NILAI-NILAI SOSIAL PUASA DALAM AGAMA BUDDHA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.) Disusun Oleh: Abdul Malik NIM : 1110032100053 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H./2016 M. ABSTRAKSI Abdul Malik Nilai-nilai Sosial Puasa Dalam Agama Buddha Puasa adalah masalah yang menarik. Mengapa demikian, ajaran puasa dalam agama Buddha hanya sebagai media standar untuk mengekspresikan kedekatan, kecintaan, permohonan rahmat dan ampunan dari Sang Buddha. Agama Buddha biasa disebut dan dicitrakan sebagai agama (asketik), yaitu agama yang tidak tergiur dengan keindahan duniawi. Ia hanya mementingkan untuk hubungan kepada Sang Buddha (horizontal). Hal tersebut dari ajaran di dalamnya yang menerangkan cara untuk mencapai tujuan akhir, yaitu nibbana. Sederhananya nibbana merupakan puncak spiritualitas dalam agama Buddha yang terlepas unsur-unsur duniawi yang membelenggu penganutnya. Maka dalam agama Buddha, berpuasa bukan hanya berhubungan terhadap Sang Buddha saja. Akan tetapi, dengan berpuasa mempunyai nilai-nilai sosial yang sangat penting dalam kehidupan. Dalam agama Buddha, puasa merupakan perwujudan dari pelaksanaan sila, yaitu suatu cara untuk mengendalikan diri terhadap segala bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk meneliti ritual puasa dalam agama Buddha. dalam melakukan penelitian ini, penulis mengumpulkan data kualitatif. Pertama, data kepustakaan. Penulis mengumpulkan beberapa literatur buku-buku ilmiah dan sumber lainnya yang memiliki relevansi dengan objek penelitian sebagai dasar-dasar teoritis. Kedua, data lapangan. Yaitu penulis terjun langsung ke Vihara Siripada yang berlokasi di Tanggerang Selatan Banten dimana umat Buddha melakukan ritual. Ketiga, penulis melakukan wawancara dengan mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengumpulkan data dan memperoleh keterangan-keterangan yang sesuai dengan tujuan penelitan. Setelah penulis amati, bahwasannya puasa itu mengandung nilai-nilai sosial yang sangat penting dalam kehidupan kita khususnya dalam agama Buddha. Berpuasa bukan hanya media untuk mendekatkan diri kepada Sang Budda saja, akan tetapi implementasi nilai-nilai puasa itu kita terapkan dalam kehidupan sosial. Apa saja nilai-nilai puasa yang terkandung dalam agama Buddha? Tentunya nilai-nilai puasa yang terkandung dalam agama Buddha sangat banyak. Akan tetapi, penulis mencoba meringkasnya dalam empat faktor diantaranya: dengan berpuasa khususnya penganut Buddha harus mempunyai sifat solidaritas sosial yang tinggi, mempunyai rasa empati, mempunyai rasa humanisme dan harus bisa mengendalikan pikiran. Karena dengan nilai empat faktor ini bagi umat Buddha yang menjalankan ritual puasa ia akan merasa hidup lebih tenang dan bahagia untuk mencapai tujuan akhir yaitu nibbana. v DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL…………………………………………………………………………i SURAT PERNYATAAN………………………………………………………….……...ii LEMBAR PERSETUJUAN……………………………………………………..………iii LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………..……..…iv ABSTRAK……………………………………………………………………..………..…v KATA PENGANTAR………………………………………………………..…………...vi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………………..….....1 B. Perumusan Masalah…………………………………………………...……6 C. Tujuan Penelitian………………………………………………………...…6 D. Kajian Pustaka…………………………………………………………..…7 E. Metodologi Penelitian…………………………………………………...…8 F. Sistematika Penulisan……………………………………………………..11 BAB II PUASA MENURUT AGAMA AGAMA A. Puasa Menurut Agama Islam……………………………………………...13 B. Puasa Menurut Agama Kristen Protestan…………………………………16 C. Puasa Menurut Agama…………………………………………………….18 D. Puasa Menurut Agama…………………………………………………….20 E. Puasa Menurut Agama………………………………………………….….21 BAB III PUASA MENURUT AGAMA BUDDHA A. Pengertian Puasa Dalam Agama Buddha………………………..………..25 ix B. Dasar Hukum Puasa Dalam Agama Buddha…………………….……….29 C. Pelaksanaan dan Macam-macam Puasa Dalam Agama Buddha….……...30 D. Tujuan dan Manfaat Puasa Dalam Agama Buddha………………………35 BAB IV IMPLEMENTASI PUASA TERHADAP NILAI SOSIAL A. Solidaritas…………………………………………………………………46 B. Rasa Empati………………………………………………………...……..48 C. Humanisme………………………………………………………………..52 D. Pengendalian Pikiran………………………………………………...……57 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………………….62 B. Saran………………………………………………………………………63 C. Daftar Pustaka…………………………………………………………….65 x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pemahaman kebudayaan, agama sebagai sistem dan prinsip kepercayaan kepada Tuhan, Dewa, atau Dzat yang lainnya dianggap mempunyai kekuatan di luar diri manusia. Oleh karena itu, sejarah agamaagama yang dianut oleh umat manusia tidak dapat lepas dari sejarah perkembangan kebudayaan umat manusia. Berbagai agama yang ada di dunia ini dapat dibagi menjadi empat macam agama, yaitu: a. Agama masyarakat primitif b. Agama masyarakat di daratan dimana kitab Tuhan diturunkan c. Agama masyarakat India d. Agama masyarakat Cina dan jepang Agama masyarakat primitif adalah kepercayaan animisme dan dinamisme yang menyembah kekuatan roh. Agama Judaisme (Yahudi), Zoroaster, Kristen, dan Islam masuk pada kategori kedua, yaitu agama yang lahir di daratan dimana wahyu Tuhan kitab suci diturunkan. Agama masyarakat India adalah Hindhuisme, Jainisme, Buddhisme, dan Sikhisme. Sedangkan agama masyarakat Cina dan Jepang adalah Taoisme, Confusianisme, dan Shinto.1 1 Erwin Kusuma, Khazanah Kearifan Agama-agama di Indonesia (Jakarta: PT Intimedia Cipta Nusantara, 2010), h. 1-2. 1 Agama adalah hak setiap warga negara Indonesia. Setiap warga negara diperbolehkan untuk memeluk suatu agama yang diyakininya dan negara menjamin kebebasan memeluk agama tersebut. 2 Agama merupakan anugerah Tuhan bagi manusia sebagai pedoman untuk menjalani hidup di dunia. Dengan adanya agama, manusia mempunyai pegangan dalam setiap tindakannya di dunia ini. Seseorang yang memeluk suatu agama dituntut untuk melaksanakan kewajian yang ada dalam agama tersebut. Setiap agama mempunyai ritual yang disebut dengan ibadah, sebagai sarana manusia berhubungan dengan Tuhan.3 Artinya, agama yang dianut melahirkan berbagai prilaku sosial yakni prilaku yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama. Kadangkadang prilaku tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Norma-norma dan nilai-nilai sangat berpengaruh terhadap prilaku sosial. Salah satu fungsi agama adalah sebagai penyelamat, keselamatan yang meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang diajarkan oleh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya yaitu keselamatan dunia, dan keselamatan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu, agama juga mengajarkan kepada para penganutnya melalui: pengenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan kepada Tuhan.4 2 UUD 1945, Pasal 29. Mastuhu, Metode Penelitian Agama Teori dan Praktisi (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006), h. 127. 4 Jalaludin, Psikologi Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 261. 3 2 Dari semua fenomena yang berkaitan dengan ritual agama, puasa merupakan salah satu ritual keagamaan yang senantiasa dilaksanakan oleh agama-agama di dunia. Dalam kehidupan, puasa juga dapat menjadi benteng guna untuk menghambat manusia agar mampu mengendalikan nafsu hewani yang sering bersemayam pada diri manusia. Seperti diketahui, banyak tingkah dan ulah manusia di dunia ini yang tidak mencerminkan sikap yang seharusnya menjadi sikap manusia. Secara spiritual puasa dapat mendorong untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya. Sementara secara sosial, puasa melatih empati manusia untuk bertenggang rasa dan turut merasakan penderitaan orang lain yang kurang beruntung di dunia. Salah satu hikmah yang besar dari ibadah puasa adalah melatih manusia untuk menyuburkan kehidupan rohani. Nafsu jasmaniah yang ada pada masing-masing individu harus dengan sungguhsungguh dapat diredam, dikendalikan dan diarahkan untuk tujuan-tujuan yang lebih mulia. Setiap orang yang menjalankan ibadah puasa pada hakekatnya memang sedang memenjarakan dirinya dari berbagai nafsu jasmaniah dan ruhaniah.5 Berpuasa adalah kegiatan berpantang makan dan minum selama jangka waktu tertentu. Puasa bukanlah penemuan zaman modern, karena kebiasaan berpuasa sudah dipraktekan selama berabad-abad dan menjadi bagian dari agama dan budaya diseluruh dunia selama ribuan tahun. Puasa umumnya berfungsi memenuhi kebutuhan metafisik, diantaranya: pembersihan jiwa, 5 Teguh Purwadi, Membangkitkan Kembali Spritual Anda (Bandung: PT Karya Kita, 2007), h. 42. 3 penebusan dosa, pemurnian, atau pelatihan mental. Ajaran puasa dapat kita temukan diantara orang Yahudi, Muslim, Kristen, Konghucu, Hindu, Taoisme dan penganut agama-agama lainnya. Puasa biasanya merupakan bagian penting dari praktik keagamaan, masing-masing punya aturan tertentu dalam menjalankan puasa dalam berbagai budaya dan agama.6 Ajaran puasa terdapat dalam berbagai agama, diantaranya agama Buddha. Ajaran-ajaran tersebut mengacu pada kitab suci Tripitaka. Agama Buddha juga menjadikan puasa sebagai media standar untuk mengekspresikan kedekatan, kecintaan, permohonan, rahmat dan ampunan dari Sang Buddha.7 Agama Buddha biasa disebut dan dicitrakan sebagai agama (asketik), yaitu agama yang tidak tergiur dengan keindahan duniawi. Ia hanya mementingkan untuk hubungan kepada Sang Buddha (horizontal). Hal tersebut dari ajaran di dalamnya yang menerangkan cara untuk mencapai tujuan akhir, yaitu nibbana. Sederhananya nibbana merupakan puncak spritualitas dalam agama Buddha yang terlepas unsur-unsur duniawi yang membelenggu penganutnya. Maka dalam agama Buddha, berpuasa bukan hanya hubungan terhadap Sang Buddha saja. Akan tetapi, dengan berpuasa mempunyai implementasi terhadap kehidupan sosial (vertical). Dalam agama Buddha, puasa merupakan perwujudan dari pelaksanaan sila, yaitu suatu cara untuk mengendalikan diri terhadap segala bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan suatu usaha untuk membebaskan diri 6 https://id-id.facebook.com/perpustakaanunik/pasts Herman S.Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Budhis 1996-2026 (Jakarta: Yayasan Dhammadieva Arama, 1997), h. 2. 7 4 dari segala akar kejahatan, yaitu lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (kebodohan batin). Dimana setiap orang memiliki sila yang baku, yang dilakukan sebagai suatu usaha untuk mencapai tujuan akhir (nibbana).8 Dasar ajaran puasa dalam agama Buddha terdapat di dalam ajaran sila, dari atthasila (delapan peraturan hidup suci), dasasila (peraturam pada hari puasa), dan patimokkha (ritual atau do’a).9 Sehingga di dalam pelaksanaanya terdapat tingkatan, yaitu bagi umat awam puasa dilaksanakan pada setian hari Uposatha yang jatuh pada tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut penanggalan lunar, sedangkan bagi umat viharawan puasa dilaksanakan pada setiap hari. 10 Pelaksanaan puasa ini telah diajarkan oleh Sang Buddha, dimana Sang Buddha telah menganjurkan kepada para Bhikkhu untuk tidak makan setelah tengah hari. Demikian pula orang-orang yang melaksanakan atthasila (delapan peraturan hidup suci) untuk berpantang dari mengambil makanan setelah tengah hari.11 Pada hari puasa umat Buddha hanya dibolehkan makan dari pagi sampai tengah hari, yaitu sebelum matahari melewati jam 12:00 siang. 12 Mereka berjanji pada dirinya sendiri untuk berpantang memakan makanan setelah lewat tengah hari dan melaksankan delapan peraturan latihan lainnya serta melakukan perenungan dan mendengarkan Dhamma. 8 Pendit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan (Jakarta: Tri Sattva Buddhist Cantre, 1991), h. 170. 9 Lihat Anjali G.S, Tuntunan Uposatha dan Atthasila (Jakarta: Lembaran Khusus Agama Buddha), h. 25. 10 Bhikku Subalaratano, Tanya Jawab Agama Buddha (t.tp: t. tt), h. 36. 11 K. Sri Dhammanada, What Buddhis Belive, h. 214. 12 Anomius Dhamma Rakkha, Kumpulan Parrita Penting Untuk Upacara (Jakarta: Balai Kitab Tri Dharma Indonesia, 1980), h. 47. 5 Hari uposatha disebut juga Uposathadivasa, yaitu hari suci dan hari penuh berkah. Meski bukan bersifat wajib diharapkan pada hari uposatha para upasaka dan upasika melatih diri dengan menjalankan Atthanga Uposathasila, yaitu 8 (delapan) peraturan yang harus dijalankan diantaranya: tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berhubungan seksual, tidak berbohong, tidak mabuk-mabukan, tidak makan dan minum setelah jam 12 siang, tidak bersenang-senang dan tidak bermewah-mewahan.13 Maka delapan itulah yang harus dihindari bagi penganut umat Buddha, agar bisa mendapatkan kebahagiaan yang sejati dan kepribadian yang mulia. Dari uraian diatas, timbul pertanyaan apakah puasa di dalam agama Buddha itu hanya sebagai formalitas keagamaan ataukah dapat dikatakan sebagai disiplin keagamaan yang merupakan fenomena universal yang ada pada berbagai agama, atau hanya sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Sang Buddha. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk membahas tentang nilai-nilai sosial puasa dalam agama Buddha. B. Rumusan Masalah Berdasarkan penegasan istilah yang dikemukakan sebelumnya, makadapat diberikan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep puasa dalam persepektif agama Buddha? 