PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara tropis di dunia menyimpan sejuta keindahan alam dengan tingkat kelembaban udara yang cukup tinggi yang menjadi pemicu berkembang biaknya nyamuk seperti nyamuk Aedes Aegypti dan jenis lainnya. Musim panas/kemarau dan musim hujan yang datang bergantian menjadi salah satu penyebab suburnya perkembangbiakan nyamuk terutama pada musim hujan. Nyamuk bagi masyarakat Indonesia adalah serangga yang selalu ada dalam kehidupan sehari-hari. Gigitan nyamuk yang dapat menimbulkan rasa gatal mendorong manusia untuk memberantas nyamuk dewasa dan menghindarkan diri dari gigitannya. Manusia biasanya melakukan upaya pemberantasan nyamuk seperti melakukan penyemprotan dengan obat nyamuk maupun dengan obat nyamuk bakar, bahkan ada upaya dari masyarakat khususnya produsen obat dengan menciptakan obat penolak nyamuk dalam bentuk cair yang dapat dioleskan ke tangan dan kaki. Upaya pemberantasan nyamuk oleh masyarakat seharusnya tidak hanya pada nyamuk dewasa saja tetapi juga pada jentik-jentik nyamuk. Jentik-jentik nyamuk yang berkembang biak secara subur di sekeliling rumah merupakan salah satu akibat dari rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang kesehatan dan sanitasi. Banyak dari masyarakat yang tidak menyadari bahwa kaleng-kaleng bekas, ban bekas, vas bunga, talang air yang tidak berfungsi dengan baik, tempat penampungan air di lemari pendingin (kulkas dan dispenser) dapat menjadi tempat berkembangbiaknya jentik-jentik nyamuk. Dampak berkembangbiaknya jentik-jentik nyamuk menjadi nyamuk dewasa terutama nyamuk jenis Aedes-aegypti menyebabkan berjangkitnya penyakit demam berdarah, yang menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit demam berdarah, sebab baik virus penyebab maupun nyamuk penularnya sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum di seluruh Indonesia. Penyakit menular demam berdarah sejak lima dasawarsa terakhir ini telah menjadi momok yang menakutkan bagi negara-negara di daerah tropis. Hingga 2 Maret 2006, menurut Departemen Kesehatan angka kasus demam berdarah secara nasional mencapai 10.135 penderita dalam kurun waktu dua bulan terakhir. Dari total jumlah kasus yang ada, 88 korban diantaranya meninggal dunia karena terlambat mendapat penanganan medis. Kasus demam berdarah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun 2004, dari Januari hingga Mei, kejadian luar biasa (KLB) nasional terjadi di 16 provinsi, diantaranya Nanggroe Aceh Darussalam, dan seluruh provinsi di Pulau Jawa, terjadi 59.000 kasus dan 689 orang meninggal. Sementara sepanjang tahun 2005, terjadi kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah dengan pola berbeda dibandingkan dengan tahun 2004, yakni terjadi tiga puncak peningkatan kasus di bulan Januari sampai Maret, Agustus dan Desember. Peningkatan kasus ini terjadi di sepuluh provinsi, antara lain DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, bali, dan Sulawesi Selatan. Berjangkitnya virus demam berdarah sangat dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32 derajat Celcius), sementara kelembaban tinggi, nyamuk Aedes mampu bertahan hidup dalam jangka waktu lama. Demam berdarah hanya ditularkan melalui nyamuk (Aedes-aegypti) yang berkembang biak didalam genangan air jernih di dalam maupun di sekitar rumah, bukan di got/comberan. Membunuh nyamuknya saja belumlah cukup selama jentik-jentiknya masih dibiarkan Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus demam berdarah sangat bermacam-macam, yaitu: pemukiman yang padat, urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali, tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan peningkatan sarana transportasi. Pemerintah berusaha untuk menyampaikan pesan tentang pemberantasan sarang nyamuk guna mencegah perkembangbiakan jentik-jentik nyamuk terutama nyamuk penyebab demam berdarah (Aedes Aegypti). Kampanye penanggulangan wabah demam berdarah sebagai salah satu usaha untuk penanggulangan penyakit demam berdarah telah banyak direkomendasikan dan dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Media yang dapat dipergunakan untuk kampanye penanggulangan wabah demam berdarah dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) meliputi media cetak dan elektronika. Kampanye ini dilakukan secara terus menerus dalam upaya untuk mengingatkan masyarakat dan meningkatkan pengetahuan masyarakat akan bahaya demam berdarah sehingga dapat merubah perilaku masyarakat menjadi peduli terhadap usaha pembarantasan sarang nyamuk. Hal ini dikarenakan kasus yang sama selalu terjadi setiap tahunnya terutama pada musim penghujan. Pesan-pesan kesehatan yang disampaikan oleh pemerintah dalam upaya pemberantasan jentik nyamuk dan nyamuk dewasa adalah melalui 3 M (menguras, menutup, dan mengubur), pemberian bubuk abate, pengasapan, serta cara lainnya. Himbauan pemerintah dilakukan melalui semua saluran komunikasi agar dapat menggerakkan masyarakat untuk memberantas sarang nyamuk secara bersamasama. Departemen Kesehatan terus meningkatkan upaya pencegahan terjadinya wabah demam berdarah. Salah satunya, kegiatan pemantauan kasus demam berdarah dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) di setiap daerah, terutama wilayah endemis demam berdarah. Akan tetapi kegiatan ini terhambat oleh kurangnya jumlah petugas dibandingkan dengan pertambahan kasus demam berdarah. Partisipasi masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk akan sangat membantu untuk menurunkan angka kasus demam berdarah. Program pemberantasan sarang nyamuk dapat menjadi salah satu pekerjaan rutin yang dilakukan oleh setiap keluarga. Rumusan Masalah Kasus demam berdarah selalu berulang di Indonesia setiap tahunnya. Masyarakat perlu selalu diingatkan tentang bahaya penyakit demam berdarah dan pencegahannya. Pemanfaatan media yang tepat dapat memudahkan penyampaian pesan tentang demam berdarah kepada masyarakat. Himbauan pemerintah berisi pesan tentang bahaya demam berdarah dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) berusaha disampaikan oleh pemerintah melalui berbagai macam format dan saluran komunikasi. Format pesan untuk media cetak seperti folder, poster, iklan layanan masyarakat di surat kabar biasanya lebih mengarah pada sajian yang informatif dan ajakan untuk melakukan pemberantasan sarang nyamuk sebagai upaya pencegahan penyebaran kasus demam berdarah. Format pesan untuk media elektronika biasanya lebih singkat dibandingkan untuk media cetak dengan menampilkan tokoh/artis yang sudah dikenal oleh masyarakat dengan baik sehingga dapat menjadi daya tarik tersendiri dalam penyampaian pesan. Sedangkan format pesan untuk saluran komunikasi interpersonal dan kelompok biasanya dikemas dengan gaya yang informal. Hal tersebut disebabkan proses penyampaian pesan banyak disampaikan dari mulut ke mulut. Pelaksanaan kampanye pemberantasan sarang nyamuk dilaksanakan secara massal dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Hasil pelaksanaan kampanye tidak seluruhnya berhasil karena masih ada saja daerah yang terjangkit kasus demam berdarah dengan angka korban yang cukup tinggi. Daerah-daerah yang melaksanakan kampanye pemberantasan sarang nyamuk dengan baik memiliki kasus demam berdarah yang lebih rendah. Berdasarkan kondisi tersebut maka timbul beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Berapa besar tingkat terpaan pesan pencegahan bahaya demam berdarah berdasarkan karakteristik responden? 2. Berapa besar nilai sikap pencegahan bahaya demam berdarah berdasarkan karakteristik responden? 3. Bagaimanakah hubungan antara terpaan pesan tentang pencegahan bahaya demam berdarah dengan sikap ibu-ibu rumah tangga? Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah penelitian yang telah diuraikan, maka tujuan umum dari penelitian ini adalah mencari saluran komunikasi yang sesuai dengan karakteristik responden dalam menyampaikan pesan yang bersifat himbauan seperti pesan bahaya demam berdarah dan pemberantasan sarang nyamuk. Tujuan umum ini dapat dicapai melalui beberapa tujuan khusus sebagai berikut: 1. mendeskripsikan tingkat terpaan pesan pencegahan bahaya demam berdarah berdasarkan karakteristik responden; 2. mendeskripsikan sikap pencegahan bahaya demam berdarah berdasarkan karakteristik responden 3. menguji dan mendeskripsikan hubungan antara terpaan pesan tentang pencegahan bahaya demam berdarah dengan sikap ibu-ibu rumah tangga. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai: 1. bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan tentang jenis dan saluran komunikasi yang paling efektif dapat dipergunakan dalam rangka menyampaikan pesan tentang bahaya penyakit demam berdarah dan pemberantasan sarang nyamuk. 