TINJAUAN PUSTAKA Debu Vulkanik Gunung api banyak tersebar di seluruh permukaan bumi. Penyebarannya mulai dari New Zealand, Italia, Amerika, Hawai, Jepang dan Filipina serta Indonesia. Munir (1996b) menyatakan Indonesia tergolong negara yang mempunyai indeks erupsi terbesar diantara beberapa negara vulkan lainnya. Indonesia menduduki tempat pertama dengan tingkat erupsi sebanyak 99% dan diikuti oleh Solomon 95%, Guenia baru 90%, Italia 41%, Islandia 39%, Negara Pasifik 3% dan Dataran Rendah Viktoria memiliki tingkat erupsi yang paling kecil sebesar 1%. Indonesia yang dilalui oleh dua lempeng yang menunjukkan bahwa daerah di Indonesia rentan terhadap gempa bumi dan letusan gunung api akibat dari pergeseran kedua lempeng tersebut. Artinya, Indonesia memiliki potensi dalam menyediakan material-material yang terkandung di dalam gunung api tersebut. Keberadaan gunung api ini masih dianggap sebagai ancaman bagi masyarakat sekitar. Akan tetapi, manfaat yang diberikan pasca letusan juga sangat besar pengaruhnya terhadap tanah. Sebagai contoh, letusan Gunung Talang di Padang pada tahun 2005 lalu berpengaruh nyata terhadap peningkatan kesuburan tanah setelah 5 tahun (Fiantis, 2006). Dalam suatu aktivitas vulkanisme, material-material yang dikeluarkan berupa gas, cair, dan padat. Gas-gas yang keluar antara lain uap air, O2, N2, CO2, CO, SO2, H2S, NH3, H2SO4, dan sebagainya. Materi cair yang dikeluarkan adalah magma yang keluar melalui pipa gunung yang disebut lava sedangkan materi Universitas Sumatera Utara padat yang disemburkan ketika gunung api meletus berupa bom (batu-batu besar), kerikil, lapilli, pasir, abu serta debu halus (Munir, 1996b). Letusan gunung Sinabung yang terjadi pada tanggal 29 Agustus - 3 September 2010 di dominasi oleh pasir dan debu halus. McGeary, Plummer, dan Carlson (2002) dalam Fiantis (2006) menyatakan bahwa bahan padatan ini berdasarkan diameter partikelnya terbagi atas debu vulkan (< 0.26 mm) yang berupa bahan lepas dan halus, pasir (0.25 – 4 mm) yang lepas dan tumpul, lapilli atau ‘little stone’ (4 – 32 cm) yang berbentuk bulat hingga persegi dan bom (> 32 mm) yang bertekstur kasar. Mineral di dalam abu vulkanik terutama berasal dari magma. Mineral ini mengkristal dan terakumulasi dalam magma sementara di bawah permukaan bumi. Jenis mineral dalam debu tergantung pada kimia magma dari mana gunung tersebut meletus. Sebagian besar mineral dalam debu sejauh ini tidak menunjukkan efek negatif bagi kesehatan manusia bila tak terhirup, tetapi akan mempengaruhi komposisi tanah dimana juga mempengaruhi ternak dan pertanian. Debu vulkanik yang terdeposisi di atas permukaan tanah mengalami pelapukan kimiawi dengan bantuan air dan asam-asam organik yang terdapat di dalam tanah. Akan tetapi, proses pelapukan ini memakan waktu yang sangat lama yang dapat mencapai ribuan bahkan jutaan tahun bila terjadi secara alami di alam. Hasil pelapukan lanjut dari debu vulkanik mengakibatkan terjadinya penambahan kadar kation-kation (Ca, Mg, K dan Na) di dalam tanah hampir 50% dari keadaan sebelumnya (Fiantis, 2006). Berdasarkan penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa debu vulkanik mengandung kation-kation basa yang dapat meningkatkan pH, KTK tanah serta Universitas Sumatera Utara Kejenuhan Basa (KB) yang mengakibatkan kesuburan tanah dan tanaman meningkat. Darmawijaya (1997), menyatakan meskipun tanah ini kaya hara tanaman kecuali unsur N akan tetapi kekayaan ini masih belum dapat dipergunakan tanaman karena belum mengalami pelapukan sehingga perlu dilakukan analisis lanjutan terhadap tanahnya. Tanah Inceptisol Inceptisol adalah tanah yang belum matang (immature) dengan perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah yang matang dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya (Hardjowigeno, 