PERANAN PEROKSIDASI LIPID PADA PATOGENESIS PREEKLAMSIA dr. Gede Parwata Yasa, SpOG BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR 2013 BAB I PENDAHULUAN Preeklamsia merupakan suatu kelainan multisistem spesifik pada kehamilan yang mempengaruhi ibu (melalui disfungsi pembuluh darah) maupun janin (melalui hambatan pada pertumbuhan janin). Kelainan ini ditandai dengan adanya vasospasme dan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer yang menyebabkan terjadinya penurunan perfusi organ1,2,3. Angka insiden preeklamsia di seluruh dunia berkisar antara 3% hingga 14% dari seluruh kehamilan dan di Amerika serikat insidennya sekitar 5-8%. Belum ada bukti yang menyatakan adanya perubahan terhadap jumlah tersebut setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir1. Preeklamsia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas maternal di daerah berkembang, serta menyebabkan peningkatan hingga 5 kali mortalitas perinatal1,3. Di dunia, 50.000 – 70.000 wanita meninggal tiap tahunnya akibat preeklamsia dan eklamsia4. Di Indonesia, kelainan ini masih merupakan tiga besar penyumbang tertinggi angka kematian ibu bersalin setelah perdarahan dan infeksi, dengan angka kejadian bervariasi antara 2-8,5%. Di RSUP Sanglah Denpasar, dilaporkan angka kejadian preeklamsia sebesar 1,8% pada tahun 1997, sedangkan Oka dan Surya, 2002-2003, melaporkan kejadian preeklamsia yang lebih tinggi yaitu sebesar 5,83% dari 7.552 persalinan dengan 6 (26%) kematian maternal yang disebabkan oleh preeklamsia dan eklamsia dalam kurun waktu tersebut. Dari data tersebut dapat disimpulkan terjadi peningkatan angka kejadian preeklamsia pada 3-4 tahun tersebut5. Preeklamsia dinyatakan sebagai kelainan dengan beragam teori (disease of theory) yang merefleksikan ketidakpastian sebab dan patofisiologi preeklamsia. Ada beberapa teori yang dikemukakan namun belum ada yang secara pasti mengungkapkan patofisiologi preeklamsia4. Dari banyak teori yang telah dikemukakan, tidak ada satu pun teori yang dianggap mutlak benar. Teori-teori tersebut diantaranya adalah (1) teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel, (2) teori intoleransi imunologi antara ibu dan janin, (3) teori kelainan pada vaskularisasi plasenta, (4) teori adaptasi kardiovaskular, (5) teori defisiensi gizi, (6) teori inflamasi, dan (7) teori genetik5. Hipotesis yang telah diterima secara luas oleh para ahli tentang munculnya sindroma klinis preeklamsia adalah teori iskemia plasenta yang disebabkan oleh kegagalan invasi trofoblas kedalam arteri spiralis, sehingga menyebabkan asupan darah ke plasenta menjadi terganggu. Iskemia tersebut akhirnya menyebabkan pelepasan senyawa yang dihasilkan oleh jaringan uteroplasenta yang hipoksik, dan senyawa tersebut selanjutnya beredar dalam sirkulasi ibu dan menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah sistemik5. Salah satu senyawa yang dihasilkan adalah hasil metabolisme lipid yang terganggu yaitu peroksida lipid. Peroksida lipid ini diproduksi akibat serangan radikal bebas terhadap kandungan lipid terutama asam lemak tak jenuh dan kolesterol yang banyak terdapat pada membran sel dan lipoprotein6. Oleh karena patogenesis penyakit yang belum dapat dijelaskan dengan baik, dan melahirkan plasenta sebagai satu-satunya terapi definitif, maka diperlukan suatu upaya identifikasi awal terhadap pasien yang berisiko mengalami preeklamsia dalam penanganan kasus obstetri dengan preeklamsia1. Tersedianya marker biokimia dan fisiologis yang mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi yang tidak hanya mendeteksi pasien dengan risiko tinggi tetapi juga dapat membantu menegakkan diagnosis pasti sangat diperlukan. Banyak biomarker yang telah diteliti dan terbukti berperan dalam penegakkan diagnosis dini preeklamsia, salah satunya adalah produk peroksidasi lipid7. Dengan pendekatan “preventive medicine” yaitu pengenalan faktor risiko (pencegahan primer), tanda-tanda dini preeklamsia (pencegahan sekunder), tandatanda munculnya komplikasi preeklamsia (pencegahan tersier), dan ditunjang dengan adanya biomarker yang mampu memprediksi timbulnya preeklamsia, maka diharapkan kejadian preeklamsia dan kematian akibat preeklamsia dapat diturunkan5. BAB II PREEKLAMSIA 2.1. Definisi Preeklamsia adalah suatu sindrom spesifik pada kehamilan dengan gejala klinis berupa penurunan perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel1,2,3. Preeklamsia hingga saat ini masih merupakan komplikasi serius dalam kehamilan dan patofisiologinya masih belum diketahui dengan pasti2. Kelainan yang bersifat progresif cepat ini ditandai dengan peningkatan tekanan darah, edema ekstrimitas bawah dan timbulnya protein dalam urin. Preeklamsia memberikan dampak bagi ibu maupun janin yang dikandungnya. Bagi janin, preeklamsia menyebabkan terjadinya hambatan pertumbuhan, dan bagi ibu preeklamsia dapat menimbulkan kegagalan ginjal, sindroma HELLP (haemolysis, elevated liver enzymes, and 1,3 thrombocytopenia), kejang, stroke atau bahkan kematian . 2.2 Insidensi Preeklamsia merupakan salah satu komplikasi medis yang paling sering dalam kehamilan, dan mengenai sekitar 5-15% dari seluruh kehamilan. Diseluruh dunia dilaporkan adanya 50.000 sampai 70.000 kematian tiap tahunnya akibat preeklamsia. Kelainan ini merupakan penyebab dari sekitar 16% kematian ibu di negara maju. Di Amerika Serikat dilaporkan angka kejadian preeklamsia sekitar 5% hingga 8% dari seluruh kehamilan4. Angka kejadian preeklamsia di Indonesia bervariasi antara 2,1-8,5%. Di RSUP Sanglah Denpasar, Ardhana, 1997, melaporkan angka kejadian preeklamsia sebesar 1,8%, sedangkan Oka dan Surya, 2002-2003, melaporkan kejadian preeklamsia sebesar 5,83% dari 7.552 persalinan dalam kurun waktu tersebut. Dengan demikian, dari data tersebut dapat disimpulkan terdapat kecenderungan peningkatan angka kejadian preeklamsia5. 2.3 Faktor risiko Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya preeklamsia, yang dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut2,4,8 : Primigravida, primipaternitas Hiperplasentosis, seperti mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar. Umur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun. Riwayat keluarga pernah preeclamsia atau eklamsia. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan. Obesitas Gambaran klinik preeklamsia bervariasi luas dan bersifat individual. Sulit untuk menentukan gejala mana yang muncul terlebih dahulu, tetapi secara teoritis biasanya didahului oleh edema, hipertensi kemudian proteinuria8. Dalam hubungannya dengan stres oksidatif, banyak penulis menyatakan bahwa penyakit atau keadaan apapun yang melibatkan peranan stres oksidatif atau pembentukan peroksida lipid dapat meningkatkan risiko terjadinya preeklamsia1. 