BAB III - Bappenas

advertisement
BAB III
PEMBANGUNAN EKONOMI
A.
Permasalahan yang Dihadapi
Memasuki awal tahun 2000, perekonomian Indonesia
dilanda optimisme pemulihan ekonomi yang cukup tinggi di mana
proses pemulihan ekonomi yang telah mulai nampak sejak triwulan
III tahun 1999 terus berlangsung. Stabilitas moneter juga terkendali,
sebagaimana tercermin dari pencapaian tingkat inflasi yang rendah
dan nilai tukar yang menguat hingga akhir tahun 1999. Kondisi
sosial-politik dan keamanan pada waktu itu sudah membaik, dengan
proses pelaksanaan pemilihan pimpinan nasional yang dinilai
berjalan lancar dan demokratis. Berbagai perkembangan yang
menggembirakan tersebut telah memungkinkan terjadinya
penurunan suku bunga lebih lanjut hingga akhir tahun 1999 dan
menggairahkan pasar modal sehingga proses pemulihan ekonomi
mendapatkan momentumnya kembali. Dalam tahun 2000
perekonomian tumbuh sekitar 4,8 persen.
Namun demikian, sejumlah permasalahan mendasar dan
faktor ketidakpastian masih berlanjut dan menjadi kendala bagi
III - 1
proses pemulihan ekonomi secara lebih cepat dan berkelanjutan.
Dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang mengalami
krisis serupa, proses pemulihan ekonomi di Indonesia juga relatif
lebih lambat. Secara makro, kinerja tersebut masih dibayangi
stabilitas ekonomi yang rentan terhadap gejolak. Nilai rupiah sejak
beberapa bulan terakhir tahun 2000 terus bergejolak dan cenderung
merosot nilainya. Bersamaan dengan itu, pelaksanaan penyesuaian
tarif angkutan, penyesuaian harga BBM, penyesuaian tarif dasar
listirk dan kenaikan gaji PNS telah meningkatkan tekanan terhadap
kenaikan laju inflasi. Besarnya beban pengeluaran pemerintah,
terutama untuk pembayaran bunga utang dan subsidi,
mengakibatkan terbatasnya stimulus fiskal untuk mendorong
pemulihan ekonomi dan menimbulkan kekhawatiran akan
kesinambungan fiskal dalam jangka menengah panjang.
Kesemuanya ini pada gilirannya dapat menghambat pemulihan
ekonomi.
Secara mikro, masih banyaknya kendala yang membatasi
percepatan investasi swasta, baik dari dalam maupun luar negeri,
menimbulkan kekhawatiran akan kesinambungan pemulihan
ekonomi. Ekspansi kredit perbankan masih relatif terbatas meskipun
secara umum kondisi perbankan telah membaik. Kemajuan dalam
proses restrukturisasi utang perusahaan dan utang luar negeri swasta
juga belum secepat yang diharapkan, sehingga perusahaanperusahaan yang mengalami kredit macet belum dapat bergerak
secara leluasa. Di samping itu, belum terjaminnya keamanan, belum
adanya
penegakan hukum yang memadai, dan adanya
ketidakpastian dalam peraturan, termasuk dalam kaitannya dengan
akan dimulainya pelaksanaan desentralisasi pada tahun 2001, telah
mendorong para pelaku usaha untuk menunda peningkatan kegiatan
usaha dan investasi.
Sementara itu, kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam
jangka menengah juga mengkhawatirkan akibat keterbatasan dalam
penyediaan prasarana dan sarana dasar seperti jalan, listrik, telepon,
pelabuhan dan berbagai sarana transportasi yang sangat penting
untuk mendorong kegiatan usaha dan investasi. Kemampuan
III - 2
anggaran yang terbatas telah mengurangi kemampuan pemerintah
untuk membangun sarana dan prasarana dasar dan kemampuan
untuk melakukan rehabilitasi maupun pemeliharaan prasarana dasar
yang sudah dibangun.
1.
Menanggulangi Kemiskinan dan Memenuhi
Kebutuhan Pokok Masyarakat
1.1
Penanggulangan Kemiskinan
Berbagai langkah telah diupayakan untuk mengurangi
jumlah penduduk miskin yang meningkat pesat sejak terjadinya
krisis ekonomi yaitu dari 22,5 juta pada tahun 1996 menjadi 49,5
juta jiwa pada akhir tahun 1998. Peningkatan jumlah penduduk
miskin ini disebabkan oleh menurunnya daya beli penduduk miskin
dan penduduk yang berada sedikit di atas garis kemiskinan.
Kenaikan harga barang dan jasa yang tidak diikuti oleh kenaikan
pendapatan masyarakat menyebabkan garis kemiskinan bergeser ke
atas sehingga penduduk yang semula tidak termasuk miskin menjadi
miskin.
Penurunan daya beli tersebut memberi dampak ganda
terhadap perubahan pola kehidupan keluarga seperti pergeseran
pekerjaan dari sektor formal ke sektor informal, penurunan porsi
pengeluaran untuk kebutuhan pangan, kesehatan, dan pendidikan,
serta peningkatan keresahan sosial baik di tingkat keluarga maupun
masyarakat.
Sebagai hasil dari upaya pemerintah untuk mengatasi
dampak krisis yang terjadi, gejolak perekonomian telah dapat
terkendali yang ditunjukkan dari menurunnya harga barang dan jasa,
meningkatnya pendapatan masyarakat sebagai hasil hibah (transfer)
pendapatan dari program jaring pengaman sosial (JPS) dan program
pembangunan lainnya. Jumlah penduduk miskin secara bertahap
menurun menjadi 37,5 juta jiwa (pada Agustus 1999).
III - 3
Meskipun demikian, upaya pengurangan jumlah penduduk
miskin ini masih sangat rawan terhadap perubahan kondisi politik
dan ekonomi nasional, konflik sosial yang terjadi di berbagai daerah,
dan bencana alam, serta dampak dari meningkatnya kemiskinan
terkait pula dengan kemungkinan merosotnya mutu generasi (lost
generation) di masa mendatang.
Masalah kemiskinan merupakan masalah multi dimensi.
Faktor-faktor utama penyebab kemiskinan antara lain adalah: (1)
Rendahnya kemampuan dasar rumah tangga (keluarga), antara lain
adanya ketidakcukupan pangan, taraf pendidikan dan derajat
kesehatan yang kurang memadai, serta sikap hidup yang tidak
produktif; (2) Lemahnya struktur kegiatan ekonomi yang
mendukung, antara lain tidak tersedianya lapangan kerja,
ketidakmampuan masyarakat meningkatkan produksi dan
pendapatan, tidak tersedianya informasi pasar, adanya biaya tinggi,
dan adanya persaingan usaha; (3) Terbatasnya daya dukung wilayah,
antara lain rendahnya daya dukung sumber daya alam (ketersediaan
air, lahan tidak subur, iklim kering), dan terbatasnya ketersediaan
prasarana dan sarana sosial-ekonomi; (4) Terbatasnya kelembagaan
yang mendukung, antara lain lemahnya organisasi sosial-ekonomi
masyarakat, organisasi pelayanan umum yang tidak berpihak kepada
masyarakat miskin, dan peraturan yang menghambat.
Terjadinya kemiskinan juga dapat dikaitkan dengan faktor
eksternal di luar kemampuan masyarakat yang menyebabkan
kerentanan, keterpurukan, dan ketidakberdayaan antara lain adalah
dukungan sistem politik pemerintahan, perubahan siklus bisnis,
musim dan bencana alam, konflik sosial-ekonomi dan politik, dan
dampak dari suatu kebijakan pemerintah itu sendiri.
Tantangan utama yang perlu dihadapi dalam jangka pendek
dalam
penanggulangan
kemiskinan
adalah
bagaimana
menstrukturkan
intervensi
pemerintah
dan
penentuan
kegiatan/program yang diperlukan untuk dapat mengurangi jumlah
penduduk miskin dengan memperhatikan kondisi internal dan
III - 4
eksternal yang mempengaruhinya, kemampuan pemerintah dan
masyarakat, dan dukungan politik yang memadai.
1.2
Pembangunan Ketenagakerjaan
Situasi ketenagakerjaan saat ini masih belum menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan. Penciptaan kesempatan kerja
baru masih belum mampu mengurangi jumlah penganggur terbuka
seperti yang diharapkan. Pada tahun 2000, jumlah penganggur
terbuka yang tidak dapat diserap dalam pasar kerja sebanyak 5,8
juta orang atau sebesar 6,1 persen dari seluruh angkatan kerja.
Jumlah setengah penganggur, yaitu mereka yang bekerja
kurang dari 35 jam per minggu pada tahun 2000 berjumlah sekitar
30 juta orang atau sekitar 33,5 persen dari jumlah pekerja
keseluruhan. Dari jumlah ini terdapat sebanyak 10,6 juta orang
menginginkan pindah ke pekerjaan yang lebih baik.
Untuk membantu para pencari kerja yang ingin mengisi
lowongan pekerjaan di dalam dan di luar negeri, Pemerintah
menyediakan sarana dan prasarana guna meningkatkan keterampilan
dan keahlian calon pekerja. Lembaga-lembaga pelatihan, seperti
Balai Latihan Kerja (BLK) dan Kursus Latihan Kerja (KLK) yang
tersebar diseluruh wilayah baik propinsi maupun Dati II, belum
didayagunakan secara optimal. Di sebagian daerah pengalihan
fungsi lembaga pelatihan seiring dengan pelaksanaan otonomi
daerah belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Khusus bagi tenaga kerja yang akan ditempatkan ke luar
negeri, masih banyak mengalami hambatan, baik dalam proses
pengirimannya maupun dari segi pemberian perlindungan. Kurang
berjalannya
koordinasi antar instansi yang terkait dengan
pengiriman TKI, menimbulkan banyak permasalahan.
Permasalahan lain yang masih mewarnai situasi
ketenagakerjaan saat ini adalah suasana hubungan industrial yang
belum berjalan secara harmonis. Meningkatnya gejolak unjuk rasa,
III - 5
mulai dari tuntutan terhadap kenaikan upah hingga penolakan
terhadap peraturan per-undang undangan, menunjukkan bahwa
berbagai peraturan yang ada belum dapat memberikan rasa keadilan.
1.3
Pengembangan Sistem Dana Jaminan Sosial
Krisis yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997 telah
berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk miskin dari 22,5
juta orang pada tahun 1996 menjadi 49,5 juta orang pada akhir tahun
1998, kemudian menurun kembali menjadi 37,5 juta orang pada
bulan Agustus 1999. Masih cukup besarnya penduduk miskin ini,
sekitar 18,2 persen dari seluruh penduduk tahun 1999, dibarengi
pula adanya jumlah pengungsi yang meningkat sebagai akibat
adanya bencana alam dan kerusuhan sosial di berbagai daerah di
wilayah Indonesia. Saat ini jumlah pengungsi yang tersebar di
berbagai lokasi seperti Atambua (NTT), Maluku Utara, Aceh dan
Sambas, cukup besar jumlahnya dengan kondisi sosial dan ekonomi
yang sangat memprihatinkan.
Selain itu, masalah sosial lainnya yang menonjol adalah
keterlantaran dan kecacatan. Berdasarkan hasil Susenas 1998,
jumlah anak terlantar dilaporkan sebanyak 3,9 juta, sedangkan
jumlah lanjut usia terlantar tercatat sekitar 3,5 juta jiwa. Sementara
itu, masih terdapat sekitar 1,6 juta penduduk Indonesia yang
mengalami kecacatan.
Permasalahan kemiskinan, pengungsi, ketelantaran,
kecacatan ditambah dengan kondisi sosial ekonomi dan politik yang
kurang menguntungkan dewasa ini dapat memicu terjadinya
kerawanan sosial dan disintegrasi bangsa. Di sisi lain ketersediaan
dana untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut masih sangat
terbatas, dan sangat tergantung kepada kemampuan anggaran
pemerintah serta bantuan hibah dari pihak asing.
III - 6
1.4
Pengembangan
Pengairan
Pertanian,
Pangan,
dan
Pembangunan pertanian, pangan, dan pengairan telah
memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional, baik
dalam bentuk sumbangan kepada produk domestik bruto (PDB),
penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan, maupun
perolehan devisa. Secara keseluruhan PDB pertanian dan kehutanan
pada tahun 2000 tumbuh sekitar 1,7 persen dibandingkan tahun
sebelumnya.
Meskipun demikian krisis ekonomi telah
menimbulkan dampak yang cukup luas terutama pada penurunan
tingkat kesejahteraan petani yang dapat diindikasikan dengan
meningkatnya jumlah pengangguran, jumlah penduduk miskin,
serta menurunnya nilai tukar petani (NTP). Dengan jumlah
penduduk yang besar dan terus meningkat maka keberlanjutan
penyediaan pangan menjadi sangat kritis. Kondisi pangan yang kritis
ini berawal dari musim kemarau yang panjang akibat El-Nino serta
kerusakan hutan dan lahan akibat kebakaran di Sumatera dan
Kalimantan yang menjadikan penyebab menurunnya ketahanan
pangan sampai ketingkat rumah tangga. Di lain pihak upaya
peningkatan ketahanan pangan menghadapi kendala keterbatasan
lahan subur disertai terus terjadinya pengalihan fungsi lahan, serta
degradasi kualitas lingkungan. Hambatan lain adalah pola konsumsi
pangan yang masih terlalu mengandalkan pada konsumsi beras.
Upaya diversifikasi konsumsi pangan masih belum cukup berhasil
yang terlihat dari rendahnya konsumsi pangan non beras, seperti
ikan, daging, sayur-sayuran, dan buah-buahan.
Produksi padi pada tahun 2000 mencapai 51,9 juta ton atau
meningkat sebesar 2,0 persen dibandingkan tahun 1999. Selain itu,
hasil rata-rata padi pada tahun 2000 mencapai 4,4 ton per hektar
atau naik sebesar 3,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pada
saat yang sama produksi jagung, ubi jalar, kacang tanah, dan kacang
hijau masing-masing adalah sebesar 9,7 juta ton; 1,8 juta ton; 0,7
juta ton; dan 0,3 juta ton atau meningkat masing-masing sebesar 5,1
persen; 9,7 persen; 11,7 persen; dan 9,4 persen. Sementara itu
III - 7
produksi ubi kayu dan kedele mengalami penurunan sebesar 2,2
persen dan 26,4 persen.
Rata-rata nasional harga gabah kering panen (GKP) pada
tahun 2000 berkisar antara Rp. 965/kg sampai dengan Rp. 1.169/kg,
atau rata-rata sekitar 2 persen lebih tinggi dari harga dasar. Pada
saat yang sama harga gabah di tingkat produsen dalam bentuk gabah
kering giling (GKG) berkisar antara Rp. 1.239/kg sampai dengan
Rp. 1.449/kg atau rata-rata sekitar 5 persen lebih rendah dari harga
dasar. Pada tahun 2000 total penyaluran beras yang dilakukan oleh
BULOG mencapai 2,9 juta ton, dan sekitar 24,5 persen disalurkan
untuk golongan anggaran, 64,3 persen untuk Operasi Pasar Khusus
(OPK), dan sisanya untuk kebutuhan lainnya. OPK tersebut
merupakan salah satu program untuk pengentasan kemiskinan yang
dilakukan melalui penjualan langsung bahan pokok, terutama beras,
kepada keluarga miskin. Kebijaksanaan OPK juga merupakan
langkah untuk menghapus subsidi beras dari yang bersifat subsidi
kepada konsumen umum menjadi subsidi kepada anggota
masyarakat tertentu. Total penyaluran beras melalui OPK pada
tahun 2000 adalah sebesar 1,9 juta ton atau sekitar 30,6 persen lebih
rendah dibandingkan tahun 1999. Pada tahun 2000 impor beras ke
pasar domestik mencapai 1,5 juta ton, dan sekitar 64,9 persen
dilakukan oleh pihak swasta, sedangkan sisanya dilakukan oleh
BULOG.
Harga beras di pasar dalam negeri semakin tertekan dengan
dibukanya kesempatan impor yang lebih luas kepada swasta, dan hal
ini menyebabkan tingginya suplai beras di pasar dalam negeri dan
dengan harga yang lebih murah. Kebijakan penerapan bea masuk
terhadap beras impor untuk menekan arus impor tidak cukup efektif,
dan bahkan hal ini menyebabkan terjadinya penyelundupan beras ke
pasar domestik. Kebijakan harga dasar gabah tidak secara langsung
dapat efektif menjadi insentif untuk meningkatkan kesejahteraan
petani padi, akibat harus bersaing dengan beras impor yang relatif
murah.
III - 8
Produksi beberapa komoditas perkebunan seperti karet,
kelapa sawit, kayu manis, pinang, dan tebu pada tahun 2000
mengalami peningkatan sebesar 2,2 persen; 4,5 persen; 14,5 persen;
26,7 persen; dan 23,7 persen dibandingkan tahun 1999. Sementara
itu pada tahun yang sama komoditas perkebunan lainnya seperti
kelapa, teh, kapas, jarak, dan serat karung mengalami penurunan
sebesar 0,4 persen; 6,8 persen; 22,5 persen; 0,1 persen; dan 7,4
persen.
Jumlah populasi ternak pada tahun 2000 mencapai sebesar
928 juta ekor atau meningkat sebesar 34,2 persen dibandingkan
tahun sebelumnya. Perkembangan populasi ternak dan unggas pada
tahun 2000 seperti sapi perah, domba, ayam buras, ayam petelur,
ayam pedaging/broiler, dan itik meningkat masing-masing sebesar
6,6 persen; 2,8 persen; 2,6 persen; 52,4 persen; 63,7 persen; dan 5,4
persen dibandingkan tahun 1999. Di sisi lain populasi sapi potong,
kerbau, kambing, babi, dan kuda menurun sebesar 2,4 persen; 3,9
persen; 1,1 persen, 23,9 persen; dan 14,9 persen. Pada periode yang
sama produksi daging, telur, dan susu mengalami peningkatan
masing-masing sebesar 21,0 persen; 22,4 persen; dan 13,8 persen.
Perkembangan produksi perikanan selama tahun 2000
meningkat sebesar 3,9
persen dibandingkan tahun 1999. Pada
tahun 2000 tersebut produksi ikan laut dan ikan darat mengalami
peningkatan masing-masing sebesar 4,4 persen dan 2,1 persen
dibandingkan tahun sebelumnya.
Perikanan budidaya seperti
tambak, kolam, sawah, dan karamba pada tahun 2000 mengalami
peningkatan masing-masing sebesar 1,1 persen; 4,6 persen; 3,5
persen; dan 6,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara
itu pada saat yang sama produksi perairan umum meningkat sebesar
1,1 persen.
Potensi sumberdaya perikanan tangkap saat ini mencapai
sekitar 6,3 juta ton, dengan tingkat pemanfaatannya mencapai 70
persen. Sementara itu potensi perikanan budidaya mencapai 55 juta
ton, dengan tingkat pemanfaatan yang baru mencapai sekitar 2
persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi sumberdaya
III - 9
perikanan cukup tinggi, terutama perikanan budidaya. Selain itu
potensi budidaya perikanan pantai, laut, pariwisata bahari dan biota
laut masih cukup besar terutama untuk pengembangan industri
pangan baru. Sebaliknya pada perairan dangkal seperti di perairan
Selat Malaka dan Laut Jawa telah mengalami tangkap lebih (over
fishing). Belum efektifnya pengelolaan dan pengawasan di perairan
dalam telah menyebabkan terjadinya pencurian oleh nelayan asing
dan pemboman ikan dengan menggunakan bahan kimia.
Volume ekspor beberapa komoditas pertanian pada tahun
2000 seperti sayuran, olahan sayuran, tanaman hias, minyak kelapa,
minyak sawit, lada, nilam, kulit, tulang/tanduk, daging
kambing/domba, udang, dan rumput laut mengalami peningkatan
masing-masing sebesar 9,3 persen; 39,8 persen; 65,0 persen; 110,2
persen; 24,6 persen; 79,0 persen; 102,6 persen; 12,3 persen; 34,9
persen; 176,8 persen; 9,5 persen; dan 53,4 persen dibandingkan
tahun 1999. Sebaliknya volume ekspor komoditas pertanian seperti
buah-buahan, karet, kopi, jambu mete, jahe, rempah-rempah, DOC
ayam bibit, dan telur tetas pada tahun 2000 mengalami penurunan
masing-masing sebesar 66,9 persen; 7,7 persen; 3,8 persen; 19,4
persen; 66,8 persen; 16,7 persen; 31,7 persen; dan 80,6 persen
dibandingkan dengan tahun 1999.
Hasil pembangunan kehutanan pada tahun 2000, seperti
produksi kayu bulat mencapai 13,6 juta m3 yang berasal dari hutan
alam, areal konversi, kayu rakyat, hutan tanaman, dan hutan
tanaman industri (HTI). Pada saat yang sama produksi kayu olahan
mencapai 5,1 juta m3 yang berupa kayu lapis, kayu gergajian,
veneer, pulp, dan kayu olahan lainnya. Selanjutnya produksi hasil
hutan non kayu yang berupa rotan, damar dan hasil hutan non kayu
lainnya pada tahun 2000 sebesar 272,9 ribu ton.
Sementara itu, pengelolaan sumberdaya hutan yang kurang
memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan telah
mengakibatkan terjadinya degradasi dan deforestasi sebesar 1,6 juta
hektar per tahun yang mengakibatkan merosotnya daya dukung
sumberdaya alam dan lingkungan.
Jika hal tersebut terus
III - 10
berlangsung maka di masa mendatang bencana-bencana akibat
rusaknya sumberdaya hutan tidak dapat dihindari dan proses
menurunnya kualitas hidup akan semakin tajam karena
ketidakmampuan sumberdaya alam dan lingkungan untuk
mendukung hidup bagi generasi berikut. Kurang berhasilnya
pembangunan kehutanan pada masa lampau banyak terkait dengan
tingginya kerusakan sumberdaya hutan serta ketidakadilan dalam
pemanfaatan hasil-hasilnya. Hal tersebut tercermin dari adanya: (1)
penebangan ilegal; (2) perambahan hutan dan lahan; (3) rehabilitasi
hutan dan lahan; (4) kepedulian dan tuntutan internasional terhadap
eksistensi sumberdaya hutan; (5) tuntutan masyarakat adat yang
terkait dengan land tenure; serta (6) kontribusi sumberdaya hutan
terhadap masyarakat sekitar hutan.
Pembangunan pertanian dan pangan terkait erat dengan
pembangunan pengairan terutama dalam kaitannya dengan upaya
pengembangan pertanian, serta pemantapan swasembada pangan
yang terutama diarahkan pada optimalisasi pemanfaatan serta
perluasan jaringan irigasi dan rawa. Pada tahun 2000, pembangunan
pengairan telah meningkatkan operasi dan pemeliharaan jaringan
irigasi sebesar 6,3 juta hektar serta mencetak sawah baru seluas
9.318 hektar.
2.
Mengembangkan Usaha Skala Mikro, Kecil,
Menengah, dan Koperasi (UKMK)
Perkembangan usaha kecil dan menengah yang menjadi
sumber kehidupan ekonomi dari bagian terbesar rakyat masih
menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang fundamental.
Usaha skala kecil dan mikro yang berjumlah sekitar 39 juta (99,9
persen) menunjukkan pentingnya keberadaan mereka sebagai inti
dari ekonomi rakyat. Kontribusi usaha kecil dan mikro dalam
pembentukan PDB pada tahun 2000 (angka sementara) mencapai
sekitar 40,4 persen, namun produktivitasnya jauh tertinggal
dibandingkan usaha menengah, apalagi bila dibandingkan dengan
III - 11
usaha besar. Sementara lambatnya proses pemulihan ekonomi turut
menyebabkan usahanya masih sulit untuk berkembang, umumnya
usaha kecil dan mikro berupaya sejauh mungkin untuk bertahan.
Selain perkembangan lingkungan eksternal makro yang belum juga
kondusif, maka rendahnya rata-rata kualitas sumberdaya manusia
pada UKMK merupakan masalah internal yang paling mendasar,
melekat dan menjadi penghambat bagi berkembangnya
kewirausahaan dan profesionalitas.
Mekanisme pasar yang distortif, menyebabkan UKMK
harus menanggung beban biaya transaksi yang sangat besar.
Keadaan ini tercipta akibat masih terdapatnya regulasi dan retribusi
(yang dipungut) yang dasar hukum dan pertimbangan ekonominya
kurang kuat. Bersamaan dengan itu juga masih terdapat proses
perizinan yang kurang transparan. Bahkan dalam masa transisi
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah timbul
kecenderungan pemberlakuan peraturan daerah yang dapat
diidentifikasi merugikan bagi efisiensi usaha dan efektivitas
pergerakan sumber-sumber daya produktif. Demikian juga lemahnya
koordinasi antar badan/lembaga dan partisipasi dunia usaha dan
masyarakat dalam mengembangkan program pembinaan UKMK.
Akses UKMK terhadap perbankan memang terbatas,
sedangkan penyaluran kredit perbankan kepada sektor riil juga
berkurang dibandingkan sebelum krisis. Kemampuan pemupukan
modal yang selama ini diandalkan UKMK dari hasil usahanya juga
berkurang akibat menurunnya permintaan domestik terhadap
produk mereka. Kedua hal tersebut
menyebabkan UKMK
mengalami kelangkaan sumber permodalan. Selanjutnya,
keterbatasan jumlah lembaga penyedia jasa untuk memberi akses
UKMK terhadap informasi, teknologi, dan pasar menjadi hambatan
utama UKMK untuk meningkatkan volume usaha, dan daya
saingnya, termasuk jaringan pemasaran dan sarana pendukung bagi
yang berpotensi ekspor. Sementara itu institusi pendidikan dan
pelatihan bagi UKMK juga belum tersedia dalam jumlah dan
kualitas yang memadai, termasuk institusi pelatihan yang dikelola
oleh dunia usaha dan masyarakat. Jumlah koperasi terus meningkat,
III - 12
termasuk koperasi produksi dan jasa sebagian besar mewadahi
pengusaha mikro dan kecil, namun perkembangannya secara
kualitatif belum merata ditandai dengan rendahnya partisipasi
anggota koperasi. Demikian juga fungsi koperasi untuk melayani
kebutuhan para anggotanya belum optimal.
3.
Menciptakan Stabilitas Ekonomi dan Keuangan
3.1
Peningkatan Koordinasi Pemeliharaan Stabilitas
Ekonomi
Dalam tahun 2000 proses pemulihan ekonomi terus
berlangsung. Perekonomian tumbuh sekitar 4,8 persen dengan
ekspor dan investasi sebagai penggeraknya (masing-masing tumbuh
sekitar 16,1 persen dan 8,9 persen); sedangkan konsumsi rumah
tangga tumbuh lebih lambat (sekitar 3,6 persen). Dari sisi produksi,
semua sektor menunjukkan pertumbuhan yang positif. Industri
pengolahan nonmigas tumbuh sekitar 7,2 persen; pertanian sekitar
1,7 persen; dan sektor-sektor lainnya sekitar 5,1 persen.
Pertumbuhan ekonomi membantu menciptakan lapangan
kerja bagi tambahan angkatan kerja dan pengangguran terbuka.
Tingkat pengangguran terbuka dalam tahun 2000 menurun menjadi
6,1 persen angkatan kerja. Sejalan dengan itu upah riil pekerja di
berbagai daerah dan kegiatan ekonomi meningkat mendekati masa
sebelum krisis. Pendapatan per kapita masyarakat mencapai Rp 6,4
juta atau setara dengan US$ 756.
Meskipun demikian pertumbuhan ekonomi belum didukung
oleh pulihnya kepercayaan masyarakat. Sejumlah permasalahan
mendasar dan faktor ketidakpastian masih berlanjut dan menjadi
kendala bagi proses pemulihan ekonomi yang lebih cepat dan
berkelanjutan. Dukungan investasi swasta masih terbatas, antara lain
karena gangguan keamanan dan ketertiban serta gejolak politik,
ekspansi kredit perbankan yang terbatas, dan kemajuan dalam proses
III - 13
restrukturisasi perusahaan dan utang luar negeri swasta yang belum
secepat yang diharapkan. Di samping itu, ancaman terhadap
kesinambungan anggaran negara (fiscal sustainability) menambah
unsur ketidakpastian terhadap stabilitas ekonomi.
Berbagai permasalahan mendasar dan ketidakpastian
tersebut meningkatkan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah dan laju
inflasi. Selama tahun 2000 nilai tukar Rupiah rata-rata mencapai
Rp.8.400/US$. Tekanan terhadap Rupiah meningkat terutama sejak
bulan April 2000 sebagai akibat memburuknya kondisi keamanan
serta memanasnya suhu politik menjelang Sidang Tahunan MPR
Agustus 2000, menguatnya matauang US$ terhadap hampir semua
matauang utama dunia, serta besarnya permintaan valuta asing untuk
pembayaran utang luar negeri.
Merosotnya nilai Rupiah menaikkan harga dalam Rupiah
dari barang yang dapat diperdagangkan melalui ekspor-impor
(tradable goods). Pada gilirannya, kenaikan tersebut merembet pada
barang yang tidak diperdagangkan secara internasional (nontradable goods). Tekanan inflasi menjadi lebih tinggi lagi dengan
adanya kebijakan pemerintah untuk mengurangi berbagai subsidi
serta tingginya ekspektasi inflasi di masyarakat. Dengan
perkembangan tersebut laju inflasi pada tahun 2000 mencapai 9,35
persen, lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang sebesar 2,01 persen.
Dari laju inflasi pada tahun 2000 tersebut, dampak kebijakan
pemerintah diperkirakan memberikan kontribusi inflasi sebesar 3,42
persen. Dengan demikian, kontribusi inflasi di luar kebijakan
pemerintah adalah 5,93 persen, yang masih lebih tinggi dari sasaran
inflasi Bank Indonesia untuk tahun tersebut yang ditetapkan berkisar
antara 3 persen-5 persen.
Sementara itu tingkat suku bunga SBI 1 bulan setelah
sempat menurun dari 11,48 persen pada akhir Januari menjadi 10,88
persen pada Mei 2000, kemudian berangsur-angsur meningkat
sehingga pada akhir Desember 2000 telah mencapai 14,53 persen.
Namun demikian, peningkatan suku bunga SBI tersebut tidak diikuti
oleh peningkatan suku bunga deposito secara sepadan sehubungan
III - 14
dengan tingginya ekses likuiditas bank-bank sebagai akibat belum
berjalannya fungsi intermediasi perbankan secara normal. Hal ini
juga mencerminkan berkurangnya efektivitas kebijakan moneter.
Di sektor eksternal, kinerja neraca pembayaran pada tahun
2000 menunjukkan perkembangan yang mengesankan. Transaksi
berjalan mencatat surplus yang cukup besar yaitu mencapai US$ 8,0
miliar, yang didorong oleh membaiknya kinerja ekspor migas dan
nonmigas. Berdasarkan data Bank Indonesia nilai ekspor migas dan
nonmigas dalam tahun 2000 masing-masing mencapai US$ 15,1
miliar dan US$ 50,3 miliar atau masing-masing meningkat sebesar
46,9 persen dan 22,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Membaiknya ekspor migas terutama disebabkan oleh meningkatnya
harga minyak di pasar internasional. Sementara itu, ekspor
nonmigas meningkat cukup pesat walaupun terdapat beberapa
kendala yang menghambat peluang ekspor; turunnya harga komoditi
primer; rendahnya tingkat efisiensi yang berakibat pada lemahnya
daya saing terutama dengan negara-negara di Asia; dan adanya
tuduhan dumping oleh beberapa negara tujuan ekspor. Sejalan
dengan peningkatan ekspor nonmigas, impor nonmigas dalam tahun
2000 juga meningkat sebesar 29,1 persen. Peningkatan tersebut
terutama didorong oleh meningkatnya impor bahan baku/penolong
dan barang modal.
Dalam neraca jasa, pariwisata merupakan salah satu andalan
bagi penerimaan devisa. Walaupun berbagai gejolak sosial-politik
yang berdampak negatif terhadap citra Indonesia di luar negeri
jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke
Indonesia dalam tahun 2000 masih meningkat cukup pesat. Semua
perkembangan tersebut menyebabkan surplus transaksi berjalan
meningkat dari US$ 5,8 miliar dalam tahun 1999 menjadi US$ 8,0
miliar dalam tahun 2000.
Sementara itu, lalu lintas modal bersih dalam tahun 2000
masih mengalami defisit sebesar 6,8 miliar. Defisit tersebut
disebabkan oleh menurunnya surplus lalu lintas modal pemerintah
dan defisit lalu lintas modal swasta. Penurunan surplus lalu lintas
III - 15
modal pemerintah terutama disebabkan oleh penurunan bantuan
program dan bantuan pangan. Di sisi lain, penurunan defisit lalu
lintas modal swasta terkait dengan meningkatnya arus masuk modal
swasta dan menurunnya pembayaran hutang luar negeri swasta dari
sektor perbankan.
Sekalipun lalu lintas modal masih mengalami defisit, secara
keseluruhan neraca pembayaran masih mengalami surplus sebagai
akibat besarnya surplus transaksi berjalan. Dengan demikian, posisi
cadangan devisa pada akhir Desember 2000 meningkat menjadi US$
29,4 miliar atau setara dengan kebutuhan devisa untuk membayar
impor dan utang luar negeri pemerintah selama 6,0 bulan.
3.2
Peningkatan Efektivitas Pengelolaan Keuangan
Negara
Dalam pengelolaan keuangan negara, permasalahan utama
yang dihadapi adalah menyeimbangkan antara upaya mewujudkan
anggaran negara yang berkesinambungan (fiscal sustainability)
dengan secara bertahap memperkecil defisit anggaran negara serta
menurunkan peranan pinjaman sebagai sumber pembiayaan, dengan
upaya meringankan beban masyarakat terhadap krisis serta
mendorong pemulihan ekonomi.
Defisit anggaran negara telah dapat diperkecil dari 3,9
persen PDB pada tahun 1999/2000 menjadi 1,5 persen PDB di tahun
2000. Namun demikian, beban pinjaman sampai dengan tahun 2000
masih besar seperti tercermin dari rasio pinjaman pemerintah/PDB
yang masih 98,3 persen, beban pembayaran bunga pinjaman dalam
dan luar negeri yang tercatat 31,0 persen pengeluaran rutin atau 5,1
persen PDB. Beban anggaran menjadi lebih berat lagi dengan
adanya subsidi yang masih 38,9 persen pengeluaran rutin atau 6,4
persen PDB.
Permasalahan menjadi lebih rumit lagi dengan pelaksanaan
otonomi daerah, yang sesuai dengan Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 harus dilaksanakan mulai 1 Januari 2001. Namun dalam
III - 16
tahun 2000 berbagai peraturan perundang-undangan yang
diperlukan untuk pelaksanaan otonomi daerah tersebut belum
sepenuhnya disiapkan. Pelaksanaan otonomi daerah, selain
diharapkan berdampak positif pada peningkatan efisiensi dan
efektivitas pengelolaan keuangan negara, memiliki potensi
berdampak negatif berupa gangguan stabilitas makro jika defisit
anggaran negara (pusat dan daerah) membengkak. Kemungkinan
dampak negatif yang lain adalah merosotnya pelayanan
pemerintahan, termasuk pelayanan dasar seperti pendidikan dan
kesehatan, jika pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah
pusat dan daerah tidak secara jelas ditetapkan dan secara konsisten
dilaksanakan.
Sementara itu, posisi utang luar negeri pemerintah pada
bulan Desember 2000 mencapai US$ 74.188 Juta. Bila
dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun 1999, yaitu US$
75.720, terjadi penurunan sebesar 1,1 persen. Dilihat dari
sumbernya, posisi Desember 2000 ini berasal dari utang pemerintah
bilateral 54,7 persen; multilateral 42,1 persen; dan lainnya 3,2
persen.
Dilihat dari perkembangan persetujuan yang telah
dilakukan, pledge pada tahun 2000 mengalami penurunan 54,5
persen dibandingkan tahun 1999/2000; yaitu dari US$ 7.068,2 pada
tahun 1999/2000 turun menjadi US$ 4.500,4 juta pada tahun 2000.
Pledge sebesar US$ 4.500,4 juta pada tahun 2000 tersebut terdiri
dari 93,2 persen berbentuk Bantuan Proyek dan 6,8 persen
berbentuk Pinjaman Setengah Lunak dan Komersial (untuk Proyek).
Sementara itu, nisbah Debt Service Ratio (DSR), nisbah
total utang terhadap eskpor, untuk utang pemerintah pada tahun
2000 adalah 7,2
persen. Nilai ini mengalami penurunan
dibandingkan DSR tahun 1999 yang mempunyai nilai 9,9 persen.
Permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan utang luar
negeri pemerintah ini adalah tingginya beban pembayaran pokok
dan bunga, terutama akibat menurunnya nilai tukar rupiah. Beban ini
III - 17
pada gilirannya akan mengurangi ruang gerak pemerintah untuk
melaksanakan program-program pembangunan. Di samping itu,
pemanfaatan utang luar negeri pemerintah masih dirasakan belum
optimal. Penggunaannya belum semuanya ditujukan pada proyekproyek pembangunan yang produktif dan belum dilaksanakan secara
efektif, sehingga tidak memberikan manfaat yang maksimal bagi
masyarakat. Selanjutnya, perencanaan proyek-proyek yang akan
dibiayai dari sumber luar negeri belum semuanya dibuat secara
matang. Akibatnya, sering kali proyek yang sudah mendapatkan
persetujuan pendanaan luar negeri tidak siap untuk dilaksanakan
sehingga menimbulkan beban biaya tambahan, seperti commitment
fee.
