Ekosistem Terumbu Karang

advertisement
GENERAL COMPOSITION OF CORALS REEFS KOMMUNITIES
AND ENVIRONMENTAL FACTORS
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berbicara ekosistem, secara ekologis laut terdapat banyak zonasi, salah satunya
ekosistem terumbu karang yang menghuni daerah intertidal. Komunitas yang menghuni dan
mencirikan keanekaragaman komunitas laut tropis/negara kepulauan, hal ini merupakan suatu
keunikan tersendiri. Kondisi perairan hangat tropis di karenakan di daerah di dunia yang dapat
menyamai terumbu karang dalam hal warna, bentuk dan disaiannya yang indah serta banyaknya
keanekaragaman kehidupan. Keindahannya telah mempesonakan manusia, baik para ilmuwan
maupun orang awam, bertahun-tahun lamanya. Begitu juga beberapa daerah di lingkungan lautan
yang tidak menarik dan gelap, diliputi Lumpur, terkenal sebagai daerah hutan bakau. Bagian itu
tertutup oleh akar-akar yang simpang siur terletak di atas permukaan Lumpur lunak yang dapat
menenggelamkan. Kedua asosiasi yang sangat berbeda ini adalah cirri khas daerah tropis yang
luas di dunia, dan harus betul-betul diperhatikan mengingat kegunaannya di peraiaran dangkal
daerah tropis. Meliputi wilayah yang luas (jutaan mil persegi) di daerah tropis, perairan pantai
yang dangkal didominasi oleh pembentukan terumbu karang yang memang sering digunakan
untuk membatasi lingkungan lautan tropis.
Deskripsi pembentukan penyusun terumbu karang, serta berbagai spesies reefdwelling
cnidarians, moluska, polychaetes, protista dan taksa lainnya, adalah rumah untuk dinoflagellata
symbionts dalam genus Symbiodinium. Symbionts ini, biasanya disebut sebagai zooxanthellae'''',
umumnya wajib untuk tuan rumah mereka, kontribusi mereka energik host anggaran melalui
penyediaan photosynthates, serta mempercepat kalsifikasi dalam banyak kerangka-membentuk
taksa (Muscatine dan Porter, 1977).
Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang
membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh
kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata
minimum dalam setahun sebesar 10oC. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada
kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25oC sampai 29oC. Karena sifat hidup inilah maka
terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans, 1984).
Veron (1995) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang
adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif terhadap
perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan
memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu
lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun 1998 telah
menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal
mencapai 90-95%. Suharsono (1999) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata
suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3oC di atas suhu normal.
Moberg and Folke (1999) dalam Cesar (2000) menyatakan bahwa fungsi ekosistem
terumbu karang yang mengacu kepada habitat, biologis atau proses ekosistem sebagai
penyumbang barang maupun jasa. Untuk barang merupakan yang terkait dengan sumberdaya
pulih seperti bahan makanan yaitu ikan, rumput laut dan tambang seperti pasir, karang.
Sedangkan untuk jasa dari ekosistem terumbu karang dibedakan :1). Jasa struktur fisik sebagai
pelindung pantai, 2). Jasa biologi sebagai habitat dan dan suport mata rantai kehidupan, 3). Jasa
biokimia sebagai fiksasi nitrogen, 4). Jasa informasi sebagai pencatatan iklim,5). Jasa sosial dan
budaya sebagai nilai keindahan, rekrasi dan permainan.
Tujuan
 Mengetahui komposisis umum komunitas terumbu karang secara umum sebagai
ekosistem hewan laut tropis.
 Penjabaran
hubungan faktor
lingkungan
(fisik, kimia
dan
biologi)
terhadap
keanekaragaman, tipe dan karakteristik pertumbuhan karang.
 Menggambarkan respon terumbu karang terhadap perubahan kondisi lingkungan terhadap
adanya isu pemanasan global dan fenomena ENSO terutama berdampak terhadap asosiasi
spesies karang dengan organisem uniseluler yaitu zoozantella.
Rumusan Masalah
 Karang merupakan komunitas hewan intertidal yang penyebarannya hampir ditemui di
perairan dunia. Berdasarkan pembagian iklim, laut dunia dibagi menjadi tiga bagian
utama (lautan tropis, sub-tropis dan kutub). Karang menghuni hampir semua lautan di
belahan bumi ini, tetapi terumbu karang dapat ditemui tumbuh subur dan keranekaragan
pada daerah tropis dengan perairan hangat. Komposisi dan struktur komunitas yang
sangat unik di daerah ini mewakili semua komunitas spesies karang secara umum.
 Pertumbuhan karang sangat di pengaruhi oleh oseanografi ( fisik dan kimia) karang
beradaptasi pertumbuhan karang dengan faktor lingkungannya, secara fisik berupa suhu
permukaan laut, cahaya, curah hujan dan kombinasi factor kimia akibat adanya interaksi