2.4 Diagnosis Kriteria penegakkan diagnosis dan klasifikasi preeklamsia yang digunakan saat ini adalah menurut National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy (2000)8,9, yaitu : Preeklamsia : Kriteria minimal - Tekanan darah 140/90 mm Hg setelah umur kehamilan 20 minggu - Proteinuri 300 mg/24 jam atau +1 dipstick Preeklamsia berat - Tekanan darah 160/110 mm Hg - Proteinuri 2,0 gram/24 jam atau + 2 dipstick - Kreatinin serum 1,2 mg/dl, kecuali sebelumnya diketahui telah terjadi peningkatan - Trombosit 100.000 / mm3 - Hemolisis mikroangiopati (LDH meningkat) - Peningkatan SGOT atau SGPT - Nyeri kepala yang menetap atau gangguan pengelihatan - Nyeri epigastrium yang menetap 2.5. Etiopatogenesis Berbagai penelitian tentang preeklamsia telah dilakukan untuk mencari faktor risiko, etiologi, maupun intervensi yang terbaik untuk preeklamsia, tetapi konsensus yang telah ada untuk preeklamsia masih kurang. Sejumlah teori mengenai mekanisme patofisiologi preeklamsia telah banyak didiskusikan, tetapi teori-teori tersebut masih belum dapat dibuktikan secara pasti1. Karena itulah preeklamsia masih digambarkan sebagai sebuah “disease of theories”. Dari banyak teori yang telah dikemukakan, tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori tersebut diantaranya adalah : (1) teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel, (2) teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin, (3) teori kelainan pada vaskularisasi plasenta, (4) teori adaptasi kardiovaskular, (5) teori defisiensi gizi, (6) teori inflamasi, dan (7) teori genetik4. 2.5.1. Plasenta pada kehamilan normal dan preeklamsia Pada kehamilan normal terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut. Degenerasi lapisan otot menyebabkan lapisan menjadi lunak, sehingga lumen arteri spiralis dengan mudah mengalami distensi dan vasodilatasi, yang akan memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi, dan peningkatan aliran darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dikenal dengan istilah remodelling arteri spiralis5. Gambar 1. Plasentasi pada kehamilan normal Sumber: Finger, 2008. Pada preeklamsia invasi sel–sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis tidak terjadi secara sempurna. Lapisan otot menjadi kaku dan keras, sehingga lumen arteri spiralis tidak mungkin mengalami distensi dan vasodilatasi, akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadilah iskemia serta hipoksia plasenta yang tentunya akan berpengaruh juga terhadap keadaan janin intra uterin5. Gambar 2. Plasentasi abnormal pada preeklamsia Sumber: Finger, 2008 2.5.2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel Salah satu teori etiologi preeklamsia yang saat ini cukup banyak dianut adalah teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel. Teori ini mengatakan adanya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan akibat iskemia plasenta, sehingga terjadi stres oksidatif. Proses peroksidasi lipid dianggap memiliki peranan penting didalamnya1. Idealnya selama kehamilan normal, peningkatan produksi radikal bebas keseimbangannya selalu dijaga melalui produksi antioksidan yang cukup, namun pada preeklamsia terjadi peningkatan produksi radikal bebas berlebihan dan penurunan kadar antioksidan sehingga menyebabkan suatu keadaan stres oksidatif. Preeklamsia sering disebut sebagai penyakit dengan dua tahapan. Tahap pertama adalah kegagalan parsial invasi trofoblas dan remodeling arteri spiralis dengan akibat restriksi aliran vaskular dan kurangnya pasokan aliran darah pada plasenta yang menyebabkan terjadinya hipoksia. Sebagai hasil akhir timbulah lesi iskemik yang menginduksi timbulnya stres oksidatif. Tahap kedua adalah sindroma maternal, yang ditandai dengan respon inflamasi sistemik yang berlebihan, melibatkan leukosit, disfungsi endotel, trombosis, dan aktivasi sistem reninangiotensin-aldosteron. Rangsangan yang mengakibatkan timbulnya manifestasi klinis diyakini akibat stres pada plasenta10. Berkurangnya invasi trofoblas kedalam uterus dan arteri spiralis yang merupakan karakteristik dari preeklamsia menyebabkan suplai darah ke plasenta menjadi sangat berkurang. Gangguan plasentasi ini menyebabkan terjadinya hipoksia plasenta dan dapat menyebabkan cedera iskemi reperfusi pada plasenta. Dengan adanya iskemia plasenta ini, kemudian dihasilkan banyak radikal bebas. Jika radikal bebas yang dihasilkan melebihi kapasitas antioksidan atau keadaan dimana jumlah antioksidan menurun, maka timbulah suatu keadaan stres oksidatif. Pada keadaan ini, terdapat radikal bebas yang berlebihan, terutama spesies oksigen reaktif, yang selanjutnya akan bereaksi dengan asam lemak tak jenuh (PUFA; Poly Unsaturated Fatty Acid) pada membran sel dan lipoprotein pada plasma yang kemudian membentuk peroksida lipid, yang dikenal dengan proses peroksidasi lipid1,10. Peroksida lipid ini merupakan komponen yang sangat reaktif sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada membran sel endotel, bahkan juga dapat merusak komponen sel lainnya. Kerusakan atau gangguan pada struktur endotel karena produk peroksidasi lipid ini berperan penting menyebabkan gangguan fungsi endotel1,11 2.5.3. Endotel dan disfungsi endotel Endotel merupakan organ terluas dalam tubuh manusia, yang terdapat sepanjang dinding sebelah dalam pembuluh darah. Endotel ini berperan penting untuk mengontrol aliran darah dan tahanan perifer, melalui mediator-mediator kimiawi yang dihasilkan sebagai akibat rangsangan neuronal, kemikal, dan fisikal, yaitu; oksida nitrat (NO), prostasiklin (PGI2) dan endothelial derived relaxing factors (EDRF), yang kesemuanya bersifat vasodilator. Selain itu endotel juga berperan dalam proses trombosis dan hemostasis. Dengan demikian peranan endotel bukan saja sebagai barier mekanik antara plasma intravaskuler dengan cairan ekstravaskuler, tetapi mempunyai fungsi yang kompleks mengontrol diameter pembuluh darah, aliran darah, serta mekanisme pembekuan darah. Karena perannya itulah sel endotel harus mampu merespon situasi stres oksidatif yang buruk, atau situasi patologis yang buruk seperti iskemia dan hipoksia5. Disfungsi endotel yang terjadi pada preeklampsia dimulai dengan terpaparnya membran sel endotel oleh mediator-mediator yang terlepas akibat iskemia dan hipoksia plasenta, diantaranya produk peroksidasi lipid, sehingga mengakibatkan kerusakan pada membran sel tersebut. Terganggunya membran sel tadi dapat menganggu fungsi endotel, bahkan mengakibatkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Akibat terjadinya kerusakan sel endotel, maka fungsi endotel sebagai barier mekanik hilang sehingga terjadi kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya ekstravasasi cairan intra ke ekstravaskuler, disamping itu fungsi endotel untuk memproduksi oksida nitrat dan prostasiklin juga menurun, sehingga terjadi vasokonstriksi dan peningkatan tekanan darah. Selain hal tersebut kerusakan endotel juga akan mengakibatkan banyak gangguan lain, diantaranya agregasi trombosit pada daerah endotel yang rusak yang juga akan menghasilkan tromboksan A2 (TXA), perubahan khas pada kapilar glomerulus berupa glomerular endotheliosis, peningkatan permeabilitas kapiler, serta peningkatan faktor koagulasi. Keseluruhan dari gangguan disfungsi endotel ini secara bersama-sama dianggap bertanggung jawab menyebabkan timbulnya gejala klinis preeklampsia1,5. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel diatas telah didukung oleh banyak penelitian yang menganggap preeklamsia sebagai salah satu penyakit akibat terjadinya ketidakseimbangan antara antioksidan dan oksidan. Buktibukti telah bertambah terus selama lebih dari 20 tahun terakhir. Banyak peneliti yang menemukan bahwa preeklamsia merupakan keadaan dengan disfungsi endotel menyeluruh, termasuk perubahan respon vaskular yang kehilangan resistensinya terhadap agen-agen vasokonstriktor seperti norepinephrine dan angiotensin II, berkurangnya produksi prostasiklin endothelial, dan peningkatan produksi fibronektin selular. Semua gambaran preeklamsia diatas dimiliki juga oleh sejumlah kelainan medis (atherosklerosis, diabetes, sepsis, dan cedera iskemik-reperfusi) yang bersamasama diperkirakan penyebab utamanya adalah adanya stres oksidatif1,12. 