2. Apa nilai-nilai sosial puasa dalam agama Buddha? C. Tujuan Penelitian 13 www.kompasiana.com/sudhana/perbandinganpuasa-Islam-dan-puasa-Buddha-rabu11-Mei-21:00. 6 Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, terdapat tujuan utama penelitian, yaitu untuk mengetahui konsep puasa dalam persepektif agama Buddha. Sekaligus untuk mengetahui nilai-nilai sosial puasa dalam agama Buddha. Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Pada tinjauan akademik, kegunaan penelitian ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Serjana Theologi Islam di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama. 2. Menambah khazanah keilmuan bagi pembaca, terutama dalam peran puasa terhadap nilai sosial dalam persepektif agama Buddha. D. Kajian Pustaka Untuk membuktikan orisinilitas karya tulis ilmiah ini, penulis akan menunjukan beberapa karya tulis ilmiah yang telah membahas tentang puasa dalam agama Buddha. Beberapa karya tulis ilmiah tersebut berupa skripsi dan buku, sejauh yang penulis ketahui, belum ada penelitan yang serupa membahas nilai-nilai sosial puasa dalam perspektif Agama Buddha. Adapun penelitian yang relevan mengenai puasa diantaranya adalah: 1. Pelaksanaan dan Makna puasa (uposatha) Dalam Agama Buddha. (Studi Kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarata Utara), oleh mahasiswi yang bernama Siti Faujiyah Abrori Universitas Islam Negeri, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, pada tahun 2007. Skripsi ini hanya menjelaskan pelaksanaan dan makna puasa, beserta gambaran umum tentang Vihara Jakarta Dhammacakka. Akan tetapi skripsi 7 yang saya buat lebih spesipik mengenai konsep puasa dan peran puasa terhadap nilai sosial dalam agama Buddha. 2. Puasa Dalam Perspektif Agama Islam dan Buddha. Skripsi ini ditulis oleh mahasiswa yang bernama Muhammad Amrullah Universitas Islam Negeri Bandung, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, pada tahun 2001. Skripsi ini hanya menjelaska pada perbandingan puasa secara mendasar. Maka dari itu, penulis akan menjelaskan peran puasa terhadap nilai sosial dalam perspektif agama Buddha. Sekaligus menjelaskan perbedaan puasa dalam agama-agama. 3. Dasar-dasar Uposatha, buku ini dikarang oleh Bhikku Utomo yang menjelaskan tentang dasar-dasar puasa dalam Agama Buddha. Buku ini membicarakan tentang makna, cara dan tujuan puasa saja. Dengan buku ini tentunya mempermudah penulis untuk menjelaskan konsep puasa dalam agama Buddha dan peran puasa terhadap nilai sosial. E. Metodologi Penelitian Agar diperoleh hasil yang maksimal, maka dalam melakukan penelitian diperlukan data atau informasi yang lengkap serta penjelasan yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas. Dalam hal ini, unsur yang paling penting adalah mengenai metodologi penelitian yang digunakan. Untuk memperoleh data yang lengkap atau objektif, maka peneliti melakukan beberapa langkah penelitian, yaitu: a. Jenis Penelitian 8 Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif dan deskripsi. Penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dengan menggunakan metode alamiah dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah. Sedangkan penelitian deskripsi adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomenafenomena yang ada, baik fenomena secara alamiah maupun fenomena buatan manusia.14 b. Metode Penelitian Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi dan sosiologi, yaitu penulis akan mempelajari fenomena yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial puasa bagi para penganut agama Buddha. c. Sumber Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data sebagai berikut: a.). Data primer adalah sumber-sumber dasar yang merupakan bukti atau saksi utama dari kejadian yang lalu. Data tersebut diperoleh secara langsung di Vihara Siripada. Data-data yang dibutuhkan dari sumber asli yang memuat mengenai nilai-nilai puasa. Data primer dapat berupa dokumen, catatan harian, arsip, biografi yang tertulis. b). Data sekunder adalah catatan tentang adanya suatu peristiwa, ataupun catatan-catatan yang jaraknya telah jauh dari sumber orisinil. Catatan 14 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1995), h. 134. 9 tersebut berisi bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer atau sejumlah keterangan atau fakta yang digunakan seseorang secara tidak langsung diperoleh melalui dokumen, laporan, bukubuku karangan ilmiah, artikel yang ditulis oleh orang-orang yang tidak sezaman dengan peristiwa tersebut yang berhubungan dengan materi penelitian ini.15 d. Teknik Pengumpulan Data Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengumpulkan data kualitatif sebagai berikut: a). Data kepustakaan (library research) yaitu penelitan dengan cara mengumpulkan dan menelaah beberapa literature buku-buku ilmiah dan sumber cetak lainnya yang memiliki relevansi dengan objek penelitian ini, sebagai dasar-dasar teoritis. b). Data observasi lapangan (field research), yaitu peneliti terjun langsung ke Vihara Siripada yang berlokasi di Tangerang Selatan Banten, untuk mengumpulkan data-data tentang peran puasa terhadap nilai sosial menurut perspektif agama Buddha. Observasi adalah sebuah metode ilmiah yang berupa pengamatan dan pencatatan secara sistematik, mengenai fenomenafenomena yang diselidiki. 16 Pengertian secara luasnya, metode ini akan membantu untuk mengamati semua kejadian, dan mencatat dari semua buku, atau majalah yang ada di Vihara Siripada. 15 Muhammad Nazir, Metodologi Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 182. Imam Suprayongo dan Tobroni, Misi Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya, 2001), h. 167. 16 10 c). Interview atau wawancara, yaitu teknik pengumpulan data untuk memperoleh keterangan sesuai dengan tujuan penelitian dengan cara tanyajawab secara lisan antar peneliti dengan informan dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (pedoman wawancara). Untuk mendapatkan informasi tentang konsep puasa dalam perspektif agama Buddha, penulis akan mewawancarai Bapak Candra, S.PB, dan Bhikku Artatida. Pelaksanaan wawancara memerlukan intensitas yang tinggi, dari informan yang satu ke informan yang lainnya agar bisa mendapatkan data ataupun informasiyang lebih valid dan akurat.17 F. Sistematika Penulisan Hasil penelitian mengenai nilai-nilai sosial puasa dalam agama Buddha, akan disusun dalam bentuk skripsi dengan sistematika sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan, yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kajian Pustaka, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II : Puasa Menurut Agama-agama, yang meliputi: Puasa Menurut Agama Islam, Puasa Menurut Agama Kristen Protestan, Puasa Menurut Agama Kristen Katolik, Puasa Menurut Agama Konghucu, serta Puasa Menurut Agama Hindu. BAB III : Puasa Menurut Agama Buddha, yang meliputi: Pengertian Puasa Dalam Agama Buddha, Dasar Hukum Puasa Dalam Agama Buddha, 17 Muhammad Nazir, Metodologi Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 182. 11 Pelaksanaan dan Macam-macam Puasa Dalam Agama Buddha, dan Tujuan dan Manfaat Puasa Dalam Agama Buddha. BAB IV : Implementasi Puasa Terhadap Nilai Sosial, yang berisi: Solidaritas Sosial, Rasa Empati, Humanisme dan Pengendalian Pikiran. BAB V : Penutup meliputi : Kesimpulan, Saran, dan dilanjutkan dengan Daftar Pustaka. 12 BAB II Puasa Menurut Agama-agama A. Puasa Menurut Agama Islam Pengertian puasa dalam kaidah bahasa bisa diartikan sebagai menahan. Menahan di sini, yaitu menahan dari hal-hal yang masuk ke dalam mulut dalam bentuk makanan dan minuman, bahkan juga diartikan menahan dari perbuatan dan bicara. Sementara Pengertian puasa menurut secara syariat Islam disepakati para ulama, yaitu menahan dari apa pun yang membatalkan puasa, disertai niat untuk berpuasa dari terbit fajar sampai tenggelam matahari (maghrib). Ada pula sebagian ulama yang mendefinisikan kata-kata “membatalkan puasa” itu sebagai perbuatan dua anggota badan, yaitu perut dan alat kelamin.18 Dalam Islam perintah puasa memang hanya secara khusus diwajibkan oleh Allah bagi orang-orang yang beriman. Yaitu mayakini Allah sebagai Rabb mereka; yang menciptakan, melahirkan, memberi rizki, menganugrahi kehidupan, menentukan ajal, dan menempatkan mereka pada kehidupan abadi kelak di akhirat 19 . Sebagaimana perintah puasa di dalam (QS. al-Baqarah/2: 183). Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa. Sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian. Agar kalian bertakwa”.20 Sedikit memaparkan tentang “takwa”. Takwa secara harfiah. yaitu, memelihara diri. Kaerna orang-orang yang bertakwa ia 18 Abdul Aziz Muhammad Azam, Fiqih Ibadah (Jakarta: Penerbit Amzah , 2003), h. 433. 19 M. Syamsul Yakin, Meraih Ramadhan Sepanjang Masa Serpihan Mutiara Puasa Untuk Bekal Menjadi Takwa (Depok: Semesta, 2005), h. 1. 20 QS. 2:183. 13 akan memelihara dirinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan oleh Allah. Menurut ulama, pengertian takwa adalah “menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala apa-apa yang dilarang oleh Allah.”21 Jika manusia bertakwa dengan sebenar-benarnya maka ia akan memperoleh kebahagian yang hakiki, kebahagiaan yang abadi dengan masuk ke dalam surga-nya Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, yang artinya “Bersegeralah kalian menuju kepada ampunan Allah, dan memohon surge yang luasnya seluas langin dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”.22 Oleh karena itu, kita harus mencantumkan puasa Ramadhan dalam agenda ibadah agar tidak kehilangan kesempatan emas yang hanya dijumpai sekali dalam setahun untuk mendapatkan ampunan Allah. Lantas, mengapa Al-Qur’an menghendaki hal itu? Pertama, dengan berpuasa orang akan berfikir. Kedua, puasa mengajarkan disiplin diri, ia yang mampu menjalankan tuntutan bulan puasa ini tidak akan mengalami kesukaran dan bisa mengendalikan keinginannya. Dengan berpuasa akan meningkatkan dia secara jelas akan kelemahan dasarnya dan ketergantungannya. Akhirnya puasa akan memperhalus rasa kasih sayang.23 Selain puasa wajib di bulan Ramadhan, Allah masih memberikan akses dan kesempatan kepada umatnya untuk melakukan komunikasi dengan jalur khusus, yaitu dengan melakukan puasa-puasa sunah yang dijanjikan oleh Allah 21 Yusuf Al-Qardhawy, Hidup Menjadi Taqwa (Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 65. QS. 3:133. 23 Huston Smith, Agama-agama Manusia. Penerjemah: Saafrudin Bahar (Jakarta, 2008), h. 282. 22 14 dengan pahala yang sangat luar biasa. Apa saja puasa sunah itu, diantaranya: puasa sunah hari Senin dan Kamis, puasa sunah Nabi Daud, puasa sunah syawal, puasa sunah muharram, puasa sunah asyura, puasa sunah syakban, puasa sunah hari arafah dan puasa sunah ayyamul bidh (puasa yang dilakukan selama tiga hari pada tanggal 13,14 dan 15).24 Sebagai tambahan, pahala bagi ibadah puasa juga disebutkan dalam Hadis Rasulullah SAW. “Sesungguhnya di dalam surga ada pintu yang bernama Ar-Rayyan (pintu kesegaran), ketika nanti pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk lewat pintu itu, dan tidak ada seorang pun yang masuk lewat pintu itu selain mereka yang berpuasa, ketika penjaga pintu itu mengucapkan, “Mana orang-orang yang berpuasa”? kemudian mereka pun berdiri dan masuk pintu surga maka ditutuplah pintu itu. Maka dari itu, tidak ada seorang pun yang masuk lewat pintu itu selain mereka yang ahli berpuasa”. (HR. Bukhari dan Muslim).25 Berdasarkan hadis diatas, sungguh berbahagialah bagi orang-orang yang berpuasa, karena Allah menjanjikan surga baginya pada kehidupan di akhirat nanti. Di dunia saja orang yang berpuasa ia akan merasa hidup bahagia karena dicukupi semua kebutuhan dan keperluannya oleh Allah. B. Puasa Menurut Agama Kristen Protestan Kata “puasa” adalah tsom dalam bahasa Ibrani, dan nesteia dalam bahasa Yunani. Kata ini berarti berpantang secara sukarela terhadap makanan. Kata Ibrani adalah komposisi dari kata negatif ne yang digandengkan dengan kata kerja esthio, “makan” yang dengan demikian berarti “tidak makan”. 24 Teguh Purwadi, Membangkitkan Kembali Spiritualitas Anda (Jakarta: PT unilever Indonesia), h. 45. 25 Hadis Arbain Nawawi, h.. 20. 15 Sebagian besar serjana percaya bahwa praktik puasa dimulai dengan hilangnya nafsu makan selama masa kesusahan dan tekanan.26 “Hana, yang kemudian menjadi ibu Samuel, sangat berusaha hati karena ia mandul sehingga “ia menangis dan tidak mau makan”.27 “ketika Raja Ahab gagal dalam usahanya untuk membeli kebun anggur Nabot, ia “tidak mau makan”.28 Puasa tampaknya bermula sebagai suatu ekspresi alamiah dari kesedihan; namun, lama kelamaan hal ini menjadi suatu kebiasaan untuk menunjukan atau membuktikan kesedihan seseorang kepada orang lain dengan memantangkan diri dari makanan, atau bisa disebut menunjukan dukacita. Misalnya raja Daud berpuasa untuk menunjukan dukacitanya ataas kematian Abner. Berpuasa dipraktikan sebagai cara eksternal untuk menunjukan dan kemudian mendorong perasaan internal akan penyesalan yang dalam karena dosa. Disamping itu, puasa merupakan ekspresi alamiah manusia akan kesedihannya; oleh karena itu, hal ini menjadi kebiasaan keagamaan untuk menenangkan kemarahan Allah. Orang-orang mulai berpuasa untuk menjauhkan kemarahan Allah agar tidak mebinasakan mereka. Akhirnya, berpuasa menjadi dasar untuk membuat permohonan seseorang kepada Allah menjadi efektif. Ketika Allah menunjukan kemarahannya terhadap suatu bangsa karena kejahatannya, berpuasa menjadi cara untuk mencari kemurahan dan perlindungan ilahi. Oleh karena itu, alami untuk sekelompok orang untuk 26 Elmer L. Towns, Puasa Untuk Melakukan Terobosan Rohani (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil), h. 26. 