faktor fisik dan bahan-bahan tersuspensi dalam perairan menentukan karakteristik
komunitas karang yang pada akhirnya menentukan komposisi zonasi penyebaran karang
dan terumbu.
 Dampak lanjut terhadap terumbu karang adanya perubahan variability iklim dan adanya
siklus El-nino pada samudra fasifik. Variability kondisi permukaan laut akibat adanya
peningkatan suhu dan vluktuasi faktor lingkungan lainnya dan interaksi antara karang
dengan simbiosis/inang mengalami interaksi ekologi. Pengaruh pemanasan perairan
menyebabkan adanya fenomena bleaching pada karang dan degradasi komunitas karang.
EKOSISTEM TERUMBU KARANG
Terumbu karang (Coral reef ) merupakan organisme yang hidup didasar perairan dan
berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut.
Sedangkan organisme–organisme yang dominan hidup disini adalah binatang-binatang karang
yang mempunyai kerangka kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur.
Berkaitan dengan terumbu karang diatas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral
) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef )
sebagai suatu ekosistem (Sorokin, 1993).
Terumbu karang (coral reef ) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama
karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil
yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang
mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi
oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang
menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin, 1993).
Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang dibedakan menjadi
dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatifik adalah karang
yang dapat membentuk bangunan karang yang dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya
hanya ditemukan didaerah tropis. Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini
merupakan kelompok yang tersebar luas diseluruh dunia. Perbedaan utama karang Hermatipik
dan karang ahermatipik adalah adanya simbiosis mutualisme antara karang hermatipik dengan
zooxanthellae, yaitu sejenis algae unisular (Dinoflagellata unisular), seperti Gymnodinium
microadriatum, yang terdapat di jaringan-jaringan polip binatang karang dan melaksanakan
fotosistesis. Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat yang struktur dan
bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies
binatang karang. Karang hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat
hewan dan tumbuhan sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototeopik positif. Umumnya
jenis karang ini hidup di perairan pantai /laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya
matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu untuk hidup binatang karang
membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32oC (Nybakken, 1982).
Menurut Veron (1995) terumbu karang merupakan endapan massif (deposit) padat
kalsium (CaCo3) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur
(Calcareous algae) dan organisme -organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat
(CaCo3). Dalam proses pembentukan terumbu karang maka karang batu (Scleractina ) merupakan
penyusun yang paling penting atau hewan karang pembangun terumbu (reef -building corals).
Karang batu termasuk ke dalam Kelas Anthozoa yaitu anggota Filum Coelenterata yang hanya
mempunyai stadium polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia
(atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul, morfologi dan
fisiologi.
Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang efisien
karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien (oligotrofik). Menurut Sumich
(1992) dan Burke et al. (2002) sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga
simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae
menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh
karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon
dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae.
Selanjutnya Sumich (1992) menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesa oleh alga
menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida
dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut: Ca (HCO3) CaCO3 + H2CO3 H2O + CO2
Fotosintesa oleh algae yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan
deposist cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada
karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose dengan
zooxanthellae.
a.
Bentuk danTipe dari Komposisi Karang
Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe umum yaitu :
a.Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef )
b.Terumbu karang penghalang (Barrier reef)
c.Terumbu karang cincin (atoll)
Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia
adalah terumbu karang tepi (Suharsono, 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang sebagai
berikut :

Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai
kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh keatas atau kearah laut.
Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai
dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik
bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang
dari darat.

Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef ) terletak di berbagai jarak kejauhan dari
pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk
pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya
berputar-putar seakan – akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar.
Contohnya adalah The Greaat Barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia
dengan panjang 1.350 mil.

Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman goba
didalam atol sekitar 45m jarang sampai 100m seperti terumbu karang penghalang.
Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan.
ditampilkan pada Gambar di bawah ini Tipe dari Komposisi Karang
Suatu jenis karang dari genus yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan ( growth
form ) yang berbeda pada suatu lokasi pertumbuhan. Menurut Moore 1958, habitat memiliki
pengaruh yang besar terhadap sifat dan laju pertumbuhan. Sifat habitat memiliki pengaruh yang
besar terhadap tipe pertumbuhan dan jenis karang. Daerah yang kenak gelombang pada daerah
ujung luar terumbu di isi oleh jenis massive atau bentuk bercabang dengan cabang yang sangat
tebal dan ujung yang datar. Di air yang terlindungi diisi oleh jenis yang berbentuk foliose dan
bercabang dengan cabang yang lebih ramping.
Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang terbagi atas Acropora dan non-Acropora ( English
et al., 1994 ). Karang non-Acropora terdiri atas:

Coral branching (CB), memiliki cabang lebih panjang dari pada diameter yang dimiliki,
banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama yang terlindung
dan setengah terbuka. Bersifat banyak memberikan tempat perlindungan ikan dan
invertebrata tertentu.

Coral massive (CM), berbentuk seperti bola dengan ukuran yang bervariasi, permukaan
halus dan padat, biasanya ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas
lereng terumbu yang belum terganggu atau rusak. Dapat mencapai ukuran tinggi dan lebar
sampai beberapa meter. Bersifat memberikan perlindungan yang sangat baik serta berperan
sebagai daerah pencarian makanan ( feeding ground ) bagi ikan dan hewan lain.

Coral encrusting (CE), tumbuh merupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan
keras serta lubang-lubang kecil, banyak terdapat pada lokasi yang terbuka dan berbatu
terutama mendominasi sepanjang tepi lereng terumbu. Bersifat memberikan tempat
berlindung untuk hewan-hewan kecil yang sebagian tubuhnya tertutup cangkang.

Coral submasive (CS), cenderung untuk membentuk koloni kecil, dan wedge like, contoh
porites linchen.

Coral foliose (CF), tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar
terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar, terutama pada lereng
terumbu dan daerah-daerah yang terlindung. Bersifat memberikan perlindungan pada ikan
dan hewan lain.

Coral mushroom (CMR), berbentuk oval dan dapat seperti jamur, memiliki banyak tonjolan
seperti punggung bukit beralur dari tepi hinggga pusat-pusat mulut.

Coral millepora (CME), yaitu karang api.

Coral heliopora (CHL), yaitu karang biru.
English et al., (1994) menggolongkan bentuk pertumbuhan Acropora sebagai berikut:

Acropora branching (ACB), bentuk bercabang seperti ranting pohon.

Acropora tabulate (ACT), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rataseperti meja.

Acropora encrusting (ACE), bentuk mengerak, biasanya terjadi pada Acropora yang belum
sempurna.

Acropora submasive (ACS), percabangan bentuk gada/lempeng dan kokoh, contoh genus
Isopora

