nilai-nilai sosial puasa dalam agama buddha

advertisement
NILAI-NILAI SOSIAL PUASA DALAM AGAMA BUDDHA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)
Disusun Oleh:
Abdul Malik
NIM : 1110032100053
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./2016 M.
ABSTRAKSI
Abdul Malik
Nilai-nilai Sosial Puasa Dalam Agama Buddha
Puasa adalah masalah yang menarik. Mengapa demikian, ajaran puasa dalam agama
Buddha hanya sebagai media standar untuk mengekspresikan kedekatan, kecintaan, permohonan
rahmat dan ampunan dari Sang Buddha. Agama Buddha biasa disebut dan dicitrakan sebagai
agama (asketik), yaitu agama yang tidak tergiur dengan keindahan duniawi. Ia hanya
mementingkan untuk hubungan kepada Sang Buddha (horizontal). Hal tersebut dari ajaran di
dalamnya yang menerangkan cara untuk mencapai tujuan akhir, yaitu nibbana. Sederhananya
nibbana merupakan puncak spiritualitas dalam agama Buddha yang terlepas unsur-unsur duniawi
yang membelenggu penganutnya. Maka dalam agama Buddha, berpuasa bukan hanya
berhubungan terhadap Sang Buddha saja. Akan tetapi, dengan berpuasa mempunyai nilai-nilai
sosial yang sangat penting dalam kehidupan.
Dalam agama Buddha, puasa merupakan perwujudan dari pelaksanaan sila, yaitu suatu
cara untuk mengendalikan diri terhadap segala bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik. Oleh
karena itu, penulis mencoba untuk meneliti ritual puasa dalam agama Buddha. dalam melakukan
penelitian ini, penulis mengumpulkan data kualitatif. Pertama, data kepustakaan. Penulis
mengumpulkan beberapa literatur buku-buku ilmiah dan sumber lainnya yang memiliki relevansi
dengan objek penelitian sebagai dasar-dasar teoritis. Kedua, data lapangan. Yaitu penulis terjun
langsung ke Vihara Siripada yang berlokasi di Tanggerang Selatan Banten dimana umat Buddha
melakukan ritual. Ketiga, penulis melakukan wawancara dengan mengajukan beberapa
pertanyaan untuk mengumpulkan data dan memperoleh keterangan-keterangan yang sesuai
dengan tujuan penelitan.
Setelah penulis amati, bahwasannya puasa itu mengandung nilai-nilai sosial yang sangat
penting dalam kehidupan kita khususnya dalam agama Buddha. Berpuasa bukan hanya media
untuk mendekatkan diri kepada Sang Budda saja, akan tetapi implementasi nilai-nilai puasa itu
kita terapkan dalam kehidupan sosial. Apa saja nilai-nilai puasa yang terkandung dalam agama
Buddha? Tentunya nilai-nilai puasa yang terkandung dalam agama Buddha sangat banyak. Akan
tetapi, penulis mencoba meringkasnya dalam empat faktor diantaranya: dengan berpuasa
khususnya penganut Buddha harus mempunyai sifat solidaritas sosial yang tinggi, mempunyai
rasa empati, mempunyai rasa humanisme dan harus bisa mengendalikan pikiran. Karena dengan
nilai empat faktor ini bagi umat Buddha yang menjalankan ritual puasa ia akan merasa hidup
lebih tenang dan bahagia untuk mencapai tujuan akhir yaitu nibbana.
v
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL…………………………………………………………………………i
SURAT PERNYATAAN………………………………………………………….……...ii
LEMBAR PERSETUJUAN……………………………………………………..………iii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………..……..…iv
ABSTRAK……………………………………………………………………..………..…v
KATA PENGANTAR………………………………………………………..…………...vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………..….....1
B. Perumusan Masalah…………………………………………………...……6
C. Tujuan Penelitian………………………………………………………...…6
D. Kajian Pustaka…………………………………………………………..…7
E. Metodologi Penelitian…………………………………………………...…8
F. Sistematika Penulisan……………………………………………………..11
BAB II
PUASA MENURUT AGAMA AGAMA
A. Puasa Menurut Agama Islam……………………………………………...13
B. Puasa Menurut Agama Kristen Protestan…………………………………16
C. Puasa Menurut Agama…………………………………………………….18
D. Puasa Menurut Agama…………………………………………………….20
E. Puasa Menurut Agama………………………………………………….….21
BAB III
PUASA MENURUT AGAMA BUDDHA
A. Pengertian Puasa Dalam Agama Buddha………………………..………..25
ix
B. Dasar Hukum Puasa Dalam Agama Buddha…………………….……….29
C. Pelaksanaan dan Macam-macam Puasa Dalam Agama Buddha….……...30
D. Tujuan dan Manfaat Puasa Dalam Agama Buddha………………………35
BAB IV
IMPLEMENTASI PUASA TERHADAP NILAI SOSIAL
A. Solidaritas…………………………………………………………………46
B. Rasa Empati………………………………………………………...……..48
C. Humanisme………………………………………………………………..52
D. Pengendalian Pikiran………………………………………………...……57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………….62
B. Saran………………………………………………………………………63
C. Daftar Pustaka…………………………………………………………….65
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam pemahaman kebudayaan, agama sebagai sistem dan prinsip
kepercayaan kepada Tuhan, Dewa, atau Dzat yang lainnya dianggap
mempunyai kekuatan di luar diri manusia. Oleh karena itu, sejarah agamaagama yang dianut oleh umat manusia tidak dapat lepas dari sejarah
perkembangan kebudayaan umat manusia. Berbagai agama yang ada di dunia
ini dapat dibagi menjadi empat macam agama, yaitu:
a. Agama masyarakat primitif
b. Agama masyarakat di daratan dimana kitab Tuhan diturunkan
c. Agama masyarakat India
d. Agama masyarakat Cina dan jepang
Agama masyarakat primitif adalah kepercayaan animisme dan
dinamisme yang menyembah kekuatan roh. Agama Judaisme (Yahudi),
Zoroaster, Kristen, dan Islam masuk pada kategori kedua, yaitu agama yang
lahir di daratan dimana wahyu Tuhan kitab suci diturunkan. Agama masyarakat
India adalah Hindhuisme, Jainisme, Buddhisme, dan Sikhisme. Sedangkan
agama masyarakat Cina dan Jepang adalah Taoisme, Confusianisme, dan
Shinto.1
1
Erwin Kusuma, Khazanah Kearifan Agama-agama di Indonesia (Jakarta: PT
Intimedia Cipta Nusantara, 2010), h. 1-2.
1
Agama adalah hak setiap warga negara Indonesia. Setiap warga negara
diperbolehkan untuk memeluk suatu agama yang diyakininya dan negara
menjamin kebebasan memeluk agama tersebut. 2 Agama merupakan anugerah
Tuhan bagi manusia sebagai pedoman untuk menjalani hidup di dunia. Dengan
adanya agama, manusia mempunyai pegangan dalam setiap tindakannya di
dunia ini.
Seseorang yang memeluk suatu agama dituntut untuk melaksanakan
kewajian yang ada dalam agama tersebut. Setiap agama mempunyai ritual yang
disebut dengan ibadah, sebagai sarana manusia berhubungan dengan Tuhan.3
Artinya, agama yang dianut melahirkan berbagai prilaku sosial yakni prilaku
yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama. Kadangkadang prilaku tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Norma-norma dan
nilai-nilai sangat berpengaruh terhadap prilaku sosial. Salah satu fungsi agama
adalah sebagai penyelamat, keselamatan yang meliputi bidang yang luas adalah
keselamatan yang diajarkan oleh agama. Keselamatan yang diberikan oleh
agama kepada penganutnya yaitu keselamatan dunia, dan keselamatan akhirat.
Dalam mencapai keselamatan itu, agama juga mengajarkan kepada para
penganutnya melalui: pengenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan
kepada Tuhan.4
2
UUD 1945, Pasal 29.
Mastuhu, Metode Penelitian Agama Teori dan Praktisi (Jakarta: Raja Grapindo
Persada, 2006), h. 127.
4
Jalaludin, Psikologi Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 261.
3
2
Dari semua fenomena yang berkaitan dengan ritual agama, puasa
merupakan salah satu ritual keagamaan yang senantiasa dilaksanakan oleh
agama-agama di dunia. Dalam kehidupan, puasa juga dapat menjadi benteng
guna untuk menghambat manusia agar mampu mengendalikan nafsu hewani
yang sering bersemayam pada diri manusia. Seperti diketahui, banyak tingkah
dan ulah manusia di dunia ini yang tidak mencerminkan sikap yang seharusnya
menjadi sikap manusia. Secara spiritual puasa dapat mendorong untuk lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya. Sementara secara sosial, puasa melatih
empati manusia untuk bertenggang rasa dan turut merasakan penderitaan orang
lain yang kurang beruntung di dunia. Salah satu hikmah yang besar dari ibadah
puasa adalah melatih manusia untuk menyuburkan kehidupan rohani. Nafsu
jasmaniah yang ada pada masing-masing individu harus dengan sungguhsungguh dapat diredam, dikendalikan dan diarahkan untuk tujuan-tujuan yang
lebih mulia. Setiap orang yang menjalankan ibadah puasa pada hakekatnya
memang sedang memenjarakan dirinya dari berbagai nafsu jasmaniah dan
ruhaniah.5
Berpuasa adalah kegiatan berpantang makan dan minum selama jangka
waktu tertentu. Puasa bukanlah penemuan zaman modern, karena kebiasaan
berpuasa sudah dipraktekan selama berabad-abad dan menjadi bagian dari
agama dan budaya diseluruh dunia selama ribuan tahun. Puasa umumnya
berfungsi memenuhi kebutuhan metafisik, diantaranya: pembersihan jiwa,
5
Teguh Purwadi, Membangkitkan Kembali Spritual Anda (Bandung: PT Karya Kita,
2007), h. 42.
3
penebusan dosa, pemurnian, atau pelatihan mental. Ajaran puasa dapat kita
temukan diantara orang Yahudi, Muslim, Kristen, Konghucu, Hindu, Taoisme
dan penganut agama-agama lainnya. Puasa biasanya merupakan bagian penting
dari praktik keagamaan, masing-masing punya aturan tertentu dalam
menjalankan puasa dalam berbagai budaya dan agama.6
Ajaran puasa terdapat dalam berbagai agama, diantaranya agama
Buddha. Ajaran-ajaran tersebut mengacu pada kitab suci Tripitaka. Agama
Buddha juga menjadikan puasa sebagai media standar untuk mengekspresikan
kedekatan, kecintaan, permohonan, rahmat dan ampunan dari Sang Buddha.7
Agama Buddha biasa disebut dan dicitrakan sebagai agama (asketik), yaitu
agama yang tidak tergiur dengan keindahan duniawi. Ia hanya mementingkan
untuk hubungan kepada Sang Buddha (horizontal). Hal tersebut dari ajaran di
dalamnya yang menerangkan cara untuk mencapai tujuan akhir, yaitu nibbana.
Sederhananya nibbana merupakan puncak spritualitas dalam agama Buddha
yang terlepas unsur-unsur duniawi yang membelenggu penganutnya. Maka
dalam agama Buddha, berpuasa bukan hanya hubungan terhadap Sang Buddha
saja. Akan tetapi, dengan berpuasa mempunyai implementasi terhadap
kehidupan sosial (vertical).
Dalam agama Buddha, puasa merupakan perwujudan dari pelaksanaan
sila, yaitu suatu cara untuk mengendalikan diri terhadap segala bentuk-bentuk
pikiran yang tidak baik dan merupakan suatu usaha untuk membebaskan diri
6
https://id-id.facebook.com/perpustakaanunik/pasts
Herman S.Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Budhis 1996-2026 (Jakarta:
Yayasan Dhammadieva Arama, 1997), h. 2.
7
4
dari segala akar kejahatan, yaitu lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan
moha (kebodohan batin). Dimana setiap orang memiliki sila yang baku, yang
dilakukan sebagai suatu usaha untuk mencapai tujuan akhir (nibbana).8
Dasar ajaran puasa dalam agama Buddha terdapat di dalam ajaran sila,
dari atthasila (delapan peraturan hidup suci), dasasila (peraturam pada hari
puasa), dan patimokkha (ritual atau do’a).9 Sehingga di dalam pelaksanaanya
terdapat tingkatan, yaitu bagi umat awam puasa dilaksanakan pada setian hari
Uposatha yang jatuh pada tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut penanggalan lunar,
sedangkan bagi umat viharawan puasa dilaksanakan pada setiap hari. 10
Pelaksanaan puasa ini telah diajarkan oleh Sang Buddha, dimana Sang Buddha
telah menganjurkan kepada para Bhikkhu untuk tidak makan setelah tengah
hari. Demikian pula orang-orang yang melaksanakan atthasila (delapan
peraturan hidup suci) untuk berpantang dari mengambil makanan setelah tengah
hari.11 Pada hari puasa umat Buddha hanya dibolehkan makan dari pagi sampai
tengah hari, yaitu sebelum matahari melewati jam 12:00 siang. 12 Mereka
berjanji pada dirinya sendiri untuk berpantang memakan makanan setelah lewat
tengah hari dan melaksankan delapan peraturan latihan lainnya serta melakukan
perenungan dan mendengarkan Dhamma.
8
Pendit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan (Jakarta: Tri Sattva Buddhist Cantre,
1991), h. 170.
9
Lihat Anjali G.S, Tuntunan Uposatha dan Atthasila (Jakarta: Lembaran Khusus
Agama Buddha), h. 25.
10
Bhikku Subalaratano, Tanya Jawab Agama Buddha (t.tp: t. tt), h. 36.
11
K. Sri Dhammanada, What Buddhis Belive, h. 214.
12
Anomius Dhamma Rakkha, Kumpulan Parrita Penting Untuk Upacara (Jakarta:
Balai Kitab Tri Dharma Indonesia, 1980), h. 47.
5
Hari uposatha disebut juga Uposathadivasa, yaitu hari suci dan hari
penuh berkah. Meski bukan bersifat wajib diharapkan pada hari uposatha para
upasaka dan upasika melatih diri dengan menjalankan Atthanga Uposathasila,
yaitu 8 (delapan) peraturan yang harus dijalankan diantaranya: tidak
membunuh, tidak mencuri, tidak berhubungan seksual, tidak berbohong, tidak
mabuk-mabukan, tidak makan dan minum setelah jam 12 siang, tidak
bersenang-senang dan tidak bermewah-mewahan.13 Maka delapan itulah yang
harus dihindari bagi penganut umat Buddha, agar bisa mendapatkan
kebahagiaan yang sejati dan kepribadian yang mulia.
Dari uraian diatas, timbul pertanyaan apakah puasa di dalam agama
Buddha itu hanya sebagai formalitas keagamaan ataukah dapat dikatakan
sebagai disiplin keagamaan yang merupakan fenomena universal yang ada pada
berbagai agama, atau hanya sebagai media untuk mendekatkan diri kepada
Sang Buddha. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk membahas
tentang nilai-nilai sosial puasa dalam agama Buddha.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penegasan istilah yang dikemukakan sebelumnya,
makadapat diberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep puasa dalam persepektif agama Buddha?
2. Apa nilai-nilai sosial puasa dalam agama Buddha?
C. Tujuan Penelitian
13
www.kompasiana.com/sudhana/perbandinganpuasa-Islam-dan-puasa-Buddha-rabu11-Mei-21:00.
6
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, terdapat
tujuan utama penelitian, yaitu untuk mengetahui konsep puasa dalam
persepektif agama Buddha. Sekaligus untuk mengetahui nilai-nilai sosial puasa
dalam agama Buddha.
Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Pada tinjauan akademik, kegunaan penelitian ini dibuat sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Serjana Theologi Islam di Fakultas Ushuluddin,
Jurusan Perbandingan Agama.
2. Menambah khazanah keilmuan bagi pembaca, terutama dalam peran puasa
terhadap nilai sosial dalam persepektif agama Buddha.
D. Kajian Pustaka
Untuk membuktikan orisinilitas karya tulis ilmiah ini, penulis akan
menunjukan beberapa karya tulis ilmiah yang telah membahas tentang puasa
dalam agama Buddha. Beberapa karya tulis ilmiah tersebut berupa skripsi dan
buku, sejauh yang penulis ketahui, belum ada penelitan yang serupa membahas
nilai-nilai sosial puasa dalam perspektif Agama Buddha. Adapun penelitian
yang relevan mengenai puasa diantaranya adalah:
1. Pelaksanaan dan Makna puasa (uposatha) Dalam Agama Buddha. (Studi
Kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarata Utara), oleh
mahasiswi yang bernama Siti Faujiyah Abrori Universitas Islam Negeri,
Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, pada tahun 2007.
Skripsi ini hanya menjelaskan pelaksanaan dan makna puasa, beserta
gambaran umum tentang Vihara Jakarta Dhammacakka. Akan tetapi skripsi
7
yang saya buat lebih spesipik mengenai konsep puasa dan peran puasa
terhadap nilai sosial dalam agama Buddha.
2. Puasa Dalam Perspektif Agama Islam dan Buddha. Skripsi ini ditulis oleh
mahasiswa yang bernama Muhammad Amrullah Universitas Islam Negeri
Bandung, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, pada tahun
2001. Skripsi ini hanya menjelaska pada perbandingan puasa secara
mendasar. Maka dari itu, penulis akan menjelaskan peran puasa terhadap
nilai sosial dalam perspektif agama Buddha. Sekaligus menjelaskan
perbedaan puasa dalam agama-agama.
3. Dasar-dasar Uposatha, buku ini dikarang oleh Bhikku Utomo yang
menjelaskan tentang dasar-dasar puasa dalam Agama Buddha. Buku ini
membicarakan tentang makna, cara dan tujuan puasa saja. Dengan buku ini
tentunya mempermudah penulis untuk menjelaskan konsep puasa dalam
agama Buddha dan peran puasa terhadap nilai sosial.
E. Metodologi Penelitian
Agar diperoleh hasil yang maksimal, maka dalam melakukan penelitian
diperlukan data atau informasi yang lengkap serta penjelasan yang berkaitan
dengan pokok permasalahan yang akan dibahas. Dalam hal ini, unsur yang
paling penting adalah mengenai metodologi penelitian yang digunakan.
Untuk memperoleh data yang lengkap atau objektif, maka peneliti
melakukan beberapa langkah penelitian, yaitu:
a. Jenis Penelitian
8
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif dan
deskripsi. Penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar
alamiah, dengan menggunakan metode alamiah dan dilakukan oleh orang atau
peneliti yang tertarik secara alamiah. Sedangkan penelitian deskripsi adalah
suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomenafenomena yang ada, baik fenomena secara alamiah maupun fenomena buatan
manusia.14
b. Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
fenomenologi dan sosiologi, yaitu penulis akan mempelajari fenomena yang
berkaitan dengan nilai-nilai sosial puasa bagi para penganut agama Buddha.
c. Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data sebagai
berikut:
a.). Data primer adalah sumber-sumber dasar yang merupakan bukti atau saksi
utama dari kejadian yang lalu. Data tersebut diperoleh secara langsung di
Vihara Siripada. Data-data yang dibutuhkan dari sumber asli yang memuat
mengenai nilai-nilai puasa. Data primer dapat berupa dokumen, catatan
harian, arsip, biografi yang tertulis.
b). Data sekunder adalah catatan tentang adanya suatu peristiwa, ataupun
catatan-catatan yang jaraknya telah jauh dari sumber orisinil. Catatan
14
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 1995), h. 134.
9
tersebut berisi bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer atau sejumlah keterangan atau fakta yang digunakan
seseorang secara tidak langsung diperoleh melalui dokumen, laporan, bukubuku karangan ilmiah, artikel yang ditulis oleh orang-orang yang tidak
sezaman dengan peristiwa tersebut yang berhubungan dengan materi
penelitian ini.15
d. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengumpulkan data kualitatif
sebagai berikut:
a). Data kepustakaan (library research) yaitu penelitan dengan cara
mengumpulkan dan menelaah beberapa literature buku-buku ilmiah dan
sumber cetak lainnya yang memiliki relevansi dengan objek penelitian ini,
sebagai dasar-dasar teoritis.
b). Data observasi lapangan (field research), yaitu peneliti terjun langsung ke
Vihara Siripada yang berlokasi di Tangerang Selatan Banten, untuk
mengumpulkan data-data tentang peran puasa terhadap nilai sosial menurut
perspektif agama Buddha. Observasi adalah sebuah metode ilmiah yang
berupa pengamatan dan pencatatan secara sistematik, mengenai fenomenafenomena yang diselidiki. 16 Pengertian secara luasnya, metode ini akan
membantu untuk mengamati semua kejadian, dan mencatat dari semua
buku, atau majalah yang ada di Vihara Siripada.
15
Muhammad Nazir, Metodologi Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 182.
Imam Suprayongo dan Tobroni, Misi Metodologi Penelitian Sosial Agama
(Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya, 2001), h. 167.
16
10
c). Interview atau wawancara, yaitu teknik pengumpulan data untuk
memperoleh keterangan sesuai dengan tujuan penelitian dengan cara tanyajawab secara lisan antar peneliti dengan informan dengan menggunakan
alat yang dinamakan interview guide (pedoman wawancara). Untuk
mendapatkan informasi tentang konsep puasa dalam perspektif agama
Buddha, penulis akan mewawancarai Bapak Candra, S.PB, dan Bhikku
Artatida. Pelaksanaan wawancara memerlukan intensitas yang tinggi, dari
informan yang satu ke informan yang lainnya agar bisa mendapatkan data
ataupun informasiyang lebih valid dan akurat.17
F. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian mengenai nilai-nilai sosial puasa dalam agama Buddha,
akan disusun dalam bentuk skripsi dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan, yang meliputi: Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kajian Pustaka, Metodologi Penelitian,
dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Puasa Menurut Agama-agama, yang meliputi: Puasa Menurut
Agama Islam, Puasa Menurut Agama Kristen Protestan, Puasa Menurut Agama
Kristen Katolik, Puasa Menurut Agama Konghucu, serta Puasa Menurut Agama
Hindu.
BAB III : Puasa Menurut Agama Buddha, yang meliputi: Pengertian
Puasa Dalam Agama Buddha, Dasar Hukum Puasa Dalam Agama Buddha,
17
Muhammad Nazir, Metodologi Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 182.
11
Pelaksanaan dan Macam-macam Puasa Dalam Agama Buddha, dan Tujuan dan
Manfaat Puasa Dalam Agama Buddha.
BAB IV : Implementasi Puasa Terhadap Nilai Sosial, yang berisi:
Solidaritas Sosial, Rasa Empati, Humanisme dan Pengendalian Pikiran.
BAB V : Penutup meliputi : Kesimpulan, Saran, dan dilanjutkan dengan
Daftar Pustaka.
12
BAB II
Puasa Menurut Agama-agama
A. Puasa Menurut Agama Islam
Pengertian puasa dalam kaidah bahasa bisa diartikan sebagai menahan.
Menahan di sini, yaitu menahan dari hal-hal yang masuk ke dalam mulut dalam
bentuk makanan dan minuman, bahkan juga diartikan menahan dari perbuatan
dan bicara. Sementara Pengertian puasa menurut secara syariat Islam disepakati
para ulama, yaitu menahan dari apa pun yang membatalkan puasa, disertai niat
untuk berpuasa dari terbit fajar sampai tenggelam matahari (maghrib). Ada pula
sebagian ulama yang mendefinisikan kata-kata “membatalkan puasa” itu
sebagai perbuatan dua anggota badan, yaitu perut dan alat kelamin.18
Dalam Islam perintah puasa memang hanya secara khusus diwajibkan
oleh Allah bagi orang-orang yang beriman. Yaitu mayakini Allah sebagai Rabb
mereka; yang menciptakan, melahirkan, memberi rizki, menganugrahi
kehidupan, menentukan ajal, dan menempatkan mereka pada kehidupan abadi
kelak di akhirat 19 . Sebagaimana perintah puasa di dalam (QS. al-Baqarah/2:
183). Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas
kalian berpuasa. Sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum
kalian. Agar kalian bertakwa”.20 Sedikit memaparkan tentang “takwa”. Takwa
secara harfiah. yaitu, memelihara diri. Kaerna orang-orang yang bertakwa ia
18
Abdul Aziz Muhammad Azam, Fiqih Ibadah (Jakarta: Penerbit Amzah , 2003), h.
433.
19
M. Syamsul Yakin, Meraih Ramadhan Sepanjang Masa Serpihan Mutiara Puasa
Untuk Bekal Menjadi Takwa (Depok: Semesta, 2005), h. 1.
20
QS. 2:183.
13
akan memelihara dirinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan oleh
Allah. Menurut ulama, pengertian takwa adalah “menjalankan segala perintah
Allah dan menjauhi segala apa-apa yang dilarang oleh Allah.”21 Jika manusia
bertakwa dengan sebenar-benarnya maka ia akan memperoleh kebahagian yang
hakiki, kebahagiaan yang abadi dengan masuk ke dalam surga-nya Allah.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, yang artinya “Bersegeralah
kalian menuju kepada ampunan Allah, dan memohon surge yang luasnya
seluas langin dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”.22
Oleh karena itu, kita harus mencantumkan puasa Ramadhan dalam agenda
ibadah agar tidak kehilangan kesempatan emas yang hanya dijumpai sekali
dalam setahun untuk mendapatkan ampunan Allah.
Lantas, mengapa Al-Qur’an menghendaki hal itu? Pertama, dengan
berpuasa orang akan berfikir. Kedua, puasa mengajarkan disiplin diri, ia yang
mampu menjalankan tuntutan bulan puasa ini tidak akan mengalami kesukaran
dan bisa mengendalikan keinginannya. Dengan berpuasa akan meningkatkan
dia secara jelas akan kelemahan dasarnya dan ketergantungannya. Akhirnya
puasa akan memperhalus rasa kasih sayang.23
Selain puasa wajib di bulan Ramadhan, Allah masih memberikan akses
dan kesempatan kepada umatnya untuk melakukan komunikasi dengan jalur
khusus, yaitu dengan melakukan puasa-puasa sunah yang dijanjikan oleh Allah
21
Yusuf Al-Qardhawy, Hidup Menjadi Taqwa (Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 65.
QS. 3:133.
23
Huston Smith, Agama-agama Manusia. Penerjemah: Saafrudin Bahar (Jakarta,
2008), h. 282.
22
14
dengan pahala yang sangat luar biasa. Apa saja puasa sunah itu, diantaranya:
puasa sunah hari Senin dan Kamis, puasa sunah Nabi Daud, puasa sunah
syawal, puasa sunah muharram, puasa sunah asyura, puasa sunah syakban,
puasa sunah hari arafah dan puasa sunah ayyamul bidh (puasa yang dilakukan
selama tiga hari pada tanggal 13,14 dan 15).24
Sebagai tambahan, pahala bagi ibadah puasa juga disebutkan dalam
Hadis Rasulullah SAW.
“Sesungguhnya di dalam surga ada pintu yang bernama Ar-Rayyan
(pintu kesegaran), ketika nanti pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa
akan masuk lewat pintu itu, dan tidak ada seorang pun yang masuk lewat pintu
itu selain mereka yang berpuasa, ketika penjaga pintu itu mengucapkan,
“Mana orang-orang yang berpuasa”? kemudian mereka pun berdiri dan
masuk pintu surga maka ditutuplah pintu itu. Maka dari itu, tidak ada seorang
pun yang masuk lewat pintu itu selain mereka yang ahli berpuasa”. (HR.
Bukhari dan Muslim).25
Berdasarkan hadis diatas, sungguh berbahagialah bagi orang-orang yang
berpuasa, karena Allah menjanjikan surga baginya pada kehidupan di akhirat
nanti. Di dunia saja orang yang berpuasa ia akan merasa hidup bahagia karena
dicukupi semua kebutuhan dan keperluannya oleh Allah.
B. Puasa Menurut Agama Kristen Protestan
Kata “puasa” adalah tsom dalam bahasa Ibrani, dan nesteia dalam
bahasa Yunani. Kata ini berarti berpantang secara sukarela terhadap makanan.
Kata Ibrani adalah komposisi dari kata negatif ne yang digandengkan dengan
kata kerja esthio, “makan” yang dengan demikian berarti “tidak makan”.
24
Teguh Purwadi, Membangkitkan Kembali Spiritualitas Anda (Jakarta: PT unilever
Indonesia), h. 45.
25
Hadis Arbain Nawawi, h.. 20.
15
Sebagian besar serjana percaya bahwa praktik puasa dimulai dengan hilangnya
nafsu makan selama masa kesusahan dan tekanan.26
“Hana, yang kemudian menjadi ibu Samuel, sangat berusaha hati
karena ia mandul sehingga “ia menangis dan tidak mau makan”.27
“ketika Raja Ahab gagal dalam usahanya untuk membeli kebun anggur
Nabot, ia “tidak mau makan”.28
Puasa tampaknya bermula sebagai suatu ekspresi alamiah dari
kesedihan; namun, lama kelamaan hal ini menjadi suatu kebiasaan untuk
menunjukan atau membuktikan kesedihan seseorang kepada orang lain dengan
memantangkan diri dari makanan, atau bisa disebut menunjukan dukacita.
Misalnya raja Daud berpuasa untuk menunjukan dukacitanya ataas kematian
Abner. Berpuasa dipraktikan sebagai cara eksternal untuk menunjukan dan
kemudian mendorong perasaan internal akan penyesalan yang dalam karena
dosa. Disamping itu, puasa merupakan ekspresi alamiah manusia akan
kesedihannya; oleh karena itu, hal ini menjadi kebiasaan keagamaan untuk
menenangkan
kemarahan
Allah.
Orang-orang
mulai
berpuasa
untuk
menjauhkan kemarahan Allah agar tidak mebinasakan mereka. Akhirnya,
berpuasa menjadi dasar untuk membuat permohonan seseorang kepada Allah
menjadi efektif. Ketika Allah menunjukan kemarahannya terhadap suatu bangsa
karena kejahatannya, berpuasa menjadi cara untuk mencari kemurahan dan
perlindungan ilahi. Oleh karena itu, alami untuk sekelompok orang untuk
26
Elmer L. Towns, Puasa Untuk Melakukan Terobosan Rohani (Jakarta: Yayasan
Pekabaran Injil), h. 26.
27
Injil Perjanjian Lama (1 Samuel: 1:7).
28
Injil Perjanjian Lama (1 Raja-raja 21:4).
16
menyatukan diri mereka dalam pengakuan dosa, menyesali dosa mereka dan
berdoa syafaat kepada Allah.29
Dr Ahmad Shalabi buku Perbandingan Agama, memaparkan puasa
dikalangan umat Nasrani meliputi puasa hari Rabu yang merupakan hari
pengkhianatan terhadap Nabi Isa hingga tertangkap, dan puasa pada hari Jumat.
