II. TINJAUAN PUSTAKA Dampak Erosi Pada Peradaban Manusia

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
Dampak Erosi Pada Peradaban Manusia
Masalah erosi dan dampak yang ditimbulkannya telah dialami manusia
sejak manusia mulai bertani, menurut publikasi modern bangsa yang mendiami
Mesopotamia sekitar 7000 tahun yang lalu telah mengalami dampak dari erosi dan
sedimentasi tersebut (Stallings 1957).
Sepanjang yang diketahui, peradaban barat timbul di Near East.
Kebudayaan itu berkembang terus berabad-abad bergerak kearah timur ke China
dan kearah barat terus ke Eropa, dan melintasi lautan Atlantik ke Amerika. Kita
selalu diingatkan dari dosa kita untuk rakyat Sumerian dari Mesopotamia, pada
lebih dari 6000 tahun yang lalu (silam). Perjuangan manusia dengan erosi tanah
adalah setua pertanian itu sendiri. Itu dimulai ketika pengembaraan suku-suku
purbakala, mungkin di gunung Zagros yang memisahkan Persia dan Mesopotania
(Stallings 1957).
Pada awalnya sulit merusak keseimbangan alam diantara
tanaman penutup dan kekuatan penyebab erosi angin dan air. Semakin manusia
menjadi beradab, permintaan manusia pada lahan untuk tambahan pangan dan
pakaian bertambah. Dia berubah dari kawanan pengembara (nomadic) menjadi
suatu cara budidaya pertanian tertentu
dan memulai mengolah tanah.
Meningkatnya penggunaan lahan kemudian lebih lanjut merusak tanaman penutup
dan menjadikan tanah lebih tidak terlindungi dari kekuatan penyebab erosi.
Erosi merupakan persoalan klasik dalam ilmu konservasi tanah dan air.
Walaupun erosi merupakan proses alami oleh air dan angin, tetapi aktivitas
manusia dalam penggunaan lahan menjadi penyebab utama percepatan erosi.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh erosi terjadi di dua tempat yaitu pada tanah
tempat erosi terjadi dan pada tempat tanah yang terangkut diendapkan.
Menurut Arsyad (2006), beberapa dampak erosi di tempat kejadian erosi
(on-site) yaitu antara lain : (1) kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur
tanah; (2) kemerosotan produktivitas tanah atau bahkan menjadi tidak dapat
dipergunakan untuk berproduksi; (3) kerusakan bangunan konservasi dan
bangunan lainnya; dan (4) pemiskinan petani. Sedangkan dampak yang terjadi di
luar tempat kejadian (off-site), antara lain : (1) pelumpuran dan pendangkalan
14
waduk, sungai, saluran dan badan air lainnya; (2) tertimbunnya lahan pertanian,
jalan dan bangunan lainnya; (3) hilangnya mata air dan memburuknya kualitas air;
(4) kerusakan ekosistem perairan; (5) kehilangan nyawa dan harta akibat banjir;
(6) meningkatnya frekuensi dan masa kekeringan; (7) kerugian akibat
memendeknya umur waduk; dan (8) meningkatnya frekuensi dan besarnya banjir.
Pengelolaan tanah yang salah oleh manusia akan menimbulkan erosi
sehingga tanah tidak dapat melakukan fungsinya sebagai unsur produksi, media
pengatur tata air, dan media perlindungan lingkungan hidup. Erosi sangat erat
kaitannya dengan ketersediaan air terutama ketersediaan air untuk pertumbuhan
dan produksi tanaman.
Oleh karena itu secara tidak langsung erosi akan
menyebabkan terjadinya penurunan produksi tanaman pertanian (Pimentel et al.
1995). Kehilangan produksi pertanian yang disebabkan oleh erosi pada akhirnya
akan mengancam ketersediaan pangan dunia. Di beberapa tempat, kehilangan
tanah akibat erosi merupakan penyebab utama terjadinya krisis pangan dan
kekurangan gizi (malnutrition) (World Resources Institute 1992).
Membicarakan erosi tidak hanya sebatas pada pembicaraan masalah
kehilangan tanah, tetapi secara luas mencakup berbagai aspek kehidupan dan
bahkan secara global dapat mengancam stabilitas dunia. Beberapa negara di
dunia melaporkan bahwa erosi secara signifikan dapat menurunkan produktivitas
pertanian, meningkatkan penggunaan energi, meningkatkan biaya pengganti
kehilangan unsur hara serta biaya pengganti fungsi-fungsi lainnya, sehingga
diperlukan biaya yang tinggi untuk menangani dampak yang ditimbulkannya.
Erosi akan menimbulkan dampak bukan saja kehilangan lapisan atas tanah
yang subur yang mengakibatkan penurunan produktivitas, tetapi juga dapat
mengakibatkan terjadinya kemiskinan manusia. Masalah erosi dan pengaruhnya
terhadap perkembangan peradaban berbagai bangsa, seperti antara lain runtuhnya
peradapan Mesopotamia yang legendaris itu telah dipaparkan secara panjang lebar
oleh Stallings (1957).
Pada peradapan modern, daerah yang paling banyak mengalami erosi
umumnya terbatas pada daerah di dalam zone antara 400 Lintang Utara dan 400
Lintang Selatan. Di dalam zone ini tanah-anah daerah tropika adalah yang paling
banyak tererosi. Keadaan iklim menentukan kecenderungan erosi oleh karena
15
mencerminkan tidak saja besarnya dan pola curah hujan akan tetapi juga jenis dan
pertumbuhan vegetasi serta jenis tanah. Ancaman erosi yang tertinggi terjadi di
daerah tropika basah yang telah terganggu vegetasinya dan di daerah agak kering,
jika dibandingkan dengan erosi di daerah kering dan daerah tropika basah yang
belum terganggu vegetasinya (Arsyad 2006).
Asia secara keseluruhan memiliki laju erosi tertinggi dibandingkan dengan
benua-benua lainnya, yaitu sebesar rata-rata 166 ton/km2/tahun (El-Swaify,
Arsyad dan Krisnarajah 1983). Sebagai perbandingan di Australia besarnya erosi
rata-rata adalah yang terendah yaitu sebesar 32 ton/km2/tahun (0,32 ton/ha/tahun)
atau seperlima erosi di Asia.
Secara kasar ditaksir sekitar 39 % lahan di India (129 juta hektar) dalam
tahun 1980 telah mengalami berbagai bentuk kerusakan dan seluas 74 juta hektar
dari padanya telah mengalami erosi yang gawat (Brown and Flavin 1988, diacu
dalam Arsyad 2006). Empat belas (14) propinsi di Philipina diperkirakan telah
mengalami erosi gawat pada 50 – 80% luas lahannya. Pada 30 propinsi lainnya
erosi gawat telah melanda sekitar 4,5 – 48% dari keseluruhan lahan. Penebangan
hutan untuk diambil kayunya atau pembukaan tanah-tanah pertanian baru di bukitbukit dan gunung-gunung telah merupakan penyebab terjadinya erosi dan
sedimentasi yang luar biasa di Indochina, Indonesia, Malaysia, dan Philipina.
Ditaksir sekitar 25 juta ton tanah hilang setiap tahun dari Sri Langka. Nepal
sebanding dengan Haiti (di Carribia) dalam menunjukkan kerusakan lahan yang
ekstrim di daerah-daerah pegunungan, tekanan penduduk mendorong petani ke
arah lahan-lahan perbukitan dan pegunungan yang lebih mudah tererosi.
Australia memiliki perbedaan-perbedaan masalah erosi yang impresif pada
berbagai zone iklimnya, erosi yang hebat umumnya terjadi dibagian Queesland
dan meliputi sekitar 25% Territorial Utara terutama daerah beriklim barat di
Darwin dan daerah Teluk. Erosi gawat juga telah dilaporkan pada banyak pulau
di Pasifik termasuk Fiji, Hawaii dan kepulauan Cook (El-Swaify et al. 1983, diacu
dalam Arsyad 2006).
Di Amerika Serikat, sejak permulaan tahun 1980-an, petani Amerika dan
Departemen Pertanian (USDA) bersama-sama mengeluarkan lebih satu milyar
dollar Amerika per tahun untuk mengendalikan erosi pada tanah-tanah pertanian.
16
Meskipun demikian survei detail yang dilakukan dalam tahun 1982 menunjukkan
sekitar 3,1 milyar ton lapisan atas tanah tererosi oleh angin dan air setiap
tahunnya, dua milyar ton dari jumlah tersebut dianggap telah melebihi tingkat
erosi yang masih dapat dibiarkan. Secara umum untuk setiap ton bijian yang
dihasilkan, petani Amerika kehilangan enam ton tanah lapisan atas oleh erosi
(Brown & Wolf 1988, diacu dalam Arsyad 2006). Untuk mengatasi ancaman erosi
tersebut Pemerintah Amerika Serikat, mulai tahun 1986 mengeluarkan dana
melalui Program Conservation Reserve yang tercantum dalam Food Security Act
1985, melalui dua cara yaitu : (a) untuk tanah pertanian yang sangat mudah
tererosi petani dibayar rata-rata 48 dollar Amerika untuk setiap acre (0,4 hektar)
lahannya agar tidak ditanami dengan tanaman semusim tetapi ditanami rumput
atau hutan, dan (b) penerapan cara-cara (metoda) konservasi tanah pada tanah
yang tidak begitu mudah tererosi. Untuk kedua program tersebut pemerintah
Amerika Serikat dalam tahun 1986 mengeluarkan sebesar 1,4 milyar dollar yang
terdiri atas 0,4 milyar untuk membayar petani dan satu milyar dollar untuk
menerapkan metoda konservasi.
Dalam tahun 2000 diperkirakan Pemerintah
Amerika Serikat harus mengeluarkan sekitar 3 milyar dollar untuk program
tersebut (Arsyad 2006).
Di Indonesia, Dames (1955) melaporkan bahwa dari sekitar 1,6 juta hektar
tanah di daerah bagian timur Jawa Tengah (Yogyakarta, Surakarta dan sebagian
Karesidenan Semarang dan Jepara – Rembang) telah mengalami erosi berat seluas
36,0%,
erosi sedang 10,5%, erosi ringan 4,5% dan tidak tererosi 49,0%.
