View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
PENGGUNAAN ETANOLAMIN SEBAGAI ABSORBER CO2
PADA PENENTUAN UMUR TERUMBU KARANG
DI KEPULAUAN SPERMONDE MELALUI
METODE LSC (Liquid Scintillation Counting)
Andi Asdiana Irma Sari Yusuf*, Muhammad Zakir, Alfian Noor,
Maming
Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Hasanuddin
Kampus Tamalanrea, Makassar, 90245
*Email: [email protected]
Abstrak. Penelitian penggunaan Etanolamin sebagai absorber CO2 pada
penentuan umur terumbu karang di kepulauan spermonde melalui metode LSC
(Liquid Scintillation Counting) telah dilakukan. Penelitian tersebut menggunakan
sampel terumbu karang dari pulau Langkai yang relatif jauh dari aktivitas
manusia. Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem yang hidup di dasar
perairan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3). Preparasi terumbu karang secara
kimia menggunakan campuran NaOH dengan H2O2 30% dilanjutkan dengan
campuran HClO4 dengan H2O2 30% dan terakhir dengan larutan HCl hingga
menghasilkan sampel yang bersih dengan pengurangan bobot 8,6 %. Matriks
karbonat sampel dihasilkan sebagai CO2 melalui reaksi dengan HCl 10% dan
penyerapan oleh etanolamin menghasilkan senyawa karbamat. Karbon total dalam
larutan sampel adalah 4,542 gram didapatkan melalui metode pengurangan
sebelum dan setelah absorbsi. Metode penanggalan radiokarbon didasarkan
pada pengukuran aktivitas spesifik sampel yang diperoleh dari hasil cacahan
LSC (Liquid Scintilation Counter) Hidex 300 SL, yakni 14,55 ± 1.1 dpm/gC.
Dari aktivitas spesifik tersebut maka umur terumbu karang diestimasikan
415,01 ± 91,08 tahun.
Kata Kunci: Radiocarbon dating, LSC (Liquid Scintilation Counting),
Terumbu Karang, kepulauan Spermonde.
Abstract. Penelitian penggunaan Etanolamin sebagai absorber CO2 pada
penentuan umur terumbu karang di kepulauan spermonde melalui metode LSC
(Liquid Scintillation Counting) telah dilakukan. Penelitian tersebut menggunakan
sampel terumbu karang dari pulau Langkai yang relatif jauh dari aktivitas
manusia. Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem yang hidup di dasar
perairan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3). Preparasi terumbu karang
secara kimia menggunakan campuran NaOH dengan H2O2 30% dilanjutkan
dengan campuran HClO4 dengan H2O2 30% dan terakhir dengan larutan HCl
hingga menghasilkan sampel yang bersih dengan pengurangan bobot 8,6 %.
Matriks karbonat sampel dihasilkan sebagai CO2 melalui reaksi dengan HCl 10%
dan penyerapan oleh etanolamin menghasilkan senyawa karbamat. Karbon total
dalam larutan sampel adalah 4,542 gram didapatkan melalui metode
pengurangan sebelum dan setelah absorbsi. Metode penanggalan radiokarbon
1
didasarkan pada pengukuran aktivitas spesifik sampel yang diperoleh dari
hasil cacahan LSC (Liquid Scintilation Counter) Hidex 300 SL, yakni
14,55 ± 1.1 dpm/gC. Dari aktivitas spesifik tersebut maka umur terumbu karang
diestimasikan 415,01 ± 91,08 tahun.
Keywords: Coral reefs, LSC (Liquid Scintilation Counting), radiocarbon dating,
Spermonde islands.
Pendahuluan
Indonesia termasuk salah satu
negara yang memiliki wilayah laut
yang sangat luas, dengan luas
wilayah perairan laut lebih dari 75%
yang mencapai 5,8 juta kilometer
persegi (Manapa, 2011). Laut
Indonesia kaya akan sumber daya
hayati, dengan kandungan terumbu
karang lebih dari 400 spesies
(Lasabuda, 2013).
Menurut Boekschoten dan Best
(1988),
salah
satu
sumber
keanekaragaman hayati laut terkaya
Indonesia
yaitu
kepulauan
Spermonde. Kepulauan ini memiliki
biodiversitas
tinggi
dan
direkomendasikan sebagai pilot
proyek
untuk
riset
dalam
biodiversitas dan ekosistem laut di
kawasan Asia Pasifik. Di masa
depan,
kepulauan
Spermonde
dicanangkan sebagai laboratorium
hidup dan zone riset serta menjadi
kawasan riset prioritas yang dibiayai
negara.
Perairan kepulauan Spermonde
diidentifikasi seluas ±400.000 ha.
