BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Cemas merupakan suatu sikap alamiah yang dialami oleh setiap manusia sebagai bentuk respon dalam menghadapi ancaman. Namun ketika perasaan cemas itu menjadi berkepanjangan (maladaptif), maka perasaan itu berubah menjadi gangguan cemas atau anxiety disorders. Beberapa hasil penelitian bahkan menengarai bahwa gangguan cemas juga merupakan komorbiditas. Kecemasan timbul akibat adanya respon terhadap kondisi stres atau konflik. Hal ini biasa terjadi dimana seseorang mengalami perubahan situasi dalam hidupnya dan dituntut untuk mampu beradaptasi (Solomon, 1974). Kecemasan akrab sekali dengan kehidupan manusia yang melukiskan kekhawatiran, kegelisahan, ketakutan dan rasa tidak tentram yang biasanya dihubungkan dengan ancaman bahaya baik dari dalam maupun dari luar individu (Prawirohusodo, 1991). Kecemasan merupakan gejala normal pada manusia dan disebut patologis bila gejalanya menetap dalam jangka waktu tertentu dan mengganggu ketentraman individu. Kecemasan sangat mengganggu homeostasis dan fungsi individu, karena itu perlu segera dihilangkan dengan berbagai macam cara penyesuaian (Maramis, 2005). Kecemasan merupakan gangguan mental terbesar. Diperkirakan 20% dari populasi dunia menderita kecemasan (Gail, 2002) dan sebanyak 47,7% remaja sering merasa cemas. Gangguan cemas (ansietas) merupakan salah satu bentuk gangguan jiwa yang sering terjadi. Pada tahun 1991, di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi gangguan cemas pada orang dewasa adalah sebesar 2,9% dari seluruh populasi, sedangkan di Indonesia diperkirakan ada sebanyak 6-7%. Wanita lebih banyak mengalami gangguan cemas dibandingkan pria, dengan rentang usia 16-40 tahun. Dari suatu penelitian yang dilakukan pada kelompok perempuan di sebuah rumah susun di Klender, Jakarta Timur, diketahui prevalensi ansietas adalah sebesar 9,8%. Ansietas merupakan gejala utama pada banyak gangguan kejiwaan dan merupakan komponen yang tidak dapat dihindari pada banyak kondisi medis dan pembedahan. Pada dasarnya, hal itu merupakan emosi manusia yang umum, yang sangat berkaitan erat dengan rasa takut yang wajar dan sering bertujuan sebagai adaptasi secara psikobiologis. Asa umum klinis yang terpenting adalah bahwa ansietas sendiri jarang yang betul-betul merupakan penyakit. Ansietas yang lazimnya berkaitan dengan gangguan “psikoneurotik” sebelumnya, tidak mudah dijelaskan secara bilogis atau psikologis; hipotesis terkini menyatakan bahwa hal tersebut berkaitan dengan aktivitas sistem adrenergik yang berlebihan atau gangguan sistem serotonergik di SSP. Selain itu, gejala ansietas umumnya disertai dengan depresi dan terutama gangguan distimia (depresi kronik dengan keparahan sedang), gangguan panik, agorafobia, dan fobia spesifik lain, ganguan obsesif-kompulsif, gangguan makanan, dan banyak gangguan kepribadian. I. 2. Tujuan Terapi 1. Menurunkan tingkat keparahan, lama dan frekuensi kekambuhan gejala dan untuk meningkatkan kemampuan umum penderita secara keseluruhan. 2. Meniadakan serangan panik, menurunkan secara signifikan kecemasan yang berulang dan ketakutan fobia, dan mengembalikan aktivitas normal penderita. 3. Menurunkan gejala-gejala psikologi dan menghindarkan fobia dan meningkatkan keterlibatan dalam aktivitas sosial yang dimiliki. 4. Untuk menurunkan gejala-gejala utama, ketidakmampuan, dan komorbiditas serta meningkatkan kualitas hidup dan kemampuan untuk mengatasi stress. I. 3. Sasaran Terapi 1. Jangka pendek : Menurunkan keparahan dan durasi keluhan ansietas dan memperbaiki semua fungsi organ yang terlibat. 2. Jangka panjang : Meremisi dengan meminimalkan/ menghilangkan keluhan ansietas dan kerusakan organ non fungsional. BAB II ISI II. 1. Etiologi Ada beberapa teori mengenai penyebab kecemasan: 1) Teori Psikologis Dalam teori psikologis terdapat 3 bidang utama: a) Teori psikoanalitik Freud menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu sinyal kepada ego yang memberitahukan adanya suatu dorongan yang tidak dapat diterima dan menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensif terhadap tekanan dari dalam tersebut. Idealnya, penggunaan represi sudah cukup untuk memulihkan keseimbangan psikologis tanpa menyebabkan gejala, karena represi yang efektif dapat menahan dorongan di bawah sadar. Namun jika represi tidak berhasil sebagai pertahanan, mekanisme pertahanan lain (seperti konversi, pengalihan, dan regresi) mungkin menyebabkan pembentukan gejala dan menghasilkan gambaran gangguan neurotik yang klasik (seperti histeria, fobia, neurosis obsesif-kompulsif). b) Teori perilaku Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan disebabkan oleh stimuli lingkungan spesifik. Pola berpikir yang salah, terdistorsi, atau tidak produktif dapat mendahului atau menyertai perilaku maladaptif dan gangguan emosional. Penderita gangguan cemas cenderung menilai lebih terhadap derajat bahaya dalam situasi tertentu dan menilai rendah kemampuan dirinya untuk mengatasi ancaman. c) Teori eksistensial Teori ini memberikan model gangguan kecemasan umum dimana tidak terdapat stimulus yang dapat diidentifikasikan secara spesifik untuk suatu perasaan kecemasan yang kronis. 