residu fungisida dalam ekosistem kentang

advertisement
68
TINGKAT RESIDU FUNGISIDA METHYL THIOPHANATE
DALAM TANAH PADA TANAMAN KENTANG SERTA DAMPAK
TERHADAP KEHIDUPAN JAMUR TANAH DI BATU MALANG
TheThiophanate Methyl Fungicide Residual Level in Soil for Potato in Batu Malang
and the Impact of the Soil Fungi.
Faisol Humaidi
Mahasiswa Program Pascasarjana, Unibraw, Malang /
Dosen Universitas Putera Bangsa, Surabaya
Abdul Latief Abadi dan Siti Rasminah Ch.Sy.
Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan atas dasar studi kasus penggunaan fungisida methyl
thiophanate dilahan milik Djoko Lesmono, desa SumberBrantas Kotatif Batu
Malang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat residu fungisida methyl
thiophanate (C12H14N4O4S2) dalam tanah tanaman kentang serta dampak terhadap
kehidupan jamur tanah. Percobaan ini dilaksanakan pada bulan September 1998
sampai dengan Mei 1999.
Percobaan lapangan dilakukan dengan pengambilan sampel tanah secara
berkala dengan pola pengambilan sampel secara diagonal. Pelaksanaan pengambilan
sampel tanah adalah 3 tahap, 1 minggu sebelum bibit kentang ditanam, 6 minggu
sebelum panen dan 1 minggu sebelum panen kentang. Data yang diperoleh dari
pengujian fungisida methyl thiophanate secara in-vitro selanjutnya dianalisis dengan
uji BNT pada taraf 5%.
Data yang diperoleh dari kadar residu fungisida methyl thiophanate pada
tanah dan tingkat populasi jamur tanah diuji dengan t-test 1%. Untuk mengetahui
hubungan dari perlakuan aplikasi fungisida terhadap tingkat populasi jamur tanah
digunakan pendekatan teknik analisis regresi dan korelasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat residu fungisida methyl
thiophanate pada tanah tanaman kentang dapat menekan populasi jamur tanah.
Residu tertinggi diperoleh dari waktu pengukuran 1 minggu sebelum panen kentang
(37,0782 ppm) meskipun tidak berbeda nyata dengan waktu pengkuran 6 minggu
sebelum panen (36,0236 ppm). Tingkat populasi jamur terendah diperoleh pada
waktu pengambilan sampel 1 minggu sebelum panen kentang (12900 jamur/gram
tanah) meskipun tidak berbeda nyata dengan waktu pengambilan sampel tanah 6
minggu sebelum panen (14.000 jamur/gram tanah) . Pengujian fungisida methyl
thiophanate secara in-vitro dengan metode umpan beracun dan kertas saring
menunjukkan
konsentrasi
0 ppm, 25 ppm, 50 ppm dan 75 ppm belum dapat menghambat pertumbuhan jenis
jamur tanah, namun pada konsentrasi 100 ppm dapat menghambat pertumbuhan jenis
jamur tanah. Konsentrasi 25 ppm dengan metode umpan beracun dapat menghambat
jamur Fusarium solani , Rhizoctonia solani, Aspergillus niger, Rhyncosporium
69
secalis, sedangkan dengan metode kertas saring konsentrasi 25 ppm dapat
menghambat pertumbuhan jamur Fusarium solani dan Aspergillus niger.
Kata Kunci : Methyl thiophanate, residu, metode umpan beracun, metode
kertas saring
ABSTRACT
The study was undertaken on the usage of thiophanate methyl fungicide on
the Djoko Lesmono’s soil at the Sumberbrantas village, Batu, Malang.
The study is aimed at determining the residual level of thiophanate
methyl fungicide in soil for potato plant, and the effect on the soil fungi. The study
was done from September 1998 through May 1999.
Field experiment was performed by taking soil samples by diagonal design
in time series. Soil sampling consisted of three phases: 1 week before potato
planting, 6 weeks before potato harvest and 1 week before harvest.
Data obtained from the thiophanate methyl fungicide test by in-vitro were
analyzed by Analysis of Variance (ANOVA) and Least Significant Difference (LSD)
at p = 0.05. The data obtained from the residual level of thiophanate methyl
fungicide in soil and population level of soil fungi were tested by t-test of 1%. The
relation between the fungicide application treatment and the population level of soil
fungi was determined by regression and correlation analyses.
The results of the study indicate that the residual level of thiophanate
methyl fungicide in the soil can inhibit the population of soil fungi. The highest
residual level of 37.0782 ppm was obtained from the third phase, insignificantly
different from that of the second phase, which was 36.0236 ppm. The lowest
population level of soil fungi was obtained of the third phase
(12,900 fungi/gram soil), insignificantly different from that of the second phase
which stood at 14,000 fungi/gram soil. The in-vitro thiophanate methyl fungicide
experiment by eradicant action and filter paper method showed that the
concentrations of 0 ppm, 25 ppm, 50 ppm and 75 ppm were incapable of inhibiting
the growth of soil fungi. Significant inhibition of soil fungi growth was evident at the
concentration of 100 ppm . Eradicant action method at 25 ppm could inhibit the
growth of Fusarium solani, Rhizoctonia solani, Aspergillus niger, Rhyncosporium
secalis, whereas filter paper method at 25 ppm could inhibit the growth of Fusarium
solani and Aspegillus niger.
Key words : thiophanate methyl, residue, eradicant action method, filter
paper method.
PENDAHULUAN
Penggunaan pestisida dalam bidang pertanian telah menunjukkan hasil
dalam menanggulangi merosotnya produksi akibat serangan jasad pengganggu.
Kebutuhan pestisida akan terus meningkat sebelum ditemukan cara yang lebih efektif
di dalam mengendalikan jasad pengganggu. Disamping itu penggunaan pestisida
yang tidak tepat dapat menimbulkan akibat-akibat sampingan yang merugikan karena
kebanyakan petani menggunakan pestisida tanpa memperhatikan keadaan biologi,
70
ekologi hama dan penyakit tumbuhan, sehingga apabila penggunaan pestisida sering
mendatangkan dampak yang tidak diinginkan. Salah satu dampak penggunaan
pestisida adanya residu pestisida pada hasil pertanian dan tanah pertanian (Ekha,
1988).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa, pemakaian pestisida telah
meluas pada beberapa komoditi pertanian, salah satunya komoditi kentang. Pada
tanaman kentang perlakuan insektisida dan fungisida sangat intensif, karena tanaman
tersebut sangat peka terhadap serangan hama dan patogen. Umumnya penyakitpenyakit utama yang banyak menyerang tanaman kentang di Batu Malang adalah
penyakit busuk daun Phythopthora infestans (Mont.) de Barry sedangkan hama
utamanya golongan ulat dan kutu Thrips sp.
