disini

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Seorang mahasiswa sejatinya menjalani kegiatan sehari-hari yang berkaitan
dengan proses pembelajaran. Aktivitas pembelajaran ini pun tentunya berkaitan dan
sesuai dengan bidang studi yang diambil oleh mahasiswa itu sendiri. Berbagai
asupan pengetahuan dan informasi pada umumnya diberikan melalui sebuah metode
tertentu agar ilmu yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik. Pemahaman
mahasiswa akan bidang keilmuannya dapat memacu penjiwaan atau penghayatan
terhadap bidang ilmu yang dipelajarinya. Nasution (dalam Kunandar, 2009)
mengungkapkan bahwa hakikat hasil belajar adalah terdapat adanya suatu perubahan
pada individu, tidak hanya mengenai pengetahuan, tetapi juga bagaimana dirinya
membentuk kecakapan dan penghayatan sebagai seorang individu yang belajar. Joni
(1985) pun menyatakan bahwa besarnya kadar pembelajaran berhubungan dengan
adanya kesempatan dalam menghayati peristiwa yang ada, dimana hal ini berperan
sebagai pembentukan sikap dan internalisasi nilai-nilai.
Pada mahasiswa Psikologi, pemahaman yang mendalam terhadap ilmu
pengetahuan dan informasi yang didapat selama proses pembelajaran tentunya juga
sudah seharusnya dilakukan. Menurut Lahey (2009), Psikologi adalah ilmu
pengetahuan mengenai tingkah laku dan proses mental. Ilmu Psikologi pun juga
identik dengan pembelajaran mengenai gangguan-gangguan psikologis atau
kesehatan mental. Menurut Nevid, Rathus, & Greene (2005), gangguan psikologis
atau gangguan mental adalah sebuah klasifikasi perilaku abnormal yang didalamnya
meliputi gangguan fungsi psikologis atau gangguan mental. Istilah-istilah tersebut
merupakan istilah yang lazim digunakan di bidang Psikologi, yang kemudian secara
mendetail akan dipelajari dalam mata kuliah Psikologi Klinis atau pembelajaran
mengenai Psikologi Abnormal. Berdasarkan keputusan Asosiasi Penyelenggara
Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia (2010), mengenai kurikulum inti program
studi Psikologi jenjang sarjana, mata kuliah Psikologi Klinis ditetapkan sebagai mata
kuliah
inti
yang harus
ada
didalam
1
kurikulum
pembelajaran
Psikologi.
2
Demi menilik lebih dalam lagi mengenai mahasiswa Psikologi, dilakukan
preliminary study dengan metode kuesioner pada tanggal 15 Agustus 2013 pada
mahasiswa Psikologi Universitas Bina Nusantara yang telah mendapatkan mata
kuliah Psikologi Klinis, yaitu kuesioner mengenai pandangan akan terdapat atau
tidak terdapatnya gangguan psikologis didalam diri individu. Hasil dari kuesioner
tersebut menunjukkan bahwa 21 responden merasakan terdapat suatu gangguan
psikologis tertentu didalam dirinya. Kuesioner ini secara garis besar menjelaskan
bahwa mahasiswa Psikologi Universitas BINUS melakukan penghayatan dalam
sebuah pembelajaran yang sekiranya menimbulkan kepekaan terhadap kondisi
psikologisnya sendiri. Hal ini mengacu pada gangguan-gangguan yang disebutkan
oleh responden yang menyatakan bahwa mereka merasakan terdapat gangguan
seperti Phobia, Depression, Obessive-Compulsive Disorder, Generalized Anxiety
Disorder, Bipolar, dan sebagainya.
Pembahasan yang lebih mendalam didukung oleh hasil wawancara yang
dilakukan pada tanggal 5 Desember 2013 dengan 5 responden kuesioner dan juga
bersama 7 mahasiswa Psikologi Universitas Bina Nusantara yang sedang
mempelajari pembelajaran Psikologi Klinis. Wawancara tersebut berisi pertanyaanpertanyaan lanjutan yang lebih mendetail mengenai pembelajaran Psikologi Klinis.
