PENGGUNAAN ETANOLAMIN SEBAGAI ABSORBER CO2 PADA PENENTUAN UMUR TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN SPERMONDE MELALUI METODE LSC (Liquid Scintillation Counting) Andi Asdiana Irma Sari Yusuf*, Muhammad Zakir, Alfian Noor, Maming Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Hasanuddin Kampus Tamalanrea, Makassar, 90245 *Email: [email protected] Abstrak. Penelitian penggunaan Etanolamin sebagai absorber CO2 pada penentuan umur terumbu karang di kepulauan spermonde melalui metode LSC (Liquid Scintillation Counting) telah dilakukan. Penelitian tersebut menggunakan sampel terumbu karang dari pulau Langkai yang relatif jauh dari aktivitas manusia. Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem yang hidup di dasar perairan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3). Preparasi terumbu karang secara kimia menggunakan campuran NaOH dengan H2O2 30% dilanjutkan dengan campuran HClO4 dengan H2O2 30% dan terakhir dengan larutan HCl hingga menghasilkan sampel yang bersih dengan pengurangan bobot 8,6 %. Matriks karbonat sampel dihasilkan sebagai CO2 melalui reaksi dengan HCl 10% dan penyerapan oleh etanolamin menghasilkan senyawa karbamat. Karbon total dalam larutan sampel adalah 4,542 gram didapatkan melalui metode pengurangan sebelum dan setelah absorbsi. Metode penanggalan radiokarbon didasarkan pada pengukuran aktivitas spesifik sampel yang diperoleh dari hasil cacahan LSC (Liquid Scintilation Counter) Hidex 300 SL, yakni 14,55 ± 1.1 dpm/gC. Dari aktivitas spesifik tersebut maka umur terumbu karang diestimasikan 415,01 ± 91,08 tahun. Kata Kunci: Radiocarbon dating, LSC (Liquid Scintilation Counting), Terumbu Karang, kepulauan Spermonde. Abstract. Penelitian penggunaan Etanolamin sebagai absorber CO2 pada penentuan umur terumbu karang di kepulauan spermonde melalui metode LSC (Liquid Scintillation Counting) telah dilakukan. Penelitian tersebut menggunakan sampel terumbu karang dari pulau Langkai yang relatif jauh dari aktivitas manusia. Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem yang hidup di dasar perairan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3). Preparasi terumbu karang secara kimia menggunakan campuran NaOH dengan H2O2 30% dilanjutkan dengan campuran HClO4 dengan H2O2 30% dan terakhir dengan larutan HCl hingga menghasilkan sampel yang bersih dengan pengurangan bobot 8,6 %. Matriks karbonat sampel dihasilkan sebagai CO2 melalui reaksi dengan HCl 10% dan penyerapan oleh etanolamin menghasilkan senyawa karbamat. Karbon total dalam larutan sampel adalah 4,542 gram didapatkan melalui metode pengurangan sebelum dan setelah absorbsi. Metode penanggalan radiokarbon 1 didasarkan pada pengukuran aktivitas spesifik sampel yang diperoleh dari hasil cacahan LSC (Liquid Scintilation Counter) Hidex 300 SL, yakni 14,55 ± 1.1 dpm/gC. Dari aktivitas spesifik tersebut maka umur terumbu karang diestimasikan 415,01 ± 91,08 tahun. Keywords: Coral reefs, LSC (Liquid Scintilation Counting), radiocarbon dating, Spermonde islands. Pendahuluan Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki wilayah laut yang sangat luas, dengan luas wilayah perairan laut lebih dari 75% yang mencapai 5,8 juta kilometer persegi (Manapa, 2011). Laut Indonesia kaya akan sumber daya hayati, dengan kandungan terumbu karang lebih dari 400 spesies (Lasabuda, 2013). Menurut Boekschoten dan Best (1988), salah satu sumber keanekaragaman hayati laut terkaya Indonesia yaitu kepulauan Spermonde. Kepulauan ini memiliki biodiversitas tinggi dan direkomendasikan sebagai pilot proyek untuk riset dalam biodiversitas dan ekosistem laut di kawasan Asia Pasifik. Di masa depan, kepulauan