modal sosial dan wirausaha etnis minang: studi eksploratif di batam

advertisement
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
MODAL SOSIAL DAN WIRAUSAHA ETNIS MINANG:
STUDI EKSPLORATIF DI BATAM, PEKANBARU DAN PADANG
Primadona
Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Administrasi Niaga
email : [email protected]
Emrizal
Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Administrasi Niaga
email : [email protected]
Eva Yoyet
Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Administrasi Niaga
email :[email protected]
ABSTRACT
This paper aims to look at how the role of social capital in promoting entrepreneurship
in Minang community in the area of Batam, Pekanbaru and Padang as well as creating
a policy to develop social capital in society, especially in improving the entrepreneurial
ethnic Minang. This article contains basically how far ethnic Minang develop their
business so successful and how big a role social capital (networks, trust and
reciprocity) makes success in Minang ethnic entrepreneurship. Under these conditions,
the profile entrepreneur successful businesses, maps problems and solutions to improve
the role of social capital in promoting entrepreneurship in Minang society also will look
at in this article. Package policies for policy makers, especially for a government role
in creating entrepreneur also be created. This study was conducted in 3 areas in
Sumatra that is Batam, Pekanbaru and Padang using research instruments observation,
documentation, in-depth interviews with entrepreneurs, chief bond or association as
well as FGD.
Keywords: trust, reciprocity, networks, entrepreneur
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumatera Barat selama ini khususnya etnis Minang sangat terkenal dengan
kewirausahaannya. Hampir setiap daearah di Indonesia terdapat etnis Minang yang
umumnya bekerja sebagai wirausaha. Bidang wirausaha yang di gelutinya bermacammacam mulai dari usaha kuliner (rumah makan, katering, sate dan sebagainya), sektor
industri (industri pakaian, tas), dan perdagangan. Peran etnis Minang yang selama ini
lebih sebagai penyedia lapangan pekerjaan sangat membantu pembangunan di daerah
sendiri khususnya dan Indonesia pada umumnya. Tingginya ikatan kekeluargaan dan
kedaerahaan membawa unsur modal sosial dapat berperan dalam pencarian pekerjaan
ataupun penciptaan lapangan kerja. Para pekerja yang berhenti dari pekerjaanya dan
memperoleh pekerjaan lain banyak menemui keberhasilan dengan menggunakan modal
sosial yang biasanya menggunakan jaringan, trust dan resiprocity (Zhao,2002:563-4).
ISSN 1858–3717
71
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
Mayarakat Minang yang hidup mayoritas berwirausaha tidak bisa kita abaikan
dan dalam berwirausaha selama ini di pengaruhi oleh 3 aspek dan merupakan ciri khas
etnis Minang yaitu budaya, adat dan alam. Merantau merupakan budaya yang telah
menjadi kebiasaan turun temurun bagi masyarakat Minang. Ibarat pepatah Minang yang
menyatakan ”Marantau bujang dahulu, dirumah baguno balun” dan ”Kambang nagari
carilah rantau, nak sanang hati anak jo cucu”.
Etnis Minang yang menjadi wirausaha pada daerah-daerah di seluruh Indonesia
biasanya diawali dengan nilai-nilai wirausaha yang dimilikinya. Mereka umumnya
hidup berkelompok sesama etnis Minang. Karena umunya di tempat-tempat wirausaha
etnis Minang selalu mempunyai suatu perkumpulan masyarakat Minang (seperti PKDP,
IKPL/Ikatan Keluarga Padang Luar, IKSM dan banyak lainnya) dan bahkan pada
beberapa daerah disediakan tempat/pemondokan bagi pendatang baru yang berasal dari
daerah sendiri untuk memberi kesempatan melihat peluang-peluang untuk berwirausaha
sebagai rasa kepedulian bagi etnis minang di perantauan sebelum memulai usaha.
Ukuran keberhasailan wirausaha lebih mengedepankan unsur kreatifitas dan
karakter dari wirausaha itu sendiri, tidak begitu banyak yang memasukkan unsur modal
sosial sebagai unsur pendukung keberhasilan wirausaha. Bahkan dalam pemberian ilmu
kewirausahaan baik di kampus-kampus atau pada pelatihan-pelatihan tidak pernah
menyinggung unsur modal sosial, padahal unsur modal sosial merupakan pendorong
inovasi bisnis dan pengetahuan (Porter,2000;Le Bas 1998). Bertitik tolak dari hal diatas
maka perlu untuk diteliti peran unsur modal sosial dalam berwirausaha sehingga
menghasilkan suatu kebijakan yang dapat digunakan dalam mengembangkan
kewirausahaan di Indonesia.
Menurut pengamatan penulis di Sumatera Barat, etnis Thiongha melakukan
usahanya sangat diwarnai dengan rasa kelompok sesama etnis yang tinggi sehingga
rantai dan hubungan berwirausahanya disetiap daerah itu sangat erat. Ikatan komunitas
sesama etnis sangat mereka jaga sehingga jaringan berwirausahanya selalu terjalin
untuk bidang-bidang yang sangat mereka kuasai. Di Sumatera Barat sendiri sebenarnya
etnis Thionghoa tidak berkembang seperti di daerah Medan atau daerah lainnya dalam
berwirausaha, tetapi hubungan antar etnis sangat terjalin. Ini terlihat dari tingginya rasa
kebersamaan antara etnis ini baik dilihat dari jaringan ataupun dalam unsur
kepercayaan. Pada saat ada acara pesta dan kematian mereka sangat respon dan mereka
menghadiri acara-acara kebesarannya dengan semangat dan bahkan sampai
meninggalkan pekerjaannya. Ini selaras dengan apa yang di kemukan oleh
(Zhao,2002:563-4), Etnis Thionghoa jika ada yang berhenti dari pekerjaannya dan
memperoleh pekerjaan lain banyak menemui keberhasilan dengan menggunakan modal
sosial .
Begitu juga dengan etnis Jawa yang ada di Sumatera Barat mereka lebih
cenderung dalam menjalankan usahanya dengan cara jaringan dan kepercayaan sesama
etnis jawa, seperti usaha makanan bakso, pecel lele, sate madura, jamu dan juga ada
yang bergerak dalam bidang kontraktor (bidang kontraktor ini hampir 300 orang
didatangkan sekaligus dari Jawa dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai buruh
bangunan).
Bagaimana dengan etnis minang berwirausaha dengan memperhatikan modal
sosialnya? Selama ini etnis Minang dalam berwirausaha berada hampir di semua daerah
di Indonesia yang bergerak dalam berbagai bidang. Biasanya diawali dengan adanya
beberapa orang saja pada suatu daerah dan nanti akan datang beberapa orang lagi untuk
berwirausaha dengan bidang yang sama (biasanya jika pada suatu daerah sudah ada
yang berhasil keinginan untuk mendatangkan orang sesama etnis Minang ketempat itu
ISSN 1858–3717
72
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
sangat tinggi untuk berusaha). Apakah unsur modal sosial seperti resiprocity, jaringan,
unsur kepercayaan disini sangat berperan? pada etnis Minang para wirausaha yang
sudah berhasil dirantau sangat dipercayai oleh yang lainnya. Dalam berwirausaha unsur
kepercayaan dan jaringan sangat penting untuk dicermati kalau ingin membentuk suatu
ikatan yang kuat antara etnis (Fukuyama;2000).
Melihat dari hal tersebut banyak hal-hal yang masih kita pertanyaan terkait
dengan modal sosial dalam berwirausaha khususnya masyarakat Minang. Karena dalam
kenyataannya modal sosial tidak menjadi suatu yang dimasukan sebagai suatu
penunjang dalam indikator keberhasialan dalam berwirausaha baik dalam masyarakat
maupun dalam pelatihan ataupun pendidikan kewirausahaan. Selalu yang menjadi
ukuran keberhasailan itu selama ini dalam berwirausaha adalah modal finansial atau
kreativitas individual. Bagaimanapun juga, baik pemerintah maupun masyarakat harus
dapat melihat celah-celah yang ada dengan kondisi-kondisi yang ada dalam masyarakat
itu sendiri. Terkait dengan hal itu, masih banyak pertanyaan yang perlu dimunculkan
dalam konteks kebijakan, perencanaan, dan strategi dalam meningkatkan kewirausahaan
masyarakat (apalagi kewirausahaan saat ini merupakana proyek unggulan pemerintah
dalam menekan pengangguran).
