Hubungan Antara Tipe Pola Asuh Authoritatif dengan Empati pada

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Empati
2.1.1 Pengertian Empati
Istilah “empati” berasal dari kata Einfuhlung yang digunakan oleh
seorang psikolog Jerman, secara harfiah berarti memasuki perasaan orang
lain (feeling into), atau berasal dari perkataan yunani “phatos” yang
artinya perasaan mendalam atau kuat, dalam Jumarin (2002). Eisenberg
(2002) menyatakan empati adalah sebuah respons afektif yang berasal dari
penangkapan atau pemahaman keadaan emosi atau kondisi lain, dan yang
mirip dengan perasaan orang lain. Sebuah respons afektif, yaitu sebagai
situasi orang lain dari situasi diri sendiri. Empati juga sebagai kemampuan
untuk meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan mampu
menghayati pengalaman orang lain tersebut. Sedangkan penangkapan atau
pemahaman keadaan emosi, yaitu dimana empati terjadi ketika seseorang
dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain namun tetap tidak
kehilangan realitas dirinya. Hal ini berarti emosi yang tergugah untuk ikut
merasakan apa yang orang lain rasakan tidak lantas membuat seseorang
menjadi kehilangan identitas dan sikap dirinya. Seseorang tetap memiliki
integritas diri. Ketika seseorang yang pada dasarnya kuat, tidak terkekang,
percaya diri dan bersemangat; mendengar dan melihat peristiwa
menyedihkan terjadi pada orang lain; maka ia tetap dapat berempati
11
dengan ikut merasakan kesedihan orang lain tersebut. Namun demikian, ia
tidak lantas larut sehingga kehilangan kekuatan, ketidakterkekangan,
kepercayaan diri dan semangatnya. Ia masih dapat membedakan perasaan
pribadinya dan perasaan dari orang lain. Kunci untuk memahami perasaan
orang lain melibatkan dengan mampu membaca pesan nonverbal seperti
nada bicara, gerak-gerik, dan ekspresi wajah. Bila kata-kata seseorang
tidak cocok dengan nada bicara, gerak-gerik, atau nonverbal, kebenaran
emosional terletak pada bagaimana seseorang mengatakan sesuatu
bukannya pada apa yang dikatakannya. Empati dalam hubungannya
dengan kecerdasan emosional merupakan suatu komponen yang sangat
penting. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri semakin terbuka
seseorang terhadap emosinya, maka semakin terampil juga seseorang
membaca perasaan orang lain. Jadi, empati membutuhkan pembedaan
antara emosi dan keinginan pribadi dengan emosi dan keinginan orang
lain. Perasaan orang lain, yaitu ketika seseorang dapat berempati, maka
harus memahami dan menginterprestasikan perasaan orang lain. Ketepatan
dalam berempati sangat dipengaruhi kemampuan seseorang dalam
menginterprestsikan informasi yang diberikan orang lain mengenai situasi
internalnya yang dapat diketahui melalui perilaku dan sikap-sikap mereka.
Seseorang menginterprestasikan orang lain bahagia, cemas, sedih marah
atau bosan melalui ekspresi wajah yang tampak, seperti tersenyum,
menyeringai, cemberut. Selain itu sikap badan, suara dan gerak isyarat
12
juga dapat dijadikan petunjuk penting suasana hati yang sedang dialami
seseorang.
Pada dasarnya setiap anak sudah memiliki kepekaan (empati) pada
dirinya,
tergantung
bagaimana
cara
si
anak
maupun
orangtua
mengasahnya. Dengan demikian. Oleh karena itu, orangtua ataupun guru
sangat dianjurkan untuk menanamkan sifat empati kepada anak. Bibit
empati sebenarnya sudah terlihat sejak si bayi lahir. Orangtua mungkin
pernah melihat dua orang bayi di dalam satu ruangan. Ketika salah satunya
mulai menangis, bayi yang lain seolah-olah terdorong untuk bereaksi
sama. Ini menunjukkan empati, meski masih dalam bentuk yang paling
dasar. Anak mampu berbagi emosi dengan orang lain. Saat menjelang usia
satu tahun bentuk empati itu semakin nyata (Eisenberg, 2002).