Spermonde dicanangkan sebagai laboratorium hidup dan zone riset serta menjadi kawasan riset prioritas yang dibiayai negara. Perairan kepulauan Spermonde diidentifikasi seluas ±400.000 ha. Kepulauan Spermonde adalah salah satu kawasan laut paling penting di Sulawesi Selatan, seperti dikemukakan Boekschoten dan Best (1988) bahwa dari berbagai macam spesies karang yang hidup di Indonesia, 250 spesies diantaranya hidup di kepulauan Spermonde dalam area terumbu karang seluas 150 km2. Penentuan umur terumbu karang dalam suatu perairan memiliki manfaat yang sangat besar dalam mempelajari kondisi geografi asal sampel karang laut misalnya untuk merunut dan mempelajari pembentukan suatu formasi batuan di suatu pantai dan juga dapat digunakan untuk mengetahui umur radiokarbon nyata air permukaan air laut (Yuliati dan Akhadi, 2005). Umur terumbu karang dapat diketahui dengan metode penanggalan radiokarbon. Metode penanggalan radiokarbon merupakan suatu metode yang didasarkan pada perhitungan aktivitas 14C yang masih terkandung dalam suatu sampel (Pratikno dkk, 2009). Setelah makhluk hidup tidak menunjukkan aktivitas kehidupan (mati), pemasukan 14C tidak terjadi lagi tetapi karena sifat 14C yang radioaktif, radionuklida 14C tetap meluruh (Yuliati dan Akhadi, 2005). Radionuklida 14C merupakan radionuklida pemancar sinar beta energi rendah (ββ: 0,155 MeV). Data aktivitas sfesifik 14C pada sampel sangat rendah meskipun sampel tersebut masih segar. Oleh karena itu, untuk keperluan pencacahan radiasi yang dipancarkan oleh 14C memerlukan pencacah khusus dengan radiasi latar yang sangat rendah (low background counter) sehingga akan diperoleh hasil dengan ketelitian yang tinggi. Pencacah yang memiliki kemampuan tersebut yakni LSC (Liquid Scintillation Counter) dengan efisiensi pencacahan sekitar 99,99 % (Tjahaja dan Mutiah, 2000). Jauhari (2013) meneliti terumbu karang laut di pulau 2 Lanjukang kepulauan Spermonde berdasarkan pada pengukuran aktivitas 14C dengan metode LSC (Liquid Scintillation Counting). Dari penelitian tersebut diperoleh data bahwa umur terumbu karang sampel I adalah 0 tahun (kategori umur karbon modern), sedangkan umur terumbu karang sampel II dari lokasi yang sama berumur lebih tua, yakni 669, 484 ± 20 tahun. Pada penelitian tersebut dilakukan praperlakuan sampel dengan menggunakan NaOH sebagai absorber pada proses absorbsi CO2. Metode absorbsi merupakan praperlakuan sampel yang paling sering diterapkan dalam penentuan umur terumbu karang melalui pengukuran aktivitas 14C dengan menggunakan alat LSC (Liquid Scintillation Counter). Metode absorbsi CO2 memiliki efektivitas yang tinggi, kualitas produk yang baik dan relatif mudah serta murah jika ditinjau dari efektivitas yang dimiliki (Naibaho, 2012). Pelarut yang paling banyak digunakan pada proses absorbsi CO2 sebagai absorber yaitu senyawa amina karena senyawa tersebut dapat bereaksi dengan CO2 membentuk senyawa kompleks (ion karbamat) dengan ikatan kimia yang lemah. Ikatan tersebut dapat dengan mudah terputus dengan pemanasan (mild heating) sehingga regenerasi absorber (senyawa amina) dapat dengan mudah terjadi (Wang dkk, 2004). Menurut Yu dkk (1985), salah satu senyawa amina yang paling sering digunakan sebagai absorber pada absorbsi CO2 adalah monoetanolamin atau etanolamin. Etanolamin memiliki kemampuan menyerap CO2 yang baik, laju absorpsi yang cepat dan mudah untuk diregenerasi. Berdasarkan hal tersebut maka telah dilakukan penelitian penggunaan etanolamin sebagai absorber CO2 pada penentuan umur terumbu karang di kepulauan Spermonde melalui metode LSC (Liquid Scintillation Counting). Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian tersebut telah dilaksanakan pada bulan Agustus - November 2014 di Laboratorium Kimia Radiasi, Jurusan Kimia Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin. Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat sampling berupa SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus), tali dan kantong sampel. Alat preparasi berupa labu alas bulat, impiger, corong pisah, kolom absorbsi, gelas piala, mortar, sarung tangan, oven, palu dan alat-alat gelas yang umum digunakan di laboratorium serta alat pencacah radiasi β dari karbon-14 sampel yaitu LSC Hidex 300 SL. Bahan Penelitian Bahan-bahan penelitian ini adalah H2O2 30 %, HClO4 1 N, NaOH 1 N, etanolamin, gas N2 HP (High Purity), HCl 10 %, AgNO3, silica gel, marmer, sintilator aqualight LLT, kertas saring, akuades dan terumbu karang. Prosedur Penelitian 1. Pengambilan Terumbu Karang Sampel diperoleh dari pulau Langkai kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, dengan kedalaman 4-5 meter dari permukaan laut. Pengambilan contoh terumbu karang dibantu oleh penyelam SCUBA 3 dengan alat bantu berupa dril dan palu. 2. Pencucian Terumbu Karang Pencucian dilakukan dengan dua tahap yaitu pencucian fisik dan pencucian kimia. a. Pencucian Fisik (Pencucian Tahap Awal) Sampel terumbu karang dicuci pada air mengalir dengan disikat beberapa kali yang dilanjutkan dengan pembilasan dengan aquades hingga bersih. Setelah pencucian fisik, sampel terumbu karang ditempatkan dalam wadah dan dikeringkan. Kemudian terumbu karang dipotong menjadi beberapa potongan kecil dan ditimbang untuk mengetahui berat awal sebelum dilakukan pencucian kimia (Adkins dkk, 2002). b. Pencucian Kimia (Pencucian Tahap Kedua) Pencucian kimia dimulai dengan perendaman sampel terumbu karang ke dalam campuran 50/50 H2O2 30 % dan NaOH 1 N dalam gelas kimia 100 mL dan diultrasonik selama ± 10 menit. Setelah itu, larutan pencuci dipisahkan dari sampel dan dibilas dengan akuades sampai busa menghilang. Selanjutnya, sampel terumbu karang direndam kembali dalam campuran 50/50 H2O2 30 % dan HClO4 1 N dalam gelas kimia 100 mL selama 30 detik - 2 menit kemudian diultrasonik selama 15 menit. Selanjutnya sampel dipisahkan dari larutan pencuci dan dibilas dengan akuades ± 3 kali. Proses terakhir dalam pencucian kimia adalah sampel terumbu karang direndam dalam 10 mL larutan HCl 10% selama 15 - 60 detik. Kemudian sampel terumbu karang dikeringkan dalam oven pada suhu 105⁰C sampai kering dan ditimbang kembali untuk mengetahui % berat sampel yang hilang selama proses pencucian kimia (Adkins dkk, 2002). 3. Praperlakuan Sampel Setiap potongan terumbu karang kering yang telah ditimbang berat basah digerus dengan mortar hingga menjadi serbuk halus. Untuk persiapan analisis kandungan 14C dalam sampel, disiapkan rangkaian alat absorbsi CO2 yang dihubungkan dengan tabung gas N2. Selanjutnya, pada labu alas bulat dimasukkan 50 gram sampel. Setelah itu, rangkaian alat absorbsi dialiri gas N2 hingga mencapai kolom absorbsi yang berisi etanolamin kemudian valve dari tabung gas ditutup. Selanjutnya, valve pada corong pisah dibuka agar HCl 10% dapat bereaksi dengan sampel hingga kalsium karbonat yang terdapat pada sambel tersebut habis bereaksi. Pada reaksi tersebut akan dihasilkan CO2 melalui reaksi berikut : CaCO3 + 2HCl CaCl2 + H2O + CO2 Gas CO2 yang dihasilkan dialirkan pada rangkaian alat absorbsi melalui impinger yang masing – masing berisi kertas saring yang telah dibasahi AgNO3 dan Silica gel. Di akhir rangkaian, sampel ditampung pada kolom absorbsi. Gambar 1. Desain Alat pemisahan karbonat sebagai CO2 sampel terumbu karang (Satrio dan Sidauruk, 2010). 