MAKALAH Implikasi Carbon Trading terhadap komitmen Indonesia tentang Lingkungan Tema Carbon Credit Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Seminar Masalah/Issue Lingkungan Disusun Oleh : Ayu Apriliani 135030101111173 Dinda Trisora Adiati 135030100111126 Regina 135030101111170 JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG April 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi. Salah satu cara untuk meningkatkan laju ekonomi adalah dengan melakukan industri manufaktur dimana cara ini sangat efektif untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Dengan demikian, beberapa industri mulai dibangun dengan pesatnya sehingga banyak lahan yang dibuka untuk industri. Pembangunan yang dilakukan tidak diimbangi dengan perhatian akan kelestarian lingkungan yang ada sehingga pada akhirnya laju ekonomi yang meningkat menyebabkan sisi negatif pada lingkungan yaitu rusaknya lingkungan, meningkatnya gas emisi rumah kaca dan masalah lingkungan yang lainnya. Meningkatnya gas rumah kaca (GRK) adalah karena deforestasi dan degradasi hutan serta tingginya karbon dioksida dan karbon monoksida serta CFC yang dilepaskan ke atmosfer sehingga menyebabkan lapisan ozon semakin menipis dan terjadilah perubahan iklim dan suhu yang biasa dissebut dengan pemanasan global. Isu lingkungan mengenai pemanasan global yang disebabkan akibat rusaknya lingkungan ini menjadi pembahasan internasional karena masalah lingkungan merupakan masalah yang harus diurus oleh semua negara didunia. Namun, dalam tingkat global isu lingkungan ini menjadi perdebatan diantara beberapa negara sehingga menghasilkan dua kubu. Perbedabatan ini berkenaan dengan keadilan antara negara penghasil emisi tinggi dan rendah. Dimana beberapa negara mampu menghasilkan carbon credit maupun carbon debit. Carbon debit, artinya negara atau perusahaan menghasilkan GHG (greenhouse gas) lebih besar dari reduksi GHG sedangkan carbon credit, artinya negara atau perusahaan mampu mereduksi GHG lebih besar dari GHG yang dihasilkan. Perdebatan tersebut pada akhirnya menghasilkan sebuah kesepakatan oleh sebagian besar masyarakat dunia dalam protokol Kyoto yang ditandatangani oleh 180 negara pada bulan Desember 1997. Protokol Kyoto melahirkan tiga mekanisme untuk memperbaiki dan memelihara kelangsungan ekosistem global yang meliputi International Emission Trading (IET) , Clean Development Mechanism (CDM), dan Joint Implementation (JI). Protokol Kyoto di bawah naungan PBB dalam Kerangka-kerja konvensi perubahan iklim (Framework Convention on Climate Change, FCCC) pada tahun 1997 telah menyepakati bahwa negara-negara industri akan mengurangi tingkat emisi rata-rata 5,2% dibawah level 1990 pada tahun 2008 hingga 2012. Berdasarkan kesepakatan ini, negara-negara industri harus melakukan berbagai cara untuk mereduksi GHG agar memenuhi ketentuan tersebut. Persoalan muncul ketika mereka tidak mampu mendapatkan teknologi yang efektif untuk mereduksi GHG, atau mereka tidak mampu mendapatkan teknologi efisien untuk mereduksi GHG. Reduksi GHG tidak hanya mengandalkan teknologi yang belum tentu efektif atau efisien, melainkan juga melalui pemberdayaan sumberdaya alam. Reduksi GHG melalui pemanfaatan sumberdaya alam merupakan alternatif yang dipandang efektif dan mungkin juga efisien dibandingkan reduksi emisi melalui bisnis itu sendiri yang mungkin membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Persoalan lain muncul bila negara yang bersangkutan tidak memiliki lahan yang memadai untuk konservasi sumberdaya alam dalam rangka mereduksi GHG. Akibatnya, negara industri tersebut akan cenderung mengalami carbon debit. Bila negara pemegang carbon debit tidak mampu menetralisir karbon sesuai kesepakatan dalam Protokol Kyoto, maka mereka akan terkena penalti atau sanksi. Disisi lain terdapat beberapa negara yang mampu menghasilkan carbon credit. Mekanisme dalam Protokol Kyoto mengakomodasi kesulitan negara-negara industri yang mengalami carbon debit dan kelebihan negara-negara lainnya yang menghasilkan carbon credit melalui perdagangan karbon internasional atau International Emission Trading (IET). Perkembangan di atas membuka peluang bagi negara-negara sedang berkembang yang memiliki potensi dalam mereduksi greenhouse gas (GHG) atau carbon surplus. Negara atau perusahaan yang memiliki surplus karbon dapat menjual kelebihannya kepada negara atau perusahaan yang memililik defisit karbon. Potensi Indonesia cukup besar untuk memasuki era perdagangan karbon tersebut. Berdasarkan data ADB-GEF-UNDP menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kapasitas reduksi karbon lebih dari 686 juta ton yang berasal dari pengelolaan hutan, sedangkan perubahan fungsi hutan menimbulkan emisi karbon lebih dari 339 juta ton, jadi terdapat surplus karbon sebesar 347 juta ton. Bila dikurangi dengan penambahan emisi karbon dari aktivitas industri lainnya, Indonesia masih memiliki surplus karbon lebih dari 8 juta ton. Dengan harga rata-rata per ton karbon saat ini sebesar US$5, maka Indonesia berpotensi menjual sertifikat surplus karbon senilai US$40 juta atau sekitar Rp.360 milyar. Dengan demikian, jika Indonesia tetap dapat mempertahankan dan menambah jumlah surplusnya maka akan terdapat pendapatan baru bagi Indonesia melalui carbon trading ini. Berdasarkan beberapa fakta diatas maka diangkat judul “Implikasi Carbon Trading terhadap Komitmen Indonesia tentang Lingkungan”. judul tersebut diangkat karena di Indonesia untuk sekarang ini sudah mulai terdapat pelaksanaan terhadap proyek-proyek untuk mengurangi GHG (green house gas). Proyek tersebut dilakukan dalam sebuah daerah baik itu pelaksanaan dari Indonesia sendiri maupun bekerja sama dengan negara maju seperti Jepang untuk melakukan proyek-proyek penurunan emisi. Dengan demikian dapat diketahui bagaimana insiatif dan pelaksanaan carbon trading di Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana inisiatif pasar karbon di Indonesia ? 2. Bagaimana pelaksanaan perdagangan karbon di Indonesia ? 1.3 Tujuan Berdasarkan rumusan masalah diatas maka dapat diitentukan tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui inisiatif pasar karbon di Indonesia. 