SLE - Universitas Udayana Repository

advertisement
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 8 NO.1, JANUARI-MARET, HAL
LUPUS CEREBRAL PADA PASIEN SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE) :
SEBUAH LAPORAN KASUS
Bambang Tutuko
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
[email protected]
ABSTRAK
Pendahuluan: SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai
negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara
2,9/100.000 – 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa Negro, Cina,
dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua
usia, tetapi paling banyak pada usia 14 – 40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita
dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara 9:1. Pada lupus eritematosus yang
disebabkan obat (drug induced LE), rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2.
Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983 – 1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan. Di Medan antara
tahun 1984 – 1986 didapatkan insidensi sebesar 1,4 per 10.000 perawatan.
Kasus: Pasien perempuan, berusia 43 tahun, Suku Bali, beragama Hindu, Pasien datang ke UGD
dengan penurunan kesadaran sejak setengah jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien ditemukan
dalam keadaan pingsan di kamar mandi oleh menantu pasien sehingga langsung dibawa ke UGD
RSUD Tabanan Pasien memiliki riwayat panas badan hilang timbul, mual, mudah lelah, penurunan
berat badan yang berangsur-angsur, dan penurunan nafsu makan. Pasien menyangkal dirinya merasa
nyeri pada badan, tulang, ngilu pada sendi. Pasien mengaku wajahnya terasa gatal dan dirasakan
memerah lalu mulai berubah warna menjadi hitam. Wajahnya bengkak dan memerah dirasakan
mengikuti panas badan. Pasien juga mengaku dirinya sering merasa silau ketika membantu suami di
sawah saat berada di bawah terik matahari.
Kata Kunci: penyakit reumatik, SLE, Lupus Cerebral.
LUPUS CEREBRAL IN SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE) PATIENT
ABSTRACT
Introduction: SLE was one of the major rheumatic diseases in the world. The prevalence of SLE in
different countries varies greatly. The prevalence of the various different populations varies between
2.9 / 100000-400 / 100,000. SLE is more common in certain races like the Negro nation, China, and
possibly also the Philippines. There is also a familial tendency. This disease can be found at any age,
but most at the age of 14-40 years (reproductive period). The frequency in women than in men with
a frequency range from 9: 1. In the drug-induced lupus erythematosus (drug-induced LE), this ratio is
lower, which is 3: 2. Incidence in Yogyakarta between the years 1983 - 1986 was 10.1 per 10,000
treatments. In the field between the years 1984 - 1986 found an incidence of 1.4 per 10,000
treatments.
Case history: A woman, aged 43 years, Bali Tribe, Hindu, patients come into the ER with loss of
consciousness since half an hour before entering the hospital. The patient was found unconscious in
the bathroom by-law so that the patient was immediately taken to the emergency room Tabanan
Hospital patients had a history of intermittent hot body, nausea, tiredness, weight loss gradually, and
decreased appetite. Patients deny himself feel pain in the body, bones, pain in the joints. Patients
admitted to his face itch and felt flushed and began to change color to black. His face was swollen
1
http://isainsmedis.id/ojs/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 8 NO.1, JANUARI-MARET, HAL
and reddened felt following the body heat. Patients were also admitted he often felt the glare while
helping her husband in the fields while in the sun.
Keywords: rheumatic disease, SLE, lupus Cerebral.
PENDAHULUAN
Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi
salah satu penyakit reumatik utama di dunia.1,2
Prevalensi SLE di berbagai negara sangat
bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang
berbeda-beda bervariasi antara 2,9/100.000 –
400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras
tertentu seperti bangsa Negro, Cina, dan mungkin
juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial.
Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi
distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan
pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 14
– 40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada
wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria
berkisar antara 9:1. Pada lupus eritematosus yang
disebabkan obat (drug induced LE), rasio ini lebih
rendah, yaitu 3:2.1
Beberapa data yang ada di Indonesia
diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah sakit.
Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS. Dr
Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang melakukan
penelitian pada periode yang berbeda diperoleh
data sebagai berikut: antara tahun 1969 – 1970
ditemukan 5 kasus SLE: selama periode 5 tahun
(1972 – 1976) ditemukan 1 kasus LES dari setiap
666 kasus yang dirawat (insiden sebesar 15 per
10.000 perawatan): antara tahun 1988 – 1990 (3
tahun) insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7 per
10.000 perawatan. Ketiganya menggunakan
kriteria yang berbeda-beda, yaitu berturut-turut
kriteria Dubois, kriteria pendahuluan ARA dan
kriteria ARA yang telah diperbaiki.1
Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983 –
1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan. Di Medan
antara tahun 1984 – 1986 didapatkan insidensi
sebesar 1,4 per 10.000 perawatan.2
KASUS
Pasien perempuan, berusia 43 tahun,
Suku Bali, beragama Hindu, Pasien datang ke UGD
dengan penurunan kesadaran sejak setengah jam
sebelum masuk rumah sakit. Pasien ditemukan
dalam keadaan pingsan di kamar mandi oleh
menantu pasien sehingga langsung dibawa ke UGD
RSUD Tabanan. GCS saat datang E2V2M4.
Pasien memiliki riwayat panas badan
hilang timbul, mual, mudah lelah, penurunan berat
badan yang berangsur-angsur, dan penurunan
nafsu makan.
Pasien mengatakan dirinya berulang kali
merasa panas badan mendadak tetapi sering
sembuh dengan pemberian Paracetamol yang
dibeli sendiri. Terkadang panas tidak turun
sehingga pasien berobat ke klinik.
Pasien menyangkal dirinya merasa nyeri
pada badan, tulang, ngilu pada sendi.
Pasien mengaku wajahnya terasa gatal
dan dirasakan memerah lalu mulai berubah warna
menjadi hitam. Wajahnya bengkak dan memerah
dirasakan mengikuti panas badan. Pasien juga
mengaku dirinya sering merasa silau ketika
membantu suami di sawah saat berada di bawah
terik matahari. Pasien mengaku rambutnya sering
rontok lalu menggunakan obat rambut berupa
sampo untuk menangani kerontokannya.
Dari keluarga pasien dikatakan bahwa
pasien sering mengeluh nyeri ketika berkemih,
merasa ingin kecing namun urin keluar sedikit
bahkan tidak ada.
Pasien sering merasa nyeri pada ulu hati.
Pertama datang dengan muntah darah. Pasien
mengaku keluhan bertambah parah jika ia makan
sehingga pasien memilih hanya minum air dan saat
lapar terpaksa makan bubur. Saat ini pasien hanya
merasa mual dan tidak ada muntah.
Keluhan buang air besar hitam pada saat
pasien pertama kali datang. Saat diperiksa, pasien
mengaku belum pernah buang air besar lagi.
Saat dirawat kali ini, pasien sudah
mengalami kejang sebanyak 5 kali pada tanggal 22
dan 23 September 2013. Dari riwayat, pasien
sudah beberapa kali mengalami kejang. Pertama
kali kejang, pasien dilarikan ke RS Dharma Kerti.
Sebelum opname saat ini, pasien sudah 4 kali
mengalami episode kejang. Pada saat terjadi
kejang, episode berlangsung 1-2 menit, tanpa buih
di mulut, mata melirik ke atas. Episode di antara
2
http://isainsmedis.id/ojs/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 8 NO.1, JANUARI-MARET, HAL
kejang dikatakan bengong dan pasien setengah
sadar.
Riwayat pusing satu hari sebelum masuk
rumah sakit. Pasien memiliki riwayat opname dan
baru pulang 2 hari sebelum datang ke UGD karena
SLE dan pansitopenia. Pasien memiliki riwayat
terdiagnosis SLE sejak 1 tahun yang lalu di RSUP
Sanglah Denpasar. Pasien pernah dirawat di RSUD
Tabanan 6 bulan yang lalu karena keluhan kejang.
Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat
maupun makanan. Riwayat asma, kencing manis,
hipertensi, dan stroke disangkal oleh pasien. Tidak
ada riwayat penyakit yang sama pada keluarga
pasien.
Pasien sempat meminum Paracetamol jika
timbul keluhan panas badan. Meminum
Lanzoprazole 1 x 1 tab dan Sucralfat 3 x 1 sendok
makan untuk mual perut. Serta metilprednisolon
untuk pengobatan SLE.
Dari riwayat sosial, pasien merupakan
seorang petani dan sering berada di sawah sambil
membantu suami bekerja.
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak
sakit sedang, kesadaran kompos mentis, Tekanan
darah 120/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, respirasi
20 kali/menit, suhu aksila 36,6 °C, tinggi badan 160
cm, berat badan 50 kg, BMI 19,5 kg/m2.