4 Selama proses absorbsi, akan timbul panas hingga o mencapai temperatur 50 C. Setelah larutan jenuh tercapai temperatur larutan menurun hingga kembali ke temperatur ruangan dan berubah warna menjadi kekuningan. Setelah proses absorbsi selesai, larutan dipipet sebanyak 8 mL ke dalam botol vial 20 mL kemudian ditambahkan 12 mL Aqualight LLT. Skema alat absorbasi CO2 dalam sampel terumbu karang dapat dilihat pada gambar 1tersebut. 4. Pengukuran Aktivitas Terumbu Karang 14 C pada Aktivitas karbon-14 dalam sampel dinyatakan dalam satuan aktivitas, yang merupakan peluruhan setiap menit (DPM) dari 14 C. Hasil pencacahan sampel dengan pencacah sintilasi cair Hidex 300 SL menghasilkan data dalam satuan CPM (cacahan per menit) dan TDCR (Triple To Double Coincidance Ratio) atau yang dikenal dengan istilah efisiensi pencacahan (E). Hal yang sama dilakukan pada pencacahan background dengan mengisi 12 mL sintilator ke dalam vial 20 mL dan dicacah dengan LSC Hidex 300 SL. 5. Penentuan Karang Umur Terumbu Umur sampel terumbu karang dapat dihitung berdasarkan perbandingan aktivitas spesifik karbon moderen (15.3±0.1 dpm/grC) terhadap aktivitas spesifik sampel yang diperoleh dari hasil pencacahan dengan menggunakan persamaan laju peluruhan radiokarbon: t = t1⁄ 2 ln 2 ln A0 A = Radioaktivitas isotop 14C dalam sampel Ao = Radioaktivitas isotop 14C pada saat tanaman atau hewan tersebut hidup (15.3 ± 0.1) DPM (Libby, 1960) t1/2 = Waktu paruh = 5730 ± 40 tahun ln2 = 0.693 A Hasil dan Pembahasan Cpm E = Dpmx 100% Perhitungan statistik pencacahan sampel radioaktif menggunakan LSC merupakan perhitungan peluruhan yang sangat alami pada unsur radioaktif yang memancarkan partikel beta murni setiap waktu (random decay). 14 Penentuan aktivitas C dalam sampel terumbu karang dapat diketahui melalui pencachan sampel dengan LSC Hidex 300 SL. Campuran homogen sampel dan sintilator dicacah dengan perangkat LSC Hidex 300 SL dengan waktu pencacahan 1-1440 menit. Sampel terumbu karang yang berasal dari pulau Langkai kepulauan Spermonde pada koordinat S: 05⁰ 01' 47,055" E: 119 ⁰ 05' 50, 272'' ditentukan umurnya melalui penanggalan radiokarbon dengan metode LSC (Liquid Scintillation Counting). Gambar 2. Sampel terumbu karang asal pulau Langkai kepulauan Spermonde. 5 Proses pengerjaan yang harus dilakukan untuk penentuan aktivitas 14 C dalam sampel terumbu karang melalui metode LSC (Liquid Scintillation Counter) meliputi tahap preparasi sampel meliputi pencucian sampel baik secara fisik maupun kimia, serta absorbsi CO2 dari sampel dengan menggunakan absorber yang sesuai dan pengukuran aktivitas 14C untuk menentukan umur sampel terumbu karang. 4.1 Pencucian Terumbu Karang Secara umum, tujuan pencucian sampel yaitu untuk Tabel 1. memisahkan karbon dari segala pengotor organik maupun anorganik sehingga sampel bebas dari karbon yang berasal dari pengotor sehingga hasil cacahan murni berasal dari aktivitas 14C yang berasal dari sampel. Pencucian sampel terdiri atas 2 tahap yaitu pencucian secara fisik dan kimia. Hilangnya zat pengotor dan sumber karbon pada saat pencucian dapat diketahui dengan melakukan penimbangan berat kering sampel terumbu karang sebelum dan setelah pencucian seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1. Data perbandingan bobot terumbu kepulauan Spermonde sebelum pencucian. Terumbu Karang Sebelum Pencucian (gram) karang pulau dan setelah Langkai proses Setelah pencucian (gram) Sampel 276,505 252,653 mortar. Wujud sampel tersebut Selisih berat kedua sampel mengakibatkan ruang kontak antara tersebut merupakan jumlah berat HCl 10% dengan sampel menjadi sampel yang hilang pada saat lebih luas dan reaksi yang terjadi pencucian. Berat sampel yang hilang