Apakah pemerintah sudah dapat melihat peranan unsur modal sosial dalam
meningkatkan wirausaha (seperti penelitian-penelitian yang sudah dilakukan oleh
Putnam, Coleman, Zhao dan yang lainnya? Bagaimanakah upaya-upaya yang sudah
dilakukan oleh pemerintah agar masyarakat dan wirausaha pemula perlu untuk
meningkatkan jaringan dan kepercayaan dalam memulai usaha ? Apakah penelitian
seputar behavior analysis yang komprehensif sudah dilakukan dalam lingkungan suatu
komunitas? Bagaimanakah caranya menjalin jaringan, resiprocity, trust dan unsur
modal sosial lainnya dalam memulai usaha? Apakah perlu untuk memasukan unsur
modal sosial dalam kurikulum ataupun pembelajaran wirausah lainnya? Bagaimanakah
mencerdaskan pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya memupuk modal sosial?
Apakah modal sosial yang sudah ada dalam masyarakat dapat lebih ditingkatkan lagi
dalam meningkatkan pembangunan? Bagaimanakah mempersiapkan masyarakat agar
nilai-nilai modal sosial tidak luntur ? Bagaimanakah dampak modal sosial bagi
wirausaha etnis Minang dan etnis Thionghoa atau etnis lainnya?
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana berjalannya modal sosial
pada wirausaha masyarakat Minang pada tiga wilayah yaitu Kota Batam, Kota
Pekanbaru dan Kota Padang.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Wirausaha
2.1.1 Pengertian Kewirausahaan
Istilah entrepreneur secara tertulis pertama dilakukan oleh Savary pada tahun
1723. Menurut Savary dalam (Wirasaswita ,1998) yang dimaksud dengan entrepreneur
adalah orang yang membeli barang dengan harga pasti, meskipun orang tersebut belum
tahu dengan harga berapakah barang ( atau guna ekonomi) itu akan di dijual kemudian.
Pendapat (Drucker, 1959) kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang
dijadikan kiat, dasar dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Inti dari
kewirausahaan itu adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan
berbeda (create new and different) melalui berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk
menciptakan peluang. Entrepreneurship, atau sering diterjemahkan dengan
ISSN 1858–3717
73
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
kewirausahaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh (Kreitner,1995) adalah sebuah
proses di mana seseorang atau sebuah organisasi menjawab peluang sekalipun
ketersediaan sumber daya yang dimilikinya terbatas.
Sedangkan Menurut
(Zimmerer,1998), kewirausahaan merupakan penerapan kreativitas dan keinovasian
untuk memecahkan permasalahan dan upaya untuk memanfaatkan peluang yang
dihadapi sehari-hari. Kewirausahaan merupakan gabungan dari kreativitas, keinovasian
dan keberanian menghadapi resiko yang dilakukan dengan cara kerja keras untuk
membentuk dan memelihara usaha baru.
Dari banyak pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa seorang wirausaha
adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk melihat peluang dan mempunyain
pribadi hebat, produktif, kreatif, melaksanakan kegiatan perencanaan bermula dari ide
sendiri, kemudian mengembangkan kegiatannya dengan menggunakan tenaga orang
lain dan selalu berpegang pada nilai-nilai disiplin dan kejujuran yang tinggi sehingga
mampu mengahasilkan kehidupan ekonomi yang lebih baik.
2.1.2 Konsep Wirausaha
Globalisasi membawa perubahan terhadap kehidupan suatu negara dan bahkan
dapat merubah tatanan kehidupan masyarakat, menurut (Suryana ,2000), sejalan dengan
tuntutan perubahan seperti terjadinya globalisasi yang cepat pada paradigma
pertumbuhan yang wajar dan perubahan ke arah globalisasi tersebut yang menuntut
adanya keunggulan, pemerataan, dan persaingan, maka dewasa ini terjadi perubahan
paradigma pendidikan yang gunanya adalah untuk dapat menyesuaikan perubahan
tersebut sehingga kita mampu untuk bersa. Lebih lanjut Soeharto (2005) mengatakan
pendidikan kewirausahaan telah diajarkan sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang
independen karena hal ini penting dan sangat perlu untuk dilakukan yang dikarenakan
oleh:
1. Kewirausahaan berisi “body of knowledge” yang utuh dan nyata (distinctive),
yaitu ada teori, konsep, dan metode ilmiah yang lengkap.
2. Kewirausahaan memiliki dua konsep, yaitu posisi “venture start up” dan
“venture growth”. Hal ini jelas tidak masuk dalam “frame work general
management courses” yang memisahkan antara “management” dengan
“business ownership”.
3. Kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang memiliki objek tersendiri, yaitu
kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda.
4. Kewirausahaan merupakan alat untuk menciptakan pemerataan berusaha dan
pemerataan pendapatan atau kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur.
Menurut (Drucker,1985) dalam bukunya Innovation and Entrepreneureship
mengemukakan perkembangan teori kewirausahaan menjadi tiga tahapan:
A. Teori yang mengemukakan Peluang Usaha. Teori ini disebut Teori ekonomi
yaitu wirausaha akan muncul dan berkembang apabila ada peluang ekonomi.
B. Teori yang mengemukakan tanggapan orang terhadap peluang. Peluang
dipandang sebagai sesuatu hal yang jika mampu dimanfaatkan maka akan
berdampak terhadap kemampuan seseorang untuk menjadi wirausaha.
C. Teori yang mengutamakan Hubungan antara prilaku wirausaha dengan hasilnya.
Berdasarkan teori yang ketiga diatas, maka sebetulnya mitos/ kepercayaan
bahwa “orang Indonesia itu tidak dapat menjadi wirausaha dan tidak dapat menjadi
manajer”, akan runtuh, karena semua kegiatan dapat dipelajari, dilatih dan dapat
dikuasai.
ISSN 1858–3717
74
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
2.2 Modal Sosial
2.2.1 Konsep Modal Sosial
Pertama kali konsep modal sosial diperkenalkan oleh L.J. Hanifan pada awal
abad ke-20 yang mana saat ini keberadaan modal sosial belum menyentuh dalam teori
pendidikan. Hanifan menyatakan bahwa modal sosial bukanlah modal dalam arti biasa
seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun
merupakan asset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat yang mana
saat ini sangat mempengaruhi tidak hanya pada kehidupan pribadi tetapi sudah menjalar
pada kehidupan masyarakat yang luas. Di dalamnya terkandung kemauan baik, rasa
bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara
individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial ( Atmadja, 2006;
Mudana, 2010)
Pandangan lain juga diungkapkan (Fukuyama, 2001), modal sosial memegang
peranan penting dalam memperkuat kehidupan masyarakat modern”, lebih jelas
Fukuyama berargumentasi bahwa modal sosial memegang peranan yang sangat penting
dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern sehingga mampu
untuk melihat modal sosial sebagai modal yang berperan di dalam meningkatkan
kehidupan masyarakat. Menurut (Fukuyama, 2003) modal sosial juga menekankan pada
dimensi yang lebih luas yaitu segala yang membuat masyarakat bersekutu untuk
mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, dan didalamnya diikat oleh nilai-nilai
dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi.
Berdasarkan beberapa definisi modal sosial diatas dapat disimpulkan bahwa
modal sosial itu adalah segala hal yang berkaitan dengan kerjasama dalam masyarakat
untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik, dan ditopang oleh nilai-nilai dan norma
yang menjadi unsur-unsur atau komponen-komponen utamanya seperti trust (rasa saling
mempercayai), jaringan, aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat dan sejenisnya.
Menurut (Woocock dan Narayan, 2000), modal sosial adalah merupakan
bagaimana hubungan diantara pelaku ekonomi dan hubungannya dengan lembagalembaga ekonomi. Dalam penelitiannya yang ditujukan mengenai modal sosial dan
ekonomi pembangunan dapat dikategorikan kepada 4 perspektif yang nyata :
1. The Commutarian View
Perspektif modal sosial masyarakat yang ada pada organisasi tingkat sosial,
dimana dilihat dari jumlah anggotanya dan kepadatan grup-grup membentuk
masyarakat. Pandangan ini melihat dari pengaruh besar dan kecilnya kelompok sosial
yang ada di masyarakat. Didalam kelompok yang kecil ini biasanya modal sosial akan
melekat dengan baik, makin baik dan nantinya akan membawa efek yang positif
terhadap kesejahteraan masyarakat.
2. The Networks View
Pandangan ini melihat bahwa peran dari organisasi dan ikatan ataupun jaringan
organisasi sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Disini dilihat
dari bertambahnya ikatan atau jaringan kesatuan yang terjadi diantara orang-orang,
organisasi grup masyarakat dan perusahaan baik secara vertikal maupun secara
horizontal yang berimbas pada kuatnya persatuan atau kerjasama dalam masyarakat
tersebut sehingga akan mampu menguatkan tatanan modal sosial di dalam masyarakat.