Pada pemeriksaan generalis, pada wajah
pasien tampak ruam pada hidung serta pipi kiri dan
kanan. Jantung dan paru dalam batas normal.
Tungkai hangat dan tidak ada edema.
Pada pemeriksaan penunjang darah
lengkap, didapatkan hasil WBC 4,9 103/μL
(rendah), RBC 3,45 106/μL (rendah), hemoglobin
11,8 g/dL (rendah), hematocrit 35,0 % (rendah),
MCV 101 fL (tinggi), MCH 34,1 Pg (tinggi), Platelet
85,2 103/μL.
Pada hasil kimia darah, didapatkan hasil
SGOT 41 U/L, SGPT 54 U/L, BUN 45 mg/dL,
Creatinin 0,8 mg/dL, Natrium 133 mmol/L
(rendah), 4,1 mmol/L, glukosa darah acak 86
mg/dL, dan albumin 3 gr/dL (rendah).
Pasien didiagnosis dengan lupus serebral
+ observasi hematemesis dan melena et causa
peptic ulcer + systemic lupus eritematosus +
trombositopenia.
Pasien ditata laksana rawat inap dengan
infus Ringer Laktat 20 tetes per menit, Paracetamol
2 x 500mg jika demam, Antasida 3 x 1 sendok
makan, Lanzoprazole 2 x 40 mg intra vena,
Sucralfat 3 x 1 sendok makan, metilprednisolon 2 x
126 mg, diazepam 5mg bila kejang, dan Brain act 2
x 500 mg. selanjutnya diobservasi tanda vital serta
keluhan lainnya.
DISKUSI
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau
lebih dikenal dengan nama Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) merupakan penyakit kronis
progresif autoimun yang ditandai oleh produksi
antibodi terhadap komponen-komponen inti sel
yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang
luas. Etiologinya tidak jelas, diduga berhbungan
dengan gen respon imun spesifik pada kompleks
histokompatibilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2
dan HLA-DR3.1,3
Faktor genetik memegang peranan
penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit.
Sekitar 10-20% pasien SLE mempunyai kerabat
dekat (first degree relative) yang juga menderita
SLE.4
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu
yang tepat pada individu yang mempunyai
predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga
pendorong abnormal terhadap sel T CD4+,
mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap
self antigen. Sebagai akibatnya muncul sel T
autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta
ekspansi sel B, baik yang memproduksi
autoantibodi maupun yang berupa sel memori.1,4
Gambar 1 CT scan (Dokumentasi Penulis)
3
http://isainsmedis.id/ojs/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 8 NO.1, JANUARI-MARET, HAL
Autoantibodi yang terbentuk ditujukan
terhadap antigen yang terutama terletak pada
nukleoplasma. Ciri khas autoantigen ini ialah
mereka tidak tissue-spesific dan merupakan
komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini
secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclar
antibody). Dengan antigen yang spesific, ANA
membentuk kompleks imun yang beredar dalam
sirkulasi. Gangguan ini menyebabkan terbentuknya
deposit kompleks imun di luar sistem fagosit
mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap
pada berbagai macam organ dengan akibat
terjadinya fiksasi komplomen pada organ tersebut
sehingga timbul reaksi radang yang menyebabkan
terjadinya keluhan seperti pada ginjal, sendi,
pleura, pleksus, koroideus, kulit dan sebagainya.1,5
Gejala klinis SLE sangat bervariasi, tidak
ada gejala yang spesifik yang dipakai dalam
diagnosis.3 Beberapa penyakit atau kondisi di
bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat
gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes
laboratorium yang serupa, yaitu:6 Undifferentiated
connective tissue disease,, Sindroma Sjogren,
Sindroma
antibodi
antifosfolipid
(APS),
Fibromialgia
(ANA
positif),
Purpura
trombositopenik idiopatik, Lupus imbas obat,
Artritis reumatoid dini, Vaskulitis.