2) Teori Biologis Peristiwa biologis dapat mendahului konflik psikologis namun dapat juga sebagai akibat dari suatu konflik psikologis. a) Sistem saraf otonom Stresor dapat menyebabkan pelepasan epinefrin dari adrenal melalui mekanisme berikut ini: Ancaman dipersepsi oleh panca indera, diteruskan ke korteks serebri, kemudian ke sistem limbik dan RAS (Reticular Activating System), lalu ke hipotalamus dan hipofisis. Kemudian kelenjar adrenal mensekresikan katekolamin dan terjadilah stimulasi saraf otonom (Mudjaddid, 2006). Hiperaktivitas sistem saraf otonom akan mempengaruhi berbagai sistem organ dan menyebabkan gejala tertentu, misalnya: kardiovaskuler (contohnya: takikardi), muskuler (contohnya: nyeri kepala), gastrointestinal (contohnya: diare), dan pernafasan (contohnya: nafas cepat). b) Neurotransmite Tiga neurotransmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan adalah norepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Norepinefrin Pasien yang menderita gangguan kecemasan mungkin memiliki sistem noradrenergik yang teregulasi secara buruk. Badan sel sistem noradrenergik terutama berlokasi di lokus sereleus di pons rostral dan aksonnya keluar ke korteks serebral, sistem limbik, batang otak, dan medula spinalis. Percobaan pada primata menunjukkan bahwa stimulasi lokus sereleus menghasilkan suatu respon ketakutan dan ablasi lokus sereleus menghambat kemampuan binatang untuk membentuk respon ketakutan. Pada pasien dengan gangguan kecemasan, khususnya gangguan panik, memiliki kadar metabolit noradrenergik yaitu 3-methoxy-4-hydroxyphenylglycol (MHPG) yang meninggi dalam cairan serebrospinalis dan urin. Serotonin Badan sel pada sebagian besar neuron serotonergik berlokasi di nukleus raphe di batang otak rostral dan berjalan ke korteks serebral, sistem limbik, dan hipotalamus. Pemberian obat serotonergik pada binatang menyebabkan perilaku yang mengarah pada kecemasan. Beberapa laporan menyatakan obat-obatan yang menyebabkan pelepasan serotonin, menyebabkan peningkatan kecemasan pada pasien dengan gangguan kecemasan. Gamma-aminobutyric acid (GABA) Peranan GABA dalam gangguan kecemasan telah dibuktikan oleh manfaat benzodiazepine sebagai salah satu obat beberapa jenis gangguan kecemasan. Benzodiazepine yang bekerja meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor GABA terbukti dapat mengatasi gejala gangguan kecemasan umum bahkan gangguan panik. Beberapa pasien dengan gangguan kecemasan diduga memiliki fungsi reseptor GABA yang abnormal (Kaplan dan Saddock, 2010). Faktor budaya juga merupakan salah satu penyebab kecemasan yang penting. Pekerjaan, pendidikan, institusi agama, dan sosial budaya semuanya dapat menjadi konflik yang menyebabkan kecemasan (Solomon 1974). II. 2. Patofisiologi Model noradrenegik, karena model ini meunjukkan bahwa system saraf otonomik pada penderita ansietas, hipersensitif dan bereaksi berlebihan terhadap berbagai rangsangan. Locus keruleus mempunyai peranan dalam mengatur ansietas yaitu dengan mengaktivasi pelepasan norepinephrin (NE) dan merangsang system ssaraf simpatik dan parasimpatik. Aktivitas berlebihan NE yang kronik menurunkan jumlah aZ adrenoreseptor pada penderita gangguan kecemasan pasca trauma. Pasien dengan gangguan kecemasan social tampak memiliki respon adrenokortikal yang berlebihan terhadap tekanan kejiwaan/psikologis. Model reseptor asam 𝛾 − 𝑎𝑚𝑖𝑛𝑜𝑏𝑢𝑡𝑦𝑟𝑎𝑡𝑒 (GABA). GABA merupakan neurotransmitter inhibitor utama di system saraf pusat (SSP). Pada umumnya sasaran/target obat-obat antiansietas adalah reseptor GABAA. Benzodiazepin (BZ) meningkatkan atau mengurangi efek penghambatan GABA, dimana benzodiazepine mempunyai efek pengontrolan atau penghambatan yang kuat pada system serotonin (5-HT), NE, dan dopamine (DA). Gejala ansietas mungkin berhubungan dengan penurunan aktivitas GABA atau penurunan jumlah reseptor pusat BZ. Panda penderita GAD, ikatan BZ di lobus temporalis kiri dikurangi. Sensitivitas abnormal terhadap sifat antagonis tempat ikatan benzodiazepine dan pengurangan ikatan ditunjukkan pada kondisi kepanikan/ panic disorder. Respon hormone pertumbuhan (growth hormone) terhadap baclofen pada penderita SAD pada umumnya menunjukkan adanya ketidaknormalan pada fungsi reseptor GABAB pusat. Ketidaknormalan pengahambatan GABA dapat