2. bahan masukan bagi peneliti komunikasi lebih lanjut yang berkaitan dengan penelitian terpaan pesan terhadap perubahan sikap masyarakat. TINJAUAN PUSTAKA Hakekat, Definisi, dan Konteks Komunikasi Komunikasi adalah suatu topik yang sangat sering dibicarakan, bukan hanya di kalangan ilmuwan komunikasi, melainkan juga dikalangan awam, sehingga kata komunikasi itu sendiri memiliki banyak arti yang berlainan. Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris menurut Echols dan Shadily (1995) berarti hubungan, kabar. De Vito (1997) mendefinisikan komunikasi sebagai suatu tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Terdapat dua bentuk umum tindakan yang dilakukan orang yang terlibat dalam komunikasi, yatiu penciptaan pesan dan penafsiran pesan. Pesan di sini tidak harus berupa kata-kata, namun bisa juga merupakan pertunjukkan (display) atau yang lazim disebut pesan nonverbal. Meskipun komunikasi menyangkut perilaku manusia, tidak semua perilaku manusia itu adalah komunikasi. Komunikasi sebagai semua kegiatan yang secara sengaja dilakukan seseorang untuk menyampaikan rangsangan untuk membangkitkan respons orang lain. Dalam konteks ini, komunikasi dianggap suatu tindakan yang disengaja (intentional act) untuk menyampaikan pesan demi memenuhi kebutuhan komunikator, seperti menjelaskan sesuatu kepada orang lain atau membujuknya untuk melakukan sesuatu. Lasswell menggambarkan komunikasi dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Berdasarkan definisi Lasswell dapat diturunkan lima komponen atau unsur penting dalam komunikasi yang hrus diperhatikan. Kelima unsur tersebut adalah pengirim pesan (sender), pesan yang dikirimkan (message), bagaimana pesan tersebut dikirimkan (communication channel), penerima pesan (receiver), dan umpan balik (feedback). Pertama, pengirim pesan atau sumber (sender) adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi. Sumber boleh jadi seorang individu, kelompok, organisasi, atau bahkan suatu negara. Kedua, pesan, yatiu hal-hal yang dikomunikasikan oleh sumber kepada si penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol verbal dan/atau non verbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksud sumber tadi. Pesan mempunyai tiga komponen: makna, simbol yang digunakan untuk menyampaikan makna, dan bentuk atau organisaasi pesan. Ketiga, saluran atau media, yakni alat atau wahana yang digunakan sumebr untuk menyampaikan pesannya kepada si penerima pesan. Saluran dapat merujuk pada bentuk pesan yang disampaikan kepada penerima, yaitu saluran verbal dan non verbal. Saluran juga merujuk pada cara penyajian pesan yaitu tatap muka langsung ataupun lewat media. Pemilihan saluran bergantung pada situasi, tujuan yang hendak dicapai dan jumlah penerima pesan yang dihadapi. Keempat, penerima (receiver), yakni orang yang menerima pesan dari sumber. Dalam proses komunikasi si penerima pesan bedasarkan pengalaman masa lalu, pengetahuan, rujukan nilai, persepsi, pola pikir dan perasaan akan menafsirkan seperangkat simbol baik verbal maupun non vebal menjadi gagasan yang dapat dipahami oleh si penerima pean. Kelima, efek, yaitu hal yang terjadi pada si penerima pesan setelh ia menerima pesan tersebut, misalnya penambahan pengetahuan, perubahan sikap, dan sebagainya. Komunikasi tidak berlangsung dalam suatu ruang hampa sosial, melainkan dalam suatu konteks atau situasi tertentu. Secara luas konteks di sini berarti semua faktor di luar orang-orang yang berkomunikasi, yang terdiri dari: pertama, aspek bersifat fisik seperti iklim, cuaca, suhu udara, bentuk ruangan, warna dinding, penataan tempat duduk, jumlah peserta komunikasi, dan alat yang tersedia untuk menyampaikan pesan; kedua, aspek psikologis, seperti: sikap, kecenderungan, prasangka, dan emosi para peserta komunikasi; ketiga, aspek sosial, seperti: norma kelompok, nilai sosial, dan karakteristik budaya; dan keempat, aspek waktu, yakni kapan berkomunikasi (hari apa, jam berapa). Indikator paling umum untuk mengklasifikasikan kemampuan berdasarkan konteksnya atau tingkatnya adalah jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi, sehingga terbentuklah komunikasi intrapribadi, komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok (kecil), komunikasi publik (pidato), komunikasi organisasi, dan komunikasi massa. Salah satu pendekatan situasional yang dikemukakan oleh Miller kemudian dikutip oleh Mulyana (2001) seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kategori yang digunakan dengan pendekatan situasional Kategori Komunikasi Massa Jumlah komunikator Derajat kedekatan fisik Saluran indrawi yang tersedia Kesegeraan umpan balik Banyak Rendah Minimal Paling Tertunda Komunikasi organisasi Komunikasi publik Komunikasi kelompok Komunikasi antarpribadi Komunikasi intrapribadi Satu Tinggi Maksimal Paling segera Sebagaimana tampak pada Tabel 1, jumlah komunikator otomatis mempengaruhi dimensi-dimensi lain transaksi komunikasi. Ketika melihat acara bincang-bincang yang kerap disaksikan di layar televisi, kita menyaksikan dua tingkat komunikasi: komunikasi antarpribadi dan komunikasi massa. Komunikasi massa melibatkan banyak komunikator, berlangsung melalui sistem bermedia dengan jarak fisik yang rendah (artinya jauh), memungkinkan penggunaan satu atau dua saluran indrawi (penglihatan, pendengaran), dan biasanya tidak memungkinkan umpan balik segera. Sebaliknya, komunikasi antarpribadi melibatkan sejumlah komunikator yang relatif kecil, berlangsung dengan jarak fisik yang dekat, bertatap muka, memungkinkan jumlah maksimum saluran indrawi, dan memungkinkan umpan balik segera. Tentu saja pandangan situasional terhadap konteks-konteks komunikasi tersebut adalah penyederhanaan dan terkesan statis. Dalam kenyataannya, komunikasi begitu dinamis; begitu banyak variasi komuniksi yang dapat kita temukan dengan nuansa yang berlainan. Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa berinteraksi dengan manusia lain. Cara yang dipergunakan adalah dengan berkomunikasi baik secara verbal maupun non verbal. Mulyana (2003) membahas tentang fungsi komunikasi berdasarkan kerangka yang dikemukakan oleh Gorden sebagai berikut: (1) komunikasi sosial, (2) komunikasi ekspresif, (3) komunikasi ritual, dan (4) komunikasi instrumental. Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur, dan memupuk hubungan dengan orang lain. Melalui komunikasi kerja sama dengan anggota masyarakat (keluarga, kelompok masyarakat, perguruan tinggi, RT, RW, desa, kota, dan Negara secara keseluruhan) untuk mencapai tujuan bersama. Orang yang tidak pernah berkomunikasi dengan manusia, bisa dipastikan “tersesat”, karena ia tidak berkesempatan menata dirinya dalam suatu lingkungan sosial. Komunikasi lah yang memungkinkan individu membangun suatu kerangka rujukan dan menggunakannya sebagai panduan untuk menafsirkan situasi apapun yang dihadapi. Komuniksi pula yang memungkinkannya mempelajari dan menerapkan strategi-strategi adaptif untuk mengatasi situasi-situasi problematik. Erat kaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif yang dapat dilakukan baik sendirian ataupun dalam kelompok. Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrument untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita. Perasaan-perasaan tersebut terutama dikomunikasikan melalui pesan-pesan nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-kata, namun terutama lewat perilaku nonverbal. Erat kaitannya dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual, yang biasanya dlakukan secara kolektif. Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antopolog sebagai rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun, pertunangan, siraman, pernikahan, ulang tahun perkawinan, hingga upacara kematian. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, suku, bangsa, Negara, ideologi, atau agama mereka. Komunikasi ritual sering juga bersifat ekspresif, menyatakan perasaan terdalam seseorang. Sebagai respon kita terhadap (lambang) cinta, keluarga, Negara dan agama – untuk menyebut beberapa hal saja yang terpenting dalam kehidupan kita—mungkin tidak kita sadari. Respons manusia dalam menanggapi lambing-lambang ini tidak jarang bersifat ekstrem dan tidak masuk akal bagi kebanyakan orang. Kegiatan ritual memungkinkan para pesertanya berbagi komitmen emosional dan menjadi perekat bagi kepaduan mereka, juga sebagai pengabdian kepada kelompok. Bukanlah substansi kegiatan ritual itu sendiri yang terpenting, melainkan perasaan senasib sepenanggungan yang menyertainya, perasaan bahwa kita terikat oleh sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri, yang bersifat “abadi”, dan bahwa kita diakui dan diterima dalam kelompok kita. Fungsi keempat dari komunikasi adalah komunikasi instrumental. Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum: menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan, dan mengubah perilaku atau menggerakkan tindakan, dan juga untuk menghibur. Bila diringkas, maka kesemua tujuan tersebut dapat disebut membujuk (bersifat persuasif). Komunikasi yang berfungsi memberitahukan atau menerangkan (to inform) mengandung muatan persuasif dalam arti bahwa pembicara menginginkan pendengarnya mempercayai bahwa fakta atau informasi yang disampaikannya akurat dan layak untuk diketahui. Sebagai instrumen, komunikasi tidak saja kita gunakan untuk menciptakan dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan hubungan tersebut. Studi komunikasi membuat kita peka terhadap berbagai strategi yang dapat kita gunakan dalam komunikasi kita untuk bekerja lebih baik dengan orang lain demi keuntungan bersama. Komunikasi berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan, baik tujuan jangka pendek ataupun jangka panjang. Tujuan jangka pendek misalnya untuk mperoleh pujian, menumbuhkan kesan yang baik, memperoleh simpati, empati, keuntungan material, ekonomi, dan politik, yang antara lain dapat diperoleh lewat pengelolaan kesan (impression management), yakni taktik-taktik verbal dan nonverbal, seperti bicara sopan, mengobaral janji, mengenakan pakaian necis, dan sebagainya yang pada dasarnya untuk menunjukkan kepada orang lain siapa diri kita seperti yang kita inginkan. Sementara itu, tujuan jangka panjang dapat diraih lewat keahlian komunikasi, misalnya keahlian berpidato, berunding, berbahasa asing ataupun keahlian menulis. Kedua tujuan itu tentu saja berkaitan dalam arti bahwa berbagai pengelolaan kesan itu secara kumulatif dapat digunakan untuk mencapai tujuan jangka panjang berupa keberhasilan dalam karier. Prinsip/hukum dasar yang harus diperhatikan dalam berkomunikasi agar efektif menurut Stephen Covey yang disadur oleh Sentoso (2003) adalah REACH (Respect, Empathy, Audible, Clarity, Humble). Hukum pertama dalam berkomunikasi adalah respect, yang merupakan sikap hormat dan sikap menghargai terhadap lawan bicara. Setiap individu harus memiliki sikap (attitude) menghormati dan menghargai lawan bicara karena pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Hukum kedua adalah empati, yaitu kemampuan untuk menempatkan diri pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Rasa empati akan membuat kita mampu menyampaikan pesan (message) dengan cara dan sikap yang akan memudahkan penerima pesan (receiver) menerimanya. Jadi sebelum kita membangun komunikasi atau mengirimkan pesan, kita perlu mengerti dan memahami dengan empati calon penerima pesan. Sehingga nantinya pesan akan dapat tesampaikan tanpa ada halangan psikologis atau penolakan dari penerima. Emapati bias juga berarti kemampuan untuk mendengarkan dan bersikap perspeptif atau siap menerima masukan atau pun umpan balik dengan siakp yang positif. Esensi dari komunikasi adalah aliran dua arah. Komunikasi satu arah tidak akan efektif manakala tidak ada umpan balik (feedback) yang merupakan arus balik dari penerima pesan. Hukum ketiga adalah audible, yang maknanya dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Kunci utama untuk dapat menerapkan hokum ini dalam mengirimkan pesan adalah: pesan yang mudah dimengerti, fokus pada informasi yang penting, menggunakan ilustrasi untuk membantu memperjelas isi dari pesan tersebut, memperhatikan fasilitas yang ada dan lingkungan disekitar kita, antisipasi kemungkinan masalah yang akan muncul, selalu mempersiapkan rencana atau pesan cadangan (back up). Hukum keempat adalah kejelasan dari pesan yang disampaikan (clarity). Pesan yang ingin disampaikan harus jelas sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Clarity juga sangat tergantung pada kualitas suara dan bahasa yang dipergunakan. Penggunaan bahasa yang tidak dimengerti akan membuat isi pesan tidak dapat mencapai tujuannya. Seringkali orang menganggap clarity bukan hal yang penting sehingga tidak menaruh perhatian pada suara (voice) dan kata-kata yang dipilih untuk digunakan. Beberapa cara untuk mempersiapkan pesan agar jelas yaitu: menentukan tujuan yang jelas, meluangkan waktu untuk mengorganisasikan ide pesan, memenuhi tuntutan kebutuhan format bahasa yang dipergunakan, membuat pesan dengan jelas, tepat dan meyakinkan, pesan yang disampaikan harus fleksibel. Hukum kelima dalam komunikasi adalah sikap rendah hati (humble). Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati. Kerendahan hati juga dapat berarti tidak sombong dan menganggap penting diri kita pada saat berbicara.Justru dengan kerendahan hati inilah kita dapat menangkap perhatian dan respon yang positif dari si penerima pesan. Komunikasi Publik Komunikasi publik (public communication) adalah komunikasi antara seorang pembicara dengan sejumlah besar orang (khalayak), yang tidak bisa dikenali satu persatu. Komunikasi demikian sering juga disebut pidato, ceramah, kuliah umum. Komunikasi publik biasanya berlangsung lebih formal dan lebih sulit daripada komunikasi antarpribadi atau komunikasi kelompok, karena komunikasi publik menuntut persiapan pesan yang cermat, keberanian dan kemampuan menghadapi sejumlah besar orang. Daya tarik fisik pembicara bahkan sering merupakan publik penting yang menentukan efektivitas pesan, selain keahlian dan kejujuran yang dimiliki pembicara. Tidak seperti komunikasi antarpribadi yang melibatkan pihak-pihak yang sama-sama aktif, satu pihak (pendengar) dalam komunikasi publik cenderung pasif. Umpan balik yang mereka berikan terbatas, terutama umpan balik bersifat verbal. Umpan balik nonverbal lebih jelas diberikan orang-orang yang duduk di jajaran depan, karena merekalah yang paling jelas terlihat. Sesekali pembicara menerima umpan balik bersifat serempak, seperti tertawa atau tepuk tangan. Ciri-ciri komunikasi publik adalah: terjadi di tempat umum (publik), misalnya di auditorium, kelas, tempat ibadah (masjid, gereja) atau tempat lainnya yang dihadiri sejumlah besar orang; merupakan peristiwa sosial yang biasanya telah direncanakan alih-alih peristiwa relatif informal yang tidak terstruktur; terdapat agenda; beberpa orang ditunjuk untuk menjalankan fungsi khusus, seperti memperkenalkan pembicara, dan sebagainya; acara-acara lain mungkin direncanakan sebelum dan/atau sesudah ceramah disampaikan memberikan pembicara. penerangan, Komunikasi menghibur, publik memberikan sering bertujuan penghormatan, atau membujuk. Komunikasi Antarpribadi Komunikasi antarpribadi merupakan aspek yang sangat penting dalam teori komunikasi. Para ahli komunikasi mendefinisikan komunikasi antarpribadi secara berbeda-beda. Miller (1990), menyatakan bahwa definisi komunikasi antarpribadi dapat dibahas berdasarkan tiga ancangan utama yaitu: (1) definisi berdasarkan komponen, definisi ini menjelaskan komunikasi antarpribadi dengan mengamati komponen-komponen utamanya—dalam hal ini, penyampaian pesan oleh satu orang dan penerima pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera; (2) definisi berdasarkan hubungan diadik, yaitu komunikasi antarpribadi sebagai komunikasi yang berlangsung di antara dua orag yang mempunyai hubungan yang mantap dan jelas dan hamper tidak dapat dihindarkan serta selalu ada hubungan tertentu antara dua orang; (3) definisi berdasarkan pengembangan, dalam ancangan pengembangan, komunikasi antarpribadi dilihat sebagai akhir dari perkembangan komunikasi yang bersifat tidak pribadi (impersonal) pada satu ekstrim menjadi komunikasi pribadi atau intim pada ekstrim yang lain. Berdasarkan ketiga ancangan tersebut maka komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) dapat didefinisikan sebagai berikut: komunikasi antar orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal. Bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi ini adalah komunikasi diadik (dyadic communication) yang melibatkan hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru murid, dan sebagainya. Ciri-ciri komunikasi diadik adalah: pihak-pihak yang berkomunikasi berada dalam jarak yang dekat; pihak-pihak yang berkomunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan dan spontan, baik secara verbal ataupun nonverbal. Keberhasilan komunikasi menjadi tanggung jawab para peserta komunikasi. Kedekatan hubungan pihak-pihak yang berkomunikasi akan tercermin pada jenis-jenis pesan atau respons nonverbal mereka, seperti sentuhan, tatapan mata yang ekspresif, dan jarak fisik yang sangat dekat. Meskipun setiap pembicaraan, kenyataannya komunikasi antarpribadi bisa saja didominasi oleh suatu pihak. Misalnya, komunikasi suami istri didominasi oleh suami, komunikasi bidan-pasien didominasi oleh bidan. Komunikasi antarpribadi dibedakan