6057_makalah anxietas

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Cemas merupakan suatu sikap alamiah yang dialami oleh setiap manusia
sebagai bentuk respon dalam menghadapi ancaman. Namun ketika perasaan
cemas itu menjadi berkepanjangan (maladaptif), maka perasaan itu berubah
menjadi gangguan cemas atau anxiety disorders. Beberapa hasil penelitian bahkan
menengarai bahwa gangguan cemas juga merupakan komorbiditas.
Kecemasan timbul akibat adanya respon terhadap kondisi stres atau
konflik. Hal ini biasa terjadi dimana seseorang mengalami perubahan situasi
dalam hidupnya dan dituntut untuk mampu beradaptasi (Solomon, 1974).
Kecemasan akrab sekali
dengan kehidupan
manusia
yang melukiskan
kekhawatiran, kegelisahan, ketakutan dan rasa tidak tentram yang biasanya
dihubungkan dengan ancaman bahaya baik dari dalam maupun dari luar individu
(Prawirohusodo, 1991). Kecemasan merupakan gejala normal pada manusia dan
disebut patologis bila gejalanya menetap dalam jangka waktu tertentu dan
mengganggu ketentraman individu. Kecemasan sangat mengganggu homeostasis
dan fungsi individu, karena itu perlu segera dihilangkan dengan berbagai macam
cara penyesuaian (Maramis, 2005). Kecemasan merupakan gangguan mental
terbesar. Diperkirakan 20% dari populasi dunia menderita kecemasan (Gail, 2002)
dan sebanyak 47,7% remaja sering merasa cemas.
Gangguan cemas (ansietas) merupakan salah satu bentuk gangguan jiwa
yang sering terjadi. Pada tahun 1991, di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi
gangguan cemas pada orang dewasa adalah sebesar 2,9% dari seluruh populasi,
sedangkan di Indonesia diperkirakan ada sebanyak 6-7%. Wanita lebih banyak
mengalami gangguan cemas dibandingkan pria, dengan rentang usia 16-40 tahun.
Dari suatu penelitian yang dilakukan pada kelompok perempuan di sebuah rumah
susun di Klender, Jakarta Timur, diketahui prevalensi ansietas adalah sebesar
9,8%.
Ansietas merupakan gejala utama pada banyak gangguan kejiwaan dan
merupakan komponen yang tidak dapat dihindari pada banyak kondisi medis dan
pembedahan. Pada dasarnya, hal itu merupakan emosi manusia yang umum, yang
sangat berkaitan erat dengan rasa takut yang wajar dan sering bertujuan sebagai
adaptasi secara psikobiologis. Asa umum klinis yang terpenting adalah bahwa
ansietas sendiri jarang yang betul-betul merupakan penyakit. Ansietas yang
lazimnya berkaitan dengan gangguan “psikoneurotik” sebelumnya, tidak mudah
dijelaskan secara bilogis atau psikologis; hipotesis terkini menyatakan bahwa hal
tersebut berkaitan dengan aktivitas sistem adrenergik yang berlebihan atau
gangguan sistem serotonergik di SSP.
Selain itu, gejala ansietas umumnya disertai dengan depresi dan terutama
gangguan distimia (depresi kronik dengan keparahan sedang), gangguan panik,
agorafobia, dan fobia spesifik lain, ganguan obsesif-kompulsif, gangguan
makanan, dan banyak gangguan kepribadian.
I. 2. Tujuan Terapi
1. Menurunkan tingkat keparahan, lama dan frekuensi kekambuhan gejala
dan untuk meningkatkan kemampuan umum penderita secara keseluruhan.
2. Meniadakan serangan panik, menurunkan secara signifikan kecemasan
yang berulang dan ketakutan fobia, dan mengembalikan aktivitas normal
penderita.
3. Menurunkan gejala-gejala psikologi dan menghindarkan fobia dan
meningkatkan keterlibatan dalam aktivitas sosial yang dimiliki.
4. Untuk
menurunkan
gejala-gejala
utama,
ketidakmampuan,
dan
komorbiditas serta meningkatkan kualitas hidup dan kemampuan untuk
mengatasi stress.
I. 3. Sasaran Terapi
1. Jangka pendek :
Menurunkan keparahan dan durasi keluhan ansietas dan memperbaiki
semua fungsi organ yang terlibat.
2. Jangka panjang :
Meremisi dengan meminimalkan/ menghilangkan keluhan ansietas dan
kerusakan organ non fungsional.
BAB II
ISI
II. 1. Etiologi
Ada beberapa teori mengenai penyebab kecemasan:
1) Teori Psikologis
Dalam teori psikologis terdapat 3 bidang utama:
a) Teori psikoanalitik
Freud menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu sinyal kepada ego
yang memberitahukan adanya suatu dorongan yang tidak dapat diterima dan
menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensif terhadap tekanan dari
dalam tersebut. Idealnya, penggunaan represi sudah cukup untuk
memulihkan keseimbangan psikologis tanpa menyebabkan gejala, karena
represi yang efektif dapat menahan dorongan di bawah sadar. Namun jika
represi tidak berhasil sebagai pertahanan, mekanisme pertahanan lain (seperti
konversi, pengalihan, dan regresi) mungkin menyebabkan pembentukan
gejala dan menghasilkan gambaran gangguan neurotik yang klasik (seperti
histeria, fobia, neurosis obsesif-kompulsif).
b) Teori perilaku
Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan disebabkan oleh stimuli
lingkungan spesifik. Pola berpikir yang salah, terdistorsi, atau tidak produktif
