BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Post Power Syndrome 2.1.1

advertisement
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Post Power Syndrome
2.1.1
Pengertian Post Power Syndrome
Post power syndrome merupakan bentuk dari reaksi negatif yang muncul
dalam menghadapi masa pensiun seperti merasa tidak berdaya, minder bahkan
muncul gejala stress seperti mudah marah, susah tidur, malas bekerja, sering pusing
atau muncul kecemasan bahkan berbagai penyakit dan tidak jarang pula individu
merasa powerless (Helmi, 2000).
Menurut Kartono (2002) post power syndrome adalah gejala yang terjadi
dimana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karirnya,
kecantikannya, ketampanannya, kecerdasannya, atau hal-hal lain), dan seakan–akan
tidak bisa memandang realita yang ada saat ini. Gejala post power syndrome tersebut
dapat terjadi pada semua individu yang telah pensiun.
Post power syndrome adalah reaksi somatik dalam bentuk sekumpulan
simptom penyakit, luka-luka, serta kerusakan fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah
yang bersifat progresif, dan penyebabnya adalah pensiun atau karena sudah tidak
mempunyai jabatan dan kekuasaan lagi (Semiun, 2006).
Simptom-simptom
penyakit
ini
disebabkan
oleh
banyaknya
stress
(ketegangan, tekanan batin), rasa kecewa dan ketakutan yang mengganggu fungsifungsi organik dan psikis, sehingga mengakibatkan berbagai macam penyakit, luka-
13
14
luka dan kerusakan yang progresif (terus berkembang atau meluas). Post power
syndrome tersebut banyak dialami oleh para pensiunan, mantan purnawirawan,
mantan karyawan dan mereka yang tidak mampu melakukan adaptasi yang sehat
terhadap tuntutan kondisi hidup baru (Achmad, 2013). Menurut Setiati dkk. (2006)
syndrome adalah kumpulan gejala sedangkan power adalah kekuasaan, maka post
power syndrome adalah gejala-gejala pasca kekuasaan yang muncul berupa gejalagejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil dan biasanya gejala itu bersifat
negatif.
Berdasarkan berbagai definisi di atas maka dapat disimpulkan post power
syndrome adalah reaksi somatik dalam bentuk sekumpulan simtom penyakit, lukaluka, serta kerusakan fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang bersifat progresif
pasca kekuasaan (pensiun) berupa reaksi negatif seperti merasa tidak berdaya, minder
bahkan muncul gejala stress seperti mudah marah, susah tidur, malas bekerja, sering
pusing atau muncul kecemasan, terbayang dalam kebesaran masa lalunya (karirnya,
kecantikannya, ketampanannya, kecerdasannya, atau hal-hal lain), dan seakan–akan
tidak bisa memandang realita yang ada saat ini.
2.1.2
Gejala-Gejala Post Power Syndrome
Menurut Kartono (2002) gejala post power syndrome dapat dibedakan
menjadi dua yaitu gejala fisik dan gejala psikis.
15
a. Gejala Fisik
Gejala fisik yang muncul yaitu tampak lebih tua dibandingkan waktu bekerja,
uban bertambah banyak, berkeriput, pemurung, layu, sayu, lemas, tidak bergairah dan
mudah sakit-sakitan.
b. Gejala Psikis
Gejala psikis yang sering muncul adalah tidak pernah merasa puas, sering
merasa putus asa, apatis, depresi, serba salah, menarik diri, malu bertemu dengan
orang lain atau malah sebaliknya seperti cepat tersinggung, tidak toleran, mudah
marah, eksplosif, gelisah, agresif dan suka menyerang dengan kata-kata ataupun
dengan benda-benda. Bahkan tidak jarang menjadi beringas dan setengah sadar.