2. Untuk mengetahui pelaksanaan perdagangan karbon di Indonesia. BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Protokol Kyoto Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02 °C dan 0,28 °C pada tahun 2050. (sumber: Nature, Oktober 2003) Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Kesepakatan ini dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004. Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB: "Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi ratarata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia." Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, yang diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro pada 1992). Semua pihak dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang. Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang disenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC. Pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005, kesepakatan telah diratifikasi oleh 141 negara, yang mewakili 61% dari seluruh emisi . Negara-negara tidak perlu menanda tangani persetujuan tersebut agar dapat meratifikasinya: penanda tanganan hanyalah aksi simbolis saja. Menurut syarat-syarat persetujuan protokol, kesepakatan mulai berlaku "pada hari ke-90 setelah tanggal saat di mana tidak kurang dari 55 Pihak Konvensi, termasuk Pihak-pihak dalam Annex I yang bertanggung jawab kepada setidaknya 55 persen dari seluruh emisi karbon dioksida pada 1990 dari Pihak-pihak dalam Annex I, telah memberikan alat ratifikasi mereka, penerimaan, persetujuan atau pemasukan." Dari kedua syarat tersebut, bagian "55 pihak" dicapai pada 23 Mei 2002 ketika Islandia meratifikasi. Ratifikasi oleh Rusia pada 18 November 2004 memenuhi syarat "55 persen" dan menyebabkan pesetujuan itu mulai berlaku pada 16 Februari 2005. Hingga 3 Desember 2007, 174 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria. Ada dua negara yang telah menanda tangani namun belum meratifikasi protokol tersebut: Amerika Serikat (tidak berminat untuk meratifikasi) dan Kazakstan. Pada awalnya AS, Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-negara berkembang telah bersatu untuk melawan strategi terhadap adanya kemungkinan Protokol Kyoto II atau persetujuan lainnya yang bersifat mengekang. Namun pada awal Desember 2007 Australia akhirnya ikut seta meratifikasi protokol tersebut setelah terjadi pergantian pimpinan di negera tersebut. 2.2 Konsep Pasar Karbon 2.2.1 Pengertian Pasar Karbon Dalam pasar karbon, yang diperdagangkan sesungguhnya adalah hak atas emisi gas rumah kaca dalam satuan setara-ton-CO2 (ton CO2 equivalent) . Hak di sini dapat berupa hak untuk melepaskan gas rumah kaca ataupun hak atas penurunan emisi gas rumah kaca . Sedangkan jenis gas rumah kaca yang dapat diperdagangkan dalam pasar karbon umumnya adalah enam jenis gas rumah kaca yang tercantum dalam Protokol Kyoto1, yang meliputi meliputi karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorocarbons (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6).Keenam jenis gas rumah kaca ini mempunyai potensi penyebab pemanasan global yang berbeda-beda. Karbon dioksida, walaupun konsentrasinya paling tinggi di atmosfer, ternyata adalah gas rumah kaca dengan potensi penyebab pemanasan global terendah di antara keenam jenis gas tersebut sehingga menjadi angka acuan untuk indeks daya penyebab pemanasan global yang disebut Global Warming Potential (GWP). Karena potensinya yang terendah, angka GWP untuk karbon dioksida adalah 1. Gas metana mempunyai GWP sebesar 21. Artinya 1 ton metana mempunyai potensi menyebabkan pemanasan global 21 kali lebih tinggi daripada 1 ton karbon dioksida. Ini juga berarti bahwa mengurangi emisi gas metana sebanyak 1 ton setara dengan mengurangi emisi karbon dioksida sebanyak 21 ton. Jenis-jenis gas rumah kaca dan GWP-nya disampaikan dalam tabel di halaman berikut. Jenis PotensiPemanasan Global (GWP) Karbondioksida 1 Metana 21 Nitratoksida 310 Perfluorokarbon 6.500-9.200 Hidrofluorokarbon 140-11.700 Sulfurheksafluorida 23.900 Tabel 1. Jenis-jenis gas rumah kaca Untuk mendefinisikan pasar karbon, bisa dilihat dari definisi pasar, salah satunya menurut William J. Stanton (Prinsip Pemasaran, 1987), pasar dalam arti luas adalah “orangorang (atau pihak-pihak) yang mempunyai kebutuhan/keinginan untuk dipenuhi, uang untuk dibelanjakan, dan kemauan untuk membelanjakannya”. Dengan kata lain, Stanton mendefinisikan pasar adalah jumlah total permintaan (demand). Mengacu pada definisi Stanton, dapat kita definisikan bahwa pasar karbon adalah kumpulan kebutuhan/keinginan terhadap hak atas emisi gas rumah kaca dalam satuan setara-ton-CO2 (ton CO2 eq.). Selain pasar karbon, ada juga istilah “perdagangan karbon”. Kedua istilah ini seringkali tertukar dalam penggunaannya. Di dalam Peraturan Presiden No. 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim, perdagangan karbon didefinisikan sebagai “kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim”. Terlihat perbedaan yang jelas antara istilah “pasar karbon” dan “perdagangan karbon” dimana pasar (market) adalah penyebab bagi perdagangan. 2.2.2 Jenis-jenis Pasar Karbon a. Pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) Permintaan pada pasar karbon ini terbentuk semata karena adanya keinginan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dan bukan karena adanya kewajiban untuk itu. Keinginan ini memicu terjadinya perdagangan karbon antara yang mmpunyai keinginan dengan penyedia karbon yang kerap kali terjadi secara langsung (over the counter). Dalam beberapa kasus, keinginan/kebutuhan tersebut digabungkan menjadi komitmen kolektif sehingga pasarnya membesar dan dapat menarik keterlibatan pihak lain seperti perantara/ broker , investor maupun layanan bursa. Karena sifatnya yang mengandalkan keinginan dan niat baik untuk mengurangi emisi karbon, volume pasar sukarela relatif kecil dan sulit diperkirakan. Meskipun demikian, perkembangan terakhir menunjukkan bahwa volume pasar karbon sukarela cenderung naik dengan stabil. b. Pasar karbon wajib Kebalikan dari pasar karbon sukarela, pasar karbon jenis ini terbentuk karena ada kebijakan yang mewajibkan pengurangan dan/atau pembatasan jumlah emisi gas rumah kaca. Pasar karbon kemudian diterapkan sebagai sarana pelaksanaan kebijakan tersebut (policy tool). Protokol Kyoto adalah salah satu contoh kebijakan yang mewajibkan pengurangan emisi gas rumah kaca namun memperbolehkan penggunaan pasar karbon untuk memenuhinya. Volume pasar karbon wajib sangat bergantung pada rancangan dan lingkup kebijakan pengurangan/pembatasan emisi yang diterapkan, sehingga relatif lebih mudah diperkirakan dan direncanakan dalam jangka panjang. 