3.3
Pengembangan Lembaga Keuangan
Perkembangan lembaga keuangan secara umum akan sangat
dipengaruhi oleh iklim perekonomian secara makro. Dalam tahun
2000, meskipun pertumbuhan ekonomi tercatat cukup tinggi,
berbagai ketidakpastian yang muncul telah menghambat
perkembangan berbagai bentuk lembaga keuangan.
Kinerja pasar modal selama tahun 2000 menunjukkan
kecenderungan menurun. Hal ini tercermin dari menunrunnya
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dari 676,9 pada akhir tahun
1999 menjadi 416,3 pada akhir tahun 2000. Sejalan dengan itu nilai
rekapitalisasi pasar pada periode yang sama juga menurun dari Rp
451,8 triliun menjadi Rp 259,6 triliun.
Di sektor perbankan, seperti disampaikan pada penjelasan
program restrukturisasi perbankan, fungsi intermediasi perbankan
masih belum pulih. Selanjutnya, proses rekapitalisasi perbankan
telah berhasil dituntaskan pada akhir Oktober 2000, namun beberapa
bank masih mencatat CAR di bawah 4 persen.
Sementara itu, sumber pembiayaan alternatif di luar pasar
modal dan perbankan telah berperan mengurangi kelangkaan
III - 18
pembiayaan. Hal ini tercermin dari peningkatan kinerja perusahaan
pembiayaan dan pegadaian.
Total nilai kegiatan usaha perusahaan pembiayaan, sampai
dengan bulan Oktober 2000, naik 17,5 persen dibanding tahun
sebelumnya. Hal ini dialami oleh semua jenis kegiatan perusahaan
pembiayaan, kecuali kegiatan anjak piutang yang menurun 16,8
persen. Peningkatan terbesar terjadi pada pembiayaan konsumen,
yaitu naik 64,5 persen.
Adapun untuk pegadaian, peningkatan kinerja tesebut antara
lain tercermin dari penambahan kantor cabang dari 650 unit menjadi
700 unit. Omzet usaha pegadaian, sampai dengan Desember 2000,
meningkat dengan 31,0 persen dibandingkan tahun sebelumnya dan
mampu melayani 12,9 juta nasabah, yang berarti peningkatan
sebesar 4,5 persen dari tahun sebelumnya.
3.4
Percepatan Restrukturisasi
Dunia Usaha
Perbankan
dan
Program rekapitalisasi perbankan sebagai salah satu langkah
utama dalam kebijakan restrukturisasi perbankan telah diselesaikan
pada 31 Oktober 2000. Secara keseluruhan, selama tahun tersebut
telah dilaksanakan rekapitalisasi terhadap 6 bank umum yaitu Bank
Niaga, Bank Bali, Bank Danamon (merger dengan 8 Bank Take
Over), dan penerbitan obligasi tahap kedua BNI, BRI dan BTN.
Rekapitalisasi tersebut dilaksanakan dengan penerbitan obligasi
Pemerintah sejumlah Rp 148,6 triliun.
Dengan penyelesaian program rekapitalisasi perbankan,
telah meningkatkan total aset dan modal perbankan. Dalam tahun
2000, total aset perbankan meningkat 2,4 persen dibandingkan
Desember tahun 1999, mencapai Rp1.030,5 triliun. Dari sisi modal
perbankan perbaikannya jauh lebih besar, yaitu dari negatif
Rp
41,2 triliun pada Desember 1999 menjadi positif Rp 53,5 triliun
pada akhir 2000.
III - 19
Untuk memulihkan fungsi intermediasi perbankan, selain
melalui rekapitalisasi perbankan, juga ditempuh dengan
restrukturisasi kredit untuk membantu pemulihan usaha debitur.
Program restrukturisasi kredit bermasalah dilakukan baik oleh bank
itu sendiri maupun melalui perantaraan Satuan Tugas Restrukturisasi
Kredit (Satgas) yang dibentuk Bank Indonesia. Sementara itu, BPPN
merestrukturisasi kredit bermasalah yang ditransfer dari bank-bank
BUMN dan bank-bank peserta program rekapitalisasi. Sedangkan
restrukturisasi terhadap utang luar negeri perusahaan swasta, di luar
yang dilakukan oleh bank, Satgas Restrukturisasi Kredit dan BPPN
tersebut dilakukan melalui perantaraan Prakarsa Jakarta.
Sampai dengan akhir 2000 kredit bermasalah di luar BPPN
yang telah direstrukturisasi dan yang telah memasuki tahap
implementasi tercatat sebanyak 20.430 debitur dengan nilai Rp.59,9
triliun atau 71,4 persen dari total Non-Performing Loans (NPLs).
Sedangkan BPPN telah berhasil merestrukturisasi 28,3 persen dari
total kredit perbankan yang ditanganinya sebesar Rp.286,3 triliun.
Restrukturisasi kredit yang dilakukan BPPN tersebut mencapai
tahap penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dan
implementasi proposal restrukturiasi.
Meskipun telah dicatat berbagai kemajuan, masih dicatat
sejumlah permasalahan. Dari sisi permodalan, meskipun modal
semua kelompok bank sudah positif, namun dalam tahun 2000
masih terdapat beberapa bank yang mempunyai rasio kecukupan
modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) di bawah yang direncanakan,
yaitu 4 persen. Dari jumlah aset perbankan yang telah meningkat
seperti diuraikan di atas, sebagian besar masih berupa portofolio
obligasi pemerintah di bank-bank dan SBI, masing-masing 41,9
persen dan 5,8 persen dari total aset. Perkembangan tersebut
menunjukkan bahwa upaya untuk melakukan penjualan sebagian
obligasi pemerintah yang dimiliki perbankan dan pengambilalihan
kredit yang telah direstrukturisasi BPPN belum seperti yang
diharapkan. Fungsi intermediasi perbankan masih harus didorong
lebih lanjut. Kredit perbankan pada tahun 2000 secara keseluruhan
memang meningkat 15,5 persen. Namun jika pengaruh depresiasi
III - 20
nilai tukar Rupiah dihilangkan, maka peningkatan tersebut menjadi
hanya 2,2 persen.
Ada 5 permasalahan pokok yang menyebabkan rendahnya
pertumbuhan kredit. Pertama, masih terbatasnya debitur potensial
sehingga sebagian dari penyaluran kredit baru hanya diberikan
dalam bentuk kredit memengah dan kecil dengan tujuan konsumsi.
Kedua, perbankan menilai resiko usaha masih tinggi, meskipun
terdapat permohonan kredit oleh nasabah baru. Ketiga, para debitur
belum melakukan penarikan atas komitmen kredit secara optimal
karena belum didukung oleh iklim usaha yang kondusif. Keempat,
beberapa bank rekapitalisasi yang masih mengalami masalah
likuiditas menghadapi kesulitan untuk menjual obligasi yang
dimilikinya karena belum berkembangnya pasar sekunder obligasi
pemerintah. Kelima, beberapa bank masih menghadapi kesulitan
pemenuhan ketentuan CAR dan Batas Masimum Pemberian Kredit
(BMPK).
Proses restrukturisasi perusahaan yang dilakukan oleh
BPPN dan Prakarsa Jakarta telah mengalami kemajuan. Sampai
dengan akhir tahun 2000, menurut survei yang dilakukan oleh
Prakarsa Jakarta total utang yang diberikan kepada sektor swasta
berjumlah US$ 119 miliar. Sebanyak kurang lebih 50 persen (US$
59,9 miliar) dari utang tersebut merupakan utang bermasalah.
BPPN menangani restruksturisasi utang sekitar US$ 29,9 miliar.
Sementara itu hingga Desember 2000 terdapat 91 kasus
restrukturisasi utang yang terdaftar di Parkarsa Jakarta dengan total
nilai mencapai US$ 16,9 miliar. Jumlah kasus yang telah
diselesaikan proses mediasinya mencapai 37 kasus, dengan total
nilai mencapai US$ 9,36 miliar. Sisa utang perusahaan bermasalah
tersebut berada di luar proses restrukturisasi utang yang dilakukan
oleh BPPN dan Prakarsa Jakarta, antara lain restrukturisasi utang
yang langsung ditangai oleh perbankan nasional.
Masalah pokok yang dihadapi dalam upaya mempercepat
restrukturisasi utang perusahaan ini adalah situasi ekonomi makro
yang tidak kondusif, debitur yang tidak kooperatif, masalah
III - 21
dokumentasi pengalihan pinjaman dari bank-bank ke BPPN (Asset
Transfer Kit atau ATK) yang tidak memadai, adanya hambatan dari
kreditur lainnya, khususnya untuk pinjaman sindikasi,
ketidakpastian peraturan, khususnya untuk aset-aset yang berada di
daerah seperti perkebunan, kehutanan dan pertambangan, dan masih
lemahnya penegakan hukum dalam sistem sistem peradilan niaga.
Permasalahan tersebut juga telah menghambat implementasi dari
kesepakatan-kesepakatan restrukturiasi utang yang telah dilakukan
antara perusahaan dengan BPPN dan kreditur-kreditur yang
dimediasi dalam kerangka Prakarsa Jakara.
3.5
Pelaksanaan Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah
Sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 dan 25
Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah, pada tahun-tahun awal dari pelaksanaan otonomi
daerah tersebut baru memulai tahap persiapan, yaitu dengan
menyiapkan peraturan perundang-undangan untuk menjamin
berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Untuk tahun 1999 dan
2000, telah banyak peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh
Pemerintah diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tentang
Kewenangan Daerah Propinsi dan daerah Kabupaten/Kota,
Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang dana
perimbangan, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, Peraturan
Pemerintah Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekosentrasi
dan Tugas Perbantuan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun
2000 tentang Pinjaman Daerah.
Melalui formulasi dana perimbangan yang ditetapkan pada
Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
terdapat perubahan-perubahan yang cukup mendasar terhadap
pengelolaan keuangan negara. Perubahan tersebut adalah perubahan
sistem alokasi anggaran yang didaerahkan yaitu dari sistem subsidi
III - 22
daerah otonom dan dana rutin daerah menjadi dana perimbangan
yang terdiri dari dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU)
dan dana alokasi khusus (DAK). Perubahan yang mendasar dalam
hal ini adalah cara-cara pengelolaannya yang memberikan
fleksibelitas yang tinggi kepada daerah dalam pengelolaan keuangan
dan pemerintahan didaerahnya.
Permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan implementasi
perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah (1) masih
banyaknya daerah yang mengalami pemekaran sehingga ada
kesulitan dalam menetapkan batas wilayah daerah penghasil sumber
daya alam (SDA) terutama yang berasal dari migas. Pemekaran ini
juga berpengaruh pada kemampuan dan potensi daerah induk seta
distribusi alokasi anggaran pusat ke daerah. ; (2) masih belum
sempurnanya formulasi DAU yang disebabkan oleh akuntabilitas
dan ketersediaan data secara luas, kesederhanaan mekanisme
perhitungan, “keadilan” horizontal pada daerah-daerah yang
memiliki karekteristik sama serta beberapa hal teknis lainnya; (3)
terjadinya kekurangsesuaian pembiayaan yakni kesenjangan antara
kebutuhan dan ketersediaan dana terutama disebabkan masih
luasnya “gray area” dalam pemisahan kewenangan pusat, Propinsi
dan Kabupaten/Kota. Disamping itu, kekurangsesuaian pembiayaan
ini juga disebabkan karena masih berlangsungnya pelaksanaan
pengalihan Peralatan, Pembiayaan, Personil dan Dokumentasi
(P3D); (4) masih banyaknya Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
yang mengalami kerugian sebagai akibat dari masih rendahnya
manajemen sumber daya manusia pengelola BUMD, terbatasnya
permodalan, belum adanya standar kinerja keuangan yang dapat
dijadikan alat bagi stakeholders untuk menilai kinerja keuangan
BUMD dan pengaturan dasar hukum BUMD yang masih
berdasarkan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
perusahaan daerah yang dirasakan sudah tidak kondusif lagi sebagai
akibat dari perubahan pelaksanaan system pemerintahan yang
semula sentralistis menjadi desentralistis.
III - 23
4.
Memacu Peningkatan Daya Saing
Proses pemulihan ekonomi pada tahun 2000 masih terus
berlangsung dan kinerja di sektor riil, sektor yang tekait dengan
produksi, jasa dan distribusi, telah menunjukkan perbaikan. Meski
harus diakui bahwa bila dibandingkan dengan negara-negara
tetangga, upaya pemulihan ekonomi di Indonesia cenderung
tertinggal karena terhambat oleh krisis multidimensional yang masih
terus berlangsung. Berbagai kebijakan terkait seperti industri,
perdagangan dan investasi terus diupayakan untuk mengejar
ketertinggalan ini walaupun tantangan yang dihadapi makin berat.
Diantaranya adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia
tahun 2000 dan diperkirakan masih terus berlangsung pada tahun
2001 telah menyebabkan tingkat permintaan terhadap produk
industri menjadi berkurang. Dalam kondisi seperti ini, produk
industri nasional menghadapi tantangan kompetisi yang makin ketat
untuk dapat bersaing di pasar internasional. Situasi ini menuntut
perhatian khusus mengingat era perdagangan bebas telah makin
dekat, antara lain AFTA yang akan berlaku tahun 2002.
Semangat pelaksanaan otonomi daerah yang berkembang
juga memberikan tantangan tersendiri bagi perkembangan industri
nasional. Pembangunan sektor industri ditantang untuk mampu
menjawab dua permasalahan sekaligus, yakni tantangan persaingan
yang semakin ketat dan secara bersamaan mampu mendorong
perkembangan ekonomi daerah dan menjadi penggerak bagi
pertumbuhan sektor-sektor lainnya.
Selanjutnya, pembangunan sektor perdagangan pasca krisis
ekonomi khususnya pada tahun 2000 dipacu untuk terus berperan
dalam roda perekonomian dan pembangunan nasional. Meskipun
ditandai dengan berbagai konflik yang timbul dan kondisi
perekonomian nasional yang tidak kondusif, sektor perdagangan
masih mampu memberikan kontribusi yang cukup besar. Hal
tersebut ditandai dengan masih terciptanya stabilitas harga dan
jaringan distribusi nasional dalam memenuhi ketersediaan dan
kebutuhan bahan pokok masyarakat dan kinerja ekspor yang
III - 24
meningkat dibandingkan tahun 1999. Dalam bidang investasi baik
penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri
(PMDN), sektor perdagangan masih memainkan peranannya. Pada
tahun 2000 jumlah investasi di sektor perdagangan yang disetujui
baik PMA dan PMDN mengalami peningkatan, yaitu masingmasing sebanyak 499 perusahaan dan 25 perusahaan dibandingkan
tahun 1999 yang sebanyak 348 perusahaan dan 6 perusahaan.
Seperti dikemukakan di atas, pembangunan sektor industri
dan perdagangan menghadapi tantangan persaingan global yang
semakin ketat di masa mendatang. Dalam kenyataannya tidak hanya
kedua sektor di atas yang menghadapi tantangan persaingan global,
namun semua sektor pembangunan nasional menghadapi tantangan
serupa. Masalah yang dihadapi untuk menjawab tantangan tersebut
adalah daya saing nasional yang masih rendah akibat masih
rendahnya produktivitas dan masih terbatasnya pengembangan
inovasi.
4.1
Pengembangan Ekspor
Dibandingkan tahun 1999 total nilai ekspor nasional
(berdasarkan data Badan Pusat Statistik) meningkat sebanyak 27,7
persen pada tahun 2000, yaitu dari sebesar US$ 48,7 miliar menjadi
sebesar US$ 62,1 miliar, terdiri atas migas sebesar US$ 14,4 miliar
dan non migas sebesar US$ 47,8 miliar dengan kontribusi 76,9
persen ekspor komoditi non migas dan 23,1 persen ekspor migas.
Peningkatan ekspor migas terutama disebabkan oleh meningkatnya
harga minyak bumi maupun gas di pasar internasional. Kenaikan
harga minyak bumi tersebut antara lain disebabkan oleh kepatuhan
dari negara-negara anggota OPEC terhadap kuota yang ditetapkan
dan berkurangnya pasokan minyak di pasar internasional sebagai
akibat ketidakstabilan kondisi politik di kawasan Timur Tengah.
Sementara itu, peningkatan ekspor nonmigas terutama disebabkan
oleh meningkatnya ekspor barang industri dan pertambangan.
Pangsa ekspor barang industri nonmigas mencapai kurang lebih 80
persen dari total nilai ekspor nonmigas. Peningkatan ekspor barang
industri tersebut antara lain disebabkan oleh naiknya harga kertas di
III - 25
pasar dunia, dan kuatnya permintaan terhadap barang-barang tekstil
dan produk tekstil, barang-barang listrik, mesin dan pesawat
mekanik di pasar internasional.
Selanjutnya
permasalahan
yang
timbul
dalam
pengembangan ekspor, antara lain adalah: (1) kondisi politik, sosial
dan keamanan yang kurang kondusif menyebabkan kinerja
pembangunan ekonomi menjadi terhambat dan akhirnya dapat
mempengaruhi kegiatan yang lainnya; (2) kesulitan pembiayaan
perdagangan (trade financing) dan prosedur kepabeanan; (3) tidak
termanfaatkannya kuota ekspor; (4) kurang tersedianya informasi
pasar tujuan ekspor; (5) belum berfungsinya lembaga keuangan
dalam memfasilitasi keuangan kepada eksportir dan masih
rendahnya pemanfaatan jasa asuransi ekspor oleh eksportir; dan (6)
masih lemahnya koordinasi lintas sektor di bidang transportasi.
4.2
Pengembangan
Kompetitif
Industri
Berkeunggulan
Adanya hambatan-hambatan yang terkait dengan proses
produksi berupa peraturan dan prosedur di bidang perpajakan,
perbankan maupun perijinan yang memerlukan penyederhanaan dan
penyempurnaan merupakan masalah utama yang perlu cepat diatasi
terutama dalam kaitannya untuk meningkatkan utilisasi kapasitas
produksi, efisiensi dan daya saing industri. Tantangan ini
berpengaruh pada upaya penciptaan iklim usaha yang kondusif
sehingga pada gilirannya dapat menghambat kesinambungan
sediaan dan peningkatan produktivitas barang dan jasa. Hal penting
lainnya yang perlu dicermati adalah masih terbatasnya kemampuan
SDM industri dalam penguasaan manajemen dan teknologi. Dalam
era perdagangan bebas nanti, dampaknya akan berpengaruh pada
rendahnya tingkat efisiensi produksi serta daya saing produk yang
dihasilkan.
Tantangan lainnya yang juga memprihatinkan adalah
lemahnya koordinasi dan sinergi kebijakan baik di tingkat pusat
maupun di daerah. Hal ini terjadi disebabkan kesadaran untuk
III - 26
melaksanakan koordinasi masih kurang memadai. Tantangan ini
menjadi lebih kompleks manakala semangat otonomi daerah yang
berkembang saat ini, yang memberi peluang lebih luas bagi daerah
untuk menentukan kebijakan pembangunan daerahnya masingmasing, cenderung terjebak pada kepentingan jangka pendek
daripada memperhatikan kepentingan jangka panjang. Apabila
masalah ini tidak segera dicarikan solusinya akan berdampak negatif
pada proses restrukturisasi pembangunan industri. Pengembangan
klaster industri sebagai wujud dari langkah restrukturisasi akan
mengalami hambatan karena strategi ini membutuhkan sistem
keterkaitan yang kuat dan terintegrasi antar sektor dan regional.
Industri skala kecil dan menengah yang merupakan salah
satu komponen penting dalam upaya restrukturisasi dan
pengembangan ekonomi kerakyatan juga tidak terlepas dari berbagai
hambatan yang ada. Peranan industri kecil dalam mendukung
penguatan basis produksi, diharapkan mampu menjadi dasar
pengembangan usaha di masa mendatang terutama dalam
menghadapi era globalisasi. Hambatan tersebut diantaranya: (1)
kultur masyarakat yang masih bersifat agraris sehingga sistem
pengelolaan usahanya kurang mencerminkan semangat yang
berwawasan bisnis; (2) terbatasnya dukungan infrastruktur murah
dan memadai, seperti sarana promosi, lembaga penelitian teknologi
profesional, dan jaringan informasi, yang mendukung
berkembangnya ekonomi rakyat serta terciptanya inovasi melalui
peningkatan diversifikasi dan disain produk guna pemenuhan
kebutuhan konsumen; (3) terbatasnya dukungan akses terhadap
sumber-sumber pembiayaan dalam rangka mendapatkan tambahan
modal usahanya, dan (4) terbatasnya wawasan terhadap aspek
pelestarian lingkungan sebagai salah satu faktor penting daya saing
produk di pasar internasional.
4.3
Penguatan Institusi Pasar
Dalam rangka menciptakan iklim usaha dan perdagangan
yang kompetitif, di sektor perdagangan secara bertahap telah
dilakukan penyempurnaan sistem perdagangan dalam negeri yang
III - 27
semakin transparan dan kompetitif, antara lain dengan
diberlakukannya pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999, telah dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) yang merupakan lembaga independen. Komisi ini
bertanggung jawab kepada Presiden, dan anggota komisi diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya,
KPPU dibantu oleh sekretariat komisi yang bertugas untuk
menunjang penyelenggaraan tugas dan kewenangan KPPU di bidang
administrasi dan teknis operasional. Namun demikian, selama
menjalankan tugasnya KPPU pun tidak luput dari berbagai
permasalahan, seperti status kelembagaan sekretariat komisi yang
belum tuntas penyelesaiannya, jumlah staf sekretariat komisi yang
belum sesuai dengan beban kerja yang ada, serta sarana dan
prasarana yang belum memadai.
Sementara itu, Pemerintah telah berupaya semaksimal
mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang salah
satunya adalah dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang
tersebut pada prinsipnya bertujuan untuk melindungi konsumen dari
kegiatan dan praktek-praktek produsen yang merugikan. Namun
demikian, permasalahan yang dihadapi saat ini adalah Undangundang Perlindungan Konsumen belum dapat direalisasikan secara
optimal. Hal ini karena perangkat peraturan penunjang dari Undangundang tersebut, seperti Rancangan Keputusan Presiden dan
Rancangan Peraturan Pemerintah, belum disahkan.
Sementara itu, pelaksanaan Otonomi Daerah yang mulai
efektif sejak Januari 2001 telah menunjukkan gejala yang kurang
menguntungkan bagi pembangunan perdagangan dalam negeri.
Terdapat indikasi adanya kecenderungan dari Pemerintah Daerah
III - 28
untuk berlomba-lomba meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD), karena aparat Pemda melihat bahwa PAD sebagai sumber
utama keberhasilan Otonomi. Semangat Pemda untuk meningkatkan
PAD ini akan dilakukan melalui penciptaan berbagai pajak dan
retribusi daerah. Situasi ini tentunya sangat tidak menguntungkan
bagi iklim usaha di daerah dan perlu dicegah, karena akan
menciptakan “non tariff barriers” yang menghambat upaya
mewujudkan iklim perdagangan dalam negeri yang sehat.
Hambatan di atas pada gilirannya akan menghambat
kesiapan mengantisipasi globalisasi. Keberhasilan bersaing dalam
perdagangan bebas dunia sangat tergantung dari bagaimana
penyelenggaraan perdagangan dalam negeri, baik perdagangan antar
wilayah maupun perdagangan antar pulau. Semakin sehat iklim
perdagangan dalam negeri yang diciptakan akan memperbesar
kesiapan menghadapi globalisasi.
4.4
Pengembangan Pariwisata
Selama tahun 2000 berbagai peristiwa dan kejadian seperti
kerusuhan di berbagai daerah, serta perseteruan politik semakin
memperburuk citra Indonesia di dunia internasional yang gilirannya
memicu penurunan citra kepariwisataan Indonesia, namun dalam
suasana yang demikian melalui upaya yang sungguh-sungguh oleh
segenap pelaku usaha dan pemerintah serta masyarakat mampu
meredam imbas negatip citra diatas. Melalui program pembangunan
tahun sebelumnya upaya pemulihan citra kepariwisataan nasional
telah menunjukkan tanda-tanda yang cukup menggembirakan. Hal
tersebut ditunjukkan oleh adanya peningkatan kunjungan Wisatawan
Mancanegara (wisman) dan perolehan devisa dibandingkan tahun
1999.
Dalam suasana krisis yang berkepanjangan, Sektor
Pariwisata diyakini mampu memberikan kontribusi besar dalam
usaha menggerakkan ekonomi rakyat melalui peran aktif masyarakat
terutama disekitar objek dan daya tarik wisata (ODTW) untuk
terlibat langsung dalam perekonomian dengan berbagai bentuk
III - 29
kegiatan yang memberikan nilai tambah bagi masyarakat seperti
usaha cinderamata, desa wisata, dan atraksi wisata termasuk
memberikan wahana pengembangan pemasaran usahanya. Selain itu
dalam suasana keterbukaan saat ini adanya keterlibatan langsung
dan peran aktif masyarakat dalam setiap keputusan yang diambil
terutama terkait dengan program-program pariwisata yang akan
dikembangkan mampu menciptakan iklim yang kondusif dan
mengurangi ketegangan dan berbagai konflik di masyarakat
sehingga secara nasional ikut serta menciptakan stabilitas dan
pemerataan pembangunan.
Pembangunan Pariwisata tidak dapat dilepaskan dari situasi
perubahan dan dinamika yang terjadi di tingkat nasional, regional
dan internasional yang satu sama lain saling terkait. Beberapa
permasalahan strategis yang harus diperhatikan dalam pembangunan
Pariwisata adalah: (1) pola sentralistik dan terbatasnya dana
pembangunan selama ini telah membatasi ruang gerak pengelolaan
pariwisata terutama dalam hal pengambilan keputusan dan
mengembangkan potensi objek dan daya tarik wisata; (2) krisis yang
berkepanjangan telah menyebabkan penurunan investasi di bidang
pariwisata dan menurunnya kinerja investasi sebelumnya yang
antara lain ditandai menurunnya proyek pembangunan kawasan
pariwisata; (3) pemberdayaan masyarakat dalam perlindungan,
pengembangan dan pemanfaatan warisan budaya lokal khusus dalam
kaitannya dengan pariwisata masih belum terwujud dengan optimal;
(4) masih kurang optimalnya dukungan antar instansi terkait dalam
upaya penguatan kepariwisataan nasional; (5) Adanya proses
otonomi yang menimbulkan tumpang tindih dalam beberapa
peraturan kepariwisataan; (6) belum optimalnya kesadaran wisata di
tingkat masyarakat terutama kesiapan menerima wistawan
mancanegara.
4.5
bangsa
III - 30
Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (Iptek)
Perubahan cepat sebagai dampak globalisasi menuntut
Indonesia untuk semakin berupaya meningkatkan
kesejajaran dan kesetaraan dengan bangsa lain. Di bidang ekonomi,
produktivitas dan daya saing produk perlu ditingkatkan untuk dapat
mensejajarkan produk dari Indonesia di pasar dunia. Sementara itu,
sebagai akibat krisis ekonomi, pemulihan kegiatan ekonomi juga
membutuhkan perhatian yang besar. Dengan demikian, secara
jangka pendek peran Iptek perlu ditingkatkan untuk membantu
pemulihan ekonomi, dan secara jangka menengah dan panjang peran
Iptek untuk meningkatkan daya saing produk nasional perlu terus
dilakukan.
Di sisi lain, krisis telah menunjukkan pentingnya
ketersediaan data dan informasi yang tepat waktu dan akurat,
khususnya data statistik ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Keterlambatan serta ketidak-akuratan dalam penyediaan data dan
informasi dapat mempersulit perumusan kebijakan dan bahkan dapat
memperburuk masalah, baik di sektor pemerintah maupun swasta.
Untuk mendukung peningkatan produktivitas dunia usaha
dalam masa krisis, kondisi yang dihadapi adalah pada umumnya
industri kecil masih bersifat tradisional. Sementara itu di kalangan
industri menengah dan besar, pembaharuan teknologi produksi
masih tergantung pada paket teknologi yang diperoleh dari lisensi.
Berbagai hasil penelitian dan pengembangan yang dihasilkan oleh
Lemlitbang belum banyak dikuasai, dimanfaatkan dan diterapkan
oleh dunia usaha. Berbagai masalah yang dihadapi antara lain
adalah: (a) hasil penelitian dan pengembangan belum banyak
diketahui oleh masyarakat serta belum sepenuhnya sesuai dengan
kebutuhan dunia usaha; (b) di kalangan dunia usaha skala kecil dan
menengah tidak mempunyai cukup dana untuk menerapkan
teknologi baru dan menanggung resiko kegagalannya; (c) kalangan
Lemlitbang tidak mempunyai cukup dana untuk mengembangkan
hasil usaha dalam tahap komersial (upscaling); serta (d) tidak
jelasnya
pembagian
pemanfaatan
teknologi
baru bagi
penemu/peneliti. Selain itu, pelaksanaan penelitian dan
pengembangan oleh industri/dunia usaha masih rendah karena
besarnya biaya dan resiko yang harus ditanggung oleh pengusaha.
Sebagai akibatnya industri belum mampu meningkatkan daya saing
III - 31
mereka sendiri dan menciptakan produk dari sumber daya lokal dan
teknologi bangsa sendiri.
Sehubungan dengan itu, pemerintah perlu berperan untuk
mengurangi hambatan yang dihadapi masyarakat dalam
meningkatkan pemanfaatan, penguasaan dan pengembangan Iptek,
serta memberikan bantuan dan dukungan secara selektif, yang secara
efektif dapat mendorong peningkatan Iptek di dunia usaha.
5.
Meningkatkan Investasi
5.1
Peningkatan Penanaman Modal Asing dan
Penanaman Modal Dalam Negeri
Perkembangan penanaman modal dalam PMA maupun
PMDN selama tahun 2000 mengalami peningkatan dibandingkan
dengan satu dan dua tahun sebelumnya, baik dari jumlah proyek
maupun nilai investasinya. Dalam tahun 2000, Pemerintah telah
menyetujui proyek PMA berjumlah 1.508 proyek dengan nilai
investasi sebesar US$ 15,4 miliar. Apabila dibandingkan dengan
persetujuan PMA tahun 1999 telah terjadi kenaikan jumlah proyek
yang disetujui sebesar 29,5 persen dan nilai investasi sebesar 41,5
persen. Sementara itu, apabila dibandingkan dengan persetujuan
tahun 1998 telah terjadi kenaikan jumlah proyek yang disetujui
sebesar 45,7 persen dan nilai investasi sebesar 13,6 persen.
Persetujuan investasi PMA tersebut jika ditinjau dari
sebaran bidang usaha yang diminati oleh para investor pada tahun
2000 adalah Jasa Perdagangan 499 proyek, Jasa Lainnya 298
proyek, Industri Barang Logam 132 proyek, dan Industri Tekstil 107
proyek. Dari sisi jumlah investasi yang menonjol adalah Industri
Kimia U$ 7,5 miliar, Perdagangan US$ 1,4 miliar, Angkutan,
Gudang dan Telekomunikasi US$ 1,2 miliar dan Industri Barang
Logam US$ 1,0 miliar.
III - 32
Sedangkan penyebaran lokasi usaha yang diminati oleh
investor berdasarkan lokasi investasi adalah DKI Jakarta dengan
jumlah 734 proyek, Jawa Barat/Banten dengan jumlah 340 proyek,
Jawa Tengah dengan jumlah 36 proyek, Nusa Tenggara Barat
dengan jumlah 9 proyek , dan D.I. Aceh dengan jumlah 3 proyek.
Untuk proyek PMDN, pada tahun 2000 disetujui 354 proyek
dengan nilai investasi Rp. 92,3 triliun. Apabila dibandingkan dengan
persetujuan PMDN tahun 1999 telah terjadi kenaikan jumlah proyek
yang disetujui sebesar 49 persen dan nilai investasi sebesar 72,4
persen. Sementara itu, apabila dibandingkan dengan tahun 1998
terjadi kenaikan jumlah proyek yang disetujui dan nilai investasi
masing-masing sebesar 9,3 dan 51,9 persen.
Ditinjau dari sebaran bidang usaha yang diminati oleh para
investor pada tahun 2000 adalah Industri Kimia 46 proyek, Industri
Makanan 45 proyek, Angkutan, Gudang dan Telekomunikasi 44
proyek dan Industri Barang Logam 43 proyek. Dari sisi jumlah
investasi yang menonjol adalah Industri Kimia Rp. 56,4 triliun,
Industri Makanan Rp. 9,2 triliun, Industri Kertas Rp. 8,7 triliun dan
Industri Mineral Non Logam Rp. 3,5 triliun.
Sedangkan penyebaran lokasi usaha yang diminati oleh
investor berdasarkan lokasi investasi adalah Jawa Barat/Banten
dengan jumlah 95 proyek, DKI Jakarta dengan jumlah 85 proyek,
Riau dengan jumlah 19 proyek, Sulawesi Selatan dengan jumlah 8
proyek, dan Kalimantan Selatan dengan jumlah 5 proyek.
Indikasi di atas memperlihatkan bahwa meskipun jumlah
proyek dan nilai investasi mengalami kenaikan, namun bidang usaha
yang paling diminati oleh pelaku penanaman modal saat ini
merupakan bidang usaha dengan tingkat resiko yang relatif kecil.
Disamping itu, pemilihan DKI Jakarta sebagai lokasi proyek PMA
sedangkan PMDN di Jawa Barat/Banten lebih disebabkan karena
DKI Jakarta dan Jawa Barat/Banten telah memiliki infrastruktur
yang memadai dan relatif paling aman untuk berinvestasi. Kejadiankejadian yang kurang baik dialami oleh beberapa perusahaan asing
III - 33
dan nasional yang relatif berskala besar di daerah tertentu
mempunyai dampak negatif dalam upaya menarik investasi asing ke
Indonesia.
5.2
Pengembangan Pasar Modal
Pasar modal sebagai salah satu sarana intermediasi di sektor
keuangan dalam menunjang stabilitas dan pertumbuhan ekonomi
nasional masih menghadapi beberapa masalah di dalam
perkembangannya. Permasalahan utama yang sedang dihadapi
adalah masih belum kokohnya infrastruktur pasar modal Indonesia
serta perlu ditingkatkannya kualitas dan kuantitas supply dan
demand pasar. Kedua aspek ini sangat mempengaruhi kemampuan
pasar dan lembaga keuangan yang terkait dalam menyediakan jasa
keuangan untuk memobilisasi dana masyarakat melalui pasar modal
dalam menunjang pembangunan nasional.
Permasalahan
infrastruktur
pasar
meliputi
aspek
kelembagaan, peraturan perundangan, sistem teknologi informasi
dan profesionalisme pelaku pasar modal. Permasalahan utama dalam
aspek kelembagaan berkaitan dengan fungsi Bapepam dan bursa
efek. Lembaga Bapepam perlu direposisi tugas pokok dan fungsinya
agar menjadi lembaga pengawas pasar modal yang independen dan
berkualitas internasional dengan bergabung dengan pengawas jasa
keuangan lainnya, seperti Perbankan, Dana Pensiun dan Asuransi,
dalam Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK). Selain itu dengan
diperkenankannya perluasan kepemilikan saham bursa efek melalui
proses demutualisasi bursa juga akan mengakibatkan adanya
perubahan pada struktur pemegang saham bursa efek.
Cepatnya dinamika perkembangan pasar memerlukan upaya
penyempurnaan dan penambahan peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal dengan cepat dan transparan. Keterlambatan
dalam penyusunan peraturan-perundangan dan regulasi operasional
menjadi hambatan bagi pengembangan suatu instrumen pasar,
misalnya obligasi pemerintah. Kesadaran pemodal baik domestik
maupun luar negeri bahwa peraturan-peraturan tersebut memberikan
III - 34
landasan dan kepastian hukum yang kuat menjadi tuntutan bagi
tersedianya peraturan-perundangan yang mantap. Penerapan prinsipprinsip pengelolaan perusahaan secara baik (good corporate
governance) di pasar modal merupakan aspek penting lainnya yang
perlu terus ditingkatkan.
Disamping itu, pasar modal Indonesia masih memerlukan
adanya sumber daya manusia yang berkualitas pada perusahaan
efek, lembaga profesi penunjang maupun pihak-pihak yang terlibat
di pasar modal. Sumber daya manusia yang profesional dibidang
pasar modal yang akan berperan sebagai daya tarik pasar modal
masih sangat terbatas di Indonesia.
Agar pasar modal Indonesia tidak tertinggal dari pasar
modal negara lainnya, maka penguasaan dan pengambangan
teknologi informasi menjadi suatu keharusan. Untuk itu, sistem
informasi antar lembaga-lembaga yang ada di pasar modal harus
dipadukan untuk menciptakan sistem informasi yang terintegrasi.
Penerapan teknologi informasi tersebut dapat mendukung prinsip
keterbukaan dan penyebaran informasi. Selain itu pembangunan
sistem perdagangan jarak jauh (remote trading) juga hal mutlak
yang harus dilakukan. Sistem perdagangan ini akan semakin
memperluas akses ke pasar modal dan memperkuat basis pemodal di
daerah-daerah.