menyebabkan peningkatan respon terhadap tekanan/stress pada penderita PTSD. Model serotonin (5-HT). Gejala-gejala GAD menggambarkan transmisi 5-HT yang berlebihan atau rangsangan berlebihan pada jalur stimulasi 5-HT. pasien SAD mempunyai respon prolaktin yang lebih besar terhadap rangsangan buspiron, menunjukkan peningkatan respon serotogenik pusat. Peranan 5-HT pada gangguan kepanikan tidak jelas, tetapi mungkin berperan pada perkembangan anticipatory anxiety. Data awal menunjukkan bahwa 5-HT dan 5- HTZ metaklorofenilpiperasin (mCPP) antagonis menyebabkan peningkatan ansietas pada penderita PTSD. Penderita PTSD mengalami hipersekresi factor pelepasan kortikotropin, tetapi menunjukkan tingkat kortisol yang subnormal pada saat trauma dan berlangsung kronis. Gangguan pengaturan di hypothalamuspituitarui-adrenal merupakan faktor resiko perkembangan akhir PTSD. Penelitian neuroimaging fungsional menunjukkan bahwa bagian depan dan posterior (occipital) otak merupakan bagian penting dalam respon ansietas. Penderita gangguan kepanikan memiliki aktivasi abnormal pada daerah parahippocampal dan korteks prefrontal dalam keadaan istirahat. Panic kecemasan berhubungan dengan aktivasi batang otak dan daerah ganglia basal. Penderita GAD mengalami peningkatan abnormal aktivitas kortikal dan penurunan aktivitas ganglia basal. Pada penderita SAD, mungkin terdapat ketidaknormalan di amigdala, hippocampus, dan beberapa daerah kortikal. Rendahnya volume hippokampal pada penderita PTSD mungkin merupakan precursor perkembangan lanjut PTSD. II. 3. Penggolongan Ansietas 1) Gangguan Kepanikan/Panic Disorder Umumnya gejala dimulai dengan rangkaian serangan panik (panic attack) yang tidak diduga. Hal ini diikuti dengan ketakutan terus-menerus minimal satu bulan akan munculnya serangan panik yang lain. Banyak penderita yang akhirnya mengalami agoraphobia, dimana penderita-penderita tersebut menghindari tempat-tempat tertentu (contoh: tempat yangg ramai, jembatan) yang membuat mereka merasa khawatir serangan panik akan terjadi. Penderita menjadi orang yang takut keluar rumah. 2) Gangguan Kecemasan Sosial/ Social Anxiety Disorder (SAD) Ciri-ciri utama SAD adalah perasaan takut yang kuat, irasional, dan terus menerus akan dinilai negatif dalam kehidupan sosial atau penampilannya. Paparan terhadap situasi yang ditakuti biasanya menimbulkan serangan panik. Ketakutan dan perilaku menghindar dari situasi-situasi tersebut mengganggu aktivitas rutin sehari-hari tau kehidupan sosial/pekerjaan. SAD merupakan penyakit kronis yang rata-rata mulai muncul pada usia remaja. Pada subtipe umum, ketakutan muncul pada situasi-situasi sosial dimana hal yang memalukan dapat terjadi. Pada subtipe lain, ketakutan hanya terbatas pad satu atau dua kondisi (contoh: tampil, berbicara di depan umum). 3) Fobia Spesifik/ Specific Phobia Ciri khas utama yaitu ketakutan yang luar biasa dan terus menerus terhadap obyek atau situasi tertentu, seperti hujan angin ribut disertai petir dan guruh, hewan, atau ketinggian. Penderita-penderita ini tidak mengalami gangguan serius dalam kehidupan kesehariannya karena mereka hanya perlu menghindari obyek-obyek yang ditakuti. Fobia spesifik tidak dapat diatasi dengan terapi obat tetapi lebih memberi respon pada terapi terilaku/psikologis. 4) Gangguan Stress Pasca Trauma/ Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pada PTSD, paparan terhadap suatu kejadian yang traumatik dengan segera menyebabkan rasa takut yang hebat, tidak berdaya, atau ngeri Penderita harus menunjukkan satu gejala ynag berulang, tiga tanda atau gejala menghindar terus menerus terhadap pemicu trauma, dan sedikitnya dua gejalagejala arousal yang meningkat (kepekaan terhadap rangsangan sensoris atau eksitabilitas, kegiatan yang merangsang uuntuk siaga atau bertindak. Sepertiga dari pasien PTSD memounyai prognosis yang buruk, dan sekitar 80% mengalami depresi dan kecemasan secara bersamaan. Lebih dari setengah pasien PTSD mempunyai kecenderungan penyalahgunaan atau ketergantungan alkohol yang berlangsung secara bersamaan, dan sekitar 20% pasien mencoba bunuh diri II. 3. Gejala Klinis Keluhan dan gejala umum yang berkaitan dengan kecemasan dapat dibagi menjadi gejala somatik dan psikologis. 1) Gejala somatik a) Keringat berlebih. b) Ketegangan pada otot skelet: sakit kepala, kontraksi pada bagian belakang leher atau dada, suara bergetar, nyeri punggung. c) Sindrom hiperventilasi: sesak nafas, pusing, parestesi. d) Gangguan fungsi gastrointestinal: nyeri abdomen, tidak nafsu makan, mual, diare, konstipasi. d) Iritabilitas kardiovaskuler: hipertensi, takikardi. e) Disfungsi genitourinaria: sering buang air kecil, sakit saat berkemih, impoten, sakit pelvis pada wanita, kehilangan nafsu seksual. 