dapat mendahului atau menyertai perilaku maladaptif dan gangguan
emosional. Penderita gangguan cemas cenderung menilai lebih terhadap
derajat bahaya dalam situasi tertentu dan menilai rendah kemampuan dirinya
untuk mengatasi ancaman.
c) Teori eksistensial
Teori ini memberikan model gangguan kecemasan umum dimana
tidak terdapat stimulus yang dapat diidentifikasikan secara spesifik untuk
suatu perasaan kecemasan yang kronis.
2) Teori Biologis
Peristiwa biologis dapat mendahului konflik psikologis namun dapat juga
sebagai akibat dari suatu konflik psikologis.
a) Sistem saraf otonom
Stresor dapat menyebabkan pelepasan epinefrin dari adrenal melalui
mekanisme berikut ini: Ancaman dipersepsi oleh panca indera, diteruskan ke
korteks serebri, kemudian ke sistem limbik dan RAS (Reticular Activating
System), lalu ke hipotalamus dan hipofisis. Kemudian kelenjar adrenal
mensekresikan
katekolamin
dan
terjadilah
stimulasi
saraf
otonom
(Mudjaddid, 2006). Hiperaktivitas sistem saraf otonom akan mempengaruhi
berbagai sistem organ dan menyebabkan gejala tertentu, misalnya:
kardiovaskuler (contohnya: takikardi), muskuler (contohnya: nyeri kepala),
gastrointestinal (contohnya: diare), dan pernafasan (contohnya: nafas cepat).
b) Neurotransmite
Tiga neurotransmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan
adalah norepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA).
Norepinefrin
Pasien yang menderita gangguan kecemasan mungkin memiliki
sistem noradrenergik yang teregulasi secara buruk. Badan sel sistem
noradrenergik terutama berlokasi di lokus sereleus di pons rostral dan
aksonnya keluar ke korteks serebral, sistem limbik, batang otak, dan medula
spinalis. Percobaan pada primata menunjukkan bahwa stimulasi lokus
sereleus menghasilkan suatu respon ketakutan dan ablasi lokus sereleus
menghambat kemampuan binatang untuk membentuk respon ketakutan. Pada
pasien dengan gangguan kecemasan, khususnya gangguan panik, memiliki
kadar metabolit noradrenergik yaitu 3-methoxy-4-hydroxyphenylglycol
(MHPG) yang meninggi dalam cairan serebrospinalis dan urin.
Serotonin
Badan sel pada sebagian besar neuron serotonergik berlokasi di
nukleus raphe di batang otak rostral dan berjalan ke korteks serebral, sistem
limbik, dan hipotalamus. Pemberian obat serotonergik pada binatang
menyebabkan perilaku yang mengarah pada kecemasan. Beberapa laporan
menyatakan
obat-obatan
yang
menyebabkan
pelepasan
serotonin,
menyebabkan peningkatan kecemasan pada pasien dengan gangguan
kecemasan.
Gamma-aminobutyric acid (GABA)
Peranan GABA dalam gangguan kecemasan telah dibuktikan oleh
manfaat benzodiazepine sebagai salah satu obat beberapa jenis gangguan
kecemasan. Benzodiazepine yang bekerja meningkatkan aktivitas GABA
pada reseptor GABA terbukti dapat mengatasi gejala gangguan kecemasan
umum bahkan gangguan panik. Beberapa pasien dengan gangguan
kecemasan diduga memiliki fungsi reseptor GABA yang abnormal (Kaplan
dan Saddock, 2010). Faktor budaya juga merupakan salah satu penyebab
kecemasan yang penting. Pekerjaan, pendidikan, institusi agama, dan sosial
budaya semuanya dapat menjadi konflik yang menyebabkan kecemasan
(Solomon 1974).
II. 2. Patofisiologi
Model noradrenegik, karena model ini meunjukkan bahwa system
saraf otonomik pada penderita ansietas, hipersensitif dan bereaksi
berlebihan terhadap berbagai rangsangan. Locus keruleus mempunyai
peranan dalam mengatur ansietas yaitu dengan mengaktivasi pelepasan
norepinephrin (NE) dan merangsang system ssaraf simpatik dan
parasimpatik. Aktivitas berlebihan NE yang kronik menurunkan jumlah aZ
adrenoreseptor pada penderita gangguan kecemasan pasca trauma. Pasien
dengan gangguan kecemasan social tampak memiliki respon adrenokortikal
yang berlebihan terhadap tekanan kejiwaan/psikologis.
Model reseptor asam 𝛾 − 𝑎𝑚𝑖𝑛𝑜𝑏𝑢𝑡𝑦𝑟𝑎𝑡𝑒 (GABA). GABA
merupakan neurotransmitter inhibitor utama di system saraf pusat (SSP).
Pada umumnya sasaran/target obat-obat antiansietas adalah reseptor
GABAA. Benzodiazepin (BZ) meningkatkan atau mengurangi efek
penghambatan
GABA,
dimana
benzodiazepine
mempunyai
efek
pengontrolan atau penghambatan yang kuat pada system serotonin (5-HT),
NE, dan dopamine (DA). Gejala ansietas mungkin berhubungan dengan
penurunan aktivitas GABA atau penurunan jumlah reseptor pusat BZ. Panda
penderita GAD, ikatan BZ di lobus temporalis kiri dikurangi. Sensitivitas
abnormal terhadap sifat antagonis tempat ikatan benzodiazepine dan
pengurangan ikatan ditunjukkan pada kondisi kepanikan/ panic disorder.
Respon hormone pertumbuhan (growth hormone) terhadap baclofen pada
penderita SAD pada umumnya menunjukkan adanya ketidaknormalan pada
fungsi reseptor GABAB pusat. Ketidaknormalan pengahambatan GABA
dapat menyebabkan peningkatan respon terhadap tekanan/stress pada
penderita PTSD.
Model serotonin (5-HT). Gejala-gejala GAD menggambarkan