dapat berlangsung dengan cepat. tidak jauh berbeda dengan yang Ketika sampel terumbu karang dipaparkan oleh Adkinds dkk (2002) direaksikan dengan HCl 10% akan bahwa proses pencucian sampel menghasilkan gas CO2. Reaksi yang dengan senyawa kimia seperti di atas terjadi antara kalsium karbonat dan dapat menghilangkan berat sampel asam klorida adalah sebagai berikut: berkisar 5-10% dari berat CaCO3(s) + HCl (l) CaCl2(s) + sebelumnya. CO2 (gas) + H2O (l) 4.2 Praperlakuan Sampel Proses selanjutnya yaitu Penyusun utama terumbu mengalirkan gas CO2 melalui tabung karang adalah karbonat. Karbonat impinger berisi kertas saring yang yang terdapat pada terumbu karang telah ditetesi AgNO3, dimaksudkan tersebut dapat dipisahkan dengan untuk menjerap kelebihan asam yang cara mereaksikannya dengan HCl dihasilkan pada saat reaksi antara 10% ke dalam 40 gram serbuk CaCO3 dan HCl 10% terjadi, sampel di dalam labu alas bulat. sedangkan silica gel pada tabung Sampel yang digunakan, berupa impinger berikutnya berfungsi untuk serbuk halus yang diperoleh melalui menjerap kelebihan air. penggerusan dengan menggunakan 6 Pada kolom absorbsi, gas CO2 akan diserap oleh etanolamin. Gas CO2 yang terserap akan bereaksi dengan etanolamin menghasilkan senyawa karbamat. Pada proses ini, tidak semua gas CO2 yang dialirkan ke dalam larutan etanolamin mampu ditangkap yang ditandai dengan adanya gelembung gas CO2 yang melewati permukaan larutan absorber. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: Reaksi antara etanolamin yang berfasa cair dengan CO2 yang berfasa gas menyebabkan reaksi berlangsung heterogeous. Pada peristiwa absorbsi terbentuk ikatan kimia antara absorber etanolamin dengan CO2 sebagai absorbat (zat terserap). Senyawa karbamat yang terbentuk akan diukur dengan LSC (Liquid Scintillation Counting) yang bertujuan menentukan besarnya aktivitas 14C. Jumlah CO2 yang berhasil diserap sebesar 4,542 g sedangkan CO2 yang terdapat di dalam sampel sebanyak 8,333 g. Efisiensi absorbsi CO2 oleh etanolamin yakni 51,19%. 4.3 Pengukuran Aktivitas 14C pada Terumbu Karang Dengan menentukan sisa aktivitas 14C yang dikandung oleh sampel terumbu karang akan berkorelasi dengan umur yang terhitung sejak contoh tersebut tidak lagi menunjukan aktivitas kehidupan. Pencacah sintilasi cair yang digunakan untuk menentukan 14 aktivitas C memiliki keistimewaan spesifik jika dibandingkan dengan alat pencacah lainnya, yakni memiliki system software MikroWin 2000 yang mampu memberikan hasil cacahan absolut. Alat LSC (Liquid Scintillation Counter) Hidex 300 SL berperan penting dalam mendeteksi pancaran partikel β dari 14C pada sampel. Radioisotop pemancar β pada metode pencacahan ini bekerja atas dasar interaksi larutan senyawa organik yang dapat berfluorisensi jika berinteraksi dengan radiasi. Dalam hal ini, senyawa karbamat yang terbentuk dari hasil penyerapan oleh etanolamin terhadap gas CO2. Pada proses pencacahan diperlukan 8 mL larutan sampel dan 12 mL sintilator yang dicampur ke dalam vial 20 mL. Proses pencampura larutan sampel dan sintilator diusahakan agar tidak kontaminasi oleh udara bebas yang mengandung CO2 bebas. Pencacahan dengan LSC Hidex 300 SL dilakukan dalam rentang waktu 1–240 menit. Analisis sampel dengan metode ini melibatkan larutan sintilator yang akan bertumbukan dengan molekul pelarut hingga tereksitasi. Pada saat inilah akan dilepaskan energi dalam bentuk foton atau kelipan cahaya. Kelipan cahaya tersebut mempunyai panjang gelombang tertentu dan jika sampai pada lapisan fotokatode di PMT (Photo Multiplier Tube) akan melepaskan elektron dari lapisan tersebut. Elektron tersebut akan diperbanyak oleh dinodedinode yang terdapat dalam PMT dan pada akhirnya elektron ini akan terkumpul pada anodenya dalam bentuk pulsa listrik. Pencacahan sampel terdiri atas 2 tahap yaitu, tahap penentuan waktu optimum pencacahan dan tahap penentuan nilai rata-rata nilai cacahan sampel pada waktu optimum. Berikut data hasil penentuan waktu optimum 7 6000 600 4000 400 2000 200 0 0 0 200 CPMs DPMs pencacahan dari aktivitas 14C yang terkandung dalam sampel dapat dilihat pada Gambar 3. 