1 DAYA DUKUNG LAHAN (Bahan Kajian MK. Landuse Planning & Land Management Smno.psdl.pdip.pdkl.ppsub.Okt2013) 1. PENDAHULUAN Membangun suatu wilayah pada hakikatnya merupakan upaya untuk memberi nilai tambah terhadap kualitas kehidupan. Proses pemberian nilai tambah terhadap kualitas kehidupan dilakukan dengan memperhatikan internalitas dan eksternalitas suatu wilayah. Internalitas diantaranya meliputi kondisi fisik wilayah, potensi sumber daya (alam, manusia, dan buatan), serta kondisi sosial ekonomi dan lingkungan hidup, sedang eksternalitas yang perlu diperhatikan diantaranya adalah situasi geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi. Pemahaman terhadap kondisi fisik wilayah, kelestarian sumber daya alam, peningkatan kapasitas sumber daya manusia dengan dukungan sumber daya buatan, serta pemahaman terhadap eksternalitas suatu wilayah, menjadi kunci keberhasilan perencanaan pembangunan. Hal ini mengindikasikan pentingnya merencanakan pembangunan melalui perspektif yang lebih luas dan tidak sekedar administratif parsial atau sektoral saja. Untuk itu pendekatan kewilayahan atau spasial dalam pelaksanaan penataan ruang, memegang peranan yang vital dalam perencanaan pembangunan. Memperbaiki daya dukung lahan kering: Konservasi Lahan Kering dengan Perbaikan Erosi Lahan kering dalam keadaan alamiah biasanya peka terhadap erosi, terutama bila keadaan tanahnya miring atau tidak tertutup vegetasi, tingkat kesuburannya rendah, air merupakan faktor pembatas dan biasanya tergantung dari curah hujan serta lapisan olah dan lapisan bawahnya memiliki kelembaban yang amat rendah. Menurunnya produktivitas lahan pada tanah datar dapat pula terjadi karena hilangnya unsur hara dari solum tanah melalui pencucian hara dan aliran permukaan. Di daerah-daerah yang penduduknya masih menggunakan sistem ladang berpindah dengan mempergunakan lahan yang berlereng curam, masih ada kegiatan-kegiatan usahatani pangan semusim dimana para petani tidak atau belum memperhatikan konservasi lahan. 2 Pola tanam ganda yang menanam aneka jenis tanaman pada waktu yang bersamaan dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan sekaligus daya dukung lahan. Degradasi lahan kering biasanya terjadi karena tindakan manusia yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air dalam mengelola usahataninya, hal ini merupakan kemunduran dalam penggunaan sumber daya alam lahan. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian bencana, misalnya banjir, kekeringan, erosi, dan lain-lain. Oleh karena itu dalam pengelolaan sumberdaya lahan harus senantiasa memperhatikan tindakan konservasi (teknologi usahatani konservasi). 2. PENYUSUN DAYA DUKUNG LAHAN Daya dukung lahan diukur menurut berbagai kriteria: 1. Ekologi 2. Ekonomi 3. Estetika (keindahan) 4. Rekreasi 5. Psikologi (agar orang tetap tenang) 6. Pertanian 7. Cagar alam 3 8. Kehidupan penduduk Masing-masing mempunyai persyaratan sendiri, tetapi harus saling mengisi. Misalnya: Ekologi – cagar alam Estetika – rekreasi Pertanian – ekonomi Psikologi – kehidupan penduduk Perlu diingat bahwa daya dukung yang dimaskud adalah yang alami. Akan tetapi dapat ditingkatkan dengan teknologi. Walaupun demikian ada batas maksimalnya. Ekosisitem pertanian, agar dapat dipertahankan dengan baik memerlukan pengelolaan secara benar. Kalau tidak, maka dapat terjadi penurunan nilai. Mengelola dalam arti mengatur proses sehingga secara sinambung dapat bermanfaat lebih sesuai, memenuhi kebutuhan hidup manusia. Misalnya ekosistem lahan sawah, pengelolaannya dimulai dari pengolahan tanah, penanaman bibit padi, pemeliharaan tanaan padi, hingga panen padi. Ekosistem lahan sawah yang baru ditanami dengan bibit padi (Foto Soemarno, Desember 2011) 4 Ekosistem lingkungan binaan (non alami), kolam resapan air hujan dibuat di bagian terendah dari bentang lahan Ekosistem adalah sistem kehidupan yang terselenggara dengan interaksi antara makhluk hidup dengan habitat (lingkungan hidup) dan antar makhluk dalam suatu habitat. Eko = rumah, tempat hidup. Macam ekosistem tergantung pada makhluk yang menempati. Adapun ekosistem pertanian melibatkan makhluk hidup: manusia, ternak, tanaman dan lahan sebagai konsep habitat (abiotik). Adapun tujuan pengelolaan ekosisitem adalah meningkatkan produktivitas. Ekosistem gurun mempunyai produktivitas rendah. Ekosistem tropika mempunyai produktifitas tinggi. Ekosistem dapat dibagi menjadi ekosistem alamiah dan ekosistem budaya (misalnya pertanian). Penggunaan lahan (Tataguna lahan) memikirkan: 1. Matra tempat, yang berarti ditentukan oleh faktor sumberdaya (pewilayahan usaha) 2. Matra waktu, yang menyangkut perkembangan persepsi penggunaan sumberdaya (dinamika usaha). 5 Perencanaan Wilayah bermatra tempat dan waktu, akses jalan dan transportasi sangat m,enentukan laju perkembangan lahan (Foto, soemarno, desember 2011) Latar belakang manusia menggunakan lahan untuk pertanian ada 3 macam, tergantung pada kemahiran: 1. Pertanian subsisten (untuk pemenuhan kebutuhan sendiri) 2. Pertanian komersial, untuk jual beli, di sini pemenuhan kebutuhan tidak langsung dari hasilnya. 3. Pertanian bahan mentah industri, misalnya menggali pasir (sebagai anasir lahan) untuk dijual Pertanian subsisten, sawah untuk membudidayakan padi 6 Komponen lahan yang harus dipertahankan dalam ekosistem pertanian adalah: 1. Abiotik: a. Iklim: curah hujan, energi matahari, suhu b. Tanah: air, hara tanaman,udara, rhizosphere (tempat berpangkal tanaman). Di sini tanaman tidak dapat memanfaatkan air langsung dari hujan, tetapi diubah dalam bentuk lengas. 2. Biotik: a. tumbuhan pendukung, misalnya Rhizobium b. pengganggu, yang mengganggu fungsi, yaitu hama dan penyakit c. perusak, kerugian fisik, misalnya penggerek daun atau buah Untuk dapat menjalankan tataruang memerlukan sistem pengharkatan, sehinga tataruang berwawasan lingkungan. Pengharkatan dapat menurut berbagai faktor: a. Sebagai kenyataan: misal: jenis tanah, morfologi permukaan b. Sebagai fakta: klasifikasi fungsi c. Sebagai persepsi: nilai Tanah Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar. Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi tempat yang baik bagi akar untuk bernafas dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi sebagian besar hewan darat, tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak. “Tanah” merupakan kompenen “lahan” yang sangat penting. Definisi Tanah. 1. Pendekatan Geologi (Akhir Abad XIX) Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang berasal dari bebatuan yang telah mengalami serangkaian pelapukan oleh gaya-gaya alam, sehingga membentuk regolit (lapisan partikel halus). 2. Pendekatan Pedologi (Dokuchaev 1870). Pendekatan Ilmu Tanah sebagai Ilmu Pengetahuan Alam Murni. Kata Pedo =i gumpal tanah. 7 Tanah adalah bahan padat (mineral atau organik) yang terletak dipermukaan bumi, yang telah dan sedang serta terus mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor: Bahan Induk, Iklim, Organisme, Topografi, dan Waktu. 3. Pendekatan Edaphologis (Jones dari Cornel University Inggris) Kata Edaphos = bahan tanah subur. Tanah adalah media tumbuh tanaman Perbedaan Pedologis dan Edaphologis 1. Kajian Pedologis: Mengkaji tanah berdasarkan dinamika dan evolusi tanah secara alamiah atau berdasarkan Pengetahuan Alam Murni. Kajian ini meliputi: Fisika Tanah, Kimia Tanah, Biologi tanah, Morfologi Tanah, Klasifikasi Tanah, Survei dan Pemetaan Tanah, Analisis Bentang Lahan, dan Ilmu Ukur Tanah. 2. Kajian Edaphologis: Mengkaji tanah berdasarkan peranannya sebagai media tumbuh tanaman. Kajian ini meliputi: Kesuburan Tanah, Konservasi Tanah dan Air, Agrohidrologi, Pupuk dan Pemupukan, Ekologi Tanah, dan Bioteknologi Tanah. Paduan antara Pedologis dan Edaphologis: Meliputi kajian: Pengelolaan Tanah dan Air, Evaluasi Kesesuaian Lahan, Tata Guna Lahan, Pengelolaan Tanah Rawa, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Definisi Tanah (Berdasarkan Pengertian yang lebih komprehensif) Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh & berkembangnya perakaran penopang tegak tumbuhnya tanaman dan menyuplai kebutuhan air dan udara; secara kimiawi berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi (senyawa organik dan anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial seperti: N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, Zn, Fe, Mn, B, Cl); dan secara biologi berfungsi sebagai habitat biota (organisme) yang berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif (pemacu tumbuh, proteksi) bagi tanaman, yang ketiganya secara integral mampu menunjang produktivitas tanah untuk menghasilkan biomass dan produksi baik tanaman pangan, tanaman obat-obatan, industri perkebunan, maupun kehutanan. Fungsi Tanah 8 1. Tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran 2. Penyedia kebutuhan primer tanaman (air, udara, dan unsurunsur hara) 3. Penyedia kebutuhan sekunder tanaman (zat-zat pemacu tumbuh: hormon, vitamin, dan asam-asam organik; antibiotik dan toksin anti hama; enzim yang dapat meningkatkan kesediaan hara) 4. Sebagai habitat biota tanah, baik yang berdampak positif karena terlibat langsung atau tak langsung dalam penyediaan kebutuhan primer dan sekunder tanaman tersebut, maupun yang berdampak negatif karena merupakan hama & penyakit tanaman. Dua makna penting tentang “Tanah”: 1. Tanah sebagai tempat tumbuh dan penyedia kebutuhan tanaman, dan 2. Tanah juga berfungsi sebagai pelindung tanaman dari serangan hama & penyakit dan dampak negatif pestisida maupun limbah industri yang berbahaya. Profil Tanah Profil Tanah adalah irisan vertikal tanah dari lapisan paling atas hingga ke batuan induk tanah. Profil dari tanah yang berkembang lanjut biasanya memiliki horison-horison sbb: O –A – E – B - C – R. Solum Tanah terdiri dari Lapisan Tanah Atas meliputi Lapisan Tanah Bawah :O–A–E–B :O–A :E–B Keterangan: O : Serasah / sisa-sisa tanaman (Oi) dan bahan organik tanah (BOT) hasil dekomposisi serasah (Oa) A : Horison mineral ber BOT tinggi sehingga berwarna agak gelap E : Horison mineral yang telah tereluviasi (tercuci) sehingga kadar (BOT, liat silikat, Fe dan Al) rendah tetapi pasir dan debu kuarsa (seskuoksida) dan mineral resisten lainnya tinggi, berwarna terang B : Horison illuvial atau horison tempat terakumulasinya bahan-bahan yang tercuci dari harison diatasnya (akumulasi bahan eluvial). C : Lapisan yang bahan penyusunnya masih sama dengan bahan induk (R) atau belum terjadi perubahan R : Bahan Induk tanah . Kegunaan Profil Tanah 9 (1) untuk mengetahui kedalaman lapisan olah (Lapisan Tanah Atas = O - A) dan solum tanah (O – A – E – B) (2) Kelengkapan atau differensiasi horison pada profil (3) Warna Tanah Komponen Tanah Empat macam komponen penyusun tanah : (1) Bahan Padatan berupa bahan mineral (2) Bahan Padatan berupa bahan organic (3) Air (4) Udara. Bahan tanah tersebut rata-rata 50% bahan padatan (45% bahan mineral dan 5% bahan organik), 25% air dan 25% udara. Deskripsi profil tanah: Pengharkatan menurut faktor sebagai kenyataan 10 Profil tanah memperlihatkan beberapa horizon tanah.