Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan grk

advertisement
Perhitungan
karbon untuk
perbaikan faktor
emisi dan serapan
grk
Program
Judul RPI
Koordinator RPI
Judul Kegiatan
Sub Judul Kegiatan
Pelaksana Kegiatan
: Pengelolaan Hutan Tanaman
: Penelitian Pengembangan Perhitungan
Emisi Gas Rumah Kaca
: Ir. Ari Wibowo, M. Sc
: Perhitungan Karbon untuk Perbaikan
Faktor Emisi dan Serapan GRK
: Perhitungan Karbon untuk Perbaikan
Faktor Emisi dan Serapan GRK
: Ir. R. Dody Prakosa, M. Sc
Ari Nurlia, S. Hut
Johan P Tampubolon
Abstrak
Hutan memiliki kemampuan dalam menyerap karbon dari atmosfir. Para
pihak yang telah meratifikasi konvensi perubahan iklim menyepakati bahwa
peran hutan dalam menyimpan dan mengemisi karbon merupakan salah satu
aspek yang dimungkinkan bisa diakomodir dalam perdagangan karbon. Indonesia
termasuk salah satu negara berkembang yang giat memperjuangkan mekanisme
perdagangan karbon melalui mekanisme REDD (Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation). Hal ini dilakukan setelah adanya hasil
COP-13 (Conference of Parties) di Bali. Peraturan Menteri Kehutanan No. 30,
tahun 2009, telah memberi kesempatan kepada pengelola hutan untuk
berpartisipasi dalam kegiatan REDD. Hutan di Sumatera Selatan pada umumnya
berupa hutan alam dan hutan tanaman baik yang ditanam di tanah mineral
maupun di tanah gambut. Jenis tanaman Acacia crassicarpa merupakan jenis
yang biasa ditanam pada hutan tanaman lahan gambut. Emisi maupun serapan
karbon yang terjadi dari kegiatan pengelolaan hutan tanaman di lahan gambut
masih belum banyak diketahui. Dengan demikian belum diketahui pula apakah
pengelolaan hutan tanaman pada lahan gambut tersebut lebih besar mengemisi
karbon atau menyerap karbon. Dengan demikian perlu dilakukan analisis
simpanan karbon dan emisi karbon pada pengelolaan lahan hutan tanaman di
lahan gambut. Selain itu, penelitian ini juga diperlukan untuk mengantisipasi
adanya mekanisme distribusi pendanaan dan pembayaran REDD dan voluntary
market pada tingkat kabupaten, propinsi dan negara (nasional). Masalah yang
terjadi disini adalah bagaimana caranya mengukur tingkat serapan dan emisi
karbon secara cepat dan akurat. Dengan demikian penggunaan teknik remote
sensing dan GIS serta ground check di lapangan merupakan salah satu cara yang
cepat agar pengukuran tersebut dapat dilakukan secara cepat pada lokasi yang
sangat luas. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan metode kuantifikasi
simpanan dan emisi karbon pada hutan tanaman gambut dengan jenis A.
crassicarpa. Penelitian ini akan mengukur emisi atau simpanan karbon di atas
dan di dalam permukaan tanah. Pengukuran simpanan karbon di atas permukaan
tanah akan dilakukan dengan menggunakan remote sensing dan GIS, sedangkan
karbon di dalam tanah dilakukan dengan pengeboran. Dengan mengetahui
karbon yang tersimpan, maka potensi emisi yang akan ditimbulkan sekaligus
dapat diketahui. Pengukuran karbon dilakukan dengan cara membuat plot-plot
penelitian sebagai ground check yaitu: plot 20x20m untuk mengukur karbon pada
tegakan dan karbon pada kayu mati (nekromasa) serta karbon yang hilang saat
hutan ditebang, sedangkan plot 2x2 m untuk mengukur karbon pada tumbuhan
Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 118
bawah dan serasah. Karbon dalam tanah diukur dengan menggunakan bor
gambut dengan tempat pengeboran dari gambut yang membentuk dome
(gundukan) sampai tempat yang landai dengan bantuan peta topografi (kontur).
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu metode kuantifikasi
simpanan dan emisi karbon pada hutan tanaman gambut dengan jenis A.
crassicarpa.