400 Waktu Cacahan (menit) Gambar 6. Grafik hubungan hasil DPM dan CPM sampel terumbu karang terhadap waktu Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat hasil pencacahan pada sampel terumbu karang dari menit ke- 1 hingga menit ke-60 terjadi penurunan. Namun pada menit ke90 nilai aktivitas 14C mulai mencapai kestabilan dan mencapai titik optimum pada menit ke-150. Nilai aktivitas 14C yang berfluktuasi diakibatkan oleh efek pendar kimiawi (chemiluminescence) ketika pencacahan berlangsung dan ketidakstabilan fasa antara larutan karbamat dengan sintilator pada awal proses pencacahan. Ketidakstabilan fasa disebabkan oleh efek pemadaman (quenhcing). Efek pemadaman merupakan pergeseran spektrum fluoresensi ke arah energi yang lebih rendah. Semakin besar pemadaman yang terjadi maka spektrum fluoresensi semakin ke arah energi yang lebih rendah. Efek pemadaman sendiri terjadi karena adanya oksigen atau kotoran dalam vial wadah pelarut sintilasi. Hal tersebut menyebabkan efisiensi pencacahan menjadi rendah. Hal tersebut terlihat pada cacahan menit ke-5. Hasil cacahan yang diperoleh akan mempengaruhi umur sampel yang diperoleh nantinya. Penentuan waktu pencacahan optimum dilakukan untuk menentukan waktu terbaik dihasilkan nilai DPM dan memiliki nilai efisiensi pencacahan (TDCR) yang stabil sebagai tanda bahwa proses pencacahan sampel berjalan maksimal. Pada menit ke 90–240 nilai aktivitas 14C mulai mencapai kestabilan. Penyebabnya adalah kondisis fisik dan kimia larutan sampel dengan sintilator yang mulai stabil. Kestabilan nilai aktivitas 14C sangatlah penting untuk memperoleh hasil grafik cacahan yang eksponensial. Dari grafik tersebut diperoleh waktu pencacahan optimum sampel yaitu selama 150 menit, dengan nilai DPM sebesar 108,42, CPM sebesar 59,58 dan nilai TDCR sebesar 0,549. Pemilihan waktu pencacahan optimum tersebut berdasarkan asumsi bahwa pada pencacahan selama 150 menit yang berada di antara menit ke 90-240 dihasilkan nilai DPM dan nilai efisiensi pencacahan (TDCR) yang paling stabil. Sampel kemudian dicacah berulang kali selama waktu optimum. Hasil cacahan pada waktu optimum digunakan untuk menghitung aktivitas spesifik dari 14 C dalam sampel. Berikut data hasil pencacahan sampel pada waktu pencacahan optimum selama 150 menit dengan 7 kali pengulangan dapat dilihat pada tabel 2. 8 Tabel 2. Data hasil pencacahan Sampel Terumbu Karang Pulau Langkai Kepulauan Spermonde dengan Perangkat LSC Hidex 300 SL pada waktu optimum pencacahan selama 150 menit dengan 7 kali pengulangan. Sampel Waktu Cacahan CPM DPM TDCR (menit) 1. 150 53,310 107,440 0,496 2. 150 50,350 95,360 0,528 3. 150 51,580 96,550 0,534 4. 150 51,020 99,350 0,513 5. 150 50,070 92,110 0,543 6. 150 51,150 98,150 0,521 7. 150 49,920 93,310 0,534 51,057 97,467 0,524 Rata-rata Sumber: Data hasil pencacahan sampel selama 150 menit dengan 7 kali pengulangan menggunakan LSC Hidex 300 SL, September- Oktober 2014. No. bilangan aktivitas isotop 14C yang terukur, yaitu dengan menggunakan background counting. Background karbon yang berumur tua sekali maka dipilihlah marmer sebagai pengoreksi sampel terumbu karang. Ketika marmer menunjukkan masih adanya radioaktivitas 14C maka diduga aktivitas spesifik 14C dari fosil-fosil (dalam hal ini terumbu karang) menyimpang sebesar aktivitas spesifik 14C pada marmer tersebut. Berikut hasil cacahan background untuk penentuan waktu optimum. 