Permasalahan lainnya adalah yang berkaitan dengan aspek
penawaran (supply) dan permintaan (demand) yang perlu
ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Sisi permintaan ditunjukkan
dengan masih lemahnya pemodal domestik baik dari segi jumlah
maupun kemampuan finansialnya, serta sikap pemodal asing yang
sampai saat ini masih menunggu perkembangan keadaan ekonomi
makro dan keamanan dalam negeri yang berdampak pada tingkat
resiko berinvestasi di Indonesia. Dari sisi permintaan masih perlu
meningkatkan kualitas perusahaan yang telah maupun yang akan
melakukan penawaran umum melalui penerapan prinsip-prinsip
good corporate governance, serta perlunya upaya meningkatkan
nilai kapitalisasi pasar.
III - 35
Permasalahan-permasalahan
diatas
tercermin
dari
perkembangan pasar modal Indonesia dapat dilihat dari indikator
nilai kapitalisasi pasar, nilai emisi saham terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB), serta Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Nilai
kapitalisasi pasar yang ditunjukkan melalui nilai kapitalisasi pasar
saham di Bursa Efek Jakarta menunjukkan fluktuasi yang cukup
tinggi. Pada tahun 1999 nilai kapitalisasi pasar sempat mencapai Rp
451,8 triliun, namun pada tahun 2000 menurun tajam sebesar 42,5
persen menjadi Rp. 259,6 triliun. Bahkan per 19 Oktober 2001, nilai
kapitalisasi pasar masih belum berhasil menguat kembali yaitu
sebesar Rp. 232,8 triliun (menurun sebesar 10,3 persen dari tahun
2000). Penurunan nilai kapitalisasi pasar yang sangat tinggi terutama
bila dibandingkan terhadap tahun 1999, disebabkan terutama oleh
jatuhnya nilai atas saham-saham yang diperdagangkan dan
menurunnya kepercayaan masyarakat untuk berinvestasi di pasar
modal dalam negeri.
Nilai emisi menunjukan peran pasar modal sebagai salah
satu alternatif sumber pendanaan bagi sektor swasta. Hal tersebut
dikarenakan nilai emisi saham secara riil tercatat dalam keuangan
perusahaan untuk kemudian dipergunakan sebagai dana investasi
dan operasi perusahaan. Dari tahun ke tahun, nilai emisi saham
mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan. Sejak akhir
tahun 1999 hingga 19 Oktober 2001, nilai emisi saham terus
meningkat dari Rp. 206,7 triliun pada tahun 1999, menjadi Rp.
226,1 triliun pada tahun 2000, kemudian mencapai Rp. 230.5 triliun.
Namun, rasio antara nilai emisi saham perusahaan terhadap PDB
nominal mengalami penurunan dari 18,6 persen di tahun 1999
menjadi 17,5 persen di tahun 2000. Hal ini menunjukkan bahwa
kinerja pasar saham terhadap perekonomian nasional relatif belum
stabil. Penurunan nilai kapitalisasi pasar dalam setahun terakhir
memang tidak sebanding dengan meningkatnya jumlah saham yang
tercatat di bursa, karena adanya penurunan nilai atas saham-saham
yang diperdagangkan.
Indikator Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan
kecenderungan melemah. Dalam kurun waktu 1999-2001, indeks
III - 36
Bursa Efek Jakarta sempat melonjak hingga 676,9 pada akhir tahun
1999, namun kemudian menurun tajam menjadi 416,3 di akhir tahun
2000, dan terus merosot hingga berada di posisi 387,8 per 19
Oktober 2001. Perkembangan IHSG dipengaruhi antara lain oleh
stabilitas kondisi sosial dan politik dalam negeri, melemahnya nilai
tukar rupiah, tingginya tingkat suku bunga perbankan, dan
menurunnya kontribusi pemodal asing di dalam pasar modal
Indonesia.
5.3
Percepatan Restrukturisasi Perusahaan Negara
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki peranan
penting dan strategis dalam kehidupan perekonomian nasional
terutama dalam penciptaan lapangan kerja, mendukung anggaran
pemerintah dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Walaupun
BUMN telah mencapai tujuan awalnya sebagai agen pembangunan
dan pendorong terciptanya sektor korporasi, namun tujuan tersebut
dicapai dengan biaya yang relatif tinggi. Saat ini kinerja dari banyak
perusahaan dinilai belum memadai, seperti tampak pada rendahnya
laba yang diperoleh dibandingkan dengan modal yang ditanamkan.
Sebagai gambaran, rasio laba dari modal yang ditanamkan seluruh
BUMN di luar jasa Perbankan di tahun 1998, 1999 dan 2000 adalah
masing-masing sekitar 15,15 persen, 15,83 persen dan 4,7 persen.
Sedangkan untuk tahun 2001 rasio laba terhadap modal diharapkan
mencapai 6,4 persen. Dengan angka rasio laba terhadap modal yang
relatif rendah tersebut, sulit diharapkan BUMN mampu menumpuk
dana yang memadai untuk membiayai pembangunan usahanya.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka
memperbaiki kinerja BUMN, pemerintah telah mengambil
kebijakan untuk melakukan reformasi BUMN melalui pelaksanaan
program restrukturisasi dan privatisasi BUMN. Program
restrukturisasi BUMN ditujukan untuk memperbaiki kondisi BUMN
agar mampu memberikan kontribusi yang optimal kepada bangsa
dan negara. Sudah barang tentu restrukturisasi tersebut seperti
halnya privatisasi memerlukan keterlibatan dukungan dari semua
pihak. Dalam hal privatisasi BUMN dukungan dari departemen
III - 37
teknis berupa kebijakan sektoral. Penetapan kebijakan sektoral yang
kondusif akan merupakan dukungan yang sangat berarti dalam
pelaksanaan privatisasi BUMN tersebut sehingga pada gilirannya
akan memberikan nilai tambah bagi sektor yang bersangkutan.
Program privatisasi juga ditujukan sebagai upaya taktis dan strategis
dalam rangka meningkatkan kinerja BUMN sehingga pembayaran
pajak dan dividen kepada negara, peningkatan kualitas pelayanan
ataupun produk yang dihasilkan bagi masyarakat dapat ditingkatkan
serta yang tidak kalah pentingnya adalah membantu pengurangan
defisit APBN. Namun demikian, dalam rangka pelaksanaan program
restrukturisasi dan privatisasi BUMN dijumpai berbagai
permasalahan antara lain: (i) belum adanya kesamaan persepsi
dalam upaya reformasi BUMN di kalangan masyarakat, akademisi,
birokrat serta dari pihak internal BUMN sendiri; (ii) kapasitas pasar
modal saat ini belum dapat menampung pelaksanaan privatisasi
sejumlah besar BUMN melalui penawaran umum karena masih
terbatasnya aliran dana dalam negeri dan investasi portofolio dari
luar negeri; (iii) regulasi (deregulasi) berbagai peraturan oleh
departemen teknis dalam hubungannya dengan pelaksanaan otonomi
daerah terhadap keberadaan BUMN; serta (iv) belum sempurnanya
penerapan prinsip-prinsip good corporate governance di kalangan
BUMN. Namun demikian agar permasalahan-permasalahan tersebut
dapat ditangani secara baik diperlukan dukungan politik dari semua
pihak.
6.
Menyediakan Sarana dan Prasarana Penunjang
Pembangunan Ekonomi
Bidang
pembangunan
prasarana
ketenagalistrikan
menghadapi masalah karena
kemampuan untuk memenuhi
permintaan kebutuhan tenaga listrik masih terbatas. Untuk sistem
Jawa-Bali pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik sampai dengan
tahun 2000 sebesar 9,9 persen, kurang diimbangi dengan
peningkatan kapasitas penyediaan tenaga listrik. Sedangkan pada
sistem luar Jawa masih terdapat 21 sistem dalam kondisi kritis dan
III - 38
terus bertambah parah. Daerah kritis tersebut antara lain sistem
Sumatera Utara-Aceh, sistem Sumatera Barat-Riau, sistem
Sumbagsel (Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, Bengkulu dan
Belitung), sistem Kalimantan Barat, sistem Kalimantan SelatanTengah dan Timur, sistem Sulawesi Selatan-Tenggara dan sistem
Irian Jaya. Kondisi ini berdampak pada kontinuitas penyediaan
tenaga listrik yang menyebabkan pemadaman bergilir di beberapa
tempat di Sumatera dan Kalimantan.
Keterbatasan penyediaan tenaga listrik disebabkan karena
masalah keuangan pemerintah akibat pembengkakan pengembalian
cicilan pokok dan bunga pinjaman karena depresiasi Rupiah
terhadap mata uang asing dan harga tarif listrik yang belum
mencerminkan nilai keekonomian serta masih tingginya biaya
pembelian listrik swasta. Selain itu, kemampuan penyediaan tenaga
listrik di beberapa daerah terpengaruh adanya gangguan keamanan
yang menyebabkan terhambatnya pembangunan beberapa
pembangkit yang sedang berjalan.
Kondisi sektor transportasi pada tahun 2000, pada umumnya
terjadi penurunan kinerja pelayanan jasa prasarana dan sarana
transportasi akibat menurunnya kondisi aktivitas perekonomian,
biaya pembangunan, serta operasi dan pemeliharaan. Terjadinya
penurunan pelayanan angkutan umum dan terpuruknya usaha di
bidang jasa angkutan, terutama akibat dari melonjaknya harga suku
cadang dan biaya operasi angkutan yang tidak dapat diimbangi
dengan kenaikan tarif angkutan karena daya beli masyarakat yang
juga semakin menurun. Penurunan pelayanan angkutan tersebut
terutama terjadi pada pelayanan angkutan udara.
Selain itu, masih diperlukan peningkatan efisiensi dan
akuntabilitas dalam penyelenggaraan jasa transportasi pada
umumnya, baik dari aspek perijinan dan birokrasi, profesionalitas
sumber daya manusia transportasi dan industri jasa transportasi.
Kinerja pelayanan angkutan masih rendah terutama dalam hal
ketepatan waktu dan tingkat keselamatan, dilihat dari tingginya
tingkat kecelakaan angkutan, baik akibat kurangnya disiplin sumber
III - 39
daya manusia pengguna dan penyedia jasa transportasi maupun
kondisi kelaikan sarana dan fasilitas prasarananya.
Kondisi prasarana jalan terjadi penurunan karena banyaknya
kondisi jalan yang mengalami rusak berat pada tahun 2000 yaitu
meningkat 27,0 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi
tersebut terutama disebabkan karena terjadinya pelanggaran muatan
lebih di jalan yang menyebabkan percepatan perusakan jalan dari
target umur teknisnya, selain berkurangnya jumlah anggaran biaya
untuk rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana jalan. Kegiatan
pemeliharaan diberikan prioritas tinggi dalam tahun anggaran 2000
dengan peningkatan pemeliharaan jalan yang cukup berarti, yaitu
sepanjang 17.900 kilometer.
Dalam transportasi darat bagi angkutan umum penumpang
terjadi kenaikan jumlah kumulatif armada bus pada tahun 1999/2000
naik dari 645.000 unit menjadi 666.280 unit pada tahun 2000,
namun kondisi armada bus yang laik dan siap operasi menurun.
Sedangkan mobil barang/truk meningkat dari 1.629.000 menjadi
1.707.134, mobil penumpang meningkat dari 2.898.000 menjadi
3.038.913 dan sepeda motor meningkat dari 13.053.000 menjadi
13.563.017.
Sementara itu pelayanan angkutan perkeretaapian,
khususnya angkutan kereta api penumpang mengalami kenaikan dari
tahun 1999/2000 sebesar 184,0 juta orang menjadi 192,4 juta orang
pada tahun 2000. Sedangkan untuk jumlah angkutan barang melalui
kereta api mengalami sedikit penurunan pada tahun 2000 dari 19,68
juta ton (5.071,0 juta ton/km) menjadi 19,30 juta ton (4.880,0 juta
ton/km).
Di bidang angkutan sungai, danau, dan penyeberangan
terjadi penurunan pembangunan dermaga penyeberangan dari 24
unit pada tahun 1998/1999 dan 20 unit tahun 1999/2000 menjadi 11
unit tahun 2000, dan dermaga sungai dari 34 unit (1998/199); 9 unit
(1999/2000) menjadi 15 unit (tahun 2000). Sementara itu rehabilitasi
dermaga penyeberangan meningkat dari 5 unit (1998/1999) menjadi
III - 40
7 unit (tahun 2000). Pembangunan rambu, kapal baru dan
pengoperasian kapal penyeberangan perintis mengalami penurunan.
Selain itu, jumlah penumpang, kendaraan roda empat dan roda dua
serta barang yang diangkut umumnya juga mengalami penurunan,
yaitu bila pada tahun 1999/2000 jumlah penumpang adalah 70.176
ribu orang , 9.582 ribu kendaraan dan 27.838 ribu ton barang,
menjadi 34.379 ribu orang; 8.446 ribu kendaraan dan 12.456 ribu
ton barang pada tahun 2000.
Keadaan transportasi laut pada tahun 2000 dapat dilihat dari
berbagai hal seperti kondisi armada dan angkutan laut baik angkutan
barang maupun angkutan penumpang baik angkutan dalam negeri
maupun luar negeri. Peran armada nasional dalam mendorong upaya
pemulihan ekonomi nasional masih kecil, terutama masih terjadinya
defisit neraca berjalan dalam sub sektor transportasi laut, akibat
kecilnya porsi pelayanan armada nasional baik dalam pelaksanaan
jasa pelayanan angkutan laut dalam negeri maupun luar negeri. Pada
tahun 2000 pangsa pasar armada laut nasional baik dalam angkutan
barang dalam negeri maupun luar negeri masih rendah. Apabila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya ada kenaikan peran armada
pelayaran nasional untuk angkutan luar negeri, namun terjadi
penurunan peranannya untuk angkutan dalam negeri. Hal ini
kemungkinan disebabkan telah selesai dan dioperasikannya kapalkapal peti kemas pesanan pemerintah yang dioperasikan oleh PT.
Djakarta Lloyd di pelayaran internasional.
Sementara itu selama krisis ekonomi terjadi, anggaran
pembangunan untuk pengembangan prasarana fasilitas pelabuhan
dan keselamatan pelayaran diprioritaskan untuk merehabilitasi
fasilitas yang ada sehingga diharapkan dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Di samping itu dengan telah ditetapkannya tiga Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI), Pemerintah Indonesia berkewajiban
untuk memenuhi sarana bantu navigasi seperti menara suar dan
rambu suar.
Kondisi jasa pelayanan transportasi udara yang mengalami
penurunan sejak terjadinya krisis ekonomi baik pada penerbangan
III - 41
berjadwal dalam negeri maupun pada penerbangan berjadwal luar
negeri telah menunjukkan peningkatan. Tahun 2000 telah terjadi
peningkatan jumlah penumpang dan barang yang diangkut pada
penerbangan berjadwal dalam negeri masing-masing sebesar 13,58
persen dan 14,04 persen. Faktor muatan untuk penumpang sudah
mencapai 63,05 persen untuk penumpang dan 53,03 persen untuk
barang. Pada penerbangan rute luar negeri yang dilakukan oleh
perusahaan penerbangan nasional juga sudah mengalami kenaikan
sebesar 2,42 persen untuk penumpang diangkut dan 10,12 persen
untuk barang yang diangkut. Besarnya faktor muatan pada
penerbangan luar negeri mencapai 73,43 persen untuk penumpang
diangkut dan 61,52 persen untuk barang. Kondisi ini mengakibatkan
kemudahan pemakai jasa penerbangan menjadi berkurang. Kapasitas
yang tersedia belum dapat memenuhi kebutuhan jumlah penumpang
dan barang yang telah meningkat. Permasalahan yang dihadapi oleh
perusahaan penerbangan antara lain sebagian besar pesawat udara
sudah melampaui umur ekonomis dan memerlukan biaya
pemeliharaan yang cukup besar, pendapatan perusahaan tidak
mampu memenuhi kebutuhan operasional dan pemeliharaan yang
meningkat sebagai akibat biaya komponen impor yang cukup
dominan, perusahaan penerbangan tidak mampu untuk
mengoperasikan pesawat-pesawat yang sebagian besar disewa dari
luar negeri.
Kondisi sarana dan prasarana meteorologi dan
pada tahun 2000 masih kurang dapat mendukung
peramalan cuaca secara baik, karena banyak fasilitas dan
yang sudah melampaui umur ekonomis. Kondisi
mengakibatkan rendahnya akurasi peramalan cuaca.
geofisika
kegiatan
peralatan
tersebut
Sedangkan kemampuan tindak awal pencarian dan
penyelamatan dalam hal terjadinya kecelakaan pada tahun 2000
masih rendah, sehingga operasi pencarian dan penyelamatan belum
dapat dilakukan dengan optimal. Penyebab utama adalah kurangnya
peralatan pencarian dan penyelamatan, peralatan komunikasi, dan
peralatan medis. Selain itu, kualitas sumber daya manusia masih
perlu ditingkatkan.
III - 42
Dalam hal pelayanan jasa telekomunikasi, krisis ekonomi
telah mengakibatkan terhambatnya pembangunan baru fasilitas
telekomunikasi, di samping tertundanya pengoperasian jasa-jasa
baru, serta terganggunya mutu pelayanan dan pelaksanaan
Kerjasama Operasi (KSO) yang melibatkan partisipasi swasta, baik
dalam maupun luar negeri. Sementara itu, pihak PT. Telkom dan
mitra KSO mesti mengubah Memorandum of Understanding
(MoU), antara lain penurunan kapasitas yang harus dibangun dari
1,8 juta satuan sambungan (SS) menjadi 1,3 juta SS saja. Dalam
tahun 1998/99 hanya berhasil dibangun sentral telepon sekitar 0,50
juta SS saja atau 42 persen dari yang ditargetkan. Di samping itu,
penyediaan fasilitas telepon umum belum mencapai 3 persen dari
jumlah telepon terpasang dan pembangunan oleh mitra KSO hanya
berhasil membangun 1,4 juta SS dari 1,8 juta SS yang ditargetkan
semula. Selama tahun 1999-2000 juga dapat dikatakan tidak terdapat
pembangunan fasilitas telekomunikasi yang berarti. Hingga akhir
tahun 2000 kapasitas sentral telepon mencapai 8,5 juta SS atau
hanya bertambah 100 ribu SS dari tahun sebelumnya. Sedangkan
fasilitas telepon umum di akhir tahun 2000 hanya bertambah 76 ribu
SS dari tahun sebelumnya menjadi 345 ribu SS atau sekitar 4 persen
dari kapasitas sentral.
7.
Memanfaatkan Kekayaan Sumber Daya Alam
Secara Berkelanjutan
Potensi sumber daya kelautan yang dimiliki sangat besar
terutama di daerah Zone Ekonomi Eklusif Indonesia (ZEEI), yang
dapat dijadikan sebagai sumber penerimaan negara maupun daerah.
Kendala yang dihadapi dalam bidang kelautan adalah masih
rendahnya sumber daya manusia (SDM) yang mengelola kegiatan di
bidang kelautan, dan kurang optimalnya pemanfaatan sumber daya
kelautan, terutama di luar perikanan. Dalam era otonomi daerah,
meningkatnya keinginan daerah dalam pengelolaan wilayah laut
menyebabkan dampak tersendiri bagi sumber daya kelautan
misalnya dalam hal pembagian kewenangan pengelolaan wilayah
III - 43
laut antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (propinsi dan
kabupaten/kota), yang oleh beberapa daerah dianggap sebagai
pengkaplingan wilayah laut. Pencemaran lingkungan pesisir dan laut
bertambah berat karena pesatnya aktifitas transportasi laut,
pertambangan, dan pembuangan limbah yang berasal dari daratan.
Sementara itu dukungan sektor lain seperti perbankan dalam bidang
kelautan masih belum menunjukkan hasil yang signifikan, karena
arah pembangunan ekonomi sebagian besar masih berorientasi ke
wilayah daratan.
Sementara itu, sumberdaya hutan juga merupakan salah satu
modal penting pembangunan ekonomi nasional yang memberi
kontribusi besar terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga
kerja serta mendorong pembangunan wilayah dan pertumbuhan
ekonomi. Dalam pelaksanaannya, pembangunan kehutanan sarat
dengan berbagai permasalahan dan kendala dalam mewujudkan
pengelolaan hutan secara berkelanjutan dan berkeadilan.
Penebangan kayu ilegal merupakan masalah besar yang
terjadi di setiap kawasan. Merebaknya penebangan ilegal ini antara
lain karena tidak tegaknya hukum dan adanya kesenjangan supply
dan demand bahan baku kayu yang dibutuhkan oleh industri
perkayuan. Kapasitas terpasang industri perkayuan yang ada pada
saat ini sekitar 60,0 juta meter kubik per tahun, sedangkan produksi
kayu bulat yang berasal dari hutan alam, hutan rakyat, dan hutan
tanaman hanya sekitar 22,0 juta meter kubik per tahun. Dengan
demikian diperkirakan kekurangan supply bahan baku ini berasal
dari kayu-kayu ilegal atau penebangan lebih (over cutting) oleh para
HPH.
Masalah penting lain yang cukup menarik perhatian dunia
internasional adalah kebakaran hutan. Penyebab kebakaran hutan ini
antara lain karena kelalaian manusia pada waktu pembukaan lahan,
iklim yang ekstrim, sumber energi berupa kayu, deposit batubara
dan gambut yang ada di kawasan hutan. Masalah-masalah tersebut
diperparah dengan masih banyaknya perambahan hutan dan lahan
yang terjadi terutama di kawasan-kawasan konservasi.
III - 44
Terabaikannya prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
dalam pemanfaatan sumber daya hutan selama ini mengakibatkan
laju kerusakan kawasan hutan dan terjadinya lahan kritis yang
semakin meningkat. Pada saat ini diperkirakan laju kerusakan hutan
dan lahan sebesar 1,6 juta Ha/tahun. Rendahnya kesadaran
masyarakat tentang pentingnya pelestarian sumber daya hutan juga
menyebabkan kurang efektifnya usaha-usaha rehabilitasi hutan dan
lahan. Masalah-masalah lain yang juga belum terselesaikan antara
lain adalah masalah pengukuhan hutan untuk mewujudkan
kepemilikan hutan yang mendapat legitimasi masyarakat, sistem
pengawasan dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan, serta ukuran
kinerja pengusahaan hutan.
Kebijakan dalam pengembangan dan pengelolaan sumbersumber air saat ini belum mampu mengakomodasi berbagai
permasalahan yang selalu berkembang sesuai dengan sifat alami air
yang dinamis dan berkembang fungsinya dalam kehidupan
masyarakat.
Perkembangan perekonomian dan pertambahan
penduduk menuntut berbagai penyediaan air yang memadai baik
dari segi jumlah, mutu, ruang, dan waktu. Pemenuhan tuntutan ini
tidak jarang menimbulkan benturan-benturan terhadap berbagai
pihak.
Dalam kondisi demikian, air bukan lagi merupakan
sumberdaya alam yang bebas dikonsumsi, tetapi telah menjadi
sumberdaya yang memiliki nilai ekonomi.
Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan
paradigma dalam pembangunan sumber air baik dalam lingkup
global maupun nasional. Paradigma baru dalam pembangunan
sumber air semakin kuat menekankan pada nilai-nilai pembangunan
yang berkelanjutan, serta mendasarkan pada otonomi. Hal ini
mempengaruhi penyelenggaraan sumber-sumber air terutama untuk:
(1) memperbaiki sistem kelembagaan dalam pengelolaan sumbersumber air baik di tingkat nasional, propinsi, kabupaten maupun
lokal; serta (2) memperbaiki kualitas sumberdaya manusia yang
berperan dan terlibat dalam pengelolaan sumber-sumber air. Hasil
pembangunan dalam pengembangan sumber air pada tahun 2000
adalah rehabilitasi waduk sebanyak 19 unit, pembangunan waduk 6
III - 45
unit, pembangunan embung 12 unit, rehabilitasi saluran air baku 56
km, serta operasi dan pemeliharaan sungai sepanjang 2.467 km.
Di bidang sumber daya mineral dikembangkan paradigma
baru yaitu pendayagunaan sumber daya untuk kesejahteraan rakyat.
Untuk melaksanakan paradigma baru tersebut diperlukan upaya
peningkatan potensi sumber daya minyak dan gas bumi, panas bumi,
mineral, dan sumber mineral lainnya agar dapat menghasilkan nilai
tambah bagi pendapatan negara. Sementara itu, data potensi sumbersumber tersebut masih terbatas ketersediannya. Disamping itu,
masih banyaknya kegiatan pertambangan tanpa ijin yang selain
merusak lingkungan juga sangat merugikan negara.
B.
Langkah-langkah Kebijakan dan Hasil-hasil yang
Dicapai
1.
Menanggulangi Kemiskinan dan Memenuhi
Kebutuhan Pokok Masyarakat
1.1
Penanggulangan Kemiskinan
Dengan memperhatikan pelaksanaan penanggulangan
kemiskinan yang telah dilakukan selama ini dan stabilitas ekonomi,
serta memperhitungkan prospek pembiayaan pemerintah pada tahun
2001, maka strategi utama penanggulangan kemiskinan dalam tahun
2001 pada dasarnya dilandasi oleh 3 pilar strategi yaitu: (a)
perluasan kesempatan (creating opportunity) yang meliputi
pengelolaan ekonomi makro untuk menciptakan stabilitas ekonomi
dan pemulihan, pelaksanaan pemerintahan yang baik, peningkatan
kapasitas pemerintah daerah, dan pembangunan prasarana berbasis
masyarakat (b) meningkatkan pemberdayaan masyarakat (ensuring
empowerment), yang meliputi pemenuhan kebutuhan dasar,
peningkatan pembangunan perdesaan, percepatan pengembangan
usaha menengah dan kecil dan penguatan kapasitas lembaga dan
organisasi masyarakat (c) memperkuat perlindungan sosial
III - 46
(enhancing social security) yang meliputi pengembangan sistem
jaminan sosial bagi masyarakat miskin dan masyarakat rentan
lainnya, dan percepatan pengembangan masyarakat di kawasan
tertinggal, terpencil, dan tersiolasi termasuk daerah minus dan
pesisir.
Kegiatan yang telah dilaksanakan dalam rangka
penanggulangan kemiskinan dilaksanakan melalui berbagai sektor
baik yang dilaksanakan oleh regional maupun oleh sektoral.
Program kemiskinan dalam rangka pemberdayaan masyarakat antara
lain dilaksanakan melalui program pengembangan kecamatan,
pengembangan prasarana perdesaan, penanggulangan kemiskinan di
perkotaan dan pengembangan ekonomi lokal. Sedangkan program
yang dilaksanakan oleh sektoral antara lain program di sektor
pertanian, pendidikan dan kesehatan.
1.2
Pembangunan Ketenagakerjaan
Memperhatikan kebijaksanaan ketenagakerjaan yang
digariskan dalam PROPENAS, langkah-langkah yang ditempuh
dalam rangka mengatasi permasalahan ketenagakerjaan, antara lain
adalah (a) memberikan pelayanan informasi pasar kerja baik di
dalam maupun di luar negeri kepada masyarakat melalui
lembaga/bursa tenaga kerja, (b) Membuat rancangan Keppres untuk
membentuk lembaga standarisasi dan sertifikasi kompetensi, guna
melaksanakan standar kualifikasi keterampilan dan sertifikasi
kompetensi yang efektif serta diakui oleh pihak pengguna, (c)
meningkatkan relevansi, kualitas, dan efisiensi pelatihan kerja
melalui penyelenggaraan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan
pasar, (d) memasyarakatkan nilai dan budaya produktif serta
mengembangkan sistem dan metoda peningkatan produktivitas, (e)
memberikan bimbingan dan pembinaan bagi penganggur untuk
mengembangkan usaha mandiri dengan melihat potensi sumber
daya di tingkat regional, (f) menempatkan tenaga kerja baik di
dalam maupun diluar negeri, di berbagai sektor/bidang usaha sesuai
dengan keahlian yang dimiliki calon pekerja, (g) memberdayakan
lembaga ketenagakerjaan, seperti Bipartit dan Tripartit guna
III - 47
terwujudnya hubungan perburuhan yang harmonis bagi perbaikan
syarat-syarat kerja dan perlindungan pekerja, serta pelaksanaan
penegakan hukum, dan (h) melaksanakan peraturan perundangundangan ketenagakerjaan yang dapat memberikan rasa keadilan
serta mampu melaksanakan penyelesaian perselisihan perburuhan.
Kondisi perekonomian yang masih melemah dan penuh
ketidakpastian menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi
pada tahun 2001. Hal ini sangat berpengaruh terhadap besarnya
penciptaan lapangan kerja baru. Pada tahun 2001, kesempatan kerja
diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 1,2 persen atau hanya
akan menciptakan kesempatan kerja baru sebanyak 1,1 juta orang.
Untuk mengurangi dampak tersebut Pemerintah melaksanakan
berbagai kegiatan sebagai berikut.
Dalam rangka mempertemukan antara pencari kerja dan
pengguna tenaga kerja, pelayanan informasi pasar kerja yang
dilaksanakan melalui bursa tenaga kerja pemerintah dan swasta,
semakin ditingkatkan. Informasi yang diberikan mencakup keadaan
pasar kerja yang antara lain memuat lowongan pekerjaan, tingkat
pendidikan dan jabatan yang dibutuhkan serta persyaratannya,
menurut sektor dan daerah.
Guna membantu pencari kerja meningkatkan keahlian dan
keterampilan yang diinginkan, dilakukan pelatihan di berbagai BLK
dan KLK. Pada tahun 2000 jumlah yang dilatih sebanyak 29.167
orang dengan berbagai bidang kejuruan. Bersamaan dengan itu,
dilakukan pula pelatihan instruktur dalam rangka meningkatkan
kualitas hasil pelatihan kerja untuk kejuruan-kejuruan otomotif,
listrik, bangunan, pertanian, tataniaga, dan aneka kejuruan lainnya.
Diperkirakan pada tahun 2001 jumlah yang dilatih akan lebih besar.
Untuk memenuhi kegiatan tersebut, dilakukan peningkatan fasilitas
dan sarana pelatihan BLK industri yang diselenggarakan di
Tangerang, Bekasi, Kerawang, dan Serang. Pada tahun yang sama,
pelaksanaan program pemagangan di dalam negeri diselenggarakan
melalui pelatihan di 31 BLK, dengan jumlah tenaga kerja sebanyak
2.192 orang. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya
III - 48
yang berjumlah 3.968 orang. Untuk pemagangan ke luar negeri,
secara kumulatif jumlahnya terus meningkat. Sampai dengan bulan
Mei 2001 telah diberangkatkan sebanyak 15.480 orang ke negara
Jepang dan Korea Selatan.
Untuk meningkatkan dan mengembangkan standarisasi dan
sertifikasi kompetensi tenaga kerja telah dilakukan kerjasama lintas
sektor membentuk dan mengembangkan lembaga standarisasi dan
sertifikasi di berbagai sektor. Lembaga yang dilibatkan dalam
kegiatan ini terutama adalah asosiasi profesi, asosiasi perusahaan,
serikat pekerja, instansi pemerintah dan para pakar yang
membidanginya. Untuk sektor pariwisata, kewenangan membentuk
lembaga standarisasi dan sertifikasi dilaksanakan melalui
Kepmenaker Nomor Kep. 157/MEN/1999 yang lalu dan dalam
tahun 2001 ini telah dilakukan berbagai kegiatan berkaitan dengan
pelaksanaan standarisasi dan sertifikasi tersebut. Sektor konstruksi,
jasa dan perhubungan laut, mulai tahun 2001 mulai merintis
pelaksanaan standarisasi dan sertifikasi. Selain itu, dalam rangka
kerjasama regional antar negara-negara di kawasan asia pasifik,
telah disepakati penyusunan standar dalam bidang otomotif, untuk
itu pemerintah telah melakukan kerjasama dengan PT. ASTRA,
guna mengembangkan standar tersebut.
Pelaksanaan beberapa kegiatan yang ditujukan untuk
mengurangi pengangguran dalam tahun 2001 diantaranya adalah
melakukan pembinaan bagi penganggur yang berpendidikan tinggi
seperti sarjana, diploma, dan sederajatnya, melalui bimbingan usaha
mandiri dan pembekalan kewirausahaan. Selanjutnya mereka
ditempatkan pada unit-unit ekonomi produktif, lembaga mandiri
yang dapat diterima masyarakat, seperti lembaga keuangan nonbank yang dikelola secara profesional untuk mendukung usahausaha kecil dan menengah, serta koperasi. Bagi mereka yang
berpendidikan rendah dan belum mengenal pemakaian teknologi
tepat guna, diperkenalkan penggunaan teknologi sederhana ini, guna
memudahkan masyarakat di perdesaan membuka usaha-usaha kecil
untuk memperoleh penghasilan. Pada tahun 2000, jumlah tenaga
kerja yang dibina untuk merintis usaha mandiri secara keseluruhan
III - 49
berjumlah lebih dari 11.500 orang. Untuk tahun 2001, sampai
dengan bulan Mei,
tenaga kerja yang sedang dalam proses
pembinaan untuk kegiatan yang sama berjumlah 5.000 orang.
Berkaitan dengan upaya mengurangi pengangguran,
pemerintah juga membantu calon pekerja untuk ditempatkan dalam
berbagai bidang usaha. Melalui mekanisme antar kerja antar daerah
(AKAD), pada tahun 2000 telah ditempatkan sebanyak 13.207
orang. Dalam tahun 2001 kegiatan serupa tetap dilaksanakan, dan
sampai saat ini sedang dilakukan proses seleksi penempatan. Bagi
angkatan kerja Indonesia yang ingin bekerja ke luar negeri,
mekanisme yang selama ini diterapkan mengalami berbagai
penyempurnaan kebijaksanaan dan pelaksanaan program.
Penyempurnaan yang dilakukan antara lain adalah pemberian
pembekalan akhir pemberangkatan, pelaksanaan evaluasi kinerja
perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI), pelaksanaan proses
pemulangan secara bertahap bagi pekerja yang berangkat secara
“illegal” terutama bagi mereka yang bekerja di Malaysia, serta
penyusunan rancangan Keppres tentang program penempatan
tenaga kerja ke luar negeri. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya
permasalahan
dalam
proses
pemberangkatan,
penempatan, dan pemulangan.
Dalam rangka memberikan peningkatan kesejahteraan bagi
para pekerja, dikembangkan sistem pengupahan yang terpadu dan
bertahap, didasarkan pada kebutuhan hidup minimum (KHM).
Sebagai contoh, upah minimum regional (UMR) didaerah Jabotabek
meningkat secara riil sebesar 24 persen pada tahun 2000, dan
meningkat lagi secara riil sekitar 33-36 persen pada tahun 2001.
Dengan ketentuan UMR yang baru ini maka UMR telah mencapai
90,5 dari KHM. Selain itu pekerja yang memperoleh jaminan sosial
pekerja, sampai dengan bulan April 2001 secara kumulatif
berjumlah 87.703 perusahaan dengan jumlah karyawan lebih dari
16,4 juta pekerja.
Meskipun demikian, kondisi perusahaan yang mengalami
kesulitan dalam masa krisis ini, menyebabkan banyaknya
III - 50
ketidakpuasan terhadap keputusan yang diambil pemerintah.
Gejolak unjuk rasa yang akhir-akhir ini marak terjadi mencerminkan
bahwa para pekerja masih merasakan adanya ketidakadilan,
sehingga banyak diantaranya yang melakukan unjuk rasa. Salah
satunya adalah Kepmenaker Nomor 150/Men/2000 tentang
penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan penetapan uang
pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan ganti kerugian di
perusahaan, yang mengalami revisi melalui Kepmenaker Nomor
78/Men/2001. Berbagai serikat buruh menolak adanya revisi
tersebut karena dianggap merugikan para pekerja.
Gejolak ketenagakerjaan lain yang mewarnai dunia usaha,
adalah meningkatnya kasus-kasus pemogokan. Sejak bulan April
tahun 2000 sampai dengan bulan April 2001, pemogokan yang
terjadi mencapai 765 kasus yang melibatkan 173.408 pekerja dan
menghilangkan lebih dari 1,7 juta jam kerja. Melalui panitia
perselisihan perburuhan, telah berhasil diselesaikan sebanyak 357
kasus pemogokan.
1.3
Pengembangan Sistem Dana Jaminan Sosial
Upaya untuk melindungi keluarga dan kelompok
masyarakat dari keadaan darurat yang dapat menimbulkan
terganggunya pendapatan atau konsumsi terus dilakukan. Sasaran
utama dari upaya ini adalah melindungi keluarga dan kelompok
masyarakat miskin, anak terlantar, lanjut usia, dan penderita cacat
dari keadaan-keadaan terganggunya tingkat pendapatan atau
konsumsinya dalam rangka memenuhi kebutuhan dasarnya.
Upaya perlindungan ini dilaksanakan secara lintas sektoral
yang terutama terkait dengan kesejahteraan sosial, kesehatan, dan
pemberdayaan masyarakat miskin. Kegiatan yang telah dilaksanakan
adalah : (1) penyempurnaan sistem jaminan sosial nasional secara
terpadu dan terkoordinasi agar setiap warga negara Indonesia
mendapat hak atas kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya; (2)
penelaahan, pengkajian dan perumusan kebijakan dan langkahlangkah dalam rangka penyelenggaraan program sistem jaminan
III - 51
sosial nasional yang meliputi aspek kelembagaan, program,
perundang-undangan, pendanaan maupun aspek pelaksanaan
lainnya; (3) melakukan uji coba dan penyusunan pedoman
pelaksanaan sistem jaminan dan asuransi sosial.