3. Institutional View
Institusional view menggantikan pandangan modal sosial sebagai sebuah
variabel dependent. Pendekatan ini melihat bahwa kapasitas yang besar dari grup-grup
sosial tergantung pada kualitas institusi formal yang membawahi mereka. Pandangan ini
juga menekankan pada performance dari daerah dan perusahaan-perusahaan mereka
ISSN 1858–3717
75
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
sendiri tergantung pada keterkaitan diantara institusi, kredibilitas dan harapan
pemerintah terhadap masyarakat. Hal ini perlu dikembangkan dan bahkan untuk dapat
mengelola modal sosial dapat berperan di dalam kehidupan masyarakat maka penting
mensingkronkan kebijakan yang ada dengan kepentingan mayarakat.
4. The Synergy View
The Synergy View merupakan sinergi yang muncul dari hubungan semua
kelompok baik kelompok kecil ataupun kelompok besar dalam jaringan masyarakat
dengan pihak-pihak lain seperti perusahaan, pemerintah dan asosiasi lainnya.
Pandangan ini merupakan gabungan perspektif antara network view dengan institusional
view. Dalam pandangan sinergi ada beberapa saran utama yang mesti dilakukan oleh
peneliti, pemakai teori, dan pengambil kebijaksanaan yaitu : untuk mengidentifikasi
dasar dan kelanjutan dari hubungan sosial dan institusi formal dan interaksi dari mereka
seperti mengembangkan strategi institusi berdasarkan hubungan sosial, kepercayaan dan
efisiensi dari lembaga yang berpikiran sempit dan paham tertutup.
2.2.2 Unsur- Unsur Pokok Modal Sosial
Fokus dari modal sosial itu sebenarnya ingin melihat pada bagaimana
kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok dalam masyarakt untuk
bekerjasama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama
tersebut diwarnai oleh suatu pola interrelasi yang imbal balik dan saling
menguntungkan, dan dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma dan nilainilai sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh
semangat proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip tentang persamaan,
kebebasan, dan nilai-nilai kemajemukan dan humanitarian. Menurut (Hasbullah, 2005),
unsur pokok modal sosial terdiri dari :
1. Partisipasi Dalam Suatu Jaringan
Modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan akan terletak
pada kecendrungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk bersosialisasi sebagai
bagian penting dari nilai-nilai yang melekat. Modal sosial akan kuat tergantung pada
kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi
berikut membangun jaringannya agar mampu membuat modal sosial berperan.
2. Resiprocity
Walau modal sosial merupakan modal yang sulit untuk di ukur karena modal
sosial senantiasa diwarnai oleh kecendrungan saling tukar kebaikan antar individu
dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Maksud pola pertukaran ini
bukanlah sesuatu yang dilakukan secara resiprokal atau secepat seketika seperti dalam
proses terjadinya jual beli, namun dilakukan dengan suatu kombinasi jangka pendek dan
jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu antar sesama dan
mementingkan kepentingan orang lain).
3.Trust
Kepercayaan adalah sesuatu yang mempunyai nilai yang sangat tinggi di dalam
melakukan apapun dengan orang lain. Walaupun demikian kadang kala individu atau
seseorang kurang mengamati hal tersebut. Trust atau rasa percaya (mempercayai)
adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan
sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu
seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang
saling mendukung, paling tidak. Yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan
kelompoknya (Putnam, 1993, 1995 dan 2002). Dalam pandangan (Fukuyama, 1995,
ISSN 1858–3717
76
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
2002), trust adalag sikap saling mempercayai di masyarakat tersebut saling bersatu
dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial.
4. Norma Sosial
Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan
dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Unsur
modal sosial ini dapat berasal dari agama, panduan moral, maupun standar-standar
sekuler seperti hanya kode etik professional. Menurut (Fukuyama,1995) norma-norma
dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama dimasa lalu dan diterapkan
untuk mendukung iklim kerjasama.
Menurut (Hasbullah, 2005) norma-norma sosial akan sangat berperan dalam
mengontrol bentuk-bentuk prilaku yang tumbuh dalam masyarakat apalagi dalam
kehidupan sekarang kadang kala norma sosial tidak lagi dipandang sebagai modal yang
penting di dalam tantanan kehidupan masyarakat.
5. Nilai-nilai
Nilai adalah sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting
oleh anggota kelompok masyarakat dan selama ini dipandang sebagai suatu anugerah
secara alamiah. Misalnya, nilai harmoni, prestasi, kerja keras, kompetisi dan lainnya
merupakan contoh-contoh nilai yang sangat umum dikenal dalam kehidupan
masyarakat. Nilai harmoni misalnya, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai sesuatu
hal yang mempunyai kontribusi besar dan pemicu keindahan dan kerukunan hubungan
sosial yang tercipta, tetapi disisi lain dipercaya pula untuk senantiasa menghasilkan
suatu kenyataan yang menghalangi kompetisi dan produktifitas (Hasbullah, 2005).
6. Tindakan Yang Proaktif
Salah satu unsur penting modal sosial adalah keinginan yang kuat dari anggota
kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi
keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan masyarakat. Menurut (Hasbullah,2005) ide
dasar dari premise ini, bahwa seseorang atau kelompok senantiasa kreatif dan aktif.
3. PEMBAHASAN
Jumlah etnis Minang saat ini berjumlah 8 juta jiwa yang tersebar kebeberapa
daerah yang ada di Sumatera. Saat ini keberadaan etnis Minang di Sumatera tersebar
kebeberapa daerah seperti Pekanbaru, Batam, Medan, Palembang dan Jambi dengan
jumlah yang berbeda-beda. Misalnya untuk daerah Pekanbaru terdapat 624.000 jiwa dan
daerah Batam terdapat 156.000 jiwa dengan mayoritas terjun sebagai wirausaha.
Dari hasil lapangan yang penulis lakukan banyak temuan yang sebenarnya tidak
kita perkirakan yang mempunyai pengaruh yang begitu besar terhadap keberhasilan
usaha, contohnya saja pengaruh kepercayaan justru dapat mengatasi masalah keuangan
dan permodalan di dalam menjalankan usaha baik sebagai pemula maupun sebagai
usaha yang sudah berkembang yang mana kepercayaan itu adalah salah satu unsur dari
modal sosial.
Ikatan persaudaraan dan perkumpulan usaha seperti organisasi sesama etnis
Minang yang ada diperantauan selama ini justru sangat berkembang dan setiap
masyarakat Minang sangat bersemangat mengikutinya, diawali dengan acara pengajian,
arisan dan acara perkumpulan lainnyanya yang pada intinya selain untuk membentuk
silaturahmi adalah untuk dapat membangun daerah dengan cara mengembangkan jiwa
wirausaha kepada saudara yang sedaerah dan nanti akan dibina sehingga kalau sudah
berpengalaman maka akan dapat membuka usaha sendiri, dan hal seperti ini dapat
disimpulkan dari profil wirausaha masyarakat Minang yang penulis ungkapkan dan
pada umumnya wirausaha Minang mayoritas melakukan hal yang sama.
ISSN 1858–3717
77
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
Untuk tahap ini, penelitian sudah mulai menyentuh peran modal sosial di dalam
memulai dan menjalankan usaha masyarakat Minang dan banyak wirausaha yang justru
memulai usaha dari unsur modal sosial yang sudah ada dalam masyarakat etnis Minang.
Walaupun dari hasil temuan hanya beberapa wirausaha yang tidak menyentuh unsur
modal sosial di dalam menjalankan usahanya dan pada umumnya semua wirausaha
memulai usaha berdasarkan unsur modal sosial.
Disini akan di paparkan mengenai peta masalah dan berjalannya modal sosial
pada wirausaha di tiga lokasi penelitian yaitu Kota Batam, Kota Pekanbaru dan Kota
Padang. Hal ini dimaksudkan agar penciptaan model dapat terealisasi sesuai dengan
tujuan penelitian. Pihak-pihak yang berkepentingan disini dapat memberikan solusi
sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh wirausaha sehingga dapat
menindaklanjuti permasalahan tersebut dengan memberikan kebijakan yang sesuai
dengan permasalahan yang dihadapi wirasuaha.
3.1 Kota Batam
Kota Batam selama ini sangat terkenal dengan daerah industri dengan
penduduknya yang berasal dari berbagai suku dan daerah di Indonesia. Suku asli pada
daerah ini tidak terlihat seperti daera-daerah lainnya di Indonesia. Masyrakat Minang
sangat banyak merantau di Kota batam, mayoritas pekerjaan yang dilakukan di Kota
Batam adalah menjadi wirausaha dan hanya sedikit sekali yang bekerja pada perusahaan
atau kantor. Kota Batam sangat padat dengan wirausaha keturunan Thionghoa, Minang,
Batak dan Jawa sedangkan untuk suku Melayu yang merupakan daerah paling dekat
dengan Batam jumlahnya hampir berimbang.
