PENGANTAR Bersama dan atas nama Kristus, Sang Gembala utama, para imam dan para tokoh awam dipanggil dan diutus untuk mendampingi umat beriman, berdasarkan ajaran dan teladan Kristus, Sang Gembala itu. Pendampingan bagi umat beriman dapat dilaksanakan secara intensif di tingkat paroki, wilayah, maupun lingkungan. Bahkan, usaha pendampingan itu juga dapat dilaksanakan di tingkat yang lebih sempit dan lebih mendasar, yakni di rumah, bagi masing-masing keluarga. Dalam kerja sama dengan Komisi Pendampingan Keluarga di tingkat keuskupan dan kevikepan, para pastor dan para tokoh awam diharap mendampingi keluarga-keluarga di tingkat paroki, wilayah, maupun lingkungan, terutama dengan memperhatikan: pendampingan bagi orangorang muda yang kiranya terpanggil untuk hidup berkeluarga; pendampingan bagi keluarga-keluarga yang berada dalam kondisi biasa; dan pendampingan bagi keluarga-keluarga yang sedang berada dalam kondisi khusus. Tema-tema pokok yang dibahas pada halaman-halaman berikut adalah: Prinsip-prinsip dasar; Ruang lingkup dan metode; Fokus perhatian; dan Pengarahan pimpinan Gereja. I. PRINSIP-PRINSIP DASAR A. Pengertian Pokok Yang dimaksud dengan pendampingan keluarga dalam uraian ini adalah pendampingan bagi Keluarga Katolik. Pendampingan tersebut terutama didasarkan pada iman dan moral Katolik serta Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang (ARDAS) dan Rencana Induk Keuskupan Agung Semarang (RIKAS); bukan pada ilmu psikologi, meskipun setiap pendamping keluarga diharap sungguh-sungguh memperhatikan aspekaspek psikis dari keluarga yang didampinginya. B. Tujuan Pokok Tujuan pokok dari pendampingan keluarga adalah tercapainya kesejahteraan dan martabat luhur hidup berkeluarga dan berkembangnya iman dalam keluarga yang didampingi, menuju peradaban kasih dalam Keluarga, Lingkungan, Masyarakat dan Indonesia. Dalam konteks ini, kesejahteraan maupun iman perlulah dipahami dalam artinya yang paling luas. Kesejahteraan janganlah dipahami sebagai kemakmuran ekonomis belaka. Sementara itu, iman janganlah dipahami sebagai doa-doa dan ibadat belaka. Dalam artinya yang paling luas itu, kesejahteraan meliputi aspek-aspek fisik, mental, sosial, moral dan spiritual. Dalam Kitab Suci, kesejahteraan itu disebut shalom, atau damai sejahtera. Sementara itu, iman sejati meliputi aspek-aspek pengetahuan, pengungkapan, penghayatan dan perwujudan, buahnya membangun paguyuban dan persaudaraan yang mengarah pada keadaban kasih. Dalam konteks RIKAS KAS 2016 – 2035, pendampingan keluarga Katolik menyasar pada misi ketiga yaitu “Menyelenggarakan formatio iman yang integral, berjenjang dan berkelanjutan, yang bercirikan cerdas, tangguh, misioner dan dialogal.” Strategi untuk mencapai misi tersebut adalah Perhatian pada pastoral keluarga, yang memperhatikan jejang umur dan kelompok-kelompok khusus. Perhatian tersebut dalam bidang iman, martabat dan kesejahteraan. Dengan kata lain, pendampingan Keluarga Katolik sejalan dengan RIKAS KAS 2016 – 2035. C. Penanggungjawab Karena para pastor paroki adalah imam-imam yang ditugaskan oleh Uskup untuk menggembalakan umat di paroki, para pastor paroki itulah para penanggungjawab utama dari semua karya pendampingan pastoral bagi seluruh umat Katolik di paroki. Namun, mengingat tanggungjawab mereka yang sangat luas, para pastor paroki sebaiknya melibatkan beberapa tokoh awam untuk ikut memikul tanggungjawab tersebut. Para pastor paroki dan tokoh-tokoh awam, yang berhimpun dalam wadah yang biasa disebut Dewan Paroki, diharap bertindak terutama sebagai policy maker atau pembuat kebijakan. Untuk menyelenggarakan dan meng-koordinasi-kan berbagai karya pendampingan bagi keluarga-keluarga Katolik di paroki, sebaiknya Dewan Paroki membentuk sebuah tim kerja yang khusus, yang sebaiknya disebut Tim Kerja Pendampingan Keluarga Paroki. Dalam tim tersebut perlulah dilibatkan beberapa orang yang dipandang cakap untuk tugas luhur itu. Tim tersebut sebaiknya merupakan bagian integral dari Dewan Paroki, supaya karya-karyanya sejalan dengan karya-karya dari tim-tim pastoral yang lain. 2 D. Pelaksana Di samping para penanggungjawab, yakni para anggota Dewan Paroki dan Tim Kerja Pendampingan Keluarga Paroki (TKPKP), serta tim-tim kerja lain yang terkait, diperlukan keterlibatan banyak orang lain yang bersedia untuk ikut melaksanakan pendampingan nyata bagi keluargakeluarga Katolik di paroki, sebab jumlah keluarga Katolik di setiap paroki itu sangatlah besar. Yang dapat dilibatkan dalam pendampingan keluarga adalah tokoh-tokoh awam yang perkawinan dan hidup keluarganya cukup baik, biarawanbiarawati yang punya bekal dan minat pada pendampingan keluarga, dan para profesional Katolik (seperti dokter, bidan, perawat, ahli hukum, psikolog, dan sebagainya) yang bersedia membantu keluarga-keluarga Katolik, yang membutuhkan pertolongan profesional mereka. Dalam pelaksanaan karya pendampingan bagi keluarga-keluarga Katolik itu sebaiknya dilibatkan juga kelompok-kelompok peduli keluarga, seperti ME (Marriage Encounter), CFC (Couples For Christ), gerakan Pro-Life, Jaringan Mitra Perempuan (JMP), Forum Refleksi Gender (FRG), Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Ibu-Ibu paroki, dan lembaga-lembaga bantuan hukum bagi keluarga. Bekal yang harus dimiliki oleh para pendamping keluarga ialah: iman Katolik yang memadai, kesediaan membantu orang-orang lain dengan tulus dan sabar, kemampuan menyimpan rahasia, dan kesediaan untuk tetap belajar, baik dari pengalaman maupun dari sumber-sumber pengetahuan yang lain. E. Titik Tolak dan Sasaran Pendampingan tidaklah hanya berarti kesediaan berjalan bersama mereka yang didampingi. Pendampingan haruslah punya titik tolak dan sasaran yang jelas. Titik tolaknya adalah realitas, kondisi keluarga yang nyata saat ini. Sementara itu, sasarannya adalah kenyataan baru, yang lebih sesuai dengan ajaran dan teladan Kristus, lebih sesuai dengan harapan dan cita-cita Gereja Katolik. Dengan perkataan lain, ada dua hal yang pertama-tama harus dipahami oleh para penanggungjawab dan para pelaksana pendampingan bagi keluarga-keluarga Katolik, yakni: realitas yang ada pada keluargakeluarga sekarang ini, dan idealisme Gereja Katolik mengenai perkawinan dan hidup berkeluarga. 