1.4
Pengembangan
Pengairan
Pertanian,
Pangan,
dan
Kebijakan pembangunan pertanian diarahkan untuk: (1)
pemantapan sentra-sentra agribisnis komoditas unggulan; (2)
pengembangan sistem pengendalian hama terpadu; serta (3)
peningkatan intensifikasi budidaya perikanan laut, tambak, dan air
tawar. Selain itu kebijakan itu ditujukan pula untuk: (1)
meningkatkan produksi dan kualitas hasil pertanian untuk
memelihara kemantapan swasembada pangan; (2) meningkatkan
penyediaan bahan baku secara berkesinambungan untuk
pengembangan industri, untuk meraih peluang dan meningkatkan
pangsa pasar; (3) meningkatkan kemampuan usaha pertanian rakyat,
mempersempit kesenjangan ekonomi dan mengeliminasi
kemiskinan, memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
(4) meningkatkan produktivitas tenaga kerja pertanian, serta
memperluas kesempatan kerja produktif di perdesaan melalui
peningkatan kualitas sumberdaya manusia pertanian, peningkatan
penguasaan teknologi dan pengembangan jaringan kelembagaan
petani yang berorientasi agrobisnis.
Dengan kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya
pulih dan masih rentan terhadap berbagai gejolak, maka upaya
mencukupi kebutuhan pangan ditujukan ke arah distribusi secara
adil dan merata baik dalam jumlah maupun mutu gizinya serta
terjangkau oleh daya beli masyarakat. Pembangunan pangan yang
diharapkan adalah makin mantapnya ketahanan pangan yaitu
berupaya terpeliharanya kemantapan swasembada pangan secara
dinamis, yang tidak terbatas pada komoditas beras saja, tetapi juga
mencakup penyediaan bahan pangan lainnya sebagai sumber
karbohidrat, protein, dan lemak.
III - 52
Kebijakan yang ditempuh untuk mencapai sasaran tersebut
adalah mengupayakan peningkatan ketahanan pangan sampai
ketingkat rumah tangga yang meliputi peningkatan produksi,
distribusi dan kemampuan menyediakan pangan dengan harga yang
stabil; meningkatkan keamanan pangan untuk melindungi
masyarakat dari pangan yang berbahaya untuk kesehatan dan
bertentangan dengan keyakinan; mendorong diversifikasi pangan
dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
pola pangan yang beranekaragam untuk meningkatkan gizi; dan
mengembangkan kelembagaan pangan yang efektif dan efisien
dengan jalan meningkatkan keterpaduan dan koordinasi
pembangunan pangan antara pemerintah dan masyarakat serta antar
kelompok masyarakat.
Kebijakan yang dilakukan untuk lebih memantapkan
pemanfaatan hasil-hasil hutan diarahkan pada pengelolaan hutan
yang berkelanjutan melalui: (1) pengendalian konversi hutan dan
lahan pertanian melalui penghentian konversi hutan untuk kegiatan
non kehutanan guna mempertahankan luas hutan; (2) pencegahan
pencurian hasil hutan; serta (3) peningkatan luas hutan tanaman
industri dan hutan rakyat melalui konsep Sustainable Forest
Management.
2.
Mengembangkan Usaha Skala Mikro, Kecil,
Menengah, dan Koperasi
Pembangunan UKMK juga harus dipandang sebagai upaya
perubahan struktural. Oleh karena itu program pembangunannya
ditujukan untuk membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya dan
memberikan kepastian berusaha atas dasar kesetaraan, keadilan dan
efisiensi; memperluas akses UKMK kepada sumberdaya produktif
agar mampu memanfaatkan potensi sumberdaya lokal yang tersedia
dan peluang berusaha yang terbuka; dan meningkatkan kemampuan
pengusaha kecil dan menengah agar dapat mengembangkan
keunggulan komparatifnya menjadi keunggulan kompetitif.
III - 53
Langkah-langkah kebijakan pokok yang pertama dilakukan
melalui penciptaan
iklim usaha yang kondusif antara lain
mencakup
penyempurnaan peraturan perundang-undangan,
penyederhanaan perizinan, peraturan daerah dan retribusi untuk
mempermudah dan memperlancar kegiatan produktif UKMK. Salah
satu langkah mendasar yang dilaksanakan adalah melakukan
penyempurnaan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian dengan melibatkan peranserta aktif para pelaku dan
masyarakat koperasi yang lebih luas, di tingkat nasional dan daerah.
Rancangan Undang-undang tersebut diharapkan segera dapat
diselesaikan. Demikian pula telah dimulai langkah untuk
menyempurnakan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang
Usaha Kecil. Dalam upaya meningkatkan persaingan usaha yang
sehat dan sekaligus efisiensi usaha menghadapi globalisasi ekonomi
dan liberalisasi perdagangan telah dilakukan penyempurnaan
pengaturan pencadangan usaha bagi usaha kecil, dan pengkajian
serta proses penyiapan perundangan subkontrak termasuk aspek
perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang melakukan kemitraan
subkontrak.
Pelimpahan kewenangan yang besar kepada pemerintah
daerah sebagai pelaksanaan otonomi daerah bertujuan untuk
meningkatkan efektivitas pengembangan UKMK.
Perangkat
pembina di daerah baik organisasi dan aparatnya sebagian besar
telah dibentuk, dan secara keseluruhan akan segera dapat
diselesaikan. Langkah ini diikuti pula dengan peningkatan
kemampuan aparat daerah di bidang kebijakan dan program
pengembangan UKMK. Untuk meningkatkan efektivitas
pemberdayaan UKMK, telah dilakukan penerbitan standar
pelayanan minimal bidang UKMK di tingkat kabupaten dan kota;
pelaksanaan pengembangan pelayanan (perizinan) satu atap serta
praktek-praktek penciptaan lingkungan usaha yang baik; dan
peningkatan koordinasi pembinaan usaha kecil, menengah dan
koperasi melalui pembentukan kelompok kerja di tingkat nasional
yang beranggotakan lembaga pemerintah, dunia usaha, dan lembaga
swadaya masyarakat. Sejalan dengan itu telah terbentuk pula forum
daerah pengembangan UKMK yang menjadi wadah koordinasi
III - 54
antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat di berbagai daerah
propinsi dan kabupaten/kota.
Langkah-langkah kebijakan pokok yang kedua berkaitan
dengan upaya perluasan akses kepada sumberdaya produktif, baik
yang mencakup bidang finansial, maupun bidang non finansial. Saat
ini ketersediaan modal merupakan masalah utama di samping
lingkungan usaha dan kualitas SDM. Berkaitan dengan penyediaan
kredit kepada UKMK telah dilaksanakan penyederhanaan kredit
program bersubsidi dengan ditetapkannya kredit ketahanan pangan
(KKP) yang merupakan penggabungan kredit usaha tani (KUT),
kredit kepada koperasi (KKOP), dan kredit kepada koperasi primer
untuk anggotanya (KKPA) meliputi KKPA-Tebu Rakyat, KKPANelayan dan KKPA-Unggas. Pola pinjaman kredit melalui Bank
Pelaksana tidak lagi mengikuti pola penyaluran (channeling), tetapi
Bank Pelaksana berperan sepenuhnya dalam penilaian proposal,
sumber pendanaan dan tanggungan risiko kredit. Sementara itu
pemerintah menyediakan subsidi bunga melalui APBN. Untuk
penyederhanaan jenis kredit bersubsidi lainnya saat ini sedang
dalam proses penilaian karena memerlukan pertimbangan kelayakan
ekonomi dan ketersediaan dana dalam APBN.
Penyediaan kredit komersial untuk usaha kecil (KUK) oleh
perbankan selama ini dilaksanakan atas dasar kewajiban untuk
menyalurkan sebesar minimal 20 persen dari portofolio kreditnya.
Permasalahan yang dialami perbankan sejak krisis menyebabkan
kinerja penyaluran KUK menurun, dan untuk itu sejak akhir tahun
1998 kepada perbankan tidak dikenakan sanksi. Mulai Januari 2001
kewajiban bank tersebut telah dihapuskan, dan penyaluran KUK
lebih bersifat anjuran, namun perbankan tetap diwajibkan untuk
menyampaikan rencana penyaluran KUK dan pelaporan atas
pelaksanaannya. Penyaluran KUK dinilai menguntungkan karena
tingkat kemacetan relatif kecil, adanya penyebaran risiko, marjin
keuntungan lebih besar, tidak rentan terhadap perubahan suku
bunga, dan ketaatan dalam pembayaran kewajiban. Penyaluran KUK
sampai dengan April 2001 telah mencapai Rp 59,9 triliun yang
disalurkan kepada sekitar 9,4 juta nasabah.
III - 55
Selain kredit perbankan, sumber pembiayaan untuk
pengembangan usaha anggota koperasi dan PKM adalah dari usaha
simpan pinjam koperasi, baik yang berbentuk koperasi simpan
pinjam (KSP) maupun yang berbentuk Unit Simpan Pinjam (USP)
koperasi. Usaha simpan pinjam koperasi
sangat dirasakan
manfaatnya oleh anggota koperasi dan PKM karena persyaratannya
ringan, tanpa agunan, tingkat bunganya ditetapkan bersama oleh
para anggotanya, dan peminjamnya adalah anggota yang sekaligus
pemilik KSP/USP sehingga risiko usahanya dipikul bersama secara
tanggung renteng. Pada tahun 1999 tercatat sebesar 36.466 unit
KSP/USP dan pada bulan Juni 2001 jumlah KSP/USP telah
mencapai 38.008 unit dengan nilai pemberian pinjaman sebesar Rp
4,7 triliun (angka sementara).
Dalam rangka mendukung penanggulangan kemiskinan
serta kelangsungan hidup pengusaha mikro, pada tahun 2000
dilaksanakan program dana bergulir sebagai kompensasi
pengurangan subsidi BBM. Dana ini disalurkan melalui koperasi
simpan pinjam/unit simpan pinjam (KSP/USP) dan lembaga
keuangan mikro (LKM) untuk selanjutnya dipinjamkan kepada
pengusaha mikro anggota koperasi/LKM. Program dana bergulir ini
dilaksanakan di 26 propinsi pada 341 kabupaten/kota kepada 2.906
KSP/USP dan 1.000 LKM dengan jumlah dana yang disalurkan
sebesar Rp 340,6 miliar.
Keberadaan KSP/USP dan LKM sangat penting khususnya
bagi pengusaha mikro sehingga pengembangannya terus
ditingkatkan, antara lain melalui rintisan pengembangan lembaga
sekunder yang memungkinkan peminjaman antar KSP/LKM dan
memudahkan penggunaan sumber-sumber dana eksternal. Untuk
mendukung pengembangan LKM yang tumbuh mengakar di
masyarakat, saat ini sedang dilaksanakan penyiapan materi dan
konsep perundangan lembaga keuangan mikro.
Pengembangan UKM juga didukung oleh skim modal
ventura. Melalui skim ini, jenis usaha yang memiliki prospek usaha
yang baik, terutama pada tahap-tahap awal usahanya selain
III - 56
mendapatkan penyertaan modal, juga mendapatkan bimbingan
manajemen dan kewirausahaan. Sampai saat ini tercatat 60
perusahaan modal ventura dengan jumlah rekan usaha sebanyak 448
unit. Aspek kelembagaan penting lainnya yang terus ditingkatkan
untuk memperluas akses modal adalah pengembangan sistem
penjaminan dana kredit di tingkat daerah, penjaminan dana kredit
pra-ekspor bagi UKM, dan penyusunan pedoman penerbitan
obligasi di pasar modal serta upaya penyederhanaan proses go
public dalam rangka akses sumber dana dari pasar modal.
Untuk memperluas akses UKMK kepada sumberdaya
produktif non finansial, dilaksanakan dengan memperkuat jasa
pengembangan usaha, teknologi, informasi dan pemasaran. Sampai
saat ini telah berkembang sekitar 608 klinik konsultasi bisnis di
daerah-daerah, dan sebagian besar diusahakan oleh swasta. Dalam
bentuk pelayanan terpadu telah berkembang 26 inkubator teknologi
dan bisnis yang sementara pelayanannya masih terbatas pada tingkat
propinsi.
Pengembangan
penyedia
jasa
pengembangan
usaha/layanan teknis (business development service-BDS) yang
mencakup (1) reorientasi dan/atau restrukturisasi institusi milik
pemerintah agar dapat memberikan layanan publik secara
profesional dan terjangkau (fisik dan ekonomis); (2) peningkatan
kapasitas dan kualitas layanan BDS, dan penguatan lembagalembaga profesional pendukung seperti konsultan, LSM, dan
asosiasi; (3) pengembangan sistem akreditasi dan sertifikasi BDS,
termasuk penerapannya di daerah; (4) peningkatan kapasitas
jaringan pendukung usaha dalam pengembangan sistem informasi
usaha, pemasaran, pusat disain dan promosi. Upaya pendukung
lainnya adalah pengembangan penyedia jasa teknologi informasi
sebanyak 136 unit dan bimbingan dan pelatihan teknologi informasi
bagi 1.200 UKM; dan (5) peningkatan profesionalitas tenaga-tenaga
penyuluh/pendamping pada berbagai instansi pemerintah.
Langkah-langkah kebijakan pokok yang ketiga adalah
mengupayakan peningkatan kualitas sumberdaya manusia serta
kewirausahaan dan pengembangan keunggulan kompetitif.
Peningkatan kualitas sumberdaya pengusaha kecil, menengah dan
III - 57
koperasi ditempuh melalui pelatihan di bidang kelembagaan, teknik
produksi, manajeman usaha dan pemasaran serta kewirausahaan,
termasuk melalui bimbingan teknis, magang dan penyuluhan.
Kemampuan teknik produksi yang diberikan antara lain berupa
teknologi produksi dan teknologi produk yang sesuai kebutuhan
pasar, termasuk pengenalan dan penerapan ISO 9000/14000 serta
pengenalan teknik produksi yang berwawasan lingkungan. Dengan
berlakunya otonomi daerah, maka di masa mendatang kegiatan
pelatihan menjadi tanggungjawab masing-masing daerah propinsi
dan kabupaten/kota.
Saat ini jumlah industri kecil yang telah menerapkan Gugus
Kendali Mutu (GKM) mencapai 4.278 unit yang tersebar di 26
propinsi, sedangkan industri kecil yang telah mampu menerapkan
manajemen mutu/ISO 9000 sudah mencapai 238 unit yang tersebar
di 10 propinsi. Upaya pemasyarakatan GKM kepada industri kecil
ini didukung dengan tersedianya 1.943 orang fasilitator dari aparat
pemerintah dan 904 fasilitator dari dunia usaha. Peningkatan
penguasaan teknologi juga didukung dengan penyediaan informasi
teknologi, terutama teknologi yang sesuai dengan kebutuhan lokal
dalam rangka pengembangan komoditi unggulan daerah. Untuk
mendorong peningkatan inovasi industri kecil, telah dijalin
kerjasama dengan Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi
dalam pengembangan HaKI.
Pengembangan kewirausahaan dan kualitas pengusaha kecil
dan menengah dilakukan melalui pelatihan pengembangan motivasi
usaha (Achievement Motivation Training, AMT), dan pelatihan
kewirausahaan (Creation of Enterprises through Formation of
Entrepreneurs, CEFE). Untuk mendukung upaya ini ditingkatkan
penyediaan serta kualitas fasilitator di seluruh daerah. Sementara itu,
penumbuhan jiwa dan semangat kewirausahaan di samping
dilakukan dengan memasyarakatkan kewirausahaan, juga dilakukan
dengan menyediakan kurikulum/ kegiatan kewirausahaan dalam
berbagai jenis dan jenjang pendidikan untuk lebih mengintensifkan
pembudayaan kewirausahaan. Khususnya pada tingkat pendidikan
III - 58
tinggi untuk jurusan tertentu, kurikulum kewirausahaan diharapkan
menjadi mata kuliah wajib.
Kegiatan untuk membudayakan kewirausahaan di kalangan
siswa dimaksudkan untuk meningkatkan keterkaitan antara
pendidikan yang diperoleh para siswa di sekolah dan dunia
kerja/usaha, serta untuk meningkatkan pengalaman para siswa
dalam berwirausaha. Untuk itu disediakan bantuan modal kerja
(BMK) kepada siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) dalam
bentuk dana bergulir, dengan alokasi yang didasarkan atas seleksi
proposal masing-masing sekolah. BMK dapat digunakan untuk
mengembangkan berbagai jenis usaha seperti warung
telekomunikasi (wartel), warung internet (warnet) dan perbengkelan.
Salah satu kegiatan pokok Pendidikan Luar Sekolah (PLS)
yang terkait dengan pendidikan kewirausahaan adalah pendidikan
keterampilan berkelanjutan. Kegiatan ini dilaksanakan melalui
pembentukan Kelompok Belajar Usaha (KBU) untuk mengusahakan
satu jenis usaha disertai pendamping yang memiliki kompetensi dan
pengalaman. Setiap KBU mendapatkan dana belajar usaha untuk
membantu sebagian biaya investasi dan modal kerja. Pada tahun
2001 kegiatan ini diharapkan dapat mengembangkan 8.489 KBU.
Peran PKM dalam ekspor relatif belum menunjukkan
perubahan yang berarti, yaitu selama 1999-2000, masih sekitar 14,7
persen dengan ekspor hasil industri olahan memberikan kontribusi
terbesar. Peran tersebut utamanya bersumber dari pengusaha
menengah yang berhasil meningkatkan kontribusi ekspornya dari
11,3 persen menjadi 11,8 persen. Namun demikian, nilai ekspor
industri kecil meningkat sebesar 19,6 persen dari US$ 2,55 miliar
pada tahun 1999 menjadi US$ 3,05 miliar pada tahun 2000.
Berbagai upaya dilakukan antara lain melalui penyelenggaraan
promosi dagang, termasuk pengiriman misi dagang, penyediaan
informasi, dan pelatihan/penyuluhan prosedur ekspor serta
peningkatan mutu, sehingga pada tahun 2001 peranan industri kecil
dalam ekspor diharapkan meningkat.
III - 59
Koperasi sebagai wadah kolektif bagi UKM untuk
meningkatkan efisiensi usaha menunjukkan kemajuan jika diukur
dari jumlah koperasi, anggota, modal usaha dan nilai usaha. Jumlah
koperasi sampai dengan Juni 2001 diperkirakan mencapai 102.171
unit dengan jumlah anggota sebanyak 22,8 juta. Jumlah koperasi
tersebut meningkat sebesar 2,4 persen dari tahun 2000. Modal usaha
dan nilai usaha koperasi sampai dengan bulan Juni tahun 2001
masing-masing mencapai Rp. 18,3 triliun dan Rp. 11,4 triliun
(angka sementara). Perkembangan modal usaha dan nilai usaha
tersebut menunjukkan kenaikan dari tahun 2000. Namun demikian
sebagian besar koperasi belum dikelola oleh tenaga professional,
dan sampai akhir tahun 2000 tercatat bahwa koperasi aktif atau
koperasi yang melaksanakan rapat anggota tahunan baru mencapai
33,5 persen dari jumlah koperasi yang ada. Upaya peningkatan
efisiensi dan skala usaha koperasi juga dilakukan dengan
mengembangkan koperasi sekunder. Sampai dengan bulan Juni
tahun 2001, telah terbentuk 823 koperasi sekunder. Perkembangan
ini diiringi dengan peningkatan jaringan melalui kerjasama tingkat
nasional dan internasional antara gerakan koperasi dengan badan
usaha lainnya.
3.
Menciptakan Stabilitas Ekonomi dan Keuangan
3.1
Peningkatan Koordinasi Pemeliharaan Stabilitas
Ekonomi
Memasuki tahun 2001, berbagai permasalahan mendasar
dan ketidakpastian seperti diuraikan sebelumnya terus berlanjut.
Secara garis besar, ada 7 (tujuh) permasalahan mendasar dalam
perekonomian dan berbagai faktor risiko dan ketidakpastian yang
masih dihadapi, yaitu: (i) berlanjutnya ketidakpastian politik dan
keamanan dalam negeri, (ii) lambannya proses restrukturisasi utang
perusahaan, (iii)
belum pulihnya intermediasi perbankan, (iv)
makin beratnya beban keuangan negara, (v) belum lancarnya
III - 60
pelaksanaan otonomi daerah, (vi) berlanjutnya ketidakpastian
hukum, (vii) serta pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat.
Upaya untuk mengatasi meningkatnya ketidakpastian
tersebut terus dilakukan. Strategi utama dalam menjaga stabilitas
ekonomi adalah dengan mewujudkan kebijakan ekonomi makro dan
mikro secara konsisten, baik melalui kebijakan fiskal, moneter,
maupun sektor riil dengan didukung oleh penciptaan stabilitas
keamanan dan politik. Seluruh kebijakan tersebut saling melengkapi
sehingga dapat menunjang stabilitas dan pertumbuhan ekonomi
yang berkesinambungan. Hal ini juga sangat penting untuk
mengatasi unsur ketidakpastian yang semakin tinggi.
Sidang Paripurna DPR-RI tanggal 30 April dan 30 Mei 2001
yang dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian politik telah
menimbulkan kekuatiran yang berlebihan akan timbulnya konflik
horisontal di kalangan masyarakat. Terutama pada hari-hari
menjelang Sidang Paripurna DPR. Ketidakstabilan politik ini
selanjutnya mempengaruhi kepercayaan masyarakat baik luar
maupun dalam negeri.
Kepercayaan masyarakat luar negeri yang masih lemah
tercermin antara lain dari hasil survei yang dilakukan oleh lembaga
pemeringkat internasional. Pada tanggal 21 Mei 2001 Standard and
Poor’s (S&P) menurunkan peringkat utang pemerintah (sovereign
rating) yaitu untuk utang jangka panjang dalam valuta asing dari B
menjadi CCC+; sedangkan dalam mata uang lokal dari B menjadi
B karena penyesuaian fiskal dianggap tidak memadai, beban utang
pemerintah yang sangat berat, dan tidak pastinya pembiayaan defisit
anggaran tahun 2001. S&P juga menempatkan prospek utang
pemerintah pada negative outlook. Penurunan peringkat ini adalah
untuk kedua kalinya sejak bulan Maret 2001 yang lalu. Pada tanggal
8 Maret 2001, S&P menurunkan dari B stable outlook menjadi
negative outlook.
Selanjutnya pembicaraan dengan tim kaji ulang Dana
Moneter Internasional (IMF) selama semester I tahun 2001 yang
III - 61
belum menghasilkan kesepakatan mengenai pelaksanaan Letter of
Intent (LoI) dan telah menimbulkan keraguan masyarakat akan
keberhasilan upaya pemerintah menunda pembayaran utang luar
negeri melalui Paris Club II; meskipun Jepang telah menyatakan
kesediaannya untuk melakukan restrukturisasi utang Indonesia.
Ketidakpastian ini selanjutnya mempengaruhi pasar uang
dan pasar modal. Minat asing pada pasar modal di dalam negeri
masih rendah. Apabila pada akhir tahun 1999 nilai saham yang
dimiliki asing mencapai Rp 122,2 triliun (atau sekitar 27 persen dari
nilai kapitalisasi pasar) maka pada akhir triwulan I tahun 2001 telah
menurun menjadi Rp 45,3 triliun (atau sekitar 20 persen dari nilai
kapitalisasi pasar). Pada akhir triwulan II tahun 2001 minat asing
sedikit meningkat menjadi sekitar Rp 54,2 triliun atau sekitar 20,4
persen dari nilai kapitalisasi pasar. Namun angka tersebut masih
jauh dibandingkan posisi akhir tahun 1999.
Sementara itu nilai rupiah cenderung merosot. Untuk
mengurangi merosotnya nilai tukar rupiah sehubungan dengan
memburuknya kondisi keamanan, sosial, dan politik dalam negeri,
Bank Indonesia meningkatkan intervensi di pasar valas yang
didukung pula oleh pelaksanaan on-site supervisory presence dan
pemberlakuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 3/3/PBI/2001
yang ditujukan untuk membatasi spekulasi transaksi rupiah oleh
bukan penduduk asli. Namun demikian hingga semester I tahun
2001 tekanan terhadap nilai tukar rupiah masih terus berlanjut
dengan disertai tingkat volatilitas yang tinggi. Melemahnya nilai
tukar rupiah tersebut terutama terjadi pada awal triwulan II berkaitan
dengan eskalasi suhu politik yang semakin meningkatkan
ketidakpastian pasar. Pada triwulan tersebut, rupiah sempat
menembus level Rp 12.000,- per dolar Amerika pada minggu
terakhir April 2001. Selanjutnya, pada awal triwulan III tahun 2001,
nilai tukar rupiah cenderung menguat secara drastis seiring dengan
berakhirnya pelaksanaan Sidang Istimewa MPR dengan lancar yang
disertai dengan suksesi kepemimpinan nasional. Pada saat itu,
rupiah menguat ke posisi Rp 10.188,-. Selanjutnya, rupiah terus
menguat hingga mencapai angka tertinggi Rp 8.485,- pada
III - 62
pertengahan Agustus. Namun, setelah itu nilai tukar kembali
mengalami tekanan depresiasi. Secara umum, hingga September
2001, nilai tukar rupiah secara point to point sedikit melemah 40
point dari Rp 9.675,- pada akhir 2000 menjadi Rp 9.715,- pada akhir
September 2001.
Dari sisi harga, kecenderungan kenaikan tingkat harga yang
berlangsung sejak 2000, nampaknya terus berlanjut pada 2001. Pada
September 2001 laju inflasi IHK tercatat sebesar 0,64 persen,
sehingga secara kumulatif tahun kalender (year to date) mencapai
8,17 persen, atau secara tahunan (y-o-y) telah mencapai double digit
inflation sebesar 13,01 persen. Sumbangan komponen kebijakan
Pemerintah terhadap laju inflasi selama sembilan bulan tersebut
diperkirakan mencapai sebesar 3,11 persen. Dengan perkembangan
tersebut, laju inflasi kumulatif di luar dampak kebijakan pemerintah
di bidang harga dan pendapatan telah mencapai 5,06 persen.
Tingginya laju inflasi IHK tersebut sangat dipengaruhi oleh masih
besarnya pengaruh faktor ekspektasi yang telah mempengaruhi
konsumen (demand pull factor) maupun produsen (cost push
factor). Selain faktor ekspektasi, tingginya laju inflasi IHK dalam
triwulan laporan juga disebabkan oleh penerapan kebijakan
pemerintah di bidang harga seperti peningkatan upah minimum
regional, tarif dasar listrik (TDL) tahap I, pajak penjualan barang
mewah (PPn-BM), harga jual eceran (HJE) rokok, tarif PAM,
kenaikan harga BBM serta tarif angkutan.
Dari sisi moneter, dalam upaya mencapai target
pertumbuhan uang primer tahun 2001 sebesar 11–12 persen,
berbagai upaya yang telah ditempuh Bank Indonesia selama ini
tampaknya masih menghadapi kendala yang cukup besar. Hal ini
terlihat dari tingginya posisi uang primer hingga triwulan III tahun
2001 yang masih terus berada di atas batas atas yang ditetapkan.
Berdasarkan test date sementara yang dilakukan untuk bulan
September (hingga tanggal 3 Oktober 2001) yang tercatat sebesar
Rp 112,8, berarti rata-rata pertumbuhan uang primer selama tahun
2001 telah mencapai 18,3 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan
target pertumbuhan hingga Desember 2001 sebesar 11-12 persen.
III - 63
Masih tingginya pertumbuhan uang primer di atas target yang telah
ditetapkan terutama didorong oleh peningkatan permintaan akan
uang kartal di masyarakat. Selain untuk membiayai transaksi
ekonomi (transaction demand for currency), sebagian peningkatan
uang kartal tersebut ditengarai juga didorong oleh motif penimbunan
uang tunai (hoarding).
Hingga akhir September 2001, uang primer mencapai posisi
Rp115,2 triliun atau menurun sebesar Rp10,4 triliun dibandingkan
posisi akhir 2000. Sementara itu, uang beredar dalam arti luas (M2)
pada akhir Agustus 2001 mengalami peningkatan sebesar Rp27,1
triliun dibandingkan Desember 2000, sehingga tercatat pada posisi
Rp774,1 triliun. Secara tahunan, pertumbuhan M2 mencapai 12,9
persen. Sementara itu, suku bunga SBI 1 bulan pada akhir
September 2001 mencapai 17,57 persen, naik 304 bps dibandingkan
kondisi pada akhir Desember 2000. Perkembangan yang sama juga
terjadi pada suku bunga deposito 1 bulan yang meningkat 286 basis
point menjadi 14,82 persen.
Menurunnya permintaan eksternal akibat melambatnya
perekonomian dunia serta merosotnya harga komoditi ekspor turut
menyumbang bagi perlambatan kinerja ekspor nasional. Total nilai
ekspor selama semester I tahun 2001, mencapai US$ 29,30 miliar
atau lebih rendah 0,2 persen dibandingkan dengan semester yang
sama tahun 2000. Penurunan tersebut terutama didorong oleh nilai
ekspor nonmigas yang tumbuh negatif sekitar 2,2 persen; sedangkan
nilai ekspor migas naik sekitar 6,7 persen dengan masih tingginya
harga ekspor minyak mentah di pasar internasional selama semester
I tahun 2001.
Total nilai impor selama semester I tahun 2001 mencapai
US$ 17,75 miliar atau naik sekitar 29,1 persen dibandingkan dengan
periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan terutama
didorong oleh impor nonmigas yang naik sekitar 37,2 persen;
sedangkan impor nonmigas menurun sekitar 5,0 persen.
III - 64
Sementara itu kondisi neraca transaksi berjalan mengalami
perbaikan. Dalam semester I tahun 2001, surplus neraca pembayaran
meningkat menjadi US$ 3,8 miliar dari US$ 3,3 miliar dalam
semester I tahun 2000.
Masih besarnya defisit pada arus modal swasta (neto) dan
terhambatnya pencairan pinjaman luar negeri mempengaruhi
penurunan cadangan devisa. Pada akhir semester I tahun 2001,
meskipun surplus neraca transaksi berjalan mencapai US$ 3,7
miliar, lebih tinggi dari semester I tahun 2000 yang mencapai US$
3,3 miliar, namun defisit neraca modal meningkat dari US$ 0,5
miliar dalam semester I tahun 2000 menjadi US$ 5,0 miliar pada
semester I tahun 2001. Akibatnya, cadangan devisa turun dari US$
29,4 miliar pada akhir tahun 2000 menjadi US$ 28,6 miliar pada
akhir semester I tahun 2001. Jumlah cadangan devisa tersebut cukup
untuk membiayai 5,8 bulan impor dan utang luar negeri pemerintah.
Berdasarkan perkembangan tersebut, perekonomian
Indonesia dalam triwulan II tahun 2001 tumbuh sekitar 3,5 persen
(y-o-y), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan II tahun 2000
yang mencapai 5,2 persen. Dari sisi permintaan, pertumbuhan
ekonomi terutama didorong oleh pembentukan modal tetap bruto,
ekspor barang dan jasa, konsumsi pemerintah, dan konsumsi rumah
tangga yang berturut-turut naik sekitar 17,9 persen, 13,5 persen, 5,7
persen, dan 4,8 persen. Pertumbuhan dari unsur permintaan agregat
ini lebih lambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya (triwulan II
tahun 2000 terhadap triwulan II tahun 1999) kecuali untuk konsumsi
pemerintah dan rumah tangga.
Dari sisi produksi, semua sektor tumbuh lebih lambat
dibandingkan dengan triwulan II tahun 2000 kecuali sektor
pertanian; pertambangan; listrik gas dan air bersih. Bahkan sektor
industri pengolahan hanya tumbuh sekitar 5 persen dibandingkan
triwulan sama tahun sebelumnya yang meningkat sekitar 7,8 persen.
Perlambatan ini sejalan dengan perkembangan beberapa leading
indicator. Dalam triwulan II tahun 2001 konsumsi listrik oleh sektor
industri hanya tumbuh 5,6 persen (y-o-y), lebih rendah
III - 65
dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 2000 yang tumbuh
sekitar 9,0 persen. Demikian pula penjualan mobil yang melambat
drastis menjadi sekitar 5,3 persen dalam triwulan II tahun 2001
dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2000 yang tumbuh
lebih dari 400 persen.
Dalam upaya menciptakan kepastian politik yang sangat
diperlukan bagi lancarnya penyelenggaraan kehidupan berbangsa
dan bernegara diselenggarakan Sidang Istimewa MPR (SI-MPR)
pada tanggal 23 Juli 2001. Pelaksanaan SI-MPR yang berlangsung
dengan aman dan lancar tersebut telah memberi dorongan bagi
pulihnya kepercayaan masyarakat.
Sejalan dengan penguatan rupiah, kegiatan pasar modal
mulai bergairah. Nilai kapitalisasi pasar meningkat dari Rp 266,3
triliun pada akhir Juni 2001 menjadi Rp 283,2 triliun pada akhir Juli
2001.
Perubahan kepemimpinan nasional yang berlangsung secara
demokratis mengurangi ketidakpastian politik serta memberi
landasan yang kokoh bagi pemerintah yang baru. Kepercayaan
masyarakat internasional mulai menunjukkan perbaikan. Pada
tanggal 30 Juli 2001, Standard and Poor’s (S&P) merevisi prospek
(outlook) peringkat utang jangka panjang dari ï‚¢negatifï‚¢ menjadi
ï‚¢stabilï‚¢, meskipun peringkat utang pemerintah (sovereign rating)
yaitu untuk utang jangka panjang dalam valuta asing masih CCC+;
sedangkan mata uang lokal masih B.
Setelah tertunda beberapa kali dan melalui pembahasan
yang ketat, pada tanggal 27 Agustus 2001 dicapai kesepakatan
antara Pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional
(IMF) tentang paket program kebijakan ekonomi dan keuangan.
Pokok-pokok kebijakan mencakup 6 bidang utama yaitu yang
berkaitan dengan kerangka dan kebijakan ekonomi makro,
desentralisasi fiskal, reformasi sistem perbankan sistem perbankan,
asset recovery, restrukturisasi perusahaan dan reformasi hukum,
serta reformasi sektor publik. Dengan tercapainya kesepakatan ini
III - 66
diharapkan upaya penundaan pembayaran utang pemerintah yang
diperoleh melalui Paris Club II dan perolehan pinjaman luar negeri
dalam pertemuan CGI mendatang berjalan dengan lancar.
3.2
Peningkatan Efektivitas Pengelolaan Keuangan
Negara
Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh dalam tahun
2001 terutama diarahkan untuk mewujudkan anggaran negara yang
berkesinambungan. Dalam upaya tersebut dikandung pula kebijakan
yang mencerminkan peranan strategis Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) sebagai berikut. Pertama, sebagai
instrumen untuk menghimpun pendapatan negara guna dialokasikan
untuk menjamin kelangsungan kegiatan operasional pemerintahan
serta menyediakan barang dan jasa publik (public goods) seperti
keamanan dan ketertiban umum, penegakan hukum, serta
penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat. Kedua, berperan
dalam menciptakan stabilitas dan mendorong pertumbuhan
ekonomi. Ketiga, berperan dalam mendukung pelaksanaan otonomi
daerah.
Di sisi penerimaan negara, upaya-upaya yang dilakukan
untuk meningkatkan penerimaan negara mencakup ekstensifikasi
dan intensifikasi pajak, perbaikan struktur dan tarif pajak,
penyempurnaan sistem administrasi perpajakan termasuk dalam
pemungutan pajak, pencabutan berbagai fasilitas perpajakan yang
sudah tidak sesuai lagi, serta meningkatkan transparansi dalam
pemungutan pajak.
Sumber-sumber penerimaan pajak yang utama adalah Pajak
Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kedua
sumber penerimaan tersebut mencakup sekitar 80 persen penerimaan
pajak atau sekitar separuh dari seluruh pendapatan negara. Untuk
meningkatkan penerimaan PPh ditempuh pengurangan tahun
penghapusan berbagai fasilitas pajak yang tidak sesuai, tax holiday,
III - 67
pajak ditanggung oleh pemerintah atas proyek-proyek yang dananya
dari pinjaman luar negeri, serta PPh ditanggung pemerintah atas gaji
pegawai negeri. Adapun upaya untuk meningkatkan PPN ditempuh
melalui penyempurnaan tentang ketentuan pedagang eceran,
peninjauan kembali perkreditan pajak masuk atas impor dan
penyerahan barang kena pajak (BKP) emas batangan, serta
pengaturan lebih lanjut mengenai pencabutan yang dipercepat atas
berbagai fasilitas di bidang perpajakan khususnya terhadap PPN
yang tarifnya nol persen.
Di sisi pengeluaran, langkah-langkah untuk mengatasi
tekanan yang berlebihan terhadap beban belanja negara ditempuh
dengan meningkatkan efektivitas pengelolaan keuangan negara
mulai dari perencanaan hingga tahap pemantauan pelaksanaannya.