Pada umumnya masyarakat Minang yang datang ke Kota Batam banyak yang
terjun menjadi wirasuaha pada makanan, usaha konveksi atau toko pakaian, toko emas
dan usaha pada penyaluran sayur-sayuran. Berdasarkan hasil waancara yang penulis
lakukan pada daerah ini maka permasalahan yang terlihat secara umum dari wirausaha
ini adalah:
1. Wirausaha Minang yang ada selama ini pada umumnya mempunyai karyawan yang
rata-rata 4-8 orang belum tersentuh oleh pembinaan ataupun penyuluhan oleh
pemerintah daerah setempat. Mendapatkan permodalan yang merupakan masalah
utama bagi wirausaha di dalam mengembangkan usahanya belum pernah di
sosialisaikan atau diberikan arahan oleh pemerintah agar dapat dengan mudah
mendapatkan permodalan. Pemerintah Kota Batam belum melakukan hal ini dan
apalagi memperhitungkan unsur modal sosial.
2. Selama ini para wirausaha sudah membangun usahanya dengan hanya sistem
jaringan dan kepercayaan. Misalnya di dalam membangun usaha, kontribusi
terbesar adalah informasi dan bantuan modal pertama dari saudara dan orang
kampung yang ada di Kota Batam dan ternyata hal demikian membuat banyak
wirausaha Minang yang berhasil namun hal yang demikian belum dijadikan suatu
motivasi bagi Pemerintah untuk mengembangkan sistem jaringan dan kepercayaan
tadi di dalam membangun daerah sebagai suatu unsur yang penting untuk
diperhitungkan baik oleh Pemerintah Daerah Batam maupun oleh Pemerintah
Daerah Sumatera Barat.
3. Pembinaan kepada wirausaha secara berkesinambungan belum ada di programkan
dan sinergi antara pemerintah, pengusaha dan akademisi di dalam menciptakan
wirasuaha-wirausaha yang tangguh belum dilaksanakan, padahal saat ini program
wirasuaha sangat diagung-agungkan oleh pemerintah di dalam menekan angka
ISSN 1858–3717
78
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
pengangguran dan memajukan perkonomian. Sampai saat ini belum ada kebijakan
ini dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam.
4. Karena merasa terpinggirkan selama ini dari perhatian pemerintah sehingga para
wirausaha Minang yang ada di Kota Batam ini tidak mampu untuk mengurus izin
usaha ataupun izin-izin lainnya di dalam menjalankan usaha sehingga para
wirasuaha menganggap izin usaha itu bukan sesuatu yang penting untuk dilakukan.
Padahal dengan adanya izin usaha akan dapat lebih meningkatkan keberadaan
usaha dan bagi Pemerintah akan menjadi suatu pemasukan di bidang perpajakan
dan juga akan dapat mengetahui mengenai perkembangan wirausaha di daerahnya.
Bagaimanakah berjalannya Modal Sosial pada wirasuaha etnis Minang di Kota
Batam berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang telah penulis lakukan.
Pertama, berjalannya unsur jaringan pada wirausaha etnis Minang di Kota Batam. Pada
umumnya wirasuaha Minang yang ada di Kota Batam semuanya berasal dari Sumatera
Barat. Para Wirausaha ini datang ke Batam dalam rangka merantau dan dari responden
yang penulis wawancarai tidak ada yang sudah menetap dari nenek moyang di Kota
Batam. Pada umumnya mereka datang kekota Batam atas informasi dan tertarik
berwirasuaha ke Kota Batam karena melihat saudara ataupun sesama sekampung yang
sudah berhasil di Kota Batam. Tingginya intensitas masyarakat Minang di dalam
menjalankan unsur jaringan di Kota Batam dilihat dari terbentuknya asosiasi dan
kelompok atau organisasi daerah yang sangat membantu di dalam menjalankan usaha,
seperti adalnya Ikatan Saudagar Minang (ISM), ada juga Ikatan Saudagar Sumatera
Barat (ISSM) dan yang lebih banyak berperan adalah dengan adanya organisasi dan
ikatan-ikatan kedaerahan seperti IKLA (Ikatan Keluarga Luhak Agam) dan ikatan atau
organisasi lainnya yang semuanya dibentuk untuk meningkatkan keakraban dan
meningkatkan keberadaan usaha di daerah Batam.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terlihat unsur jaringan sangat kuat
berjalan pada wirausaha etnis Minang di Kota Batam karena pada umumnya wirasuaha
ini rutin melakukan kegiatan pada organisasi dan mereka menganggap kegiatan ini
sangat penting karena pada saat acara itulah mereka bisa bertemu dengan wirausaha
etnis Minang lainnya di Kota Batam. Ikatan dan organisasi etnis Minang yang ada di
Kota Batam pada umumnya berjalan dengan baik dan tidak ada yang fakum dan bahkan
mempunyai tujuan dan anggaran rumah tangga yang jelas dan terstruktur. Fakta yang
nyata sekali dari berjalannnya unsur modal sosial ini adalah, wirausaha yang sudah
berhasil di Kota Batam ini tinggi keinginannya untuk mendatangkan saudara atau orang
kampungnya ke Kota Batam untuk membuka usaha baru dengan melihat peluangpeluang yang ada. Hal seperti ini hampir dilakukan oleh semua wirausaha etnis Minang
di manapun berada, hal ini berarti wirausaha ini sudah melakukan unsur jaringan di
dalam modal sosial.
Kedua, Berjalannya unsur trust pada wira usaha etnis Minang di Kota Batam.
Hasil wawancara yang penulis lakukan terlihat bahwa unsur trust sangat berjalan
dengan kuat pada wirasuaha etnis Minang di Kota Batam. Ini terlihat pada tingginya
rasa saling mempercayai di dalam kelompok sehingga para anggota sangat percaya
kepada anggota lainnya dan akhirnya organisasi dapat berjalan dengan baik. Didalam
memasok barang dagangan ternyata etnis Minang lebih mempercayai sesama etnis
dibanding dengan orang lain.
Rasa percaya yang tinggi sesama wirausaha etnis Minang juga dapat dilihat dari
adanya organisasi besar etnis Minang di Batam yaitu IKSB (Ikatan Keluarga Sumatera
Barat), berjalannya unsur modal sosial dapat dilihat dari: adanya beasiswa untuk warga
kurang mampu yang berprestasi dan tahun ini sudah di salurkan sebesar Rp.
ISSN 1858–3717
79
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
194.400.000. Dan tahun ini juga sudah ada mobil ambulance yang digunakan sebagai
pengantar jenazah warga IKSB yang meninggal dunia di Kota Batam. Sumber dana
yang di salurkan berasal dari anggota IKSB Kota Batam. IKSB ini punya struktur
organisasi yang jelas dan berkembang dan menurut wawancara dengan ketua umum
IKSB yaitu Bapak H.Erwin Ismail kegiatan yang dilakukan IKSB tidak pernah sepi dan
khususnya untuk wirausaha mempunyai program yang selalu berkembang. Misalnya
tahun ini IKSB mengadakan kunjungan ke Korea di dalam rangka studi banding untuk
dapat membuka wawasan wirausaha Minang di dalam mengembangkan usahanya.
Ketiga yaitu unsur resiprocity, merupakan unsur modal sosial yang melakukan
semangat untuk membantu orang lain dengan tidak mengharapkan imbalan. Ini sudah
berjalan sangat kuat pada wirausaha etnis Minang di Kota Batam. Misalnya di dalam
menfasilitasi para etnis Minang yang datang dari kampung halaman yang ingin
membuka usaha di Kota Batam. Para saudara ataupun ikatan dan organisasi etnis
Minang yang ada menfasilitasi dengan menyediakan tempat penginapan sementara bagi
calon wirausaha sebelum mendapatkan pekerjaan tetap. Dana dari fasilitas ini adalah
sumbangan dari masyarakat Minang yang ada di Kota Batam.
Hasil wawancara dengan para wirausaha ditemukan bahwa karyawan yang
diajak bekerjasama dengan para wirausaha biasanya berasal dari kampung dan di bawa
ke Batam. Sebenarnya mereka dibawa ke Batam ini dalam dua tujuan. Pertama adalah
membawa mereka bekerja sebagai karyawan dan kedua adalah mencari pengalaman
bagi mereka dan suatu saat mereka akan bisa membuka usaha sendiri dan tujuannya
adalah membawa mereka untuk menjadi wirasuaha. Kalau ini bisa dilakukan maka
dampaknya sangat positif bagi perekonomian daerah asal mereka secara umum.
Kegiatan yang dilakukan oleh wirausaha yang seperti ini selama ini merupakan salah
satu unsur resiprocity para etnis Minang di Kota Batam.