(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah) Contoh hasil deskripsi dan evaluasi profil tanah Deskripsi profil tanah Seri Tempur 1. Lokasi : Dukuh Tempur, Desa Pagak , Kecamatan Pagak, Malang 2. Serie Tempur Serie ini terdiri atas tanah-tanah yang solumnya sangat dalam, drainagenya baik , permeabilitasnya lambat, padfa lereng uang konveks, bahan induknya hasil lapukan material klastik-vulkanik yang terletak di atas batukapur yang telah lapuk; gradien slope 1-65%, rataan suhu udara tahunan 25oC, dan rataan curah hujan tahunan 1900 mm. 3. Kelas taksonomi : Udertic Paleustalfs, isohyperthermik 4. Profil pewakil Tanah liat Tempur ini terletak pada lereng konveks yang menghadap ke Timur , lahan garapan berteras bangku dengan lebar teras 315 m dan tinggi tebing 30- 60cm, untuk menanam tanaman tebu , slope 37%. 11 Ap (kedalaman 0-12 cm); liat coklat tua kemerahan (5YR 3/3) dan coklat tua (10 YR 4/3) bila kering; granuler halus lemah; konsistensi agak keras, gembur, plastis dan lekat; banyak pori halus, pori medium dan pori kasar yang tidak teratur ; banyak akar halus ; celah-celah lebar 3-5 cm; reaksinya agak masam ; batas horison smooth abrupt (tebalnya 9-15 cm) Bt1 (kedalaman 12-47 cm); liat coklat tua kemerahan (5 YR 3/3) ; prismatik sangat kasar lemah hingga gumpal bersudut medium moderat; konsistensi teguh, plastis dan lekat; ada selaput liat cklat tua kemerahan pada permukaan ped dan pori; banyak akumulasi Mn ; banyak pori halus, sedikit pori medium dan pori kasar tubuler dan vesikuler; akar halus dan kasar sedikit ; celah-celah selebar 2-4 cm; reaksinya netral; batas horison smooth diffuse Bt2 (kedalaman 47-68 cm); liat coklat tua kemerahan (5YR 3/3) ; sedikit material vulkanik-klastik keputihan berukuran pasir; struktur prismatik sangat kasar lemah hingga gumpal bersudut, medium , moderat, dan gumpal; konsistensi teguh, plastis dan lekat; ada selaput liat coklat tua kemerahan (5YR 3/4) pada permukaan ped dan pori; agak banyak akumulasi Mn; pori halus, dan medium sedikit ; akar halus dan kasar sedikit; celahcelah lebarnya 2-3 cm; reaksinya agak alkalin ; batas horison smooth gradual . Bt3 (kedalaman 68- 97 cm); Liat coklat tua kemerahan ( 5YR 3/4); banyak material keputihan berukuran pasir dengan becak-becak keputihan halus; struktur gumpal bersudut medium dan kasar moderat; gumpal membulat; konsistensi teguh, plastis dan lekat; ada selaput liat coklat tua kemerahan (5YR 3/3) pada ped dan pori; akumulasi Mn cukup banyak; sedikit pori halus, dan pori medium tubuler; celah-celah selebar 1-2 cm; reaksinya netral ; batas horison smooth diffuse . Bt4 (kedalaman 97 -115 cm); liat coklat kemerahan; banyak material vulkanik-klastik berukuran pasir keputihan; struktr prismatik sangat kasar lemah dan gumpal membulat lemah; konsistensi sangat teguh, plastis dan lekat; ada selaput liat yang jelas, coklat tua kemerahan(5YR 3/3) pada permukaan ped dan pori; banyak akumulasi Mn pada permukaan ped; pori halus agak banyak, pori medium dan pori kasar tubuler sedikit; celah-celah selebar 1-2 cm; reaksinya netral; batas horison smooth jelas.. Bt5 (kedalaman 115-142 cm); liat coklat kuat (7.5YR 4/6); struktur gumpal bersudut , kasar dan medium, lemah; konsistensi teguh, plastis dan lekat; ada sedikit selaput liat coklat tua kemerahan (5YR 3/3) pada permukaan ped ; sedikit akumulasi Mn yang jelas ; kerikil batukapur 5% ; reaksinya agak alkalin; batas horison smooth jelas (Tebalnya gabungan horison Bt adalah 110- 165 cm). 12 2C (kedalaman 142-161 cm); liat coklat kuat (7.5YR 5/6); masif; sangat teguh, plastis dan lekat; nodul besi merah (10YR 4/8) 5%; sedikit akumulasi Mn yang jelas; kerikil batukapur 5%; agak alkalin. 5. Karakteristik Umum Solum tanah 150-180 cm , dan kedalaman hingga bahan litologis yang diskontinyu 80-130 cm, kedalaman hingga batuan induk lebih dari 150 cm. Celah-celah mulai terjadi pada permukaan tanah dan meluas hingga kedalaman 50-140 cm selama musim kering, lebarnya 3-5 cm di permukaan tanah dan 0.5 cm pada kedalaman 140 cm. Fragmen batuan kapur 1-5% di sebelah bawah diskontinyu; reaksinya agak masam hingga agak alkalis di sebelah atas lapisan diskontinyu dan agak masam hingga agak alkalis di sebelah bawah lapisan diskontinyu. a. Horison Ap mempunyai hue 10YR - 5YR , value 3 atau 4, dan khroma 2 atau 3 bila kering dan bila basah mempunyai hue 10YR-5YR, value 3 dan khroma 2 atau 3; teksturnya liat , lempung liat, dan lempung debu; reksinya agak masam. b. Horison Bt mempunyai hue 5YR atau 7.5YR, value 3 atau 4 , khroma 3 - 6 , teksturnya liat , akumulasi Mn sedikit hingga agak banyak; persentase kerikil batukapur 1-5%; reaksinya netral hingga agak alkalis. c. Horison 2C mempunyai hue 5YR atau 7.5YR, value 4 atau 5 , khroma 6 - 8 , teksturnya liat ; nodul besi di beberapa horison 15%; reaksinya agak alkalis. 6. Tatanan Geografis Tanah-tanah ini ditemukan pada punggung bukit yang konveks, dan lereng sisi yang lurus , bahan induknya material vulkanik- klastis yang terletak di atas hasil lapukan batukapur; gradien slope 1% pada punggung bukit yang datar hingga 65% pada lereng sisi; rataan suhu udara 24-26oC, rataan curah hujan tahunan 1700-2100 mm. 7. Drainase dan Permeabilitas Drainage tanah baik , limpasan permukaan lambat hingga sangat cepat, permeabilitasnya lambat. 8. Penggunaan lahan dan vegetasi Sebagian besar digunakan sebagai lahan tegalan dengan tanaman jagung, tebu, ubikayu , kelapa, kapok randu, pisang ; kayu jati, dan bambu. Hasil analisis contoh tanah, hasil analisis neraca lengas lahan, dan evaluasi kesesuaian lahan disajikan dalam Tabel-tabel berikut. 13 Hasil analisis contoh tanah dari Profil Tanah Seri Tempur No. Analisis 1. Tekstur: Pasir; % Debu; % Liat; % 2. Reaksi tanah: pH(H2O) pH(KCl) 3. Kesuburan C; % N; % C/N P-Olsen; ppm Total P; kg/ha Total K; kg/ha 4. Kation Tukar: KTK; me/100g Ca Mg K Na KB; % 5.Lengastanah;v/v pF 2.54 pF 4.2 Air tersedia 6. Faktor erodibilitas; k Kedalaman; cm: 47-68 68-97 0-12 12-47 97-115 >115 23 26 51 11 20 69 12 19 69 5 28 67 2 15 83 2 16 82 6.5 7.1 7.5 7.3 7.3 7.4 4.9 5.2 5.3 5.6 6.2 6.4 0.89 0.07 13 5 5 120 0.46 0.04 12 2 0.42 0.03 14 7 0.40 0.03 13 2 0.30 0.04 8 4 0.26 0.02 13 7 27.49 14.60 2.40 1.37 0.27 68 34.17 20.33 2.54 0.59 0.67 63 34.66 20.65 2.44 0.23 0.80 70 36.10 22.08 3.18 0.20 0.82 73 33.08 23.32 3.67 0.19 0.65 84 33.70 25.95 4027 0.16 0.62 91 35.4 23.9 11.5 41.5 17.9 23.6 43.4 18.2 25.2 48.4 26.8 21.6 42.6 26.3 16.3 49.8 31.2 18.6 0.30 0.10 0.10 0.15 0.10 0.10 Sumber: Soemarno, 1994 14 Neraca lengas tanah (soil moisture) bulanan di Lokasi Tempur, Pagak Unsur-unsur Bulan: Iklim Jan Fbr Mrt April Mei Juni Juli Agust Sept. Okt. Nop Des. 1. ETP terkoreksi 120.6 104 118 112 114.5 106.3 106.9 111.8 112.7 124 128 124 2. C. hujan 330 263 170 165 67 74 80 30 52 126 243 275 3. SA 209.4 159 51.6 53.4 -47.5 -32.3 -26.9 -81.8 -60.7 2.4 115 151 4. APWL 0 0 0 0 47.5 79.8 106.6 188.4 249.1 0 0 0 486 486 486 486 446.2 421 401.2 346.3 310.5 313 486 486 0 0 0 0 -39.8 -25.2 -19.9 -54.9 -35.8 2.4 173. 0.0 7 .ETA 120.6 104 118 112 106.8 99.2 99.9 84.9 87.8 124 128. 124 8. Defisit 0 0 0 0 7.7 7.1 7.0 26.9 24.9 0 0 0 9. Surplus 209.4 159 51.6 33.4 0 0 0 0 0 0 0 151 5. Kadar air tanah (KAT) 6. Perubahan d(KAT) Keterangan: Kedalaman tinjau tanah = 115 cm; KL = 486 mm; APWL = Akumulasi daya penguapan; Defisit = ETP – ETA; Surplus = CH - ETP - d(KAT); Titik Layu Permanen (TLP) = 260 mm. Sumber: Soemarno, 1994 Hasil Analisis Kesesuaian Lahan untuk Profil Tanah Seri Tempur No. Jenis Tanaman Tingkat kesesuaian : S1 S2 S3 N 1. Padi sawah 2. Padi gogo S2r.n 3. Ubikayu S2r.n 4. Ubijalar S2r.n 5. Kacangtanah S2r.n 6. Kedelai S2r.n 7. Pisang S3d.n 8. Pepaya S3d.n 9. Mangga S2r.n 10.Alpokat S2r.n 11.Jeruk S2r.n 12. Rambutan S3c.r.n 13. Apel N 14. Tebu S2r.n 15. Kelapa S2r.n 16. Kopi S2r.n 17. Cokelat S2r.n Keterangan faktor pembatas: c = iklim (suhu udara dan tinggi tempat); d = kekeringan; n = kesuburan tanah; r = pembatas zone perakaran (tanah padat, dangkal, berkerikil, berbatu); w = drainase buruk. Sumber: Soemarno, 1994. 15 Kesesuaian lahan pada hakekatnya merupakan peng- gambaran dan pengharkatan tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu, termasuk untuk budidaya tanaman pertanian. Brinkman dan Smyth (1973) telah menemukan beberapa kualitas lahan yang menentukan tingkat kesesuaian lahan bagi tanaman. Kualitas lahan ini adalah ketersediaan air tanah, ketersediaan unsur hara, daya menahan unsur hara, kemasaman, ketahanan terhadap erosi, sifat olah tanah, kondisi iklim, dan kondisi daerah perakaran tanaman. Konsepsi ini telah dikembangkan lebih lanjut oleh Soepraptohardjo dan Robinson (1975), yang telah mengemukakan beberapa faktor penting lainnya, yaitu kedalaman efektif tanah, tekstur tanah di daerah perakaran, pori air tersedia, batu-batu di permukaan tanah, kesuburan tanah, reaksi tanah, keracunan hara, kemiringan, erodibilitas tanah, dan keadaan agroklimat. Dalam hubungannya dengan produksi tanaman pertanian, setiap jenis tanaman mempunyai persyaratan tertentu uantuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Proses produksi tanaman: Pengharkatan menurut faktor sebagai produksi primer (SUMBER: http://www.seafriends.org.nz/enviro/soil/ecology.htm) Berikut ini disajikan Persyaratan Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian: JAGUNG (Zea mays) 16 1. Iklim Temperatur berkisar antara 16 - 32oC, dan kisaran optimumnya 2026oC. Curah hujan berkisar 500-5000 mm/th, kisaran optimumnya 10001500 mm/th. 2. Tanah Persyaratan kebutuhan tanah adalah : tanah dalam, konsistensi gembur, permeabilitas sedang, drainase agak cepat hingga baik, tingkat kesuburan tanah sedang, tekstur lempung dan lempung berdebu dengan kandungan humus sedang, reaksi tanah (pH ) antara 5.2 - 8.5 dan kisaran optimumnya 5.8-7.8. Sumber: www.obamagardensofhope.com/gallery2/v/South+D... Penurunan hasil dapat terjadi karena salinitas dengan daya hantar listrik (DHL) mencapai > 1.7 dS/m. Penurunan hasil dapat mencapai 50% kalau DHL mencapai 5.9 dS/m atau ESP mencapai 15%, dan tanaman tidak mampu berproduksi (penurunan hasil 100%) kalau DHL = 10 dS/m. Kehilangan hara (kg/h/siklus pertumbuhan) untuk produksi tinggi yaitu: N = 165; P2O5 = 55; K2O = 135. 