BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Empati 2.1.1 Pengertian Empati Istilah “empati” berasal dari kata Einfuhlung yang digunakan oleh seorang psikolog Jerman, secara harfiah berarti memasuki perasaan orang lain (feeling into), atau berasal dari perkataan yunani “phatos” yang artinya perasaan mendalam atau kuat, dalam Jumarin (2002). Eisenberg (2002) menyatakan empati adalah sebuah respons afektif yang berasal dari penangkapan atau pemahaman keadaan emosi atau kondisi lain, dan yang mirip dengan perasaan orang lain. Sebuah respons afektif, yaitu sebagai situasi orang lain dari situasi diri sendiri. Empati juga sebagai kemampuan untuk meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan mampu menghayati pengalaman orang lain tersebut. Sedangkan penangkapan atau pemahaman keadaan emosi, yaitu dimana empati terjadi ketika seseorang dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain namun tetap tidak kehilangan realitas dirinya. Hal ini berarti emosi yang tergugah untuk ikut merasakan apa yang orang lain rasakan tidak lantas membuat seseorang menjadi kehilangan identitas dan sikap dirinya. Seseorang tetap memiliki integritas diri. Ketika seseorang yang pada dasarnya kuat, tidak terkekang, percaya diri dan bersemangat; mendengar dan melihat peristiwa menyedihkan terjadi pada orang lain; maka ia tetap dapat berempati 11 dengan ikut merasakan kesedihan orang lain tersebut. Namun demikian, ia tidak lantas larut sehingga kehilangan kekuatan, ketidakterkekangan, kepercayaan diri dan semangatnya. Ia masih dapat membedakan perasaan pribadinya dan perasaan dari orang lain. Kunci untuk memahami perasaan orang lain melibatkan dengan mampu membaca pesan nonverbal seperti nada bicara, gerak-gerik, dan ekspresi wajah. Bila kata-kata seseorang tidak cocok dengan nada bicara, gerak-gerik, atau nonverbal, kebenaran emosional terletak pada bagaimana seseorang mengatakan sesuatu bukannya pada apa yang dikatakannya. Empati dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional merupakan suatu komponen yang sangat penting. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri semakin terbuka seseorang terhadap emosinya, maka semakin terampil juga seseorang membaca perasaan orang lain. Jadi, empati membutuhkan pembedaan antara emosi dan keinginan pribadi dengan emosi dan keinginan orang lain. Perasaan orang lain, yaitu ketika seseorang dapat berempati, maka harus memahami dan menginterprestasikan perasaan orang lain. Ketepatan dalam berempati sangat dipengaruhi kemampuan seseorang dalam menginterprestsikan informasi yang diberikan orang lain mengenai situasi internalnya yang dapat diketahui melalui perilaku dan sikap-sikap mereka. Seseorang menginterprestasikan orang lain bahagia, cemas, sedih marah atau bosan melalui ekspresi wajah yang tampak, seperti tersenyum, menyeringai, cemberut. Selain itu sikap badan, suara dan gerak isyarat 12 juga dapat dijadikan petunjuk penting suasana hati yang sedang dialami seseorang. Pada dasarnya setiap anak sudah memiliki kepekaan (empati) pada dirinya, tergantung bagaimana cara si anak maupun orangtua mengasahnya. Dengan demikian. Oleh karena itu, orangtua ataupun guru sangat dianjurkan untuk menanamkan sifat empati kepada anak. Bibit empati sebenarnya sudah terlihat sejak si bayi lahir. Orangtua mungkin pernah melihat dua orang bayi di dalam satu ruangan. Ketika salah satunya mulai menangis, bayi yang lain seolah-olah terdorong untuk bereaksi sama. Ini menunjukkan empati, meski masih dalam bentuk yang paling dasar. Anak mampu berbagi emosi dengan orang lain. Saat menjelang usia satu tahun bentuk empati itu semakin nyata (Eisenberg, 2002). Selanjutnya Eisenberg (2002) menyatakan bahwa tiadanya attunement (penyesuaian diri) dalam jangka panjang antara orangtua dan anak akan menimbulkan kerugian emosional yang sangat besar bagi si