170.000 80.000 150.000 70.000 130.000 60.000 CPMb 110.000 DPMb Berdasarkan tabel diatas, diperoleh nilai rata-rata CPM sampel sebesar 51,057, nilai rata-rata DPM sebesar 97,467 dan nilai rata-rata TDCR yaitu 0,524. Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap pencacahan background yaitu 8 mL marmer dan 12 mL sintilator dimasukkan kedalam vial kemudian dicacah dengan alat LSC Hidex 300 SL. Pemilihan marmer sebagai background karena marmer termasuk dead carbon. Dead carbon merupakan suatu material yang dianggap tidak memberikan aktivitas radioaktif atau aktivitasnya mendekati nol dan digunakan sebagai koreksi terhadap sinar kosmik atmosfer yang terhitung oleh LSC. Setiap pengukuran sampel tergantung pada kepekaan detektor terhadap sinar kosmik di atmosfir, sehingga perlu adanya koreksi 90.000 50.000 0 100 200 300 Waktu Cacahan (menit) Gambar 7. Grafik hubungan hasil DPM dan CPM background terhadap waktu 9 Nilai cacahan optimum background dari grafik di atas yaitu pada cacahan selama 150 menit. Dimana nilai CPM, DPM dan TDCR pada waktu tersebut menunjukkan nilai yang relatif selalu mengalami penurunan sejak awal pencacahan hingga menit tersebut dan mengalami kenaikan setelah melewati cacahan 150 menit. Hasil ini selanjutnya digunakan untuk menentukan nilai rata-rata aktivitas background pada waktu pencacahan optimum 150 menit. Data nilai ratarata aktivitas background pada waktu pencacahan optimum 150 menit dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Data nilai rata-rata aktivitas background dengan Perangkat LSC Hidex 300 SL pada waktu optimum pencacahan selama 150 menit. Background No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Waktu Cacahan (menit) 150 150 150 150 150 150 150 Average CPM DPM TDCR 54,720 53,380 52,940 53,550 52,940 53,360 53,540 53,490 98,880 93,220 91,790 93,050 93,320 93,090 93,290 93,806 0,553 0,570 0,576 0,575 0,567 0,573 0,573 0,570 Sumber : Data nilai rata-rata aktivitas background dengan LSC Hidex 300 SL, September- Oktober 2014. Hasil pencacahan background digunakan untuk mengetahui besarnya kontribusi radiasi yang berasal dari lingkungan pencacahan sintilasi cair yang sifatnya bukan sampel. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hasil cacahan background tersebut juga digunakan sebagai faktor koreksi terhadap cacahan sampel. 4.4 Penentuan Aktivitas Spesifik Sampel Terumbu Karang Aktivitas spesifik sampel terumbu karang dapat ditentukan dari selisih hasil cacahan Counts Per Minute (CPM) sampel terhadap hasil cacahan background yang dihasilkan sebagai faktor koreksi terhadap hasil cacahan sampel yang dibagi dengan efisiensi pencacahan Triple To Double Coincidance Ratio (TDCR) yang dikonversi ke dalam satuan Disintegration Per Minute (DPM), dibagi dengan kadar total karbon dalam 8 mL sampel yang dicampur dengan 12 mL sintilator. Dari penjelasan tersebut maka dapat dilakukan penentuan aktivitas spesifik sampel. Aktivitas spesifik rata-rata (As) sampel dari hasil perhitungan disintegrasi per menit (DPM) per satuan masa karbon sampel dapat dilihat pada Tabel 7. 