3 Selanjutnya, para pendamping keluarga dipanggil dan diutus mencari dan menemukan cara-cara yang tepat untuk mendampingi keluarga-keluarga Katolik, agar keluarga-keluarga itu mau dan mampu bergerak maju, dari kenyataan yang sudah ada menuju kenyataan baru, yang lebih sesuai dengan harapan dan cita-cita Gereja Katolik. Gerak maju tersebut bisa saja merupakan suatu perjalanan yang tidak pernah selesai. Oleh karena itu, dari para pendamping maupun keluargakeluarga yang didampingi dituntut kesabaran, ketekunan, dan kesediaan bekerjasama. Di samping itu, tentu saja, semua pihak diharap rajin memohon rahmat dan berkat Tuhan, yang akan melengkapi dan menyempurnakan apa saja yang kurang dalam diri mereka. Berhubungan dengan realitas yang ada sekarang ini, satu hal penting perlu disadari dan diperhatikan, yakni besarnya pengaruh arus jaman di tingkat internasional dan reformasi di tingkat nasional atas pasanganpasangan suami-istri dan keluarga-keluarga di paroki kita. II. RUANG LINGKUP DAN METODE A. Persiapan Perkawinan Perkawinan dan hidup berkeluarga perlu dipersiapkan dengan baik dan secara bertahap, yakni dalam tiga tahap yang berurutan sebagai berikut: 1. Persiapan jauh: Persiapan jauh selambat-lambatnya dimulai sejak awal usia remaja. Anak-anak remaja, sejak berusia sekitar 11/12 tahun, perlu diberi pendidikan yang baik di bidang seksualitas. Mereka perlu dibantu untuk memahami kepriaan atau kewanitaan mereka, agar mereka dapat menerima seksualitas mereka dengan penuh rasa syukur. Mereka juga perlu dibantu untuk memahami dan mengolah secara bijaksana pengalaman seksual dan rasa tertarik kepada jenis kelamin lain. 2. Persiapan dekat: Persiapan dekat selambat-lambatnya dimulai sejak awal masa pacaran. Pemuda atau pemudi yang sudah punya pacar perlu didampingi secara intensif, agar mereka dapat berpacaran secara bijaksana. Artinya: berpacaran dengan kasih sayang yang murni, berpacaran secara etis dan sopan. Mereka perlu disadarkan, bahwa perkawinan tidak cukup hanya disiapkan dengan berpacaran, melainkan juga dengan merintis pekerjaan 4 dan kedewasaan pribadi. Hidup berkeluarga juga membutuhkan biaya, tidak hanya kasih mesra. Pendampingan semacam itu lebih mendesak sifatnya bila pemuda atau pemudi Katolik berpacaran dengan pemudi atau pemuda yang tidak Katolik. 3. Persiapan akhir: Persiapan akhir selambat-lambatnya dilaksanakan dalam beberapa bulan sebelum pernikahan. Dalam waktu yang relatif pendek itu para calon mempelai hendaknya dibantu mempersiapkan pernikahan mereka dengan baik, sekurang-kurangnya dengan mempersiapkan persyaratan administrasi Gereja dan Sipil, menjalani penyelidikan kanonik, mengikuti kursus persiapan perkawinan, dan mempersiapkan liturgi pernikahan yang mengesankan. B. Pendampingan Keluarga Dalam Kondisi Biasa 1. Tujuan pendampingan: Pendampingan bagi keluarga-keluarga yang berada dalam kondisi biasa terutama dimaksud untuk: menyemangati suami-istri dalam usaha mencapai kesejahteraan keluarga; mendukung mereka dalam menghayati perkawinan mereka secara kristiani; dan membantu mereka dalam mendidik anak-anak mereka secara kristiani. 2. Metode pendampingan: a. Pendampingan secara personal: Cara pertama untuk mendampingi keluarga-keluarga dalam kondisi biasa ialah dengan mengunjungi keluarga-keluarga tersebut di tempat tinggal mereka. Demi keberhasilan kunjungan-kunjungan tersebut, para pendamping keluarga perlu dibekali dengan pedoman-pedoman yang memadai dan dilatih dengan cara tertentu, sehingga mereka mampu mengunjungi keluarga-keluarga Katolik dengan semangat Kristus, Sang Gembala. b. Pendampingan timbal-balik: Cara kedua yang kiranya dapat dikembangkan ialah pendampingan secara timbal-balik, yang terjadi melalui paguyuban-paguyuban suami-istri Katolik, seperti misalnya paguyuban-paguyuban suami-istri ME (Marriage Encounter) atau CFC (Couples For Christ). Melalui paguyuban-paguyuban semacam itu, para suami-istri Katolik mau dan mampu saling mendampingi. c. Pendampingan secara massal: Cara ketiga untuk mendampingi keluarga-keluarga adalah pendampingan dalam kelompok besar, 5 misalnya melalui ceramah, diskusi, seminar, rekoleksi, retret, dan sebagainya. Demi berhasilnya acara-acara itu, perlu dipilih para nara sumber yang kompeten dan tema-tema yang aktual dan relevan. C. Pendampingan Keluarga Dalam Kondisi Khusus 1. Konseling: Keluarga yang sedang berada dalam kondisi sulit dapat didampingi melalui suatu cara yang biasa disebut: konseling pastoral. Bila kesulitan itu belum terlalu rumit, konseling itu dapat dilaksanakan oleh penasihat yang trampil (yang cukup berpengalaman, walaupun tidak profesional). Bila penasihat trampil ternyata tidak mampu menolong, keluarga tersebut dapat dirujuk kepada seorang konselor profesional. 2. Pengesahan perkawinan: Bila status yuridis dari perkawinan suami-istri yang didampingi, menurut hukum Gereja Katolik, belum sah, pendampingan sebaiknya memuat usaha ke arah pengesahan perkawinan mereka, dengan atau tanpa pembaharuan janji-nikah, sesuai dengan kemungkinan yang ada. 3. Rehabilitasi pastoral: Bila perkawinan pasangan suami-istri yang didampingi tidak dapat atau sangat sulit disahkan, pendampingan dapat memuat usaha ke arah rehabilitasi pastoral, misalnya agar Panitia Pastoral Perkawinan di tingkat keuskupan mengijinkan pihak Katolik menerima komuni lagi, meskipun perkawinannya belum dapat disahkan menurut hukum Gereja Katolik. 4. Pembatalan perkawinan: Bila pasangan suami-istri yang didampingi tidak mampu meneruskan hidup-bersama, lagi pula perkawinan mereka memang belum sah, pendampingan dapat memuat usaha ke arah pembatalan perkawinan mereka, melalui Tribunal atau Pengadilan Gereja di tingkat keuskupan. 5. Pendampingan bagi yang sudah bercerai: Bila orang yang didampingi sudah bercerai di luar Gereja Katolik, ia perlu mendapat perhatian khusus. Bila ia tidak menikah lagi, di luar Gereja, janganlah ia dilarang menerima komuni kudus. 6 III. FOKUS PERHATIAN A. Relasi antara suami dan istri. Relasi suami dan istri merupakan relasi terpenting dalam keluarga. Mutu relasi itu punya pengaruh yang sangat besar terhadap mutu seluruh hidup keluarga. Maka pantaslah kalau para pendamping keluarga memperhatikan hal ini. Relasi suami dan istri itu memuat beberapa segi. Segi pertama adalah relasi pada tingkat perasaan. Apakah mereka merasa dekat satu sama lain? Apakah mereka merasa bahagia bila sedang berbicara, bepergian bersama, atau makan minum berdua? Atau sebaliknya, mereka justru merasa jauh satu sama lain dan merasa tidak senang bila sedang berdekatan? Segi kedua adalah relasi pada tingkat pikiran atau pandangan. Apakah mereka dapat bertukar pikiran dengan tenang, dengan argumentasi yang masuk akal? Apakah sebaliknya, mereka tidak pernah bertukar pikiran karena keduanya serba berbeda dalam pandangan mereka? Segi ketiga adalah relasi pada tingkat kehendak atau kemauan. Apakah mereka dapat memadukan kehendak mereka, sehingga mereka dapat merencanakan dan melaksanakan kehendak bersama? Apakah sebaliknya, kehendak mereka selalu berbeda sehingga tidak pernah dapat dipersatukan? Segi keempat adalah relasi seksual, baik yang terungkap melalui persetubuhan maupun yang terungkap melalui bentuk-bentuk kemesraan fisik lainnya. Apakah mereka dapat saling membahagiakan melalui kemesraan seksual itu, karena masing-masing selalu peka dan peduli terhadap kebutuhan pasangannya? Ataukah sebaliknya, setiap persetubuhan maupun kemesraan fisik lainnya hanyalah menyenangkan satu pihak saja dan menyebabkan penderitaan pada pasangannya? B. Relasi antara orangtua dan anak-anak. Meskipun relasi suami dan istri pada umumnya baik, keduanya toh sulit mencapai kebahagiaan bila relasi mereka dengan anak-anak terganggu. Maka, demi utuhnya kebahagiaan mereka, suami dan istri membutuhkan relasi yang baik dengan anak-anak mereka. Seperti halnya pada relasi antara suami dan istri, relasi antara orangtua dan anak-anak juga memuat beberapa segi, yakni segi perasaan, segi pikiran, dan segi kehendak atau kemauan. 