27 Injil Perjanjian Lama (1 Samuel: 1:7). 28 Injil Perjanjian Lama (1 Raja-raja 21:4). 16 menyatukan diri mereka dalam pengakuan dosa, menyesali dosa mereka dan berdoa syafaat kepada Allah.29 Dr Ahmad Shalabi buku Perbandingan Agama, memaparkan puasa dikalangan umat Nasrani meliputi puasa hari Rabu yang merupakan hari pengkhianatan terhadap Nabi Isa hingga tertangkap, dan puasa pada hari Jumat. Sesudah itu, puasa Agung selama 55 hari, yang 40 hari merupakan puasa yang dilakukan Nabi Isa ditambah dua minggu (dua pekan) sebagai persiapan dan penderitan. Dalam menjalankan puasa-puasa tersebut mereka tidak dibenarkan memakan daging hewan apapun juga atau apa saja yang bersifat hewani. Yang dibolehkan hanyalah jenis-jenis tumbuhan. Dalam Kristen pada umumnya, ajaran puasa umat Kristen Intinya adalah pertobatan, melawan keiginan duniawi, dan dilarang untuk memakan daging,30 yang diperbolehkan hanyalah memakan tumbuh-tumbuhan. Dalam beberapa aliran Kristen hanya pelaksanaan dan tatacaranya saja yang berbeda inti dan tujuanya sama.31 C. Puasa Menurut Agama Kristen Katolik Puasa bagi umat Kristen Katolik, kini lebih menekankan dalam soal kenyang satu kali serta menahan hal-hal dari keinginan manusia terkait duniawi, yaitu daging, seperti halnya puasa umat Kristen yang lainnya. Disamping puasa resmi, secara pribadi umat Katolik juga disarankan untuk berpuasa pada hari-hari yang disukai atau yang dipilih, hal ini sebagai 29 Elmer, Terobosan Rohani, h. 212-213. Daging yang dimaksud dalam agama Kristen adalah manusia itu sendiri. Jadi artinya keinginan daging yaitu keinginan manusia itu sendiri, dan juga mengerjakan puasa agar sebisa mungkin tidak diketahui oleh sesama yang sedang berpuasa atau yang sedang tidak puasa termasuk merahasiakan hari apa dia akan mulai berpuasa. 31 Syahrudin El-Fikri, Sejarah Ibadah (Jakarta: Republika, 2014), h. 56. 30 17 ungkapan taubat.32 Tradisi puasa dalam agama Kristen Katolik, telah bermula pada kebiasaan kuno, berpuasa selama 40 hari 40 malam, sebagai praktek Nabi Musa menjelang beliau menerima 10 perintah Tuhan di pegunungan Sinai. Begitu pula Nabi Ilyas (Elias) ketika ia hendak pergi ke gunung Horeb menerima wahyu. Terakhir tradisi berpedoman pada puasa Jesus 40 hari, yang pernah terjadi beliau tampil di muka umum. Tetapi kenyataan Katolik dewasa ini, mereka telah menempatkan puasanya selama 40 hari itu pada hari-hari menjelang paskah. 33 Puasa dalam Katolik ini dilakukan melalui perenungan tentang sengsara Jesus menebus salibnya, dilakukan pula tirakat, matiraga, berbagai pantang dan puasa sebagai usaha untuk memperbaiki kehidupan yang penuh dosa, cacat dan serba kelemahan-kelemahan lainnya.34 Dahulu dalam Agama Katolik memang ada ketetapan Gereja bagi tata tertib puasa, ketatnya bagaikan juga puasa dalam Islam. Namun kini kenyataankenyataan sudah meminta lain. Gereja menginsafi dan memberikan keringanan dengan jalan menghapus tata tertib di sekitar puasa. Bagaimana pun puasa Katolik tidak lagi bersifat jasmani dan rohani, tetapi rohaniah semata. Itulah yang pokok. Pelaksanaan puasa diserahkan sepenuhnya kepada pribadi-pribadi anggota jamaat yang melakukannya, dengan tidak melupakan jiwa Injil.35 Untuk itu tertulis dalam Injil sebagai berikut: “Apabila kamu berpuasa janganlah murah seperti orang munafik, mereka mengerutkan mukanya supaya puasanya Nampak kepada orang. 32 http://www.pastvnews.com./nasional-hal-1/bedanya-puasa-umat-Islam-BudhaKhatolik-Protestan-konghucu-dan-Tionghoa.html, diakses pada tanggal 20 Mei 2016. 33 Hari Paskah adalah hari wafat dan hari kebangkitan Jesus. Dimana umat Kristen meyakini kembalinya Jesus. 34 Abujamin Roham, Puasa Perisai Hidup (Jakarta: Media Dakwah), h. 11. 35 Roham, Perisai Hidup, h. 12. 18 Sesungguhnya aku bersabda kepadamu, mereka sudah menerima pahalanya. Akan tetapi engkau bila berpuasa minyakilah kepala-mu dan basuhlah muka-mu supaya jangan ada yang melihatmu berpuasa, melainkan hanya Bapak-mu yang hadir dalam kesunyian dan ia yang melihat dalam kesunyian juga akan mengganjari engkau”. 36 Jadi pelaksanaan puasa dalam agama Kristen Katolik, mempunyai aturan-aturan yang telah ditentukan sama seperti umat-umat yang lainnya. Para penganut Kristen Katolik meyakini bahwasannya dengan melaksanakan puasa menjadikan sebuah mengampunan diri terhadap kesalahan atau dosa-dosa yang telah dilakukan. Disamping itu, dalam agama Kristen Katolik ada hari-hari yang tertentu untuk melaksanakan ibadat puasa, yaitu hari Rabu dan Jumat. masing-masing uskup dapat mengatur rincian ketentuan atas hal tersebut disesuaikan dengan keadaan di keuskupannya. Untuk umat Katolik juga diharapkan dapat meluangkan lebih banyak waktu dan perhatian untuk berdoa, beribadat, melaksanakan taubat dan banyak beramal. D. Puasa Menurut Agama Konghucu Definis puasa dalam agama Konghucu tidak sama persis dengan pemahaman secara umum yang dikenal dalam keseharian masyarakat Indonesia, yakni tidak makan dalam waktu tertentu atau tidak makan hewan (vegetarian). Dalam agama Konghucu puasa ini bertujuan mendukung terciptanya kondisi untuk membina diri, yaitu mempunyai dua prinsip tujuan yang akan dicapai, pertama: dalam bentuk pengendalian nafsu, kedua: untuk 36 Kitab Injil Perjanjian Baru, Matius 6: 16-18. 19 memperbaiki kekeliruan. 37 Jika kita mengamati kata puasa dalam agama Konghucu “Zhai”. Dapat juga diartikan sebagai yang agung, bersih, jernih, lurus, polos, sederhana, menjaga larangan dan prilaku yang benar. Maka makna puasa menurut ajaran Konghucu bukan hanya dilihat dari sudut pandang berpuasa makanan saja tapi dalam perbuatan harus selaras dengan watak sejati.38 Banyak orang yang berpuasa meskipun demikian hakekat dan makna atau tujuannya adalah satu yaitu “Membersihkan Hati”. Dengan cara mengendalikan diri dan kembali kepada ke Susilaan, agar dapat mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dalam Kitab Zhong Yong (Tiong Yong) tertulis: “Sungguh Maha Besarlah Kebijakan Kwi Sien, (Gui Shen; Tuhan Yang Maha Roh). Dilihat tidak nampak, didengar tidak terdengar, namun tiap wujud tiada yang tanpa dia. Demikianlah menjadikan umat manusia di dunia berpuasa, membersihkan hati dan mengenakan pakaian lengkap sujud bersembahyang kepadanya. Sungguh maha besar dia, terasakan di atas dan di kanan kiri kita”. (ZY XV:1:3) Hakikat puasa tidak lain adalah untuk membersihkan hati agar selalu sejalan dengan kehendak Tuhan. Yaitu agar segala tindakan dan perkataan kita senantiasa mengikuti sesuai dengan kehendak watak sejati yang di kenal dengan lima sifat “Kekekalan Sifat Rohani”. Perwujudannya dapat dipraktekan dengan mengikuti atau menjalankan ke lima sifat kekekalan, yaitu: Ren (cinta 37 http://www.spocjoumal.com/budaya/499-perkembangan-agama-Konghucu-danpemahaman-puasa. diakses-pada-tanggal-20-Mei-2016. 38 http//newmarinatan.blogspot.co.id/2013/07/makna-puasa-dalam-agamaKonghucu.html.diakses-pada-tanggal-28-September-2016. 20 kasih), Yi (kebenaran), Li (kesusilaan), Zhi (bijaksana) dan keyakinan (dapat dipercaya).39 Tidak ada kewajiban di dalam agama Konghucu untuk berpuasa, akan tetapi itu semua kembali kepada pribadi masing-masing bagi penganutnya. Jadi puasa dalam agama Konghucu, mempunyai dua keutamaan dalam pelaksanaannya, yaitu berpantang untuk tidak terjerumus kedalam hawa nafsu dan menjaga diri untuk bisa memperbaiki dari kekeliruan. Dua hal ini yang menjadi keutamaan bagi umat Konghucu yang menjalankan ibadah puasa. Dengan demikian, puasa yang dilaksanakan umat Konghucu akan berbeda sesuai dengan maksud tujuan dilaksanakan puasa itu, namun memiliki ending yang intinya sama (membina diri). E. Puasa Menurut Agama Hindu Dalam agama Hindu, Puasa berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari kata Upa dan Wasa, di mana Upa artinya dekat atau mendekat, dan Wasa artinya Tuhan atau Yang Maha Kuasa. Upawasa atau puasa artinya mendekatkan diri kepada Tuhan yang maha esa. Puasa menurut Hindu adalah tidak sekedar menahan haus dan lapar, tidak untuk merasakan bagaimana menjadi orang miskin dan serba kekurangan, Puasa menurut Hindu adalah untuk mengendalikan napsu indra, mengendalikan keinginan. Indra haruslah berada dibawah kesempurnaan pikiran, dan pikiran berada dibawah kesadaran budhi. Berpuasa melibatkan pengendalian diri dan beberapa pengorbanan. 39 http//newmarinatan.blogspot.co.id/2013/07/makna-puasa-dalam-agamaKonghucu.html.diakses-pada-tanggal-28-September-2016. 21 Setelah dalam kurun waktu tertentu, semangat pengorbanan dan prilaku terkendali akan mengakibatkan karakter moral seseorang dan yang jelas akan mengangkat status sosial dan profesionalisme seseorang. Komitmen untuk berpuasa akan membuat seseorang sadar akan ketaatan dan nilai-nilai mulai di dalam dirinya. Seseorang yang berpuasa akan cenderung bertumbuh menjadi lebih baik. Ingatlah bahwa berpuasa adalah menuju jalan kehidupan berdisiplin secara profesional dan spiritual. Secara profesional dapat memberi anda kesuksesan, dan yang disebutkan terakhir mungkin dapat membuka pintu-pintu surga bagi anda. 40 Dari uarayan diatas, puasa menurut Hindu bukan hanya sekedar mendekatkan diri kepada Sang Kholik. Akan tetapi, banyak keutamaan yang akan diperoleh bagi umat Hindu yang menjalankan ibadat puasa. Diantaranya: secara individual akan menjadi pribadi yang lebih baik, yang bisa menjaga dari perbuatan-perbuatan jahat. Disamping itu pula, akan memperoleh kesuksesan dalam kehidupan, serta menggapai tujuan yang abadi yaitu surga. Upawasa dapat dibedakan dalam pengertian yang sempit dan luas. Dalam pengertian yang sempit upawasa dapat diartikan sebagai dengan sengaja tidak makan dan tidak minum, termasuk pengendalian panca indra. Sedangkan dalam pengertian luas, upawasa dapat diartikan sebagai melaksanakan pantangan, pengekangan atau pengendalian keinginan, dan pengendalian diri untuk berkata dan berbuat yang bertentangan dengan ajaran agama Hindu. Selanjutnya dapat dijelskan mengenai pelaksanaan upawasa, tapa dan brata itu sendiri. 40 Kaisanlal Sharma, Mengapa Tradisi dan Upacara Hindu? (Surabaya: PT Paramita, 2007), h. 111. 22 Pelaksanaan upawasa, tapa dan brata itu ada berbagai macam ragamnya, tergantung dari pada niat orang yang melakukannya. Ada yang berpuasa atau bertapa pada waktu siang hari saja atau selama 12 jam. Tetapi ada juga yang berpuasa atau membrata pada waktu siang plus malam hari atau selama 24 jam. Bahkan ada juga yang sampai 36 jam atau lebih, tergantung dari pada niat, keyakinan, atau kebutuhan setiap orang, bahkan dapat pula dilakukan selama 40 hari. Makin lama melaksanakan upawasa atau tapa brata makin baik, sebab dapat mengakibatkan iman kita semakin kuat.41 Ritual berpuasa juga dikenal dikalangan para pendeta Hindu (Brahmana). Para pengikut Brahmanisme memang dikenal sangat fanatik, sangat patuh tehadap perintah puasa yang dibuat oleh para pendeta Brahma. Sejak masa kanak-kanak para pengikut Brahmanisme telah mengenal aturan puasa yang sangat keras. Terutama pada aliran Yogi, ada yang berpuasa sampai 10 hari atau 15 hari bahkan lebih lama lagi dari itu, tidak memakan sesuatu apa pun, atau paling tidak hanya minum beberapa tetes air saja. Penganut HinduBrahma juga terbiasa berpuasa pada hari ke-11 setelah munculnya bulan baru dan bulan penuh. Sementara pemuja Syiwa juga berpuasa tiap hari Senin pada bulan November. Wanita-wanita Hindu lama (kuno) biasa berpuasa kalau suami atau kekasih mereka pergi berperang. Kebiasaan ini terutama dilakukan oleh para wanita di kalangan keratin, dengan alasan agar menang perang.42 41 K.M. Suhardana, Upawasa, Tapa, Brata Berdasarkan Agama Hindu (Surabaya: Paramita 2006), h. 4-5. 42 Syahrudin El-Fikri, Sejarah Ibadah (Jakarta: Republika 2014), h. 56. 23 Selain itu, umat Hindu menjalankan puasa dengan tujuan memurnikan jiwa pada hari-hari tertentu dalam setiap tahun serta selama perayaan keagamaan. Setiap kelompok dalam agama Hindu memiliki hari mereka sendiri untuk berdoa dan beribadah. Pada hari itu, sebagian besar para penganut agama Hindu tidak makan dan menghabiskan seluruh malam untuk membaca Kitab Suci serta bermeditasi kepada Tuhan.43 Dengan demikian, puasa dalam agama Hindu mempunyai aturan tersendiri dan tujuan masing-masing. 43 Ali Budak, Sebuah Panduan Lengkap Puasa dan Bulan Ramadhan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 13. 