Kata kunci : Karbon, REDD, remote sensing, gambut, emisi, serapan
A. Latar Belakang
Perubahan iklim adalah sebuah fenomena global yang ditandai dengan
perubahan suhu udara dan distribusi hujan. Dalam keadaan iklim yang berubah
semua tempat di bumi akan mengalami peningkatan suhu udara dan perubahan
curah hujan baik dari segi jumlah maupun waktunya. Perubahan iklim tidak
terjadi secara mendadak atau seketika, tetapi merupakan proses yang berlangsung
dalam jangka yang panjang dan terjadi secara berangsur-angsur.
Pengaruh deforestasi terhadap meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di
atmosfir sudah sejak lama diketahui namun baru pada COP-12 di Montreal tahun
2005 masuk dalam agenda pembahasan di Konvensi Perubahan Iklim
(UNFCCC). Isu ini baru mendapatkan perhatian serius dari masyarakat
internasional setelah terbitnya hasil review yang dilakukan oleh Nicholas Stern
(UK) tentang Ekonomi Perubahan Iklim (Stern Review : The Economics of
Climate Change) yang mencatat bahwa deforestasi di negara berkembang
menyumbang emisi CO2 sekitar 20 % dari emisi global. Sementara karbon yang
saat ini tersimpan di ekosistem hutan (4500 Gt CO2) lebih besar dari yang
tersimpan di atmosfir (3000 Gt CO2), oleh karenanya diperlukan dukungan
internasional untuk melindungi hutan yang masih ada.
Dalam transaksi ini pada tahun 2006, Badan Internasional untuk
Perubahan Iklim (IPCC) memberikan pedoman untuk perhitungan serapan dan
potensi emisi karbon pada suatu bentang lahan, yaitu dengan menghitung
simpanan karbon di atas permukan tanah dan di bawah permukaan tanah pada
lahan AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Uses).
Sektor Kehutanan yang dalam konteks perubahan iklim termasuk kedalam
sektor LULUCF (land use, land use change and forestry) atau forestry adalah salah
satu sektor penting yang harus dimasukkan dalam kegiatan inventarisasi gas rumah
kaca (GRK). Kehutanan memainkan peranan penting dalam siklus karbon. Di tingkat
global, kontribusi sektor LULUCF sebesar 18 %, sedangkan di tingkat nasional
mencapai 74 % (Stern (2007). Indonesia penting untuk menerapkan metode
inventarisasi gas rumah kaca dengan hasil inventarisasi yang lebih akurat dan
terpercaya sehingga diakui oleh internasional. Hasil perhitungan emisi GRK
kehutanan yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (measurable, reportable and
verifiable), perlu untuk pengembangan kegiatan perdagangan karbon di Indonesia
baik melalui mekanisme pasar sukarela atau wajib (compliance) termasuk mekanisme
REDD. Kajian mengenai kondisi terkini metode perhitungan emisi perlu dilakukan
sebagai informasi guna mengembangkan sistem perhitungan GRK di Indonesia.
Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 119
Tingkat kerincian (Tier) yang lebih tinggi (Tier 2 atau 3) untuk activiy data dan
emission factor diperlukan guna memperoleh hasil perhitungan emisi yang akurat.
Untuk kepentingan inventarisasi gas rumah kaca, berbagai metode inventarisasi telah
dikembangkan. Diantaranya IPCC (International Panel on Climate Change) telah
mengembangkan metode yang telah diaplikasikan secara luas oleh negara-negara
yang meratifikasi UNFCCC. Aplikasi metode IPCC Guideline memerlukan data dan
informasi yang lebih komprehensif mencakup tidak hanya sektor kehutanan tapi juga
sektor pertanian.
Hutan alam dan hutan tanaman khususnya di lahan gambut juga menyimpan
karbon dalam jumlah yang cukup besar, bahkan diduga lebih besar dari hutan di lahan
kering. Hutan gambut mempunyai karakter yang khusus dimana dekomposisi bahan
organik berjalan sangat lambat karena bahan organik tersebut terendam air (anaerob),
sehingga tertumpuk dalam bentuk gambut. Besarnya bahan organik yang tersimpan
tergantung dari kedalaman tanah gambut itu sendiri. Pada musim kering (kemarau)
permukaan air gambut akan turun sehingga gambut sangat mudah terbakar dan sangat
sulit dipadamkan. Terbakarnya gambut akan mengemisi karbon (CO2) ke udara dalam
jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan hutan lahan kering. Hal ini yang menjadi
alasan mengapa lahan gambut perlu dilindungi dan dijaga agar tidak terbakar. Dengan
demikian pengusahaan hutan tanaman di lahan gambut perlu dipertimbangkan tidak
hanya dari segi penyerapan karbon (carbon sequestration), tetapi juga dari segi emisi
karbon dan usaha perlindungan terhadap kebakaran gambut yang mengandung lebih
besar karbon yang akan teremisi apabila gambut terbakar. Tanpa adanya pengelolaan
hutan tanaman di lahan gambut, tanah gambut mempunyai potensi yang lebih besar
untuk terbakar. Dengan demikian diperlukan teknik untuk mengukur emisi dan
serapan serta stok karbon yang tersimpan pada lahan gambut yang diusahakan
menjadi hutan tanaman, baik yang tersimpan di atas permukaan tanah dan di bawah
permukaan tanah, termasuk tanah gambut itu sendiri.