1993). Inceptisol mempunyai karakteristik dari kombinasi sifat – sifat tersedianya air untuk tanaman lebih dari setengah tahun atau lebih dari 3 bulan berturut – turut dalam musim – musim kemarau, satu atau lebih horison pedogenik dengan sedikit akumulasi bahan selain karbonat atau silikat amorf, tekstur lebih halus dari pasir geluhan dengan beberapa mineral lapuk dan kemampuan manahan kation fraksi lempung ke dalam tanah tidak dapat di ukur. Kisaran kadar C organik dan KPK dalam tanah Inceptisol sangat lebar dan demikian juga kejenuhan basa. Inceptisol dapat terbentuk hampir di semua tempat kecuali daerah kering mulai dari kutup sampai tropika (Darmawijaya, 1997). Tanah Inceptisol yang terdapat di dataran rendah solum yang terbentuk pada umumnya tebal, sedangkan pada daerah-daerah berlereng curam solum yang terbentuk tipis. Warna tanah Inceptisol beranekaragam tergantung dari jenis bahan induknya. Warna kelabu bahan induknya dari endapan sungai, warna coklat Universitas Sumatera Utara kemerah-merahan karena mengalami proses reduksi, warna hitam mengandung bahan organik yang tinggi (Wambeke, 1992). Proses pedogenesis yang mempercepat proses pembentukan tanah Inceptisol adalah pemindahan, penghilangan karbonat, hidrolisis mineral primer menjadi formasi lempung, pelepasan sesquioksida, akumulasi bahan organik dan yang paling utama adalah proses pelapukan, sedangkan proses pedogenesis yang menghambat pembentukan tanah Inceptisol adalah pelapukan batuan dasar menjadi bahan induk (Smith,1973). Penyebaran tanah Inceptisol merata di seluruh pulau besar yang ada Indonesia. Mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur serta Irian Jaya. Taksonomi tanah Inceptisol juga sangat beragam pada tiap-tiap daerah. Seperti halnya Andepts (tanah yang produktif dari abu vulkan) terdapat di Sumatera dengan greatroup Vitrandepts yang berderet mulai dari Aceh sampai Lampung yang semuanya dijumpai di lereng Bukit Barisan (Munir, 1996a). Sifat Fisika Tanah Peranan sifat fisika tanah sangat besar dalam menentukan tanah tersebut subur atau tidak, selain dari sifat kimia dan biologi tanah. Sifat fisika tanah memberikan kontribusi dalam menyokong ketersediaan unsur hara, keadaan perakaran, dan lain-lain. Sifat-sifat fisika tanah diantaranya adalah tekstur, struktur, bulk density, warna, konsistensi, kadar air tanah, plastisitas, laju infiltrasi, dan lain-lain. Universitas Sumatera Utara 1. Bulk Density Salah satu sifat fisik tanah yang penting adalah bulk density (BD). Bulk density adalah perbandingan antara massa total tanah dan volume. Bulk density merupakan petunjuk kepadatan tanah. Makin padat suatu tanah, makin tinggi nilai bulk density yang berarti makin sulit tanah ditembus oleh akar. Pada umumnya, bulk density berkisar dari 1,1-1,6 g/cc. Beberapa jenis tanah memiliki bulk density kurang dari 0,9 g/cc (misalnya tanah Andisol), bahkan ada yang kurang dari 0,10 g/cc (misalnya tanah gambut) (Hardjowigeno, 2003). Nilai bulk density tanah berbanding lurus dengan tingkat kekerasan partikel-partikel tanahnya, makin kasar akan makin berat. Tanah lapisan atas yang bertekstur pasir dan berstruktur granular memiliki BD antara 1,0 – 1,3 g/cc, sedangkan yang bertekstur kasar memiliki nilai BD antara 1,3-1,8 g/cc. Bulk density perlu dalam menghitung kebutuhan pupuk atau air untuk tiap hektar tanah, yang didasarkan pada berat tanah per hektar (Hanafiah, 2005). Apabila terjadi pemadatan pada tanah, disamping sulit ditembus akar, tanah akan memiliki volume pori aerase yang lebih sedikit karena jumlah poripori aerase relatif rendah dan dapat meningkatkan tanah. Tanah yang padat merupakan pembatas mekanis pertumbuhan akar sehingga pertumbuhan tanaman terganggu dan hasil tanaman mungkin kurang memuaskan (Sarief, 1988). 