7 Segi pertama adalah relasi pada tingkat perasaan. Tidaklah cukup bahwa anak-anak diberi makanan, minuman, dan pakaian yang memadai. Mereka ingin merasa dekat dengan orang tua. Mereka ingin merasakan dilindungi dan disayangi oleh bapak-ibu mereka. Sebaliknya, orang tua pun ingin dihargai dan dipercaya oleh anak-anak mereka. Segi kedua adalah relasi pada tingkat pikiran. Hal ini terutama penting bila anak-anak sudah mulai mampu berpikir. Mereka hendaknya sering diajak bertukar pikiran. Janganlah mereka itu diperlakukan seolah-olah mereka tidak mampu berpikir. Maka, bila ada perbedaan pandangan antara anak-anak dan orang tua, semua pihak hendaknya bersikap rasional, tidak hanya mencari kemenangan. Segi ketiga adalah relasi pada tingkat kehendak atau kemauan. Tidak jarang terjadi bahwa orang tua memaksakan kehendak pada anak-anak mereka, karena merasa lebih tua dan lebih berpengalaman. Hal itu dapat terjadi karena orang tua kurang memahami kebutuhan dan keinginan anak-anak muda. Padahal, sebagai pribadi yang berkehendak bebas, setiap anak punya kehendak dan kemauan sendiri, dan dia tidak berbahagia bila orang lain memaksakan kehendaknya atas dirinya. C. Relasi antara keluarga dan masyarakat. Tidak ada keluarga yang berbahagia bila anggotanya hanya hidup dan bergaul dengan orang-orang serumah. Sejak kecil orang membutuhkan sosialitas, membutuhkan dunia pergaulan yang luas. Maka, demi kebahagiaan masing-masing anggota keluarga, perlulah bahwa mereka memiliki relasi yang baik dengan masyarakat luas. Relasi itu mempunyai berbagai bentuk. Relasi-relasi yang paling biasa ialah relasi dalam hal kerja, bertetangga, berorganisasi, dan beragama. Bila relasi-relasi itu berjalan lancar, anggota keluarga dapat mengalami kebahagiaan. Sebaliknya, bila terjadi banyak kegagalan dalam relasirelasi itu, kebahagiaan hanyalah merupakan impian belaka. Dalam hal ini para pendamping keluarga dapat memberikan bantuan, yakni dengan menolong keluarga-keluarga Katolik dalam usaha meningkatkan mutu relasi antara anggota-anggota mereka dengan masyarakat luas. Lebih bagus lagi kalau para pendamping keluarga dapat menciptakan sarana-sarana penunjangnya, misalnya dengan menghidupkan bermacam-macam paguyuban, perkumpulan, pertemuan kebersamaan, atau bahkan organisasi-organisasi. D. Relasi antara keluarga dan Tuhan 8 Salah satu dari tujuan utama pendampingan keluarga adalah berkembangnya iman. Oleh karena itu, tidak boleh dilupakan pentingnya relasi antara keluarga dan Tuhan. Relasi itu dapat dipelihara melalui tiga sarana utama berikut. 1. Kebiasaan doa dan tradisi Katolik secara pribadi yang teratur oleh masing-masing anggota keluarga, terutama sebelum dan sesudah tidur, sebelum dan sesudah makan; 2. Kebiasaan doa dan tradisi Katolik secara bersama-sama di rumah, oleh seluruh keluarga, terutama pada saat ada anggota keluarga yang sedang merayakan hari ulang tahun, sedang bersedih, atau sedang menghadapi suatu tugas penting; 3. Partisipasi anggota keluarga dalam ibadat di lingkungan maupun di paroki, terutama dalam perayaan Ekaristi pada hari Minggu dan HariHari Raya penting, seperti Natal dan Paskah. Sejak kecil anak-anak didorong untuk terlibat dalam kegiatan jemaat Katolik setempat, sesuai dengan tingkat usia dan minat serta bakat mereka masing-masing. Semua anggota keluarga diharap menerima sakramen tobat secara teratur juga. IV. PENGARAHAN PIMPINAN GEREJA Sudah sejak awal sejarahnya, Gereja Katolik memberikan pengarahan yang jelas mengenai pendampingan pastoral bagi keluarga-keluarga beriman. Namun dalam kesempatan ini, kiranya cukuplah kalau dikutipkan sebagian kecil dari pengarahan Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II. Pengarahan Konsili Vatikan II tentang perkawinan dan hidup berkeluarga terutama termuat dalam dokumen “Gaudium et Spes”. A. Konsili Vatikan II (”Gaudium et Spes” 1965) “Hendaknya keluarga dengan kebesaran jiwa berbagi kekayaan rohani dengan keluarga-keluarga lain, ... baik melalui kasih suami-isteri ... maupun melalui kerja sama yang penuh kasih antara semua anggotanya” (GS 48). “Hendaknya kaum muda pada saatnya menerima penyuluhan yang sesuai tentang martabat cinta kasih suami-istri, tentang peranan dan pelaksanaannya, paling baik dalam pangkuan keluarga sendiri, supaya mereka, berkat pembinaan kemurnian, pada saat yang tepat dapat beralih dari masa pertunangan yang dilewati secara terhormat menuju perkawinan” (GS 49). 9 “Siapa saja, yang mampu mempengaruhi persekutuan-persekutuan dan kelompok-kelompok sosial, wajib memberi sumbangan yang efektif untuk mengembangkan perkawinan dan hidup berkeluarga ... Hendaknya umat beriman kristiani ... dengan tekun mengembangkan nilai-nilai perkawinan dan keluarga ... Para pakar ilmu-pengetahuan, terutama di bidang biologi, kedokteran, sosiologi dan psikologi, dapat berjasa banyak bagi kesejahteraan perkawinan dan keluarga serta bagi ketenangan suara hati … bila mereka berusaha menjelaskan secara makin mendalam pelbagai kondisi yang mendukung pengaturan kelahiran manusia yang dapat dipertanggungjawabkan. Adalah tugas para imam, untuk … mendukung panggilan suami-istri dengan berbagai upaya pastoral, pewartaan sabda Allah, ibadat liturgis, maupun bantuan-bantuan rohani lainnya, dalam hidup perkawinan dan keluarga mereka. Adalah tugas para imam pula, untuk dengan kebaikan hati dan dengan sabar meneguhkan mereka di tengah-tengah kesukaran-kesukaran, serta menguatkan mereka dalam cinta kasih, supaya terbentuklah keluargakeluarga yang sungguh-sungguh berpengaruh baik ... Himpunanhimpunan keluarga hendaknya berusaha meneguhkan kaum muda dan para suami-istri, terutama yang baru menikah, dengan ajaran maupun kegiatan, serta membina mereka untuk hidup berkeluarga, hidup memasyarakat, dan merasul …” (GS 52). B. Para Uskup Indonesia (“Pedoman Pastoral” 1975) “Dalam Pedoman Pastoral ini para Waligereja Indonesia bermaksud menggariskan beberapa kebijakan penggembalaan bersama, untuk membantu para suami-istri menunaikan tugas mereka, yang luhur dan besar pengaruhnya bagi masa depan Gereja dan bangsa ... Pedoman ini dimaksudkan khususnya bagi mereka yang bertugas atau berperanan di bidang pembinaan keluarga, para imam, biarawan-biarawati, maupun saudara-saudara lainnya”. 1. Penghayatan iman dalam keluarga: “Para katekis, guru agama dan pewarta sabda perlu ditingkatkan pengetahuan serta kesadarannya ... Kader awam dalam umat setempat, para ketua wilayah atau lingkungan, hendaknya makin digiatkan dengan diserahi tugas dan tanggungjawab ... Hendaknya bagi muda-mudi tersedia kesempatan-kesempatan untuk mempersiapkan diri bagi hidup berkeluarga, dalam jangka panjang atau pendek ... Diharapkan bantuan juga dari lembaga dan biro konsultasi untuk masalah-masalah hidup 10 berkeluarga; gerakan seperti Marriage Encounter ... dapat membantu mengembangkan sikap terbuka ... Dapat pula dibentuk kelompokkelompok dengan tujuan meningkatkan pengetahuan agama dan penghayatan iman (CLC, Legio Maria, dan sebagainya)”. 