Kegiatan modal sosial yang sangat kental dilakukan oleh wirasuaha di Kota
Batam diantaranya, acara perkumpulan yang diisi dengan pengajian, arisan dan diskusi
mengenai usaha dilakukan dengan rutin sekali dalam sebulan. Semua ikatan atau
organisasi sesama etnis dilakukan sekali sebulan dan diatur jadwalnya supaya tidak
bersamaan antara ikatan organisasi yang besar seperti IKSB (Ikatan Keluarga Sumatera
Barat) dengan organisasi atau ikatan yang lebih kecil seperti IKLA (Ikatan Keluarga
Lubuk Alung). Untuk yang lainnya jika ada masyarakat Minang yang mengalami
musibah misalnya meninggal dunia maka semua ikatan atau organisasi Sumatera Barat
akan melakukan ta’ziah dalam rangka ameningkatkan kepedulian dan keakraban
persaudaraan sesama etnis di perantauan. Kegiatan lainnya seperti masyarakat Minang
yang ada melakukan persta perkawinan ataupun sunatan maka akan digelar sesuai
dengan adat Minang dan akan di bantu oleh pemuka masyarakat Minang yang ada di
Batam.
Dapat disimpulkan bahwa unsur jaringan berjalan sangat kuat pada etnis Minang
yang ada di Kota Batam. Begitu juga dengan unsur trust dan unsur resiprocity juga
berjalan sangat kuat di Kota Batam dan ini masing berlangsung sampai sekarang.
3.2 Kota Pekanbaru
Kota Pekanbaru merupakan ibukota Provinsi Riau dengan luas wilayah
mencapai 632,26 km2. Berdasarkan perda Kota Pekanbaru No. 3 dan No.4 Tahun 2003,
ditetapkan bahwa Kota Pekanbaru terdiri dari 12 kecamatan dan 58 kelurahan.
Kecamatan Tenayan Raya merupakan kawasan terluas yang mencapai 27,09%,
sedangkan Kecamatan Pekanbaru Kota merupakan kawasan terkecil yang hanya
mencapai 0,36%. Keberadaan Kota Pekanbaru merupakan dasar dekonsentrasi
ISSN 1858–3717
80
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
(Pekanbaru Dalam Angka, 2010). jumlah penduduk Kota Pekanbaru adalah 585.440
jiwa dengan mayoritas dihuni oleh etnis Minang (37,87%) dan Melayu (26,67%).
Jumlah penduduk Kota Pekanbaru pada tahun 2008 adalah 799.213 jiwa, dan pada
tahun 2009 adalah 802.788 jiwa. Pada tahun 2009 jumlah etnis Melayu di Kota
Pekanbaru mencapai 30,34%, sedangkan etnis Minang mencapai 29,51%. Selain itu
juga terdapat etnis Jawa, etnis Batak dan etnislainnya dengan presentase yang relatif
kecil. (Amelia,2011)
Masyarakat Minang yang ada di Kota Pekanbaru pada umumnya hidup
berwirausaha dan hanya sebahagian kecil yang bekerja sebagai pegawai negeri ataupun
pegawai swasta. Pada umumnya mereka terjun ke bidang wirausaha ini dengan jenis
usaha makanan, usaha perdagangan (pakaian dan sepatu, kelontong, usaha pembuatan
kasur, grosian lainnya) dan juga usaha penjualan emas (toko emas). Hasil wawancara
dan pengamatan yang penulis lakukan di Kota Pekanbaru mengenai permasalahan yang
dihadapi wirasuaha etnis Minang adalah :
1. Etnis Minang kurang mendapatkan perhatian dari Pemerintah Daerah Pekanbaru.
Selama ini mereka belum pernah di sosialisasikan ataupun diberikan pelatihan apa
saja di dalam mengembangkan usaha padahal keberadaan mereka selama ini sudah
sukses membantu pembangunan pada sektor ekonomi di Kota Pekanbaru. Akibat
tidak adanya sosialisasi tersebut membuat wirausaha ini susah akses untuk
mengurus izin usaha ataupun administrasi lainnnya. Sehingga saat ini hanya
beberapa wirasuaha yang mempunyai izin usaha.
2. Permodalan yang merupakan permasalahan yang sudah umum pada wirasuaha
kesulitan di dalam mendapatkan permodalan disebabkan oleh kurangnya perhatian
pemerintah untuk menjadi fasilitator antara wirausaha dengan lembaga keuangan.
Selain itu kurangnya kelangkapan usaha seperti tidak ada izin usaha membuat
wirausaha tidak dapat dijadikan mitra oleh lembaga keuangan.
3. Perizinan dan tata ruang kota yang arahnya belum jelas membuat para wirausaha
kesulitan di dalam investasi untuk pengembangan usaha. Misalnya di dalam
mendirikan usaha pada suatu tempat akan susah memprediksi nilai investasi karena
tidak adanya perencanaan tata kota yang tetap dari Pemerintah Daerah. Wirausaha
ini juga merasa tidak tenang di dalam menjalankan usahanya karena takut di gusur
ataupun akan di pindahkan oleh peraturan Pemerintah Daerah Pekanbaru.
4. Kurangnya perhatian dari Pemerintah Daerah Sumatera Barat terhadap keberadaan
wirausaha padahal selama ini para wirausaha ini menjalankan modal sosial yang
sangat tinggi khsususnya pada unsur jaringan. Selama ini para wirasuaha yang
sudah berhasil di Kota Pekanbaru cenderung untuk mendatangkan orang kampung
sesama etnis Minang untuk membuka usaha di Pekanbaru. Usaha yang seperti ini
sebenanrnya harus dipupuk tetapi perhatian Pemda Sumatera Barat belum
melakukan program peningkatan modal sosial bagi wirausaha etnis Minang yang
merantau ke daerah lain.
Bagaimanakah berjalannya Modal Sosial pada wirasuaha etnis Minang di Kota
Pekanbaru berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang telah penulis lakukan.
Pertama, warga etnis Minang yang ada di Kota Pekanbaru pada umumnya hidup
berkelompok dan biasanya berdasarkan daerah asal, seperti untuk warga Minang yang
berasal dari Lubuk Alung yang banyak tinggal di daerah Arengka maka warga asal
Lubuk Alung banyak berwirausaha di daerah ini. Ini disebabkan karena warga Lubuk
Alung yang sukses berwirausaha di daerah ini cenderung untuk membawa orang yang
berasal dari kampungnya sendiri untuk membuka usaha di daerah ini dan hal seperti ini
banyak terjadi pada warna etnis Minang lainnya pada daerah lainnya di Kota Pekanbaru.
ISSN 1858–3717
81
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
Hal seperti ini berarti wirausaha sudah menjalankan unsur modal sosial seperti jaringan
di dalam menjalankan usahanya. Biasanya orang sekampung yang dibawa untuk
berwirausaha di Pekanbaru ini banyak mendapatkan bantuan dari wirausaha yang sudah
sukses di Kota Pekanbaru, seperti menjadikannya sebagai karyawan sebagai upaya
untuk membagi pengalaman serta ada juga yang memang dicarikan tempat
berwirausaha baru bagi saudara sesama etnis Minang.
Selain tempat usaha yang berdekatan pada umumnya wirausaha etnis Minang di
perantauan khususnya di Pakanbaru juga akan mempunyai tempat tinggal yang saling
berdekatan dan biasanya akan melakukan kegiatan arisan yang diisi dengan berbagai
macam kegiatan seperti arisan bulanan dengan pengajian, diskusi usaha dan
perkembangan ekonomi dan julo-julo. Biasanya juga akan membahas masalah sosial di
kampung halaman, misalnya bantuan untuk pembangunan mesjid, beasiswa untuk anak
kurang mampu tetapi berprestasi, pembangunan rumah untuk masyarakat kurang
mampu dan banyak kegiatan lainnya. Melakukan kegiatan sosial seperti melihat saudara
sakit dan meninggal dengan konsep sukarela dan memberikan sumbangan yang didapat
dari anggota organisasi.
Menurut wawancara dengan H. Mukhlis yang merupakan ketua dari Ikatan
Keluarga Padang Luar (IKPL) yang berada di Kota Pekanbaru mengungkapkan bahwa
organisasi yang dipimpinnya ini melakukan kegiatan berkumpul rutin sebulan sekali
tetapi jika ada saudara yang meninggal maka kita akan memberitahu secara lisan dan
bersama-sama menuju rumah duka dan ini dilakukan oleh hampir semua warga IKPL.
Saat ini yang sedang dilakukannya adalah mengkoordinir anggota yang akan melakukan
qurban yang diselenggarakan di kampung (Padang Luar) dan terkumpul sebanyak 17
ekor sapi yang dilakukan saat idul adha nanti. Hal yang diceritakan ini adalah salah satu
berjalannya mosal sosial dengan unsur jaringan di Kota pekanbaru yang dilakukan oleh
wirausaha.