2.1.3
Penyebab Post Power Syndrome
Individu usia 55–65 tahun mengalami fase generativitas dengan stagnasi dan
fase integritas diri dengan putus asa dalam tahap perkembangan hidup. Pada individu
yang mengalami post power syndrome, fase stagnasi dan putus asalah yang
mendominasi perilakunya. Fase stagnasi adalah fase dimana individu terpaku dan
berhenti dalam beraktivitas atau berkarya, sementara pada fase putus asa, individu
merasakan kecemasan yang mendalam, merasa hidupnya sia-sia, tidak berarti
(Purwanti, 2009).
16
Menurut Kartono (2002) penyebab post power syndrome antara lain:
a.
Individu merasa terpotong atau tersisih dari orbit resmi, yang sebenarnya ingin
dimiliki dan dikuasai terus menerus
b.
Individu merasa sangat kecewa, sedih, sengsara berkepanjangan, seolah-olah
dunianya merupakan lorong-lorong buntu yang tidak bisa ditembus lagi
c.
Emosi-emosi negatif yang sangat kuat dari kecemasan-kecemasan hebat yang
berkelanjutan itu langsung menjadi reaksi somatisme yang mengenai sitem
peredaran darah, jantung dan sistem syaraf yang sifatnya serius, yang bisa
menyebabkan kematian
Rini (2001) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi post power
syndrome akibat pensiun, yaitu:
a.
Kepuasan Kerja dan Pekerjaan
Pekerjaan membawa kepuasan tersendiri karena disamping mendatangkan
uang dan fasilitas, dapat juga memberikan kebanggan dan nilai pada diri sendiri. Pada
dasarnya orang yang mengalami permasalahan pada saat pensiun cenderung sudah
memiliki kondisi mental yang tidak stabil, konsep diri yang negatif dan kurangnya
rasa
pecaya
diri
terutama
yang
berkaitan
dengan
kompetensi
diri
dan
keuangan/penghasilan. Orang dengan harga diri rendah saat masa produktifnya
cenderung akan overachiever (memiliki obsesi yang tinggi) hanya untuk
membuktikan dirinya sehingga mereka bekerja habis-habisan dan mengabaikan
sosialisasi dengan sesamanya, sehingga ketika masa pensiun datang mereka akan
17
kehilangan harga diri dan ditambah kesepian karena tidak mempunyai teman-teman.
Hal tersebut akan mulai menimbulkan depresi.
b.
Usia
Pensiun sering diartikan sebagai tanda seseorang memasuki masa lansia.
Banyak orang yang takut menghadapi masa lansia karena asumsinya jika sudah
lansia, maka fisik akan semakin lemah, semakin banyak penyakit, cepat lupa,
penampilan makin tidak menarik dan makin banyak hambatan lain yang membuat
hidup menjadi terbatas. Lansia yang telah memasuki masa pensiun biasanya sering
sakit-sakitan. Masalah tersebut terjadi karena pemahaman negatif tentang pensiun
seperti menganggap bahwa pensiun itu merupakan pertanda bahwa dirinya sudah
tidak berguna dan dibutuhkan lagi, sehingga persepsinya akan terganggu dan ia
menjadi sangat sensitif dan subyektif terhadap stimulus yang ditangkap. Jika masa tua
tidak dihadapi secara realistis seperti tidak mau menerima kenyataan bahwa manusia
akan semakin tua dan harus pensiun akan dapat menimbulkan masalah serius seperti
post power syndrome dan depresi.
c.
Kesehatan
Penghasilan dan kesehatan cenderung menurun sehingga muncul rasa kurang
mendapat penghargaan dari dunia sekitar yang disebut dengan post power syndrome.
Apabila tidak dipersiapkan dengan baik dapat menimbulkan berbagai penyakit fisik
dan mental. Kesehatan mental dan fisik merupakan prekondisi yang mendukung
keberhasilan seseorang beradaptasi terhadap perubahan hidup yang disebabkan oleh
pensiun. Sebenarnya pensiun tidak menyebabkan orang menjadi cepat tua dan sakit-
18
sakitan, malahan berpotensi meningkatkan kesehatan karena mereka semakin bisa
mengatur waktu untuk memperhatikan kesehatannya. Permasalahan yang terjadi saat
masa pensiun lebih kepada persepsi orang tersebut terhadap penyakit atau kondisi
fisiknya. Jika ia menganggap kondisi fisik atau penyakitnya itu sebagai hambatan
besar dan bersikap pesimis terhadap hidupnya, maka ia akan mengalami masa
pensiun dengan penuh kesukaran.
d.