2. Perkawinan beda agama: “Kenyataan menunjukkan, bahwa perbedaan agama … dapat menimbulkan aneka macam persoalan ... Dan di antara soal-soal itu, makin lemahnya iman Katolik serta kesulitan mendidik anak-anak dalam suasana Katolik bukanlah masalah yang boleh dianggap ringan. Pemeliharaan pastoril terhadap perkawinan campur agama hendaknya diperhitungkan untuk jangka panjang dan bernada positif. Hendaknya katekese menekankan, bahwa kesamaan agama merupakan faktor penting untuk membangun kebahagiaan, persatuan dan keutuhan keluarga ... Dalam rangka ini pertemuan antara muda-mudi seiman – baik yang bersifat keagamaan ... maupun yang bersifat sosial ... – besar juga faedahnya. Hendaknya para orang tua ... maupun kaum muda disadarkan akan riilnya kesulitan yang dihadapi keluarga kawin campur ... Sebagai persiapan jangka pendek dianjurkan supaya pihak bukan Katolik ikut menghadiri kursus persiapan (perkawinan) ... Apakah dispensasi diberikan atau ditolak, banyak tergantung dari keadaan setempat, lingkungan dan kondisi mereka yang memintanya. Dispensasi hanya diberikan, bila ada harapan, bahwa akan terbina suatu keluarga yang baik dan utuh, dan bahwa pemeliharaan pastoril sesudah pernikahan dapat diteruskan ... Pemberian dispensasi sebaiknya dipersulit, bila tipislah harapan, bahwa pihak Katolik nanti akan mendapat kebebasan untuk menjalankan kewajibannya, dan/atau bila pihak Katolik sendiri belum pasti akan menjalankannya. Sesudah pernikahan, keluarga-keluarga kawin campur harus mendapat perhatian sepenuhnya, antara lain berupa kunjungan pastor ... Pembaptisan anak harus dipikirkan terutama oleh pihak Katolik”. 3. Kependudukan dan keluarga bertanggungjawab: “Masalah kependudukan menyangkut banyak soal pastoril ... Sesuai dengan tugasnya, Gereja berusaha meyakinkan masyarakat akan pentingnya merencanakan hidup berkeluarga ... Pimpinan Gereja di Indonesia sepakat menyatakan perlunya pengaturan kelahiran demi kesejahteraan keluarga, dan karena itu merasa penting membina sikap bertanggungjawab di bidang ini. Maka baik kaum muda maupun kaum 11 dewasa hendaknya diberi penyuluhan dan pendidikan tentang masalah kependudukan, dan dibimbing mencari pemecahan tanpa mengabaikan nilai-nilai manusiawi dan kristiani. Semua pembina umat diajak mengembangkan dan menyampaikan pendirian Gereja itu sebagai sumbangan untuk menghadapi masalah kepadatan penduduk ... Dalam rangka usaha mengadakan, menjarangkan atau membatasi kehamilan dan kelahiran-kelahiran baru, hendaknya metode-metode alamiah (penggunaan masa tidak subur) beserta segala perbaikannya lebih diperkenalkan dan dianjurkan ... Untuk mengatasi situasi konflik antara dua kewajiban, yang sering dialami oleh sementara suami-istri di negara kita, maka MAWI telah berusaha membantu dengan menyampaikan Penjelasan Pastoril 1972 ... Para imam diminta, supaya memberi bimbingan kepada seluruh umat, khususnya kepada suami-istri yang meminta keterangan dari mereka, dan kepada para tenaga medis setempat. Keterangan ini hendaknya disajikan dalam hubungan dengan ... ensiklik Humanae Vitae ... untuk situasi normal dan umum, dan Penjelasan Pastoril MAWI 1972 ... bagi mereka yang terjepit antara pelbagai kewajiban yang mendesak”. 4. Ekonomi rumah tangga: “Membangun ekonomi rumahtangga bukan hanya soal mengurangi kemiskinan atau meratakan kekayaan, melainkan terutama menanamkan kesadaran akan arti hidup yang sungguh manusiawi ...Yang mau dicapai ialah : kesejahteraan semua dan setiap orang, serta peningkatan mutu hidup menurut kehendak Tuhan ... Perlu diperhatikan secara khusus mereka yang cenderung melarikan diri dari penderitaan ekonominya, dan mengharapkan penghiburan batin semata-mata.Begitu juga mereka yang mengharapkan suatu mukjizat meniadakan penderitaan ekonomi rumahtangganya ... Sejalan dengan usaha tadi, pandangan umat mengenai arti kerja ... perlu diubah pula ... Orang berwajib bekerja, serta berhak menerima imbalannya yang adil dan layak bagi jerih payahnya itu ... Dalam rangka ini pula para gembala umat dianjurkan, supaya mendorong dan menyemangati prakarsa umat, untuk bekerja sama menjalankan berbagai usaha ... Makin jelaslah kiranya, mengapa - di samping kegiatan-kegiatan yang sudah lazim dijalankan oleh para pekerja sosial – muncullah kebutuhan akan penyuluhan, bimbingan, ketrampilan serta peningkatan usaha-usaha produktif umat ... Makin jelas pula kiranya, bahwa dalam hal pembinaan ekonomi rumahtangga organisasi-organisasi umat yang ada dapat ikut serta pula melalui berbagai kesempatan atau 12 kegiatan. Misalnya persatuan umat dalam wilayah atau kring dalam paroki, Wanita Katolik, ... Pemuda Katolik, dan sebagainya”. C. Paus Yohanes Paulus II (“Familiaris Consortio” 1981) “Kegiatan pastoral Gereja ... harus mengikuti keluarga, dengan menyertainya langkah demi langkah dalam berbagai tahap pembinaan dan pengembangannya”. (FC a.65) 1. Persiapan perkawinan: “Persiapan jauh mulai pada masa kecil, dalam pendidikan keluarga bijaksana ... Masa itu adalah masa ketika penghormatan terhadap semua nilai manusiawi yang sejati ditanamkan … Atas dasar itu selanjutnya langkah demi langkah dilaksanakan persiapan dekat. Persiapan ini meliputi … pembinaan hidup beragama yang diintegrasikan dengan persiapan untuk hidup sebagai suami-istri … Persiapan terakhir … diadakan dalam bulan-bulan dan minggu-minggu terakhir sebelum pernikahan … Dalam kursus-kursus perkawinan (harus diusahakan) keseimbangan antara berbagai segi berkenaan dengan perkawinan …” (FC a.66). 2. Liturgi pernikahan: “Perkawinan kristiani biasanya menuntut suatu perayaan liturgis yang mengungkapkan dalam bentuk sosial dan komunal ciri ekklesial dan sakramental dari perjanjian nikah antara orang-orang yang telah dibaptis. Karena merupakan suatu tindakan pengudusan ... maka liturgi pernikahan haruslah ... sah, patut, dan berbuah” (FC a.67). 3. Reksa pastoral sesudah pernikahan : “Reksa pastoral untuk keluarga berarti usaha semua anggota jemaat setempat untuk membantu suami-istri menemukan dan menghayati panggilan dan perutusan mereka ... Agar keluarga makin menjadi persekutuan cinta kasih sejati, perlulah semua anggotanya dibantu dan dilatih dalam tanggungjawab mereka ketika menghadapi masalahmasalah baru yang muncul, dalam semangat saling melayani dan berperan-serta secara aktif dalam hidup keluarga. Hal ini terutama benar untuk keluarga-keluarga muda, yang ... lebih rentan, terutama dalam tahun-tahun pertama perkawinan, terhadap kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul, seperti yang ditimbulkan oleh penyesuaian diri dalam hidup bersama atau oleh kelahiran anak-anak ... Gereja harus ... 13 membantu mereka menghayati cinta kasih suami-istri secara bertanggung jawab ... Gereja harus tetap dekat dengan para bapak-ibu itu agar mereka menerima dan mengasihi anak-anak mereka sebagai anugerah dari Tuhan kehidupan” (FC a.69). D. Kitab Hukum Gereja Katolik (kanon 1063) “Para gembala umat wajib mengusahakan agar komunitas Gerejawi masing-masing memberikan bantuan kepada umat beriman kristiani, supaya hidup perkawinan dipelihara dalam semangat kristiani serta berkembang dalam kesempurnaan. Bantuan itu terutama harus diberikan: 1. dengan kotbah, katekese yang disesuaikan bagi anak-anak, kaum muda, serta dewasa, juga dengan menggunakan alat-alat komunikasi sosial, agar dengan itu umat beriman mendapat pengajaran mengenai makna perkawinan kristiani serta mengenai tugas suami-istri dan orang tua kristiani; 2. dengan persiapan individual untuk menikah, supaya dengan itu mempelai disiapkan untuk kesucian dan tugas-tugas kedudukannya yang baru; 3. dengan perayaan liturgi perkawinan yang bermakna agar dengan itu tampak bahwa suami-istri menandakan serta mengambil bagian dalam misteri kesatuan dan cintakasih yang subur antara Kristus dan GerejaNya; 4. dengan bantuan yang diberikan kepada suami-istri, agar mereka dengan setia memelihara serta melindungi perjanjian perkawinan itu, sampai pada penghayatan hidup di dalam keluarga yang semakin hari semakin suci dan semakin penuh”. Hasil SAGKI 2015: KELUARGA KATOLIK, SUKACITA INJIL Pengantar 1. Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) IV yang diadakan pada 2–6 November 2015 di Via Renata – Cimacan mengambil tema “Keluarga Katolik: Sukacita Injil, Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Masyarakat Indonesia yang Majemuk”. 14 Dengan mengangkat tema itu, Gereja Katolik Indonesia bersehati dan seperasaan dengan Gereja Universal yang membahas tema keluarga dalam Sinode Para Uskup (2015) kelanjutan Sinode Luar Biasa Para Uskup (2014). SAGKI yang mendalami tema keluarga sebagai hal penting dan mendesak ini diikuti oleh 569 peserta yang terdiri dari uskup, imam, biarawan-biarawati, perwakilan umat dari 37 keuskupan, perwakilan keuskupan TNI, dan kelompok kategorial. 2. Keluarga sebagai “sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat” (Familiaris Consortio42) dan “sekolah kemanusiaan” (Gaudium et Spes 52) menjadi tempat pertama seseorang belajar hidup bersama orang lain serta menerima nilai-nilai luhur dan warisan iman. Di situlah seseorang menjadi pribadi matang yang menggemakan kemuliaan Allah. Keluarga katolik menjadi tempat utama, dimana doa diajarkan, perjumpaan dengan Allah yang membawa sukacita dialami, iman ditumbuhkan, dan keutamaan-keutamaan ditanamkan. 3. SAGKI 2015 mendalami kehidupan keluarga melalui kesaksian beberapa keluarga tentang buah-buah sukacita Injil dalam keluarga dan tantangan keluarga ketika memperjuangkan sukacita Injil serta melalui paparan tentang membangun wajahecclesia domestica di Indonesia. Pengalaman tersebut diteguhkan oleh para ahli, didiskusikan dalam tujuh belas kelompok dari segi spiritual, relasional, dan sosial, dipresentasikan dalam pleno, dan akhirnya dipersembahkan dengan penuh syukur dalam Perayaan Ekaristi. 4. Selama SAGKI 2015, dialami rasa syukur dan gembira serta rasa haru dan air mata saat mendengarkan dan menyaksikan sukacita dan pengalaman jatuh-bangun keluarga-keluarga katolik dalam memperjuangkan kekudusan perkawinan dan keutuhan keluarga. Ketua Presidium KWI Mgr. Ignatius Suharyo memberi salam hormat dan tanda syukur berterima kasih kepada Romo Hibertus Hartono MSF, Ketua Komisi Keluarga KWI sekaligus Ketua Panitia SAGKI ke-4 tahun 2015. (Ery Seda/Tim SC SAGKI) Buah-buah Sukacita Injil dalam Keluarga 5. Dengan penuh iman, Gereja mensyukuri perkawinan katolik sebagai sakramen, yaitu tanda kehadiran Allah Tritunggal dalam hidup 15 berkeluarga. Perjumpaan dengan Kristus membawa sukacita Injil (bdk.Evangelii Gaudium1). Pasangan suami-istri percaya bahwa Allah menghendaki, memberkati, dan mencintai keluarganya. Keyakinan ini meneguhkan suami-istri untuk setia dalam untung dan malang serta menambah sukacita dalam keluarga baik secara spiritual, relasional, maupun sosial. 6. Bercermin dari hidup Keluarga Kudus Nazaret, keluarga katolik dihayati sebagai ladang sukacita Injil yang paling subur, tempat Allah menabur, menyemai, dan mengembangkan benih-benih sukacita Injil. Di dalam keluarga, suami-istri dan anak-anak saling mengasihi, membutuhkan, dan melengkapi. Kesabaran, pengertian, dan kebersamaan saat makan, doa, dan pergi ke gereja adalah wujud nyata kasih sayang tersebut. Kasih yang dibagikan tidak pernah habis, tetapi justru meningkatkan sukacita dalam keluarga. Oleh karena itu, ketika para anggota keluarga terpaksa terpisah dari pasangan atau dari anak-anak karena alasan pekerjaan atau sekolah, mereka berusaha mencari cara bagaimana kasih satu sama lain tetap dapat terjalin dan keutuhan keluarga dapat diwujudkan. 7. Sukacita keluarga dialami secara spiritual dalam hubungan dengan Allah melalui kegiatan rohani sehingga kerinduan akan Sabda Allah tumbuh, iman makin tangguh, kepasrahan meningkat, dan pengalaman dicintai Allah dirasakan. Sukacita keluarga dialami secara relasional saat menjalin perjumpaan dan kebersamaan hidup yang bermutu, mempererat relasi kasih, saling memaafkan, menunjukkan sikap tenggang-rasa dan keberanian berkorban, serta sadar akan tanggungjawab pada generasi selanjutnya. Sukacita keluarga dialami secara sosial melalui kepedulian terhadap orang lain, pelayanan tulus terhadap sesama, pekerjaan sesuai panggilan, dan keteladanan hidup. Sukacita makin sempurna saat keluarga disapa dan diteguhkan oleh Gereja dalam pelayanannya. 8. Sukacita yang dinikmati di dalam keluarga juga menjadi kekuatan untuk mengasihi Allah dan sesama melalui pelayanan di Gereja dan masyarakat tanpa memperhitungkan perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan serta kepentingan material. Keyakinan ini diteruskan kepada anak-anak lewat pendidikan iman yang menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan agar mereka mencintai Allah dan sesama. 16 Tantangan Keluarga dalam Memperjuangkan Sukacita Injil 9. Sukacita dialami oleh keluarga yang mewujudkan rencana Allah atas perkawinan dan keluarganya. Sebagian keluarga membutuhkan perjuangan lebih karena menghadapi aneka tantangan dan kelemahan. Tantangan itu antara lain: kesulitan ekonomi, situasi sosial, budaya, agama dan kepercayaan yang tidak selaras dengan nilai-nilai perkawinan katolik seperti poligami, mahalnya mas kawin, dan kuatnya tuntutan pernikahan adat, hidup sebagai keluarga migran atau rantau, perkembangan media informasi yang menggantikan perjumpaan pribadi, dan pemujaan kebebasan serta kenikmatan pribadi. Kelemahan itu antara lain: kekurang-dewasaan pribadi dan kepicikan wawasan, penyakit dan meninggalnya pasangan, keterbatasan kemampuan orang tua untuk mengikuti perkembangan dan pendidikan anak-anak, ketidak-tahuan tentang makna dan tujuan perkawinan katolik, kesulitan dan ketidakmampuan untuk hidup bersama karena perbedaan agama dan budaya, hidup dalam perkawinan tidak sah, ketidak-setiaan dalam perkawinan, hadirnya orang ketiga (idaman lain atau keluarga besar pasangan), dan perpisahan yang tak terelakkan. Tantangan dan kelemahan ini menyebabkan perasaan terbeban, bingung, sedih, sepi, dan bahkan putus-asa bagi anggota keluarga. Tantangan dan kelemahan itu bisa membawa keluarga pada krisis iman yang merintangi, membatasi, dan bahkan menghalangi keluarga untuk setia kepada iman katolik dan untuk menghidupi nilai-nilai luhur perkawinan. 