2) Gejala psikologis a) Gangguan mood: sensitif sekali, cepat marah, mudah sedih. b) Kesulitan tidur: insomnia, mimpi buruk, mimpi yan berulang-ulang. c) Kelelahan, mudah capek. d) Kehilangan motivasi dan minat. e) Perasaan-perasaan yang tidak nyata. f) Sangat sensitif terhadap suara: merasa tak tahan terhadap suara-suara yang sebelumnya biasa saja. g) Berpikiran kosong, tidak mampu berkonsentrasi, mudah lupa. h) Kikuk, canggung, koordinasi buruk. i) Tidak bisa membuat keputusan: tidak bisa menentukan pilihan bahkan untuk hal-hal kecil. j) Gelisah, resah, tidak bisa diam. k) Kehilangan kepercayaan diri. l) Kecenderungan untuk melakukan segala sesuatu berulang-ulang. m) Keraguan dan ketakutan yang mengganggu. n) Terus menerus memeriksa segala sesuatu yang telah dilakukan. II. 4. Penatalaksanaan Terapi Algoritma terapi 1) Gangguan Kecemasan Umum/ Generalized Anxiety Disorder (GAD) 2) Gangguan Kecemasan Sosial/ Social Anxiety Disorder (SAD) 3) Gangguan Kepanikan/Panic Disorder 4) Gangguan Stress Pasca Trauma/ Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pasien yang menderita PTSD diberikan obat golongan SSRI. Apabila terdapat respon, pengbotan dilanjutkan hingga 12-24 bulan. Apabila tidak ada respon, maka pengobatan diganti menggunakan TCA, jika tidak ada respon maka diganti dengan phenelzine atau lamotigrin. Jika terdapat respon, maka pengobatan dilanjutkan selama 12-24 bulan. TERAPI NON FARMAKOLOGI 1. Psikoterapi Memberikan informasi selalu menjadi langkah awal dalam menolong pasien ansietas, yang mana informasi yang diberikan harus sesuai dengan kadarnya dan selalu memberikan harapan yang besar bagi setiap individu untuk sembuh. Kebanyakan pasien menginginkan sebuah kejelasan dan informasi mengenai kondisi yang sedang ia alami, dengan melakukan tindakan tadi, menunjukkan kepada pasien bahwa mereka benar-benar diperdulikan dan dirawat. Komunikasi yang efektif adalah esensial dalam pemberian informasi, dokter-dokter terlatih dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan terbuka dari pasien, mampu memahami kondisi psikis, dan kemampuan memberikan nasehat-nasehat yang baik sangat dibutuhkan, sehingga akan tercipta komunikasi yang efektif. Yang mana akan mampu membantu pasien dalam mengurangi beban psikisnya(House cit Stark, 2002).Berikut ini cara-cara psikoterapi yang dapat dilakukan: 1. Ajarkan membuat keterampilan dan resolusi konflik 2. Meningkatkan kepercayaan diri 3. Meningkatkan kontrol diri 4. Mendorong pertumbuhan emosional 5. Mendorong pasien untuk mengekspresikan diri 2. Terapi Perilaku Terapi lainnya yang dapat dilakukan adalah terapi behavioral, yaitu terapi konseling yang memfokuskan pada kegiatan atau tindakan yang harus dilakukan oleh pasien. Dalam hal ini seorang pasien harus melakukan berbagai aktivitas untuk menghilangkan gejala kecemasan, dimana aktivitas tersebut dapat berupa aktivitas pada lingkungan tempat tinggal, aktivitas keagamaan dan lain sebagainya. Berikut ini beberapa aktivitas yang dapat dilakukan oleh pasien, meliputi: 1. Relaksasi otot progresif 2. Pelatihan relaksasi Meditasi Yoga 3. Pelatihan pernafasan Ambil napas dalam-dalam Biarkan napas melalui bibir mengerucut 3. Terapi kognitif Selain itu terapi kognitif juga dapat dilakukan, yaitu terapi dengan cara mengajak pasien untuk memecahkan berbagai masalah dengan cara berkomunikasi langsung dengan orang yang sudah sembuh dari penyakit anxietas. Adapun hal-hal yang perlu dipertanyakan oleh pasien dalam hal ini kepada orang yang sudah pernah sembuh dari anxietas adalah: 1. Tentang bagaimana orang tersebut melihat penyakit anxietas, 2. Bagaimana pemikiran seseorang tersebut tentang masalah yang akan ditimbulkan anxietas, 3. Bagaimana emosi seseorang yang mengelilingi masalah tersebut, 4. Perasaan fisik yang dialaminya ketika mengidap anxietas, 5. Serta tindakan orang tersebut, sebelum, selama, dan setelah masalah muncul. 4. Terapi secara umum 1. Mendorong gaya hidup sehat sebagai tambahan untuk pengobatan 2. Latihan Fisik harian,seperti:berjalan, tennis, senam aerobik, persepedaan 3. Pertimbangkan hobi baru 4. Hindari penggunaan alkohol 5. Hindari penggunaan tembakau 6. Hindari Kafein 7. Hindari Penyalahgunaan Zat TERAPI FARMAKOLOGI ANSIOLITIK Ansiolitik, merupakan kelompok obat antiansietas, yang disebut juga sebagai agen sedatif-hipnotik. Kelompok utama dari ansiolitik adalah benzodiazepin (kelompok minor tranquilizer). Ansietas dalam batas-batas tertentu dapat dianggap normal; tetapi jika ansietas berlebihan dan dapat menggangu, maka mungkin perlu diberikan antiansietas. Kerja dari antiansietas menyerupai sedatif-hipnotik, tetapi tidak seperti antipsikotik. Ada dua jenis ansietas—primer dan sekunder. Ansietas primer tidak disebabkan