2.3 Konsep Carbon Tradding Carbon trading juga dikenal dengan istilah emissions trading. Carbon trading merupakan salah satu rekomendasi Kyoto Protocol 1997, sebuah rencana internasional untuk mengurangi enam gas rumahkaca utama penyebab perubahan iklim. Emission trading merupakan istilah yang diterapkan dalam perdagangan sertifikat yang mencerminkan berbagai cara untuk mengurangi emisi karbon sesuai dengan target yang dicantumkan dalam sertifikat. Para partisipan dalam perdagangan karbon membeli dan menjual komitmen kontrak (contractual commietments) atau sertifikat yang mencerminkan jumlah tertentu emisi karbon (carbon-related emission) yang dapat dikurangi. Dengan demikian Certified Emission Reductions (CERs) merupakan komoditas baru dalam perdagangan dunia yang prospektif. Bila seluruh negara di dunia telah menyepakati perdagangan karbon tersebut, maka CERs menjadi komoditas yang menguntungkan sama halnya dengan sekuritas yang banyak diperdagangkan. Bahkan bukan suatu hal yang mustahil bila pada masa datang, perdagangan karbon menjadi komoditas yang laku seperti halnya perdagangan minyak seperti sekarang ini. Perkembangan menunjukkan bahwa kebutuhan CERs pada masa datang menjadi komoditi penting dalam pasar GHG yang berorientasi pada kelangsungan ekosistem global. Analis memperkirakan ukuran pasar futures GHG pada tahun 2010 akan mencapai kisar US$10 milyar hingga US$1 trilyun. Ukuran tersebut diperkirakan meningkat sejalan dengan kebutuhan masyarakat terhadap lingkungan yang bersih dan sehat serta kelangsungan ekosistem global. Carbon trading menggunakan skema khusus yang disebut sistem 'cap and trade'. Berdasarkan komitmen Kyoto, sebuah negara dapat mengalokasikan ijin emisi gas rumahkaca ('cap') kepada perusahaan-perusahaan. Jika sebuah perusahaaan terbukti melakukan emisi kurang dari batasan yang diberikan, kelebihan ijin yang dimilikinya dapat diperdagangkan ('trade') kepada perusahaan yang mengeluarkan lebih banyak polusi. Sebaliknya, jika perusahaan gagal memenuhi target emisi, atau dengan kata lain mengeluarkan CO2 lebih banyak dari batas yang diijinkan ('cap'), mereka dapat membeli 'carbon credit' dari perusahaan dengan emisi di bawah target. Carbon credit ini biasanya diperdagangkan di 'over the counter (OTC) market'. Singkatnya, hal ini menegaskan bahwa apa yang diperdagangkan di 'carbon trading' bukanlah karbon sesungguhnya, tetapi hak untuk emisi CO2. Untuk memahami bagaimana karbon diperdagangkan, perlu dipahami komoditi apa yang diperdagangkan dan sistem yang menciptakannya. Ada dua komoditi yang diperdagangkan, yang pertama adalah apa yang disebut allowance, dan yang kedua adalah offset yang dapat diilustrasikan sebagai berikut : 1. Perdagangan “emisi yang tidak dipergunakan” (allowance trading) Negara-negara yang ditarget penurunan emisi (annex I country) mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisinya pada periode komitmen I (2008-2012) sebesar 5% di bawah tingkat emisi pada tahun 1990. Emisi total suatu negara dibatasi (Capped), dari emisi yang dibatasi inilah nanti akan muncul allowances (kelebihan emisi yang tidak dipakai). Allowances inilah yang boleh dijual kepada pihak lain yang tidak dapat menurunkan emisi sesuai targetnya. Misalnya suatu negara A dibatasi emisinya sebesar 1 juta ton CO2. Target emisi ini kemudian dibagi ke perusahaan-perusahaan yang ada di negara tersebut. Misalnya perusahaan A mendapat target emisi 100.000 ton, padahal sebelumnya mereka mengemisi 110.000 ton CO2. Perusahaan tersebut harus melakukan penurunan emisi sebesar 10.000 ton. Perusahaan A mampu menurunkan emisinya sampai 20.000 ton, sehingga Perusahaan A memiliki “kelebihan emisi” 10.000 ton. Sementara itu perusahaan B (yang memiliki target emisi sebesar 100.000 ton juga, padahal sebelumnya mengemisi 110.000 ton) memilih untuk tidak menurunkan emisinya karena biayanya terlalu besar. Perusahaan B berhak membeli “kelebihan emisi” dari perusahaan A yaitu sebesar 10.000 ton dengan biaya yang lebih rendah. Inilah yang disebut perdagangan emisi (karbon). Perdagangan karbon seperti ini disebut sebagai cap-and-trade system. 2. Perdagangan kredit berbasis proyek (offset trading) Carbon offset adalah alat/sarana untuk mengkompensasi emisi yang dikeluarkan oleh perusahaan ataupun pribadi. Dengan membayar orang lain (ditempat lain) untuk melakukan usaha penyerapan karbon atau menghindari emisi karbon, pembeli offset karbon bermaksud mengganti (atau dalam prinsipnya meng”offset”) emisi karbon yang telah mereka lakukan. Misalnya perusahaan A mengemisi 110.000 ton CO2 pertahun. Pemerintah menginginkan masing-masing perusahaan menurunkan emisinya menjadi 100.000 ton. Kedua perusahaan tersebut diberi alternatif. Apabila mereka tidak mau menurunkan emisinya, mereka dapat mendanai proyek di tempat lain yang dapat mereduksi emisi karbon hingga 10.000 ton. Perdagangan kredit berbasis proyek ini sering disebut juga baseline and credit, atau offset trading. Dalam sistem ini, pembeli hanya dapat mengklaim pengurangan emisinya melalui proyek yang benar-benar dapat dibuktikan bahwa pengurangan emisi terjadi dari proyek tersebut dan bukan business as usual. Inilah yang disebut konsep additionality. 