transmisi 5-HT yang berlebihan atau rangsangan berlebihan pada jalur
stimulasi 5-HT. pasien SAD mempunyai respon prolaktin yang lebih besar
terhadap
rangsangan
buspiron,
menunjukkan
peningkatan
respon
serotogenik pusat. Peranan 5-HT pada gangguan kepanikan tidak jelas,
tetapi mungkin berperan pada perkembangan anticipatory anxiety. Data
awal menunjukkan bahwa 5-HT dan 5- HTZ metaklorofenilpiperasin
(mCPP) antagonis menyebabkan peningkatan ansietas pada penderita
PTSD.
Penderita
PTSD
mengalami
hipersekresi
factor
pelepasan
kortikotropin, tetapi menunjukkan tingkat kortisol yang subnormal pada saat
trauma dan berlangsung kronis. Gangguan pengaturan di hypothalamuspituitarui-adrenal merupakan faktor resiko perkembangan akhir PTSD.
Penelitian neuroimaging fungsional menunjukkan bahwa bagian
depan dan posterior (occipital) otak merupakan bagian penting dalam respon
ansietas. Penderita gangguan kepanikan memiliki aktivasi abnormal pada
daerah parahippocampal dan korteks prefrontal dalam keadaan istirahat.
Panic kecemasan berhubungan dengan aktivasi batang otak dan daerah
ganglia basal. Penderita GAD mengalami peningkatan abnormal aktivitas
kortikal dan penurunan aktivitas ganglia basal. Pada penderita SAD,
mungkin
terdapat ketidaknormalan di amigdala, hippocampus, dan
beberapa daerah kortikal. Rendahnya volume hippokampal pada penderita
PTSD mungkin merupakan precursor perkembangan lanjut PTSD.
II. 3. Penggolongan Ansietas
1) Gangguan Kepanikan/Panic Disorder
Umumnya gejala dimulai dengan rangkaian serangan panik (panic
attack) yang tidak diduga. Hal ini diikuti dengan ketakutan terus-menerus
minimal satu bulan akan munculnya serangan panik yang lain.
Banyak penderita yang akhirnya mengalami agoraphobia, dimana
penderita-penderita tersebut menghindari tempat-tempat tertentu (contoh:
tempat yangg ramai, jembatan) yang membuat mereka merasa khawatir
serangan panik akan terjadi. Penderita menjadi orang yang takut keluar rumah.
2) Gangguan Kecemasan Sosial/ Social Anxiety Disorder (SAD)
Ciri-ciri utama SAD adalah perasaan takut yang kuat, irasional, dan
terus
menerus
akan
dinilai
negatif
dalam
kehidupan
sosial
atau
penampilannya. Paparan terhadap situasi yang ditakuti biasanya menimbulkan
serangan panik. Ketakutan dan perilaku menghindar dari situasi-situasi
tersebut
mengganggu
aktivitas
rutin
sehari-hari
tau
kehidupan
sosial/pekerjaan. SAD merupakan penyakit kronis yang rata-rata mulai
muncul pada usia remaja.
Pada subtipe umum, ketakutan muncul pada situasi-situasi sosial
dimana hal yang memalukan dapat terjadi. Pada subtipe lain, ketakutan hanya
terbatas pad satu atau dua kondisi (contoh: tampil, berbicara di depan umum).
3) Fobia Spesifik/ Specific Phobia
Ciri khas utama yaitu ketakutan yang luar biasa dan terus menerus
terhadap obyek atau situasi tertentu, seperti hujan angin ribut disertai petir dan
guruh, hewan, atau ketinggian. Penderita-penderita ini tidak mengalami
gangguan serius dalam kehidupan kesehariannya karena mereka hanya perlu
menghindari obyek-obyek yang ditakuti. Fobia spesifik tidak dapat diatasi
dengan terapi obat tetapi lebih memberi respon pada terapi terilaku/psikologis.
4) Gangguan Stress Pasca Trauma/ Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Pada PTSD, paparan terhadap suatu kejadian yang traumatik dengan
segera menyebabkan rasa takut yang hebat, tidak berdaya, atau ngeri Penderita
harus menunjukkan satu gejala ynag berulang, tiga tanda atau gejala
menghindar terus menerus terhadap pemicu trauma, dan sedikitnya dua gejalagejala arousal yang meningkat (kepekaan terhadap rangsangan sensoris atau
eksitabilitas, kegiatan yang merangsang uuntuk siaga atau bertindak.
Sepertiga dari pasien PTSD memounyai prognosis yang buruk, dan
sekitar 80% mengalami depresi dan kecemasan secara bersamaan. Lebih dari
setengah pasien PTSD mempunyai kecenderungan penyalahgunaan atau
ketergantungan alkohol yang berlangsung secara bersamaan, dan sekitar 20%
pasien mencoba bunuh diri
II. 3. Gejala Klinis
Keluhan dan gejala umum yang berkaitan dengan kecemasan dapat
dibagi menjadi gejala somatik dan psikologis.
1) Gejala somatik
a) Keringat berlebih.
b) Ketegangan pada otot skelet: sakit kepala, kontraksi pada bagian
belakang leher atau dada, suara bergetar, nyeri punggung.
c) Sindrom hiperventilasi: sesak nafas, pusing, parestesi. d) Gangguan
fungsi gastrointestinal: nyeri abdomen, tidak nafsu makan, mual, diare,
konstipasi.
d) Iritabilitas kardiovaskuler: hipertensi, takikardi.
e) Disfungsi genitourinaria: sering buang air kecil, sakit saat berkemih,
impoten, sakit pelvis pada wanita, kehilangan nafsu seksual.
2) Gejala psikologis
a) Gangguan mood: sensitif sekali, cepat marah, mudah sedih.
b) Kesulitan tidur: insomnia, mimpi buruk, mimpi yan berulang-ulang.