10 Tabel 4. Data Aktivitas Spesifik Rata-rata 14C Sampel Terumbu Karang Asal Pulau Langkai Kepulauan Spermonde Sample DPM C-total(g) Coral Reefs 3,194 0,2477 Berdasarkan data hasil pencacahan sampel pada Tabel 7, terlihat aktivitas spesifik 14C pada sampel 14,55 ± 0,2 dpm/gC. Nilai disintegrasi spesifik (aktivitas sesifik) rata-rata 14C yang diperoleh dari sampel tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai aktivitas spesifik rata-rata standar karbon modern yang sering digunakan dalam praktek yang berkisar antara 15,3 ± 0,1 dpm/ gC. Nilai disintegrasi spesifik menunjukkan bahwa telah terjadi peluruhan pada inti atom yang dimulai dari sampel terumbu karang tersebut mati sehingga aktivitas 14C yang terkandung dalam sampel berkurang dan lebih kecil dari aktivitas spesifik karbon modern 15,3 ± 0,1 dpm/gC. As(dpm/gC) As C-14 life* 14, 55 ± 1,1 15,30 ± 0,1 hewan tersebut hidup (15.3 ± 0.1) DPM (Libby, 1960) t1/2 = Waktu paruh = 5730 ± 40 tahun ln2 = 0.693 Dari persamaan tersebut, hasil pengukuran umur sampel terumbu karang pulau Langkai kepulauan Spermonde yaitu 415,01 ± 91,08 tahun. Jauhari (2013) juga meneliti terumbu karang laut di pulau Lanjukang kepulauan Spermonde melalui pengukuran aktivitas 14C dengan metode LSC (Liquid Scintillation Counting). Dari penelitian terumbu karang asal pulau Lanjukang didapatkan hasil pengukuran umur 669, 484 ± 20 tahun. Pulau Lanjukang berjarak 5,5 km dari pulau Langkai, berarti umur terumbu karang dari kedua pulau tidak jauh berbeda. 4.5 Perhitungan Umur Terumbu Karang Umur sampel terumbu karang dapat ditentukan melalui perbandingan nilai aktivitas spesifik karbon modern (15,3 ± 0,1 dpm/gC) dengan aktivitas spesifik sampel yang diperoleh dengan menggunakan persamaan laju peluruhan radiokarbon : t 1⁄ 𝐴0 2 𝑡 = 𝑙𝑛 𝑙𝑛 2 𝐴 Referensi Adkins, J.F., Griffin, S., Kashgaria, M., Cheng, H., Druffel, E.R.M., Boyle, E.A., Edwards, R.L., Shen, C.C., 2002, Radiocarbon Dating of DeepSea Corals, Radiocarbon Journal, Arizona Board of Regents on Behalf of the University of Arizona, 44 (2): 567-580. Keterangan : A = Radioaktivitas isotop 14C dalam sampel Ao = Radioaktivitas isotop 14C pada saat tanaman atau Boekschoten, G. J. dan Best, M. B., 1988, Fossil and Recent Shallow Water Corals from The Atlantic Islands Off Western Africa, Life and 11 Marine Science Journal , 68 (2): 99-112. Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta, 5 (1): 68-82. Jauhari, 2013, Penentuan Umur Terumbu Karang Di Kepulauan Spermonde Melalui Pengukuran Aktivitas Karbon-14 Dengan Metode LSC (Liquid Scintillation Counting), Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Unhas. Satrio dan Sidauruk, P., 2010, 2Metoksietilamin sebagai Alternatif Absorber CO2 untuk Analisis 14C dalam Tanah dan Air Tanah, Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, 6 (2): 117-124. Lasabuda, R., 2013, Pembangunan Wilayah Pesisir Dan Lautan dalam Perspektif Negara Kepulauan Republik Indonesia, Jurnal Ilmiah Platax, FPIK UNSRAT, 1 (2): 92-101. Tjahaja, I.P., dan Mutiah, 2000, Metode Pencacahan Sintilasi Cair: Salah Satu Alternatif untuk Pengukuran α dan β Total dalam Sampel Lingkungan, Indo. J. Nuc. Sci. Tech., 1 (1): 31-46. Naibaho, A.E.A, 2012, Absorpsi CO2 Melalui Kontaktor Membran Serat Berongga Menggunakan Larutan Penyerap Campuran Senyawa Amina (MEA/DEA: Variasi Komposisi Amina, Skripsi, Fakultas Teknik, Program Sarjana Teknik Kimia, Universitas Indonesia, Depok. Wang, R.D, Li, D.F., Zhou, C., Liu, M., dan Liang, D.T., Impact of DEA Solutions with and without CO2 Loading on Porous Polypropylene Membranes Intended for Use As Contractors, Jurnal Sains Membran, 229 (1-2): 147-157. Pratikno, B., Abidin, Z., Sidauruk, P., dan Satrio, 2009, Aplikasi Isotop Alam 18O, 2H dan 14C untuk Studi Air Tanah di Kepulauan Seribu, Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Yuliati, H. dan Akhadi, M., 2005, Radionuklida Kosmogenik untuk Penanggalan, Jurnal Radiasi dan Biomedika Nuklir, Puslitbang Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir, Pusat Radiasi Batan, 6 (3): 163-171. 12