Kerusakan tanah oleh erosi di daerah ini meningkat dengan meningkatnya jumlah
penduduk sejak tahun 1900.
Tingkat kerusakan erosi meningkat dengan
meningkatnya kegiatan penduduk membuka tanah-tanah pertanian tanpa
pengelolaan yang benar ditunjukkan oleh Van Dijk dan Vogelzang (1948) dari
penelitian mereka di daerah aliran sungai Cilutung suatu anak sungai Cimanuk.
Pengukuran yang mereka lakukan dalam tahun 1934/1935 laju erosi sebesar 28,5
ton/hektar/tahun ekivalen dengan 1,9 mm lapisan tanah (BV = 1,5), yaitu lebih
dari dua kali lipat dengan laju erosi yang terjadi pada tahun 1911/1912 yang
menurut taksiran sekitar 13,2 ton/hektar/tahun (0,9 mm lapisan tanah, BV = 1,5).
Di dalam masa antara tahun 1948-1969 besarnya erosi telah meningkat menjadi
17
120 ton/hektar/tahun atau 8,0 mm/tahun (Ditjen. Pengairan 1977, diacu dalam
Arsyad 2006). LIPI-NAS Workshop (1968, diacu dalam Arsyad 2006) menaksir
di Jawa terdapat antara 1- 1,5 juta hektar tanah yang menderita rusak berat oleh
erosi. Harris Suranggadjiwa (1975, diacu dalam Arsyad 2006) melaporkan
perkiraan luas tanah kritis di Indonesia meliputi sekitar 25-30 juta hektar, dan
diperkirakan meluas dengan 1-2% per tahun. Erosi yang gawat tidak saja terjadi di
pulau Jawa yang telah padat penduduknya, tetapi juga telah melanda berbagai
bagian dari pulau besar lainnya di Indonesia (Arsyad 2006).
Luas lahan kritis di Indonesia menurut Direktorat Bina Rehabilitasi dan
Pengembangan Lahan (1993), mencapai 18,3 juta ha yang diantaranya sekitar
59% termasuk semi kritis dan kritis. Sedangkan menurut Dirjen RLPS,
Departemen Kehutanan luas lahan kritis di Indonesia telah mencapai lebih dari 35
juta ha, dimana luas lahan yang kritis dan sangat kritis sudah mencapai lebih dari
5 juta ha dan luas lahan agak kritis dan potensial kritis sudah mencapai lebih dari
30 juta ha (Sinukaban 2003).
Disamping itu, kerusakan DAS di Indonesia makin lama semakin
meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan
kritis dengan luas sekitar 9,69 juta hektar, pada tahun 1994 meningkat menjadi 39
DAS kritis dengan luas sekitar 12,52 juta hektar (Ditjen RRL 1999), pada tahun
2000 meningkat lagi menjadi 42 DAS kritis dengan luas sekitar 23,71 juta hektar,
dan meningkat lagi pada tahun 2004 menjadi 65 DAS kritis (Ditjen Sumberdaya
Air 2004).
Erosi dan Biaya Erosi
Erosi adalah peristiwa terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari
suatu tempat ke tempat lain oleh media alami, yaitu air dan angin. Pada peristiwa
erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut
kemudian diendapkan pada suatu tempat lain. Proses ini menyebabkan hilangnya
lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan serta berkurangnya
kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air (Arsyad 2006).
18
a.
Erosi dan faktor-faktor penyebabnya
Hudson (1976) dan Beasley (1972) berpendapat, bahwa erosi adalah
proses kerja fisika yang keseluruhan prosesnya menggunakan energi. Energi ini
digunakan untuk menghancurkan agregat tanah (detachment), memercikan
partikel tanah (splash), menyebabkan olakan (turbulence) pada limpasan
permukaan, serta menghanyutkan partikel tanah.
Pawitan (1990) mengemukakan bahwa erosi merupakan rangkaian dua
proses yang berbeda, yaitu (1) proses penghancuran tanah asli atau penghancuran
kembali dari lapisan terdeposisi, dan (2) pengangkutan tanah asli yang hancur atau
pengangkutan kembali sedimen oleh air. Hal ini sesuai dengan pendapat Rachman
(2005), bahwa proses erosi terjadi melalui dua proses yang saling interaktif yaitu
proses penghancuran (detachment) partikel tanah dan proses pengangkutan
(transport) partikel tanah yang sudah dihancurkan. Kedua proses ini terjadi akibat
curah hujan (rainfall) dan aliran permukaan (runoff). Kehilangan tanah hanya
akan terjadi jika kedua proses tersebut di atas berjalan.
Tanpa proses
penghancuran partikel-partikel tanah, maka erosi tidak akan terjadi, tanpa proses
pengangkutan, maka erosi akan sangat terbatas.
Kedua proses tersebut di atas dibedakan menjadi empat sub proses, yaitu:
(1) penghancuran oleh curah hujan; (2) pengangkutan oleh curah hujan; (3)
penghancuran oleh aliran permukaan; dan (4) pengangkutan oleh aliran
permukaan (Walling 1982). Jika butir hujan mencapai permukaan tanah, maka
partikel-partikel tanah dengan berbagai ukuran akan terpercik (splashed) ke segala
arah, menyebabkan terjadinya penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel
tanah. Jika aliran permukaan tidak terjadi (seluruh curah hujan terinfiltrasi), maka
seluruh partikel-partikel yang terdeposit akibat curah hujan akan terdeposit di
permukaan tanah.
Selanjutnya jika aliran permukaan terjadi, maka partikel-
partikel yang terdeposit tersebut akan diangkut ke lereng bagian bawahnya.
Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi sehubungan dengan empat sub
proses di atas, yakni : (1) penghancuran baik oleh curah hujan maupun aliran
permukaan lebih kecil dari proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran
permukaan; (2) penghancuran baik oleh curah hujan maupun aliran permukaan
lebih besar dari proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan; dan
19
(3) penghancuran baik oleh curah hujan maupun aliran permukaan sama dengan
proses pengangkutan oleh curah hujan dan aliran permukaan.
Selanjutnya Arsyad (2006) menjelaskan bahwa di daerah beriklim tropika
basah, air merupakan penyebab utama terjadinya erosi tanah. Proses erosi oleh air
merupakan kombinasi dua sub proses yaitu : (1) penghancuran struktur tanah
menjadi butir-butir primer oleh energi jatuh butir-butir hujan yang menimpa tanah
(Dh) dan perendaman oleh air yang tergenang (proses dispersi), dan pemindahan
(pengangkutan) butir-butir tanah oleh percikan hujan (Th); dan (2) penghancuran
struktur tanah (Dl) diikuti pengangkutan butir-butir tanah tersebut (Tl) oleh air
yang mengalir di permukaan tanah.
Banyak faktor yang mempengaruhi laju erosi tanah.
Morgan (1979)
mengemukakan bahwa terjadinya erosi tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah : curah hujan, limpasan permukaan (aliran permukaan), angin,
jenis tanah, lereng, penutup tanah, jumlah penduduk, dan ada atau tidaknya
tindakan konservasi tanah lainnya. Sedangkan oleh Arsyad (2006) disimpulkan
bahwa erosi adalah akibat interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi,
vegetasi, dan manusia terhadap tanah yang dituliskan dalam persamaan diskriptif
berikut :
E = f (i, r, v, t, m)
Dimana E adalah erosi, merupakan fungsi dari faktor iklim (i), relief atau
topografi (r), tanah (t), vegetasi (v), dan manusia (m).
Iklim.
Unsur iklim yang berpengaruh terhadap proses erosi adalah
presipitasi, suhu, dan angin (Bennet 1955).
Presipitasi merupakan unsur
terpenting, khususnya hujan, lebih-lebih di daerah tropika basah seperti di
Indonesia.
Sifat-sifat hujan yang menentukan besarnya erosi dan limpasan
permukaan adalah intensitas, jumlah, dan distribusi hujan (Baver 1959). Suhu
udara mempengaruhi limpasan permukaan dengan mengubah kandungan air tanah
yang menyebabkan perubahan kapasitas infiltrasi, sedangkan angin menentukan
kecepatan dan arah jauh butir hujan (Schwab et al. 1981).
Selama kejadian hujan, intensitas dan besarnya curah hujan menentukan
kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah hujan merupakan faktor yang
paling berpengaruh terhadap jumlah limpasan permukaan, sedangkan distribusi
20
hujan menentukan luasan erosi yang terjadi (Kohnke & Bertrand 1959).
Keganasan hujan dalam menimbulkan atau menyebabkan terjadinya erosi ini
disebut erosivitas hujan (Hudson 1976).
Curah hujan mempengaruhi erosi dengan dua cara. Pertama, pukulan butir
hujan terhadap tanah akan menghancurkan agregat tanah menjadi butir-butir
lepas; dan kedua yaitu jumlah dan lamanya hujan akan menimbulkan limpasan
permukaan yang merupakan agen pengangkut dalam proses erosi (Wischmeier &
Smith 1978).
Tanah. Sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap erosi meliputi : (1)
sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas dan kapasitas
menahan air; dan (2) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan struktur
tanah dari dispersi dan pengikisan oleh butir-butir hujan dan limpasan permukaan
(Arsyad 2006).
Sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap infiltrasi dan
permeabilitas meliputi : tekstur, struktur, bahan organik, kadar air, crusting, bulk
density, pelapisan tanah, distribusi dan bentuk pori, agregat, dan jenis mineral liat.
Sedangkan ketahanan struktur tanah terhadap dispersi dan pengikisan dipengaruhi
oleh tekstur dan kandungan bahan organik.
Kepekaan tanah terhadap erosi berbeda-beda dan ditentukan oleh interaksi
sifat fisik dan sifat kimia tanah.