Acropora digatate (ACD), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari tangan.
b. Sebarang dari Terumbu Karang
Sebaran dari terumbu karang sangat dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan perairan,
terutama faktor kedalaman, suhu dan pola arus. Faktor kedalaman yang mempengaruhi
penyebaran secara vertical. Sedangkan pola arus dan suhu adalah faktor yang mempengaruhi
penyebaran horizontal.
Faktor lain yang mempengaruhi sebaran adalah faktor biologi. Karena di dalam siklus
hidupnya larva planula bersifat planktonik, maka penyebaran larva sangat mempengaruhi sebaran
terumbu karang. Beberapa jenis larva planula mempunyai daya tahan hidup yang lebih lama
sebagai larva, sehingga mampu mengembara jauh sebelum akhirnya melekat. Tetapi ada juga
larva planula yang harus segera melekat, karena sifatnya yang tidak mempunyai daya tahan hidup
lama sebagai larva planula.
Sedangkan perbedaan sebaran jenis yang berada di lautan pasifik dan lautan atlantik,
lebih disebabkan oleh faktor geologi, yang terjadi dalam waktu jutaan tahun.
FAKTOR-FAKTOR KONDISI LINGKUNGAN DAN PENGARUHNA
TERHADAP TERUMBU KARANG
Komunitas dari spesies karang bersipat stenohaline (mampu beradaptasi pada kisaran
salinitas terbatas). Keanekaragaman komunitas ini sangat tergantung pada kondisi lingkungan,
diantaranya faktor fisik dan kimia sebagai kontrol utama guna keberlangsungan hidupnya.
Beberapa dekade berikut ini faktor ini mengalami perubahan dengan adanya berbagai fenomena
alam, perubahan iklim dan variabilitasnya memberi dampak yang sangat menghawatirkan,
pemanasan global dan fenomena El-nino Southern Oscillation (ENSO) yang meningkatkan
perubahan pada berbagai factor lingkungan terumbu karang.
Menurut Smith dan Buddemeier (1992) dalam Brown (1997), faktor-faktor kunci yang
dapat mempengaruhi terumbu karang selama periode perubahan iklim adalah naiknya permukaan
laut (sea-level rise), penambahan temperatur air laut, perubahan kelarutan mineral karbonat,
bertambahnya radiasi ultra violet dan kemungkinan menguatnya aktivitas badai dan arus.
a.
Suhu air laut
Suhu merupakan faktor satu penentu utama dalam perairan terhadap keberlangsungan
hidupnya, adanya regenerasi suhu perairan mengkaraktristik komposisi karang penyusun suatu
perairan. Dengan climate change akan memaksa komunitas ini untuk beradaptasi dengan
koloni/simbionnya, hal ini sebagai respon komunitas ini terhadap kondisi tersebut.
Terumbu karang tumbuh sangat baik pada suhu antara 260C – 280C. Penyebaran horizontal
terumbu karang adalah antara 35 LU dan 32 LS. Kenaikan dan penurunan suhu sekecil 1 0C
sekalipun, apabila terjadi dalam waktu relatif lama, akan menimbulkan kematian pada karang
batu. Pemutihan ( bleaching) yang terjadi tahun 1983 dan 1997 lalu di beberapa tempat di
Indonesia, besar sekali kemungkinannya disebabkan karena terjadinya kenaikan suhu. Sebagai
bentuk dari peningkatan suhu lautan memberi dampak perusakan fisik pada komunitas karang,
diantaranya adanya kondisi tresing berupa pemutihan karang (bleaching) yang terlihat secara
lifeform komunitas ini.
Bleaching adalah priodik, dengan peristiwa-peristiwa yang paling parah biasanya
menyertai laut-atmosfer ditambah fenomena, seperti El Nino-Southern Oscillation (ENSO), yang
mengakibatkan peningkatan suhu lautan yang berkelanjutan (Baker et el, 2008). Terkait
pemanasan global dan kenaikan suhu permukaan laut (SST) sekarang diproyeksikan akan
menjadi sangat mungkin dalam dekade mendatang (IPCC, 2001, 2007; Phinney et al., 2006).
Ekosistem terumbu karang sangat sensitif terhadap perubahan dalam perubahan lingkungan fisik.
Sejak tahun 1980-an, pemutihan terumbu karang'''', yang disebabkan oleh suhu laut yang luar
biasa tinggi, telah merusak dan efek luas di seluruh dunia. Akibatnya, sebuah badan penelitian