Penelitian tentang pengukuran jumlah stok karbon yang terkandung pada
hutan tanaman Acacia crassicarpa di lahan gambut sudah pernah dilakukan, tetapi
hanya pada vegetasi pohon dan akar dengan menggunakan plot-plot kecil yang masih
perlu diperbaiki apabila untuk menghitung pada bentang lahan (landscape) yang
cukup luas, misalnya penghitungan pada areal konsesi HTI tertentu yang cukup luas.
Untuk biomassa atau karbon pada seresah, kayu atau batang yang mati (nekromasa)
dan tanah gambutnya sendiri masih belum banyak dilakukan. Selain itu penelitian
kedalaman gambut juga sudah dilakukan dengan cara pengeboran untuk mengetahui
kedalaman gambut di bidang pertanian, namun penghitungan dalam skala landscape
di bidang kehutanan dengan menggunakan teknologi remote sensing juga belum
banyak dilakukan. Dari aksioma tersebut, masih terdapat beberapa masalah yang
perlu dijawab dan diselesaikan, misalnya: belum ditemukan cara menghitung
biomassa atau karbon yang hilang akibat penebangan dan terjadinya kebakaran lahan
atau hutan gambut.
Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 120
B. Tujuan dan Sasaran
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendapatkan metode kuantifikasi simpanan dan emisi karbon pada hutan
tanaman gambut dengan jenis A. crassicarpa.. Sasaran penelitian tahun 2011
adalah:
1. Tersedianya teknik kuantifikasi simpanan karbon di atas permukaan tanah
dengan teknik remote sensing.
2. Tersedianya informasi simpanan karbon di bawah permukaan tanah (tanah
gambut).
Penelitian ini berusaha menjawab masalah yang sangat penting ini secara
sistematis, dengan menghitung simpanan dan emisi karbon pada beberapa
komponen yang mengandung karbon. Tentunya masing-masing komponen
mempunyai karakter yang berbeda-beda, oleh karena itu perlu dikelompokkan
untuk mempermudah didalam penghitungannya.
C. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
PT. SBA Wood Industries adalah perusahaan hutan tanaman industri (HTI)
yang mempunyai beberapa perusahaan, sehingga disebut SBA Group dan dibawah
manajemen Sinar Mas Group. Perusahaan ini berdiri berdasarkan SK IUPHHK
hutan tanaman nomor 125/Kpts-II/98, tanggal 18 Pebruari 1998 dengan luas areal
40.000 ha. Namun pada tahun 2004 di adendum sehingga luas areal menjadi
142,355 ha. Secara geografis PT. SBA terletak pada 105o34’ – 105o56’ (BT) dan
02o48’ – 03o21’ (LS).
2. Metode
A. Cara Pengambilan dan Pengolahan Data
Sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dicapai, maka pengambilan dan
pengolahan data dibagi menjadi:
1. Menentukan metode kuantifikasi simpanan karbon di atas permukaan tanah
dengan teknik remote sensing
2. Mengetahui simpanan karbon di bawah permukaan tanah (tanah gambut).
B. Pengolahan dan Analisis Data
1. Kuantifikasi simpanan karbon di atas permukaan tanah dengan teknik
remote sensing
Pada tahap ini dilakukan pengolahan dan analisis untuk menentukan dan menguji
persamaan (equation) yang telah ditentukan sebelumnya. Pengolahan data
dilakukan untuk mendapatkan hasil uji dari persamaan yang telah diperoleh
sebelumnya. Untuk mendapatkan hasil uji tersebut, maka setelah diperoleh data
dari lapangan dilakukan pengolahan dan analisis seperti berikut:
1. Penyusunan peta sebaran umur tegakan (peta HTI)
2. Pembuatan Sub image citra yang telah terkoreksi.
Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 121
3. Mengolah data survei lapangan dan menghitung volume tegakan sampel
petak, berdasarkan persamaan (equation) yang sudah ditentukan sebelumnya.