Penyakit hawar daun kentang yang disebabkan oleh Phythopthora infestans
merupakan salah satu kendala utama budidaya kentang di Batu Malang. Pendekatan
teknik pengendalian penyakit tersebut sampai sekarang sangat tergantung dari
penggunaan fungisida yang sangat intensif. Terdapat banyak fungisida yang sering
digunakan oleh petani-petani kentang di Batu, diantaranya mankozeb, propineb,
maneb dan methyl thiophanate dan banyak lagi jenis-jenis fungisida yang digunakan
berspektrum luas. Hasil survei tahun 1992 (Abadi, et.al, 1993) pada petani-petani
sayuran di Batu Malang mengidentifikasikan penggunaan beberapa fungisida
berspektrum luas. Umumnya petani menyemprot fungisida pada tanaman kentang
dengan interval 2-3 kali setiap minggu dengan dosis 1 kg/200 liter air yang setara
dengan konsentrasi 5 gram/liter air. Penyemprotan fungisida dapat ditambah
intervalnya bila cuaca dianggap menguntungkan hama dan penyakit.
Dampak samping penggunaan aplikasi fungisida di lahan tanaman kentang
adalah adanya residu yang tertinggal didalam tanah dan tanaman kentang dan salah
satu satu dampak yang banyak menerima residu fungisida adalah tanah. Semakin
banyak tanaman kentang disemprot dengan fungisida maka akan berpengaruh
terhadap akumulasi residu pada tanah. Perilaku fungisida pada tanah dapat
mengalami beberapa peristiwa diantaranya, pencucian oleh air tanah sehingga tanah
banyak mengandung residu fungisida, mengalami degradasi kimia oleh mikroba,
bioakumulasi fungisida oleh mikroba, perubahan tingkat populasi mikroba tanah dan
lain-lain.
Umumnya efek residu fungisida pada tanah tanaman kentang dapat bertahan
selama 30 hari, 90 hari, 120 hari bahkan ada yang sampai bertahan selama 2 tahun
(Anonymous, 1993). Bertahannya residu fungisida pada tanah tanaman kentang
diduga karena adanya populasi mikroba tanah yang berfungsi sebagai bioakumulator,
dosis yang tinggi dan waktu aplikasi yang sempit serta pengaruh perilaku mikroba
tanah terhadap fungisida yang menyebabkan salah satu tinggi rendahnya residu pada
tanah. Masih belum banyak informasi-informasi tingkat residu fungisida pada tanah
tanaman kentang dan dampaknya terhadap kehidupan mikroba tanah. Dalam
penelitian ini ditekankan seberapa jauh tingkat residu fungisida methyl thiophanate
serta dampaknya terhadap kehidupan jamur tanah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat residu fungisida methyl
thiophanate (C12H14N4O4S2) dalam tanah tanaman kentang serta dampak terhadap
kehidupan jamur tanah.
METODE PENELITIAN
71
Penelitian ini dilaksanakan atas dasar studi kasus penggunaan fungisida
methyl thiophanate dilahan tanaman kentang milik Djoko Lesmono desa
Sumberbrantas Kotatif Batu Malang dengan suhu rata-rata 18,5°C, pH tanah 6,6 –
6,9, type tanah Andosol dan ketinggian tanah sebesar 1650 m dpl. Pelaksanaan
penelitian dilaksanakan pada bulan September 1998 sampai dengan Mei 1999. Luas
lahan yang digunakan dalam penelitian ini 128,1 m2 (7m  18,3m). Penyemprotan
fungisida methyl thiophanate dilakukan setelah tanaman kentang berumur 1 bulan
dengan waktu aplikasi 7 hari sekali sampai akhir panen dengan dosis 1 kg/200 liter
per hektar. Metode pengambilan sampel tanah dilakukan secara berkala (time series)
dengan pola pengambilan sampel tanah secara diagonal (Gams, 1992).
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan
Pengambilan sampel tanah dilakukan tiga tahap, pengambilan sampel tanah
dilaksanakan 1 minggu sebelum bibit kentang ditanam, tanaman kentang berumur 6
minggu sebelum panen dan 1 minggu sebelum panen.
Pelaksanaan
Sampel-sampel tanah yang diambil kemudian dilaksanakan dalam beberapa
tahapan penelitian.
Penelitian tahap pertama
Penelitian tahap pertama adalah pengambilan sampel tanah pada 1 minggu
sebelum bibit kentang ditanam. Sampel tanah diambil dengan alat pengambil
sampel tanah pada kedalaman 30 cm kemudian dibungkus dengan kantong plastik
dan diberi label. Setelah selesai pengambilan sampel tanah kemudian dibawa ke
Laboratorium Mikologi jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya Malang.
Sampel tanah yang dibungkus kantong plastik kemudian dipisahkan masingmasing menjadi dua bagian. Bagian pertama untuk analisa residu fungisida dalam
tanah, sedangkan bagian kedua digunakan untuk mengukur tingkat populasi jamur
tanah.
Pengukuran kadar residu fungisida methyl thiophanate dalam tanah
mengikuti prosedur Austin dan Brigs (Silverstin et.al, 1991; Liu and Hsiang, 1996)
dengan menggunakan metode UV–Spectrofotometri (UV-vis). Cara pengukuran
kadar residu fungisida methyl thiophanate dalam tanah dilaksanakan dalam dua
tahap. Tahap pertama meliputi pembuatan standar fungisida methyl thiophanate
dengan plate TLC dan tahap kedua merupakan tahap pengukuran kadar residu
fungisida methyl thiophanate dengan UV- Spectrofotometri.
Pembuatan standar methyl thiophanate dilakukan dengan mencampur
fungisida methyl thiophanate (70 WP) sebanyak 10 - 15 gram dengan 10 ml acetone
pa. Langkah selanjutnya dengan meneteskan cuplikan/suspensi fungisida methyl
thiophanate setinggi 2 cm dari ujung lempeng kaca/plate TLC (Kieselgerl) dengan
pelarut acrylonitril dan cloroform dengan perbandingan 2:1 (Touchstone and
Dobbins, 1977), kemudian dielusikan noda tersebut sampai ketinggian 6-7 cm.
Langkah selanjutnya dengan mengeluarkan plate TLC tersebut dan dikering
anginkan, kemudian tandai batas permukaan solven yang dicapai (eluen). Eluen yang
terbentuk pada plate TLC tersebut selanjutnya dikerok. Hasil serbuk/kerokan
tersebut dilarutkan dengan cloroform sebanyak 10 ml. Campuran ini disaring
dengan kertas saring Whatman No 42. Hidrolizat-hidrolzat yang diperoleh
dievaporasi pada suhu kamar (37°C) supaya solvent/pelarut menguap. Hasil terakhir
72
hidrolizat dinamakan standar methyl thiophanate murni dengan ciri-ciri adanya
endapan kristal seperti jarum. Fungsi standar ini digunakan untuk membandingkan
residu fungisida methyl thiophanate yang terdapat pada sampel tanah tanaman
kentang.