yang signifikan telah terkumpul mengenai penyebab dan konsekuensi dari bleaching. Penelitian
meliputi bidang fisiologi selular, organisme biologi, ekologi dan ekosistem biologi, dan
mencakup rentang waktu mulai dari milidetik ke dekade. Ini membenarkan kritis penilaian
kembali basis pengetahuan yang terkumpul, berfokus pada jangka panjang dampak ekologis
pemanasan, dan pemulihan lintasan gangguan berikut. Selain itu, penemuan terbaru bahwa
terumbu karang tidak hanya terancam oleh peningkatan suhu, tetapi juga oleh peningkatan
keasaman laut (Gattuso et al., 1998; Kleypas et al., 1999),
Sebagai simbiosis antara invertebrata metazoans, dinoflagellata ganggang, dan suatu
kumpulan dari berbagai mikroba rekan, memiliki akses ke berbagai mekanisme yang lebih luas
daripada yang biasanya dapat ditemukan di non-simbiotik setara (Reshef et al., 2006). Karang,
sebagai simbiosis, mungkin acclimatize atau beradaptasi dengan perubahan lingkungan dengan
mengubah fisiologi mitra individu (karang host, ganggang symbionts, dan rekan mikroba) dan
juga dengan memvariasikan identitas dan / atau komposisi mikroba dan komunitas ganggang.
Adaptif pergeseran dalam komunitas symbion dan perubahan dalam komunitas Symbiodinium
telah dibuktikan sebagai respon terhadap perubahan lingkungan, termasuk pemutihan.
b.
Salinitas
Terumbu karang tumbu baik pada salinitas yang berkisar antara 30 – 36 ppm. Terumbu
karang yang hidup muara sungai atau kawasan pesisir yang banyak mendapat pengaruh air tawar
mempunyai pertumbuhan yang tidak maksimal. Turunnya hujan pada waktu yang relatif lama,
pada terumbu karang yang sering terekspos ketika air surut, juga akan mempengaruhi
pertumbuhan maksimal.
Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi
terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi
dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run off) dapat membunuh terumbu karang
melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah
kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui
peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang.
c. Kecerahan
Faktor kecerahan sangat penting dalam proses fotosintesas dalam sel algae yang hidup di
dalam jaringan polip karang. Rata-rata pertumbuhan karang yang sangat baik ada pada hanya
sampai kedalaman 20 meter saja. Terkucuali daerah yang mempunyai tingkat kecerahan yang
sangat tinggi, maka pertumbuhan karang masih baik pada kedalaman 30 bahkan sampai 40 meter.
Terumbu karang di daerah Iindonesia bagian timur banyak yang ditemui hidup pada kedalaman
lebih dari 40 meter, terutama di daerah yang relatif jauh dari sedimentasi.
d. pergerakan air
Terumbu karang memerlukan pergerakan air yang terus menerus, karena diperlukan
untuk memberikan oksigen, yang sangat dibutuhkan oleh organisme yang hidup di terumbu
karang. Pergerakan air yang sangat kuat akan mempengaruhi bentuk pertumbuhan koloni dan
juga proses rekolonisasi.
e. Substrat
Tipe substrat yang sangat keras sangat diperlukan oleh larva planula untuk memulai
penempelan. Tipe substrat yang ideal adalah substrat dengan permukaan yang keras seperti koloni
karang telah mati, dan pecahan karang yang besar-besar dan batu. Substrat atau pun lumpur
bukan merupakan tipe yang tepat. Beberapa usaha untuk melakukan rehabilitas atau pembuatan
terumbu karang buatan telah dilakukan dengan memakai substrat yang keras, seperti substrat dari
semen beton, kayu, besi dan keramik.
Respon Terumbu Karang Terhadap Perubahan Iklim (Climate Change)
Dalam 200 tahun terakhir, terumbu karang telah beradaptasi terhadap sejumlah
perubahan; tetapi, selama waktu tersebut, tidak ada tekanan dari manusia. Terumbu karang saat
ini menghadapi serangkaian ancaman kombinasi dari eksploitasi yang berlebihan, polusi dan
khususnya perubahan iklim dunia. Kesemua ancaman tersebut saat ini meningkat jumlahnya, dan
kegiatan-kegiatan manusia menyebabkan percepatan perubahan iklim dunia yang dapat membuat