c) Kelelahan, mudah capek.
d) Kehilangan motivasi dan minat.
e) Perasaan-perasaan yang tidak nyata.
f) Sangat sensitif terhadap suara: merasa tak tahan terhadap suara-suara
yang sebelumnya biasa saja.
g) Berpikiran kosong, tidak mampu berkonsentrasi, mudah lupa.
h) Kikuk, canggung, koordinasi buruk.
i) Tidak bisa membuat keputusan: tidak bisa menentukan pilihan bahkan
untuk hal-hal kecil.
j) Gelisah, resah, tidak bisa diam.
k) Kehilangan kepercayaan diri.
l) Kecenderungan untuk melakukan segala sesuatu berulang-ulang.
m) Keraguan dan ketakutan yang mengganggu.
n) Terus menerus memeriksa segala sesuatu yang telah dilakukan.
II. 4. Penatalaksanaan Terapi
Algoritma terapi
1) Gangguan Kecemasan Umum/ Generalized Anxiety Disorder (GAD)
2) Gangguan Kecemasan Sosial/ Social Anxiety Disorder (SAD)
3) Gangguan Kepanikan/Panic Disorder
4) Gangguan Stress Pasca Trauma/ Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Pasien yang menderita PTSD diberikan obat golongan SSRI. Apabila
terdapat respon, pengbotan dilanjutkan hingga 12-24 bulan. Apabila tidak
ada respon, maka pengobatan diganti menggunakan TCA, jika tidak ada
respon maka diganti dengan phenelzine atau lamotigrin. Jika terdapat
respon, maka pengobatan dilanjutkan selama 12-24 bulan.
TERAPI NON FARMAKOLOGI
1. Psikoterapi
Memberikan informasi selalu menjadi langkah awal dalam
menolong pasien ansietas, yang mana informasi yang diberikan harus
sesuai dengan kadarnya dan selalu memberikan harapan yang besar bagi
setiap individu untuk sembuh. Kebanyakan pasien menginginkan sebuah
kejelasan dan informasi mengenai kondisi yang sedang ia alami, dengan
melakukan tindakan tadi, menunjukkan kepada pasien bahwa mereka
benar-benar diperdulikan dan dirawat. Komunikasi yang efektif adalah
esensial dalam pemberian informasi, dokter-dokter terlatih dalam
menghadapi
pertanyaan-pertanyaan
terbuka
dari
pasien,
mampu
memahami kondisi psikis, dan kemampuan memberikan nasehat-nasehat
yang baik sangat dibutuhkan, sehingga akan tercipta komunikasi yang
efektif. Yang mana akan mampu membantu pasien dalam mengurangi
beban psikisnya(House cit Stark, 2002).Berikut ini cara-cara psikoterapi
yang dapat dilakukan:
1. Ajarkan membuat keterampilan dan resolusi konflik
2. Meningkatkan kepercayaan diri
3. Meningkatkan kontrol diri
4. Mendorong pertumbuhan emosional
5. Mendorong pasien untuk mengekspresikan diri
2. Terapi Perilaku
Terapi lainnya yang dapat dilakukan adalah terapi behavioral, yaitu
terapi konseling yang memfokuskan pada kegiatan atau tindakan yang
harus dilakukan oleh pasien. Dalam hal ini seorang pasien harus
melakukan berbagai aktivitas untuk menghilangkan gejala kecemasan,
dimana aktivitas tersebut dapat berupa aktivitas pada lingkungan tempat
tinggal, aktivitas keagamaan dan lain sebagainya.
Berikut ini beberapa aktivitas yang dapat dilakukan oleh pasien,
meliputi:
1. Relaksasi otot progresif
2. Pelatihan relaksasi
 Meditasi
 Yoga
3. Pelatihan pernafasan
 Ambil napas dalam-dalam
 Biarkan napas melalui bibir mengerucut
3. Terapi kognitif
Selain itu terapi kognitif juga dapat dilakukan, yaitu terapi dengan cara
mengajak pasien untuk memecahkan berbagai masalah dengan cara
berkomunikasi langsung dengan orang yang sudah sembuh dari penyakit
anxietas.
Adapun hal-hal yang perlu dipertanyakan oleh pasien dalam hal ini
kepada orang yang sudah pernah sembuh dari anxietas adalah:
1. Tentang bagaimana orang tersebut melihat penyakit anxietas,
2. Bagaimana pemikiran seseorang tersebut tentang masalah yang akan
ditimbulkan anxietas,
3. Bagaimana emosi seseorang yang mengelilingi masalah tersebut,
4. Perasaan fisik yang dialaminya ketika mengidap anxietas,
5. Serta tindakan orang tersebut, sebelum, selama, dan setelah masalah
muncul.
4. Terapi secara umum
1. Mendorong gaya hidup sehat sebagai tambahan untuk pengobatan
2. Latihan Fisik harian,seperti:berjalan, tennis, senam aerobik, persepedaan
3. Pertimbangkan hobi baru
4. Hindari penggunaan alkohol
5. Hindari penggunaan tembakau
6. Hindari Kafein
7. Hindari Penyalahgunaan Zat
TERAPI FARMAKOLOGI
ANSIOLITIK
Ansiolitik, merupakan kelompok obat antiansietas, yang disebut juga
sebagai
agen
sedatif-hipnotik.
Kelompok utama
dari
ansiolitik
adalah
benzodiazepin (kelompok minor tranquilizer). Ansietas dalam batas-batas tertentu
dapat dianggap normal; tetapi jika ansietas berlebihan dan dapat menggangu,
maka mungkin perlu diberikan antiansietas. Kerja dari antiansietas menyerupai
sedatif-hipnotik, tetapi tidak seperti antipsikotik.
Ada dua jenis ansietas—primer dan sekunder. Ansietas primer tidak
disebabkan oleh keadaan pengobatan atau pemakaian obat; ansietas sekunder
berkaitan dengan pemakaian obat-obat tertentu atau gangguan medis atau
psikiatrik. Antiansietas biasanya tidak diberikan untuk ansietas sekunder kecuali