dari jenis komunikasi yang lain karena (1) prediksi lebih didasarkan atas data psikologis ketimbang data sosiologis; (2) prediksi didasarkan atas pengetahuan yang menjelaskan (explanatory knowledge) tentang satu sama lain; (3) perilaku didasarkan pada aturan-aturan yang ditetapkan secara pribadi. Kita biasanya menganggap pendengaran dan penglihatan sebagai indra primer, padal sentuhan dan penciuman juga sama pentingnya dalam menyampainkan pesan-pesan bersifat intim. Jelas sekali, bahwa komunikasi antarpribadi sangat potensial untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain, karena kita dapat menggunakan kelima alat indra tadi untuk mempertinggi daya bujuk pesan yang dikomunikasikan. Sebagai komunikasi yang paling lengkap dan paling sempurna, komunikasi antarpribadi perperan penting hingga kapan pun, selama manusia masih mempunyai emosi. Kenyataannya komunikasi tatap muka ini membuat manusia merasa lebih akrab dengan sesamanya, berbeda dengan komunikasi lewat media massa seperti surat kabar dan televisi atau lewat teknologi komunikasi tercanggih sekalipun seperti telepon genggam, E-mail, atau telekonferensi, yang membuat manusia merasa terasing. Hubungan antarpribadi yang terjalin antar dua orang kebanyakan, mungkin semua, berkembang melalui tahap-tahap menurut De Vito (1997) seperti dalam Gambar 1 Kontak Keluar Keterlibatan Keluar Keakraban Keluar Perusakan Keluar Pemutusan Keluar Gambar 1. Model Hubungan Lima Tahap Pada tahap pertama kita membuat kontak. Pada tahap inilah penampilan fisik begitu penting, karena dimensi fisik paling terbuka untuk diamati secara mudah. Namun demikian, kualitas-kualitas lain seperti sikap bersahabat, kehangatan, keterbukaan, dan dinamisme juga terungkap pada tahap ini. Jika kita menyukai orang ini dan ingin melanjutkan hubungan, kita beranjak ke tahap kedua.Tahap keterlibatan adalah tahap pengenalan lebih jauh, ketika kita mengikatkan diri kita untuk lebih mengenal orang lain dan juga mengungkapkan diri kita. Pada tahap keakraban, kita mengikatkan diri lebih jauh pada orang ini. Tahap ini hanya disediakan untuk sedikit orang saja—kadang-kadang hanya satu orang, kadang-kadang dua, tiga atau empat orang saja. Jarang sekali orang mempunyai lebih dari empat orang sahabat akrab, kecuali, tentu saja, dalam keluarga. Pada tahap perusakan, kita mulai merasa bahwa hubungan ini mungkin tidaklah sepenting yang kita pikirkan sebelumnya. Kita menjadi semakin jauh. Makin sedikit waktu senggang yang dilalui bersama, dan bila bertemu akan saling diam, tidak lagi banyak mengungkapkan diri. Dan tahap yang terakhir yaitu tahap pemutusan dimana terjadi pemutusan ikatan yang mempertalikan kedua pihak. Gambar 1 mengandung tiga macam panah. Panah keluar menunjukkan bahwa setiap tahap menawarkan kesempatan untuk keluar dari hubungan. Panah vertical atau “perpindahan” yang menuju ke tahap selanjutnya dan sebaliknya menggambarkan kemampuan untuk berpindah ke tahap lain. Panah “self- reflexive” kembali ke awal dari tingkat atau tahap yang sama. Ini menggambarkan bahwa setiap hubungan dapat menjadi stabil pada sembarang titik. Hubungan dalam komunikasi antarpribadi dapat dikembangkan dengan baik, salah satu variabel yang laing penting dan paling banyak ditelaah adalah daya tarik (attraction). Riset dan teori telah mengidentifikasi lima faktor utama yang mempengaruhi daya tarik ini yaitu sebagai berikut: (1) Daya tarik fisik, kebanyakan kita lebih menyukai orang yang secara fisik menarik ketimbang orang yang secara fisik tidak menarik, dan kita lebih menyukai orang yang memiliki kepribadian menyenangkan ketimbang yang tidak. Umumnya, kita melekatkan karakteristik (citra) positif kepada orang yang menurut kita menarik dan karakteristik (citra) negatif kepada orang yang kita anggap tidak menarik. (2) Kedekatan, jika kita mengamati orang yang menurut kita menarik, mungkin kita menjumpai bahwa mereka adalah orang-orang yang tinggal atau bekerja di dekat kita. Jarak fisik paling penting pada tahap-tahap awal interaksi. Pengaruh kedekatan ini berkurang (tetapi selalu tetap penting) dengan meningkatnya peluang untuk berinteraksi dengan mereka yang berjarak lebih jauh. (3) Pengukuhan, kita menyukai orang yang menghargai atau mengukuhkan kita. Penghargaan atau pengukuhan dapat bersifat sosial (misalnya, komplimen atau pujian) atau bersifat material (misalnya, hadiah atau promosi). Tetapi penghargaan dapat berakibat sebaliknya. Bila berlebihan, penghargaan kehilangan efektivitasnya dan dapat menimbulkan reaksi negatif. Kita juga menjadi tertarik kepada orang yang kita hargai. Kita menjadi suka kepada orang yang kita bantu. Kita memberikan penghargaan kepada seseorang karena kita menyukainya. (4) Kesamaan, kita umumnya menyukai orang yang sama dengan kita dalam hal kebangsaan, suku bangsa, kemampuan, karakteristik fisik, kecerdasan, dan— khususnya—sikap dan selera. Hipotesis kecocokan menjelaskan bahwa orangorang akan bergaul dan membina hubungan dengan orang-orang yang mirip dengan mereka sendiri dalam hal daya tarik. Meskipun pada kenyataannya tidaklah selalu demikian. Status kekayaan, kecerdasan, kekuasaan, dan berbagai karakteristik kepribadian lain merupakan contoh nyata kualitas yang dapat mengimbangi kekurangan daya tarik fisik. (5) Sifat saling melengkapi, walaupun banyak orang berpendapat bahwa “orangorang yang mempunyai kepentingan yang sama akan bersatu” ada pula orang lain yang berpendapat bahwa “kutub yang berlawanan saling tarik menarik.” Ancangan ini mengikuti prinsip saling melengkapi. Prinsip saling melengkapi meramalkan bahwa orang akan tertarik pada orang lain yang tidak serupa dengannya. Orang tertarik kepada orang lain yang tidak serupa hanya dalam situasi-situasi tertentu. Pada komunikasi antarpribadi, yang menjadi saluran maupun sumber komunikasi adalah pemrakarsa komunikasi. Arus pesan yang terjadi pada komunikasi antarpribadi cenderung dua arah dalam konteks komunikasi tatap muka, meskipun saat ini banyak yang memanfaatkan alat bantu dalam berkomunikasi sehingga umpan baliknya tinggi sebagai akibat dari pesan diterima oleh komunikan. Hal yang sering terjadi pada komunikasi antarpribadi, si penerima pesan mampu mengatasi tingkat selektivitas terutama terpaan selektif (selective exposure). Kecepatan jangkauan pesan terhadap khalayak jika mempergunakan komunikasi antarpribadi relatif lambat. Efek yang mungkin terjadi jika mempergunakan komunikasi antarpribadi adalah perubahan sikap. Komunikasi Kelompok Salah satu komponen penting dalam membangun sebuah kelompok yang baik adalah adanya komunikasi yang efektif dalam kelompok tersebut. Komunikasi dapat memperkuat ataupun memperlemah bahkan menghancurkan sebuah kelompok. Kelompok merupakan sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama, yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Sedangkan De Vito (1997) menyatakan pendapatnya tentang kelompok lebih mengarah pada kelompok kecil. Kelompok kecil adalah sekumpulan perorangan yang relatif kecil dan masing-masing dihubungkan oleh beberapa tujuan yang sama dan mempunyai derajat organisasi tertentu di antara mereka. Setiap karakteristik ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. kelompok kecil adalah sekumpulan perorangan, jumlahnya cukup kecil sehingga semua anggota bisa berkomunikasi dengan mudah sebagai pengirim maupun penerima. 2. para anggota kelompok harus dihubungkan satu sama lain dengan beberapa cara. Didalam kelompok kecil, perilaku seorang anggota menjadi nyata bagi semua anggota lainnya. 