2.5.4. Radikal bebas dan stres oksidatif Radikal bebas merupakan produk yang senantiasa selalu diproduksi dalam tubuh manusia. Dibandingkan dengan keadaan tidak hamil, pada saat kehamilan terdapat peningkatan produksi radikal bebas, dan pada preeklamsia dikatakan produksinya lebih banyak lagi. Ketika produksi radikal bebas meningkat dan melebihi kemampuan sistim pertahanan antioksidan dalam tubuh, maka terjadilah suatu keadaan yang disebut stres oksidatif1. Radikal bebas adalah setiap unsur yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di orbit paling luarnya. Radikal bebas ini dapat bermuatan positif, negatif, atau netral. Unsur radikal dapat merupakan bagian dari struktur yang lebih besar dan imobile, namun dapat juga merupakan unsur berukuran kecil yang dapat berdifusi dikenal sebagai radikal bebas. Radikal bebas mempunyai dua sifat penting, yang pertama yaitu bersifat sangat reaktif dan cenderung untuk bereaksi dengan molekul lain untuk mencari pasangan elektronnya sehingga menjadi bentuk yang lebih stabil, dan yang kedua yaitu dapat mengubah molekul lain menjadi molekul radikal yang bersifat reaktif. Radikal bebas mirip dengan oksidan yang sifatnya sebagai penerima elektron (menarik elektron). Radikal bebas lebih berbahaya daripada oksidan karena reaktivitas yang tinggi dan kecendrungannya membentuk radikal bebas yang baru. Pada gilirannya apabila radikal bebas bertemu dengan molekul lain akan membentuk radikal bebas yang baru lagi, dan demikian seterusnya sehingga terjadi reaksi rantai. Molekul oksigen reaktif termasuk radikal bebas, pada keadaan normal dibentuk secara kontinyu sebagai hasil sampingan proses metabolisme selular1. Proses metabolisme yang merupakan sumber radikal bebas13 : 1. Reaksi fosforilase oksidatif pada pembentukan ATP di mitokondria. Secara normal dalam reaksi ini 1 – 5 % oksigen keluar dari jalur reaksi ini dan mengalami reduksi univalen. Reduksi satu elektron dari molekul oksigen ini akan menbentuk radikal superoksid. 2. Beberapa jenis enzim oksidase, misalnya xantin oksidase dan aldehid oksidase dapat membentuk zat oksidan yang reaktif, seperti superoksida. 3. Metabolisme asam arakhidonat olen enzim siklooksigenase untuk membentuk prostaglandin dan oleh enzim lipooksigenase untuk membentuk leukotrien menyebabkan pembentukan zat – zat antara berbentuk peroksi maupun radikal hidroksi. 4. Sistem oksidase NADPH dependen di permukaan membran neutrofil adalah sumber pembentukan radikal superoksida yang sangat efisien. Enzim ini lebih bersifat dominan, namun jika teraktivasi misalnya oleh bakteri, mitogen atau sitokin, enzim ini akan mengkatalis reaksi reduksi mendadak dari oksigen menjadi hidrogen peroksida dan O2-. 5. Sel yang mengandung peroksisom, organela yang mengoksidasi asam lemak, akan memproduksi H2O2. Radikal bebas dihasilkan selama proses fisiologi normal, namun pelepasannya meningkat pada keadaan iskemia, keadaan hiperfusi, dan saat terjadinya reaksi imun. Selain sumber endogen, sumber eksogen pembentukan radikal bebas adalah radiasi ionisasi, merokok, dan polusi udara. Radikal bebas dapat merusak semua komponen biokimia sel, protein, dan asam nukleat adalah target utama yang paling penting. Karena sangat reaktif, radikal bebas pada umumnya bereaksi dengan struktur pertama yang dijumpai, yang paling sering adalah komponen lemak membran sel atau organel13. Stres oksidatif merupakan suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan dimana oksidan melebihi kadar antioksidan, sehingga menyebabkan kerusakan yang serius. Gangguan keseimbangan tersebut dapat disebabkan oleh satu atau kedua kejadian berikut14 : 1. Berkurangnya antioksidan. 2. Meningkatnya oksidan atau senyawa oksigen reaktif. Berkurangnya antioksidan dapat disebabkan oleh tiga mekanisme utama14 : 1. Malnutrisi yang menyebabkan intake yang tidak adekuat nutrien antioksidan yang esensial. 2. Beberapa obat yang dikonjugasi dengan glutathion pada waktu pembuatannya dengan tujuan ekskresi dari tubuh menyebabkan penurunan kadar glutathion dalam tubuh. 3. Mutasi gen menyebabkan efek yang buruk pada sistem antioksidan, dan menyebabkan penurunan aktivitas antioksidan tersebut. Meningkatnya oksidan dan senyawa oksigen reaktif sering menyebabkan stres oksidatif dalam tubuh, meliputi14 : 1. Meningkatnya konsentrasi O2 dapat menyebabkan peningkatan pembentukan senyawa oksigen reaktif seperti H2O2 dan OH. 2. Meningkatnya enzim sitokrom p450 mempunyai peran penting dalam detoksifikasi toksin di dalam tubuh. Kadang produk sampingan enzim sitokrom p450 adalah radikal bebas yang mana bisa menimbulkan kerusakan melebihi toksin aslinya dan menyebabkan stres oksidatif. 3. Aktivitas fagositosis sel merupakan penyebab penting terjadinya stres oksidatif. Aktivitas fagositosis menghasilkan banyak senyawa reaktif yang berbeda yang memperberat stres oksidatif dalam jaringan. Proses ini terjadi pada berbagai penyakit kronis arthritis rheumatik. 4. Paparan secara langsung toksin dari lingkungan sekitar kita juga berperan dalam terjadinya stres oksidatif. Sebagai contoh merokok dalam paparan paru - paru terhadap radikal bebas. Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan kerusakan jaringan dapat menyebabkan stres oksidatif. Sangat diyakini bahwa stres oksidatif menyebabkan berbagai kelainan dalam tubuh11,14. Permulaan dari penyakit yang multifaktorial telah diketahui sebagai akibat kelemahan fenomena keseimbangan hemostasis dalam tubuh. Kebanyakan penyakit seperti atherosklerosis, hipertensi, penyakit iskemik, penyakit Alzheimer`s, Parkinson, kanker, dan reaksi inflamasi dianggap suatu keadaan yang pertamanya karena ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Kerusakan jaringan dikatakan sebagai sumber penting dari keadaan stres oksidatif melalui berbagai mekanisme seperti aktivasi fagositosis, pelepasan ion metal, dan peningkatan kebocoran elektron dari ikatan transfort elektron. Luasnya peranan stres oksidatif dalam patogenesis suatu penyakit berbeda antara penyakit satu dengan yang lainnya. Karena perannya tersebut, stres oksidatif merupakan target potensial dalam menangani suatu penyakit14. Stres oksidatif dianggap memainkan peran disfungsi endotel salah satunya dengan mengganggu keseimbangan antara tromboksan dan prostasiklin melalui peningkatan peroksidasi lipid dan penurunan proteksi antioksidan. Peroksidasi lipid akan mengaktifkan enzim cyclooxygenase untuk meningkatkan sintesis tromboksan, dan disaat yang bersamaan juga menghambat prostasiklin synthase sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin. Stres oksidatif juga diyakini menyebabkan terjadinya apoptosis sinsitiotrofoblas, yang akan meningkatkan lepasnya fragmenfragmen mikrovillus ke dalam sirkulasi maternal1. Perubahan kandungan lemak dapat memicu stres oksidatif pada preeklamsia. Secara khusus, sindroma resistensi insulin (disebut juga sindroma X; suatu kelompok abnormalitas yang meliputi dislipidemia, obesitas dan resistensi insulin) memiliki peranan penting pada patogenesis preeklamsia seperti juga pada penyakit jantung dan pembuluh darah pada wanita yang tidak hamil. Penelitian menunjukkan bahwa preeklamsia berhubungan dengan peningkatan trigliserid dan asam lemak bebas (peningkatan rata-rata hingga 65%). Bahan ini dapat mengalami oksidasi secara langsung maupun terinduksi, dengan hasil akhir peningkatan peroksidasi lipid dan stres oksidatif15. Gambar 3. Gangguan keseimbangan oksidan dan antioksidan Sumber : Lyell, 2007. BAB III PEROKSIDASI LIPID Peroksidasi lipid dapat diartikan sebagai degradasi oksidatif lipid. Merupakan suatu proses dimana radikal bebas “mencuri” elektron-elektron lipid pada membran sel dan menyebabkan kerusakan sel16. Proses ini terjadi melalui mekanisme reaksi rantai radikal bebas terhadap lipid, yang dapat berupa: asam lemak tak jenuh (PUFA; Poly Unsaturated Fatty Acid), fosfolipid, glikolipid, kolesterol ester dan kolesterol. Diantara semua bahan tersebut, asam lemak tak jenuh merupakan bahan yang paling sering terlibat dalam mekanisme oksidasi, oleh karena mengandung banyak ikatan ganda diantara molekulnya dimana terletak grup metilin-CH2 yang secara khusus bereaksi terhadap hidrogen1,3,11,16. 