Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 MODAL SOSIAL DAN WIRAUSAHA ETNIS MINANG: STUDI EKSPLORATIF DI BATAM, PEKANBARU DAN PADANG Primadona Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Administrasi Niaga email : [email protected] Emrizal Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Administrasi Niaga email : [email protected] Eva Yoyet Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Administrasi Niaga email :[email protected] ABSTRACT This paper aims to look at how the role of social capital in promoting entrepreneurship in Minang community in the area of Batam, Pekanbaru and Padang as well as creating a policy to develop social capital in society, especially in improving the entrepreneurial ethnic Minang. This article contains basically how far ethnic Minang develop their business so successful and how big a role social capital (networks, trust and reciprocity) makes success in Minang ethnic entrepreneurship. Under these conditions, the profile entrepreneur successful businesses, maps problems and solutions to improve the role of social capital in promoting entrepreneurship in Minang society also will look at in this article. Package policies for policy makers, especially for a government role in creating entrepreneur also be created. This study was conducted in 3 areas in Sumatra that is Batam, Pekanbaru and Padang using research instruments observation, documentation, in-depth interviews with entrepreneurs, chief bond or association as well as FGD. Keywords: trust, reciprocity, networks, entrepreneur 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Barat selama ini khususnya etnis Minang sangat terkenal dengan kewirausahaannya. Hampir setiap daearah di Indonesia terdapat etnis Minang yang umumnya bekerja sebagai wirausaha. Bidang wirausaha yang di gelutinya bermacammacam mulai dari usaha kuliner (rumah makan, katering, sate dan sebagainya), sektor industri (industri pakaian, tas), dan perdagangan. Peran etnis Minang yang selama ini lebih sebagai penyedia lapangan pekerjaan sangat membantu pembangunan di daerah sendiri khususnya dan Indonesia pada umumnya. Tingginya ikatan kekeluargaan dan kedaerahaan membawa unsur modal sosial dapat berperan dalam pencarian pekerjaan ataupun penciptaan lapangan kerja. Para pekerja yang berhenti dari pekerjaanya dan memperoleh pekerjaan lain banyak menemui keberhasilan dengan menggunakan modal sosial yang biasanya menggunakan jaringan, trust dan resiprocity (Zhao,2002:563-4). ISSN 1858–3717 71 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 Mayarakat Minang yang hidup mayoritas berwirausaha tidak bisa kita abaikan dan dalam berwirausaha selama ini di pengaruhi oleh 3 aspek dan merupakan ciri khas etnis Minang yaitu budaya, adat dan alam. Merantau merupakan budaya yang telah menjadi kebiasaan turun temurun bagi masyarakat Minang. Ibarat pepatah Minang yang menyatakan ”Marantau bujang dahulu, dirumah baguno balun” dan ”Kambang nagari carilah rantau, nak sanang hati anak jo cucu”. Etnis Minang yang menjadi wirausaha pada daerah-daerah di seluruh Indonesia biasanya diawali dengan nilai-nilai wirausaha yang dimilikinya. Mereka umumnya hidup berkelompok sesama etnis Minang. Karena umunya di tempat-tempat wirausaha etnis Minang selalu mempunyai suatu perkumpulan masyarakat Minang (seperti PKDP, IKPL/Ikatan Keluarga Padang Luar, IKSM dan banyak lainnya) dan bahkan pada beberapa daerah disediakan tempat/pemondokan bagi pendatang baru yang berasal dari daerah sendiri untuk memberi kesempatan melihat peluang-peluang untuk berwirausaha sebagai rasa kepedulian bagi etnis minang di perantauan sebelum memulai usaha. Ukuran keberhasailan wirausaha lebih mengedepankan unsur kreatifitas dan karakter dari wirausaha itu sendiri, tidak begitu banyak yang memasukkan unsur modal sosial sebagai unsur pendukung keberhasilan wirausaha. Bahkan dalam pemberian ilmu kewirausahaan baik di kampus-kampus atau pada pelatihan-pelatihan tidak pernah menyinggung unsur modal sosial, padahal unsur modal sosial merupakan pendorong inovasi bisnis dan pengetahuan (Porter,2000;Le Bas 1998). Bertitik tolak dari hal diatas maka perlu untuk diteliti peran unsur modal sosial dalam berwirausaha sehingga menghasilkan suatu kebijakan yang dapat digunakan dalam mengembangkan kewirausahaan di Indonesia. Menurut pengamatan penulis di Sumatera Barat, etnis Thiongha melakukan usahanya sangat diwarnai dengan rasa kelompok sesama etnis yang tinggi sehingga rantai dan hubungan berwirausahanya disetiap daerah itu sangat erat. Ikatan komunitas sesama etnis sangat mereka jaga sehingga jaringan berwirausahanya selalu terjalin untuk bidang-bidang yang sangat mereka kuasai. Di Sumatera Barat sendiri sebenarnya etnis Thionghoa tidak berkembang seperti di daerah Medan atau daerah lainnya dalam berwirausaha, tetapi hubungan antar etnis sangat terjalin. Ini terlihat dari tingginya rasa kebersamaan antara etnis ini baik dilihat dari jaringan ataupun dalam unsur kepercayaan. Pada saat ada acara pesta dan kematian mereka sangat respon dan mereka menghadiri acara-acara kebesarannya dengan semangat dan bahkan sampai meninggalkan pekerjaannya. Ini selaras dengan apa yang di kemukan oleh (Zhao,2002:563-4), Etnis Thionghoa jika ada yang berhenti dari pekerjaannya dan memperoleh pekerjaan lain banyak menemui keberhasilan dengan menggunakan modal sosial . Begitu juga dengan etnis Jawa yang ada di Sumatera Barat mereka lebih cenderung dalam menjalankan usahanya dengan cara jaringan dan kepercayaan sesama etnis jawa, seperti usaha makanan bakso, pecel lele, sate madura, jamu dan juga ada yang bergerak dalam bidang kontraktor (bidang kontraktor ini hampir 300 orang didatangkan sekaligus dari Jawa dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai buruh bangunan). Bagaimana dengan etnis minang berwirausaha dengan memperhatikan modal sosialnya? Selama ini etnis Minang dalam berwirausaha berada hampir di semua daerah di Indonesia yang bergerak dalam berbagai bidang. Biasanya diawali dengan adanya beberapa orang saja pada suatu daerah dan nanti akan datang beberapa orang lagi untuk berwirausaha dengan bidang yang sama (biasanya jika pada suatu daerah sudah ada yang berhasil keinginan untuk mendatangkan orang sesama etnis Minang ketempat itu ISSN 1858–3717 72 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 sangat tinggi untuk berusaha). Apakah unsur modal sosial seperti resiprocity, jaringan, unsur kepercayaan disini sangat berperan? pada etnis Minang para wirausaha yang sudah berhasil dirantau sangat dipercayai oleh yang lainnya. Dalam berwirausaha unsur kepercayaan dan jaringan sangat penting untuk dicermati kalau ingin membentuk suatu ikatan yang kuat antara etnis (Fukuyama;2000). Melihat dari hal tersebut banyak hal-hal yang masih kita pertanyaan terkait dengan modal sosial dalam berwirausaha khususnya masyarakat Minang. Karena dalam kenyataannya modal sosial tidak menjadi suatu yang dimasukan sebagai suatu penunjang dalam indikator keberhasialan dalam berwirausaha baik dalam masyarakat maupun dalam pelatihan ataupun pendidikan kewirausahaan. Selalu yang menjadi ukuran keberhasailan itu selama ini dalam berwirausaha adalah modal finansial atau kreativitas individual. Bagaimanapun juga, baik pemerintah maupun masyarakat harus dapat melihat celah-celah yang ada dengan kondisi-kondisi yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Terkait dengan hal itu, masih banyak pertanyaan yang perlu dimunculkan dalam konteks kebijakan, perencanaan, dan strategi dalam meningkatkan kewirausahaan masyarakat (apalagi kewirausahaan saat ini merupakana proyek unggulan pemerintah dalam menekan pengangguran). Apakah pemerintah sudah dapat melihat peranan unsur modal sosial dalam meningkatkan wirausaha (seperti penelitian-penelitian yang sudah dilakukan oleh Putnam, Coleman, Zhao dan yang lainnya? Bagaimanakah upaya-upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah agar masyarakat dan wirausaha pemula perlu untuk meningkatkan jaringan dan kepercayaan dalam memulai usaha ? Apakah penelitian seputar behavior analysis yang komprehensif sudah dilakukan dalam lingkungan suatu komunitas? Bagaimanakah caranya menjalin jaringan, resiprocity, trust dan unsur modal sosial lainnya dalam memulai usaha? Apakah perlu untuk memasukan unsur modal sosial dalam kurikulum ataupun pembelajaran wirausah lainnya? Bagaimanakah mencerdaskan pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya memupuk modal sosial? Apakah modal sosial yang sudah ada dalam masyarakat dapat lebih ditingkatkan lagi dalam meningkatkan pembangunan? Bagaimanakah mempersiapkan masyarakat agar nilai-nilai modal sosial tidak luntur ? Bagaimanakah dampak modal sosial bagi wirausaha etnis Minang dan etnis Thionghoa atau etnis lainnya? 