KESENJANGAN RAS DAN ETNIS Secara sederhana istilah etnik dan ras sering kita dengar. Perbedaan karena tampilan fisik disebut perbedaan ras Perbedaan adat istiadat seperti pakaian, makanan khas dan lain-lain sering diartikan sebagai perbedaan etnik. Ras • Kata ras berasal dari bahasa Prancis dan Italia, yaitu razza. Pertama kali istilah ini diperkenalkan Franqois Bernier, antropologi Prancis untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan manusia berdasarkan karakteristik fisik atau biologis. • Berdasarkan karakteristik biologis, pada umumnya manusia dikelompokkan dalam beragai ras. Manusia dibedakan menurut bentuk wajah, rambut, tinggi badan, warna kulit, mata, hidung, dan karakteristik fisik lainnya. Jadi, Ras adalah perbedaaan antara manusia menurut atau berdasarkan ciri fisik biologis (bawaan yang sama). Ciri utama pembeda antara ras yaitu ciri alamiah rambut pada badan, warna alami rambut, kulit, dan iris mata, bentuk lipatan penutup mata, bentuk hidung serta bibir, bentuk kepala dan muka, ukuran tinggi badan. Etnis (Suku Bangsa) • Etnis diartikan sesuatu yang berkaitan dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa dan sebagainya. • Penggunaan istilah etnis pertama kali dipakai oleh sosiolog David Riesman Amerika pada tahun 1953. Kata "etnis", bagaimanapun, adalah jauh lebih tua. • Kata ini berasal dari ethnos Yunani ( berasal dari kata ethnikos), yang awalnya berarti kafir atau penyembah berhala. Itu digunakan dalam pengertian dalam bahasa Inggris dari pertengahan abad ke-14 sampai pertengahan abad ke-19, ketika secara bertahap mulai untuk merujuk pada "ras" karakteristik. Di Amerika Serikat, "etnis" datang yang akan digunakan di sekitar Perang Dunia Kedua sebagai istilah sopan mengacu pada orang-orang Yahudi, Italia, orang Irlandia dan lainnya dianggap lebih rendah untuk kelompok dominan sebagian besar keturunan Inggris. Tak satu pun dari para pendiri sosiologi dan antropologi social Terdapat faktor yang lain yaitu faktor agama/kepercayaan. Karena faktor ras dan etnis sangat dominan pengaruhnya terhadap masyarakat, maka masyarakat yang majemuk sering disebut “masyarakat multi ras” atau “multi etnis”. Terbentuknya kemajemukan masyarakat Indonesia karena : Kondisi wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia yang terdiri kurang lebih ± 17.058 buah pulau besar dan kecil berkembang melahirkan keragaman budaya. Letak wilayah Indonesia yang strategis pada posisi silang sehingga memungkinkan terjadi kontak dengan bangsabangsa lain. Akibat pertemuan dengan pendatang menyebabkan tercipta proses asimilasi melalui perkawinan campuran (amalgamasi) sehingga terbentuk ras dan etnis. Perbedaan iklim dan topografi diantara daerah satu dengan daerah lainnya mengakibatkan terbentuknya aneka budaya kelompok masyarakat. Ada 6 hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik etnis terjadi disebuah tempat. Enam hal tersebut antara lain yakni: 1.Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak 2.Perebutan sumber daya 3.Sumber daya yang terbatas 4.Kategori atau identitas yang berbeda 5.Prasangka atau diskriminasi 6.Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan). • Konflik Antar Etnis di Indonesia Beragamnya suku, agama, ras, dan • • • • • • • • • • • golongan membuat Indonesia sebagai bangsa yang rawan konflik. Dari ujung timur sampai ujung barat bangsa ini sering kali terdengar jerit tangis bahkan tetesan darah menyelimuti Tanah Air. Semboyan yang terdapat di kaki kuat sang Burung Garuda “Bhineka Tunggal Ika” nampaknya belum menjiwai seluruh warga bangsa ini. Rasa satu kesatuan sebagai warga negara bukanlah hal yang utama, melainkan arti kata semboyan bangsa ini hanya sekedar wacana belaka. Beberapa peristiwa akibat konflik setelah lengsernya otoritas orde baru dan lahirnya era reformasi adalahsebagai berikut : a. Krisis Aceh dengan adanya Gerakan Aceh merdeka (GAM). b. Krisis Ambon yang memicu perpecahan bangsa karena keyakinan. c. Krisis Poso di Sulawesi Tengah. d. Gerakan Papua Merdeka e. Peristiwa Dayak-Madura di Kalimantan Tengah. f. Peristiwa Ketapang di Jakarta. g. Peristiwa Bom Bali. h. Peristiwa seputar Jemaah Ahmadiyah. i. Peristiwa Monas di Jakarta. j. dan timbulnya lagi krisis Ambon saat ini, Dll • Sebenarnya masih banyak peristiwa lain yang terjadi akibat konflik, seperti adanya tindak anarkis antara karyawan dan perusahaan, warga masyarakat dan perusahaan, dan aksi preman yang hampir di setiap kota besar terjadi. Di balik konflik antar etnis di Indonesia yang memecahkan satu kesatuan bangsa jika ditelisik lebih mendalam terdapat sumbu yang membuat satu etnis dengan etnis lainnya hanya memperlihatkan rasa keaku-akuannya, rasa “kami”, dan “mereka”, mereka melihat etnis lain adalah kelompok luar darinya, dan etnis luar melihat etnis lain sebagai musuh baginya. Setiap konflik yang berujung SARA bermula dari konflik individu yang kemudian mengarah ke konflik kolektif yang mengatasnamakan etnis. Kasus konflik Tarakan, Kalimantan Timur, berawal dari salah seorang pemuda Suku Tidung yang melintas di kerumunan Suku Bugis, lantas di keroyok oleh lima orang hingga tewas karena sabetan senjata tajam. Konflik Tarakan menjadi memanas nyatanya tersimpan dendam ke Suku Bugis yang lebih maju menguasai sektor ekonomi. Faktor ekonomi juga menjadi penyebab utama konflik di bangsa ini, dalam kasus sebuah klub kafe di Bilangan Jakarta Selatan “Dari Blowfish Ke Ampera” antara Suku Ambon dan Suku Flores yang berawal dari perebutan jasa penjaga preman hingga konflik tersebut mengarah ke konflik etnis. Sampai pada Sidang Pengadilan masing-masing pihak yang bertikai masih menunjukan etnosentrisnya. • roses penyelesaian konflik dengan transormasi sebelum konflik itu terjadi, dimana masyarakat pada saat itu hidup dengan damai.[12] Adapun cara lain dalam menyelesaikan konflik yang ada, yakni: 1. Konflik Itu Harus di Management Menuju Rekonsiliasi Konflik memang bukan sesuatu yang diharapkan oleh setiap orang yang hidup di dunia ini. Apa lagi konflik yang bernuansa karena perbedaan agama yang dianut dan pebedaan etnis. Konflik yang demikian itu memang suatu konflik yang sangat serius. Untuk meredam wajah bahaya dari konflik itu, maka konflik itu harus dimanagement agar ia berproses ke arah yang positif. Dr. Judo Poerwowidagdo, MA. Dosen Senior di Universitas Duta Wacana Yogyakarta menyatakan bahwa proses konflik menuju arah yang positif itu adalah sbb: Dari kondisi yang “Fight” harus diupayakan agar menuju Flight. Dari kondisi Flight diupaykan lagi agar dapat menciptakan kondisi yang Flaw. Dari Flaw inilah baru diarahkan menuju kondisi Agreement, terus ke Rekonsiliasi. Karena itu, masyarakat terutama para pemuka agama dan etnis haruslah dibekali ilmu Management Konflik setidak-tidaknya untuk tingkat dasar. 