3.1. Lipid Lipid (fat) merujuk pada sekelompok besar molekul-molekul alam yang terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen, yang merupakan golongan senyawa hidrokarbon alifatik nonpolar dan hidrofobik. Karena nonpolar, lipid tidak larut dalam pelarut polar seperti air, tetapi larut dalam pelarut nonpolar, seperti alkohol, eter atau kloroform. Lipid adalah senyawa organik yang diperoleh dari proses dehidrogenasi endotermal rangkaian hidrokarbon. Lipid bersifat amfifilik, artinya lipid mampu membentuk struktur seperti vesikel, liposom, atau membran lain dalam lingkungan basah. Lipid biologis seluruhnya atau sebagiannya berasal dari dua jenis subsatuan atau "blok bangunan" biokimia: gugus ketoasil dan gugus isoprena. Dengan menggunakan pendekatan ini, lipid dapat dibagi ke dalam beberapa kategori yaitu asil lipid, gliserolipid, gliserofosfolipid, sfingolipid, sakarolipid, dan poliketida (diturunkan dari kondensasi subsatuan ketoasil); serta lipid sterol dan lipid prenol (diturunkan dari kondensasi subsatuan isoprena). Lipid meliputi molekul-molekul seperti asam lemak dan turunannya (termasuk tri-, di-, monogliserida dan fosfolipid, juga metabolit yang mengandung sterol, seperti kolesterol17. Lipid secara khusus menjadi sebutan bagi minyak hewani pada suhu ruang, lepas dari wujudnya yang padat maupun cair, yang terdapat pada jaringan tubuh yang disebut adiposa. Pada jaringan adiposa, sel lipid mengeluarkan hormon leptin dan resistin yang berperan dalam sistem kekebalan, serta hormon sitokina yang berperan dalam komunikasi antar sel. Hormon sitokina yang dihasilkan oleh jaringan adiposa secara khusus disebut hormon adipokina, antara lain kemerin, interleukin-6, plasminogen activator inhibitor-1, retinol binding protein 4 (RBP4), tumor necrosis factor-alpha (TNFα), visfatin, dan hormon metabolik seperti adiponektin dan hormon adipokinetik (Akh)17. Secara umum dapat dikatakan bahwa lipid memenuhi fungsi dasar bagi manusia17, yaitu: 1. Menjadi cadangan energi dalam bentuk sel lipid. 1 gram lipid menghasilkan 39.06 kjoule atau 9,3 kcal. 2. Lipid mempunyai fungsi selular dan komponen struktural pada membran sel yang berkaitan dengan karbohidrat dan protein demi menjalankan aliran air, ion dan molekul lain, keluar dan masuk ke dalam sel. 3. Menopang fungsi senyawa organik sebagai penghantar sinyal, seperti pada prostaglandin dan steroid hormon dan kelenjar empedu. 4. Menjadi suspensi bagi vitamin A, D, E dan K yang berguna untuk proses biologis 5. Berfungsi sebagai penahan goncangan demi melindungi organ vital dan melindungi tubuh dari suhu luar yang kurang bersahabat. Fungsi biologis terpenting lipid di antaranya untuk menyimpan energi, sebagai komponen struktural membran sel, dan sebagai pensinyalan molekul. Sel eukariotik disekat-sekat menjadi organel ikatan-membran yang melaksanakan fungsi biologis yang berbeda-beda. Gliserofosfolipid adalah komponen struktural utama dari membran biologis, misalnya membran plasma selular dan membran organel intraselular; di dalam sel-sel hewani membran plasma secara fisik memisahkan komponen intraselular dari lingkungan ekstraselular. Gliserofosfolipid adalah molekul amfipatik (mengandung wilayah hidrofobik dan hidrofilik) yang mengandung inti gliserol yang terkait dengan dua "ekor" turunan asam lemak oleh ikatan-ikatan ester dan ke satu gugus "kepala" oleh suatu ikatan ester fosfat. Sementara gliserofosfolipid adalah komponen utama membran biologis, komponen lipid non-gliserida lainnya seperti sfingomielin dan sterol (terutama kolesterol di dalam membran sel hewani) juga ditemukan di dalam membran biologis1,17. 3.2. Mekanisme peroksidasi lipid Peroksidasi lipid terjadi melalui reaksi enzimatik maupun non enzimatik melibatkan spesies kimia aktif yang dikenal sebagai spesies oksigen reaktif, yang bertanggung jawab terhadap efek toksik pada tubuh melalui berbagai kerusakan jaringan. Terdapat banyak molekul lipid yang mengandung ikatan ganda yang dapat mengalami peroksidasi dibawah kondisi khusus. Mekanisme yang memicu peroksidasi lipid sangat kompleks. Terdapat tiga mekanisme berbeda yang dapat memicu peroksidasi itu, yaitu16,18,19 : 1. Autooksidasi atau oksidasi non enzimatik termediasi radikal bebas Terjadi melalui mekanisme berantai, dimana satu radikal bebas yang memulai dapat mengoksidasi banyak molekul lipid. Proses ini melibatkan tiga tahapan yaitu; inisiasi, propagasi, dan terminasi. a. Tahap inisiasi Pada tahap ini dimulainya produksi asam lemak radikal. Dimana terjadi serangan radikal bebas umumnya spesies oksigen reaktif (OH) terhadap partikel lipid dan menghasilkan air (H2O) dan asam lemak radikal. b. Tahap propagasi Asam lemak radikal yang dihasilkan dari proses inisiasi bersifat sangat tidak stabil dan mudah bereaksi dengan molekul oksigen dan akan menghasilkan suatu peroksiradikal asam lemak. Bahan ini juga ternyata bersifat tidak stabil dan kemudian bereaksi dengan asam lemak bebas lainnya untuk menghasilkan asam lemak radikal yang baru dan dapat menghasilkan peroksida lipid atau peroksida siklik bila bereaksi dengan dirinya sendiri. Siklus ini berlanjut sedemikian rupa hingga memasuki tahap terminasi. c. Tahap terminasi Ketika suatu radikal bereaksi dengan non radikal maka akan menghasilkan suatu radikal baru. Proses ini dinamakan dengan mekanisme reaksi rantai. Reaksi radikal akan berhenti bila terdapat dua radikal yang saling bereaksi dan menghasilkan suatu spesies non radikal. Hal ini hanya dapat terjadi ketika konsentrasi spesies radikal sudah sedemikian memungkinkan dua spesies radikal untuk saling bereaksi. tingginya sehingga Gambar 4. Tahapan autooksidasi lipid Sumber: Wikipedia, 2010 2. Foto oksidasi atau oksidasi non enzimatik tidak termediasi radikal bebas Merupakan proses oksidasi lipid oleh karena adanya oksigen tunggal dan ozon yang memfasilitasi pancaran energi seperti ultraviolet, dan menghasilkan perubahan yang umumnya berupa pemisahan atau pengurangan berat molekul . Proses foto oksidasi ini berlangsung hampir sama dengan oksidasi termediasi radikal bebas yang meliputi tiga tahapan; inisiasi, propagasi dan terminasi, hanya saja pada proses inisiasi didahului oleh adanya oksigen tunggal dan bukan oleh radikal bebas. P• PH = Polymer PO• = Polymer oxy radical POOH = Polymer hydroperoxide POO• = Polymer alkyl radical = Polymer peroxy radical HO• = hydroxy radical Gambar 5. Tahapan foto oksidasi lipid Sumber: wikipedia, 2010 3. Oksidasi enzimatik Proses oksidasi lipid yang melibatkan enzym sebagai katalis dan menghasilkan produk stereo- dan regio-spesifik. Ada tiga enzim utama yang berperan yaitu lipooksigenase (LOX), siklooksigenase (SOX) dan sitokrom P450. Lipooksigenase mengkatalis oksidasi asam arakhidonat dan menghasilkan produk hidroperoksida. Siklooksigenasi mengkatalis asam lemak tak jenuh menjadi endoperoksida dan prostaglandin, dan sitokrom p450 mengkatalis oksidasi asam lemak epoksi menjadi produk epoksid, leukotrin, tromboksan, dan prostasiklin. 