3. Hasil tanaman jagung 17 Produksi tanaman jagung Tadah hujan yang diusahakan pada berbagai kondisi dan manajemen sbb: Komersial = 6-9 ton biji/ha ( 33 ton pakan ternak/ha) Rataan petani = 0.5-1.5 ton biji/hha Tanaman jagung dengan Irigasi: Komersial = 6-9 ton biji/ha (80 ton pakan ternak/ha) Pengolahan tanah tegalan untuk menanam jagung (Sumber: http://www.krjogja.com/) Pemupukan nitrogen tanaman jagung manir (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/_P58UeJfTNP8/SfBguy) 18 Persyaratan kesesuaian penggunaan lahan untuk Tanaman Jagung Persyaratan penggunaan/ Kelas kesesuaian lahan: Temperatur (tc) Temperatur rataan (oC) Ketersediaan air (wa) Curah hujan, mm Kelembaban, % Ketersediaan oksigen (oa) Drainase S1 Karakteristik lahan S2 S3 N 20-26 26-30 16-20 30-32 <16 >32 500-1200 1200-1600 400-500 36-42 >1600 300-400 30-36 <300 <30 Baik – Agk terhambat Agk cepat Terhambat Sgt trhbCepat >42 Media perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut: Ketebalan (cm( + dg sisipan/pengkayaan Kematangan h, s <15 >60 ah 15-35 60-40 ak 35-55 40-25 K >55 <25 <60 <140 Saprik+ 60-140 140-200 Saprik Hemik+ 140-200 200-400 Hemik Fibrik+ >200 >400 Fibrik Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) PH (H2O) <16 >50 5.8-7.8 <= 16 35-50 5.5-5.8 7.8-8.2 <= 0.4 4.6 <35 < 5.5 > 8.2 C-organik (%) >0.4 Toksisitas (xc) <4 6.8 >8 Salinitas, dS/m Sodositas (xn) <15 15-20 20-25 >25 Alkalinitas, ESP, % Bahaya sulfidik (xs): Kedalaman sulfidik (cm) >100 75-100 40-75 <40 Bahaya erosi (eh) Lereng (%) <8 8-16 16-30 >30 Bahaya erosi sr R - sd b Sb Bahaya banjir (fh): F0 = F1 >F2 Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) <5 5-15 15-40 >40 Singkapan batuan (%) <5 5-15 15-25 >25 Keterangan: Tekstur: h = halus; ah= agak halus; s = sedang; ak = agak kasar + : gambut dengan sisipan/pengkayaan bahan mineral. Bahaya erosi: sr=sagat ringan; r= ringan; sd= sedang; b= berat; sb= sngt berat. 19 Pengolahan tanah untuk memperbaiki kualitasnya sebagai media tumbuh tanaman (foto, soemarno april 2011) Sumber: http://tipspetani.blogspot.com/2010/05/cara-meningkatkan-produksijagung.html 20 3. SUMBERDAYA AIR 3.1. Ketersediaan Air Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia maupun mahkluk hidup lainnya yang ada di muka bumi. Sejalan dengan pertambahan dan perkembangan penduduk serta industri, maka kebutuhan terhadap air bersih semakin meningkat. Peningkatan kebutuhan akan air ini tidak diimbangi oleh jumlah air yang tersedia, karena sumberdaya air di dunia ini tidak akan pernah bertambah jumlahnya. Oleh karena itu, sudah selayaknya sumber-sumber air yang telah ada perlu dijaga dan dilestarikan. Apabila memungkinkan ditingkatkan ketersediaannya meskipun memerlukan jangka waktu yang panjang. Pertumbuhan penduduk dan aktvitas pembangunan yang tinggi, serta adanya eksploitasi sumberdaya alam secara intensif dan berlebihan, memberikan peringatan kepada kita untuk menyusun suatu strategi yang lebih baik dalam mengelola sumberdaya alam air. Strategi ini harus diproyeksikan terhadap matra waktu berjangka pendek dan berjangka panjang. Peningkatan jumlah penduduk cenderung meningkatkan permintaan akan sumber daya air, dilain pihak yang terjadi justru sebaliknya, yakni air menjadi sumber daya yang keberadaannya semakin tak berketentuan. Dalam memahami keberadaan air perlu dicermati daur (siklus) air yang terjadi di alam. Di samping itu perlu difahami bahwa keberadaan air akan berfluktuasi dengan fungsi waktu. Bagan Silklus air di alam (sumber: http://www.globalchange.umich.edu/globalchange1/current/lectures/kling/water_ nitro/water_and_nitrogen_cycles.htm) 21 Contoh-contoh diagram yang menggambarkan kondisi klimatik di suatu lokasi. Curah hujan (m m ) Rerata Curah Hujan Bulanan Stasiun Giwangan Tahun 1997-2006 181.4 200 150 137.2135.8 107.7 72.1 100 33.9 50 5.3 13.9 0 38.5 45.5 3 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan Contoh Agihan curah hujan bulanan Sumber: http://www.schweich.com/imagehtml/climdiag.html 22 Pasokan air tidak hanya diperlukan untuk kebutuhan rumah tangga, tetapi juga untuk pengairan dan air minum, di samping juga untuk keprluan industri. Sumber air primer di bumi adalah presipitasi (curahan). Di samping itu ada juga embun dan salju. Di daerah iklim kering, air hujan langsung dipanen untuk berbagai penggunaan. Air hujan ditampung dalam embung. Air dalam embung dapat dimanfaatkan untuk keperluan air minum, irigasi, atau air minum ternak. Sehingga air hujan tidak diusahakan meresap, tetapi dibiarkan sebagai runoff, yang kemudian ditampung. Contoh di Timor air ditampung di tempat yang kedap air (embung), atau menimbun tanah dengan sisa hasil panen agar air tidak cepat menguap. EMBUNG Embung adalah bangunan konservasi air berbentuk kolam untuk menampung air hujan dan air limpahan atau air rembesan di lahan sawah tadah hujan yang berdrainase baik. Menurut Pedoman Membuat Desain Embung Kecil untuk Daerah Semi Kering di Indonesia (1997) oleh Departemen Pekerjaan Umum, “embung” adalah bangunan penyimpan air yang dibangun di daerah depresi, biasanya di luar sungai. Embung akan menyimpan air di musim hujan, kemudian airnya dapat dimanfaatkan oleh suatu desa hanya selama musim kemarau atau saat kekurangan air. Itu pun dalam memenuhi kebutuhan harus dengan urutan prioritas, yaitu penduduk, ternak, dan sedikit kebun. Menurut Pedoman Teknis Konservasi Air Melalui Pengembangan Embung (2007) oleh Departemen Pertanian, “embung” merupakan waduk berukuran mikro di lahan pertanian (small farm reservoir) yang dibangun untuk menampung kelebihan air hujan di musim hujan yang memenuhi kriteria air bersih. Air bersih yang ditampung tersebut selanjutnya digunakan sebagai sumber irigasi suplementer untuk budi daya komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi (high added value crops) di musim kemarau atau di saat curah hujan makin jarang. Berdasar pengertian di atas maka “embung” dapat digolongkan sebagai salah satu upaya atau teknik pemanenan air (water harvesting) yang sangat sesuai di segala jenis agroekosistem. Di lahan rawa namanya pond, yang berfungsi sebagai tempat penampungan air drainase saat kelebihan air di musim hujan dan sebagai sumber air irigasi pada musim kemarau. Pada ekosistem tadah hujan atau lahan kering dengan intensitas dan distribusi hujan yang tidak merata, embung dapat digunakan untuk menahan kelebihan air dan menjadi sumber air irigasi pada musim kemarau. Pada prinsipnya, secara operasional embung berfungsi untuk mendistribusikan dan menjamin kontinyuitas ketersediaan pasokan air untuk keperluan 23 tanaman ataupun ternak di musim kemarau dan penghujan. Sehingga, nuansa pembangunan embung adalah lebih kental untuk konservasi air. Secara historis dan teoritis, konsep dasar konservasi air adalah jangan membuang-buang sumber daya air. Pada awalnya konservasi air diartikan sebagai penyimpan air dan menggunakannya untuk keperluan yang produktif di kemudian hari. Konsep ini disebut konservasi segi suplai. Perkembangan selanjutnya mengarah pada pengurangan atau pengefisienan penggunaan air, dikenal sebagai konservasi sisi kebutuhan. Konservasi air yang baik merupakan gabungan dari kedua konsep tersebut, yaitu menyimpan air di kala berlebihan dan menggunakannya sesedikit mungkin untuk keperluan tertentu yang produktif. Sehingga, konservasi air domestik berarti menggunakan air sesedikit mungkin untuk mandi, mencuci, menggelontor toilet, dan penggunaan rumah tangga lain. Konservasi air mempunyai efek berganda; mengurangi kerugian akibat air, mengurangi biaya pengolahan air, mengurangi ukuran jaringan pipa, dll. Dalam kurun dua dekade, konservasi air menjadi kunci untuk meningkatkan suplai air bersamaan dengan peningkatan manajemen kebutuhan. Beberapa teknik konservasi air antara lain dengan pembuatan embung, sumur resapan, rorak, dam aprit dan cara lain untuk mengurangi penguapan (evaporasi) dengan memanfaatkan mulsa. Air yang mengisi embung dapat berasal dari saluran drainase yang ada di sekitar embung. Dalam hal ini, tujuan embung adalah untuk mengurangi kelebihan debit air saja dari saluran drainase yang berpotensi menimbulkan banjir. Embung penampung air hujan (Sumber: http://bebasbanjir2025.wordpress.com/teknologi-pengendalian-banjir/embung/) 24 Indonesia sebagai negara tropis sebagian besar wilayahnya mempunyai curah hujan yang cukup tinggi yaitu 4000 mm/tahun, namun pada beberapa daerah memilki curah hujan yang cukup rendah yaitu 800 mm/tahun. Meskipun potensi curah hujan cukup tingi, namun pada kenyataannya besarnya aliran mantap (base flow) yang terjadi secara kontinyu setiap tahun, hanya sekitar 25 – 30% dari aliran permukaan total. Berdasarkan perhitungan curah hujan tersebut, ketersediaan air di Indonesia adalah 3.279 milyar m3 per tahun sedang jumlah kebutuhan air adalah 88,5 milyar m3 per tahun. Jika dinyatakan dalam nilai Indeks Ketersediaan Air (IKA) untuk jumlah penduduk sekitar 230 juta jiwa pada tahun 1999, maka IKA Indonesia adalah sebesar 14.000 m3/kapita/tahun. Dengan laju pertumbuhan penduduk yang demikian pesat (sekitar 2,5% per tahun), nilai IKA bisa turun secara drastis mencapai ambang toleransi sebesar 1000 m3/kapita/tahun. Sementara itu, pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan akan memacu pertumbuhan sektor-sektor lainnya (termasuk sektor industri). Pertumbuhan tersebut memerlukan tersedianya air tawar dalam jumlah yang cukup besar, baik untuk irigasi, untuk mencukupi kebutuhan hidup, pembangkit listrik, kebutuhan industri, dan lain-lain, sedangkan ketersediaan sumberdaya air relatif tetap. Pertumbuhan industri yang kurang terencana akan menghasilkan buangan air limbah ke sungai, sehingga dikhawatirkan tingkat pencemaran air terutama di sungai-sungai utama akan meningkat bila upaya pengendaliannya tidak memadai. Kerusakan hutan, alih fungsi lahan melalui perambahan kawasan hutan, perluasan kawasan budidaya, dan permukiman serta industri dapat merusak ekosistem dan kesetimbangan daur/siklus lingkungan, termasuk diantaranya siklus hidrologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengurangan luas hutan dari 36% menjadi 25%, 15% dan 0% akan menaikkan puncak banjir berturut-turut 12,7%, 58,7% dan 90,4%, dan meningkatkan laju erosi sebesar 10%, 60% dan 90%. 25 Pencemaran sungai akibat pembuangan sampah rumahtangga dan kota (Sumber: http://tripwow.tripadvisor.com/slideshow-photo/pencemaran-sungaimalaysia-malaysia.html?sid=17608562&fid=upload_12997741212-tpfil02aw-4531). 3.2. Pengelolaan air Dalam hubungannya dengan pengelolaan air, ada istilah Surjan’ lahan surjan yaitu kenampakan lahan dengan surjan, analoginya lahan sawah. Pertanian sistem surjan: ragam pertanian sistem surjan (menjadikan lahan surjan). Bonorowo: lahan yang pada waktu musim hujan beno, akan tetapi pada waktu kemarau kering. Sehingga untuk mengurangi gagal risiko panen dibuat sistem surjan. 26 Pertanian sistem surjan. Sumber: http://edypekalongan.blogspot.com/2011/06/makna-busana-jawa-surjan.html Dalam konteks tataguna lahan, lahan memperlihatkan dua potensi yaitu: 1. Potensi maslahat (Potensi), yaitu potensi yang disediakan oleh lahan untuk kepentingan manusia. 2. Potensi mudarat (Masalah), yaitu yang dapat mengganggu atau merusak kehidupan manusia. Misalnya lahan dengan kemiringan curam berpotensi erosi dan longsor. Lahan Kritis merupakan lahan yang keadaan fisiknya demikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. 27 Budidaya tanaman cabe pada lahan miring, rawan erosi dan longsor. Sumber: http://edijabonpadalarang.wordpress.com/2010/10/12/menyelamatkan-lahankritis/ 4. POTENSI LAHAN 4.1. Potensi Maslahat Potensi maslahat diukur dengan harkat: 1. Kemampuan (indikator biofisik) 2. Kesesuaian (indikator ekonomi) 3. Keselarasan (indikator sosial) 4. Kelayakan (indikator bisnis) Harkat lahan sebagai mutu hanya dapat ditaksir secara: 1. Empirik, sbagai faktanya adalah alami. 