2.3 Konsep Redd+ Perdebatan mengenai REDD+ berawal dari perdebatan mengenai kerangka implementasi konvensi perubahan iklim, Terutama Protokol Kyoto. Pasal 2 ayat 1 a (ii) Protokol Kyoto menyebutkan: Protection and enhancement of sinks and reservoirs of greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol, taking into account its commitments under relevant international environmental agreements; promotion of sustainable forest management practices, afforestation and reforestation (Melindungi dan memperluas penyerapan dan penampungan Gas-gas Rumah Kaca tidak diatur oleh Protokol Montreal, dengan mengingat komitmennya berdasarkan kesepakatan-kesepakatan lingkungan internasional; mendukung praktek-praktek pengelolaan kehutanan yang berkelanjutan, penghijauan kembali dan penanaman hutan). hal yang tercantum dalam Protokol Kyoto ini diatur lebih lanjut dalam aturan pelaksana Protokol Kyoto yang dibahas di CoP 7 di Marrakesh, Maroko, 2001. Aturan pelaksana tersebut selanjutnya disebut Marrakech Accords. Salah satu keputusan Marrakech Accords adalah mengenai penggunaan lahan, perubahan tata guna lahan dan kehutanan, termasuk definisi, modalitas(cara) dan panduannya atau disebut LULUCF (Marrakech Accord 11/CP.7,Lampiran 1 A). LULUCF (Marrakech ACCORD) Land Use, Land Use Change and Forestry merupakan salah satu hasil dari Conference of Parties ke-7 yang kerap disebut Marrakech Accords . Kesepakatan ini merupakan petunjuk pelaksanaan Protokol Kyoto yang memberi mandat tanggung jawab pengurangan emisi bagi 38 negara-negara industri yang kerap disebut negaranegara Annex I. Besarnya kepentingan negara maju membuat lingkar perdebatan LULUCF sangat dipengaruhi oleh kepentingan negara-negara industri tersebut. Salah satu perdebatan kunci adalah definisi hutan. Eropa dan beberapa kelompok negara maju yang telah kehilangan hutan tapi tergantikan oleh perkebunan, mendorong definisi hutan juga mencakup perkebunan. Dalam hal ini negara maju berhasil mengunci kemenangan diplomasinya dimana agregat emisi mereka tidak bertambah dari sektor LULUCF tapi justru sebaliknya berkontribusi menyerap karbon (carbon sink) lewat perkebunan. Karena itu, LULUCF di bawah Kyoto Protokol tidak begitu populer. Terkait dengan definisi hutan dan panduan mekanisme CDM yang memasukan isu kehutanan aforestasi dan reforestasi, Marrakech Accords memutuskan beberapa panduan dasar,antara lain sebagai berikut: Definisi Hutan: a. Areanya minimal 0,05-1 hektar b. Tutupan tajuk lebih dari 10-30 persen c. Ketinggian tajuk 2-5 meter d. Hutan tertutup dengan variasi jenis e. Semak belukar yang menutup rapat tanah atau hutan terbuka f. Tegakan pohon alam dan perkebunan yang belum mencapai tingkat kepadatan jenis atau keragaman jenis 10-30 persen atau ketinggian pohon 2-5 meter akan diperhitungkan sebagai hutan jika wilayah-wilayah itu biasanya membentuk kawasan hutan yang untuk sementara tidak berhutan karena intervensi manusia seperti dipanen atau akibat dari penyebab alamiah tapi diharapkan kembali menjadi hutan. Definition of Forests under the Kyoto Protocol (Promote Kant, 2006) By the Decision 11/CP.7 of the Marrakech Accord the following definitions of forests, afforestation and reforestation were adopted (UNFCCC, 2002), which were later extended to land use, land-use change and forestry activities carried out under the Clean Development Mechanism (CDM) of the Kyoto Protocol by Decision 19/CP.9 adopted at Milan (UNFCCC, 2004). (a) “Forest” is a minimum area of land of 0.05-1.0 hectares with tree crown cover (or equivalent stocking level) of more than 10-30 per cent with trees with the potential to reach a minimum height of 2-5 meters at maturity in situ. A forest may consist either of closed forest formations where trees of various storeys and undergrowth cover a high proportion of the ground or open forest. Young natural stands and all plantations which have yet to reach a crown density of 10-30 per cent or tree height of 2-5 meters are included under forest, as are areas normally forming part of the forest area which are temporarily un-stocked as a result of human intervention such as harvesting or natural causes but which are expected to revert to forest. (b) “Afforestation” is the direct human-induced conversion of land that has not been forested for a period of at least 50 years to forested land through planting, seeding and/or the human-induced promotion of natural seed sources. (c) “Reforestation” is the direct human-induced conversion of non-forested land to forested land through planting, seeding and/or the human-induced promotion of natural seed sources, on land that was forested but that has been converted to nonforested land. For the first commitment period, reforestation activities will be limited to reforestation occurring on those lands that did not contain forest on 31 December 1989. Definisi hutan sebagaimana ditetapkan dalam Marrakech Accord Tersebut agak berbeda dengan definisi yang ditetapkan dalam Permenhut No. P.14/Menhut-II/2004, tentang: Tata Cara aforestasi dan reforestasi dalam kerangka mekanisme pembangunan bersih (MPB /CDM) Dimana disebutkan bahwa: definisi Hutan adalah tingginya minimum 5 meter, penutupan tajuknya minimum 30% dan luasnya minimum 0,25 ha. Saat ini Pustanling sedang menggarap RSNI Penghitungan Deforestasi dan salah satu pembahasannya adalah mengenai definisi hutan. Beberapa Definisi hutan yang sekarang sedang dalam proses pembahasan Pustanling adalah sebagai berikut: 1. Hutan adalah hamparan lahan dengan luas minimum 0,25 ha yang ditumbuhi vegetasi berkayu (pohon) berbagai jenis dan umur yang tajuknya menutup hamparan tersebut minimum 30%. 2. Hutan dalam interpretasi citra penginderaan jauh adalah obyek berwarna hijau dengan rona sedang hingga gelap, serta bertekstur halus hingga kasar pada tampilan gambar dengan kombinasi R (Red):G(Green):B (Blue) dengan kanal R diisi dengan spektrum SWIR, kanal G diisi dengan spektrum NIR, kanal B diisi dengan spektrum Red. 3. Hutan alam adalah suatu hamparan yang bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya. 4. Hutan Lahan Kering adalah tipe hutan alam yang lantai hutannya tidak pernah terendam air, baik secara periodik maupun sepanjang tahun. 5. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang terutama terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, lantai hutannya tergenang pada waktu pasang dan bebas genangan waktu surut. 6. Hutan primer adalah areal berhutan yang ditumbuhi oleh spesies asli setempat, sebagian besar tidak tersentuh oleh kegiatan manusia, baik langsung maupun tidak langsung dan proses ekologi di hutan tersebut tidak terganggu secara signifikan. 7. Hutan rawa adalah hutan yang lantai hutannya secara periodik atau sepanjang tahun terendam air. 8. Hutan sekunder adalah suatu keadaan masyarakat hutan yang pohon-pohonnya didominasi oleh jenis pionir yang tumbuh setelah hutan itu mengalami gangguan dan terbentuk rumpang (gap). 