3.3. Produk peroksidasi lipid Semua molekul lipid dengan ikatan ganda dapat mengalami reaksi oksidasi. Mekanisme oksidasi yang terjadi melalui tiga mekanisme utama terhadap masingmasing jenis molekul lipid akan menghasilkan produk yang berbeda. Produk primer utama yang dihasilkan oleh proses oksidasi lipid adalah lipid hidroperoksida20. Dari sekian banyak produk yang dihasilkan pada proses peroksidasi lipid, terdapat tiga produk yang secara biologis berperan penting. Produk tersebut berupa turunan langsung maupun dihasilkan dari proses pembusukan peroksidasi lipid, yaitu18,19 : 1. Isoprostan (IsoP) Isoprostan merupakan suatu bahan yang menyerupai prostaglandin yang terbentuk sebagai hasil peroksidasi asam arakhidonat oleh radikal bebas melalui mekanisme autooksidasi. Bahan yang termasuk golongan eikosanoid ini memiliki potensi biologis sebagai mediator inflamasi. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa IsoP memiliki pengaruh yang besar terhadap fungsi pembuluh darah, karena ditemukan bahwa IsoP merupakan vasokonstriktor yang kuat dan merupakan antagonis terhadap peranan oksida nitrat, baik in vivo maupun in vitro, yang memberikan stimulan kuat terhadap sel otot polos pembuluh darah. IsoP juga memiliki efek lain terhadap fungsi sel endotel, yaitu menstimulasi proliferasi sel dan meningkatkan ekspresi dan pelepasan endothelin-1. IsoP juga diyakini berperan dalam aktivasi trombosit18,19,21. Gambar 6. Produk peroksidasi lipid Sumber: Dotan, 2004 2. Oksisterol (Oxysterols) Oksisterol merupakan derivat oksidatif kolesterol, yang berperan penting dalam berbagai proses biologis diantaranya: homeostasis kolesterol, metabolisme sfingolipid, agregasi platelet, dan apoptosis. Peningkatan oksisterol dalam tubuh dapat menyebabkan penyakit jantung dan pembuluh darah, utamanya 7-beta hidroksi kolesterol, 7-ketokolesterol, 5-beta 6-beta epoksikoleterol dihubungkan dengan atherosklerosis pembuluh darah 18,19,22 yang . 3. Aldehid (Aldehydes) Aldehid yang tediri dari malondialdehid (MDA) dan 4-hidroksi-2-noneal (HNE) merupakan produk sekunder (turunan) yang terbentuk selama proses peroksidasi sebagai produk pembusukan. Aldehid bersifat sangat reaktif dan dapat bereaksi cepat dengan protein, DNA, serta fosfolipid. Terdapat dua produk aldehid yang penting yaitu : a. Malondialdehid (Malondialdehyde – MDA) Merupakan produk pembusukan peroksidasi lipid yang berupa aldehid reaktif, dan merupakan salah satu dari banyak spesies elektrofil reaktif yang menyebabkan stres toksik pada sel, dan membentuk produk protein kovalen yang dikenal dengan sebutan advance lipoxidation end products (ALE). MDA dapat bereaksi denga deoksiguanosin dan deoksiadenosin pada DNA dan membentuk substansi M1G yang bersifat mutagenik18,19,20,23. b. 4-Hidroksinonenal (4-hydroxynonenal – HNE) Merupakan golongan hidroksi alkenal alpha-betha tidak jenuh, yang merupakan produk pembusukan peroksidasi lemak dalam sel. Bahan ini dapat ditemukan pada semua jaringan tubuh terutama saat terjadi stres oksidatif. HNE mendapat banyak sorotan oleh karena dicurigai berperan menimbulkan berbagai macam penyakit diantaranya penyakit inflamasi kronik, neurodegeneratif, sindroma distres pernafasan, aterogenesis, diabetes, dan beberapa jenis kanker18,19,24. Terdapat dua pengaruh yang saling bertolak belakang dari HNE terhadap sel. Dalam konsentrasi rendah (0-0,1 mikromolar) HNE membantu proliferasi sel, sedangkan dalam konsentrasi tinggi HNE (10-20 mikromolar) menginduksi perubahan toksik meliputi induksi enzim kaspase, perobahan genom DNA, serta pelepasan sitokrom c dari mitokondria yang menyebabkan kematian sel (melalui proses apoptosis maupun nekrosis)11. BAB IV PEROKSIDASI LIPID PADA PREEKLAMSIA Patofisiologi preeklamsia hingga saat ini masih belum jelas. Salah satu teori yang diterima secara luas adalah teori iskemia plasenta, radikal bebas, stres oksidatif dan disfungsi endotel yang menerangkan bahwa akibat kegagalan infasi trofoblas terjadi iskemia plasenta yang menyebabkan keluarnya produk uteroplasenta hingga akhirnya menyebabkan terjadinya kerusakan endotel dengan manifestasi klinis preeklamsia. Diantara bahan yang dihasilkan akibat iskemia plasenta, yang dapat menimbulkan kerusakan pada endotel maternal salah satunya adalah produk oksidasi lipid yang selanjutnya lebih dikenal dengan produk peroksidasi lipid. Produk peroksidasi lipid digunakan sebagai penanda terjadinya stres oksidatif, sehingga dapat dikatakan bahwa peroksidasi lipid berperan dalam patogenesis preeklamsia melalui terjadinya stres oksidatif, dan kerusakan endotel1. Belum ada kepustakaan maupun penelitian yang menunjukkan secara pasti kapan peroksidasi lipid meningkat dalam hubungannya dengan patogenesis penyakit khususnya preeklamsia. Rudra dan kawan-kawan, dalam penelitianya mendapatkan bahwa kadar peroksidasi lipid telah meningkat sejak trimester pertama, bertambah tinggi pada trimester kedua dan ketiga, sebelum akhirnya timbul gejala preeklamsia maupun eklamsia. Didapatkan pula bahwa tingkat keparahan klinis preeklamsia sesuai dengan semakin tingginya kadar peroksidasi lipid dalam tubuh penderita30. Hal ini berbeda dengan penelitian lain dimana didapatkan peningkatan peroksidasi lipid hanya pada trimester ketiga tanpa peningkatan kadar pada trimester pertama dan kedua. Penelitian Hubel dan kawan-kawan yang membandingkan kadar lipid serta peroksidasi lipid pada wanita penderita preeklamsia dan hamil normal, ante dan postpartum, mendapatkan konsentrasi serum antepartum malondialdehid 50% lebih tinggi pada wanita dengan preeklamsia, yang diikuti kemudian dengan terjadinya penurunan kadar malondialdehid hingga 45% dalam waktu 24 sampai 48 jam post partum pada kelompok yang sama. Hal ini semakin memperkuat hipotesa bahwa stres oksidatif yang ditunjukkan dengan adanya peroksidasi lipid berperan dalam patogenesis preeklamsia1. Pada wanita hamil terjadi peningkatan lipid dan lipoprotein secara fisiologis, hal ini berfungsi untuk mensuplai nutrisi lipid untuk fetus yang sedang berkembang. Pada penderita preeklamsia peningkatan lipid dan lipoprotein terjadi berlebihan, hal ini menunjukkan adanya gangguan metabolisme lipid dan lipoprotein. Peningkatan paling nyata adalah peningkatan kadar trigliserida dan asam lemak bebas. Gangguan metabolisme lipid yang terjadi pada preeklamsia berupa peningkatan aktifitas lipolisis oleh lipofosfolipase, sehingga terjadi peningkatan kadar trigliserida yang kaya akan lipoprotein (TG-rich lipoprotein) yang pada akhirnya meningkatkan kadar LDL27. Gambar 7. Gangguan metabolisme lemak dengan hasil akhir meningkatnya LDL Sumber: Sattar, 1997. Kajaa dan kawan-kawan mendapatkan bahwa penderita preeklamsia menunjukkan peningkatan kadar trigliserid hingga 65% dibandingkan dengan wanita tanpa preeklamsia. Keadaan hipertrigliseridemia ini akan merubah spektrum subklas lipoprotein menjadi subklas dengan densitas rendah (low density lipoprotein / LDL) dengan dominasi partikel LDL berdiameter lebih kecil dan lebih padat sehingga lebih mudah mengalami oksidasi. LDL yang berukuran kecil dan padat ini tiga kali lebih berbahaya daripada LDL biasa oleh karena : 1. Mudah terperangkap dan masuk ke dalam lapisan intima karena ukurannya yang lebih kecil 2. Mudah teroksidasi menjadi LDL teroksidasi karena kandungan antioksidannya lebih sedikit, sedangkan