3. diantara anggota kelompok harus ada beberapa tujuan yang sama. Kelompok ini misalnya adalah keluarga, tetangga, kawan-kawan terdekat; kelompok diskusi; kelompok pemecahan masalah, atau suatu komite yang tengah rapat untuk mengambil suatu keputusan. Dengan demikian, komunikasi kelompok biasanya merujuk pada komunikasi yang dilakukan kelompok kecil tersebut (small-group communication). Komunikasi kelompok dengan sendirinya melibatkan juga komunikasi antarpribadi, karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok. Proses komunikasi dalam kelompok biasanya bisa berjalan dengan baik jika masing-masing anggota memahami masing-masing perannya. Pendapat Benne dan Sheats yang disadur De Vito (1997) menyatakan bahwa peran anggota dalam komunikasi kelompok kecil terbagi dalam tiga kelas umum, yaitu peran tugas kelompok, dimana peran ini yang membuat kelompok mampu untuk memfokuskan secara lebih spesifik dalam mencapai tujuan kelompok. Dalam menjalankan peran ini, anggota tidak berbuat sebagai individu yang terpisah, tetapi sebagai bagian dari keseluruhan yang lebih besar. Peran yang kedua, peran membina dan mempertahankan kelompok sangat diperlukan karena kelompok merupakan satu unit yang para anggotanya memiliki hubungan interpersonal yang beragam sehingga kelompok dan para anggotanya memerlukan dukungan interpersonal yang sama dan sesuai yang dibutuhkan anggotanya. Sedangkan peran yang ketiga, peran individual, dimana peran ini lebih mengarah pada peran yang kontra-produktif. Peran tersebut dapat menghambat kelompok dalam mencapai tujuannya dan lebih berorientasi pada individu ketimbang kelompok. Peran semacam ini sering diistilahkan dengan malfungsi, yang menghambat efektivitas kelompok baik dalam hal produktivitas maupun kepuasan pribadi. Pada umumnya kelompok mengembangkan norma, atau peraturan mengenai perilaku yang diinginkan. Norma atau peraturan ini berlaku bagi anggota perorangan maupun kelompok secara keseluruhan, dan tentunya akan berbeda dari satu kelompok dengan kelompok lainnya. Pada akhirnya proses komunikasi dalam suatu kelompok sangat bergantung pada komunikasi interpersonal dari masing-masing anggota maupun pemimpin kelompok, tujuan dan perannya di dalam kelompok serta norma-norma yang berlaku. Antara komunikasi kelompok dengan komunikasi antarpribadi sebenarnya tidak perlu ditarik suatu garis pemisah, hal ini disampaikan oleh Golberg dan Larson (1985), kedua bidang tersebut bertumpang tindih dan banyak situasi tatap muka dapat diungkapkan dalam berbagai cara sesuai dengan perhatian dan tujuan si pengamat. Kesamaannya: komunikasi kelompok dan komunikasi antarpribadi melibatkan dua atau lebih individu yang secara fisik berdekatan dan yang menyampaikan serta menjawab pesan-pesan baik secara verbal maupun non verbal. Akan tetapi komunikasi antarpribadi biasanya dikaitkan dengan pertemuan antara dua, tiga, atau mungkin empat orang yang terjadi secara sangat spontan dan tidak berstruktur, sedangkan komunikasi kelompok terjadi dalam suasana yang lebih berstruktur dimana para pesertanya lebih cenderung dilakukan secara sengaja dibandingkan dengan komunikasi antarpribadi, dan umumnya para pesertanya lebih sadar akan peranan dan tanggung jawab mereka masing-masing. Meskipun komunikasi kelompok dapat dan memang terjadi dalam suatu kelompok. Dengan demikian kriteria pokok dalam membedakan komunikasi antarpribadi dengan komunikasi kelompok adalah kadar spontanitas, strukturalisasi, kesadaran dan sasaran kelompok, ukuran kelompok, relativitas sifat permanen, sifat permanen dari kelompok serta identitas diri. Komunikasi Massa Komunikasi telah mencapai suatu tingkat di mana orang mampu berbicara dengan jutaan manusia secara serempak dan dalam waktu yang bersamaan. Teknologi komunikasi yang canggih telah menciptakan suatu alat/saluran komunikasi yang mendukung proses komunikasi secara cepat. Cara seperti ini sangat mendukung keberhasilan komunikasi massa. Studi tentang komunikasi massa termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan yang lebih luas berkenaan dengan komunikasi manusia. Mc Quail (1994) menyatakan bahwa pengertian komunikasi massa hanya merupakan salah satu proses komunikasi yang berlangsung pada peringkat masyarakat luas, yang identifikasinya ditentukan oleh ciri khas institusionalnya (gabungan antara tujuan, organisasi, dan kegiatan yang sebenarnya). Mulyana ( 2001) menyatakan bahwa komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang menggunakan media massa. Media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi), yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim, dan heterogen. Pesan-pesannya bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak dan selintas (khususnya media elektronik). Komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok dan komunikasi organisasi berlangsung juga dalam proses untuk mempersiapkan pesan yang disampaikan media massa ini. Proses lain yang kedudukannya hampir sama dalam pengertian ruang lingkup dan keberadaannya yang muncul dimana-mana adalah pemerintahan, pendidikan, dan agama. Masingmasing memiliki jaringan institusional tersendiri yang kadangkala sangat banyak berkaitan dalam proses transmisi atau tukar menukar informasi dan gagasan. Permasalahan komunikasi massa bersifat komprehensif karena komunikasi massa melibatkan gagasan yang berkenaan dengan setiap proses “peringkat bawah” seperti dalam Gambar 2 Peringkat Proses Komunikasi: • Masyarakat luas (misalnya komunikasi massa) • Institusi/organisasi (misalnya system politik/badan usaha) • Antar kelompok/asosiasi (misalnya komunitas setempat) • Dalam kelompok (intragroup) (misalnya keluarga) • Antarpribadi (interpersonal) (misalnya dua orang, pasangan) • Dalam pribadi (intrapersonal) Sedikit terjadi (misalnya proses informasi) Banyak terjadi Gambar 2. Proses Komunikasi dalam masyarakat Media Televisi dan Efeknya Pada Masyarakat Munculnya media televisi dalam kehidupan manusia memang menghadirkan suatu peradaban, khususnya dalam proses komunikasi dan informasi yang bersifat massa. Globalisasi informasi dan komunikasi setiap media massa jelas melahirkan satu efek sosial yang bermuatan perubahan nilai-nilai social dan budaya manusia. Televisi ternyata memberikan nilai yang sangat spektakuler dalam sisi-sisi pergaulan hidup manusia saat ini. Kemampuan televisi dalam menarik perhatian massa menunjukkan bahwa media tersebut telah menguasai jarak secara geografis dan sosiologis Data tarik media televisi sedemikian besar sehingga pola-pola kehidupan rutinitas manusia berubah total. Media televisi menjadi panutan baru bagi kehidupan manusia. Media televisi menjadi alat atau sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia, baik untuk kepentingan politik maupun perdagangan, bahkan melakukan perubahan ideologi serta tatanan nilai budaya manusia yang sudah ada sejak lama. Media televisi mempunyai banyak kelebihan disamping beberapa kelemahan. Kekuatan media televisi ialah menguasai jarak dan ruang karena teknologi televisi telah menggunakan elektromagnetik, kabel dan fiber yang dipancarkan (transmisi) melalui satelit. Sasaran yang dicapai untuk menjangkau massa cukup besar. Nilai aktualitas terhadap suatu liputan atau pemberitaan sangat cepat. Daya rangsang seseorang terhadap media televisi cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh kekuatan suara dan gambarnya yang bergerak (ekspresif). Satu hal yang paling berpengaruh dari daya tarik televisi ialah bahwa informasi atau berita-berita yang disampaikan lebih singkat, jelas dan sistematis, sehingga pemirsa tidak perlu lagi mempelajari isi pesan dalam menangkap siaran televisi. Menurut Malik (2006) bahwa rangsangan yang ditimbulkan oleh televisi melalui program-programnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan media cetak. Karena, pada televisi gambar-gambarnya bersifat moving, sedangkan media cetak bersifat statis. Secara psikologis, gambar yang bergerak dapat “tertanam” dalam benak manusia dalam tempo yang lama sekali. Makin besar daya pikatnya atau rangsangan yang ditimbulkannya, makin dalam pula dampak yang ditimbulkannya. Kelemahan atau kekurangan dari media televisi adalah, karena bersifat “transitory” maka isi pesannya tidak dapat di simpan di dalam memori pemirsa kecuali pesan tersebut dilakukan secara berulang-ulang dan dalam jangka waktu yang cukup lama (lain halnya dengan media cetak, informasi dapat disimpan dalam bentuk kliping koran). Media televisi terikat oleh waktu tontonan, sedangkan media cetak dapat dibaca kapan dan dimana saja. Televisi tidak bisa melakukan kritik sosial dan pengawasan sosial secara langsung seperti halnya pada media cetak. Hal ini terjadi karena faktor penyebaran siaran televisi yang begitu luas kepada massa yang heterogen (status sosial ekonominya). Namun di kalangan para ahli, masih terjadi perdebatan panjang tentang pengaruh media massa, khususnya televisi, terhadap perilaku masyarakat. Setidaknya ada tiga tahapan penelitian yang bisa dijadikan rujukan bagi masyarakat dalam menilai dampak media massa. Anto (2007) membandingkan ketiga tahapan penelitian tersebut, yaitu penelitian pertama mengikuti rentang waktu dari awal abad ke-19 hingga akhir tahun 1930-an. Pada kurun ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa media massa yang berkembang dengan baik mengembangkan pengaruh yang cukup signifikan untuk membentuk opini dan keyakinan serta mengubah kebiasaan hidup masyarakat. Secara aktif media juga membentuk perilaku yang kurang lebih sesuai dengan keinginan orang-orang yang dapat mengendalikan media massa dan isinya. Tahap kedua dimulai dengan serangkaian studi Payne Fund di Amerika Serikat pada awal tahun 1930-an berlanjut hingga awal tahun 1960-an. Menurut Josepth Klapper yang disadur oleh Anto (2007) bahwa komunikasi massa biasanya tidak menjadi penyebab yang pasti dan memadai atas efek yang muncul pada khalayak, namun komunikasi massa lebih