Prioritas pengeluaran dipertajam pada hal-hal yang memang harus
dilaksanakan pemerintah serta bersifat penting dan sangat
mendesak. Untuk belanja rutin, upaya tersebut ditempuh melalui (i)
penghematan anggaran belanja pegawai melalui percepatan proses
penyelesaian pegawai yang dipindahkan ke daerah; (ii) penghematan
anggaran subsidi BBM melalui peningkatan efisiensi dan kenaikan
harga BBM; (iii) penghematan anggaran subsidi listrik melalui
kenaikan tarif dasar listrik; dan (iv) penghematan penggunaan dana
kontijensi untuk desentralisasi fiskal.
Sementara itu, untuk mendorong percepatan pelaksanaan
desentralisasi fiskal, sejak tahun 2001 sebagian penerimaan APBN
dialokasikan kepada daerah dalam bentuk dana perimbangan yang
terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi
khusus. Kebijakan ini menyebabkan pengelolaan fiskal Pemerintah
Pusat berkurang, sebaliknya proporsi pengelolaan fiskal dalam
penyelenggaraan pemerintah yang menjadi tanggung jawab daerah
sepenuhnya melalui APBD meningkat tajam. Perubahan ini
menyebabkan daerah akan mempunyai fleksibilitas yang tinggi
dalam pengelolaan keuangannya. Namun demikian, apabila dalam
pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumen selesai
dilaksanakan tetapi masih terdapat daerah-daerah yang belum
sepenuhnya dapat membiayai belanja pegawai dan belanja nonIII - 68
pegawai melalui APBD-nya, pemerintah menyediakan bantuan
untuk menutup kekurangan tersebut. Besarnya bantuan yang
diberikan disesuaikan dengan kebutuhan nyata daerah dan
kemampuan keuangan negara sebagaimana diatur dalam Keppres
Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penggunaan Dana Kontijensi untuk
Bantuan Pengalihan Personil, Peralatan, Pembiayaan dan Dokumen
(P3D) kepada pemerintah daerah.
Dalam hal pelaksanaan APBN sampai dengan akhir Juni
(Semester I) 2001, tercatat defisit yang relatif kecil, yaitu Rp 908,5
miliar. Namun beberapa hal masih perlu diwaspadai. Pertama, dari
sisi penerimaan negara, realisasi yang mencapai 43,8 persen
dimungkinkan oleh tingginya harga ekspor minyak bumi
dibandingkan yang diasumsikan dalam APBN Penyesuaiannya.
Kedua, pengeluaran belanja rutin seperti subsidi non-BBM,
pengeluaran rutin lainnya, pengeluaran pembangunan rupiah, dan
dana bagi hasil, masing-masing baru mencapai 15,9 persen, 2,6
persen, 15,3 persen, dan 11,0 persen dari anggaran yang ditetapkan.
Ketiga, jika besaran-besaran makro seperti nilai tukar Rupiah dan
tingkat suku bunga SBI lebih buruk dari yang diperkirakan, maka
beban anggaran bertambah berat.
Seiring dengan kondisi dalam negeri yang tidak stabil;
mandegnya perundingan dengan IMF dan pelaksanaan desentralisasi
telah berpengaruh langsung terhadap pelaksanaan pinjaman luar
negeri baik terhadap proyek-proyek yang sedang berjalan maupun
terhadap proyek-proyek baru yang akan dinegosiasi dengan donor.
Maka telah dilakukan langkah-langkah kebijakan berkaitan dengan
pelaksanaan pinjaman luar negeri ini.
Pertama adalah upaya percepatan pencairan pinjaman
program dan penyerapan proyek pinjaman luar negeri. Untuk
pinjaman program Water Resource Sector Adjustment Loan yang
dibiayai oleh IBRD telah dilakukan penyusunan draft undangundang aturan tentang pelaksanaan dan management sumber daya
air.
III - 69
Sementara itu untuk Pinjaman Program dari ADB, program
Financial Government Reform Support Development, diperlukan
penyelesaian Undang-undang Anti Money Laundering, Penyusunan
Secondary Mortgage Facility, Perubahan Perundang-Undangan
Terhadap Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Penyusunan Peraturan
Perundang-Undangan Akuntan Publik. Sedangkan untuk program
Community and Local Governmnet Support telah dilakukan
sosialisasi pelaksanaan Kepmen 64 Tahun 1999 (mengatur
partisipasi masyarakat perdesaan dalam pengambilan keputusan) ke
eselon I dan II; dan telah diselesaikan draft PP untuk informasi
keuangan regional. Sementara itu untuk program Industrial
Competitiveness and SME Development terdapat beberapa
persyaratan dari pihak ADB yang belum terlaksana; antara lain:
rasionalisasi program kredit SME dengan skema kerjasama petani,
pertanian dan SME yang meliputi Kredit Ketahanan pangan dan
Kredit Kepemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRS-SS);
perubahan terhadap Keppres Nomor 99 Tahun 1998 mengenai
sejumlah lapangan usaha; dan pengurangan hambatan bagi FDI.
Sementara itu untuk program Power Restructuring , RUU tentang
Kelistrikan telah disampaikan ke DPR tanggal 5 Februari 2001 dan
saat ini sudah mencapai pembahasan tingkat III.
Untuk pinjaman program dari JBIC pencairan dananya
tergantung dari proses pencairan program dari donor lain (ADB,
IBRD, dan IMF).
Kedua, pemerintah terus meningkatkan negosiasi dengan
IMF dan pihak donor (utamanya dalam mempercepat penyerapan
pinjaman program dan mendapatkan fleksibilitas dalam penggunaan
dana proyek yang sedang berjalan). Jumlah utang luar negeri
pemerintah yang jatuh tempo mencapai US$ 4,5 miliar. Dari jumlah
tersebut, yang merupakan pelunasan sebesar US$ 2 miliar,
sedangkan sisanya sebesar US$ 2,5 miliar telah berhasil
direstrukturisasi melalui pertemuan Paris Club I dan II. Selanjutnya,
dalam rangka mengurangi beban pembayaran utang luar negeri
pemerintah ini telah dilakukan pertemuan Paris Club II pada 12 dan
13 April 2000. Dalam pertemuan tersebut berhasil disetujui
III - 70
penjadwalan kembali pembayaran utang pokok pemerintah sebesar
US$ 5,8 miliar; yaitu pinjaman yang jatuh tempo 1 April 2000
sampai dengan 31 Maret 2002. Berdasarkan persetujuan tersebut,
pembayaran untuk pinjaman lunak (ODA) dijadwalkan kembali
dengan masa 20 tahun termasuk 7 tahun masa tenggang dengan
tingkat bunga yang berlaku bagi pinjaman lunak. Untuk pinjaman
bilateral non-ODA, pembayarannya dijadwalkan kembali dengan
masa 15 tahun termasuk 3 tahun masa tenggang dengan bunga pasar.
Disamping itu, sebagai kelanjutan dari hasil perundingan dalam
kerangka London Club, pada September 2000 telah berhasil
dijadwalkan kembali pembayaran pokok pinjaman komersial yang
diterima dari sindikasi bank-bank di luar negeri sebesar US$ 340
juta dengan jangka waktu penjadwalan 12 tahun 6 bulan dengan
masa tenggang 3 tahun.
Posisi utang luar negeri pemerintah pada Mei 2001
mencapai US$ 73.025 juta, terdiri dari IGGI/CGI sebesar US$
42.904 juta dan non CGI sebesar US$ 30.121 juta. Apabila
dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun sebelumnya,
mengalami penurunan sebesar US$ 3.462 juta atau 4,5 persen.
Bila dilihat dari jenis pinjaman, pinjaman Bilateral sebesar
US$ 23.865 juta, Multilateral sebesar US$ 30.306 juta, Fasilitas
Kredit Ekspor (FKE) sebesar US$ 15.958 juta, serta leasing dan
komersial sebesar US$ 2.897 juta.
Sejak bulan Januari-Mei 2001 telah terjadi pembayaran
utang pemerintah untuk pokok dan bunga pinjaman masing-masing
sebesar US$ 1.384 juta dan US$ 1.382 juta.
3.3
Pengembangan Lembaga Keuangan
Pengembangan lembaga keuangan, seperti diuraikan di atas,
akan sangat tergantung pada kondisi makro secara keseluruhan.
Pasar modal, sebagai alternatif pembiayaan utama dari perbankan,
masih menunjukkan kinerja yang lemah dalam semester I tahun
2001. IHSG di bulan Juni tercatat 437,6 sedangkan nilai kapitalisasi
III - 71
pasar tercatat Rp 8,8 triliun. Namun langkah-langkah khusus untuk
mengembangkannya akan terus diupayakan, dan dibahas dalam butir
5.2 Pengembangan Pasar Modal. Sementara itu pembiayaan
perbankan
juga
terus
ditingkatkan,
termasuk
dengan
mengembangkan Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Syariah. Bankbank tersebut menunjukkan ketahanan terhadap gejolak krisis.
Langkah-langkah yang lain adalah dengan meningkatkan
ketentuan dan peningkatan pengawasan bank, serta rencana
pembentukan lembaga penjamin simpanan (LPS) dan lembaga
pengawas jasa sektor keuangan (LPJK) yang terintegrasi.
3.4
Percepatan Restrukturisasi
Dunia Usaha
Perbankan
dan
Kebijakan Bank Indonesia di bidang perbankan hingga
triwulan III-2001 diarahkan pada upaya untuk mempercepat
pemulihan fungsi intermediasi perbankan yang diharapkan dapat
mendukung upaya pemulihan ekonomi. Di samping itu kebijakan
restrukturisasi
perbankan diarahkan pada upaya pemenuhan
kewajiban minimum CAR sebesar 8 persen bagi setiap bank serta
upaya pencapaian non-performing loans (NPLs) sebesar 5 persen
pada akhir tahun 2001.
Secara umum, perkembangan industri perbankan sampai
dengan Agustus 2001 masih belum mengalami perbaikan seperti
yang diharapkan, meskipun masih lebih baik dibandingkan dengan
kondisi di akhir tahun 2000. Berbagai kendala masih dihadapi oleh
perbankan nasional, seperti volatilitas nilai tukar rupiah yang tinggi
dan suku bunga SBI yang selama beberapa bulan terakhir cenderung
naik, serta belum bergeraknya sektor riil.
Dari sisi kelembagaan, jumlah bank umum hingga akhir
September 2001 mengalami penurunan menjadi 146 bank yang
disebabkan baik oleh adanya merger antar bank maupun oleh
adanya penutupan bank atas permintaan sendiri (self liquidation).
III - 72
Sementara itu, jumlah kantor bank bertambah 198 kantor sehingga
menjadi 6.707 kantor pada periode yang sama.
Nilai tukar rupiah yang cenderung apresiatif pada triwulan
III-2001 menyebabkan sedikit menurunnya asset bank-bank, yaitu
dari Rp1.030 triliun pada akhir tahun 2000 menjadi Rp1.015 triliun
pada Agustus 2001 yang disebabkan oleh menurunnya antarbank
aktiva, baik dalam denominasi rupiah maupun valuta asing,
menurunnya penyertaan, serta melambatnya penyaluran kredit.
Kecenderungan penurunan asset perbankan secara nominal terjadi
sejak triwulan I-2001 sampai dengan Agustus 2001. Penurunan
nominal asset yang cukup signifikan terjadi pada triwulan III-2001
(sampai dengan Agustus 2001) yang terutama disebabkan oleh
pengaruh apresiasi nilai tukar rupiah, sehingga menurunkan seluruh
komponen aktiva produktif bank-bank pada triwulan III-2001
dibandingkan dengan triwulan II-2001. Dalam komponen aktiva
produktif tersebut, kredit dan antar bank aktiva merupakan
komponen yang mengalami penurunan terbesar.
Meskipun khusus dalam triwulan III-2001 pertumbuhan
kredit mengalami penurunan, namun penyaluran kredit perbankan
sampai dengan Agustus 2001 mengalami sedikit pertumbuhan
sebesar 5,5 persen dari posisi akhir tahun 2000. Pertumbuhan yang
relatif rendah tersebut disebabkan oleh apresiasi nilai tukar rupiah,
sehingga menurunkan nilai kredit perbankan dalam valas. Apabila
pengaruh kurs dihilangkan, maka posisi kredit perbankan pada
periode yang sama mengalami pertumbuhan sebesar 8,8 persen.
Selama delapan bulan pertama tahun 2001, pertumbuhan kredit
valas masih lebih rendah dibandingkan dengan kredit rupiah yang
terutama disebabkan oleh ketidakpastian nilai tukar rupiah terhadap
mata uang asing atau dengan kata lain masih tingginya risiko kredit
valas yang dihadapi oleh debitur.
Kredit baru yang berhasil disalurkan oleh perbankan pada
bulan Agustus 2001 mencapai Rp5,3 triliun atau meningkat
dibandingkan dengan rata-rata penyaluran kredit triwulan II-2001
sebesar Rp4,3 triliun per bulan. Secara sektoral, kredit baru pada
III - 73
bulan Agustus 2001 tersebut terutama disalurkan ke sektor
perindustrian (46,3 persen) dan sektor perdagangan (17,9 persen).
Sementara itu, meskipun total asset perbankan menurun,
namun beberapa indikator kinerja perbankan lainnya masih
menunjukkan adanya perbaikan, yaitu penghimpunan dana pihak
ketiga, perolehan laba operasional, dan efisiensi operasional bank.
Penghimpunan dana pihak ketiga hingga Agustus 2001 mencapai
Rp725,5 triliun atau meningkat 3,8 persen dari posisi akhir tahun
2000. Rendahnya pertumbuhan dana pihak ketiga tersebut
disebabkan oleh menurunnya dana pihak ketiga dalam valas sebagai
akibat dari apresiasi nilai tukar rupiah. Namun, apabila pengaruh
perubahan kurs dihilangkan, maka penghimpunan dana pihak ketiga
tumbuh 9,5 persen dari posisi akhir tahun 2000.
Dalam
penghimpunan dana pihak ketiga tersebut, posisi deposito hingga
Agustus 2001 mencapai Rp398 triliun dan masih mendominasi
penghimpunan dana pihak ketiga dengan pangsa sebesar 54,9
persen. Sementara itu, pangsa tabungan dan giro pada periode yang
sama masing-masing mencapai 22,7 persen dan 22,4 persen.
Laba operasional perbankan hingga Agustus 2001 tercatat
sebesar Rp0,8 triliun atau meningkat dibandingkan dengan laba
operasional pada periode yang sama tahun 2000 yang mencatat
adanya kerugian. Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh
menurunnya biaya operasional yaitu beban kegiatan valas dan
lainnya serta penghapusan/penyusutan. Sebagai akibatnya, baik laba
sebelum pajak maupun laba setelah pajak pada Agustus 2001
mengalami peningkatan dibandingkan dengan Agustus 2000.
Sedangkan dari sisi efisiensi operasional bank juga mengalami
perbaikan yang tercermin dari membaiknya rasio antara biaya
operasional dengan pendapatan operasional (BOPO), yaitu dari
104,5 persen pada Agustus 2000 menjadi 99,2 persen pada Agustus
2001. Penurunan rasio BOPO mencerminkan bahwa perbankan
nasional lebih efisien dalam pengelolaan biaya dan pendapatan dana
dibandingkan dengan periode sebelumnya.
III - 74
Selanjutnya mengenai restrukturisasi utang dunia usaha.
Restrukturisasi kredit yang difasilitasi Satuan Tugas Restrukturisasi
Kredit Bank Indonesia menunjukkan kemajuan. Hingga Agustus
2001 jumlah kredit yang ditangani oleh Satgas telah mencapai
Rp91,8 triliun yang mencakup 43.568 debitur.
Sementara itu, dalam rangka mempercepat restrukturisasi
utang perusahaan di BPPN dan yang melalui mediasi Prakarsa
Jakarta, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) telah
menerbitkan berbagai kebijakan sebagai pedoman pelaksanaan
restrukturisasi utang serta menetapkan pola restrukturisasi utang
obligor/debitur yang nilainya di atas Rp. 1 triliun berdasarkan usulan
BPPN dan pola restrukturisasi utang debitur yang nilainya di atas
Rp. 100 milyar berdasarkan usulan Satuan Tugas Prakarsa Jakarta
(STPJ). Pada bulan Desember 2000 KKSK telah menerbitkan
kebijakan yang antara lain berisi insentif kepada debitur BPPN
yang hendak menyelesaikan utangnya dalam bentuk penyelesaian
tunai. Selanjutnya pada bulan Januari 2001, KKSK memberikan
rekomendasi kepada Menteri Keuangan untuk memberikan diskon
pokok 25 persen dan penghapusan pinalti dan bunga 100 persen bagi
kredit macet di Bank-bank BUMN yang nilai kewajibannya di
bawah Rp. 5 miliar dan telah ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan
khusus untuk Bank Mandiri. Pada bulan April 2001 KKSK
menerbitkan kebijakan restrukturisasi utang debitur BPPN di Sektor
Properti yang antara lain memuat berbagai insentif pengurangan
utang pokok, penghapusan bunga serta penalti. Pada bulan
September 2001 KKSK dalam rangka mempercepat penjualan aset
dan meningkatkan tingkat pengembalian uang negara telah
menetapkan kebijakan umum bagi penjualan aset-aset di BPPN
meliputi restructured dan unrestructured loan, pinjaman dalam
tahap restrukturisasi MoU, dan pinjaman yang telah di-outsource
penanganan restrukturisasi, dengan memenuhi ketentuan-ketentuan
dalam keputusan KKSK tersebut.
Dalam menangani restrukturisasi utang debitur, unit Aset
Management Credit (AMC) di BPPN mengimplementasikan
berbagai tahap restrukturisasi yang harus dilalui perusahaan dengan
III - 75
berpedoman kepada kebijakan restrukturisasi yang telah ditetapkan
KKSK. Sedangkan untuk menangani kewajiban dari pemegang
saham bank-bank yang dibekukan/diambil alih, langkah langkah
yang dilaksanakan oleh Asset Management Investment (AMI)
BPPN terhadap 13 BTO/BBO dan 39 BBKU adalah melakukan
negosiasi dengan pemegang saham bank tersebut untuk meghasilkan
kesepakatan dalam Perjanjian Kewajiban Pemegang saham (PKPS)
yang intinya meminta pembayaran kembali atas utang-utang bank
kepada negara.
BPPN dan Prakarsa Jakarta telah mengalami kemajuan yang
cukup pesat dalam upaya merestrukturisasi utang perusahaan.
Sampai dengan Bulan September 2001, BPPN telah meyelesaikan
sekitar 89,9 persen restrukturisasi utang 21 obligor (tahap
pembuatan MOU ke atas) terbesar dengan total utang sebesar Rp
90,8 trilliun. Sementara itu STPJ juga telah mengalami kemajuan
yang berarti dalam upaya melakukan mediasi antara kreditur dan
debitur. Hingga bulan Oktober 2001 jumlah perusahaan yang
terdaftar di STPJ mencapai 112 kasus dengan total utang US$ 19,77
miliar. Jumlah kasus yang telah diselesaikan mediasi restrukturisasi
utangnya mencapai 60 kasus dengan total nilai utang mencapai US$
12,36 miliar. Secara keseluruhan BPPN dan Prakarsa Jakarta,
menurut laporan Survei Utang Perusahaan yang dilakukan oleh
Prakarsa Jakarta hingga Juli 2001 BPPN dan STPJ telah mampu
merestrukturisasi utang perusahaan sebesar US$ 24,9 miliar (setelah
dikurangi nilai overlap restrukturisasi yang dilakukan oleh BPPN
dan Prakarsa Jakarta sekitar US$ 1,6 miliar); yang terdiri dari US$
14,2 miliar oleh BPPN; dan US$ 12,2 miliar oleh Prakarsa Jakarta.
3.5
Pelaksanaan Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah
Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh dalam tahun
anggaran 2001 terutama diarahkan untuk menyelesaikan penjabaran
peraturan perundang-undangan yang belum ada, diantaranya (1)
melaksanakan peraturan-peraturan yang menjabarkan Undangundang Nomor 25 Tahun 1999 seperti peraturan tentang dana
III - 76
perimbangan, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
daerah, pinjaman daerah dan system informasi keuangan daerah; (2)
menyusun peraturan detil tentang system bagi hasil dari penerimaan
sumber daya alam terutama akibat terjadinya pemekaran beberapa
wilayah; (3) memformulasikan dan memperbaiki kembali data-data
pendukung untuk perhitungan DAU agar lebih berkeadilan yang
mencerminkan pemerataan antar daerah dan antar wilayah; (4)
membina dan mengembangkan aparatur/personil daerah yang
bertugas di bidang keuangan dan ekonomi daerah dalam rangka
menciptakan tenaga-tenaga trampil yang mampu menterjemahkan
kebijaksanaan dan peraturan yang ada ke dalam kebijaksanaan yang
lebih operasional secara tepat; (5) dalam rangka memberikan
fleksibelitas yang tinggi kepada daerah untuk menggali potensi
penerimaan asli daerah (PAD) maka perlu dilakukan revisi terhadap
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi
Daerah yang memberikan limitasi yang tinggi kepada daerah untuk
menggali potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah yang
potensial didaerahnya; (6) mempersiapkan Rancangan Undangundang tentang BUMD yang akan menjadi pedoman bagi daerah
dalam pengelolaan dan pembentukan perusahaan-perusahaan daerah
agar dapat mendorong dan mengembangkan aktivitas perekonomian
nasional dan regional secara lebih efisien dan professional.
Hasil dari berbagai langkah kebijakan di atas adalah
tersedianya Keppres Nomor 181 Tahun 2000 tentang Dana Alokasi
Umum Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun
anggaran 2001. Sampai dengan akhir Juni 2001, besarnya dana
perimbangan yang telah didaerahkan adalah Rp. 32,3 triliun atau
39,6 persen dari total dana perimbangan. Sementara itu dalam
rangka penggalian potensi penerimaan asli daerah telah
diterbitkannya Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 sebagai revisi
terhadap Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah. Pada Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 ini
daerah diberikan kewenangan yang lebih luas untuk memungut
pajak spesifik dan yang potensial di daerahnya masing-masing
dengan prinsip pajak tersebut harus sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan undang-undang antara lain bersifat lokal dan
III - 77
mobilitasnya rendah, tidak bertentangan dengan kepentingan umum,
tidak tumpang tindih dengan pajak propinsi dan atau pajak pusat,
tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif, memperhatikan
aspek keadilan dan kemampuan masyarakat dan tidak mendorong
perusakan lingkungan.
4.
Memacu Peningkatan Daya Saing
Dalam rangka meningkatkan daya saing nasional dengan
mempertimbangkan kondisi perekonomian saat ini yang sedikit
banyak mempengaruhi perilaku usaha nasional dalam upaya
meningkatkan kinerja sektor riil, langkah kebijakan yang ditempuh
di sektor industri dan sektor perdagangan diarahkan pada
pembenahan dan perbaikan di berbagai bidang, antara lain dengan
mengupayakan penguatan daya saing produk nasional melalui
peningkatan efisiensi distribusi, peningkatan kemampuan lembaga
layanan teknologi, pengembangan jaringan usaha, perluasan
penerapan sistem mutu dan standardisasi (nasional dan
internasional), penataan sistem dan penguatan kelembagaan
standardisasi dan kemetrologian dalam mendukung akreditasi dan
sertifikasi barang dan jasa, dan peningkatan kualitas dan
ketersediaan sumber daya manusia yang terampil.
Kebijakan pembangunan di sektor industri secara umum
diarahkan untuk menata dan memperkuat basis produksi dan
distribusi, serta meningkatkan daya saing global produk nasional
melalui keunggulan kompetitif terutama yang berbasis keunggulan
komparatif sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia
(SDM) dengan menghapus segala bentuk hambatan dan perlakuan
diskriminatif. Seiring dengan itu, penguatan industri yang berskala
kecil dan mzenengah juga terus ditingkatkan dalam rangka
mewujudkan struktur industri nasional yang kukuh dan berdaya
saing global.
III - 78
Kebijakan pembangunan di sektor perdagangan khususnya
dalam rangka memacu daya saing secara umum diarahkan untuk
mengembangkan pasar domestik sebagai basis dan pendorong
proses industrialisasi yang berkelanjutan, serta mengembangkan
pembinaan produk domestik agar semakin mampu bersaing baik
pasar domestik maupun internasional. Dengan demikian kebijakan
perdagangan adalah untuk menjamin kelancaran arus barang dan
jasa dengan memantapkan pengadaan dan penyaluran agar
terciptanya harga yang wajar dengan kata lain menciptakan stabilitas
harga, memperluas produksi dalam negeri dalam rangka
meningkatkan pendapatan produsen, melindungi kepentingan
konsumen, serta mendorong dan membantu pedagang kecil melalui
penciptaan iklim yang mendukung peningkatan kemampuan
berusaha, pelaksanaan kemitraan usaha dan pelayanan informasi
perdagangan. Di sisi lain kebijakan perdagangan juga diarahkan
untuk mengupayakan peningkatan ekspor nasional yang mempunyai
keunggulan komparatif yang diiringi dengan semakin meningkatkan
keunggulan kompetitif yang dimiliki para pedagang, pengusaha, dan
eksportir sekaligus dalam upaya meningkatkan daya saing usaha
melalui pemberdayaan sumber daya yang ada.
Betapapun beratnya tantangan yang dihadapi, baik yang
muncul dari dalam maupun dari luar, sektor industri pengolahan
masih memegang peran penting dalam perekonomian nasional.
Sektor industri pengolahan nonmigas memberikan kontribusi yang
cukup besar dalam proses pembangunan nasional, terutama dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi. Atas dasar harga konstan 1993,
sektor industri pengolahan migas dan pengolahan nonmigas pada
triwulan I dan triwulan II tahun 2001 dibanding periode yang sama
tahun 2000 menunjukkan pertumbuhan sebesar 3,60 persen dan 4,75
persen. Seiring dengan kecenderungan positif pertumbuhannya,
sumbangan yang diberikan industri pengolahan terhadap produk
domestik bruto (PDB) juga mengalami kenaikan, yaitu 25,75 persen
pada triwulan II 2000 menjadi 25,84 persen pada triwulan II 2001.
Pada periode yang sama, laju pertumbuhan sektor
perdagangan, termasuk hotel dan restoran, tercatat mengalami
III - 79
peningkatan masing-masing sebesar 5,79 persen dan 5,69 persen.
Kontribusinya terhadap PDB pada triwulan II 2001 mencapai
sebesar 15,04 persen. Peningkatan kinerja perdagangan antara lain
disebabkan dengan semakin membaiknya kinerja ekspor pada
periode tersebut. Dibandingkan tahun sebelumnya dan dibandingkan
dengan beberapa sektor lainnya, dalam pasca krisis ekonomi, pada
tahun 2000 dan 2001 sektor perdagangan telah mampu memainkan
peranan yang penting dalam memperluas kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha.
Seiring dengan meningkatnya jumlah investasi yang
disetujui, nilai PMA pada tahun 2000 mengalami peningkatan
sebanyak 405,5 persen dibandingkan tahun 1999, namun investasi
PMDN mengalami penurunan sebanyak minus 19,5 persen, yaitu
sebesar US$ 1,411.0 juta untuk PMA dan sebesar Rp. 234,1 miliar
pada tahun 2000 dibandingkan tahun 1999 sebesar US$ 279,1 juta
dan Rp. 234,1 miliar. Sedangkan sampai dengan bulan April tahun
2001 jumlah investasi untuk PMA dan PMDN yang disetujui telah
mencapai 148 perusahaan dan 1 perusahaan dengan nilai US$ 75,3
juta dan Rp 0,2 miliar.
Di samping itu, diperlukan kebijakan sektor perdagangan
yang terpadu dan saling mendukung dengan kebijakan sektor
lainnya, seperti melanjutkan dan meningkatkan kebijaksanaan
deregulasi dan debirokratisasi, kebijaksanaan pengadaan dan
penyaluran barang dan bahan penting, kebijaksanaan tertib niaga
dan perlindungan konsumen, kebijaksanaan perwujudan pasar yang
transparan, serta kebijaksanaan perluasan pemasaran dan
peningkatan daya saing barang hasil produksi dalam negeri.
Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh berkaitan dengan hal itu,
maka orientasi kebijakan perdagangan adalah meningkatkan
peranserta masyarakat secara sehat dalam kegiatan perdagangan dan
mengembangkan kegiatan perdagangan berskala kecil dan
menengah. Sejalan dengan perkembangan yang ada, kebijakan
industri dan perdagangan diarahkan melalui beberapa program yang
ada di dalam PROPENAS 2000-2004 dan Repeta dengan programprogram, antara lain program pengembangan ekspor, penataan dan
III - 80
penguatan basis produksi dan distribusi, penguatan pranata iklim
kompetitif dan non deskriminatif, dan penguatan institusi pasar
Dalam rangka mewadahi proses dan mekanisme dalam
upaya peningkatan daya saing nasional Indonesia saat ini telah
dirintis pembentukan Dewan Peningkatan Daya Saing Nasional
yang diprakarsai oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Namun demikian, mengingat karakteristik tugasnya yang berkaitan
dengan penerapan kebijakan publik yang komprehensif, lintas
sektoral dan regional, seyogyanya lembaga ini bersifat independen,
bebas dari intervensi atau pengaruh dominan dari lembaga
pemerintah maupun swasta lainnya untuk menjamin keobyektifan
dan sifat koordinasinya. Dalam kaitan ini memang pada tahap awal
pemerintah dapat menginisiasi pembentukan lembaga tersebut
dengan memberdayakan fungsi lembaga pemerintah “super
departmental” atau instansi yang memiliki wewenang koordinasi
dan perencanaan pembangunan sehingga diharapkan lebih mampu
mengemban misi lembaga tersebut.
4.l
Pengembangan Ekspor
Kebijakan perdagangan luar negeri dalam rangka
pelaksanaan program pengembangan ekspor diarahkan untuk
memperluas pasaran barang-barang produksi dalam negeri dan
meningkatkan peranan pedagang nasional dan usaha kecil adalah
dengan meningkatkan akses pasar global, dengan senantiasa
berperan serta secara aktif dalam kerjasama internasional, baik
dalam forum AFTA-ASEAN, APEC, dan WTO, dan memperluas
hubungan bilateral; dan meningkatkan dan memantapkan pangsa
pasar negara tujuan ekspor yang telah ada, dan secara bersamaan
melakukan promosi ekspor secara aktif dan gencar guna
mencari/memperluas negara tujuan ekspor yang lain.
Langkah-langkah yang diambil dalam rangka meningkatkan
ekspor adalah melalui peningkatan daya saing produk ekspor,
meningkatkan peran imbal dagang (counter trade), menciptakan
iklim usaha yang kondusif, pemberdayaan sumber daya alam,
III - 81
pelatihan, pameran dagang, meningkatkan kapasitas kelembagaan
ekspor baik peningkatan profesionalisme pelayanan maupun
ketersediaan infrastruktur pelayanan kepada dunia usaha terutama
untuk usaha kecil, menengah, dan koperasi. Selain itu, dalam rangka
memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan akurat sangat
diperlukan oleh pelaku bisnis dilakukan melalui pengembangan
sistem informasi manajemen promosi ekspor dan perdagangan
internasional yang mandiri, profesional, dan mudah diakses oleh
masyarakat perlu terus diupayakan keberadaannya dan
keakuratannya Di samping itu, dalam rangka meningkatkan ekspor
nasional telah dilakukan upaya yang terpadu dan berkesinambungan
dalam menyusun dan menerapkan kebijakan perdagangan yang
mampu merespon kebutuhan dunia usaha, melalui penyederhanaan
administrasi prosedur ekspor-impor, mengurangi
hambatan
perdagangan khususnya di dalam negeri, meningkatkan mutu
komoditi ekspor melalui teknologi dan sumber daya manusia yang
terampil, memberdayakan balai-balai pengujian dan sertifikasi mutu
barang, dan meningkatkan misi dan diplomasi dagang.
Beberapa hasil yang telah dicapai selama tahun 2000
ditandai dengan meningkatnya ekspor nasional baik migas maupun
non migas yang diraih melalui peningkatan kinerja perdagangan luar
negeri. Dilihat berdasarkan negara tujuan ekspor terbesar, pada
tahun 2000 Jepang, Amerika Serikat dan Singapura merupakan
negara tujuan utama ekspor nasional dengan nilai ekspornya
masing-masing sebesar US$ 14,4 miliar, US$ 8,48 miliar, dan US$
6,56 miliar dengan kontribusinya masing-masing sebesar 23,19
persen, 13,64 persen, dan 10,56 persen.
Sedangkan komponen utama ekspor non migas menurut
golongan barang pada periode Januari-Agustus 2001 yang
memberikan kontribusi terbesar pada ekspor non migas terdiri dari
mesin/peralatan listrik, kayu/barang dari kayu, pakaian jadi bukan
rajutan, kertas/karton, barang-barang rajutan, alas kaki, bahan bakar
mineral, filamen buatan, plastik dan barang dari plastik, serta bubur
kayu/pulp, masing-masing sebesar 14,1 persen, 7,5 persen, 6,7
persen, 4,3 persen, 3,6 persen, 3,6 persen, 3,5 persen, 2,5 persen, 2,4
III - 82
persen dan 1,3 persen. Berdasarkan negara tujuan ekspor non migas
tertinggi, dalam periode Januari-Agustus 2001 ditempati antara lain
oleh negara Amerika Serikat sebesar US$ 5,3 miliar atau 17,0
persen, Jepang sebesar US$ 4,7 miliar atau 15,9 persen, dan
Singapura sebesar US$ 3,8 miliar atau 10,8 persen. Memang tidak
dapat dielakkan bahwa ketiga negara tersebut masih menjadi
penyerap ekspor nasional yang cukup besar jika dibandingkan
dengan tujuan ekspor negara-negara di Eropa.
Perkembangan ekspor juga terjadi pada kelompok industri
pengolahan khususnya ekspor dari industri kecil. Dibandingkan
tahun 1999, nilai ekspor industri kecil pada tahun 2000 meningkat
sebesar 19,4 persen, yaitu dari US$ 2,55 miliar menjadi US$ 3,05
miliar yang terdiri dari cabang industri kecil pangan sebesar US$
0,11 miliar, industri kimia, agro non pangan dan hasil hutan sebesar
US$ 0,56 miliar, industri logam, mesin dan elektronika sebesar US$
0,51 miliar, dan industri sandang, kulit dan aneka sebesar US$ 1,87
miliar. Dengan demikian ekspor industri kecil mampu memberikan
kontribusinya sebesar 4,9 persen terhadap keseluruhan ekspor non
migas.
4.2
Pengembangan
Kompetitif
Industri
Berkeunggulan
Industri berkeunggulan kompetitif dikembangkan melalui
upaya penguatan industri di daerah yang bertumpu pada sumberdaya
masing-masing daerah, pemberdayaan masyarakat, dan persaingan
usaha yang sehat. Kebijakan ini mencakup upaya pemenuhan
kebutuhan masyarakat dan pemanfaatan peluang pasar dalam dan
luar negeri melalui peningkatan tingkat gunaan (utilisasi) kapasitas
produksi, dan peningkatan daya saing industri melalui upaya
penguatan industri hasil pertanian (agro-based industry) didukung
pengembangan industri yang berbasis kemampuan teknologi sendiri
(knowledge-based industry). Untuk itu, kebijakan industri
memerlukan
dukungan
kebijakan
perdagangan
melalui
pengembangan sistem distribusi yang dapat menjamin peningkatan
penggunaan atau pemanfaatan kapasitas produksi industri tersebut.
III - 83
Kebijakan pembangunan industri juga perlu dukungan sistem
pelayanan investasi yang efisien dan efektif dalam rangka
menumbuhkan iklim usaha yang kondusif.
Sasaran program penataan dan penguatan basis produksi dan
distribusi adalah (1) terwujudnya proses industrialisasi yang mantap
dengan dasar sistem keterkaitan yang terintegrasi antara kegiatan
industri dengan kegiatan produksi lainnya dan distribusi; (2) makin
kukuhnya upaya pengembangan klaster industri yang kompetitif
berbasis SDA, SDM, dan sumber daya potensial lainnya, ternmasuk
keragaman budaya; dan (3) makin tingginya keragaman basis
produksi dan distribusi yang berdaya saing global.
Penguatan basis produksi dan distribusi diupayakan antara
lain melalui: (i) pemantapan pasar yang mendukung terciptanya
efisiensi dan efektifitas sistem pelayanan dan sistem distribusi,
termasuk pula perlu dilakukan pula pembinaan iklim persaingan
usaha yang nantinya bermuara pada pencegahan praktek monopoli
dan perlindungan konsumen; (ii) stabilitas harga yang wajar yang
tercermin pada tingkat inflasi yang terkendali didukung kebijakan
moneter yang bijaksana dan hati-hati serta kebijakan sektor riil
melalui pembenahan dan peningkatan efisiensi kegiatan sektor
produksi dan distribusi; dan (iii) penerapan teknologi informasi,
peningkatan diversifikasi dan disain produk, penerapan sistem mutu
dan standardisasi produk barang dan jasa serta penguatan
kelembagaan standaridisasi dan kemetrologian untuk mendukung
akreditasi dan sertifikasi barang dan jasa.
Mencermati tantangan berat yang dihadapi, perkembangan
industri pengolahan tahun 2000/01 secara umum cenderung
melambat walau ada indikasi peningkatan volume produksi di
beberapa kelompok industri khususnya produksi industri yang telah
mempunyai akses pasar di luar negeri dan berpotensi ekspor.
