Prinsip Tanggung Jawab Bersama Namun Berbeda (Common But

advertisement
Nama
: A.A.A. NANDA SARASWATI
NPM
: 1006736116
Tugas Individu II Mata Kuliah Hukum Kebijakan Lingkungan
Prinsip Tanggung Jawab Bersama Namun Berbeda (Common But
Differentiated Responsibility/CBDR) dan Keseimbangan
Komitmen terhadap Iklim
Lavanya Rajamani
Prinsip Tanggung Jawab Bersama Namun Berbeda
Prinsip tanggung jawab bersama namun berbeda secara eksplisit tercantum di dalam
prinsip 7 Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan, yaitu :“In view of the
different contributions to global environmental degradation, States have common but
differentiated responsibilities. The developed countries acknowledge the responsibility
that they bear in the international pursuit of sustainable development in view of the
pressures their societies place on the global environment and of the technologies and
financial resources they command.”
Prinsip ini hadir, juga secara eksplisit, dalam pasal 3 (1) The Framework Convention on
Climate Change : “The Parties should protect the climate system for the benefit of
present and future generations of humankind, on the basis of equity and in accordance
with their common but differentiated responsibilities and respective capabilities.
Accordingly, the developed country Parties should take the lead in combating climate
change and the adverse effects thereof.”
Prinsip inilah yang menciptakan tanggung jawab bersama Negara-negara untuk
melindungi lingkungan hidup secara global. Selain itu, prinsip tersebut menyatakan
negara-negara maju secara historis, bertanggung jawab atas menurunnya daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup secara global akibat aktivitas pembangunan yang
mereka lakukan; bahwa dengannya, pada sisi yang lain, mereka mempunyai sumber
daya yang lebih baik dan lebih banyak, terutama sumber daya keuangan dan teknologi.
Kedua hal itu menjadi dasar bahwa negara maju mempunyai tanggung jawab lebih besar
dalam memecahkan persoalan–persoalan lingkungan hidup global serta menjadi negara
pertama dalam melakukan usaha-usaha demi tercapainya cita-cita internasional dalam
hal pembangunan berkelanjutan.
Tanggung Jawab Bersama
Tanggung jawab bersama dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup global itu
berasal dari serangkaian hukum internasional yang mengatur masalah sumber daya alam
yang diistilahkan sebagai “perhatian bersama” (common concern) atau “warisan
bersama umat manusia” (common heritage of humankind). Istilah ini dikenakan pada
sumber daya alam yang dibagi dan dinikmati bersama, baik yang ada dalam yurisdiksi
suatu negara atau tidak; yang menjadi kepentingan hukum bersama serta memberikan
kontribusi penting bagi manusia dan sistem biosphere bumi.
Tanggung Jawab Berbeda
Perbedaan perlakuan atau tanggung jawab disebabkan oleh, pertama, perbedaan
kontribusi tiap-tiap negara pada terjadinya tekanan pada lingkungan hidup; dan kedua,
karena adanya perbedaan kapasitas dalam menyelesaikan masalah dan memuluskan
cita-cita pembangunan berkelanjutan, secara khusus dalam hal kepemilikan dana
keuangan dan kemajuan teknologinya.
Status Hukum
Dalam hal apakah tanggung jawab bersama namun berbeda tersebut termasuk katagori
prinsip masih menjadi perdebatan. Ada yang menganggap bahwa tanggung jawab
tersebut telah menjadi sebuah hokum kebiasaan internasional. Namun, prinsip tersebut
jelas-jelas hanya berlaku terhadap para pihak dan hanya dalam hubungannya dengan
FCCC, bukan sebagai norma ato prinsip yang berlaku umum. Itulah sebabnya mengapa
prinsip tanggung jawab bersama namun berbeda di dalam FCCC tersebut secara teknis
tidak dapat disebut sebagai “prinsip”, melainkan hanya sebagai pemandu.
Meskipun tidak mengikat secara hokum, tetap saja tanggung jawab tersebut merupakan
sebuah kekuatan dalam rezim iklim. Hal ini dapat ditemukan dalam preambul FCCC,
sebuah perjanjian internasional yang mengikat dan preambul Protokol Kyoto.