kandungan asam lemak tak jenuh lebih tinggi. Oksidasi LDL berkontribusi terhadap pembentukan sel busa pada desidua. Hal ini mirip dengan mekanisme terjadinya aterosklerosis. LDL yang teroksidasi akan merangsang akumulasi sel inflamasi seperti makrofag dan platelet serta menginduksi adhesi. Selanjutnya LDL yang teroksidasi terbawa oleh makrofag melalui reseptor scavenger, dan akan berakumulasi membentuk sel busa (foam cell). Selain itu LDL yang teroksidasi juga menstimulasi sel endotel dan makrofag melepaskan faktor pertumbuhan, sitokin, kemokin dan menyebabkan terjadinya disfungsi endotel. Proliferasi lapisan intima pembuluh darah dan penumpukan matriks ekstraseluler akan berubah menjadi sebuah fatty streak, merupakan lesi dini yang akan berlanjut menjadi arteroma dan berperan serta dalam perkembangan lesi arterosklerotik. Plak ateroma ini akan mengakibatkan semakin berkurangnya perfusi jaringan dan memperberat keadaan hipoksia pada preeklamsia. Pada plak arteroma ini juga terjadi akumulasi dari asam lemak tak jenuh dan kolesterol yang tinggi, dimana asam lemak tak jenuh dan kolesterol sangat mudah mengalami oksidasi oleh radikal bebas yang jumlahnya juga meningkat akibat stres oksidatif sehingga semua proses ini menunjukkan suatu mekanisme lingkaran setan yang saling memperberat. Sebagai tambahan, LDL teroksidasi akan berikatan dengan lectin like oxidized low density lipoprotein receptor-1 (LOX-1) yang akan menginduksi produksi spesies oksigen reaktif intra sel dan apoptosis28. Gambar 8. Peranan LDL dalam proses arterosklerosis Sumber: Robbins, 2006 Pada wanita dengan preeklamsia, kemampuan sistem antioksidan untuk menetralisir produk peroksidasi lipid berkurang sehingga timbulah keadaan patologis stres oksidatif. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa pada penderita preeklamsia, kadar antioksidan protektif seperti vitamin E berkurang sedangkan jumlah produk peroksidasi lipid dalam sirkulasi darah meningkat. Takacs dan kawan-kawan, dalam penelitiannya mendapatkan peningkatan hingga 4,5 kali lipat kadar malondialdehid pada sampel plasma penderita preeklamsia berat dibandingkan dengan wanita hamil tanpa preeklamsia15. Llurba dan kawan-kawan, mendapatkan peningkatan total hidroperoksida lipid hingga 1,4 nmol / mL (peningkatan 2 kali lipat) pada penderita preeklamsia dibandingkan dengan wanita tanpa preeklamsia (< 0,6 nmol / mL)25. Hal ini tidak hanya ditemukan pada manusia, pada studi eksperimental menggunakan hewan coba, juga didapatkan banyak perubahan endotel yang berpotensi berhubungan dengan kejadian preeklamsia yang terinduksi oleh adanya produk peroksidasi lipid (tabel 1)1. Tabel 1. Perubahan (Sumber: Hubel, 1999) akibat peroksidasi lipid pada studi eksperimental Mekanisme pasti bagaimana peroksidasi lipid menyebabkan terjadinya kerusakan endotel belum dapat dijelaskan dengan baik. Peroksidasi lipid yang bersifat sangat reaktif menyebabkan kerusakan sel endotel melalui berbagai mekanisme baik melalui interaksi langsung dengan membran sel endotel maupun secara tidak langsung melalui aktifasi mediator lain oleh produk peroksidasi lipid11. Efek peroksidasi lipid secara langsung pada membran endotel adalah memudahkan terjadinya ikatan silang rantai lemak pada membran endotel yang akan menyebabkan perubahan kandungan cairan (fluiditas) membran dan mobilisasi enzim-enzim pada membran. Hal ini akan menyebabkan membran endotel menjadi bocor dan molekul-molekul hingga seukuran enzim dapat keluar melewati membran yang rusak tersebut. Sebagai tambahan terhadap rusaknya fungsi membran sebagai barier tersebut, peroksidasi lemak juga mengakibatkan hilangnya homeostasis ion yang menyebabkan terjadinya gangguan kompartemen dan kekacauan ion utamanya ion Ca2+. Hilangnya homeostasis Ca2+ menyebabkan hilangnya kontrol metabolik sel endotel11. Hilangnya ion kalsium dari dalam sel dapat mengganggu fungsi eNOS (endhotelial Nitric Oxide Synthase) sehingga L-arginin tidak mampu dirubah menjadi oksida nitrat, dan akhirnya terjadi penurunan kadar oksida nitrat25. Peroksidasi lipid juga menyebabkan terjadinya peningkatan asymmetric dimethyl arginin (ADMA). ADMA dapat secara langsung menghambat oksida nitrat dan menginduksi disfungsi endotel oleh karena sifatnya sebagai inhibitor kompetitif endogen bagi eNOS25. Efek secara tidak langsung peroksidasi lipid adalah termediasi oleh produkproduknya. HNE pada konsentrasi tinggi menyebabkan hilangnya homeostasis ion kalsium, hambatan terhadap respirasi mitokondria dan sintesa protein, serta mampu menarik neutrofil dan menginduksi respon inflamasi pada sel endotel11. IsoP merupakan vasokonstriktor yang kuat dan merupakan antagonis terhadap peranan oksida nitrat, baik in vivo maupun in vitro, yang memberikan stimulan kuat terhadap sel otot polos pembuluh darah. IsoP juga memiliki efek lain terhadap fungsi sel endotel, yaitu menstimulasi proliferasi sel dan meningkatkan ekspresi dan pelepasan endothelin-1. IsoP juga diyakini berperan dalam aktivasi trombosit18,19,21. Satu mekanisme lain yang berpotensi terhadap terjadinya aktifasi endotel pembuluh darah akibat peningkatan peroksidasi lipid pada preeklamsia adalah melalui aktifasi faktor transkripsi inti sel (nuclear) kappa B (NF-B). NF-B adalah faktor transkripsi yang dapat teraktifasi oleh peroksidasi lipid, stres oksidatif, dan sitokin pro inflamasi. Begitu teraktifasi, NF-B akan berikatan dengan elemen promotor DNA, dan selanjutnya akan menginduksi ekspresi beberapa sitokin pro inflamasi, diantaranya: monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1) dan interleukin-8 (IL-8) serta molekul adhesi sel seperti ICAM-1. Peningkatan monosit dalam sirkulasi oleh sitokin proinflamasi endotel yang diikuti dengan peningkatan ekspresi ICAM-1 pada endotel akan menyebabkan perlekatan sel monosit atau endotel serta menarik beberapa jenis makrofag pada endotel yang akan menyebabkan kerusakan endotel15. Tabel 2. Berbagai endothelial derived factors dan fungsinya. (Sumber: Lyell, 2007) Sel endotel memiliki fungsi utama untuk menjaga integritas membran vaskuler, mencegah adhesi platelet dan regulasi tonus otot polos pembuluh darah. Fungsi ini dijalankan melalui pelepasan berbagai mediator atau endothelial derived factors (Tabel 2). Stres oksidatif dan peroksidasi lipid menyebabkan kerusakan pada sel endotel, sehingga pengeluaran endothelial derived factors (vasoaktif dan relaxing factor) ini juga terganggu dan akhirnya menimbulkan manifestasi klinis preeklamsia. Gambar 9. Bagan hubungan antara stres oksidatif, peroksidasi lipid, kerusakan endotel dan timbulnya edema, proteinuri, serta ganguan koagulasi pada preeklamsia. Sumber : Lyell, 2007 Integritas membran vaskuler akan terganggu sehingga menimbulkan kebocoran pembuluh darah dan terjadilah edema dan proteinuria, adhesi platelet akan terjadi secara tidak terkontrol sehingga terjadi trombositopenia, dan otot polos pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi sehingga menimbulkan hipertensi 11,15,16,19. Gambar 10. Bagan hubungan antara stres oksidatif, peroksidasi lipid, kerusakan endotel dan timbulnya hipertensi pada preeklamsia. Sumber : Lyell, 2007 Terdapat beberapa cara untuk menilai kadar peroksidasi lipid dalam tubuh, yaitu dengan mengukur kadar produk peroksidasi lipid. Idealnya pengukuran dilakukan terhadap produk utama yaitu hidroperoksid. Hidroperoksid dapat diukur dengan tingkat sensitifitas yang tinggi menggunakan metode HPLC (high performance liquid chromatography)-chemiluminescence, akan