Pacchājātapaccayo ( Kondisi kemunculan belakangan ) Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa pacchājātapaccayo’ti: 1. pacchājātā cittacetasikā dhammā purejātassa imassa kāyassa pacchājātapaccayena paccayo. Klik di sini untuk mendengar 24 Paṭṭhāna Pāḷi Chanting Download MP3 Pacchājātapaccayo Terjemahan Bahasa Indonesia : 1. Kesadaran yang muncul belakangan dan faktor-faktor mental penyertanya membantu materialitas yang muncul lebih dahulu ( yakni : landasan batin, landasan mata, landasan telinga, landasan hidung, landasan lidah, landasan jasmani ) melalui kondisi kemunculan belakangan. Pacchājāta paccaya seperti anak burung nasar yang berharap untuk makan ketika orangtua mereka pulang, dan harapan mereka yang muncul kemudian menyebabkan tubuh mereka untuk bertahan hidup. Paṭṭhāna menjelaskan mengenai paccaya dan paccayuppanna. Paccaya adalah sebab. Paccayuppanna adalah akibat. Jika sebab dan akibat muncul bersamaan, maka disebut sahajāta. Jika sebab muncul lebih awal dari akibat, maka disebut purejāta. Jika sebab muncul belakangan dibandingkan akibat, maka disebut pacchājāta. Pacchā berarti “belakangan”, jāta berarti “lahir atau muncul”, jadi pacchājāta adalah muncul belakangan. Ini merupakan kebalikan dari purejāta. Di sini, hal yang tidak biasa dari pacchājāta adalah sebab yang muncul belakangan menyebabkannya untuk mempertahankan akibat yang muncul lebih awal. Dengan kata lain, sebab lahir belakangan dari akibatnya. Kondisi ini sangat aneh. Mari kita lihat bagaimana prosesnya. Pacchājātā cittacetasikā dhammā, purejātassa imassa kāyassa, pacchājātapaccayena paccayo. Pacchājātā cittacetasikā dhammā berarti “Citta dan cetasika dhamma yang muncul belakangan”. Purejātassa berarti “lahir lebih awal”. Imassa kāyassa berarti “pada tubuh ini”. Pacchājātapaccayena berarti “melalui kondisi kelahiran belakangan”, paccayo berarti “menyebabkan untuk mempertahankan”. Keseluruhan kalimat ini berarti, “Citta dan cetasika dhamma yang lahir belakangan menyebabkannya mempertahankan rūpa yang lahir lebih awal melalui kondisi kelahiran belakangan (pacchājātapaccaya).” Terdapat empat jenis rūpa : kammaja rūpa, cittaja rūpa, utuja rūpa dan āhāraja rūpa, dan mereka lahir dengan cara yang berbeda-beda. Sebagaimana yang anda ketahui, setiap citta memiliki tiga sub-momen : momen kemunculan (uppāda khaṇa), momen keberlangsungan (ṭhiti khaṇa) dan momen kepadaman (bhaṅga khaṇa). Pada sub momen kemunculan (uppāda khaṇa) dari paṭisandhi citta, kammaja rūpa dihasilkan bersama dengan paṭisandhi citta. Selanjutnya, kammaja rūpa terus dihasilkan pada setiap sub-momen. Mulai dari sub-momen keberlangsungan (ṭhiti khaṇa) dari paṭisandhi citta, utuja rūpa dihasilkan karena unsur tejo (api/panas) dari kammajarūpa. Kemudian pada momen keberlangsungan rūpa, utuja rūpa–utuja rūpa ini kembali menghasilkan utuja rūpa yang baru karena unsur tejo dari utuja rūpa. Jangka hidup dari rūpa adalah 17 momen kesadaran atau 51 sub-momen (3 sub momen x 17 momen kesadaran). Di antara 51 sub-momen, sub momen yang pertama adalah momen kemunculan rūpa dan yang terakhir adalah momen kepadaman rūpa, sedang 49 sub-momen yang di tengah adalah momen keberlangsungan dari rūpa. Jadi, utuja rūpa kembali menghasilkan utuja rūpa yang baru pada momen keberlangsungan dari rūpa. Setelah paṭisandhi citta, cittaja rūpa dihasilkan mulai dari sub momen kemunculan bhavaṅga citta yang pertama dan cittaja rūpa terus dihasilkan pada setiap sub-momen kemunculan dari citta apapun. Ketika mendapat nutrisi, āhāraja rūpa dihasilkan dan āhāraja rūpa ini menghasilkan kembali āhāraja rūpa yang baru karena ojā dari āhāraja rūpa tersebut dan dengan bantuan dari kammajatejo dari lambung pada momen keberlangsungan rūpa. Nāma dhamma yang muncul belakangan merupakan sebab untuk mempertahankan rūpa dhamma yang muncul lebih awal mulai dari kelahiran hingga kematian. Sebagai