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana berjalannya modal sosial pada wirausaha masyarakat Minang pada tiga wilayah yaitu Kota Batam, Kota Pekanbaru dan Kota Padang. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Wirausaha 2.1.1 Pengertian Kewirausahaan Istilah entrepreneur secara tertulis pertama dilakukan oleh Savary pada tahun 1723. Menurut Savary dalam (Wirasaswita ,1998) yang dimaksud dengan entrepreneur adalah orang yang membeli barang dengan harga pasti, meskipun orang tersebut belum tahu dengan harga berapakah barang ( atau guna ekonomi) itu akan di dijual kemudian. Pendapat (Drucker, 1959) kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan kiat, dasar dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Inti dari kewirausahaan itu adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (create new and different) melalui berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk menciptakan peluang. Entrepreneurship, atau sering diterjemahkan dengan ISSN 1858–3717 73 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 kewirausahaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh (Kreitner,1995) adalah sebuah proses di mana seseorang atau sebuah organisasi menjawab peluang sekalipun ketersediaan sumber daya yang dimilikinya terbatas. Sedangkan Menurut (Zimmerer,1998), kewirausahaan merupakan penerapan kreativitas dan keinovasian untuk memecahkan permasalahan dan upaya untuk memanfaatkan peluang yang dihadapi sehari-hari. Kewirausahaan merupakan gabungan dari kreativitas, keinovasian dan keberanian menghadapi resiko yang dilakukan dengan cara kerja keras untuk membentuk dan memelihara usaha baru. Dari banyak pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa seorang wirausaha adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk melihat peluang dan mempunyain pribadi hebat, produktif, kreatif, melaksanakan kegiatan perencanaan bermula dari ide sendiri, kemudian mengembangkan kegiatannya dengan menggunakan tenaga orang lain dan selalu berpegang pada nilai-nilai disiplin dan kejujuran yang tinggi sehingga mampu mengahasilkan kehidupan ekonomi yang lebih baik. 2.1.2 Konsep Wirausaha Globalisasi membawa perubahan terhadap kehidupan suatu negara dan bahkan dapat merubah tatanan kehidupan masyarakat, menurut (Suryana ,2000), sejalan dengan tuntutan perubahan seperti terjadinya globalisasi yang cepat pada paradigma pertumbuhan yang wajar dan perubahan ke arah globalisasi tersebut yang menuntut adanya keunggulan, pemerataan, dan persaingan, maka dewasa ini terjadi perubahan paradigma pendidikan yang gunanya adalah untuk dapat menyesuaikan perubahan tersebut sehingga kita mampu untuk bersa. Lebih lanjut Soeharto (2005) mengatakan pendidikan kewirausahaan telah diajarkan sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang independen karena hal ini penting dan sangat perlu untuk dilakukan yang dikarenakan oleh: 1. Kewirausahaan berisi “body of knowledge” yang utuh dan nyata (distinctive), yaitu ada teori, konsep, dan metode ilmiah yang lengkap. 2. Kewirausahaan memiliki dua konsep, yaitu posisi “venture start up” dan “venture growth”. Hal ini jelas tidak masuk dalam “frame work general management courses” yang memisahkan antara “management” dengan “business ownership”. 3. Kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang memiliki objek tersendiri, yaitu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. 4. Kewirausahaan merupakan alat untuk menciptakan pemerataan berusaha dan pemerataan pendapatan atau kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur. Menurut (Drucker,1985) dalam bukunya Innovation and Entrepreneureship mengemukakan perkembangan teori kewirausahaan menjadi tiga tahapan: A. Teori yang mengemukakan Peluang Usaha. Teori ini disebut Teori ekonomi yaitu wirausaha akan muncul dan berkembang apabila ada peluang ekonomi. B. Teori yang mengemukakan tanggapan orang terhadap peluang. Peluang dipandang sebagai sesuatu hal yang jika mampu dimanfaatkan maka akan berdampak terhadap kemampuan seseorang untuk menjadi wirausaha. C. Teori yang mengutamakan Hubungan antara prilaku wirausaha dengan hasilnya. Berdasarkan teori yang ketiga diatas, maka sebetulnya mitos/ kepercayaan bahwa “orang Indonesia itu tidak dapat menjadi wirausaha dan tidak dapat menjadi manajer”, akan runtuh, karena semua kegiatan dapat dipelajari, dilatih dan dapat dikuasai. ISSN 1858–3717 74 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 2.2 Modal Sosial 2.2.1 Konsep Modal Sosial Pertama kali konsep modal sosial diperkenalkan oleh L.J. Hanifan pada awal abad ke-20 yang mana saat ini keberadaan modal sosial belum menyentuh dalam teori pendidikan. Hanifan menyatakan bahwa modal sosial bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan asset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat yang mana saat ini sangat mempengaruhi tidak hanya pada kehidupan pribadi tetapi sudah menjalar pada kehidupan masyarakat yang luas. Di dalamnya terkandung kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial ( Atmadja, 2006; Mudana, 2010) Pandangan lain juga diungkapkan (Fukuyama, 2001), modal sosial memegang peranan penting dalam memperkuat kehidupan masyarakat modern”, lebih jelas Fukuyama berargumentasi bahwa modal sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern sehingga mampu untuk melihat modal sosial sebagai modal yang berperan di dalam meningkatkan kehidupan masyarakat. Menurut (Fukuyama, 2003) modal sosial juga menekankan pada dimensi yang lebih luas yaitu segala yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, dan didalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi. Berdasarkan beberapa definisi modal sosial diatas dapat disimpulkan bahwa modal sosial itu adalah segala hal yang berkaitan dengan kerjasama dalam masyarakat untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik, dan ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur atau komponen-komponen utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), jaringan, aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat dan sejenisnya. Menurut (Woocock dan Narayan, 2000), modal sosial adalah merupakan bagaimana hubungan diantara pelaku ekonomi dan hubungannya dengan lembagalembaga ekonomi. Dalam penelitiannya yang ditujukan mengenai modal sosial dan ekonomi pembangunan dapat dikategorikan kepada 4 perspektif yang nyata : 1. The Commutarian View Perspektif modal sosial masyarakat yang ada pada organisasi tingkat sosial, dimana dilihat dari jumlah anggotanya dan kepadatan grup-grup membentuk masyarakat. Pandangan ini melihat dari pengaruh besar dan kecilnya kelompok sosial yang ada di masyarakat. Didalam kelompok yang kecil ini biasanya modal sosial akan melekat dengan baik, makin baik dan nantinya akan membawa efek yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat. 2. The Networks View Pandangan ini melihat bahwa peran dari organisasi dan ikatan ataupun jaringan organisasi sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Disini dilihat dari bertambahnya ikatan atau jaringan kesatuan yang terjadi diantara orang-orang, organisasi grup masyarakat dan perusahaan baik secara vertikal maupun secara horizontal yang berimbas pada kuatnya persatuan atau kerjasama dalam masyarakat tersebut sehingga akan mampu menguatkan tatanan modal sosial di dalam masyarakat. 