Selanjutnya Eisenberg (2002) menyatakan bahwa tiadanya
attunement (penyesuaian diri) dalam jangka panjang antara orangtua dan
anak akan menimbulkan kerugian emosional yang sangat besar bagi si
anak. Apabila orangtua terus menerus gagal memperlihatkan empati apa
pun dalam bentuk emosi tertentu (kebahagiaan, kesedihan, kebutuhan
membelai)
pada
anak,
anak
akan
mulai
menghindar
untuk
mengungkapkannya. Selanjutnya Eisenberg (2002) juga menyatakan
empati penting bagi individu, karena dengan empati seseorang dapat:
a)
Menyesuaikan diri
Empati mempermudah proses adaptasi karena ada kesadaran dalam
diri bahwa sudut pandang setiap orang berbeda. Orang yang memiliki rasa
13
empati yang baik, maka penyesuaian dirinya akan dimanifestasikan dalam
sifat optimis dan fleksibel.
b) Mempercepat hubungan dengan orang lain
Jika setiap orang berusaha untuk berempati, maka setiap individu
akan mudah untuk merasa diterima dan dipahami oleh orang lain.
c)
Meningkatkan harga diri
Empati dapat meningkatkan harga diri seseorang. Dimulai dari
peran empati dalam hubungan sosial. Hubungan sosial merupakan media
berkreasai dan menyatakan identitas diri.
d) Meningkatkan pemahaman diri
Kemampuan memahami perasan orang lain dan menunjukkannya
cara berkomunikasi tanpa harus secara nyata terlibat dalam perasaan orang
lain, menyebabkan seorang individu sadar bahwa orang lain dapat
melakukan penilaian berdasarkan perilakunya. Hal itu menyebabkan
individu lebih sadar dan memperhatikan pendapat orang lain tentang
dirinya. Melalui proses tersebut akan terbentuk pemahaman diri yang
terjadi
dengan
perbandingan
sosial
yang
dilakukan
dengan
membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Disisi lain Carl Rogers (1975, dalam Cotton, 2001) pentingnya
empati dalam pembelajaran, empati menjadi terbukti bagian penting juga
dalam proses belajar mengajar. Untuk menjadi pengajar yang efektif,
orang perlu memiliki kemampuan ini. Seorang pengajar memerlukan
empati untuk memahami kondisi muridnya untuk dapat membantunya
14
belajar dan memperoleh pengetahuan. Pengajar yang tidak memahami
perasaan-perasaan, pikiran-pikiran, motif-motif dan orientasi tindakan
muridnya akan sulit untuk membantu dan memfasilitasi kegiatan belajar
murid-muridnya.
Berdasarkan pengertian empati diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa empati adalah keadaan seseorang memahami perasaan orang lain
yang seolah-olah dialami individu itu sendiri yang berasal dari keadaan
atau kondisi emosi orang lain yang mirip dengan keadaan atau emosi
orang tersebut.
2.1.2 Aspek-aspek Kemampuan Empati
Menurut Eisenberg (2002), bahwa dalam proses individu berempati
melibatkan aspek afektif dan kognitif. Aspek afekif merupakan
kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan emosional orang lain
yaitu ikut merasakan ketika orang lain merasa sedih, menangis, terluka,
menderita bahkan disakiti, sedangkan aspek kognitif dalam empati
difokuskan pada proses intelektual untuk memahami perspektif orang lain
dengan tepat dan menerima pandangan mereka, misalnya membayangkan
perasaan orang lain ketika marah, kecewa, senang, memahami keadaan
orang lain dari; cara berbicara, dari raut wajah, cara pandang dalam
berpendapat.
2.1.3 Menumbuhkan Kemampuan Empati
Usaha untuk menumbuhkan empati menurut Eisenberg (2002) :
15
1. Menceritakan
ditumbuhkan
apa
dan
dengan
mengapa
menceritakan
perasaan
apa
dan
orang.
Empati
mengapa
dapat
seseorang
mengalami sesuatu. Seseorang akan lebih mudah turut merasa dengan
orang lain kalau orang itu mempunyai informasi tentang apa yang
dirasakan orang itu (what the person feels). Selanjutnya, orang akan lebih
bersedia untuk berempati kalau ia mengerti mengapa orang itu merasa
seperti yang dirasakannya (why he feels as he does). Informasi yang paling
efektif untuk membangkitkan empati adalah informasi mengenai apa yang
sedang diperjuangkan orang itu dan apa perjuangannya untuk mencapai
tujuannya.
2. Menyatakan kesenangan, pujian, atau penghargaan. Selanjutnya, orangtua,
pendidik lainnya, atau guru perlu menopang kesediaan anak untuk
berempati dengan menyatakan kesenangan, pujian, atau penghargaan
mereka atas empati yang ditunjukkannya.
3. Menunjukkan akibat dari perbuatan anak terhadap perasaan orang lain.
Orangtua yang secara konsisten bereaksi terhadap perbuatan negatif
anaknya dengan menunjukkan pada perasaan yang telah ditimbulkannya
pada orang tersebut, cenderung memunyai anak yang lebih sanggup
memahami sudut pandang orang lain, lebih empatik, dan lebih bersedia
berbuat baik.