Persepsi Seseorang Tentang Bagaimana Ia Akan Menyesuaikan Diri Dengan
Masa Pensiun
Orang yang kurang pecaya pada potensi diri sendiri dan kurang mempunyai
kompetensi sosial yang baik akan cenderung merasa pesimis dalam menghadapi masa
pensiunnya karena merasa cemas dan ragu, akankah ia mampu menghadapi dan
mengatasi perubahan hidup dan membangun kehidupan yang baru.
e.
Status Sosial Sebelum Pensiun
Jika semasa kerja ia mempunyai status sosial tetentu sebagai hasil dari
prestasi dan kerja keras, maka akan cenderung lebih memiliki kemampuan adaptasi
yang baik. Namun jika status sosialnya didapatkan bukan murni karena jerih payah
dan prestasinya sendiri maka orang itu akan cenderung mengalami kesulitan saat
menghadapi masa pensiun karena begitu pensiun, maka kebanggaan dirinya akan
lenyap sejalan dengan hilangnya atribut dan fasilitas yang menempel pada dirinya
selama ia masih bekerja.
19
2.2 Dukungan Keluarga
2.2.1
Pengertian Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap
penderita yang sakit. Seseorang yang tinggal dalam keluarga besar (extended family)
akan mendapat dukungan keluarga yang lebih besar daripada seseorang yang tinggal
dalam keuarga inti (nuclear family) (Friedman, 2010). Kaplan dan Sadock (2014)
menambahkan, dukungan keluarga merupakan suatu bentuk hubungan interpersonal
yang melindungi seseorang dari efek stress yang buruk.
Dukungan keluarga adalah sebagai bantuan yang diterima individu dari
keluarga yang membuat si penerima merasa diperhatikan, dihargai, dan dicintai
(Kuntjoro, 2002).
Maka dapat disimpulkan dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan
penerimaan keluarga berupa hubungan interpersonal yang melindungi seseorang dari
efek stress yang buruk sehingga ia merasa diperhatikan, dihargai dan dicintai.
Tipe keluarga yang dianut oleh sebuah keluarga dapat mempengaruhi
dukungan keluarga yang diterima oleh seseorang. Menurut Murwani (2009)
masyarakat Indonesia masih menganut tipe keluarga traditional, diantaranya:
1)
Keluarga Inti (nuclear family)
Keluarga inti merupakan keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak
(kandung atau angkat).
20
2)
Keluarga Besar (extended family)
Keluarga besar merupakan keluarga inti ditambah dengan keluarga lain yang
mempunyai hubungan darah.
3)
Keluarga Dyad
Keluaraga dyad merupakan keluarga yang terdiri dari suami dan istri tanpa
anak.
4)
Single Parent
Single parent merupakan keluarga yang terdiri dari satu orang tua dengan
anak (kandung atau angkat).
5)
Keluarga Lanjut Usia
Keluarga lansia merupakan keluarga yang terdiri dari suami istri yang telah
lanjut usia.