2. Percobaan, faktanya dibuat 3. Teknik simulasi dengan parameter-parameter. 4.1.1. Kemampuan Lahan Kemampuan lahan (land capability) dinilai menurut macam pengelolaan yang disyaratkan berdasarkan pertimbangan biofisik untuk mencegah terjadinya kerusakan lahan selama penggunaan. Makin rumit pengelolaan yang diperlukan, berarti lahan makin rentan usikan, kemampuan lahan dinilai makin rendah untuk macam penggunaan yang 28 direncanakan. Berkenaan dengan peruntukan lahan maka kemampuan lahan menjadi pedoman pemilihan macam penggunaan lahan yang paling aman bagi keselamatan lahan. Kemampuan Lahan merupakan daya yang dimiliki oleh lahan untuk menanggung kerusakan lahan. Yang menentukan adalah faktor biofisik. Untuk lahan yang datar mempunyai kemampuan yang lebih tinggi daripada lahan yang miring. Penilaian kemampuan lahan dengan empat kriteria: 1. Ketahanan lahan menghadapi usikan 2. Macam dan tingkat risiko yang muncul dalam penggunaan lahan. Di sini ada dalam sistem penilaian. 3. Ketinggian kemampuan aktual (asli) yang dapat dicapai dengan masukan teknologi 4. Jaminan kemanfaatan yang memadai secara ketetrlanjutan, yaitu Persoalan pengelolaan. 4.1.2. Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan (land suitability) dinilai berdasarkan pengelolaan khas yang diperlukan untuk mendapatkan nisbah (ratio) yang lebih baik antara manfaat/maslahat yang dapat diperoleh dan korbanan/biaya/masukan yang diperlukan. Makin rumit pengelolaan khas yang diperlukan, berarti makin lmah daya tanggap lahan terhadap masukan teknologi, kesesuaian lahan dinilai rendah untuk macam penggunaan yang direncanakan. Kesesuaian lahan berkonotasi ekonomi. Dalam memperuntukkan lahan bagi suatu keperluan tertentu diutamakan pertimbangan kemungkinan mengoptimumkan masukan berkenaan dengan keluaran yang diinginkan. Pengoptiman ini dapat direncanakan menurut konsep ekologi (adaptasi) atau menurut konsep ekonomi (efisiensi), baik dalam hal konservasi fungsi lahan maupun dalam hal peningkatan kapasitas produktif. Adapun kecocokan lahan untuk penggunaan khusus menurut konsep ekonomi. Dalam hal ini sudah ada pemilihan komoditas. 29 Bagan analisis penggunaan lahan berbasis kesesuaian dan kemampuan lahan. Pentahapan dalam evaluasi lahan secara tidak langsung (McRae dan Burnham, 1981 dalam Sitorus, 1985) (Sumber: http://younggeomorphologys.wordpress.com/2011/03/18/konsepsievaluasi-sumberdaya-lahan-analisis-dan-manfaatnya-dalam-kehidupan/ Analisis Kesesuaian lahan secara kuantitatif Metode Parametrik Metode evaluasi lahan semikuantitatif seperti penilaian parametrik diposisikan di tengah antara metode kualitatif dan kuantitatif. Ini berasal dari efek disimpulkan numerik dari berbagai karakteristik tanah pada perilaku potensi sistem penggunaan lahan. Sistem aritmatika mempertimbangkan faktor-faktor yang paling signifikan dan memperhitungkan interaksi antara faktor-faktor yang signifikan tersebut, baik dengan perkalian sederhana maupun dengan penambahan faktor tunggal indeks. Sistem ini mengalikan nilai peringkat masing-masing karakteristik lahan atau faktor, dan kemudian mengambil produk dari semua peringkat faktor tersebut sebagai indeks peringkat akhir. Sistem ini memiliki keuntungan karena faktor- faktor produktivitas yang penting ikut menentukan “rating”. Keuntungan lainnya adalah bahwa nilai rating keseluruhan tidak dapat bernilai negatif. Keterbatasan dari sistem ini adalah bahwa peringkat akhir mungkin jauh lebih 30 rendah dibandingkan dengan peringkat masing-masing faktor individual. Upaya pertama dan paling banyak dikenal untuk menguraikan, mengalikan kriteria untuk rating produktivitas tanah melalui penilaian induktif, dikembangkan oleh R. Storie (1933). Indeks Storie (SIR) dihitung dengan mengalikan peringkat masing-masing karakteristik, yaitu profil tanah (A), tekstur tanah permukaan (B), kemiringan lahan (C), dan kondisi modifikator seperti kedalaman tanah, drainase, atau alkalinitas tanah (X). SIR = A . B . C . X (1) Storie made it quite clear that the factor ratings he provided were to be taken as guides rather than as absolute values and that the ratings were to be changed as soil scientists gained experience with the index. Three other well-known systems—the Universal Soil Loss Equation (USLE), the Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE), and the Revised Universal Soil Loss Equation (RUSLE)—take a very similar form to the Storie Index, and operate by multiplying the most critical factor values. The USLE has, in many cases, superseded the USDA Land Capability System for onfarm planning function in the 1980s. Additive systems also allocate a numerical value to the most important land factors, but instead of being multiplied these parameters are added. These numbers are either summed up or subtracted from a maximum rating of 100 to derive a final rating index. Additive systems have the advantage of being able to incorporate information from more land characteristics than do multiplying systems. Experience has shown that four or five factors appear to be a good average to use in multiplying systems; otherwise most final ratings become so low that the approach can no more distinguish small differences in response. Additive systems allow the consideration of many more criteria, both single and in combination with the effects of other factors. Other advantages of this approach are that no single factor can have enough weight to unduly influence the final rating, and that it is generally easier to specify the criteria and their factor ratings for an unambiguous land performance determination. Limitations of additive systems stem from their complexity. As the number of factors evaluated increases, so does the difficulty in juggling factor ratings so that the final ratings derived for a number of land units or soils are all realistic. Another problem might occur in cases where negative ratings have to be taken into consideration. 31 Combined methods for rating soil productivity levels utilize both additive and multiplying procedures. Most combined methods use additive processes to derive single-factor ratings, and subsequently multiply these single-factor ratings together to derive final rating indexes. It is obvious that each of the factors taken into consideration has to be judged and validated through individual response curves before these can be integrated in the formula. The major advantage of these combined systems is that they allow us to integrate information from several selected factors without creating an unrealistically low or even negative final result. The complexity of the approach is obviously higher than that of simple multiplying systems. Most of the combined methods have been derived from Storie’s original concept. Sistem Evaluasi Lahan secara Statistik Metode evaluasi lahan secara statistik adalah metode semikuantitatif yang handal untuk memprediksi kesesuaian lahan berdasarkan karakteristik lahan yang terpilih. Korelasi dan analisis regresi berganda telah digunakan untuk menyelidiki kontribusi relatif dari karakteristik lahan tersebut. Kalau tersedia data dasar dan data respon yang sesuai, model statistik dapat memberikan dasar untuk penilaian atribut tanah secara objektif. Kesesuaian lahan atau variabel respon Y dianalisa sebagai fungsi: Y = φ (X1, X2, …, Xn) + ε (2) where Xn corresponds to the selected land characteristics or independent variables (e.g., soil depth, clay content, organic matter, caption exchange capacity, pH, sodium saturation, etc.), and ε measures the residual factors. Karena bentuk matematika φ tidak diketahui , fungsi ini dapat diperkirakan secara memuaskan , dalam skenario eksperimen , dengan menggunakan persamaan polinomial . Kalibrasi model polinomial ini dapat diperlakukan secara statistik sebagaimana regresi berganda . Koefisien regresi ( R2 ) yang dihasilkan oleh analisis ini merupakan indeks validasi induktif dari model yang sesuai dengan nilai persentase kontrobusi atas variasi yang diamati . Dalam pengembangan sistem ini , analisis korelasi menyediakan titik awal yang mudah dalam pemilihan variabel X , menurut pengaruh sederhana X terhadap variabel Y , serta kemungkinan interaksi antara variabel independen . Metodologi ini telah digunakan untuk memprediksi produktivitas tanah untuk tanaman pertanian , dan didasarkan pada pengetahuan yang terpadu dari berbagai disiplin ilmu . Oleh karena itu , ahli statistik yang kompeten , agronomi , dan 32 ilmuwan tanah harus bekerja sama untuk mengembangkan regresi polinomial untuk manfaat secara maksimal analisis statistik tersebut. Namun, dalam interpretasi survei tanah untuk keperluan teknik, hubungan statistik seringkali digunakan untuk memperkirakan sifat geoteknik tanah tertentu , ( misalnya , plastisitas , pemadatan , dan status air ) , dari karakteristik pedological ( misalnya , kandungan liat , bahan organik , bulk density ) . Dalam kasus terakhir ini , lebih baik menggunakan fungsi pedo transfer daripada sistem evaluasi lahan . Sistem Faktor Tunggal As a real step of the quantification trend in land evaluation, the single-factor systems try to mathematically express the influence of individual land characteristics on the performance of land use. These schemes are best where a single land characteristic has an extreme positive or negative effect on a proposed land use, such as, for example, soil depth on crop productivity. Soil depth is positively correlated to crop production, strongly so when the soil is shallow and tending to an asymptote when the depth approaches the rooting depth of the crop. An interpreting response curve to express the sufficiency of the individual factor soil depth on crop production could be as shown in Figure 1. Figure 1. Typical response curve of the single-factor systems 33 In this case, Si = 1 – e–xS (3a) where Si is the soil depth index, on a scale from 0 to 1; x is a cropspecific coefficient, in cm–1; and S is the soil depth, in cm. The value of coefficient x has been 0.02 cm–1 which could be specific for forest trees. All relations and the values of all coefficients used are to be established or validated by field experiment. A logical refinement of this response curve could be formulated on the basis of the assumption, that a minimum soil depth is required before production can take place. If a threshold value of 20 cm is considered as minimum soil depth, equation 3a can be modified to: Si =1 – e–x(S – 20) (3b) valid for S > 20 cm and Si = 0 for S < 20 cm Although these systems do not take into account the combined effects of two or more land characteristics, the calculated values for few significant single land characteristics can be combined to generate a suitability index. 