dan keuntungan dari pasar publik (seperti legislasi, anggaran belanja), dan pasar ekonomi (seperti dana, suara dan jabatan), yang memperoleh keuntungan finansial dengan menghindari kompetisi dan mendorong perkembangan kondisikondisi yang monopolistik. Di samping hal itu, biaya untuk keperluan kampanye pemilihan yang signifikan telah menjadi jelas, yang pada gilirannya muncul godaan untuk menggunakan berbagai sumber keuangan yang tersedia seperti yang disebutkan di atas. Perempuan yang membuat keputusan untuk mengadakan pemilihan harus menangkap semua situasi dan kondisi ini untuk 78 dipertimbangkan dan siap untuk melawan “penyakit” korupsi. Kaum perempuan lebih banyak beranggapan bahwa demokrasi berarti munculnya keterbukaan akibat dari pluralisme politik dan kebebasab pers, maka liberalisasi politik berarti menunjukkan satu hal yang tidak kalah pentingnya, yaitu membasmi korupsi. Keterlibatan media massa Media massa pantas disebut disebagai pilar keempat kekuasaan, karena pengaruhnya terhadap opini dan kesadaran publik. Media massa di berbagai masyarakat mempunyai dua peran yaitu memberi catatan mengenai serangkaian peristiwa mutakhir dan sebagai pemberi informasi mengenai opini publik, dengan demikian membantu perkembangan berbagai sudut pandang yang berbeda. Acapkali, media massa cenderung meminimalkan pengungkapan kepentingan berbagai terhadap publikasi-publikasi peristiwa perempuan. perempuan dan organisasi-organisasi Media tidak massa, secara termasuk memadai menginformasikan hak dan peran perempuan dalam masyarakat ; tidak juga mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan langkah perempuan dalam masyarakat; tidak juga mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan langkah-langkah pemerintah untuk memperbaiki posisi kaum perempuan. Hal yang sama terjadi di Republik Islam Iran, bagaimana langkah-langkah LSM perempuan seringkali tidak banyak yang 79 diliput oleh media massa terutama media massa yang datangnya dari luar Iran atau media massa barat. Hal ini ditandai dengan lebih dari 80% propaganda media massa berusaha menunjukkan lemahnya sistem Rpublik Islam Iran dalam mengangkat martabat perempuan. Padahal data-data resmi menunjukkan kemajuan yang signifikan yang dicapai kaum perempuan Iran dalam sebuah sistem Islam di Iran.67 C. Prospek Perjuangan Politik Perempuan di Iran Adapun faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan kebijakan di Iran terhadap perempuan dan yang secara signifikan juga telah mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya gerakan perempuan di Republik Islam Iran, yang menjadikan prospek pergerakan politik mereka sangat cerah adalah sebagai berikut : Meningkatnya pendidikan di Iran Kenyataan masyarakat Iran masa kini, dimana hak pendidikan bagi laki-laki dan perempuan adalah sama, bahkan pemerintah Iran memberikan tunjangan pembelian buku baru setiap bulan bagi pegawai pemerintah dan keluarganya. Buku-buku yang terbit di Iran pun cukup banyak setiap tahunnyadan sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Parsi (Persia) dan Inggris, kedua bahasa yang mayoritas dipahami rakyat Iran. 67 Dikutip dari pidato Wakil sekertaris Dewan Tinggi Keamanan Iran, Rahmani Fadli 80 Pendidikan di Iran pasca revolusi Islam juga sangat maju. Hal ini ditandai dengan pemenuhan hak pendidikan oleh negara yang sudah dilaksanakan secara efektif. Kemajuan dalam bidang pendidikan ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi politik perempuan dan kesadaran akan kesetaraan gender di Iran tersebut. Hal ini disebabkan juga dengan telah adanya kebijakan pendidikan di Iran yang memang diperuntukkan bagi semua warga Iran, tanpa membedakan laki-laki maupun perempuan lagi. Sehingga tidak mengherankan ketika terjadi keseimbangan yang signifikan antara murid laki-laki dan perempuan di berbagai tingkat pendidikan mulai dari tingkat dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Perubahan politik di dalam negeri Iran maupun perubahan politik internasional secara umum Untuk perubahan di dalam negeri, dipengaruhi oleh munculnya kesadaran dan tafsir hukum Islam yang tidak lagi didasari akan budaya patriarki, dan kesadaran bahwa banyak prinsip-prinsip HAM universal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkan untuk perubahan secara politik internasional, hal ini dipengaruhi oleh Deklarasi HAM PBB (Perserikatan bangsa-Bangsa) yang harus dihormati oleh seluruh 81 anggota PBB, termasuk Iran. Hal ini dipengaruhi juga dengan berkembangnya wacana serta berbagai konvensi internasional yang menentang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan serta segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Saat ini, setelah hampir tiga dasawarsa revolusi Islam Iran, hampir di seluruh