Kepulauan Spermonde adalah salah
satu kawasan laut paling penting di
Sulawesi
Selatan,
seperti
dikemukakan Boekschoten dan Best
(1988) bahwa dari berbagai macam
spesies karang yang hidup di
Indonesia, 250 spesies diantaranya
hidup di kepulauan Spermonde
dalam area terumbu karang seluas
150 km2.
Penentuan
umur
terumbu
karang dalam suatu perairan
memiliki manfaat yang sangat besar
dalam mempelajari kondisi geografi
asal sampel karang laut misalnya
untuk merunut dan mempelajari
pembentukan suatu formasi batuan di
suatu pantai dan juga dapat
digunakan untuk mengetahui umur
radiokarbon nyata air permukaan air
laut (Yuliati dan Akhadi, 2005).
Umur terumbu karang dapat
diketahui
dengan
metode
penanggalan radiokarbon. Metode
penanggalan radiokarbon merupakan
suatu metode yang didasarkan pada
perhitungan aktivitas 14C yang masih
terkandung dalam suatu sampel
(Pratikno dkk, 2009).
Setelah makhluk hidup tidak
menunjukkan aktivitas kehidupan
(mati), pemasukan 14C tidak terjadi
lagi tetapi karena sifat 14C yang
radioaktif, radionuklida 14C tetap
meluruh (Yuliati dan Akhadi, 2005).
Radionuklida 14C merupakan
radionuklida pemancar sinar beta
energi rendah (ββ: 0,155 MeV). Data
aktivitas sfesifik 14C pada sampel
sangat rendah meskipun sampel
tersebut masih segar. Oleh karena
itu, untuk keperluan pencacahan
radiasi yang dipancarkan oleh 14C
memerlukan
pencacah
khusus
dengan radiasi latar yang sangat
rendah (low background counter)
sehingga akan diperoleh hasil dengan
ketelitian yang tinggi. Pencacah yang
memiliki kemampuan tersebut yakni
LSC (Liquid Scintillation Counter)
dengan efisiensi pencacahan sekitar
99,99 % (Tjahaja dan Mutiah, 2000).
Jauhari
(2013)
meneliti
terumbu karang laut di pulau
2
Lanjukang kepulauan Spermonde
berdasarkan
pada
pengukuran
aktivitas 14C dengan metode LSC
(Liquid Scintillation Counting). Dari
penelitian tersebut diperoleh data
bahwa umur terumbu karang sampel
I adalah 0 tahun (kategori umur
karbon modern), sedangkan umur
terumbu karang sampel II dari lokasi
yang sama berumur lebih tua, yakni
669, 484 ± 20 tahun. Pada penelitian
tersebut dilakukan
praperlakuan
sampel dengan menggunakan NaOH
sebagai absorber pada proses
absorbsi CO2.
Metode absorbsi merupakan
praperlakuan sampel yang paling
sering diterapkan dalam penentuan
umur terumbu karang melalui
pengukuran aktivitas 14C dengan
menggunakan alat LSC (Liquid
Scintillation
Counter).
Metode
absorbsi CO2 memiliki efektivitas
yang tinggi, kualitas produk yang
baik dan relatif mudah serta murah
jika
ditinjau
dari
efektivitas
yang dimiliki (Naibaho, 2012).
Pelarut yang paling banyak
digunakan pada proses absorbsi
CO2 sebagai absorber yaitu senyawa
amina karena senyawa tersebut
dapat
bereaksi
dengan
CO2
membentuk senyawa kompleks
(ion karbamat) dengan ikatan kimia
yang lemah. Ikatan tersebut dapat
dengan mudah terputus dengan
pemanasan (mild heating) sehingga
regenerasi
absorber
(senyawa
amina) dapat dengan mudah terjadi
(Wang dkk, 2004).
Menurut Yu dkk (1985), salah
satu
senyawa
amina
yang
paling sering digunakan sebagai
absorber
pada
absorbsi
CO2
adalah
monoetanolamin
atau
etanolamin. Etanolamin memiliki
kemampuan menyerap CO2 yang
baik, laju absorpsi yang cepat dan
mudah untuk diregenerasi.
Berdasarkan hal tersebut maka
telah
dilakukan
penelitian
penggunaan etanolamin sebagai
absorber CO2 pada penentuan umur
terumbu karang di kepulauan
Spermonde melalui metode LSC
(Liquid Scintillation Counting).
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian tersebut telah
dilaksanakan
pada
bulan
Agustus - November 2014 di
Laboratorium
Kimia
Radiasi,
Jurusan Kimia Fakultas MIPA,
Universitas Hasanuddin.
Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi alat
sampling berupa SCUBA (Self
Contained Underwater Breathing
Apparatus), tali dan kantong sampel.
Alat preparasi berupa labu alas bulat,
impiger, corong pisah, kolom
absorbsi, gelas piala, mortar, sarung
tangan, oven, palu dan alat-alat gelas
yang
umum
digunakan
di
laboratorium serta alat pencacah
radiasi β dari karbon-14 sampel yaitu
LSC Hidex 300 SL.