2. Porositas Pori-pori tanah adalah bagian yang tidak terisi bahan padat tanah (terisi oleh udara dan air). Pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi pori-pori kasar (macro pore) dan pori-pori halus (micro pore). Pori-pori kasar berisi udara dan air gravitasi (air yang mudah hilang karena gaya gravitasi), sedangkan pori-pori halus Universitas Sumatera Utara berisi air kapiler atau udara. Tanah-tanah pasir mempunyai pori-pori kasar lebih banyak daripada tanah liat. Tanah-taah dengan banyak pori-pori kasar sulit menahan air sehingga tanaman mudah kekeringan. Tanah-tanah liat memiliki pori-pori total (jumlah pori-pori makro + mikro) lebih tinggi daripada tanah pasir (Hardjowigeno, 2003). Nilai porositas tanah ini biasanya berkisar antara 30-60 persen atau 0,30,6. Tanah bertekstur halus akan akan memiliki persentase ruang pori total lebih tinggi daripada tanah bertekstur kasar, walaupun ukuran pori dari tanah bertekstur halus kebanyakan sangat kecil. Perlu ditegaskan di sini, bahwa porositas total sama sekali tidak menunjukkan distribusi ukuran pori dalam tanah yang merupakan suatu sifat yang penting (Sarief, 1988). Porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur tanah, dan tekstur tanah. Porositas tanah tinggi kalau bahan organik tinggi. Tanah-tanah dengan struktur granular atau remah meiliki porositas yang lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan struktur massive (pejal). Tanah-tanah dengan tekstur pasir banyak mempunyai pori-pori makro sehingga sulit menahan air. 3. Tekstur Tanah Tanah-tanah yang bertekstur pasir, karena butir-butirnya berukuran lebih besar, maka setiap satuan berat (misalnya setiap gram) mempunyai luas permukaan yang lebih kecil sehingga sulit meyerap (menahan) air dan unsur hara. Oleh karena itu, fungsi utama fraksi pasir adalah sebagai penyokong tanah yang disekelilingnya terdapat partikel-partikel debu dan liat yang lebih aktif. Tanahtanah bertekstur liat, karena lebih halus memiliki luas permukaan yang lebih besar. Butir-butir liat memperlihatkan luas permukaan yang besar. Di dalam Universitas Sumatera Utara tanah, molekul-molekul air mengelilingi partikel-partikel liat membentuk selaput tipis (film) sehingga jumlah liat akan menentukan kapasitas memegang air dalam tanah (Sarief, 1988). Tekstur tanah sebagai faktor abiotik merupakan faktor penting yang mempengaruhi distribusi mineral, retensi bahan organik, biomassa mikroba dan sifat tanah lainnya (Scott and Robert, 2006). Suatu dokumentasi oleh Silver, et al (2000). yang menemukan bahwa tekstur tanah memainkan sebuah peranan kunci di bawah tanah dalam penyimpanan karbon di ekosistem tanah dan sangat mempengaruhi ketersediaan hara dan retensi, terutama untuk tekstur tanah yang halus. Logam Berat Logam berat adalah unsur logam dengan berat molekul tinggi. Dalam keadaan rendah logam berat pada umumnya sudah beracun bagi tumbuhan, hewan, dan manusia. Termasuk logam berat yang sering mencemari habitat adalah Hg, Cr, Cd, As, dan Pb (Am.geol. Inst., 1976 dalam Notohadiprawiro, 2006). Logam berat dapat masuk ke lingkungan hidup karena : (1). Longgokan alami di dalam bumi tersingkap sehingga berada di permukaan bumi; (2) pelapukan batuan yang mengandung logam berat secara residual di dalam saprolit dan selanjutnya berada di dalam tanah; (3) penggunaaan bahan alami untuk pupuk atau pembenahan tanah; dan (4) pembuangan sisa-sisa dan limbah pabrik serta sampah (Notohadiprawiro, 2006). Ketersediaan logam berat di dalam tanah dipengaruhi oleh : 1. KTK (Kapasitas Tukar Kation) Universitas Sumatera Utara 2. Reaksi pengkompleksan 3. pH larutan 4. Anion dalam larutan tanah 5. Potensial redoks tanah (Duchsufour, 1982; Verlo, 1993 dalam Notohadiprawiro, 2006). Nilai ambang gawat unsur logam berat bagi tanaman dan ternak secara umum adalah sebagai berikut : Tabel 