3. Institutional View Institusional view menggantikan pandangan modal sosial sebagai sebuah variabel dependent. Pendekatan ini melihat bahwa kapasitas yang besar dari grup-grup sosial tergantung pada kualitas institusi formal yang membawahi mereka. Pandangan ini juga menekankan pada performance dari daerah dan perusahaan-perusahaan mereka ISSN 1858–3717 75 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 sendiri tergantung pada keterkaitan diantara institusi, kredibilitas dan harapan pemerintah terhadap masyarakat. Hal ini perlu dikembangkan dan bahkan untuk dapat mengelola modal sosial dapat berperan di dalam kehidupan masyarakat maka penting mensingkronkan kebijakan yang ada dengan kepentingan mayarakat. 4. The Synergy View The Synergy View merupakan sinergi yang muncul dari hubungan semua kelompok baik kelompok kecil ataupun kelompok besar dalam jaringan masyarakat dengan pihak-pihak lain seperti perusahaan, pemerintah dan asosiasi lainnya. Pandangan ini merupakan gabungan perspektif antara network view dengan institusional view. Dalam pandangan sinergi ada beberapa saran utama yang mesti dilakukan oleh peneliti, pemakai teori, dan pengambil kebijaksanaan yaitu : untuk mengidentifikasi dasar dan kelanjutan dari hubungan sosial dan institusi formal dan interaksi dari mereka seperti mengembangkan strategi institusi berdasarkan hubungan sosial, kepercayaan dan efisiensi dari lembaga yang berpikiran sempit dan paham tertutup. 2.2.2 Unsur- Unsur Pokok Modal Sosial Fokus dari modal sosial itu sebenarnya ingin melihat pada bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok dalam masyarakt untuk bekerjasama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interrelasi yang imbal balik dan saling menguntungkan, dan dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma dan nilainilai sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip tentang persamaan, kebebasan, dan nilai-nilai kemajemukan dan humanitarian. Menurut (Hasbullah, 2005), unsur pokok modal sosial terdiri dari : 1. Partisipasi Dalam Suatu Jaringan Modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan akan terletak pada kecendrungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat. Modal sosial akan kuat tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi berikut membangun jaringannya agar mampu membuat modal sosial berperan. 2. Resiprocity Walau modal sosial merupakan modal yang sulit untuk di ukur karena modal sosial senantiasa diwarnai oleh kecendrungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Maksud pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara resiprokal atau secepat seketika seperti dalam proses terjadinya jual beli, namun dilakukan dengan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu antar sesama dan mementingkan kepentingan orang lain). 3.Trust Kepercayaan adalah sesuatu yang mempunyai nilai yang sangat tinggi di dalam melakukan apapun dengan orang lain. Walaupun demikian kadang kala individu atau seseorang kurang mengamati hal tersebut. Trust atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak. Yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam, 1993, 1995 dan 2002). Dalam pandangan (Fukuyama, 1995, ISSN 1858–3717 76 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 2002), trust adalag sikap saling mempercayai di masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. 4. Norma Sosial Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Unsur modal sosial ini dapat berasal dari agama, panduan moral, maupun standar-standar sekuler seperti hanya kode etik professional. Menurut (Fukuyama,1995) norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama dimasa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama. Menurut (Hasbullah, 2005) norma-norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk prilaku yang tumbuh dalam masyarakat apalagi dalam kehidupan sekarang kadang kala norma sosial tidak lagi dipandang sebagai modal yang penting di dalam tantanan kehidupan masyarakat. 5. Nilai-nilai Nilai adalah sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat dan selama ini dipandang sebagai suatu anugerah secara alamiah. Misalnya, nilai harmoni, prestasi, kerja keras, kompetisi dan lainnya merupakan contoh-contoh nilai yang sangat umum dikenal dalam kehidupan masyarakat. Nilai harmoni misalnya, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai sesuatu hal yang mempunyai kontribusi besar dan pemicu keindahan dan kerukunan hubungan sosial yang tercipta, tetapi disisi lain dipercaya pula untuk senantiasa menghasilkan suatu kenyataan yang menghalangi kompetisi dan produktifitas (Hasbullah, 2005). 6. Tindakan Yang Proaktif Salah satu unsur penting modal sosial adalah keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan masyarakat. Menurut (Hasbullah,2005) ide dasar dari premise ini, bahwa seseorang atau kelompok senantiasa kreatif dan aktif. 3. PEMBAHASAN Jumlah etnis Minang saat ini berjumlah 8 juta jiwa yang tersebar kebeberapa daerah yang ada di Sumatera. Saat ini keberadaan etnis Minang di Sumatera tersebar kebeberapa daerah seperti Pekanbaru, Batam, Medan, Palembang dan Jambi dengan jumlah yang berbeda-beda. Misalnya untuk daerah Pekanbaru terdapat 624.000 jiwa dan daerah Batam terdapat 156.000 jiwa dengan mayoritas terjun sebagai wirausaha. Dari hasil lapangan yang penulis lakukan banyak temuan yang sebenarnya tidak kita perkirakan yang mempunyai pengaruh yang begitu besar terhadap keberhasilan usaha, contohnya saja pengaruh kepercayaan justru dapat mengatasi masalah keuangan dan permodalan di dalam menjalankan usaha baik sebagai pemula maupun sebagai usaha yang sudah berkembang yang mana kepercayaan itu adalah salah satu unsur dari modal sosial. Ikatan persaudaraan dan perkumpulan usaha seperti organisasi sesama etnis Minang yang ada diperantauan selama ini justru sangat berkembang dan setiap masyarakat Minang sangat bersemangat mengikutinya, diawali dengan acara pengajian, arisan dan acara perkumpulan lainnyanya yang pada intinya selain untuk membentuk silaturahmi adalah untuk dapat membangun daerah dengan cara mengembangkan jiwa wirausaha kepada saudara yang sedaerah dan nanti akan dibina sehingga kalau sudah berpengalaman maka akan dapat membuka usaha sendiri, dan hal seperti ini dapat disimpulkan dari profil wirausaha masyarakat Minang yang penulis ungkapkan dan pada umumnya wirausaha Minang mayoritas melakukan hal yang sama. ISSN 1858–3717 77 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 Untuk tahap ini, penelitian sudah mulai menyentuh peran modal sosial di dalam memulai dan menjalankan usaha masyarakat Minang dan banyak wirausaha yang justru memulai usaha dari unsur modal sosial yang sudah ada dalam masyarakat etnis Minang. Walaupun dari hasil temuan hanya beberapa wirausaha yang tidak menyentuh unsur modal sosial di dalam menjalankan usahanya dan pada umumnya semua wirausaha memulai usaha berdasarkan unsur modal sosial. Disini akan di paparkan mengenai peta masalah dan berjalannya modal sosial pada wirausaha di tiga lokasi penelitian yaitu Kota Batam, Kota Pekanbaru dan Kota Padang. Hal ini dimaksudkan agar penciptaan model dapat terealisasi sesuai dengan tujuan penelitian. Pihak-pihak yang berkepentingan disini dapat memberikan solusi sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh wirausaha sehingga dapat menindaklanjuti permasalahan tersebut dengan memberikan kebijakan yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi wirasuaha. 