4. Melakukan penghitungan volume tegakan per petak (compartment)
berdasarkan hasil inventarisasi di lapangan, yaitu dengan menggunakan petak
ukur bentuk bujur sangkar seluas 0,04 ha atau sesuai dengan resolusi citra
yang digunakan.
5. Membuat persamaan regresi (linier atau eksponensial) antara volume
pengukuran di lapangan dan nilai pixel hasil transformasi citra satelit, untuk
mengetahui nilai R2 dari persamaan regresi tersebut. Selanjutnya regresi
dengan nilai R2 tertinggi dan di atas 80% yang akan direkomendasikan untuk
dipakai.
6. Menghitung kandungan karbon total untuk seluruh komponen.
Untuk menghitung kandungan karbon keseluruhan digunakan rumus Berat
(berat kering) Biomassa Total (Total Weight) (WT) = WP + WA + WTB +
WS +WG, dimana WT = berat biomassa total, WS = Berat biomassa pohon,
WA = berat biomassa akar, WTB = berat biomassa tumbuhan bawah WS dan
WG= berat biomassa tanah gambut.
1. Mengetahui simpanan karbon di bawah permukaan tanah (tanah
gambut).
- Metode Remote sensing dan GIS digunakan untuk menentukan luas areal
gambut dan penentuan lokasi sampel, tetapi untuk kedalaman gambut
digunakan sampel titik-titik kedalaman gambut (Gambar 2). Titik sampel
ditentukan berdasarkan peta topografi (kontur), dimana setiap garis kontur
diwakili oleh dua atau tiga titik sampel. Volume gambut ditentukan
berdasar luas dan ketinggian tanah gambut.
- Parameter lain yang digunakan adalah Bobot isi (bulk density, BD) dan
kandungan karbon pada setiap jenis tanah gambut.
- Persamaan untuk menghitung kandungan karbon (Murdiyarso, et al., 2004)
yaitu:
Kandungan Karbon (KC) = B x A x D x C, dimana:
KC = kandungan karbon (ton)
B = bobot isi (BD) tanah gambut dalam g/cc atau ton/m3.
A = luas tanah gambut (m2).
D = ketebalan gambut (m) dan
C = kadar karbon (%)
Untuk menentukan nilai BD (bobot isi) tanah gambut, maka BD tidak hanya
ditentukan pada permukaan tanah, tetapi pada setiap perbedaan kematangan
gambutnya. Perbedaan kematangan gambut akan mempengaruhi bobot isi tanah
gambut. Kadar karbon tanah gambut ditentukan dengan metode karbonasi, dengan
sampel yang sesuai kematangan gambut (fibrik, hemik dan saprik).
Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 122
D. Hasil Yang Telah Dicapai
Setelah dilakukan survei dan pengukuran, maka diperoleh data hasil
pengukuran lapangan yaitu:
1.
Hasil persamaan estimasi biomassa atau karbon tegakan jenis A.
crassicarpa dengan metode remote sensing dan GIS
Setelah mengumpulkan data hasil inventarisasi (cruising) di PT. SBA, maka
setelah di buat pwersamaan regresi dengan data citra hasil transformasi, maka
diperoleh data persamaan pada masing-masing formula transformasi citra.
Gambar 3, 4 dan 5, menunjukkan bahwa transformasi citra PCA+filter Average
3x3 mempunyai hubungan yang kuat dengan volume tegakan di lapangan.
Sebesar 83 % dapat diterangkan oleh persamaan, sedangkan sisanya dipengaruhi
oleh faktor lainnya.
Gambar 3. Grafik regresi hubungan antara nilai pixel hasil tranformasi citra
dengan hasil pengukuran volume tegakan A. crassicarpa di
lapangan.
Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 123
Gambar 4. Hubungan regresi antara hasil transformasi citra dengan PCA (PC1)
dan volume tegakan di lapangan.
Gambar 3. Citra hasil transformasi PC1 dan filter Avg 3x3 pada tegakan A.
crassicarpa.
Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 124
2.