24 BAB III A. Pengertian Puasa Menurut Agama Buddha Puasa dalam agama Buddha adalah suatu usaha untuk menghindarkan diri dari mengambil makanan atau minuman pada waktu yang salah, yang disebut dengan istilah Upovasa, akan tetapi didalam pengertian sehari-hari, mereka lebih suka menyebutnya dengan istilah Uposatha. Istilah ini berasal dari bahasa Pali, yang tertulis dalam Kitab Tipitaka.44 Istilah Uposatha mengandung dua arti, yaitu: 1. Uposatha berarti nama atau sebutan hari untuk menjalankan peraturanperaturan khusus, sehingga disebut sebagai hari Uposatha. 2. Uposatha berarti nama atau sebutan terhadap peraturan-peraturan yang dijalankan, sehingga disebut sebagai Uposathasila.45 Dalam Buddhist Dictionary, Uposatha ini diartikan sebagai berpuasa, hari puasa, yaitu hari Purnama Sidhi, hari bulan baru dan hari seperempat bulan yang pertama dan yang terakhir.46 Kata Uposatha, juga mengandung makna “masuk dan berdiam diri”, dalam pengertian berdiam di vihara atau komplek vihara. Maksud berdiam disini bukan berarti diam dan tidak melakukan sesuatu tetapi tinggal atau berada di vihara atau komplek vihara, untuk belajar dhamma melalui buku, 44 Tipitaka adalah kitab agama Buddha yang tertua, ditulis sekitar tahun 300 SM. Kitab tersebut utamanya ditulis dengan bahasa “Pali”. Dalam bahasa Indonesia kita menyebutnya Tipitaka Pali dan dalam buku/ceramah ini dikenal dengan beragam nama termasuk “teks Pali” atau “kitab suci”, mungkin juga hanya “teks saja”. 45 Anjali G.S, Tuntunan Uposatha dan Athasila (Jakarta: Lembaran Khusus Agama Buddha), h. 21. 46 Nyanataloka, Buddhist Dictionary (Freewin: Co. Tto. 1972), h. 187. 25 diskusi, mendengarkan khutbah, menjalankan delapan sila dan berlatih meditasi. Uposatha ini merupakan suatu istilah yang dipakai untuk melaksanakan suatu upacara keagamaan yang ketat, yang berhubungan dengan menahan diri (puasa).47 Menahan diri disini maksudnya untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu jahat, seperti rasa dengki, iri hati, marah, serakah dan sebagainya. Selain untuk menghindari makanan dan minuman, puasa atau Uvopasa (Bahasa Pali) di dalam agama juga mempunyai pengertian lain: 1. Mengendalikan diri untuk tidak berbuat sesuatu yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. 2. Meningkatkan kualitas diri, artinya segala kebijakan atau perbuatan baik yang pernah dilakukan, perlu selalu di ulang-ulang, dan kebijakan atau perbuatan baik yang belum pernah dilakukan perlu dilakukan.48 Singkatnya apa yang disebut puasa atau Uposatha itu bukan hanya mengendalikan diri dari makan dan minum, tetapi meliputi seluruh gerak gerik pikiran, ucapan, dan jasmani. Dalam pikiran agar tidak berprasangka yang negatif terhadap orang lain, ketika berucap harus mengandung yang manfaat buat orang lain, tidak mencemooh dan tidak berkata kotor. Sedangkan dalam berprilaku, harus melakukan prilaku yang sopan, tentunya yang baik-baik. Di dalam Kitab Tripitaka, tidak ada anjuran untuk berpuasa. Akan tetapi, jika penganut Buddha yang ingin melaksanakan ibadah puasa itu diperbolehkan 47 Bhikku Subalaratano, Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha, 1988), h. 28. 48 Bhikku Utomo, Dasar-dasar Uposatha (Yogyakarta: Vihara Vidyaloka Vidyasena, 1993), h. 1-2. 26 karena puasa termasuk di dalam ajaran sila, dan harus melaksanakan sila yang telah ditentukan.49 Puasa di dalam agama Buddha merupakan pelaksanaan sila, yang termasuk suatu ajaran kesusilaan yang didasarkan atas konsepsi cinta kasih dan belas kasihan kepada semua makhluk. Sehingga yang termasuk di dalam kelompok sila ini adalah: 1. Pembicaraan benar (samma Vaca) 2. Perbuatan benar (samma kammanta) 3. Mata pencaharian benar (samma ajiva).50 Jadi puasa di dalam agama Buddha, mempunyai tiga poin penting dalam ajaran kesusilaan. Pertama, harus berbicara benar, tentunya tidak berbohong. Berbohong terhadap diri sendiri maupun berbohong terhadap orang lain. kedua, harus berbuat benar, dengan ajaran kesusilan ini ketika umat Buddha melaksanakan ibadah puasa dianjurkan untuk berbuat kebenaran. Segala aktifitas apapun yang dilakukan harus yang benar dan ketiga, harus mencari nafkah yang benar. Dalam artian mencari nafkah yang halal yang dianjurkan oleh Sang Buddha. Puasa di dalam agama Buddha merupakan salah satu cara praktik pengendalian diri dari segala bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan usaha untuk membebaskan diri dari segala kejahatan, yaitu: ketamakan, 49 Wawancara dengan Bhikku Artatida di Vihara Siripada Tanggerang Selatan, pada tanggal 20 September 2016. 50 Pendit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan (Jakarta: Tri Sattva Buddhis Center, 1991), h. 44. 27 kebencian, dan kebodohan batin.51 Disamping puasa termasuk kedalam ajaran kesusilaan, puasa juga bisa membantu untuk mengendalikan diri dari segala akar kejahatan, yaitu keserakahan atau dalam istilah agama Buddha disebut dengan lobha. Keserakahan disini berupa kemewahan duniawi yang bisa menjerumuskan kedalam hal-hal yang negatif seperti korupsi dan lain-lain. Selanjutnya kebencian dalam istilah agama Buddha disebut dengan Dosa, jelas sekali di dalam ajaran agama Buddha dilarang untuk saling membenci, bukan hanya agama Buddha saja yang melarang kebencian, semua agama pun yang ada dialam dunia ini melarang untuk berbuat kebencian.52 Coba kita bayangkan, seandainya semua agama di dalam ajarannya menganjurkan untuk berbuat kebencian. Maka apa yang terjadi? Yang terjadi hanyalah kerusuhan di alam muka bumi ini. Selain lobha dan dosa dalam istilah agama Buddha, ada satu hal lagi yang akan penulis jelaskan, yaitu moha atau kebodohan batin. Kebodohan batin disini menyangkut kepada spiritual, orang yang bodoh batinnya maka akan sulit untuk mendekatkan diri kepada Sang Buddha. Maka denagan berpuasa umat Buddha akan terhindar dari kebodohan batin. Dengan tiga poin penting diatas, apabila umat Buddha bisa meredam semua itu ia akan mencapai nibbana.53 Sang Buddha melarang para Bhikku mengambil makanan padat (yang mengenyangkan) setelah lewat tengah hari. Begitu juga umat awam yang 51 Kaharuddin, Kehidupan, h. 44. Wawancara dengan Bhikku Artatida di Vihara Siripada Tanggerang Selatan pada tanggal 20 September 2016. 53 Nibbana adalah keadaan dimana sudah tidak ada lagi keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin. Dengan kata lain nibbana ini bersifat abadi. Atau bisa disebut juga dengan kekosongan dan kebebasan secara mutlak. 52 28 menjalankan delapan peraturan (atthasila) pada hari Uposatha, untuk berpantang mengambil makanan yang padat setelah tengah hari. 54 Selain di larang untuk memakan makanan yang padat, para penganut agama Buddha pun yang berniat untuk melaksanakan ibadat puasa maka dilarang pula meminum minuman yang mengenyangkan. Seperti susu, kopi, energen daan yang lainnya yang bisa mengenyangkan. Akan tetapi, jika ingin minum air putih itu diperbolehkan asalkan tidak terlalu banyak minumnya. Karena jika sampai meminum air terlalu banyak itu akan memputuskan niat puasa. B. Dasar Hukum Puasa Dalam Agama Buddha Dasar hukum puasa dalam agama Buddha itu tidak wajib, bisa dikatakan sunnah. Berdasarkan kesadaran sipelaku. Akan tetapi diwajibkan untuk para Bhikku. Puasa dalam agama Buddha mungkin lebih tepatnya disebut dengan Atthasila yaitu latihan delapan aturan kemoralan. Dalam Kitab Suci Tripitaka Khudaka Nikaya bagian (Sutta Nipatta, 2003:93), disitu dijelaskan dalam oleh Sang Buddha untuk pelaksanaan puasa bagi umat Buddha jatuh pada tanggal 1, 8, 15 dan 23. Artinya umat Buddha memiliki kesempatan berpuasa yang ditunjukan oleh Sang Buddha dalam sebulan empat kali. 55 Maka bagi umat Buddha yang ingin melaksanakan puasa ia harus menjalankan delapan aturan kemoralan, yaitu: tidak membunuh makhluk hidup apaun jenisnya, tidak mencuri, tidak berhubungan seksual, tidak berbohong, tidak meminum 54 K. Sri Dhammanada, What Buddhist Belive (Taiwan: The Corporate Body of The Buddha Educational Foundational, 1993), h. 214. 55 http:belajardhammaharis.blogspot.co.id/2014/12/bagaimanakah-puasa-dalam-agamaBuddha.html-diakses-tanggal-28-oktober-2016. 29 minuman yang memabukan, tidak makan stelah waktu yang ditentukan, tidak mempercantik diri dan tidak bermewah-mewahan. Apa bila umat Buddha menjalankan delapan aturan kemoralan tersebut dengan sungguh-sungguh, maka dikatakan sah puasanya. Akan tetapi, bila salah satu delapan kemoralan tersebut dilarang baik secara sengaja maupun tidak sengaja berarti ia puasanya tidak sempurna.56 Bisa disimpulkan, uposatha (puasa) dalam agama Buddha tidak diwajibkan bagi para penganutnya. Akan tetapi, jika penganut umat Buddha ingin dan berniat untuk menjalankan uposatha (puasa) itu diperbolehkan. Karena, dampak secara spiritual bagi umat Buddha yang menjalankan uposatha (puasa) itu akan meningkat, terutama sekali ia akan bisa melaksanakan atthasila (yaitu delapan peraturan yang dilakukan untuk berlatih). Disamping dampak spiritual yang akan diperoleh, maka dampak secara sosial pun akan dapat tercapai. C. Pelaksanaan dan Macam-macam Puasa Dalam Agama Buddha Pelaksanaan puasa dalam agama Buddha sedikit berbeda dan diperbolehkan minum. Dalam agama Buddha puasa itu disebut uposatha. Puasa ini tidak wajib bagi umat Buddha, namun biasanya dilaksanakan dua kali dalam satu bulan (menurut kalender buddhis dimana berdasarkan peredaran bulan), yaitu pada saat bulan terang dan gelap (bulan purnama). Namun ada yang 56 Wawancara denagan Bapak Candra di Vihara Saripada Tangerang Selatan, pada tanggal 21 Mei 2016. 30 melaksanakan 6 kali dalam satu bulan, tetapi uposatha (puasa) tersebut tidak wajib.57 Umat Buddha yang ingin melaksanakan uposatha (puasa) maka harus pelaksanaan sila dalam bentuk peraturan pelatihan itu berbeda-benda, hal ini disesuaikan dengan kelompok umat Buddha tersebut menjalani kehidupannya. Dalam hal ini umat Buddha terbagi menjadi dua bagian, yaitu: a). Gharavasa (perumah tangga), yaitu orang yang menjalani hidup berkeluarga atau tidak, mempunyai pekerjaan seperti: petani, pedagang, militer, dan lainlain yang memberikan penghasilan untuk biaya kehidupan mereka. b). Pabbajita, yaitu orang yang meninggalkan kehidupan berumah tangga (keduniawian) dan menjalani hidup suci untuk mencapai nibbana. Pabbajita tidak mempunyai pekerjaan, hidupnya dari menerima dana yang layak bagi seorang petapa dari umat perumah tangga (gharavasa) yang memiliki saddha (keyakinan) dan simpatik. Pabbajita ini terdiri dari Bhikku (laki-laki), Bhikkuni (perempuan), samanera (laki-laki), dan samaneri (perempuan).58 Selanjutnya pelaksanaan untuk menjalankan Uposathasila (peraturan yang dilaksanakan pada hari uposatha) itu dimulai sejak terbitnya matahari hingga keesokan harinya, jadi dengan demikian pelaksanaan puasa di dalam 57 https://dhammacitta.org/artikel/puasa-dalam-agama-Buddha-diakses pada tanggal 20 Juli 2016. 58 Pandita Dhammavisarada dan Teja S.M Rashid, Sila dan Vinaya (Jakarta: Penerbit Bhuddis Bodhi, 1997), h. 23. 31 agama Buddha itu selama 24 jam atau sehari semalam.59 Dengan waktu yang telah ditentukan, bagi umat Buddha yang menjalankan ibadah puasa (uposatha) harus bisa dimanfaatkan waktu itu dengan sebaik-baiknya, dengan mendekatkan diri kepada Sang Buddha, dalam istilah agama Buddha disebut dengan meditasi. Bagi para Bhikku pada hari uposatha, jika jumlah mereka lima atau lebih dari satu Vihara mereka akan berkumpul untuk mendengarkan 227 Patimokhasila yang dibacakan oleh seorang Bhiku. 60 Sehingga di dalam pelaksanaanya terdapat tingkatan, yaitu bagi umat awam puasa dilaksanakan pada setian hari uposatha yang jatuh pada tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut penanggalan lunar, sedangkan bagi umat viharawan puasa dilaksankan pada setiap hari.61 Pelaksanaan puasa ini telah diajarkan oleh Sang Buddha, dimana Sang Buddha telah menganjurkan kepada para Bhikkhu untuk tidak makan setelah tengah hari. Demikian pula orang-orang yang melaksanakan atthasila (delapan peraturan hidup suci) untuk berpantang dari mengambil makanan setelah tengah hari.62 Adapun macam-macam uposatha (puasa) dalam agama Buddha terbagi menjadi dua bagian, diantaranya: 59 Vijano Ven, Dhamma sekolah Tinggi Minggu Bhudis (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1996), h. 37. 60 Khantipalo, Saya Seorang Bhuddis Bagaimana Menjadi Bhuddis Sejati? (Jakarta: Yayasan Bhuddis Karaniya, 1991), h.61. 61 Subalaratano, Tanya Jawab Agama Buddha (tp-tt), h. 36. 62 Dhammanada, Buddhis Belive, h. 214. 32 1. Puasa Bagi Umat Awam. Umat Buddha yang menjalani hidup berkeluarga di dalam masyarakat disebut upasaka dan upasika. Kata upasaka berarti yang duduk dekat dengan guru. Kadang-kadang disebut pula umat yang berpakaian putih. Di dalam kehidupan sehari-hari upasaka dan upasika, mereka melatih diri untuk melaksanakan Pancasila. pada Kitab Suci Dhammapada 246-247, Sang Buddha bersabda: “Barang siapa membunuh makhluk hidup, suka berbicara tidak benar, mengambil apa yang tidak diberikan, merusak kesetiaan istri orang lain, atau menyerah pada minuman yang memabukan, maka di dunia ini orang seperti itu seakan menggali kubur bagi dirinya sendiri”.63 Puasa yang dilaksananakan oleh umat awam64 di dalam agama Buddha adalah bentuk melaksanakan sila, yaitu sila ke enam dari Atthasila. Di dalam sila ke enam ini terdapat istilah vikala-bhojana, yang terbentuk dari dua kata, yaitu vikala dan bhojana. Kata vikala terdiri dari awalan vi yang berarti berbeda, berlawanan dan kebaikan; dan kata kala yang berarti waktu yang salah. Kata bhojana berarti makanan. Gabungan dari dua kata tersebut, vikala bohojana dapat diartikan dengan memakan makanan pada waktu yang salah. Artinya, tidak memakan makanan dan minuman di luar batas waktu yang telah ditentukan. Batas waktu yang tidak tepat adalah dimulai dari tengah hari, pukul12:00 siang sampai pada keesokan harinya, yaitu bila kita sudah bisa 63 Jutanago, Kitab Suci Dhammapada (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1994), h. 127. 