3.1 Kota Batam Kota Batam selama ini sangat terkenal dengan daerah industri dengan penduduknya yang berasal dari berbagai suku dan daerah di Indonesia. Suku asli pada daerah ini tidak terlihat seperti daera-daerah lainnya di Indonesia. Masyrakat Minang sangat banyak merantau di Kota batam, mayoritas pekerjaan yang dilakukan di Kota Batam adalah menjadi wirausaha dan hanya sedikit sekali yang bekerja pada perusahaan atau kantor. Kota Batam sangat padat dengan wirausaha keturunan Thionghoa, Minang, Batak dan Jawa sedangkan untuk suku Melayu yang merupakan daerah paling dekat dengan Batam jumlahnya hampir berimbang. Pada umumnya masyarakat Minang yang datang ke Kota Batam banyak yang terjun menjadi wirasuaha pada makanan, usaha konveksi atau toko pakaian, toko emas dan usaha pada penyaluran sayur-sayuran. Berdasarkan hasil waancara yang penulis lakukan pada daerah ini maka permasalahan yang terlihat secara umum dari wirausaha ini adalah: 1. Wirausaha Minang yang ada selama ini pada umumnya mempunyai karyawan yang rata-rata 4-8 orang belum tersentuh oleh pembinaan ataupun penyuluhan oleh pemerintah daerah setempat. Mendapatkan permodalan yang merupakan masalah utama bagi wirausaha di dalam mengembangkan usahanya belum pernah di sosialisaikan atau diberikan arahan oleh pemerintah agar dapat dengan mudah mendapatkan permodalan. Pemerintah Kota Batam belum melakukan hal ini dan apalagi memperhitungkan unsur modal sosial. 2. Selama ini para wirausaha sudah membangun usahanya dengan hanya sistem jaringan dan kepercayaan. Misalnya di dalam membangun usaha, kontribusi terbesar adalah informasi dan bantuan modal pertama dari saudara dan orang kampung yang ada di Kota Batam dan ternyata hal demikian membuat banyak wirausaha Minang yang berhasil namun hal yang demikian belum dijadikan suatu motivasi bagi Pemerintah untuk mengembangkan sistem jaringan dan kepercayaan tadi di dalam membangun daerah sebagai suatu unsur yang penting untuk diperhitungkan baik oleh Pemerintah Daerah Batam maupun oleh Pemerintah Daerah Sumatera Barat. 3. Pembinaan kepada wirausaha secara berkesinambungan belum ada di programkan dan sinergi antara pemerintah, pengusaha dan akademisi di dalam menciptakan wirasuaha-wirausaha yang tangguh belum dilaksanakan, padahal saat ini program wirasuaha sangat diagung-agungkan oleh pemerintah di dalam menekan angka ISSN 1858–3717 78 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 pengangguran dan memajukan perkonomian. Sampai saat ini belum ada kebijakan ini dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam. 4. Karena merasa terpinggirkan selama ini dari perhatian pemerintah sehingga para wirausaha Minang yang ada di Kota Batam ini tidak mampu untuk mengurus izin usaha ataupun izin-izin lainnya di dalam menjalankan usaha sehingga para wirasuaha menganggap izin usaha itu bukan sesuatu yang penting untuk dilakukan. Padahal dengan adanya izin usaha akan dapat lebih meningkatkan keberadaan usaha dan bagi Pemerintah akan menjadi suatu pemasukan di bidang perpajakan dan juga akan dapat mengetahui mengenai perkembangan wirausaha di daerahnya. Bagaimanakah berjalannya Modal Sosial pada wirasuaha etnis Minang di Kota Batam berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang telah penulis lakukan. Pertama, berjalannya unsur jaringan pada wirausaha etnis Minang di Kota Batam. Pada umumnya wirasuaha Minang yang ada di Kota Batam semuanya berasal dari Sumatera Barat. Para Wirausaha ini datang ke Batam dalam rangka merantau dan dari responden yang penulis wawancarai tidak ada yang sudah menetap dari nenek moyang di Kota Batam. Pada umumnya mereka datang kekota Batam atas informasi dan tertarik berwirasuaha ke Kota Batam karena melihat saudara ataupun sesama sekampung yang sudah berhasil di Kota Batam. Tingginya intensitas masyarakat Minang di dalam menjalankan unsur jaringan di Kota Batam dilihat dari terbentuknya asosiasi dan kelompok atau organisasi daerah yang sangat membantu di dalam menjalankan usaha, seperti adalnya Ikatan Saudagar Minang (ISM), ada juga Ikatan Saudagar Sumatera Barat (ISSM) dan yang lebih banyak berperan adalah dengan adanya organisasi dan ikatan-ikatan kedaerahan seperti IKLA (Ikatan Keluarga Luhak Agam) dan ikatan atau organisasi lainnya yang semuanya dibentuk untuk meningkatkan keakraban dan meningkatkan keberadaan usaha di daerah Batam. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terlihat unsur jaringan sangat kuat berjalan pada wirausaha etnis Minang di Kota Batam karena pada umumnya wirasuaha ini rutin melakukan kegiatan pada organisasi dan mereka menganggap kegiatan ini sangat penting karena pada saat acara itulah mereka bisa bertemu dengan wirausaha etnis Minang lainnya di Kota Batam. Ikatan dan organisasi etnis Minang yang ada di Kota Batam pada umumnya berjalan dengan baik dan tidak ada yang fakum dan bahkan mempunyai tujuan dan anggaran rumah tangga yang jelas dan terstruktur. Fakta yang nyata sekali dari berjalannnya unsur modal sosial ini adalah, wirausaha yang sudah berhasil di Kota Batam ini tinggi keinginannya untuk mendatangkan saudara atau orang kampungnya ke Kota Batam untuk membuka usaha baru dengan melihat peluangpeluang yang ada. Hal seperti ini hampir dilakukan oleh semua wirausaha etnis Minang di manapun berada, hal ini berarti wirausaha ini sudah melakukan unsur jaringan di dalam modal sosial. Kedua, Berjalannya unsur trust pada wira usaha etnis Minang di Kota Batam. Hasil wawancara yang penulis lakukan terlihat bahwa unsur trust sangat berjalan dengan kuat pada wirasuaha etnis Minang di Kota Batam. Ini terlihat pada tingginya rasa saling mempercayai di dalam kelompok sehingga para anggota sangat percaya kepada anggota lainnya dan akhirnya organisasi dapat berjalan dengan baik. Didalam memasok barang dagangan ternyata etnis Minang lebih mempercayai sesama etnis dibanding dengan orang lain. Rasa percaya yang tinggi sesama wirausaha etnis Minang juga dapat dilihat dari adanya organisasi besar etnis Minang di Batam yaitu IKSB (Ikatan Keluarga Sumatera Barat), berjalannya unsur modal sosial dapat dilihat dari: adanya beasiswa untuk warga kurang mampu yang berprestasi dan tahun ini sudah di salurkan sebesar Rp. ISSN 1858–3717 79 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 194.400.000. Dan tahun ini juga sudah ada mobil ambulance yang digunakan sebagai pengantar jenazah warga IKSB yang meninggal dunia di Kota Batam. Sumber dana yang di salurkan berasal dari anggota IKSB Kota Batam. IKSB ini punya struktur organisasi yang jelas dan berkembang dan menurut wawancara dengan ketua umum IKSB yaitu Bapak H.Erwin Ismail kegiatan yang dilakukan IKSB tidak pernah sepi dan khususnya untuk wirausaha mempunyai program yang selalu berkembang. Misalnya tahun ini IKSB mengadakan kunjungan ke Korea di dalam rangka studi banding untuk dapat membuka wawasan wirausaha Minang di dalam mengembangkan usahanya. Ketiga yaitu unsur resiprocity, merupakan unsur modal sosial yang melakukan semangat untuk membantu orang lain dengan tidak mengharapkan imbalan. Ini sudah berjalan sangat kuat pada wirausaha etnis Minang di Kota Batam. Misalnya di dalam menfasilitasi para etnis Minang yang datang dari kampung halaman yang ingin membuka usaha di Kota Batam. Para saudara ataupun ikatan dan organisasi etnis Minang yang ada menfasilitasi dengan menyediakan tempat penginapan sementara bagi calon wirausaha sebelum mendapatkan pekerjaan tetap. Dana dari fasilitas ini adalah sumbangan dari masyarakat Minang yang ada di Kota Batam. Hasil wawancara dengan para wirausaha