Hasil pengukuran simpanan biomassa dan karbon pada tumbuhan
bawah dan serasah
Tumbuhan bawah dan serasah diukur pada plot seluas 2m x 2m yang
terletak di dalam plot besar ukuran 20m x 20m. Hasil pengukuran biomassa
tumbuhan bawah dapat dilihat pada Gambar 4. Seluruh tumbuhan bawah dan
serasah yang masuk di dalam plot 2m x 2m, diambil sampai bersih dan ditimbang
dengan timbangan digital dengan tingkat ketelitian sampai 1 gram. Oleh karena
hasil analisis laboratorium belum selesai seluruhnya, maka hasilnya baru berupa
berat biomassa dalam keadaan basah. Namun demikian sudah dapat diketahui
berat biomassa basah pada masing-masing kelas umur. Dengan demikian dapat
diketahui jumlah biomassa tumbuhan bawah dan serasah pada masing-masing
kelas umur. Pola simpanan biomassa tumbuhan bawah dan serasah pada jenis A.
crassicarpa dari masing-masih kelas umur dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 menunjukkan bahwa simpanan rata-rata berat biomassa tumbuhan
bawah pada hutan tanaman A. crassicarpa dari yang terbesar yaitu berturut-turut:
umur 3 tahun, 2 tahun dan 5 tahun. Pada umur 4 tahun tumbuhan bawah menurun,
tetapi pada umur 5 tahun mulai meningkat lagi jumlahnya, karena pohon-pohon
sudah mulai roboh dan tumbuhan bawah mulai tumbuh banyak.
3. Hasil pengukuran simpanan biomassa dan karbon pada pohon mati dan
kayu mati
Selanjutnya untuk hasil pengukuran berat basah biomassa serasah ternyata
lebih sedikit beratnya dibandingkan dengan tumbuhan bawahnya. Namun
demikian simpanan serasah terbesar terjadi pada umur 3 tahun dan diikuti umur 5
tahun.
Biomassa pohon mati diukur pada plot ukuran 20m x 20m, hasil
pengukuran berat basah biomassa pohon mati disajikan pada Gambar 5. Simpanan
biomassa pohon mati terbesar terdapat pada tanaman umur 5 tahun. Jika
dicermati, pada Gambar 5 menunjukkan bahwa semakin tua umur tegakan, maka
biomassa pohon mati semakin banyak. Hal ini terbukti bahwa dari mulai umur 1
tahun jumlah kematian pohon terus meningkat, sehingga jumlah biomassa pohon
mati semakin besar dengan bertambahnya umur tanaman.
Pada pengukuran biomassa kayu mati, ternyata pada tanaman umur 5
tahun paling banyak terdapat kayu mati, karena pohon banyak mati dan roboh.
Pada umur tanaman 1 tahun juga banyak terdapat kayu mati sisa tebangan tahun
sebelumnya (Gambar 6). Tidak semua plot terdapat kayu mati, beberapa plot
ternyata ada yang tidak terdapat kayu mati. Volume kayu mati ditentukan
berdasarkan diameter dan panjang kayu mati. Lain halnya dengan volume pohon
mati, karena masih utuh maka volume dihitung seperti pohon yaitu hanya
mengukur diameternya saja dan volume dihitung dengan rumus V= 0,000224
D2,27 (Sumadi, 2006). Kemudian berat biomassanya ditentukan dengan formula
WPOHON =WT-WR, dimana WPOHON = berat kering biomassa pohon (kg), WT=
Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 125
Berat kering biomassa Total (kg) dan WR=berat kering biomassa akar (kg),
Aridiono (2009).
Pada pengukuran tumbuhan bawah, serasah, pohon mati dan kayu mati,
jika dilihat dari rata-ratanya, maka akan diketahui kecenderungan (trend) dari
umur 1 tahun sampai dengan umur 5 tahun . Rata-rata berat tumbuhan bawah dan
serasah (Gambar 4) mempunyai trend yang hampir sama, di mana umur 3 tahun
adalah umur dimana berat biomassa tumbuhan bawah dan sersahnya paling besar
dibandingkan dengan kelas umur yang lain.
Berat TB (kg/ha)
25000
SR (kg/ha)
20000
15000
10000
5000
0
1
2
3
4
5
Gambar 4. Berat tumbuhan bawah (TB) dan serasah (SR) pada tegakan Acacia
crassicarpa mulai umur 1 sampai 5 tahun.
Selain tumbuhan bawah dan serasah didapatkan juga rata-rata berat
biomassa pohon mati
per hektar seperti pada Gambar 5.
