Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan grk Program Judul RPI Koordinator RPI Judul Kegiatan Sub Judul Kegiatan Pelaksana Kegiatan : Pengelolaan Hutan Tanaman : Penelitian Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca : Ir. Ari Wibowo, M. Sc : Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK : Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK : Ir. R. Dody Prakosa, M. Sc Ari Nurlia, S. Hut Johan P Tampubolon Abstrak Hutan memiliki kemampuan dalam menyerap karbon dari atmosfir. Para pihak yang telah meratifikasi konvensi perubahan iklim menyepakati bahwa peran hutan dalam menyimpan dan mengemisi karbon merupakan salah satu aspek yang dimungkinkan bisa diakomodir dalam perdagangan karbon. Indonesia termasuk salah satu negara berkembang yang giat memperjuangkan mekanisme perdagangan karbon melalui mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Hal ini dilakukan setelah adanya hasil COP-13 (Conference of Parties) di Bali. Peraturan Menteri Kehutanan No. 30, tahun 2009, telah memberi kesempatan kepada pengelola hutan untuk berpartisipasi dalam kegiatan REDD. Hutan di Sumatera Selatan pada umumnya berupa hutan alam dan hutan tanaman baik yang ditanam di tanah mineral maupun di tanah gambut. Jenis tanaman Acacia crassicarpa merupakan jenis yang biasa ditanam pada hutan tanaman lahan gambut. Emisi maupun serapan karbon yang terjadi dari kegiatan pengelolaan hutan tanaman di lahan gambut masih belum banyak diketahui. Dengan demikian belum diketahui pula apakah pengelolaan hutan tanaman pada lahan gambut tersebut lebih besar mengemisi karbon atau menyerap karbon. Dengan demikian perlu dilakukan analisis simpanan karbon dan emisi karbon pada pengelolaan lahan hutan tanaman di lahan gambut. Selain itu, penelitian ini juga diperlukan untuk mengantisipasi adanya mekanisme distribusi pendanaan dan pembayaran REDD dan voluntary market pada tingkat kabupaten, propinsi dan negara (nasional). Masalah yang terjadi disini adalah bagaimana caranya mengukur tingkat serapan dan emisi karbon secara cepat dan akurat. Dengan demikian penggunaan teknik remote sensing dan GIS serta ground check di lapangan merupakan salah satu cara yang cepat agar pengukuran tersebut dapat dilakukan secara cepat pada lokasi yang sangat luas. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan metode kuantifikasi simpanan dan emisi karbon pada hutan tanaman gambut dengan jenis A. crassicarpa. Penelitian ini akan mengukur emisi atau simpanan karbon di atas dan di dalam permukaan tanah. Pengukuran simpanan karbon di atas permukaan tanah akan dilakukan dengan menggunakan remote sensing dan GIS, sedangkan karbon di dalam tanah dilakukan dengan pengeboran. Dengan mengetahui karbon yang tersimpan, maka potensi emisi yang akan ditimbulkan sekaligus dapat diketahui. Pengukuran karbon dilakukan dengan cara membuat plot-plot penelitian sebagai ground check yaitu: plot 20x20m untuk mengukur karbon pada tegakan dan karbon pada kayu mati (nekromasa) serta karbon yang hilang saat hutan ditebang, sedangkan plot 2x2 m untuk mengukur karbon pada tumbuhan Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 118 bawah dan serasah. Karbon dalam tanah diukur dengan menggunakan bor gambut dengan tempat pengeboran dari gambut yang membentuk dome (gundukan) sampai tempat yang landai dengan bantuan peta topografi (kontur). Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu metode kuantifikasi simpanan dan emisi karbon pada hutan tanaman gambut dengan jenis A. crassicarpa. Kata kunci : Karbon, REDD, remote sensing, gambut, emisi, serapan A. Latar Belakang Perubahan iklim adalah sebuah fenomena global yang ditandai dengan perubahan suhu udara dan distribusi hujan. Dalam keadaan iklim yang berubah semua tempat di bumi akan mengalami peningkatan suhu udara dan perubahan curah hujan baik dari segi jumlah maupun waktunya. Perubahan iklim tidak terjadi secara mendadak atau seketika, tetapi merupakan proses yang berlangsung dalam jangka yang panjang dan terjadi secara berangsur-angsur. Pengaruh deforestasi terhadap meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfir sudah sejak lama diketahui namun baru pada COP-12 di Montreal tahun 2005 masuk dalam agenda pembahasan di Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC). Isu ini baru mendapatkan perhatian serius dari masyarakat internasional setelah terbitnya hasil review yang dilakukan oleh Nicholas Stern (UK) tentang Ekonomi Perubahan Iklim (Stern Review : The Economics of Climate Change) yang mencatat bahwa deforestasi di negara berkembang menyumbang emisi CO2 sekitar 20 % dari emisi global. Sementara karbon yang saat ini tersimpan di ekosistem hutan (4500 Gt CO2) lebih besar dari yang tersimpan di atmosfir (3000 Gt CO2), oleh karenanya diperlukan dukungan internasional untuk melindungi hutan yang masih ada. Dalam transaksi ini pada tahun 2006, Badan Internasional untuk Perubahan Iklim (IPCC) memberikan pedoman untuk perhitungan serapan dan potensi emisi karbon pada suatu bentang lahan, yaitu dengan menghitung simpanan karbon di atas permukan tanah dan di bawah permukaan tanah pada lahan AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Uses). Sektor Kehutanan yang dalam konteks perubahan iklim termasuk kedalam sektor LULUCF (land use, land use change and forestry) atau forestry adalah salah satu sektor penting yang harus dimasukkan dalam kegiatan inventarisasi gas rumah kaca (GRK). Kehutanan memainkan peranan penting dalam siklus karbon. Di tingkat global, kontribusi sektor LULUCF sebesar 18 %, sedangkan di tingkat nasional mencapai 74 % (Stern (2007). Indonesia penting untuk menerapkan metode inventarisasi gas rumah kaca dengan hasil inventarisasi yang lebih akurat dan terpercaya sehingga diakui oleh internasional. Hasil perhitungan emisi GRK kehutanan yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (measurable, reportable and verifiable), perlu untuk pengembangan kegiatan perdagangan karbon di Indonesia baik melalui mekanisme pasar sukarela atau wajib (compliance) termasuk mekanisme REDD. Kajian mengenai kondisi terkini metode perhitungan emisi perlu dilakukan sebagai informasi guna mengembangkan sistem perhitungan GRK di Indonesia. Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 119 Tingkat kerincian (Tier) yang lebih tinggi (Tier 2 atau 3) untuk activiy data dan emission factor diperlukan guna memperoleh hasil perhitungan emisi yang akurat. Untuk kepentingan inventarisasi gas rumah kaca, berbagai metode inventarisasi telah dikembangkan. Diantaranya IPCC (International Panel on Climate Change) telah mengembangkan metode yang telah diaplikasikan secara luas oleh negara-negara yang meratifikasi UNFCCC. Aplikasi metode IPCC Guideline memerlukan data dan informasi yang lebih komprehensif mencakup tidak hanya sektor kehutanan tapi juga sektor pertanian. Hutan alam dan hutan tanaman khususnya di lahan gambut juga menyimpan karbon dalam jumlah yang cukup besar, bahkan diduga lebih besar dari hutan di lahan kering. Hutan gambut mempunyai karakter yang khusus dimana dekomposisi bahan organik berjalan sangat lambat karena bahan organik tersebut terendam air (anaerob), sehingga tertumpuk dalam bentuk gambut. Besarnya bahan organik yang tersimpan tergantung dari kedalaman tanah gambut itu sendiri. Pada musim kering (kemarau) permukaan air gambut akan turun sehingga gambut sangat mudah terbakar dan sangat sulit dipadamkan. Terbakarnya gambut akan mengemisi karbon (CO2) ke udara dalam jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan hutan lahan kering. Hal ini yang menjadi alasan mengapa lahan gambut perlu dilindungi dan dijaga agar tidak terbakar. Dengan demikian pengusahaan hutan tanaman di lahan gambut perlu dipertimbangkan tidak hanya dari segi penyerapan karbon (carbon sequestration), tetapi juga dari segi emisi karbon dan usaha perlindungan terhadap kebakaran gambut yang mengandung lebih besar karbon yang akan teremisi apabila gambut terbakar. Tanpa adanya pengelolaan hutan tanaman di lahan gambut, tanah gambut mempunyai potensi yang lebih besar untuk terbakar. Dengan demikian diperlukan teknik untuk mengukur emisi dan serapan serta stok karbon yang tersimpan pada lahan gambut yang diusahakan menjadi hutan tanaman, baik yang tersimpan di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah, termasuk tanah gambut itu sendiri. Penelitian tentang pengukuran jumlah stok karbon yang terkandung pada hutan tanaman Acacia crassicarpa di lahan gambut sudah pernah dilakukan, tetapi hanya pada vegetasi pohon dan akar dengan menggunakan plot-plot kecil yang masih perlu diperbaiki apabila untuk menghitung pada bentang lahan (landscape) yang cukup luas, misalnya penghitungan pada areal konsesi HTI tertentu yang cukup luas. Untuk biomassa atau karbon pada seresah, kayu atau batang yang mati (nekromasa) dan tanah gambutnya sendiri masih belum banyak dilakukan. Selain itu penelitian kedalaman gambut juga sudah dilakukan dengan cara pengeboran untuk mengetahui kedalaman gambut di bidang pertanian, namun penghitungan dalam skala landscape di bidang kehutanan dengan menggunakan teknologi remote sensing juga belum banyak dilakukan. Dari aksioma tersebut, masih terdapat beberapa masalah yang perlu dijawab dan diselesaikan, misalnya: belum ditemukan cara menghitung biomassa atau karbon yang hilang akibat penebangan dan terjadinya kebakaran lahan atau hutan gambut. Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 120 B. Tujuan dan Sasaran Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode kuantifikasi simpanan dan emisi karbon pada hutan tanaman gambut dengan jenis A. crassicarpa.. Sasaran penelitian tahun 2011 adalah: 1. Tersedianya teknik kuantifikasi simpanan karbon di atas permukaan tanah dengan teknik remote sensing. 2. Tersedianya informasi simpanan karbon di bawah permukaan tanah (tanah gambut). Penelitian ini berusaha menjawab masalah yang sangat penting ini secara sistematis, dengan menghitung simpanan dan emisi karbon pada beberapa komponen yang mengandung karbon. Tentunya masing-masing komponen mempunyai karakter yang berbeda-beda, oleh karena itu perlu dikelompokkan untuk mempermudah didalam penghitungannya. C. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian PT. SBA Wood Industries adalah perusahaan hutan tanaman industri (HTI) yang mempunyai beberapa perusahaan, sehingga disebut SBA Group dan dibawah manajemen Sinar Mas Group. Perusahaan ini berdiri berdasarkan SK IUPHHK hutan tanaman nomor 125/Kpts-II/98, tanggal 18 Pebruari 1998 dengan luas areal 40.000 ha. Namun pada tahun 2004 di adendum sehingga luas areal menjadi 142,355 ha. Secara geografis PT. SBA terletak pada 105o34’ – 105o56’ (BT) dan 02o48’ – 03o21’ (LS). 2. Metode A. Cara Pengambilan dan Pengolahan Data Sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dicapai, maka pengambilan dan pengolahan data dibagi menjadi: 1. Menentukan metode kuantifikasi simpanan karbon di atas permukaan tanah dengan teknik remote sensing 2. Mengetahui simpanan karbon di bawah permukaan tanah (tanah gambut). B. Pengolahan dan Analisis Data 1. Kuantifikasi simpanan karbon di atas permukaan tanah dengan teknik remote sensing Pada tahap ini dilakukan pengolahan dan analisis untuk menentukan dan menguji persamaan (equation) yang telah ditentukan sebelumnya. Pengolahan data dilakukan untuk mendapatkan hasil uji dari persamaan yang telah diperoleh sebelumnya. Untuk mendapatkan hasil uji tersebut, maka setelah diperoleh data dari lapangan dilakukan pengolahan dan analisis seperti berikut: 1. Penyusunan peta sebaran umur tegakan (peta HTI) 2. Pembuatan Sub image citra yang telah terkoreksi. Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 121 3. Mengolah data survei lapangan dan menghitung volume tegakan sampel petak, berdasarkan persamaan (equation) yang sudah ditentukan sebelumnya. 4. Melakukan penghitungan volume tegakan per petak (compartment) berdasarkan hasil inventarisasi di lapangan, yaitu dengan menggunakan petak ukur bentuk bujur sangkar seluas 0,04 ha atau sesuai dengan resolusi citra yang digunakan. 5. Membuat persamaan regresi (linier atau eksponensial) antara volume pengukuran di lapangan dan nilai pixel hasil transformasi citra satelit, untuk mengetahui nilai R2 dari persamaan regresi tersebut. Selanjutnya regresi dengan nilai R2 tertinggi dan di atas 80% yang akan direkomendasikan untuk dipakai. 6. Menghitung kandungan karbon total untuk seluruh komponen. Untuk menghitung kandungan karbon keseluruhan digunakan rumus Berat (berat kering) Biomassa Total (Total Weight) (WT) = WP + WA + WTB + WS +WG, dimana WT = berat biomassa total, WS = Berat biomassa pohon, WA = berat biomassa akar, WTB = berat biomassa tumbuhan bawah WS dan WG= berat biomassa tanah gambut. 1. Mengetahui simpanan karbon di bawah permukaan tanah (tanah gambut). - Metode Remote sensing dan GIS digunakan untuk menentukan luas areal gambut dan penentuan lokasi sampel, tetapi untuk kedalaman gambut digunakan sampel titik-titik kedalaman gambut (Gambar 2). Titik sampel ditentukan berdasarkan peta topografi (kontur), dimana setiap garis kontur diwakili oleh dua atau tiga titik sampel. Volume gambut ditentukan berdasar luas dan ketinggian tanah gambut. - Parameter lain yang digunakan adalah Bobot isi (bulk density, BD) dan kandungan karbon pada setiap jenis tanah gambut. - Persamaan untuk menghitung kandungan karbon (Murdiyarso, et al., 2004) yaitu: Kandungan Karbon (KC) = B x A x D x C, dimana: KC = kandungan karbon (ton) B = bobot isi (BD) tanah gambut dalam g/cc atau ton/m3. A = luas tanah gambut (m2). D = ketebalan gambut (m) dan C = kadar karbon (%) Untuk menentukan nilai BD (bobot isi) tanah gambut, maka BD tidak hanya ditentukan pada permukaan tanah, tetapi pada setiap perbedaan kematangan gambutnya. Perbedaan kematangan gambut akan mempengaruhi bobot isi tanah gambut. Kadar karbon tanah gambut ditentukan dengan metode karbonasi, dengan sampel yang sesuai kematangan gambut (fibrik, hemik dan saprik). Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 122 D. Hasil Yang Telah Dicapai Setelah dilakukan survei dan pengukuran, maka diperoleh data hasil pengukuran lapangan yaitu: 1. Hasil persamaan estimasi biomassa atau karbon tegakan jenis A. crassicarpa dengan metode remote sensing dan GIS Setelah mengumpulkan data hasil inventarisasi (cruising) di PT. SBA, maka setelah di buat pwersamaan regresi dengan data citra hasil transformasi, maka diperoleh data persamaan pada masing-masing formula transformasi citra. Gambar 3, 4 dan 5, menunjukkan bahwa transformasi citra PCA+filter Average 3x3 mempunyai hubungan yang kuat dengan volume tegakan di lapangan. Sebesar 83 % dapat diterangkan oleh persamaan, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lainnya. Gambar 3. Grafik regresi hubungan antara nilai pixel hasil tranformasi citra dengan hasil pengukuran volume tegakan A. crassicarpa di lapangan. Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 123 Gambar 4. Hubungan regresi antara hasil transformasi citra dengan PCA (PC1) dan volume tegakan di lapangan. Gambar 3. Citra hasil transformasi PC1 dan filter Avg 3x3 pada tegakan A. crassicarpa. Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 124 2. Hasil pengukuran simpanan biomassa dan karbon pada tumbuhan bawah dan serasah Tumbuhan bawah dan serasah diukur pada plot seluas 2m x 2m yang terletak di dalam plot besar ukuran 20m x 20m. Hasil pengukuran biomassa tumbuhan bawah dapat dilihat pada Gambar 4. Seluruh tumbuhan bawah dan serasah yang masuk di dalam plot 2m x 2m, diambil sampai bersih dan ditimbang dengan timbangan digital dengan tingkat ketelitian sampai 1 gram. Oleh karena hasil analisis laboratorium belum selesai seluruhnya, maka hasilnya baru berupa berat biomassa dalam keadaan basah. Namun demikian sudah dapat diketahui berat biomassa basah pada masing-masing kelas umur. Dengan demikian dapat diketahui jumlah biomassa tumbuhan bawah dan serasah pada masing-masing kelas umur. Pola simpanan biomassa tumbuhan bawah dan serasah pada jenis A. crassicarpa dari masing-masih kelas umur dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 menunjukkan bahwa simpanan rata-rata berat biomassa tumbuhan bawah pada hutan tanaman A. crassicarpa dari yang terbesar yaitu berturut-turut: umur 3 tahun, 2 tahun dan 5 tahun. Pada umur 4 tahun tumbuhan bawah menurun, tetapi pada umur 5 tahun mulai meningkat lagi jumlahnya, karena pohon-pohon sudah mulai roboh dan tumbuhan bawah mulai tumbuh banyak. 3. Hasil pengukuran simpanan biomassa dan karbon pada pohon mati dan kayu mati Selanjutnya untuk hasil pengukuran berat basah biomassa serasah ternyata lebih sedikit beratnya dibandingkan dengan tumbuhan bawahnya. Namun demikian simpanan serasah terbesar terjadi pada umur 3 tahun dan diikuti umur 5 tahun. Biomassa pohon mati diukur pada plot ukuran 20m x 20m, hasil pengukuran berat basah biomassa pohon mati disajikan pada Gambar 5. Simpanan biomassa pohon mati terbesar terdapat pada tanaman umur 5 tahun. Jika dicermati, pada Gambar 5 menunjukkan bahwa semakin tua umur tegakan, maka biomassa pohon mati semakin banyak. Hal ini terbukti bahwa dari mulai umur 1 tahun jumlah kematian pohon terus meningkat, sehingga jumlah biomassa pohon mati semakin besar dengan bertambahnya umur tanaman. Pada pengukuran biomassa kayu mati, ternyata pada tanaman umur 5 tahun paling banyak terdapat kayu mati, karena pohon banyak mati dan roboh. Pada umur tanaman 1 tahun juga banyak terdapat kayu mati sisa tebangan tahun sebelumnya (Gambar 6). Tidak semua plot terdapat kayu mati, beberapa plot ternyata ada yang tidak terdapat kayu mati. Volume kayu mati ditentukan berdasarkan diameter dan panjang kayu mati. Lain halnya dengan volume pohon mati, karena masih utuh maka volume dihitung seperti pohon yaitu hanya mengukur diameternya saja dan volume dihitung dengan rumus V= 0,000224 D2,27 (Sumadi, 2006). Kemudian berat biomassanya ditentukan dengan formula WPOHON =WT-WR, dimana WPOHON = berat kering biomassa pohon (kg), WT= Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 125 Berat kering biomassa Total (kg) dan WR=berat kering biomassa akar (kg), Aridiono (2009). Pada pengukuran tumbuhan bawah, serasah, pohon mati dan kayu mati, jika dilihat dari rata-ratanya, maka akan diketahui kecenderungan (trend) dari umur 1 tahun sampai dengan umur 5 tahun . Rata-rata berat tumbuhan bawah dan serasah (Gambar 4) mempunyai trend yang hampir sama, di mana umur 3 tahun adalah umur dimana berat biomassa tumbuhan bawah dan sersahnya paling besar dibandingkan dengan kelas umur yang lain. Berat TB (kg/ha) 25000 SR (kg/ha) 20000 15000 10000 5000 0 1 2 3 4 5 Gambar 4. Berat tumbuhan bawah (TB) dan serasah (SR) pada tegakan Acacia crassicarpa mulai umur 1 sampai 5 tahun. Selain tumbuhan bawah dan serasah didapatkan juga rata-rata berat biomassa pohon mati per hektar seperti pada Gambar 5. 