4.1.3. Daya Dukung Lahan Daya dukung lahan (Land Carrying Capacity) dinilai menurut ambang batas kesanggupan lahan sebagai suatu ekosistem menahan keruntuhan akibat penggunaan. Daya dukung lahan ditentukan oleh banyak faktor baik biofisik maupun sosial-ekonomi-budaya yang saling mempengaruhi. Daya dukung tergantung pada persentasi lahan yang dapat digunakan untuk peruntukan tertentu yang berkelanjutan dan lestari, persentasi lahan ditentukan oleh kesesuaian lahan untuk peruntukan tertentu. Konsep daya dukung harus merujuk pada aras (level) penggunaan lahan yang akan meluangkan pemeliharaan secara sinambung suatu aras mutu lingkungan tertentu dalam suatu aras tujuan pengelolaan tertentu yang ditetapkan dengan mengingat biaya pemeliharaan mutu sumberdaya pada suatu aras yang akan mendatangkan kepuasan pengguna sumberdaya. Daya dukung lahan merupakan gabungan kemampuan dan kesesuaian 1. Ditaksir berdasarkan batas ketahanan suatu ekosistem dalam menghadapi dampak penggunaan yang bertujuan menumbuhkan 34 dan meningkatkan manfaatnya yang masih dapat mendatangkan kepuasan kepada pemakainya 2. Bergantung pada imbangan kemampuan lahan yang dijadikan tolok ukur dengan latar belakang keperluan dan kepentingan yang dipilih. Ada daya dukung ekologi, ekonomi, fasilitas, rekreasi, estetika, psikologi, keterlanjutan fungsi, dsb. 3. Kelayakan lahan menurut pertimbangan kemampuan dan kesesuaian. 4.2. Potensi Mudarat Potensi mudarat diukur dengan indikator risiko. Dalam menetapkan risiko dilakukan: Analisis risiko Penilaian risiko: berat, sedang, ringan Pengelolaan risiko dengan tujuan tidak mengganggu dalam penggnunaan lahan Risiko mengimplikasikan kemungkinan: Pelukaan, misalnya jalan licin menyebabkan tergelincir Perusakan, misanya banjir, longsor, angin ribut Penggangguan Efek-efek atau dampak yang merugikan dan yang tidak diinginkan. Catatan: risiko merupakan kejadian umum dalam kehidupan kita. Kerusakan lahan (land degradation) merujuk kepada penurunan kapasitas lahan bagi produksi atau penurunan bagi pengelolaan lingkungan yang dengan kata lain ialah penurunan mutu lahan. 5. ANALISIS DAYA DUKUNG LAHAN Salah satu faktor yang berpengaruh besar dan juga sangat dipengaruhi oleh pembangunan adalah faktor sumberdaya alam dan daya dukung lingkungan, yang sebenarnya merupakan sumberdaya lahan. Sumber daya alam dan daya dukung lingkungan ini salah satunya adalah lingkungan fisik yang merupakan tempat dilaksanakannya pembangunan. Dari kenyataan tersebut diperlukan adanya keserasian antara pembangunan yang dilakukan dengan daya dukung fisik. Untuk mencapai keserasian tersebut, hal yang perlu dilakukan adalah mengetahui kemampuan daya dukung lingkungan fisik. Dengan diketahuinya daya dukung lingkungan fisik, 35 maka dapat ditentukan juga kegiatan pembangunan yang sesuai dengan daya dukung tadi. Dalam penentuan kesesuaian lahan ini dilakukan delineasi wilayah menjadi kawasan lindung dan budi daya. Misalnya, untuk kawasan budi daya difokuskan pada kesesuaian lahan untuk pertanian, hal ini didasari oleh peranan sektor pertanian yang masih dominan dan sesuai dengan arahan pengembangan suatu wilayah yang secara umum difokuskan pada sektor pertanian. Faktor-faktor penentunya ditekankan pada aspek fisik dasar yang meliputi kemiringan, ketinggian, jenis tanah, curah hujan dan tekstur tanah. Dari hasil analisis kesesuaian lahan untuk kawasan lindung terutama hutan lindung lebih terkonsentrasi di wilayah utara dan tengah. Untuk kawasan budi daya, dari hasil analisis kesesuian lahan gabungan terdapat enam kombinasi. Kombinasi ini secara umum merupakan kesesuaian lahan untuk beberapa kegiatan dalarn suatu kawasan. Dari hasil analisis kesesuaian lahan gabungan dengan penggunaan lahan saat ini (existing), akan diperoleh penggunaan lahan yang telah sesuai dengan daya dukungnya. Di samping itu dari pertampalan dengan Arahan Penatagunaan Lahan juga dapat terjadi perbedaan, sehingga dapat dikatakan sebagai konflik. Misalnya kawasan lindung hasil analisis yang dijadikan kawasan budidaya dan sebaliknya. Sehingga ini sebagai bukti perlunya evaluasi terhadap perencanaan pengembangan wilayah yang didasari perkembangan daya dukung lingkungan dan adanya beberapa ketidaksesuaian peruntukan lahan dengan daya dukung lingkungan. 5.1. Analisis Carrying Capacity Ratio (CCR) Dalam menganalisis jumlah KK maksimum untuk penyediaan lahan budidaya lahan sawah dan ladang digunakan metode CCR. Metode ini menggunakan data luas lahan yang dipanen dalam setahun, persen penduduk petani dikalikan jumlah KK, dan rata-rata lahan dimiliki petani. Perhitungan metode ini adalah sebagai berikut: Axr CCR = ---------------------------------Hxhxf Sehingga diperoleh: Axr H = -----------------------------CCR x hx f Keterangan CCR : Kemampuan daya dukung (Carrying Capacity Ratio) A : Jumlah total area yang digunakan untuk kegiatan pertanian r : Frekuensi panen per hektar H : Jumlah KK (rumah tangga) 36 h f : Persentase jumlah penduduk yang tinggal : Ukuran lahan pertanian rata-rata yang dimiliki petani Pola pergiliran tanaman tergantung pada hujan. Sumber: http://www.nzdl.org/gsdlmod?e=d-00000-00---off-0fnl2.2--00-0----0-10-0---0--0direct-10---4-------0-1l--11-en-50---20-about---00-0-1-00-0--4----0-0-11-10-0utfZz-800&cl=CL3.33&d=HASHd3b46cd4916b56b3547bcc.4.5&gt=1 5.2. Analisis Peruntukan Lahan 5.2.1. Analisis Peruntukan Lahan Analisis Pertuntukan lahan dapat dilakukan dengan mendasarkan SK Menteri Pertanian no 837/KPTS/UM/11.1980. Dalam metode analisis ini ditentukan tiga faktor, yaitu: 1) kemiringan lereng, 2) jenis tanah dan 3) curah hujan. Ketiga faktor tersebut masing-masing ditetapkan skornya kemudian hasilnya dijumlah dan menghasilkan indeks lokasi. Indeks lokasi <125 dan kemiringan lereng <8% direkomendasikan sebagai kawasan permukiman dan tanaman semusim. Indeks lokasi <125 dan kemiringan lereng <15% direkomendasikan sebagai kawasan budidaya tanaman tahunan. Daerah dengan indeks lokasi 125-175 diperuntukkan sebagai Kawasan 37 Fungsi Penyangga. Daerah dengan indeks lokasi >175 diperuntukkan sebagai Kawasan Lindung. Tabel 1. Penilaian Kriteria Kelayakan Fisik Wilayah Untuk Pemanfaatan Lahan No. Kriteria 1. Lereng/Kemiringan 2. 3. Jenis Tanah Curah Hujan Klasifikasi 0-8 % 8-15 % 15-25 % 25-45 % >45 % Aluvial, Tanah Glei, Planosol, Hidromorf, Kelabu, Lateria air tanah Latosol Brown Forest Soil, New Calcie Andosol, Lateritic, Grumosol, Renzina Regosol, Litosol, Oranosol, Renzina 0,0-13,6 mm/hh 13,6-20,7 mm/hh 20,7-27,7 mm/hh 27,7-34,8 mm/hh >34,8 mm/hh Keterangan Datar Landai Agak curam Curam Sangat curam Skor 20 40 60 80 100 Tidak peka 15 Agak peka Kurang Peka 30 45 Peka 60 Sangat Peka 75 Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi 10 20 30 40 50 hh = hari hujan Sumber: SK Menteri Pertanian Nomer 837/KPTS/UM/11.1980 5.2.2. Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Non Pertanian Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Daerah Wisata/Rekreasi 1. Lapangan tempat bermain (play ground) Tempat bermain dalam hal ini adalah tanah lapang yang dapat digunakan untuk bermain sepakbola, bola voli, badminton, baseball, dan olah raga permainan lainnya. Dengan demikian permukaan lahan akan terus diinjak-injak oleh para pemain dan penonton. Oleh karena itu dierlukan daerah yang datar, drainasenya baik, mempunyai tekstur dan konsistensi yang mampu mendukung permukaan tanah menjadi teguh, juga tidak berbatu. Kriteria evaluasi kesesuaian lahan untuk tempat bermain 38 Sifat Tanah Drainase tanah Bahaya banjir Kelas kesesuaian dan faktor penghambat Baik Cepat, agak cepat, baik Sedang Agak baik dan agak jelek, Buruk Agak jelek, jelek, sngat jelek- Air tanah lebih dari 75cm Air tanah lebih dari 50cm dan agak baik Air tanah kurang 50cm Tidak pernah Sekali dalam Lebih satu dua tahun kali dlm 2 tahun. Prmeabilitas Sgat cepat, sdg Agk lambat, lmbt Sangat lambat- Kemiringan Tekstur tanah permukaan*) 0-2% lp,lph,lpsh l, ld 2-6% lli,llip, llid, pl > 6% lip, lid, li,p,pl,tnh org. Dalamnya > 100 cm 50-100 < 50 cm batuan Kerikil dan krakal (0.2-25cm) 0% < 20% > 20% Batu ( > 25 cm) 0 0.01-3% > 3% Batuan 0 0.01-0.1% > 0.1% Keterangan: *) lp = lempung berpasir; lph = lempung berpasir halus; lpsh = lempung berpasir sangat halus; l = lempung; ld = lempung berdebu; lli = lempung liat; llip = lempung liat berpasir; llid = lempung liat berdebu; pl = pasir berlempung; lip = liat berpasir; lid = liat berdebu; li = liat; p = pasir; pl = pasir berlempung. 2. Kesesuaian Lahan untuk tempat berkemah (camping ground) Tempat berkemah adalah tempat untuk menginap dengan menggunakan tenda, beserta kendaraan kemah dan segenap aktivitas di luar perkemahan "(outdoor living)". Dalam kondisi seperti ini tanah harus dapat dilewati berulang-kali oleh manusia atau secara terbatas oleh kendaraan. 3. Kesesuaian lahan untuk Kawasan Piknik Daerah untuk piknik adalah daerah semacam taman yang secara intensif digunakan untuk berpiknik. Kendaraan yang melewati jalan- jalan dalam taman tersebut dibatasi inten-sitasnya. Kriteria untuk evaluasi kesesuaian lahannya disajikan berikut. 4. Kesesuaian lahan untuk Jalan setapak (paths dan trails) 39 Jalan setapak yang dimaksud adalah jalan setapak yang sering digunakan untuk lintas alam (cross country). Daerah ini akan digunakan sebagai jalan setapak seperti dalam keadaan aslinya dan tidak ada pemindahan material tanah, baik dengan penggalian maupun penimbunan. Kriteria evaluasi lahan untuk tempat berkemah Sifat tanah Drainase*) Banjir Permeabilitas Kemiringan Tekstur tanah permukaan Baik c, ac,b,ab Kesesuaian lahan Sedang ab, aj. Air tanah lebih dari 75cm Tanpa musim kemah Sangat cepat, sedang 0-8% lp,lph,lpsh l, ld (bukan pasir lepas) 0-20% Air tanah leBih dari 50cm Tanpa dalam musim kemah Agak lambat, lambat 8-15% lli,llip, llid, pl, p (mudah terbang,organik 20-50% Buruk aj, j, sj. Air tanah ku rang 50cm Banjir dalam Sangat lambat > 15% lip,lid, pasir lepas Kerikil dan > 50% Kerakal Batu 0-0.1% 0.1 - 3% > 3% Batuan 0.01 0.01-0.1 > 0.1% *) c = cepat; ac = agak cepat; b = baik; ab = agak baik; aj = agak jelek; j = jelek; sj = sangat jelek. Sumber: USDA, 1971 Kriteria evaluasi lahan untuk daerah piknik Sifat tanah Drainase Banjir Baik c, ac, b, ab. Muka air tanah > 50 cm Tanpa Kemiringan Tekstur tanah permukaan Kerikil/kerakal Batu Batuan 0-8% lp,lph,lpsh, l, ld 0-20% 0-3% 0-0.1% Sumber: USDA, 1971 Kesesuaian lahan: Sedang ab, aj. Muka air tanah ku rang 50 cm Banjir 1-2 kali selama musim piknik 8-15% lli,llip, llid,pl, p, (tidak lepas) 20-50% 3 -15 0.1-3% Buruk j, sj. Muka air tanah kurang 50 cm hingga permukaan Banjir lebih 2 kali selama piknik > 15% lip,lid,li, p(lepas), organik > 50% > 15% > 3% 40 Kriteria Kesesuaian lahan untuk jalan setapak Sifat tanah Drainase Banjir Baik c,sc,b,ab. Muka air tanah lebih dari 50cm Sekali setahun Kemiringan Tekstur tanah permukaan Kerikil/kerakal Batu dan Batuan 0-15% lp,lph,lpsh, l, ld 0-20% 0-0.1% Kesesuaian Lahan: Sedang Buruk aj. Muka air j,sj. Muka tanah < 50 air tanah<50cm, sering dekat dngn permukaan 2-3 kali atau Lebih 3 kurang setahun kalisetahun 15-25% >25% llid,llip, lip,lid,li, lli ,pl p, organik 20-50% > 50% 0.1-3% > 3% Sumber: USDA, 1971 4. Kesesuaian Lahan untuk Gedung Tempat Tinggal Bangunan gedung tempat tinggal yang dimaksud di sini adalah bangunan gedung yang bebannya tidak lebih dari tiga lantai. Penentuan kesesuaian lahannya didasarkan pada kemampuan tanah sebagai penopang pondasi bangunan. Sifat lahan yang berpengaruh adalah daya dukung tanah, dan sifat-sifat tanah yang berkaitan dengan biaya penggalian dan konstruksi. Daya dukung tanah ditentukan oleh kerapatan (density), tata air tanah (wetness), bahaya banjir, plastisitas dan tekstur, potensi mengembang dan mengkerut. Sedangkan biaya penggalian tanah untuk pondasi ditentukan oleh tata air tanah, kemiringan, kedalaman tanah hingga ke hamparan batuan, dan keadaan batu di permukaan (USDA, 1971). 