Sesudah itu, puasa Agung selama 55 hari, yang 40 hari merupakan puasa yang
dilakukan Nabi Isa ditambah dua minggu (dua pekan) sebagai persiapan dan
penderitan. Dalam menjalankan puasa-puasa tersebut mereka tidak dibenarkan
memakan daging hewan apapun juga atau apa saja yang bersifat hewani. Yang
dibolehkan hanyalah jenis-jenis tumbuhan. Dalam Kristen pada umumnya,
ajaran puasa umat Kristen Intinya adalah pertobatan, melawan keiginan
duniawi, dan dilarang untuk memakan daging,30 yang diperbolehkan hanyalah
memakan tumbuh-tumbuhan. Dalam beberapa aliran Kristen hanya pelaksanaan
dan tatacaranya saja yang berbeda inti dan tujuanya sama.31
C. Puasa Menurut Agama Kristen Katolik
Puasa bagi umat Kristen Katolik, kini lebih menekankan dalam soal
kenyang satu kali serta menahan hal-hal dari keinginan manusia terkait
duniawi, yaitu daging, seperti halnya puasa umat Kristen yang lainnya.
Disamping puasa resmi, secara pribadi umat Katolik juga disarankan untuk
berpuasa pada hari-hari yang disukai atau yang dipilih, hal ini sebagai
29
Elmer, Terobosan Rohani, h. 212-213.
Daging yang dimaksud dalam agama Kristen adalah manusia itu sendiri. Jadi artinya
keinginan daging yaitu keinginan manusia itu sendiri, dan juga mengerjakan puasa agar sebisa
mungkin tidak diketahui oleh sesama yang sedang berpuasa atau yang sedang tidak puasa
termasuk merahasiakan hari apa dia akan mulai berpuasa.
31
Syahrudin El-Fikri, Sejarah Ibadah (Jakarta: Republika, 2014), h. 56.
30
17
ungkapan taubat.32 Tradisi puasa dalam agama Kristen Katolik, telah bermula
pada kebiasaan kuno, berpuasa selama 40 hari 40 malam, sebagai praktek Nabi
Musa menjelang beliau menerima 10 perintah Tuhan di pegunungan Sinai.
Begitu pula Nabi Ilyas (Elias) ketika ia hendak pergi ke gunung Horeb
menerima wahyu. Terakhir tradisi berpedoman pada puasa Jesus 40 hari, yang
pernah terjadi beliau tampil di muka umum. Tetapi kenyataan Katolik dewasa
ini, mereka telah menempatkan puasanya selama 40 hari itu pada hari-hari
menjelang paskah. 33 Puasa dalam Katolik ini dilakukan melalui perenungan
tentang sengsara Jesus menebus salibnya, dilakukan pula tirakat, matiraga,
berbagai pantang dan puasa sebagai usaha untuk memperbaiki kehidupan yang
penuh dosa, cacat dan serba kelemahan-kelemahan lainnya.34
Dahulu dalam Agama Katolik memang ada ketetapan Gereja bagi tata
tertib puasa, ketatnya bagaikan juga puasa dalam Islam. Namun kini kenyataankenyataan sudah meminta lain. Gereja menginsafi dan memberikan keringanan
dengan jalan menghapus tata tertib di sekitar puasa. Bagaimana pun puasa
Katolik tidak lagi bersifat jasmani dan rohani, tetapi rohaniah semata. Itulah
yang pokok. Pelaksanaan puasa diserahkan sepenuhnya kepada pribadi-pribadi
anggota jamaat yang melakukannya, dengan tidak melupakan jiwa Injil.35
Untuk itu tertulis dalam Injil sebagai berikut:
“Apabila kamu berpuasa janganlah murah seperti orang munafik,
mereka mengerutkan mukanya supaya puasanya Nampak kepada orang.
32
http://www.pastvnews.com./nasional-hal-1/bedanya-puasa-umat-Islam-BudhaKhatolik-Protestan-konghucu-dan-Tionghoa.html, diakses pada tanggal 20 Mei 2016.
33
Hari Paskah adalah hari wafat dan hari kebangkitan Jesus. Dimana umat Kristen
meyakini kembalinya Jesus.
34
Abujamin Roham, Puasa Perisai Hidup (Jakarta: Media Dakwah), h. 11.
35
Roham, Perisai Hidup, h. 12.
18
Sesungguhnya aku bersabda kepadamu, mereka sudah menerima
pahalanya. Akan tetapi engkau bila berpuasa minyakilah kepala-mu dan
basuhlah muka-mu supaya jangan ada yang melihatmu berpuasa,
melainkan hanya Bapak-mu yang hadir dalam kesunyian dan ia yang
melihat dalam kesunyian juga akan mengganjari engkau”. 36
Jadi pelaksanaan puasa dalam agama Kristen Katolik, mempunyai
aturan-aturan yang telah ditentukan sama seperti umat-umat yang lainnya. Para
penganut Kristen Katolik meyakini bahwasannya dengan melaksanakan puasa
menjadikan sebuah mengampunan diri terhadap kesalahan atau dosa-dosa yang
telah dilakukan. Disamping itu, dalam agama Kristen Katolik ada hari-hari
yang tertentu untuk melaksanakan ibadat puasa, yaitu hari Rabu dan Jumat.
masing-masing uskup dapat mengatur rincian ketentuan atas hal tersebut
disesuaikan dengan keadaan di keuskupannya. Untuk umat Katolik juga
diharapkan dapat meluangkan lebih banyak waktu dan perhatian untuk berdoa,
beribadat, melaksanakan taubat dan banyak beramal.
D. Puasa Menurut Agama Konghucu
Definis puasa dalam agama Konghucu tidak sama persis dengan
pemahaman secara umum yang dikenal dalam keseharian masyarakat
Indonesia, yakni tidak makan dalam waktu tertentu atau tidak makan hewan
(vegetarian). Dalam agama Konghucu puasa ini bertujuan mendukung
terciptanya kondisi untuk membina diri, yaitu mempunyai dua prinsip tujuan
yang akan dicapai, pertama: dalam bentuk pengendalian nafsu, kedua: untuk
36
Kitab Injil Perjanjian Baru, Matius 6: 16-18.
19
memperbaiki kekeliruan. 37 Jika kita mengamati kata puasa dalam agama
Konghucu “Zhai”. Dapat juga diartikan sebagai yang agung, bersih, jernih,
lurus, polos, sederhana, menjaga larangan dan prilaku yang benar. Maka makna
puasa menurut ajaran Konghucu bukan hanya dilihat dari sudut pandang
berpuasa makanan saja tapi dalam perbuatan harus selaras dengan watak
sejati.38
Banyak orang yang berpuasa meskipun demikian hakekat dan makna
atau tujuannya adalah satu yaitu “Membersihkan Hati”. Dengan cara
mengendalikan diri dan kembali kepada ke Susilaan, agar dapat mendekatkan
diri kepada Sang Pencipta.
Dalam Kitab Zhong Yong (Tiong Yong) tertulis:
“Sungguh Maha Besarlah Kebijakan Kwi Sien, (Gui Shen; Tuhan Yang
Maha Roh). Dilihat tidak nampak, didengar tidak terdengar, namun tiap wujud
tiada yang tanpa dia. Demikianlah menjadikan umat manusia di dunia
berpuasa, membersihkan hati dan mengenakan pakaian lengkap sujud
bersembahyang kepadanya. Sungguh maha besar dia, terasakan di atas dan di
kanan kiri kita”. (ZY XV:1:3)
Hakikat puasa tidak lain adalah untuk membersihkan hati agar selalu
sejalan dengan kehendak Tuhan. Yaitu agar segala tindakan dan perkataan kita
senantiasa mengikuti sesuai dengan kehendak watak sejati yang di kenal
dengan lima sifat “Kekekalan Sifat Rohani”. Perwujudannya dapat dipraktekan
dengan mengikuti atau menjalankan ke lima sifat kekekalan, yaitu: Ren (cinta
37
http://www.spocjoumal.com/budaya/499-perkembangan-agama-Konghucu-danpemahaman-puasa. diakses-pada-tanggal-20-Mei-2016.
38
http//newmarinatan.blogspot.co.id/2013/07/makna-puasa-dalam-agamaKonghucu.html.diakses-pada-tanggal-28-September-2016.
20
kasih), Yi (kebenaran), Li (kesusilaan), Zhi (bijaksana) dan keyakinan (dapat
dipercaya).39
Tidak ada kewajiban di dalam agama Konghucu untuk berpuasa, akan
tetapi itu semua kembali kepada pribadi masing-masing bagi penganutnya. Jadi
puasa
dalam
agama
Konghucu,
mempunyai
dua
keutamaan
dalam
pelaksanaannya, yaitu berpantang untuk tidak terjerumus kedalam hawa nafsu
dan menjaga diri untuk bisa memperbaiki dari kekeliruan. Dua hal ini yang
menjadi keutamaan bagi umat Konghucu yang menjalankan ibadah puasa.
Dengan demikian, puasa yang dilaksanakan umat Konghucu akan berbeda
sesuai dengan maksud tujuan dilaksanakan puasa itu, namun memiliki ending
yang intinya sama (membina diri).
E. Puasa Menurut Agama Hindu
Dalam agama Hindu, Puasa berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri
dari kata Upa dan Wasa, di mana Upa artinya dekat atau mendekat, dan Wasa
artinya Tuhan atau Yang Maha Kuasa. Upawasa atau puasa artinya
mendekatkan diri kepada Tuhan yang maha esa. Puasa menurut Hindu adalah
tidak sekedar menahan haus dan lapar, tidak untuk merasakan bagaimana
menjadi orang miskin dan serba kekurangan, Puasa menurut Hindu adalah
untuk mengendalikan napsu indra, mengendalikan keinginan. Indra haruslah
berada dibawah kesempurnaan pikiran, dan pikiran berada dibawah kesadaran
budhi. Berpuasa melibatkan pengendalian diri dan beberapa pengorbanan.
39
http//newmarinatan.blogspot.co.id/2013/07/makna-puasa-dalam-agamaKonghucu.html.diakses-pada-tanggal-28-September-2016.
21
Setelah dalam kurun waktu tertentu, semangat pengorbanan dan prilaku
terkendali akan mengakibatkan karakter moral seseorang dan yang jelas akan
mengangkat status sosial dan profesionalisme seseorang. Komitmen untuk
berpuasa akan membuat seseorang sadar akan ketaatan dan nilai-nilai mulai di
dalam dirinya. Seseorang yang berpuasa akan cenderung bertumbuh menjadi
lebih baik. Ingatlah bahwa berpuasa adalah menuju jalan kehidupan berdisiplin
secara profesional dan spiritual. Secara profesional dapat memberi anda
kesuksesan, dan yang disebutkan terakhir mungkin dapat membuka pintu-pintu
surga bagi anda. 40 Dari uarayan diatas, puasa menurut Hindu bukan hanya
sekedar mendekatkan diri kepada Sang Kholik. Akan tetapi, banyak keutamaan
yang akan diperoleh bagi umat Hindu yang menjalankan ibadat puasa.
Diantaranya: secara individual akan menjadi pribadi yang lebih baik, yang bisa
menjaga dari perbuatan-perbuatan jahat. Disamping itu pula, akan memperoleh
kesuksesan dalam kehidupan, serta menggapai tujuan yang abadi yaitu surga.
Upawasa dapat dibedakan dalam pengertian yang sempit dan luas. Dalam
pengertian yang sempit upawasa dapat diartikan sebagai dengan sengaja tidak
makan dan tidak minum, termasuk pengendalian panca indra. Sedangkan dalam
pengertian luas, upawasa dapat diartikan sebagai melaksanakan pantangan,
pengekangan atau pengendalian keinginan, dan pengendalian diri untuk berkata
dan berbuat yang bertentangan dengan ajaran agama Hindu. Selanjutnya dapat
dijelskan mengenai pelaksanaan upawasa, tapa dan brata itu sendiri.
40
Kaisanlal Sharma, Mengapa Tradisi dan Upacara Hindu? (Surabaya: PT Paramita,
2007), h. 111.
22
Pelaksanaan upawasa, tapa dan brata itu ada berbagai macam ragamnya,
tergantung dari pada niat orang yang melakukannya.
Ada yang berpuasa atau bertapa pada waktu siang hari saja atau selama
12 jam. Tetapi ada juga yang berpuasa atau membrata pada waktu siang plus
malam hari atau selama 24 jam. Bahkan ada juga yang sampai 36 jam atau
lebih, tergantung dari pada niat, keyakinan, atau kebutuhan setiap orang,
bahkan dapat pula dilakukan selama 40 hari. Makin lama melaksanakan
upawasa atau tapa brata makin baik, sebab dapat mengakibatkan iman kita
semakin kuat.41
Ritual berpuasa juga dikenal dikalangan para pendeta Hindu
(Brahmana). Para pengikut Brahmanisme memang dikenal sangat fanatik,
sangat patuh tehadap perintah puasa yang dibuat oleh para pendeta Brahma.
Sejak masa kanak-kanak para pengikut Brahmanisme telah mengenal aturan
puasa yang sangat keras. Terutama pada aliran Yogi, ada yang berpuasa sampai
10 hari atau 15 hari bahkan lebih lama lagi dari itu, tidak memakan sesuatu apa
pun, atau paling tidak hanya minum beberapa tetes air saja. Penganut HinduBrahma juga terbiasa berpuasa pada hari ke-11 setelah munculnya bulan baru
dan bulan penuh. Sementara pemuja Syiwa juga berpuasa tiap hari Senin pada
bulan November. Wanita-wanita Hindu lama (kuno) biasa berpuasa kalau
suami atau kekasih mereka pergi berperang. Kebiasaan ini terutama dilakukan
oleh para wanita di kalangan keratin, dengan alasan agar menang perang.42
41
K.M. Suhardana, Upawasa, Tapa, Brata Berdasarkan Agama Hindu (Surabaya:
Paramita 2006), h. 4-5.
42
Syahrudin El-Fikri, Sejarah Ibadah (Jakarta: Republika 2014), h. 56.
23
Selain itu, umat Hindu menjalankan puasa dengan tujuan memurnikan
jiwa pada hari-hari tertentu dalam setiap tahun serta selama perayaan
keagamaan. Setiap kelompok dalam agama Hindu memiliki hari mereka sendiri
untuk berdoa dan beribadah. Pada hari itu, sebagian besar para penganut agama
Hindu tidak makan dan menghabiskan seluruh malam untuk membaca Kitab
Suci serta bermeditasi kepada Tuhan.43 Dengan demikian, puasa dalam agama
Hindu mempunyai aturan tersendiri dan tujuan masing-masing.
43
Ali Budak, Sebuah Panduan Lengkap Puasa dan Bulan Ramadhan (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 13.
24
BAB III
A. Pengertian Puasa Menurut Agama Buddha
Puasa dalam agama Buddha adalah suatu usaha untuk menghindarkan
diri dari mengambil makanan atau minuman pada waktu yang salah, yang
disebut dengan istilah Upovasa, akan tetapi didalam pengertian sehari-hari,
mereka lebih suka menyebutnya dengan istilah Uposatha. Istilah ini berasal dari
bahasa Pali, yang tertulis dalam Kitab Tipitaka.44
Istilah Uposatha mengandung dua arti, yaitu:
1. Uposatha berarti nama atau sebutan hari untuk menjalankan peraturanperaturan khusus, sehingga disebut sebagai hari Uposatha.