Sifat-sifat fisik tanah terpenting yang
mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi adalah kapasitas infiltrasi dan daya
tahan tanah terhadap dispersi (Hudson 1976). Sifat-sifat tanah yang lain yang
juga berpengaruh terhadap erosi adalah tekstur, struktur, bahan organik,
kedalaman tanah, sifat lapisan bawah dan tingkat kesuburan tanah. Tekstur dan
struktur tanah mempengaruhi laju peresapan, permeabilitas, dan kapasitas
menahan air dari tanah.
Sedangkan kandungan bahan organik berpengaruh
terhadap stabilitas struktur tanah (Arsyad 2006).
Kepekaan tanah terhadap erosi pada umumnya dikenal sebagai erodibilitas
tanah, yang merupakan pernyataan keseluruhan pengaruh sifat-sifat tanah dan
bebas dari faktor-faktor penyebab erosi lainnya.
Menurut Morgan (1979)
kepekaan tanah adalah mudah tidaknya tanah untuk tererosi, menunjukkan
ketahanan tanah terhadap proses pelepasan dan pengangkutan.
21
Topografi.
Topografi merupakan faktor penting yang berpengaruh
terhadap tingkat erosi. Unsur topografi meliputi : kemiringan lereng, panjang
lereng, konfigurasi, keseragaman, dan arah lereng (Arsyad 2006).
Morgan (1979) menyatakan bahwa faktor topografi yang paling berperan
terhadap erosi tanah adalah kemiringan lereng dan panjang lereng.
Erosi
meningkat dengan meningkatnya kemiringan lereng, hal ini karena dengan
kemiringan yang besar akan memperbesar laju limpasan permukaan dan berakibat
kapasitas penggerusan dan pengangkutan meningkat (Kohnke & Bertrand 1959).
Kemiringan lereng dan panjang lereng juga berpengaruh terhadap jumlah tanah
yang dipindahkan oleh percikan butir-butir hujan, serta jumlah air yang masuk ke
dalam permukaan tanah (infiltrasi) dan yang mengalir sebagai limpasan
permukaan (Jansson 1982).
Vegetasi. Vegetasi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap
besarnya erosi, yang sekaligus mudah dirubah oleh manusia. Pada suatu vegetasi
penutup tanah yang baik seperti rumput yang tebal atau hutan yang lebat akan
menghilangkan pengaruh hujan dan topografi terhadap erosi (Arsyad 2006).
Keefektifan vegetasi dalam menekan limpasan permukaan dan erosi dipengaruhi
oleh tinggi tajuk, luas tajuk, kerapatan vegetasi, dan kerapatan perakaran (Morgan
1979).
Arsyad (2006) menyatakan bahwa pengaruh vegetasi terhadap limpasan
permukaan dan erosi dibagi dalam empat bagian, yaitu : (1) intersepsi hujan oleh
tajuk tanaman, (2) mengurangi kecepatan limpasan permukaan dan kekuatan
perusak air, (3) pengaruh akar dan kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan
dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya terhadap stabilitas struktur dan
porositas tanah, dan (4) transpirasi yang mengakibatkan kandungan air tanah
berkurang.
Manusia. Manusia adalah kunci penentu untuk terjadinya erosi, terutama
ditinjau dari perilakunya dalam memperlakukan sumberdaya alam (tanah dan air)
untuk
memenuhi
kebutuhannya,
keseimbangan faktor-faktor lainnya.
juga
kemampuannya
untuk
mengatur
22
b. Biaya erosi tanah
Erosi tanah mempunyai dua dampak yaitu erosi tanah on-site dan erosi
tanah off-site di daerah hilir akibat terbawa oleh aliran permukaan. Dampak erosi
tanah di lokasi yang terpenting adalah berkurangnya kesuburan tanah akibat
hilangnya bahan organik dan unsur hara tanah, berkurangnya kedalaman lapisan
tanah atas (topsoil), dan menurunnya kapasitas tanah untuk menahan air yang
selanjutnya juga akan menyebabkan penurunan produktivitas lahan yang terkena
erosi. Sedangkan dampak erosi tanah di luar lokasi adalah merupakan nilai
sekarang dari manfaat ekonomi yang hilang akibat erosi lahan lahan pertanian.
Dampak ini bersifat spesifik untuk suatu lokasi dan bervariasi dari suatu tempat ke
tempat yang lain (Barbier 1995). Midmore et al. (1996) menyatakan bahwa biaya
lingkungan di luar lokasi yaitu rusaknya infrastruktur berupa sedimentasi pada
saluran irigasi dan Pembangkit Tenaga Listrik di situ/reservoar, yang ditimbulkan
oleh praktek-praktek usahatani sayur mayur di dataran tinggi Cameron, Malaysia
sebesar M$ 2 juta per tahun atau 4 % lebih rendah dari total nilai kotor produksi
sayuran di dataran tinggi Cameron, Malaysia.
Erosi tanah menyebabkan hilangnya pendapatan sekarang petani dan akan
menyebabkan bertambah tingginya resiko yang akan dialami petani khususnya
petani marginal (Barbier 1995). Dampak erosi tanah pada penurunan produktivitas
lebih besar terjadi di daerah yang beriklim tropis daripada di daerah beriklim
sedang karena daerah tropis mempunyai tanah yang relatif rentan dan iklim yang
ekstrim (Lal 1990). Pada daerah berkembang, biaya degradasi lahan akan 15%
lebih tinggi dari produk nasional kotornya (Barbier & Bishop 1995).
Pendekatan yang umum digunakan untuk menghitung biaya erosi tanah di
lokasi (on site), menurut Barbier (1995) antara lain adalah pendekatan perubahan
produktivitas (Productivity Change Approach) dan pendekatan biaya pengganti
(replacement cost apporach)
Menurut pendekatan perubahan produktivitas, biaya erosi tanah di lahan
usahatani sama/setara dengan nilai produktivitas yang hilang yang dinilai sesuai
dengan harga pasar. Dengan kata lain, perubahan produktivitas merupakan
perbedaan hasil panen antara lahan yang mempunyai tingkat erosi tinggi dan erosi
rendah (Barbier 1995). Magrath dan Arens (1989) menggunakan pendekatan
23
perubahan produktivitas untuk mengukur erosi tanah di Jawa, Indonesia. Studi
menunjukkan adanya penurunan produktivitas tahunan sebesar 1% yang setara
dengan Rp. 2.686 per hektar.
Fransisco (1998) menggunakan analisis regresi untuk mengukur hubungan
antara hasil panen dengan tingkat erosi tanah di Filipina. Hasil analisis pada
sistem pertanaman lorong dengan input rendah menunjukkan hasil panen jagung
menurun seiring dengan naiknya tingkat erosi tanah.
Metode pendugaan biaya erosi tanah di lahan usahatani dengan pendekatan
biaya pengganti (the Replacement Cost Approach) diilustrasikan dalam Gambar 3.
Pendekatan biaya pengganti adalah mengukur unsur hara tanah yang hilang
melalui erosi dan menghitung nilai unsur hara tanah yang hilang tersebut yang
ekuivalen dalam penggunaan pupuk. Dalam metode pendekatan biaya pengganti,
semua pengeluaran untuk keperluan pengganti sumberdaya lingkungan, jasa atau
aset yang hilang diidentifikasi. Biaya pengganti aset produktivitas, kerusakan
akibat kualitas lingkungan yang rendah atau akibat praktek pengelolaan pertanian
yang salah dapat dianggap sebagai suatu pendekatan manfaat dari program
perlindungan atau perbaikan aset lingkungan (Hufschmidt et al. 1996). Metode ini
kadang-kadang juga dipakai dalam metode penilaian sumberdaya yang
berhubungan dengan perkiraan biaya pengganti relatif.
Melalui pendekatan biaya pengganti untuk menghitung biaya erosi tanah
on-site, kesuburan tanah diperlakukan sebagai input dalam produksi tanaman.
Tanah diasumsikan akan digunakan secara optimal oleh petani. Karena itu,
kontribusi unsur hara tanah terhadap produksi (seperti nilai marginal produk dari
produksi tanaman) sama dengan atau setara dengan harga unsur hara tanah
(Gambar 3). Akibat erosi, total unsur hara tanah yang digunakan , X1, lebih besar
dari jumlah unsur hara yang secara efektif digunakan tanaman untuk produksi
biomasnya, X0. Perbedaan dari X1-X0 digambarkan sebagai erosi tanah.
24
Harga
(Rp)
b
a
A
e
Nilai produk marjinal
Pi
B
0
X0
X1
Tingkat penggunaan input
Gambar 3. Mengukur biaya erosi tanah di lokasi (on-site) dengan
pendekatan biaya pengganti (Barbier 1995)
Untuk mengevaluasi biaya erosi tanah dengan pendekatan biaya pengganti,
nilai dari jumlah kehilangan unsur hara yang dianggap sama dengan jumlah
penggunaan pupuk digunakan untuk menduga nilai unsur hara yang hilang dari
tanah. Pada harga pupuk Pi, biaya kehilangan unsur hara melalui erosi tanah
diukur melalui area B, atau Pi (X1-X0). Seluruh kehilangan nilai bersih output
berhubungan dengan pengurangan unsur hara tanah (A+B). Dalam pendekatan ini,
area B dijadikan sebagai suatu perkiraan total kehilangan petani (A+B) akibat
erosi tanah. Semakin tinggi input yang digunakan maka nilai produk marginal
semakin kecil.
Degradasi Lahan
Istilah lahan kritis sering digunakan oleh berbagai Instansi, namun dalam
konteks atau pemahaman yang tidak selalu sama. Hal tersebut antara lain karena
penilaian terhadap kekritisan lahan berbeda-beda sesuai dengan tujuan kajian atau
pandangannya pada fungsi lahan tersebut. Menurut BPS (1992), luas lahan kritis
25
di Indonesia mencapai 6,8 juta ha, dimana sekitar 72% (4,9 juta ha) berada di luar
kawasan hutan. Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (1993),
menyatakan luas lahan kritis di Indonesia mencapai 18,3 juta ha yang diantaranya
sekitar 59% termasuk semi kritis dan kritis. Sedangkan menurut Dirjen RLPS,
Departemen Kehutanan luas lahan kritis di Indonesia telah mencapai lebih dari 35
juta ha, dimana luas lahan yang kritis dan sangat kritis sudah mencapai lebih dari
2 juta ha dan luas lahan agak kritis dan potensial kritis sudah mencapai lebih dari
30 juta ha. Untuk Jawa Tengah luas lahan kritis ada 1.000.354 ha, berada dalam
kawasan hutan seluas 67.010 ha dan diluar kawasan hutan seluas 933.344 ha
(Sinukaban 2003).