10. Di tengah pergumulan memperjuangkan sukacita Injil, keluarga mesti datang penuh kerendahan-hati untuk dikuduskan oleh Allah yang berbelas-kasih yang melampaui kelemahan dan kedosaan manusia. Pembelaan Allah yang begitu besar ini merupakan sukacita yang patut disadari dan disyukuri. Kekudusan keluarga merupakan rahmat sekaligus tugas bagi keluarga untuk dipertahankan. Oleh karenanya, keluarga diundang untuk bersikap dewasa, bertindak bijaksana, dan tetap beriman dengan tidak menyalahkan situasi, tetapi setia mencari kehendak Allah melalui doa dan Sabda Allah, mengutamakan pengampunan dan peneguhan di antara anggota keluarga, serta pergi menjumpai pribadi atau komunitas beriman yang mampu membangkitkan harapan. Keluarga yang mengandalkan Allah percaya bahwa Allah tidak pernah meninggalkannya. Selalu ada jalan keluar. Tantangan adalah kesempatan 17 untuk bertumbuh dalam kepribadian serta iman, harapan, dan kasih. Tantangan tidak harus menyuramkan nilai-nilai perkawinan dan hidup berkeluarga. Melalui tantangan itu, Allah mengerjakan karya keselamatanNya di dalam dan melalui keluarga. 11. Gereja terpanggil untuk bersama-sama mencari, menyapa, mendengarkan dan bersehati dengan keluarga yang sedang menghadapi tantangan, termasuk mereka yang tidak sanggup mempertahankan nilainilai hidup perkawinan dan keluarga. Di sinilah Gereja hadir untuk menampilkan wajah Allah yang murah hati dan berbelas kasih, terutama bagi keluarga yang berada dalam situasi sulit. Dalam kemurahan dan belas kasih Allah, keluarga-keluarga tidak akan mengalami kebuntuan dalam perjalanannya meraih kebahagiaan. Gerak Bersama: Membangun Ecclesia Domestica di Indonesia 12. “Keluarga merupakan buah dan sekaligus tanda kesuburan adikodrati Gereja serta memiliki ikatan mendalam, sehingga keluarga disebut sebagai Gereja Rumah-Tangga (ecclesia domestica). Sebutan ini sudah pasti memperlihatkan eratnya pertalian antara Gereja dan keluarga, tetapi juga menegaskan fungsi keluarga sebagai bentuk terkecil dari Gereja. Dengan caranya yang khas keluarga ikut mengambil bagian dalam tugas perutusan Gereja, yaitu karya keselamatan Allah” (Pedoman Pastoral Keluarga KWI 2010, No 6). Sebagai Gereja Rumah-Tangga, keluarga menjadi pusat iman, pewartaan iman, pembinaan kebajikan, dan kasih kristiani dengan mengikuti cara hidup Gereja Perdana (Kis 2: 41-47; 4: 32-37). Gereja Rumah-Tangga mengambil bagian dalam tiga fungsi imamat umum Yesus Kristus, yaitu guru untuk mengajar, imam untuk menguduskan, dan gembala untuk memimpin. Gereja Rumah-Tangga di Indonesia dibangun berdasarkan nilai-nilai kristiani yang diwujudkan dalam masyarakat yang majemuk. 13. Dalam reksa pastoral keluarga, Gereja mesti berangkat dari keprihatinan dan tantangan keluarga zaman ini yang semuanya membutuhkan kerahiman Allah. Gereja dipanggil untuk menunjukkan wajah Allah yang murah hati dan berbelas kasih melalui pelayanan, terutama kepada mereka yang paling lemah, rapuh, terluka, dan menderita. Kerahiman Allah tidak pernah bertentangan dengan keadilan dan kebenaran, tetapi bergerak melampauinya karena “Allah adalah kasih” (1Yoh 4: 8). 18 14. Demi menggiatkan pastoral keluarga yang berbelas kasih dan penuh kerahiman, Gereja dipanggil melakukan pertobatan pastoral secara menyeluruh. Pertobatan dimulai dari pelayan-pelayan pastoral yang berkarya dalam pelbagai lembaga pelayanan. Dengan demikian, pastoral keluarga dapat menanggapi persoalan keluarga secara tepat. Untuk itu: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. Pedoman Pastoral Keluarga KWI yang diterbitkan tahun 2010 harus diperhatikan dan dilaksanakan; Reksa pastoral keluarga terpadu dan berjenjang mulai dari persiapan perkawinan sampai pada pendampingan keluarga pasca nikah, termasuk pertolongan pada keluarga dalam situasi khusus harus dibentuk dan dihidupkan kembali; Katekese keluarga harus dikembangkan; Kebijakan dan koordinasi perangkat pastoral keluarga baik di tingkat KWI, regio, keuskupan, maupun paroki harus ditegaskan dan disosialisasikan; Keuskupan-keuskupan se-Indonesia harus bekerjasama dan solider dalam sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta keuangan; Pelayanan perangkat pastoral seperti Komisi Keluarga dan Tribunal Gerejawi harus mendapat perhatian dan diberdayakan; Lembaga dan pelayan pastoral keluarga, termasuk kelompokkelompok kategorial dan pemerhati keluarga serta para ahli harus diikutsertakan; Komunitas basis keluarga dan institusi pendidikan katolik harus dilibatkan; Ekonomi keluarga harus ditingkatkan melalui lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan; Data-data yang berkaitan dengan kepentingan pastoral keluarga harus dimanfaatkan; Lembaga Hidup Bakti harus diikut-sertakan dalam pastoral keluarga dengan tetap menghormati kekhasan karismanya. Dalam gerak bersama tersebut, kita perlu juga terbuka untuk bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat, lembaga keagamaan, dan bahkan pemerintah. 19 15. Keluarga katolik dipanggil untuk mewartakan sukacita Injil dengan kesaksian hidupnya dan kepeduliannya kepada keluarga-keluarga lain. Dengan demikian, keluarga sungguh menjadi Gereja Rumah-Tangga yang tidak terkungkung dalam dirinya sendiri, tetapi menjalankan tugas perutusannya dalam memajukan Gereja dan menyejahterakan masyarakat (bdk.Familiaris Consortio 42). Penutup 16. Kekayaan pengalaman dan aneka diskusi selama SAGKI 2015 tak mungkin dirangkum seluruhnya dalam rumusan hasil Sidang ini. Namun, kesaksian keluarga, diskusi kelompok, peneguhan dari ahli, kebersamaan, dinamika kerja panitia, dan kreasi bersama tim animasi dalam SAGKI tetap akan terdokumentasikan dalam bentuk buku, video, dan foto. Kita semua yakin bahwa para peserta SAGKI IV inilah yang sepantasnya berperan sebagai “dokumen” dan saksi hidup yang kaya akan pengalaman sukacita Injil dalam keluarga. 17. Pada akhir Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia ini, marilah kita semakin percaya bahwa Allah menjumpai para anggotanya untuk membimbingnya menuju kesempurnaan kasih dan kepenuhan hidup kristiani. Kita bersyukur kepada Allah karena keluarga katolik mengalami sukacita baik dalam kesetiaan perkawinannya maupun dalam perjuangan menghadapi tantangan. Kita percaya bahwa Roh Kudus menyertai keluarga memelihara dan merawat kesuciannya. Kita turut prihatin bersama keluarga yang berada dalam situasi sulit. Semoga Gereja sebagai sumber air hidup dapat menjadi Guru bijaksana dan Ibu pemberi harapan bagi keluarga. Keluarga Kudus Nazaret, doakanlah kami untuk mewujudkan keluarga katolik yang memancarkan sukacita Injil. KELUARGA SEBAGAI ECCLESIA DOMESTICA 1. Keluarga- keluarga Kristiani merupakan pusat iman yang hidup, tempat pertama iman akan Kristus diwartakan dan sekolah pertama tentang doa, kebajikan- kebajikan dan cinta kasih Kristen. KGK 1656 “...keluarga-keluarga Kristen itu sangat penting sebagai pusat suatu iman yang hidup dan meyakinkan”. Karena itu Konsili Vatikan II menamakan keluarga menurut sebuah ungkapan tua “Ecclesia domestica” [Gereja-rumah tangga] (Lumen Gentium 11, Bdk. Familiaris 20 Consortio 21). Dalam pangkuan keluarga “hendaknya orang-tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orang-tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani” (LG 11, 2). KGK 1666 “Keluarga Kristen adalah tempat anak-anak menerima pewartaan pertama mengenai iman”. Karena itu tepat sekali ia dinamakan “Gereja-rumah tangga” – satu persekutuan rahmat dan doa, satu sekolah untuk membina kebajikan-kebajikan manusia dan cinta kasih Kristen. KGK 2685 “Keluarga Kristen adalah tempat pendidikan doa yang pertama”. Atas dasar Sakramen Perkawinan, keluarga adalah “Gereja rumah tangga”, di mana anak-anak Allah berdoa “sebagai Gereja” dan belajar bertekun dalam doa. Teristimewa untuk anak-anak kecil, doa sehari-hari dalam keluarga adalah kesaksian pertama untuk ingatan Gereja yang hidup, yang dibangkitkan dengan penuh kesabaran oleh Roh Kudus. 