sektor kehidupan di Iran ada partisipasi dan keterlibatan perempuan, misalnya sudah banyaknya perempuanperempuan Iran yang menjadi insinyur teknik, elektro, dan sipil, kemudian hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum juga telah dimiliki oleh perempuan-perempuan Iran, bahkan telah ada yang menjadi anggota parlemen dan terlibat dalam pemerintahan sebagai pembuat dan penentu kebijakan, misalnya, Rafat Bayat, Faribo Alaswand, dan lain-lain. Bidang kesehatan sendiri, telah banyak perempuanperempuan Iran yang menjadi dokter, baik dokter gigi, kandungan maupun dokter umum. Sementara di bidang ekonomi, banyak yang telah mampu bekerja sebagai pengusaha, pengrajin, dan sebagainya. Untuk bidang seni dan sosial, banyak yang menjadi pemain alat musik tradisional dan pencipta lagu, menjadi guru, seniman, budayawan, pekerja sosial dan aktivis. Singkatnya, kesetaraan gender telah mampu dicapai karena telah adanya pendidikan setara dan berubahnya sistem politik dalam negeri yang ditunjang oleh perubahan politik dunia internasional. 82 Munculnya tokoh-tokoh perempuan Iran yang fenomenal Tokoh-tokoh ini telah berani melawan kondisi sosial politik dan sosial budaya yang ada di Iran, sesuai dengan latar belakang keahlian masing-masing tokoh. Satu hal yang menjadi tujuan para figur perempuan tersebut adalah untuk berupaya menegakkan HAM dan demokrasi di negeri Republik Islam Iran. Tokoh-tokoh tersebut seperti Shirin ebadi, Ziba Mir Hosseini, Marjane Satrapi, Bibi Khatoon Astarabadi, Noor-ol-Hoda Mangeneh, Mohtaram Eskandari, Sediqeh Dowlatabadi, Qamar olMolouk Vaziri, Simin Behbahani, Tahmineh Milani, Elaheh Koulaei, farah Karimi dan lain-lain. Tumbuh dan berkembangnya gerakan perempuan di Republik Islam Iran juga disokong oleh perjuangan para aktivis melalui organisasi-organisasi LSM dalam memperjuangkan hakhak perempuan dan anak-anak yang tidak mengenal lelah apalagi menyerah menegakkan HAM dan demokrasi di Iran. Perjuangan dan karya mereka mendapat banyak penghargaan dan pengakuan internasional. Setidaknya telah ada tiga tokoh perempuan Iran yang kiprahnya telah mendunia, yaitu Shirin Ebadi, Marjane Setrapi, dan Ziba Mir Housseini. Dari ketiganya, Shirin ebadi telah mendapat hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2003. Kesuksesan perempuan-perempuan Iran ini diharapkan mampu menjembatani jurang antara kubu yang bertolak belakang di Irang, kubu reformis 83 dan kubu konservatif yang tidak menjadi bahan persoalan dalam penelitian ini. Adanya kesadaran para Mullah (petinggi agama) dan pemimpin Iran bahwa ajaran al-Quran senantiasa mengikuti perkembangan jaman Kesadaran para pemimpin Iran ini didasari oleh peringatan dari para Mullah (petinggi agama) bahwa ajaran AlQur’an senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan kitab tersebutlah yang menjadi dasar Islami bagi konstitusi Iran, sehingga pemerintah pun mau melakukan telaah kembali bagi kebijakan-kebijakan pemerintah Iran yang bias gender. Dalam Pembukaan UUD Republik Islam Iran terdapat dua paragraf yang khusus berbicara tentang perempuan, yang intinya menyebutkan, kewajiban pemerintah memberikan penambahan (proporsi) yang besar atas penunaian hak-hak kaum perempuan yang pada rezim sebelumnya menderita opresi yang besar. Sedangkan dalam tubuh UUD Republik Islam Iran terdapat dua pasal khusus yang berkaitan dengan perempuan, yaitu pasal 20 dan 21. Pasal 20 membahas kesetaraan di hadapan hukum. Di pasal ini tertulis, “Semua warga negara, baik laik-laki maupun perempuan, secara setara menerima perlindungan hukum dan 84 memiliki semua hak kemanusiaan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang sesuai dengan kriteria Islam”. 68 Sedangkan pasal 21 membahas khusus tentang hak-hak perempuan. Pemerintah harus menjamin hak perempuan, yang sesuai dengan kriteria Islam, dan mewujudkan tujuan-tujuan di bawah ini: 1) menciptakan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan kepribadian perempuan dan pengembalian hak-hak mereka, baik material maupun intelektual; 2) perlindungan terhadap para ibu, terutama pada masa kehamilan dan pengasuhan anak, dan perlindungan terhadap anakanak yatim; 3) membentuk pengadilan yang berkompeten untuk melindungi keluarga; 4) menyediakan asuransi khusus untuk janda, perempuan tua, dan perempuan tanpa pelindung; 5) memberikan hak pengasuhan kepada ibu angkat untuk melindungi kepentingan anak ketika tidak ada pelindung legal.69 68 RIMA (Review of Indonesian and Malaysian Affairs) http://www.rimanews.com/read/20101101/4667/kedudukan-perempuan-dalam-konstitusiiran, diakses hari Selasa, 29 Maret 2011 pukul 15.33 WITA 85 Adapun landasan dan sumber Islami tentang wanita pasal 20 dan 21 dalam Undang-Undang Republik islam Iran tersebut adalah sebagai berikut : 1. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.... (Al Qur’an, surah ar-Ruum [30] :21) 2. Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik lakilaki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari yang mereka kerjakan. (Al-Qur’an, surah an-Nahl [16]:97) 3. ...Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.... (Al-Qur’an, surah al-Baqarah [2]:228) 4. Janganlah membebani wanita dengan urusan-urusan yang melampaui dirinya, karena wanita adalah kembang 69 Ibid, paragraph 8 86 yang tidak boleh dibebani dengan tugas kewajiban pemerintahan (Nahjul Balaghah, Surat 31) UUD Republik Islam Iran tersebut sudah sangat jelas melindungi hak-hak wanita dan mengandung pengakuan kesetaraan gender. Sumber islami yang dijadikan dasar pun sangat jelas dan memiliki dasar yang kuat, yaitu Al-Qur’an. 87 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pamaparan data-data dan fakta-fakta di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Dalam perjuangan memperoleh hak-hak politik kaum perempuan di Iran, gerakan gender dari para aktifis yang tergabung dalam organisasiorganisasi pemerintah dan non-pemerintah yang memfokuskan perhatian mereka terhadap diskriminasi dan subordinasi terhadap kaum perempuan dalam bidang politik sangat berperan besar. Adanya tokohtokoh perempuan fenomenal yang sangat membantu dalam pergerakan perempuan di Iran, juga menjadi salah satu faktor yang mengangkat kaum perempuan untuk terlepas dari paham-paham konvensional dari masyarakat yang cenderung kaku, terikat dalam aturan patriarki dan menempatkan perempuan pada kelas kedua di dalam masyarakat. 2. Selain kedua faktor di atas, pemerintah Republik Islam Iran yang berdasarkan pada Syariat Islam dengan bantuan para Mullah (pemuka agama islam) juga sangat membuka ruang lebar untuk kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang di pemerintahan. Hal ini diwujudkan dengan berbagai program sebagai wujud dari tindakan nyata mereka demi terwujudnya kesetaraan gender bagi kaum perempuan dan laki-laki di Iran. 88 3. Dalam perjuangannya memperoleh hak-hak politik (partisipasi politik perempuan secara nyata dalam negara) di Iran, terdapat berbagai faktor penghambat dan juga faktor pendorong yang mempengaruhi perjuangan pergerakan tersebut. Faktor-faktor penghambat tersebut sangat bervariasi dan dapat dikategorikan sebagai faktor penghambat di bidang politik, sosio-ekonomi, dan kendala ideologis-psikologis. Faktor penghambat lainnya juga termasuk media massa yang kadangkala tidak memberikan pemberitaan yang benar atau adanya propaganda tentang lemahnya sistem pemerintahan dalam mengevaluasi kesetaraan gender di Iran. Sementara faktor pendorong yang membantu prospek gerakan perempuan di dalam Iran adalah meningkatnya taraf pendidikan bagi kaum perempuan di dalam negeri, adanya tokoh-tokoh fenomenal yang memprakarsai lahirnya perjuangan politik kaum perempuan, adanya perubahan politik di dalam negeri maupun internasional secara umum juga sangat berpengaruh. Selain itu, banyaknya organisasi-organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perempuan yang mewadahi pergerakan perjuangan tersebut, serta kesadaran para pemuka agama yang akhirnya dapat memberikan sikap tegas terhadap kebijakan pemerintah yang berdampak pada masa depan pergerakan politik kaum perempuan di Iran. Keadaan tersebut menjadikan Republik Islam Iran menjadi negara dengan gerakan perempuan yang terbilang lebih maju dibandingkan negara-negara Islam lainnya di Timur Tengah. Meski 89 mengalami banyak hambatan mulai dari tafsir agama maupun budaya etnis serta kebijakan pemerintah, namun kenyataannya gerakan perempuan di Iran dapat tumbuh dan berkembang, bahkan muncul banyak tokoh-tokoh perempuan Iran yang eksistensinya diakui masyarakat internasional. B. Saran Adapun saran-saran yang penulis dapat berikan dengan melihat kondisi yang dipaparkan di atas adalah : 1. Perlunya representasi yang lebih banyak lagi dari kaum perempuan di pemerintahan sehingga kendala-kendala yang dapat dihadapi oleh kaum perempuan di Iran untuk berpartisipasi dalam politik tidak lagi menemukan kesulitan dalam pelaksanaannya di lapangan. 2. Perlunya meningkatkan peran media massa dalam memuat isu-isu perempuan dan tidak lagi dijadikan sebagai sesuatu yang tidak relevan, mengada-ada, dan tidak lagi mendukung stereotipe dan mitos-mitos perempuan. 3. Perlunya mengubah pandangan beberapa kaum perempuan yang masih terjebak dalam paradigma kuno dalam masyarakat, meningkatkan kepercayaan diri kaum perempuan bahwa mereka bukanlah kelas dua dalam masyarakat dan untuk itu mereka juga memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan kebijakan dalam negara demi memperjuangkan hak-hak mereka selanjutnya. 90