Penentuan kadar residu fungisida methyl thiophanate dalam tanah dengan
metode UV-Spectrofotometri. Sebanyak 10 gram sampel tanah dari pengambilan
sampel tanah 1 minggu sebelum tanam ditambah dengan 25 ml pelarut cloroform.
Campuran-campuran ini dimasukkan kedalam rangkaian peralatan reflux dengan
suhu 45 °C selama 30 menit. Hidrolizat-hidrolizat yang diperoleh kemudian
didinginkan pada suhu kamar (37°C) selama 30 – 60 menit. Langkah selanjutnya,
hidrolizat disaring dengan kertas saring Whatman No 42 untuk memisahkan tanah
dengan suspensi pada tempat beaker glass ukuran 100 ml. Hasil akhir yang
diperoleh (hidrolizat) dievaporasi lebih lanjut pada suhu kamar (37°C) sampai
pelarut/ solven menguap habis sehingga terdapat residu fungisida methyl
thiophanate. Beaker glass yang berisi residu fungisida methyl thiophanate ditetesi 3
ml acetone, 1 ml larutan vanillin (0,6 gram vanillin dilarutkan dalam 100 ml asam
asetat glasial). Selanjutnya ditambahkan 4 ml H3PO4 dan 0,2 ml 0,5 M NaOH
dalam metanol. Masing-masing Beaker glass yang telah berisi suspensi/hidrolizat
dituangkan kedalam masing-masing “test tube” dan ditutup rapat. Test tube ini
selanjutnya dipanaskan dengan waterbath dengan suhu 60°C selama 20 menit.
Setelah selesai dipanaskan, test tube didinginkan pada suhu 40°C. Suspensi-suspensi
dalam test tube kemudian dimasukkan kedalam cuvex sebanyak 10 ml untuk diukur
residu fungisida methyl thiophanate dengan UV - Spectrofotometri pada panjang
gelombang 575 nm (Silverstain et.al, 1992) . Untuk mengukur kadar residu
fungisida methyl thiophanate dilakukan dengan membandingkan pada kurva standar.
Pembuatan kurva standar dilakukan dengan cara yang sama dengan prosedur analisis
residu fungisida methyl thiophanate. Standar fungisida methyl thiophanate yang
digunakan adalah 0 ppm, 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm dan 5 ppm. Kurva standar
kedua dibuat dengan konsentrasi sebasar 0 ppm, 25 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 150
ppm dan 200 ppm.
Bagian sampel tanah kedua digunakan untuk mengukur tingkat populasi
jamur tanah dengan metode cawan pengenceran. Metode tersebut dilakukan dengan
cara mengambil sampel tanah sebanyak 1 gram dan dimasukkan kedalam 99 ml
aquadest steril dan dikocok hingga homogen. Selanjutnya mengambil 1 cc suspensi
tanah pada nomer 1 (10-2) dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi 9 cc
aquadest steril, dikocok hingga homogen maka didapatkan suspensi jamur dengan
pengenceran 10-3. Dengan cara yang sama dibuat pengenceran selanjutnya sampai
10-7.
Proses
selanjutnya
dengan
menuangkan medium PDA sebanyak 10 cc yang telah dicairkan pada suhu 50C dari
masing-masing cawan Petri. Untuk menghindari tumbuhnya bakteri perlu ditetesi
chloramphenicol 30 ppm dan penicillin-G 50 ppm. Langkah selanjutnya mengambil
1 cc suspensi jamur dari masing-masing seri pengenceran dengan memakai pipet
steril dan dimasukkan kedalam cawan Petri yang telah berisi medium PDA sebelum
memadat. Kemudian kultur tersebut diinkubasi pada suhu kamar selama 7 hari
(Gams et.al, 1975; Cappucino and Sherman, 1983).
Setiap koloni jamur yang tumbuh dalam cawan Petri dianggap identik
dengan satu propagul dalam tanah. Jumlah koloni dalam cawan Petri kemudian
dikalikan dengan faktor pengenceran sehingga diperoleh angka perkiraan populasi
73
jamur tanah per gram tanah. Isolat-isolat jamur tersebut kemudian diisolasi lebih
lanjut untuk diamati dibawah miskroskop dan diidentifikasi.
Identifikasi jamur dilakukan dengan mengamati morfologi jamur yang
didapat berupa bentuk dan warna konidi/spora, pengamatan koloni jamur pada
biakan murni meliputi warna dan bentuk koloni. Identifikasi jamur didasarkan pada
kunci determinasi menurut Baron (1972), Barnett dan Hunter (1972),
Domsch,
et.al. (1980) dan menurut Carmichael, et.al (1980).
Isolat-isolat jamur kemudian diuji toksisitasnya dengan fungisida methyl
thiophanate (Topsin - M70WP) pada konsentrasi 0 ppm, 25 ppm, 50 ppm, 75 ppm
dan 100 ppm (Hassal, 1990).
Rancangan yang digunakan pada uji toksisitas fungisida secara in-vitro
dengan fungisida Topsin-M 70 WP adalah rancangan acak lengkap yang masingmasing diulang tiga kali. Hasil yang didapat dianalisis dengan uji lebih lanjut
menggunakan metode BNT.
Pengujian fungisida methyl thiophanate secara in-vitro digunakan dua
metode yaitu metode umpan beracun dengan menumbuhkan inokulum jamur pada
medium PDA yang sudah bercampur dengan fungisida (Sharvelle, 1979). Metode
ini dilakukan dengan mencampur larutan fungisida dengan konsentrasi yang berbeda
(0 ppm, 25 ppm, 50 ppm, 75 ppm dan 100 ppm) sebelum medium PDA dalam
cawan Petri memadat. Setelah medium PDA memadat, menumbuhkan inokulum
jamur yang didapat dengan meletakkan ditengah-tengah medium PDA. Perlakuan
ini kemudian dibandingkan dengan perlakuan kontrol yang tidak diperlakukan
dengan larutan fungisida. Metode kedua adalah metode kertas saring yaitu
menumbuhkan inokulum jamur pada medium PDA dan meletakkan bulatan kertas
saring setelah dicelupkan kedalam larutan fungisida (Dekker, 1983). Metode ini
dilakukan dengan mencelupkan beberapa bulatan kertas saring didalam larutan
fungisida dengan masing-masing konsentrasi 0 ppm, 25 ppm, 50 ppm, 75 ppm dan
100 ppm. Proses selanjutnya, menuangkan medium PDA sebanyak 10 cc yang telah
mencair dengan suhu 50 C kedalam cawan Petri sampai memadat. Langkah
berikutnya dengan menumbuhkan inokulum jamur kedalam medium PDA pada
cawan Petri yang diletakkan ditengah-tengah. Kemudian membagi daerah luasan
cawan Petri yang telah berisi inokulum jamur menjadi empat bagian yang sama
besar. Masing-masing bagian luasan tersebut diletakkan bulatan kertas saring yang
telah direndam dengan larutan fungisida dengan konsentrasi yang berbeda. Satu
biakan jamur dalam medium PDA terdapat empat bulatan kertas saring yang telah
direndam dengan larutan fungisida. Kemudian kultur jamur diinkubasi pada suhu
kamar selama 7 hari.