2.2.2
Jenis-Jenis Dukungan Keluarga
Menurut Friedman (2010) keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan
meliputi:
a. Dukungan Informasional
Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan disseminator (penyebar) informasi
tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat
digunakan untuk mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah
dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat
21
menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam
dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi.
b. Dukungan Perhatian
Keluarga bertindak sebagai bimbingan umpan balik, membimbing dan
menengahi pemecahan masalah serta sebagai sumber dan validator identitas anggota
keluarga. Dukungan perhatian juga merupakan suatu bentuk penghargaan yang
diberikan kepada seseorang, bisa berupa penghargaan positif kepada individu,
pemberian semangat, persetujuan pada pendapat individu, perbandingan yang positif
dengan individu lain.
c. Dukungan Instrumental
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan kongkrit,
diantaranya dalam hal pengawasan, keteraturan pengobatan, kebutuhan kesehatan
penderita seperti makan dan minum, istirahat dan tidur, fasilitator dalam mencari
sarana kesehatan yang tepat sehingga individu merasa ada kepuasan dan perhatian
yang nyata dari lingkungannya.
d. Dukungan Emosional
Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan
pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Setiap orang pasti
membutuhkan bantuan afeksi dari orang lain, dukungan ini berupa dukungan
simpatik dan empati, kepercayaan dan penghargaan. Dengan demikian seseorang
yang menghadapi persoalan merasa dirinya tidak menanggung beban sendiri tetapi
22
masih ada orang lain yang memperhatikan, mau mendengar segala keluhannya,
bersimpati dan empati.
2.3
Pengaruh Dukungan Keluarga dengan Post Power Syndrome
Menurut Erikson (1978), menyatakan bahwa tahap lansia sebagai tahap
integrity versus despair (integritas melawan putus asa), yakni individu yang sukses
akan melampaui tahap ini dengan adaptasi yang baik, menerima berbagai perubahan
dengan tulus, mampu berdamai dengan keterbatasannya dan bertambah bijak
menyikapi kehidupan. Sebaliknya mereka yang gagal, akan melewati tahap ini
dengan penuh pemberontakan, putus asa dan ingkar terhadap kenyataan yang
dihadapinya yang akan mengarah pada gejala-gejala post power syndrome. Sukses
tidaknya seseorang melewati tahap ini dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya
adalah dukungan dari lingkunagn terdekatnya, yaitu keluarga. Ketika individu
tersebut mendapat dukungan dari keluarganya secara optimal maka akan muncul
konsep diri, rasa optimis dan self eficcasy (pengaturan diri) yang baik dari individu
tersebut sehingga akan menurunkan resiko untuk mengalami post power syndrome.
Menurut Schmall & Pratt (1993) keluarga memainkan suatu peranan yang
signifikan dalam kehidupan pada hampir semua individu. Erawati (2001)
menambahkan ketika keluarga tidak menjadi bagian kehidupan seseorang yang
sedang mengalami masa transisi seperti masa pensiun, umumnya akan menyebabkan
individu tersebut merasa terabaikan. Santrock (dalam Hidayati, 2009) mengemukakan
bahwa seseorang yang berhubungan dekat dengan keluarganya mempunyai
23
kecenderungan lebih sedikit untuk stres dibandingkan dengan seseorang yang
memiliki hubungan yang jauh dengan keluarganya. Campbell & Kub (dalam Lubis,
2009) menambahkan bahwa stres yang berlangsung setiap hari dapat membebani
pikiran dan melemahkan daya tahan tubuh, sehingga ketika seseorang tidak dapat lagi
bertahan dengan stres yang ada, maka depresi akan muncul.
Darmawan (dalam Sutoyo, 2009) juga mengatakan putusnya hubungan
dengan orang-orang yang paling dekat dan disayangi seperti keluarga dapat
menyebabkan terjadinya masalah psikologis seperti seseorang menjadi kesepian yang
akan berdampak pada keadaan depresi. Individu yang mengalami depresi akan
kehilangan optimismenya dalam menjalani hidup sehingga kecenderungan untuk
mengalami post power syndrome akan meningkat.
2.4 Pensiun
2.4.1 Pengertian Pensiun
Pengertian pensiun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) adalah tidak
bekerja lagi karena telah selesai masa dinasnya. Kimmel (1989) menambahkan,
pensiun merupakan suatu isyarat sosial bahwa seseorang telah memasuki fase lansia
yang juga berarti berakhirnya masa kerja seseorang dan mulainya periode waktu
luang yang panjang tanpa aktivitas rutin.