Berdasarkan hasil wawancara, dapat diketahui bahwa 4 dari 5 narasumber memiliki
kecenderungan untuk membayang-bayangkan gejala gangguan psikologis yang
dipelajari selama di perkuliahan. Pemicu dari kecenderungan ini dirasakan
disebabkan oleh kemiripan antara ciri-ciri gangguan psikologis yang ada didalam
teori dengan apa yang ada pada diri narasumber. Sedangkan berdasarkan hasil
diskusi yang dilakukan, lima dari tujuh mahasiswa dalam diskusi itu pun mengakui
bahwa mereka memiliki anggapan-anggapan bahwa mereka mengidap suatu
gangguan psikologis tertentu. Lebih mendalam, seorang mahasiswa dengan inisial
ES mengaku bahwa dirinya merasa bahwa pembelajaran Psikologi Klinis
memberikan pengaruh yang signifikan didalam kehidupan sehari-harinya, dimana ia
memiliki diagnosa yang ditarik dari dirinya sendiri bahwa ia memiliki gangguan
yang diperkirakan berasal dari sifat genetik dari keluarganya yang diakuinya
memiliki kerentanan dalam depresi. Lain halnya dengan mahasiswa berinisial FJ,
yang menyadari sebuah perilaku yang sejatinya dimiliki mahasiswa Psikologi, yaitu
kecenderungan untuk memberikan judgment yang dirasakan tidak memiliki dasar
3
yang kuat. FJ pun juga mengakui bahwa dirinya pun cenderung untuk mengaitkan
gangguan-gangguan psikologis yang ia pelajari dalam mata kuliah Psikologi Klinis
dengan apa yang ada dalam dirinya atau orang disekitarnya.
Melebarkan lingkup fenomena, penelitian ini tidak sekedar membahas situasi
yang hanya terjadi pada mahasiswa Psikologi Bina Nusantara. Wawancara
(terlampir) juga dilakukan dengan 5 mahasiswa Psikologi Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya, 4 mahasiswa Psikologi Universitas Tarumanagara, dan 2
mahasiswa Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI. Hasil yang didapat ialah
bahwa 4 dari mahasiswa Psikologi Atma Jaya juga mengalami situasi yang sama,
dimana gangguan psikologis yang dirasakan beberapa diantaranya adalah Obessive
Compulsive Disorder, Bipolar Disorder, dan Psychosomatic. Sedangkan 2 dari
mahasiswa Psikologi Tarumanagara merasakan gangguan psikologis yaitu depresi.
Dimana hal ini diakui dirasakan karena terdapat perasaan-perasaan bahwa dirinya
tidak berharga, payah dalam berbagai hal, tidak berguna, dan bodoh. Tak jauh
berbeda dengan 2 mahasiswa Psikologi YAI yang juga merasakan ada gangguan
dalam dirinya, dimana salah satunya tidak keberatan untuk menyebutkan bahwa ia
merasa bahwa ia memiliki gangguan halusinasi. Halusinasi tersebut ia rasakan
karena dirinya merasa bahwa ketika sedang sendiri, terdapat sosok lain yang
mengawasinya.