2. Uposatha berarti nama atau sebutan terhadap peraturan-peraturan yang
dijalankan, sehingga disebut sebagai Uposathasila.45
Dalam Buddhist Dictionary, Uposatha ini diartikan sebagai berpuasa,
hari puasa, yaitu hari Purnama Sidhi, hari bulan baru dan hari
seperempat bulan yang pertama dan yang terakhir.46
Kata Uposatha, juga mengandung makna “masuk dan berdiam diri”,
dalam pengertian berdiam di vihara atau komplek vihara. Maksud berdiam
disini bukan berarti diam dan tidak melakukan sesuatu tetapi tinggal atau
berada di vihara atau komplek vihara, untuk belajar dhamma melalui buku,
44
Tipitaka adalah kitab agama Buddha yang tertua, ditulis sekitar tahun 300 SM. Kitab
tersebut utamanya ditulis dengan bahasa “Pali”. Dalam bahasa Indonesia kita menyebutnya
Tipitaka Pali dan dalam buku/ceramah ini dikenal dengan beragam nama termasuk “teks Pali”
atau “kitab suci”, mungkin juga hanya “teks saja”.
45
Anjali G.S, Tuntunan Uposatha dan Athasila (Jakarta: Lembaran Khusus Agama
Buddha), h. 21.
46
Nyanataloka, Buddhist Dictionary (Freewin: Co. Tto. 1972), h. 187.
25
diskusi, mendengarkan khutbah, menjalankan delapan sila dan berlatih
meditasi.
Uposatha ini merupakan suatu istilah yang dipakai untuk melaksanakan
suatu upacara keagamaan yang ketat, yang berhubungan dengan menahan diri
(puasa).47 Menahan diri disini maksudnya untuk mengendalikan diri dari hawa
nafsu jahat, seperti rasa dengki, iri hati, marah, serakah dan sebagainya.
Selain untuk menghindari makanan dan minuman, puasa atau Uvopasa
(Bahasa Pali) di dalam agama juga mempunyai pengertian lain:
1. Mengendalikan diri untuk tidak berbuat sesuatu yang merugikan dirinya
sendiri maupun orang lain.
2. Meningkatkan kualitas diri, artinya segala kebijakan atau perbuatan baik
yang pernah dilakukan, perlu selalu di ulang-ulang, dan kebijakan atau
perbuatan baik yang belum pernah dilakukan perlu dilakukan.48
Singkatnya apa yang disebut puasa atau Uposatha itu bukan hanya
mengendalikan diri dari makan dan minum, tetapi meliputi seluruh gerak gerik
pikiran, ucapan, dan jasmani. Dalam pikiran agar tidak berprasangka yang
negatif terhadap orang lain, ketika berucap harus mengandung yang manfaat
buat orang lain, tidak mencemooh dan tidak berkata kotor. Sedangkan dalam
berprilaku, harus melakukan prilaku yang sopan, tentunya yang baik-baik. Di
dalam Kitab Tripitaka, tidak ada anjuran untuk berpuasa. Akan tetapi, jika
penganut Buddha yang ingin melaksanakan ibadah puasa itu diperbolehkan
47
Bhikku Subalaratano, Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha,
1988), h. 28.
48
Bhikku Utomo, Dasar-dasar Uposatha (Yogyakarta: Vihara Vidyaloka Vidyasena,
1993), h. 1-2.
26
karena puasa termasuk di dalam ajaran sila, dan harus melaksanakan sila yang
telah ditentukan.49
Puasa di dalam agama Buddha merupakan pelaksanaan sila, yang
termasuk suatu ajaran kesusilaan yang didasarkan atas konsepsi cinta kasih dan
belas kasihan kepada semua makhluk. Sehingga yang termasuk di dalam
kelompok sila ini adalah:
1. Pembicaraan benar (samma Vaca)
2. Perbuatan benar (samma kammanta)
3. Mata pencaharian benar (samma ajiva).50
Jadi puasa di dalam agama Buddha, mempunyai tiga poin penting dalam
ajaran kesusilaan. Pertama, harus berbicara benar, tentunya tidak berbohong.
Berbohong terhadap diri sendiri maupun berbohong terhadap orang lain. kedua,
harus berbuat benar, dengan ajaran kesusilan ini ketika umat Buddha
melaksanakan ibadah puasa dianjurkan untuk berbuat kebenaran. Segala
aktifitas apapun yang dilakukan harus yang benar dan ketiga, harus mencari
nafkah yang benar. Dalam artian mencari nafkah yang halal yang dianjurkan
oleh Sang Buddha.
Puasa di dalam agama Buddha merupakan salah satu cara praktik
pengendalian diri dari segala bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan
usaha untuk membebaskan diri dari segala kejahatan, yaitu: ketamakan,
49
Wawancara dengan Bhikku Artatida di Vihara Siripada Tanggerang Selatan, pada
tanggal 20 September 2016.
50
Pendit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan (Jakarta: Tri Sattva Buddhis Center,
1991), h. 44.
27
kebencian, dan kebodohan batin.51 Disamping puasa termasuk kedalam ajaran
kesusilaan, puasa juga bisa membantu untuk mengendalikan diri dari segala
akar kejahatan, yaitu keserakahan atau dalam istilah agama Buddha disebut
dengan lobha. Keserakahan disini berupa kemewahan duniawi yang bisa
menjerumuskan kedalam hal-hal yang negatif seperti korupsi dan lain-lain.
Selanjutnya kebencian dalam istilah agama Buddha disebut dengan Dosa, jelas
sekali di dalam ajaran agama Buddha dilarang untuk saling membenci, bukan
hanya agama Buddha saja yang melarang kebencian, semua agama pun yang
ada dialam dunia ini melarang untuk berbuat kebencian.52 Coba kita bayangkan,
seandainya semua agama di dalam ajarannya menganjurkan untuk berbuat
kebencian. Maka apa yang terjadi? Yang terjadi hanyalah kerusuhan di alam
muka bumi ini. Selain lobha dan dosa dalam istilah agama Buddha, ada satu hal
lagi yang akan penulis jelaskan, yaitu moha atau kebodohan batin. Kebodohan
batin disini menyangkut kepada spiritual, orang yang bodoh batinnya maka
akan sulit untuk mendekatkan diri kepada Sang Buddha. Maka denagan
berpuasa umat Buddha akan terhindar dari kebodohan batin. Dengan tiga poin
penting diatas, apabila umat Buddha bisa meredam semua itu ia akan mencapai
nibbana.53
Sang Buddha melarang para Bhikku mengambil makanan padat (yang
mengenyangkan) setelah lewat tengah hari. Begitu juga umat awam yang
51
Kaharuddin, Kehidupan, h. 44.
Wawancara dengan Bhikku Artatida di Vihara Siripada Tanggerang Selatan pada
tanggal 20 September 2016.
53
Nibbana adalah keadaan dimana sudah tidak ada lagi keserakahan, kebencian, dan
kegelapan batin. Dengan kata lain nibbana ini bersifat abadi. Atau bisa disebut juga dengan
kekosongan dan kebebasan secara mutlak.
52
28
menjalankan delapan peraturan (atthasila) pada hari Uposatha, untuk
berpantang mengambil makanan yang padat setelah tengah hari. 54 Selain di
larang untuk memakan makanan yang padat, para penganut agama Buddha pun
yang berniat untuk melaksanakan ibadat puasa maka dilarang pula meminum
minuman yang mengenyangkan. Seperti susu, kopi, energen daan yang lainnya
yang bisa mengenyangkan. Akan tetapi, jika ingin minum air putih itu
diperbolehkan asalkan tidak terlalu banyak minumnya. Karena jika sampai
meminum air terlalu banyak itu akan memputuskan niat puasa.
B. Dasar Hukum Puasa Dalam Agama Buddha
Dasar hukum puasa dalam agama Buddha itu tidak wajib, bisa dikatakan
sunnah. Berdasarkan kesadaran sipelaku. Akan tetapi diwajibkan untuk para
Bhikku. Puasa dalam agama Buddha mungkin lebih tepatnya disebut dengan
Atthasila yaitu latihan delapan aturan kemoralan. Dalam Kitab Suci Tripitaka
Khudaka Nikaya bagian (Sutta Nipatta, 2003:93), disitu dijelaskan dalam oleh
Sang Buddha untuk pelaksanaan puasa bagi umat Buddha jatuh pada tanggal 1,
8, 15 dan 23. Artinya umat Buddha memiliki kesempatan berpuasa yang
ditunjukan oleh Sang Buddha dalam sebulan empat kali. 55 Maka bagi umat
Buddha yang ingin melaksanakan puasa ia harus menjalankan delapan aturan
kemoralan, yaitu: tidak membunuh makhluk hidup apaun jenisnya, tidak
mencuri, tidak berhubungan seksual, tidak berbohong, tidak meminum
54
K. Sri Dhammanada, What Buddhist Belive (Taiwan: The Corporate Body of The
Buddha Educational Foundational, 1993), h. 214.
55
http:belajardhammaharis.blogspot.co.id/2014/12/bagaimanakah-puasa-dalam-agamaBuddha.html-diakses-tanggal-28-oktober-2016.
29
minuman yang memabukan, tidak makan stelah waktu yang ditentukan, tidak
mempercantik diri dan tidak bermewah-mewahan. Apa bila umat Buddha
menjalankan delapan aturan kemoralan tersebut dengan sungguh-sungguh,
maka dikatakan sah puasanya. Akan tetapi, bila salah satu delapan kemoralan
tersebut dilarang baik secara sengaja maupun tidak sengaja berarti ia puasanya
tidak sempurna.56
Bisa disimpulkan, uposatha (puasa) dalam agama Buddha tidak
diwajibkan bagi para penganutnya. Akan tetapi, jika penganut umat Buddha
ingin dan berniat untuk menjalankan uposatha (puasa) itu diperbolehkan.
Karena, dampak secara spiritual bagi umat Buddha yang menjalankan uposatha
(puasa) itu akan meningkat, terutama sekali ia akan bisa melaksanakan atthasila
(yaitu delapan peraturan yang dilakukan untuk berlatih). Disamping dampak
spiritual yang akan diperoleh, maka dampak secara sosial pun akan dapat
tercapai.
C. Pelaksanaan dan Macam-macam Puasa Dalam Agama Buddha
Pelaksanaan puasa dalam agama Buddha sedikit berbeda dan
diperbolehkan minum. Dalam agama Buddha puasa itu disebut uposatha. Puasa
ini tidak wajib bagi umat Buddha, namun biasanya dilaksanakan dua kali dalam
satu bulan (menurut kalender buddhis dimana berdasarkan peredaran bulan),
yaitu pada saat bulan terang dan gelap (bulan purnama). Namun ada yang
56
Wawancara denagan Bapak Candra di Vihara Saripada Tangerang Selatan, pada
tanggal 21 Mei 2016.
30
melaksanakan 6 kali dalam satu bulan, tetapi uposatha (puasa) tersebut tidak
wajib.57
Umat Buddha yang ingin melaksanakan uposatha (puasa) maka harus
pelaksanaan sila dalam bentuk peraturan pelatihan itu berbeda-benda, hal ini
disesuaikan dengan kelompok umat Buddha tersebut menjalani kehidupannya.
Dalam hal ini umat Buddha terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a). Gharavasa (perumah tangga), yaitu orang yang menjalani hidup berkeluarga
atau tidak, mempunyai pekerjaan seperti: petani, pedagang, militer, dan lainlain yang memberikan penghasilan untuk biaya kehidupan mereka.
b). Pabbajita, yaitu orang yang meninggalkan kehidupan berumah tangga
(keduniawian) dan menjalani hidup suci untuk mencapai nibbana. Pabbajita
tidak mempunyai pekerjaan, hidupnya dari menerima dana yang layak bagi
seorang petapa dari umat perumah tangga (gharavasa) yang memiliki saddha
(keyakinan) dan simpatik. Pabbajita ini terdiri dari Bhikku (laki-laki),
Bhikkuni (perempuan), samanera (laki-laki), dan samaneri (perempuan).58
Selanjutnya pelaksanaan untuk menjalankan Uposathasila (peraturan
yang dilaksanakan pada hari uposatha) itu dimulai sejak terbitnya matahari
hingga keesokan harinya, jadi dengan demikian pelaksanaan puasa di dalam
57
https://dhammacitta.org/artikel/puasa-dalam-agama-Buddha-diakses pada tanggal 20
Juli 2016.
58
Pandita Dhammavisarada dan Teja S.M Rashid, Sila dan Vinaya (Jakarta: Penerbit
Bhuddis Bodhi, 1997), h. 23.
31
agama Buddha itu selama 24 jam atau sehari semalam.59 Dengan waktu yang
telah ditentukan, bagi umat Buddha yang menjalankan ibadah puasa (uposatha)
harus
bisa
dimanfaatkan
waktu
itu
dengan
sebaik-baiknya,
dengan
mendekatkan diri kepada Sang Buddha, dalam istilah agama Buddha disebut
dengan meditasi.
Bagi para Bhikku pada hari uposatha, jika jumlah mereka lima atau
lebih dari satu Vihara mereka akan berkumpul untuk mendengarkan 227
Patimokhasila yang dibacakan oleh seorang Bhiku. 60 Sehingga di dalam
pelaksanaanya terdapat tingkatan, yaitu bagi umat awam puasa dilaksanakan
pada setian hari uposatha yang jatuh pada tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut
penanggalan lunar, sedangkan bagi umat viharawan puasa dilaksankan pada
setiap hari.61 Pelaksanaan puasa ini telah diajarkan oleh Sang Buddha, dimana
Sang Buddha telah menganjurkan kepada para Bhikkhu untuk tidak makan
setelah tengah hari. Demikian pula orang-orang yang melaksanakan atthasila
(delapan peraturan hidup suci) untuk berpantang dari mengambil makanan
setelah tengah hari.62
Adapun macam-macam uposatha (puasa) dalam agama Buddha terbagi
menjadi dua bagian, diantaranya:
59
Vijano Ven, Dhamma sekolah Tinggi Minggu Bhudis (Jakarta: Yayasan
Dhammadipa Arama, 1996), h. 37.
60
Khantipalo, Saya Seorang Bhuddis Bagaimana Menjadi Bhuddis Sejati? (Jakarta:
Yayasan Bhuddis Karaniya, 1991), h.61.
61
Subalaratano, Tanya Jawab Agama Buddha (tp-tt), h. 36.
62
Dhammanada, Buddhis Belive, h. 214.
32
1. Puasa Bagi Umat Awam.
Umat Buddha yang menjalani hidup berkeluarga di dalam masyarakat
disebut upasaka dan upasika. Kata upasaka berarti yang duduk dekat dengan
guru. Kadang-kadang disebut pula umat yang berpakaian putih. Di dalam
kehidupan sehari-hari upasaka dan upasika, mereka melatih diri untuk
melaksanakan Pancasila. pada Kitab Suci Dhammapada 246-247, Sang Buddha
bersabda:
“Barang siapa membunuh makhluk hidup, suka berbicara tidak benar,
mengambil apa yang tidak diberikan, merusak kesetiaan istri orang
lain, atau menyerah pada minuman yang memabukan, maka di dunia ini
orang seperti itu seakan menggali kubur bagi dirinya sendiri”.63
Puasa yang dilaksananakan oleh umat awam64 di dalam agama Buddha
adalah bentuk melaksanakan sila, yaitu sila ke enam dari Atthasila. Di dalam
sila ke enam ini terdapat istilah vikala-bhojana, yang terbentuk dari dua kata,
yaitu vikala dan bhojana. Kata vikala terdiri dari awalan vi yang berarti
berbeda, berlawanan dan kebaikan; dan kata kala yang berarti waktu yang
salah. Kata bhojana berarti makanan. Gabungan dari dua kata tersebut, vikala
bohojana dapat diartikan dengan memakan makanan pada waktu yang salah.