Sampai saat ini definisi dan kriteria lahan kritis di Indonesia masih
beragam, kondisi ini menyebabkan hasil-hasil penelitian mengenai lahan kritis
memberikan informasi yang berbeda, seperti luasan, penyebaran, dan teknik
penanggulangannya. Oleh karena itu perlu dibuat istilah, parameter, dan kriteria
yang dapat diterima dan diaplikasikan secara nasional. Salah satu alternatif istilah
untuk itu adalah lahan terdegradasi (Irawan et al. 2002).
Menurut Irawan et al. (2002), lahan terdegradasi adalah lahan yang
mengalami kemunduran kualitasnya, baik fisik, kimia maupun biologi, sehingga
produktivitasnya menurun dan berada pada tingkat kekritisan tertentu. Hal ini
sesuai dengan definisi degradasi lahan, yakni suatu proses kemunduran kualitas
atau produktivitas lahan menjadi lebih rendah, baik bersifat sementara maupun
permanen, sehingga pada akhirnya lahan tersebut berada pada tingkat kekritisan
tertentu (Dent 1993). Dengan demikian lahan terdegradasi atau lahan yang telah
mengalami kemunduran kualitasnya belum tentu kritis, misalnya kualitas
sumberdaya lahan masih baik dan tingkat degradasinya tergolong ringan.
Menurut Sinukaban (2003), proses degradasi lahan yang sering
mengakibatkan suatu lahan menjadi kritis adalah erosi oleh air maupun angin,
proses
penggurunan
(disertification),
pemasaman
tanah
(acidification),
penggaraman (salinisation), penggenangan (waterlogging), penurunan permukaan
tanah organik (peatsubsidence), dan penurunan permukaan air bawah tanah (over
drainage). Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi proses degradasi lahan
26
adalah iklim (hujan, temperatur), jenis tanah, topografi, vegetasi (tipe penggunaan
lahan, sistim pertanian), dan manusia (sosial, ekonomi, teknologi/agroteknologi).
Sitorus (2003) mendefinisikan degradasi tanah sebagai hilangnya atau
berkurangnya kegunaan (utility) atau potensi kegunaan tanah dan kehilangan
atau perubahan kenampakan (features) tanah yang tidak dapat diganti. Menurut
FAO (1993, diacu dalam Sitorus 2003), degradasi tanah adalah proses yang
menguraikan fenomena menurunnya kapasitas tanah untuk mendukung suatu
kehidupan.
Menurut Sitorus (2003), terdapat dua kategori degradasi tanah, yaitu
degradasi erosif dan degradasi non-erosif. Degradasi erosif berhubungan dengan
pemindahan bahan atau material tanah akibat erosi oleh kekuatan air dan angin.
Degradasi erosif menyebabkan : (a) hilangnya lapisan atas tanah (top soil) yang
sering disebut erosi permukaan atau erosi lembar; dan (b) perubahan bentuk
terrain (terrain deformation) yang disebabkan erosi parit atau erosi alur.
Sedangkan degradasi non-erosif merupakan kerusakan tanah (deteriorasi) insitu
yang merupakan proses degradasi kimia tanah atau fisika tanah. Degradasi kimia
diantaranya meliputi : (a) hilangnya unsur kimia atau bahan organik; (b)
salinisasi; (c) asidifikasi (acidification); dan (d) polusi. Degradasi fisika tanah,
meliputi : (a) pemadatan, pengerakan dan pengelakan (compaction, crusting and
sealing); (b) penjenuhan air (water logging); dan (c) penurunan permukaan
tanah (subsidence) tanah organik, yang disebabkan oleh perbaikan drainase dan
oksidasi bahan organik (Sitorus 2003).
Menurut pendekatan GLASOD (Global Assessment of Soil Degradation)
(ISRIC 1997), dikenal 5 jenis penyebab degradasi tanah, yaitu : (a) deforestrasi
(penebangan hutan), merupakan pembukaan lahan untuk keperluan pertanian,
pemukiman, dan perusahaan kehutanan komersial skala besar; (b) overgrazing,
tidak hanya menyebabkan degradasi vegetasi tetapi juga dapat mengakibatkan
pemadatan tanah dan erosi;
(c) aktivitas pertanian, yaitu meliputi berbagai
aktifitas pertanian seperti penggunaan pupuk yang tidak cukup atau berlebihan,
penggunaan air irigasi dengan kualitas jelek, penggunaan alat-alat berat yang
tidak tepat, dan tidak/kurang memadainya tindakan konservasi tanah;
(d)
eksploitasi vegetasi secara berlebihan untuk penggunaan domestik, misalnya
27
untuk kayu bakar dan bahan bangunan sehingga vegetasi yang tertinggal tidak
dapat memberikan perlindungan yang cukup terhadap erosi tanah; dan (e)
aktifitas industri, berhubungan langsung dengan polusi tanah.
Sinukaban (2003), menyatakan daerah tropika basah (humid tropic) seperti
Indonesia umumnya mempunyai hujan yang tinggi dengan erosivitas yang tinggi
juga serta temperatur yang relatif tinggi sepanjang tahun. Hal ini menyebabkan
proses degradasi lahan menjadi cepat, proses pencucian hara dikomposisi bahan
organik, dan mineral terjadi sangat cepat. Sesungguhnya ekosistem seperti ini,
apabila ditumbuhi oleh hutan alami dan tidak terganggu oleh manusia akan
mencapai suatu tingkat keseimbangan tertentu. Memang akan terjadi kerusakan
secara alami oleh bencana alam atau kejadian alam tertentu tetapi akan terjadi
juga pemulihan kembali (recovery) secara alami dengan kecepatan yang normal.
Namun apabila ekosistem hutan tersebut dirubah oleh manusia menjadi pertanian
maka proses degradasi lahan tersebut akan menjadi lebih cepat dan pemulihan
kembali secara alami menjadi lebih lambat. Hal inilah yang terjadi di Indonesia,
terlebih lagi dalam perubahan penggunaan lahan tersebut dilakukan dengan tidak
memegang prinsip pembangunan berkelanjutan, sehingga tidak mengindahkan
kaidah-kaidah konservasi.
Sitorus (2003), juga menyatakan untuk kasus Indonesia degradasi tanah
yang merupakan masalah serius yaitu terjadi terutama pada lahan pertanian di
lahan kering dataran tinggi (upland), lahan hutan, dan areal pertambangan.
Degradasi tanah di lahan kering dataran tinggi dicirikan oleh erosi yang tinggi,
penurunan bahan organik, pemadatan tanah, dan pengurasan/penurunan
kesuburan tanah. Permasalahan ini meningkat dengan tidak cukupnya tindakan
konservasi tanah dan ketidaktepatan pengelolaan lahan, dan secara tidak
langsung juga disebabkan adanya eksploitasi hutan secara berlebihan.
Secara umum bentuk degradasi lahan berupa hilangnya lapisan tanah
bagian atas, misalnya karena erosi (70%), perubahan topografi (13%),
kehilangan atau penurunan kesuburan tanah akibat terkurasnya hara tanah (7%),
penggaraman (4%), pemadatan tanah (3,5%), dan sisanya (2,5%) karena polusi,
pengolahan tanah yang terlalu intensif, hujan asam, dan penurunan permukaan
tanah (UN-Popin 1995).
Berdasarkan hal tersebut, Puslittanak (2002),
28
mengusulkan kriteria lahan tergedradasi dapat didekati dengan memperhatikan
faktor utama atau penyebab terbesar terjadinya proses degradasi lahan, yaitu
erosi dan teknik pengelolaan sumberdaya lahan.
Puslittanak (2002), mengusulkan parameter yang harus diperhatikan
untuk penetapan lahan terdegradasi pada ekosistem lahan kering beriklim basah
yaitu meliputi: penggunaan lahan/vegetasi/tutupan lahan, lereng, bahan induk
tanah, kenampakan erosi, solum tanah, dan manajemen teknik pengelolaan
lahan. Penetapan kriteria lahan terdegradasi diamati berdasarkan pada kondisi
sumberdaya alami (natural assessment) dan pengaruh kegiatan manusia
(antrophological assessment). Kondisi sumberdaya alami meliputi: bahan induk
tanah, curah hujan, bentuk wilayah/ kemiringan lereng, dan kedalaman
tanah/solum; sedangkan pengaruh kegiatan manusia, meliputi: jenis vegetasi,
penutupan vegetasi, dan penerapan teknik konservasi tanah dan air.
Degradasi lahan pada umumnya disebabkan proses erosi akibat tingginya
curah hujan dan pengelolaan pertanian yang kurang memperhatikan aspek
kelestarian lingkungan (Puslittanak 2002). Di wilayah Sub-DAS Progo Hulu,
kebiasaan teknik budidaya dalam usahatani berbasis tembakau kurang/tidak
mengindahkan kaidah konservasi, kondisi tersebut dilakukan pada kemiringan
yang curam serta curah hujan yang tinggi akibatnya telah menyebabkan terjadinya
erosi yang parah. Besarnya prediksi erosi yang terjadi pada wilayah Sub-DAS
Progo Hulu rata-rata sebesar 47,51 ton/ha/tahun; dimana untuk Sub-Sub-DAS
Kuas
sebesar
66,96
ton/ha/tahun,
Sub-Sub-DAS
Galeh
sebesar
53,02
ton/ha/tahun, Sub-Sub-DAS Progo Hulu sebesar 22,14, dan Sub-Sub-DAS Grabah
sebesar 66,90 ton/ha/tahun
1990).