1. Nilai ambang gawat unsur logam berat bagi tanaman Logam berat Kadar gawat (μg/ g bahan kering) dalam tanaman Cr 1-2 Hg 2-5 Cd 5-10 Logam berat Kadar gawat (μg/ g bahan kering) dalam tanaman Pb 10-20 Cu 15-20 Ni 20-30 Zn 150-200 Sumber : Mengel dan Kirby (1987) dalam Notohadiprawiro(2006). Logam Cu berpotensi toksik terhadap tanaman dan berbahaya bagi manusia karena bersifat karsinogenik. Kandungan logam Cu dalam jaringan tanaman yang tumbuh normal sekitar 5-20 mg/kg, sedangkan pada kondisi kritis dalam media 60- 120 mg/kg dan dalam jaringan tanaman 5-60 mg/kg. Pada kondisi kritis pertumbuhan tanaman mulai terhambat sebagai akibat keracunan Cu dan konsentrasi lebih dari 10 ppm dapat menjadi racun terhadap tanaman. Oleh karena itu pengetahuan mengenai sifat dan karakteristik serta potensi toksisitas Universitas Sumatera Utara logam Cu terhadap tanaman sangat dibutuhkan (Lasat, 2007 dalam Hardiani, 2009). Kadmium (Cd) merupakan logam berat pencemar lingkungan yang tidak memiliki fungsi hayati dan bersifat sangat toksik bagi tumbuhan dan hewan Fitotoksisitas Cd dapat menyebabkan klorosis, nekrosis, layu serta gangguan fotosintesis dan transpirasi sehingga menghambat pertumbuhan. Variasi kelarutan Cd tanah berkorelasi erat dengan nilai pH, kapasitas tukar kation (KTK), kadar bahan organik dan liat, serta keberadaan ion logam lainnya (Maier et al., 2003; Smeets et al., 2005 dalam Sudadi, dkk, 2008). Selain debu, bahan yang keluar dari letusan gunung api adalah batuan. Salah satu jenis batuan tersebut adalah batuan silikat. Batuan silikat dapat dijadikan sebagai pengganti pupuk kimia dengan dihaluskan terlebih dahulu hingga berbentuk tepung. Menurut Priyono (2008), batuan silikat mengandung banyak unsur hara essensial dan telah dievaluasi kemungkinan sebagai pupuk alami yang efektif dan ramah lingkungan. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi tepung batuan silkat dapat meningkatkan pH tanah masam (Priyono dan Gilkes, 2004 dalam Priyono 2008), EC (Priyono, 2004 dalam Priyono 2008), kapasitas tukar kation (KTK) tanah (Gillman et al., 2002 dalam Priyono 2008), dan mengurangi toksisitas Al dan jerapan P oleh kation polivalen (Mn, Fe, Al) pada tanah masam. Sejauh ini pengaruh aplikasi tepung batuan silikat terhadap aktivitas organisme tanah dan keragaman hayati belum banyak dikaji oleh peneliti atau belum dipublikasikan. Selain itu, pemberian tepung batuan silikat (dosis 5 – 10 t/ha) meningkatkan pasokan Si dalam jumlah besar (Priyono, 2004 dalam Priyono 2008) dan hal itu memberikan keuntungan Universitas Sumatera Utara tambahan kaitannya dengan peningkatan ketahanan tanaman tertentu terhadap serangan hama dan penyakit dan mengurangi toksisitas Al pada tanaman jagung. 1. Cadmium (Cd) Berkenaan dengan fenomena kontaminasi dan pencemaran logam berat dalam tanah, kontaminasi merujuk pada kisaran kadar logam berat dalam tanah yang belum atau tidak akan segera mengakibatkan dampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman atau komponen lingkungan lainnya. Pencemaran merujuk pada kisaran kadar logam berat dalam tanah yang telah mengakibatkan dampak negatif terhadap sebagian atau seluruh komponen lingkungan (Lacatusu, 2000). Kapasitas tanah meretensi, mengadsorpsi dan mengakumulasikan logam berat ditentukan oleh kadar liat, kadar air, potensial redoks, pH, kadar bahan organik dan kapasitas tukar kation (KTK). Kapasitas sangga tanah terhadap kation logam berat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pH, kadar bahan organik dan KTK (Lindsay, 2001). Penggunaan kapur, bahan organik dan zeolit dilaporkan meningkatkan kapasitas sangga tanah lempung berpasir yang ditanami jagung terhadap Cd, Cu, Pb dan Zn yang diindikasikan dari meningkatnya nilai ketiga parameter tersebut dan menurunnya kadar fraksi aktif