Penelitian tahap kedua
Penelitian tahap kedua dilaksanakan pada saat tanaman kentang berumur 6
minggu sebelum panen dengan mengambil sampel tanah seperti pada tahap pertama.
Pada perlakuan ini untuk mengukur residu fungisida methyl thiophanate pada tanah
dan mengukur tingkat populasi jamur tanah dengan metode cawan pengenceran.
Hasil isolasi jamur-jamur tersebut diidentifikasi seperti pada penelitian tahap
pertama.
Penelitian tahap ketiga
Penelitian ini merupakan tahapan akhir dari penelitian dengan mengambil
sampel tanah pada tanaman kentang yang telah berumur 1 minggu sebelum panen.
Prinsip kerja tahap ketiga sama dengan prinsip kerja tahap kedua, yaitu mengukur
74
tingkat residu fungisida methyl thiophanate pada tanah, mengukur tingkat populasi
jamur tanah dengan metode cawan pengenceran dan jamur-jamur hasil isolasi
diidentifikasi seperti pada penelitian tahap pertama.
Pengamatan
Pengamatan dilaksanakan dengan tiga tahapan. Tahapan-tahapan yang
diamati adalah :
Pengamatan tahap pertama
Pengamatan ini dilakukan pada saat 1 minggu sebelum bibit kentang
ditanam. Variabel-variabel yang diamati :
Mengukur residu fungisida methyl thiophanate pada tanah tanaman
kentang dengan metode UV-Spectrofotometri (Liu and Hsiang, 1996).
2.
Mengukur tingkat populasi jamur tanah dengan metode cawan
pengenceran.
3. Identifikasi jamur dengan menggunakan kunci determinasi.
4. Uji toksisitas jamur dengan fungisida methyl thiophanate secara invitro:
a. Pengamatan metode umpan beracun. Pengamatan dilakukan dengan
mengukur diameter koloni jamur yang tumbuh (Sharvelle, 1979). Pengamatan
dilakukan sampai koloni jamur pada kontrol penuh.
b. Pengamatan metode kertas saring. Pengamatan dilakukan dengan cara
mengukur diameter hambatan perkembangan koloni jamur tanah pada cawan Petri
(Dekker, 1983).
Pengamatan tahap kedua
Pengamatan tahap kedua dilakukan pada saat tanaman kentang berumur 6
minggu sebelum panen. Pengamatan meliputi:
Mengukur residu fungisida methyl thiopanate pada tanah.
Mengukur tingkat populasi jamur tanah dengan metode cawan pengenceran.
Identifikasi jamur tanah dengan menggunakan kunci determinasi.
Pengamatan tahap ketiga
Pengamatan tahap ketiga dilakukan pada saat tanaman kentang berumur
1 minggu sebelum panen. Pengamatan meliputi:
Mengukur residu fungisida methyl thiophanate pada tanah.
Mengukur tingkat populasi jamur tanah dengan metode cawan pengenceran.
Identifikasi jamur tanah dengan menggunakan kunci determinasi.
Analisis Data
Data yang diperoleh dari pengujian fungisida methyl thiophanate secara invitro selanjutnya dianalisis dengan analisis sidik ragam (Anova). Apabila dari hasil
anova terdapat perbedaan yang nyata (pada taraf 5 %) diantara perlakuan yang diuji,
maka dianalisis lebih lanjut dengan uji BNT. Data yang diperoleh dari kadar residu
fungisida methyl thiophanate pada tanah dan tingkat populasi jamur tanah diuji
dengan t-test 1% (Yitnosumarto, 1988) dan untuk mengetahui hubungan dari
perlakuan aplikasi fungisida terhadap tingkat populasi jamur tanah digunakan
pendekatan teknik analisis regresi dan korelasi (Sudjana, 1983).
HASIL DAN PEMBAHASAN
75
Tingkat Residu Fungisida Methyl Thiophanate Dalam Tanah Tanaman
Kentang.
Hasil pengukuran residu fungisida methyl thiophanate pada sampel tanah
tanaman kentang dengan metode UV-Spectrofotometri menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata dengan uji t-test 1% dari waktu pengukuran sampel tanah 1
minggu sebelum bibit kentang ditanam (A) dengan waktu pengukuran 6 minggu
sebelum panen kentang (B) tetapi tidak berbeda nyata dengan waktu pengukuran 1
minggu sebelum panen (C). Kadar residu fungisida methyl thiophanate tertinggi
diperoleh dari waktu pengukuran 1 minggu sebelum panen (C) sebesar 37,0782
ppm (tabel 1), sedangkan hubungan tingkat rata-rata residu fungisida methyl
thiophanate pada tanah tanaman kentang dari 3 kali waktu pengukuran dapat dilihat
pada gambar 1.
Tabel 1. Uji pembandingan (t-test) rata-rata tingkat residu fungisida methyl
thiophanate (ppm) pada tanah dari 3 kali pengambilan sampel tanah
tanaman kentang.
Waktu Pengukuran
Rata-rata residu (ppm)
Notasi
A=1 minggu sebelum bibit ditanam
23,2972
a
B=6 minggu sebelum panen kentang
36,0236
b
B=6 minggu sebelum panen kentang
36,0236
b
C=1 minggu sebelum panen kentang
37,0782
b
Keterangan: - Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada uji t-test  = 0,01.
Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 1 terjadi peningkatan residu fungisida
methyl thiophanate dari waktu pengukuran A ke B sebesar 35,33% dan dari waktu
pengukuran B ke C sebesar 2,84%.
Tidak berbeda nyatanya tingkat residu
fungisida methyl thiophanate dari waktu pengukuran B ke C diduga setelah tanaman
kentang berumur 3 minggu sebelum panen, petani kentang tidak mengaplikasikan
fungisida methyl thiophanate pada tanaman kentang karena pada fase tersebut
tanaman kentang sudah mendekati masa panen.
Tingginya residu fungisida methyl thiophanate pada waktu pengukuran 1
minggu sebelum panen (gambar 1) diduga adanya peningkatan konsentrasi dan
waktu aplikasi fungisida yang dilakukan oleh petani kentang. Umumnya petani
kentang di desa Sumberbrantas mengaplikasikan fungisida methyl thiophanate pada
dosis 1 kg/200 liter air per hektar yang setara dengan konsetrasi 5 gram/liter air,
sedangkan dosis anjuran 1 kg/500 liter air per hektar yang setara dengan konsentrasi
sebesar 2 gram/liter air. Hal ini bisa terjadi karena tanaman kentang varietas granola
yang dibudidayakan rentan terhadap serangan Phytophthora infestans dan didukung
dengan lengas nisbi yang cukup tinggi sekitarv 85%. Dugaan lain terjadi karena
waktu penanaman kentang bersamaan dengan waktu musim penghujan sehingga
petani-petani kentang meningkatkan konsentrasi dan waktu aplikasi fungisida methyl
thiophanate. Pendapat ini kemudian diperjelas oleh Soeriaatmadja et al. (1993)
bahwa tingkat residu pestisida pada tanah tanaman kentang sangat tergantung dari
beda waktu antara aplikasi pestisida terakhir dengan saat panen. Semakin pendek
76
beda waktu antara aplikasi pestisida dengan saat panen maka semakin tinggi residu
pestisida yang terdeposit dalam tanah.