Dapat disimpulkan pensiun merupakan suatu keadaan ketika seseorang telah
memasuki fase lansia dan telah berhenti dari suatu pekerjaan baik dari pemerintahan
24
maupun perusahaan swasta dimana individu tersebut memasuki periode waktu luang
yang panjang tanpa aktivitas rutin.
2.4.2 Jenis-Jenis Pensiun
Menurut WageIndicator.org (2014) dilihat dari penyebabnya, istilah pensiun
dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut.
a. Pensiun Normal
Pensiun normal merupakan pensiun yang dilakukan karena karyawan/pegawai
sudah memasuki masa pensiun.
b. Pensiun Dini
Pensiun dini sering diistilahkan dengan pensiun dipercepat. Sebelum
memasuki usia pensiun, anda dapat mengajukan untuk pensiun dini. Normalnya,
pensiun dini dapat diajukan 10 tahun lebih awal dari usia pensiun.
c. Pensiun Karena Cacat
Pensiun karena cacat terjadi karena karyawan/pegawai mengalami cacat
permanen. Cacat permanen ini menyebabkan karyawan/pegawai kehilangan anggota
badannya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan sehari-harinya.
d. Pensiun Karena Meninggal
Pensiun jenis ini disebabkan karena karyawan/pegawai meninggal dunia.
25
2.4.3 Fase Penyesuaian Diri Saat Pensiun
Robert Atchley (2000) mengembangkan enam fase deskriptif pensiun yang
merepresentasikan proses transisi dari seseorang yang akan berhenti dari dunia kerja
secara permanen, yaitu;
a. Pre-Retirement Phase (fase sebelum pensiun)
Fase sebelum memasuki masa pensiun yang melibatkan tahap pelepasan dari
tempat kerja dan tahap perencanaan dalam menyiapkan apa saja yang dibutuhkan saat
sudah memasuki masa pensiun.
b. Retirement Phase (fase pensiun)
Ketika seseorang pensiun, maka mereka tidak lagi berpartisipasi dalam sebuah
pekerjaan, berikut adalah 3 hal yang sering dialami oleh orang yang sedang pensiun;
1) The Honeymoon, adalah tahapan ini ditandai dengan perasaan seperti sedang
dalam keadaan liburan tanpa batas, individu yang memasuki tahapan ini akan
sangat sibuk melakukan banyak kegiatan rekreasi yang jarang mereka lakukan
saat masih bekerja.
2) The immediate retirement routine, orang-orang yang ketika masih bekerja
memiliki kegitan aktif di luar pekerjaannya akan lebih mampu membangun rasa
nyaman, namun jadwal yang padat telah menanti setelah pensiun.
3) The rest and relaxation, sering digambarkan sebagai periode yang ditandai
aktivitas yang sangat rendah dibandingkan dengan the honeymoon. Individu yang
26
memiliki kesibukan yang sangat tinggi dan waktu yang sedikit untuk dirinya
biasanya akan memilih untuk melakukan sedikit aktivitas saat periode awal
pensiunnya. Aktivitas akan meningkat setelah beberapa tahun dari fase istirahat
dan relaksasi.
c. Disenchantment Phase (fase kekecewaan)
Pada fase ini pensiunan mulai merasa depresi, merasa kosong. Untuk
beberapa orang pada fase ini, ada rasa kehilangan baik itu kehilangan kekuasaan,
martabat, status, penghasilan, teman kerja, dan aturan tertentu. Peran serta dari orang
terdekat khususnya keluarga sangat berkontribusi untuk membantu melewati tahapan
ini.
d. Reorientation Phase (fase reorientasi)
Fase dimana seseorang mulai mengembangkan pandangan yang lebih realistik
mengenai alternatif hidup dan mereka akan mulai mencari aktivitas baru. Dychtwald
(2006) menyatakan bahwa tahapan ini berlangsung sekitar 2-15 tahun sesudah
pensiun. Pada tahap ini seseorang akan mulai mengubah prioritasnya, aktivitas,
hubungan, dan hidupnya. Para pensiunan umumnya menyatakan bahwa tahap
reorientasi ini merupakan tahap yang penuh dengan tantangan.