oleh keadaan pengobatan atau pemakaian obat; ansietas sekunder berkaitan dengan pemakaian obat-obat tertentu atau gangguan medis atau psikiatrik. Antiansietas biasanya tidak diberikan untuk ansietas sekunder kecuali jika masalah medis yang ada tidak dapat diatasi, berat atau menimbulkan ketidakmampuan . Dalam hal ini, obat dapat diberikan untuk jangka pendek untuk menghilangkan serangan ansietas akut. Pemakaian jangka panjang dari antiansietas tidak dianjurkan karena toleransi dapat terjadi dalam waktu beberapa minggu atau bulan, tergantung dari agen obatnya. Toleransi obat dapat terjadi kurang dari 2-3 bulan untuk meprobamat dan fenobarbital. Beberapa dari gejala-gejala serangan ansietas akut atau yang berat adalah sesak napas, rasa tercekik, nyeri dada, palpitasi jantung, pusing, pingsan, berkeringat, menggeletar dan gemetar. Tindakan-tindakan nonfarmakologi harus dilakukan untuk mengurangi ansietas sebelum memberikan antiansietas. Tindakan-tindakan ini dapat berupa menggunakan teknik relaksasi, psikoterapi, atau kelompok pendukung. Benzodiazepin Benzodiazepin mempunyai banyak kegunaan, seperti antikonvulsi, antihipertensi, sedatif-hipnotik, obat-obat preoperasi, dan antiansietas. Kebanyakan dari benzodiazepin dipakai terutama untuk ansietas yang berat atau yang berkepanjangan; contohnya adalah klordiazepoksid (Librium), diazepam (Valium), klorazepat dipotassium (Tranxene), oksazepam (Serax), lorazepam (Ativan), alprazolam (Xanax), prazepam (Centrax), dan halazepam (Paxipam). Benzodiazepin bersifat larut dalam lemak dan cepat diabsorpsi dari saluran gastrointestinal. Obat-obat ini tinggi berikatan dengan protein (>80%). Obat-obat ini dapat menggantikan obat lain yang juga tinggiberikatan dengan protein, sehingga dosis obat untuk klien dengan penyakit hati atau ginjal harus dikurangi untuk menghindari terjadinya kemungkinan efek penumpukan. Sisa-sisa metabolit benzodiazepin dapat ditemukan pada urine berminggu atau berbulan-bulan setelah obat tersebut menghentikan pemakaian obat. Obat-obat ini tergolong dalam kategori IV. Pada tahun 1962, benzodiazepin pertama, klodiazepoksid (Libriu,), banyak dipakai untuk efek sedatifnya. Diazepam (Valium) merupakan obat yang paling sering diresepkan pada awal tahun 1970an dan dikenal sebagai “obat ajaib” oleh banyak orang. Meskipun waktu paruhnya panjang, diazepam dianggap sebagai obat aman karena takar lajak obat ini dalam jumlah besar tidak mengakibatkan kematian. Dianjurkan agar benzodiazepin diresepkan selama 3-4 bulan. Setalah 4 bulan, efektifitas obat ini akan berkurang. Tabel 15-3 memuat antiansietas, dosis, pemakaian dan pertimbangan pemakaiannya. Sebelum dipakai benzodiazepin, obat propandiol, meprobamat (Equanil,Miltown) dipakai untuk mengobati ansietas. Meprobamat lebih disukai pemakaiannya daripada barbiturat karena mempunyai efek samping yang lebih sedikit. Kini, meprobamat kadang-kadang diresepkan untuk meredakan ansietas dalam jangka pendek dan untuk efek pelemas ototnya. Alkohol harus dihindari ketika memakai meprobamat. Hidroksizin hidroklorida (Atarax, Vistaril) dan difenhidramin hidroklorida (Benadryl) merupakan antihistamin. Obat-obat ini menimbulkan rasa mengantuk dan mempunyai efek sedatif dan dipakai untuk meredakan ansietas dalam jangka pendek. Karena obat-obat ini tidak menyebabkan toleransi, maka obat-obat ini dapat dipakai untuk sementara sewaktu obat antiansietas lain telah disalahgunakan. Antiansietas terbaru yaitu buspiron hidroklorida (Buspar), dikembangkan untuk meredakan ansietas. Obat ini tidak mempunyai banyak efek samping seperti pada benzodiazepin, seperti sedasi dan ketergantungan fisik dan psikologis. Buspiron mungkin tidak akan efektif setelah pemakaian terus menerus selama 1-2 minggu. Efek Samping dan Reaksi yang Merugikan Efek samping dari benzodiazepin adalah efek sedasi, pusing, sakit kepala, mulut kering, penglihatan kabur, kadang-kadang inkotinensia urine, dan konstipasi. Reaksi yang merugikan adalah lekopenia (menurunnya jumlah sel darah putih) dengan gejala-gejala demam, malaise, dan nyeri tenggorokan; toleransi terhadap dosis obat pada pemakaian yang terus menerus; dan ketergantungan fisik. Benzodiazepin tidak boleh dengan mendadak dihentikan karena gejalagejala putus obat akan mungkin terjadi. Gejala-gejala putus obat akibat benzodiazepin mirip dengan yang ada pada sedatif-hipnotik (aglitasi, gelisah, kejang otot, berkeringat); tetapi gejala-gejala ini lebih lambat berkembangnya, membutuhkan 2-10 hari dan dapat berlangsung selama beberapa minggu. Untuk menghentikan benzodiazepin, dosis obat harus secara bertahap diturunkan dalam beberapa hari tergantung dari dosis dan lama pemakaian obat. Alkohol dan penekan SSP lainnya tidak boleh dipakai bersama