Penyakit SLE dapat ringan atau berat
sampai mengancam nyawa.7 Kriteria untuk
dikatakan SLE ringan adalah: Secara klinis tenang,
tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam
nyawa, fungsi organ normal atau stabil, yaitu:
ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan
saraf pusat, sendi, hematologi, dan kulit,7 Tidak
ditemukan tanda efek samping atau toksisitas
pengobatan.7
Penegakan diagnosis dengan 4 dari 11
kriteria yang terjadi bersamaan maupun tidak
bersamaan. Antara lain (1) ruam malar; (2) ruam
discoid; (3) fotosensitifitas; (4) ulkus mulut; (5)
arthritis non-erosif; (6) pleuritis atau perikarditis;
(7) gangguan renal; (8) gangguan neurologi; (9)
gangguan hematologi; (10) gangguan imunologik;
(11) hasil pemeriksaan antinuclear antibody positif.
Diagnosis SLE (sensitifitas 85% dan
spesifisitas 95%) bila dijumpai 4 atau lebih kriteria
di atas terjadi secara bersamaan atau tidak
bersamaan. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan
salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin
SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan
klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA
positif dan gejala lain tidak ada, maka bukan SLE.4
Pada pasien ini ditemukan ruam malar,
fotosensitif, gangguan neurologi berupa kejang,
gangguan hematologi berupa leucopenia dan
trombositopenia pada dua kali pemeriksaan. Tidak
dilakukan antinuclear antibody (ANA) test pada
pasien ini. Memenuhi 4 kriteria sudah dapat
menegakkan diagnosis SLE.
Pasien dikategorikan menderita SLE berat
dan mengancam nyawa karena terdapat gejala
kejang-kejang, trombositopenia (trombosit <
100.000/mm2, riwayat demam tinggi tanpa adanya
bukti infeksi.7
Perjalanan penyakit dan efek pengobatan
memerlukan pemantauan yang tepat dan
dilakukan seumur hidup pasien dengan SLE.8 Baik
untuk SLE ringan atau sedang dan berat,
diperlukan gabungan strategi pengobatan yang
disebut pilar pengobatan yang dilakukan secara
bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan
pengobatan tercapai.1,3,5
Terutama pada penderita dengan febris,
keluhan sendi dan nyeri otot. Dapat diberikan
Aspirin 3 x 500mg peroral sehari atau OAINS
lainnya. Paracetamol 3 x 500mg tidak lebih dari
4000mg/hari.9 Pada pasien ini diberikan terapi
medikamentosa dengan steroid metilprednisolon
dan simptompatik paracetamol, lanzoprazole,
sucralfat, diazepam,. Serta pemberian citicolin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir Yoga I, Setiyohadi B.
Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI; 2006. p. 1214-21.
2. Siregar FA. Epidemiologi Lupus Eritematosus
Sistemik di Indonesia. Sumatera Utara : FKM
Universitas Sumatera Utara [diunduh Mei
2010].
Dalam
:
library/usuacid/
download/fkmfazidah3.com
3. Kristina, Isminah, Wulandari L. Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta : Depkes
[diunduh Mei 2010]. Dalam : litbang.
depkes.go.id/maskes/lupuseritematosussistemi
k1.com
4. Raka Putra Tjok. Lupus Eritematosus Sistemik.
Dalam : Pedoman Diagnosis dan Terapi
Penyakit Dalam RSUP Sanglah. Denpasar :
4
http://isainsmedis.id/ojs/
ISSN: 2089-9084
5.
6.
7.
8.
9.
ISM, VOL. 8 NO.1, JANUARI-MARET, HAL
Lab/SMF Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah ;
1994. p.113-121.
Suseno U, Rosita R, Lebang Y, Pohan HT,
Suhendro. Pedoman Tata Laksana Klinis Lupus
Eritematosus Sistemik Sarana Pelayanan
Kesehatan. Jakarta : Direktorat Depkes RI; 2005.
Hadinegoro, Satari HI. Lupus Eritematosus
Sistemik : Naskah Lengkap Pelatihan bagi
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam
Tatalaksana Kasus LES. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI ; 2000.
Arif M, Suprohaita, Wahyu IW, Setiowulan W.
Kapita Selekta Kedokteran FK UI Jilid II. Edisi III.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2001 p.430-1.
Rani, A. Azis. Lupus Eritematosus Sistemik.
Dalam
:
Panduan
Pelayanan
Medik
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia. Jakarta ; Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2006.
Widodo D. Lupus Eritematosus Sistemik pada
orang dewasa. Dalam : Penatalaksanaan
Kedaruratan di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta :
Pusat Informasi dan Penerbitan Penyakit Dalam
FKUI ; 2000.
5
http://isainsmedis.id/ojs/
Download