Bahan Penelitian
Bahan-bahan penelitian ini
adalah H2O2 30 %, HClO4 1 N,
NaOH 1 N, etanolamin, gas N2 HP
(High Purity), HCl 10 %, AgNO3,
silica
gel,
marmer,
sintilator
aqualight LLT, kertas saring,
akuades dan terumbu karang.
Prosedur Penelitian
1. Pengambilan Terumbu Karang
Sampel diperoleh dari pulau
Langkai kepulauan Spermonde,
Sulawesi Selatan, dengan kedalaman
4-5 meter dari permukaan laut.
Pengambilan contoh terumbu karang
dibantu oleh penyelam SCUBA
3
dengan alat bantu berupa dril dan
palu.
2. Pencucian Terumbu Karang
Pencucian dilakukan dengan
dua tahap yaitu pencucian fisik dan
pencucian kimia.
a. Pencucian
Fisik
(Pencucian
Tahap Awal)
Sampel terumbu karang
dicuci pada air mengalir dengan
disikat
beberapa
kali
yang
dilanjutkan
dengan
pembilasan
dengan aquades hingga bersih.
Setelah pencucian fisik, sampel
terumbu karang ditempatkan dalam
wadah dan dikeringkan. Kemudian
terumbu karang dipotong menjadi
beberapa potongan kecil dan
ditimbang untuk mengetahui berat
awal sebelum dilakukan pencucian
kimia (Adkins dkk, 2002).
b. Pencucian Kimia (Pencucian
Tahap Kedua)
Pencucian kimia dimulai
dengan perendaman sampel terumbu
karang
ke dalam campuran
50/50 H2O2
30 % dan NaOH 1
N dalam gelas kimia 100 mL dan
diultrasonik selama ± 10 menit.
Setelah
itu,
larutan
pencuci
dipisahkan dari sampel dan dibilas
dengan akuades sampai busa
menghilang. Selanjutnya, sampel
terumbu karang direndam kembali
dalam campuran 50/50 H2O2 30 %
dan HClO4 1 N dalam gelas kimia
100 mL selama 30 detik - 2 menit
kemudian diultrasonik selama 15
menit.
Selanjutnya sampel dipisahkan
dari larutan pencuci dan dibilas
dengan akuades ± 3 kali. Proses
terakhir dalam pencucian kimia
adalah sampel terumbu karang
direndam dalam 10 mL larutan HCl
10% selama 15 - 60 detik. Kemudian
sampel terumbu karang dikeringkan
dalam oven
pada suhu 105⁰C
sampai kering dan ditimbang
kembali untuk mengetahui % berat
sampel yang hilang selama proses
pencucian kimia (Adkins dkk, 2002).
3. Praperlakuan Sampel
Setiap
potongan
terumbu
karang kering yang telah ditimbang
berat basah digerus dengan mortar
hingga menjadi serbuk halus. Untuk
persiapan analisis kandungan 14C
dalam sampel, disiapkan rangkaian
alat absorbsi CO2 yang dihubungkan
dengan tabung gas N2. Selanjutnya,
pada labu alas bulat dimasukkan
50 gram sampel.
Setelah itu, rangkaian alat
absorbsi dialiri gas N2 hingga
mencapai kolom absorbsi yang berisi
etanolamin kemudian valve dari
tabung gas ditutup. Selanjutnya,
valve pada corong pisah dibuka agar
HCl 10% dapat bereaksi dengan
sampel hingga kalsium karbonat
yang terdapat pada sambel tersebut
habis bereaksi. Pada reaksi tersebut
akan dihasilkan CO2 melalui reaksi
berikut :
CaCO3 + 2HCl
CaCl2 + H2O + CO2
Gas CO2 yang dihasilkan
dialirkan pada rangkaian alat
absorbsi melalui impinger yang
masing – masing berisi kertas saring
yang telah dibasahi AgNO3 dan
Silica gel. Di akhir rangkaian,
sampel ditampung pada kolom
absorbsi.
Gambar 1. Desain Alat pemisahan karbonat
sebagai CO2 sampel terumbu karang (Satrio dan
Sidauruk, 2010).
4
Selama proses absorbsi,
akan
timbul
panas
hingga
o
mencapai
temperatur
50
C.
Setelah larutan jenuh tercapai
temperatur
larutan
menurun
hingga kembali ke temperatur
ruangan
dan
berubah
warna
menjadi
kekuningan. Setelah
proses absorbsi selesai, larutan
dipipet sebanyak 8 mL ke dalam
botol vial 20 mL kemudian
ditambahkan 12 mL Aqualight LLT.
Skema alat absorbasi CO2 dalam
sampel terumbu karang dapat dilihat
pada gambar 1tersebut.