2. Merobah Sistem Pemahaman Agama. Konflik yang bernuansa agama bukanlah karena agama yang dianutnya itu mengajarkan untuk konflik. Karena cara umat memahami ajaran agamanyalah yang menyebabkan mereka menjadi termotivasi untuk melakukan konflik. Keluhuran ajaran agama masing-masing hendaknya tidak di retorikakan secara berlebihan. Retorika yang berlebihan dalam mengajarkan agama kepada umat masing-masing menyebabkan umat akan merasa dirinya lebih superior dari pemeluk agama lain. Arahkanlah pembinaan kehidupan beragma untuk menampilkan nilai-nilai universal dari ajaran agama yang dianut. Misalnya, semua agama mengajarkan umatnya untuk hidup sabar menghadapi proses kehidupan ini. Menjadi lebih tabah menghadapi berbagai AGHT (ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan) dalam menghadapi hidup ini. Rela berkorban demi kepentingan yang lebih mulia. Tidak mudah putus asa memperjuangkan sesuatu yang benar dan adil. Tidak mudah mabuk atau lupa diri kalau mencapai sukses. Orang yang sukses seperti menjadi kaya, pintar, menjadi penguasa, cantik, cakep, memiliki suatu power, merasa diri bangsawan. Semuanya itu dapat menyebabkan orang menjadi mabuk kalau kurang waspada membawa diri. Hal-hal yang seperti itulah yang sesungguhnya lebih dipentingkan oleh masyarakat bangsa kita dewasa ini. 3. Mengurangi Penampilan Berhura-Hura dalam Kehidupan Beragama. Kegiatan beragama seperti perayaan hari raya agama, umat hendaknya mengurangi bentuk perayaan dengan penampilan yang berhura hura. Hal ini sangat mudah juga memancing konflik. Karena umat lain juga dapat terpancing untuk menunjukan existensi dirinya bahwa ia juga menganut agama yang sangat hebat dan luhur. 4. Redam Nafsu Distinksi Untuk Menghindari Konflik Etnis. Setiap manusia memiliki nafsu atau dorongan hidup dari dalam dirinya. Salah satu nafsu itu ada yang disebut nafsu Distinksi. Nafsu Distinksi ini mendorong seseorang untuk menjadi lebih dari yang lainya. Kalau nafsu ini dikelola dengan baik justru akan membawa manusia menjadi siap hidup bersaing. Tidak ada kemajuan tanpa persaingan. Namun, persaingan itu adalah persaingan yang sehat. Persaingan yang sehat itu adalah persaingan yang berdasarkan noram-norma Agama, norma Hukum dan norma-norma kemanusiaan yang lainya. Namun, sering nafsu Distinksi ini menjadi dasar untuk mendorong suatu etnis bahwa mereka adalah memiliki berbagai kelebihan dari etnis yang lainya. Nafsu Distinksi ini sering membuat orang buta akan berbagai kekuranganya. Hal inilah banyak orang menjadi bersikap sombong dan exlusive karena merasa memiliki kelebihan etnisnya. Untuk membangun kebersamaan yang setara, bersaudara dan merdeka mengembangkkan fungsi, profesi dan posisi, maka dalam hubungan dengan sesama dalam suatu masyarakat ada baiknya kami sampaikan pandangan Swami Satya Narayana sbb: “Agar hubungan sesama manusia menjadi harmonis, seriuslah melihat kelebihan pihak lain dan remehkan kekuarangannya. Seriuslah melihat kekurangan diri sendiri dan remehkan kelebiihan diri”. Dengan demikian semua pihak akan mendapatkan manfaat dari hubungan sosial tersebut. Di samping mendapatkan sahabat yang semakin erat, juga mendapatkan tambahan pengalaman positif dari sesama dalam pergaulan sosial. Dengan melihat kelebiihan sesama maka akan semakin tumbuh rasa persahabatan yang semakin kekal. Kalau kita lihat kekurangannya maka kita akan terus merasa jauh dengan sesama dalam hubungan sosial tersebut.