Artinya, tidak memakan makanan dan minuman di luar batas waktu yang telah
ditentukan. Batas waktu yang tidak tepat adalah dimulai dari tengah hari,
pukul12:00 siang sampai pada keesokan harinya, yaitu bila kita sudah bisa
63
Jutanago, Kitab Suci Dhammapada (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1994), h.
127.
64
Kata “umat awam” di dalam konteks religius berarti mereka yang tidak ditabhiskan
menjadi Bhikku.
33
dapat melihat garis-garis pada telapak tangan sendiri, baru boleh makan
makanan.65
Dengan demikian batas waktu makan yang diberikan adalah antara
pukul 06.00 pagi sampai dengan pukul 12.00 siang. Meskipun demikian, hal ini
tidak berarti selama jangka waktu tersebut lalu makan sesering mungkin. Bukan
demikian, tetapi berusaha untuk menggunakan sesedikit mungkin. Bahkan
kadang-kadang hanya digunakan dua kali saja, yaitu pukul 07.00 pagi dan
pukul 11.00 siang.66
Menurut Bapak Candra, sila ke enam ini sebenarnya meniru latihan
yang dilakukan oleh para Bhikku, tujuannya adalah untuk menghindari
kemalasan yang dialami setelah bekerja seharian dan sehabis makan siang.
Dengan menjalankan sila ini, badan menjadi ringan dan siap digunakan untuk
meditasi. Tetapi ada beberapa hal yang harus diperlukan disini, yaitu makanan
minuman yang diperbolehkan dimakan atau diminum setelah lewat tengah hari
adalah minum obat, yaitu mereka yang bekerja, jika dirasa terlalu lelah setelah
bekerja seharian penuh. Bisa merasakan laper coklat murni yang diseduh/dibuat
minum, gula, madu, mentega dan sirup. Buah boleh digunakan, bila masuk
angin boleh minum jahe atau memakan jahe muda. Bila semblit maka boleh
memakan buah asam. Sebaliknya yang tidak boleh dimakan adalah
makananyang mempunyai nilai penguat tubuh, seperti: nasi, sayur mayur, lauk
65
Pandita, Vinaya, h. 48.
Utomo, Hidup Sesuai dengan Dhamma (Blitar: Vihara Samanggi Jaya, 1994), h. 48.
66
34
pauk, roti, susu dan yang lainnya. Dalam hal ini susu disamakan dengan
makanan.67
2. Puasa Bagi Umat Viharawan
Di dalam melaksankan aturan pelatihan bagi umat Viharawan. Dilatih
dari waktu pelaksanaannya, dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu:
1). Puasa bagi para Bhikku samanera (calon bhikku) adalah dilaksanakan setiap
hari sesuai dengan tanggung jawab mereka di dalam Patimokha.68
2). Pada hari uposatha, selain berpuasa para Bhikku juga berkumpul untuk
mendengarkan 227 sila dari Patimokha yang dibacakan oleh salah seorang
Bhikku.69
3). Pada masa musim hujan, para Bhikku harus berdiam di suatu tempat, dan
meskipun masih melakukan tugas sehari-hari, mereka tidak boleh
meninggalkan Vihara sampai larut malam. Dalam kondisi lingkungan
tertentu mereka diperbolehkan absen dari Vihara atau tempat dimana
mereka tinggal, paling lama tujuh hari.70
D. Tujuan dan Manfaat Puasa Dalam Agama Buddha
Jika kita lihat dari pelaksanaan puasa dalam Buddhis sebenarnya tidak
jauh beda dari 5 sila Pancasila Buddhis, yang membedakan pada sila ke-3
“Abrahmacariya” yang artinya selama berpuasa walaupun dengan suami atau
isterinya sendiri tidak boleh tidur bersama. Mengapa demikian? Karena selama
67
Wawancara dengan Bapak Candra di Vihara Siripada, Tangerang Selatan pada
tanggal 21 Mei 2016.
68
Matara Sri Nanarama Mahathera, Tujuh Tingkat Kesucian dan Pengertian Langsung
(Jakarta: Yayasan Karaniya) h. 2.
69
Khantipalo, Saya Seorang Bhuddis, h. 61.
70
Khantipalo, Bhuddis, h. 77.
35
berpuasa kita mencontoh kehidupan makhluk Brahma yaitu makhluk Brahma
tidak berpasangan. Sedangkan sila 6-8 adalah penambahan sila untuk
penahanan dan latihan pengendalian diri terhadap kamaraga atau nafsu
keinginan indra, seperti: mata, telinga, lidah, hidung, kulit dan pikiran.
Mengapa kamaraga perlu dikendalikan? Sebab puasa adalah sarana berlatih
untuk mencontoh dan meniru kehidupan Arahat, yang mana seorang Arahat
telah dikatakan sebagai makhluk yang suci sehingga dalam dirinya telah
mematahkan dan menghilangkan nafsu indranya tersebut.71
Bagi umat Buddha yang melaksanakan uposatha (puasa) akan
mendapatkan manfaat secara kesehatan. Sila yang berhubungan dengan
kesehatan yaitu sila ke lima, karena sila ke lima waspada terhadap makanan dan
minuman dan zat-zat tertentu yang tidak cocok dengan kondisi tubuh. Jenis
makanan dan minuman tersebut apabila dihindari maka akan bermanfaat dan
menyehatkan tubuh.72
Selain manfaat secara ekonomi dan kesehatan, manfaat yang diperoleh
bagi umat Buddha yang menjalankan uposatha (puasa) yaitu manfaat secara
spiritual. Umat Buddha yang berpuasa dan menjalankan Atthasila dengan
sungguh-sungguh maka batinnya akan terbebas dari penyesalan, mendapatkan
71
Wawancara dengan Bhikku Artatida, di Vihara Siripada Tanggerang Selatan pada
tanggal 20 September 2016.
72
Wawancara dengan Bapak Candra di Vihara Siripada Tangerang Selatan, pada
tanggal 21 Mei 2016.
36
kebahagiaan dan sewaktu meninggal hatinya akan tenang, selain itu di
kehidupan selanjutnya juga akan terlahir di surga.73
Sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh Sang Buddha dalam Kitab
Tripitaka (Anggutara Nikaya III, 2003: 528-530). Sebagai berikut:
“Siapa saja yang terbiasa praktik Atanggasila di hari uposatha maka ia
setelah kematian akan berbahagia di alam surga. Bahkan lebih lanjut Sang
Buddha menjelaskan lamanya waktu kehidupan surga mulai dari yang terendah
yang diawali dari Catumaharajika yaitu: 1 hari satu malam di alam surga.
Selain itu, manfaat yang dapat diperoleh dari ibadah puasa adalah yang sudah
di jelaskan dalam Kitab Tripitaka Khudaka Nikaya, Dhammapada dijelaskan
dalam komentar Athakattha disitu terdapat kasus makhluk Dewa
Catumaharajika yang menemui salah satu Bhikku sehingga Bhikku tersebut
bertanya, atas jasa apa kamu bisa terlahir di surga menjadi Dewa?
Selanjutnya Dewa itu bercerita bahwa ia bisa terlahir sebagai Dewa karena
melaksanakan puasa selama satu hari dan meninggal pada saat berpuasa”.74
Jadi manfaat puasa yang di dapat bagi umat Buddha yang menjalankan
Atthasila selain secara jasmaniah maupun ruhaniah, nanti ketika ia meninggal ia
akan hidup dengan tenang dan nyaman di surga. Secara jasmaniah tubuhnya
akan selalu sehat, karena menjaga pola makannya. Secara ruhaniah hatinya
akan selalu tenang, kokoh, tidak goyah sedikit pun ketika mendapatkan ujian
atau cobaan dalam hidupnya.
73
Wawancara dengan Bhikku Artatida di Vihara Siripada Tangerang Selatan pada
tanggal 20 September 2016.
74
http:belajardhammaharis.blogspot.co.id/2014/12/bagaimanakah-puasa-dalam-agamaBuddha.html-diakses-tanggal-28-oktober-2016.
37
BAB IV
A. Implementasi Puasa Terhadap Nilai Sosial
Puasa di dalam agama Buddha adalah melaksanakan sila, yang
merupakan dasar utama dalam melaksanakan ajaran agama, yaitu mencakup
semua prilaku dan sifat-sifat baik yang termasuk di dalam ajaran moral dan
etika dalam agama Buddha.75 Sila adalah cara untuk mengendalikan diri dari
segala bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan usaha untuk
membebaskan diri dari segala akar kejahan, yaitu: lobha, Dosa, dan moha.76
1. Lobha artinya ketamakan atau keserakahan. Dapat pula diartikan sebagai
keterikatan pikiran terhadap obyek.
2. Dosa artinya kebencian atau rasa dendam. Dapat pula diartikan sebagai
keinginan jahat.
3. Moha artinya kebodohan batin atau rasa tidak mengerti kebenaran mulia.
Dapat pula diartikan sebagai avija (tidak tahu), anana (tidak
berpengetahuan), adasana (tidak dapat melihat dengan sewajarnya).
Pelaksanaan sila dalam agama Buddha adalah merupakan suatu
kebijakan moral, etika atau tata tertib dalam menjalani kehidupan kita sebagai
manusia sehingga mampu bertingkah laku secara baik dan benar bagi diri
sendiri, orang lain, bahkan seluruh alam semesta beserta isinya. Kebijakan
moral dapat dianggap sebagai suatu dasar yang membentuk semua hal-hal yang
positif dalam kehidupan saat ini. Sang Buddha pernah bersabda:
75
Pendit, Vinaya, h. 3.
Pendit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan, h. 170.
76
38
“Kebijakan moral adalah dasar, sebagai pendahulu dan pembentuk
dari semua yang indah. Oleh karena itu, hendaklah orang
menyempurnakan kebijakan moral (sila)”.77
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa sila dapat meningkatkan
kehidupan untuk membentuk kekuatan mental, keterbukaan, kebersamaan,
kejujuran, tanggung jawab setia kawan, rasa aman, kesejahtraan, dan
ketentraman. Maka ketika hari
uposatha (puasa), umat Buddha harus
melaksanakan 8 sila (athasila). Yaitu delapan peraturan yang dilakukan untuk
berlatih, diantaranya:
1. Tekad untuk melatih diri menghindari membunuh makhluk hidup.
2. Tekad untuk melatih diri menghindari mencuri.
3. Tekad untuk melatih diri melakukan hubungan seksual (sekalipun dengan
pasangan yang sah).
4. Tekad untuk melatih diri menghindari berbohong.
5. Tekad untuk melatih diri menghindari mengkonsumsi makanan dan
minuman yang dapat melemahkan kesadaran (memabukan).
6. Tekad untuk melatih diri tidak mengkonsumsi makanan setelah lewat tengah
hari.
7. Tekad untuk melatih diri menghindari menggunakan perhiasan, wangiwangian dengan tujuan untuk memperindah diri dan
8. Tekad untuk melatih diri menghindari tidur ataupun duduk ditempat yang
tinggi atau mewah.78
77
A. Joko Wryanto, Pengetahuan Dharma (Jakarta: CV Dewi Kayana Abadi, 2003), h.
91.
39
Dari ungkapan Bapak Candra diatas, dapat dijelaskan secara rinci
dibawah ini:
1. Pantangan membunuh
Pantangan membunuh ini dapat dijabarkan dengan tidak membunuh
ataupun menyiksa tubuh atau badan yang mengandung kehidupan, yang besar
atau kecil, yang berdosa atau tidak berdosa, selama makhluk itu masih hidup.
Sila ini mengajarkanagar kita selalu memiliki sifat cinta kasih dan kasih sayang
terhadap semua makhluk hidup.
Implikasi perintah ini sangat luas. Sebagai contohnya, perintah
memandang perang sebagai hal yang negative dan mengecam keras mereka
yang merencanakan untuk mengangkat senjata melawan musuh-musuh mereka.
Dalam pandangan para pengikut ajaran Buddha, perang selalu merupakan
kekalahan, sebuah tanda bahwa kebajikan berkurang dan imajenasi gagal
melakukan
pekerjaannya.
Orang-orang
harus
mampu
menyelesaikan
perbedaan-perbedaan mereka. Tentu saja, mereka harus mampu menghindari
pembunuhan satu sama lainnya jika mereka berselisih. Ajaran sila yang pertama
ini juga melarang aborsi, pembunuhan bayi 79 dan juga membunuh binatang.
Implikasi lebih jauh adalah bahwa para pengikut ajaran Buddha hendaknya
78
Wawancara dengan Bapak Candra di Vihara Siripada Tangerang Selatan, pada
tanggal 20 Mei 2016.
79
Sebagai penjelas. Masalah pembunuhan bayi ini sudah lama terjadi di India, bahkan
sampai saat ini. Dalam hal bayi yang dilahirkan adalah bayi perempuan.
40
menjadi vegetarian, tidak membunuh hewan untuk dimakan atau untuk
kesenangan.80
2. Pantangan mencuri
Pantangan mencuri dapat diartikan bahwa kita tidak boleh mengambil
atau memiliki sesuatu barang yang berharga ataupun yang tidak berharga
apabila tidak di izinkan oleh pemiliknya. Pelaksanaan sila ini akan
mengakibatkan kita selalu merasa puas terhadap apa yang telah kita miliki.
Jika orang tidak mengambil hak orang lain, banyak konflik yang akan
hilang. Di balik ajaran ini terdapat ajaran Buddha tentang nafsu. Cara
menghentikan mencuri adalah dengan menghilangkan keinginan memiliki
benda milik orang lain, berhenti berpikir bahwa memiliki benda dapat
membawa kebahagiaan. Implikasinya bagi bisnis, perbankan, dan kegiatan
lainnya sangat besar. Secara ideal, hukum akan melarang keserakahan memiliki
benda-bnda materi, mencegah pencurian (seperti praktik bisnis yang tidak jujur
atau melakukan manipulasi aturan oleh para ahli hukum sendir). Dalam biara,
ajaran yang melarang pencurian bermakna bahwa mengklaim pencapain
spiritual milik orang lain merupakan pelanggaran serius. Para biarawan harus
dipenuhi oleh kemajuan spiritual, kebajikan atau kebijaksanaan yang berhasil
mereka capai sendiri.81
80
John Tully Carmody, Jejak Rohani Sang Guru Suci, terjemah, Tri Budhi Sastrio
(Jakarta: PT RajaGrafindo. 2003), h.55.
81
Ibid.
41
3. Pantangan melakukan seksual
Pantangan melakukan perbuatan seksual dapat diartikan melakukan
persetubuhan dengan pasangan yang bukan merupakan suami istri ataupun istri
sendiri. Sila ini mengajarkan agar kita tidak terjerumus dalam hawa nafsu birahi
yang rendah.
Melakukan sesuatu yang tidak suci, dapat dimaknakan pada banyak
tingkatan. Perzinaan dan perselingkuhan jelas merupakan tindakan yang harus
dihindarkan, tetapi keseluruhan masalah ketidaksucian dalam jiwa, kemurnian
pikiran dan keinginan, mengundang para pengikutnya kedalam disiplin yang
ketat. Bimbingan yang paling baik dari persepektif Buddha bahwa nafsu seks
adalah api pembakar yang membuat orang tetap berada dalam perbudakan
karma. Mencintai seseorang tanpa disertai nafsu merupakan sesuatu yang luar
biasa, meskipun sulit. Jika orang-orang dapat berinteraksi dengan hangat tetapi
tanpa disertai dengan nafsu tambahan, mereka dapat mencintai satu sama
lainnya dengan lebih baik.82
4. Pantangan berdusta
Pantangan berdusta berarti kita harus berbicara secara jujur dan sadar,83
apa yang telah kita ucapkan. Dimana dengan kekuatan kejujuran dan kesadaran
tersebut akan dapat dimanfaatkan untuk menghadapi segala rintangan. Sila ini
82
Carmody, Guru Suci, h.56.