9. Hutan tanaman adalah hamparan lahan yang ditanami dengan vegetasi berkayu (pohon), pada umumnya satu jenis, berkelas umur dengan luas minimal 0,25 ha. Selain beberapa jenis hutan diatas, dapat diketahui beberapa jumlah tanaman penghasil karbon yaitu sebagai berikut : Jenis Cepat Tumbuh 1. Mangium (Sumsel)* 2. Mangium** 3. Sengon (Jatim)* 4. Eucalyptus Grandis (Taput)** 5. E. Globulus (Australia Tenggara)*** 6. A.mearnsi (Australia Tenggara)*** 7. Campuran 5+6** Lambat Tumbuh 1. Mahoni (Sumsel)* 2. Sungkai (Sumsel)* 3. Meranti (Bogor)** 4. Jati (Seradan, Jatim)** Sumber: Usia Kerapatan Kandungan Jumlah (tahun) (ha) Karbon Karbon (ton/ha) (ton/ha/tahun) 6 8 8 3 1.111 711 1.111 99,85 240,800 134,31 16,64 30,10 16,79 31,948 11,5 25,264 11,5 36,202 11,5 48,143 20 10 1.111 1.111 202,99 41,97 60 10,15 4,20 18,640 5,8 *Ginting dan/and Prajadinata (2002,2003,2004,2005) dalam Wibowo dan Rufi’ie (2008) dalam Kosasih, Agung dan Sumandri (2010) **Berbagai sumber dalam Junaedi, (2008) dalam Kosasih, Agung dan Sumandri (2010) ***Forrester, et.al (2006)dalam Kosasih, Agung dan Sumandri (2010) Selanjutnya, ada tiga istilah lain yang sudah tertuang dalam Protokol Kyoto yakni aforestasi, sustainable forest management dan reforestasi. Ketiganya didefinisikan sebagai berikut: Aforestasi adalah konversi akibat tindakan langsung manusia dan tidak berhutan paling tidak selama 50 tahun kemudian dihutankan kembali lewat penanaman, penyemaian maupun promosi langsung pengembangbiakan sumber-sumber benih alamiah. Reforestasi adalah konversi akibat tindakan langsung manusia dari tidak berhutan menjadi berhutan. Metodenya lewat penanaman, penyemaian maupun promosi langsung pengembangbiakan sumber-sumber benih alamiah di daerah yang dulunya berhutan tapi telah dikonversikan menjadi daerah yang tidak berhutan Untuk Komitmen pertama (2008–2012) Tindakan reforestasi dibatasi pada reforestasi yang akan dilakukan di wilayah-wilayah yang tidak berhutan pada 31 Desember 1989. Sustainable Forest Management adalah praktek yang sistemik untuk menjaga dan menggunakan tanah berhutan yang bertujuan memenuhi fungsi sosial, ekonomi dan ekologi hutan yang relevan (termasuk keanekaragaman hayati) melalui cara yang berkelanjutan. Keempat konsep ini setidaknya menggarisbawahi beberapa isu yang menimbulkan perdebatan serius dalam perundingan perubahan iklim, termasuk ketika perdebatan REDD mulai mengadopsi konsep-konsep tersebut. Dalam perundingan perubahan iklim selanjutnya, embrio isu kehutanan yang sudah berkembang dalam skema Kyoto mengalami perkembangan signifikan. Papua Nugini Sebelum COP 11 Di Montreal tahun 2005 melihat perlunya upaya serius mengatasi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Inisiatif PNG ini didorong kuat oleh Kevin Condrad, duta besar dan utusan khusus PNG untuk lingkungan dan perubahan iklim. Condrad menjalani studi di Columbia Business School dengan fokus pada proyek penelitian mengenai apakah uang dari kredit karbon setara dengan pendapatan dari logging. Logging yang tidak terkendali memang menjadi masalah nasional di PNG. Karena itu, Condrad melihat isu perubahan iklim sebagai peluang politik untuk merundingkan nilai ekonomi hutan dalam pasar karbon dan menekan laju deforestasi. Agar mendapat resonansi politik yang signifikan, Profesor Geoffrey Heal, pembimbing proyek penelitian Condrad dalam proyek tersebut, mendukung Condrad untuk membujuk Perdana Menteri PNG, Michael Somare, agar mendorong pembentukan koalisi yang menyuarakan kredit karbon hutan dalam perundingan perubahan iklim. Pada Januari 2005, Somare menyerukan pembentukan Coalition for Rainforest Nationspada forum pemimpin dunia yang diselenggarakan di universitas Columbia. Pada bulan Mei, dalam acara Global Roundtable on Climate Change di universitas Columbia, Somare kembali mengusulkan hal serupa dengan meminta rekan-rekannya dari negara-negara hutan hujan seperti Peru, Kongo, Kosta Rika, Republik Dominika, Mozambik, Tanzania and Zambia untuk membentuk koalisi tersebut. Koalisi negara-negara hutan hujan yang terbentuk ini kemudian mengusung ambisi untuk memasukan sertifikat pengimbangan emisi terkait dengan deforestasi dalam pasar emisi karbon global. PNG kemudian menggandeng Kosta Rika yang juga sedang dililit utang untuk mencari sumber alternatif pemulihan ekonomi. Dalam proposal kedua negara yang dibahas pada COP Montreal tersebut, PNG dan Kosta Rika Mengajukan dua opsi kerangka hukum ke depan: Pertama, Membuat protokol tambahan yang khusus mengatur emisi dari deforestasi dan degradasi. Kedua, mengembangkan lebih lanjut substansi yang sudah tercantum dalam Protokol Kyoto dan Marrakech Accords dengan salah satu tambahan penting yakni proyek kredit karbon harus dibuat secara spesifik untuk isu deforestasi dan degradasi. Dengan Kata lain, negara yang ingin dan mampu mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan seharusnya diberi kompensasi secara finansial melalui mekanisme pasar karena sudah melakukan upaya itu dengan menahan diri untuk tidak melakukan konversi hutan demi pertumbuhan ekonomi. Selain Papua Nugini dan Kosta Rika, proposal ini didukung oleh enam negara lain, yakni: Bolivia, Republik Afrika Tengah, Chili, Kongo, Republik Dominika dan Nikaragua. Negara-negara ini menjadi koalisi yang disebut dengan “Koalisi Negara hutan hujan” (Coalition of Rainforest Nations) dan menunjuk universitas Columbia sebagai sekretariat. Banyak negara lain menyepakati pentingnya isu yang disampaikan PNG dan Kosta Rika, sehingga COP membentuk grup kontak, semacam panitia khusus, untuk merancang kesimpulan yang menjadi bahan tindak lanjut dalam menjawab isu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi. Dalam perkembangan selanjutnya, isu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi mendapat kerangka hukum awal dalam CoP 13 di Bali, 2007. Keputusan Bali, disebut dengan Bali Action Plan (BAP), antara lain memberi dasar hukum pengembangan skema dan proyek percontohan REDD saat ini. Dalam paragraf 1 b(iii) BAP disebutkan bahwa: Tindakan mitigasi internasional/nasional mencakup deforestasi dan degradasi tapi juga menyangkut konservasi, sustainable forest management, dan perluasan stok karbon di negara-negara berkembang. Dengan demikian, cakupan REDD dalam pasal ini adalah deforestasi, degradasi, perluasan stok karbon, konservasi dan SFM. Konsep ini persis mengikuti logika LUULUCF yang disepakati dalam Marrakech Accord, sehingga kerap disebut REDD plus LULUCF. Pasal lain dalam Bali Action Plan juga mengemukakan tiga hal terkait dengan REDD yakni: - Pengembangan proyek-proyek