benzodiazepin, karena dapat terjadi depresi pernapasan. Merokok, kafein, dan simpatomimetik mengurangi efektifitas dari benzodiazepin. Benzodiazepin merupakan kontraindikasi selama kehamilan akibat kemungkinan terjadinga efek teratogenik pada janin. Proses Keperawatan: Ansiolitik Pengkajian Dapatkan riwayat sebab-sebab yang mungkin dari reaksi ansietas klien. Tentukan sistem pendukung klien (keluarga, teman atau kelompok), jika ada. Dapatkan riwayat pengobatan klien. Catat jika ada obat yang dipakai klien dapat menimbulkan interaksi. Perencanaan Ansietas dan stress klien akan berkurang melalui metode nonfarmakologik, obat-obat antiansietas, atau terapi psikologik atau kelompok. Intervensi Keperawatan Amati klien untuk terjadinya efek samping dari antiansietas. Ingat bahwa toleransi obat, ketergantungan fisik dan psikologis dapat terjadi pada pemakaian kebanyakan antiansietas, terutama benzodiazepin. Anjurkan keluarga untuk mendukung klien. PENYULUHAN KEPADA KLIEN Beritahu klien cara-cara untuk mengendalikan stress dan ansietas yang berlebihan, seperti teknik relaksasi. Beritahu klien untuk tidak minum alkohol atau memakai penekan SSP lain, seperti narkotik, sewaktu menggunakan antiansietas. Kombinasi dari obat-obat ini dapat menambah depresi dari SSP dan pernapasan. Beritahu klien bahwa respons efektif dari obat antiansietas dapat membutuhkan waktu 1-2 minggu. Anjurkan klien untuk tetap pada regimen obat dan melakukan pemeriksaan laboratorium pada waktu-waktu tertentu. Beritahu klien untuk tidak dengan mendadak menghentikan pemakaian antiansietas setelah memakainya dalam jangka panjang, karena dapat terjadi gejala-gejala putus obat. Nasehatkan klien untuk tidak mengemudikan mobil atau menjalankan peralatan yang berbahaya ketika memakai antiansietas karena sedasi merupakan efek samping yang sering terjadi. Anjurkan klien untuk melaporkan efek samping kepada dokter karena dosis obat mungkin perlu diubah. Evaluasi Evaluasi efektifitas terapi obat dengan menentukan apakan ansietas klien berkurang dan lebih dapat mengatasi stress dan kecemasannya. Tentukan apakah klien memakai obat antiansietas seperti yang diresepkan dan patuh pada instruksi dalam penyuluhan kepada klien. Busporin Busporin merupakn obat ansietas golongan nonbenzodiazepin, agonis parsial 5HT-1A yang mempunyai efek antikejang, relaksasi otot, sedatif-hipnotik, kegagalan motorik dan ketergantungannya kurang. Merupakan obat kini kedua untuk GAD karena kurang konsistennya laporan efikasi, untuk penderita depresi dan gangguan kecemasan (contoh: gangguan kepanikan atau SAD). Farmakologi dan mekanisme aksi: Mekanisme aksinya masih belum diketahui secara pasti. Diduga dengan menekan efek kecemasan pada aktivitas agonis parial 5HT-1A pada presinaptik respetor 5-HT dengan mengurangi pencopotan neuron 5-HT. Tidak seperti benzodiazepin, busporin efeksif untuk gejala kognitif pada ansietas. Farmakokinetik: Setelah pemberian secara oral, busporin akan cepat diabsorbsi dan mengalami first pass metabolisme. Busporin mempunyai nilai t1/2 eliminasi 2,5 jam dan dapat diberikan 2-3 kali sehari. Efek samping: Efek samping meliputi pusing, mual, dan perasaan kepala berputar. Interaksi obat: Busporin dapat meningkatkan level siklosporin dan haloperidol dan meningkatkan tekanan darah penderita yang juga mengkonsumsi penghambat Monoamin oksidase (penghambat MAO). Verapamil, diltizem, itrakonazol, fluvoksamin, nefazadon, dan eritromisin meningkat dan rifampin menurunkan buspiron dalam darah. Pengaturan dosis: Dosis awal busporin 7,5mg dua kali sehari, dengan penambahan dosis 5mg/hari setiap 2-3 hari jika diperlukan. Dosis lazim terapi 3060mg/hari. Awal mula efek ansiolitik terlihat setelah dua minggu atau lebih; pencapaian keuntungan yang maksimum bagi penderiata memerlukan 4-6 minggu. Tidak berguna pada situasi yang memerlukan efek antikecemasan yang cepat atau hhanya digunakan jika diperlukan. Ketika mengubah penggunaan BZ ke busporin, BZ harus dihentikan secara bertahap. ANTIDEPRESAN Tricyclic Antidepressant (TCA) Efikasi: imipramin mengurangi serangan panik hingga 75% pada penderita panik disorder. Imipramin memblok serangan panik secara efektif kurang dari 4 minggu, maksimal perbaikan (respon antipanik) tidak terjadi antara 8-12 minggu. Rangkaian respom pasien adalah dengan menurunnya serangan panik, mengurangi kecemasan, diikuti penurunan agoraphobia. Mekanisme kerja: mekanisme kerja antidepresan trisiklik masih belum dikeatahui. Diduga bahwa efeknya disebabkan oleh penghambatan reuptake dari pelepasan biogenik monoamin, seperti norepinefrin, dan serotonin, diujung saraf pada sistem saraf pusat. Efek samping: umumnya menyebabkan sedasi, hipotensi ortostatik, efek antikolinergik, dan penambahan berat badan. Pada overdosis, TCA menjadi sangat toksik. Pengaturan dosis: dosis awal adalah 10 mg/hari sebelum tidur, dosis ditingkatkan secara perlahan 100mg setiap 2-4 hari. Dosis lazim terapi 75100mg/hari, kemudian ditingkatkan 25mg setiap 2-4 hari hingga 2-4 minggu. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI) Studi klinik menunjukkan bahwa semua SSRI efektik digunakan untuk panik disorder persentasinya adalah 60%-80%. Efek samping: meliputi mual, muntah, diare , dan disfungsi seksual. Sakit kepala, insomnia, dan keletihan juga sering dilaporkan. Pengaturan dosis: penggunaan dosis rendah dangat dianjurkan, hal ini dilakukan untuk menghindari efek samping timbul seperti insomnia. Dosis awal yang digunakan untuk ansietas lebih rendah dibandingkan untuk depresi. Paroxetine dapat ditingkatkan 10mg/minggu hungga dicapai dosis 40mg. Dosis awal fluoxetin adalah 5mg/hari, dan dapat ditingkatkan setiap 2-3 hari hingga mencapai rentang dosis 10-20mg/minggu. Fluvoksamin dapat ditingkatkan hingga 150mg/hari. Monoamine Oxidase Inhibitors (MAO) Monoamin oksidase (MAO) adalah enzim yang berperan dalam proses deaminasi oksidatif dari amin sekunder dan tersier, seperti amin-amin transmitter, tiramin dan benilamin, membentuk aldehid, amonia, dan hidrogen peroksida Mekanisme kerja: penghambatan monoamin oksidase bekerja sebagai antidepresi dengan cara memblok reuptake dopamin denagn mencegah proses oksidasi amin tersebut sehingga menyebabkan peningkatan kadar dopamin dalam tubuh. Pengaturan dosis: Dosis awal phenelzine adalah 15 mg / hari setelah makan malam, meningkat 15 mg / hari setiap 3-4 hari sampai dosis minimal 45 mg / hari ( dua atau tiga dosis terbagi ) sudah tercapai .Dosis dapat ditingkatkan (sampai 90 mg / hari ) jika perbaikan tidak tercapai setelah 8 sampai 12 minggu . Jika seorang pasien diberikan antidepresan sebelumnya , harus dihentikan 2 minggu sebelum phenelzine dimulai untuk mencegah interaksi obat yang potensial . Fluoxetine harus dihentikan 5 minggu sebelum phenelzine ( atau yang lain MAOI ) dapat dimulai. KASUS Seorang pasien (wanita) Ny.B.M. (usia 32 th) dikonsul ke poliklinik Psikiatri dengan keluhan jantung berdebar-debar, keringat dingin, perut mulas, dan pusing. Keluhan ini telah berlangsung sejak 3 tahun yang lalu. Sehari sebelumnya pasien pingsan tak sadarkan diri. Dari auto dan alloanamnesis (dari suami pasien), didapatkan hal-hal sebagai berikut : keluhan utama/alasan berobat/alasan perawatan, pasien pingsan tak sadarkan diri pada saat akan berpidato di depan undangan, saat pelantikan pasien sebagai Kepala Bagian. Pasien dibawa ke institusi gawat darurat. Setelah tenang, disarankan untuk konsultasi ke poliklinik Psikiatri. Dari anamnnesy diperoleh kesan pasien tidak akan mengikuti kegiatan bila harus berhadapan pada situasi publik (sosial) lainnya. Selalu dalam pikirannya sudah tersedia jawaban bahwa “saya tidak bisa dan akan malumaluin“. Pada pertemuan khusus, misalnya resepsi perkawinan yang mengharuskan pasien bersama suaminya pergi ke tempat tersebut, selalu tersedia jawaban, lebih baik saya “ tinggal di rumah, kasihan anakanak tidak mempunyai teman.“ guna menolak ajakan. Deskripsi umum menunjukkan, pasien tampak gelisah, mengeluh dadanya sakit, kesemutan yang menjalar ke lengan kiri, deg-degan, pusing, keringat dingin dan mual. Sikap terhadap pemeriksa: koperatif, pembicaraan lancar, tingkah laku motorik dalam batas normal. Tidak diketemukan tanda-tanda psikopatologis lainnya, dalam proses pikir, alam perasaan, tingkah laku motorik, persepsi, sensorium dan kognisi, orientasi, daya ingat, dan konsentrasi. Daya menilai realitas: baik. Penghayatan terhadap penyakit : tingkat V (intelektual). Pasien mengeluh dadanya sakit, disertai nyeri yang menjalar pada daerah lengan kiri yang berasal dari daerah dada, dan untuk menyikirkan kelainan gangguan kardiovaskular pasien dikonsulkan ke dokter ahli jantung. Dilakukan pemeriksaan elektrokardiograf dan tidak didapatkan kelainan elektrokardiogram (EKG). Dan pemeriksaan echocardiography, menunjukkan hasil sebagai berikut, dimensi ruang: ruang jantung normal. Left ventricle (LV): tebal normal. Fungsi sistolik : baik, normokinetik, semua segmen dan katub-katub jantung: normal. Diagnostic impression dari pada jantung: Fungsional normal dan tidak tampak gangguan kinetik. Karena ada keluhan mulas, pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam, namun tidak didapatkan kelainan yang signifikan. Kesan pemeriksaan psikiatris: fobia sosial. Analisis SOAP 1. Subjek Jenis kelamin : Wanita Usia : 32 tahun Pasien mengeluhan jantung berdebar-debar, keringat dingin, perut mulas, dan pusing. Keluhan ini telah berlangsung sejak 3 tahun yang lalu. Sehari sebelumnya pasien pingsan tak sadarkan diri. Dari auto dan alloanamnesis (dari suami pasien), didapatkan hal-hal sebagai berikut : keluhan utama/alasan berobat/alasan perawatan, pasien pingsan tak sadarkan diri pada saat akan berpidato di depan undangan, saat pelantikan pasien sebagai Kepala Bagian. 