anak. Apabila orangtua terus menerus gagal memperlihatkan empati apa pun dalam bentuk emosi tertentu (kebahagiaan, kesedihan, kebutuhan membelai) pada anak, anak akan mulai menghindar untuk mengungkapkannya. Selanjutnya Eisenberg (2002) juga menyatakan empati penting bagi individu, karena dengan empati seseorang dapat: a) Menyesuaikan diri Empati mempermudah proses adaptasi karena ada kesadaran dalam diri bahwa sudut pandang setiap orang berbeda. Orang yang memiliki rasa 13 empati yang baik, maka penyesuaian dirinya akan dimanifestasikan dalam sifat optimis dan fleksibel. b) Mempercepat hubungan dengan orang lain Jika setiap orang berusaha untuk berempati, maka setiap individu akan mudah untuk merasa diterima dan dipahami oleh orang lain. c) Meningkatkan harga diri Empati dapat meningkatkan harga diri seseorang. Dimulai dari peran empati dalam hubungan sosial. Hubungan sosial merupakan media berkreasai dan menyatakan identitas diri. d) Meningkatkan pemahaman diri Kemampuan memahami perasan orang lain dan menunjukkannya cara berkomunikasi tanpa harus secara nyata terlibat dalam perasaan orang lain, menyebabkan seorang individu sadar bahwa orang lain dapat melakukan penilaian berdasarkan perilakunya. Hal itu menyebabkan individu lebih sadar dan memperhatikan pendapat orang lain tentang dirinya. Melalui proses tersebut akan terbentuk pemahaman diri yang terjadi dengan perbandingan sosial yang dilakukan dengan membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Disisi lain Carl Rogers (1975, dalam Cotton, 2001) pentingnya empati dalam pembelajaran, empati menjadi terbukti bagian penting juga dalam proses belajar mengajar. Untuk menjadi pengajar yang efektif, orang perlu memiliki kemampuan ini. Seorang pengajar memerlukan empati untuk memahami kondisi muridnya untuk dapat membantunya 14 belajar dan memperoleh pengetahuan. Pengajar yang tidak memahami perasaan-perasaan, pikiran-pikiran, motif-motif dan orientasi tindakan muridnya akan sulit untuk membantu dan memfasilitasi kegiatan belajar murid-muridnya. Berdasarkan pengertian empati diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa empati adalah keadaan seseorang memahami perasaan orang lain yang seolah-olah dialami individu itu sendiri yang berasal dari keadaan atau kondisi emosi orang lain yang mirip dengan keadaan atau emosi orang tersebut. 2.1.2 Aspek-aspek Kemampuan Empati Menurut Eisenberg (2002), bahwa dalam proses individu berempati melibatkan aspek afektif dan kognitif. Aspek afekif merupakan kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan emosional orang lain yaitu ikut merasakan ketika orang lain merasa sedih, menangis, terluka, menderita bahkan disakiti, sedangkan aspek kognitif dalam empati difokuskan pada proses intelektual untuk memahami perspektif orang lain dengan tepat dan menerima pandangan mereka, misalnya membayangkan perasaan orang lain ketika marah, kecewa, senang, memahami keadaan orang lain dari; cara berbicara, dari raut wajah, cara pandang dalam berpendapat. 2.1.3 Menumbuhkan Kemampuan Empati Usaha untuk menumbuhkan empati menurut Eisenberg (2002) : 15 1. Menceritakan ditumbuhkan apa dan dengan mengapa menceritakan perasaan apa dan orang. Empati mengapa dapat seseorang mengalami sesuatu. Seseorang akan lebih mudah turut merasa dengan orang lain kalau orang itu mempunyai informasi tentang apa yang dirasakan orang itu (what the person feels). Selanjutnya, orang akan lebih bersedia untuk berempati kalau ia mengerti mengapa orang itu merasa seperti yang dirasakannya (why he feels as he does). Informasi yang paling efektif untuk membangkitkan empati adalah informasi mengenai apa yang sedang diperjuangkan orang itu dan apa perjuangannya untuk mencapai tujuannya. 2. Menyatakan kesenangan, pujian, atau penghargaan. Selanjutnya, orangtua, pendidik lainnya, atau guru perlu menopang kesediaan anak untuk berempati dengan menyatakan kesenangan, pujian, atau penghargaan mereka atas empati yang ditunjukkannya. 