64 Kata “umat awam” di dalam konteks religius berarti mereka yang tidak ditabhiskan menjadi Bhikku. 33 dapat melihat garis-garis pada telapak tangan sendiri, baru boleh makan makanan.65 Dengan demikian batas waktu makan yang diberikan adalah antara pukul 06.00 pagi sampai dengan pukul 12.00 siang. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti selama jangka waktu tersebut lalu makan sesering mungkin. Bukan demikian, tetapi berusaha untuk menggunakan sesedikit mungkin. Bahkan kadang-kadang hanya digunakan dua kali saja, yaitu pukul 07.00 pagi dan pukul 11.00 siang.66 Menurut Bapak Candra, sila ke enam ini sebenarnya meniru latihan yang dilakukan oleh para Bhikku, tujuannya adalah untuk menghindari kemalasan yang dialami setelah bekerja seharian dan sehabis makan siang. Dengan menjalankan sila ini, badan menjadi ringan dan siap digunakan untuk meditasi. Tetapi ada beberapa hal yang harus diperlukan disini, yaitu makanan minuman yang diperbolehkan dimakan atau diminum setelah lewat tengah hari adalah minum obat, yaitu mereka yang bekerja, jika dirasa terlalu lelah setelah bekerja seharian penuh. Bisa merasakan laper coklat murni yang diseduh/dibuat minum, gula, madu, mentega dan sirup. Buah boleh digunakan, bila masuk angin boleh minum jahe atau memakan jahe muda. Bila semblit maka boleh memakan buah asam. Sebaliknya yang tidak boleh dimakan adalah makananyang mempunyai nilai penguat tubuh, seperti: nasi, sayur mayur, lauk 65 Pandita, Vinaya, h. 48. Utomo, Hidup Sesuai dengan Dhamma (Blitar: Vihara Samanggi Jaya, 1994), h. 48. 66 34 pauk, roti, susu dan yang lainnya. Dalam hal ini susu disamakan dengan makanan.67 2. Puasa Bagi Umat Viharawan Di dalam melaksankan aturan pelatihan bagi umat Viharawan. Dilatih dari waktu pelaksanaannya, dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu: 1). Puasa bagi para Bhikku samanera (calon bhikku) adalah dilaksanakan setiap hari sesuai dengan tanggung jawab mereka di dalam Patimokha.68 2). Pada hari uposatha, selain berpuasa para Bhikku juga berkumpul untuk mendengarkan 227 sila dari Patimokha yang dibacakan oleh salah seorang Bhikku.69 3). Pada masa musim hujan, para Bhikku harus berdiam di suatu tempat, dan meskipun masih melakukan tugas sehari-hari, mereka tidak boleh meninggalkan Vihara sampai larut malam. Dalam kondisi lingkungan tertentu mereka diperbolehkan absen dari Vihara atau tempat dimana mereka tinggal, paling lama tujuh hari.70 D. Tujuan dan Manfaat Puasa Dalam Agama Buddha Jika kita lihat dari pelaksanaan puasa dalam Buddhis sebenarnya tidak jauh beda dari 5 sila Pancasila Buddhis, yang membedakan pada sila ke-3 “Abrahmacariya” yang artinya selama berpuasa walaupun dengan suami atau isterinya sendiri tidak boleh tidur bersama. Mengapa demikian? Karena selama 67 Wawancara dengan Bapak Candra di Vihara Siripada, Tangerang Selatan pada tanggal 21 Mei 2016. 68 Matara Sri Nanarama Mahathera, Tujuh Tingkat Kesucian dan Pengertian Langsung (Jakarta: Yayasan Karaniya) h. 2. 69 Khantipalo, Saya Seorang Bhuddis, h. 61. 70 Khantipalo, Bhuddis, h. 77. 35 berpuasa kita mencontoh kehidupan makhluk Brahma yaitu makhluk Brahma tidak berpasangan. Sedangkan sila 6-8 adalah penambahan sila untuk penahanan dan latihan pengendalian diri terhadap kamaraga atau nafsu keinginan indra, seperti: mata, telinga, lidah, hidung, kulit dan pikiran. Mengapa kamaraga perlu dikendalikan? Sebab puasa adalah sarana berlatih untuk mencontoh dan meniru kehidupan Arahat, yang mana seorang Arahat telah dikatakan sebagai makhluk yang suci sehingga dalam dirinya telah mematahkan dan menghilangkan nafsu indranya tersebut.71 Bagi umat Buddha yang melaksanakan uposatha (puasa) akan mendapatkan manfaat secara kesehatan. Sila yang berhubungan dengan kesehatan yaitu sila ke lima, karena sila ke lima waspada terhadap makanan dan minuman dan zat-zat tertentu yang tidak cocok dengan kondisi tubuh. Jenis makanan dan minuman tersebut apabila dihindari maka akan bermanfaat dan menyehatkan tubuh.72 Selain manfaat secara ekonomi dan kesehatan, manfaat yang diperoleh bagi umat Buddha yang menjalankan uposatha (puasa) yaitu manfaat secara spiritual. Umat Buddha yang berpuasa dan menjalankan Atthasila dengan sungguh-sungguh maka batinnya akan terbebas dari penyesalan, mendapatkan 71 Wawancara dengan Bhikku Artatida, di Vihara Siripada Tanggerang Selatan pada tanggal 20 September 2016. 72 Wawancara dengan Bapak Candra di Vihara Siripada Tangerang Selatan, pada tanggal 21 Mei 2016. 36 kebahagiaan dan sewaktu meninggal hatinya akan tenang, selain itu di kehidupan selanjutnya juga akan terlahir di surga.73 Sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh Sang Buddha dalam Kitab Tripitaka (Anggutara Nikaya III, 2003: 528-530). Sebagai berikut: “Siapa saja yang terbiasa praktik Atanggasila di hari uposatha maka ia setelah kematian akan berbahagia di alam surga. Bahkan lebih lanjut Sang Buddha menjelaskan lamanya waktu kehidupan surga mulai dari yang terendah yang diawali dari Catumaharajika yaitu: 1 hari satu malam di alam surga. Selain itu, manfaat yang dapat diperoleh dari ibadah puasa adalah yang sudah di jelaskan dalam Kitab Tripitaka Khudaka Nikaya, Dhammapada dijelaskan dalam komentar Athakattha disitu terdapat kasus makhluk Dewa Catumaharajika yang menemui salah satu Bhikku sehingga Bhikku tersebut bertanya, atas jasa apa kamu bisa terlahir di surga menjadi Dewa? Selanjutnya Dewa itu bercerita bahwa ia bisa terlahir sebagai Dewa karena melaksanakan puasa selama satu hari dan meninggal pada saat berpuasa”.74 Jadi manfaat puasa yang di dapat bagi umat Buddha yang menjalankan Atthasila selain secara jasmaniah maupun ruhaniah, nanti ketika ia meninggal ia akan hidup dengan tenang dan nyaman di surga. Secara jasmaniah tubuhnya akan selalu sehat, karena menjaga pola makannya. Secara ruhaniah hatinya akan selalu tenang, kokoh, tidak goyah sedikit pun ketika mendapatkan ujian atau cobaan dalam hidupnya. 73 Wawancara dengan Bhikku Artatida di Vihara Siripada Tangerang Selatan pada tanggal 20 September 2016. 74 http:belajardhammaharis.blogspot.co.id/2014/12/bagaimanakah-puasa-dalam-agamaBuddha.html-diakses-tanggal-28-oktober-2016. 37 BAB IV A. Implementasi Puasa Terhadap Nilai Sosial Puasa di dalam agama Buddha adalah melaksanakan sila, yang merupakan dasar utama dalam melaksanakan ajaran agama, yaitu mencakup semua prilaku dan sifat-sifat baik yang termasuk di dalam ajaran moral dan etika dalam agama Buddha.75 Sila adalah cara untuk mengendalikan diri dari segala bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan usaha untuk membebaskan diri dari segala akar kejahan, yaitu: lobha, Dosa, dan moha.76 1. Lobha artinya ketamakan atau keserakahan. Dapat pula diartikan sebagai keterikatan pikiran terhadap obyek. 2. Dosa artinya kebencian atau rasa dendam. Dapat pula diartikan sebagai keinginan jahat. 3. Moha artinya kebodohan batin atau rasa tidak mengerti kebenaran mulia. Dapat pula diartikan sebagai avija (tidak tahu), anana (tidak berpengetahuan), adasana (tidak dapat melihat dengan sewajarnya). Pelaksanaan sila dalam agama Buddha adalah merupakan suatu kebijakan moral, etika atau tata tertib dalam menjalani kehidupan kita sebagai manusia sehingga mampu bertingkah laku secara baik dan benar bagi diri sendiri, orang lain, bahkan seluruh alam semesta beserta isinya. Kebijakan moral dapat dianggap sebagai suatu dasar yang membentuk semua hal-hal yang positif dalam kehidupan saat ini. Sang Buddha pernah bersabda: 75 Pendit, Vinaya, h. 3. Pendit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan, h. 170. 76 38 “Kebijakan moral adalah dasar, sebagai pendahulu dan pembentuk dari semua yang indah. Oleh karena itu, hendaklah orang menyempurnakan kebijakan moral (sila)”.77 Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa sila dapat meningkatkan kehidupan untuk membentuk kekuatan mental, keterbukaan, kebersamaan, kejujuran, tanggung jawab setia kawan, rasa aman, kesejahtraan, dan ketentraman. Maka ketika hari uposatha (puasa), umat Buddha harus melaksanakan 8 sila (athasila). Yaitu delapan peraturan yang dilakukan untuk berlatih, diantaranya: 1. Tekad untuk melatih diri menghindari membunuh makhluk hidup. 2. Tekad untuk melatih diri menghindari mencuri. 3. Tekad untuk melatih diri melakukan hubungan seksual (sekalipun dengan pasangan yang sah). 4. Tekad untuk melatih diri menghindari berbohong. 5. Tekad untuk melatih diri menghindari mengkonsumsi makanan dan minuman yang dapat melemahkan kesadaran (memabukan). 6. Tekad untuk melatih diri tidak mengkonsumsi makanan setelah lewat tengah hari. 7. Tekad untuk melatih diri menghindari menggunakan perhiasan, wangiwangian dengan tujuan untuk memperindah diri dan 8. Tekad untuk melatih diri menghindari tidur ataupun duduk ditempat yang tinggi atau mewah.78 77 A. Joko Wryanto, Pengetahuan Dharma (Jakarta: CV Dewi Kayana Abadi, 2003), h. 91. 39 Dari ungkapan Bapak Candra diatas, dapat dijelaskan secara rinci dibawah ini: 1. Pantangan membunuh Pantangan membunuh ini dapat dijabarkan dengan tidak membunuh ataupun menyiksa tubuh atau badan yang mengandung kehidupan, yang besar atau kecil, yang berdosa atau tidak berdosa, selama makhluk itu masih hidup. Sila ini mengajarkanagar kita selalu memiliki sifat cinta kasih dan kasih sayang terhadap semua makhluk hidup. Implikasi perintah ini sangat luas. Sebagai contohnya, perintah memandang perang sebagai hal yang negative dan mengecam keras mereka yang merencanakan untuk mengangkat senjata melawan musuh-musuh mereka. Dalam pandangan para pengikut ajaran Buddha, perang selalu merupakan kekalahan, sebuah tanda bahwa kebajikan berkurang dan imajenasi gagal melakukan pekerjaannya. Orang-orang harus mampu menyelesaikan perbedaan-perbedaan mereka. Tentu saja, mereka harus mampu menghindari pembunuhan satu sama lainnya jika mereka berselisih. Ajaran sila yang pertama ini juga melarang aborsi, pembunuhan bayi 79 dan juga membunuh binatang. Implikasi lebih jauh adalah bahwa para pengikut ajaran Buddha hendaknya 78 Wawancara dengan Bapak Candra di Vihara Siripada Tangerang Selatan, pada tanggal 20 Mei 2016. 79 Sebagai penjelas. Masalah pembunuhan bayi ini sudah lama terjadi di India, bahkan sampai saat ini. Dalam hal bayi yang dilahirkan adalah bayi perempuan. 40 menjadi vegetarian, tidak membunuh hewan untuk dimakan atau untuk kesenangan.80 2. Pantangan mencuri Pantangan mencuri dapat diartikan bahwa kita tidak boleh mengambil atau memiliki sesuatu barang yang berharga ataupun yang tidak berharga apabila tidak di izinkan oleh pemiliknya. Pelaksanaan sila ini akan mengakibatkan kita selalu merasa puas terhadap apa yang telah kita miliki. Jika orang tidak mengambil hak orang lain, banyak konflik yang akan hilang. Di balik ajaran ini terdapat ajaran Buddha tentang nafsu. Cara menghentikan mencuri adalah dengan menghilangkan keinginan memiliki benda milik orang lain, berhenti berpikir bahwa memiliki benda dapat membawa kebahagiaan. Implikasinya bagi bisnis, perbankan, dan kegiatan lainnya sangat besar. Secara ideal, hukum akan melarang keserakahan memiliki benda-bnda materi, mencegah pencurian (seperti praktik bisnis yang tidak jujur atau melakukan manipulasi aturan oleh para ahli hukum sendir). Dalam biara, ajaran yang melarang pencurian bermakna bahwa mengklaim pencapain spiritual milik orang lain merupakan pelanggaran serius. Para biarawan harus dipenuhi oleh kemajuan spiritual, kebajikan atau kebijaksanaan yang berhasil mereka capai sendiri.81 80 John Tully Carmody, Jejak Rohani Sang Guru Suci, terjemah, Tri Budhi Sastrio (Jakarta: PT RajaGrafindo. 2003), h.55. 