(Proyek Pusat Pengembangan Pengelolaan DAS
Hasil penelitian petak erosi pada lahan usahatani berbasis tembakau
dengan kemiringan 62% besarnya erosi tercatat 53,72 ton/ha/tahun (Djajadi et al.
1994). Sedangkan pada lahan lincat (lahan dengan sifat tanah lengket pada waktu
basah dan mengeras pada waktu kering, apabila ditanami tembakau menyebabkan
kematian lebih 50%) besarnya erosi tercatat 30,22 ton/ha/tahun (Djajadi et al.
2002).
Erosi tanah pada lahan usahatani tembakau di wilayah Sub-DAS Progo
Hulu telah berlangsung cukup lama dan disinyalir telah menyebabkan terjadinya
29
degradasi lahan di wilayah tersebut, yang ditandai dengan hilangnya lapisan
tanah bagian atas dan menurunkan produktivitas lahan. Hasil penelitian Winarno
(1993), disimpulkan bahwa di daerah lereng timur gunung Sumbing usahatani
berbasis tembakau sebagian besar (42,9%) wilayahnya mempunyai kemampuan
lahan dalam kategori kelas IV (faktor pembatas erosi, kedalaman efektif, dan
drainase), kemudian dalam kategori kelas III seluas 37,1% (faktor pembatas
drainase dan kedalaman efektif), diikuti kategori kelas VI seluas 14,1% (faktor
pembatas erosi dan kemiringan lereng), kategori kelas VII seluas 3,4% (faktor
pembatas erosi dan kemiringan lereng), dan kategori kelas VIII seluas 2,3%
(faktor pembatas erosi dan singkapan batuan). Dengan tingkat produktivitas
lahan sebagian besar (49,4%) wilayahnya termasuk sedang, kemudian tingkat
produktivitas lahan rendah seluas 25,2%, tingkat produktivitas lahan sangat
rendah seluas 12,2%, dan tingkat produktivitas lahan tinggi seluas 11,2%. Dan
termasuk kedalam kelas kesesuaian lahan untuk tanaman tembakau dalam
kategori (tingkat) kelas cukup sesuai (S2), hampir sesuai (S3), dan tidak sesuai
secara permanen (N), dengan jenis pembatas pada subkelas yaitu meliputi :
kondisi perakaran, retensi hara, ketersediaan hara, dan medan. Menurut
GGWRM-EU (2004), saat ini Sub-DAS Progo Hulu memiliki lahan kritis dan
sangat kritis seluas 3.029 ha atau 12,9% dari luas wilayahnya; dimana meliputi
Sub-Sub DAS Galeh seluas 1.658 ha, Sub-Sub DAS Kuas seluas 912 ha, Sub-Sub
DAS Progo Hulu seluas 454 ha, dan Sub-Sub DAS Grabah seluas 5 ha.
Kemampuan Lahan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief,
hidrologi, dan vegetasi. Semua faktor tersebut mempengaruhi potensi lahan
disamping akibat kegiatan manusia baik pada masa lalu maupun sekarang
(Hardjowigeno & Widiatmaka 2001).
Evaluasi lahan merupakan suatu proses penilaian suatu lahan sehingga
sesuai dengan kondisinya pada penggunaan-penggunaan tertentu. Evaluasi lahan
terdiri dari evaluasi kuantitatif dan evaluasi kualitatif, tetapi evaluasi kualitatif
adalah langkah pertama dalam evaluasi lahan dengan melakukan klasifikasi lahan.
Tergantung pada tujuan evaluasi, klasifikasi lahan dapat berupa klasifikasi
30
kemampuan lahan atau klasifikasi kesesuaian lahan. Klasifikasi kemampuan lahan
digunakan untuk penggunaan pertanian secara umum yaitu untuk lahan pertanian,
padang pengembalaan (ternak), hutan dan cagar alam, sedangkan klasifikasi
kesesuaian lahan bersifat spesifik untuk suatu tanaman (crop specifik) atau untuk
penggunaan tertentu seperti: klasifikasi kesesuaian lahan untuk tanaman semusim,
klasifikasi kesesuaian lahan untuk tanaman tahunan, klasifikasi kesesuaian lahan
untuk irigasi, dan sebagainya.
Klasifikasi kemampuan lahan (land capability classification) adalah
penilaian
lahan
(komponen-komponen
lahan)
secara
sistematik
dan
pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang
merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari (Arsyad
2006).
Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak digunakan adalah sistem
USDA (United States Departement of Agriculture) yang dikemukakan oleh
Klingebiel dan Montgomery (1973, diacu dalam Arsyad 2006 dan Hardjowigeno
& Widiatmaka 2001). Menurut sistem ini lahan dikelompokkan ke dalam tiga
kategori yaitu kelas, sub-kelas, dan satuan pengelolaan (manegement unit).
Penggolongan ke dalam kelas, sub-kelas dan unit didasarkan atas kemampuan
lahan tersebut untuk memproduksi pertanian secara umum, tanpa menimbulkan
kerusakan dalam jangka panjang. Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas
intensitas faktor penghambat. Jadi kelas kemampuan adalah kelompok unit lahan
yang memiliki tingkat pembatas atau penghambat yang sama jika digunakan
untuk pertanian yang umum. Tanah dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang
ditandai dengan huruf Romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau
hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai kelas VIII, seperti terlihat
pada Gambar 4.
Dalam tingkat kelas, kemampuan lahan menunjukkan kesamaan besarnya
faktor-faktor penghambat. Tanah dikelompokkan ke dalam kelas I sampai kelas
VIII, dimana semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin jelek berarti
resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dan pilihan
penggunaan lahan yang dapat diterapkan semakin terbatas. Tanah kelas I sampai
IV merupakan lahan yang sesuai untuk usaha pertanian, sedangkan kelas V
31
sampai VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian atau diperlukan biaya yang sangat
tinggi untuk pengelolaannya (Hardjowigeno & Widiatmaka 2001).
HAMBATAN/ANCAMAN MENINGKAT,
KESESUAIAN DAN PILIHAN
PENGGUNAAN BERKURANG
GARAPAN SANGAT
INTENSIF
GARAPAN INTENSIF
GARAPAN SEDANG
GARAPAN
TERBATAS
PENGEMBALAAN
INTENSIP
PENGEMBALAAN
SEDANG
PENGEMBALAAN
TERBATAS
HUTAN PRODUKSI
TERBATAS
KELAS
KEMAMPUAN
LAHAN
CAGAR ALAM/
HUTAN LINDUNG
INTENSITAS DAN PILIHAN PENGGUNAAN
MENINGKAT
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
Gambar 4.
Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan
intensitas dan macam penggunaan lahan (Klingebiel dan
Montgomery 1973, diacu dalam Arsyad 2006)
Faktor penghambat atau ancaman kerusakan meningkat dari kelas I sampai
kelas VIII. Lahan kelas I merupakan lahan yang paling tinggi kemampuannya
dan mempunyai paling banyak alternatif kemungkinan penggunaannya, seperti
untuk pertanian intensif. Sedangkan lahan kelas VIII merupakan lahan yang
paling rendah kemampuannya dengan kemungkinan penggunaan paling terbatas,
misalnya hanya cocok untuk hutan lindung atau cagar alam. Tanah pada kelas I
sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk
berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya
(tanaman semusim dan tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput
32
dan hutan. Tanah pada kelas V, VI dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman
pohon-pohon atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal tanah kelas V dan VI dapat
menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti
buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungaan dan bahkan jenis sayuran bernilai
tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah
dalam lahan kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad 2006).
Usahatani Tembakau Di Lahan Kering Kabupaten Tembakau
Berlainan dengan lahan sawah dataran rendah, agroekologi lahan kering
sangat beragam, karena elevasi dan jenis tanah yang berbeda, relatif peka erosi,
adopsi teknologi rendah, dan ketersediaan modal kecil (Manwan et al. 1988).
Notohadiprawiro (1988), menyarankan pengertian lahan kering adalah lahan
tadah hujan (rainfed) yang dapat diusahakan secara sawah (lowland,wetland) atau
secara tegal atau ladang (upland). Lahan kering pada umumnya berupa lahan
atasan, kriteria yang membedakan lahan kering adalah sumber air. Sumber air
bagi lahan kering adalah air hujan, sedangkan bagi lahan basah disamping air
hujan juga dari sumber air irigasi. Menurut Kurnia et al. (2000), lahan kering
didefinisikan sebagai hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi
dalam penggunaannya sepanjang tahun.
Kendala utama yang dihadapi dalam pengelolaan lahan kering adalah
cepatnya penurunan produktivitas tanah. Pada tanah yang bervegetasi hutan asli,
unsur hara terpelihara dalam daur tertutup, sehingga sangat sedikit terjadi
kehilangan unsur hara. Kehilangan hara lewat pencucian ke bawah akan
diimbangi penyerapan oleh akar tanaman ke atas, selanjutnya daur tanaman akan
kembali ke permukaan tanah (William & Joseph 1970).
Sistem usahatani di lahan kering belum banyak dipahami secara mendalam,
biasanya terletak di DAS bagian hulu dan tengah. Kendala lingkungan dan kondisi
sosial-ekonomi petani, serta keterbatasan sentuhan teknologi konservasi yang
sesuai menyebabkan kualitas dan produktivitas dari sistem usahatani yang ada
masih sangat terbatas.
Pada umumnya usahatani lahan kering yang dilakukan petani hanya untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Oleh karenanya pemilihan jenis
33
tanaman yang diusahakan masih berorientasi pada jenis komoditas subsistens,
seperti padi gogo, jagung, kacang tanah, dan ubi kayu. Sistem usahatani yang
demikian, disadari maupun tidak akan mempercepat terbentuknya lahan kritis dan
marginal. Sebagian besar lahan marginal dikelola oleh petani miskin, yang tidak
mampu melaksanakan upaya-upaya konservasi, sehingga makin lama kondisinya
makin memburuk. Lahan tersebut pada umumnya terdapat di wilayah desa
tertinggal, dan hasil pertaniannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
penggarap bersama keluarganya (Karama & Abdurrachman 1995).