berfungsi diantara dan melalui hubungan dengan faktor-faktor dan pengaruh-pengaruh yang dimediasinya. Sedangkan tahap ketiga, menurut Denis Mc Quail yang dikutip oleh Anto (2007) merupakan tahap dimana dampak dan kemungkinan dampak masih sedang ditelaah, tanpa menolak kesimpulan penelitian sebelumnya, tetapi didasarkan atas perbaikan konsepsi tentang proses sosial dan media yang mungkin terlibat. Hasil-hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa media massa memang memiliki potensi untuk mempengaruhi dan memperkuat perilaku seseorang. Dahulu orang menganggap media massa memiliki kekuatan yang sangat besar. Media bisa mempunyai efek yang sangat kuat terhadap masyarakat Indonesia. Namun sekarang nampaknya hal ini sudah tidak terhadi lagi di dalam masyarakat kita. Masyarakat dalam perkembangannya menjadi khalayak aktif yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Media kini berkembang dengan pesat hamper semua orang tahu tentang hal tersebut. Reformasi memang memiliki peran yang tidak sedikit dalam memberi kesempatan terhadap pertumbuhan dan perkembanagn media. Perkembangan media yang pesat seperti juga hal lain media memiliki dampak positif maupun negatif. Wahyudi (1991) menyatakan bahwa komunikasi massa melalui media televisi ialah proses komunikasi antara komunikator dengan komunikan (massa) melalui sebuah sarana yaitu televisi. Komunikasi massa melalui media televisi bersifat periodik. Dalam komuniksi massa media tersebut, lembaga penyelenggara komunikasi bukan secara perorangan, melainkan melibatkan banyak orang dengan organisasi yang kompleks serta pembiayaan yang besar. Karena media televisi bersifat “transitory” (hanya meneruskan) maka pesan-pesan yang disampaikan melalui komunikasi massa media tersebut, hanya dapat didengar dan dilihat secara sekilas. Pesan-pesan di televisi bukan hanya didengar, tetapi juga dapat dilihat dalam gambar yang bergerak (audiovisual). Paradigma Lasswell yang dikutip oleh Jahi (1988) tentang proses komunikasi yang berbunyi “Who says what, to whom, in which channel, and with what effect?”, secara langsung menggambarkan bahwa proses komunikasi seseorang memerlukan media. Memasukkan paradigma Lasswell dalam komunikasi massa media televisi secara tegas memperlihatkan bahwa dalam setiap pesan yang disampaiakan televisi tentu saja mempunyai tujuan khalayak sasaran serta akan mengakibatkan umpan balik baik secara langsung maupun tidak langsung. Tujuan akhir dari penyampaian pesan media televisi bisa menghibur, mendidik, unsur-unsur, menghubungkan atau sebagai bahan informasi. Menurut Ray,M.L dalam bukunya The marketing Communication and The Hierarchy of Effect yang dikutip oleh Rosady Ruslan (2006) menjelaskan bahwa dari peninjauan dan perbandingan mengenai teori efek komunikasi, maka terdapat tiga model dasar perbedaan hierarki efek (effect hierarchy) atau serangkaian efek yang tergantung dari tahapan-tahapan dalam proses komunikasi, sebagai berikut: 1. The Learning Hierarchy (Hierarki Pembelajaran) Cognitive (Kognitif) Affective (Afektif) Behavioural (Perilaku) Model hierarki pembelajaran secara klasik dimana subjek (publik) tertentu yang diekspos dalam suatu kegiatan proses kampanye persuasif, berkaitan dengan posisi yang jelas hendak dicapai, atau pilihan tepat antara perbedaan alternatif yang ada. Khalayak sasaran tertentu yang diperkirakan akan dimotivasi untuk tertarik ke dalam proses hierarki pembelajaran mengenai suatu ide, gagasan atau inovasi tertentu, dan proses pengembangan sikap yang lebih menguntungkan melalui adaptasi perilaku publik (khalayak sasaran) yang diharapkan terjadi perubahan melalui proses tahapan hierarki pembelajaran, mulai dari aspek-aspek (1) kognisi, dari transfer informasi pngetahuan tertentu akan mengubah dari tidak tahu menjadi tahu, (2) afektif, mengubah dari tidak senang menjadi senang, dan (3) perilaku, yaitu terdapat perubahan dari hal negative menjadi perilaku yang lebih positif. Model Hierarki Pembelajaran dipergunakan sebagai dasar penelitian ini. 2. The Dissonance-Atribution Hierarchy (Hierarki Atribut dan Ketidakcocokan) Behavioural (Perilaku) Affective (Afektif) Cognitive (Kognitif) Model Hierarki Atribut dan Ketidakcocokan, merupakan model kebalikan dari rangkaian efek hierarki pembelajaran. Berkaitan dengan perubahan perilaku yang baru atau pengalaman tertentu, seperti konsumen (publik sasaran) ingin mencoba suatu produk baru atau sebelumnya yang telah diekspos melalui rangsangan pesan-pesan yang menarik perhatian. Biasanya, proses tahap pertama adalah terlebih dahulu merangsang perubahan suatu perilaku (behavioural) tertentu, dan dapat juga terjadi respon melalui aspek afeksi (segi emosional), maka tahapan selanjutnya adalah proses pembelajaran (kognitif). 3. The Low-Involvement Hierarchi (Hirarki Keterlibatan Rendah) Cognitive (Kognitif) Behavioural (Perilaku) Affective (Afektif) Model The Low-Involvement Hierarchi dikembangkan oleh Krugman dan berkaitan dengan suatu proses yang bertujuan terhadap penawaran tidak kentara melalui pesan-pesan atau perubahan diskriminatif terhadap penerima (receiver) yang memiliki ketertarikan dan perhatian sangat rendah terhadap pesan-pesan yang disampaikan.Khalayak mengambil informasi mengenai sesuatu hal, ingin mencoba (aspek perilaku) dan penyesuaian sikapnya dengan pertimbangan terhadap pengalaman-pengalaman sebelumnya. Pengiriman isi pesan melalui komunikasi massa media televisi harus benar-benar menguasai sifat-sifat fisik dan massa dari media massa itu sendiri. Dengan memahami sifat medium yang dipakai maka proses komunikasi akan berjalan dengan efisien dan efektif, sehingga kemungkinan pesan itu sampai kepada massa pun akan semakin besar. Isi pesan media televisi berasal dari sumber resmi tentang sesuatu isu yang terjadi di masyarakat. Pendapat sumber resmi ini apabila sudah ditayangkan akan menimbulkan pendapat umum. Sifat komunikasi massa media televisi yang “transitory” maka mengharuskan: (1) isi pesan yang akan disampaikannya harus singkat dan jelas; (2) cara penyampaian kata per kata harus benar; (3) intonasi suara dan artikulasi harus tepat dan baik. Kesemuanya itu tentu saja menekankan unsur isi pesan yang komunikatif agar pemirsa dapat mengerti secara tepat tanpa harus menyimpang dari pemberitaan yang sebenarnya (interpretasi berbeda). Media massa mempunyai agenda settingnya sendiri dalam mempengaruhi dan membentuk selera konsumennya. Termasuk membentuk nilai-nilai masyarakat agar sesuai dengan nilai-nilai yang ada di benak para pembuat keputusan di media. Anto (2007) mengutip pendapat Daniel Hallin, ada tiga peta ideologis atau nilai yang dianut orang-orang media, dalam konteks fungsi agenda setting. Pertama, yang disebutnilai penyimpangan (sphere of deviance). Dalam peta ideologis ini, gagasan, peristiwa, atau perilaku tertentu dikucilkan dan dipandang menyimpang oleh masyarakat, termasuk media massa. Kedua, nilai kontroversi (sphere of legimate controversy). Realitas masih dianggap menyimpang dan buruk, namun dalam realita ini masih diperdebatkan. Media massa, jelas memiliki peran yang tidak kecil dalam mempengaruhi nilai-nilai masyarakat. Ketiga adalah nilai konsensus (sphere of consensus). Dalam wilayah ini, peristiwa tertentu dipahami dan disepakati secara bersama-sama sebagai relitas yang sesuai dengan nilai-nilai ideologi yang dianut masyarakat. Membanjirnya iklan dilayar televisi adalah sesuatu yang sah. Sebab, tayangan hiburan dan informasi yang ditampilkan hadir atas dukungan dana dari para produsen pemasang iklan. Selain itu, iklan juga memberikan alternatif bagi pemirsa untuk mengetahui dan mengenal barang produksi yang ada di pasaran. Menurut Kuswandi (1996) bahwa iklan terbagi menjadi dua yaitu iklan komersial dan iklan layanan masyarakat. Iklan komersial merupakan suatu bentuk promosi hasil produksi perusahaan (makanan, obat-obatan, pakaian dan semacamnya) yang ditawarkan kepada khalayak sasaran melalui media massa. Ada tiga hal penting sehubungan dengan masuknya iklan komersial di media massa, yaitu: (1) produsen mendapat keuntungan apabila barang yang diiklankan dibeli konsumen atau pemirsa; (2) media massa menerima biaya periklanan yang ditayangkan dari perusahaan produksi barang/jasa; (3) pemirsa mengenal barang/jasa produsen yang diiklankan. Disamping iklan komersial dalam media massa terdapat pula iklan layanan masyarakat. Iklan jenis ini, isi pesannya berasal dari golongan atau instansi tertentu (pemerintah, masyarakat, kelompok) yang memberikan informasi kepada masyarakat tentang sesuatu yang harus diketahui dan diikuti serta dijalani oleh pemirsa. Sifatnya hanya mengingatkan. Misalnya mentaati peraturan lalu lintas, himbauan tentang bahaya demam berdarah dan