40
rata-rata residu
35
30
25
20
15
10
5
0
A = 1 mgg sbl tanam kentang B = 6 mgg sbl panen kentang C = 1mgg sbl panen kentang
w aktu pengukuran
Gambar 1. Histogram tingkat residu fungisida methyl thiophanate pada tanaman
kentang dari berbagai waktu pengukuran.
Tingginya residu fungisida yang terdeposit dalam tanaman dan tanah selain
dipengaruhi oleh beda waktu aplikasi fungisida juga dipengaruhi dari cara dan waktu
aplikasi fungisida, frekuensi aplikasi fungisida, dosis setiap aplikasi fungisida dan
sifat kestabilan fungisida (Anonymous, 1993). Selanjutnya dikemukakan oleh
Touchstone and Dobbin (1977), Silverstein et.al (1991) dan Rao (1994) bahwa besar
kecilnya data yang diperoleh dari tingkat residu fungisida methyl thiophanate dalam
tanah sangat dipengaruhi oleh konsentrasi awal aplikasi, sifat dan kestabilan bahan
aktif serta metode analisis residu yang digunakan. Kestabilan residu fungisida
golongan benzimidazole seperti benomyl, karbendazim (MBC) dan methyl
thiophanate mempunyai waktu paruh dalam tanah selama 6 bulan (Ware, 1982 ;
Sastroutomo, 1992).
Dampak Residu Fungisida Methyl Thiophanate dalam Tanah Terhadap
Kehidupan Jamur Tanah.
Berdasarkan analisis statistik dengan uji t-test 1% , dampak tingkat residu
fungisida methyl thiophanate terhadap rata-rata jumlah jamur tanah menunjukkan
perbedaan yang nyata terutama pada waktu pengambilan sampel tanah 1 minggu
sebelum bibit kentang ditanam (A) dengan B (tanaman kentang berumur 6 minggu
sebelum panen ) tetapi tidak berbeda nyata jika waktu pengambilan sampel tanah 6
minggu sebelum panen kentang (B) dengan waktu pengambilan sampel tanah 1
minggu sebelum panen (C), sedangkan hubungan rata-rata tingkat populasi jamur
tanah dengan residu fungisida methyl thiophanate dapat dilihat pada Tabel 2.
77
Tabel 2. Uji pembandingan (t-test) rata-rata tingkat populasi jamur tanah/gram tanah
akibat residu fungisida methyl thiophanate pada 3 kali pengambilan sampel
tanah tanaman kentang.
Waktu pengambilan sampel tanah
Rata-rata
Notasi
populasi jamur
tanah/gram
tanah
A=1 minggu sebelum bibit ditanam
215.000
a
B=6 minggu sebelum panen kentang
14.000
b
B=6 minggu sebelum panen kentang
14.000
b
C=1 minggu sebelum panen kentang
12.900
b
Keterangan : - Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada uji t-test  = 0,01
rata2 populasi jamur tanah/gr
tanah
Pada Tabel 2 nampak terjadi penurunan rata-rata populasi jamur
tanah/gram tanah dimana waktu pengambilan sampel tanah 1 minggu sebelum bibit
kentang ditanam (A) dengan waktu pengamatan sampel tanah 6 minggu sebelum
panen kentang (B) sebesar 93,49% sedangkan waktu pengambilan sampel tanah pada
umur tanaman kentang berumur 6 minggu sebelum panen (B) dengan C (1 minggu
sebelum panen) terjadi penurunan sebesar 7,86%. Penurunan jumlah populasi jamur
tanah ini diduga adanya akumulasi residu fungisida methyl thiophanate dalam tanah
selama aplikasi fungisida pada tanaman kentang (gambar2).
Dugaan lain
diungkapkan oleh Paul and Clark (1997) bahwa penurunan jumlah populasi jamur
tanah disebabkan oleh tingginya penggunaan bahan aktif pestisida untuk tanaman
dan tanah serta lambatnya tingkat degradasi bahan aktif tersebut didalam tanah.
Lebih lanjut menurut Deacon (1997) bahwa rendahnya jumlah populasi jamur tanah
diduga karena propagule (konidi) mengalami dormansi (resting spores). Dugaan lain
yang mungkin terjadi kerena persenyawaan bahan aktif terakumulasi ditanah dapat
mencegah pertumbuhan jamur tanah tanpa membunuh jamur tesebut. Proses inilah
dikenal dengan nama fungistatik.
250000
200000
150000
100000
50000
0
A = 1 mgg sbl
tanam kentang
B = 6 mgg sbl
panen kentang
C = 1 mgg sbl
panen kentang
w aktu pengukuran
Gambar 2. Histogram tingkat populasi jamur tanah dari berbagai waktu pengukuran .
78
rata2 populasi jamur tanah/gr
tanah
Berdasarkan persamaan regresi dan korelasi tingkat residu fungisida methyl
thiophanate dalam tanah serta dampak terhadap populasi jamur tanah diperoleh nilai
Y = 564375e-1,4067x dengan koefisien determinasi (R2 ) = 77,18%. Hal ini berarti
terjadi penurunan populasi jamur tanah sebesar 77,18% dipengaruhi oleh kenaikan
residu fungisida methyl thiophanate pada tanah tanaman kentang sebesar nilai x
(Gambar 3). Semakin tinggi residu fungisida methyl thiophanate (x) didalam tanah
tanaman kentang dapat menyebabkan penurunan populasi jamur tanah.
Hasil isolasi jamur tanah secara in-vitro dengan metode cawan pengenceran
serta identifikasi jamur hasil isolasi diperoleh jenis jamur tanah /gram tanah dapat
dilihat pada tabel 3. Berdasarkan tabel 3, nampak adanya jamur-jamur tanah yang
selalu mendominasi dari 3 kali waktu pengambilan sampel tanah tanaman kentang
yaitu Curvularia lunata,
250000
200000
y = 564375e-1.4067x
R2 = 0.7718
150000
100000
50000
0
A = 23,2972 ppm B = 36,0236 ppm C = 37,0782 ppm
rata2 residu
Gambar 3. Kurva hubungan antara tingkat residu fungisida methyl thiophanate dalam
tanah tanaman kentang serta dampak terhadap populasi jamur tanah. A = 1
minggu sebelum bibit ditanam, B = 6 minggu sebelum panen dan C = 1
minggu sebelum panen.
