Sikap Intoleran Lebih Berbahaya dari Isu Kebangktian PKI December 30, 2016 http://sinarharapan.net/2016/12/sikap-intoleran-lebih-berbahaya-dari-isu-kebangktian-pki/ Ilustrasi / ist SHNet, JAKARTA – Dalam beberapa pekan di penghujung tahun 2016, media sosial disuguhkan berita meningkat drastisnya investasi Republik Rakyat Cina (RRC) akan berkolerasi dengan upaya menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dibubarkan tahun 1966. PKI dibubarkan melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor XXV/MPRS/Tahun 1966, karena dituding berada di balik Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang menyebabkan 7 jenderal senior Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dibunuh komplotan Letkol (Inf) Untung Syamsuri, anggota Pasukan Tjakrabirawa. Kekuatan global pernah bertumpu pada dua ideologi saling bertolak belakang di era Perang Dingin, 1946 – 1991, yakni sosialis dan liberalis. Sosialis dimotori Uni Soviet dan RRC, sedangkan liberalis dimotori Amerika Serikat dengan sekutunya di antaranya Inggris, Australia, Selandia Baru. Di negara sosialis, kelompok masyarakat boleh mendirikan partai komunis. Sosialis adalah ideologi dan komunis merupakan partai politik. Tapi di negara liberalis, partai komunis sama sekali sangat dilarang, berkat resistensi yang tinggi dari kalangan agamawan. Untuk memperluas pengaruhnya, kaum liberalis dimotori Amerika Serikat, selalu menghantui masyarakat akan bahaya komunis, seperti di Indonesia yang ditaklukkannya melalui Gerakan 30 September (G30S) 1965 di Jakarta, dalam rangka meningkatkan sikap permusuhannya dengan negara penganut ideologi sosialis. 1 Tanggal 25 Desember 1991, situasi politik global berubah sangat drastis, ditandai hancurnya Uni Soviet sebagai negara komunis yang menandai berakhirnya Perang Dingin. Kejatuhan Uni Soviet, disambut dengan mabuk kemenangan kaum liberalis global. Sementara itu, pasca bubarnya Uni Soviet, negara penganut ideologi sosialis, termasuk Federasi Rusia dan RRC, melakukan pembenahan radikal dan mendasar. Kaum sosialis, melakukan banyak modifikasi kebijakan ekonomi dan politik. Di antaranya, ekspansi investasi ekonomi ke luar negeri, tidak lagi disertai intervensi paham komunis. Negara sosialis belajar dari pengalaman ketika Indonesia yang memutuskan hubungan diplomatik dengan RRC, 30 Agustus 1967. Dalam melakukan normalisasi diplomatik terhitung 8 Agustus 1990, RRC secara terbuka berjanji tidak mencampuri urusan politik dalam negeri Indonesia. Di bidang ekonomi, negara sosialis, banyak melakukan adopsi kebijakan yang diterapkan negara liberalis, tapi tidak mendewakan kapitalis, demi pemerataan dan berkeadilan sosial bagi masyarakat. Sikap politik luar negeri kaum sosialis, mendapat sambutan positif global. Semenjak itu pula, percaturan politik global, sudah tidak lagi berdasarkan latar belakang ideologi liberalis dan sosialis. Negara sosialis bebas berinteraksi dengan negara liberalis, dan demikian pula sebaliknya. Hasilnya sungguh menakjubkan. Tahun 2005, RRC, sebagai negara sosialis, dinobatkan sebagai negara paling kaya di dunia. Kekayaan RRC, sejalan dengan ekspansi ekonomi melalui aktifitas investasi sejumlah negara yang dulu pernah menjadi musuh bebuyutan. Per Juni 2016, Amerika Serikat, mantan musuh bebuyutan, ditempatkan sebagai lokasi