41 Kriteria kesesuaian Lahan untuk untuk tempat tinggal Sifat tanah Kesesuaian lahan: Sedang Buruk Bangunan dengan ruang bawah tanah: Baik hingga sangat Sedang Agak burukbaik terhambat Tanpa ruang bawah tanah: Sedang hingga Buruk hingga Agak Terhambat Sngt cepat buruk Baik Drainase Air tanah musiman ( > 1 bulan ) Banjir Lereng Potensi mengembang dan mengkerut Besar butir*) > 150 cm > 57 cm Tanpa 0 - 8% Rendah Batu kecil Tanpa-sedikit ML, CL, CH,MG,OL,OH dengan PI<15 Sedang Batu besar Tanpa Sedikit Dalamnya hampar an batuan GW,GP,SP,GM Dengan ruang bawah tanah: > 75 < 75 Tanpa ruang bawah tanah: > 50 < 50 Tanpa Jarang-sering 8 - 15% > 15% Sedang Tinggi GC,SM,SC,CL dengan PI>= 15 Agak banyaksangat banyak Sedang-sgt banyak > 150 cm Tanpa ruang bawah tanah: 100-150 <100 cm > 100 cm Dengan ruang bawah tanah: 50-100 < 50 cm *) LL = liquid limit; PI = indeks plastisitas; GW = gravel GP = gravel, SP = pasir; SM = pasir berlempung; CL = liat; ML = lempung; CH = liat berdebu; MG= lempung berdebu. 6. Kesesuaian Lahan untuk Tempat Penimbunan Sampah (berbentuk galian). Tempat penimbunan sampah berbentuk galian merupakan suatu galian untuk menimbun sampah setiap hari, kemudian ditutupi dengan lapisan tanah setebal kira-kira 15 cm. Bahan tanah penutup diperoleh dari tanah bekas galian tersebut. Setelah galian tanah penuh sampah, permukaan ditutup dengan lapisan tanah setebal sekitar 60 cm. Kesesuaian suatu bidang tanah untuk tempat penimbunan sampah dipengaruhi oleh tata air tanah (drainase tanah, kedalaman permukaan air bumi , dan permeabilitas tanah), lereng, tekstur, kedalaman hamparan batuan, dan jumlah batu di permukaan tanah (USDA, 1971). Kemungkinan terjadi pencemaran terhadap air bumi oleh tempat penimbunan sampah dapat ditunjukkan oleh kedalaman muka air bumi dan permeabilitas tanah. Air 42 bumi akan tercemar apabila dekat dengan dasar galian penimbunan sampah dan apabila tanahnya permeabel. Untuk mencegah pencemaran terhadap air bumi pada tanah yang sarang (permeabel), dasar dan dinding galian harus dipadatkan. Kriteria kesesuaian lahan untuk pembangunan jalan Sifat tanah Drainase Banjir Lereng Dalamnya hamparan batuan Subgrade: Indeks AASHO Unified Baik c, ac,b,ab Tanpa 0-8% >100 cm 0-4 GW,GP,SW,SP, CL dengan PI Kesesuaian lahan Sedang aj kung dari se kali dlm 5 th 8-15% 50-100 Potensi mengemBang-mengkerut Rendah 5-8 GM,GC,SM, SC < 15 , CL dgn PI Sedang Batu Batuan besar 0-3% 0-0.01% 3-15% 0.01-0.1% Buruk j, sj Lebih dari sekali >15% <50 >8 >= 15,CH,MH OH,OL,Pt > 15% > 0.1% Tinggi Sumber: USDA, 1971 7. Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pembuangan Sampah Terbuka Sampah dibuang di atas permukaan tanah. Material tanah yang digunakan untuk menutup tempat sampah, yang dilakukan setiap hari atau setelah smapah penuh dida-tangkan dari tempat lain. 43 Kriteria kesesuaian tempat penimbunan sampah berbentuk galian Sifat tanah Baik Kesesuaian lahan Sedang Buruk Dalamnya air bumi musiman (g) >= 180 cm >= 180 < 180 Drainase (d) Ancaman banjir (f) Permeabilitas (p) c,ac,b,ab Tanpa <= 5 cm/jam aj,ab Jarang <= 5 j, sj Sering >5 Lereng (s) Tekstur hingga ke- 0-15% Lmpung berpasir 15-25% Lempung liat > 25% Liat,gambut dalaman 150 cm (t) lempung, lmpng berdebu, lmpung liat berpasir berdebu, lmpung berliat Dalamnya hamparan >= 180 >= 180 cm kerikil,liat berdebu, liat berpasir, pasir berlempung < 180 Batuan (i) Batu (sb) Batu besar (sr) 0-0.1% 0-0.01% 0.1-3% 0-0.01% > 3% > 0.01% Sumber: USDA, 1971 Kriteria kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan sampah secara terbuka Sifat tanah Kedalaman groundwater Drainase tanah Banjir Permeabilitas Lereng Baik > 150 cm Kesesuaian lahan: Sedang 100-150 Buruk < 100 c,ac,b,ab Tanpa < 5 cm/jam 0-8% aj Jarang < 5 cm/jam 8-15 j, sj Sering >5 > 15 Sumber: USDA, 1971 8. Kesesuaian lahan untuk Septic-tank Penentuan kelas kesesuaian didasarkan atas kemampuan tanah untuk menyerap aliran dari septic-tank. Kemampuan tanah ini ditentukan oleh permeabilitas, tinggi muka air bumi, dalamnya tanah hingga hamparan batuan, perkolasi tanah, bahaya banjir, lereng dan keadaan batu di permukaan. Penentuan kelas kesesuaian didasarkan atas kemampuan tanah untuk menyerap aliran dari "septic-tank". Kemampuan tanah ini ditentukan oleh permeabilitas, tinggi muka air bumi, dalamnya tanah hingga 44 hamparan batuan, perkolasi tanah, bahaya banjir, lereng dan keadaan batu di permukaan. Kriteria kesesuaian lahan untuk septic-tank Sifat tanah Permeabilitas Konduktivitas hidraulik Perkolasi Dalamnya air bumi Banjir Kesesuaian lahan Baik Cepat,agak cepat-sedang > 25 mm/jam Sedang Peralihan sedang agak lambat 15-25 Buruk Agak lambat,lambat agk cepat- sdg < 15 < 18 menit/cm > 180 cm Tidak pernah 18-24 120-180 Jarang 0-8% 8-15 > 24 < 120 Kadang-kadang atau sering > 15 >180 cm Tanpa Sedikit Tanpa 120-180 Sedang Lereng Dalamnya lapisan Kedap air, batuan Banyaknya batu kecil Batu besar Sedikit <120 Agak banyak Sangat banyak Sedang-sangat banyak Sumber: USDA, 1971 5.3. Analisis Alih Guna Lahan Konversi lahan dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Misalnya, berubahnya peruntukan fungsi lahan persawahan beririgasi menjadi lahan industri, dan fungsi lindung menjadi lahan pemukiman. Hal ini sejalan dengan penelitian di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari dimana lahan yang dikonversi merupakan kawasan hutan lindung yang kemudian dijadikan kawasan pemukiman oleh mereka. Konversi lahan berarti alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Secara umum kasus yang tercantum pada bagian sebelumnya menjelaskan hal yang serupa seperti pengubahan fungsi sawah menjadi kawasan pemukiman. Berdasarkan fakta empirik di lapangan, ada dua jenis proses konversi lahan sawah, yaitu konversi sawah yang langsung dilakukan oleh petani pemilik lahan dan yang dilakukan oleh bukan petani lewat proses 45 penjualan. Sebagian besar konversi lahan sawah tidak dilakukan secara langsung oleh petani tetapi oleh pihak lain yaitu pembeli. Konversi yang dilakukan langsung oleh petani luasannya sangat kecil. Hampir 70 persen proses jual beli lahan sawah melibatkan pemerintah, yaitu ijin lokasi dan ijin pembebasan lahan. Proses konversi yang melalui proses penjualan lahan sawah berlangsung melalui dua pola, yaitu pola dimana kedudukan petani sebagai penjual bersifat monopoli sedang pembeli bersifat monopsoni, hal ini terjadi karena pasar lahan adalah sangat tersegmentasi bahkan cenderung terjadi asimetrik informasi diantara keduanya. Sehingga struktur pasar yang terbentuk lebih menekankan pada kekuatan bargaining. Sedangkan tipe yang kedua adalah konversi lahan dengan bentuk monopsoni. Keterlibatan pemerintah dimungkinkan karena kedudukan pemerintah sebagai planner yang bertugas mengalokasikan lahan, dimana secara teoritis harus disesuaikan dengan data kesesuaian lahan suatu daerah lewat rencana tata ruang wilayahnya. Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama konversi lahan, pelaku, pemanfaatan dan proses konversi, maka tipologi konversi terbagi menjadi tujuh tipologi, yaitu: 1) Konversi gradual-berpola sporadik, pola konversi yang diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang tidak/kurang produktif/bermanfaat secara ekonomi dan keterdesakan pelaku konversi. 2) Konversi sisitematik berpola enclave, pola konversi yang mencakup wilayah dalam bentuk sehamparan tanah secara serentak dalam waktu yang relatif sama. 3) Konversi adaptif demografi, pola konversi yang terjadi karena kebutuhan tempat tinggal/pemukiman akibat adanya pertumbuhan pendudukan. 4) Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial, pola konversi yang terjadi karena motivasi untuk berubah dari kondisi lama untuk keluar dari sektor pertanian utama. 5) Konversi tanpa beban, pola konversi yang dilakukan oleh pelaku untuk melakukan aktivitas menjual tanah kepada pihak pemanfaat yang selanjutnya dimanfaatkan untuk peruntukan lain. 6) Konversi adaptasi agraris, pola konversi yang terjadi karena keinginan untuk meningkatkan hasil pertanian dan membeli tanah baru ditempat tertentu. 7) Konversi multi bentuk atau tanpa pola, konversi yang diakibatkan berbagai faktor peruntukan seperti pembangunan perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, dan sebagainya. 46 Sawah menjadi Rumah Jika anda pergi ke desa-desa atau daerah pinggiran kota yang masih memiliki areal persawahan. Cobalah anda perhatikan, apakah di sekitarnya telah muncul perumahan-perumahan baru ataukah tetap seperti dulu saat pertama kali anda melihatnya? Beberapa bulan belakangan ini saya sering menyaksikan sawah-sawah di daerah sekitar Magelang- Yogyakarta- Klaten Hingga Solo semakin berkurang. Disekitarnya tumbuh beberapa pemukiman penduduk, mulai dari yang sederhana hingga yang tampak mewah. Rumah adalah kebutuhan pokok setiap manusia dan setiap keluarga. Rumah adalah tempat tinggal yang penting bagi manusia. Memiliki makna sebagai tempat untuk berlindung, tempat menjalani suka duka bersama seluruh keluarga, dan tempat di mana selalu kita ingin merasa kembali ke sana. Dari rumah kita mengenal cinta kasih orang tua, dari rumah kita tahu rahasia-rahasia yang ada dalam keluarga, dan dari rumah kita belajar menjadi diri kita saat ini. Pentingnya kebutuhan akan rumah menjadikan setiap orang menginginkan rumah milik sendiri. Kebutuhan ini tampak dengan menjamurnya bisnis perumahan. Sangat mudah kita menemukan iklan-iklan tentang perumahan di televisi, baliho di jalan raya, dan iklan di koran. Bisnis perumahan tampaknya merupakan bisnis yang akan tetap ada dan diminati banyak orang. Namun pertambahan perumahan baru untuk pemukiman penduduk menjadi salah satu dari sekian banyak hal yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan sekitar. Bertambahnya perumahan bagi penduduk negeri ini ternyata menimbulkan dampak lain dalam kehidupan. Yang paling sering kita temukan adalah alih fungsi lahan pertanian seperti persawahan untuk perumahan. Akibat alih fungsi ini adalah dapat mengurangi produksi pangan. Akibatnya harga pangan akan naik. Selain itu kehidupan makhluk hidup yang ada di sawah juga akan terganggu. Lebih lanjut lagi, jika lahan yang diubah menjadi perumahan adalah daerah yang dulunya banyak pepohonan, misal pinggiran hutan, maka hal ini dapat mengurangi lahan hijau yang penting bagi kehidupan. 