Kesadaran ini dijelaskan oleh Ajahn Buddhadasa, beliau mengatakan bahwa untuk
menjadi sadar kita harus waspada dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, bukan malah
menjadi bodoh atau terobsesi oleh benda materi. Sadar berarti tidak melekat kepada apapun
juga, melainkan kita harus sadar terhadap apa yang telah kita ucapkan, sadar terhadap diri
sendiri maupun orang lain. (Bhikku Buddhadasa The Truth of Nature, hal. 10).
83
42
mengajarkan agar kita senantiasa berterusterang dan bersifat konsekuen
terhadap segala sesuatu yang telah diucapkan.
Melarang dusta adalah nama lain bagi pemeriksaan diri sendiri,
tantangan lain untuk menjadi lebih jujur. Orang yang tidak mengatakan sesuatu
yang sebenarnya mungkin tidak menyukai sesuatu tersebut. Realism ajaran
Buddha menuntut para muridnya untuk mencintai apa saja. Implikasi sosial
tuntutan ini sangat penting. Jika orang-orang mengatakan kebenaran,
kebanyakan hukum akan hilang dengan sendirinya, banyak rasa saling tidak
percaya yang menghancurkan begitu banyak keluarga dan tempat kerja akan
hilang. Berdusta merusak tatanan sosial disamping juga integritas individual.
Berdusta tidak cocok dengan sifat ke Buddhaan, karena sifat ini bermakna
komitmen yang utuh pada cahaya kebenaran.84
5. Pantangan mengkonsumsi alkohol (yang memabukkan)
Pantangan mengkonsumsi alkohol, karena yang namanya alkohol pasti
akan membuat kita tidak sadar apalagi sampai mengkonsumsi alkohol terlalu
berlebihan. Sila ini menganjurkan kepada umat Buddha agar hidup sehat tanpa
alkohol. Orang-orang yang bermeditasi secara teratur menjadi peka bagi
kekacauan kesadaran. Mereka mencoba memurnikan kesadaran mereka, baik di
dalam maupun di luar. Mereka dapat memperhatikan bahwa apa yang mereka
makan dan minum membentuk cara mereka berpikir dan merasa. Aliran
vegetarian dapat membantu orang-orang agar memperoleh kemajuan spiritual.
84
Ibid.
43
Makan dan meminum minuman yang mengandung terlalu banyak alkohol dapat
kembali menjebak mereka ke dalam kebiasaan buruk. Spiritualitas orang-orang
India selalu peka terhadap hubungan timbal balik yang intim antara pikiran dan
tubuh.85
6. Pantangan memakan makanan setelah lewat tengah hari
Pantangan ini, bagi umat Buddha yang ingin melaksanakan uposatha
(puasa) maka ia harus berniat di dalam dirinya untuk tidak memakan makanan
setelah waktu yang telah ditentukan. Sila ini mengajarkan kepada umat Buddha
untuk bisa disiplin dalam menjalankan kehidupan.
7. Pantangan untuk memakai barang yang mewah
Pantangan ini bahwasannya bagi umat Buddha dilarang untuk
menggunakan perhiasan, seperti cincin, gelang, kalung, dan juga wangiwangian yang bertujuan untuk memperindah diri. Sila ini mengajarkan umat
Buddha untuk tidak terlalu berlebih-lebihan dalam kehidupan.
8. Pantangan memikirkan nafsu serakah
Pantangan ini dapat diartikan bahwa kita janganlah memikirkan sesuatu
untuk memenuhi keinginan dalam memiliki sesuatu yang tidak baik atau
sesuatu yang tinggi dan mewah. Pelaksanaan sila ini akan mengajarkan umat
Buddha menggapai realita hidup ini dengan penuh keyakinan dan
kebijaksanaan.86
85
Carmody, Guru Suci, h.57.
A. Joko Wiryanto, Pengetahuan Dharma (Jakarta: CV Dewi Kayani Abadi, 2003), h.
86
96-97.
44
Ajaran sila menggambarkan jiwa yang akan menyenangkan Buddha.
Jiwa akan dikekang, dilembutkan, dikendalikan, ditangkap oleh sesuatu yang
bukan duniawi, dipersembahkan untuk hal-hal yang bersifat spiritual dan
bukannya hal-hal yang berhubungan dengan daging, dan kejujuran mendalam.
Perasaan melindungi terhdap semua makhluk hidup, kemiskinan jiwa, sehingga
seseorang tidak menginginkan apa-apa yang tidak diperlukan; sebuah
komitmen yang mendalam untuk hidup di dalam cahaya; kemurnian hati dan
kebebasan dari semua nafsu; hati tenang dan jiwa yang terkendali. Jiwa
pengikut Buddha yang ideal adalah bukan jiwa yang keras. Pengekangan jiwa
sendiri tidak membuatnya terasa tertekan. Malahan, jiwa akan dipenuhi oleh
kegembiraan, kehidupan dalam cahaya spiritual untuk mencari nirwana.87
Sila ini merupakan gerak-gerik kehendak (cetana) yang bersikap
menghindarkan diri untuk tidak bertindak jahat dan bersikap untuk
mengendalikan diri untuk tidak melanggar peraturan-peraturan dan normanorma kebaikan yang berkenaan dengan pembersihan batin, maupun peraturanperaturan yang ditentukan oleh masyarkat yang merupakan kebiasaan atau
tradisi yang baik.88 Sila ini merupakan dasar yang mutlak untuk memperoleh
hasil yang luhur, karena perkembangan diri sendiri tidak mungkin tercapai
tanpa memiliki dasar sila ini. Dengan uraian diatas, maka umat Buddha harus
berusaha bersikap hati-hati dalam melakukan berbagai perbuatan, baik melalui
pikiran, ucapan, maupun melalui perbuatan badan jasmani. Pikiran hendaknya
87
Carmody, Guru Suci, h. 58.
Pendit, Kehidupan, h. 170.
88
45
dijaga dengan sebaik-baiknya supaya pikiran jahat seperti membenci (moha),
serakah (loba), dan bodoh batin (dosa) tidak menguasai pikiran kita. Tetapi
sebaliknya pikiran cinta kasih, kasih sayang, rasa simpati harus kita pupuk terus
supaya dapat berkembang dengan baik di dalam pikiran kita. Disamping itu,
harus pula untuk berusaha menghindari ucapan salah, kotor, dan menyakitkan.
Dengan pemaparan di atas, implementasi puasa terhadap nilai sosial
dapat dibagi menjadi empat bagian. Diantaranya:
B. Solidaritas Sosial
Berbicara tentang solidaritas sosial, maka berdampak terhadap “aksi”.
Aksi sosial adalah salah satu kegiatan dalam bentuk dana. Dana yang umat
berikan dapat berupa uang, makanan, pakaian, donor darah, dan lain-lain.
Setelah dana tersebut terkumpul, maka disalurkan melalui seksi sosial ke
tempat-tempat yang membutuhkan. Kegiatan sosial tersebut dapat juga
dilaksanakan di Vihara. Dengan melakukan aksi sosial ini maka umat telah
melaksanakan salah satu ajaran Buddha. Pengaruh puasa tentunya mempunyai
dampak yang positif bagi umat Buddha yang menjalankannya dalam kehidupan
bersosial, sesuai yang telah saya amati di Vihara Saripada yang yang berlokasi
di Tangerang Selatan.89
Banyak sekali kegiatan-kegiatan sosial seperti baksos, donor darah,
selain itu juga umat Buddha yang berada disana saling bahu membahu,
89
Sebagai penjelasan, Vihara Saripada yang berlokasi di Tanggerang Selatan didirikan
pada tahun 1987, oleh Yayasan Vihara Siripada. Tempatnya tidak jauh dari bunderan BSD
Serpong, masuk komplek Taman Melati sekitar 200 meter dari gapura.
46
bekerjasama untuk mengumpulkan dana90 berupa uang, maka setelah dana itu
terkumpul bisa dialokasikan untuk merenopasi tempat ibadah (Vihara) agar
mereka bisa menjalankan ibadah dengan khusyu, tenang, dan nyaman. Selain
dialokasikan untuk rumah ibadah (Vihara) dana itu bisa disumbangkan kepada
orang yang membutuhkannya dalam lingkup masyarakat yang tidak jauh
dengan Vihara.
“Sesungguhnya
Sang
Buddha
bercita-cita
mewujudkan
suatu
masyarakat Buddhis di tengah-tengah berbagai sistem filsafat keagamaan yang
ada di India pada waktu itu. Beliau berkata:
“Saya tidak akan pergi sebelum agama-ku yang murni ini berhasil,
berkembang, meluas dan merakyat dalam segala seginya, hingga agama ini
terbabar dengan baik dimata manusia”. (Digha Nikaya, II halaman 106-113).
memperhatikan masalah-masalah kemanusian di dalam dunia ini; Beliau
ingin memperbaiki beberapa kondisi hidup manusia, di dalam masyarakat atau
secara individual, dengan tujuan untuk mendukung kesejahteraan dan
kebahagiaan duniawinya. Namun sekaligus beliau menekankan pentingnya
perkembangan spiritual manusia.
Beliau menggariskan bagi siswa-siswi beliau Dhamma Vinaya, yang
menyangkut segi duniawi dan spiritual yang dapat di praktekan. Demi untuk
90
Di dalam tradisi Bhuddis, berdana sangatlah dihargai. Seseorang mengumpulkan
“kebajikan” dengan memberi, yang akan menghancurkan karma-karma negatif sebelumnya dan
membawa hasil-hasil positif seperti kelahiran kembali di alam dewa, atau sebagai orang kaya.
47
kebaikan dan kebahagiaan orang banyak, demi kasih sayang terhadap dunia dan
demi kebaikan atau kebahagiaan para dewa dan manusia.91
Selain itu, dampak sosial yang di dapat bagi umat Buddha adalah
mempunyai rasa empati.
C. Rasa Empati
Empati adalah menggunakan semua kesulitan atau krisis yang kita
hadapi sebagai titik awal untuk menyadari kesamaan kita dengan orang lain.
Cara ini dengan perlahan membuka pikiran kita kepada sebuah pengalaman
yang mendalam akan tiadanya ketakutan dan adanya keyakinan selagi
mentransformasi masalah pribadi menjadi sebuah motivasi yang kuat untuk
menolong makhluk lain.92
Kerap kali terjadi, bahwa banyak orang yang tidak tahan apabila melihat
atau mendengar keuntungan atau kebahagiaan orang lain. Mereka lebih senang
mendengar kegagalan atau kesusahan orang lain. Mereka bukannya memuji
atau mengucapkan selamat kepada orang yang beruntung itu, tetapi malahan
berusaha memfitnah, menjelekkan orang tersebut. Salah satu cara untuk
mengatasi perasaan iri hati ini adalah mudita. Kerana mudita dapat mencabut
akar-akar sifat iri hati yang merusak. Di samping itu, mudita juga dapat
menolong orang lain. 93 Dari uarain di atas, tentunya orang yang mempunyai
rasa empati terhadap orang lain, ia pasti akan merasa bahagian jika orang lain
91
Cornolis Wowor, Pandangan Sosial Agama Buddha (Jakarta : CV Nitra Kencana
Buana, 2004), h. 8.
92
Yongey Mingyur Rinpoche, penerjemah Hendra Lim. Kebijaksanaan Yang
Membahagiakan.(Penerbit: Nirlaba Cetakan I, Mei 2010), hal.242
93
Cornolis Wowor. Pandangan Sosial Agama Buddha. (Jakarta : CV Nitra Kencana
Buana, 2004), hal. 29
48
itu mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan. Orang yang mempunyai rasa
empati tidak mungkin di dalam dirinya mempunyai sifat iri hati. Karena, ia tahu
sifat iri hati itu adalah sifat yang tercela dan Sang Buddha pun tidak
mengajarkan hal itu.
Ada sebuah cerita kuno yang tertulis di dalam beberapa sutra, tentang
seorang wanita yang sangat menderita karena kematian putranya. Ia
tidak percaya bahwa anaknya telah mati. Ia lari kesana kemari,
mengetuk pintu setiap rumah penduduk di desanya meminta obat untuk
menghidupkan anaknya kembali. Tentu saja, tidak ada seorang pun yang
bisa menolongnya. Anaknya sudah mati, kata mereka, mencoba untuk
menolongnya agar bisa menerima apa yang sudah terjadi. Tetapi ada
satu orang, yang menyadari bahwa pikiran wanita itu kalut dicengkram
kesedihan, maka satu orang penduduk itu menyarankan wanita itu untuk
menemui Sang Buddha.
Sambil memeluk erat anaknya, ia berlari ketempat Buddha tinggal, dan
meminta obat untuk menolong anaknya. Buddha sedang memberikan
ceramah di depan banyak orang, tetapi wanita tersebut memaksa masuk,
dan karena melihat ia begitu menderita, Buddha langsung merespon
permintaannya. “Kembalilah ke desamu dan bawakan Aku beberapa biji
lada dari sebuah rumah yang penghuninya tidak pernah mengalami
kematian anggota keluarganya.”
Ia segera berlari kembali ke desanya dan mulai meminta beberapa biji
lada dari tetangganya. Semua tetangga dengan senang hati memberikan
apa yang ia minta. Kemudian ia bertanya, “Apakah ada yang pernah
meninggal di rumah ini?”
Mereka menatapnya dengan aneh sebagian hanya mengangguk; yang
lain menjawab ia; dan yang lain mungkin menceritakan kapan dan
penyebab kematian anggota keluarga mereka.
Setelah ia selesai mengelilingi seluruh desa, akhirnya ia paham melalui
apa yang ia alami, pengalaman yang lebih mendalam dibandingkan
dengan kata-kata, bahwa ia bukanlah satu-satunya orang di dunia yang
sangat menderita karena kehilangan seseorang. Perubahan, kehilangan
dan duka adalah sesuatu yang lazim terjadi pada semua orang. Meskipun
masih dilanda kesedihan karena kematian anaknya, ia menyadari bahwa
ia tidak sendirian; hatinya telah terbuka. Setelah upacara penguburan
anaknya selesai, ia bergabung bersama Buddha bersama siswanya,
49
mendedikasikan hidupnya untuk menolong orang lain mencapai tingkat
pemahaman yang sama.94
Dapat disimpulkan dalam cerita kuno diatas, bahwasanya umat Buddha
harus sadar betul apa yang sudah terjadi, orang yang sudah mati itu tidak
mungkin bisa diobati atau dihidupkan kembali. Maka pesan Buddha kepada
wanita itu, ia harus merelakannya. Maka dengan demikian wanita itu
mendedikasikan bahwa ia ingin mengisi hidupnya untuk menolong orang lain,
dan mempunyai rasa empati yang tinggi terhadap orang lain.
Dalam pengertian Buddhis, ada dua aspek empati. “Cinta Kasih” 95
artinya adalah keinginan agar setiap orang bahagia dalam kehidupan ini dan
kita berusaha untuk mewujudkan keinginan tersebut. “Welas Asih” 96 adalah
sebuah aspirasi untuk membebaskan semua orang dari kepedihan dan
penderitaan yang berakar dari ketidaktahuan akan sifat alami meraka, dan
uasaha yang kita lakukan untuk bisa terbebas dari kepedihan fundamental.