e. Retirement Routine Phase
Masa peniun yang nyaman dan bermanfaat adalah tujuan semua orang yang
pensiun. Beberapa individu biasanya mampu mendapatkannya segera setelah mereka
berhenti bekerja, sementara yang lainnya membutuhkan waktu yang lebih lama,
27
mereka hanya berkutat dalam periode kekecewaan. Individu yang telah memasuki
fase ini biasanya akan bertahan selama bertahun-tahun.
f. Termination Of Retirement Phase (fase akhir)
Biasanya fase ini ditandai dengan penyakit yang mulai menggerogoti
seseorang, ketidak-mampuan dalam mengurus diri sendiri dan keuangan yang sangat
merosot. Peran saat seorang pensiun digantikan dengan peran orang sakit yang
membutuhkan orang lain untuk tempat bergantung.
2.4.4
Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Masa Pensiun
Menurut Turner & Helms (1997) ada beberapa hal penyesuaian yang dialami
seseorang pada masa pensiunnya, yaitu;
1. Psychology Adjustments
Psychology adjustments meliputi berkurangnya harga diri. Bekerja bukan
hanya berkaitan dengan kebutuhan materi saja melainkan juga merupakan kebutuhan
psikologis seseorang. Secara psikologis, bekerja menimbulkan rasa identitas, status,
maupun fungsi sosial.
2. Financial Adjustments
Financial adjustment meliputi berkurangnya sumber penghasilan. Penurunan
penghasilan merupakan dampak paling nyata dari fenomena pensiun. Sebagai kepala
keluarga tentunya hal ini dapat menimbulkan stress, terlebih jika kebutuhan tidak bisa
ditekan dan malah mengalami peningkatan.
28
3. Marital Adjustments
Marital adjustment meliputi ketidakharmonisan pasangan dan kepergian
pasangan. Waktu yang dihabiskan bersama pasangan ketika sebelum dan sesudah
pensiun jelas akan berbeda. Kuantitas bersama pasangan akan lebih banyak dan akan
memungkinkan untuk terjadinya kesalah pahaman atau ketidakcocokan akan sering
terjadi pada masa pensiun.
4. Berkurangnya Kontak Sosial
Seseorang bisa mendapatkan penghargaan sosial ketika mereka meraih
kepuasan dari kontak sosialnya. Ketika memasuki masa pensiun, waktu untuk
bertemu dengan rekan seprofesi akan berkurang.
5. Hilangnya Kelompok Referensi Yang Bisa Mempengaruhi Self Image
Biasanya seseorang menjadi anggota dari suatu kelompok organisasi atau
bisnis tertentu ketika dia masih aktif bekerja. Tetapi ketika dia pensiun, secara
langsung keanggotaan pada suatu kelompok akan hilang. Hal ini akan mempengaruhi
seseorang untuk kembali menilai dirinya lagi.
6. Hilangnya Tugas Yang Berarti
Hal ini dapat dikarenakan pekerjaan yang dikerjakan seseorang mungkin
sangat berarti bagi dirinya dan hal ini tidak bisa dikerjakan saat seseorang itu mulai
memasuki masa pensiun.
7. Hilangnya Rutinitas
Hampir separuh dari harinya dihabiskan untuk bekerja. Tidak semua orang
menikmati jam kerja yang panjang seperti ini, tapi tanpa disadari kegiatan panjang
29
selama ini memberikan sense of purpose (merasa memiliki tujuan), memberikan rasa
aman, dan pengertian bahwa ternyata kita berguna. Ketika menghadapi masa pensiun,
waktu ini hilang, sehingga mereka mulai merasakan diri tidak produktif lagi.
Download