Kedua, Unsur trust yang berjalan pada wirasuaha etnis Minang di Kota
Pekanbaru diantaranya di dalam mendapatkan arisan. Hasil wawancara dengan anggota
organisasi etnis Minang yaitu IKG (Ikatan Keluarga Galogandang) bahwa anggota rutin
melakukan kegiatan setiap bulannya dan yang sangat menarik bagi anggota adalah acara
arisan dengan agenda julo-julo yang jumlahnya sampai 100 jt dengan anggota sekitar 43
orang wirausaha. Hasil julo-julo ini dapat untuk menambah permodalan bagi wirausaha
dan ini sudah berjalan semenjak tahun 1997. Berjalannya kegiatan ini adalah atas dasar
kepercayaan yang kuat bagi anggota terhadap anggota lainnya dengan tujuan utama
adalah kebersamaan dan kepercayaan yang kuat dari setiap anggota. Disamping itu
meminjamkan modal dalam bentuk barang juga banyak dilakukan oleh anggota.
Misalnya anggota minta barang kepada anggota lainnya dan nanti setelah terjual baru
dilakukan pembayaran, dan hal ini sangat banyak dilakukan dan biasanya usaha besar
yang meminjamkan kepada usaha kecil.
Melakukan jaringan usaha berdasarkan etnis juga dilakukan oleh wirasuaha etnis
Minang. Banyak wirasuaha melakukan hubungan seperti membeli produk atau barang,
ada keinginan untuk membeli barang pada etnis Minang sebagai produsen dan jika etnis
Minang tidak ada baru mau dengan etnis lain. Menurut hasil wawancara dengan
wirausaha hal ini memang dilakukan karena walau bagaimanapun urang awak (urang
Minang) lebih dipercaya dibanding dengan yang lainnya. Senasip dan sepenanggungan
di perantauan adalah menjadi alasan yang kuat maka memilih sesama etnis Minang
untuk menjadi mitra usaha. Untuk akses ke lembaga keuangan, ada juga beberapa
lembaga keuangan yang justru memberikan pinjaman berdasarkan akses jaringan dan
kepercayaan. Karena ada jaminan dari seseorang yang dikatakan sudah sukses, apalagi
ISSN 1858–3717
82
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
sesama etnis Minang dan jika lembaga keuangannya adalah punya urang awak maka
ada pertimbangan (Biasanya BPR). Untuk lembaga keuangan yang nasional seperti
perbankan biasanya syaratnya suda jelas dan pertimbangan sesama etnis hanya sedikit
diperhitungkan.
Ketiga, unsur resiprocity sudah lama berjalan pada masyarakat Minang. Selama
ini di dalam meningkatkan ekonomi daerahnya biasnaya etnis Minang sangat menojol.
Bisa saja di contohkan waktu terjadi gempa tahun 2009 di Kota padang, begitu
banyaknya bantuan yang datang dari seluruh perantau Minang yang ada di seluruh
Indonesia. Kegiatannya sangat banyak mulai dari membangun rumah sakit dan sekolah
sampai kepada menyantuni biaya berobat dan menyekolahkan anak-anak yang tidak
mampu ataupun sudah ditinggalkan oleh orang tuanya. Saat ini PKDP (Persatuan
Keluarga Daerah Pariaman), yang merupakan daerah terparah kena dampak gempa
2009 sudah melakukan pengangkatan anak asuh yang dikoordinir oleh organisasi PKDP
ini. Anak asuh ini diberikan biaya sekola dan buku-buku serta biaya hidup dengan
dananya berasal dari donatur bulanan anggota PKDP dan sampai sekarang masih
berjalan. Pembangunan perumahan yang roboh akibat gempa juga dilakukan oleh
organisasi etnis Minang yang ada di Kota Pekanbaru, seperti IKLA,PKDP,IKPL dan
organisasi lainnya.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang penulis lakukan, modal
sosial sudah lama berjalan di Kota Pekanbaru oleh etnis Minang. Uraian di atas
mencerminkan bahwa memang unsur modal sosial sangat memberikan banyak manfaat
bagi wirausaha etnis Minang di dalam mengembangkan usahanya. Tetapi unsur modal
sosial etnis Minang di Kota pekanbaru tidak sekuat yang terjadi do Kota Batam. Banyak
etnis Minang di Kota Pekanbaru yang tidak kenal dengan organisasi besar etnis Minang
yang ada di Pekanbaru dan di Kota Batam justru sangat berkembang. Alasannya karena
di Kota Pekanbaru etnis Minang sangat banyak sehingga kurang menjunjung nilai
modal sosial sedangkan di Kota Batam karena jumlah etnis Minang sedikit membuat
mereka lebih kuat untuk mendekatkan diri dengan sesama etnis Minang karena mereka
merasa senasib sepenanggungan. Selain itu daerah Batam yang lebih jauh dibandingkan
daerah Pekanbaru bagi etnis Minang merantau juga jadi pengaruh bagi kecenderungan
berkembangnya modal sosial pada daerah tersebut.
Sebenarnya di Kota Pekanbaru banyak organisasi Minang yang besar seperti
IKMR (Ikatan Keluarga Minang Riau), yang mana di ketuai oleh Bapak H.Basrizal
Koto yang berasal dari Sumatera Barat dan tepatnya berasal dari daerah Pariaman.
Bapak Basrizal merupakan seorang pengusaha nasional yang sukses yang berdomisili di
Kota Pekanbaru. Menurut wawancara dengan responden berpendapat bahwa IKMR
selama ini sangat menyentuh program wirausaha tetapi belum sampai pada semua
wirasuaha. Acara-acara yang di gelar IKMR masih banyak yang belum mengetahui dan
bahkan banyak yang belum tahu mengenai program-programnya. Hal ini terjadi bisa
saja karena begitu luasnya derah cakupan IKMR dan juga karena begitu besarnya
populasi masyarakat Minang di Pekanbaru.
Berdasarkan fenomena diatas dapat disimpulkan bahwa modal sosial berjalan di
Kota Pekanbaru dan unsur trust, jaringan dan resiprocity berjalan cukup kuat tetapi
dibandingkan dengan Kota Batam, Kota Pekanbaru agak lemah modal sosialnya.
3.3 Kota Padang
Sumatera Barat merupakan tempat suku Minang tinggal dan tumbuh selama
puluhan tahun dan sudah turun temurun semenjak kerajaan Pagaruyung berdiri.
Berwirausaha juga merupakan akibat pengaruh dari kerajaan yang berdiri di Sumatera
ISSN 1858–3717
83
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
Barat. Penduduk Kota Padang berjumlah 833.584 jiwa dan 91% merupakan etnis
Minang atau sebesar 750.225 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut 71,74% hidup
sebagai wirausaha atau sebesar 538.251(id.wikipedia/wiki/kota padang).
Hampir seluruh daerah di Indonesia di tempati oleh etnis Minang dan kegiatan
utama nya adalah menjadi wirausaha. Pada umumnya keberadaan mereka pada daerah
tersebut mayoritas dipengaruhi oleh unsur jaringan yang sangat kuat di miliki oleh etnis
Minang. Untuk daerah Kota Padang keberadaan wirausaha sangat beragam dan sangat
komplek yang bergerak pada hampir pada semua bidang usaha yang tersedia. Untuk
berwirausaha pad umumnya banyak memilih bidang usaha kerajinan, makanan,
peternakan dan juga perikanan. Permasalahan yang sering muncul pada wirausaha di
Kota padang diantaranya adalah:
1. Para wirausaha masih mengelola usaha secara sederhana dan tradisional
sehingga perkembangannya lambat dibandingkan etnis Thionghoa yang ada di
Kota Padang. Misalnya dalam mengembangkan usaha makanan seperti sanjai
dan makanan khas lainnya justru dibangun oleh keturunan Thionghoa karena
dijalankan secara modern dan berteknologi sedangkan bagi wirausaha etnis
Minang kurang memperhatikan hal seperti itu. Hal ini juga disebabkan karena
pemerintah kurang melakukan pembinaan yang berkelanjutan bagi wirausaha
sehingga hasilnya juga tidak maksimal.
2. Pemerintah daerah tidak begitu memperhatikan wirausaha dan selama ini hanya
fokus pada pembinaan UKM seperti UKM kerajinan sedangkan pada wirasuaha
seperti yang berada di Pasar Raya Padang yang sudah banyak memberikan
kontribusi bagi ekonomi Sumatera Barat tetapi belum tersentuh pembinaan dan
belum pernah diajak untuk berdiskusi mengenai pengelolaan usaha apalagi
mengenai unsur modal sosial.
3. Belum adanya perhatian yang secara berkesinambungandan dan bersinergi
antara pemerintah, akademisi dan wirausaha di dalam menjalankan usaha
sehingga mereka sering merasa . Selama ini yang terjadi adalah wirausaha
berjuang sendiri di dalam mengembangkan usaha. Selama ini yang dilakukan
pemerintah hanya pada UKM-UKM saja sedangkan usaha seperti toko-toko
ataupun segmen perdagangan masih minim padahal para wirausaha ini sangat
banyak menghasilkan tenaga kerja selama ini.