ditemukan bahwa karyawan yang diajak bekerjasama dengan para wirausaha biasanya berasal dari kampung dan di bawa ke Batam. Sebenarnya mereka dibawa ke Batam ini dalam dua tujuan. Pertama adalah membawa mereka bekerja sebagai karyawan dan kedua adalah mencari pengalaman bagi mereka dan suatu saat mereka akan bisa membuka usaha sendiri dan tujuannya adalah membawa mereka untuk menjadi wirasuaha. Kalau ini bisa dilakukan maka dampaknya sangat positif bagi perekonomian daerah asal mereka secara umum. Kegiatan yang dilakukan oleh wirausaha yang seperti ini selama ini merupakan salah satu unsur resiprocity para etnis Minang di Kota Batam. Kegiatan modal sosial yang sangat kental dilakukan oleh wirasuaha di Kota Batam diantaranya, acara perkumpulan yang diisi dengan pengajian, arisan dan diskusi mengenai usaha dilakukan dengan rutin sekali dalam sebulan. Semua ikatan atau organisasi sesama etnis dilakukan sekali sebulan dan diatur jadwalnya supaya tidak bersamaan antara ikatan organisasi yang besar seperti IKSB (Ikatan Keluarga Sumatera Barat) dengan organisasi atau ikatan yang lebih kecil seperti IKLA (Ikatan Keluarga Lubuk Alung). Untuk yang lainnya jika ada masyarakat Minang yang mengalami musibah misalnya meninggal dunia maka semua ikatan atau organisasi Sumatera Barat akan melakukan ta’ziah dalam rangka ameningkatkan kepedulian dan keakraban persaudaraan sesama etnis di perantauan. Kegiatan lainnya seperti masyarakat Minang yang ada melakukan persta perkawinan ataupun sunatan maka akan digelar sesuai dengan adat Minang dan akan di bantu oleh pemuka masyarakat Minang yang ada di Batam. Dapat disimpulkan bahwa unsur jaringan berjalan sangat kuat pada etnis Minang yang ada di Kota Batam. Begitu juga dengan unsur trust dan unsur resiprocity juga berjalan sangat kuat di Kota Batam dan ini masing berlangsung sampai sekarang. 3.2 Kota Pekanbaru Kota Pekanbaru merupakan ibukota Provinsi Riau dengan luas wilayah mencapai 632,26 km2. Berdasarkan perda Kota Pekanbaru No. 3 dan No.4 Tahun 2003, ditetapkan bahwa Kota Pekanbaru terdiri dari 12 kecamatan dan 58 kelurahan. Kecamatan Tenayan Raya merupakan kawasan terluas yang mencapai 27,09%, sedangkan Kecamatan Pekanbaru Kota merupakan kawasan terkecil yang hanya mencapai 0,36%. Keberadaan Kota Pekanbaru merupakan dasar dekonsentrasi ISSN 1858–3717 80 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 (Pekanbaru Dalam Angka, 2010). jumlah penduduk Kota Pekanbaru adalah 585.440 jiwa dengan mayoritas dihuni oleh etnis Minang (37,87%) dan Melayu (26,67%). Jumlah penduduk Kota Pekanbaru pada tahun 2008 adalah 799.213 jiwa, dan pada tahun 2009 adalah 802.788 jiwa. Pada tahun 2009 jumlah etnis Melayu di Kota Pekanbaru mencapai 30,34%, sedangkan etnis Minang mencapai 29,51%. Selain itu juga terdapat etnis Jawa, etnis Batak dan etnislainnya dengan presentase yang relatif kecil. (Amelia,2011) Masyarakat Minang yang ada di Kota Pekanbaru pada umumnya hidup berwirausaha dan hanya sebahagian kecil yang bekerja sebagai pegawai negeri ataupun pegawai swasta. Pada umumnya mereka terjun ke bidang wirausaha ini dengan jenis usaha makanan, usaha perdagangan (pakaian dan sepatu, kelontong, usaha pembuatan kasur, grosian lainnya) dan juga usaha penjualan emas (toko emas). Hasil wawancara dan pengamatan yang penulis lakukan di Kota Pekanbaru mengenai permasalahan yang dihadapi wirasuaha etnis Minang adalah : 1. Etnis Minang kurang mendapatkan perhatian dari Pemerintah Daerah Pekanbaru. Selama ini mereka belum pernah di sosialisasikan ataupun diberikan pelatihan apa saja di dalam mengembangkan usaha padahal keberadaan mereka selama ini sudah sukses membantu pembangunan pada sektor ekonomi di Kota Pekanbaru. Akibat tidak adanya sosialisasi tersebut membuat wirausaha ini susah akses untuk mengurus izin usaha ataupun administrasi lainnnya. Sehingga saat ini hanya beberapa wirasuaha yang mempunyai izin usaha. 2. Permodalan yang merupakan permasalahan yang sudah umum pada wirasuaha kesulitan di dalam mendapatkan permodalan disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah untuk menjadi fasilitator antara wirausaha dengan lembaga keuangan. Selain itu kurangnya kelangkapan usaha seperti tidak ada izin usaha membuat wirausaha tidak dapat dijadikan mitra oleh lembaga keuangan. 3. Perizinan dan tata ruang kota yang arahnya belum jelas membuat para wirausaha kesulitan di dalam investasi untuk pengembangan usaha. Misalnya di dalam mendirikan usaha pada suatu tempat akan susah memprediksi nilai investasi karena tidak adanya perencanaan tata kota yang tetap dari Pemerintah Daerah. Wirausaha ini juga merasa tidak tenang di dalam menjalankan usahanya karena takut di gusur ataupun akan di pindahkan oleh peraturan Pemerintah Daerah Pekanbaru. 4. Kurangnya perhatian dari Pemerintah Daerah Sumatera Barat terhadap keberadaan wirausaha padahal selama ini para wirausaha ini menjalankan modal sosial yang sangat tinggi khsususnya pada unsur jaringan. Selama ini para wirasuaha yang sudah berhasil di Kota Pekanbaru cenderung untuk mendatangkan orang kampung sesama etnis Minang untuk membuka usaha di Pekanbaru. Usaha yang seperti ini sebenanrnya harus dipupuk tetapi perhatian Pemda Sumatera Barat belum melakukan program peningkatan modal sosial bagi wirausaha etnis Minang yang merantau ke daerah lain. Bagaimanakah berjalannya Modal Sosial pada wirasuaha etnis Minang di Kota Pekanbaru berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang telah penulis lakukan. Pertama, warga etnis Minang yang ada di Kota Pekanbaru pada umumnya hidup berkelompok dan biasanya berdasarkan daerah asal, seperti untuk warga Minang yang berasal dari Lubuk Alung yang banyak tinggal di daerah Arengka maka warga asal Lubuk Alung banyak berwirausaha di daerah ini. Ini disebabkan karena warga Lubuk Alung yang sukses berwirausaha di daerah ini cenderung untuk membawa orang yang berasal dari kampungnya sendiri untuk membuka usaha di daerah ini dan hal seperti ini banyak terjadi pada warna etnis Minang lainnya pada daerah lainnya di Kota Pekanbaru. ISSN 1858–3717 81 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 Hal seperti ini berarti wirausaha sudah menjalankan unsur modal sosial seperti jaringan di dalam menjalankan usahanya. Biasanya orang sekampung yang dibawa untuk berwirausaha di Pekanbaru ini banyak mendapatkan bantuan dari wirausaha yang sudah sukses di Kota Pekanbaru, seperti menjadikannya sebagai karyawan sebagai upaya untuk membagi pengalaman serta ada juga yang memang dicarikan tempat berwirausaha baru bagi saudara sesama etnis Minang. Selain tempat usaha yang berdekatan pada umumnya wirausaha etnis Minang di perantauan khususnya di Pakanbaru juga akan mempunyai tempat tinggal yang saling berdekatan dan biasanya akan melakukan kegiatan arisan yang diisi dengan berbagai macam kegiatan seperti arisan bulanan dengan pengajian, diskusi usaha dan perkembangan ekonomi dan julo-julo. Biasanya juga akan membahas masalah sosial di kampung halaman, misalnya bantuan untuk pembangunan mesjid, beasiswa untuk anak kurang mampu tetapi berprestasi, pembangunan rumah untuk masyarakat kurang mampu dan banyak kegiatan lainnya. Melakukan kegiatan sosial seperti melihat saudara sakit dan meninggal dengan konsep sukarela dan memberikan sumbangan yang didapat dari anggota organisasi. Menurut wawancara dengan H. Mukhlis yang merupakan ketua dari Ikatan Keluarga Padang Luar (IKPL) yang berada di Kota Pekanbaru mengungkapkan bahwa organisasi yang dipimpinnya ini melakukan kegiatan berkumpul rutin sebulan sekali tetapi jika ada saudara yang meninggal maka kita akan memberitahu secara lisan dan bersama-sama menuju rumah duka dan ini dilakukan oleh hampir semua warga IKPL. Saat ini yang sedang dilakukannya adalah mengkoordinir anggota yang akan melakukan qurban