3. Menunjukkan akibat dari perbuatan anak terhadap perasaan orang lain. Orangtua yang secara konsisten bereaksi terhadap perbuatan negatif anaknya dengan menunjukkan pada perasaan yang telah ditimbulkannya pada orang tersebut, cenderung memunyai anak yang lebih sanggup memahami sudut pandang orang lain, lebih empatik, dan lebih bersedia berbuat baik. 4. Dorongan pada anak untuk berbuat baik akan datang dari diri anak itu sendiri. Di sini, empati akan bertindak sebagai pencetus untuk disiplin diri. 16 Upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan empati menurut Eisenberg (2002) upaya-upaya tersebut yaitu sebagai berikut: a. Menyadari sepenuhnya emosi, semakin terbuka seseorang terhadap emosinya maka akan semakin ia membaca perasaan seseorang. b. Belajar mendengar pendapat orang lain, memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menyelesaikan apa yang dikatakannya kemudian mengajukan pertanyaan sebelum memberikan penilaian. c. Memperhatikan orang lain di jalan, di restoran dan di bus dan mencoba memahami perasaannya melalui raut mukanya. d. Menilai orang lain tidak hanya didasarkan pada tampak luar saja. Mengetahui sikap dasar seseorang, melalui pembicaraan dan tanya jawab yang menarik. e. Melihat film pendek di televisi dan mencoba memperkirakan pokok persoalan yang dibicarakan. Untuk itu setiap diri perlu menempatkan diri dalam adegan itu. f. Role Play atau bermain peran. Teknik bermain peran dinilai sebagai teknik yang efektif dan akan membantu seeorang membentuk pemahaman yang lebih dalam. g. Menganalisis perbedaan dalam suatu pembicaraan yang bertentangan dengan pendapat yang kita sampaikan. h. Bertanya pada diri sendiri mengapa dalam situasi tertentu memberikan reaksi tertentu untuk mengetahui latar belakang tingkah laku sendiri, akan mudah untuk menempatkan diri dalam kedudukan orang lain. 17 i. Mencari sebab-sebab dalam diri sendiri ketika tidak menyukai seseorang. j. Mencoba mencari sebanyak mungkin keterangan tentang seseorang sebelum melakukan penilaian terhadap orang itu. Jika kita mengetahui mengapa seseorang mempunyai tingkah laku tertentu, maka kita akan dapat menilainya dengan lebih tepat dan bagaimanana sikap kita terhadapnya akan menjadi lebih sesuai. k. Mengingat setiap orang dipengaruhi oleh perasaan dan perilakunya. Berdasarkan uraian tentang upaya menumbuhkan dan mengembangkan empati yang dikemukakan oleh Eisenberg (2002) pada intinya harus dapat memahami perasaan orang lain dalam keadaan senang maupun sedih. 2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Empati Menurut baumrind (dalam Edwards, 2002) faktor yang mempengaruhi pola asuh salah satunya adalah pola asuh orangtua, pola asuh orangtua dijelaskan dalam empat tipe pola asuh, antara lain : Pola Asuh orangtua Pola asuh authoritatif adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orangtua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orangtua tipe ini juga bersikap realistik terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orangtua tipe ini juga 18 memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat. Dampak pola asuh authoritatif akan menghasilkan karakteristik anak - anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi permasalahan, mempunyai minat terhadap hal-hal baru serta koperatif dan peduli terhadap orang lain serta mempunyai komunikasi yang efektif, empati terhadap sesama yang tinggi, penerimaan sosial terhadap anak dan menumbuh kembangkan rasa percaya diri pada anak. Berikutnya pola asuh otoriter, pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancamanancaman. Orangtua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Orangtua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dalam komunikasi dan biasanya hanya bersifat