contoh, Bhavaṅga citta yang pertama menjadi sebab untuk mempertahankan paṭisandhi kammaja rūpa melalui kondisi kelahiran belakangan (pacchājātapaccaya). Ini berarti jika bhavaṅga citta yang pertama tidak dapat muncul, maka paṭisandhi kammaja rūpa juga tidak akan ada. Bhavaṅga citta yang pertama juga menjadi sebab untuk mempertahankan utuja rūpa yang dihasilkan pada sub-momen keberlangsungan (ṭhiti khaṇa) dari paṭisandhi citta dan kammaja rūpa melalui kondisi kelahiran belakangan (pacchājātapaccaya). Bhavaṅga citta yang kedua menjadi sebab untuk mempertahankan cittaja rūpa yang dihasilkan oleh bhavaṅga citta yang pertama, demikian pula kammaja rūpa dan utuja rūpa melalui kondisi kelahiran belakangan. Ini berarti rūpa sebelumnya tidak akan ada jika nāma dhamma berikutnya tidak muncul. Dengan kata lain, di mulai dari kelahiran hingga kematian, nāma dhamma yang lahir belakangan menjadi sebab untuk mempertahankan rūpa dhamma yang lahir lebih awal. Nāma adalah sebab dan akibatnya adalah rūpa. Jika tidak ada nāma dhamma yang muncul belakangan, tidak akan ada rūpa dhamma yang muncul lebih awal. Contohnya, pada 17 momen kesadaran sebelum cuti citta, kammaja rūpa dihasilkan untuk terakhir kalinya, karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya jangka hidup dari satu rūpa adalah 17 momen kesadaran; oleh sebab itu, tidak ada lagi kammaja rūpa yang dihasilkan pada 16 momen kesadaran, 15 momen kesadaran, 14 momen kesadaran dan seterusnya sebelum cuti citta. Pada momen cuti citta, kammaja rūpa yang telah lahir 17 momen kesadaran yang lalu juga lenyap dan tidak menghasilkan lagi. Itu karena tidak ada lagi citta pada kehidupan ini yang muncul setelah cuti citta; oleh sebab itu, jika tidak ada nāma dhamma yang lahir belakangan, rūpa dhamma yang muncul lebih awal tidak dapat muncul melalui kondisi pacchājāta paccaya. Kitab ulasan menggunakan perumpamaan anak burung nasar untuk kondisi pacchājāta paccaya. Burung nasar adalah sejenis burung pemakan daging. Setelah bertelur, induk burung nasar pergi mencari makanan. Bayi burung nasar mengharapkan induknya membawakan mereka makanan ketika mereka kembali. Tetapi induk burung nasar tidak membawa makanan untuk bayi mereka. Walau bayi tersebut tidak makan, batin mereka tenang karena tinggal bersama dengan induknya. Hari berikutnya, mereka lagi-lagi berharap induk mereka akan membawakan mereka makanan ketika kembali, tetapi induk mereka tetap tidak membawa makanan. Pengharapan mereka menyebabkan tubuh mereka dapat bertahan. Demikianlah, nāma yang muncul belakangan menyebabkan rūpa yang muncul lebih awal bertahan dengan cara kondisi kemunculan belakangan (pacchājātapaccaya). Contoh lain, saat anak yang baik tumbuh berkembang sedikit, orang tua merasa senang dan batin mereka damai serta mengharapkan kehidupan yang nyaman di hari tuanya. Ketika anak-anak menyelesaikan pendidikan dan bekerja, orang tuanya menjadi lebih senang lagi dan merasakan kedamaian batin yang lebih karena pengharapan mereka akan hidup nyaman di hari tua, walaupun pada saat itu orang tua belum menerima apapun dari anak mereka. Ketika orang tua telah berusia tua, anak-anak mereka benar-benar menyokong dan merawat mereka, dan mereka merasa senang serta memiliki kedamaian batin. Dengan cara seperti inilah batin yang muncul belakangan menjadi sebab untuk mempertahankan tubuh mereka yang muncul lebih awal melalui kondisi kemunculan belakangan (pacchājātapaccaya). Contoh lain, air hujan menjadi sebab untuk mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan dari tumbuh-tumbuhan yang telah tumbuh sebelumnya. Ini menunjukkan sebab mempertahankan akibat melalui kondisi kelahiran belakangan (pacchājātapaccaya). Demikianlah penjelasan Pacchājātapaccaya. Sādhu! Sādhu! Sādhu! Sumber : Ceramah Dhamma Sayalay Santagavesi selama berdiam di Vihara Dhammadayada dari bulan April – Juni 2015.