tetapi hidroperoksid bersifat tidak stabil sehingga hidroperoksid lipid tidak mewakili tingkat lipid peroksidasi in vivo dan tidak dipergunakan secara rutin untuk mengukur kadar stres oksidatif. Oleh sebab itu digunakanlah alternatif lain untuk mengukur kadar peroksidasi lipid yang bersifat lebih stabil. Saat ini pengukuran yang digunakan dan dianggap sebagai baku emas kadar peroksidasi lipid adalah pengukuran malondialdehid (MDA) dan isoprostan (IsoP). Kadar MDA diukur dengan menggunakan metode TBARS (thiobarbituric acid reactive substance), yang menggunakan dasar reaksi MDA terhadap asam tiobarbiturat dan selanjutnya dinilai menggunakan spektrofotometer. Sedangkan kadar IsoP diukur menggunakan metode Gas Chromatographic/negative ion chemical ionization mass spectrometric (GC/NICI-MS), dimana metode ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, dan dipertimbangkan sebagai “gold standard” untuk pengukuran F2-IsoPs49. Hingga saat ini, MDA maupun IsoP telah ditemukan hampir di seluruh cairan biologis tubuh, termasuk pada plasma, urin, cairan persendian, cairan bronkoalveolar, cairan empedu, cairan getah bening, cairan mikrodialisis dari pelbagai organ, cairan amnion, cairan perikardial dan cairan seminal. Namun plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan karena paling mudah didapatkan dan paling tidak invasif49. BAB V RINGKASAN Preeklamsia merupakan suatu kelainan multisistem spesifik pada kehamilan yang mempengaruhi baik ibu maupun janin. Angka kejadian preeklamsia sangat tinggi, di Indonesia sendiri kelainan ini masih merupakan tiga besar penyumbang tertinggi angka kematian ibu bersalin setelah pendarahan dan infeksi1. Hingga saat ini preeklamsia masih dinyatakan sebagai kelainan dengan beragam teori (disease of theory) yang merefleksikan ketidakpastian sebab dan patofisiologi preeklamsia. Berbagai penelitian terhadap preeklampsia telah dilakukan untuk mencari faktor risiko, etiologi, maupun intervensi yang terbaik untuk preeklampsia4. Berdasarkan fakta bahwa preeklamsia membaik setelah dilahirkannya plasenta serta melihat klinis penyakit yang ditimbulkan yang menunjukkan adanya kerusakan endotel, maka satu teori yang dianggap dapat menerangkan patofisiologis preeklamsia secara lebih baik adalah teori kegagalan implantasi trofoblas, iskemia plasenta dan kerusakan endotel1. Kegagalan infasi trofoblas menyebabkan terjadinya iskemia plasenta, yang selanjutnya menyebabkan keluarnya produk uteroplasenta dan akhirnya terjadi kerusakan endotel. Diantara bahan yang dihasilkan akibat hipoperfusi uteroplasenta yang dapat menimbulkan kerusakan pada endotel maternal adalah produk oksidasi lipid atau selanjutnya lebih dikenal sebagai produk peroksidasi lipid1,3. Peroksidasi lipid dapat diartikan sebagai degradasi oksidatif lemak. Merupakan suatu proses dimana radikal bebas “mencuri” elektron-elektron lemak pada membran sel dan menyebabkan kerusakan sel16 Mekanisme pasti bagaimana peroksidasi lipid menyebabkan terjadinya kerusakan endotel belum dapat dijelaskan dengan baik. Peroksidasi lipid yang bersifat sangat reaktif menyebabkan kerusakan sel endotel melalui berbagai mekanisme baik melalui interaksi langsung dengan membran sel endotel maupun secara tidak langsung melalui aktifasi mediator lain oleh produk peroksidasi lipid16. Peroksidasi lipid berperan menimbulkan preeklamsia dengan berbagai manifestasi klinisnya melalui aktivasi atau kerusakan sel endotel, sehingga terganggunya pengeluaran endothelial derived factors, yang mengganggu fungsi utama dari sel endotel25. Secara ringkas peranan peroksidasi lipid pada patogenesis preeklamsia dapat dilihat pada gambar 11. Terdapat beberapa cara untuk menilai kadar peroksidasi lipid dalam tubuh. Hingga saat ini pengukuran yang digunakan dan dianggap sebagai baku emas kadar peroksidasi lipid adalah pengukuran malondialdehid (MDA) dan isoprostan (IsoP). MDA maupun IsoP telah ditemukan hampir di seluruh cairan biologis tubuh, namun plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan karena paling mudah didapatkan dan paling tidak invasif. Gambar 11. Peranan Peroksidasi Lipid Pada Patogenesis Preeklamsia DAFTAR PUSTAKA 1. Hubel CA. 1999. Oxidative stress in the pathogenesis of preeclampsia. P.S.E.B.M; 222: 222-235. 2. Finger I, Jastrow N, Irion O. 2008. Preeclampsia: A danger growing in disguise. The International Journal of Biochemistry & Cell Biology; 40: 1979–1983 3. Staff AC, Ranheim T, Khoury J, Henriksen T. 1999. Increased contents of phospholipids, cholesterol, and lipid peroxides in decidua basalis in women with preeclampsia. Am J Obstet Gynecol; 90 (3): 587-592 4. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JH, Wenstrom KD. 2001. Hipertensive disorders in pregnancy. Williams obstetrics, 21st edition. McGraw-Hill, New York : 567-618. 5. Jaya Kusuma AAN. 2004. Manajemen risiko pada preeklamsia. Pendidikan kedokteran berkelanjutan obstetri dan ginekologi FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar; 49-66 6. Harsem NA, Braekke K, Staff AC. 2006. Augmented oxidative stress as well as antioxidant capacity in maternal circulation in preeclampsia. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology; 128: 209–21. 7. Grill S, Rusterholz C, Dalenbach RZ, Tercanli S, Holzgreve W, Hahn S. 2009. Potential markers of preeclampsia-a review. Reprod biol endocrinol; 7: 70. 8. Angsar, M.D. 2002. Kuliah Dasar Hipertensi dalam Kehamilan, edisi kedua, Lab / UPF Obstetri Dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran UNAIR / RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 9. Kashinakunti SV, Sunitha H, Gurupadappa K, Shankarprasad DS, Suryaprakash G, Ingin JB. 2010. Lipid Peroxidation and Antioxidant Status in Preeclampsia. Al Ame en J Med Sci; 3 (1): 38 -41 10. Roberts JM, Hubel CA. 2009. The Two Stage Model of Preeclampsia: Variations on the Theme. Placenta 30, Supplement A, Trophoblast Research; 23: S32–S37 11. Eberhardt MK. 2001. Mechanisms of lipid peroxidation-induced pathogenesis. Reactive oxygen metabolites chemistry and medical consequences. CRC press LLC: 174-179. 12. Chelbi ST, Vaiman D. 2008. Genetic and epigenetic factors contribute to the onset of preeclampsia. Molecular and Cellular Endocrinology: 282: 120–129. 13. Wibowo, N. Peran Radikal Bebas Pada Preeklampsia, dalam Makalah PIT XIII, Malang, 2002: 32-47 14. Raijmakers MTM, Dechend R, Poston L. 2004. Oxidative Stress and Preeclampsia Rationale for Antioxidant Clinical Trials. Hypertension, American Heart Association; 44: 374 – 380 15. Takacs P, Kauma SW, Sholley MM, Walsh SW, Dinsmoor MJ, Green K. 2001. Increased circulating lipid peroxides in severe preeclampsia activate NF-kB and upregulate ICAM-1 in vascular endothelial cells. The FASEB Journal: 15: 279281 16. Anonim. Lipid peroxidation. Wikipedia the free encyclopedia, available at http://en.wikipedia.org/wiki/Lipid_peroxidation. Last update 20 April 2010. 17. Anonim. Lipid. Wikipedia the free encyclopedia, available at http://en.wikipedia.org/wiki/Lipid. Last update 30 may 2010. 18. Niki E, Yoshida Y, Saito Y, Noguchi N. 2005. Lipid peroxidation: Mechanisms, inhibition, and biological effects. Biochemical and Biophysical Research Communication; 338: 668–676. 19. Niki E. 2009. Lipid peroxidation: Physiological levels and dual biological effects. Free Radical Biology & Medicine; 47: 469–484 20. Dotan Y, Lichtenberg D, Pinchuk I. 2004. Lipid peroxidation cannot be used as a universal criterion of oxidative stress. Progress in Lipid Research; 43: 200– 227. 