Dua hal ini, keinginan untuk bahagia dan ingin bebas dari penderitaan,
adalah suatu yang umum bagi semua makhluk hidup, meskipun tidak perlu
dinyatakan secara sadar atau verbal, dan tidak selalu dihubungkan dengan
94
Yongey Mingyur Rinpoche. Kebijaksanaan Yang Membahagiakan. Penerjemah,
Hendra Lim (Jakarta: Nrlaba, 2010), h. 244.
95
Cinta Kasih dalam Istilah agama Buddha disebut dengan “Metta”. Metta dirumuskan
sebagai keinginan akan kebahagiaan semua mahkluk tanpa terkecuali. Metta juga sering
dikatakan sebagai niat suci yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan mahklukmahkluk lain, seperti seorang sahabat mengharapkan dan kebahagiaan temannya.
96
Istilah Welas Asih dalam agama Buddha adalah “Karuna”. Yang diartikan sebagai
sesuatu yang dapat menggetarkan hati kea rah rasa kasihan bila mengetahui orang lain sedang
menderita, atau kehendak untuk meringankan penderitaan oraang lain atau menolong oran lain.
Sesungguhnya dengan unsur kasih sayanglah yang mendorong seseorang untuk menolong
orang lain dengan ketulusan hati.
50
kesadaran manusia yang rumit. 97 Dapat saya telaah, untuk menjadi seorang
yang mempunyai rasa cinta kasih atau welas asih tentunya tidak mudah seperti
membalikan dua telapak tangan kita. Akan tetapi butuh proses dan bertahap.
Tahap yang pertama sebagai umum dikenal sebagai cinta kasih dan
welas asih, yang dimulai dengan mengembangkan cinta kasih dan welas asih
kepada diri sendiri dan kemudian mengembangkannya kepada orang-orang
yang kita kenal. Tahap yang kedua disebut dengan “cinta kasih dan welas asih
tanpa batas”, perluasan aspirasi terhadap makhluk lain dan orang-orang yang
tidak kita kenal agar juga mendapatkan kebahagiaan dan terbebas dari
penderitaan. Tahap ketiga dikenal sebagai bodhicitta, pikiran yang sudah
menyadari penderitaan semua makhluk dan secara spontan berusaha untuk
membebaskan penderitaan tersebut.98 Maka dengan hal ini, umat Buddha yang
menjalankan uposatha (puasa) secara tidak langsung akan tumbuh didalam
dirinya rasa cinta kasih dan welas asih. Baik itu cinta kasih dan welas asih
terhadap dirinya sendir, ataupun menjadi cinta kasih dan welas asih tanpa batas,
dan terlebih-lebih dengan menjalankan uposatha (puasa) bisa menjadi
bodhicitta (yang dikenal sebagai pikiran yang sudah menyadari penderitaan
semua makhluk).
Hati seseorang yang penuh dengan rasa kasih sayang adalah lebih halus
dari pada bunga; ia tidak akan berhenti dan tidak akan puas sebelum dapat
meringankan penderitaan orang lain. Bahkan kadang-kadang ia sampai
97
Yongey, h. 246.
Yongey, Kebijaksanaan, h. 247.
98
51
mengorbankan hidupnya demi membebaskan orang lain dari segala
penderitaannya. Di dalam cerita Vyaghari Jataka, terdapat contoh yang baik
mengenai kasih sayang ini, dimana Sutasomo sebagai seorang Bodhisatva telah
mengorbankan hidupnya untuk menolong seekor macan betina kelaparan yang
ingin memakan anaknya sendiri yang masih kecil guna menghilangkan
laparnya. Bodhisatva Sutasomo mencegah niat macan itu, dan sebagai gantinya
ia memberikan tubuhnya sendiri untuk dimakan.99
D. Humanisme
Humanisme (dari bahasa latin: humanus=manusia) mengacu pada setiap
pandanagan yang menitikberatkan perhatian pada kesejahteraan manusia, setiap
disiplin atau doktrin yang mengutamakan pembinaan cita-cita seperti kasih
sayang, kesetiaan, keramahan, pengabdian, kejujuran, keadilan dan sebagainya:
setiap pandangan religius atau filosofis yang tidak tergantung pada unsureunsur transenden sekalipun tidak mengingkarinya melainkan mengutamakan
keadilan dan kesejahteraan sosial dalam setiap upaya mereka untuk mencapai
manusiawi yang lebih baik di dunia, setiap program moral atau sosial untuk
meningkatkan kesejatraan atau mengurangi penderitaan manusia. Humanisme
mengakui atau meletakan harkat manusia sebagai “ukuran terakhir” dengan
mengambil fitrah manusia dan kepentingan manusia sebagai perhatian
pokoknya. Menurut humanisme manusia adalah “pembuat dunianya sendiri
berdasarkan kemampuannya sendiri”.100
99
Cornolis, Agama Buddha, h. 76.
Cornolis, Agama Buddha, h. 29.
100
52
Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa agama yang bertujuan untuk
memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia, sering malah
menjadi sumber konflik dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena dalam
perkembangannya di masyarakat agama sering mengabaikan aspek humanisme
seperti yang telah disebutkan di atas. Pengabaian ini bisa timbul karena adanya
doktrin yang tidak seimbang antara teologi dan humanisme, atau dalam praktek,
agama sering dipakai sebagai alat pembenaran bagi instink kelompok dalam
melawan kelompok lainnya.101
Bagi seorang humanis, nilai-nilai, usaha, kemampuan, martabat,
kebebasan, kepentingan dan kesejateraan manusia adalah yang tertinggi dan
harus diutamakan. Ia berpendirian bahwa manusia harus mewujudkan
kemampuan manusiawinya sendiri sepenuhnya untuk menuntun kehidupannya
sendiri dan mencapai cita-citanya yang tinggi, di dalam suasana kebebasan
berpikir, berbicara dan bertindak, untuk membentuk, mengubah dan
memperbaiki dunianya sendiri.102
Sudah pasti setiap orang berkeinginan dan berpengharapan pendapat
karunia dan hidup terbimbing Tuhan Yang Maha Esa, berbagai macam cara
upaya dilakukan berdoa memohon kepada Tuhan, melakukan upacara,
bersembahyang, dan bertapa, bahkan sampai melaksanakan ritual suci.
Namun sekian banyak orang yang melakukan itu, sedikit sekali orang
yang hidupnya terbimbing, mengapa ?
101
A. Joko Wiryanto, Pengetahuan Dharma untuk mahasiswa (Jakarta: CV Dewi
Kayana Abadi, 2003), h. 86.
102
Cornolis, Agama Buddha, h. 27.
53
Dibawah ini ada sebuah lagenda yang diceritakan Sang Buddha untuk
dapat dianalisa.
Suatu kisah, dalam suatu hutan berdiamlah dua orang pertapa yang
berbeda. Mereka mempunyai keinginan yang sama. Keduanya
bermaksud menjadi orang yang hebat, berwibawa dan agung. Oleh
karena keinginan mereka yang kuat, maka mereka bertapa selama
bertahun-tahun lamanya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, akhirnya sudah bertahun-tahun
mereka bertapa dengan sungguh-sungguh dan tanpa adanya gangguan
apapun.
Pada suatu malam yang sepi, terdengar ketukan pintu dan juga ada
seorang yang meminta pertolongan. Kedua pertapa itu mendengarnya,
mereka berpikir untuk menolongnya. Jika mereka menghentikan
pertapaan mereka, maka pertapaan yang mereka lakukan selama
bertahun-tahun itu akan sia-sia dan apa yang mereka cita-citakan tak
akan tercapai, sehingga harus dimulai dari awal lagi. Tetapi suatu minta
tolong it uterus terdengar.
“Tolong saya…….saya kelaparan dan kedinginan apa lagi saya
mempunyai seorang anak kecil. Tolong bukakan pintu….jika tidak kami
berdua akan mati”. Suara wanita itu terdengar sangat jelas dan merintih
karena kedinginan.
Mendengar permintaan itu, pertapa pertama tidak mengacuhkannya. Ia
berkata dalam hati. “Ah….biarkan saja mereka, ini malam terakhir aku
bertapa, besok aku akan medapatkan cita-cita aku itu. Jika ku hentikan
tapaanku, aku akan gagal meraih cita-cita ku itu”.103
Setelah mengambil keputusan itu, ia melanjutkan pertapaanya. Karena
merasa tidak ada yang mengacuhkannya, wanita tersebut melangkah ke
rumah sebelahnya. Mendengar ketukan dan permintaan tolong wanita
itu, pertapa kedua tersentuh hatinya. Dia untuk berfikir, “meskipun
wanita itu adalah orang jahat yang ingin menggangguku, aku akan tetap
menolongnya kasihan sekali, bayi dan ibunya pasti sedang menderita,
103
Secara tidak sadar pertapa pertama berbisik di dalam hatinya seperti itu, justru hal
itu membuat apa yang menjadi keinginan dan cita-citanya itu tidak akan terlaksan. Karena
dengan ia berbisik seperti itu di dalam hatinya, justru ia sudah melanggar ajaran Sang Buddha.
ia lebih mementingkan dirinya sendiri dari pada orang lain yang sedang membutuhkan
pertolongannya. Bisa di katakana si pertapa pertama tidak mempunyai sifat “metta” dan sifat
“karuna” yaitu sifat kasih sayang dan belas kasihan terhadap orang lain. maka hal itu membuat
apa yang menjadi keinginan dan cita-citanya tidak terkabulkan. Jika seandainya, si pertapa
pertama mempunyai sifat metta dan karuna, bisa jadi ia akan mendapatkan kehormatan dan
kemulyaan dari Sang Buddha.
54
aku akan segera menolongnya. Biarlah tapanya dan membukakan
pintunya. Diluar bayi dan ibu itu sedang menggigil kedinginan, hujan
turun dengan lebatnya. Cepat-cepat si pertapa tersebut mempersilahkan
ibu dan bayi itu masuk. Pertapa mendengar tindakan kawannya yang
kedua itu dan ia berfikir “tolol, untuk apa ia menyia-nyiakan tapanya
yang ia lakukan. Sekian lama hanya untuk menolong seseorang yang
tidak dikenalnya”.
Oleh pertapa kedua ibu dan anaknya dijamu dengan sepenuh hati. Penuh
dengan cinta kasih dan belas kasihan pertapa itu memberikan makanan
yang ada dan minuman hangat.
Ibu itu sangat berterima kasih kepada pertapa kedua. Setelah menyantap
hidangan yang disuguhkan, si ibu meminta air hangat untuk
membersihkan bayinya. Permintaan itu di sediakan dengan sepenuh hati
dan dengan senang hati melayani, melihat hal itu si ibu sangat kagum
dan berkata, “Saya tahu anda berhenti bertapa untuk menolong saya.
Anda rela tidak mendapatkan cita-cita anda demi kami. Saya akan
membalas budi baik anda yang sedemikian benar. Besok pagi, basuhlah
muka anda dengan air hangat sisa air mandi anak saya”.
Kemudian malem itu juga si pertapa tidur dengan nyenyak, ke esokan
paginya pertapa tidak melihat ibu dan bayinya yang menginap itu.
Namun ia ingat pesan ibu itu lalu dibasuh mukanya dengan air hangat
sisa yang diberikan pada bayinya. Ternyata wajah dan badannya tibatiba memancarkan wibawa dan keagungan, ia mendapatkan apa yang
dicita-citakan. Dengan penuh suka cita ia pergi ke rumah tangganya
yaitu pertapa pertama.
Saat pertapa pertama sedang merenung karena cita-citanya tidak
tercapai. Namun ia melihat temannya yang datang dengan keadaan
muka dan badannya basah. Pertapa pertama segera mengerti bahwa
wanita itu datang untuk menguji.
Ternyata untuk menjadi orang yang bijaksana, berwibawa, penuh
keagungan itu bukan hanya dengan bertapa, tetapi harus mendahulukan
kepentingan orang lain dan mementingkan jiwa manusia. 104 Dapat disipulkan
dari lagenda Sang Buddha diatas, sangatlah penting kita sebagai makhluk yang
terlahir sebagai manusia jelas tidak bisa dapat hidup sendiri. Sangat
104
Wiryanto, Pengetahuan Dharma, h. 86-88.
55
membutuhkan orang lain. lagenda tadi mengajarkan kepada kita agar
menekankan untuk berbuat baik, banyak berdana, bersikap dan berprilaku yang
baik, banyak menolong orang yang baik dan banyak menolong yang menderita
dan kesusahan. Tentunya dengan mempunyai sifat empati terhadap orang lain
dan rasa humanisme terhadap sesama. Sikap hidup yang sesuai dengan Buddha
Dharma diperlukan proses yang panjang melalui aspek kejiwaan dan falsafah
yang berpedoman pada ajaran agama serta pelaksanaannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Tentunya dengan cara melaksanakan ajaran sila yaitu uposatha (puasa).
Agama bukanlah hanya menekankan pada tradisi dan upacara saja, melainkan
pada pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari sehingga memberikan
kebahagiaan untuk diri sendiri maupun lingkungannya. Perlu disadari bahwa
segala konflik dan permasalahan yang terjadi, sesungguhnya bukan disebabkan
oleh dari pengaruh luar, melainkan dari cara berpikir yang tidak benar. 105 Oleh
karena itu, perbaikan cara berpikir setiap individu adalah merupakan kunci
perdamaian dunia. Karena apabila setiap orang benar cara berpikirnya, maka
keluarganya akan benar pula. Bila keluarga benar cara berpikirnya, maka
masyarakat akan tentram dan damai. Jika masyarakat berpikir yang terbebas
dari ketamakan, kebencian dan kegelapan batin, maka bangsa dan negara yang
dibentuknya menjadi tentram dan damai. Apabila setiap bangsa bisa berpikir
dengan benar, maka tentu saja akan terwujud kondisi global yang tentram dan
105
Berfikir tidak benar yaitu: Cara berpikir yang dibarengi dengan ketamakan,
kebencian dan kegelapan batin itulah yang sesungguhnya menjadi sumber segala bentuk
konflik. Seperti Moha (kebodohan batin), Lobha (keserakahan) dan Dosa (kebencian).
56
damai. Maka dari diri sendirilah harus dimulai perbaikan yang bisa membawa
dampak positif secara global ini.
E. Pengendalian Pikiran
Ajaran agama Buddha menitikberatkan pada pikiran. Hal ini disabdakan
“Pikiran adalah pelopor dari semua tindakan kita. Segala sesuatu dilakukan
oleh pikiran”.106 Pikiran yang menentukan kualitas moral dari semua tindakan
kita. Pikiran yang baik dapat membuat orang berakal budi tinggi, tatapi pikiran
tidak baik dan tidak terkontrol serta tidak terkendali dapat membuat orang jatuh
pada jurang penderitaan. Pada dasarnya pikiran adalah sesuatu yang tidak
pernah berhenti. Sang Buddha bersabda “Saya menganggap bahwa tidak ada
sesuatu yang datang dan pergi secepat pikiran”. Pikiran yang tidak terkontrol
ini menjadi masalah manusia dan malahan akan memperbudak manusia. Karena
inilah Sang Buddha bersabda “Dunia dipimpin oleh pikiran, dibawa oleh
pikiran dan berada dibawah kekuatan pikiran”. Kalau pemimpin-pemimpin dari
dunia ini, pikirannya diliputi oleh hal-hal yang baik, maka niscaya dunia ini
akan baik dan terpelihara kelanggengannya atau keberadaannya. Tapi
sebaliknya jika dunia ini dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang pikirannya
tidak terkendali dan tidak terkontrol, serta hanya mementingkan diri sendiri,
maka kesejahteraan rakyat tidak akan terwujud dan dunia ini menjadi kacau dan
tidak tentram.107 Jadi pikiran adalah salah satu bagian yang terpenting dalam
diri seseorang maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bersosial, jika kita
106
Dikutip dari Wiryanto dalam Pengetahuan Dharma, h. 53.