47 Alih fungsi sawah menjadi perumahan telah mencapai tingkat mengkhawatirkan swasembada beras nasional. (foto soemarno, desember 2011) 5.4. Klasifikasi kemampuan lahan Klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian komponen lahan yang menurut Arsyad (1989) adalah penilaian komponen-komponen lahan secara sistematis dan pengelompokan ke dalam berbagai kategori berdasar sifatsifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaan lahan. Lahan digolongkan kedalam 3 (tiga ) kategori utama yaitu kelas, sub-kelas dan satuan kemampuan lahan. Struktur klasifikasi kemampuan lahan yang menjelaskan bahwa pendekatan klasifikasi lahan ini dapat diterapkan untuk berbagai tingkatan skala perencanaan. Perencanaan penggunaan lahan di wilayah propinsi dapat menggunakan klasifikasi pada tingkat kelas dan untuk wilayah kabupaten menggunakan sub kelas . Kemampuan lahan dapat dicerminkan dalam bentuk peta kemampuan lahan. Peta kemampuan lahan dapat menggambarkan tingkat kelas potensi lahan secara keruangan dan dapat dipakai untuk menentukan arahan penggunaan lahan pedesaan secara umum. 48 Klasifikasi kemampuan lahan dapat diterapkan sebagai metode perencanaan penggunaan lahan (Hockensmith dan Steele, 1943). Selanjutnya Klingebiel dan Montgomery (1961) menganalisis hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan. 49 Skema Baru Klasifikasi Kemampuan Lahan (A Treatment-Oriented Scheme especially for http://www.fao.org/DOCREP/006/T0165E/t0165e10.htm) Hilly Watersheds. Symbols for most intensive tillage or uses: C1 : Cultivable land 1, up to 7° slope, requiring no, or few intensive conservation measures, e.g. contour cultivation, strip cropping, vegetative barriers, rock barriers and in larger farms, broadbase terraces. C2 : Cultivable land 2, on slopes between 7° and 15°, with moderately deep soils needing more intensive conservation, e.g. bench terracing, hexagon, convertible terracing for the convenience of four-wheel tractor farming. The conservation treatments can be done by mediumsized machines such as Bulldozer D5 or D6. C3 : Cultivable land 3, 15° to 20°, needing bench terracing, hexagons and convertible terracing on deep soil and hillside ditching, individual basin on less deep soils. Mechanization is limited to small tractor or walking tractor because of the steepness of the slope. Terracing can be done by a smaller tractor with 8 ft (2.5 m) wide blade. C4 : Cultivable land 4, 20° to 25°, all the necessary treatments are likely to be done by manual labour. Cultivation is to be practised by walking tractor and hand labour. P : Pasture, improved and managed. Where the slope is approaching 25°, and when the land is to wet, zero grazing should be practised. Rotational grazing is recommended for all kinds of slopes. FT : For food trees or fruit trees. On slopes of 25° to 30°, orchard terracing is the main treatment supplemented with contour planting, diversion 50 ditching and mulching. Because of steepness of the slopes, interspaces should be kept in permanent grass cover. F : Forest land, slopes over 30°, or 25° to 30° where the soil is too shallow for any of the above-mentioned conservation structures. 1. Slopes and the number of slope classes can be modified to meet country's needs and some F lands between 25° to 30° can be used for agroforestry purpose. 2. Any land which is too wet, occasionally flooded or too stony, which prevents tillage and treatment should be classified as: (a) below 25°: pasture; (b) above 25°: forest. 3. Gully dissected lands which prevent normal tillage activities: forest (over 25°) or pasture below 25°,. 4. Mapping Symbols: It could be labelled as follows: Most intensive use soil - slope - depth C2 example: -------------------32 - 2 - D Cultivable Land 2 means: -----------------------------------------------------------Wirefence Clay Loam - 7° to 15° - 36 in(90 cm) Or, it could be simple labelled as C2. REMARKS: (a) Slope classification Slopes are divided into six categories, each having its implications for conservation treatments and the kind of tools to be used: < 7° Flat to gently sloping. Broadbase terraces or other simple conservation treatments can be used up to 7°. Full mechanization for cultivation is applicable in this category. This slope class may not be common in hilly watersheds. 7°-15° Moderately sloping. Medium-sized machines such as a Bulldozer D5 or D6 can be employed for bench terracing. Four wheel tractor mechanization for cultivation can be applied. 15°-20° Strongly sloping. Small-sized machines such as b4 can be employed for conservation treatments. Small tractors, or walking tractors can be used for cultivation. 20°-25° Very strongly sloping. Manual for building the structures Hand labour and walking tractor for cultivation. 51 25°-30° Steep. Only for permanent tree crops such as food trees, fruit trees, forest or agroforestry. Manual labour for treatments. >30° Very steep. Needs forest cover. (b) Soil depth Soil depth is divided into four classes. Here the depth refers to the effective depth of the soil which machine or manual labour can cut for conservation treatments and which plant roots can penetrate. < 8 in Very shallow. Only on nearly level land can cultivation be (20 cm) practised. 8-20 in Shallow. Only below 20° slopes can this be cultivated with (20-50 cm) conservation treatments. 20-36 in Moderately deep. On a 25° slope, for instance, it needs about (5090 cm) 30 in (76 cm) of soil to make narrow terraces of 8 ft (2.5 m) wide. > 36 in Deep. No further soil depth classification is needed because (90 cm) the riser or terrace is limited to 6 ft height which is 3 ft cut and 3 ft fill. (c) Other limiting factors Land which is too wet, has poor drainage, occasionally floods or is too stony; which permanently limits the tillage or treatment, should be classified for lower or less intensive uses. On slopes under 25° such land can be used as pasture, whereas on slopes over 25° forest cover is proper so far as erosion control is concerned. Gully-dissected land which prevents any tillage activity should be put under permanent cover. (d) Capability classes Land is classified into its most intensive tillage or use. T ere are four major classes - cultivable land, pasture, food trees and forest . Only cultivable land has four sub-classes, each having implications for needed conservation treatments and tools to be employed. Use according to or within the capability class is encouraged, whereas use beyond the capability class is discouraged. (e) Soil conservation treatment In addition to the most popular conservation treatments on gentle slopes (below 7°) such as broadbase terraces and strip cropping, etc., six major treatments for steeper slopes are taken into account for the basis of the new classification scheme. These six treatments, which have been established in the hill slopes of Taiwan as well as in the western part of Jamaica under the UNDP/FAO project JAM/67/505, are particularly suited for the humid tropics. Bench terraces, hillside ditches and individual basins can be used to treat slopes up to 25° if the soils are deep enough. Orchard terracing can be applied from 25° to 30° slope. Convertible terracing and hexagons for full mechanization are to be employed on slopes up to 20°. All of them are mainly reverse sloped terraces of varying widths. Later another type of terracing was added: Intermittent terraces (see FAO Conservation Guide 13/3). 52 Pertanian organik dapat meningkatkan produktivitas lahan. Sumber: http://www.tribunnews.com/2011/03/20/pertanian-organik-tingkatkanproduktivitas-lahan-gambut. 5.5. KEMAMPUAN WILAYAH 1. Kemampuan wilayah a. Cara penilaian Kemampuan wilayah Sambil menunggu cara kwantitatif yang lebih sempurna, maka disini dikemukakan suatu cara penilaian kemampuan wilayah. Cara ini merupakan integrasi cara penilaian angk-angka oleh LPTP bogor dengan cara penilaian fakta-fakta lapang oleh SCS, Amerika Serikat. Dasarnya ialah kuantitati. Sifatnya diaknotik dan umum. Prinsip penilaian ialah membandingkan besarnya peranan faktor-faktor penghambat dan bahaya dalam usaha penilaian terhadap sifat-sifat tanah. Sebagai dasar digunakan satuan peta tanah dari jenis peta tanah. Faktor dibagi dalam faktor menguntungkan dan faktor merugikan. Sifat-sifat tanah digolongkan faktor menguntungkan. Sifat ini terdiri dari: 53 - kandungan unsur hara tanaman (Plant Nutrient Contents = PNC) - hubungan kelembaban tanah-tanaman (Plant Soil Moisture Relationhip = PSM) - Permeabilitas (Permeability = P) - daya tahan terhadap erosi (Erosion Susceptibility = ES) - kadar cadangan mineral (Mineral reserve = M). Faktor lingkungan dibagi dalam faktor penghambat dan faktor bahaya, keduanya merupakan faktor merugikan. Faktor penghambat meliputi : Batu Besar ( Rock = R), Batu Kecil (Stone = S), kongkresi ((Contretions = Cn), padas (Panlayer = Pa), muka air tanah (Grounwater Table = GW), relief mikro (Micro Relief = MR), relief makro mikro (Macro Relief = Re), dan lereng (Slope = Sl). Faktor bahaya meliputi : kekeringan (Droughtness = D), salinitas (Salinity = Sa), kadar racun (Toxicity = T), pengerutan (Shrinkage = Sh), banjir (Overflow + O), dan erosi (Erosion = E). Semua faktor tersebut dinilai dan dibandingkan secara relatif. Cara penilaian mengikuti gagasan JONES, et al (1950) dengan beberapa modifikasi. b. Dasar penilaian Dasar-dasar penilaian angka-angka laboratorium ialah golongan harkat menurut WICAKSONO (1953). Dasar penilaian fakta-fakta lapang berpedoman pada penggolongan oleh SOEPRAPTOHARDJO, et al (Dok LPTP, 1964. Angka yang diberikan kepada setiap unsur kemampuan wilayah merupakan penilaian relatif dengan dasar : peranan tertinggi sesuatu sifat terhadap unsur kemampuan diberi angka tertinggi (Lampiran 1). Sifat-sifat tanah merupakan faktor menguntungkan dan dinilai dengan angka positif ; ditinjau sifat fisik dan kimia lapisan atas (50 cm), kecuali permeabilitas dan kedalaman efektif. Faktor sekeliling merupakan faktor merugikan dan dinilai dengan angka negatif. Jumlah nilai (positif dan negatif) menentukan nilai kemempuan wilayah. c. Arti Kelas Kemampuan Wilayah Masing-masing kelas kemampuan wilayah tersebut diatas mempunyai perbedaan dalam taraf kemampuannya untuk digunakan. Semakin besar pembatasannya, makin jelek kemampuannya, makin terbatas kemungkinan penggunaannya. 54 Kawasan lahan kering kritis di pegunungan. Sumber: http://perbaikan-ummat.com/ 5.6. INDEKS STORIE Menurut Storie (Storie index) ada 4 faktor untuk mengharkatkan lahan, yaitu A. Faktor untuk mengharkatkan profil fisik dari tanah yang bersangkutan. Menurut faktor A tanah dikelompokkan menjadi 8 kelompok. Adapun keterangan beberapa kelompok sbb: 1. Tanah-tanah yang tedapat dalam kipas aluvial ditemukan di lembah atau yang terdapat di dataran banjir atau endapanendapan sekunder lainnya yang masih muda yang belum mengembangkan profil atau yang profilnya masih seragam. 2. Mencakup tanah-tanah seperti no 1 tetapi sudah memperlihatkan perkembangan profil. 3. Mencakup tanah-tanah yang sudah memperlihatkan perkembangan profil yang jelas. 