Fenomena yang terjadi pada mahasiswa Psikologi ini mengundang rasa ingin
tahu lebih dalam. Berbagai asumsi bermunculan mengenai kecenderungan
mahasiswa Psikologi untuk mengaitkan apa yang ia pelajari mengenai gangguan
mental dan psikologis tertentu dengan apa yang ada didalam dirinya, yang dapat
membawa kedalam penarikan diagnosa tanpa dasar yang kuat. Pengkajian literatur
pun dilakukan untuk membentuk asumsi atas kejadian yang diamati. Sebuah jurnal
mengenai Medical Student Syndrome (MSS) dirasakan dapat dijadikan acuan
didalam penelitian ini. Lyddy (2003), bahwa Medical Student Syndrome ialah sebuah
kondisi yang secara umum dilaporkan oleh seorang mahasiswa kedokteran dan juga
mahasiswa dengan disiplin ilmu seasal, seperti ilmu Psikologi. Woods, dkk (dalam
Candel dan Merckelbach, 2003) juga menjelaskan bahwa MSS bukan berarti
menunjukkan kebenaran akan sebuah patologi, melainkan bahwa hal tersebut datang
dari kemampuan individu dalam bidang tersebut. Penelitian yang lebih mendalam
dilakukan oleh Hardy & Calhoun (1997), yang mengambil sampel mahasiswa
psikologi yang mempelajari Psikologi Abnormal di University of North Carolina,
4
Charlotte dan menemukan hasil ahwa kekhawatiran akan kesehatan psikologis
mereka meningkat setelah mereka mempelajari mata kuliah tersebut. Osborne,
LaFuze, dan Perkins (2013) menyadari bahwa beberapa mahasiswa yang sudah
menyelesaikan mata kuliah Psikologi Abnormal menganggap bahwa mereka sudah
dapat menegakkan diagnosa. Menurut Colman (2009), MSS sering terjadi pada
mahasiswa Psikologi, dimana ketika mahasiswa mulai untuk mempelajari gangguan
mental dan mulai meyakini bahwa ia menderita gangguan yang ada dalam buku yang
ia baca. Dari pengkajian literatur-literatur yang telah dilakukan, diasumsikan bahwa
Medical Student Syndrome (MSS) serupa dengan fenomena yang terjadi dengan pada
mahasiswa psikologi.
Dalam penelitian Candel & Merckelbach (2003), diungkapkan bahwa
terjadinya MSS berhubungan dengan tingginya tingkat fantasy proneness yang ada
dalam diri individu. Berdasarkan jurnal penelitian mengenai Medical Student
Syndrome (MSS) yang dilakukan pada mahasiswa kedokteran tahun ketiga dan
keempat Universitas Maastricht, Candel dan Merckelbach (2003) mendapatkan hasil
bahwa fantasy proneness muncul sebagai prediktor yang lebih kuat akan terjadinya
sebuah MSS. Candel dan Merckelbach (2003) memberikan inti pada hasil
penelitiannya bahwa meningkatnya level fantasy proneness dapat memungkinkan
kerentanan
para
mahasiswa
undergraduate
saat
mereka
menghubungkan
pengetahuan teknis yang didapat dengan gejala tubuh yang secara samar-samar
mereka rasakan. Hal ini dikarenakan individu tersebut akan menghabiskan sebagian
besar waktunya untuk berfantasi dan berkhayal, serta akan memilki kecenderungan
untuk merasakan sensasi yang intens.
Berdasarkan teori Wilson dan Barber, Novella (2007) membagi fantasy
proneness menjadi dua karakteristik yang berbeda, yaitu: (1) tingkat fantasi dan
kreativitas yang tinggi; dan (2) kurangnya kemampuan dalam menafsirkan kenyataan
serta kecenderungan untuk memiliki rasa sensasi yang tinggi. Kedua karakteristik ini
diasumsikan berkaitan dengan hasil survei mengenai fenomena yang terjadi pada
mahasiswa Psikologi Universitas Atma Jaya, Tarumanagara, dan YAI. Karakteristik
pertama dikaitkan dengan respon 4 narasumber yang memberikan informasi bahwa
mereka memiliki kecenderungan untuk membayang-bayangkan bagaimana sekiranya
gejala atau gangguan psikologi tersebut ada didalam dirinya. Keempat mahasiswa
Psikologi Atma Jaya mengalami situasi dimana gangguan psikologis yang dirasakan
beberapa diantaranya adalah Obessive Compulsive Disorder, Bipolar Disorder, dan
5
Psychosomatic. Sedangkan 2 dari mahasiswa Psikologi Tarumanagara merasakan
gangguan psikologis yaitu depresi. Sedangkan karakteristik kedua berkaitan dengan
kecenderungan narasumber yang menafsirkan kehidupan nyatanya dengan apa yang
diungkapkan dalam pembelajaran gangguan psikologis di perkuliahannya. Tak jauh
berbeda dengan 2 mahasiswa Psikologi YAI yang juga merasakan ada gangguan
dalam dirinya. Karakteristik kedua yaitu rasa sensasi yang tinggi berhubungan
dengan apa yang didapat dari hasil wawancara pada mahasiswa Universitas
Tarumanagara, dimana salah satu narasumber mengatakan bahwa ia mengaku
merasakan perasaan-perasaan bahwa dirinya tidak berharga, payah dalam berbagai
hal, tidak berguna, dan bodoh.