Problematika petani miskin yang semakin terdesak menggunakan lahan
marginal akan menyebabkan petani dan lahan terjebak dalam lingkaran yang
saling memiskinkan. Petani miskin di lahan yang miskin akan terus saling
memiskinkan apabila faktor-faktor penyebabnya tidak dibenahi (Sinukaban 1997).
Pemilihan skala prioritas mana yang harus ditanggulangi lebih dahulu apakah
kemiskinan atau kerusakan lingkungan menghadapkan pada pilihan yang sulit.
Pilihan yang sulit ini menyebabkan pemutusan siklus yang saling memiskinkan ini
haruslah dilakukan secara bersamaan antara pengendalian kerusakan lingkungan
dan pengentasan kemiskinan (Sinukaban & Sihite 1993).
Pada kondisi lahan yang telah terdegradasi berat tidak mudah untuk
ditingkatkan produktivitasnya, makin parah tingkat kekritisan lahan makin serius
gangguan
terhadap
lingkungan
dan
makin
sukar
untuk
meningkatkan
produktivitas lahannya. Lahan-lahan demikian harus direhabilitasi sesegera
mungkin dengan baik, sehingga tidak terancam erosi lagi dan produktivitas lahan
dapat ditingkatkan. Mengingat lahan kering marginal dan kritis tersebut sebagian
besar terletak di DAS bagian hulu dan tengah, maka pembangunan usahatani
konservasi di lahan kering tersebut bukan saja bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas lahan dan kesejahteraan penduduknya, tetapi fungsinya lebih jauh
lagi untuk menyelamatkan lingkungan hidup disekitarnya termasuk sampai daerah
hilir.
Tanaman tembakau (Nicotiana tabacum L.) pertama kali masuk Indonesia
kira-kira tahun 1630, kemudian berkembang ke berbagai daerah di Indonesia.
Salah satunya di lereng gunung Sumbing dan gunung Sindoro Kabupaten
Temanggung, Jawa Tengah. Melalui proses adaptasi yang cukup lama, akhirnya
34
terbentuk populasi tembakau temanggung yang mempunyai sifat morfologi dan
fisiologi yang khas (Rochman & Suwarso 2000).
Tembakau temanggung sesuai ditanam di dataran tinggi 700 m d.p.l.
sampai dengan 1500 m d.p.l., curah hujan yang dibutuhkan antara 2.200-3.100
mm/tahun dengan 8-9 bulan basah dan 3-4 bulan kering. Daerah penanamannya
sampai saat ini masih terpusat di lereng gunung Sumbing dan gunung Sindoro
Kabupaten Temanggung (Basuki et al. 2000). Hasil survei Balittas melaporkan
bahwa penyebaran tembakau temanggung meluas sampai ke Kabupaten
Magelang, Wonosobo, dan Kendal, yang di kenal dengan sebutan tembakau
temanggungan (Balittas 1989).
Tembakau temanggung mempunyai ciri aromatis dengan kadar nikotin
tinggi (3-8%), merupakan ”lauk” untuk rokok kretek yang sulit dicari
penggantinya serta berperan sebagai pemberi rasa dan aroma, sehingga hampir
semua pabrik rokok kretek membutuhkan tembakau jenis ini. Di samping itu,
daun bawah tembakau temanggung diolah dalam bentuk kerosok sebagai
komoditas ekspor dengan nama tembakau kedu VO. Pada tahun 1994 volume
ekspor sebesar 192,7 ton dengan nilai 156,5 juta US$ dan pada tahun 1997
meningkat menjadi 390,5 ton dengan nilai 349,7 juta US$ (Mukani & Isdijoso
2000).
Usahatani tembakau temanggung menyumbang 70-80% terhadap total
pendapatan
petani,
karena
itu
upaya-upaya
untuk
meningkatkan
atau
mempertahankan hasil dan atau mutu akan besar pengaruhnya terhadap
peningkatan pendapatan petani (Balittas 1994, diacu dalam Rochman & Suwarso
2000). Sejak berkembangnya produksi rokok keretek di Indonesia, tembakau
temanggung rajangan merupakan salah satu tipe tembakau yang sangat
dibutuhkan oleh pabrik rokok sebagai bahan baku utama pembuatan rokok,
dengan komposisi antara 14-26% (Isdijoso et al. 1995).
Tembakau Temanggung merupakan bahan baku penting untuk rokok
kretek, karena berperan sebagai sumber pemberi rasa dan aroma yang khas.
Produktivitas yang dicapai petani rata-rata 0,441ton/ha dan luas areal 19.204 ha/th
(Dalmadiyo 1996) sehingga rata-rata produksi yang dicapai 8.468,96 ton/th,
sedangkan rata-rata kebutuhan tembakau Temanggung setiap tahun sekitar
35
16.530,99 ton (Azis 1995). Kekurangannya dipenuhi dengan tembakau dari luar
Temanggung walaupun kualitasnya lebih rendah, sebagian dipenuhi dari luar
Kabupaten
Temanggung terutama dari Kabupaten Magelang, Wonosobo dan
Kendal.
Kendala utama pada budidaya tembakau Temanggung adalah kemunduran
daya dukung lahan karena erosi dan meningkatnya intensitas beberapa serangan
penyakit yang disebabkan oleh nematoda Meloidogyne spp., bakteri Ralstonia
solanacearum, dan cendawan Phytophthora nicotianae (Murdiyati et al. 1991).
Lahan yang demikian ini lazim disebut “lahan lincat”.
Kultivar-kultivar lokal tembakau temanggung yang berkembang saat ini
adalah Kemloko, Gober dan Sitieng. Dari ketiga kultivar tersebut, Kemloko areal
penanamannya paling luas (Basuki et al. 2000).
Areal penanaman tembakau temanggung selama ini terus meningkat, hal
ini disebabkan karena peranannya sebagai pemberi rasa dan aroma rokok kretek
belum dapat digantikan oleh tembakau jenis lain. Pada tahun 1980-an, dengan
meningkatnya produksi rokok kretek rata-rata selama lima tahun (1985-1989)
sebesar 21% per tahun, telah menyebabkan kebutuhan akan tembakau
temanggung semakin meningkat (Balitttas 1990). Menurut Djajadi et al. (1992)
luas rata-rata penanaman tembakau temanggung sekitar 12.000 ha/tahun. Pada
tahun 1994-1998, luas penanaman tembakau temanggung sudah berkisar antara
17.227 – 21.064 ha/tahun (Isdijoso & Mukani 2000). Berdasarkan data selama
lima tahun (1994-1998) rata-rata areal tembakau seluas 19.461 ha atau 22,4 %
dari luas lahan Kabupaten Temanggung (87.065 ha), bahkan pada tahun 2001
areal tembakau mencapai 24.239 ha atau 27,8 % dari luas lahan yang ada.
Secara proporsional tembakau temanggung berkontribusi sekitar 14-18%
terhadap kebutuhan tembakau rokok kretek (Mastur 2003). Di antara komoditas
yang diusahakan petani, tembakau temanggung merupakan komoditas penting,
karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Keunggulan komparatif wilayah
Temanggung sebagai penghasil tembakau adalah pemberi rasa dan aroma rokok
kretek yang sulit dicari penggantinya. Dengan daya tarik di atas, sejak akhir
tahun tujuh puluhan, penanaman tembakau dilakukan terus menerus bahkan
36
bertambah sampai ke perbukitan dan daerah resapan air, akibatnya lereng
gunung Sumbing dan gunung Sindoro kini mengalami kerusakan.
Sistem Pertanian Berkelanjutan
Pertanian berkelanjutan merupakan salah satu pendekatan/implementasi
dari pembangunan berkelanjutan. Dalam
The Bruntland Commission Report
Tahun 1987 yang berjudul “Our Common Future” dijelaskan batasan atau
pengertian tentang pembangunan berkelanjutan, sebagai berikut : “Sustainable
Development is defined as development that meet the needs of the present without
compromising the ability of futuregenerations to meet their own needs”, artinya :
Pembangunan Berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat menjamin
terpenuhinya kebutuhan penduduk generasi sekarang tanpa mengorbankan
kemampuan generasi mendatang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (Mitchell
et al. 2010).
Dari
batasan/definisi
tersebut
diatas
dapat
dikemukakan
bahwa
pembangunan berkelanjutan mengandung tiga pengertian, yaitu : (1) memenuhi
kebutuhan penduduk saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan penduduk di masa
yang akan datang, (2) tidak melampaui daya dukung lingkungan (ekosistem), dan
(3) mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dengan menyelaraskan
manusia dan pembangunan dengan sumberdaya alam.
Menurut Munasinghe (1993), pembangunan berkelanjutan memiliki tiga
tujuan utama yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yaitu :
tujuan sosial (sosial objective), tujuan ekonomi (economic objective), dan tujuan
ekologi (ecological objective). Dengan demikian pembangunan berkelanjutan
adalah upaya mensinkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang sama
terhadap tiga aspek, yaitu : aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek
lingkungan hidup. Pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup harus
dipandang sebagai sesuatu yang terkait erat dan tidak boleh dipisahkan atau
dipertentangkan. Hal yang ingin dicapai dengan pembangunan berkelanjutan
adalah menggeser titik berat pembangunan dari hanya pembangunan ekonomi
menjadi pembangunan yang mencakup pembangunan sosial budaya dan
lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan bukanlah merupakan suatu
37
situasi harmoni yang tetap dan statis, akan tetapi merupakan suatu proses
perubahan dimana eksploitasi sumberdaya alam, arah investasi, orientasi
perkembangan teknologi dan perubahan kelembagaan konsisten dengan
kebutuhan pada saat ini dan kebutuhan dimasa mendatang. Dengan demikian
konsep pembangunan berkelanjutan merupakan upaya untuk mengintegrasikan
tiga aspek kehidupan, yaitu aspek ekonomi, sosial budaya, dan ekologi dalam
satu hubungan yang sinergis (Sitorus 2004).