Produksi kelompok industri kimia, agro, dan hasil hutan pada tahun
2000 menunjukan utilisasi rata-rata kapasitas produksinya
meningkat, yaitu mencapai 4,6 persen dibandingkan tahun
sebelumnya dan diperkirakan akan meningkat terus pada tahun 2001
III - 84
ini. Pada tahun 2000 rata-rata perkembangan produksi industri
kimia, agro, dan hasil hutan menunjukan pertumbuhan yang sangat
berarti dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan produksi agro
industri yang mengalami peningkatan besar adalah buah-buahan dan
sayur-sayuran dalam kaleng, kertas, ban kendaraan bermotor roda
empat, ban sepeda motor roda dua, margarine, dan ban sepeda yaitu
sebesar 4,2 persen, 5,7 persen, 3,1 persen, 4,5 persen, 6,8 persen,
dan 3,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Perkembangan
produksi industri barang-barang dari kimia rata-rata dapat bertahan
bahkan mampu meningkatkan produksinya dengan cara
memanfaatkan peluang pasar ekspor pada saat nilai tukar rupiah
melemah. Produksi kelompok industri kimia yang mengalami
peningkatan produksi sangat besar, antara lain industri pigmen
sebesar 3,9 persen, ethylene dichloride (EDC) sebesar 4,3 persen,
bahan peledak sebesar 4,9 persen, methanol sebesar 5,1 persen, dan
vinyl chloride monomer (VCM) sebesar 3,7 persen, carbon black
sebesar 4,6 persen dibanding tahun 1999. Industri kimia lain yang
mengalami peningkatan produksi antara lain adalah industri bahan
kimia tekstil, alkyl benzine sulfonat (ABS) dan sorbitol. Sedangkan
Pada kelompok industri barang galian bukan logam produksi yang
mengalami peningkatan paling besar adalah kaca lembaran dan
semen sebesar 5,6 persen dan 4,8 persen.
Selain terjadi peningkatan utilitas kapasitas produksi,
perkembangan kelompok industri logam, mesin dan elektronika
pada tahun 2000 menunjukkan pertumbuhan yang sangat berarti
dibanding tahun 1999. Pertumbuhan terjadi pada kelompok industri
logam dasar, industri permesinan dan industri mesin, alat listrik, dan
elektronika rata-rata meningkat sekitar 2,2 persen, 1,9 persen, dan
2,1 persen. Peningkatan terbesar di kelompok industri logam adalah
baja lembaran canai panas (HRC) sebesar 5,4 persen, kelompok
industri permesin adalah whell loader sebesar 4,7 persen dan pada
industri mesin, alat berat dan elektronika adalah mesin jahit dan
VHF/UHF single channel sebesar 5,6 persen dan 4,2 persen.
Selanjutnya, kinerja produksi yang ditunjukkan oleh
kelompok-kelompok industri pada tahun 2001 secara umum tidak
III - 85
berbeda jauh bila dibandingkan dengan perkembangan yang dicapai
pada tahun 2000. Fluktuasi produksi tetap mengikuti gejolak
perkembangan pasar. Di antara kelompok produksi yang ada,
kelompok produksi yang berbasis pada pertanian dan hasil hutan
cenderung menunjukkan kinerja yang lebih baik.
Sementara itu, sejalan dengan perkembangan produksi
industri yang belum stabil, nilai dan volume ekspor sektor industri
non-migas pada tahun 1999 mengalami penurunan 5,1 persen dan
5,5 persen, atau meliputi US$ 40,9 miliar dan 170,6 juta-ton menjadi
US$ 38,8 miliar dan 161,2 juta-ton dibandingkan tahun sebelumnya.
Dampaknya dirasakan pula oleh industri kecil dan menengah tahun
2000. Pada tahun 2000 nilai ekspor industri kecil dan menengah
mencapai US$ 2,5 miliar atau menurun 29,9 persen dibandingkan
nilai ekspor tahun 1999 sebesar US$ 3,6 miliar. Walau terjadi
penurunan pada nilai ekspor, namun volume ekspornya tahun 2000
mengalami peningkatan 42,5 persen dibandingkan tahun
sebelumnya. Peningkatan volume ekspor industri kecil dipengaruhi
perubahan jenis produksi yang diekspor. Di bidang investasi
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) sektor industri belum menunjukkan kegairahan
investasi yang berarti bagi para investor untuk menanamkan
modalnya di dalam negeri. Pada tahun 2000, nilai PMA sektor
industri yang disetujui mengalami penurunan 17,3 persen dengan
nilai US$ 6,9 miliar dibandingkan tahun sebelumnya, sedangkan
nilai PMDN yang disetujui untuk sektor industri mengalami
peningkatan 4,1 persen dengan nilai mencapai Rp.46,7 miliar dari
nilai tahun 1999 yang Rp.44,9 miliar. Peningkatan terbesar PMDN
dialami oleh industri logam dasar, industri tekstil, industri makanan,
dan industri kertas.
4.3
Penguatan Institusi Pasar
Upaya-upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kinerja
perdagangan dalam negeri adalah dengan menciptakan pranata iklim
perdagangan yang sehat melalui pembentukan peraturan-peraturan,
pemantapan kelembagaan perdagangan, pembinaan usaha dalam
III - 86
rangka penciptaan persaingan usaha yang sehat, perlindungan
konsumen, peningkatan penggunaan produksi dalam negeri, dan
mewujudkan pola perdagangan dan sistem distribusi nasional yang
mantap melalui (1) pembinaan pendaftaran perusahaan, (2)
pembinaan pengembangan dan pemantauan pasar dalam negeri, (3)
pembinaan dan pengawasan kemetrologian, (4) pembinaan dan
pengembangan usaha perdagangan dalam negeri. Dalam rangka
menjaga kemantapan harga dan jaringan distribusi barang, baik antar
kota maupun antar propinsi telah dilakukan upaya-upaya: (1)
menjaga ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat, (2)
mengendalikan tingkat inflasi dan mengamankan distribusi barang
dan jasa, (3) melakukan pemantauan terhadap perkembangan harga,
dan (4) mengamankan terjadinya fluktuasi harga yang tidak
terkendali.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penciptaan
persaingan usaha yang sehat adalah pelaksanaan sosialisasi
implementasi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang diiringi
dengan pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia di
berbagai instansi pemerintah yang terkait dengan pelaksanaan Anti
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; pelaksanaan
kerjasama dengan berbagai pihak donor luar negeri dalam rangka
pemberian bantuan teknis terhadap pelaksanaan Undang-undang 5
Tahun 1999 di Indonesia; serta penyusunan perangkat hukum dan
kelembagaan yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas
dan wewenang instansi pengawas pelaksanaan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999. Selain itu, untuk dapat mewujudkan
persaingan usaha yang sehat dan adil, KPPU telah menangani dan
menyelesaikan kasus dugaan praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat, baik yang dilaporkan oleh masyarakat atau pelaku
usaha maupun yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari
penelitiannya sesuai dengan ketentuan yang ada. Jumlah dan jenis
laporan yang disampaikan dan diterima oleh Komisi selama periode
2000 terdiri dari: laporan mengenai monopoli dan integrasi vertikal
sektor industri kertas, pelaksanaan tender di sektor migas,
diskriminasi harga di sektor distribusi/retail, kartel tarif taksi, dan
monopoli di sektor jasa pengiriman barang dan surat. Sebagian dari
III - 87
laporan tersebut telah masuk ke dalam daftar monitoring dan
penyelidikan, yang kemudian ditindaklnjuti sesuai saran kebijakan
dari instansi terkait. Sampai saat ini, 6 (enam) laporan dugaan
pelanggaran masih dalam tahap penelitian/pengkajian, 2 (dua)
laporan dugaan pelanggaran telah masuk dalam tahap pemeriksaan
lanjutan, dan salah satu dari 2 dugaan pelanggaran ini telah
diputuskan sebagai kasus yang secara jelas telah melanggar Undangundang Nomor 5 Tahun 1999.
Beberapa langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah
dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen
antara lain adalah penyelenggaraan pendidikan dan latihan
pengembangan sumber daya manusia pengelola organisasi
konsumen seluruh Indonesia, pelaksanaan pertemuan teknis
penyelenggaraan perlindungan konsumen di seluruh Indonesia, serta
penerimaan berbagai pengaduan konsumen atas ketidakpuasannya
terhadap produk dan layanan produsen. Selama tahun 2000, jumlah
pengaduan konsumen yang diterima oleh pemerintah dan dianggap
melanggar Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah sekitar 80
kasus, dengan jenis permasalahannya yang sangat bervariasi, yaitu
mulai dari ketidakpuasan konsumen terhadap kualitas barang dan
layanan yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan, sampai dengan
ketidakpuasan terhadap layanan purna jual dan praktek-praktek
produsen lainnya yang dirasa oleh konsumen sangat merugikan.
4.4
Pengembangan Pariwisata
Sejalan dengan upaya peningkatan keparriwisataan nasional
dan pemulihan citra pariwisata Indonesia serta mengatasi isu
strategis dan dalam rangka mencapai tujuan kepariwisataan
nasional. Pada tahun 2001 telah dilakukan langkah langkah
kebijakan, antara lain mengembangkan dan memperluas pasar
pariwisata dan promosi ke luar negeri; mengembangkan dan
memperluas diversifikasi dan kualitas produk serta ragam objek dan
daya tarik wisata; seiring dengan itu dilaksanakan pula peningkatan
kemampuan sumber daya manusia pariwisata melalui
pengembangan kualitas sekolah tinggi dan akademi pariwisata;
III - 88
memperluas partisipasi dan kemitraan masyarakat dalam upaya
pemberdayaan ekonomi rakyat serta pemanfaatan unsur kesenian
dan kebudayaan serta unsur alami untuk pariwisata dilakukan secara
bertanggung jawab dan menuju
pada pelestarian alam dan
pengayaan nilai historis agar dapat menjadi wahana persahabatan
antar bangsa dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa.
Berbagai gejolak sosial-politik pada awal krisis yang
memberikan dampak negatif terhadap citra Indonesia di luar negeri
telah mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah wisatawan
mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia. Melalui
upaya pemulihan kepercayaan pariwisata Indonesia kepada
masyarakat luar negeri guna menarik wisman untuk berkunjung ke
Indonesia, pada tahun 2000 kunjungan wisman menunjukkan
peningkatan sekitar 7,12 persen dan penerimaan devisa meningkat
22,7 persen dibanding tahun 1999 atau menjadi sebesar 5,06 juta
kunjungan dengan perolehan devisa sebesar US$ 5,78 miliar.
Selanjutnya, pada tahun 2001 hingga bulan Agustus jumlah
kunjungan wisman melalui 13 pintu masuk mencapai 2,88 juta
dengan perolehan devisa diperkirakan mencapai sebesar US$ 3,27
miliar, atau meningkat masing-masing sebesar 6,49 persen dan 7,12
persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Pada akhir tahun 2001 diharapkan dengan iklim yang kondusif di
dalam negeri jumlah kunjungan wisman dan perolehan devisa dapat
melampaui tahun 2000.
4.5
Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (Iptek)
Di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kebijakan
difokuskan pada upaya mendayagunakan sumberdaya Iptek dalam
mengatasi dampak krisis ekonomi dengan mengoptimalkan
pelayanan Iptek kepada dunia usaha dan masyarakat. Upaya tersebut
dilaksanakan antara lain melalui perluasan akses dan diseminasi
informasi Iptek, pemberian berbagai insentif yang secara langsung
dapat meningkatkan pemanfaatan Iptek terhadap peningkatan
produktivitas dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah dan
III - 89
koperasi dan/atau berbasis sumber daya lokal, serta penyediaan data
statistik sebagai sumber informasi dalam perencanaan kegiatan
operasional dunia usaha dan dalam pengembangan Iptek.
Untuk meningkatkan akses dan diseminasi informasi hasil
riset Iptek dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dan dunia
usaha, terus ditingkatkan berbagai media diseminasi informasi Iptek
melalui Pusat Data dan Informasi Ilmiah (PDII)-LIPI, Ipteknet, dan
Warung Informasi dan Teknologi (Warintek). PDII-LIPI merupakan
salah satu pusat kompilasi dan informasi Iptek terlengkap yang
menyediakan informasi mengenai hasil-hasil penelitian dan
pengembangan, teknologi tepat guna, dan lain-lain. Ipteknet adalah
penyediaan sistem informasi dan pelayanan jasa Iptek melalui
internet. Sementara melalui Warintek disediakan insentif
pembiayaan bagi lembaga-lembaga pemerintah maupun masyarakat
yang berminat mengembangkan pusat informasi yang berkaitan
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selanjutnya,
untuk
meningkatkan
penguasaan,
pengembangan dan pemanfaatan Iptek di dunia usaha dan
masyarakat telah disediakan berbagai sistem Insentif Iptek berupa
Asuransi Teknologi, Sistem Insentif Penguatan Manajemen dan
Teknologi (Siptekman), Pengembangan Sentra HaKI, Standardisasi
Laboratorium (Stanlab), Oleh Paten, dan Sentra Promosi dan
Pemasaran Iptek (Promptek). Berbagai hasil yang dicapai dalam
pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut di atas diuraikan berikut ini.
Dalam rangka pelaksanaan diseminasi informasi teknologi,
telah dilakukan pengumpulan dan klasifikasi data serta pembuatan
aplikasi penyebaran informasi kegiatan Iptek. Untuk meningkatkan
keterkaitan berbagai sistem informasi yang telah tersedia dilakukan
Pengembangan Koneksitas Jaringan Informasi Nasional dan
Information Resources Sharing. Melalui jaringan ini data yang telah
terkumpul dan dapat diakses antara lain adalah: data mengenai
teknologi tepat guna, data lemlitbang dan data peneliti dari berbagai
institusi. Ipteknet telah mampu mempercepat akses terhadap
informasi yang tersedia. Sementara itu, Warintek juga telah
III - 90
berkembang di daerah-daerah melalui berbagai kerjasama yang
dilakukan. Sampai saat ini telah diselesaikan panduan dan sosialisasi
di beberapa daerah, antara lain di Sumatera Selatan, Lampung,
Yogyakarta, dan Jawa Tengah, dan telah beroperasi sebanyak 108
(seratus delapan) Warintek. Kemitraan dan pembinaan Warintek
dilakukan antara lain melalui perpustakaan (seperti Perpustakaan
Daerah di Sumatera Selatan, Perpustakaan Universitas Brawijaya,
dan Perpustakaan Universitas Negeri Medan), serta lembaga
swadaya masyarakat seperti Yayasan Pendidikan Harapan, LSM
Lentera Hati, dan lain-lain.
Pola lain yang dilakukan dalam rangka diseminasi informasi
Iptek adalah melalui Pusat Peragaan (Puspa) Iptek untuk menumbuh
kembangkan budaya Iptek di masyarakat. Puspa Iptek menyediakan
sarana belajar dan peragaan mengenai aplikasi Iptek di berbagai
aspek kehidupan. Pada saat ini baru dikembangkan satu Puspa Iptek
yang terletak di Taman Mini Indonesia Indah. Sosialisasi untuk
pengembangan sarana semacam ini sedang dilakukan untuk
mendukung pembudayaan Iptek di daerah-daerah. Untuk
meningkatkan pemahaman Iptek di berbagai kalangan baik di
lembaga legislatif, jurnalis maupun masyarakat umum, telah
dilaksanakan kegiatan pengkayaan ilmiah (Science Briefing).
Melalui kegiatan ini diharapkan tercipta pemahaman yang benar
mengenai peran teknologi dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Selanjutnya, Insentif Sentra HaKI adalah bantuan yang
diberikan kepada lembaga yang melakukan sosialisasi, litbang dan
pemasaran hak atas kekayaan intelektual (HaKI). Sampai saat ini
baru dilakukan penyiapan dan penyebarluasan Panduan Sentra HaKI
ke propinsi-propinsi, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga
pemerintah. Tawaran insentif diberikan kepada 400 (empat ratus)
institusi. Dari 39 (tigapuluh sembilan) proposal yang masuk,
ditetapkan 11 (sebelas) unit Sentra HaKI yang dinilai layak
mendapatkan insentif, yaitu Politeknik Negeri Lhokseumawe, KIAT
(litbang pertanian), UGM, Undip, UI, ITB, IPB, ITTENAS, LIPI,
APPI (Perkebunan) dan ITS. Insentif Oleh Paten merupakan insentif
III - 91
pendanaan yang diberikan kepada peneliti/perekayasa maupun
masyarakat umum untuk pengurusan permohonan paten atas hasilhasil penelitian yang inovatif dan berpotensi komersial tinggi.
Setelah dilakukan penyiapan dan sosialisasi Panduan Oleh Paten ke
seluruh Propinsi. Tawaran insentif diberikan kepada 400 (empat
ratus) institusi. Dari 62 (enampuluh dua) proposal yang masuk,
ditetapkan 32 (tigapuluh dua) usulan yang layak dibantu untuk
diusulkan pendaftaran patennya. Insentif Asuransi Teknologi adalah
bantuan polis asuransi untuk mengurangi resiko pemanfaatan dan
pendayagunaan hasil litbang pada skala produksi komersial.
StanLab menyediakan bantuan untuk mempersiapkan
laboratorium penguji dan kalibrasi, baik di lingkungan pemerintah
maupun swasta, untuk medapatkan sertifikasi standardisasi. Dalam
pelaksanaannya telah dilakukan penyusunan dan distribusi panduan,
seleksi proposal, dan pembinaan standardisasi. Dari 205 (duaratus
lima) usulan, sebanyak 38 (tigapuluh delapan) telah terpilih untuk
mendapatkan pembinaan, dan telah dihasilkan 25 (duapuluh lima)
laboratorium yang siap untuk diakreditasi. Siptekman merupakan
bantuan pendampingan teknis dan manajemen yang dilakukan oleh
perguruan tinggi maupun lembaga litbang kepada usaha kecil dan
menengah. Sampai saat ini telah diselesaikan panduan dan
sosialisasi di propinsi Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Barat. Sentra Promptek adalah bantuan pendanaan yang diberikan
untuk pendirian atau penguatan pola manajemen promosi dan
pemasaran Iptek di lembaga-lembaga penelitian untuk mendukung
pemasyarakatan dan pemanfaatan Iptek. Sampai saat ini telah
dilakukan penyusunan panduan, sosialisasi, serta kegiatan awal
pemberian insentif.
Pemanfaatan Iptek di Daerah (Iptekda) adalah kegiatan
utama dalam rangka pemasyarakatan hasil penelitian dan
pengembangan secara langsung di masyarakat. Kegiatan tersebut
dilakukan untuk meningkatkan penerapan teknologi tepat guna,
sesuai kondisi serta potensi masyarakat dan daerah setempat, dengan
penekanan kepada usaha kecil, menengah dan koperasi. Dalam
tahun 2000 telah didiseminasikan lebih dari 77 (tujuhpuluh tujuh)
III - 92
paket teknologi tepat guna di 13 (tiga belas) propinsi yang telah
menunjukkan kontribusi terhadap pemanfaatan nilai tambah
teknologi bagi ekonomi daerah. Dalam tahun 2001 ini, jumlah paket
teknologi akan terus ditingkatkan dan dikembangkan wilayah
sebarannya.
Untuk mendukung ketersediaan data statistik ekonomi dan
kesejahteraan rakyat, pada tahun 2001 dilaksanakan kegiatankegiatan antara lain Survei Industri Besar dan Sedang, Survei Harga
Konsumen, Survei Usaha Terintegrasi, Survey Angkatan Kerja
Nasional, Penyusunan Neraca Nasional, Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas), dan Sensus penduduk 2000.
Survei Industri Besar dan Sedang, tahunan dan triwulanan,
ditujukan untuk memperoleh data direktori perusahaan industri besar
dan sedang, ketenagakerjaan, output, input, dan nilai tambah. Survei
Harga Konsumen (bulanan) ditujukan untuk mengumpulkan data
indeks harga konsumen (IHK) dan laju inflasi, sedangkan Survei
Usaha Terintegrasi (Susi) untuk memperoleh data pokok seperti
output, produksi, omset/pendapatan dan tenaga kerja dari
perusahaan/usaha kecil dan rumahtangga dalam setiap sektor.
Untuk memperoleh jumlah penduduk dan karakteristiknya
serta gambaran keadaan ketenagakerjaan di Indonesia, dilakukan
Sensus Penduduk 2000 dan Survei Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas). Selanjutnya untuk memperoleh indikator sosial ekonomi
rumahtangga dilaksanakan Susenas Modul Sosial Budaya dan
Pendidikan pada bulan Pebruari 2000.
III - 93
5.
Meningkatkan Investasi
5.1
Peningkatan Penanaman Modal Asing dan
Penanaman Modal Dalam Negeri
Langkah kebijakan penanaman modal diupayakan melalui
penataan kembali peraturan perundangan dan peningkatan
pelayanan investasi. Upaya yang telah dan sedang dilakukan
Pemerintah guna meningkatkan kepastian hukum di bidang
penanaman modal, antara lain merampungkan Rancangan UndangUndang Penanaman Modal (RUUPM) secepat mungkin, membuat
peraturan-peraturan pendukung yang berkaitan dengan pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah
Otonom serta mengkaji ulang peraturan lainnya dan menata kembali
tentang prosedur dan tatacara penanaman modal dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah. Di samping itu Pemerintah juga
melakukan pengembangan sistem informasi penanaman modal agar
secara kelembagaan dapat mendukung tugas dan fungsi BKPM baik
dalam aspek perencanaan, promosi, penilaian dan monitoring
penanaman modal. Rancangan serta penyiapan peraturan perundangundangan di bidang penanaman modal akan memberikan iklim yang
lebih kondusif bagi kegiatan penanaman modal di Indonesia.
Dalam delapan bulan pertama tahun 2001 (Januari sampai
dengan Agustus 2001) telah disetujui 872 proyek PMA dengan nilai
investasi US$ 5,7 miliar. Ditinjau dari penyebaran bidang usaha
yang diminati oleh investor adalah Perdagangan dan Reparasi 300
proyek, Jasa Lainnya 145 proyek serta Industri Logam Dasar,
Barang Logam, Mesin dan Elektronika 72 proyek. Dari sisi jumlah
investasi yang menonjol adalah Industri Kimia, Barang Kimia dan
Farmasi US$. 1,7 miliar, Industri Kertas, Barang dari Kertas dan
Percetakan US$ 0,72, Industri Logam Dasar, Barang Logam, Mesin
dan Elektronika US$. 0,46 miliar serta Jasa Lainnya US$. 0,41
miliar. Sementara itu, DKI Jakarta merupakan lokasi yang paling
diminati oleh investor dengan jumlah proyek 402. Kemudian diikuti
III - 94
oleh Jawa Barat/Banten, Bali dan Riau masing-masing dengan
jumlah proyek 212, 83 dan 63 buah proyek.
Selanjutnya, untuk kegiatan PMDN dari Januari sampai
dengan Agustus 2001 disetujui 161 proyek dengan nilai investasi
Rp. 43,9 triliun. Ditinjau dari penyebaran bidang usaha yang
diminati oleh investor adalah Pengangkutan, Gudang dan
Telekomunikasi 38 proyek, Industri Makanan 25 proyek dan
Industri Kimia Dasar, Barang Kimia dan Farmasi 13 proyek.
Sementara itu, dari sisi jumlah investasi yang menonjol adalah
Industri Kimia Dasar, Barang Kimia dan Farmasi Rp. 20,3 triliun
(diantaranya Industri Methanol 1 proyek dengan nilai investasi Rp.
15,8 triliun), Industri Makanan Rp. 7,0 triliun serta Industri Kertas,
Barang dari Kertas dan Percetakan Rp. 4,2 triliun (diantaranya
Industri Kertas 3 proyek dengan investasi Rp. 3,2 triliun).
Selanjutnya berdasarkan penyebaran lokasi usaha yang diminati oleh
investor Jawa Barat/Banten menempati peringkat teratas dengan
jumlah 40 proyek. Kemudian diikuti oleh DKI Jakarta, Riau, Bali,
Jawa Timur dan Jawa Tengah masing-masing berjumlah 26, 14, 13,
10 dan 10 buah proyek.
5.2
Pengembangan Pasar Modal
Dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang berhasil
diidentifikasi, telah ditempuh berbagai langkah-langkah kebijakan
dengan hasil-hasil yang dicapai sebagai berikut.
Berkaitan dengan upaya memperkokoh institusi pasar
modal, Pemerintah telah melakukan berbagai langkah antara lain:
pembenahan peraturan untuk mempersiapkan lembaga pengawas
yang independen dengan konsep bergabung dengan pengawas jasa
keuangan lainnya dalam LPJK, serta menyempurnakan dan
melengkapi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang
pasar modal termasuk melalui penyempurnaan terhadap Undangundang Pasar Modal. Selain itu, juga dilaksanakan peningkatan
kualitas penegakan hukum di bidang pasar modal; pemberdayaan
pelaku pasar modal; penyederhanaan perijinan, persetujuan,
III - 95
pendaftaran dan pelaporan; pengharmonisan standar dan praktek
pasar modal Indonesia dengan standar dan praktek internasional;
serta peningkatan dan pengoptimalan sarana dan prasarana
pendukung pelaksanaan tugas dalam rangka efisiensi proses internal
dan optimalisasi pelayanan publik.
Berbagai upaya lain juga dilakukan, antara lain
pengembangan sistem informasi terpadu untuk memberikan
kemudahan akses bagi masyarakat terhadap informasi pasar modal.
Selain itu, telah diterapkan sistem perdagangan tanpa warkat di
Bursa Efek Jakarta yang diharapkan dapat meningkatkan likuiditas
perdagangan dan efisiensi penyelesaian transaksi. Pelaksanaan
berbagai pendidikan dan pelatihan serta pembinaan oleh asosiasi
profesi dan Self Regulatory Organization (SRO) terhadap pelaku di
pasar modal terus didorong untuk lebih meningkatkan kualitas
sumber daya manusia di pasar modal. Selanjutnya, dilakukan
sosialisasi dan implementasi prinsip-prinsip good corporate
governance secara menyeluruh kepada pelaku pasar modal terutama
kepada perusahaan publik dan perusahaan efek.
Dalam upaya peningkatan sisi penawaran, telah diperluas
akses usaha kecil dan menengah (UKM) untuk mendapatkan
pembiayaan usaha melalui pasar modal, serta dikembangkan
instrumen utang obligasi dan derivatif. Sementara di sisi permintaan
diupayakan untuk membangun basis pemodal dalam negeri baik
pemodal perorangan maupun lembaga melalui akses pasar yang
semakin meluas melalui pembangunan remote trading system dalam
perdagangan saham, mendorong pembukaan cabang-cabang
perusahaan efek anggota bursa di daerah, dan meningkatkan jumlah
para analis pasar modal.
Dalam kaitannya dengan pembenahan sistem keuangan serta
mendukung proses rekapitalisasi perbankan, telah diwujudkan pasar
sekunder bagi instrumen obligasi pemerintah tersebut. Hingga
September 2001, posisi obligasi pemerintah tercatat di Bursa Efek
Surabaya sebesar Rp. 400,4 triliun, dan sejumlah Rp. 64,1 triliun
diantaranya dapat diperdagangkan oleh masyarakat. Nilai obligasi
III - 96
pemerintah yang dapat diperdagangkan tersebut mencapai 67 persen
dari total pasar obligasi nasional. Obligasi pemerintah tersebut
menawarkan nilai kupon yang kompetitif serta jangka waktu
pengembalian yang relatif lebih fleksibel dibandingkan dengan
kredit perbankan.
Sementara itu, peran obligasi sebagai sumber pendanaan
bagi dunia usaha terus meningkat. Dari tahun 1998 hingga 19
Oktober 2001, perbandingan nilai emisi obligasi yang dapat
diperdagangkan di pasar sekunder terhadap kredit perbankan
menunjukkan peningkatan yang cukup berarti yaitu sebesar 6
persen, 12 persen dan 11 persen. Peningkatan terjadi pada nilai
emisi saham dan kredit perbankan. Hal ini menunjukkan bahwa
pengembangan pasar saham terhadap sistem keuangan dan lembaga
keuangan khususnya perbankan menunjukkan adanya efek saling
menguatkan bukannya saling melemahkan (crowding out) antara
satu dengan lainnya. Bila dibandingkan terhadap tahun 1999, nilai
emisi saham dan kredit perbankan telah meningkat masing-masing
sebesar 9,4 persen dan 19,5 persen (pada tahun 2000), serta sekitar
2,0 persen dan 7,0 persen pada kuartal ketiga tahun 2001.
5.3
Percepatan Restrukturisasi Perusahaan Negara
Dalam rangka memantapkan proses restrukturisasi
perusahaan negara dan mengatasi permasalahan di atas, pemerintah
telah melakukan berbagai langkah kebijakan dimana hasilnya antara
lain berupa:
a)
Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 45 tanggal 5
Juni 2001 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor
12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 146/KMK.05/2001
tanggal 27 Maret 2001 tentang Penilaian Calon Anggota
Direksi BUMN yang merupakan komitmen pemerintah
dalam penerapan pengelolaan perusahaan yang sehat (good
corporate governance) di BUMN.
III - 97
b)
Program restrukturisasi dan privatisasi BUMN serta
penerapan prinsip-prinsip good corporate governance di
BUMN, telah memberikan dampak yang positif
sebagaimana tercermin dari perkembangan realisasi
penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN. Dalam
tahun anggaran 1998/1999 realisasi penerimaan bagian laba
pemerintah mencapai Rp. 5.428,3 miliar atau 0,3 persen
dari PDB. Dalam tahun anggaran 1999/2000 penerimaan
tersebut meningkat menjadi Rp. 7.758,6 miliar atau 0,5
persen dari PDB, dan dalam tahun anggaran 2000 (kurun
waktu 9 bulan) penerimaan bagian pemerintah atas laba
BUMN mencapai Rp. 5.281,3 miliar atau 0,6 persen dari
PDB. Untuk tahun anggaran 2001 jenis penerimaan ini
direncanakan mencapai Rp. 9.000,0 miliar atau 0,6 persen
dari PDB.
c)
Sementara itu dari hasil privatisasi BUMN, untuk tahun
anggaran 1999/2000 dari target penerimaan privatisasi
sebesar Rp. 13 triliun, yang terealisasi sebesar Rp. 7,2
triliun. Sedangkan dalam tahun anggaran 2000/2001 dari
target privatisasi sebesar Rp. 6,5 triliun, untuk tahun yang
bersangkutan tidak diperoleh realisasi sama sekali. Untuk
tahun anggaran 2001/2002, target privatisasi adalah sebesar
Rp. 6,5 triliun. Pada bulan Mei 2001 PT. INDOFARMA
berhasil menjual sahamnya kepada publik sebesar Rp. 180,0
miliar, namun hasil penjualan ini sepenuhnya masuk ke kas
perusahaan dan bukan ke APBN.
d)
Dalam upaya menjelaskan kebijakan pemerintah mengenai
pembinaan BUMN kepada masyarakat, telah disusun Master
Plan BUMN 2001 yang merupakan revisi dari Master Plan
BUMN tahun sebelumnya (Mei 2000).
III - 98
6.
Menyediakan Sarana dan Prasarana Penunjang
Pembangunan Ekonomi
Walaupun di dalam penyediaan tenaga listrik masih
mengalami kendala dengan adanya masalah keuangan, namun dalam
jangka pendek diupayakan agar tingkat pelayanan dan penyediaan
prasarana tenaga listrik berada pada tingkat yang wajar. Adapun
ketersediaan tenaga listrik diusahakan melalui percepatan proyek
yang sedang berjalan. Dalam jangka panjang diupayakan untuk
melakukan restrukturisasi keuangan dan sektor ketenagalistrikan
secara menyeluruh.
Kebijakan untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan
dengan penyediaan tenaga listrik dilakukan melalui pengkajian
kembali pembangunan prasarana tenaga listrik skala besar. Hasil
pengkajian memperlihatkan beberapa proyek pembangunan yang
mendesak tetap dilanjutkan pelaksanaan pembangunannya. Antara
lain adalah PLTA Besai (2 x 45 MW) di Propinsi Lampung untuk
menanggulangi kekurangan daya di sistem Sumbagsel.
Pembangunan transmisi pada sistem Luar Jawa tetap dilaksanakan,
yaitu pembangunan transmisi 150 kV Muara Bungo-Jambi,
transmisi 150 kV Ombilin-Kiliranjao dan transmisi 275 kV Muara
Bungo-Kiliranjao. Untuk menghindari bottleneck penyaluran tenaga
listrik pada sistem Jawa–Bali telah selesai dibangun transmisi 500
kV Paiton-Kediri dan transmisi 500 kV Ungaran-Klaten. Untuk
pembangunan gardu induk pada tahun 2001 sebesar 1.295 MVA
yang dilaksanakan di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan.
Pada sisi kapasitas pembangkit PLN mengalami
peningkatan. Kapasitas pembangkit PLN sampai dengan Maret 2001
meningkat sebesar 146 MW. Walaupun kapasitas meningkat namun
masih diperlukan tambahan penyediaan kapasitas pembangkit
melalui penyelesaian renegosiasi dengan Independent Power
Producers (IPPs), relokasi pembangkit khususnya PLTD dari daerah
yang tidak kritis ke daerah kritis, serta pembelian kelebihan daya
dari pembangkit-pembangkit captive power.
III - 99
Untuk menyalurkan tenaga listrik telah pula dilaksanakan
pembangunan jaringan transmisi, gardu induk, gardu distribusi,
jaringan tegangan menengah dan jaringan tegangan rendah. Dengan
dibangunnya prasarana tersebut produksi dan penjualan tenaga
listrik telah meningkat pula. Sampai dengan September 2001
produksi tenaga listrik mencapai 68.400 GWh dan penjualannya
mencapai 63.900 GWh. Demikian pula jumlah langganan meningkat
menjadi sebesar 29 juta pelanggan.
Dalam usaha penyediaan tenaga listrik pemerintah juga
mengemban misi sosial sebagai upaya membantu golongan
masyarakat kurang mampu dan mendorong pertumbuhan industri
dalam negeri. Hal ini dilaksanakan melalui mekanisme pemberian
subsidi. Perkiraan subsidi listrik tahun 2001 sebesar 4.727 miliar
rupiah.
Sebagai upaya dalam mendorong kegiatan ekonomi dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan ditempuh
kebijakan pembangunan listrik perdesaan. Hasil pelaksanaan
pembangunan listrik perdesaan, sampai dengan September 2001
jumlah desa yang telah dilistriki bertambah sebesar 328 desa dan
jumlah penambahan konsumen sebesar 170.262 konsumen.
Sedangkan realisasi kerjasama dengan KUD sebanyak 4.684 KUD
yang melayani 44.224 desa dengan 22,3 juta pelanggan.
Sementara itu pada sisi pangsa penggunaan energi belum
sepenuhnya melaksanakan diversifikasi energi. Hal ini terlihat
bahwa pangsa penggunaan minyak bumi masih relatif tinggi dan
terus meningkat. Sampai dengan September 2001 pangsa minyak
bumi adalah sebesar 51 persen atau 82.857,9 ribu SBM.
Terhambatnya pelaksanaan diversifikasi disebabkan karena
kebijakan pengaturan harga per jenis energi belum sesuai dengan
nilai keekonomiannya. Hal ini terlihat bahwa masih diberikannya
subsidi BBM yang semakin besar. Pada tahun 2001 pemerintah
diperkirakan memberikan subsidi sebesar 53.700 miliar rupiah,
sedangkan realisasinya sampai saat ini telah mencapai 38.630 miliar
III - 100
rupiah. Akibatnya, masyarakat dan dunia usaha tidak melihat adanya
insentif di dalam penggunaan energi non-BBM.
Kebijakan selanjutnya adalah pelaksanaan restrukturisasi
sektor energi termasuk ketenagalistrikan dengan memperhatikan
perkembangan di berbagai belahan dunia dan mengakomodasikan
semangat otonomi daerah. Pelaksanaan kebijakan melalui langkahlangkah (i) pemulihan kelayakan keuangan, (ii) memisahkan misi
sosial dan misi komersial, (iii) menjadikan sektor tenaga lisrik lebih
efisien dan lebih responsif terhadap kebutuhan konsumen dengan
cara menambah jumlah perusahaan bidang penyediaan tenaga listrik,
memperkenalkan kompetisi serta memperkuat pengaturan serta (iv)
meningkatkan efisiensi dan menyediakan sumber pendanaan baru,
meningkatkan peranan swasta dengan cara yang transparan dan
kompetitif.
Di sektor transportasi, kebijaksanaan pembangunan
transportasi dalam mendukung upaya penanggulangan krisis dan
pemulihan kondisi perekonomian adalah: mendukung program
sektor-sektor ekonomi strategis; mempertahankan tingkat pelayanan,
keamanan, dan keselamatan transportasi serta peningkatan efisiensi
dan efektivitas pelayanan jasa transportasi.
Langkah-langkah yang telah dilaksanakan untuk
mempertahankan tingkat pelayanan jasa transportasi, yaitu melalui
pembangunan, rehabilitasi dan peningkatan prasarana transportasi
baik untuk moda transportasi jalan, kereta api, penyeberangan, laut
dan udara. Selain itu, menghubungkan pusat-pusat produksi dengan
daerah pemasarannya guna menjamin kelancaran distribusi sampai
ke seluruh pelosok daerah yang terpencil, dan penyediaan lapangan
pekerjaan bagi usaha menegah kecil dan koperasi, namun tetap
memperhatikan kualitas hasil pekerjaannya. Selain itu, dilakukan
upaya optimalisasi kapasitas prasarana dan sarana yang ada, dan
penajaman prioritas pelaksanaan program dan proyek-proyek
pembangunan.