4. Pengukuran Aktivitas
Terumbu Karang
14
C pada
Aktivitas karbon-14 dalam
sampel dinyatakan dalam satuan
aktivitas,
yang merupakan
peluruhan setiap menit (DPM) dari
14
C. Hasil pencacahan sampel
dengan pencacah sintilasi cair Hidex
300
SL
menghasilkan
data
dalam satuan CPM (cacahan per
menit) dan TDCR (Triple To
Double Coincidance Ratio) atau
yang dikenal dengan istilah efisiensi
pencacahan (E).
Hal yang sama dilakukan pada
pencacahan background dengan
mengisi 12 mL sintilator ke dalam
vial 20 mL dan dicacah dengan LSC
Hidex 300 SL.
5. Penentuan
Karang
Umur
Terumbu
Umur sampel terumbu karang
dapat
dihitung
berdasarkan
perbandingan
aktivitas
spesifik
karbon moderen (15.3±0.1 dpm/grC)
terhadap aktivitas spesifik sampel
yang diperoleh dari hasil pencacahan
dengan menggunakan persamaan laju
peluruhan radiokarbon:
t =
t1⁄
2
ln 2
ln
A0
A
= Radioaktivitas isotop 14C
dalam sampel
Ao = Radioaktivitas isotop 14C
pada saat tanaman atau
hewan tersebut hidup (15.3 ±
0.1) DPM (Libby, 1960)
t1/2 = Waktu paruh = 5730 ± 40
tahun
ln2 = 0.693
A
Hasil dan Pembahasan
Cpm
E = Dpmx 100%
Perhitungan
statistik
pencacahan
sampel
radioaktif
menggunakan
LSC
merupakan
perhitungan peluruhan yang sangat
alami pada unsur radioaktif yang
memancarkan partikel beta murni
setiap waktu (random decay).
14
Penentuan
aktivitas
C
dalam sampel terumbu karang
dapat diketahui melalui pencachan
sampel
dengan
LSC
Hidex
300 SL. Campuran homogen sampel
dan sintilator dicacah dengan
perangkat LSC Hidex 300 SL dengan
waktu pencacahan 1-1440 menit.
Sampel terumbu karang yang
berasal dari pulau Langkai kepulauan
Spermonde pada koordinat S: 05⁰ 01'
47,055" E: 119 ⁰ 05' 50, 272''
ditentukan
umurnya
melalui
penanggalan radiokarbon dengan
metode LSC (Liquid Scintillation
Counting).
Gambar 2. Sampel terumbu karang asal pulau
Langkai kepulauan Spermonde.
5
Proses pengerjaan yang harus
dilakukan untuk penentuan aktivitas
14
C dalam sampel terumbu karang
melalui metode LSC (Liquid
Scintillation Counter) meliputi tahap
preparasi sampel meliputi pencucian
sampel baik secara fisik maupun
kimia, serta absorbsi CO2 dari sampel
dengan menggunakan absorber yang
sesuai dan pengukuran aktivitas 14C
untuk menentukan umur sampel
terumbu karang.
4.1 Pencucian Terumbu Karang
Secara
umum,
tujuan
pencucian sampel yaitu untuk
Tabel 1.
memisahkan karbon dari segala
pengotor organik maupun anorganik
sehingga sampel bebas dari karbon
yang berasal dari pengotor sehingga
hasil cacahan murni berasal dari
aktivitas 14C yang berasal dari
sampel. Pencucian sampel terdiri atas
2 tahap yaitu pencucian secara fisik
dan kimia.
Hilangnya zat pengotor dan
sumber karbon pada saat pencucian
dapat diketahui dengan melakukan
penimbangan berat kering sampel
terumbu karang sebelum dan setelah
pencucian seperti yang dapat dilihat
pada Tabel 1.
Data perbandingan bobot terumbu
kepulauan
Spermonde
sebelum
pencucian.
Terumbu Karang
Sebelum Pencucian
(gram)
karang pulau
dan
setelah
Langkai
proses
Setelah pencucian
(gram)
Sampel
276,505
252,653
mortar. Wujud sampel tersebut
Selisih berat kedua sampel
mengakibatkan ruang kontak antara
tersebut merupakan jumlah berat
HCl 10% dengan sampel menjadi
sampel yang hilang pada saat
lebih luas dan reaksi yang terjadi
pencucian. Berat sampel yang hilang
dapat berlangsung dengan cepat.
tidak jauh berbeda dengan yang
Ketika sampel terumbu karang
dipaparkan oleh Adkinds dkk (2002)
direaksikan
dengan HCl 10% akan
bahwa proses pencucian sampel
menghasilkan gas CO2. Reaksi yang
dengan senyawa kimia seperti di atas
terjadi antara kalsium karbonat dan
dapat menghilangkan berat sampel
asam klorida adalah sebagai berikut:
berkisar
5-10%
dari
berat
CaCO3(s) + HCl (l)
CaCl2(s) +
sebelumnya.