800
Berat pohon mati
(kg/ha)
600
400
200
0
1
2
3
4
5
Gambar 5. Berat pohon mati pada tegakan A. crassicarpa pada umur 1-5 tahun.
Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 126
Gambar 5 menunjukkan bahwa pohon mati terbanyak terjadi pada tanaman umur
3 tahun, setelah itu diikuti umur 5 th dan 4 tahun. Dengan demikian pohon mati
dimulai pada umur 3 tahun dan kemudian menurun pada umur 4 dan 5 tahun,
tetapi kematian pohon akan terus terjadi bila tidak segera dipanen.
Lain halnya dengan kayu mati, agak berbeda dengan pohon mati. Volume
kayu mati terbesar terjadi pada umur 5 tahun dan kemudian diikuti umur 1 tahun.
Pada umur 1 tahun banyak kayu mati yang berasal dari sisa tebangan tahun
sebelumnya. Dengan demikian kebanyakan kayu mati terdapat pada tanaman
umur 1 dan 5 tahun (Gambar 6).
12
Rata2 Vol ky. Mati (m3/ha)
10
8
6
4
2
0
1
2
3
4
5
Gambar 6. Rata-rata volume kayu mati pada tanaman Acacia crassicarpa di lahan
gambut.
4. Hasil pengukuran simpanan biomassa dan karbon pada tanah gambut.
Hasil pengukuran biomassa tanah gambut dilakukan dengan pengeboran
tanah pada titik-titik sampel yang telah ditentukan sebelumnya dengan berdasar
pada peta topografi (kontur). Metode ini mengikuti bentuk gambut yang
membentuk dome.
Dari titik sampel di atas dilakukan pengeboran dengan bor khusus gambut (bor
Eijelkamp). Besarnya mata bor gambut adalah setengah lingkaran dengan
diameter 5 cm (luas= 0,00785 m2 atau 78,5 cm2). Pada saat pengeboran dilakukan
pencatatan posisi koordinat, kode titik, ketinggian tempat, tinggi permukaan air
tanah dan kedalaman gambut. Hasil pengeboran dan pengukuran di lapangan
dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 menunjukkan bahwa kedalaman gambut
paling dalam adalah antara 3-3,5 m. Rata-rata kedalaman gambut yang diambil
sebanyak 33 titik adalah 170 cm (1,7 m).
Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 127
350
300
250
Rata-rata
kedalaman
170 cm
gambut
200
150
100
Variasi
kedalaman
gambut
50
0
1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35
Titik ke
Gambar 7. Variasi kedalaman gambut (cm) di distrik Jelutung.
Dari Gambar 7 di atas diketahui bahwa rata-rata kedalaman gambut di distrik
jelutung adalah 170 cm. Dengan mengalikan luas areal, maka akan ditemukan
volume tanah gambut di distrik yang bersangkutan. Menurut peta luas distrik
jelutung adalah 28.969, 83 ha. Dengan demikian estimasi volume tanah gambut
di distrik jelutung sebesar 492.497.110 m3.
E. Kesimpulan sementara dan Rekomendasi
1. Metode transformasi citra terbaik untuk mengestimasi kandungan biomassa
(karbon) pada HTI jenis A. crassicarpa adalah dengan menggunakan metode
transformasi citra yaitu Principle Component Analysis (PCA).
2. Hasil Persamaan (equation) antara biomassa (karbon) tegakan pada hutan
tanaman jenis Acacia crassicarpa dan nilai pixel citra adalah:
(-0,006429 PC1)
Y = 5478,59 PC1
, dg r² = 0.83.
dimana Y = nilai simpanan biomassa (Karbon) dan
PC1 = nilai pixel pada citra yang telah diproses dg metode PCA.
3. Biomassa tumbuhan bawah dan serasah terbanyak terdapat pada tanaman
umur 2 dan 3 tahun
4. Biomassa pohon mati paling banyak terjadi pada tanaman umur 3 tahun,
sedangkan untuk kayu mati terjadi pada umur 5 tahun dan 1 tahun.
5. Rata-rata kedalaman gambut di distrik jelutung adalah 170 cm. Pada peta, luas
distrik jelutung adalah 28.969, 83 ha, dengan demikian estimasi volume tanah
gambut di distrik jelutung sebesar 492.497.110 m3.
Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 128
Foto Kegiatan :
Pengambilan sampel tumbuhan bawah dan serasah, penimbangan serta pencatatan
data.
Pengukuran kayu mati dan pohon mati
Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 129
Download