2. Objek Deskripsi umum : pasien tampak gelisah, mengeluh dadanya sakit, kesemutan yang menjalar ke lengan kiri, deg-degan, pusing, keringat dingin dan mual. Sikap terhadap pemeriksa : koperatif, pembicaraan lancar, tingkah laku motorik dalam batas normal. Tidak diketemukan tanda-tanda psikopatologis lainnya, dalam proses pikir, alam perasaan, tingkah laku motorik, persepsi, sensorium dan kognisi, orientasi, daya ingat, dan konsentrasi. Daya menilai realitas: baik. Penghayatan terhadap penyakit : tingkat V (intelektual). Pasien mengeluh dadanya sakit, disertai nyeri yang menjalar pada daerah lengan kiri yang berasal dari daerah dada. Pemeriksaan EKG : tidak didapatkan kelainan elektrokardiogram. Pemeriksaan echocardiography : dimensi ruang: ruang jantung normal. Left ventricle (LV): tebal normal. Fungsi sistolik : baik, normokinetik, semua segmen dan katub-katub jantung: normal. Diagnostic impressiondari pada jantung : Fungsional normal dan tidak tampak gangguan kinetik. Karena ada keluhan mulas, pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam, namun tidak didapatkan kelainan yang signifikan. Kesan 3. Pemeriksaan psikiatris: fobia sosial Assesment Fobia sosial merupakan gangguan anxietas, dibutuhkan obat yang secara langsung dapat mengurangi anxietas. Pemeriksaan EKG dan ecocardiography menunjukkan tidak ada kelainan sehingga tidak membutuhkan pengobatan. 4. Planning Terapi farmakologi : Obat yang diberikan untuk mengatasi fobia sosial adalah golongan Benzodiazepin yaitu Klonazepam dengan dosis 0,25mg per hari. Obat ini dipilih karena pasien sempat tidak sadarkan diri (pingsan) sehingga perlu diobati segera dan pasien tidak memiliki riwayat penyalahgunaan obat. Jika timbul respon maka pengobatan dapat dilanjutkan hingga 12 bulan. Kombinasi dengan β-blocker bertujuan untuk mengatasi gejala aurosal dari oonomik perifer yang muncul (denyut jantung cepat, berkeringat, eritema mendadak, dan gemetar) seringkali juga digunakan untuk menurunkan kecemasan dalam situasi yang berkaitan dengan penampilan pasien. Obat yang dipilih Atenolol dengan dosis 25-100 mg yg dapat digunakan 1 jam sebelum tampil di muka umum. Tes dosis harus digunakan dirumah 1 hari sebelum pasien tampil untuk memastikan tidak ada masalah efek samping. Terapi non farmakologi : Psikoterapi Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara terapi kognitif-perilaku dengan farmakoterapi bemanfaat untuk kelainan ini. Kombinasi farmakoterapi dan tetapi kognitif perilaku dapat mempercepat efek atau kerja obat, dan efek terapi dapat bertahan lama walaupun obat telah dihentikan. Keluarga dapat membantu memberikan semangat serta dukungan agar pasien mau mencoba untuk tampil di depan umum. Namun jika dirasa pasien belum mampu tampil sebaiknya tidak memaksakan diri. Menjaga pola hidup yang sehat seperti olahraga, makan dan tidur yang teratur. Sebaiknya menghindari stres yang berlebih agar tidak menimbulkan depresi. BAB III PENUTUP III. 1. Kesimpulan Cemas merupakan suatu sikap alamiah yang dialami oleh setiap manusia sebagai bentuk respon dalam menghadapi ancaman. Gangguan cemas (ansietas) merupakan salah satu bentuk gangguan jiwa yang sering terjadi. Terapi non farmakologi yang bisa diterapkan untuk pasien ansietas adalah psikoterapi, terapi tingkah laku, terapi kognitif, dan terapi lainnya. Terapi farmakologi dapat dengan menggunakan obat golongan ansiolitik dan benzodiazepin. DAFTAR PUSTAKA Katzung B, Masters S, Trevor A. 2006. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. USA: The McGraw-Hill Companies. Syarif A et.al. 2007. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Granger, P. et al. Modulation of the gamma-aminobutyric acid type A receptor by the antiepileptic drugs carbamazepine and phenytoin. Mol. Pharmacol. 47, 1189–1196 (1995). Gelder, M., Mayou, R. and Geddes, J. 2005 Psychiatry. 3rd ed. New York: Oxford. p250. Prawirohusodo, S. 1991. Ansietas, Simposium Gangguan Kecemasan dan Penanggulangannya dalam Praktek Sehari-hari. Ikatan Dokter Ahli Jiwa Indonesia Cabang Surakarta, Surakarta 31 Agustus 1991. Gail, Stuart W. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC. p:144. Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press. p:38, 107, 252-254. House, A.,Stark, D.2002. Anxiety In Medical Patient. BMJ. Sadock ,Benjamin james dan Sadock, Virginia Alcott. 2010. Gangguan ansietas. Dalam : Kaplan & Sadock buku ajar psikiatri klinis. Ed Ke- 2. EGC : Jakarta. Hal 230-233