terumbu karang sulit beradaptasi. Perubahan iklim dunia mempunyai 5 dampak utama bagi
terumbu karang:
1. Naiknya permukaan laut
Terumbu karang yang tidak bermasalah, kebanyakan mampu bertahan dengan naiknya
permukaan laut yang telah diperkirakan kurang lebih 50 cm hingga tahun 2100 (Panel antar
Pemerintahan untuk Perubahan Iklim/IPCC, 1995). Dataran terumbu yang terbuka pada saat
surut, yang membatasi pertumbuhannya keatas, dapat mengambil keuntungan dari kenaikan itu.
Akan tetapi,karang yang telah melemah karena meningkatnya suhu atau faktor-faktor lain (lihat
di bawah) mungkin tidak dapat tumbuh dan membangun kerangka tulang mereka secara normal.
Apabila hal ini terjadi, pulau-pulau yang kehilangan lapisan tipis dari jaringan hidup nya bila
tergulung dari dasar perairan karena gerakan air. Akan tetapi, apabila patahan mendarat pada
substrat yang tepat, maka ia dapat menempelkan kembali dirinya sendiri dan berkembang
menjadi koloni baru. Suatu terumbu dimana mayoritas karangnya telah mati tetapi telah
berstruktur, dapat tetap menjadi substrat yang stabil dan tepat untuk karang-karang muda dan
patahan untuk menempel dan tumbuh. Sehingga terjaganya karang-karang yang telah mati tetap
berharga. Karang yang telah mati, rapuh terhadap organisme yang melubangi mereka dan
melemahkan struktur terumbu karang. Gelombang yang kuat atau badai dapat merusakkan
terumbu karang dalam kondisi tersebut, mengubah suatu struktur yang kompleks menjadi ladang
kerikil yang tidak cocok untuk tempat penempelan karang. Akan tetapi, alga merah berkapur (red
coralline algae) dapat membantu melengketkan terumbu, mengurangi keretakan dan menyediakan
substrat yang cukup untuk penempelan larva. oleh sperma untuk membentuk larva yang berenang
bebas. Larva-larva tersebut dapat beradaptasi dengan baik untuk distribusi serta tergantung dari
jenis dan kondisinya dapat menjadi bibit dimana mereka berasal, didekat terumbu karang, atau
terumbu karang yang ratusan kilometer jauhnya (Richmond, 1997). Distribusi ini membutuhkan
arus laut yang tepat untuk membuahi karang di hilir dan penting untuk menjaga keragaman
genetik antara populasi karang dan terumbu karang. Peremajaan (recruitment) adalah suatu proses
dimana karang yang masih muda mengalami penempelan larva dan bermetamorfosis menjadi
bagian dari populasi dewasa dan komunitas terumbu karang. Setelah melewati tahap berenang
bebas di kolom perairan, larva kemudian menempel pada substrat yang cocok; keberadaan
substrat yang baik penting bagi kesuksesan peremajaan karang. Lokasi penempelan yang baik
cenderung berkarakter seperti dibawah ini (Richmond, 1997):
• Tipe dasar perairan yang stabil – substrat bukan terdiri dari sedimen lepasan atau bahan yang
tidak padat.
• Gerakan air di lokasi penempelan harus mendekati tenang, walaupun dalam kondisi-kondisi
tertentu, gerakan air yang tinggi dapat mendorong pertumbuhan.
• Kadar garam secara umum harus diatas 32‰ dan dibawah 38–40‰.
• Ada sumber cahaya bagi zooxanthellae untuk berfotosintesis
• Sedimentasi terbatas di kolom air (air jernih lebih ideal) untuk mengurangi kemungkinan
kekurangan dan ketidakcukupan transmisi sinar matahari.
• Ketiadaan alga makro (besar) (sebagai kebalikan dari turf alga) yang mampu bersaing tempat
dengan karang dan membatasi penempelan larva.
2. Kenaikan Suhu
Kenaikan suhu laut 1–2°C diperkirakan terjadi tahun 2100 (Bijkma et al., 1995). Di
banyak daerah tropis bahkan telah terjadi kenaikan 0,5°C selama 2 dekade terakhir (Strong et al.,
2000). Tampaknya mungkin hanya perubahan kecil, tetapi ini dapat diartikan bahwa selama
periode yang lebih hangat dari fluktuasi musim yang normal, suhu akan melebihi batas toleransi
dari hampir semua jenis karang. Ini dapat menaikkan frekuensi pemutihan (Hoegh Guldberg,