Fusarium solani, Gilmaniella humicola, Rhizoctonia solani, Penicillium
expansum dan Aspergillus niger (gambar 4). Jenis jamur tanah seperti Fusarium
solani dan Rhizoctonia solani merupakan patogen tanaman kentang (soil borne
disease). Jamur Fusarium solani merupakan parasit pada umbi kentang dengan ciri
khas umbi kentang mengering, mengkerut dan keras sehingga sukar dipotong dengan
pisau, sedangkan Rhizoctonia solani (kudis lak) menyebabkan umbi kentang
berwarna kecoklatan, mengkerut dan tampak adanya sklerotium yang bentuknya
pipih. Jenis jamur seperti Curvularia lunata, Gimaniella humicola, Penicillium
expansum dan Aspergillus niger merupakan jamur saprofit tanah yang fungsinya
masih belum begitu banyak diketahui dengan jelas. Bervariasinya jenis jamur tanah
yang diisolasi dan diidentifikasi diduga sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman yang
dibudidayakan (Rao, 1994). Dugaan lain terjadi karena banyak sedikitnya bahan
organik yang terkandung didalam tanah tanaman kentang, semakin tinggi kandungan
bahan organik yang terkandung didalam tanah maka semakin tinggi variasi jenis
jamur yang terdapat didalam tanah karena bahan organik merupakan habitat utama
jamur tanah. Jamur-jamur tanah seperti Aspergillus sp, Trichoderma sp, Penicillium
79
400000
350000
300000
250000
200000
150000
100000
50000
0
C
ur
vu
la
ria
lu
F
na
us
ta
a
riu
G
m
ilm
so
an
la
ie
ni
lla
R
hu
hi
m
zo
ic
ct
ol
P
on
en
a
i
a
ic
ill
so
iu
la
m
ni
ex
sp
A
an
sp
su
er
m
gi
llu
s
ni
g
er
jumlah jamur tanah/gr tanah
sp, Fusarium sp dan Rhizopus sp mendominasi di lahan tanaman kentang di desa
Sumberbrantas dari hasil penelitian Nurhatika (1997).
jenis jamur tanah
Gambar 4. Histogram jumlah jenis jamur/gram
sampel tanah tanaman kentang
tanah dari 3 kali pengambilan
Uji Toksisitas Jamur Tanah Dengan Methyl Thiophanate Secara In-Vitro
Berdasarkan uji toksisitas jamur tanah dengan fungisida methyl thiophanate
pada metode umpan beracun didapatkan hasil adanya keragaman toksisitas dari 0
ppm, 25 ppm, 50 ppm, 75 ppm dan 100 ppm. Pengujian toksisitas secara in-vitro
dengan metode umpan beracun dapat dikatakan tidak adanya perbedaan yang nyata
pada diameter hambatan pertumbuhan jamur dengan uji BNT 5% dari berbagai jenis
jamur terhadap perlakuan konsentrasi fungisida methyl thiophanate sebesar 0 ppm,
25 ppm, 50 ppm dan pada uji tosisitas jamur tanah lainnya juga tidak berbeda nyata
pada diameter hambatan pertumbuhan jamur dengan kosentrasi 75 ppm tetapi
sangat berbeda nyata pada perlakuan konsentrasi 100 ppm. Pada jamur-jamur
lainnya seperti Fusarium solani, Rhizoctonia solani, Aspergillus niger dan
Rhyncosporium secalis terdapat perbedaan yang nyata pada uji BNT 5% terhadap uji
toksisitas fungisida methyl thiophanate dari 4 perlakuan konsentrasi yakni 0 ppm
dengan 25 ppm (Tabel 4). Hal ini diduga dengan konsentrasi fungisida methyl
thiophanate 25 ppm dapat menghambat perkembangan koloni jamur tanah dan dapat
diketahui dari perbedaan diameter hambatan jamur.
80
Tabel 4.
Rata-rata diameter koloni jamur tanah (cm) pada berbagai perlakuan
konsentrasi fungisida Methyl Thiophanate dengan metode umpan
bercaun dari pengambilan sampel tanah 1 minggu sebelum bibit kentang
ditanam.
Nama jamur
Curvularia lunata
Fusarium solani
Gilmaniella humicola
Rhizoctonia solani
Penicillium exspansum
Aspergillus niger
Rhyncosporium secalis
Trichoderma koningii
Blastomyces dermatitidis
Haplosporangium parvum
Aspergillus fumigatus
Strepthotrix atra
Staphylotrichum
cocosporum
Verticicladium trifidum
Thysanophora penicillioides
Gliomastix murorum
Beauveria bassiana
Konsentrasi (ppm)
0
9,0 cde
9,0 e
9,0 de
9,0 e
9,0 de
9,0 e
9,0 e
9,0 de
9,0 de
9,0 de
9,0 de
9,0 de
9,0 de
9,0 de
9,0 de
9,0 de
9,0 de
25
5,63 bcd
5,50 d
4,45 cd
5,86 d
6,57 cd
6,11 d
6,87 d
6,89 cd
5,43 cd
4,98 bcd
5,33 cd
6,10 cd
5,52 cd
4,93 cd
5,32 cd
5,30 cd
5,33 cd
50
5,18 bc
4,21 c
4,45 c
5,45 c
3,94 bc
3,20 c
4,92 c
6,23 c
5,24 c
5,19 bc
4,94 bc
6,06 c
4,51 bc
4,67 c
4,50 c
5,0 c
4,47bc
75
4,54 ba
0,65 b
1,74 b
1,01 b
3,44 ab
2,30 b
3,43 b
4,45 b
2,11 b
4,34 b
4,77 b
1,38 b
4,79 b
0,97 b
1,90 b
1,76 b
1,20 ab
100
0a
0a
0a
0a
2,56 a
1,10 a
0a
2,29 a
0,62 a
0,43 a
0,92 a
0,24 a
0,63 a
0a
0,33 a
0,63 a
0,33 a
Keterangan : - Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak
berbeda nyata pada uji BNT  = 0,05.
- Data ditrasformasi dalam
x  0,5
Hasil analisis ragam dan uji BNT 5% pada toksisitas fungisida methyl
thiophanate dengan metode kertas saring (paper disk methods) dapat dilihat pada
Tabel 5. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa berbagai jenis jamur tanah yang
diperlakukan dengan fungisida methyl thiophanate secara in-vitro dengan metode
kertas saring menunjukkan diameter hambatan pertumbuhan jamur yang tidak nyata
pada konsentrasi 0 ppm, 25 ppm dan 50 ppm tetapi sangat berbeda nyata pada
konsentrasi 75 ppm dan 100 ppm. Kondisi ini menunjukkan dengan kosentrasi 0
ppm, 25 ppm dan 50 ppm masih belum mampu menghambat perkembangan koloni
jamur tanah tersebut, sedangkan pada perlakuan yang lain dengan penggunaan
fungisida methyl thiophanate pada kosentrasi 25 ppm sudah dapat menekan
pertumbuhan koloni jamur secara in-vitro. Hal ini berlaku untuk jamur-jamur
Fusarium solani dan Aspergillus niger.
81
Tabel 5.