III - 101
Program reformasi pembangunan sektor transportasi untuk
meningkatkan efisiensi ekonomi, dilaksanakan melalui peningkatan
transparansi dan kompetisi yang sehat serta peletakan landasan iklim
yang lebih “kondusif” agar mendorong peran serta swasta dan
masyarakat di bidang pembangunan dan pelayanan jasa prasarana
transportasi.
Selain itu tetap dilaksanakannya proses desentralisasi dalam
sektor transportasi dan meredefinisi peran pemerintah, Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) serta peran serta swasta dan masyarakat baik
dalam tahap perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan
pengelolaan dan penyelenggaraan jasa transportasi agar tercapai
sistem transportasi nasional yang efisien, terpadu dengan
pengembangan wilayah/daerah serta terjangkau, namun tetap dan
dalam kerangka untuk mendukung persatuan dan kesatuan wilayah
Indonesia.
Hasil-hasil yang telah dilaksanakan untuk program
peningkatan keselamatan lalu lintas angkutan jalan adalah melalui
pembangunan rambu lalu lintas, pagar pengaman jalan, delineator,
marka jalan dan lampu lalu lintas. Selain itu, guna mendukung
mobilitas manusia dan distribusi barang di wilayah terpencil dan
kawasan pedalaman, telah dilaksanakan penyediaan subsidi operasi
angkutan bis perintis di 12 propinsi dan pengadaan bus perintis
sebanyak 10 unit, serta upaya koordinasi antar instansi dalam upaya
mengatasi permasalahan kelebihan muatan di jalan. Produktivitas
lalu lintas angkutan jalan telah mulai meningkat pada tahun 2000,
yaitu terjadi kenaikan jumlah armada bus sebesar 3,3 persen dari
tahun 1999/2000, yaitu dari 645.000 menjadi 666.280 buah,
demikian juga armada truk mengalami kenaikan 4,8 persen dari
tahun 1999/2000, yaitu dari 1.629.000 buah menjadi 1.707.134
buah, mobil penumpang naik 4,9 persen dari 2.898.000 buah
menjadi 3.038.918.000 buah
Program pembangunan perkeretaapian, selama tahun 2000
telah melaksanakan rehabilitasi/peningkatan jalan kereta api
sepanjang 35,88 kilometer, dan 13 buah jembatan kereta api. Pada
III - 102
tahun 2000, produktivitas angkutan perkeretaapian mengalami
kenaikan 4 persen (penumpang) dibandingkan tahun sebelumnya
atau menjadi 192,4 juta penumpang; sedangkan angkutan barang
turun 2 persen menjadi 19,3 juta ton, namun perkiraan pada tahun
2001 akan mengalami kenaikan.
Selama tahun 2000, program angkutan sungai, danau dan
penyeberangan melanjutkan pembangunan dermaga penyeberangan,
pembangunan dermaga danau, dan dermaga sungai, serta lanjutan
penyelesaian pembangunan 9 buah kapal penyeberangan. Subsidi
pengoperasian kapal perintis tetap dilaksanakan di 64 lintas untuk
melayani wilayah terpencil dan pedalaman. Pada tahun 2000, jumlah
produksi angkutan penumpang, barang dan kendaraan melalui
penyeberangan umumnya terjadi penurunan. Angkutan penumpang
pada tahun 2000 adalah 34,4 juta orang, angkutan barang 12.456
ribu ton dan angkutan kendaraan 8,4 juta unit (turun 11,9 persen).
Pada tahun 2000, telah dilaksanakan langkah-langkah
kebijakan
untuk
mengevaluasi
kembali
proyek-proyek
pembangunan yang ada di subsektor transportasi laut. Dari evaluasi
tersebut proyek-proyek yang tidak mendesak dan tujuannya
meningkatkan kapasitasnya ditunda. Di bidang pengembangan
armada pelayaran telah diupayakan untuk memperkuat armada
pelayaran nasionalnya. Usaha tersebut diwujudkan dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999
tentang angkutan di perairan yang ditujukan untuk memperkuat
armada pelayaran nasional. Peraturan Pemerintah tersebut yang akan
diberlakukan pada bulan Oktober 2001. Peraturan Pemerintah
tersebut antara lain mensyaratkan perusahaan angkutan laut harus
memiliki setidaknya 1 kapal berukuran GT 5000, bersama-sama
dengan ketentuan 3 ALKI dapat digunakan untuk menegakkan asas
“cabotage” karena kapal-kapal asing hanya boleh berlayar di ketiga
alur pelayaran tersebut. Apabila ada kapal asing yang mengangkut
cargo dalam negeri yang melakukan pelayaran di luar 3 alur
tersebut, kapal tersebut bisa ditahan dan dikenai denda. Untuk
menerapkan ketentuan ALKI tersebut, pemerintah diwajibkan
memasang beberapa sarana bantu navigasi di ketiga alur tersebut.
III - 103
Pada tahun 2000 telah ditandatangani pinjaman dari Jerman (KfW)
(L.A. Nomor 1999.65.450) untuk pengadaan sarana bantu navigasi
dan kontrak pembangunannya telah dilakukan pada bulan Juni 2001.
Sementara itu sasaran program keselamatan pelayaran
kebijakannya adalah mempertahankan tingkat kedalaman alur
pelayaran dan merehabilitasi baik sarana bantu navigasi maupun
kapal-kapal navigasi serta melengkapi sarana bantu navigasi yang
diperlukan di ketiga ALKI yang telah ditetapkan. Dalam rangka
menunjang keselamatan pelayaran, pada tahun 2000 telah dilakukan
persiapan pemasangan sarana bantu navigasi yang akan diperoleh
dari dana pinjaman dari Jerman. Sedangkan rehab kapal-kapal
navigasi telah dilakukan masing-masing sebanyak 1 unit pada tahun
2000. Di samping itu pada tahun 2000 telah diadakan 4 unit
pelampung suar.
Jumlah armada pelayaran nasional pada tahun 2001 tidak
mengalami banyak perubahan dan relatif masih tetap sama.
Misalnya pada tahun 2000 jumlah armada pelayaran nusantara
sebanyak 4.147 unit dengan ukuran 5.143.786 DWT, dan jumlah
armada pelayaran rakyat sebanyak 2.530 dengan ukuran 306.124
GRT, serta armada pelayaran luar negeri sebanyak 33 unit dengan
kapasitas 169.812 DWT pada tahun 2001 masih tetap sama.
Sementara itu, untuk angkutan penumpang PT. PELNI
menunjukkan peningkatan, yaitu pada tahun 2000 sebanyak 27 unit
dengan kapasitas 60.940 DWT pada tahun 2001 bertambah 1 unit
kapal penumpang type 2000. Sementara itu pada tahun 2000 armada
pelayaran perintis mengalami penurunan karena dari 37 trayek yang
direncanakan akan dilayani, hanya bisa dilayani sebanyak 36 trayek
pelayaran perintis. Hal ini disebabkan tidak adanya perusahaan
pelayaran yang mau melayani trayek tersebut, yakni trayek di Irian
Jaya. Pada tahun 2001 telah direncanakan akan dilayani 48 trayek
pelayaran perintis dengan total 22.600 DWT, namun sampai akhir
bulan Juli 2001 baru dilayani 39 trayek.
III - 104
Kebijaksanaan yang dilakukan dalam meningkatkan
pelayanan angkutan udara kepada masyarakat pengguna maupun
penyedia jasa transportasi udara adalah mempertahankan tingkat
pelayanan melalui rehabilitasi prasarana bandar udara, fasilitas
keselamatan dan keamanan penerbangan, pengawasan terhadap
kelaikan pesawat udara, Di samping itu, melanjutkan pengoperasian
penerbangan perintis dengan prioritas pada lokasi terpencil dan
pedalaman yang belum dapat dilayani oleh moda transportasi lain.
Pengembangan prasarana transportasi udara dilakukan secara
selektif dalam upaya memenuhi kapasitas beberapa bandar udara,
dan pemasangan peralatan navigasi dan telekomunikasi penerbangan
serta peralatan pengatur lalu lintas penerbangan dalam rangka
meningkatkan
keselamatan
dan
keamanan
penerbangan.
Pembangunan bandar udara pada daerah terpencil dan pedalaman
juga mendapat perhatian dalam upaya membuka aksesibilitas
masyarakat untuk kegiatan ekonomi maupun pemerintahan.
Selain itu, pemerintah juga telah memberikan kebebasan
kepada perusahaan penerbangan untuk menentukan jenis pesawat
yang dipergunakan dengan tetap memperhatikan standar kelaikan
dan keselamatan penerbangan nasional maupun internasional.
Kebijaksanaan ini merupakan perubahan kebijaksanaan sebelumnya
di mana sejak tahun 1980 perusahaan penerbangan diharuskan
menggunakan produk dalam negeri dan pengecualian dari ketentuan
yang berlaku harus mendapat persetujuan pemerintah. Kesempatan
berusaha di bidang pelayanan penerbangan juga semakin besar
dengan dibukanya kesempatan yang lebih luas dan sama kepada
perusahaan pemerintah maupun swasta nasional untuk mendirikan
perusahaan penerbangan baik yang beroperasi di dalam negeri
maupun ke luar negeri.
Kebijaksanaan ini telah mendapat sambutan yang positif
dari pengusaha nasional dengan bertambahnya 14 perusahaan
penerbangan nasional berjadwal baru, dimana 7 perusahaan
diantaranya telah beroperasi. Saat ini jumlah perusahaan
penerbangan nasional berjadwal yang telah beroperasi menjadi 12
perusahaan. Bertambahnya jumlah perusahaan penerbangan akan
III - 105
berdampak terhadap persaingan yang keras dan terdapat
kekhawatiran perusahaan penerbangan hanya mengutamakan pada
rute-rute yang menguntungkan. Perusahaan penerbangan juga
dituntut untuk lebih efisien, efektif, dan dapat melakukan terobosanterobosan dalam pengelolaan perusahaan melalui kerjasama antar
perusahaan penerbangan sehingga masyarakat akan mendapatkan
pelayanan yang memuaskan dan tarif yang menguntungkan. Namun
dilain pihak dengan semakin dekatnya pemberlakuan pasar global
yang cenderung terbentuknya aliansi perusahaan penerbangan dunia,
kebijaksanaan yang ditempuh dikhawatirkan justru memperlemah
daya saing perusahaan penerbangan nasional.
Program reformasi dan restrukturisasi kelembagaan untuk
meningkatkan efisiensi dan kinerja BUMN serta kejelasan peran
pemerintah dan BUMN sektor transportasi, tetap dilanjutkan antara
lain dengan penyempurnaan penerapan pola pendanaan Public
Service Obligation (PSO), Infrastructure Maintenance and Operation
(IMO), dan Track Access Charges (TAC) guna peningkatan
akuntabilitas dan efisiensi dalam peran dan tanggung jawab
pendanaan pemerintah maupun perusahaan/badan penyelenggara di
bidang perkeretaapian. Selain itu proses “unbundling” secara
horizontal (wilayah regional) maupun vertikal (lini bisnis) dalam
program restrukturisasi organisasi PT Kereta Api Indonesia
(Persero) dipersiapkan guna meningkatkan efisiensi, akuntabilitas
serta untuk meningkatkan peluang kerjasama dengan swasta. Unitunit usaha untuk angkutan udara juga telah dilaksanakan melalui
proses “unbundling” menjadi beberapa unit bisnis strategis sehingga
menjadi lebih terfokus, “independent” dan menguntungkan.
Privatisasi armada angkutan udara dilakukan dengan “strategic
placement” atau “Initial Public Offering” (IPO) untuk mencapai
skema yang kompetitif dan menguntungkan negara. Selanjutnya
program swastanisasi BUMN di bidang transportasi laut untuk
operasi terminal peti kemas pelabuhan laut di Tanjung Perak dan
Tanjung Priok telah diupayakan dalam rangka menciptakan
kompetisi dalam pelayanan jasa kepelabuhanan.
III - 106
Di bidang meteorologi dan geofisika, walaupun belum
memenuhi kebutuhan, namun selalu diupayakan program
peningkatan pelayanan melalui pembangunan dan rehabilitasi sarana
dan prasarana serta sumber daya manusia operasional meteorologi
dan geofisika. Sedangkan di bidang pencarian dan penyelamatan,
secara terus menerus dioptimalkan peningkatan SDM dan fasilitas
serta peralatan pertolongan dan penyelamatan, peralatan komunikasi
dan peralatan medis SAR. Selain itu, juga ditingkatkan latihanlatihan keterampilan SAR baik yang bersifat lokal maupun
internasional untuk meningkatkan kemampuan petugas-petugas
SAR dan pelayanannya.
Di sektor telekomunikasi, selama satu tahun terakhir
pemerintah terus melaksanakan deregulasi terhadap faktor-faktor
yang menghambat investasi, produksi, distribusi, dan perdagangan,
serta menciptakan penyelenggaraan telekomunikasi yang lebih
kompetitif dan transparan dengan menghilangkan praktek-praktek
monopoli dan persaingan tidak sehat berdasarkan pelaksanaan
Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 yang menggantikan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989. Untuk mendukung
pelaksanaan Undang-undang tersebut yang dimulai pada September
2000, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor
52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan
Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Dari sisi penyelenggara
juga telah dilakukan beberapa langkah untuk mengurangi dampak
krisis, antara lain berupa penundaan dan bahkan penghentian proyek
yang tidak cepat menghasilkan, serta pengembangan inovasi produk
jasa telekomunikasi yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi
masyarakat. Di samping itu, pemerintah telah membatalkan lisensi
yang bernuansa KKN dan melaksanakan pemberian lisensi secara
terbuka. Sehubungan dengan terminasi dini hak eksklusivitas PT.
Telkom dan PT. Indosat, sebagai kompensasi Pemerintah telah
memberikan izin prinsip penyelenggaraan jasa telekomunikasi
nasional, serta izin prinsip penyelenggaraan jaringan untuk
sambungan langsung jarak jauh dan DCS 1800 kepada PT. Indosat.
Sedangkan kepada PT. Telkom, Pemerintah memberikan izin prinsip
III - 107
penyelenggaraan jaringan untuk sambungan langsung internasional
dan DCS 1800.
Guna memanfaatkan proses konvergensi antara teknologi
telekomunikasi dan informatika untuk menunjang sektor ekonomi,
pemerintah mengeluarkan Keppres Nomor 50 Tahun 2000 untuk
memperkuat Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) yang
telah dibentuk sejak tahun 1997. Diharapkan TKTI ini melanjutkan
pengembangan dan implementasi telematika (telekomunikasi, media
dan informatika) guna mengantisipasi kebutuhan masyarakat
terhadap kemajuan telematika dan daya saing dunia usaha.
Pada bulan April 2001 juga telah diterbitkan Inpres Nomor
6 Tahun 2001 tentang Pengembangan dan Pendayagunaan
Telematika di Indonesia. Rencana tindak (action plan) Inpres
Nomor 6 Tahun 2001 ini telah disiapkan meliputi berbagai aspek
dalam telematika seperti hukum dan pengaturan, pengembangan
SDM, prasarana dan aplikasi baik untuk pemerintah maupun swasta.
Selanjutnya, upaya pengembangan telematika ditempuh
antara lain melalui peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia, penataan kelembagaan, peningkatan akses terhadap
informasi, serta pengembangan dan peningkatan pemanfaatan
prasarana telematika. Dalam dua tahun terakhir juga terlihat
peningkatan jumlah lembaga pendidikan tinggi, mahasiswa dan
lulusan di bidang telematika. Demikian pula jumlah pengguna
internet dan penyajian informasi melalui multimedia yang telah
meningkatkan akses terhadap informasi.
7.
Memanfaatkan Kekayaan Sumber Daya Alam
Secara Berkelanjutan
Advokasi dan sosialisasi kebijakan pembangunan ekonomi
yang berorientasi kelautan terus ditingkatkan. Untuk itu, dukungan
prasarana dalam pembangunan bidang kelautan sangat diperlukan
III - 108
terutama prasarana yang menghubungkan daerah produksi dengan
daerah pemasaran di darat.
Dalam rangka pemberdayaan nelayan dan petani ikan serta
masyarakat pesisir lainnya, di bidang kelautan dilaksanakan
peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan penyediaan
kemudahan/fasilitas permodalan. Selain itu dilakukan pula
peningkatan akses informasi dan teknologi dalam pengelolaan
sumberdaya kelautan, peningkatan akses pasar, dan peningkatan
keselamatan melalui pengenalan program asuransi. Bantuan
permodalan yang disediakan pada tahun 2001 untuk kegiatan
kelautan melalui kredit ketahanan pangan sebesar Rp 43,5 miliar,
sedangkan realisasi yang telah dicapai dalam kuartal I adalah
sebesar Rp 1,4 miliar.
Di bidang pengelolaan sumber daya kelautan, peningkatan
faktor produksi kelautan seperti pemberian ijin pemanfaatan
perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) kepada pihak
asing diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara. Akan
tetapi karena berbagai kendala, sasaran untuk memanfaatkan sumber
daya ikan di perairan ZEE Indonesia ini belum dapat dicapai.
Pengenalan penggunaan teknologi tinggi seperti penggunaan satelit
untuk monitoring dan evaluasi direncanakan untuk dikembangkan.
Selain peningkatan pengawasan dan pengendalian di dalam negeri,
telah
dilaksanakan pula pengawasan bersama di tingkat
internasional, antara lain melalui kerjasama regional dengan
Philipina dan Australia untuk penelitian perairan ZEEI Laut
Sulawesi.
Dalam rangka menuju pengelolaan wilayah pesisir yang
berkelanjutan, dilakukan upaya penataan pengelolaan wilayah
pesisir yang dilandasi dengan peraturan perundangan yang jelas.
Pada saat ini sedang disusun Rancangan Undang Undang (RUU)
Pengelolaan Wilayah Pesisir, yang mengakomodasi berbagai
kepentingan publik melalui pengembangan forum konsultasi publik
di daerah dan nasional.
III - 109
Berkaitan dengan permasalahan-permasalahan di bidang
kehutanan, maka telah dilaksanakan beberapa tindakan, seperti
pengendalian penebangan kayu secara liar diadakan operasi represif
di wilayah rawan penebangan dan peredaran hasil hutan, serta
penertiban penggergajian kayu liar dan operasi intelijen terhadap
kegiatan penebangan ilegal dan peredaran hasil hutan ilegal. Untuk
memperkuat upaya ini telah dikeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal dan Peredaran
Hasil Hutan Ilegal di kawasan ekosistem Leuser dan Taman
Nasional Tanjung Putting.
Langkah-langkah yang telah ditempuh dalam menangani
kebakaran hutan adalah pemberian peringatan dini terhadap para
pihak di wilayah rawan kebakaran, memantau dan mensosialisasikan
data titik api (hot spot) melalui sarana komunikasi, meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan dan lahan
serta antisipasi musim kemarau panjang melalui kampanye dan
dialog, serta pemantapan Brigade kebakaran hutan yang dilengkapi
dengan sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan.
Untuk menanggulangi perambahan hutan telah dilakukan
penyelesaian penataan batas dan penetapan kawasan hutan pasca
paduserasi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), pengukuhan seluruh
kawasan hutan dan kawasan perairan dengan peraturan
perundangan, menertibkan kawasan perkebunan yang diterlantarkan
yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, dan memfasilitasi
terbentuknya kelompok tani hutan kemasyarakatan.
Dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan telah ditempuh
langkah-langkah penyempurnaan data dan informasi lokasi
rehabilitasi hutan dan lahan indikatif, memfasilitasi pelaksanaan
rehabilitasi hutan dan lahan di daerah, menyusun rencana induk
rehabilitasi areal eks HPH, melaksanakan penanaman pengayaan
areal bekas tebangan, membangun hutan tanaman jenis meranti dan
jenis andalan lokal, membangun hutan tanaman industri untuk kayu
pertukangan dan pulp, mengembangkan kelembagaan perbenihan
III - 110
dan pembibitan tanaman hutan, membangun percontohan/model
manajemen sumber benih dan bibit tanaman hutan yang bermutu
tinggi, mengembangkan sistem perencanaan dan evaluasi
pengelolaan DAS, dan memfasilitasi pelaksanaan rehabilitasi hutan
mangrove.
Selanjutnya, dalam rangka optimalisasi pemanfaatan bahan
baku kayu dilakukan upaya pengembangan teknologi pembalakan
(logging) dan teknologi pengolahan yang ramah lingkungan yang
dapat menurunkan limbah (waste); rasionalisasi manajemen industri
pengolahan kayu; serta kebijakan yang membuka peluang usaha
hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan bagi masyarakat, baik
secara swadaya maupun sebagai pemegang ijin usaha.
Untuk meningkatkan kontribusi sumber daya hutan kepada
masyarakat dilakukan reformulasi kebijakan pemanfaatan sumber
daya hutan yang lebih berorientasi kepada community-based
management, memfasilitasi tumbuhnya sentra-sentra produksi
perdesaan dan mengembangkan sistem pengawasan partisipatif
dalam pemanfaatan sumber daya hutan.
Upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis dilakukan dalam
bentuk kegiatan yang dapat mendorong partisipasi dan
pengembangan swadaya masyarakat, seperti pembangunan unit
percontohan, plot demonstrasi atau areal model dengan fokus
kepada kegiatan fisik yang mudah dicontoh dan diterapkan
masyarakat. Kegiatan penghijauan mulai tahun 2000 sampai dengan
kuartal pertama tahun 2001 dilaksanakan di 25 Propinsi mencakup
220 kabupaten, dengan kegiatan meliputi penanaman input langsung
42,4 ribu Ha, penghijauan areal dampak 445,7 ribu Ha, penghijauan
swadaya seluas 23,5 ribu Ha, dan pemeliharaan tanaman seluas 12,4
ribu Ha.
Dalam rangka pelestarian sumber daya air, kebijakan
pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber air ditujukan untuk
meningkatkan pemanfaatan dan produktivitas sumber-sumber air
dengan mewujudkan keterpaduan pengelolaan yang menjamin
III - 111
kemampuan keterbaharuan serta pengaturan berbagai kelembagaan
dan peraturan perundang-undangan. Secara spesifik kebijakan
tersebut diarahkan untuk: (1) memberikan priortias pada kebutuhan
pokok penduduk akan air secara adil untuk kehidupan yang sehat,
bersih dan produktif; (2) meningkatkan efektifitas dan efisiensi
penyediaan serta penggunaan air irigasi untuk mendukung produksi
pangan; dan (3) melaksanakan pendayagunaan sumberdaya air untuk
mendukung perkembangan ekonomi dengan mempertimbangkan
kepentingan antar sektor, wilayah dan dampak jangka panjang.
Sejalan dengan penyelenggaraan otonomi daerah,
kewenangan pengelolaan sumber daya alam mineral dalam tahun
2000 telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah Propinsi dan
Kabupaten/Kota. Sementara itu, dalam menjaga iklim investasi yang
kondusif melalui penciptaan iklim usaha, jaminan kepastian hukum
dan konsistensi kebijakan, sehingga terdapatnya kesinambungan
pengusahaan sumber daya mineral, maka terhitung sejak tanggal 6
Nopember 2000 permohonan baru Kuasa Pertambangan (KP) telah
dapat diajukan langsung kepada Gubernur atau Bupati/Walikota
sesuai kewenangannya. Sejalan dengan itu Pemerintah Pusat hanya
akan melaksanakan fungsi inventarisasi potensi sumber daya
mineral dan energi serta air bawah tanah.
Dalam rangka melaksanakan fungsi inventarisasi tersebut,
telah dilaksanakan pemetaan geologi dan geofisika bersistem,
pemetaan geologi teknik dan tata lingkungan, pemetaan
hidrogeologi, penyelidikan eksplorasi potensi bahan galian mineral
dan panas bumi, dan penelitian geologi untuk pencarian potensi baru
sumber daya mineral dan energi. Disamping itu juga telah dilakukan
pendataan terhadap cadangan mineral logam utama yang tersedia
dalam jumlah besar yaitu : nikel, timah, besi, bauksit dan tembaga.
Selanjutnya dalam rangka mengantisipasi adanya kegiatan
pertambangan tanpa ijin telah dilakukan penindakan tegas dan
sanksi pidana, penyitaan hasil produksi penambangan liar, serta
pembatalan ijin bagi pemegang kontrak penambangan yang
melakukan kegiatan penambangan liar.
III - 112
C.
Tindak Lanjut yang Diperlukan
1.
Menanggulangi Kemiskinan dan Memenuhi
Kebutuhan Pokok Masyarakat
1.1
Penanggulangan Kemiskinan
Untuk menjawab berbagai permasalahan sebagaimana yang
tersebut di atas maka pemerintah perlu melaksanakan berbagai
program penangulangan kemiskinan yang berkaitan dengan 3
agenda penanggulangan kemiskinan, namun demikian program
khusus yang bersifat langsung dalam rangka penanggulangan
kemiskinan antara lain meliputi: (1) Program Penyediaan kebutuhan
Pokok Keluarga Miskin, (2) Program Pemberdayaan Masyarakat
Miskin, (3) Program Pengembangan Ekonomi Lokal, (4) Program
Pembangunan Wilayah Tertinggal.
1.2
Pembangunan Ketenagakerjaan
Dalam rangka menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan,
diperlukan berbagai upaya untuk menindaklanjuti kebijaksanaan
yang telah ada. Dalam bidang pelatihan, diperlukan adanya standar
kualifikasi keterampilan dan sertifikasi kompetensi yang efektif dan
diakui oleh pihak pengguna atau dunia industri. Pemerintah akan
mendorong tersedianya standar kualifikasi keterampilan yang
memudahkan pihak penyelenggara pelatihan dalam menetapkan
muatan latihan yang dituangkan dalam program latihan. Koordinasi
dan keterpaduan pelatihan lintas sektor termasuk tenaga kerja ke
luar negeri terus diupayakan.
Untuk mengantisipasi TKI yang akan, sedang, dan kembali
dari penempatan di luar negeri yang sering menimbulkan banyak
persoalan, perlu dilakukan evaluasi dan menyempurnakan
mekanisme seleksi, bimbingan, pembinaan dan
penempatan
terhadap calon TKI yang lebih ketat. Kegiatan ini akan lebih
ditingkatkan dalam memberikan pengawasan dan perlindungan yang
lebih baik. Perbaikan terhadap sistim pelayanan yang ada selama
III - 113
ini harus terus diperbaiki, serta meningkatkan kerjasama antar
instansi terkait.
Berkaitan dengan masalah hubungan industrial, pemerintah
akan lebih mendorong peran dan fungsi lembaga Bipartit dan
Tripartit, sebagai sarana komunikasi antara pekerja, pengusaha, dan
pemerintah. Pengawasan dan perlindungan terhadap penerapan hakhak dasar pekerja antara lain meliputi aspek pengupahan, jaminan
sosial tenaga kerja, dan mengupayakan perselisihan industrial secara
cepat, tepat, adil dan konsisten. Sosialisasi bentuk-bentuk konvensi,
Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah serta Keputusan
Menakertrans yang berkaitan dengan kepentingan pekerja dan
pengusaha perlu lebih ditingkatkan.
Memperhatikan
aspirasi
yang
terus
berkembang
dimasyarakat, diperlukan pembaharuan hukum ketenagakerjaan.
Berkaitan dengan itu, pembahasan Rancangan Undang-undang
(RUU) tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial dan RUU
Pembinaan Perlindungan Ketenagakerjaan akan diselesaikan dalam
waktu yang tidak terlalu lama lagi.
1.3
Pengembangan Sistem Dana Jaminan Sosial
Pengembangan sistem dana jaminan sosial yang merupakan
kegiatan lintas sektor, terus diupayakan untuk melindungi keluarga
dan kelompok masyarakat miskin, anak terlantar, lanjut usia dan
penderita cacat dari keadaan terganggunya tingkat pendapatan atau
konsumsi. Kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan guna
penyempurnaan sistem dana jaminan sosial antara lain: (1)
mengembangkan sistem jaminan sosial yang sudah ada di
masyarakat; (2) menelaah, mengkaji, dan merumuskan kebijakan
dan langkah-langkah dalam rangka menyelenggarakan program
sistem jaminan sosial nasional yang meliputi kelembagaan, program,
perundang-undangan, pendanaan maupun aspek pelaksanaan
lainnya.
III - 114
1.4
Pengembangan
Pengairan
Pertanian,
Pangan,
dan
Dampak krisis ekonomi saat sekarang merupakan tantangan
dan sekaligus peluang untuk kembali mengandalkan pembangunan
yang berbasis pertanian dan perdesaan. Momentum ini merupakan
kesempatan untuk lebih mewujudkan pengembangan sentra-sentra
agribisnis komoditas unggulan untuk meningkatkan daya saing
produk pertanian dan kehutanan, sehingga dapat meningkatkan nilai
tambah bagi masyarakat pertanian dan nelayan, serta pemantapan
kelestarian swasembada pangan, sekaligus mendukung upaya
program percepatan penghapusan kemiskinan. Upaya tersebut
dilakukan melalui: (1) penumbuhan dan pemantapan sentra
agribisnis komoditas unggulan pertanian, perikanan, perkebunan,
peternakan dan kehutanan; (2) pengembangan sistem perlindungan
tanaman dan hewan; (3) pembangunan dan pemanfaatan sarana dan
prasarana pertanian; serta (4) pemberdayaan petani dan nelayan
dalam penerapan teknologi.
Secara spesifik upaya tersebut
dilakukan untuk meningkatkan produktivitas usahatani melalui
peningkatan mutu dan perluasan areal intensifikasi, menjamin
ketersediaan dan distribusi benih unggul dan sarana produksi,
memperbaiki pengelolaan pasca panen dengan pengembangan dan
penggunaan alat dan mesin pertanian, serta meningkatkan penerapan
teknologi konservasi.
Untuk pembangunan kehutanan kebijakan yang ditempuh
dalam upaya penegakan hukum melalui inventarisasi berbagai
peraturan di bidang kehutanan. Upaya ini dilakukan untuk memberi
kepastian hukum dalam pembangunan kehutanan dan pencegahan
penyimpangan dan penyelewengan, serta pemberantasan KKN.
Salah satu bentuk peraturan yang telah dilakukan adalah
diterbitkannya Inpres Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu Ilegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil
Hutan Ilegal; pemanfaatan hutan produksi melalui konsep
Sustainable Forest Management; dan penghentian konversi hutan
untuk kegiatan non kehutanan guna mempertahankan luas hutan.
III - 115
Sementara itu tindak lanjut dalam pembangunan pengairan
ditujukan untuk: (1) pemantapan kemandirian pengelolaan jaringan
irigasi oleh organisasi masyarakat pengelola air; (2) pengelolaan
jaringan pengairan berdasarkan aspirasi dan partisipasi organisasi
masyarakat
pengelola
air
bersama
pemerintah
provinsi/kabupaten/kota untuk operasi dan pemeliharaan jaringan
irigasi dan rawa; (3) pengembangan pertanian dan perdesaan secara
terpadu melalui peningkatan efektifitas dan efisiensi jaringan
irigasi/rawa; dan (4) penyempurnaan kebijaksanaan pengelolaan
jaringan irigasi.
2.
Mengembangkan Usaha Skala Mikro, Kecil,
Menengah, dan Koperasi
Pembangunan UKMK adalah upaya perubahan struktural,
sehingga, pengembangannya memerlukan upaya lebih lanjut untuk
meningkatkan keterlibatan seluruh pelaku terkait secara penuh.
Kuncinya adalah komitmen yang harus dibangun bersama dan
dilaksanakan secara konsisten oleh masing-masing unsur. Untuk itu
peran pemerintah sebagai fasilitator dan dinamisator harus
ditingkatkan efisiensi dan efektivitasnya, dalam rangka
pengembangan iklim usaha yang kondusif, terutama dalam
mengupayakan
penyempurnaan
berbagai
regulasi
dan
menghilangkan berbagai beban biaya serta hambatan yang
kontraproduktif, baik di tingkat nasional, antardaerah dan daerah.
Untuk meningkatkan akses UKMK terhadap sumberdaya
finansial, tindak lanjut yang diperlukan adalah perkuatan lembaga
keuangan mikro (LKM), dan lembaga sekundernya untuk
mendukung usaha mikro, dan perluasan skim penjaminan kredit di
tingkat lokal. Sedangkan peningkatan akses terhadap sumberdaya
non-finansial ditempuh dengan peningkatan kapasitas dan jaringan
penyedia jasa pengembangan usaha, termasuk di bidang jasa
pengembangan teknologi, pemasaran, dan informasi. Perkembangan
institusi-institusi pendukung tersebut perlu dipercepat dan meluas ke
III - 116
seluruh daerah dengan dukungan insentif yang wajar sebagai
stimulan, terutama untuk dikembangkan sebagai usaha yang layak
bagi dunia usaha dan masyarakat, disertai dengan dukungan
penguatannya.
Peningkatan kualitas SDM perlu didukung oleh peningkatan
peran
pemerintah
propinsi,
kabupaten/kota
dan
dunia
usaha/masyarakat setempat dalam penyelenggaraan pelatihan, serta
upaya pengembangan jenis dan penyempurnaan metoda pelatihan
sehingga mengakomodasi perkembangan teknologi dan memenuhi
kebutuhan UKMK setempat. Upaya lanjutan dalam pengembangan
kewirausahaan antara lain meliputi pembudayaan jiwa dan semangat
kewirausahaan sedini mungkin pada dunia pendidikan; dan
penajaman
penyediaan sistem insentif dan skim pendanaan
khususnya untuk mendorong tumbuhnya usaha berbasis teknologi
dan berorientasi ekspor. Sementara itu pengembangan keunggulan
kompetitif perlu tindakan lanjut antara lain melalui penguasaan
teknologi dan manajeman UKMK serta pengembangan jaringan
usaha untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. UKM juga
memerlukan pendidikan lebih lanjut mengenai manfaat ekonomi
berkoperasi untuk meningkatkan efisiensi, skala usaha dan posisi
rebut tawar, terutama pendidikan anggota koperasi.
3.
Menciptakan Stabilitas Ekonomi dan Keuangan
3.1
Peningkatan Koordinasi Pemeliharaan Stabilitas
Ekonomi
Proses pemulihan ekonomi selanjutnya akan tergantung oleh
tingkat kepercayaan masyarakat. Kecenderungan melemahnya
rupiah, meningkatnya suku bunga SBI, meningkatnya inflasi,
melambatnya pertumbuhan ekspor nonmigas, masih tingginya
ketidakstabilan politik dan keamanan akan mempengaruhi tingkat
kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-
III - 117
upaya guna mengembalikan tingkat kepercayaan masyarakat dan
mempercepat proses pemulihan ekonomi.
1. Meningkatkan stabilitas ekonomi terutama untuk mengurangi
tekanan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui
pelaksanaan kebijakan moneter yang berhati-hati serta
koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang semakin baik.
Stabilitas ekonomi juga perlu ditingkatkan melalui konsistensi
kebijakan ekonomi makro termasuk dengan mengurangi
announcement effect yang berkaitan dengan pengurangan
subsidi BBM dan penyesuaian harga barang dan jasa lainnya
yang dikendalikan pemerintah.
2. Memelihara ketahanan fiskal terutama dalam upaya menutup
defisit anggaran tahun 2001 melalui peningkatan sisi
penerimaan dan pengendalian sisi pengeluarannya. Dalam upaya
meningkatkan penerimaan negara khususnya pajak perlu
diperhatikan
prinsip-prinsip
keadilan
yang
dalam
pelaksanaannya tidak justru menghambat proses pemulihan
ekonomi.
3. Mempercepat program restrukturisasi utang perusahaan dan
memulihkan fungsi intermediasi perbankan. Percepatan program
restrukturisasi utang swasta dimaksudkan agar perusahaan yang
dihadapkan pada masalah utang segera dapat menjalankan
kegiatannya dan memperoleh kepercayaan kembali dari pihak
kreditur. Adapun dorongan bagi pulihnya fungsi intermediasi
perbankan dimaksudkan agar sektor keuangan secepatnya dapat
mendukung kegiatan perekonomian. Kesinambungan investasi
tidak dapat dipertahankan tanpa dukungan lembaga keuangan
yang kuat.
Dengan memperhatikan prospek ekonomi pada triwulantriwulan ke depan dan sasaran inflasi yang ditetapkan serta berbagai
tantangan yang muncul, kebijakan moneter akan diupayakan untuk
dapat dilaksanakan secara konsisten. Untuk menyerap kelebihan
likuiditas, instrumen moneter yang digunakan adalah kombinasi
III - 118
antara Operasi Pasar Terbuka, sterilisasi valas, dan intervensi rupiah
dengan berpegang teguh pada prinsip pengendalian inflasi ke depan
(forward looking price stabilization) tanpa mengorbankan proses
pemulihan ekonomi yang telah berjalan. Penyerapan likuiditas akan
dilakukan secara berhati-hati dengan terus menjaga suku bunga yang
terbentuk agar tetap memberikan sinyal positif bagi perekonomian.
Dalam hal ini, kenaikan suku bunga yang berlebihan akan dihindari
karena akan menciptakan ekspektasi negatif terhadap kelangsungan
proses pemulihan ekonomi secara keseluruhan.