1999). Suatu kenaikan suhu dapat berarti daerah yang saat ini berada diluar wilayah terumbu
karang akan menjadi tepat untuk pertumbuhan karang, menghasilkan perpindahan geografis dari
distribusi populasi pembangun terumbu karang. Memang membutuhkan waktu sebelum hal ini
terbukti; dan bilamana hal ini terjadi, faktor-faktor lingkungan lain dengan posisi lintang yang
lebih tinggi mungkin tidak kondusif untuk pertumbuhan terumbu karang. Lebih lanjut lagi,
naiknya SPL mempengaruhi kepekaan zooxanthellae, contohnya sinar yang diperlukan untuk
fotosintesis malah merusak sel-selnya (Hoegh-Guldberg, 1999). Karang malah dapat menjadi
rapuh terhadap kenaikan radiasi sinar UV karena menipisnya lapisan ozon.
3. Berkurangnya tingkat pengapuran
Emisi global dari gas rumah kaca meningkatkan konsentrasi karbon dioksida di atmosfir
dan di lautan ke tingkat yang akhirnya mengurangi kemampuan terumbu karang untuk tumbuh
dengan proses pengapuran normal. Tingginya konsentrasi karbon dioksida meningkatkan
keasaman air, yang menurunkan tingkat pengapuran karang . Telah diperkirakan bahwa tingkat
pengapuran dapat menurun kurang lebih 14–30% tahun 2050 (Hoegh-Guldberg, 1999). Ini akan
mengurangi kemampuan terumbu untuk pulih dari peristiwa seperti pemutihan karang dan juga
merusak kemampuan mereka menyesuaikan diri dengan kenaikan permukaan laut dan perubahan
geologi.
4. Perubahan pola sirkulasi lautan
Jika perubahan pola sirkulasi lautan dalam skala besar berkembang, hal ini dapat
mengubah distribusi dan transportasi larva karang (Wilkinson dan Buddemeier,1994). Hal ini
dapat berdampak pada perkembangan dan distribusi terumbu karang diseluruh dunia.
5. Pertambahan frekuensi kejadian cuaca yang merusak
Perubahan pola tahunan atmosfir dapat mengakibatkan berubahnya frekuensi dan
intensitas badai dan angin puyuh, juga perubahan pola presipitasi. Meningkatnya badai dapat
mengakibatkan peningkatan kerusakan tidak hanya pada terumbu karang, tetapi juga komunitas
pesisir. Jika perubahan berlanjut seperti yang telah diperkirakan, pemutihan karang dapat menjadi
hal biasa dalam kurun waktu 30–50 tahun (Hoegh-Guldberg, 1999). Peningkatan frekuensi
pemutihan dapat memaksa karang untuk beradaptasi. Adaptasi dapat timbul dalam 2 cara :
• Karang berubah secara fisiologis menjadi lebih toleran terhadap suhu tinggi.
• Kemungkinan terjadinya kematian populasi atau jenis karang dan zooxanthellae yang tidak
mampu mengatasi suhu yang lebih tinggi- dan jenis yang kurang toleran ini akan menghilang
(Warner et al., 1996; Hoegh-Guldberg,1999).
Menurud Dr. Wahyu S. Hantoro, terdapat laporan dalam literature mengenai rekaman sepanjang
500 tahun tentang kaitan El-nino dan bencana kemarau di Indonesia. Hal ini terlihat pada tubuh
karang yang memperlihatkan sabuk pertumbuhan (growth banding) yang berbeda-beda lebarnya
sesuain dengan keadaan perbedaan kondisi iklim, termasuk El-nino. Juga terdapat hubungan yang
jelas antara kadar isotop oksigen yang ada dalam tubuh karang dengan suhu air tempat dia hidup.
Demikian pula halnya dengan isotop karbon dan perbandingan angka strontium terhadap kalsium,
yang dua-duanya punya korelasi dengan suhu lingkungan dan juga dengan usia tubuh karang.
Ancaman-ancaman Terhadap Terumbu Karang
Ancaman terhadap terumbu karang dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan sumber ancaman itu,
yaitu :
a. Ancaman Biologi
Ancaman dapat dikatakan sebagai fenomena alam yang memang terjadi karena sifat
organisme itu sendiri. Ancaman biologi terumbu karang misalnya adalah pemangsaan karang oleh
bintang mahkota duri ( Acanthaster planci ).
Ancaman biologi yang bersifat norma, dapat menjadi ancaman serius apabila tingkat kerusakan
yang diakibatkan sangat besar, misalnya peledakan populasi mahkota berduri, mengakibatkan
kematian karang yang jumlah yang besar. Mahkota berduri memakan polip karang dalam waktu