percontohan atau pilot project REDD - Pengembangan kapasitas dan transfer teknologi ke negara berkembang - Panduan untuk proyek-proyek REDD lewat metodologi yang kokoh dan dapat dipercaya. Tiga aspek ini menjadi landasan uji coba proyek REDD di berbagai lokasi, termasuk di Indonesia. Pada COP 14 di Poznan, REDD yang ditetapkan dalam BAP paragraf 1 b (iii) dipertegas tidak hanya meliputi deforestasi dan degradasi tetapi juga mencakup konservasi, SFM, aforestasi dan reforestasi yang menjadi bagian dari skema CDM. Perkembangan ini kerap disebut REDD+. Sama seperti perdebatan REDD, dalam REDD+ isu yang tetap diperdebatkan adalah cakupan. Namun beberapa isu lain yang muncul adalah cara perhitungan dengan pendekatan nett dan gross, konsep sustainable forest management dan persoalan tropical hot air. BAB III PEMBAHASAN 3.1 Inisiatif Pasar Karbon di Indonesia Kesalahpahaman masyarakat umum dan pemangku kepentingan tentang pasar karbon, kerumitan sistemnya, dan tuntutan transparansi dalam setiap tahapannya menjadikan pasar karbon masih menjadi pilihan alat pembangunan rendah karbon yang terakhir. Meskipun demikian, Pemerintah Indonesia menyadari arti penting pasar karbon ini dalam rencana pembangunan rendah karbon, mengingat manfaatnya dalam peningkatan efisiensi, investasi, jumlah lapangan kerja, tingkat alih teknologi, dan manfaat dampingannya dalam meningkatkan pembangunan berkelanjutan dan menjaga mutu lingkungan. Perumusan mekanisme dan kebijakan pasar karbon di Indonesia kemudian dimandatkan oleh pemerintah kepada DNPI yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim. Untuk melaksanakan hal ini, DNPI menerapkan strategi pengembangan pasar karbon dalam tiga jalur yang dapat saling terkait, dengan tujuan untuk menciptakan kemampuan nasional dalam memanfaatkan pasar karbon secara optimal bagi pembangunan Indonesia yang rendah karbon dan adaptif terhadap perubahan iklim. Ketiga jalur tersebut digambarkan sebagai berikut. Pasar Karbon Multilateral Tergantung dari hasil perundingan UNFCCC Butuh keseimbangan antara mekanisme yang fleksibel dan yang rigid Membutuhkan kesepakatan Internasional untuk kriteria lingkungan dan pembangunan berkelanjutan Pasar Karbon Bilatral / Regional Antara indonesia dan negara maju Dapat menjadi mekanisme internasional buat offsetting Sekarang menjadi pusat perhatian dodalam dan diluar perundingan Pasar Karbon Domestik Dimulai dari mekanisme offset sukarela (SKN) Dikembangkan dan diperdagangkan di Indonesia Sederhana tapi rigid Dapat disambungkan atau dikaitkan dengan mekanisme yang lebih besar Tabel : Strategi pengembangan pasar karbon di Indonesia 3.1.1 Pengembangan Pasar Karbon Multilateral Perkembangan perundingan perubahan iklim di tingkat UNFCCC maupun dalam berbagai inisiatif internasional yang mulai muncul mengharuskan Indonesia untuk melakukan antisipasi pengembangan instrumen pasar karbon multilateral. Selain terlibat aktif dalam pengembangan dan penyiapan instrumen pasar karbon multilateral yang baru, Indonesia juga tetap memanfaatkan skema CDM, terutama sebagai pembanding (benchmark) bagi pasar karbon yang dikembangkan.Dalam kegiatan pengembangan pasar karbon multilateral Indonesia bergabung dalam kerjasama multilateral yang digagas Bank Dunia (The World Bank) bertajuk Partnership for Market Readiness (PMR) dan diikuti oleh 13 negara donor dan 16 negara pengimplementasi (implementing countries) . Kerjasama ini menarik dan unik karena setiap negara pengimplementasi diberi kebebasan dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi pasar karbon pasca 2012 dan dilakukan serangkaian kegiatan pengembangan kapasitas serta pertukaran informasi antar negara peserta untuk mencapai kesiapan dan kesepahaman yang lebih baik. Sebagai salah satu negara pengimplementasi, Indonesia telah melakukan pemaparan rencana pembangunan kesiapan pasar karbon multilateral melalui pengembangan instrumen teknis dan kebijakan. Pada proposal yang telah disusun dan dipresentasikan di Barcelona, Spanyol, pada bulan Mei 2013, Indonesia mengajukan beberapa rencana yang disetujui oleh Partnership Assembly , yaitu: 1. Pengembangan rencana nasional yang komprehensif untuk pembiayaan berbasis pasar (market based instrument initiative) . Rencana nasional ini diharapkan akan menjadi rencana induk pengembangan pembiayaan berbasis pasar yang terintegrasi dengan pembangunan rendah karbon di Indonesia. 2. Pembangunan sistem MRV emisi GRK untuk sektor industri padat energi dengan pilot sistem MRV di sub sektor semen. Sub sektor semen dipilih karena merupakan yang paling siap di Indonesia baik dari sisi kebijakan maupun teknis serta dapat menjadi contoh bagi sub sektor industri lain. Kewajiban menurunkan emisi bagi industri semen yang diamanatkan salah satu Peraturan Menteri Perindustrian juga diharapkan bisa menjadi pendorong pengembangan pasar karbon domestik. 3. Pembangunan sistem MRV emisi GRK untuk sektor pembangkitan listrik dengan pilot sistem MRV di sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali (Jamali), jaringan listrik terbesar di Indonesia dengan jenis pembangkit paling beragam. Sektor kelistrikan juga merupakan sektor dengan pertumbuhan emisi tertinggi di Indonesia dan dapat dikembangkan menjadi salah satu sektor utama penunjang pasar karbon di masa depan. Selain inisiatif yang dilakukan dengan Bank Dunia melalui PMR, Indonesia juga aktif dalam negosiasi UNFCCC, khususnya untuk pengembangan pasar karbon dalam perumusan kerangka perjanjian perubahan iklim yang mengikat para pihak peserta konvensi pasca Protokol Kyoto. Pada dasarnya, Indonesia sangat mendukung segala upaya pengembangan pasar karbon dalam konteks pengurangan emisi gas rumah kaca secara global. 