Rata-rata diameter hambatan pertumbuhan jamur (cm) pada berbagai
konsentrasi fungisida Methyl Thiophanate dengan metode kertas saring
pada waktu pengambilan sampel tanah 1 minggu sebelum bibit kentang
ditanam.
Nama jamur
Curvularia lunata
Fusarium solani
Gimaniella humicola
Rhizoctonia solani
Penicillium expansum
Aspergillus niger
Rhyncosporium secalis
Trichoderma koningii
Blastomyces dermatitidis
Haplosporangium parvum
Aspergillus fumigatus
Strepthotrix atra
Staphylotrichum cocosporum
Verticicladium trifidum
Thysanophora penicillioides
Gliomastix murorum
Beauveria bassiana
0
9,0 cde
9,0 e
9,0 de
9,0 de
9,0 de
9,0 e
9,0 de
9,0 de
9,0 de
9,0 cde
9,0 de
9,0 de
9,0 de
9,0 de
9,0 de
9,0 de
9,0 de
Konsentrasi (ppm)
25
50
75
5,67 bcd
5,58 bc
5,49 b
5,69 d
4,21 c
3,49 b
5,51 cd
5,41 bc
5,27 ab
5,33 cd
5,05 c
3,13 ab
3,96 cd
3,36 c
2,12 ab
5,82 d
4,58 c
3,73 b
5,69 cd
5,65 c
5,10 b
5,56 cd
5,27 c
3,87 b
5,51 cd
5,4 c
3,53 b
5,69 bcd
5,60 bc
5,33 b
5,10 cd
5,02 dc
3,04 b
5,56 cd
5,48 c
3,38 b
5,67 cd
5,67 bc
5,47 b
5,27 cd
5,45 c
3,44 b
5,47 cd
5,53 c
3,47 b
5,47 cd
5,47 c
3,13 b
5,33 cd
5,27 c
3,27 b
100
2,91 a
2,93 a
4,96 a
2,47 a
1,62 a
3,10 a
4,13 a
3,02 a
2,19 a
4,73 a
2,67 a
2,51 a
2,93 a
2,56 a
2,67 a
2,53 a
2,73 a
Keterangan : - Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak
berbeda nyata pada uji BNT  = 0,05.
Data ditransformasi dalam
( x  0,5)
Fenomena
lain
menunjukkan dengan konsentrasi fungisida methyl
thiophanate sebesar 0 ppm, 25 ppm, 50 ppm dan 75 ppm menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji BNT 5% tetapi sangat berbeda nyata pada konsentrasi 100 ppm.
Adapun jenis jamur tersebut adalah Curvularia lunata, Gilmaniella humicola,
Haplosporangium parvum dan Staphylotrichum cocosporum.
Bervariasinya derajad penghambatan jamur secara in-vitro dari berbagai
jenis jamur tanah diduga karena masing-masing jenis jamur tanah mempunyai
derajad kepekaan yang berbeda dibanding dengan jenis jamur tanah lainnya.
Semakin tinggi derajad kepekaan jenis jamur tanah dengan perlakuan konsentrasi
fungisida methyl thiophanate secara in-vitro maka semakin tinggi pula derajad
penghambatan jenis jamur tanah tersebut. Jenis jamur tanah yang peka terhadap
perlakuan konsentrasi fungisida methyl thiophanate dengan metode umpan beracun
dan kertas saring
adalah
Fusarium solani, Aspergillus niger dan
Rhyncosporium secalis. Dugaan lain juga dikemukakan oleh Hassal (1990) bahwa
fungisida-fungisida golongan karbamat / benzimidazole seperti benomyl,
thiabendazole dan ethyl/methyl thiophanate secara aktif dapat menghambat
pertumbuhan jamur pada kisaran konsentrasi dari 1 ppm sampai 100 ppm. Jika
diaplikasikan pada konsentrasi rendah dapat menghambat perpanjangan tabung
82
kecambah (germ tube) tetapi pada konsentrasi tinggi dapat mereduksi
perkecambahan spora. Selanjutnya menurut Peen et.al (1987) dan Cremlyn (1991)
bahwa fungisida methyl thiophanate merupakan jenis fungisida sistemik dengan
bahan dasar thiourea. Methyl thiophanate merupakan analog dari methyl yang
diperoleh dari kondensasi potassium thiocyanate, methyl chloroformate dan ophenylene diamine. Fungisida ini bersifat sistemik dengan persistensi tinggi didalam
tanah atau rhizosphere. Golongan fungisida methyl thiophanate (benzimidazole)
efektif pada dosis rendah terhadap jamur golongan Ascomycetes, Basidiomycetes
dan Fungi Imperfecti.
Sedangkan menurut Sispesteijn (1982) bahwa pengaruh fungisida methyl
thiophanate pada jamur dimulai dari sel-sel eukaryotik jamur mempunyai bagian
yang dinamakan cytoskeleton yang terbagi menjadi 2 unit protein yaitu tubulin dan
aktin yang adaptif terhadap variasi dan type pergerakan makromolekul didalam
intraseluler didalam organel sel. Organisasi organel ini dibutuhkan untuk proses
budding (penggabungan) serta flagella ke bagian inti sel. Tubulin dibagi menjadi 2
rangkaian asam amino yaitu  tubulin dan  tubulin. Tubulin ini merupakan bagian
dari sel jamur. Jika terdapat molekul-molekul fungisida methyl thiophanate yang
bergabung kedalam mikrotubuli maka mikrotubuli bergerak menuju sistem spindle
fibre (jaringan berbentuk kumparan). Proses selanjutnya, spindle fibre gagal dalam
mitosis terutama fase metafase menampakkan bagian-bagian kromosom yang
imperfek/tidak sempurna. Lebih lanjut menurut Ware (1982); Liu and Hsiang
(1996), fungisida methyl thiophanate mengganggu metabolisme jamur sebagai
akibat adanya distorsi morfologi perkecambahan spora dan menghambat sintesa
DNA inti sel.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
Penggunaan fungisida methyl thiophanate pada tanaman kentang dapat
meningkatkan residu fungisida pada tanah tanaman kentang. Residu fungisida methyl
thiophanate tertinggi (37,0782 ppm) diperoleh dari waktu pengukuran 1 minggu
sebelum panen meskipun tidak berbeda nyata dengan waktu pengukuran 6 minggu
sebelum panen (36,0236 ppm).
Rata-rata populasi jamur tanah akibat adanya residu fungisida methyl
thiophanate mengalami penurunan populasi jamur tanah/gram tanah. Rata-rata
populasi jamur terendah (12.900 jamur/gram tanah) diperoleh pada waktu
pengambilan sampel tanah 1 minggu sebelum panen meskipun tidak berbeda nyata
dengan waktu pengambilan sampel tanah 6 minggu sebelum panen (14.000
jamur/gram tanah).