yang singkat yang meninggalkan warna putih pada hewan karang, karena kehilangan hewan
polipnya. Biasanya yang terjadi adalah, apabila kondisi perairan tidak memenuhi syarat
pertumbuhan maksimum, maka karang mati yang berukuran putih, langsung ditumbuhi oleh
makro algae, yang disebut turf algae. Apabila hal ini terjadi, maka pemulihan hewan karang, baik
sebagai substrat untuk melekat akan menjadi lebih sulit.
Mahkota berduri adalah mangsa dari moluska jenis Triton. Akan tetapi populasi triton
semakin kecil, karena pengambilan moluska ini untuk diperdagangkan sebagai souvenir.
Sehingga secara gamblang dapat dikatakan satu mata rantai terputus. Akan tetapi faktor yang
menyebabkan terjadinya peledakan populasi mahkota berduri sampai saat ini belum diketahui
secara pasti. Beberapa ahli berpendapat, kemungkinan karena faktor pencemaran laut yang
semakain tinggi telah memicu telah terjadinya peledakan populasi jenis ini.
b.
Ancman yang berasal dari kegiatan manusia
Ancaman yang disebabkan oleh kegiatan manusia umumnya meninggalkan dampak
kerusakan yang meluas dan bertahan lama, sehingga sehingga memerlukan waktu yang lama bagi
terumbu karang untuk memulihkan diri.
Ancaman yang dilakukan oleh manusia dapat dibedakan atas :
Kegiatan secara langsung
 Pemanfaatan Cara Pemanfaatan yang merusak, seperti penangkapan ikan dengan bahan
peledakdan racun.
 Pemanfaatan yang berlebihan terhadap sumber daya terumbu karang.
 Pamakaian dan penempatan bubu dalam jumlah yang banyak.
 Penambangan karang untuk bahan bangunan dan perdagangan aquarium.
 Kegiatan parawisata yang merusak, seperti membuang jangkar dan berjalan diatas karang.
Kegiatan secara tidak langsung
 Penembangan hutan dan tumbuhan di sekitar bantalan sungai
 Pembangunan reklamasi pantai di dekat terumbu karang
 Pembuangan limbah industri atau buangan sampah rumah tangga
 Pencemaran minyak dari kapal atau pengeboran lepas pantai
 Sisa-sisa dari kegiatan pertanian seperti pupuk, pestisida
DAFTAR PUSTAKA
Burke, L., E. Selig, dan M. Spallding. 2002. Terumbu Karang yang Terancam di Asia
Tenggara. Ringkasan Untuk Ind onesia. Terjemahan dari Reefs at Risk in
Southeast Asia. Kerjasama ant ara WRI, UNEP, WCMC, ICLARM da n
ICRAN. 40 hal.
Brown, B.E., 1997. Disturbances to Reefs in Recent Times. In. Life and Death of Coral
Reefs. Charles Birkeland (Ed.). Chapman &Hall. New York. 354-379 Hal.
Cesar H, Warren K, Sadovy Y, et al. (2000) Marine Market Transformation of the Live
Reef Fish Food Trade in Southeast Asia. Collected Essays on the Economics of
Coral Reefs:137-157 Hal.
Muscatine L, Porter J (1977) Reef corals: mutualistic symbioses adapted to nutrient-poor
environments. BioScience 27:454-460 Hal.
Moberg F, Folke C (1999) Ecological goods and services of coral reef ecosystems.
Ecological Economics 29:215-233 Hal.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Terj. dari Marine
Biology: An Ecological Approach, oleh Eidman, M., Koesoebiono, D.G. Bengen,
M. Hutomo, & S. Sukardjo. 1992. dari. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta:
xv+459 hal.
Smith TM, Sapiano MRP, Arkin PA (2008) Historical reconstruction of monthly oceanic
precipitation.
Journal
Geophysical
Research
113,
D17115,
doi:
101029/2008JD009851
Sorokin, I. 1993. Coral Reef Ecology. Springer-Verlag. Berln Heidelberg.
Suharsono (1998) Bleaching event followed by mass mortality of coral reefs in 1998 in
Indonesian waters. UJ. Mar. Fish Sci 179 - n187 hal.
Veron, J.E.N. 1995. Corals in Space and Time. The Biogeography and Evolution of the
Scleractinia. UNSW Press.
Tugas Ketiga/Terakhir
Mata Kuliah : Biologi Laut
PJMK
: Dr Neviaty P. Zamani
Karen von Juterzenka
GENERAL COMPOSITION OF CORALS REEFS
KOMMUNITIES AND ENVIRONMENTAL FACTORS
Oleh:
MULIARI
C551090091
MAYOR ILMU KELAUTAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Download