CO2 (gas) + H2O (l)
4.2 Praperlakuan Sampel
Proses
selanjutnya
yaitu
Penyusun
utama
terumbu
mengalirkan gas CO2 melalui tabung
karang adalah karbonat. Karbonat
impinger berisi kertas saring yang
yang terdapat pada terumbu karang
telah ditetesi AgNO3, dimaksudkan
tersebut dapat dipisahkan dengan
untuk menjerap kelebihan asam yang
cara mereaksikannya dengan HCl
dihasilkan pada saat reaksi antara
10% ke dalam 40 gram serbuk
CaCO3 dan HCl 10% terjadi,
sampel di dalam labu alas bulat.
sedangkan silica gel pada tabung
Sampel yang digunakan, berupa
impinger berikutnya berfungsi untuk
serbuk halus yang diperoleh melalui
menjerap kelebihan air.
penggerusan dengan menggunakan
6
Pada kolom absorbsi, gas CO2
akan diserap oleh etanolamin. Gas
CO2 yang terserap akan bereaksi
dengan etanolamin menghasilkan
senyawa karbamat. Pada proses ini,
tidak semua gas CO2 yang dialirkan
ke dalam larutan etanolamin mampu
ditangkap yang ditandai dengan
adanya gelembung gas CO2 yang
melewati
permukaan
larutan
absorber. Reaksi yang terjadi adalah
sebagai berikut:
Reaksi antara etanolamin
yang berfasa cair dengan CO2 yang
berfasa gas menyebabkan reaksi
berlangsung
heterogeous.
Pada
peristiwa absorbsi terbentuk ikatan
kimia antara absorber etanolamin
dengan CO2 sebagai absorbat (zat
terserap). Senyawa karbamat yang
terbentuk akan diukur dengan LSC
(Liquid Scintillation Counting) yang
bertujuan menentukan besarnya
aktivitas 14C.
Jumlah CO2 yang berhasil
diserap sebesar 4,542 g sedangkan
CO2 yang terdapat di dalam sampel
sebanyak 8,333 g. Efisiensi absorbsi
CO2 oleh etanolamin yakni 51,19%.
4.3 Pengukuran Aktivitas 14C pada
Terumbu Karang
Dengan menentukan sisa
aktivitas 14C yang dikandung oleh
sampel terumbu karang akan
berkorelasi dengan umur yang
terhitung sejak contoh tersebut tidak
lagi menunjukan aktivitas kehidupan.
Pencacah sintilasi cair yang
digunakan
untuk
menentukan
14
aktivitas C memiliki keistimewaan
spesifik jika dibandingkan dengan
alat pencacah lainnya,
yakni
memiliki system software MikroWin
2000 yang mampu memberikan hasil
cacahan absolut. Alat LSC (Liquid
Scintillation Counter) Hidex 300 SL
berperan penting dalam mendeteksi
pancaran partikel β dari 14C pada
sampel.
Radioisotop pemancar β pada
metode pencacahan ini bekerja atas
dasar interaksi larutan senyawa
organik yang dapat berfluorisensi
jika berinteraksi dengan radiasi.
Dalam hal ini,
senyawa karbamat
yang terbentuk dari hasil penyerapan
oleh etanolamin terhadap gas CO2.
Pada proses pencacahan
diperlukan 8 mL larutan sampel dan
12 mL sintilator yang dicampur ke
dalam vial 20 mL. Proses
pencampura larutan sampel dan
sintilator diusahakan agar tidak
kontaminasi oleh udara bebas yang
mengandung CO2 bebas. Pencacahan
dengan LSC Hidex 300 SL dilakukan
dalam rentang waktu 1–240 menit.
Analisis sampel dengan metode ini
melibatkan larutan sintilator yang
akan bertumbukan dengan molekul
pelarut hingga tereksitasi. Pada saat
inilah akan dilepaskan energi dalam
bentuk foton atau kelipan cahaya.
Kelipan cahaya tersebut mempunyai
panjang gelombang tertentu dan jika
sampai
pada
lapisan
fotokatode di PMT (Photo Multiplier
Tube) akan melepaskan elektron dari
lapisan tersebut. Elektron tersebut
akan diperbanyak oleh dinodedinode yang terdapat dalam PMT
dan pada akhirnya elektron ini akan
terkumpul pada anodenya dalam
bentuk pulsa listrik.
Pencacahan sampel terdiri
atas 2 tahap yaitu, tahap penentuan
waktu optimum pencacahan dan
tahap penentuan nilai rata-rata nilai
cacahan
sampel
pada
waktu
optimum.
Berikut
data
hasil
penentuan
waktu
optimum
7
6000
600
4000
400
2000
200
0
0
0
200
CPMs
DPMs
pencacahan dari aktivitas 14C yang
terkandung dalam sampel dapat
dilihat pada Gambar 3.