Keseimbangan Komitmen dalam Rezim Iklim
Keseimbangan Komitmen dalam
Berkelanjutan dengan Adaptasi
FCCC
:
Mitigasi
dan
Pembangunan
Berdasarkan tanggung jawab bersama namun berbeda, FCCC mengandung
keseimbangan komitmen antar Negara. Negara-negara berkembang berkomitmen untuk
melakukan pengembangan berdasarkan pembangunan berkelanjutan dan meninjau efek
buruk dari perubahan iklim melalui adaptasi. Sedangkan Negara-negara industri untuk
menanggapi perubahan iklim dengan melakukan mitigasi. Komitmen mitigasi
berhubungan erat dengan tanggung jawab sejarah dan komitmen adaptasi berhubungan
dengan kebutuhan yang mendesak.
Biaya mitigasi sangat besar dalam Negara-negara industri, sementara biasa adaptasilah
yang sangat besar dalam Negara-negara berkembang. Apabila FCCC diinterpretasikan
dari perspektif “common but differentiated responsibility”, maka mitigasi terhadap
perubahan iklim adalah tanggung jawab yang utama (tapi bukan satu-satunya) dari
negara-negara industri dan pembangunan berkelanjutan disertai dengan adaptasi
terhadap efek buruk perubahan iklim merupak tanggung jawab utama (tapi bukan satusatunya) dari Negara-negara berkembang.
Terlepas dari pembagian tanggung jawab antara Negara-negara berkembang dan
Negara-negara industri, dalam semangat tanggung jawab bersama dimana para pihak
sedapat mungkin saling bekerja sama, mitigasi dari perubahan iklim dan adaptasi
terhadap efek buruknya, semua itu dilakukan berdasarkan “kemampuan masingmasing” Negara.
Keseimbangan Komitmen dalam Protokol Kyoto : Mitigasi dan Kooperasi
Kyoto : Partisipasi Negara-negara Berkembang
Dalam hubungannya dengan rezim iklim, prinsip-prinsipnya tertuang dalam FCCC
sedangkan rumusannya terdapat dalam Protocol Kyoto. Protokol Kyoto merupakan
produk dari “Berlin Mandate Proses”. Berlin Mandate mereview ulang artikel 4.2 FCCC
dan menyatakan bahwa komitmen yang ada belum cukup. Yang diperlukan adalah
proses menurunkan emisi gas rumah kaca dalam waktu tertentu kepada Negara-negara
yang tergabung dalam Annex I. Akhirnya, dihasilkanlah sebuah kesepakatan yang
mengikat secara hukum dengan komitmen yang lebih tegas dan detail. Kesepakatan ini
kemudian dikenal dengan Protokol Kyoto. Protokol ini juga didasari dengan prinsip
‘common but differentiated responsibilities. Oleh karena itu protokol ini mewajibkan
secara hukum negara maju atau negara Annex I untuk mengurangi emisi GRK-nya
minimal sebesar 5% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008 - 2012.
Sebagai jalan tengah, Protokol Kyoto memungkinkan diterapkannya tiga mekanisme
fleksibilitas (flexibility mechanisms) agar negara Annex I dapat tetap memenuhi
komitmennya dengan biaya yang tidak terlalu tinggi. Ketiga mekanisme tersebut adalah:
1. Joint Implementation;
2. International Emission Trading;
3. Clean Development Mechanism (CDM).
Namun, tahun 1997 US menolak untuk melakukan kewajiban dalam FCCC tersebut
karena tidak memberikan komitmen baru keada Negara-negara non-Annex I (Negaranegara berkembang). Hal ini merupakan ajang pergulatan yang sangat alot antara negara
maju dan negara berkembang. Negara maju yang secara historis telah lebih dahulu
mengemisikan GRK ke atmosfer melalui kegiatan industrinya, menolak untuk memberi
komitmen yang berarti di dalam Protokol Kyoto. Sementara negara berkembang merasa
belum mampu untuk menurunkan emisi GRK-nya karena dianggap akan menghambat
proses pembangunan di negaranya.
Menurut Mark Mwandosya, prinsip Tanggung Jawab Bersama Namun Berbeda
berarti tanggung jawab kepada kedua sisi yaitu untuk Negara-negara maju untuk mulai
terlebih dahulu dan memberikan contoh untuk memerangi perubahan iklim dan efek
buruknya dan untuk negara-negara berkembang untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan agar tujuan utama FCCC dan Protokol Kyoto dapat tercapai.