21. Anonim. Isoprostane. Wikipedia the free encyclopedia, available at available at http://en.wikipedia.org/wiki/Isoprostane. Last update 28 May 2010. 22. Anonim. Oxysterol. Wikipedia the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Oxysterol. Last update 15 May 2010. 23. Anonim. Malondialdehyde. Wikipedia the free encyclopedia, available at http://en.wikipedia.org/wiki/Malondialdehyde. Last update 18 August 2009. 24. Anonim. 4-hydroxynonenal. Wikipedia the free encyclopedia, available at http://en.wikipedia.org/wiki/4-Hydroxynonenal. Last update 2 April 2010. 25. Lyell F, Belfort M. 2007. The role of oxidative stress in preeclampsia. Preeclampsia etiology and clinical practice; 121-137. 26. Sattar, N. Bendomir, A. (1997), Lipoprotein Subfraction Concentrations in Preeclampsia : Pathogenic Parallels to Atherosclerosis. AJOG ;89:403-8. 27. Robins, Cotran, et al. (2006), Blood Vessel. Pathologic basis of disease 7th edition Elsevier: 511-554 28. Llurba E, Grataco E, Galla MP, Cabero L, Dominguez C. 2004. A comprehensive study of oxidative stress and antioxidant status in preeclampsia and normal pregnancy. Free Radical Biology & Medicine; 37( 4): 557 – 570. 29. Dehgan MH, Daryani A, Dehganan R. 2007. Homeostasis status between prooxidants and antioxidants as a potent marker in Iranian preeclamptic patients. Saudi med J; 28 (5): 696-700. 30. Rudra CB, Qiu C, David RM, Bralley JA, Walsh SW, Williams MA. 2006. A prospective study of early-pregnancy plasma malondialdehyde concentration and risk of preeclampsia. Clinical Biochemistry; 39: 722–726. 31. Adiga U, D’souza V, Kamath A, Mangalore N. 2007. Antioxidant activity and lipid peroxidation in preeclampsia. J Chin Med Assoc; 70 (10): 435-438. 32. Lata H, Ahuja GK, Narang APS, Walia L. 2004. ffect of immobilisation stress on lipid peroxidation and lipid profile in rabbits. Indian Journal of Clinical Biochemistry; 19 (2): 1-4. 33. Ariza AC, Bobadilla N, Fernandez C, Munoz-Fuentes RM, Larrea F, Halhali A. 2005. Effects of magnesium sulfate on lipid peroxidation and blood pressure regulators in preeclampsia. Clinical Biochemistry; 38: 128–133. 34. Vıctor H, Quintero G, Jimenez JJ, Wenche J, Mauro LM, Hortman L, O’Sullivan MJ, Ahn Y. 2005. Elevated plasma endothelial microparticles in preeclampsia. Am J Obstet Gynecol; 189 (2): 589-593. 35. Artinano AA, Gonzales VL. 1999. Endothelial disfunction and hypertensive vasoconstriction. Pharmacological Research; 40(2): 113-124. 36. Blum A, Shenhav M, Baruch R, Hoffman M. 2003. Endothelial disfunction in preeclampsia and eclampsia: current etiology and future non-invasive assesment. IMAJ; 5: 724-726. 37. Fiore G, Florio P, Micheli L, Nencini C, Rossi M, Cerretani D, Ambrosini D, Giorgi G, Petraglia F. 2005. Endothelin-1 triggers placental oxidative stress pathways: putative role in preeclampsia. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism; 90 (7): 4205–4210. 38. Dekker G, Sibai BM. 1998. Etiology and pathogenesis of preeclampsia: Current concepts. Am J Obstet Gynecol; 179 (5): 1359-1375. 39. Wang Y, Gu Y, Zhang Y, Lewis DF. 2004. Evidence of endothelial dysfunction in preeclampsia: Decreased endothelial nitric oxide synthase expression is associated with increased cell permeability in endothelial cells from preeclampsia. American Journal of Obstetrics and Gynecology; 190: 817-24. 40. Hubel CA, McLaughlin MI, Evans RW, Hauth BA, Sims CJ, Roberts JM. 1996. Fasting serum triglycerides, free fatty acids, and malondialdehyde are increased in preeclampsia, are positively correlated, and decrease within 48 hours post partum. AmJ Obstet Gynecol; 174 (3): 975-982. 41. Wagner BA, Buettner GR, Burns CP. 1994. Free Radical-Mediated Lipid Peroxidation in Cells: Oxidizability Is a Function of Cell Lipid bis-Allylic Hydrogen Content. Biochemistry; 33: 4449-4453. 42. Moses EK, Johnson MP, Tømmerdal L, Forsmo S, Curran JE, Abraham LJ, Charlesworth C, Brennecke SP, Blangero J, Austgulen R. 2008. Genetic association of preeclampsia to the inflammatory response gene SEPS1. Am J Obstet Gynecol ogy; 198: 336e1-336e5. 43. Jian W, Arora JS, Oe T, Shuvaev VV, Blair IA. 2005. Induction of endothelial cell apoptosis by lipid hydroperoxide-derived bifunctional electrophiles. Free Radical Biology & Medicine; 39: 1162 – 1176. 44. Eunjoo HK, Pacifici, Laurie LM, Alex S. 1994. Lipid hydroperoxide-induced peroxidation and turnover of endhotelial cell phospholipids. Free Radical Biology & Medicine; 17 (4): 297-309. 45. Hennig B, Chow CK. 1998. Lipid peroxidation and endhotelial cell injury: implications in atherosclerosis. Free Radical Biology & Medicine; 4: 99-106. 46. Koh YH, Yoon SJ, Park JW. 1997. Lipid peroxidation product-mediated DNA damage and mutagenicity. J. Biochem Mol; 30 (3): 188-193. 47. Atamer Y, Koc Y¸ Yokus B, Atamer A, Erden AC. 2005. Lipid peroxidation, antioxidant defense, status of trace metals and leptin levels in preeclampsia. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology; 119: 60–66. 48. Weng SHY, KnIght JA, Hopfe SM, Zaharla O, Leach CN, Sunderman FW. 1987. Lipoperoxides in plasma as measured by liquid-chromatographic separation of malondialdehyde thio barbituric acid adduct. Clinical chemistry; 33 (2): 214-220. 49. Janero DR. 1990. Malondialdehyde and thiobarbituric acid reactivitiy as diagnosis indicesof lipid peroxidation and peroxidative tissue injury. Free Radical Biology & Medicine; 9: 515-540. 50. Mohaupt M. 2007. Molecular aspects of preeclampsia. Molecular Aspects of Medicine; 28: 169–191. 51. Hogg N, Kalyanaraman B. 1999. Nitric oxide and lipid peroxidation. Biochimica et Biophysica Acta; 1411: 378-384. 52. Lowe DT. 2000. Nitric oxide disfunction in the patofisiology of preeclampsia. Biology and Chemistry; 4: 441–458. 53. Roberts JM, Cooper DW. 2001. Pathogenesis and genetics of pre-eclampsia. Lancet; 357: 53–56. 54. Setiawan B, Suhartono E. 2007. Peroksidasi lipid dan penyakit terkait stres oksidatif pada bayi prematur. Majalah Kedokteran Indonesia; 57 (1): 10-14. 55. Serdar Z, Develioglu O, Olakogullar MC, Dirican M. 2002. Placental and decidual lipid peroxidation and antioxidant defenses in preeclampsia Lipid peroxidation in preeclampsia. Pathophysiology; 9: 21-/25. 56. Zhang J, Masciocchi, Lewis D, Sun W, Liu A, Wang Y. 2008. Placental AntiOxidant Gene Polymorphisms, Enzyme Activity, and Oxidative Stress in Preeclampsia. Placenta; 29: 439-444. 57. Burton GJ, Yung HW, Davies TC, Charnock-Jones DS. 2009. Placental Endoplasmic Reticulum Stress and Oxidative Stress in the Pathophysiology of Unexplained Intrauterine Growth Restriction and Early Onset Preeclampsia. Placenta 30, Supplement A, Trophoblast Research; 23: S43–S48. 58. Mohanty S, Nayak N, Nanda NN, Rao P. 2006. Serum lipids and malondialdehyde level in primiparous patients with pregnancy induced hypertension. Indian Journal of Clinical Biochemistry; 21 (1): 189-192. 59. Ilhan N, Ilhan N, Simsek M. 2002. The changes of trace elements, malondialdehyde levels and superoxide dismutase activities in pregnancy with or without preeclampsia. Clinical Biochemistry; 35: 393–397. 60. Tug N, Celik H, Cikim G, Ozcelik O, Ayar A. 2003. The correlation between plasma homocysteine and malondialdehyde levels in preeclampsia. Neuroendocrinology Letters; 24: 445-448. 61. Buhimschi IA, Saade JR, Chwalisz K, Garfield RE. 1998. The nitric oxide pathway in pre-eclampsia: Reproduction Update; 4: 25–42. pathophysiological implications. Human