400
Waktu Cacahan (menit)
Gambar 6. Grafik hubungan hasil DPM dan
CPM sampel terumbu karang
terhadap waktu
Berdasarkan Gambar 3 dapat
dilihat hasil pencacahan pada sampel
terumbu karang dari menit ke- 1
hingga
menit
ke-60
terjadi
penurunan. Namun pada menit ke90 nilai aktivitas 14C mulai mencapai
kestabilan dan mencapai titik
optimum pada menit ke-150. Nilai
aktivitas 14C yang berfluktuasi
diakibatkan oleh efek pendar
kimiawi (chemiluminescence) ketika
pencacahan
berlangsung
dan
ketidakstabilan fasa antara larutan
karbamat dengan sintilator pada awal
proses pencacahan. Ketidakstabilan
fasa
disebabkan
oleh
efek
pemadaman (quenhcing).
Efek pemadaman merupakan
pergeseran spektrum fluoresensi ke
arah energi yang lebih rendah.
Semakin besar pemadaman yang
terjadi maka spektrum fluoresensi
semakin ke arah energi yang lebih
rendah. Efek pemadaman sendiri
terjadi karena adanya oksigen atau
kotoran dalam vial wadah pelarut
sintilasi. Hal tersebut menyebabkan
efisiensi pencacahan menjadi rendah.
Hal tersebut terlihat pada cacahan
menit ke-5. Hasil cacahan yang
diperoleh akan mempengaruhi umur
sampel yang diperoleh nantinya.
Penentuan waktu pencacahan
optimum
dilakukan
untuk
menentukan waktu terbaik dihasilkan
nilai DPM dan memiliki nilai
efisiensi pencacahan (TDCR) yang
stabil sebagai tanda bahwa proses
pencacahan
sampel
berjalan
maksimal. Pada menit ke 90–240
nilai aktivitas 14C mulai mencapai
kestabilan. Penyebabnya adalah
kondisis fisik dan kimia larutan
sampel dengan sintilator yang mulai
stabil. Kestabilan nilai aktivitas 14C
sangatlah penting untuk memperoleh
hasil
grafik
cacahan
yang
eksponensial.
Dari grafik tersebut diperoleh
waktu pencacahan optimum sampel
yaitu selama 150 menit, dengan nilai
DPM sebesar 108,42, CPM sebesar
59,58 dan nilai TDCR sebesar 0,549.
Pemilihan
waktu
pencacahan
optimum
tersebut
berdasarkan
asumsi bahwa pada pencacahan
selama 150 menit yang berada di
antara menit ke 90-240 dihasilkan
nilai DPM dan nilai efisiensi
pencacahan (TDCR) yang paling
stabil. Sampel kemudian dicacah
berulang
kali
selama
waktu
optimum. Hasil cacahan pada waktu
optimum
digunakan
untuk
menghitung aktivitas spesifik dari
14
C dalam sampel. Berikut data hasil
pencacahan sampel pada waktu
pencacahan optimum selama 150
menit dengan 7 kali pengulangan
dapat dilihat pada tabel 2.
8
Tabel 2. Data hasil pencacahan Sampel Terumbu Karang Pulau Langkai
Kepulauan Spermonde dengan Perangkat LSC Hidex 300 SL pada
waktu optimum pencacahan selama 150 menit dengan 7 kali
pengulangan.
Sampel
Waktu
Cacahan
CPM
DPM
TDCR
(menit)
1.
150
53,310
107,440
0,496
2.
150
50,350
95,360
0,528
3.
150
51,580
96,550
0,534
4.
150
51,020
99,350
0,513
5.
150
50,070
92,110
0,543
6.
150
51,150
98,150
0,521
7.
150
49,920
93,310
0,534
51,057
97,467
0,524
Rata-rata
Sumber: Data hasil pencacahan sampel selama 150 menit dengan 7 kali
pengulangan menggunakan LSC Hidex 300 SL, September- Oktober
2014.
No.
bilangan aktivitas isotop 14C yang
terukur, yaitu dengan menggunakan
background counting. Background
karbon yang berumur tua sekali
maka dipilihlah marmer sebagai
pengoreksi sampel terumbu karang.
Ketika marmer menunjukkan masih
adanya radioaktivitas 14C maka
diduga aktivitas spesifik 14C dari
fosil-fosil (dalam hal ini terumbu
karang)
menyimpang
sebesar
aktivitas spesifik 14C pada marmer
tersebut. Berikut hasil cacahan
background untuk penentuan waktu
optimum.