4. Pengurusan legalitas usaha banyak yang belum dilakukan karena pada umumnya
mereka mendirikan usaha awalnya hanya secara sederhana sehingga sulit untuk
dapat melakukan peminjaman permodalan. Pada umumnya wirausaha yang
penulis waancarai tidak begitu berminat untuk mengurus legalitas usaha dengan
alasan kurang mengerti cara mengurusnya dan bahkan beberapa responden
berpendapat untuk apa legalitas usaha karena manfaat secara langsung yang
dirasakan tidak ada. Sebenarnya disini peran pemerintah di dalam menjalankan
programnya yang bersinergi antara pembisnis dan pemerintah.
5. Wirausaha sebenarnya perlu diberikan pembekalan mengenai menjual ataupun
memesan barang agar di dalam mendistribusikannya sudah mampu menjamin
mengenai keabsahan produk yang akan ditawarkan kepada konsumen. Selama
ini para pelaku usaha hanya menggunakan ilmu sederhana saja dalam memesan
ataupun memasarkan produknya dan belum mengerti dengan etika bisnis dalam
menjual produk, seperti legalitas produk, masa berlakunya produk dan juga item
lainnya seperti kehalalan, izin depkes dan yang lainnya agar produsen dapat
dipercaya oleh konsumen.
ISSN 1858–3717
84
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
6. Ada beberapa responden yang pernah diberikan pembekala berupa pelatihan
oleh dinas terkait dan menurut responden sangat bermanfaat bagi responden
tetapi sayang hanya sekali saja dan sudah 8 tahun berlalu sampai sekarang tidak
adalagi tindak lanjutnya. Seharusnya ada program untuk 5 tahun kedepan bagi
wirausaha.
Bagaimanakah berjalannya Modal Sosial pada wirasuaha etnis Minang di Kota
Padang berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang telah penulis lakukan.
Pertama, unsur jaringan sangat kental pada wirasuaha etnis Minang, selama ini untuk
etnis Minang yang ada di perantauan berhasil pada umumnya disebabkan kuatnya unsur
modal sosial. Berjalannya modal sosial pada etnis Minang yang sangat dominan adalah
pada jaringan berdasarkan daerah. Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan pada
beberapa responden pada umumnya mereka di Kota Padang jarang sekali mengikuti
perkumpulan dengan alasan sibuk dan juga dengan alasan bahwa perkumpulan yang ada
kurang terorganisir dengan baik. Tetapi pada umumnya mayoritas responden punya
perkumpulan di Kota Padang seperti IKS (Ikatan Keluarga Silungkang), IKPL (Ikatan
Keluarga Padang Luar), PKDP (Perkumpulan Keluarga Daerah Pariaman) dan banyak
lagi perkumpulan lainnya. Sebenarnya rasa kedaerahan masyarakat Minang di Kota
Padang sangat kental sekali karena pada umumnya mereka yang berwirausaha di Kota
Padang awalnya adalah karena melihat saudara atau orang kampung yang sudah
berhasil di Kota Padang. Tetapi di dalam menjalankan kegiatan pada perkumpulan
sangat jarang dilakukan dibandingkan pada daerah Batam dan pekanbaru.
Menurut wawancara keberhasilan orang kampung atau saudara atau keluarga di
Kota Padang merupakan motivasi yang sangat tinggi bagi yang lainnya untuk menjadi
wiarausaha. Dalam kasus ini dapat dilihat dalam profil usaha Wirman I dan Wirman II
di Pasar raya Padang dan juga pada usaha lainnya yang ada di Kota Padang. Pada
contoh, ada organisasi IKPL yang merupakan daerah yang berada di Batusangkar.
Mayoritas penduduknya adalah berdagang dan secara ekonomi daerah mereka sangatlah
kaya karena hampir tidak ada di daerah ini orang yang menganggur. Kehidupan di
daerah ini ekonominya berasal dari rantau, semua dibangun atas rasa modal sosial. Para
warga laki-laki yang sudah tamat SMA kalau tidak ada kemauan lagi melanjutkan
kuliah maka mereka akan pergi merantau dan nanti di bina oleh organisasi IKPL ini.
Organisasi ini ada pada beberapa daerah seperti Kota Pekanbaru, Jakarta, Surabaya,
Bandung dan banyak daerah lainnya tergantung pad jumlah warga Padang Luar yang
berada di Kota tersebut, jika sudah banyak maka akan terbentuk organisasi ini.
Di Kota Padang juga ada IKPL yang diketuai oleh Drs. Afrizal dan sudah berdiri
lebih dari 30 tahun yang lalu. Kegiatan bulanannya sangatlah terorganisir dengan baik
dan pada umumnya yang ikut dalam IKPL adalah wirausaha. Menurut hasil wawancara
dengan Bapak Drs. Afrizal mengungkapkan bahwa organisasi ini sangat bagus dan
punya program yang sangat mendukung rasa kebersamaan di Kota Padang. Organisasi
ini juga mempunyai anggaran rumah tangga yang cukup bagus dan dijalankan oleh
semua anggota. Mayoritas wirausaha IKPL ini berada di Pasar Raya Padang dan
melakukan perkumpulan setiap bulannya hari Minggu pada Minggu pertama dengan
tempat acara dari rumah kerumah. Agendanya selain melakukan pengajian, juga acara
julo-julo, melihat saudara yang sakit dan meninggal juga di atur yang mana
pendanaannya berasal dari organisasi ini yan g dipungut dari para anggota IKPL.
Didalam organisasi ini juga membawahi organisasi lainnya seperti organisasi
mahasiswa seperti Ikatam Mahasiswa Padang Luar (IMPAL) yang berada di Kota
padang, tujuannya adalah untuk memberikan motivasi pada mahasiswa agar dapat
bernuat lebih baik dan juga untuk dapat mengkoordinir warga IKPL yang menjadi
ISSN 1858–3717
85
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
mahasiswa di Kota Padang misalnya masalah pembiayaan ataupun biaya hidup lainnya
agar dapat dibantu yang semuanya itu tujuannya agar terbentuk organisasi yang dapat
memajukan warga dan daerahnya. Selama ini di dalam membina warga yang datang ke
Kota Padang adalah dengan menjadikan mereka karyawan dulu pada usaha dan jika
sudah merasa mampu silahkan untuk membukan usaha sendiri. Fenomena yang diatas
sudah mencerminkan berjalannya modal sosial khususnya unsur jaringan.
Kedua, Untuk melihat berjalannya unsur trust di Kota Padang dapat kita lihat
dari profil wirausaha dan ditambah dengan wawancara dengan pemilik usaha dan juga
dengan ketua kelompok atau organisasi daerah yang ada di Kota Padang. Pada
umumnya wirausaha ini mempunyai karyawan yang sangat dipercaya yang gunanya
adalah untuk dapat mengambil alih tanggung jawab pemilik usaha. Pemilik usaha
menetapkan orang kepercayaannya berdasarkan banyak pertimbangan dan salah satunya
yang sangat menjadi pertimbangan adalah garis keturunan dan kalau hal itu tidak ada
maka akan turun berdasarkan rasa kedekatan ataupun kekerabatan dan ini biasanya akan
jatuh kepada orang kampung atau yang berasal dari daerah yang sama. Menurut
wawancara dengan salah seorang responden yaitu Bapak Wirman yang mempunyai
toko grosiran 2 buah di Pasar Raya Padang yang saat ini mempunyai 7 orang karyawan
yang semuanya berasal dari kampung halaman Bapak Wirman. Sedangkan 2 orang yang
merupakan orang kepercayaannya merupakan saudara sepupu dan satu lagi adalah orang
kampung yang rumahnya masih berdekatan di kampung.
Fenomena di atas merupakan berjalannya unsur trust pada wiarausaha etnis
Minang di Kota padang. Selain itu kalau melihat bagaimana tingkat kepercayaan
berjalan pada wirausaha adalah di dalam mendapatkan barang atau produk yang akan
dijual lebih banyak mendapatkan dari etnis Minang dan khsusunya dari orang yang
sekampung dengan wirasuaha yang berada dari daerah lain misalnya dari Jakarta dan
jika barang tersebut tidak ada tersedia baru di beli atau dipesan kepada etnis lainnya.
Hal ini sangat kental berjalan di dalam masyarakat Minang.
Karyawan yang selama ini membantu para wirausaha di Kota Padang juga
berasal dari daerah wirausaha dan pada umumnya masih kerabat dan saudara. Menurut
wawancara dengan beberapa responden, kepercayaan kepada saudara atau kerabat yang
satu kampung sangat tinggi dibandingkan dengan karyawan yang berasal dari daerah
lain dalam berwirausaha alasanya adalah kalau kerabat satu kampung yang kita jadikan
karyawan kita sudah tahu mengenai prilaku dan keluarganya mulai dari keturunannya
tetapi kalau yang berasal dari daerah lain belum begitu mengetahui prilakunya dan
khususnya mengenai prilaku jujur dan tanggung jawab.