2. Keluarga Kristiani merupakan tempat dilaksanakannya misi imamat bersama yang diterima melalui Pembaptisan, yaitu dengan menyambut sakraman- sakramen, berdoa dan menerapkan kasih. KGK 1657 “Disini dilaksanakan imamat yang diterima melalui Pembaptisan, yaitu imamat bapa keluarga, ibu, anak-anak, semua anggota keluarga atas cara yang paling indah “dalam menyambut Sakramen-sakramen, dalam berdoa dan bersyukur, dengan memberi kesaksian hidup suci, dengan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif” (LG 10). Dengan demikian keluarga adalah sekolah kehidupan Kristen yang pertama dan “suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan” (GS 52,1). Di sini orang belajar ketabahan dan kegembiraan dalam pekerjaan, cinta saudara sekandung, pengampunan dengan jiwa besar, malahan berkali-kali dan terutama pengabdian kepada Allah dalam doa dan dalam penyerahan hidup. 3. Keluarga Kristiani merupakan presentasi dan pelaksanaan persekutuan Gereja, yaitu persekutuan iman, harapan dan kasih. KGK 2204 “Keluarga Kristen adalah satu penampilan dan pelaksanaan khusus dari persekutuan Gereja. Karena itu, ia dapat dan harus dinamakan juga “Gereja rumah tangga” (FC 21, Bdk. LG 11). Ia adalah persekutuan iman, harapan, dan kasih; seperti yang telah dicantumkan di dalam Perjanjian Baru (Bdk. Ef 5:21 – 6:4; Kol 3:18-21; 1 Ptr 3:1-7), ia memainkan peranan khusus di dalam Gereja. 21 Keluarga sebagai Gereja kecil (Ecclesia domestica) dengan cara tertentu dan dengan caranya sendiri menjadi gambaran yang hidup dan penampilan historis dari misteri Gereja (lih. Familiaris Consortio 49) 4. Keluarga Kristiani adalah persekutuan antar anggota- anggotanya, yang menjadi tanda dan gambaran persekutuan Allah Trinitas. KGK 2205 “Keluarga Kristen adalah persekutuan pribadi-pribadi, satu tanda dan citra persekutuan Bapa dan Putera dalam Roh Kudus. Di dalam kelahiran dan pendidikan anak-anak tercerminlah kembali karya penciptaan Bapa. Keluarga dipanggil, supaya mengambil bagian dalam doa dan kurban Kristus. Doa harian dan bacaan Kitab Suci meneguhkan mereka dalam cinta kasih....”. 5. Seperti halnya Gereja, keluarga- keluarga Kristiani mempunyai tugas mewartakan dan menyebarluaskan Injil. KGK 2205 “Keluarga Kristen mempunyai suatu tugas mewartakan dan menyebarluaskan Injil.” Dengan demikian, keluarga sebagai Ecclesia domestica merupakan tempat yang kudus, karena di dalam keluarga Allah sendiri hadir di tengah umat-Nya. Secara khusus dalam doa keluarga digenapilah Sabda Tuhan yang mengajarkan bahwa jika dua atau tiga orang yang bersekutu di dalam nama-Nya, Tuhan hadir (lih. Mat 18:20). “Tempat yang kudus” dalam keluarga tidak untuk diartikan secara jasmani, di mana keluarga menyediakan tempat khusus untuk berdoa; tetapi juga tempat kudus rohani, di mana keluarga bersama-sama menerapkan iman, pengharapan dan kasih yang melibatkan pengorbanan dan pemberian diri seturut teladan Kristus (lih. Familiaris Consortio 49). Dengan menerapkan kasih dan pengorbanan, setiap anggota keluarga mengambil bagian dalam kurban Kristus bagi pengudusan umat manusia dan turut mengambil bagian dalam tugas Gereja menjadi sarana keselamatan (lih. Lumen Gentium 1). Selanjutnya Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menjabarkan dengan lebih jelas pengertian keluarga sebagai Ecclesia Domestica. Berikut ini adalah kutipan yang diambil dari buku Pedoman Pastoral Keluarga, KWI, (Jakarta: Obor Jan 2011), hl. 15-18, demikian: Keluarga adalah Gereja Rumah Tangga (Ecclesia Domestica) 17. Berkat Sakramen Baptis, suami istri dan anak menerima dan memiliki tiga martabat Kristus, yakni martabat kenabian, imamat, dan 22 rajawi. Dengan martabat kenabian mereka mempunyai tugas mewartakan Injil; dengan martabat imamat, mereka mempunyai tugas menguduskan hidup, terutama dengan menghayati sakramen- sakramen dan hidup doa; dan dengan martabat rajawi, mereka mempunyai tugas untuk melayani sesama. Berkat sakramen Baptis pula, mereka menjadi anggota dan ikut membangun Gereja. Kelurga bukan hanya merupakan sebuah komunitas basis manusiawi belaka, melainkan juga komunitas basis gerejawi yang mengambil bagian dalam karya penyelamatan Allah. Hidup berkeluarga ini menampakkan hidup Gereja sebagai suatu persekutuan (Koinonia) dalam bentuk yang paling kecil namun mendasar, yang merayakan iman melalui doa peribadatan (Leiturgia), mewujudkan pelayanan (Diakonia) melalui pekerjaan, dan memberi kesaksian (Martyria) dalam pergaulan; semuanya itu menjadi sarana penginjilan (Kerygma) yang baru. Maka keluarga adalah sungguh- sungguh Gereja rumah tangga karena mengambil bagian dalam lima tugas Gereja seperti berikut ini: a. Persekutuan (Koinonia) Keluarga adalah ‘persekutuan seluruh hidup’ (consortium totius vitae) antara seorang laki- laki dan seorang perempuan berlandaskan perjanjian antara kedua belah pihak dan diteguhkan melalui kesepakatan perkawinan. Persekutuan antara mereka berdua diperluas dengan kehadiran anak-anak dan keluarga besar. Ciri pokok dari persekutuan tersebut adalah hidup bersama berdasarkan iman dan cinta kasih serta kesediaan untuk saling mengembangkan pribadi satu sama lain. Persekutuan dalam keluarga diwujudkan dengan menciptakan saatsaat bersama, doa bersama, kesetiaan dalam suka dan duka, untung dan malang, ketika sehat dan sakit. b. Liturgi (Leiturgia) Kepenuhan hidup Katolik tercapai dalam sakramen- sakramen dan hidup doa. Melalui sakramen- sakramen dan hidup doa, keluarga bertemu dan berdialog dengan Allah. Dengannya mereka dikuduskan dan menguduskan jemaat gerejawi serta dunia. Relasi antara Kristus dengan Gereja terwujud nyata dalam Sakramen Perkawinan, yang menjadi dasar panggilan dan tugas perutusan suami- istri. Suami- istri mempunyai tanggung jawab membangun kesejahteraan rohani dan jasmani keluarganya, dengan doa dan karya. Doa keluarga yang dilakukan setiap hari dengan setia dakan memberi kekuatan iman dalam hidup mereka, 23 terutama ketika mereka sedang menghadapi dan mengalami persoalan sulit dan berat, dan membuahkan berkat rohani, yaitu relasi yang mesra dengan Allah. c. Pewartaan Injil (Kerygma) Karena keluarga merupakan Gereja Rumah tangga, keluarga mengambil bagian dalam tugas Gereja untuk mewartakan Injil. Tugas itu dilaksanakan terutama dengan mendengarkan, menghayati, melaksanakan, dan mewartakan Sabda Allah. Dari hari ke hari mereka semakin berkembang sebagai persekutuan yang hidup dan dikuduskan oleh Sabda. “Keluarga, seperti Gereja, harus menjadi tempat Injil disalurkan dan memancarkan sinarnya. Dalam keluarga, yang menyadari tugas perutusan itu, semua anggota mewartakan dan menerima pewartaan Injil. Orang tua tidak sekedar menyampaikan Injil kepada