satu arah. Dampak pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, kurang peduli dengan lingkungan sekitar, berkepribadian lemah, dan menarik diri dari lingkungan sosialnya sehingga anak dengan pola asuh otoriter kemampuan berempati terhadap sesama kurang. Selanjutnya pola asuh permisif, pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Orangtua 19 cenderung tidak menegur atau memperingatkan apabila anak sedang berada dalam situasi yang salah, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orangtua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak. Dampak pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anakanak yang agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, kurang matang secara social dan kurang menghargai orang lain. Hal itulah yang membuat anak cenderung sulit berempati terhadap orang lain. Dari pola asuh authoritatif, otoriter, dan permisif, yang paling baik untuk mengajarkan dan menumbuhkan empati pada anak adalah tipe pola asuh demokratis. Eisenberg (2002) menambahkanbeberapa faktor yang mempengaruhi proses perkembangan empati pada diri seseorang yaitu : A. Kebutuhan Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi akan mempunyai tingkat empati dan nilai prososial yang rendah, sedangkan individu yang memiliki kebutuhan afiliasi yang rendah akan mempunyai tingkat empati yang tinggi. B. Jenis Kelamin Perempuan mempunyai tingkat empati yang lebih tinggi daripada laki-laki. Persepsi ini didasarkan ada kepercayaan bahwa perempuan lebih nurturance (bersifat memelihara) dan lebih berorientasi interpersonal 20 dibandingkan laki-laki. Untuk respon empati, mendapatkan hasil bahwa anak perempuan lebih empatik dalam merespon secara verbal keadaan distress orang lain. Empati adalah merupakan ciri khas dari wanita yang lebih peka terhadap emosi orang lain dan bisa lebih mengungkapkan emosinya dibandingkan laki-laki (Koestner, 1990). Kemampuan berempati akan semakin bertambah dengan meningkatnya usia. Selanjutnya Koestner (1990) menyatakan bahwa semakin tua usia seseorang semakin baik kemampuan empatinya dikarenakan bertambahnya pemahaman perspektif. C. Derajat Kematangan Psikis Empati juga dipengaruhi oleh derajat kematangan. Yang dimaksud dengan derajat kematangan dalam hal ini adalah besarnya kemampuan seseorang dalam memandang, menempatkan diri pada perasaan orang lain serta melihat kenyataan dengan empati secara proporsional. Derajat kematangan seseorang akan sangat mempengaruhi kemampuan empatinya terhadap orang lain. Seseorang dengan derajat kematangan yang baik akan mampu untuk menampilkan empati yang tinggi pula. D. Sosialisasi Sosialisasi merupakan proses melatih kepekaan diri terhadap rangsangan sosial yang berhubungan dengan empati dan sesuai dengan norma, nilai atau harapan sosial. Sosialisasi memungkinkan seseorang 21 dapat mengalami empati artinya mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang orang lain. Sosialisasi menjadi dasar penting dalam berempati karena dapat melahirkan sikap empati pada anak, kepekaan sosial juga berpengaruh pada perkembangan empati anak terhadap lingkungan. 2.2 Pola Asuh Orangtua 2.2.1 Pengertian Pola Asuh Pola asuh menurut Meichati (1983) adalah perlakuan orangtua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberikan perlindungan dan pendidikan anak dalam kehidupan sehari-hari. Pola asuh merupakan pengaruh paling besar dalam kehidupan anak. Apa yang terjadi pada anak di masa mendatang dipengaruhi oleh pola asuh Orangtua di masa lalu. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam menerapkan pola asuh terhadap anak, Orangtua tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik anak namun juga harus memenuhi kebutuhan psikis anak. Baumrind dalam Patricia (2011) mendefinisikan bahwa pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek dan ekspresi nonverbal orangtua yang bercirikan kaalamian dari interaksi orangtua kepada anak sepanjang situasi yang berkembang. Baumrind juga berpendapat bahwa pola asuh didasarkan pada dua aspek pengasuhan yang sangat penting. Pertama adalah respon orangtua yang mengacu pada tingkat orangtua merespon kebutuhan anak, 22 kedua adalah harapan orangtua yang mengacu pada sejauh mana orangtua mengharapkan perilaku yang lebih matang dan bertanggung jawab dari seorang anak. Dari pengertian tersebut maka diketahui bahwa, pola asuh orangtua adalah hubungan orangtua dan anak dalam mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik dan membimbing anak untuk mencapai kedewasaan sesuai norma-norma yang ada dalam masyarakat. 2.2.2 Macam-macam Pola Asuh Orangtua Baumrind dalam Yusuf (2002) menjelaskan bahwa ada empat pola asuh orangtua dan dampaknya pada anak, dari keempat perlakuan hanya tiga yang dilaporkan Baumrind, untuk memperoleh kejelasan tentang gambaran hasil penelitian tersebut, dapat disimak dalam tabel dibawah ini : Tabel 2.1 Tipe Pola Asuh Orangtua Pola asuh 1. Authortarian Perilaku orangtua 1. Profil perilaku anak Accaptance rendah 1. Mudah tersinggng kontrol tinggi 2. Penakut 2. Suka menghukum secara fisik 3. Pemurung 3. Bersikap mengkomando 4. Mudah terpengaruh 4. Kaku 5. Mudah stres 5. Emosional 6. Tidak punya arah masa dan namun bersikap menolak 2. Permissive 1. depan Accaptance tinggi namun kontrol rendah 2. 1. Agresif dan impulsif 2. Suka Memberi kebebasan kepada anak untuk dorongannya 23 menyatakan memberontak kurang percaya diri 3. Suka mendominasi 4. Prestasi rendah 3. Authoritative 1. 2. Accaptance tinggi dan kontrol 1. Bersahabat tinggi 2. Memiliki rasa percaya Kasih sayang dan cinta yang tinggi 3. 3. Responsif terhadap kebutuhan anak 4. diri Mampu mengendalikan diri 4. Sopan Memberikan penjelasan 5. Mau bekerja sama tentang perbuatan 6. Orientasi tujuan jelas dampak yang baik dan buruk 5. Mendorong anak untuk menyatakan pendapat Menurut Baumrind dalam Yusuf (2002) pola asuh authoritative menunjukkan dampak yang lebih dan cenderung tidak menunjukkan perilaku kekacauan atau nakal. Pola asuh yang menunjukkan kasih sayang mempunyai kontribusi kepada pengembangan kepribadian anak yang sehat. 2.2.3 Aspek-Aspek dalam Pola Asuh Orangtua Menurut Baumrind dalam Edwards (2006) ada empat aspek yang terkandung dalam pola asuh orangtua yaitu strickness, supervision, acceptance, dan involment. 1. Strickness adalah ketaatan orangtua dalam membuat banyak peraturan untuk mengatur perilaku anak. 2. Supervision adalah pengawasan orangtua terhadap perilaku dan aktivitas anak. 3. Acceptance adalah penerimaan orangtua teradap perilaku anak. 4. Involment adalah keterlibatan orangtua dalam kehidupan anak. 24 Lebih jelasnya hubungan antara ketaatan orangtua, pengawasan orangtua, penerimaan orangtua dan keterlibatan orangtua dijelaskan pada tabel dibawah ini : Tabel 2.2 Aspek-aspek Pola Asuh Orangtua Penerimaan dan Keterlibatan Ketaatan dan Tinggi Pengawasan Rendah Tinggi Rendah Pola Asuh Pola Asuh Demokratis Otoriter Pola Asuh Pola Asuh Permisif Neglacfull Pola asuh demokratis dikenal dengan sebutan trinitas demokratis yaitu hangat, terbuka serta bebas terkendali. Seperti pada tabel 2.2 pola asuh demokratis terjadi pada tingkat penerimaan dan keterlibatan yang tinggi dan juga tingkat ketetatan serta pengawasan yang tinggi, termasuk didalamnya terdapat kehangatan, keterbukaan dan dibentuknya kebebasan yang terkendali dalam saling bertukar pendapat. Pola asuh otoriter terjadi karena adanya keketatan dan tingkat kontrol yang tinggi tanpa adanya kehangatan serta keterlibatan didalamnya, sehingga tingkat penerimaan rendah dikarenakan tidak adanya kterbukaan dalam komunikasi antar orangtua dengan anak. Pola asuh permisif terjadi saat tingkat penerimaan dan kasih sayang serta keterlibatan tinggi sehingga tingkat keketatan dan tingkat pengawasan tergolong rendah. Pola asuh neglactfull atau penelantar memiliki tingkat keterlibatan dan penerimaan yang sangat rendah serta tingkat keketatan dan pengawasan yang rendah. 