170.000
80.000
150.000
70.000
130.000
60.000
CPMb
110.000
DPMb
Berdasarkan tabel diatas,
diperoleh nilai rata-rata CPM sampel
sebesar 51,057, nilai rata-rata DPM
sebesar 97,467 dan nilai rata-rata
TDCR yaitu 0,524. Perlakuan yang
sama juga dilakukan terhadap
pencacahan background yaitu 8 mL
marmer dan 12 mL sintilator
dimasukkan kedalam vial kemudian
dicacah dengan alat LSC Hidex
300 SL.
Pemilihan marmer sebagai
background karena marmer termasuk
dead
carbon.
Dead
carbon
merupakan suatu material yang
dianggap tidak memberikan aktivitas
radioaktif
atau
aktivitasnya
mendekati nol dan digunakan
sebagai koreksi terhadap sinar
kosmik atmosfer yang terhitung oleh
LSC.
Setiap pengukuran sampel
tergantung pada kepekaan detektor
terhadap sinar kosmik di atmosfir,
sehingga perlu adanya koreksi
90.000
50.000
0
100
200
300
Waktu Cacahan (menit)
Gambar 7. Grafik hubungan hasil DPM dan
CPM background terhadap waktu
9
Nilai
cacahan
optimum
background dari grafik di atas yaitu
pada cacahan selama 150 menit.
Dimana nilai CPM, DPM dan TDCR
pada waktu tersebut menunjukkan
nilai yang relatif selalu mengalami
penurunan sejak awal pencacahan
hingga
menit
tersebut
dan
mengalami
kenaikan
setelah
melewati cacahan 150 menit. Hasil
ini selanjutnya digunakan untuk
menentukan nilai rata-rata aktivitas
background pada waktu pencacahan
optimum 150 menit. Data nilai ratarata aktivitas background pada waktu
pencacahan optimum 150 menit
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Data nilai rata-rata aktivitas background dengan Perangkat LSC Hidex
300 SL pada waktu optimum pencacahan selama 150 menit.
Background
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Waktu
Cacahan
(menit)
150
150
150
150
150
150
150
Average
CPM
DPM
TDCR
54,720
53,380
52,940
53,550
52,940
53,360
53,540
53,490
98,880
93,220
91,790
93,050
93,320
93,090
93,290
93,806
0,553
0,570
0,576
0,575
0,567
0,573
0,573
0,570
Sumber : Data nilai rata-rata aktivitas background dengan LSC Hidex 300 SL,
September- Oktober 2014.
Hasil pencacahan background
digunakan
untuk
mengetahui
besarnya kontribusi radiasi yang
berasal dari lingkungan pencacahan
sintilasi cair yang sifatnya bukan
sampel. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya,
hasil
cacahan
background tersebut juga digunakan
sebagai faktor koreksi terhadap
cacahan sampel.
4.4 Penentuan Aktivitas Spesifik
Sampel Terumbu Karang
Aktivitas spesifik sampel
terumbu karang dapat ditentukan dari
selisih hasil cacahan Counts Per
Minute (CPM) sampel terhadap hasil
cacahan background yang dihasilkan
sebagai faktor koreksi terhadap hasil
cacahan sampel yang dibagi dengan
efisiensi pencacahan Triple To
Double Coincidance Ratio (TDCR)
yang dikonversi ke dalam satuan
Disintegration Per Minute (DPM),
dibagi dengan kadar total karbon
dalam 8 mL sampel yang dicampur
dengan 12 mL sintilator. Dari
penjelasan tersebut maka dapat
dilakukan
penentuan
aktivitas
spesifik sampel. Aktivitas spesifik
rata-rata (As) sampel dari hasil
perhitungan disintegrasi per menit
(DPM) per satuan masa karbon
sampel dapat dilihat pada Tabel 7.
10
Tabel 4. Data Aktivitas Spesifik Rata-rata 14C Sampel Terumbu Karang Asal
Pulau Langkai Kepulauan Spermonde
Sample
DPM
C-total(g)
Coral Reefs
3,194
0,2477
Berdasarkan
data
hasil
pencacahan sampel pada Tabel 7,
terlihat aktivitas spesifik 14C pada
sampel 14,55 ± 0,2 dpm/gC. Nilai
disintegrasi
spesifik
(aktivitas
sesifik) rata-rata 14C yang diperoleh
dari sampel tersebut lebih rendah jika
dibandingkan dengan nilai aktivitas
spesifik rata-rata standar karbon
modern yang
sering digunakan
dalam praktek yang berkisar antara
15,3 ± 0,1 dpm/ gC.
Nilai disintegrasi spesifik
menunjukkan bahwa telah terjadi
peluruhan pada inti atom yang
dimulai dari sampel terumbu karang
tersebut mati sehingga aktivitas 14C
yang terkandung dalam sampel
berkurang dan lebih kecil dari
aktivitas spesifik karbon modern
15,3 ± 0,1 dpm/gC.