Permasalahan ini ditengahi dengan adanya Mekanisme Pembangunan Bersih atau yang
lebih dikenal dengan Clean Development Mechanism (CDM) merupakan salah satu
mekanisme yang terdapat di dalam Protokol Kyoto. Mekanisme ini merupakan satusatunya mekanismeyang melibatkan negara berkembang, dimana negara maju dapat
menurunkan emisi gas rumah kacanya (biasa disebut emisi karbon) dengan
mengembangkan proyek ramah lingkungan yang dapat menurunkan emisi gas rumah
kaca di negara berkembang.
Mekanisme ini sendiri pada dasarnya merupakan perdagangan karbon, dimana negara
berkembang dapat menjual kredit penurunan emisi gas rumah kaca kepada negara
Annex I, yaitu negara maju yang memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi.
Tujuan CDM seperti yang tertera pada Protokol Kyoto artikel 12, adalah:
1. Membantu negara berkembang dalam menerapkan pembangunan yang berkelanjutan
serta menyumbang pencapaian tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu
menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca dunia pada tingkat yang tidak akan
mengganggu sistem iklim global.
2. Membantu negara-negara Annex I atau negara maju dalam memenuhi target
penurunan jumlah emisi negaranya.
Negara-Negara Berkembang dan Hukum Lingkungan Internasional :
Pentingnya Tnggung Jawab Berbeda
Duncen French
Tanggung Jawab Berbeda – Deklarasi Rio 1992
Salah satu aspek yang menarik perhatian dari Konferensi PBB tentang Lingkungan dan
Pembangunan tahun 1992 adalah pengesahan komunitas internasional terhadap
perbedaan tanggung jawab antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang
dalam usahanya untuk memberikaN perlindungan terhadap lingkungan secara global
dan pembangunan berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dalam UNFCCC, Biological
Diversity Convention, dan Deklarasi Rio.
Prinsip 7 Deklarasi Rio menegaskan bahwa negara-negara maju secara historis,
bertanggung jawab atas menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
secara global akibat aktivitas pembangunan yang mereka lakukan; bahwa dengannya,
pada sisi yang lain, mereka mempunyai sumber daya yang lebih baik dan lebih banyak,
terutama sumber daya keuangan dan teknologi. Kedua hal itu menjadi dasar bahwa
negara maju mempunyai tanggung jawab lebih besar dalam memecahkan persoalan–
persoalan lingkungan hidup global serta menjadi negara pertama dalam melakukan
usaha-usaha demi tercapainya cita-cita internasional dalam hal pembangunan
berkelanjutan.
Prinsip 7 Deklarasi Rio di atas harus dibaca dan atau dihubungkan dengan prinsip 6
Deklarasi Rio, yang menegaskan bahwa: “The special situation and needs of developing
countries, particularly the least developed and those most environmentally vulnerable,
shall be given special priority. International actions in the field of environment and
development should also address the interests and needs of all countries.”
Sementara prinsip 6 Deklarasi Rio menegaskan akan adanya kebutuhan dan situasi yang
khusus di negara berkembang, terutama di negara terbelakang atau negara yang rentan
secara lingkungan, yang membutuhkan prioritas khusus. Dengan kata lain, kedua
prinsip itu memberikan penjelasan akan adanya kontribusi yang berbeda, yang
menimbulkan kewajiban atau perlakuan yang berbeda-beda di antara negara-negara di
dunia. Prinsip 6 memberikan alasan perbedaan situasi di negara berkembang karena
adanya kemiskinan dan keadaan khusus lingkungannya seperti dataran tinggi atau
kepulauan kecil, yang membutuhkan prioritas khusus serta perhatian dan perlakuan
yang disesuaikan dengan keadaan, kepentingan dan kebutuhan negara-negara tersebut.
Sedangkan prinsip 7 memberikan alasan adanya perbedaan perlakuan atau kewajiban
yang disebabkan, pertama, perbedaan kontribusi tiap-tiap negara pada terjadinya
tekanan pada lingkungan hidup; dan kedua, karena adanya perbedaan kapasitas dalam
menyelesaikan masalah dan memuluskan cita-cita pembangunan berkelanjutan, secara
khusus dalam hal kepemilikan dana keuangan dan kemajuan teknologinya.
Sebenarnya Prinsip 7 tersebut merupakan sebuah kontroversi, yang tidak memuaskan
baik negara-negara maju maupun berkembang. Di satu sisi negara-negara maju tidak
suka dengan kata-kata bahwa merekalah satu-satunya yang bertanggung jawab atas
degradasi lingkungan yang terjadi, sementara di sisi lain, negara-negara berkembang
merasa bahwa teks tersebut gagal untuk secara khusus menyalahkan negara-negara
Utara atas tingkah laki mereka dulu dan sekarang.