3.3.2 Pengembangan Pasar Karbon Bilateral dan Regional Pengembangan pasar karbon bilateral dan regional di Indonesia terutama dilakukan sebagai upaya mempercepat implementasi pembangunan rendah karbon secara nasional dan mengantisipasi prediksi akan berkurangnya pembiayaan berbasis pasar sejak berakhirnya komitmen pertama dari Protokol Kyoto dan belum terbangunnya pasar karbon multilateral yang lebih fleksibel dan bisa diikuti semua negara. Di bawah ini adalah inisiatif-inisiatif pengembangan pasar karbon bilateral dan regional yang dikembangkan di Indonesia: 1. Joint Crediting Mechanism (JCM) Kerjasama bilateral perdagangan karbon dengan Jepang. Sejak tahun 2010 Jepang telah menawarkan kerjasama dengan Indonesia dan beberapa negara lain untuk melakukan perdagangan karbon antarnegara secara bilateral. Selain untuk perdagangan karbon, kerjasama ini juga didasari kepentingan investasi dan perdagangan antara Indonesia dan Jepang melalui proyek-proyek rendah karbon. Sebagai negara maju, Jepang berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya (GRK) sampai dengan level 25% di bawah tahun 1990 pada tahun 2020. Target tersebut akan dicapai melalui kegiatan pengurangan emisi di dalam negeri dan melalui proyek pengurangan emisi yang dibiayai oleh pemerintah dan sektor swasta Jepang namun dilakukan di luar negeri, khususnya di negara-negara berkembang, melalui mekanisme JCM. Pilihan bekerja sama dengan negara berkembang adalah yang terbaik bagi Jepang karena ia tidak meletakkan komitmen untuk Protokol Kyoto sehingga tidak dapat mempergunakan CDM, sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk pengurangan emisi di dalam negeri sangat tinggi. Jepang akan mendapatkan kredit karbon dari pengurangan emisi dengan cara menanamkan investasi atau membeli pengurangan emisi, sedangkan Indonesia akan mendapatkan investasi, transfer teknologi, dan kemungkinan pembagian kredit karbon dari proyek. Pembagian kepemilikan kredit karbon dari proyek akan sangat tergantung dari jenis dan besaran modal yang ditanamkan serta kesepakatan kedua belah pihak. Jepang dan Indonesia telah merancang beberapa aturan dasar untuk implementasi JCM yang diharapkan dandilakukan pada tahun 2013. Sebagai bagian dari persiapan tersebut, Pemerintah Jepang melalui beberapa kementeriannya telah memberikan dana hibah kepada perusahaan-perusahaan Jepang untuk melakukan studi kelayakan (feasibility studies) pelaksanaan proyek-proyek di bawah skema JCM di Indonesia. Sampai saat ini telah dilakukan 57 (lima puluh tujuh) studi kelayakan, yang terdiri dari studi di bidang energi terbarukan (dari sumber panas bumi, hidro, dan biomassa), efisiensi energi, transportasi rendah karbon, Carbon Captured and Storage (CCS), pertanian rendah karbon, dan kegiatan berbasis kehutanan. Dua aspek kelayakan utama yang dianalisis dalam studi-studi tersebut adalah skema pembiayaan dan metodologi penghitungan emisi GRK. Metodologi yang akan diterapkan harus dipastikan memenuhi standar ilmiah sehingga hasil pengurangan emisi dari proyek JCM dapat diakui di forum/ mekanisme internasional. Perjanjian kerjasama bilateral untuk implementasi JCM yang telah ditandatangani oleh kedua negara pada bulan Agustus 2013, mempunyai implikasi bahwa JCM kemudian akan dikembangkan secara bersama dalam kerangka pembangunan rendah karbon dan perdagangan karbon antar kedua negara. Mekanisme JCM adalah kerjasama bilateral yang mengedepankan investasi berwawasan lingkungan untuk mendukung pembangunan rendah karbon. Mekanisme ini akan menjadi insentif bagi perusahaanperusahaan Jepang untuk meningkatkan investasi dalam kegiatan rendah karbon di Indonesia. Pemerintah Jepang diuntungkan karena sebagian dari hasil penurunan emisi GRK di proyek-proyek investasi di Indonesia akan dapat diklaim sebagai penurunan emisi negaranya. Indonesia juga mendapatkan manfaat yang besar, baik manfaat ekonomi maupun lingkungan, dari kerjasama JCM tersebut. Lebih jauh, JCM yang kemudian dimaksudkan untuk menjadi mekanisme offsetting internasional, menyebabkan Indonesia dan Jepang, juga beberapa negara yang mempunyai perjanjian yang serupa dengan Jepang, akan mempunyai posisi yang sama di perundingan internasional untuk perubahan iklim, sehingga akhirnya JCM ini benar-benar menjadi mekanisme internasional yang diakui UNFCCC. 2. Kerjasama dalam kawasan Asia Pasifik Indonesia juga aktif terlibat dalam kerjasama antar kawasan di Asia Pasifik. Forum yang pertama kali diinisiasi oleh Selandia Baru dan kemudian diikuti oleh lebih dari 15 negara di Asia Pasifik ini bertujuan untuk menciptakan kerjasama jangka panjang dalam pembangunan pasar karbon yang terintegrasi dalam kawasan.Kerjasama yang kemudian disebut Asia Pacific Carbon Market Roundtable (APCMR) kemudian mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan penyamaan standar, kerjasama dalam perencanaan pasar karbon di kawasan Asia Pasifik, dan membuka peluang untuk diskusi pengembangan karbon multilateral sebagai dasar negosiasi di UNFCCC 3. Kerjasama secara bilateral dengan negara sahabat lain Kemungkinan untuk melakukan kerjasama bilateral seperti dengan Jepang tidak tertutup bagi negara sahabat lain. Kerjasama Indonesia dengan Jepang dapat diterapkan dengan beberapa modifikasi yang diperlukan dengan negara sahabat yang berminat dalam pengembangan pasar karbon dan pembangunan rendah karbon. 3.3.3 Pengembangan Pasar Karbon Domestik Indonesia belum memiliki pasar karbon domestik seperti di beberapa negara lain. Melihat perkembangan perekonomian serta kebijakan yang masih berpihak pada pengembangan energi fosil, termasuk masih adanya subsidi energi, maka pengembangan pasar karbon domestik masih membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa dilakukan dengan baik. Meskipun demikian, pengembangan satu sistem sertifikasi pengurangan emisi berbasis mekanisme pasar maupun non pasar yang sistemnya serupa pasar karbon akan bermanfaat bagi Indonesia sebagai dasar pengembangan pasar karbon domestik selanjutnya. Menyadari pentingnya hal ini, DNPI melakukan inisiatif pengembangan program GRK yang dinamakan Skema Karbon Nusantara (SKN). SKN adalah mekanisme sertifikasi dan registrasi hasil kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca yang bersifat sukarela (voluntary) , jadi tidak ada kewajiban bagi siapapun untuk mengikutinya. SKN sangat mirip dengan Clean Development Mechanism (CDM) yang dijalankan UNFCCC. Perbedaannya adalah pada keluaran (output) -nya.Keluaran sertifikasi CDM adalah kredit karbon yang dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban penurunan emisi dalam Protokol Kyoto, sedangkan kredit karbon keluaran SKN tidak mempunyai kaitan dengan kebijakan pengurangan/pembatasan emisi gas rumah kaca apapun.Keluaran sertifikasi SKN adalah kredit karbon yang akan dinamai Unit Karbon Nusantara (UKN). Satu UKN adalah setara dengan penurunan satu ton karbon dioksida (CO2). Setiap UKN yang diterbitkan akan