Sebuah penelitian yang membahas mengenai fantasy proneness dan medical
student syndrome dirasakan perlu dilakukan mengingat efek yang berkemungkinan
muncul didalam diri individu yang kemudian memberikan sebuah dampak
dikehidupannya. Collier (2008) mengatakan bahwa efek dari membayang-bayangkan
suatu permasalahan kesehatan dapat menyebabkan kegelisahan yang nyata. Lebih
jauh lagi, menurut Dyrbye, dkk (dalam Waterman, 2011), hal ini dapat membuat
mahasiswa mengalami jumlah tekanan psikologis yang berat, stres dalam menjalani
ujian, kegelisahan yang berhubungan dengan pengalaman klinis yang baru, dan juga
lingkungan yang menjadi terasa kompetitif. Menurut Ahmadi (2009), sebuah fantasi
bukan berari tidak memiliki keburukan. Keburukan dari fantasi ialah bahwa
seseorang dapat meninggalkan alam kenyataan, lalu masuk dalam alam fantasinya.
Hal ini merupakan suatu bahaya, karena dari hal tersebut seseorang dapat terbawa
hidup dalam alam yang tidak nyata. Kring, Johnson, Davidson, & Neale (2009)
mengatakan bahwa saat mahasiswa membahas gangguan kepribadian, beberapa dari
hal tersebut mungkin akan sesuai dengan diri sendiri maupun orang lain. Dari waktu
ke waktu, individu berperilaku, berpikir, dan berperasaan seperti apa yang
ditunjukkan dalam gejala gangguan kepribadian, tetapi gangguan kepribadian yang
sebenarnya didefinisikan oleh cara yang ekstrim, tidak fleksibel, dan maladaptif yang
ditunjukkan oleh sifat ini. Selain itu, gejala-gejala dari sebuah gangguan kepribadian
yang benar-benar ada itu bersifat menjalar dan tetap.
Penelitian
ini
dapat
membantu
mahasiswa
Psikologi
agar
dapat
mempertimbangkan lebih baik lagi sebelum masuk kedalam kesimpulan dari
judgment yang akan ia buat, serta mahasiswa dapat cukup untuk waspada akan
kesehatan psikologis tanpa harus mendapat tekanan akan sebuah perkiraan adanya
6
gangguan dalam dirinya yang belum tentu ada. Woods, dkk (dalam Candel &
Merckelbach, 2003) mengatakan bahwa walaupun banyak yang sadar akan fenomena
yang terjadi, tetapi penelitian sistematis yang dilakukan jumlahnya tidak banyak.
Hal-hal ini pun merupakan suatu aspek yang dirasakan menjadi dasar akan betapa
mendesak dan pentingnya sebuah penelitian harus dilakukan untuk menjawab
fenomena yang ada. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan ini akan membahas
apakah fantasy proneness memiliki hubungan yang signifikan atau tidak signifikan
dengan medical student syndrome pada mahasiswa Psikologi di Perguruan Tinggi
Jakarta.
1.2
Rumusan Permasalahan
Banyaknya mahasiswa Psikologi yang merasa bahwa dirinya memiliki
sebuah gangguan psikologis tertentu merajuk kepada pemikiran bahwa terdapat
aspek fantasy proneness di dalam diri mahasiswa. Rumusan permasalahan yang
dapat ditarik ialah ‘Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara fantasy
proneness dengan medical student syndrome pada mahasiswa Psikologi di Perguruan
Tinggi Jakarta’.
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian diatas, maka tujuan dari penelitian ini
ialah untuk melihat ada atau tidak adanya hubungan yang signifikan antara fantasy
proneness dengan medical student syndrome pada mahasiswa Psikologi di Perguruan
Tinggi Jakarta.
Download