jika masalah medis yang ada tidak dapat diatasi, berat atau menimbulkan
ketidakmampuan . Dalam hal ini, obat dapat diberikan untuk jangka pendek untuk
menghilangkan serangan ansietas akut. Pemakaian jangka panjang dari
antiansietas tidak dianjurkan karena toleransi dapat terjadi dalam waktu beberapa
minggu atau bulan, tergantung dari agen obatnya. Toleransi obat dapat terjadi
kurang dari 2-3 bulan untuk meprobamat dan fenobarbital.
Beberapa dari gejala-gejala serangan ansietas akut atau yang berat adalah
sesak napas, rasa tercekik, nyeri dada, palpitasi jantung, pusing, pingsan,
berkeringat, menggeletar dan gemetar. Tindakan-tindakan nonfarmakologi harus
dilakukan untuk mengurangi ansietas sebelum memberikan antiansietas.
Tindakan-tindakan ini dapat berupa menggunakan teknik relaksasi, psikoterapi,
atau kelompok pendukung.
Benzodiazepin
Benzodiazepin mempunyai banyak kegunaan, seperti antikonvulsi,
antihipertensi,
sedatif-hipnotik,
obat-obat
preoperasi,
dan
antiansietas.
Kebanyakan dari benzodiazepin dipakai terutama untuk ansietas yang berat atau
yang berkepanjangan; contohnya adalah klordiazepoksid (Librium), diazepam
(Valium), klorazepat dipotassium (Tranxene), oksazepam (Serax), lorazepam
(Ativan), alprazolam (Xanax), prazepam (Centrax), dan halazepam (Paxipam).
Benzodiazepin bersifat larut dalam lemak dan cepat diabsorpsi dari saluran
gastrointestinal. Obat-obat ini tinggi berikatan dengan protein (>80%). Obat-obat
ini dapat menggantikan obat lain yang juga tinggiberikatan dengan protein,
sehingga dosis obat untuk klien dengan penyakit hati atau ginjal harus dikurangi
untuk menghindari terjadinya kemungkinan efek penumpukan. Sisa-sisa metabolit
benzodiazepin dapat ditemukan pada urine berminggu atau berbulan-bulan setelah
obat tersebut menghentikan pemakaian obat. Obat-obat ini tergolong dalam
kategori IV.
Pada tahun 1962, benzodiazepin pertama, klodiazepoksid (Libriu,), banyak
dipakai untuk efek sedatifnya. Diazepam (Valium) merupakan obat yang paling
sering diresepkan pada awal tahun 1970an dan dikenal sebagai “obat ajaib” oleh
banyak orang. Meskipun waktu paruhnya panjang, diazepam dianggap sebagai
obat aman karena takar lajak obat ini dalam jumlah besar tidak mengakibatkan
kematian.
Dianjurkan agar benzodiazepin diresepkan selama 3-4 bulan. Setalah 4
bulan, efektifitas obat ini akan berkurang. Tabel 15-3 memuat antiansietas, dosis,
pemakaian dan pertimbangan pemakaiannya.
Sebelum
dipakai
benzodiazepin,
obat
propandiol,
meprobamat
(Equanil,Miltown) dipakai untuk mengobati ansietas. Meprobamat lebih disukai
pemakaiannya daripada barbiturat karena mempunyai efek samping yang lebih
sedikit. Kini, meprobamat kadang-kadang diresepkan untuk meredakan ansietas
dalam jangka pendek dan untuk efek pelemas ototnya. Alkohol harus dihindari
ketika memakai meprobamat.
Hidroksizin hidroklorida (Atarax, Vistaril) dan difenhidramin hidroklorida
(Benadryl) merupakan antihistamin. Obat-obat ini menimbulkan rasa mengantuk
dan mempunyai efek sedatif dan dipakai untuk meredakan ansietas dalam jangka
pendek. Karena obat-obat ini tidak menyebabkan toleransi, maka obat-obat ini
dapat
dipakai
untuk
sementara
sewaktu
obat
antiansietas
lain
telah
disalahgunakan.
Antiansietas terbaru yaitu buspiron hidroklorida (Buspar), dikembangkan
untuk meredakan ansietas. Obat ini tidak mempunyai banyak efek samping seperti
pada benzodiazepin, seperti sedasi dan ketergantungan fisik dan psikologis.
Buspiron mungkin tidak akan efektif setelah pemakaian terus menerus selama 1-2
minggu.
Efek Samping dan Reaksi yang Merugikan
Efek samping dari benzodiazepin adalah efek sedasi, pusing, sakit kepala,
mulut kering, penglihatan kabur, kadang-kadang inkotinensia urine, dan
konstipasi. Reaksi yang merugikan adalah lekopenia (menurunnya jumlah sel
darah putih) dengan gejala-gejala demam, malaise, dan nyeri tenggorokan;
toleransi terhadap dosis obat pada pemakaian yang terus menerus; dan
ketergantungan fisik.
Benzodiazepin tidak boleh dengan mendadak dihentikan karena gejalagejala putus obat akan mungkin terjadi. Gejala-gejala putus obat akibat
benzodiazepin mirip dengan yang ada pada sedatif-hipnotik (aglitasi, gelisah,
kejang otot, berkeringat); tetapi gejala-gejala ini lebih lambat berkembangnya,
membutuhkan 2-10 hari dan dapat berlangsung selama beberapa minggu. Untuk
menghentikan benzodiazepin, dosis obat harus secara bertahap diturunkan dalam
beberapa hari tergantung dari dosis dan lama pemakaian obat. Alkohol dan
penekan SSP lainnya tidak boleh dipakai bersama benzodiazepin, karena dapat
terjadi depresi pernapasan. Merokok, kafein, dan simpatomimetik mengurangi
efektifitas dari benzodiazepin. Benzodiazepin merupakan kontraindikasi selama
kehamilan akibat kemungkinan terjadinga efek teratogenik pada janin.
Proses Keperawatan: Ansiolitik
Pengkajian