800 Berat pohon mati (kg/ha) 600 400 200 0 1 2 3 4 5 Gambar 5. Berat pohon mati pada tegakan A. crassicarpa pada umur 1-5 tahun. Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 126 Gambar 5 menunjukkan bahwa pohon mati terbanyak terjadi pada tanaman umur 3 tahun, setelah itu diikuti umur 5 th dan 4 tahun. Dengan demikian pohon mati dimulai pada umur 3 tahun dan kemudian menurun pada umur 4 dan 5 tahun, tetapi kematian pohon akan terus terjadi bila tidak segera dipanen. Lain halnya dengan kayu mati, agak berbeda dengan pohon mati. Volume kayu mati terbesar terjadi pada umur 5 tahun dan kemudian diikuti umur 1 tahun. Pada umur 1 tahun banyak kayu mati yang berasal dari sisa tebangan tahun sebelumnya. Dengan demikian kebanyakan kayu mati terdapat pada tanaman umur 1 dan 5 tahun (Gambar 6). 12 Rata2 Vol ky. Mati (m3/ha) 10 8 6 4 2 0 1 2 3 4 5 Gambar 6. Rata-rata volume kayu mati pada tanaman Acacia crassicarpa di lahan gambut. 4. Hasil pengukuran simpanan biomassa dan karbon pada tanah gambut. Hasil pengukuran biomassa tanah gambut dilakukan dengan pengeboran tanah pada titik-titik sampel yang telah ditentukan sebelumnya dengan berdasar pada peta topografi (kontur). Metode ini mengikuti bentuk gambut yang membentuk dome. Dari titik sampel di atas dilakukan pengeboran dengan bor khusus gambut (bor Eijelkamp). Besarnya mata bor gambut adalah setengah lingkaran dengan diameter 5 cm (luas= 0,00785 m2 atau 78,5 cm2). Pada saat pengeboran dilakukan pencatatan posisi koordinat, kode titik, ketinggian tempat, tinggi permukaan air tanah dan kedalaman gambut. Hasil pengeboran dan pengukuran di lapangan dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 menunjukkan bahwa kedalaman gambut paling dalam adalah antara 3-3,5 m. Rata-rata kedalaman gambut yang diambil sebanyak 33 titik adalah 170 cm (1,7 m). Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 127 350 300 250 Rata-rata kedalaman 170 cm gambut 200 150 100 Variasi kedalaman gambut 50 0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 Titik ke Gambar 7. Variasi kedalaman gambut (cm) di distrik Jelutung. Dari Gambar 7 di atas diketahui bahwa rata-rata kedalaman gambut di distrik jelutung adalah 170 cm. Dengan mengalikan luas areal, maka akan ditemukan volume tanah gambut di distrik yang bersangkutan. Menurut peta luas distrik jelutung adalah 28.969, 83 ha. Dengan demikian estimasi volume tanah gambut di distrik jelutung sebesar 492.497.110 m3. E. Kesimpulan sementara dan Rekomendasi 1. Metode transformasi citra terbaik untuk mengestimasi kandungan biomassa (karbon) pada HTI jenis A. crassicarpa adalah dengan menggunakan metode transformasi citra yaitu Principle Component Analysis (PCA). 2. Hasil Persamaan (equation) antara biomassa (karbon) tegakan pada hutan tanaman jenis Acacia crassicarpa dan nilai pixel citra adalah: (-0,006429 PC1) Y = 5478,59 PC1 , dg r² = 0.83. dimana Y = nilai simpanan biomassa (Karbon) dan PC1 = nilai pixel pada citra yang telah diproses dg metode PCA. 3. Biomassa tumbuhan bawah dan serasah terbanyak terdapat pada tanaman umur 2 dan 3 tahun 4. Biomassa pohon mati paling banyak terjadi pada tanaman umur 3 tahun, sedangkan untuk kayu mati terjadi pada umur 5 tahun dan 1 tahun. 5. Rata-rata kedalaman gambut di distrik jelutung adalah 170 cm. Pada peta, luas distrik jelutung adalah 28.969, 83 ha, dengan demikian estimasi volume tanah gambut di distrik jelutung sebesar 492.497.110 m3. Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 128 Foto Kegiatan : Pengambilan sampel tumbuhan bawah dan serasah, penimbangan serta pencatatan data. Pengukuran kayu mati dan pohon mati Perhitungan Karbon untuk GRK 2011 129