Penggunaan konsentrasi fungisida methyl thiophanate yang berbeda secara
in-vitro baik metode umpan beracun maupun metode kertas saring menunjukkan
bahwa kosentrasi 0 ppm, 25 ppm, 50 ppm dan 75 ppm belum dapat menghambat
pertumbuhan jenis-jenis jamur tanah, namun pada konsentrasi 100 ppm dapat
menghambat perkembangan koloni jenis-jenis jamur tanah. Pada konsentrasi
fungisida methyl thiophanate sebesar 25 ppm dengan metode umpan beracun dapat
menghambat perkembangan jamur Fusarium solani, Rhizoctonia solani, Aspergillus
83
niger, Rhyncosporium secalis, sedang dengan metode kertas saring konsentrasi 25
ppm dapat menghambat perkembangan jamur Fusarium solani dan Aspergillus niger.
Saran-Saran
Mengingat residu fungisida methyl thiophanate dalam penelitian ini cukup
tinggi (37,0782 ppm) pada tanah tanaman kentang, dari hal tersebut ternyata dapat
menekan populasi jamur tanah terutama patogen dan juga antagonis, maka
disarankan sebagai berikut :
Sebaiknya residu fungisida methyl thiophanate yang terdeposit didalam
tanah tanaman kentang dibawah 37,0782 ppm dengan harapan dapat memberikan
peranan jamur antagonis yang cukup tinggi didalam menekan populasi patogen
tanah.
Sebaiknya petani kentang dalam mengaplikasikan fungisida methyl
thiophanate pada dosis anjuran (1 kg/500 liter air) dan dengan waktu aplikasi 7 hari
sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, A.L, A. Widodo dan K. Hidayat. (1993) Studi Sistem Aplikasi Pestisida
Dalam Usaha Tani Hortikultura dan Upaya Pengendaliannya di Sub DAS
Brantas Jawa Timur. Vol. 5 (1) : 1-12. Jurnal Universitas Brawijaya,
Malang.
Anonymous (1993) Movement of Pesticides in The Enviroment, Extension
Toxicology Network, pp. 1-5 . Oregon State University.
--------------- . (1993) Bioekologi Hama, Epidemiologi Tanaman Hortikultura dan
Bioekologi Musuh Alaminya Serta Petunjuk Lapang, Materi Pelatihan
Pengamat Hama dan Penyakit, Balai Proteksi Tanaman Pangan Wilayah VI,
p.97. Surabaya.
Baron, G.L. (1972) The Genera of Hyphomycetes from Soil, Robert E. Krieger
Publishing Company, USA.
Barnett, H.L and B.B. Hunter. (1972) Illustrated Genera of Imperfect Fungi,
Burgess Publishing Company, USA.
Carmichael, J.W, W. Bryce Kendrick, I.L. Cornners and Lynne Sigler. (1980)
Genera of Hyphomycetes, The University of Alberta Press, Alberta.
Capuccino, J.G. and Natalie Sherman. (1993) Microbiology : A Laboratory
Manual. Rockland Community College State University of New York.
Adisson-Wesley, Publising Company, Massachusetts.
Cremlyn, R.J. (1991) Agrochemicals. Preparation and Mode of Action, John Willey
and Sons, Chichester.
Deacon , J (1997) Modern Mycology, Third Edition, Blackwell Science Ltd,
Victoria, Australia.
Dekker, J. (1983)
Fungicides,
International Course on Plant Protection
Wageningen, Laboratorium voor Fytopathologie, pp.10 Agriculture
University, Wageningen. Not Published.
84
Domsch, K.H, W. Games, Trautee-Heidi Anderson. (1980). Compedium of Soil
Fungi. Vol. 1, Academic Press London.
Duriat, A.S. dan E. Sukarna. (1989) Perkembangan Penyakit Serta Produksi dari
Berbagai Ukuran Umbi Bibit Kentang, Vol.XVIII (4) : 80-85. Buletin
Penelitian hortikultura, Lembang, Bandung.
Gams, W, H.A Van der Aa, A,J.van der Plaats-Niterink, R.A. Samson and J.A.
Stalpers. (1975) CBS Course of Mycology, Centraalbureau Voor
Schimmelcultures Baarn, Institut of the Royal Netherlands.
Gams,W. (1992) The Analysis of Communities of Saprophytic microfungi with
Special Reference to Soil Fungi. Fungi in Vegetation Science. (Eds.W.
Winterhoff), pp.183-223. Kluwer Academic Publisers,Dordrecht.
Ekha, I. (1991) Dilema Pestisida, Tragedi Revolusi Hijau, Penerbit PT. Kanisius,
Yogyakarta.
Harun, Y, R.T. M. Sutamihardja, Soeratno Partoatmodjo dan R.E. Soeriaatmadja.
(1996) Telaah Residu Pestisida Pada Sayuran yang dijual di Pasar
Swalayan dan Pasar Bogor, J.Hort. 6(1) : 71-79, Lembang, Jawa Barat.
Hassal, K.A. (1990) The Biochemystry and Uses of Pesticides : Structure,
Metabolism, Mode of Action and Uses in Crop Protection, Second Edition,
ELBS, Macmillan.
Liu, L.X. and Tom Hsiang. (1996) Estimating Benzimidazole Residues in Thach
and Turfgrass by Bioassay. Pestic. Sci, vol (46) : pp.139-143, University
of Guelph, Ontario, NIG 2W1, Canada.
Nurhatika, S (1997) Pengaruh Efective Microorganism ( EM ) Terhadap Hama dan
Penyakit Tanaman Kentang, Tesis S-2, Program Pasca Sarjana Universitas
Brawijaya Malang.
Paul, E.A. and F.E. Clark (1989) Soil Microbiology and Biochemistry, Academic
Press. Inc, San Diego.
Peen, M.B, G.S. Hartley and T.F. West (1987) Chemicals for Crop Improvement and
Pest Management, Third Edition, Pergamon Press, Oxford.
Rao, N.S.S. (1994)
Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman.
Terjemahan Herawati Susilo. UI-Press, Jakarta.
Sastroutomo, S.S. (1992) Pestisida Dasar-dasar dan Dampak Penggunaannya. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 185 hal
Sharvelle, E.G. (1979) Plant Disease Control. AVI Publishing Company. Inc.
Wesport, Connecticut.
Sijpestein, A.K. (1982) Mechanism of Action of Fungicides. Fungicide resistence
in Crop Protection, (Eds. Dekker and S.G. Georgepoulos), pp.1-13. Centre
for Agricultural Publising and Documentation, Wageningen.
Silvertein, Bassler and Morril (1991) Spectrometric Identification of Organic
Compounds, Fifth Edition, John Wiley and Sons. Inc, New York.
Touchtone and Murrell F. Dobbin. (1977) Practice of Thin Layer Chromatography,
John Wiley and Sons, New York.
Ware, G.W (1978) Pesticides Theory and Aplication. W.H. Freeman and
Company, San Francisco.
Yitnosumarto, S (1988) Percobaan Perancangan, Analisis dan Interpretasinya.
Universitas Brawijaya, Malang.
Download