Ketiga, resiprocity adalah Seseorang atau banyak orang dari suatu kelompok
memiliki semangat membantu yang lain tanpa mengharapkan imbalan seketika.
Menurut hasil wawancara dengan responden, pada umumnya responden mengetahui
bahwa banyak resiprocity dilakukan oleh organisasi yang diikutinya. Selama ini
kelompok atau organisasi sangat berorientasi melakukan resiprocity ini, misalnya
dengan adanya program beasiswa bagi anak kurang mampu tetapi berprestasi yang
dilakukan oleh IKS (Ikatan Keluarga Silungkang) yang mana dananya berasal dari
wirausaha Silungkang yang ada di Kota padang.
Contoh lain dari berjalannya resiprocity menurut wawancara dengan ketua IKPL yaitu
Bapak Drs. Afrizal di Kota Padang, selama ini banyak sekali para wirausaha sudah
melakukan resiprocity seperti membantu pengobatan kalau ada warga yang butuh tetapi
tidak ada biaya dan biasanya langsung saja para wirausaha secara individu membantu.
Kegiatan lainnya adalah wirausaha IKPL juga membantu membangun rumah untuk
warga kurang mampu di kampung yang mana ini dilakukan berdasarkan kemampuan
ISSN 1858–3717
86
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
wirausaha itu sendiri. Saat ini wirausaha juga sudah melakukan kegiatan yang cukup
besar yaitu menunaikan haji bagi warga yang tidak mampu tetapi bagus di dalam
melaksanakan ibadah. Kegiatan-kegiatan sepeeti ini merupakan contoh dari berjalannya
modal sosial di dalam masyarakat dan khususnya wirausaha di Kota Padang.
Hal yang sama juga dilakukan oleh IKS (Ikatan Keluarga Silungkang) yang mana
programnya adalah menyantuni warga Silungkang untuk melaksanakan pendidikan di
Kota Padang. Kegiatan ini rutin dilakukan oleh IKS dalam rangka membantu
meningkatkan pendidikan warga agar dapat berfikir lebih maju dan mandiri. Hal senada
juga dilakukan oleh PKDP (Perkumpulan Keluarga Daerah Pariaman), yang mana para
wirausaha lebih banyak melakukan kegiatan membantu pembangunan di daerah atau
dikampung masing-masing tetapi ada beberapa kelompok organisasi yang fokus
membina mahasiswa didalam memajukan daerahnya.
Berdasarkan fenomena diatas dapat disimpulkan bahwa etnis Minang selama ini
sangat membangun modal sosial. Dari ketiga lokasi penelitian maka daerah Batam
mempunyai Modal Sosial yang kuat, ini disebabkan karena faktor kondisi jumlah
penduduk dan jarak jauhnya etnis Minang pergi merantau. Misalnya di Kota Batam
jumlah etnis Minang yang merantau lebih sedikit dibandingkan dengan kota Pekanbaru
sehingga membuat etnis Minang di daerah Kota Batam lebih solid dan sangat merasa
sama-sama sepenanggungan. Sedangkan di Kota Padang yang mayoritas penduduknya
adalah etnis Minang sehingga rasa peduli dan melakukan unsur modal sosial juga
berkurang di dalam berwirausaha.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang di dapat di lokasi penelitian dan juga berdasarkan peta
masalah yang menjadi temuan, maka hasil penelitian ini juga sudah menghasilkan
rekomendasi untuk kebijakan yang saat ini masih sedang dalam penulisan. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa modal sosial pada daerah Batam sangat kuat
dibandingkan dengan daerah Pekanbaru dan Kota Padang. Tetapi Kota pekanbaru
mempunyai modal sosial yang kuat dibandingkan dengan modal sosial di Kota Padang
tetapi dibandingkan dengan daerah Batam, pekanbaru agak lemah. Sedangkan untuk
daerah Kota Padang Modal sosialnya justru lemah dibandingkan dengan daerah Batam
dan Kota pekanbaru. Permasalahan yang paling umum di alami oleh wirasuaha di
daerahnya masing-masing adlah kurangnya perhatian pemerintah sehingga sulit punya
akses di dalam menjalankan usaha dibandingkan dengan masyarakat asli pada
daerahnya. Pelatihan dan pembinaan pada wirausaha sangat minim dan sangat jarang di
dapat sehingga terjadi jarak antara kebijakan pemerintah dengan tujuan wirausaha.
Model pengembangan kewirausahaan dengan modal sosial juga akan dihasilkan
dan sampai saat ini baru mencapai 30%. Pentingnya usulan kebijakan dan model
kewirausahaan dengan modal sosial pada etnis Minang, karena berhasilnya etnis
Minang selama ini di dalam berwirausaha sangat ditopang oleh nilai modal sosial tetapi
kurang dimengerti dan di hargai oleh masyarakat luas dan khususnya pengambil
kebijakan sehingga program yang ada selama ini belum menyentuh nilai-nilai modal
sosial untuk dikemabangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Alma, Buchari,.2005, Kewirausahaan, Bandung Alfabeta
Awal. (2006). Kewirausahaan. . Penerbit Tugas Wirawasta, Bandung.
Atmadja, Nengah Bawa, 1997. Pendidikan Manusia Antarbudaya, Bali Post 11 April
1997.
ISSN 1858–3717
87
Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014
Atmadja, Nengah Bawa, 2006, Bali Pada Era Globalisasi, Singaraja: IKIP N Singaraja
Amelia,(2011), Tesis: Faktor-faktor yang mempengaruhi pekerja untuk berwirausahan
di Kota Pekanbaru (http:www.mari.wer/capetae.hbo)
Bourdieu,P.(1997)’Cultural Reproduction and Social:notes provisoires’,Actes dela
recherche en sciences sociales,2-3
Carol Kinsey Goman. 2001. Kreativitas dalam Bisnis. Penerbit Bina Rupa Aksara
Jakarta.
Cox,E
(1995),
Background
Material
and
Bayer
Lecture
(http:www.Leta.edu.au/coxp.htai)
Cox,E (1995).A Truly Civil Society.ABC Book.Sydney
Coleman,J.S.(1994) Fundation of Social Theory, Belknap Press,Cambridge MA.
Drukker. (1985). Innocation and Entrepreneurship.Inc. New York
Fernandez,R.M.,(2001)’Local Nets and Social Capital at Work: networks and
employment at a phone center;,American Journal Sociology,105,5,1288-356.
Fukuyama, Francois,(2003),Social Capital and Development: The Coming
Agenda.SAIS Review XXII (1):23-37
Fukuyama,(2000).Social Capital and civil society. Institute of Public Policy. George
Mason.University.
Hasbullah, Jousairi,2006, Sosial Capital, Menuju Keunggulan Budaya Manusia
Indonesia, Jakarta: MR-United Press.
Kreitner Robert, 1995., Organizational Behavior., Chicago Irwin
Porter,M.E (1998) ‘Location,Competition and Economic Development: local clusters in
a global economy’,Economic Development Quarterly,14,1,15-13.
Putnam, R.D. (2000). The prosperous community: social capital and public life.
American Prospect, 13: 35-42.
Putnam, R.D. (1995). Bowling alone: America’s declining social capital. Journal of
Democracy: 1-8.
Moleong,L.J.(1991). Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Marbun. B.N.,1993, Proses Pembangunan Desa., Earlangga Jakarta.
Mudana, I Wayan,.2000. Integrasi Etnik Tionghoa Pada Masyarakat Desa Adat di bali
Kasus Catur-Kintamani-Bali. Singaraja: STKIP.
Narayan,D, (1997). Voices of the Poor. Development studies and monograph series no.
20
Narayan,Deepa,1999,.’Sicial Capital:evidence and implication’, hal.269-95
Nangoi, Ronald. 1996. Pengembangan Produksi dan Sumber Daya Manusia. Rajawali
Pers. Jakarta
Nangoi, Ronald. 1998. Marketing dalam Era Globalisasi., Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan
Seibert, S.E., Kraimer, M.L. & Liden, R.C. (2001). A social capital theory of career
success. Academy of Management Journal, 44(2): 219-237.
Suryana., 2006, Kewirausahaan., Salemba Empat
Sumantra Ghoshal, 1998., Social Capital, Intelectual Capital and the Organizational.,
The Academy of Management Review, Vol.23, No. 2,242-266
Suharto,Edi.(2005),Analisis Kebijakan Publik:Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Kebijakan Sosial,Bandung,Alfabeta.
Wirasasmita, Yuyun. 1998. Kewirausahaan 1. Institut Manajemen Koperasi Indonesia
(IKOPIN). Bandung
Zimmerer., 2004., Pengantar kewirausahaan dan Manajemen Bisnis Kecil, Universitas
Kristen Petru.
ISSN 1858–3717
88
Download