pemberantasan sarang nyamuk, melestarikan lingkungan, himbauan untuk turut mencegah terjadinya tindak korupsi, dan sebagainya. Ada tiga hal pokok yang dapat dilihat dengan munculnya iklan layanan masyarakat di media televisi, yakni: (1) menggugah kesadaran pemirsa untuk berbuat sesuatu; (2) isi pesannya bersifat umum; (3) isi pesannya menggunakan kata himbauan atau anjuran. Sebenarnya tujuan akhir dari kedua jenis iklan tersebut adalah sama, yaitu memberikan informasi kepada pemirsa untuk berbuat sesuatu sesuai dengan objek yang diiklankan. Model Komunikasi Banyak teori tentang hubungan media dan khalayak, kiranya ada empat yang bisa dikemukakan. Pertama, Teori Jarum Hipodermik. Teori ini mengemukakan kekuatan media yang begitu dahsyat sehingga dapat memegang kendali pikiran khalayak yang pasif. Kekauatan media yang mempengaruhi khalayak ini beroperasi seperti jarum suntik, tidak kelihatan namun berefek. Kedua, Teori Agenda Setting. Dengan model yang hampir serupa, teori ini mengatakan jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka ia tidak menentukan what to think, tetapi what to think about. Tengku Dani Iqbal (2006) mengutip pernyataan David H. Heaver bahwa teori ini berdiri atas asumsi bahwa media atau pers does not reflect reality, but rather filters and shapes it, much as a caleidoscope filters and shape it. Dari sejumlah peristiwa dan kenyataan social yang terjadi, media massa memilih dan meilahnya berdasarkan kategori tertentu, dan menyampaikan kepada khalayak dan khalayak menerimanya bahwa peristiwa x adalah penting. Dan yang ketiga adalah Teori Kegunaan dan Kepuasan (uses dan gratification theory). Teori ini secara radikal menandai pergeseran focus pandangan dari hal-hal yang media lakukan untuk khalayak menjadi sesuatu yang orang lakukan terhadap media. Asumsinya tentu saja karena khalayak itu sangat aktif. Para pendukung teori ini menyatakan bahwa orang secara katif menggunakan media massa untuk memuaskan kebutuhan tertentu yang dapat dispesifikasikan. Dan karenanya terpaan media belum tentu diterima dan ditiru oleh khalayak. Setiap komunikasi mempunyai sumber yakni orang atau kelompok orang yang memiliki tujuan, punya alasan untuk melakukan komunikasi yang maksud dan tujuannya harus dinyatakan dalam bentuk pesan. Berdasarkan teori Model Psychodinamic, De Fleur menyatakan bahwa kunci keefektivan persuasi terletak pada kemampuan mengubah struktur psikologis orang perorang. Reaksi De Fleur terhadap model stimulus respon adalah pesan-pesan media massa mempunyai karakteristik tertentu yang berinteraksi dengan individu anggota khalayak yang mempunyai sifat tertentu sehingga menghasilkan efek yang berbeda pula. Mulyana (2001) menggambarkan bahwa suatu pesan yang bersifat persuasif dapat memperoleh suatu perubahan sikap. Adapun gambar selengkapnya seperti pada Gambar 3. Pesan yang persuasif Mencegah/mengaktifkan proses psikologis laten,misalnya pembentukan sikap Perubahan yang dicapai dalam arah tingkah laku yang tampak Gambar 3. Penyampaian Pesan Persuasif (Mulyana, 2001) Model Psychodinamic mencakup upaya pengidentifikasian kondisi dimana menunjukkan jenis peubah utama yang berkaitan dengan sumber, isi, penerima, tujuan adanya alasan untuk mempercayai bahwa pesan yang berasal dari sumber yang berwenang dan dapat dipercaya relatif akan lebih efektif seperti halnya dengan sumber yang menarik/dekat dengan penerima. Mengenai isi keefektifan dikaitkan dengan perulangan, konsistensi dan kurangnya alternatif umumnya dampak yang diinginkan cenderung lebih mungkin terjadi dalam sejumlah topik yang jauh dari atau kurang penting bagi penerima. Ada berbagai macam teori tentang efek media terhadap khalayak, tetapi nampaknya masyarakat Indonesia dapat dimasukkan ke dalam golongan khalayak aktif, maksudnya masyarakat yang menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya dan hanya sesuai dengan tujuannya menggunakan media. Dalam terpaan begitu banyak media, masyarakat kita akhirnya secara taken for granted melakukan seleksi terhadap media-media yang akan dipergunakan. Masyarakat mulai memiliki lebih banyak alternatif media yang dapat dipergunakan, kemudian ketika masyarakat mulai berani untuk memilih media sesuai dengan kebutuhan mereka maka disitulah sedikit demi sedikit khalayak memulai peran aktif nya sebagai khalayak aktif. Penelitian ini melihat proses penyampaian pesan pencegahan bahaya demam berdarah kepada khalayak yang dengan berbagai macam model komunikasi. Pesan yang disampaikan lebih mengarah pada jenis pesan persuasif. Pesan yang persuasif disampaikan dengan mencegah/mengaktifkan proses psikologis laten sehingga terjadi perubahan sikap responden yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. Terpaan Pesan Suatu pesan yang dikirimkan oleh seseorang kepada orang lain dapat diterima oleh panca indra manusia. Dalam suatu proses komunikasi, penyampaian pesan dapat mempergunakan beberapa macam saluran komunikasi, seperti melalui media maupun tatap muka langsung/tanpa perantara. Fungsi alat indra dalam menerima informasi dari lingkungan sangat penting melalui panca indra manusia sehingga dapat memahami kualitas fisik lingkungannya. Lebih dari itu melalui alat indralah manusia memperoleh pengetahuan dan semua kemampuan untuk berinteraksi. Terpaan suatu pesan dapat mengenai seseorang lebih dari satu kali. Effendy (1989) menyatakan bahwa terpaan adalah keadaan terkena pada khalayak oleh pesan-pesan yang disebarkan oleh media massa. Sedangkan terpaan menurut Rakhmat (1986) adalah “sering tidaknya/ada frekwensi dan proses mendengarkan pesan”. Terpaan suatu pesan menentukan seberapa dalam dan jauh pengaruh pesan terhadap komunikan, khususnya mengingat adanya sifat manusia yang mudah lupa. Newcomb memberikan pendapatnya tentang terpaan yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat (2003) yaitu “suatu dasar yang umum lain untuk pilihan tanda-tanda yang sering disajikan oleh orang yang sama lebih besar kemungkinan untuk terlihat daripada yang hanya jarang diulang”. Berdasarkan beberapa pendapat tentang terpaan pesan maka penulis menyimpulkan bahwa terpaan pesan adalah frekwensi (kuantitas) dan intensitas melihat dan mendengarkan pesan yang disampaikan oleh orang lain baik melalui media maupun tidak. Pesan tentang Pencegahan Bahaya Demam Berdarah Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama kali ditemukan di Manila, Filipina tahun 1953, selanjutnya menyebar ke berbagai Negara. Berdasarkan perkiraan Pusat Pengendalian Dan Pencegahan Penyakit (Center for Disease Control and Prevention) yang dikutip dari Majalah Gatra (2002) bahwa setiap tahun diseluruh dunia terjadi 50 hingga 100 juta kasus Demam Dengue , dan ratusan ribu kasus demam berdarah dengue. Di Indonesia, penyakit ini pertama kali mewabah di Surabaya dan DKI Jakarta pada tahun 1968, kemudian menyebar ke seluruh provinsi. Sejak tahun 1968 hingga tahun 1998, setiap tahun rata-rata 18.000 orang dirawat di rumah sakit. Dari jumlah itu tercatat, 700-750 penderita meninggal dunia. Jumlah Penderita demam berdarah dari bulan Desember 2005 – Februari 2006 yang bersumber dari Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan DKI Jakarta, seperti dikutip dari Kompas (14 Maret 2006) bahwa kasus demam berdarah pada Desember 2005 mencapai 11.822 kasus, kemudian terjadi penurunan pada bulan Januari 2006 yaitu mencapai angka 7.546 kasus, hingga akhir bulan Februari 2006 angka kasus DBD terus mengalami penurunan yaitu 2.589 kasus. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular di Indonesia. Menurut Darmowandowo (2005) bahwa demam berdarah merupakan suatu penyakit akut yang disebabkan oleh infeksi virus yang dibawa oleh nyamuk yang dikenal dengan sebutan Aedes Aegypty serta Aedes Albopictus betina yang umumnya menyerang pada musim panas dan hujan. Serangan demam berdarah memang sering kali tak terduga, apalagi di musim hujan. Menurut Rita Kusriastuti (2005), Kepala Subdirektorat Arbovirusis, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular, Departemen Kesehatan R.I bahwa jumlah nyamuk penyebab demam berdarah berlipat ganda bila musim hujan tiba. Penyakit demam berdarah merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit demam berdarah dengue, sebab baik virus penyebab maupun nyamuk penularnya sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum di seluruh Indonesia. DBD harus diwaspadai karena sangat membahayakan bahkan mengakibatkan kematian apabila si penderita tidak segera mendapatkan pengobatan/perawatan yang tepat. Ciri-ciri nyamuk Aedes Aegypti adalah badan kecil warna hitam bintik – bintik putih, hidup di dalam dan di sekitar rumah , menggigit / menghisap darah pada siang hari, senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar , bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar rumah bukan di got / comberan. Nyamuk Aedes dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia. Virus berkembang biak dalam tubuh nyamuk dalam waktu 8 – 10 hari sebelum dapat ditularkan kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, maka nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya. Pada manusia, virus membutuhkan 4-6 hari sebelum menimbulkan sakit. Faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks, yaitu: (1) pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi, (2) urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, (3) tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) peningkatan sarana transportasi. Demam berdarah hanya ditularkan melalui nyamuk aedes aegypti yang berkembang biak di dalam genangan air jernih di dalam maupun disekitar rumah, bukan di comberan/got. Membunuh nyamuknya saja dirasakan masih kurang jika jentik-jentiknya masih hidup. Mengingat akibat penyakit ini sangat fatal yaitu dapat mengakibatkan kematian, maka sangat disarankan kepada masyarakat untuk melakukan tindakan pencegaham. Demam berdarah dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik nyamuk Demam Berdarah (Aedes Aegypi) dengan cara melakukan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk). Upaya ini merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah, mudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat, dengan cara sebagai berikut: 1. bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti : bak mandi / WC, drum, dan lain-lain) sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di vas kembang, tempat minum burung, perangkap semut dan lain-lain sekurangkurangnya seminggu sekali; 2. tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tempayan, drum, dan lain-lain agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat tersebut; 3. kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng bekas, ban bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air hujan, agar tidak menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Potongan kayu, urung kelapa, dan lain-lain agar dibakar bersama sampah lainnya; 4. tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar dengan tanah atau adukan semen; 5. lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap pada pakaian tersebut. 6. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk ABATE ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi hal ini setiap 2-3 bulan sekali. 7. Selain itu disarankan melakukan pengasapan atau fogging secara berkala dan teratur untuk memberantas nyamuk pembawa virus DBD. Pesan-pesan tentang bahaya demam berdarah dan pemberantasan sarang nyamuk dimaksudkan untuk mempengaruhi orang lain sehingga pesan dibuat sedemikian rupa agar dapat menyentuh motif yang menggerakkan atau mendorong perilaku orang tersebut. Dengan perkataan lain, secara psikologis pemerintah dapat mengimbau khalayak untuk menerima dan melaksanakan gagasan tersebut. Sikap Sikap merupakan konsep yang paling penting dalam psikologi sosial dan yang paling banyak didefinisikan. Ada yang menganggap sikap hanyalah sejenis motif sosiogenis yang diperoleh melalui proses belajar. Adapula yang melihat sikap sebagai kesiapan saraf (neural settings) sebelum memberikan respon. Muller (1992) berpendapat bahwa sikap adalah suatu kecenderungan bertindak kearah/menolak suatu fungsi lingkungan. Sedangkan sikap menurut Saepudin (1988) tidaklah berupa sistem psikologis/keturunan, akan tetapi merupakan proses belajar yang diperoleh melalui pengalaman. Rakhmat (2003) menyimpulkan beberapa hal tentang sikap yaitu “Pertama, sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi,berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai; kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi; ketiga, sikap relatif lebih menetap; keempat, sikap mengandung aspek evaluatif artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kelima, sikap timbul dari pengalaman” Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap dapat berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok. Jadi, pada kenyataannya tidak ada istilah sikap yang berdiri sendiri. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap dapat berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok. Jadi, pada kenyataannya tidak ada istilah sikap yang berdiri sendiri. Sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu. Sikap menentukan hal-hal yang disukai, diharapkan, dan diinginkan; mengesampingkan hal-hal yang tidak diinginkan dan yang harus dihindari. Tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Sebagai hasil belajar, sikap dapat diperteguh atau diubah, atau dikembalikan seperti semula, walaupun memerlukan waktu yang cukup lama. Sikap merupakan kecenderungan/predisposisi bertingkah laku. Sikap menurut Sarwono (1989) adalah “kesiapan seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu”. Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai objek tertentu. Chapman (1973) juga berpendapat bahwa sikap adalah “a tendency to react positively or negatively toward an object.” Ada tiga kunci pokok dari definisi yang dikemukakan oleh Mc Quinn yaitu pertama, sikap mengarah pada objek; kedua, sikap adalah kecenderungan positif atau negatif dalam berhubungan dengan sebuah objek; dan ketiga, sikap adalah sebuah kecenderungan untuk memberikan reaksi tertentu. Kemudian membagi sikap terdiri atas komponen afektif, kognitif, dan behavioral/kecenderungan perilaku. Model selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4. Stimuli (observed event or symbolic representation of event) Relating to attitude object (individuals, situations, social issues, social groups, etc) Attitudes Cognitions 1. Behavioral indices of cognitive processes 2. Verbal statement of beliefs Affect 1. Physiological indices of emotional reactions 2. Verbal statement of affect Action Tendencies 1. Overt actions 2. Verbal statements concerning actions Gambar 4 Skema Konsep dari Sikap (Chapman: 1973) Komponen afektif merupakan indikasi psikologi dari suatu reaksi emosional dan pernyataan yang muncul dari reaksi tersebut. Sedangkan komponen kognitif merupakan indikasi reaksi dari proses kognisi dan penyataan verbal dari kepercayaan/keyakinan seseorang. Komponen perilaku lebih mengarah pada aksi yang muncul dari sesuatu hal kemudian diikuti oleh penyataan verbal mengarah ke aksi seseorang. Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa sikap adalah perubahan pada individu yang meliputi perubahan komponen afektif, kognitif, dan kecenderungan bertingkah laku akibat dari adanya stimulus yang berhubungan dengan sesuatu objek. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA Pemerintah berusaha menyampaikan pesan tentang pencegahan bahaya demam berdarah kepada masyarakat. Pesan disampaikan melalui kampanye penanggulangan wabah Demam Berdarah Denge (DBD). Penelitian ini mengukur dan mendeskripsikan hubungan tingkat keterdedahan ibu-ibu rumah tangga terhadap pesan pencegahan bahaya demam berdarah yang disampaikan melalui komunikasi massa (tayangan iklan dan berita di televisi), komunikasi kelompok (kelompok Posyandu), dan komunikasi interpersonal (tetangga). Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan saluran komunikasi yang paling efektif untuk jenis pesan persuasif dengan khalayak ibu-ibu rumah tangga. Terpaan pesan merupakan peubah bebas dalam penelitian ini, sedangkan peubah tak bebas berupa sikap ibu-ibu rumah tangga terhadap pesan pencegahan bahaya demam berdarah. Pengukuran berikutnya adalah menguji hubungan antara terpaan pesan pencegahan bahaya demam berdarah dengan sikap ibu-ibu rumah tangga. Model penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5. Pesan Pencegahan Bahaya Demam Berdarah (X1) 1. Frekwensi dan intensitas melihat pesan melalui televisi 2. Frekwensi dan intensitas mendengar pesan melalui Kader Posyandu 3. Frekwensi dan Intensitas mendengar pesan melalui Tetangga Sikap (Y) 1. Komponen Kognitif 2. Komponen Afektif 3. Komponen Konatif Karakteristik Responden (X2) 1. Usia 2. Tk. Pendidikan 3. Pekerjaan Gambar 5 Model Penelitian Hubungan Terpaan Pesan Dengan Sikap Hipotesa Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran yang dikemukakan maka diajukan hipotesa sebagai berikut: H1 Pesan pencegahan bahaya demam berdarah yang menerpa ibu-ibu rumah tangga memiliki nilai yang berbeda-beda berdasarkan karakteristik responden H2 Sikap ibu-ibu rimah tangga terhadap pesan pencegahan bahaya demam berdarah memiliki nilai yang berbeda-beda berdasarkan karakteristik responden H3 Terpaan pesan pencegahan bahaya demam berdarah berkorelasi positif dengan sikap ibu-ibu rumah tangga