Di sisi eksternal, dalam rangka meningkatkan daya saing
perekonomian pada umumnya dan komoditi ekspor pada khususnya
perlu dihindari campur tangan pemerintah yang berlebihan dalam
bentuk perlindungan baik berupa tarif maupun nontarif. Penurunan
tarif impor diperlukan untuk meningkatkan daya saing mengingat
banyak komoditi ekspor nasional yang menggunakan bahan baku
impor.
Upaya lain untuk meningkatkan ekspor antara lain adalah
menyederhanakan prosedur keluar masuk barang di pelabuhan,
meningkatkan koordinasi yang lebih baik antara kebijakan dan
institusi terkait, meningkatkan efisiensi sehingga tercapai
peningkatan daya saing terutama dengan negara-negara di Asia, dan
diversifikasi produk ekspor nonmigas.
3.2
Peningkatan Efektivitas Pengelolaan Keuangan
Negara
Upaya peningkatan efektivitas pengelolaan keuangan negara
diarahkan untuk mencapai kesinambungan fiskal ditempuh dengan
peningkatan penerimaan, menekan biaya restrukturisasi perbankan,
menghapus subsidi secara bertahap terutama yang tidak terarah
(untargeted subsidy), mengendalikan peningkatan anggaran belanja
pegawai, mengupayakan penjualan aset program restrukturisasi
perbankan semaksimal mungkin, mengoptimalkan penerimaan dari
privatisasi BUMN, serta memantapkan tahapan desentralisasi agar
searah dengan upaya menjaga kestabilan ekonomi makro.
III - 119
Beban berat dari pembayaran pokok dan bunga pada utang
luar negeri pemerintah; dan upaya percepatan pencairan pinjaman
program dan penyerapan proyek pinjaman luar negeri merupakan
hal yang perlu dicarikan jalan pemecahannya. Sehingga untuk itu
pemerintah perlu melakukan langkah-langkah tindak lanjut, antara
lain. Pertama, langkah terobosan yang harus segera dilaksanakan
dalam upaya mempercepat pencairan dana terhadap pinjaman
program tersebut secara umum adalah dengan mempercepat proses
pembahasan dengan DPR, menyelesaikan peraturan-peraturan yang
telah menjadi komitmen, dan melakukan renegosiasi dengan donor
untuk memperoleh keringanan persyaratan. Kedua, perlunya
stabilitas politik, ekonomi dan keamanan sehingga menciptakan
kondisi yang kondusif untuk melaksanakan proyek dengan baik dan
tepat waktu karena proyek-proyek tersebut disusun untuk kondisi
stabil. Ketiga, untuk proyek non fisik (bersifat pendidikan, latihan,
dan kesehatan) perlu dilakukan renegosiasi dengan donor untuk
memperoleh keringanan syarat sehingga selain pelaksanaan proyek
lancar, manfaat dari proyek dapat segera dinikmati masyarakat yang
sangat membutuhkan khususnya akibat krisis yang berkepanjangan.
Keempat, perlunya sosialisasi ke daerah mengenai pinjaman luar
negeri tentang guidelines, prosedur dan peraturan yang harus
dipenuhi dari donor sehingga daerah benar-benar paham mengenai
manfaat maupun bebannya. Keempat, menyelesaikan dan
mempercepat pengajuan replenishment ke donor untuk proyekproyek yang mengalami back-log cukup lama sehingga mengurangi
beban rekening Sub-BUN. Kelima, mengintensifkan komunikasi
dengan kreditor dan IMF untuk penyelesaian restrukturisasi utang
luar negeri pemerintah dan memperlancar pencairan utang. Keenam,
meningkatkan kemampuan manajemen utang pemerintah luar
negeri. Ketujuh, mencari alternatif pembiayaan untuk mengganti
beban kewajiban pembayaran bunga dan cicilan pokok pinjaman
luar negeri.
3.3
Pengembangan Lembaga Keuangan
Langkah kebijakan pengembangan lembaga keuangan
secara umum bersifat jangka menengah. Dalam tahun 2001 ini,
III - 120
langkah yang akan ditempuh adalah dengan melanjutkan upaya
penyempurnaan ketentuan dan peningkatan pengawasan bank. Di
samping itu, juga terus dipersiapkan langkah-langkah untuk
membentuk lembaga penjamin simpanan dan lembaga pengawas
jasa sektor keuangan. Adapun pembentukan LPS dan LPJK akan
ditentukan pada saat yang tepat, dengan persiapan untuk itu tetap
mendapatkan prioritas utama.
3.4
Percepatan Restrukturisasi
Dunia Usaha
Perbankan
dan
Di bidang perbankan, kebijakan ke depan akan tetap
difokuskan pada upaya pemulihan fungsi intermediasi perbankan
nasional. Upaya pemulihan fungsi intermediasi perbankan ditempuh
dengan mendorong bank-bank yang berada di bawah kendali
pemerintah untuk lebih banyak menyalurkan kredit terutama ke
sektor UKM. Di sisi yang lain, upaya ini ditempuh juga dengan
menciptakan secondary market bagi obligasi pemerintah agar bankbank rekapitalisasi dapat mengatasi kesulitan likuiditasnya sehingga
dapat menjalankan fungsi intermediasi bank. Secara khusus, akan
diperrketat pengawasan terhadap bank-bank yang diperkirakan tidak
memenuhi CAR 8 persen pada akhir tahun 2001.
Sementara itu program pemantapan ketahanan sistem
perbankan dilanjutkan, dengan fokus pada good corporate
governance, dan pengembangan pengawasan bank yang didasarkan
atas resiko (risk based supervision), serta penyempurnaan ketentuan
perbankan. Pelaksanaan good corporate governance dilaksanakan
antara lain melalui fit and proper test terhadap pemilik dan pengurus
bank (new entry) serta pengangkatan direktur kepatuhan
(compliance director). Adapun penerapan risk based supervision
dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan membatasi serta
mengeliminasi risiko-risiko yang berhubungan dengan pengelolaan
kegiatan usaha bank seperti risiko likuiditas, kredit, perubahan suku
bunga, nilai tukar, dan transaksi.
III - 121
Program utama lainnya adalah mempercepat restrukturiasi
kredit baik yang dilakukan bank sendiri maupun melalui BPPN,
Prakarsa Jakarta dan Satgas Restrukturisasi Kredit Bank Indonesia.
Sasaran langkah tersebut adalah menekan jumlah NPLs menjadi
sekitar 5 persen pada akhir tahun 2001.
Dengan masih terdapatnya permasalahan-permasalahan
yang dihadapi dalam restrukturisasi utang perusahaan ini, maka
tindak lanjut yang diperlukan antar lain. Pertama, meningkatkan
pelaksanaan proses negosiasi antara debitor dan kreditor di BPPN
dan Prakarsa Jakarta secara transparan dan akuntabel antara lain
melalui pengembangan kebijakan insentif dan pinalti agar debitur
lebih kooperatif dalam menyelesaikan utang-utangnya. Kedua,
meningkatkan koordinasi di antara lembaga, tim, dan satgas yang
menangani penyelesaian pinjaman luar negeri swasta. Ketiga,
meningkatkan kapasitas dan kinerja peradilan niaga, termasuk
penegakan pelaksanaan Undang-undang Kepailitan. Keempat,
mengembangkan berbagai metoda alternatif untuk mempercepat
restrukturisasi utang swasta. Kelima, membentuk pengaturan
pinjaman luar negeri swasta.
3.5
Pelaksanaan Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah
Dalam jangka pendek, untuk menutupi adanya kekurangan
pembiayaan terutama terhadap daerah-daerah yang DAU-nya tidak
mencukupi untuk melakukan pembiayaan rutin sebagai akibat
adanya proses pengalihan pegawai, peralatan, pembiyaan dan
dokumentasi kepada daerah akan ditanggulangi melalui dana
kontijensi pada pos pengeluaran lain-lain, anggaran pemerintah
pusat.
Dalam jangka lebih panjang, upaya untuk menciptakan
perimbangan keuangan pusat dan daerah dengan prinsip
keseimbangan antar daerah dan antar wilayah, tindak lanjut yang
diperlukan antara lain: (1) menyelesaikan penjabaran undangundang yang terkait dengan desentralisasi diantaranya (a) percepatan
III - 122
penyelesaian peralihan personil, peralatan, pembiayaan dan
dokumentasi kepada daerah serta peraturan pelaksanaannya; (b)
penyelesaian peraturan detail tentang dana bagi hasil yang
bersumber dari minyak bumi dan gas alam sebagai akibat dari
timbulnya Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang
persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan
penggabungan daerah; (2) menyempurnakan formulasi Dana
Alokasi Umum (DAU) dengan memasukan variabel fiskal ke dalam
perhitungan bobot daerah. Tujuan penyempurnaan formula DAU ini
adalah agar lebih mudah dipahami, berkeadilan dan mencerminkan
azas transparansi serta menutupi kesenjangan dan keseimbangan
fiskal antar daerah dan antar wilayah; (3) melakukan sosialisasi
formulasi DAU yang baru kepada daerah sehingga didapatkan input
dan untuk menampung aspirasi daerah; (4) melakukan verifikasi
antara anggaran pembangunan dengan anggaran rutin guna
menghindari terjadinya duplikasi anggaran dari Departemen dan
LPND dengan anggaran rutin dan pembangunan yang berasal dari
DAU; (5) memantau dan jika diperlukan menyempurnakan
peraturan-peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk
menjamin tercapainya tujuan program desentralisasi.
4.
Memacu Peningkatan Daya Saing
Seiring dengan kondisi yang demikian pemerintah mulai
mengantisipasi keadaan ini melalui pembuatan kebijakan yang
dituangkan dalam PROPENAS 2000-2004, khususnya dalam bidang
ekonomi, kebijakan industri dan perdagangan diarahkan melalui
program-program: pengembangan ekspor, penataan dan penguatan
basis produksi dan distribusi, penguatan pranata iklim kompetitif
dan non deskriminatif, dan penguatan institusi pasar. Disamping itu,
kebijakan perdagangan juga didukung oleh beberapa programprogram penunjang antara lain, program pengembangan
kewirausahaan dan PKMK berkeunggulan kompetitif dan program
pembentukan peraturan perundang-undangan. Program-program
tersebut tidak akan bermanfaat jika tidak ada pemantapan dan
III - 123
dukungan dari masing-masing institusi yang terkait dengan program
tersebut untuk sama-sama melaksanakannya sesuai dengan
kebijakan sektor. Di samping itu, dalam rangka menunjang
peningkatan daya saing nasional, perlu terus dikembangkan peranan
balai-balai industri dan perdagangan serta pusat-pusat standarisasi
dan mutu barang, serta lembaga kemetrologian untuk memainkan
fungsinya dalam peningkatan mutu dan inovasi produk barang dan
jasa, termasuk pembentukan struktur kelembagaan tersebut dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah. Percepatan dalam rangka
menghadapi era globalisasi mendatang, pembentukan Dewan
Peningkatan Daya Saing Nasional perlu lebih mendapat perhatian
penting dalam rangka pembentukan struktur yang nantinya bersifat
independen yang mampu menerapkan kebijakan publik yang
komprehensif, lintas sektoral dan regional
Akan mulai diberlakukannya perdagangan bebas di
beberapa negara yang membuat persaingan usaha semakin ketat dan
kompetitif, langkah tindak lanjut yang ditempuh harus mendorong
munculnya semangat inovasi, antara lain dengan melakukan
penyempurnaan dan pembinaan pranata iklim perdagangan baik
peraturan, pembinaan, stabilitas harga dan distribusi. Di samping itu,
perlu ditingkatkan efisiensi dan efektivitas produk dengan
melakukan berbagai inovasi produk barang dan jasa. Menyadari
posisi Indonesia yang saat ini belum terlalu kuat di pasar
internasional, maka untuk meningkatkan posisi nilai tawar tersebut
mau tidak mau Indonesia harus terus berpartisipasi aktif dalam
organisasi dunia, seperti di WTO atau dalam bentuk kerjasama yang
lain. Konsekuensi dari hal tersebut adalah perlu penataan berbagai
peraturan baik di tingkat pusat maupun di daerah agar mampu
mewujudkan implementasi berbagai kesepakatan internasional
terutama terciptanya perdagangan dalam negeri yang efisien dan
efektif.
4.1
Pengembangan Ekspor
Adapun tindak lanjut yang diperlukan untuk sektor
perdagangan adalah memantapkan program pengembangan ekspor
III - 124
dengan didukung oleh penguatan pasar modal. Sasaran program ini
adalah meningkatnya kualitas prasarana dan sarana pengembangan
ekspor dalam rangka meningkatkan dan mempertahankan peranserta
kegiatan produksi dan distribusi dalam negeri ke dalam sistem
perdagangan bebas internasional yang pada gilirannya dapat
memberikan sumbangan pada penerimaan devisa. Ruang lingkup
program ini meliputi: (1) peningkatan frekuensi dan optimalisasi
upaya diplomasi perdagangan; (2) penataan kelembagaan dan sistem
fasilitasi perdagangan internasional; (3) penataan sistem informasi
perdagangan internasional dan peningkatan kualitas penyebaran
informasi hasil kerjasama/komitmen perdagangan internasional; (4)
peningkatan kehandalan sistem penetrasi pasar luar negeri; dan (5)
peningkatan peranserta dunia usaha dalam penetrasi pasar luar
negeri; dan peningkatan peranserta usaha kecil-menengah dalam
perdagangan internasional.
4.2
Pengembangan
Kompetitif
Industri
Berkeunggulan
Sasaran program penataan institusi pasar barang dan jasa
adalah meningkatkan efisiensi pasar barang dan jasa sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Untuk mencapai sasaran
tersebut maka ruang lingkup program penataan institusi pasar
barang dan jasa secara umum meliputi upaya: (1) menyediakan
fasilitasi kompetisi pasar dalam rangka pelaksanaan persaingan
usaha yang sehat; (2) melakukan fasilitasi perlindungan konsumen
dalam rangka menjamin penyediaan kebutuhan masyarakat akan
barang dan jasa yang layak dan mudah diperoleh; (3) mendorong
peranserta masyarakat dalam pasar komoditas berjangka dalam
rangka meningkatkan nilai tambah barang komoditas bagi semua
pelaku
pasar
komoditas
berjangka;
(4)
meningkatkan
profesionalisme institusi distribusi barang dan jasa yang bersifat
strategis mencakup upaya mendorong peningkatan efisiensi
perusahaan negara; (5) meningkatkan peranserta masyarakat dalam
distribusi barang dan jasa dalam negeri; (6) membangun jaringan
informasi pasar barang dan jasa dalam rangka menyediakan dan
memperluas akses masyarakat terhadap kebutuhan barang dan jasa;
III - 125
dan (7) meningkatkan responsi pelaku pasar dalam negeri terhadap
dinamika pasar barang dan jasa di lingkup internasional yang pada
gilirannya akan mendorong upaya pengembangan industri yang
berkeunggulan kompetitif.
4.3
Penguatan Institusi Pasar
Upaya-upaya untuk menyediakan fasilitasi kompetisi pasar
dalam rangka pelaksanaan persaingan usaha akan terus dilakukan
melalui beberapa kegiatan prioritas yang antara lain adalah:
penguatan kelembagaan dan SDM pengawas pelaksanaan Larangan
Anti Monopoli dan Persaingan Usaha yang tidak sehat, baik
lembaga yang bersifat independen maupun instansi pemerintah
terkait; pelaksanaan deregulasi yang konsisten dan terarah baik di
pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah; serta perumusan
pernyataan sikap dan komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk
menjadikan otonomi daerah sebagai salah satu daya tarik bagi
investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dan bukan
sebagai hambatan dan penghalang terhadap arus investasi yang
masuk ke Indonesia.
Upaya yang akan dilakukan untuk melakukan perlindungan
terhadap konsumen akan terus didukung dengan penyiapan dan
pengesahan perangkat peraturan pendukung pelaksanaan Undangundang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu Keputusan Presiden dan
Peraturan Pemerintah, serta petunjuk pelaksanaan dan dokumen
lainnya yang dapat dijadikan acuan untuk menindaklanjuti dan
memfasilitasi keluhan-keluhan konsumen. Selain itu, pemerintah
pun akan segera membentuk Badan Perlindungan Konsumen
Nasional (BPKN) di tingkat pusat dan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) di tingkat daerah sehingga masyarakat akan
terlindungi dari praktek-praktek pelaku usaha yang merugikan
konsumen dan hal ini diharapkan dapat menurunkan tingkat
kerugian masyarakat terhadap barang dan jasa yang telah dibelinya.
Upaya pemerintah ini tentunya perlu didukung oleh kesadaran
masyarakat atas hak-hak konsumen terhadap barang dan jasa yang
telah/akan diperolehnya. Oleh sebab itu, pemerintah dan masyarakat
III - 126
perlu bekerja sama untuk menciptakan suatu sistem perlindungan
konsumen yang didasarkan pada rasa keadilan dengan menjunjung
tinggi moral dan etika yang baik.
4.4
Pengembangan Pariwisata
Dalam upaya menarik wisatawan untuk datang ke Indonesia
telah dibuka Indonesian Tourism Promotion Office (ITPO) di
Frankfurt, Jerman; Tokyo, Jepang dan Los Angeles, Amerika
Serikat dan kerjasama pemasaran dengan China National Tourism
Administration (CNTA) serta mengikuti bursa kepariwisataan
internasional seperti ITB-di Berlin, WTO- di London, Pata Mart di
Singapore, ATF-di Brunai Darussalam dan menjalin kerjasama
dengan lembaga kepariwisataan internasional. Selain itu
dikembangkan potensi
objek dan daya tarik wisata serta
melaksanakan atraksi wisata dengan memberikan kesempatan
kepada masyarakat terutama usaha kecil dan menengah di sekitar
objek dan daya tarik wisata untuk berperan aktif dalam
meningkatkan perekonomiannya. Selain itu untuk mendukung
pelaksanaan otonomi daerah dipersiapkkan kebijakan
dan
kemudahan berusaha dan perijinan pariwisata.
4.5
Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (Iptek)
Pembudayaan, sosialisasi dan diseminasi hasil-hasil litbang ke
dunia usaha dan masyarakat akan terus dilaksanakan. Program Iptek
dan berbagai insentif yang telah dilaksanakan akan dikembangkan
dan ditingkatkan kualitasnya. Insentif lain yang akan dilaksanakan
adalah insentif perlindungan bagi pengetahuan tradisional, terutama
yang berpotensi komersial tinggi. Beberapa alternatif insentif lain
yang akan dikaji secara selektif adalah peningkatan kemudahan
kemitraan lemlitbang dengan dunia usaha, insentif pajak untuk
investasi di bidang litbang, serta keleluasaan pemanfaatan dari hasil
pelayanan teknologi.
III - 127
Keterkaitan antar jaringan informasi teknologi yang telah
dibangun di pusat dan daerah akan terus ditingkatkan kualitasnya,
terutama yang dapat dimanfaatkan oleh sektor produktif. Data dan
informasi mengenai teknologi tepat guna, informasi Iptek siap pakai
lainnya, serta keragaan pusat-pusat pelayanan teknologi akan terus
ditingkatkan. Asistensi teknis maupun informasi Iptek dari
lemlitbang kepada dunia usaha dan masyarakat akan dikaji untuk
dapat dipadukan dengan berbagai program dari instansi teknis
lainnya termasuk dengan skema kredit maupun pembiayaan lain
yang telah ada.
Sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan atas
ketersediaan data statistik yang lengkap, akurat, dan tepat waktu,
dilaksanakan kegiatan sensus dan survei seperti persiapan Sensus
Pertanian (ST) 2003, Susenas Modul Konsumsi dan Survei Biaya
Hidup (SBH); penyempurnaan metode pengumpulan, pengolahan
dan penyajian data, serta peningkatan sumberdaya manusia.
5.
Meningkatkan Investasi
5.1
Peningkatan Penanaman Modal Asing dan
Penanaman Modal Dalam Negeri
Dalam rangka menyiapkan peraturan perundangan di bidang
penanaman modal, Pemerintah akan terus berusaha meningkatkan
koordinasi dengan instansi terkait di pusat, propinsi dan
kabupaten/kota, serta meningkatkan kemampuan SDM dari aparatur
yang menangani penanaman modal baik dipusat maupun di daerah.
Selain itu untuk menarik minat dan realisasi investasi, pemerintah
secara terus menerus mengupayakan pemberian sistim insentif
dalam bentuk kemudahan perizinan dan pembebasan dan/atau
keringanan fiskal kepada kegiatan penanaman modal khususnya
investasi yang berorientasi pengembangan regional guna memacu
pertumbuhan daerah. Pengembangan pananaman modal secara
regional dan sektoral harus dilakukan secara sinergi mengingat
III - 128
kemampuan daerah berbeda-beda dan manajemen investasi
diarahkan agar dapat mendukung terwujudnya industri yang
mengoptimasikan penggunaan bahan baku setempat, industri
pengolahan dan industri peralatan serta permesinan.
5.2
Pengembangan Pasar Modal
Untuk meningkatkan peran dan mewujudkan pasar modal
Indonesia sebagai penggerak ekonomi nasional yang tangguh dan
berdaya saing global perlu segera dilakukan upaya-upaya strategis.
Program Penataan Institusi Pasar Modal akan diarahkan pada
kegiatan utama sebagai berikut: (i) penyempurnaan perangkat
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yang
diarahkan pada terciptanya pasar modal yang teratur, wajar dan
efisien, serta terwujudnya lembaga otoritas pasar modal yang lebih
independen, termasuk melakukan penyesuaian dan penyempurnaan
terhadap Undang-undang Pasar Modal, yang juga mencakup antara
lain: demutualisasi bursa, dan perangkat hukum yang mendukung
scriptless trading; (ii) percepatan penyusunan mekanisme
pengawasan pasar modal yang ditujukan untuk mempercepat proses
reposisi tugas pokok dan fungsi Bapepam sebagai lembaga
pengawas pasar modal yang independen dan berkualitas
internasional dengan konsep bergabung dengan pengawas jasa
keuangan lainnya kedalam LPJK; (iii) pengembangan teknologi
informasi yang mendorong aspek keterbukaan serta memberikan
kemudahan akses informasi bagi pelaku pasar modal yang
diperlukan dalam pelaksanaan pengawasan dan investigasi
pelaksanaan pasar modal; (iv) pembangunan sistem perdagangan
jarak jauh (remote trading) untuk memperluas akses ke pasar modal,
terutama bagi pemodal daerah; (v) pengembangan kebijakan pasar
sekunder terutama untuk obligasi pemerintah beserta sosialisasinya;
(vi) pengembangan pasar dan instrumen pasar modal melalui
peningkatan peran perusahaan efek dan mendorong UKM dan
koperasi untuk masuk ke pasar modal; dan (vii) meningkatkan
komitmen dari pihak-pihak pengambil kebijakan fiskal dan moneter
dalam menciptakan iklim yang kondusif di pasar modal, serta (viii)
menciptakan sinergi antara perbankan dan pasar modal.
III - 129
5.3
Percepatan Restrukturisasi Perusahaan Negara
Agar berbagai kebijakan pemerintah mengenai reformasi
BUMN dapat berjalan seperti yang diharapkan, maka diperlukan
langkah-langkah antara lain: (i) melakukan sosialisasi program
restrukturisasi, profitisasi dan privatisasi BUMN, termasuk
penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance di BUMN
khususnya bagi BUMN yang dipersiapkan untuk diprivatisasi; (ii)
mempersiapkan Undang-Undang BUMN yang mengatur keberadaan
dan pengelolaan BUMN secara profesional; dan (iii), dalam upaya
meningkatkan transparansi BUMN, disusun jaringan komunikasi
dan publikasi melalui fasilitas internet, BUMN On Line, serta Web
Site.
6.
Menyediakan Sarana dan Prasarana Penunjang
Pembangunan Ekonomi
Pembangunan sektor ketenagalistrikan
membutuhkan
investasi yang besar, untuk itu diperlukan upaya tindak lanjut agar
kebijakan yang telah dilaksanakan dapat berjalan dengan baik dan
berkesinambungan. Upaya tindak lanjut juga diarahkan sebagai
penyelesaian isu-isu penting yang terkait yaitu: otonomi daerah,
good corporate governance, efisiensi PT. PLN (Persero) dan
restrukturisasi sektor energi.
Sebagai upaya pertama adalah mempertahankan tingkat
pelayanan melalui upaya pemeliharaan sarana dan prasarana
ketenagalistrikan yang ada. Selain itu perlu diupayakan percepatan
penyelesaian pembangunan sarana dan prasarana ketenagalistrikan
yang sedang berjalan. Dari upaya ini diharapkan ada jaminan
terhadap tersedianya pasokan tenaga listrik dan peningkatan
kapasitas tenaga listrik.
Upaya tindak lanjut lainnya adalah restrukturisasi sektor
energi yang dilaksanakan melalui penyelesaian Undang-undang
III - 130
Energi dan Ketenagalistrikan yang mengatur usaha penyediaan
energi di masa depan berdasarkan kompetisi pasar yang transparan
dan kaidah berusaha yang sehat. Selain itu ditingkatkan pula
peranan swasta dan swadaya masyarakat perdesaan melalui koperasi
dalam usaha penyediaan tenaga listrik dengan memprioritaskan
pemanfaatan potensi energi setempat. Hal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan serta tersedianya
kapasitas sesuai permintaan.
Untuk mengurangi subsidi, pemerintah memberlakukan
pengaturan harga energi termasuk penyesuaian tarif listrik secara
bertahap dan terencana sehingga sesuai dengan nilai
keekonomiannya. Sejalan dengan upaya tersebut dilakukan langkahlangkah peningkatan efisiensi dan pelayanan dalam penyediaan
energi dan tenaga listrik, dalam rangka menarik investasi swasta
serta peningkatan pengusahaan di sektor energi.
Untuk menunjang upaya tindak lanjut di atas telah
dilakukan pula, upaya pemanfaatan energi yang didasarkan pada
langkah-langkah kebijakan konservasi dan diversifikasi serta
peningkatan sumberdaya manusia dan teknologi melalui
peningkatan kualitas pendidikan, pelatihan dan penelitian.
Reformasi pembangunan transportasi harus terus dilanjutkan
melalui deregulasi ataupun regulasi untuk penghapusan berbagai
bentuk restriksi yang dapat menghambat upaya peningkatan efisiensi
pelayanan jasa transportasi, pelaksanaan reformasi hukum,
kelembagaan dan sumber daya manusia di bidang transportasi dalam
menciptakan kelembagaan yang efisien, bertanggung jawab, dan
aparat yang bersih dan upaya pemerataan kesempatan berusaha
melalui
peningkatan
keikutsertaan
usaha
kecil
dan
menengah/koperasi dalam pengadaan barang dan jasa transportasi.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan transportasi perlu
diupayakan peningkatan peran serta masyarakat dan swasta baik
melalui kerjasama operasi dengan BUMN, proses privatisasi serta
restrukturisasi kejelasan tugas, kewajiban dan peran antara
III - 131
pemerintah dan BUMN, baik dalam pelaksanaan pembangunan
maupun pengelolaan jasa transportasi. Penerapan sistem kebijakan
tarif angkutan perlu diupayakan lebih transparan dan lebih
kompetitif melalui perbaikan mekanisme penetapan yang lebih
mendekati keseimbangan daya beli dan keinginan pasar dan
mekanisme sistem subsidi yang efisien dan tepat sasaran agar
kepentingan pelayanan umum dapat diprioritaskan.
Program pengembangan fasilitas lalu lintas angkutan jalan
perlu dilanjutkan untuk menjamin terselenggaranya sistem lalu lintas
angkutan jalan yang lancar, terpadu, aman dan nyaman, sehingga
mampu meningkatkan efisiensi pergerakan orang dan barang serta
memperkecil kesenjangan antar wilayah sekaligus mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional. Selanjutnya, pembangunan
perkeretaapian perlu terus dikembangkan untuk meningkatkan
pelayanan angkutan kereta api secara cepat, murah, aman dan
nyaman sehingga tidak saja mampu berperan sebagai alternatif
angkutan jalan yang handal tetapi juga menunjang pergerakan orang
dan barang secara massal dan efisien. Begitu pula angkutan
sungai/danau, perlu terus ditingkatkan untuk meningkatkan
pelayanan angkutan sungai, danau, dan penyeberangan yang
diharapkan dapat berperan sebagai tulang punggung pengembangan
ekonomi daerah, khususnya di kawasan terpencil dan pedalaman
maupun untuk menghubungkan kesatuan wilayah dan pulau-pulau
melalui suatu sistem jaringan transportasi yang terpadu.
Untuk menjamin lancar dan amannya pelayaran di perairan
Indonesia serta menegakkan asas cabotage dan UNCTAD Code of
Conduct of Liner Conference, maka tindak lanjut yang diperlukan
adalah: peningkatan kemampuan daya saing usaha transportasi laut;
peningkatan investasi dan partisipasi swasta; peningkatan
kemampuan SDM dan manajemen khususnya untuk pelaut
Indonesia melalui pelatihan-pelatihan yang disesuaikan dengan
STCW 1995; penataan regulasi/peraturan perundang-undangan dan
kelembagaan; pembangunan, pemeliharaan prasarana, sarana dan
sistem jaringan; pengolahan lingkungan hidup, pemanfaatan
teknologi dan konservasi energi; dan peningkatan pengoperasian dan
III - 132
pelayanan jasa transportasi laut; serta penanggulangan perompakan
di perairan Indonesia.
Di bidang transportasi udara, untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dan menghadapi era pasar global,
diperlukan upaya-upaya yang bertujuan mempertahankan
kelangsungan usaha dan daya saing nasional melalui penciptaan
iklim usaha yang kondusif; meningkatkan keselamatan dan
keamanan transportasi melalui pembangunan fasilitas bandar udara,
fasilitas navigasi penerbangan dan telekomunikasi yang memenuhi
persyaratan penerbangan; melakukan pengawasan operasional dan
kelaikan di bidang kebandarudaraan, pengaturan lalu lintas
penerbangan dan pesawat udara; mengupayakan agar perusahaan
penerbangan juga berminat dan ikut mempunyai tanggung jawab
melayani rute-rute yang kurang menguntungkan, peningkatan
kualitas sumber daya manusia dalam pengelolaan bandar udara,
peralatan navigasi dan telekomunikasi penerbangan. Sejalan dengan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan UndangUndang Nomor 25 tahun 1999, maka perlu dilakukan perubahan
fungsi pemerintah pusat dengan lebih memberdayakan daerah untuk
lebih berperan dalam penyediaan transportasi udara.
Di bidang pembangunan meteorologi dan geofisika, perlu
ditingkatkan kemampuan peramalan cuaca untuk mendukung
keselamatan transportasi khusunya dan kegiatan masyarakat pada
umumnya. Di samping itu meningkatkan sarana dan prasarana
operasional, serta rehabilitasi terhadap prasarana dan sarana
meteorologi dan geofisika.
Di bidang pencarian dan penyelamatan, perlu ditingkatkan
kemampuan operasi SAR terutama di daerah-daerah rawan bencana,
memasyarakatkan ketrampilan SAR kepada masyarakat dengan cara
melatih potensi-potensi SAR dalam masyarakat. Di samping itu juga
berusaha mempersingkat tindak awal sehingga korban bencana dan
kecelakaan transportasi dapat diminimalkan.
III - 133
Dalam hal pembangunan prasarana telekomunikasi,
pemerintah yang merupakan pemegang saham mayoritas
mempersiapkan program privatisasi bagi PT. Telkom dan PT.
Indosat. Untuk mendukung pelaksanaan Undang-undang Nomor 36
Tahun 1999, Pemerintah tengah mempersiapkan regulasi pendukung
termasuk penyusunan cyber law (Undang-Undang tentang
pemanfaatan jasa internet). Pemerintah juga tengah mempersiapkan
peraturan tentang tarif dan interkoneksi jaringan serta penyelesaian
jangka panjang menyangkut masalah KSO. Untuk mendukung
penyelenggaraan telekomunikasi yang kompetitif, PT. Telkom dan
PT. Indosat harus segera merestrukturisasi usaha dengan
mengurangi kepemilikan bersama pada sejumlah perusahaan afiliasi.
Khusus untuk menunjang penyelenggaraan telematika
termasuk untuk peningkatan pelayanan publik, upaya yang ditempuh
mencakup penyiapan perangkat hukum dasar dan master plan serta
pembentukan lembaga koordinasi yang mantap.
7.
Memanfaatkan Kekayaan Sumber Daya Alam
Secara Berkelanjutan
Belajar dari pengalaman pemanfaatan sumber daya alam
daratan yang dieksploitasi secara berlebihan sebagai dampak laju
pertambahan penduduk yang tinggi, maka pemanfaatan sumberdaya
laut harus dikelola dengan memperhatikan persyaratan
pembangunan berkelanjutan. Ekosistem laut yang ada seperti
terumbu karang dan kehidupan biota disekitarnya harus dijaga dari
kerusakan agar tidak mengalami penurunan kapasitas daya dukung
produksi bidang kelautan.
Kebijakan perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam
hayati laut dan ekosistemnya diarahkan pada pengelolaan kawasan
konservasi laut, suaka perikanan dan biota perairan langka. Upaya
yang diperlukan adalah penyusunan peraturan kewenangan
pengelolaan kawasan konservasi laut dan pemantapan koordinasi
III - 134
pengelolaan kawasan konservasi, pengembangan informasi, serta
pengembangan daerah penyangga kawasan konservasi laut.
Untuk mendukung kelestarian dan produktivitas kelautan
maka upaya lain yang perlu dilakukan adalah memelihara daya
dukung dan kualitas lingkungan kawasan pesisir. Pengelolaan dan
pengembangan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan
dilakukan secara terpadu melalui pendekatan kewilayahan.
Kebijakan dan strategi peningkatan kapasitas kelembagaan
diarahkan pada peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah,
masyarakat, dan dunia usaha, pemasaran dan investasi. Peningkatan
kapasitas kelembagaan daerah dilakukan antara lain melalui
penetapan batas wilayah laut daerah dan implementasi kewenangan
daerah di wilayah laut masing-masing. Hal ini perlu dituangkan
dalam bentuk Peraturan Pemerintah tersendiri.
Dalam jangka panjang, kebijakan dan strategi
pengembangan riset dan teknologi kelautan perlu ditingkatkan
dalam rangka mendukung kebijakan pemanfaatan dan
pengembangan potensi sumber daya kelautan, yang terdiri dari
penyediaan data dan informasi, peningkatan sumber daya manusia
bidang kelautan, penyerasian riset dan teknologi, serta pelaksanaan
dan pelayanan riset dan teknologi.
Sedangkan upaya yang diperlukan untuk penyelamatan
sumber daya hutan dan lahan maka diperlukan pembaharuan dalam
pengelolaan sumber daya hutan dan lahan; optimalisasi pemanfaatan
sumber daya hutan dan lahan; dan penguatan kelembagaan
kehutanan.
Upaya-upaya tersebut diarahkan kepada kegiatankegiatan yang cukup mendesak untuk dilaksanakan dan berkaitan
dengan komitmen pemerintah dalam pertemuan CGI tahun 2000,
yaitu perlu segera disusun Program Kehutanan Nasional (National
Forest Program); pemantapan pengendalian penebangan kayu
secara ilegal dan kebakaran hutan; restrukturisasi industri
pengolahan hasil hutan; restrukturisasi kelembagaan kehutanan;
III - 135
serta penyempurnaan dan pengembangan perangkat peraturan
perundangan di bidang kehutanan.
Upaya pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber air
pada prinsipnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
di bidang sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, politik maupun
ketahanan nasional, yang sekaligus menciptakan pertumbuhan,
keadilan sosial dan kemandirian. Dalam rangka memantapkan dan
mendorong pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber air
maka tindak lanjut yang diperlukan adalah: (1) pengaturan kembali
peran dan tanggung jawab pemerintah pusat, provinsi, kabupaten,
kota, swasta, dan masyarakat dengan mengacu pada UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; (2) penyempurnaan
peraturan pemerintah lainnya tentang pengelolaan wilayah sungai,
khususnya di wilayah sungai yang sudah berada dalam keadaan
kritis; (3) konservasi air tanah dan air permukaan secara terpadu; (4)
pengelolaan dan pelestarian daya tampung waduk, danau, situ,
telaga, embung, serta bangunan penampung air lainnya sebagai
sumber-sumber air untuk irigasi, permukiman, perkotaan, industri
serta kegiatan lainnya; dan (5) pelestarian fungsi alur sungai agar
tetap terpelihara dan manfaatnya dapat ditingkatkan.
Beberapa langkah kegiatan yang diperlukan dalam rangka
pemanfaatan sumber daya mineral yang memberikan hasil yang
optimal dan dampak buruk yang minimal adalah memperbaiki
penyediaan data sumber daya mineral yang lengkap dan
menyeluruh, dan serta penguasaan teknologi yang memadai
termasuk interpretasi data informasinya; pembibingan konservasi
tambang dan konservasi alam pada lingkungan usaha pertambangan.
Dalam rangka meningkatkan usaha pertambangan rakyat yang
memperhatikan pelestarian alam dan lingkungan hidup maka perlu
adanya pembinaan, pengawasan dan bimbingan teknis yang
menunjang baik dari aspek ekonomi maupun pelestarian alam.
III - 136
Download