Wiryanto, Pengetahuan Dharma, h. 55.
107
57
mempunyai pemikiran yang positif terhadap seseorang maupun terhadap
masyarakat, maka kita akan mendapatkan balasan yang positif pula.
Pikiran sering diliputi oleh berbagai penyakit atau kotoran yang
merusak pikiran kita seperti: keserakahan, kebencian, kebodohan, kemarahan,
kecemburuan, kedengkian, kesombongan, dendam, kelambanan dan masih
banyak lainnya yang merusak pikiran. Jika seseorang ingin membersihkan
pikiran dan ingin meningkatkan kualitas pikiran, maka orang tersebut harus
melakukan latihan pengendalian pikiran.
segampang
lidah
mengucapkannya.
108
Karena
Pengendalian pikiran tidak
pikiran
itu
sangat
sulit
dikendalikan. Pikiran hendaknya dilatih untuk bebas dari keterikatan pada
hidup dan kehidupan. Hidup hendaknya dijalani dengan apa adanya, karena
segala sesuatu yang ada itu pada dasarnya selalu berubah-ubah dan tidak
kekal. 109 Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menjaga dan megawasi
pikiran kita dengan teliti. Betapa pentingnya pengendalian pikiran dalam
kehidupan bermasyarkat atau bersosial. Tentunya dengan cara uposatha (puasa)
dan menjalankan sila, pikiran kita dan diri kita akan terbebas dari sifat-sifat
yang negatif. Jika kita menjalani kehidupan bermasyarakat dan bersosial,
tentunya kita harus selalu bersifat positif. Dengan demikian kebahagiaan akan
selalu menghampiri kita. Cara memperbaiki pola pikir ini adalah dengan
mengembangkan kerelaan, kemoralan dan konsentrasi. Kerelaan adalah latihan
108
Pengendalian pikiran bisa dikatan dengan latihan pengendalian diri. Maka jika kita
ingin bisa mengendalikan pikiran atau diri kita harus menjalankan upostha (puasa) dan
menjalankan sila.
109
Wiryanto, Pengetahuan Dharma, h. 56.
58
melepas baik materi maupun tenaga. Namun, tujuan kerelaan ini adalah
melepaskan keakuan, tidak mudah terpengaruh emosi. Kemoralan adalah
latihan disiplin, yaitu berusaha mengevaluasi hasil kerja yang sudah diperoleh
untuk diperbaiki bila ada kekurangan dan untuk ditingkatkan bila sudah ada
nilai positifnya. Sedangkan konsentrasi adalah latihan menenangkan pikiran
sehingga mampu menghadapi segala kesulitan dan perubahan dengan pikiran
yang tenang dan seimbang dapat mengevaluasi segala perilaku dengan baik dan
hasilnya adalah masa depan yang cerah.
Sang Buddha berkata:
“Barang siapa yang bisa mengendalikan pikiran, ucapan dan
perbuatannya, maka ia akan mampu melenyapkan kotoran dalam
hidupnya”. (Digha Nikaya III hal. 97).
Buah dari susila adalah kebebasan dari sesal. Disamping yang
bersangkutan akan menikmati hal-hal sebagai berikut:
1. Memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran dalam hidup melalui
hasil karyanya sendir;
2. Minikmati nama harum dalam masyarakat;
3. Menghadapi masyarakat dengan ketetapan hati, tanpa rasa gelisah;
4. Kelak akan meninggalkan dengan penuh kesadaran;
5. Akan
terlahir
kembali
menyenangkan.110
110
Cornolis, Agama Buddha, h. 46.
59
di
salah
satu
alam
dewa
yang
Semoga kita selalu dapat menjaga pikiran dan dapat mengendalikan
pikiran kita agar terhindar dari keserakahan, kebencian, kebodohan dan iri hati.
Semoga kita selalu “eling” atau ingat bahwa kita adalah manusia yang harus
bertutur kata dan bertindak layaknya manusia dan memperlakukan orang lain
sebagai manusia juga. Semoga pikiran kita yang terkendali dapat menolong diri
sendiri dan orang lain dalam menghadapi tantangan “zaman edan”111 sehingga
kita tidak terjerumus di dalamnya “milu edan”. Semoga dengan pengendalian
pikiran yang baik, tentunya dengan menjalankan uposatha (puasa) umat Buddha
senantiasa eksis di dalam masyarakat atau bersosial. Dan tentunya secara
individual bisa menjadikan pribadi-pribadi yang benar sesuai yang diajarkan
oleh Sang Buddha. Demikian pemaparan tentang nilai-nilai sosial puasa dalam
agama Buddha.
Sebagai umat muslim, penulis akan mencoba memaparkan tentang nilainilai sosial puasa dalam agama Islam.
1. Puasa mengembangkan kecerdasan emosi. Sesuai hakikat puasa adalah
menahan diri dan menahan hawa nafsu bukan membunuh hawa nafsu, puasa
111
Sebagai penjelas. Jaman edan adalah jaman sekarang, dimana nilai-nilai dalam
masyarakat “kalang kabut” masyarakat yang tadinya “community oriented” beralih menjadi
“materialistic” dari yang dagang untuk hidup, ke yang hidup untuk dagang. Dulu orang yang
jujur dan suka memberi kesempatan kepada orang lain dipuji, sekarang dianggap bodoh sendiri.
Orang cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginannya. Sesuai dengan
pujangga Ronggo Warsito (1802-1873) dalam Serat Kalatidha mengingatkan kita akan keadaan
jaman edan yang penuh delematis sebagai berikut: “Amenangi jaman edan, ewuh aya ing
pambudi. Milu edan ora tahan, yen tan milu anglakoni, boya kadumen melik. Kaliren
wekasanipun”. Yang artinya: Hidup di jaman edan, memang repot tidak karuan, ikut edan tidak
tahan. Jika tidak ikut-ikutan, tidak kebagian kekayaan, akhirnya hanya kelaparan. (A. Joko
Wiryanto, Pengetahuan Dharma Untuk Mahasiswa, hal. 22).
60
mendidik manusia agar dapat melakukan pengendalian diri (self controll) dan
pengaturan diri (self regulation).
2. Puasa mendidik kejujuran. Orang yang sedang berpuasa atas dasar imanan
wahtisaban, ia tidak akan makan dan minum serta melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa betapapun tidak ada orang yang melihat dan tidak ada
orang yang tahu kecuali dirinya dan Allah Swt. Ia akan selalu bersikap jujur
ketika bermasyarakat.
3. Puasa meningkatkan solidaritas yang tinggi sesama umat muslim maupun
dengan non muslim.
4. Puasa mendidik disiplin. Puasa adalah ibadah paling rahasia di mata
manusia, yang bisa menumbuhkan sikap disiplin diri
5.
Puasa
mendidik
sabar,
betapapun
tenggerokan
dan
lapar
melilit
perut,
tiba,
diharuskan
sabar
sampai
kita
kita
merasa
ketika
haus
waktu
diperbolehkan
menceklik
magrib
makan
belum
dan
minum atau sampai waktu magrib.
6.
Allah
Puasa
Swt.
secara
Lebih
umumnya
merasa
meningkatakan
dekat
dengan
sesame manusia.
61
Allah
ketakwaan
dan
lebih
kepada
sayang
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang sudah penulis kemukakan mengenai “Peran
Puasa Terhadap Nilai sosial Dalam Perspektif Agama Buddha”, maka dapat
disimpulkan bahwa konsep puasa dalam perspektip agama Buddha adalah
berusaha untuk memperbaiki pikiran, ucapan dan prilaku untuk menjadi orang
yang baik lagi. Agar bisa menjadi orang yang lebih baik, maka untuk umat
awam harus menjalankan Atthasila, Patimokkhasila untuk para Bhikku, dan
Dasasila untuk samanera yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha. Atthasila,
Patimokkhasila dan Dasasila ketiganya tersebut sudah merangkum dari segala
aspek kehidupan dalam masyarakat atau bersosial.
Ibadah puasa tentunya menjadi peran yang amat sangat penting bagi
kehidupan bermasyarakat dan bersosial. Dengan mempunyai sifat solidaritas
yang tinggi, rasa empati, humanisme dan pikiran yang bisa dekendalikan
menjadikan hidup di alam dunia ini terasa bahagia dan indah. Dengan hal itu,
kita semua bisa saling menghargai satu sama lain, saling menghormati dan
penuh rasa kasing dan sayang.
Dalam pelaksanaan Uposatha (puasa) di dalam agama Buddha mulai
dari pukul 12.00 siang sampai dengan 06.00 pagi. Dan di Vihara Siripada
Tangerang Selatan diawali pada pukul 04.00 pagi dengan pembacaan 227
Patimokkhasila untuk para Bhikku, pembacaan Dasasila untuk para samanera,
62
setelah pembacaan tersebut sekitar pukul 05.30 pagi dilanjutkan dengan
permohonan sila atau Athasila untuk umat awam. Setelah permohonan sila,
biasanya umat tidak pulang ke rumah, akan tetapi menetap di Vihara selama
satu hari atau biasa disebut Uposhatavasamvasati, yaitu pada hari Uposatha
yang dilakukan oleh para Bhikku, samanera (calon bhikku) dan umat awam
laki-laki dan perempuan (upasaka dan upasika) dimana waktu tersebut
digunakan untuk belajar Dhamma melalui buku-buku yang ada di perpustakaan,
diskusi, mendengarkan khotbah dari Bhikku yang menyampaikannya, dan ada
juga yang menjalankan sila untuk berlatih meditasi. Kemudian, selama pukul
06.00 pagi sampai sebelum pukul 12.00 siang, umat masih diperbolehkan untuk
makan tetapi untuk para Bhikku dan samanera mereka hanya diperbolehkan
makan 1 atau 2 kali. Jika makannya 2 kali, yaitu pukul 06.00 pagi dan 11.00
siang. Akan tetapi jika Bhikku dan samanera hanya ingin makan 1 kali, maka
pukul 11.00 siang saja.
B. Saran-saran
1. Bagi segenap umat Bhudda khususnya, semoga pengetahuan ini dapat
dijadikan suatu sarana untuk meningkatkan rasa kayakinan dan
keimanan terhadap Buddha Dhamma (ajaran Buddha) dan dapat
melaksanakan Uposatha (puasa) sesuai dengan apa yang diajarkan oleh
Buddha.
2. Menjalankan uposatha (puasa) dalam agama Buddha yaitu harus dengan
cara memgerjakan delapan atthasila. Maka bagi mahasiswa yang ingin
63
memahami lebih mendalam tentang atthasila, silahkan teliti tentang
konsep ajaran atthasila tersebut.
3. Untuk Lembaga atau Fakultas Ushuluddin, terutama jurusan Perbandingan
Agama agar bisa menyediakan referensi buku lebih banyak lagi tentang
puasa dalam agama Buddha.
64
Daftar Pustaka
Abdul Aziz Muhammad Azam. Fiqih Ibadah. Penerbit Azam Jakarta 2003.
Amirin, Tatang M. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995.
Anjali G. S. Tuntunan Uposatha dan Athasila (Jakarta: Lembaran Khusus
Agama Buddha).
Anomius, Dhamma Rakkha Kumpulan Pamita Penting Untuk Upacara,
(Jakarta: Balai Kitab Tri Dharma Indonesia, 1980).
Bhikku Khantipalo, Saya Seorang Bhudis Bagaimana Menjadi Bhuddis Sejati.
(Penerbit Karaniya: Yayasan Bhuddis Karaniya, 1999).
Bhikku Subalaratano, Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama
Buddha 1988).
Bhikku Vijano (Ven), Dhamma Sekolah Tinggi Bhuddis. (Jakarta: Yayasan
Dhammadipa Arama, 1996).
Carmody. John Tully. Jejak Rohani Sang Guru Suci. Diterjemahkan oleh Tri
Budhi Sastrio. Catatan kedua Penerbit: PT RajaGrafindo, 2003.
Cornolis Wowor. Pandangan Sosial Agama Buddha. (Jakarta : CV Nitra
Kencana Buana, 2004.
Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis, (Jakarta:
Yayasan Dhammadieva Arama, 1997).
Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007).
Kusuma, Erwin. Khazanah Kearifan Agama-agama di Indonesia.PT Intimedia
Cipta Nusantara, Catatan Pertama Juni 2010.
65
Kitab Suci Tripitaka Bagian Anguttara Nikaya 3 (Tangerang: Vihara Saripada,
2016).
Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Rosda Karya,
1998).
Mastuhu, Metode Penelitian Agama Teori dan Praktek (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006).
M. Syamsul Yakin, Meraih Ramadhan Sepanjang Masa, (Serpihan Mutiara
Puasa Untuk Bekal Menjadi Takwa). Depok, Penerbit Smesta. 2005.
Mingyur
Yonger,
Penerjemah
Hendra
Lim.
Kebijaksanaa
Yang
Membahagiakan. Catatan Pertama Mei 2010.
Nazir, Mohammad. Metodelogi Penelitian. (Jakarta: Ghalia Indonesia 1985).
Nyanataloka, Buddhist Dictionary (Freewin: Co. Tto, 1972).
Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan, (Jakarta: Tri Sattva Bhuddist
Cantre, 1991).
Purwadi, Teguh. Membangkitkan Kembali Spritual Anda.PT Karya Kita
Bandung_Indonesia 2007.
Smith, Huston. Agama-agama Manusia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta:2008.
Suprayongo, Imam dan Tobroni. Misi Metodelogi Penelitian Sosial Agama.
(Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya, 2001).
Supomo, Dasar-dasar Uposatha, (Yogyakarta: Vihara Vidyaloka Vidyasena,
1993).
Syahrudin El-Fikri, Sejarah Ibadah. Jakarta; Republika, 2014.
66
Towns, Elmer L. Puasa Untuk Melakukan Terobosan Rohani. Penerbit:
Yayasan Pekabaran Injil “IMANUEL”. Catatan pertama. Jakarta 1999.
Wiryanto, A Joko. Pengetahuan Dharma (untuk mahasiswa). Jakarta: Dewi
Kayana Abadi, 2003.
Refensi Internet
Makna Uposatha” Artikel pada tanggal 9 Februari 2016 dari.
www.kompasiana.com/Sudhana/perbandingan puasa-Islam dan puasaBuddha.
Puasa dalam Agama-agama”Artikel diakses pada tanggal 20 Mei 2016 dari.
https://id-id.facebook.com/perpustakaanunim/posts
Puasa menurut agama-agama diakses pada tanggal 23 Mei 2016 dari
http://www.pastvnews.com./nasional-hal-1/bedanya-puasa-umat-IslamBudha-Khatolik-Protestas-Konghucu-dan-Tionghoa.html.
Perkembangan agama Konghucu diakses pada tanggal 23 Mei 2016 dari
http://www.spocjoumal.com/budaya/499-perkembangan-agamaKonghucu-dan-pemahan-puasa.
http//belajardhammaharis.blogspot.co.id/2014/12/bagaimanakah-puasa-dalamagama-Buddha.html. Diakses pada tanggal 28 September 2016.
http//newmarinatan.blogspot.co.id/2013/07/makna-puasa-dalam-agamaKonghucu.html. diakses pada tanggal 28 Sepetember 2016.
67
Download