Dapatkan riwayat sebab-sebab yang mungkin dari reaksi ansietas klien.

Tentukan sistem pendukung klien (keluarga, teman atau kelompok), jika
ada.

Dapatkan riwayat pengobatan klien. Catat jika ada obat yang dipakai klien
dapat menimbulkan interaksi.
Perencanaan

Ansietas
dan
stress
klien
akan
berkurang
melalui
metode
nonfarmakologik, obat-obat antiansietas, atau terapi psikologik atau
kelompok.
Intervensi Keperawatan

Amati klien untuk terjadinya efek samping dari antiansietas. Ingat bahwa
toleransi obat, ketergantungan fisik dan psikologis dapat terjadi pada
pemakaian kebanyakan antiansietas, terutama benzodiazepin.

Anjurkan keluarga untuk mendukung klien.
PENYULUHAN KEPADA KLIEN

Beritahu klien cara-cara untuk mengendalikan stress dan ansietas yang
berlebihan, seperti teknik relaksasi.

Beritahu klien untuk tidak minum alkohol atau memakai penekan SSP
lain, seperti narkotik, sewaktu menggunakan antiansietas. Kombinasi dari
obat-obat ini dapat menambah depresi dari SSP dan pernapasan.

Beritahu klien bahwa respons efektif dari obat antiansietas dapat
membutuhkan waktu 1-2 minggu.

Anjurkan klien untuk tetap pada regimen obat dan melakukan pemeriksaan
laboratorium pada waktu-waktu tertentu. Beritahu klien untuk tidak
dengan
mendadak
menghentikan
pemakaian
antiansietas
setelah
memakainya dalam jangka panjang, karena dapat terjadi gejala-gejala
putus obat.

Nasehatkan klien untuk tidak mengemudikan mobil atau menjalankan
peralatan yang berbahaya ketika memakai antiansietas karena sedasi
merupakan efek samping yang sering terjadi. Anjurkan klien untuk
melaporkan efek samping kepada dokter karena dosis obat mungkin perlu
diubah.
Evaluasi

Evaluasi efektifitas terapi obat dengan menentukan apakan ansietas klien
berkurang dan lebih dapat mengatasi stress dan kecemasannya.