investasi terbesar RRC di seluruh dunia, yakni US$110 miliar. Investasi terbesar kedua RRC di seluruh dunia, ada di Indonesia, senilai US$22,278 miliar per Februari 2016. Dalam kondisi seperti inilah, tiba-tiba muncul isu RRC akan membantu menghidupkan kembali PKI gaya baru, seiring meningkat tajamnya investasi negara tirai bambu itu di Indonesia. Penyebar itu dimaksud, tidak lebih dari upaya sejumlah pihak di dalam negeri yang tidak suka akan kebijakan politik dan ekonomi Pemerintahan Presiden Joko Widodo – Wakil Presiden Jusuf yang lebih realistis di dalam menghadapi percaturan ekonomi global. 2 Sementara sebuah negara, bisa maju, apabila regulasi yang diterapkan mampu mendorong pertumbuhan investasi dalam dan luar negeri, dilakukan secara menyeluruh dan mendasar. Argumentasi sejumlah pihak akan bahaya latens komunis seiring dengan meningkatnya investasi RRC di Indonesia, dengan belajar dari pengalaman ulah PKI sebagai dalang G30S 1965, semata-mata memanfaatkan ranah psikologis masyarakat akan dokumen penulisan sejarah Bangsa Indonesia yang tidak benar. Padahal, dalam dokumen Peter Dale Scott, mantan diplomat Amerika Serikat (2003) dan John Roosa, peneliti berkebangsaan Kanada (2008), menyebutkan G30S 1965, setingan Central Inteligence Agency (CIA) Amerika Serikat, untuk menggulingkan Presiden Soekarno. G30S 1965 akhirnya menyebabkan pidato Nawaksara Presiden Soekarno ditolak MPRS, 22 Juni 1966 dan terhitung 1 Juli 1966 Pangkostrad Letjen TNI Soeharto, binaan Amerika Serikat, ditunjuk menjadi Penjabat Presiden, kemudian jadi Presiden hingga 21 Mei 1998. Semenjak itulah Indonesia yang berurat-berakar dari ideologi sosialis yang sudah dimodifikasi sesuai alam dan budaya Bangsa Indonesia, yakni Pancasila, dipaksa berkolaborasi dengan ideologi liberalis. Berangkat dari merebaknya isu kebangkitan PKI, berbarengan dengan mingkatnya investasi RRC, semata-mata lantaran masyarakat terbuai penulisan dokumen sejarah Bangsa Indonesia yang sengaja dibelokkan. PKI adalah masa lalu, dan tidak mungkin bisa hidup lagi, karena sudah ada produk politik yang melarangnya tahun 1966. Malah perlu ditelusuri sekarang, siapa sebetulnya pihak-pihak yang sengaja meniupkan isu kebangkitan PKI gaya baru. Isu kebangkitan PKI sangat tendensius, spekulatif dan menyesatkan, karena sejumlah pihak diam seribu bahasa, ketika Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya (Golkar), Setya Novanto berguru kepada Partai Komunis RRC di Beijing, Kamis, 12 Oktober 2016. Isu kebangkitan PKI, menunjukkan ketidak dewasaan berpikir sebagian masyarakat Indonesia. Karena rakyat Amerika Serikat saja, tidak mengkhawatirkan hidupnya paham komunis, saat investasi RRC di seluruh dunia terbesar di negaranya yang mencapai US$110 miliar per Juni 2016. 3 Federasi Malaysia, sebuah negara bentukan Amerika Serikat tahun 1962, sekarang mengikuti jejak Indonesia, menggaet sebanyak-banyaknya investasi dari RRC. Di Negara Bagian Johor Bahru, misalnya, ada sebuah kawasan seribu hektar lebih dinamai Forest City, sebuah pemukiman elit di Malaysia yang pangsa pasarnya khusus bagi investor RRC. Bahaya di depan mata bagi Bangsa Indonesia, bukan isu kebangkitan PKI gaya baru, tapi paham radikalisme, terorisme dan sikap intoleran berada di depan mata yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (Aju) 4