Negara-negara yang tergabung dalam Group G77 menulis proposal yang ditolak tentang
prinsip 7 yang berisi bahwa beban terbesar dalam hal perlindungan lingkungan global
dibebankan pada negara-negara maju karena dipandang sebagai negara-negara yang
paling bertanggung jawab dalam hal perusakan lingkungan hidup global serta karena
kekayaan finansial dan kemajuan teknologi yang dimilikinya. Untuk itu, negara-negara
maju harus membantu negara-negara berkembang, baik dalam bentuk bantuan dana
maupun transfer teknologi agar dapat mencapai pembangunan berkelanjutan.
Tipe/Jenis Prinsip Pembedaan tanggung jawab dalam hal perubahan iklim :
1. Penggunaan Standar yang berbeda yang tergantung dari tujuan yang ingin di
capai oleh masing-masing perjanjian internasional. Seperti yang tertera dalam
Agenda 21 “mempertimbangkan situasi yang berbeda dan kemampuan tiap-tiap
negara”.
2. Pendekatan yang fleksibel terhadap isu-isu lingkungan yang bersifat global.
Seperti dalam prinsip “special needs and circumstances of....developing country
parties, and taking into account such countries “special requirements”. Bahasa
tersebut memberikan pendekatan holistic dan yang terintegrasi oleh para pihak
terhadap isu lingkungan. Lebih dari itu, pernyataan tersebut memberikan
bimbingan terhadap factor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam
implementasi kesepakatan-kesepakatan tersebut.
3. Peningkatan kepercayaan masyarakat internasional terhadap ketetapan bantuan
keuangan serta bantuan teknologi kepda negara-negara berkembang. Seperti
Global Environment Fasility (GEF) yang memberikan bantuan dana kepada
negara-negara berkembang agar dapt melaksanakan projek-projek lingkungan,
mencari bantuan teknikal dan serta melakukan penelitian. Contoh lain adalah
dengan melatih personil secara teknis maupun ilmiah, yang tertera dalam 1996
Dumping Protocol, dan memberikan capacity building seperti yang tertera dalam
Brundtland Report.
Pembenaran terhadap Tanggung jawab yang berbeda :
1. UNGA Res 44/228
2. Deklarasi Rio, prinsip 7. Dengan adanya transfer teknologi yang ramah
lingkungan, tersedianya sumber keuangan baru dan tambahan serta
pengembangan kapasitas dari negara maju kepada negara berkembang untuk
mewujudkan partisipasi yang berarti (meaningful participation) dari negaranegara berkembang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Global dapat
terwujud dengan suatu landasan filosofis dan prinsip hukum internasional yang
kuat.
3. UNFCCC 1992 artikel 3.1. menyatakan:“....The Parties should protect the
climate system for the benefit of present and future generations of humankind,
on the basis of equity and in accordance with their common but differentiated
responsibilities and respective capabilities. Accordingly, the developed country
Parties should take the lead in combating climate change and the adverse effects
thereof.”Berdasarkan prinsip ini, negara-negara maju harus mengambil peranan
yang lebih besar dibanding negara berkembang dalam upaya melindungi sistem
iklim. Oleh karena itu, adalah cukup beralasan, berdasarkan prinsip ini, apabila
negara maju juga turut membantu negara berkembang dalam upaya melindungi
hutan di negara berkembang agar dapat menjaga sistem iklim global.
4. Biodiversity Convention
5. The International Law Assosiation’s International Committee on Legal Aspects
of Sustainable Development
Prinsip Common but Differentiated Responsibilities ini mengandung dua pokok
pikiran: pertama, penegasan pada tanggung jawab bersama dan sama tiap-tiap negara
untuk melindungi lingkungan hidup baik pada pada tingkat nasional, regional maupun
global; tanpa melihat negara besar atau kecil. Kedua, perhatian untuk melakukan usaha
mencegah, mengurangi dan mengontrol ancaman terhadap lingkungan hidup didasarkan
pada perbedaan keadaan masing-masing negara, khususnya dalam hal kontribusi tiaptiap negara tersebut pada terjadinya pertambahan intensitas ancaman terhadap
lingkungan hidup dan atau kerusakan lingkungan hidup yang terjadi.