Tentukan apakah klien memakai obat antiansietas seperti yang diresepkan
dan patuh pada instruksi dalam penyuluhan kepada klien.
Busporin
Busporin merupakn obat ansietas golongan nonbenzodiazepin, agonis parsial
5HT-1A yang mempunyai efek antikejang, relaksasi otot, sedatif-hipnotik,
kegagalan motorik dan ketergantungannya kurang. Merupakan obat kini kedua
untuk GAD karena kurang konsistennya laporan efikasi, untuk penderita depresi
dan gangguan kecemasan (contoh: gangguan kepanikan atau SAD).
Farmakologi dan mekanisme aksi: Mekanisme aksinya masih belum diketahui
secara pasti. Diduga dengan menekan efek kecemasan pada aktivitas agonis parial
5HT-1A pada presinaptik respetor 5-HT dengan mengurangi pencopotan neuron
5-HT. Tidak seperti benzodiazepin, busporin efeksif untuk gejala kognitif pada
ansietas.
Farmakokinetik: Setelah pemberian secara oral, busporin akan cepat diabsorbsi
dan mengalami first pass metabolisme. Busporin mempunyai nilai t1/2 eliminasi
2,5 jam dan dapat diberikan 2-3 kali sehari.
Efek samping: Efek samping meliputi pusing, mual, dan perasaan kepala
berputar.
Interaksi obat: Busporin dapat meningkatkan level siklosporin dan haloperidol
dan meningkatkan tekanan darah penderita yang juga mengkonsumsi penghambat
Monoamin oksidase (penghambat MAO). Verapamil, diltizem, itrakonazol,
fluvoksamin, nefazadon, dan eritromisin meningkat dan rifampin menurunkan
buspiron dalam darah.
Pengaturan dosis: Dosis awal busporin 7,5mg dua kali sehari, dengan
penambahan dosis 5mg/hari setiap 2-3 hari jika diperlukan. Dosis lazim terapi 3060mg/hari. Awal mula efek ansiolitik terlihat setelah dua minggu atau lebih;
pencapaian keuntungan yang maksimum bagi penderiata memerlukan 4-6
minggu. Tidak berguna pada situasi yang memerlukan efek antikecemasan yang
cepat atau hhanya digunakan jika diperlukan. Ketika mengubah penggunaan BZ
ke busporin, BZ harus dihentikan secara bertahap.
ANTIDEPRESAN
Tricyclic Antidepressant (TCA)
Efikasi: imipramin mengurangi serangan panik hingga 75% pada penderita panik
disorder. Imipramin memblok serangan panik secara efektif kurang dari 4
minggu, maksimal perbaikan (respon antipanik) tidak terjadi antara 8-12 minggu.
Rangkaian respom pasien adalah dengan menurunnya serangan panik,
mengurangi kecemasan, diikuti penurunan agoraphobia.
Mekanisme kerja: mekanisme kerja antidepresan trisiklik masih belum
dikeatahui. Diduga bahwa efeknya disebabkan oleh penghambatan reuptake dari
pelepasan biogenik monoamin, seperti norepinefrin, dan serotonin, diujung saraf
pada sistem saraf pusat.
Efek samping: umumnya menyebabkan sedasi, hipotensi ortostatik, efek
antikolinergik, dan penambahan berat badan. Pada overdosis, TCA menjadi sangat
toksik.
Pengaturan dosis: dosis awal adalah 10 mg/hari sebelum tidur, dosis
ditingkatkan secara perlahan 100mg setiap 2-4 hari. Dosis lazim terapi 75100mg/hari, kemudian ditingkatkan 25mg setiap 2-4 hari hingga 2-4 minggu.
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI)
Studi klinik menunjukkan bahwa semua SSRI efektik digunakan untuk panik
disorder persentasinya adalah 60%-80%.
Efek samping: meliputi mual, muntah, diare , dan disfungsi seksual. Sakit kepala,
insomnia, dan keletihan juga sering dilaporkan.
Pengaturan dosis: penggunaan dosis rendah dangat dianjurkan, hal ini dilakukan
untuk menghindari efek samping timbul seperti insomnia. Dosis awal yang
digunakan untuk ansietas lebih rendah dibandingkan untuk depresi. Paroxetine
dapat ditingkatkan 10mg/minggu hungga dicapai dosis 40mg. Dosis awal
fluoxetin adalah 5mg/hari, dan dapat ditingkatkan setiap 2-3 hari hingga mencapai
rentang dosis 10-20mg/minggu. Fluvoksamin dapat ditingkatkan hingga
150mg/hari.
Monoamine Oxidase Inhibitors (MAO)
Monoamin oksidase (MAO) adalah enzim yang berperan dalam proses deaminasi
oksidatif dari amin sekunder dan tersier, seperti amin-amin transmitter, tiramin
dan benilamin, membentuk aldehid, amonia, dan hidrogen peroksida
Mekanisme
kerja:
penghambatan
monoamin
oksidase bekerja
sebagai
antidepresi dengan cara memblok reuptake dopamin denagn mencegah proses
oksidasi amin tersebut sehingga menyebabkan peningkatan kadar dopamin dalam
tubuh.
Pengaturan dosis: Dosis awal phenelzine adalah 15 mg / hari setelah makan
malam, meningkat 15 mg / hari setiap 3-4 hari sampai dosis minimal 45 mg / hari
( dua atau tiga dosis terbagi ) sudah tercapai .Dosis dapat ditingkatkan (sampai 90
mg / hari ) jika perbaikan tidak tercapai setelah 8 sampai 12 minggu . Jika seorang
pasien diberikan antidepresan sebelumnya , harus dihentikan 2 minggu sebelum
phenelzine dimulai untuk mencegah interaksi obat yang potensial . Fluoxetine
harus dihentikan 5 minggu sebelum phenelzine ( atau yang lain MAOI ) dapat
dimulai.
KASUS
Seorang pasien (wanita) Ny.B.M. (usia 32 th) dikonsul ke poliklinik
Psikiatri dengan keluhan jantung berdebar-debar, keringat dingin, perut mulas,
dan pusing. Keluhan ini telah berlangsung sejak 3 tahun yang lalu. Sehari
sebelumnya pasien pingsan tak sadarkan diri. Dari auto dan alloanamnesis (dari
suami pasien), didapatkan hal-hal sebagai berikut : keluhan utama/alasan
berobat/alasan perawatan, pasien pingsan tak sadarkan diri pada saat akan
berpidato di depan undangan, saat pelantikan pasien sebagai Kepala Bagian.
Pasien dibawa ke institusi gawat darurat. Setelah tenang, disarankan untuk
konsultasi ke poliklinik Psikiatri.
Dari anamnnesy diperoleh kesan pasien tidak akan mengikuti kegiatan
bila harus berhadapan pada situasi publik (sosial) lainnya. Selalu dalam
pikirannya sudah tersedia jawaban bahwa “saya tidak bisa dan akan malumaluin“.
Pada
pertemuan
khusus,
misalnya
resepsi
perkawinan
yang
mengharuskan pasien bersama suaminya pergi ke tempat tersebut, selalu tersedia
jawaban, lebih baik saya “ tinggal di rumah, kasihan anakanak tidak mempunyai
teman.“ guna menolak ajakan.
Deskripsi umum menunjukkan, pasien tampak gelisah, mengeluh dadanya
sakit, kesemutan yang menjalar ke lengan kiri, deg-degan, pusing, keringat dingin
dan mual. Sikap terhadap pemeriksa: koperatif, pembicaraan lancar, tingkah laku
motorik dalam batas normal. Tidak diketemukan tanda-tanda psikopatologis
lainnya, dalam proses pikir, alam perasaan, tingkah laku motorik, persepsi,
sensorium dan kognisi, orientasi, daya ingat, dan konsentrasi. Daya menilai
realitas: baik. Penghayatan terhadap penyakit : tingkat V (intelektual). Pasien
mengeluh dadanya sakit, disertai nyeri yang menjalar pada daerah lengan kiri
yang berasal dari daerah dada, dan untuk menyikirkan kelainan gangguan
kardiovaskular pasien dikonsulkan ke dokter ahli jantung. Dilakukan pemeriksaan
elektrokardiograf dan tidak didapatkan kelainan elektrokardiogram (EKG). Dan
pemeriksaan echocardiography, menunjukkan hasil sebagai berikut, dimensi
ruang: ruang jantung normal. Left ventricle (LV): tebal normal. Fungsi sistolik :
baik, normokinetik, semua segmen dan katub-katub jantung: normal. Diagnostic
impression dari pada jantung: Fungsional normal dan tidak tampak gangguan
kinetik. Karena ada keluhan mulas, pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam,
namun tidak didapatkan kelainan yang signifikan. Kesan pemeriksaan psikiatris:
fobia sosial.
Analisis SOAP
1.
Subjek

Jenis kelamin : Wanita

Usia : 32 tahun

Pasien mengeluhan jantung berdebar-debar, keringat dingin, perut
mulas, dan pusing. Keluhan ini telah berlangsung sejak 3 tahun yang
lalu. Sehari sebelumnya pasien pingsan tak sadarkan diri. Dari auto
dan alloanamnesis (dari suami pasien), didapatkan hal-hal sebagai
berikut : keluhan utama/alasan berobat/alasan perawatan, pasien
pingsan tak sadarkan diri pada saat akan berpidato di depan undangan,
saat pelantikan pasien sebagai Kepala Bagian.
2.
Objek

Deskripsi umum : pasien tampak gelisah, mengeluh dadanya sakit,
kesemutan yang menjalar ke lengan kiri, deg-degan, pusing, keringat
dingin dan mual.