As(dpm/gC)
As C-14
life*
14, 55 ± 1,1
15,30 ± 0,1
hewan tersebut hidup (15.3 ±
0.1) DPM (Libby, 1960)
t1/2 = Waktu paruh = 5730 ± 40
tahun
ln2 = 0.693
Dari persamaan tersebut,
hasil pengukuran umur sampel
terumbu karang pulau Langkai
kepulauan Spermonde yaitu 415,01 ±
91,08 tahun.
Jauhari (2013) juga meneliti
terumbu karang laut di pulau
Lanjukang kepulauan Spermonde
melalui pengukuran aktivitas 14C
dengan metode LSC (Liquid
Scintillation
Counting).
Dari
penelitian terumbu karang asal pulau
Lanjukang
didapatkan
hasil
pengukuran umur 669, 484 ± 20
tahun. Pulau Lanjukang berjarak
5,5 km dari pulau Langkai, berarti
umur terumbu karang dari kedua
pulau tidak jauh berbeda.
4.5 Perhitungan Umur Terumbu
Karang
Umur sampel terumbu karang
dapat
ditentukan
melalui
perbandingan nilai aktivitas spesifik
karbon modern (15,3 ± 0,1 dpm/gC)
dengan aktivitas spesifik sampel
yang diperoleh dengan menggunakan
persamaan
laju
peluruhan
radiokarbon :
t 1⁄
𝐴0
2
𝑡 =
𝑙𝑛
𝑙𝑛 2 𝐴
Referensi
Adkins, J.F., Griffin, S., Kashgaria,
M., Cheng, H., Druffel,
E.R.M., Boyle, E.A., Edwards,
R.L., Shen, C.C., 2002,
Radiocarbon Dating of DeepSea
Corals,
Radiocarbon
Journal, Arizona Board of
Regents on Behalf of the
University of Arizona, 44 (2):
567-580.
Keterangan :
A = Radioaktivitas isotop 14C
dalam sampel
Ao = Radioaktivitas isotop 14C
pada saat tanaman atau
Boekschoten, G. J. dan Best, M. B.,
1988, Fossil and Recent
Shallow Water Corals from
The Atlantic Islands Off
Western Africa, Life and
11
Marine Science Journal , 68
(2): 99-112.
Badan Tenaga Nuklir Nasional,
Jakarta, 5 (1): 68-82.
Jauhari, 2013, Penentuan Umur
Terumbu
Karang
Di
Kepulauan
Spermonde
Melalui Pengukuran Aktivitas
Karbon-14 Dengan Metode
LSC
(Liquid
Scintillation
Counting),
Skripsi
tidak
diterbitkan, Jurusan Kimia,
Fakultas MIPA, Unhas.
Satrio dan Sidauruk, P., 2010, 2Metoksietilamin
sebagai
Alternatif
Absorber
CO2 untuk Analisis 14C dalam
Tanah dan Air Tanah, Jurnal
Ilmiah Aplikasi Isotop dan
Radiasi,
Pusat
Aplikasi
Teknologi Isotop dan Radiasi,
6 (2):
117-124.
Lasabuda, R., 2013, Pembangunan
Wilayah Pesisir Dan Lautan
dalam
Perspektif
Negara
Kepulauan Republik Indonesia,
Jurnal Ilmiah Platax, FPIK
UNSRAT, 1 (2): 92-101.
Tjahaja, I.P., dan Mutiah, 2000,
Metode Pencacahan Sintilasi
Cair: Salah Satu Alternatif
untuk Pengukuran α dan β
Total
dalam
Sampel
Lingkungan, Indo. J. Nuc. Sci.
Tech., 1 (1): 31-46.
Naibaho, A.E.A, 2012, Absorpsi CO2
Melalui Kontaktor Membran
Serat Berongga Menggunakan
Larutan Penyerap Campuran
Senyawa Amina (MEA/DEA:
Variasi Komposisi Amina,
Skripsi,
Fakultas
Teknik,
Program
Sarjana
Teknik
Kimia, Universitas Indonesia,
Depok.
Wang, R.D, Li, D.F., Zhou, C., Liu,
M., dan Liang, D.T., Impact of
DEA Solutions with and
without CO2 Loading on
Porous
Polypropylene
Membranes Intended for Use
As Contractors, Jurnal Sains
Membran, 229 (1-2): 147-157.
Pratikno, B., Abidin, Z., Sidauruk,
P., dan Satrio, 2009, Aplikasi
Isotop Alam 18O, 2H dan 14C
untuk Studi Air Tanah di
Kepulauan Seribu, Jurnal
Ilmiah Aplikasi Isotop dan
Radiasi,
Pusat
Aplikasi
Teknologi Isotop dan Radiasi,
Yuliati, H. dan Akhadi, M., 2005,
Radionuklida
Kosmogenik
untuk Penanggalan, Jurnal
Radiasi dan Biomedika Nuklir,
Puslitbang
Keselamatan
Radiasi dan Biomedika Nuklir,
Pusat Radiasi Batan, 6 (3):
163-171.
12
Download