4. Tanah-tanah yang terdapat di dataran yang lebih tua atau terasteras yang memiliki profil yang sudah jelas berkembang dan sudah membentuk horizon B (horizon argilik). Penilaian ini didasarkan atas ketebalan profil tanah atau kedalaman tanah yang menghambat pertumbuhan akar. Profil yang tidak ada 55 perlapisan dinilai 100. apabila terdapat lapisan pembatas tetapi pada jeluk lebih dari 1 m diberi nilai 70. Untuk yang mempunyai lapisan pembatas kurang dari jeluk 1 m diberi nilai 50-60. Semakin tua tanah maka nilainya semakin menurun, kandungan haranya semakin rendah. Sehingga untuk tanah-tanah muda diberi nilai 100, sedang untuk tanah-tanah tua diberi nilai 95-100. Menurut Storie, lapisan pembatas akar tanaman nilainya dianggap sama dan lebih penting daripada ketersediaan hara. B. Faktor yang mencakup tekstur tanah lapisan atas. 1. Menurut Storie: Tekstur yang paling baik adalah tekstur sedang yaitu geluh pasiran sangat halus, geluh pasiran halus, geluh, dan geluh debuan diberi nilai 100. 2. Tekstur yang paling jelek adalah pasir, kerikil, kerakal (gravely sand) diberi nilai 20-30 3. Pasir batuan diberi nilai 10-40. C. Berdasarkan lereng 1. Yang paling baik adlah lerng datar sampai hampir datar dengan kemiringan 0-2%, dan diberi nilai 100 2. Yang paling jelek adalah tanah yang lerengnya sangat curam dengan kemiringan 45%, dan diberi nilai 5-30 Lereng yang curam atau sangat curam maka tanah-tanah yang berada mudah tererosi. D. Faktor X Dengan memperhatikan kadar atau keadaan tanah: 1. Drainase Yang paling baik diberi angka 100 sedang yang paling jelek (rawa) diberi angka 10-40. 2. Alkalinitas Alkalinitas berkaitan dengan pH. Jika pH tanah 8,5 maka dapat dikatakan bahwa tanah tersebut alkalin karena kadar Na nya tinggi. Tanah yang sangat alkalin diberi nilai 5-15, sedang yang bebas dinilai 100. Sodik: lapisan tanah yang kaya Na 3. Kandungan hara atau kesuburan tanah Jika kandungan hara tinggi maka diberi nilai 100. Sedang serendah-rendahnya kandungan hara (miskin) diberi nilai 60-80. Hal ini karena penangannannya dapat dilakukan dengan mudah, yaitu pemupukan. 4. Kemasaman 56 Bergantung pada tingkat kemasaman, dan diberi nilai 80-95. Perbedaan nilai juga ditentukan olah tanaman yang mampu menyesuaikan dengan pH yang rendah. 5. Erosi Erosi yang dimaksud adalah erosi yang sudah berlangsung. Jika erosi nya kecil diberi nilai 100. Di wilayah yang nampak paritparit dari hasil erosi berarti erosi yang berlangsung intensif dan terjadi pada masa lampau dan diberi nilai 10-70. Untuk nilai 70 jika parit dalam dan rapat sehingga tidak ada lagi tempat tanaman hidup, sedang untuk 10 jika masih adal lahan yang masih dapat ditumbuhi tanaman. 6. Relief mikro Relief mikro hubungannya dengan penggunaan tanah. Jika permukaan tanah rata (licin) maka diberi nilai 100, jika kelihatan ada alur-alur kecil diberi nilai 60-95. Untuk Vertisol yang mempunyai kenampakan berupa gilgai maka dapat menurunkan nilai. 57 Tabel dan Kolom Penilaian Kesesuaian Lahan dengan Metode Indeks Storie NO PARAMETER A B 1 2 3 NILAI C X 1 2 3 4 5 6 Rata-rata 1 2 3 4 5 6 Rata-rata 1 2 3 4 5 Rata-rata 58 Kriteria Penetapan kelas kemampuan lahan (USDA) No Parameter 1 Lereng I Datar II Landai 2 Solum Dalam 3 Erosi S kecl 4 5 6 7 Baik Mudah Baik respon 8 Drainase Pengolahan WHC Respon pemupukan Struktur tanah 9 Permeabilitas K E L A S IV Curam III Agk miring Dangkal Peka V Dangkal Sgt peka Sgt peka Buruk Buruk Rendah Rendah Rendah VI Curam VII Curam Sgt dangkal Sgt berat Sgt dangkal Sgt berat Tergenang berbatu Berbatu Sdkt krg baik Sgt lambat Kritria klasifikasi kemampuan lahan (Kliengebiel & Montgomery, 1961) N o Ciri lahan 1 Lereng 2 Bahaya erosi Bahaya banjir Jeluk tanah 3 4 5 Kelas lahan I Datar II Landai t.a. Sedang III Sedangcuram Tinggi IV Curam V Landai VI Curam Membahaya kan - VII Sangat curam Membah ayakan - VIII Sangat curam Membaha yakan - Sering Membaha yakan Sering Membaha yakan Sering t.a. Kadang Ideal Kurang dari ideal Kurang mendukun g Dangkal Dangkal Dangkal Dangkal Dangkal Dangkal - - - - - - Sangat lambat Menggena ng - Menggenan g Menggen ang Menggena ng Rendah sedang Rendah Membaha yakan Kurang Rendah - Rendah Membahaya kan Tidak mendukung Rendah Membah ayakan Tidak menduku ng Tidak dapat ditanami Membah ayakan Rendah Membaha yakan Membaha yakan Baik 6 Struktur tanah dan kemudahan pengolahan Drainase 7 8 WHC Salinitas Baik t.a. 9 1 0 Status hara Iklim Baik Mendukun g Dapat diperbaiki dg drainas Sedang Sedikitsedang Sedang Sedikit pembatas 1 1 Pengelolaa n Biasa Hati-hati Khusus 1 2 Kebatuan - - - Baik Rendah Sedang Kadang dapat ditanami Beberapa Tidak mendukun g Tidak dapat ditanami Membaha yakan Tidak dapat ditanami Membahaya kan Tidak dapat ditanami Membaha yakan 59 Kelas kemampuan lahan dan tipe landuse (Kliengebiel & Montgomery, 1961) No Tipe Landuse Kelas Lahan II III IV V VI VII VIII Sesuai untuk budidaya Umumnya tidak sesuai untuk tanaman dan penggunaan budidaya tanaman lain + + + + I 1 2 3 4 5 Tanaman semusim Rumput Rangeland Hutan kayu Hutan alami + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + PENUTUP Dengan mempelajari materi daya dukung lahan ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan pentingnya daya dukung lahan yang digunakan dalam menilai mutu lahan. Kualitas lahan sangat menentukan ketegaran dalam menghadapi gangguan lahan yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan. Pemanfaatan lahan bukan merupakan usaha untuk membagi-bagi lahan saja, tetapi penata-gunaan lahan harus memperhatikan daya dukungnya, kelestarian fungsi dari sumberdaya dan kemungkinan kerusakan yang dapat ditimbulkannya. DAFTAR PUSTAKA Adi, A. 1990. Pengaruh berbagai teknik konservasi tanah terhadap erosi, aliran permukaan dan hasil tanaman pangan pada tanah Typic Eutropepts di Ungaran. Pembahasan Hasil-hasil dan Perencanaan Penelitian. P3HTA - Badan Litbang Pertanian, 11-13 Januari 1990, Puncak- Bogor. Djaenuddin, D., Marwan H., H. Subagyo, dan A. Mulyani. 1997. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Departemen Pertanian , Bogor. Djaenudin, D., M. Hendrisman, A. Hidayat, dan H. Subagyo. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Bogor. Driessen, P.M. 1971. Parametric Land Classification. Lembaga Penelitian Tanah, Bogor. 60 Easter, K.W. and M.M. Hufschmidt. 1985. Research for Integrated Watershed Management in Developing Countries. (Draft paper). East-West Center, Honolulu, Hawaii. FAO. 1976. Comprehensive Integrated Watershed Development. Paper W/K 0653. Rome. FAO. 1976a. A framework for land evaluation. Soils Bulletin No. 12. FAO, Rome. FAO. 1979. Watershed Development, with Special Reference to Soil and Water Conservation. FAO Soils Bulletin 44. Rome. FAO. 1983. Guidelines: Land Evaluation for Rainfed Agriculture. FAO. 1985. Guidelines: Land Evaluation for Irrigated Agriculture. FAO. 1987. Guidelines for Economic Appraisal of Watershed Management Projects. Conservation Guide 16. Rome. FAO. 1999. Land Evaluation and Farming System Analysis for Land Use Planning. FAO Working Doc. 3rd Edition. FAO, Rome. Fausett, L., 1994, Fundamentals of Neural Network, Architecture, Algorithms and Applications, Prentice Hall, New Jersey Hardjowigeno, S. 1981. Perkembangan survei dan pemetaan tanah di Indonesia. Seminar Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) di Institut Pertanian Bogor. Hendrisman, M. dan D. Djaenudin. 1998. Evaluasi lahan secara kuantitatif; Studi kasus di daerah Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi NTB. Prosiding. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Jayadinata, J.T. 1992. Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan & Wilayah, ITB,Bandung. Kaiser, Edward J, David R. Godschalk and F. Stuart Chapin, 1995, Urban Land . Use Lanning, Urbana and Chicago, University of Illinois Press. Kusumadewi, S., 2003, Artificial Intelligence (Teknik dan aplikasinya), Graha Ilmu Yogyakarta Nasution, Z. 2005. Evaluasi Lahan Daerah Tangkapan Hujan Danau Toba Sebagai Dasar Perencanaan Tata Guna Lahan Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Medan: Universitas Sumatera Utara. Notohadiprawiro, T. 1991. Kemampuan dan Kesesuaian Lahan: Pengertian dan Penetapannya. Makalah. Lokakarya Neraca Sumberdaya Alam Nasional. DRN Kelompik II. Bogor: Bakosurtanal. Notohadiprawiro, T. 1992. Konsep dan Kegunaan Evaluasi dan Inventarisasi Harkat Sumberdya lahan dengan uraian khusus mengenai gatra tanah. Diktat Kuliah. Yogyakararta: Fakultas Pertanian UGM. Poh, H.L., 1994, A Neural Network Approach to Decision Support, International Journal of Applied Expert Systems, Vol. 2 No. 3 61 Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 2000a. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Rayes, M. L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta. 298 halaman. Ritung S, Wahyunto, Agus F, Hidayat H. 2007. Panduan Evaluasi Kesesuaian Lahan dengan Contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh Barat. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. Rossiter, D.G. 1988. The Automated Land Evaluation System. A MicroComputer Program to Assist in Land Evaluation. Cornell Univ. Microfilm An Arbor, MI. Rossiter, D.G. and A.R. Van Wambeke. 1997. Automated Land Evaluation System, ALES Version 4.65d User’s Manual. Cornell Univ. Dept. Soil Crop and Atmospheric Science, SCAS, Ithaca, NY. Sitorus, S.R.P. 1998. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Tarsito. Sitorus, S.R.P. 2003. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soemarno. 2007. Konsepsi Ekonomi Sumberdaya Lahan. Makalah Bahan Kajian Ekonomi Sumberdaya Lahan, PPSUB. Soepraptohardjo, M. 1961. Sistem Klasifikasi Tanah di Balai Penyelidikan Tanah. KNIT I, Bogor. Sujarto, D. 1982. Nilai Dan Harga Tanah dalam Pengembangan Wilayah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Sys, C., V.Ranst and J.Debaveye. 1991. Land Evaluation Part II: Methods in Land Evaluation, General Administration for Development Cooperation, Brussels. Van Reeuwijk, L.P. 1983. Introduction to Physico-Chemical Aspects. Lecture Note, International Institute for Aerial Survey and Earth Sciences, ITC, Enschede the Netherlands. Van Wambeke, A. and T. Forbes. 1986. Guidelines for Using Soil Taxonomy, the Names of Soil Map Units. SMSS. Tech. Monogr. No. 10. SCS, USDA, New York, Cornell Univ. Dept. Agric. Wahyuningrum,N, C. Nugroho, Wardojo, Beny H, Endang S, Sudimin, Sudirman. 2003. Klasifikasi Kemampuan Dan Kesesuaian Lahan .INFO DAS Surakarta No. 15 Th. 2003 Widiatmika, S.Hardjowigeno. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan & Perencanaan Tata Guna Lahan, Gadjah Mada Uneversity Press, Jogyakarta Wood, S.R. and F.J. Dent. 1983. LECS, A Land Evaluation Computer System Methodolgy. AGOF/INS/78/006. Manual 5, Version 1, Center for Soil Research, Bogor. 62 Worosuprodjo, S. 2005. Klasifikasi Lahan untuk Perencanaan Penggunaan Lahan di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Forum Perencanaan Pembangunan Edisi Khusus Januari 2005.