keempat logam yang diteliti (Sudadi, et al. 1997). Kapasitas tanaman dalam mengakumulasikan logam berat bergantung pada spesies, kultivar, bagian tanaman dan umur atau fase fisiologisnya. Sensitivitas tanaman terhadap logam berat juga ditentukan oleh jenis logam beratnya. Sebagian besar logam berat diakumulasikan tanaman di akar. Serapan logam berat oleh tanaman dikotil umumnya lebih tinggi daripada monokotil dan jaringan Universitas Sumatera Utara vegetatif mengandung Cd dan Pb dalam kadar yang lebih tinggi daripada jaringan generatif. Salah satu mekanisme tanaman dalam menoleransi toksisitas logam berat adalah melalui fenomena selektivitas serapan ion dari media tumbuhnya. Dari sisi budidaya tanaman, ukuran keberhasilan upaya pengelolaan pencemaran logam berat dapat didasarkan pada terjadinya penurunan serapannya. Penurunan serapan tanaman terhadap logam berat berkenaan dengan tiga hal, yaitu: (1) akibat penurunan kadar fraksi aktif logam berat dalam media tumbuh, atau (2) peningkatan selektivitas tanaman dalam menyerap unsur dari media tumbuh, atau (3) kombinasi keduanya (Kabata- Pendias and Pendias, 2001). 2. Tembaga (Cu) Logam Tembaga, Seng dan Kadmium merupakan bahan pencemar tanah. Bahan pencemar tanah dapat dipilah menjadi dua, yakni bahan anorganik dan bahan organik. Bahan anorganik terutama logam berat seperti seng, tembaga, timbal dan arsenikum. Bahan – bahan tersebut cenderung berada didalam tanah dalam waktu yang lama, meskipun status kimianya kemungkinan berubah menurut waktu (Hanafiah, 2005). Walaupun tanah telah terkontaminasi bahan pencemar anorganik dalam jumlah yang cukup besar, tetapi kemungkinan masalah yang timbul berasal dari beberapa unsur saja. Unsur yang bersifat meracuni tanaman atau menurunkan produksi jika konsentrasinya tinggi yakni termasuk seng, tembaga dan kadmium. Namun dalam konsentrasi yang rendah, beberapa unsur mikro tersebut bermanfaat untuk tanaman ataupun ternak (Hanafiah, 2005). Unsur Cu bersumber dari hasil pelapukan/pelarutan mineral – mineral yang terkandung dalam bebatuan. Penambahan Cu ke dalam tanah melalui polusi Universitas Sumatera Utara dapat terjadi pada industri – industri tembaga, pembakaran batu bara, pembakaran kayu, minyak bumi dan buangan di area pemukiman/perkotaan (Musa, 2007). Lindsay (2001) menyimpulkan bahwa kadar Cu dalam larutan tanah menurun dengan peningkatan pH disebabkan Cu terikat sangat kuat pada matriks tanah. Unsur Cu2+ terikat lebih kuat pada bahan organik dibandingkan dengan unsur mikro lainnya misalnya Zn2+ dan Mn2+ dan Cu kompleks berperanan penting dalam regulasi mobilitas dan ketersediannya dalam tanah. Kebanyakan Cu-mineral dalam bentuk kristal dan bentuk lainnya lebih mudah larut daripada Cu-tanah. Cu tanah adalah Cu2+ yang terikat kuat oleh matriks tanah yang terdiri dari kompleks liat dan humus atau senyawa – senyawa organik yang berasal dari reaksi perombakan bahan organik (Musa, 2007). Tingkat oksidasi Cu umumnya kurang larut pada nilai pH yang biasa alam tanah daripada tingkat reduksi. Hidroksida dari bentuk valensi tinggi mengendap pada nilai pH yang lebih rendah dan sangat tidak larut (Buckman dan Brady, 1982). Unsur Cu dapat menjadi stabil dalam tanah setelah mengalami reaksi – reaksi hidrolisis, pembentukan kompleks anorganik dan kompleks organik, adsorpsi atau fiksasi Cu pada berbagai jenis mineral liat dan kemampuan fiksasi ini berbeda pada masing – masing mineral liat. Unsur Cu terikat lebih kuat pada bahan organik dibandingkan unsur mikro lainnya (Musa, 2007). 