81 Ibid. 41 3. Pantangan melakukan seksual Pantangan melakukan perbuatan seksual dapat diartikan melakukan persetubuhan dengan pasangan yang bukan merupakan suami istri ataupun istri sendiri. Sila ini mengajarkan agar kita tidak terjerumus dalam hawa nafsu birahi yang rendah. Melakukan sesuatu yang tidak suci, dapat dimaknakan pada banyak tingkatan. Perzinaan dan perselingkuhan jelas merupakan tindakan yang harus dihindarkan, tetapi keseluruhan masalah ketidaksucian dalam jiwa, kemurnian pikiran dan keinginan, mengundang para pengikutnya kedalam disiplin yang ketat. Bimbingan yang paling baik dari persepektif Buddha bahwa nafsu seks adalah api pembakar yang membuat orang tetap berada dalam perbudakan karma. Mencintai seseorang tanpa disertai nafsu merupakan sesuatu yang luar biasa, meskipun sulit. Jika orang-orang dapat berinteraksi dengan hangat tetapi tanpa disertai dengan nafsu tambahan, mereka dapat mencintai satu sama lainnya dengan lebih baik.82 4. Pantangan berdusta Pantangan berdusta berarti kita harus berbicara secara jujur dan sadar,83 apa yang telah kita ucapkan. Dimana dengan kekuatan kejujuran dan kesadaran tersebut akan dapat dimanfaatkan untuk menghadapi segala rintangan. Sila ini 82 Carmody, Guru Suci, h.56. Kesadaran ini dijelaskan oleh Ajahn Buddhadasa, beliau mengatakan bahwa untuk menjadi sadar kita harus waspada dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, bukan malah menjadi bodoh atau terobsesi oleh benda materi. Sadar berarti tidak melekat kepada apapun juga, melainkan kita harus sadar terhadap apa yang telah kita ucapkan, sadar terhadap diri sendiri maupun orang lain. (Bhikku Buddhadasa The Truth of Nature, hal. 10). 83 42 mengajarkan agar kita senantiasa berterusterang dan bersifat konsekuen terhadap segala sesuatu yang telah diucapkan. Melarang dusta adalah nama lain bagi pemeriksaan diri sendiri, tantangan lain untuk menjadi lebih jujur. Orang yang tidak mengatakan sesuatu yang sebenarnya mungkin tidak menyukai sesuatu tersebut. Realism ajaran Buddha menuntut para muridnya untuk mencintai apa saja. Implikasi sosial tuntutan ini sangat penting. Jika orang-orang mengatakan kebenaran, kebanyakan hukum akan hilang dengan sendirinya, banyak rasa saling tidak percaya yang menghancurkan begitu banyak keluarga dan tempat kerja akan hilang. Berdusta merusak tatanan sosial disamping juga integritas individual. Berdusta tidak cocok dengan sifat ke Buddhaan, karena sifat ini bermakna komitmen yang utuh pada cahaya kebenaran.84 5. Pantangan mengkonsumsi alkohol (yang memabukkan) Pantangan mengkonsumsi alkohol, karena yang namanya alkohol pasti akan membuat kita tidak sadar apalagi sampai mengkonsumsi alkohol terlalu berlebihan. Sila ini menganjurkan kepada umat Buddha agar hidup sehat tanpa alkohol. Orang-orang yang bermeditasi secara teratur menjadi peka bagi kekacauan kesadaran. Mereka mencoba memurnikan kesadaran mereka, baik di dalam maupun di luar. Mereka dapat memperhatikan bahwa apa yang mereka makan dan minum membentuk cara mereka berpikir dan merasa. Aliran vegetarian dapat membantu orang-orang agar memperoleh kemajuan spiritual. 84 Ibid. 43 Makan dan meminum minuman yang mengandung terlalu banyak alkohol dapat kembali menjebak mereka ke dalam kebiasaan buruk. Spiritualitas orang-orang India selalu peka terhadap hubungan timbal balik yang intim antara pikiran dan tubuh.85 6. Pantangan memakan makanan setelah lewat tengah hari Pantangan ini, bagi umat Buddha yang ingin melaksanakan uposatha (puasa) maka ia harus berniat di dalam dirinya untuk tidak memakan makanan setelah waktu yang telah ditentukan. Sila ini mengajarkan kepada umat Buddha untuk bisa disiplin dalam menjalankan kehidupan. 7. Pantangan untuk memakai barang yang mewah Pantangan ini bahwasannya bagi umat Buddha dilarang untuk menggunakan perhiasan, seperti cincin, gelang, kalung, dan juga wangiwangian yang bertujuan untuk memperindah diri. Sila ini mengajarkan umat Buddha untuk tidak terlalu berlebih-lebihan dalam kehidupan. 8. Pantangan memikirkan nafsu serakah Pantangan ini dapat diartikan bahwa kita janganlah memikirkan sesuatu untuk memenuhi keinginan dalam memiliki sesuatu yang tidak baik atau sesuatu yang tinggi dan mewah. Pelaksanaan sila ini akan mengajarkan umat Buddha menggapai realita hidup ini dengan penuh keyakinan dan kebijaksanaan.86 85 Carmody, Guru Suci, h.57. A. Joko Wiryanto, Pengetahuan Dharma (Jakarta: CV Dewi Kayani Abadi, 2003), h. 86 96-97. 44 Ajaran sila menggambarkan jiwa yang akan menyenangkan Buddha. Jiwa akan dikekang, dilembutkan, dikendalikan, ditangkap oleh sesuatu yang bukan duniawi, dipersembahkan untuk hal-hal yang bersifat spiritual dan bukannya hal-hal yang berhubungan dengan daging, dan kejujuran mendalam. Perasaan melindungi terhdap semua makhluk hidup, kemiskinan jiwa, sehingga seseorang tidak menginginkan apa-apa yang tidak diperlukan; sebuah komitmen yang mendalam untuk hidup di dalam cahaya; kemurnian hati dan kebebasan dari semua nafsu; hati tenang dan jiwa yang terkendali. Jiwa pengikut Buddha yang ideal adalah bukan jiwa yang keras. Pengekangan jiwa sendiri tidak membuatnya terasa tertekan. Malahan, jiwa akan dipenuhi oleh kegembiraan, kehidupan dalam cahaya spiritual untuk mencari nirwana.87 Sila ini merupakan gerak-gerik kehendak (cetana) yang bersikap menghindarkan diri untuk tidak bertindak jahat dan bersikap untuk mengendalikan diri untuk tidak melanggar peraturan-peraturan dan normanorma kebaikan yang berkenaan dengan pembersihan batin, maupun peraturanperaturan yang ditentukan oleh masyarkat yang merupakan kebiasaan atau tradisi yang baik.88 Sila ini merupakan dasar yang mutlak untuk memperoleh hasil yang luhur, karena perkembangan diri sendiri tidak mungkin tercapai tanpa memiliki dasar sila ini. Dengan uraian diatas, maka umat Buddha harus berusaha bersikap hati-hati dalam melakukan berbagai perbuatan, baik melalui pikiran, ucapan, maupun melalui perbuatan badan jasmani. Pikiran hendaknya 87 Carmody, Guru Suci, h. 58. Pendit, Kehidupan, h. 170. 88 45 dijaga dengan sebaik-baiknya supaya pikiran jahat seperti membenci (moha), serakah (loba), dan bodoh batin (dosa) tidak menguasai pikiran kita. Tetapi sebaliknya pikiran cinta kasih, kasih sayang, rasa simpati harus kita pupuk terus supaya dapat berkembang dengan baik di dalam pikiran kita. Disamping itu, harus pula untuk berusaha menghindari ucapan salah, kotor, dan menyakitkan. Dengan pemaparan di atas, implementasi puasa terhadap nilai sosial dapat dibagi menjadi empat bagian. Diantaranya: B. Solidaritas Sosial Berbicara tentang solidaritas sosial, maka berdampak terhadap “aksi”. Aksi sosial adalah salah satu kegiatan dalam bentuk dana. Dana yang umat berikan dapat berupa uang, makanan, pakaian, donor darah, dan lain-lain. Setelah dana tersebut terkumpul, maka disalurkan melalui seksi sosial ke tempat-tempat yang membutuhkan. Kegiatan sosial tersebut dapat juga dilaksanakan di Vihara. Dengan melakukan aksi sosial ini maka umat telah melaksanakan salah satu ajaran Buddha. Pengaruh puasa tentunya mempunyai dampak yang positif bagi umat Buddha yang menjalankannya dalam kehidupan bersosial, sesuai yang telah saya amati di Vihara Saripada yang yang berlokasi di Tangerang Selatan.89 Banyak sekali kegiatan-kegiatan sosial seperti baksos, donor darah, selain itu juga umat Buddha yang berada disana saling bahu membahu, 89 Sebagai penjelasan, Vihara Saripada yang berlokasi di Tanggerang Selatan didirikan pada tahun 1987, oleh Yayasan Vihara Siripada. Tempatnya tidak jauh dari bunderan BSD Serpong, masuk komplek Taman Melati sekitar 200 meter dari gapura. 46 bekerjasama untuk mengumpulkan dana90 berupa uang, maka setelah dana itu terkumpul bisa dialokasikan untuk merenopasi tempat ibadah (Vihara) agar mereka bisa menjalankan ibadah dengan khusyu, tenang, dan nyaman. Selain dialokasikan untuk rumah ibadah (Vihara) dana itu bisa disumbangkan kepada orang yang membutuhkannya dalam lingkup masyarakat yang tidak jauh dengan Vihara. “Sesungguhnya Sang Buddha bercita-cita mewujudkan suatu masyarakat Buddhis di tengah-tengah berbagai sistem filsafat keagamaan yang ada di India pada waktu itu. Beliau berkata: “Saya tidak akan pergi sebelum agama-ku yang murni ini berhasil, berkembang, meluas dan merakyat dalam segala seginya, hingga agama ini terbabar dengan baik dimata manusia”. (Digha Nikaya, II halaman 106-113). memperhatikan masalah-masalah kemanusian di dalam dunia ini; Beliau ingin memperbaiki beberapa kondisi hidup manusia, di dalam masyarakat atau secara individual, dengan tujuan untuk mendukung kesejahteraan dan kebahagiaan duniawinya. Namun sekaligus beliau menekankan pentingnya perkembangan spiritual manusia. Beliau menggariskan bagi siswa-siswi beliau Dhamma Vinaya, yang menyangkut segi duniawi dan spiritual yang dapat di praktekan. Demi untuk 90 Di dalam tradisi Bhuddis, berdana sangatlah dihargai. Seseorang mengumpulkan “kebajikan” dengan memberi, yang akan menghancurkan karma-karma negatif sebelumnya dan membawa hasil-hasil positif seperti kelahiran kembali di alam dewa, atau sebagai orang kaya. 47 kebaikan dan kebahagiaan orang banyak, demi kasih sayang terhadap dunia dan demi kebaikan atau kebahagiaan para dewa dan manusia.91 Selain itu, dampak sosial yang di dapat bagi umat Buddha adalah mempunyai rasa empati. C. Rasa Empati Empati adalah menggunakan semua kesulitan atau krisis yang kita hadapi sebagai titik awal untuk menyadari kesamaan kita dengan orang lain. Cara ini dengan perlahan membuka pikiran kita kepada sebuah pengalaman yang mendalam akan tiadanya ketakutan dan adanya keyakinan selagi mentransformasi masalah pribadi menjadi sebuah motivasi yang kuat untuk menolong makhluk lain.92 Kerap kali terjadi, bahwa banyak orang yang tidak tahan apabila melihat atau mendengar keuntungan atau kebahagiaan orang lain. Mereka lebih senang mendengar kegagalan atau kesusahan orang lain. Mereka bukannya memuji atau mengucapkan selamat kepada orang yang beruntung itu, tetapi malahan berusaha memfitnah, menjelekkan orang tersebut. Salah satu cara untuk mengatasi perasaan iri hati ini adalah mudita. Kerana mudita dapat mencabut akar-akar sifat iri hati yang merusak. Di samping itu, mudita juga dapat menolong orang lain. 93 Dari uarain di atas, tentunya orang yang mempunyai rasa empati terhadap orang lain, ia pasti akan merasa bahagian jika orang lain 91 Cornolis Wowor, Pandangan Sosial Agama Buddha (Jakarta : CV Nitra Kencana Buana, 2004), h. 8. 92 Yongey Mingyur Rinpoche, penerjemah Hendra Lim. Kebijaksanaan Yang Membahagiakan.(Penerbit: Nirlaba Cetakan I, Mei 2010), hal.242 93 Cornolis Wowor. Pandangan Sosial Agama Buddha. (Jakarta : CV Nitra Kencana Buana, 2004), hal. 29 48 itu mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan. Orang yang mempunyai rasa empati tidak mungkin di dalam dirinya mempunyai sifat iri hati. Karena, ia tahu sifat iri hati itu adalah sifat yang tercela dan Sang Buddha pun tidak mengajarkan hal itu. Ada sebuah cerita kuno yang tertulis di dalam beberapa sutra, tentang seorang wanita yang sangat menderita karena kematian putranya. Ia tidak percaya bahwa anaknya telah mati. Ia lari kesana kemari, mengetuk pintu setiap rumah penduduk di desanya meminta obat untuk menghidupkan anaknya kembali. Tentu saja, tidak ada seorang pun yang bisa menolongnya. Anaknya sudah mati, kata mereka, mencoba untuk menolongnya agar bisa menerima apa yang sudah terjadi. Tetapi ada satu orang, yang menyadari bahwa pikiran wanita itu kalut dicengkram kesedihan, maka satu orang penduduk itu menyarankan wanita itu untuk menemui Sang Buddha. Sambil memeluk erat anaknya, ia berlari ketempat Buddha tinggal, dan meminta obat untuk menolong anaknya. Buddha sedang memberikan ceramah di depan banyak orang, tetapi wanita tersebut memaksa masuk, dan karena melihat ia begitu menderita, Buddha langsung merespon permintaannya. “Kembalilah ke desamu dan bawakan Aku beberapa biji lada dari sebuah rumah yang penghuninya tidak pernah mengalami kematian anggota keluarganya.” Ia segera berlari kembali ke desanya dan mulai meminta beberapa biji lada dari tetangganya. Semua tetangga dengan senang hati memberikan apa yang ia minta. Kemudian ia bertanya, “Apakah ada yang pernah meninggal di rumah ini?” Mereka menatapnya dengan aneh sebagian hanya mengangguk; yang lain menjawab ia; dan yang lain mungkin menceritakan kapan dan penyebab kematian anggota keluarga mereka. Setelah ia selesai mengelilingi seluruh desa, akhirnya ia paham melalui apa yang ia alami, pengalaman yang lebih mendalam dibandingkan dengan kata-kata, bahwa ia bukanlah satu-satunya orang di dunia yang sangat menderita karena kehilangan seseorang. Perubahan, kehilangan dan duka adalah sesuatu yang lazim terjadi pada semua orang. Meskipun masih dilanda kesedihan karena kematian anaknya, ia menyadari bahwa ia tidak sendirian; hatinya telah terbuka. Setelah upacara penguburan anaknya selesai, ia bergabung bersama Buddha bersama siswanya, 49 mendedikasikan hidupnya untuk menolong orang lain mencapai tingkat pemahaman yang sama.94 Dapat disimpulkan dalam cerita kuno diatas, bahwasanya umat Buddha harus sadar betul apa yang sudah terjadi, orang yang sudah mati itu tidak mungkin bisa diobati atau dihidupkan kembali. Maka pesan Buddha kepada wanita itu, ia harus merelakannya. Maka dengan demikian wanita itu mendedikasikan bahwa ia ingin mengisi hidupnya untuk menolong orang lain, dan mempunyai rasa empati yang tinggi terhadap orang lain. Dalam pengertian Buddhis, ada dua aspek empati. “Cinta Kasih” 95 artinya adalah keinginan agar setiap orang bahagia dalam kehidupan ini dan kita berusaha untuk mewujudkan keinginan tersebut. “Welas Asih” 96 adalah sebuah aspirasi untuk membebaskan semua orang dari kepedihan dan penderitaan yang berakar dari ketidaktahuan akan sifat alami meraka, dan uasaha yang kita lakukan untuk bisa terbebas dari kepedihan fundamental. Dua hal ini, keinginan untuk bahagia dan ingin bebas dari penderitaan, adalah suatu yang umum bagi semua makhluk hidup, meskipun tidak perlu dinyatakan secara sadar atau verbal, dan tidak selalu dihubungkan dengan 94 Yongey Mingyur Rinpoche. Kebijaksanaan Yang Membahagiakan. Penerjemah, Hendra Lim (Jakarta: Nrlaba, 2010), h. 244. 