Perbedaan kewajiban masing-masing negara ini sudah tampak dalam Deklarasi
Stockholm, terutama dalam prinsip 13 yang menekankan bahwa dalam menerapkan
standar lingkungan hidup, yang cocok untuk diterapkan di negara-negara maju, belum
tentu cocok untuk diterapkan di negara-negara berkembang serta harus diperhatikan
biaya sosial yang mungkin terjadi akibat penerapan standar itu di negara-negara
berkembang. Sedangkan Deklarasi Rio mencantumkan perbedaan kewajiban itu dalam
beberapa prinsip, antara lain, prinsip 6, yang membicarakan tindakan-tindakan
internasional dalam hal pembangunan dan lingkungan hidup harus memperhatikan
kepentingan dan kebutuhan semua negara, dengan memberikan prioritas khusus pada
negara-negara berkembang terutama negara-negara terbelakang serta negara yang rentan
secara lingkungan, serta prinsip 11, yang membicarakan masalah penerapan standar
lingkungan, pengaturan masalah serta prioritasnya harus disesuaikan dengan suasana
pembangunan dan lingkungan negara di mana standar itu akan diterapkan. Hal ini
dikarenakan suatu standar lingkungan yang cocok diterapkan di suatu negara, belum
tentu cocok jika diterapkan di negara lain serta akan menyebabkan adanya biaya
ekonomi dan sosial, yang dalam keadaan tertentu jumlahnya sangat besar dan tidak
tertanggungkan oleh negara tersebut, terutama di negara-negara berkembang.
Apapun dasar hukum untuk membenarkan prinsip tanggung jawab bersama
namun berbeda, telah sangat jelas bahwa prinsip tersebut memainkan peranan yang
sangat penting dalam rezin hukum lingkungan internasional. Namun, banyak pula
kritikan yang diberikan terhadap tanggung jawab ini. Di satu sisi, masyarakat
internaasionak terus berupaya mencari pendekatan berdasarkan prinsip kehati-hatian
terhadap isu-isu lingkungan,sementara di sisi lain kewajiban-kewajibannya
“dikualifikasikan” berdasarkan kemampuan masing-masing negara. Apapun alasannya,
isu lingkungan dan pembangunan sekarang ini merupakan suatu permasalahan yang
fenomenal, baik oleh ICJ pada khususnya maupun masyarakat internasional pada
umumnya.Untuk itu tanggung jawab yang berbeda ini tidak bisa di acuhkan begitu saja.
Komunitas internasional diberikan kesempatan untuk bertindak sebagai negara-negara
yang semuanya mengenali dan menyadari kontribusi terhadap degradasi lingkungan
secara global, namun tanggapan tanggung jawabnya berbeda berdasarkan tanggung
jawab historis, kemampuan teknis serta kebutuhan setiap negara untuk mengembangan
pembangunan berkelanjutan.
Komentar dan Pendapat :
:
1. Ntale Mustapher1, berpendapat bahwa perlu diadakan negosiasi tentang iklim
yang baru dengan target pengurangan emisi bagi semua negara. Dengan adanya
negosiasi ulang dan revisi pada Annex I, besar kemungkinan baik negara-negara
maju maupun negara-negara berkembang akan berkontribusi untuk
menyelesaikan masalah ini. Negara-negara berkembang juga sebaiknya, dengan
kemampuan serta kondisi masing-masing, ikut terlibat dalam pembangunan
iklim secara global. Negara-negara berkembang yang tidak memiliki kepasitas
untuk membatasi emisinya, sebaiknya menggunakan pendekatan CDM karena
lebih murah untuk diterapkan.
Dapat disimpulkan bahwa prinsip CBDR adalah suatu alat berharga tetapi harus
berfungsi dalam batasan-batasan tertentu. Tanggungjawab berbeda harus di ukur
dengan menggunakan:
a. Tidak boleh mengurangi obyek dan tujuan dari Konvensi;
b. Prinsip tersebut sebaiknya ditiadakan apabila perbedaan-perbedaan tidak ada
lagi;
c. Prinsip tersebut sebaiknya mengenali dan bereaksi terhadap perbedaan
polotis dan katagori lain.
2. Sumudu Atapattu 2 , berpendapat bahwa berdasarkan rezin iklim yang da
sekarang memang dapat dikatakan menguntungkan negara-negara berkembang.
Hal ini dapat dilihat dari Protokol Kyoto yang tidak mencantumkan target
pengurangan emisi kepada negara-negara berkembang. Namun apabila kita lihat
lebih dalam lagi bahwa sebenarnya Protokol tersebut hanya mengatur tentang
komitmen untuk masa sekarang, dimana masalah ini sebenarnya diciptakan oleh
negara-negara maju untuk pembangunan mereka sendiri dimana mereka
mendapatkan keuntungan, sementara fakta lain adalah bahwa dampak atau efek
negatif dari perubahan iklim akan lebih banyak dirasakan oleh negara-negara
berkembang. Orang boleh bertanya “apakah hal ini patut?”.