yang diselenggarakan di kampung (Padang Luar) dan terkumpul sebanyak 17 ekor sapi yang dilakukan saat idul adha nanti. Hal yang diceritakan ini adalah salah satu berjalannya mosal sosial dengan unsur jaringan di Kota pekanbaru yang dilakukan oleh wirausaha. Kedua, Unsur trust yang berjalan pada wirasuaha etnis Minang di Kota Pekanbaru diantaranya di dalam mendapatkan arisan. Hasil wawancara dengan anggota organisasi etnis Minang yaitu IKG (Ikatan Keluarga Galogandang) bahwa anggota rutin melakukan kegiatan setiap bulannya dan yang sangat menarik bagi anggota adalah acara arisan dengan agenda julo-julo yang jumlahnya sampai 100 jt dengan anggota sekitar 43 orang wirausaha. Hasil julo-julo ini dapat untuk menambah permodalan bagi wirausaha dan ini sudah berjalan semenjak tahun 1997. Berjalannya kegiatan ini adalah atas dasar kepercayaan yang kuat bagi anggota terhadap anggota lainnya dengan tujuan utama adalah kebersamaan dan kepercayaan yang kuat dari setiap anggota. Disamping itu meminjamkan modal dalam bentuk barang juga banyak dilakukan oleh anggota. Misalnya anggota minta barang kepada anggota lainnya dan nanti setelah terjual baru dilakukan pembayaran, dan hal ini sangat banyak dilakukan dan biasanya usaha besar yang meminjamkan kepada usaha kecil. Melakukan jaringan usaha berdasarkan etnis juga dilakukan oleh wirasuaha etnis Minang. Banyak wirasuaha melakukan hubungan seperti membeli produk atau barang, ada keinginan untuk membeli barang pada etnis Minang sebagai produsen dan jika etnis Minang tidak ada baru mau dengan etnis lain. Menurut hasil wawancara dengan wirausaha hal ini memang dilakukan karena walau bagaimanapun urang awak (urang Minang) lebih dipercaya dibanding dengan yang lainnya. Senasip dan sepenanggungan di perantauan adalah menjadi alasan yang kuat maka memilih sesama etnis Minang untuk menjadi mitra usaha. Untuk akses ke lembaga keuangan, ada juga beberapa lembaga keuangan yang justru memberikan pinjaman berdasarkan akses jaringan dan kepercayaan. Karena ada jaminan dari seseorang yang dikatakan sudah sukses, apalagi ISSN 1858–3717 82 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 sesama etnis Minang dan jika lembaga keuangannya adalah punya urang awak maka ada pertimbangan (Biasanya BPR). Untuk lembaga keuangan yang nasional seperti perbankan biasanya syaratnya suda jelas dan pertimbangan sesama etnis hanya sedikit diperhitungkan. Ketiga, unsur resiprocity sudah lama berjalan pada masyarakat Minang. Selama ini di dalam meningkatkan ekonomi daerahnya biasnaya etnis Minang sangat menojol. Bisa saja di contohkan waktu terjadi gempa tahun 2009 di Kota padang, begitu banyaknya bantuan yang datang dari seluruh perantau Minang yang ada di seluruh Indonesia. Kegiatannya sangat banyak mulai dari membangun rumah sakit dan sekolah sampai kepada menyantuni biaya berobat dan menyekolahkan anak-anak yang tidak mampu ataupun sudah ditinggalkan oleh orang tuanya. Saat ini PKDP (Persatuan Keluarga Daerah Pariaman), yang merupakan daerah terparah kena dampak gempa 2009 sudah melakukan pengangkatan anak asuh yang dikoordinir oleh organisasi PKDP ini. Anak asuh ini diberikan biaya sekola dan buku-buku serta biaya hidup dengan dananya berasal dari donatur bulanan anggota PKDP dan sampai sekarang masih berjalan. Pembangunan perumahan yang roboh akibat gempa juga dilakukan oleh organisasi etnis Minang yang ada di Kota Pekanbaru, seperti IKLA,PKDP,IKPL dan organisasi lainnya. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang penulis lakukan, modal sosial sudah lama berjalan di Kota Pekanbaru oleh etnis Minang. Uraian di atas mencerminkan bahwa memang unsur modal sosial sangat memberikan banyak manfaat bagi wirausaha etnis Minang di dalam mengembangkan usahanya. Tetapi unsur modal sosial etnis Minang di Kota pekanbaru tidak sekuat yang terjadi do Kota Batam. Banyak etnis Minang di Kota Pekanbaru yang tidak kenal dengan organisasi besar etnis Minang yang ada di Pekanbaru dan di Kota Batam justru sangat berkembang. Alasannya karena di Kota Pekanbaru etnis Minang sangat banyak sehingga kurang menjunjung nilai modal sosial sedangkan di Kota Batam karena jumlah etnis Minang sedikit membuat mereka lebih kuat untuk mendekatkan diri dengan sesama etnis Minang karena mereka merasa senasib sepenanggungan. Selain itu daerah Batam yang lebih jauh dibandingkan daerah Pekanbaru bagi etnis Minang merantau juga jadi pengaruh bagi kecenderungan berkembangnya modal sosial pada daerah tersebut. Sebenarnya di Kota Pekanbaru banyak organisasi Minang yang besar seperti IKMR (Ikatan Keluarga Minang Riau), yang mana di ketuai oleh Bapak H.Basrizal Koto yang berasal dari Sumatera Barat dan tepatnya berasal dari daerah Pariaman. Bapak Basrizal merupakan seorang pengusaha nasional yang sukses yang berdomisili di Kota Pekanbaru. Menurut wawancara dengan responden berpendapat bahwa IKMR selama ini sangat menyentuh program wirausaha tetapi belum sampai pada semua wirasuaha. Acara-acara yang di gelar IKMR masih banyak yang belum mengetahui dan bahkan banyak yang belum tahu mengenai program-programnya. Hal ini terjadi bisa saja karena begitu luasnya derah cakupan IKMR dan juga karena begitu besarnya populasi masyarakat Minang di Pekanbaru. Berdasarkan fenomena diatas dapat disimpulkan bahwa modal sosial berjalan di Kota Pekanbaru dan unsur trust, jaringan dan resiprocity berjalan cukup kuat tetapi dibandingkan dengan Kota Batam, Kota Pekanbaru agak lemah modal sosialnya. 3.3 Kota Padang Sumatera Barat merupakan tempat suku Minang tinggal dan tumbuh selama puluhan tahun dan sudah turun temurun semenjak kerajaan Pagaruyung berdiri. Berwirausaha juga merupakan akibat pengaruh dari kerajaan yang berdiri di Sumatera ISSN 1858–3717 83 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 Barat. Penduduk Kota Padang berjumlah 833.584 jiwa dan 91% merupakan etnis Minang atau sebesar 750.225 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut 71,74% hidup sebagai wirausaha atau sebesar 538.251(id.wikipedia/wiki/kota padang). Hampir seluruh daerah di Indonesia di tempati oleh etnis Minang dan kegiatan utama nya adalah menjadi wirausaha. Pada umumnya keberadaan mereka pada daerah tersebut mayoritas dipengaruhi oleh unsur jaringan yang sangat kuat di miliki oleh etnis Minang. Untuk daerah Kota Padang keberadaan wirausaha sangat beragam dan sangat komplek yang bergerak pada hampir pada semua bidang usaha yang tersedia. Untuk berwirausaha pad umumnya banyak memilih bidang usaha kerajinan, makanan, peternakan dan juga perikanan. Permasalahan yang sering muncul pada wirausaha di Kota padang diantaranya adalah: 1. Para wirausaha masih mengelola usaha secara sederhana dan tradisional sehingga perkembangannya lambat dibandingkan etnis Thionghoa yang ada di Kota Padang. Misalnya dalam mengembangkan usaha makanan seperti sanjai dan makanan khas lainnya justru dibangun oleh keturunan Thionghoa karena dijalankan secara modern dan berteknologi sedangkan bagi wirausaha etnis Minang kurang memperhatikan hal seperti itu. Hal ini juga disebabkan karena pemerintah kurang melakukan pembinaan yang berkelanjutan bagi wirausaha sehingga hasilnya juga tidak maksimal. 2. Pemerintah daerah tidak begitu memperhatikan wirausaha dan selama ini hanya fokus pada pembinaan UKM seperti UKM kerajinan sedangkan pada wirasuaha seperti yang berada di Pasar Raya Padang yang sudah banyak memberikan kontribusi bagi ekonomi Sumatera Barat tetapi belum tersentuh pembinaan dan belum pernah diajak untuk berdiskusi mengenai pengelolaan usaha apalagi mengenai unsur modal sosial. 