95 Cinta Kasih dalam Istilah agama Buddha disebut dengan “Metta”. Metta dirumuskan sebagai keinginan akan kebahagiaan semua mahkluk tanpa terkecuali. Metta juga sering dikatakan sebagai niat suci yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan mahklukmahkluk lain, seperti seorang sahabat mengharapkan dan kebahagiaan temannya. 96 Istilah Welas Asih dalam agama Buddha adalah “Karuna”. Yang diartikan sebagai sesuatu yang dapat menggetarkan hati kea rah rasa kasihan bila mengetahui orang lain sedang menderita, atau kehendak untuk meringankan penderitaan oraang lain atau menolong oran lain. Sesungguhnya dengan unsur kasih sayanglah yang mendorong seseorang untuk menolong orang lain dengan ketulusan hati. 50 kesadaran manusia yang rumit. 97 Dapat saya telaah, untuk menjadi seorang yang mempunyai rasa cinta kasih atau welas asih tentunya tidak mudah seperti membalikan dua telapak tangan kita. Akan tetapi butuh proses dan bertahap. Tahap yang pertama sebagai umum dikenal sebagai cinta kasih dan welas asih, yang dimulai dengan mengembangkan cinta kasih dan welas asih kepada diri sendiri dan kemudian mengembangkannya kepada orang-orang yang kita kenal. Tahap yang kedua disebut dengan “cinta kasih dan welas asih tanpa batas”, perluasan aspirasi terhadap makhluk lain dan orang-orang yang tidak kita kenal agar juga mendapatkan kebahagiaan dan terbebas dari penderitaan. Tahap ketiga dikenal sebagai bodhicitta, pikiran yang sudah menyadari penderitaan semua makhluk dan secara spontan berusaha untuk membebaskan penderitaan tersebut.98 Maka dengan hal ini, umat Buddha yang menjalankan uposatha (puasa) secara tidak langsung akan tumbuh didalam dirinya rasa cinta kasih dan welas asih. Baik itu cinta kasih dan welas asih terhadap dirinya sendir, ataupun menjadi cinta kasih dan welas asih tanpa batas, dan terlebih-lebih dengan menjalankan uposatha (puasa) bisa menjadi bodhicitta (yang dikenal sebagai pikiran yang sudah menyadari penderitaan semua makhluk). Hati seseorang yang penuh dengan rasa kasih sayang adalah lebih halus dari pada bunga; ia tidak akan berhenti dan tidak akan puas sebelum dapat meringankan penderitaan orang lain. Bahkan kadang-kadang ia sampai 97 Yongey, h. 246. Yongey, Kebijaksanaan, h. 247. 98 51 mengorbankan hidupnya demi membebaskan orang lain dari segala penderitaannya. Di dalam cerita Vyaghari Jataka, terdapat contoh yang baik mengenai kasih sayang ini, dimana Sutasomo sebagai seorang Bodhisatva telah mengorbankan hidupnya untuk menolong seekor macan betina kelaparan yang ingin memakan anaknya sendiri yang masih kecil guna menghilangkan laparnya. Bodhisatva Sutasomo mencegah niat macan itu, dan sebagai gantinya ia memberikan tubuhnya sendiri untuk dimakan.99 D. Humanisme Humanisme (dari bahasa latin: humanus=manusia) mengacu pada setiap pandanagan yang menitikberatkan perhatian pada kesejahteraan manusia, setiap disiplin atau doktrin yang mengutamakan pembinaan cita-cita seperti kasih sayang, kesetiaan, keramahan, pengabdian, kejujuran, keadilan dan sebagainya: setiap pandangan religius atau filosofis yang tidak tergantung pada unsureunsur transenden sekalipun tidak mengingkarinya melainkan mengutamakan keadilan dan kesejahteraan sosial dalam setiap upaya mereka untuk mencapai manusiawi yang lebih baik di dunia, setiap program moral atau sosial untuk meningkatkan kesejatraan atau mengurangi penderitaan manusia. Humanisme mengakui atau meletakan harkat manusia sebagai “ukuran terakhir” dengan mengambil fitrah manusia dan kepentingan manusia sebagai perhatian pokoknya. Menurut humanisme manusia adalah “pembuat dunianya sendiri berdasarkan kemampuannya sendiri”.100 99 Cornolis, Agama Buddha, h. 76. Cornolis, Agama Buddha, h. 29. 100 52 Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa agama yang bertujuan untuk memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia, sering malah menjadi sumber konflik dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena dalam perkembangannya di masyarakat agama sering mengabaikan aspek humanisme seperti yang telah disebutkan di atas. Pengabaian ini bisa timbul karena adanya doktrin yang tidak seimbang antara teologi dan humanisme, atau dalam praktek, agama sering dipakai sebagai alat pembenaran bagi instink kelompok dalam melawan kelompok lainnya.101 Bagi seorang humanis, nilai-nilai, usaha, kemampuan, martabat, kebebasan, kepentingan dan kesejateraan manusia adalah yang tertinggi dan harus diutamakan. Ia berpendirian bahwa manusia harus mewujudkan kemampuan manusiawinya sendiri sepenuhnya untuk menuntun kehidupannya sendiri dan mencapai cita-citanya yang tinggi, di dalam suasana kebebasan berpikir, berbicara dan bertindak, untuk membentuk, mengubah dan memperbaiki dunianya sendiri.102 Sudah pasti setiap orang berkeinginan dan berpengharapan pendapat karunia dan hidup terbimbing Tuhan Yang Maha Esa, berbagai macam cara upaya dilakukan berdoa memohon kepada Tuhan, melakukan upacara, bersembahyang, dan bertapa, bahkan sampai melaksanakan ritual suci. Namun sekian banyak orang yang melakukan itu, sedikit sekali orang yang hidupnya terbimbing, mengapa ? 101 A. Joko Wiryanto, Pengetahuan Dharma untuk mahasiswa (Jakarta: CV Dewi Kayana Abadi, 2003), h. 86. 102 Cornolis, Agama Buddha, h. 27. 53 Dibawah ini ada sebuah lagenda yang diceritakan Sang Buddha untuk dapat dianalisa. Suatu kisah, dalam suatu hutan berdiamlah dua orang pertapa yang berbeda. Mereka mempunyai keinginan yang sama. Keduanya bermaksud menjadi orang yang hebat, berwibawa dan agung. Oleh karena keinginan mereka yang kuat, maka mereka bertapa selama bertahun-tahun lamanya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, akhirnya sudah bertahun-tahun mereka bertapa dengan sungguh-sungguh dan tanpa adanya gangguan apapun. Pada suatu malam yang sepi, terdengar ketukan pintu dan juga ada seorang yang meminta pertolongan. Kedua pertapa itu mendengarnya, mereka berpikir untuk menolongnya. Jika mereka menghentikan pertapaan mereka, maka pertapaan yang mereka lakukan selama bertahun-tahun itu akan sia-sia dan apa yang mereka cita-citakan tak akan tercapai, sehingga harus dimulai dari awal lagi. Tetapi suatu minta tolong it uterus terdengar. “Tolong saya…….saya kelaparan dan kedinginan apa lagi saya mempunyai seorang anak kecil. Tolong bukakan pintu….jika tidak kami berdua akan mati”. Suara wanita itu terdengar sangat jelas dan merintih karena kedinginan. Mendengar permintaan itu, pertapa pertama tidak mengacuhkannya. Ia berkata dalam hati. “Ah….biarkan saja mereka, ini malam terakhir aku bertapa, besok aku akan medapatkan cita-cita aku itu. Jika ku hentikan tapaanku, aku akan gagal meraih cita-cita ku itu”.103 Setelah mengambil keputusan itu, ia melanjutkan pertapaanya. Karena merasa tidak ada yang mengacuhkannya, wanita tersebut melangkah ke rumah sebelahnya. Mendengar ketukan dan permintaan tolong wanita itu, pertapa kedua tersentuh hatinya. Dia untuk berfikir, “meskipun wanita itu adalah orang jahat yang ingin menggangguku, aku akan tetap menolongnya kasihan sekali, bayi dan ibunya pasti sedang menderita, 103 Secara tidak sadar pertapa pertama berbisik di dalam hatinya seperti itu, justru hal itu membuat apa yang menjadi keinginan dan cita-citanya itu tidak akan terlaksan. Karena dengan ia berbisik seperti itu di dalam hatinya, justru ia sudah melanggar ajaran Sang Buddha. ia lebih mementingkan dirinya sendiri dari pada orang lain yang sedang membutuhkan pertolongannya. Bisa di katakana si pertapa pertama tidak mempunyai sifat “metta” dan sifat “karuna” yaitu sifat kasih sayang dan belas kasihan terhadap orang lain. maka hal itu membuat apa yang menjadi keinginan dan cita-citanya tidak terkabulkan. Jika seandainya, si pertapa pertama mempunyai sifat metta dan karuna, bisa jadi ia akan mendapatkan kehormatan dan kemulyaan dari Sang Buddha. 54 aku akan segera menolongnya. Biarlah tapanya dan membukakan pintunya. Diluar bayi dan ibu itu sedang menggigil kedinginan, hujan turun dengan lebatnya. Cepat-cepat si pertapa tersebut mempersilahkan ibu dan bayi itu masuk. Pertapa mendengar tindakan kawannya yang kedua itu dan ia berfikir “tolol, untuk apa ia menyia-nyiakan tapanya yang ia lakukan. Sekian lama hanya untuk menolong seseorang yang tidak dikenalnya”. Oleh pertapa kedua ibu dan anaknya dijamu dengan sepenuh hati. Penuh dengan cinta kasih dan belas kasihan pertapa itu memberikan makanan yang ada dan minuman hangat. Ibu itu sangat berterima kasih kepada pertapa kedua. Setelah menyantap hidangan yang disuguhkan, si ibu meminta air hangat untuk membersihkan bayinya. Permintaan itu di sediakan dengan sepenuh hati dan dengan senang hati melayani, melihat hal itu si ibu sangat kagum dan berkata, “Saya tahu anda berhenti bertapa untuk menolong saya. Anda rela tidak mendapatkan cita-cita anda demi kami. Saya akan membalas budi baik anda yang sedemikian benar. Besok pagi, basuhlah muka anda dengan air hangat sisa air mandi anak saya”. Kemudian malem itu juga si pertapa tidur dengan nyenyak, ke esokan paginya pertapa tidak melihat ibu dan bayinya yang menginap itu. Namun ia ingat pesan ibu itu lalu dibasuh mukanya dengan air hangat sisa yang diberikan pada bayinya. Ternyata wajah dan badannya tibatiba memancarkan wibawa dan keagungan, ia mendapatkan apa yang dicita-citakan. Dengan penuh suka cita ia pergi ke rumah tangganya yaitu pertapa pertama. Saat pertapa pertama sedang merenung karena cita-citanya tidak tercapai. Namun ia melihat temannya yang datang dengan keadaan muka dan badannya basah. Pertapa pertama segera mengerti bahwa wanita itu datang untuk menguji. Ternyata untuk menjadi orang yang bijaksana, berwibawa, penuh keagungan itu bukan hanya dengan bertapa, tetapi harus mendahulukan kepentingan orang lain dan mementingkan jiwa manusia. 104 Dapat disipulkan dari lagenda Sang Buddha diatas, sangatlah penting kita sebagai makhluk yang terlahir sebagai manusia jelas tidak bisa dapat hidup sendiri. Sangat 104 Wiryanto, Pengetahuan Dharma, h. 86-88. 55 membutuhkan orang lain. lagenda tadi mengajarkan kepada kita agar menekankan untuk berbuat baik, banyak berdana, bersikap dan berprilaku yang baik, banyak menolong orang yang baik dan banyak menolong yang menderita dan kesusahan. Tentunya dengan mempunyai sifat empati terhadap orang lain dan rasa humanisme terhadap sesama. Sikap hidup yang sesuai dengan Buddha Dharma diperlukan proses yang panjang melalui aspek kejiwaan dan falsafah yang berpedoman pada ajaran agama serta pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya dengan cara melaksanakan ajaran sila yaitu uposatha (puasa). Agama bukanlah hanya menekankan pada tradisi dan upacara saja, melainkan pada pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari sehingga memberikan kebahagiaan untuk diri sendiri maupun lingkungannya. Perlu disadari bahwa segala konflik dan permasalahan yang terjadi, sesungguhnya bukan disebabkan oleh dari pengaruh luar, melainkan dari cara berpikir yang tidak benar. 105 Oleh karena itu, perbaikan cara berpikir setiap individu adalah merupakan kunci perdamaian dunia. Karena apabila setiap orang benar cara berpikirnya, maka keluarganya akan benar pula. Bila keluarga benar cara berpikirnya, maka masyarakat akan tentram dan damai. Jika masyarakat berpikir yang terbebas dari ketamakan, kebencian dan kegelapan batin, maka bangsa dan negara yang dibentuknya menjadi tentram dan damai. Apabila setiap bangsa bisa berpikir dengan benar, maka tentu saja akan terwujud kondisi global yang tentram dan 105 Berfikir tidak benar yaitu: Cara berpikir yang dibarengi dengan ketamakan, kebencian dan kegelapan batin itulah yang sesungguhnya menjadi sumber segala bentuk konflik. Seperti Moha (kebodohan batin), Lobha (keserakahan) dan Dosa (kebencian). 56 damai. Maka dari diri sendirilah harus dimulai perbaikan yang bisa membawa dampak positif secara global ini. E. Pengendalian Pikiran Ajaran agama Buddha menitikberatkan pada pikiran. Hal ini disabdakan “Pikiran adalah pelopor dari semua tindakan kita. Segala sesuatu dilakukan oleh pikiran”.106 Pikiran yang menentukan kualitas moral dari semua tindakan kita. Pikiran yang baik dapat membuat orang berakal budi tinggi, tatapi pikiran tidak baik dan tidak terkontrol serta tidak terkendali dapat membuat orang jatuh pada jurang penderitaan. Pada dasarnya pikiran adalah sesuatu yang tidak pernah berhenti. Sang Buddha bersabda “Saya menganggap bahwa tidak ada sesuatu yang datang dan pergi secepat pikiran”. Pikiran yang tidak terkontrol ini menjadi masalah manusia dan malahan akan memperbudak manusia. Karena inilah Sang Buddha bersabda “Dunia dipimpin oleh pikiran, dibawa oleh pikiran dan berada dibawah kekuatan pikiran”. Kalau pemimpin-pemimpin dari dunia ini, pikirannya diliputi oleh hal-hal yang baik, maka niscaya dunia ini akan baik dan terpelihara kelanggengannya atau keberadaannya. Tapi sebaliknya jika dunia ini dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang pikirannya tidak terkendali dan tidak terkontrol, serta hanya mementingkan diri sendiri, maka kesejahteraan rakyat tidak akan terwujud dan dunia ini menjadi kacau dan tidak tentram.107 Jadi pikiran adalah salah satu bagian yang terpenting dalam diri seseorang maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bersosial, jika kita 106 Dikutip dari Wiryanto dalam Pengetahuan Dharma, h. 53. Wiryanto, Pengetahuan Dharma, h. 55. 