3. Senator Murray (USA) 3 , menyatakan bahwa memang negara-negara maju
secara historis lebih banyak memancarkan gas rumah kaca dibandingkan negaranegara berkembang. Selain itu, kita juga secara ekonomi lebih mampu untuk
mengeluarkan biaya-biaya untuk mengurangi emisi. Untuk itu, kita sebaiknya
memberikan bantuan kepada tetanga-tetangga kita melalui tranfer teknologi,
bantuan finansial, dll untuk menyelesaikan masalah ini. Senator Robert Kerrey
1 Ntale Mustapher, “Rethinking the Application of the Principle of ‘Common but Differentiated
Responsibilities’ in the International Climate Legal Framework”
2 Sumudu Atapattu, “Climate change, Equity and Differentiated Responsibilities: Does the Present
Climate Regime Favor Developing Countries?”
3 PAUL G. HARRIS, “Common But Differentiated Responsibility: The Kyoto Protocol And United States
Policy”
menambahkan bahwa oleh karena Negara-negara maju dan Negara-negara berkembang
dalam menyelesaikan masalah ini mulai dari tempat yang berbeda, maka wajar apabila
targetnya berbeda.
4. Rob Dellink, Michel den Elzen, Harry Aiking, Emmy Bergsma, Frans
Berkhout, Thijs Dekker and Joyeeta Gupta4, berpendapat bahwa adaptasi
merupakan upaya yang potensial untuk mengurangi emisi. Kita harus
menggunakan pendekatan yang mencari keseimbangan antara tanggung jawab
historis dan kemampuan untuk membayar (capacity to pay). Sebagai contoh
kasus dimana adanya kontribusi peningkatan suhu rata-rata permukaan global
yang diambil sebagai hasil emisi saat ini, maka kontribusi vterhadap perubahan
iklim negara-negara yang tergabung dalam Annex I adalah sebesar 55%, dengan
sisa kontribusi berasal dari negara-negara non Annex I. Namun, apabila kita
memasukan capacity to pay atau kemampuan untuk membayar sebagai salah
satu kriteria, maka kontribusi negara-negara Annex I akan meningkat menjadi
68%.
Menurut pendapat saya sendiri dari apa yang telah diuraikan di atas, bisa
ditarik kesimpulan bahwa semua negara, tanpa terkecuali mempunyai tanggung
jawab yang sama dalam melindungi lingkungan hidup serta mempromosikan
pembangunan berkelanjutan, namun karena ada perbedaan sosial, ekonomi,
kemajuan teknologi dan kontribusinya pada terjadinya kerusakan lingkungan hidup
global serta kondisi lingkungan hidupnya, masing-masing negara harus membagi
beban serta kewajiban yang berbeda-beda. Prinsip Common but Differentiated
Responsibilities sebenarnya berintikan pada persamaan (equality), bahwa,
sebagaimana dicantumkan dalam prinsip 7 Deklarasi Rio, beban terbesar dalam hal
perlindungan lingkungan global dibebankan pada negara-negara maju karena
dipandang sebagai negara-negara yang paling bertanggung jawab dalam hal
perusakan lingkungan hidup global serta karena kekayaan finansial dan kemajuan
teknologi yang dimilikinya. Sementara itu negara-negara berkembang, terutama
negara-negara terbelakang dan yang secara lingkungan rentan, mendapatkan
perlakuan berbeda karena keadaan ekonominya atau penguasaan pada teknologi
yang terbatas. Keadaan negara negara-negara berkembang itu, pada sisi yang lain,
juga membutuhkan bantuan, baik keuangan ataupun transfer teknologi dari negaranegara maju. Jelas bahwa prinsip ini menekankan pada terjadinya kerja sama
internasional serta berbagi beban yang dalam dataran tertentu merupakan bentuk
kompromi terbaik dalam menyelesaikan masalah lingkungan hidup global.
4 Rob Dellink, Michel den Elzen, Harry Aiking, Emmy Bergsma, Frans Berkhout, Thijs Dekker and
Joyeeta Gupta, “Common-but-differentiated-Responsibilities for adaptation financing: an assessment of
the contributions of countries”
Download