3. Belum adanya perhatian yang secara berkesinambungandan dan bersinergi antara pemerintah, akademisi dan wirausaha di dalam menjalankan usaha sehingga mereka sering merasa . Selama ini yang terjadi adalah wirausaha berjuang sendiri di dalam mengembangkan usaha. Selama ini yang dilakukan pemerintah hanya pada UKM-UKM saja sedangkan usaha seperti toko-toko ataupun segmen perdagangan masih minim padahal para wirausaha ini sangat banyak menghasilkan tenaga kerja selama ini. 4. Pengurusan legalitas usaha banyak yang belum dilakukan karena pada umumnya mereka mendirikan usaha awalnya hanya secara sederhana sehingga sulit untuk dapat melakukan peminjaman permodalan. Pada umumnya wirausaha yang penulis waancarai tidak begitu berminat untuk mengurus legalitas usaha dengan alasan kurang mengerti cara mengurusnya dan bahkan beberapa responden berpendapat untuk apa legalitas usaha karena manfaat secara langsung yang dirasakan tidak ada. Sebenarnya disini peran pemerintah di dalam menjalankan programnya yang bersinergi antara pembisnis dan pemerintah. 5. Wirausaha sebenarnya perlu diberikan pembekalan mengenai menjual ataupun memesan barang agar di dalam mendistribusikannya sudah mampu menjamin mengenai keabsahan produk yang akan ditawarkan kepada konsumen. Selama ini para pelaku usaha hanya menggunakan ilmu sederhana saja dalam memesan ataupun memasarkan produknya dan belum mengerti dengan etika bisnis dalam menjual produk, seperti legalitas produk, masa berlakunya produk dan juga item lainnya seperti kehalalan, izin depkes dan yang lainnya agar produsen dapat dipercaya oleh konsumen. ISSN 1858–3717 84 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 6. Ada beberapa responden yang pernah diberikan pembekala berupa pelatihan oleh dinas terkait dan menurut responden sangat bermanfaat bagi responden tetapi sayang hanya sekali saja dan sudah 8 tahun berlalu sampai sekarang tidak adalagi tindak lanjutnya. Seharusnya ada program untuk 5 tahun kedepan bagi wirausaha. Bagaimanakah berjalannya Modal Sosial pada wirasuaha etnis Minang di Kota Padang berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang telah penulis lakukan. Pertama, unsur jaringan sangat kental pada wirasuaha etnis Minang, selama ini untuk etnis Minang yang ada di perantauan berhasil pada umumnya disebabkan kuatnya unsur modal sosial. Berjalannya modal sosial pada etnis Minang yang sangat dominan adalah pada jaringan berdasarkan daerah. Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan pada beberapa responden pada umumnya mereka di Kota Padang jarang sekali mengikuti perkumpulan dengan alasan sibuk dan juga dengan alasan bahwa perkumpulan yang ada kurang terorganisir dengan baik. Tetapi pada umumnya mayoritas responden punya perkumpulan di Kota Padang seperti IKS (Ikatan Keluarga Silungkang), IKPL (Ikatan Keluarga Padang Luar), PKDP (Perkumpulan Keluarga Daerah Pariaman) dan banyak lagi perkumpulan lainnya. Sebenarnya rasa kedaerahan masyarakat Minang di Kota Padang sangat kental sekali karena pada umumnya mereka yang berwirausaha di Kota Padang awalnya adalah karena melihat saudara atau orang kampung yang sudah berhasil di Kota Padang. Tetapi di dalam menjalankan kegiatan pada perkumpulan sangat jarang dilakukan dibandingkan pada daerah Batam dan pekanbaru. Menurut wawancara keberhasilan orang kampung atau saudara atau keluarga di Kota Padang merupakan motivasi yang sangat tinggi bagi yang lainnya untuk menjadi wiarausaha. Dalam kasus ini dapat dilihat dalam profil usaha Wirman I dan Wirman II di Pasar raya Padang dan juga pada usaha lainnya yang ada di Kota Padang. Pada contoh, ada organisasi IKPL yang merupakan daerah yang berada di Batusangkar. Mayoritas penduduknya adalah berdagang dan secara ekonomi daerah mereka sangatlah kaya karena hampir tidak ada di daerah ini orang yang menganggur. Kehidupan di daerah ini ekonominya berasal dari rantau, semua dibangun atas rasa modal sosial. Para warga laki-laki yang sudah tamat SMA kalau tidak ada kemauan lagi melanjutkan kuliah maka mereka akan pergi merantau dan nanti di bina oleh organisasi IKPL ini. Organisasi ini ada pada beberapa daerah seperti Kota Pekanbaru, Jakarta, Surabaya, Bandung dan banyak daerah lainnya tergantung pad jumlah warga Padang Luar yang berada di Kota tersebut, jika sudah banyak maka akan terbentuk organisasi ini. Di Kota Padang juga ada IKPL yang diketuai oleh Drs. Afrizal dan sudah berdiri lebih dari 30 tahun yang lalu. Kegiatan bulanannya sangatlah terorganisir dengan baik dan pada umumnya yang ikut dalam IKPL adalah wirausaha. Menurut hasil wawancara dengan Bapak Drs. Afrizal mengungkapkan bahwa organisasi ini sangat bagus dan punya program yang sangat mendukung rasa kebersamaan di Kota Padang. Organisasi ini juga mempunyai anggaran rumah tangga yang cukup bagus dan dijalankan oleh semua anggota. Mayoritas wirausaha IKPL ini berada di Pasar Raya Padang dan melakukan perkumpulan setiap bulannya hari Minggu pada Minggu pertama dengan tempat acara dari rumah kerumah. Agendanya selain melakukan pengajian, juga acara julo-julo, melihat saudara yang sakit dan meninggal juga di atur yang mana pendanaannya berasal dari organisasi ini yan g dipungut dari para anggota IKPL. Didalam organisasi ini juga membawahi organisasi lainnya seperti organisasi mahasiswa seperti Ikatam Mahasiswa Padang Luar (IMPAL) yang berada di Kota padang, tujuannya adalah untuk memberikan motivasi pada mahasiswa agar dapat bernuat lebih baik dan juga untuk dapat mengkoordinir warga IKPL yang menjadi ISSN 1858–3717 85 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 mahasiswa di Kota Padang misalnya masalah pembiayaan ataupun biaya hidup lainnya agar dapat dibantu yang semuanya itu tujuannya agar terbentuk organisasi yang dapat memajukan warga dan daerahnya. Selama ini di dalam membina warga yang datang ke Kota Padang adalah dengan menjadikan mereka karyawan dulu pada usaha dan jika sudah merasa mampu silahkan untuk membukan usaha sendiri. Fenomena yang diatas sudah mencerminkan berjalannya modal sosial khususnya unsur jaringan. Kedua, Untuk melihat berjalannya unsur trust di Kota Padang dapat kita lihat dari profil wirausaha dan ditambah dengan wawancara dengan pemilik usaha dan juga dengan ketua kelompok atau organisasi daerah yang ada di Kota Padang. Pada umumnya wirausaha ini mempunyai karyawan yang sangat dipercaya yang gunanya adalah untuk dapat mengambil alih tanggung jawab pemilik usaha. Pemilik usaha menetapkan orang kepercayaannya berdasarkan banyak pertimbangan dan salah satunya yang sangat menjadi pertimbangan adalah garis keturunan dan kalau hal itu tidak ada maka akan turun berdasarkan rasa kedekatan ataupun kekerabatan dan ini biasanya akan jatuh kepada orang kampung atau yang berasal dari daerah yang sama. Menurut wawancara dengan salah seorang responden yaitu Bapak Wirman yang mempunyai toko grosiran 2 buah di Pasar Raya Padang yang saat ini mempunyai 7 orang karyawan yang semuanya berasal dari kampung halaman Bapak Wirman. Sedangkan 2 orang yang merupakan orang kepercayaannya merupakan saudara sepupu dan satu lagi adalah orang kampung yang rumahnya masih berdekatan di kampung. Fenomena di atas merupakan berjalannya unsur trust pada wiarausaha etnis Minang di Kota padang. Selain itu kalau melihat bagaimana tingkat kepercayaan berjalan pada wirausaha adalah di dalam mendapatkan barang atau produk yang akan dijual lebih banyak mendapatkan dari etnis Minang dan khsusunya dari orang yang sekampung dengan wirasuaha yang berada dari daerah lain misalnya dari Jakarta dan jika barang tersebut tidak ada tersedia baru di beli atau dipesan kepada etnis lainnya. Hal ini sangat kental berjalan di dalam masyarakat Minang. Karyawan yang selama ini membantu para wirausaha di Kota Padang juga berasal dari daerah wirausaha dan pada umumnya masih kerabat dan saudara. Menurut wawancara dengan beberapa responden, kepercayaan kepada saudara atau kerabat yang satu kampung sangat tinggi dibandingkan dengan karyawan yang berasal dari daerah