dicatat dalam basis data registry SKN dan dapat digunakan untuk menggantikan emisi gas rumah kaca yang dilepaskan (GHG offset ) oleh si pemilik UKN. Kepemilikan UKN dapat dipindahtangankan antara sesama pengguna registry sehingga memungkinkan terjadinya perdagangan kredit karbon di antara mereka. SKN diharapkan mampu menarik perhatian sektor swasta yang berminat menurunkan emisi GRK-nya karena setiap UKN yang diterbitkan adalah bukti bahwa kegiatan yang dilakukan telah berhasil menurunkan emisi gas rumah secara permanen, terukur dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.Padatahun 2013 SKN telah memiliki enam rancangan metodologi, dua panduan, satu calon pilot project , website yang memuat semua perkembangannya, danmelakukan pembentukan kelembagaan secara resmi. SKN diharapkan dapat beroperasi secara penuh di tahun 2014, sehingga Indonesia akan memiliki satu opsi lagi dalam hal mekanisme pengurangan emisi guna mencapai target nasional. SKN ini dapat juga difungsikan untuk memenuhi komitmen nasional Indonesia dalam pengurangan emisi sebesar 26% pada tahun 2020 karena selama pembeli dan penjual UKN adalah entitas Indonesia maka penurunan emisi yang dihasilkan adalah upaya domestik Indonesia. Mekanisme SKN juga dapat digunakan apabila pemerintah ingin memberikan insentif pada perusahaan atau entitas yang sudah melakukan penurunan emisi dan ingin mendaftarkannya sebagai bagian dari komitmen nasional 3.2 Pelaksanaan Perdagangan Karbon di Indonesia Balitbang Kementerian Kehutanan dengan diawasi oleh lembaga donator asal Jepang Seven & I dan International Tropical Timber Organization (ITTO) merancang proyek yang mendukung pelaksanaan REDD+ dengan memilih Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Luas total Taman Nasional adalah ± 58.000 ha yang terdiri dari berbagai jenis vegetasi dari pegunungan hingga pesisir. TNMB kaya akan keanekaragaman hayati dan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan telah memberikan dampak baik positif dan negatif terhadap kelestarian hutan. TNMB memenuhi syarat untuk proyek REDD+ karena kawasan ini telah mengalami deforestasi dan degradasi yang tidak terencana. TNMB telah dipilih sebagai tempat untuk kegiatan demonstrasi (DA) dari REDD melalui proyek ITTO di kawasan konservasi, untuk memberikan informasi yang diperlukan oleh standar internasional yang berkaitan dengan kredibel, terukur, terlapor, dan terverifikasi (MRV) guna pemantauan pengurangan emisi dari deforestasi, degradasi hutan dan peningkatan stok karbon. TNMB sebagai wilayah konservasi memiliki stok karbon yang relatif tinggi, oleh karena itu metodologi untuk mendukung REDD+ terutama dalam kawasan konservasi penting untuk di eksplorasi. Pembelajaran dari kawasan konservasi, terutama terkait dengan aspek metodologi untuk degradasi dan konservasi akan memberikan informasi yang berguna untuk negosiasi REDD+ di UNFCCC. Selain sebagai penjaga ekosistem dan habitat satwa, hutan di kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) di Jember, Jawa Timur, akan dijadikan kawasan percontohan perdagangan karbon dari aktivitas penanaman pohon di lokasi lahan rehabilitasi hutan dengan menggandeng masyarakat desa.Pihak TN Meru Betiri telah menggandeng masyarakat, untuk ikut merehabilitasi lahan kritis seluas lebih dari 4.000 hektar, dengan memberikan hak pengelolaan lahan kepada masyarakat untuk ditanami tanaman pokok atau pohon tegakan. Program tersebut berhasil menghijaukan kembali lahan kritis. Keberhasilan program tersebut, bisa dikompensasikan melalui skema perdagangan karbon.Dalam program ini, ITTO menyiapkan dana sebesar US$900,000 untuk selama 4 tahun (Januari 2010-Desember 2014). BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Pengurangan gas emisi merupakan sebuah konsep yang muncul dalam konferensi atau protokol-protokol yang diadakan. Salah satunya adalah protokol kyoto yang menggagas tentang tuntutan bagi suatu negara untuk mengurangi emisi. Menurunkan emisi gas dilakukan dengan cara carbon trading ataupun dengan konsep REDD+. Kedua konsep ini memiliki pelaksanaan proyek-proyek yang saling berhubungan dan diharapkan dalam protokol kyoto pada tahun 2020 peningkatan suhu karena perubahan iklim dapat diturunkan. Dalam melakukan pengurangan emisi, Jepang dan Indonesia melakukan sebuah kerjasama dimana Jepang memberikan dana hibah terkait dengan proyek-proyek yang dilakukan Indonesia untuk mengurangi GRK. Dengan dijadikannya Taman Nasional Meru Betiri di Jember menunjukkan bahwa Indonesia menyambut baik adanya perdagangan karbon. Selain itu perdagangan karbon juga bersifat menguntungkan bagi Indonesia ketika sudah dilaksanakan. Indonesia dapat mendapatkan dana dari negara-negara maju yang menjadi negara donor. Dalam perdagangan karbon di TNMB dana dari perdagangan karbon digunakan untuk melestarikan hutan dan untuk penghasilan masyarakat sekitar yang ikut serta dalam melestarikan hutan setempat. Dengan dipelopori TNMB diharapkan dapat membuka peluang bagi wilayah lain untuk dapat ikut serta dalam perdagangan karbon. Pada dasarnya pelaksanaan perdagangan karbon ini dapat mencegah bencana dan perubahan lingkungan atau yang biasa disebut dengan mitigasi. 4.2 Saran Diharapkan dalam pelaksanaan perdagangan karbon dapat didukung dengan keikutsertaan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar. Masih minimnya pengetahuan masyarakat tentang perdagangan karbon menjadi tugas bagi pemerintah untuk dapat mensosialisasikan secara menyeluruh terutama pada masyarakat yang berada disekitar hutan atau lahan terbuka hijau lainnya. DAFTAR PUSTAKA -.-. Protokol Kyoto. (online) (https://id.wikipedia.org/wiki/Protokol_Kyoto, diakses pada tanggal 15 April 2016) Wahyuni, Dina. 2008. Apakah Carbon Trading?. (online) (http://dinawahyuni.blogspot.co.id/2008/01/apakah-carbon-trading.html, diakses pada tanggal 16 April 2016) Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2013. Mari Berdagang Karbon. (online) (http://jcm.ekon.go.id/en/uploads/files/Document%20JCM/Media/buku_carbon_i si.pdf, Diakses pada tanggal 16 April 2016) Mansur, Eduardo. 2011. ITTO Thematic Programme on Reducing Deforestation and Forest Degradation and Enhancing Environmental Services. (online) http://redd.ffpri.affrc.go.jp/events/seminars/_img/_20110216/04_Eduardo_Mansur.pdf. Diakses pada 16 April 2016