Ada tiga komponen utama yang harus diperhatikan dalam upaya pertanian
berkelanjutan sehubungan dengan pembangunan berkelanjutan itu sendiri, yaitu
kegiatan pertanian harus menunjang terjadinya pertumbuhan ekonomi (economic
growth), meningkatkan kesejahteraan sosial (social walfare), dan memperhatikan
kelestarian lingkungan (environmenta integrity). Oleh karena itu implementasi
pertanian
berkelanjutan
harus
memperhatikan
ketahanan
lingkungan
(environmental resilience), serta memberikan dampak positif terhadap kehidupan
masyarakat dan lingkungan fisik; seperti kualitas dan kuantitas air yang semakin
baik, keanekaragaman hayati yang makin pulih, dan degradasi lahan yang makin
berkurang.
Menurut FAO (1995), pertanian berkelanjutan dan pembangunan pedesaan
didefinisikan sebagai pengelolaan sumberdaya alam yang konservatif dengan
orientasi teknologi dan perubahan institusi sebagai suatu cara untuk mencapai
hasil yang berkelanjutan dimana sumberdaya lahan, air, genetik tanaman dan
hewan terpelihara atau lingkungan tidak terdegradasi, teknologi yang tepat, dan
memberikan pendapatan yang tinggi secara terus menerus dan sesuai dengan
kondisi sosial budaya setempat.
Mubyarto dan Santosa (2003), menyatakan bahwa Pertanian (agriculture:
budaya bertani) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan
pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian/agrikultur adalah sebuah
cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar petani di Indonesia.
Oleh karena itu pembangunan sistem pertanian harus menempatkan subjek petani,
sebagai pelaku sektor pertanian secara utuh, tidak saja petani sebagai homo
economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo religius, dengan
mengkaitkan unsur-unsur nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola
38
hubungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma
pembangunan sistem pertanian.
Perencanaan Sistem Pertanian Konservasi
Tjokroamidjojo (1976, diacu dalam Arwindrasti 2006) menyatakan
bahwa secara umum perencanaan sering dipergunakan sebagai suatu alat atau
cara untuk mencapai tujuan dengan lebih baik. Akan tetapi, alasan yang lebih
kuat untuk melakukan perencanaan adalah : (1) diharapkan terdapatnya suatu
pengarahan kegiatan atau adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan
yang
ditujukan
kepada
pencapaian
tujuan
pembangunan,
(2)
dengan
perencanaan maka dapat dilakukan suatu perkiraan (forecasting) terhadap halhal yang mungkin terjadi dalam masa pelaksanaan yang akan dilalui, dan (3)
perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih berbagai alternatif tentang
cara yang terbaik atau kesempatan untuk memilih kombinasi cara yang terbaik.
Hicks (1987, diacu dalam Arwindrasti 2006), menyatakan bahwa
perencanaan adalah memilih dan menghubungkan fakta dan memuat serta
menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang akan datang dengan jalan
menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk
mencapai hasil-hasil yang diinginkan. Menurut Lassey (1977, diacu dalam
Arwindrasti 2006), perencanaan sangat ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi
dan sistem ekologi yang berlangsung pada wilayah yang direncanakan.
Perencanaan diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa
merusak penyangga kehidupan atau lingkungannya.
Perencanaan pertanian konservasi terletak pada sejauhmana keberhasilan
upaya-upaya peningkatan produktivitas lahan disertai dengan kegiatan
konservasi tanah.
Pemahaman terhadap aspek ini penting dalam rangka
meningkatkan keberhasilan pertanian konservasi
yaitu selain meningkatkan
pendapatan, juga diarahkan untuk perbaikan lahan dan pengendalian erosi
dengan menerapkan teknik-teknik konservasi tanah.
Secara konsepsional pertanian konservasi adalah suatu usaha pertanian
menetap dengan menerapkan intensifikasi pertanian disertai penerapam teknik
konservasi tanah, dan merupakan pertanian yang tangguh serta mempunyai
39
landasan yang kuat dengan pandangan ke masa depan. Pertanian konservasi ini
menggunakan tanah secara efisien dalam jangka waktu yang tidak terbatas.
Menurut Arsyad (2006), usaha konservasi tanah ditujukan untuk : (1) mencegah
kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3)
memelihara dan meningkatkan produktivitas tanah agar dapat digunakan untuk
waktu yang tidak terbatas.
Dengan demikian konsep pertanian konservasi
adalah menyesuaikan penggunaan tanah sesuai dengan kemampuan daya
dukungnya, dan memberikan perlakuan serta penggunaan teknologi yang sesuai
dengan syarat-syarat yang diperlukan, sehingga tanah tersebut dapat digunakan
secara terus menerus tanpa mengurangi produktivitasnya. Menurut Direktorat
Konservasi Tanah (1993), tinjauan pertanian konservasi terletak pada perbaikan
sistem usahatani untuk meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani
sekaligus perbaikan dan pemeliharaan kesuburan tanah melalui usaha-usaha
konservasi tanah, sehingga tanah tersebut dapat digunakan secara terus menerus
tanpa mengurangi produktivitasnya.
Esensi usahatani konservasi menurut
Gliesman (1990) adalah untuk meningkatkan produktivitas lahan atau
pendapatan petani dan mengendalikan erosi. Secara operasional hal ini dapat
diwujudkan dengan penerapan Sistim Pertanian Konservasi (Conservation
Farming System) (Sinukaban 2007).
Menurut Sinukaban (2007), Sistem Pertanian Konservasi (SPK) adalah
sistim pertanian yang mengintegrasikan tindakan/teknik konservasi tanah dan air
ke dalam sistim pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan
pendapatan petani, meningkatkan kesejahteraan petani dan sekaligus menekan
erosi sehingga sistim pertanian tersebut dapat berlanjut secara terus menerus tanpa
batas waktu (sustainable). Jadi tujuan utama pertanian konservasi bukan
menerapkan tindakan/teknik konservasi tanah dan air saja tetapi juga untuk
meningkatkan kesejahteraan petani dan mempertahankan pertanian yang lestari.
Oleh sebab itu dalam SPK akan diwujudkan ciri-ciri sebagai berikut: (1) Produksi
pertanian cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya; (2)
Pendapatan petani yang cukup tinggi, sehingga petani dapat mendisain masa
depan keluarganya dari pendapatan usahataninya; (3) Teknologi yang diterapkan
baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi adalah teknologi yang dapat
40
diterapkan sesuai dengan kemampuan petani dan diterima oleh petani dengan
senang hati sehingga sistim pertanian tersebut dapat dan akan diteruskan oleh
petani dengan kemampuannya secara terus menerus tanpa bantuan dari luar; (4)
Komoditi pertanian yang diusahakan sangat beragam dan sesuai dengan kondisi
biofisik daerah, dapat diterima oleh petani dan laku di pasar; (5) Laju erosi kecil
(minimal), lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan, sehingga produktivitas
yang cukup tinggi tetap dapat dipertahankan/ditingkatkan secara lestari dan fungsi
hidrologis daerah terpelihara dengan baik sehingga tidak terjadi banjir di musim
hujan dan kekeringan di musim kemarau; serta (6) Sistem penguasaan/pemilikan
lahan dapat menjamin keamanan invesati jangka panjang (longterm Investment
Security) dan menggairahkan petani untuk terus berusaha tani.
Agar ciri diatas terwujud, maka dalam SPK itu harus diterapkan kaidahkaidah konservasi tanah dan air yang menempatkan setiap bidang tanah itu dalam
penggunaan yang sesuai dengan kemampuannya dan memperlakukannya sesuai
dengan syarat-syarat yang diperlukan untuk itu. Oleh sebab itu di dalam SPK akan
diintegrasikan tindakan konservasi tanah dan air yang sesuai dan memadai ke
dalam sistim pertanian yang cocok untuk setiap daerah yang dapat diterima dan
dilaksanakan oleh masyarakat setempat.
Ciri di atas menunjukkan bahwa SPK itu adalah sistim pertanian yang
khas kondisi setempat (site specific). Hal ini berarti bahwa SPK itu harus sesuai
dengan kondisi setempat; SPK yang cocok di suatu tempat, belum tentu cocok di
tempat lain. Dengan perkataan lain, SPK yang dapat berkelanjutan di suatu tempat
tidak dapat dipaksakan di tempat lain kalau memang tidak sesuai. Oleh sebab itu
menurut Sinukaban (2007), untuk membangun suatu SPK atau menyempurnakan
sistim pertanian yang sedang berjalan menjadi SPK langkah-langkah berikut harus
dilakukan: (1) Inventarisasi keadaan biofisik daerah seperti: tanah (sifat fisik dan
kimia), drainase, penggunaan lahan, topografi, iklim, dan degradasi lahan. Data
ini akan diperlukan untuk menentukan kelas kemampuan lahan/kesesuaian lahan
untuk tanaman tertentu, agroteknologi yang diperlukan, teknik konservasi yang
cocok dan memadai, serta tingkat kerusakan tanah yang sudah terjadi;
(2)
Inventarisasi keadaan sosial ekonomi petani seperti besarnya keluarga,
pendidikan, keadaan ekonomi, tujuan keluarga, pemilikan lahan, pengetahuan
41
tentang teknologi pertanian, persepsi tentang erosi dan sebagainya; serta (3)
Inventarisasi pengaruh luar seperti pasar/pemasaran hasil, harga-harga hasil
pertanian, keadaan/jarak ke tempat pemasaran, perangkat penyuluhan/latihan,
koperasi, organisasi kemasyarakatan yang berkaitan dengan petani, dan lainnya.
Simulasi Model Dinamis
Model adalah abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya
(Hall & Day 1977; Suratmo 2002), atau gambaran abstrak tentang suatu sistem,
dimana hubungan antara peubah-peubah dalam sistem digambarkan sebagai
hubungan sebab akibat (Mize & Cok 1968, diacu dalam Darsiharjo 2004).
Menurut Muhammadi et al. (2001), model adalah suatu bentuk yang
dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikelompokkan
menjadi model kuantitatif, kualitatif, dan model ikonik. Model kuantitatif adalah
model yang berbentuk rumus-rumus matematik, statistik, atau komputer. Model
kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram, atau matriks, yang
menyatakan hubungan antar unsur.