lain dalam berwirausaha alasanya adalah kalau kerabat satu kampung yang kita jadikan karyawan kita sudah tahu mengenai prilaku dan keluarganya mulai dari keturunannya tetapi kalau yang berasal dari daerah lain belum begitu mengetahui prilakunya dan khususnya mengenai prilaku jujur dan tanggung jawab. Ketiga, resiprocity adalah Seseorang atau banyak orang dari suatu kelompok memiliki semangat membantu yang lain tanpa mengharapkan imbalan seketika. Menurut hasil wawancara dengan responden, pada umumnya responden mengetahui bahwa banyak resiprocity dilakukan oleh organisasi yang diikutinya. Selama ini kelompok atau organisasi sangat berorientasi melakukan resiprocity ini, misalnya dengan adanya program beasiswa bagi anak kurang mampu tetapi berprestasi yang dilakukan oleh IKS (Ikatan Keluarga Silungkang) yang mana dananya berasal dari wirausaha Silungkang yang ada di Kota padang. Contoh lain dari berjalannya resiprocity menurut wawancara dengan ketua IKPL yaitu Bapak Drs. Afrizal di Kota Padang, selama ini banyak sekali para wirausaha sudah melakukan resiprocity seperti membantu pengobatan kalau ada warga yang butuh tetapi tidak ada biaya dan biasanya langsung saja para wirausaha secara individu membantu. Kegiatan lainnya adalah wirausaha IKPL juga membantu membangun rumah untuk warga kurang mampu di kampung yang mana ini dilakukan berdasarkan kemampuan ISSN 1858–3717 86 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 wirausaha itu sendiri. Saat ini wirausaha juga sudah melakukan kegiatan yang cukup besar yaitu menunaikan haji bagi warga yang tidak mampu tetapi bagus di dalam melaksanakan ibadah. Kegiatan-kegiatan sepeeti ini merupakan contoh dari berjalannya modal sosial di dalam masyarakat dan khususnya wirausaha di Kota Padang. Hal yang sama juga dilakukan oleh IKS (Ikatan Keluarga Silungkang) yang mana programnya adalah menyantuni warga Silungkang untuk melaksanakan pendidikan di Kota Padang. Kegiatan ini rutin dilakukan oleh IKS dalam rangka membantu meningkatkan pendidikan warga agar dapat berfikir lebih maju dan mandiri. Hal senada juga dilakukan oleh PKDP (Perkumpulan Keluarga Daerah Pariaman), yang mana para wirausaha lebih banyak melakukan kegiatan membantu pembangunan di daerah atau dikampung masing-masing tetapi ada beberapa kelompok organisasi yang fokus membina mahasiswa didalam memajukan daerahnya. Berdasarkan fenomena diatas dapat disimpulkan bahwa etnis Minang selama ini sangat membangun modal sosial. Dari ketiga lokasi penelitian maka daerah Batam mempunyai Modal Sosial yang kuat, ini disebabkan karena faktor kondisi jumlah penduduk dan jarak jauhnya etnis Minang pergi merantau. Misalnya di Kota Batam jumlah etnis Minang yang merantau lebih sedikit dibandingkan dengan kota Pekanbaru sehingga membuat etnis Minang di daerah Kota Batam lebih solid dan sangat merasa sama-sama sepenanggungan. Sedangkan di Kota Padang yang mayoritas penduduknya adalah etnis Minang sehingga rasa peduli dan melakukan unsur modal sosial juga berkurang di dalam berwirausaha. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang di dapat di lokasi penelitian dan juga berdasarkan peta masalah yang menjadi temuan, maka hasil penelitian ini juga sudah menghasilkan rekomendasi untuk kebijakan yang saat ini masih sedang dalam penulisan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa modal sosial pada daerah Batam sangat kuat dibandingkan dengan daerah Pekanbaru dan Kota Padang. Tetapi Kota pekanbaru mempunyai modal sosial yang kuat dibandingkan dengan modal sosial di Kota Padang tetapi dibandingkan dengan daerah Batam, pekanbaru agak lemah. Sedangkan untuk daerah Kota Padang Modal sosialnya justru lemah dibandingkan dengan daerah Batam dan Kota pekanbaru. Permasalahan yang paling umum di alami oleh wirasuaha di daerahnya masing-masing adlah kurangnya perhatian pemerintah sehingga sulit punya akses di dalam menjalankan usaha dibandingkan dengan masyarakat asli pada daerahnya. Pelatihan dan pembinaan pada wirausaha sangat minim dan sangat jarang di dapat sehingga terjadi jarak antara kebijakan pemerintah dengan tujuan wirausaha. Model pengembangan kewirausahaan dengan modal sosial juga akan dihasilkan dan sampai saat ini baru mencapai 30%. Pentingnya usulan kebijakan dan model kewirausahaan dengan modal sosial pada etnis Minang, karena berhasilnya etnis Minang selama ini di dalam berwirausaha sangat ditopang oleh nilai modal sosial tetapi kurang dimengerti dan di hargai oleh masyarakat luas dan khususnya pengambil kebijakan sehingga program yang ada selama ini belum menyentuh nilai-nilai modal sosial untuk dikemabangkan. DAFTAR PUSTAKA Alma, Buchari,.2005, Kewirausahaan, Bandung Alfabeta Awal. (2006). Kewirausahaan. . Penerbit Tugas Wirawasta, Bandung. Atmadja, Nengah Bawa, 1997. Pendidikan Manusia Antarbudaya, Bali Post 11 April 1997. ISSN 1858–3717 87 Polibisnis, Volume 6 No. 1 April 2014 Atmadja, Nengah Bawa, 2006, Bali Pada Era Globalisasi, Singaraja: IKIP N Singaraja Amelia,(2011), Tesis: Faktor-faktor yang mempengaruhi pekerja untuk berwirausahan di Kota Pekanbaru (http:www.mari.wer/capetae.hbo) Bourdieu,P.(1997)’Cultural Reproduction and Social:notes provisoires’,Actes dela recherche en sciences sociales,2-3 Carol Kinsey Goman. 2001. Kreativitas dalam Bisnis. Penerbit Bina Rupa Aksara Jakarta. Cox,E (1995), Background Material and Bayer Lecture (http:www.Leta.edu.au/coxp.htai) Cox,E (1995).A Truly Civil Society.ABC Book.Sydney Coleman,J.S.(1994) Fundation of Social Theory, Belknap Press,Cambridge MA. Drukker. (1985). Innocation and Entrepreneurship.Inc. New York Fernandez,R.M.,(2001)’Local Nets and Social Capital at Work: networks and employment at a phone center;,American Journal Sociology,105,5,1288-356. Fukuyama, Francois,(2003),Social Capital and Development: The Coming Agenda.SAIS Review XXII (1):23-37 Fukuyama,(2000).Social Capital and civil society. Institute of Public Policy. George Mason.University. Hasbullah, Jousairi,2006, Sosial Capital, Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia, Jakarta: MR-United Press. Kreitner Robert, 1995., Organizational Behavior., Chicago Irwin Porter,M.E (1998) ‘Location,Competition and Economic Development: local clusters in a global economy’,Economic Development Quarterly,14,1,15-13. Putnam, R.D. (2000). The prosperous community: social capital and public life. American Prospect, 13: 35-42. Putnam, R.D. (1995). Bowling alone: America’s declining social capital. Journal of Democracy: 1-8. Moleong,L.J.(1991). Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung:PT Remaja Rosdakarya Marbun. B.N.,1993, Proses Pembangunan Desa., Earlangga Jakarta. Mudana, I Wayan,.2000. Integrasi Etnik Tionghoa Pada Masyarakat Desa Adat di bali Kasus Catur-Kintamani-Bali. Singaraja: STKIP. Narayan,D, (1997). Voices of the Poor. Development studies and monograph series no. 20 Narayan,Deepa,1999,.’Sicial Capital:evidence and implication’, hal.269-95 Nangoi, Ronald. 1996. Pengembangan Produksi dan Sumber Daya Manusia. Rajawali Pers. Jakarta Nangoi, Ronald. 1998. Marketing dalam Era Globalisasi., Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Seibert, S.E., Kraimer, M.L. & Liden, R.C. (2001). A social capital theory of career success. Academy of Management Journal, 44(2): 219-237. Suryana., 2006, Kewirausahaan., Salemba Empat Sumantra Ghoshal, 1998., Social Capital, Intelectual Capital and the Organizational., The Academy of Management Review, Vol.23, No. 2,242-266 Suharto,Edi.(2005),Analisis Kebijakan Publik:Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial,Bandung,Alfabeta. Wirasasmita, Yuyun. 1998. Kewirausahaan 1. Institut Manajemen Koperasi Indonesia (IKOPIN). Bandung Zimmerer., 2004., Pengantar kewirausahaan dan Manajemen Bisnis Kecil, Universitas Kristen Petru. ISSN 1858–3717 88