3. Plumbum ( Pb) Timbal merupakan salah satu jenis logam berat yang terjadi secara alami yang tersedia dalam bentuk biji logam, dan juga dalam percikan gunung berapi, dan bisa juga di peroleh di alam (WHO HECA undated). Karena meningkatnya Universitas Sumatera Utara aktivitas manusia, seperti pertambangan dan peleburan, dan pengunaannya dalam bahan bakar minyak, dan juga masih banyak lagi di gunakan dalam pembuatan produk lainnya, sehingga kandungan timbal di biosphere telah meningkat dalam 300 tahun terakhir (NHMRC 2009). Kadar Pb yang secara alami dapat ditemukan dalam bebatuan sekitar 13 mg/kg. Khusus Pb yang tercampur dengan batufosfat dan terdapat didalam batu pasir ( sand stone) kadarnya lebih besar yaitu 100 mg/kg. Pb yang terdapat di tanah berkadar sekitar 5 -25 mg/kg dan di air bawah tanah (ground water) berkisar antara 1- 60μg/liter.Secara alami Pb juga ditemukan di air permukaan. Kadar Pb pada air telaga dan air sungai adalah sebesar 1 -10 μg/liter. Dalam air laut kadar Pb lebih rendah dari dalam air tawar. Laut Bermuda yangdikatakan terbebas dari pencemaran mengandung Pb sekitar 0,07μg/liter. Kandungan Pb dalam air danau dan sungai di USA berkisarantara 1-10 μg/liter.Secara alami Pb juga ditemukan di udara yang kadarnya berkisar antara 0,0001 – 0,001 μg/m3. Tumbuh-tumbuhan termasuk sayur-mayur dan padi-padian dapat mengandung Pb, penelitian yang dilakukan di USA kadarnya berkisar antara 0,1 -1,0 μg/kg berat kering. Logam berat Pb yang berasal dari tambang dapat berubah menjadi PbS (golena), PbCO3 (cerusite) dan PbSO4 (anglesite) dan ternyata golena merupakan sumber utama Pb yang berasal dari tambang. Logam berat Pb yang berasal dari tambang tersebut bercampurdengan Zn (seng) dengan kontribusi 70%, kandungan Pb murnisekitar 20% dan sisanya 10% terdiri dari campuran seng dan tembaga (Ariani, 2010). Logam Cu, Pb dan Cd termasuk logam transisi, dan dalam lingkungan perairan ditemui dalam bentuk ion-ion bebas, pasangan ion organik dan ion kompleks. Kelarutan logam dalam tanah dikontrol oleh pH tanah. Kenaikan pH Universitas Sumatera Utara akan menurunkan kelarutan logam , karena kenaikan pH akan mengubah logam dari bentuk karbonat menjadi bentuk hidroksi yang membentuk ikatan dengan partikel pada tanah, sehingga akan mengendap (Darmano, 1995). Persyaratan Iklim dan Media Tumbuh Tanaman Jagung Iklim Sebaiknya jagung awal musim hujan dan menjelang bulan kemarau. Pertumbuhan jagung sangat membutuhkan sinar matahari. Tanaman jagung yang ternaungi pertumbuhannnya terhambat akan memberikan hasil biji yang kurang baik bahkan tidak dapat membentuk buah. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung antara 21-340C, akan tetapi bagi pertumbuhan tanaman yang ideal memerlukan suhu optimum antara 23-270C.Pada proses perkecambahan benih jagung memerlukan suhu yang cocok sekitar 300 C (Qamara, 1998). Iklim yang dikenhendaki oleh tanaman adalah daerah-daerah beriklim sedang daerah beriklim subtrpopis/tropis yang basah. Jagung dapat tumbuh didaerah yang terletak antara 0-500 LU–0-400 LS. Pada lahan yang tidak berigasi, pertumbuhan tanman ini memerlukan curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan dan harus merata. Pada fase pembuangan dan pengisian biji tanaman jagung perlu mendapatkan cukup air (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Tanah Tanah dengan kemiringan kurang dari 8% dapat ditanami jagung, karena disana kemungkinan terjadi erosi tanah sangat kecil. Sedangkan daerah dengan Universitas Sumatera Utara tingkat kemiringan lebih dari 8% sebaiknya dilakukan pembentukan teras dahulu (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Jagung dapat tumbuh baik pada tanah-tanah yang drainasenya baik selama musim hujan. Dengan persyaratan yang demikian tanaman ini pun dapat tumbuh pada tanah liat berlempung atau yang pasir berlempung. Jagung dapat tumbuh pada ketinggian 0–4000 meter di atas permukaan laut di daerah tropik. Jagung dapat tumbuh pula pada tipe tanah di daerah lintang dari 58º utara - 40º selatan (Purwono dan Hartono, 2002). Universitas Sumatera Utara