25 2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orangtua Menurut Baumrind dalam Edwards (2006) ada dua faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua. a. Ketegangan Ketegangan menyebabkan ketidak konsistenan dalam mengasuh anak. Menyebabkan pola asuh Orangtua berbeda dri waktu ke waktu b. Cara Orangtua dibesarkan Para Orangtua cenderung membesarkan anak anak mereka dengan cara yang sama dengan waktu mereka dibesarkan. 2.3 Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan merupakan hasil penelitian orang lain yang relevan dijadikan titik tolak penelitian dalam mencoba melakukan pengulangan, merevisi, memodifikasi dan sebagainya. Penelitian yang relevan dengan penulis yaitu antara lain penelitian oleh Berdasarkan penelitian Hudiyah (2010), tentang hubungan antara pola asuh authoritatif dengan empati pada anak,diketemukan koefisien korelasi (r) sebesar 0,510 dengan p = 0,000 (p<0,01), yang artinya terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh authoritatif dengan empati pada anak. Hasil penelitian tersebut bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2011), tentang hubungan pola asuh orangtua authoritaitf dengan empati pada anak TK Aisyiyah Bustanul Athfal 24 26 Malang, berdasarkan analisis data pola asuh orangtua authoritatif dan empati menggunakan korelasi Spearman Rho (SPSS seri15) ditemukan hasil P-value = 0,815 lebih besar dari P > 0,05 dan analisis korelasi spearman rho yaitu rs = 0,028. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh authoritatif dengan empati anak di sekolah. Hasil penelitian Palwo (2003) tentang hubungan pola asuh orangtua, harga diri, agresivitas siswa “SMU Alternatif” dikota Semarang diperoleh korelasi rxy=212**, yang artinya tipe pola asuh 3 (demokratis) terjadi korelasi antara pola asuh orangtua, harga diri, dan agresivitas. Mengkaji dari penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, maka dapat dilihat dengan pola asuh orangtua yang berbeda-beda pada anak dapat menghasilkan empati yang berbeda-beda pula. Hal tersebut ditujukan pada sikap hubungan sosial anak di lingkungannya. 2.4 Kerangka Berfikir Pola asuh masing masing orangtua mempunyai pengaruh tersendiri terhadap kepribadian anak. Produk dari pola asuh masing-masing orangtua menunjukkan kepekaan perasaan yang berbeda. Pola asuh yang lebih menunjukkan kasih sayang kepada anak, secara langsung melatih anak untuk peka terhadap perasaan orang lain. Lebih jauh kepekaan perasaan disini adalah empati, empati tumbuh melalui cara membesarkan anak dengan kepedulian dan kasih sayang. 27 Empati mempunyai peran yang penting dalam kehidupan sosial, tanpa kepekaan empati orang akan menjadi kikuk sosial, entah akibat salah menafsirkan perasaan orang lain atau mati rasanya perasaan seseorang akibat rusaknya suatu. Salah satu wujud kurangnya empati adalah ketika kita cenderung menyamaratakan orang lain bukannya memandangnya sebagai individu yang unik. Pembentukan empati memang tidak lepas dari pengaruh peranan pola asuh orangtua, orangtua merupakan pihak yang memiliki peranan dalam mengatur dan mendidik anak agar tumbuh kembang dengan baik. Penalarannya adalah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh dengan empati. Asumsinya pola asuh yang menunjukkan kasih sayang yang tinggi yaitu pola asuh authoritatif menumbuhkan empati yang tinggi, sedangkan pola asuh yang kadar kasih sayangnya kurang tinggi yaitu pola asuh otoriter dan permisif, empati yang di miliki oleh anak tergolong sedang bahkan rendah. 2.5 Hipotesis Berdasarkan uraian teori diatas maka dapat diajukan hipotesis yaitu ada hubungan yang signifikan antara tipe pola asuh authoritatif dengan empati. 28