107 57 mempunyai pemikiran yang positif terhadap seseorang maupun terhadap masyarakat, maka kita akan mendapatkan balasan yang positif pula. Pikiran sering diliputi oleh berbagai penyakit atau kotoran yang merusak pikiran kita seperti: keserakahan, kebencian, kebodohan, kemarahan, kecemburuan, kedengkian, kesombongan, dendam, kelambanan dan masih banyak lainnya yang merusak pikiran. Jika seseorang ingin membersihkan pikiran dan ingin meningkatkan kualitas pikiran, maka orang tersebut harus melakukan latihan pengendalian pikiran. segampang lidah mengucapkannya. 108 Karena Pengendalian pikiran tidak pikiran itu sangat sulit dikendalikan. Pikiran hendaknya dilatih untuk bebas dari keterikatan pada hidup dan kehidupan. Hidup hendaknya dijalani dengan apa adanya, karena segala sesuatu yang ada itu pada dasarnya selalu berubah-ubah dan tidak kekal. 109 Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menjaga dan megawasi pikiran kita dengan teliti. Betapa pentingnya pengendalian pikiran dalam kehidupan bermasyarkat atau bersosial. Tentunya dengan cara uposatha (puasa) dan menjalankan sila, pikiran kita dan diri kita akan terbebas dari sifat-sifat yang negatif. Jika kita menjalani kehidupan bermasyarakat dan bersosial, tentunya kita harus selalu bersifat positif. Dengan demikian kebahagiaan akan selalu menghampiri kita. Cara memperbaiki pola pikir ini adalah dengan mengembangkan kerelaan, kemoralan dan konsentrasi. Kerelaan adalah latihan 108 Pengendalian pikiran bisa dikatan dengan latihan pengendalian diri. Maka jika kita ingin bisa mengendalikan pikiran atau diri kita harus menjalankan upostha (puasa) dan menjalankan sila. 109 Wiryanto, Pengetahuan Dharma, h. 56. 58 melepas baik materi maupun tenaga. Namun, tujuan kerelaan ini adalah melepaskan keakuan, tidak mudah terpengaruh emosi. Kemoralan adalah latihan disiplin, yaitu berusaha mengevaluasi hasil kerja yang sudah diperoleh untuk diperbaiki bila ada kekurangan dan untuk ditingkatkan bila sudah ada nilai positifnya. Sedangkan konsentrasi adalah latihan menenangkan pikiran sehingga mampu menghadapi segala kesulitan dan perubahan dengan pikiran yang tenang dan seimbang dapat mengevaluasi segala perilaku dengan baik dan hasilnya adalah masa depan yang cerah. Sang Buddha berkata: “Barang siapa yang bisa mengendalikan pikiran, ucapan dan perbuatannya, maka ia akan mampu melenyapkan kotoran dalam hidupnya”. (Digha Nikaya III hal. 97). Buah dari susila adalah kebebasan dari sesal. Disamping yang bersangkutan akan menikmati hal-hal sebagai berikut: 1. Memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran dalam hidup melalui hasil karyanya sendir; 2. Minikmati nama harum dalam masyarakat; 3. Menghadapi masyarakat dengan ketetapan hati, tanpa rasa gelisah; 4. Kelak akan meninggalkan dengan penuh kesadaran; 5. Akan terlahir kembali menyenangkan.110 110 Cornolis, Agama Buddha, h. 46. 59 di salah satu alam dewa yang Semoga kita selalu dapat menjaga pikiran dan dapat mengendalikan pikiran kita agar terhindar dari keserakahan, kebencian, kebodohan dan iri hati. Semoga kita selalu “eling” atau ingat bahwa kita adalah manusia yang harus bertutur kata dan bertindak layaknya manusia dan memperlakukan orang lain sebagai manusia juga. Semoga pikiran kita yang terkendali dapat menolong diri sendiri dan orang lain dalam menghadapi tantangan “zaman edan”111 sehingga kita tidak terjerumus di dalamnya “milu edan”. Semoga dengan pengendalian pikiran yang baik, tentunya dengan menjalankan uposatha (puasa) umat Buddha senantiasa eksis di dalam masyarakat atau bersosial. Dan tentunya secara individual bisa menjadikan pribadi-pribadi yang benar sesuai yang diajarkan oleh Sang Buddha. Demikian pemaparan tentang nilai-nilai sosial puasa dalam agama Buddha. Sebagai umat muslim, penulis akan mencoba memaparkan tentang nilainilai sosial puasa dalam agama Islam. 1. Puasa mengembangkan kecerdasan emosi. Sesuai hakikat puasa adalah menahan diri dan menahan hawa nafsu bukan membunuh hawa nafsu, puasa 111 Sebagai penjelas. Jaman edan adalah jaman sekarang, dimana nilai-nilai dalam masyarakat “kalang kabut” masyarakat yang tadinya “community oriented” beralih menjadi “materialistic” dari yang dagang untuk hidup, ke yang hidup untuk dagang. Dulu orang yang jujur dan suka memberi kesempatan kepada orang lain dipuji, sekarang dianggap bodoh sendiri. Orang cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginannya. Sesuai dengan pujangga Ronggo Warsito (1802-1873) dalam Serat Kalatidha mengingatkan kita akan keadaan jaman edan yang penuh delematis sebagai berikut: “Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi. Milu edan ora tahan, yen tan milu anglakoni, boya kadumen melik. Kaliren wekasanipun”. Yang artinya: Hidup di jaman edan, memang repot tidak karuan, ikut edan tidak tahan. Jika tidak ikut-ikutan, tidak kebagian kekayaan, akhirnya hanya kelaparan. (A. Joko Wiryanto, Pengetahuan Dharma Untuk Mahasiswa, hal. 22). 60 mendidik manusia agar dapat melakukan pengendalian diri (self controll) dan pengaturan diri (self regulation). 2. Puasa mendidik kejujuran. Orang yang sedang berpuasa atas dasar imanan wahtisaban, ia tidak akan makan dan minum serta melakukan hal-hal yang membatalkan puasa betapapun tidak ada orang yang melihat dan tidak ada orang yang tahu kecuali dirinya dan Allah Swt. Ia akan selalu bersikap jujur ketika bermasyarakat. 3. Puasa meningkatkan solidaritas yang tinggi sesama umat muslim maupun dengan non muslim. 4. Puasa mendidik disiplin. Puasa adalah ibadah paling rahasia di mata manusia, yang bisa menumbuhkan sikap disiplin diri 5. Puasa mendidik sabar, betapapun tenggerokan dan lapar melilit perut, tiba, diharuskan sabar sampai kita kita merasa ketika haus waktu diperbolehkan menceklik magrib makan belum dan minum atau sampai waktu magrib. 6. Allah Puasa Swt. secara Lebih umumnya merasa meningkatakan dekat dengan sesame manusia. 61 Allah ketakwaan dan lebih kepada sayang BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang sudah penulis kemukakan mengenai “Peran Puasa Terhadap Nilai sosial Dalam Perspektif Agama Buddha”, maka dapat disimpulkan bahwa konsep puasa dalam perspektip agama Buddha adalah berusaha untuk memperbaiki pikiran, ucapan dan prilaku untuk menjadi orang yang baik lagi. Agar bisa menjadi orang yang lebih baik, maka untuk umat awam harus menjalankan Atthasila, Patimokkhasila untuk para Bhikku, dan Dasasila untuk samanera yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha. Atthasila, Patimokkhasila dan Dasasila ketiganya tersebut sudah merangkum dari segala aspek kehidupan dalam masyarakat atau bersosial. Ibadah puasa tentunya menjadi peran yang amat sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat dan bersosial. Dengan mempunyai sifat solidaritas yang tinggi, rasa empati, humanisme dan pikiran yang bisa dekendalikan menjadikan hidup di alam dunia ini terasa bahagia dan indah. Dengan hal itu, kita semua bisa saling menghargai satu sama lain, saling menghormati dan penuh rasa kasing dan sayang. Dalam pelaksanaan Uposatha (puasa) di dalam agama Buddha mulai dari pukul 12.00 siang sampai dengan 06.00 pagi. Dan di Vihara Siripada Tangerang Selatan diawali pada pukul 04.00 pagi dengan pembacaan 227 Patimokkhasila untuk para Bhikku, pembacaan Dasasila untuk para samanera, 62 setelah pembacaan tersebut sekitar pukul 05.30 pagi dilanjutkan dengan permohonan sila atau Athasila untuk umat awam. Setelah permohonan sila, biasanya umat tidak pulang ke rumah, akan tetapi menetap di Vihara selama satu hari atau biasa disebut Uposhatavasamvasati, yaitu pada hari Uposatha yang dilakukan oleh para Bhikku, samanera (calon bhikku) dan umat awam laki-laki dan perempuan (upasaka dan upasika) dimana waktu tersebut digunakan untuk belajar Dhamma melalui buku-buku yang ada di perpustakaan, diskusi, mendengarkan khotbah dari Bhikku yang menyampaikannya, dan ada juga yang menjalankan sila untuk berlatih meditasi. Kemudian, selama pukul 06.00 pagi sampai sebelum pukul 12.00 siang, umat masih diperbolehkan untuk makan tetapi untuk para Bhikku dan samanera mereka hanya diperbolehkan makan 1 atau 2 kali. Jika makannya 2 kali, yaitu pukul 06.00 pagi dan 11.00 siang. Akan tetapi jika Bhikku dan samanera hanya ingin makan 1 kali, maka pukul 11.00 siang saja. B. Saran-saran 1. Bagi segenap umat Bhudda khususnya, semoga pengetahuan ini dapat dijadikan suatu sarana untuk meningkatkan rasa kayakinan dan keimanan terhadap Buddha Dhamma (ajaran Buddha) dan dapat melaksanakan Uposatha (puasa) sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Buddha. 2. Menjalankan uposatha (puasa) dalam agama Buddha yaitu harus dengan cara memgerjakan delapan atthasila. Maka bagi mahasiswa yang ingin 63 memahami lebih mendalam tentang atthasila, silahkan teliti tentang konsep ajaran atthasila tersebut. 3. Untuk Lembaga atau Fakultas Ushuluddin, terutama jurusan Perbandingan Agama agar bisa menyediakan referensi buku lebih banyak lagi tentang puasa dalam agama Buddha. 64 Daftar Pustaka Abdul Aziz Muhammad Azam. Fiqih Ibadah. Penerbit Azam Jakarta 2003. Amirin, Tatang M. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Anjali G. S. Tuntunan Uposatha dan Athasila (Jakarta: Lembaran Khusus Agama Buddha). Anomius, Dhamma Rakkha Kumpulan Pamita Penting Untuk Upacara, (Jakarta: Balai Kitab Tri Dharma Indonesia, 1980). Bhikku Khantipalo, Saya Seorang Bhudis Bagaimana Menjadi Bhuddis Sejati. (Penerbit Karaniya: Yayasan Bhuddis Karaniya, 1999). Bhikku Subalaratano, Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha 1988). Bhikku Vijano (Ven), Dhamma Sekolah Tinggi Bhuddis. (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1996). Carmody. John Tully. Jejak Rohani Sang Guru Suci. Diterjemahkan oleh Tri Budhi Sastrio. Catatan kedua Penerbit: PT RajaGrafindo, 2003. Cornolis Wowor. Pandangan Sosial Agama Buddha. (Jakarta : CV Nitra Kencana Buana, 2004. Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis, (Jakarta: Yayasan Dhammadieva Arama, 1997). Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007). Kusuma, Erwin. Khazanah Kearifan Agama-agama di Indonesia.PT Intimedia Cipta Nusantara, Catatan Pertama Juni 2010. 65 Kitab Suci Tripitaka Bagian Anguttara Nikaya 3 (Tangerang: Vihara Saripada, 2016). Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Rosda Karya, 1998). Mastuhu, Metode Penelitian Agama Teori dan Praktek (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006). M. Syamsul Yakin, Meraih Ramadhan Sepanjang Masa, (Serpihan Mutiara Puasa Untuk Bekal Menjadi Takwa). Depok, Penerbit Smesta. 2005. Mingyur Yonger, Penerjemah Hendra Lim. Kebijaksanaa Yang Membahagiakan. Catatan Pertama Mei 2010. Nazir, Mohammad. Metodelogi Penelitian. (Jakarta: Ghalia Indonesia 1985). Nyanataloka, Buddhist Dictionary (Freewin: Co. Tto, 1972). Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan, (Jakarta: Tri Sattva Bhuddist Cantre, 1991). Purwadi, Teguh. Membangkitkan Kembali Spritual Anda.PT Karya Kita Bandung_Indonesia 2007. Smith, Huston. Agama-agama Manusia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta:2008. Suprayongo, Imam dan Tobroni. Misi Metodelogi Penelitian Sosial Agama. (Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya, 2001). Supomo, Dasar-dasar Uposatha, (Yogyakarta: Vihara Vidyaloka Vidyasena, 1993). Syahrudin El-Fikri, Sejarah Ibadah. Jakarta; Republika, 2014. 66 Towns, Elmer L. Puasa Untuk Melakukan Terobosan Rohani. Penerbit: Yayasan Pekabaran Injil “IMANUEL”. Catatan pertama. Jakarta 1999. Wiryanto, A Joko. Pengetahuan Dharma (untuk mahasiswa). Jakarta: Dewi Kayana Abadi, 2003. Refensi Internet Makna Uposatha” Artikel pada tanggal 9 Februari 2016 dari. www.kompasiana.com/Sudhana/perbandingan puasa-Islam dan puasaBuddha. Puasa dalam Agama-agama”Artikel diakses pada tanggal 20 Mei 2016 dari. https://id-id.facebook.com/perpustakaanunim/posts Puasa menurut agama-agama diakses pada tanggal 23 Mei 2016 dari http://www.pastvnews.com./nasional-hal-1/bedanya-puasa-umat-IslamBudha-Khatolik-Protestas-Konghucu-dan-Tionghoa.html. Perkembangan agama Konghucu diakses pada tanggal 23 Mei 2016 dari http://www.spocjoumal.com/budaya/499-perkembangan-agamaKonghucu-dan-pemahan-puasa. http//belajardhammaharis.blogspot.co.id/2014/12/bagaimanakah-puasa-dalamagama-Buddha.html. Diakses pada tanggal 28 September 2016. http//newmarinatan.blogspot.co.id/2013/07/makna-puasa-dalam-agamaKonghucu.html. diakses pada tanggal 28 Sepetember 2016. 67