Dalam model kualitatif tidak digunakan
rumus-rumus matematik, statistik, atau komputer. Model ikonik adalah model
yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan, meskipun
skalanya dapat diperbesar atau diperkecil. Dengan model ikonik tersebut dapat
diadakan percobaan untuk mengetahui perilaku gejala atau proses yang ditirukan.
Model yang baik dan benar adalah model yang mengandung atribut fungsional
yang penting dari sistem yang sebenarnya.
Sistem adalah seperangkat elemen yang saling berinteraksi, membentuk
kegiatan atau suatu prosedur yang mencari pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan
bersama (Turban 1993; Simatupang 1994; Eriyatno 2003). Syarat awal untuk
memulai berpikir sistemik adalah adanya kesadaran untuk mengapresiasikan dan
memikirkan suatu kejadian sebagai sebuah sistem (systemic approach). Kejadian
apapun baik fisik maupun non fisik, dipikirkan sebagai unjuk kerja atau dapat
berkaitan dengan unjuk kerja dari keseluruhan interaksi antar unsur sistem
tersebut dalam batas lingkungan tertentu.
Menurut Eriyatno (2003) yang dimaksud dengan pendekatan sistem adalah
merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan melakukan
42
identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat
menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif.
Multidimensi
adalah salah satu prinsip terpenting cara berpikir secara sistemik (Gharajedaghi
1999).
Dengan mempertimbangkan berbagai kendala, Eriyatno (2003)
menyimpulkan ada tiga karakteristik dalam pendekatan sistem yaitu kompleks,
dinamis, dan probabilistik.
Pembuatan model berdasarkan konsep berpikir sistem dimulai dengan
suatu model mental, kemudian dijabarkan dalam suatu kerangka konsep,
pembuatan diagram simpal kausal, pembuatan diagram alir, simulasi model untuk
melihat perilaku, dan akhirnya uji sensitivitas serta analisis kebijaksanaan
(Muhammadi et al. 2001).
Suatu model dinamik adalah kumpulan dari variabel-variabel yang saling
mempengaruhi antara satu dengan lainnya dalam suatu kurun waktu (Muhammadi
et al. 2001). Setiap variabel berkorespondensi dengan suatu besaran yang nyata
atau besaran yang dibuat sendiri. Semua variabel tersebut memiliki nilai numerik
dan sudah merupakan bagian dari dirinya. Menurut Bapedal dan LP-ITB (1998),
model metode sistem dinamik erat hubungannya dengan pertanyaan-pertanyaan
tentang tendensi dinamik sistem komplek, yaitu pola-pola tingkah laku yang
dibangkitkan sistem itu dengan bertambahnya waktu. Pemodelan metode sistem
dinamik erat hubungannya dengan kecenderungan-kecenderungan dinamis sistem
yang komplek, berbeda dengan metode ekonometrik yaitu tidak didominasi oleh
penggunaan data historis (time series data), melainkan melalui pengembangan
asumsi-asumsi tentang struktur sistem.
Model sistem dinamis merupakan salah satu pendekatan permodelan
terutama dalam hal pemahaman tentang bagaimana dan mengapa gejala dinamik
suatu sistem terjadi. Untuk mengetahui perilaku dinamisnya, model yang telah
dibangun harus disimulasikan, maka diperlukan penggunaan komputer untuk
mengadakan simulasi (PPE LP-ITB 1996). Simulasi adalah peniruan perilaku
suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses
tersebut, membuat analisis dan membuat peramalan perilaku gejala atau proses
tersebut di masa depan.
Tahap-tahap simulasi adalah penyusunan konsep,
pembuatan model, simulasi, dan validasi hasil simulasi (Muhammadi et al. 2001).
43
Menurut Djojomartono (1993), dalam membangun model simulasi
komputer terdapat enam tahap yang saling berhubungan yang harus diperhatikan,
yaitu : (1) identifikasi dan definisi sistem; (2) konseptualisasi sistem; (3)
formulasi model; (4) simulasi model; (5) evaluasi model; dan (6) penggunaan
model dan analisis kebijakan.
Hasil-Hasil Penelitian Pada Usahatani Lahan Kering Berbasis Tembakau di
Kabupaten Temanggung
Kondisi topografi lahan untuk usahatani berbasis tembakau di Kabupaten
Temanggung adalah datar, bergelombang sampai berbukit. Dan sebagian besar
areal usahatani tembakau berupa lahan kering (lahan tegal) yaitu sekitar 75%
(Djajadi et al. 1994) atau 53-60% (Dinas Perkebunan Dati II Temanggung 1998,
diacu dalam Isdijoso & Mukani 2000), dan sisanya lahan sawah.
Daerah
bertopografi datar didominasi oleh lahan sawah dengan ketinggian tempat 500700 m d.p.l., sedang daerah bergelombang dan berbukit berupa lahan tegal dengan
ketinggian 700-1500 m d.p.l.
Lahan-lahan tegal tersebut sebagian besar
mempunyai kemiringan lereng lebih 30% (Djajadi 2000).
Ditinjau dari mutu tembakau yang dihasilkan, semakin tinggi tempat
penanaman akan semakin tinggi mutu tembakau yang dihasilkan. Secara umum
mutu tembakau lahan tegal lebih tinggi dari tembakau lahan sawah, pada lahan
tegal akan dihasilkan tipe tembakau rajangan hitam yang memperoleh harga lebih
tinggi, sedangkan pada lahan sawah akan dihasilkan tipe tembakau rajangan
kuning dengan harga yang lebih rendah (Mukani et al. 1995). Menurut Rachman
dan Djajadi (1999; Isdijoso & Mukani 2000) melaporkan bahwa mutu tertinggi
tembakau yang dihasilkan dari lahan sawah adalah mutu tengah (mutu D dan E),
sedangkan untuk lahan tegal yang berada diatas ketinggian 1100 m dpl dapat
menghasilkan mutu tertinggi (mutu G, H dan I) yang disebut mutu srintil. Oleh
karena itu areal penanaman tembakau terus berkembang pada daerah-daerah
dengan ketinggian lebih dari 1000 m d.p.l., yang berupa lahan kering dengan
kemiringan lebih 30%.
Berdasarkan peta tingkat bahaya erosi, dapat dikriteriakan bahwa empat
sentra penanaman tembakau (Lamuk, Lamsi, Paksi, dan Toalo) termasuk daerah
44
dengan tingkat bahaya erosi yang berat sampai sangat berat (Fak. Geografi UGM
dan Sub-BRLKT Opak-Progo 1987, diacu dalam Djajadi 2000). Hal ini dapat
dimengerti karena lahan daerah usahatani tembakau tersebut mempunyai
kemiringan lebih dari 30% dan curah hujan sebesar 2.400 mm/tahun. Lahanlahan demikian seharusnya sudah diperuntukkan tanaman tahunan, yang berfungsi
sebagai daerah perlindungan hidrologis (Djajadi 2000).
Besarnya prediksi erosi yang terjadi pada lahan usahatani tembakau di
Sub-DAS Progo Hulu rata-rata sebesar 47,51 ton/ha/tahun (Proyek Pusat
Pengembangan Pengelolaan DAS 1990). Besarnya erosi pada lahan dengan
kemiringan 62% tercatat 53,72 ton/ha/tahun (Djajadi et al. 1994).
Percobaan penelitian upaya konservasi lahan pada usahatani lahan kering
berbasis tembakau di Temanggung yang telah dilakukan, diantaranya percobaan
plot erosi (22 m x 4 m) di Desa Glapansari, Kec. Parakan, Kabupaten
Temanggung pada ketinggian tempat 900 m dpl
pada musim tanam tahun
1991/1992 (Dajajadi et al. 1994), disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Erosi yang terjadi pada berbagai teknik konservasi di lahan usahatani
berbasis tembakau
Perlakuan Teknik Konservasi
Kontrol (sesuai pola petani)
Teras bangku + Rumput Setaria + Flemingia
Teras gulud + Rumput Setaria + Flemingea
Rorak
Th. 1991/1992 (Nop-Agt)
Erosi
PE
(ton/ha/th)*)
(%)
53,72 b
9,61 a
82,1
16,48 a
69,3
16,50 a
69,3
Sumber : Djajadi et al. 1994
Keterangan :
*)
: angka dalam kolom yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata uji BNT 5%.
PE : penurunan erosi dibandingkan kontrol (%)
Hasil pada Tabel 1, menunjukkan bahwa perlakuan teras bangku dengan
rumput setaria dan flemingia dapat menurunkan tingkat erosi sebesar 82,1%
dibandingkan perlakuan petani (kontrol), diikuti perlakuan rorak dapat
menurunkan erosi sebesar 69,3% dibandingkan kontrol, dan perlakuan teras
gulud dengan rumput setaria dan flemingea dapat menurunkan erosi 69,3%.
45
Tabel 2. Kadar unsur hara dalam tanah yang terangkut erosi pada berbagai
teknik konservasi di lahan usahatani berbasis tembakau
Perlakuan
Kontrol (sesuai pola petani)
Teras bangku + Rumput
Setaria + Flemingia
Teras gulud + Rumput Setaria
+ Flemingea
Rorak
C-org
(%)*)
BO
(%)*)
N-total
(%)*)
P
K
(mg/kg)*)
(me/100
g)*)
1,40 c
1,10 a
2,41 b
1,90 a
0,13 a
0,13 a
5,67 a
4,67 a
1,15 b
0,85 a
1,22 b
2,22 b
0,13 a
7,13 a
0,88a
1,31 bc
2,27 b
0,14 a
6,67 a
0,87 a
Sumber : Djajadi et al. 1994
Keterangan : *) : angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf sama tidak
berbeda nyata pada uji BNT 5%.
Pada Tabel 2, memperlihatkan bahwa ketiga perlakuan teknik konservasi
tersebut secara nyata menurunkan kadar C-organik dan bahan organik, serta
kadar K yang terangkut pada tanah yang tererosi.
Download