anak- anak mereka, melainkan dari anak- anak mereka sendiri, mereka dapat menerima Injil itu juga, dalam bentuk penghayatan mereka yang mendalam. Dan keluarga seperti itu menjadi pewarta Injil bagi banyak keluarga lain dan bagi lingkungan di sekitarnya.” (Paus Paulus VI, Himbauan Apostolik, “Evangelii Nuntiandi”, EN, 71) Sabda Allah itu termuat dalam Kitab Suci, yang tidak selalu mudah dipahami, maka keluarga sebaiknya ikut mengambil bagian secara aktif dalam kegiatan- kegiatan pendalaman Kitab Suci. d. Pelayanan (Diakonia) Keluarga merupakan persekutuan cinta kasih, maka keluarga dipanggil untuk mengamalkan cinta kasih itu melalui pengabdiannya kepada sesama, terutama bagi mereka yang papa. Dijiwai oleh cinta kasih dan semangat pelayanan, keluarga katolik menyediakan diri untuk melayani setiap orang sebagai pribadi dan anak Allah. Pelayanan keluarga hendaknya bertujuan memberdayakan mereka yang dilayani, sehingga mereka dapat mandiri. e. Kesaksian Iman (Martyria) Keluarga hendaknya berani memberi kesaksian imannya dengan perkataan maupun tindakan serta siap menanggung resiko yang muncul dari imannya itu. Kesaksian iman itu dilakukan dengan berani menyuarakan kebenaran, bersikap kritis terhadap berbagai ketidakadilan dan tindak kekerasan yang merendahkan martabat manusia serta merugikan masyarakat umum.” 24 AJARAN GEREJA TENTANG ABORSI DAN KONTRASEPSI "Kedua-duanya berakar dalam mentalitas hedonistis yang tidak mau menerima tanggung jawab dalam perkata-perkata mengenai seksualitas, dan keduanya juga menyiratkan sebuah konsep kebebasan yang berpusat pada diri sendiri, yang menganggap prokreasi sebagai sebuah halangan menuju pencapaian pribadi. Dengan demikian, kehidupan yang terlahir sebagai akibat dari relasi seksual menjadi musuh yang dihindari entah apa pun bayarannya, dan aborsi menjadi satu-satunya tanggapan pasti yang mungkin terhadap kontrasepsi yang gagal (Evangelium Vitae, 13)." “… Di samping itu de facto kita menghadapi `persengkokolan obyektif melawan hidup', yang bahkan melibatkan lembaga-lembaga internasional, yang sekarang juga sibuk mendorong dan menjalankan kampanye-kampanye, untuk di mana-mana membuka peluang bagi kontrasepsi, sterilisasi dan pengguguran. Pantang disangkal pula, bahwa media massa sering terlibat dalam persekongkolan itu, dengan mempercayai kebudayaan, yang menggambarkan penggunaan kontrasepsi, sterilisasi dan penggururan serta bahkan eutanasia sebagai tanda kemajuan dan kejayaan kebebasan, sedangkan pendirian-pendirian yang tanpa syarat mendukung hidup dilukiskannya sebagai musuhmusuh kebebasan dan kemajuan” (Evangelium Vitae, 17) “Dalam hubungan dengan kondisi fisik, ekonomi, psikologi dan sosial, peran ke-orang-tua-an yang bertanggungjawab dilaksanakan, baik oleh keputusan sengaja dan dermawan untuk membesarkan keluarga yang besar, atau oleh keputusan, yang dibuat atas motif yang serius dan dengan menghormati hukum moral, untuk menunda sementara waktu, atau untuk satu waktu yang tak ditetapkan, sebuah kelahiran baru.” (Humanae Vitae, 10). “Usaha interupsi/ pemutusan terhadap proses generatif yang sudah berjalan, dan terutama, aborsi yang dengan sengaja diinginkan, meskipun untuk alasan terapi, adalah mutlak tidak termasuk dalam caracara yang diizinkan untuk pengaturan kelahiran.”.....“Pula hendaknya dikutuk… adalah sterilisasi langsung, baik pada laki-laki maupun pada perempuan, baik permanen maupun sementara”. (Humanae Vitae, 14). “Kehidupan manusia adalah kudus karena sejak awal ia membutuhkan 'kekuasaan Allah Pencipta' dan untuk selama-lamanya tinggal dalam hubungan khusus dengan Penciptanya, tujuan satu-satunya. Hanya Allah 25 sajalah Tuhan kehidupan sejak awal sampai akhir: tidak ada seorang pun boleh berpretensi mempunyai hak, dalam keadaan mana pun, untuk mengakhiri secara langsung kehidupan manusia yang tidak bersalah” (“Donum vitae,” 5). Sejak abad pertama Gereja telah menyatakan abortus sebagai kejahatan moral. Ajaran itu belum berubah dan tidak akan berubah. Abortus langsung, artinya abortus yang dikehendaki baik sebagai tujuan maupun sebagai sarana, merupakan pelanggaran berat melawan hukum moral: "Engkau tidak boleh melakukan abortus dan juga tidak boleh membunuh anak yang baru dilahirkan.” (Didache 2,2). "Allah, Tuhan kehidupan, telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat. Pengguguran dan pembunuhan anak merupakan tindakan kejahatan yang durhaka" (GS 51,3). (Katekismus Gereja Katolik, 2271). Keterlibatan aktif dalam suatu abortus adalah suatu pelanggaran berat. Gereja menghukum pelanggaran melawan kehidupan manusia ini dengan hukuman Gereja ialah ekskomunikasi. "Barang siapa yang melakukan pengguguran kandungan dan berhasil terkena ekskomunikasi" (KHK, kan. 1398), "(ekskomunikasi itu) terjadi dengan sendirinya, kalau pelanggaran dilaksanakan" (CIC, can. 1314) menurut syarat-syarat yang ditentukan di dalam hukum Bdk. CIC, cane. 1323-1324.. Dengan itu, Gereja tidak bermaksud membatasi belas kasihan; tetapi ia menunjukkan dengan tegas bobot kejahatan yang dilakukan, dan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi, yang terjadi bagi anak yang dibunuh tanpa kesalahan, bagi orang-tuanya dan seluruh masyarakat. (Katekismus Gereja Katolik, 2272). Oleh karena embrio sejak pembuahan harus diperlakukan sebagai pribadi, maka ia, sebagaimana setiap mangsia yang lain, sejauh mungkin harus dipertahankan secara utuh, dirawat, dan disembuhkan.Diagnosis pranatal diperbolehkan secara moral, apabila ia "menghormati kehidupan dan keutuhan embrio dan janin manusiawi dan diarahkan kepada perlindungan dan perawatan embrio sebagai pribadi.... Tetapi ia bertentangan berat dengan hukum moral, kalau ini, - tergantung, bagaimana hasilnya, - dilakukan dengan pikiran mengenai kemungkinan abortus. Dengan demikian diagnosis... tidak boleh praktis merupakan hukuman mati" (DnV 1,2). (Katekismus Gereja Katolik, 2274). 26 “Kesuburan adalah suatu harta, satu anugerah, satu tujuan perkawinan. Dengan memberi kehidupan, suami isteri mengambil bagian dalam keBapa-an Allah.” (Katekismus Gereja Katolik, 2398). “.....Kecuali kalau ada alasan-alasan terapi yang kuat, amputasi, pengudungan atau sterilisasi dari orang-orang yang tidak bersalah, merupakan pelanggaran terhadap hukum susila (Bdk. DS 3722). (Katekismus Gereja Katolik, 2297) “Selain itu apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran (aborsi), eutanasia atau bunuh diri yang disengaja; apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia, …. apa pun yang melukai martabat manusia, seperti kondisi-kondisi hidup yang tidak layak manusiawi, pemenjaraan yang sewenang-wenang, pembuangan orang-orang, perbudakan, pelacuran, perdagangan wanita dan anak-anak muda; begitu pula kondisi-kondisi kerja yang memalukan, sehingga kaum buruh diperalat semata-mata untuk menarik keuntungan…. itu semua dan hal-hal lain yang serupa memang perbuatan yang keji. Dan sementara mencoreng peradaban manusiawi, perbuatan-perbuatan itu lebih mencemarkan mereka yang melakukannya, dari pada mereka yang menanggung ketidak-adilan, lagi pula sangatberlawanan dengan kemuliaan Sang Pencipta.” (Gaudium et Spes, 27). 27 CATATAN 28