Sikap terhadap pemeriksa : koperatif, pembicaraan lancar, tingkah
laku motorik dalam batas normal.

Tidak diketemukan tanda-tanda psikopatologis lainnya, dalam proses
pikir, alam perasaan, tingkah laku motorik, persepsi, sensorium dan
kognisi, orientasi, daya ingat, dan konsentrasi.

Daya menilai realitas: baik.

Penghayatan terhadap penyakit : tingkat V (intelektual). Pasien
mengeluh dadanya sakit, disertai nyeri yang menjalar pada daerah
lengan kiri yang berasal dari daerah dada.

Pemeriksaan EKG : tidak didapatkan kelainan elektrokardiogram.

Pemeriksaan echocardiography : dimensi ruang: ruang jantung
normal. Left ventricle (LV): tebal normal. Fungsi sistolik : baik,
normokinetik, semua segmen dan katub-katub jantung: normal.

Diagnostic impressiondari pada jantung : Fungsional normal dan tidak
tampak gangguan kinetik.

Karena ada keluhan mulas, pasien dikonsulkan ke bagian penyakit
dalam, namun tidak didapatkan kelainan yang signifikan. Kesan

3.
Pemeriksaan psikiatris: fobia sosial
Assesment

Fobia sosial merupakan gangguan anxietas, dibutuhkan obat yang
secara langsung dapat mengurangi anxietas.

Pemeriksaan EKG dan ecocardiography menunjukkan tidak ada
kelainan sehingga tidak membutuhkan pengobatan.
4.
Planning
Terapi farmakologi :

Obat yang diberikan untuk mengatasi fobia sosial adalah golongan
Benzodiazepin yaitu Klonazepam dengan dosis 0,25mg per hari. Obat
ini dipilih karena pasien sempat tidak sadarkan diri (pingsan) sehingga
perlu
diobati
segera
dan
pasien
tidak
memiliki
riwayat
penyalahgunaan obat. Jika timbul respon maka pengobatan dapat
dilanjutkan hingga 12 bulan.

Kombinasi dengan β-blocker bertujuan untuk mengatasi gejala aurosal
dari oonomik perifer yang muncul (denyut jantung cepat, berkeringat,
eritema mendadak, dan gemetar) seringkali juga digunakan untuk
menurunkan kecemasan dalam situasi yang berkaitan dengan
penampilan pasien. Obat yang dipilih Atenolol dengan dosis 25-100
mg yg dapat digunakan 1 jam sebelum tampil di muka umum. Tes
dosis harus digunakan dirumah 1 hari sebelum pasien tampil untuk
memastikan tidak ada masalah efek samping.
Terapi non farmakologi :

Psikoterapi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara terapi
kognitif-perilaku dengan farmakoterapi bemanfaat untuk kelainan
ini. Kombinasi farmakoterapi dan tetapi kognitif perilaku dapat
mempercepat efek atau kerja obat, dan efek terapi dapat bertahan
lama walaupun obat telah dihentikan.

Keluarga dapat membantu memberikan semangat serta dukungan
agar pasien mau mencoba untuk tampil di depan umum. Namun
jika dirasa pasien belum mampu tampil sebaiknya tidak
memaksakan diri.

Menjaga pola hidup yang sehat seperti olahraga, makan dan tidur
yang teratur. Sebaiknya menghindari stres yang berlebih agar
tidak menimbulkan depresi.
BAB III
PENUTUP
III. 1. Kesimpulan
Cemas merupakan suatu sikap alamiah yang dialami oleh setiap
manusia sebagai bentuk respon dalam menghadapi ancaman. Gangguan
cemas (ansietas) merupakan salah satu bentuk gangguan jiwa yang sering
terjadi.
Terapi non farmakologi yang bisa diterapkan untuk pasien ansietas
adalah psikoterapi, terapi tingkah laku, terapi kognitif, dan terapi lainnya.
Terapi farmakologi dapat dengan menggunakan obat golongan ansiolitik
dan benzodiazepin.
DAFTAR PUSTAKA
Katzung B, Masters S, Trevor A. 2006. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed.
USA: The McGraw-Hill Companies.
Syarif A et.al. 2007. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Granger, P. et al. Modulation of the gamma-aminobutyric acid type A receptor by
the antiepileptic drugs carbamazepine and phenytoin. Mol. Pharmacol. 47,
1189–1196 (1995).
Gelder, M., Mayou, R. and Geddes, J. 2005 Psychiatry. 3rd ed. New York:
Oxford. p250.
Prawirohusodo, S. 1991. Ansietas, Simposium Gangguan Kecemasan dan
Penanggulangannya dalam Praktek Sehari-hari. Ikatan Dokter Ahli Jiwa
Indonesia Cabang Surakarta, Surakarta 31 Agustus 1991.
Gail, Stuart W. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC. p:144.
Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press. p:38, 107, 252-254.
House, A.,Stark, D.2002. Anxiety In Medical Patient. BMJ.
Sadock ,Benjamin james dan Sadock, Virginia Alcott. 2010. Gangguan ansietas.
Dalam : Kaplan & Sadock buku ajar psikiatri klinis. Ed Ke- 2. EGC :
Jakarta. Hal 230-233
Download