4. Dorongan pada anak untuk berbuat baik akan datang dari diri anak itu
sendiri. Di sini, empati akan bertindak sebagai pencetus untuk disiplin diri.
16
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan empati menurut Eisenberg
(2002) upaya-upaya tersebut yaitu sebagai berikut:
a. Menyadari sepenuhnya emosi, semakin terbuka seseorang terhadap
emosinya maka akan semakin ia membaca perasaan seseorang.
b. Belajar mendengar pendapat orang lain, memberikan kesempatan kepada
orang lain untuk menyelesaikan apa yang dikatakannya kemudian
mengajukan pertanyaan sebelum memberikan penilaian.
c. Memperhatikan orang lain di jalan, di restoran dan di bus dan mencoba
memahami perasaannya melalui raut mukanya.
d. Menilai orang lain tidak hanya didasarkan pada tampak luar saja.
Mengetahui sikap dasar seseorang, melalui pembicaraan dan tanya jawab
yang menarik.
e. Melihat film pendek di televisi dan mencoba memperkirakan pokok
persoalan yang dibicarakan. Untuk itu setiap diri perlu menempatkan diri
dalam adegan itu.
f. Role Play atau bermain peran. Teknik bermain peran dinilai sebagai teknik
yang efektif dan akan membantu seeorang membentuk pemahaman yang
lebih dalam.
g. Menganalisis perbedaan dalam suatu pembicaraan yang bertentangan
dengan pendapat yang kita sampaikan.
h. Bertanya pada diri sendiri mengapa dalam situasi tertentu memberikan
reaksi tertentu untuk mengetahui latar belakang tingkah laku sendiri, akan
mudah untuk menempatkan diri dalam kedudukan orang lain.
17
i. Mencari sebab-sebab dalam diri sendiri ketika tidak menyukai seseorang.
j. Mencoba mencari sebanyak mungkin keterangan tentang seseorang
sebelum melakukan penilaian terhadap orang itu. Jika kita mengetahui
mengapa seseorang mempunyai tingkah laku tertentu, maka kita akan
dapat menilainya dengan lebih tepat dan bagaimanana sikap kita
terhadapnya akan menjadi lebih sesuai.
k. Mengingat setiap orang dipengaruhi oleh perasaan dan perilakunya.
Berdasarkan
uraian
tentang
upaya
menumbuhkan
dan
mengembangkan empati yang dikemukakan oleh Eisenberg (2002) pada
intinya harus dapat memahami perasaan orang lain dalam keadaan senang
maupun sedih.
2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Empati
Menurut
baumrind
(dalam
Edwards,
2002)
faktor
yang
mempengaruhi pola asuh salah satunya adalah pola asuh orangtua, pola
asuh orangtua dijelaskan dalam empat tipe pola asuh, antara lain :
Pola Asuh orangtua
Pola asuh authoritatif adalah pola asuh yang memprioritaskan
kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka.
Orangtua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari
tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orangtua tipe ini juga
bersikap realistik terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang
berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orangtua tipe ini juga
18
memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu
tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
Dampak pola asuh authoritatif akan menghasilkan karakteristik
anak - anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan
baik dengan teman, mampu menghadapi permasalahan, mempunyai minat
terhadap hal-hal baru serta koperatif dan peduli terhadap orang lain serta
mempunyai komunikasi yang efektif, empati terhadap sesama yang tinggi,
penerimaan sosial terhadap anak dan menumbuh kembangkan rasa percaya
diri pada anak.
Berikutnya pola asuh otoriter, pola asuh ini cenderung menetapkan
standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancamanancaman.
Orangtua
tipe
ini
cenderung
memaksa,
memerintah,
menghukum. Orangtua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dalam
komunikasi dan biasanya hanya bersifat satu arah.
Dampak pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak
yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka
melanggar
norma,
kurang
peduli
dengan
lingkungan
sekitar,
berkepribadian lemah, dan menarik diri dari lingkungan sosialnya
sehingga anak dengan pola asuh otoriter kemampuan berempati terhadap
sesama kurang.
Selanjutnya pola asuh permisif, pola asuh ini memberikan
pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya
untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Orangtua
19
cenderung tidak menegur atau memperingatkan apabila anak sedang
berada dalam situasi yang salah, dan sangat sedikit bimbingan yang
diberikan oleh mereka. Namun orangtua tipe ini biasanya bersifat hangat,
sehingga seringkali disukai oleh anak.
Dampak pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anakanak yang agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang
sendiri, kurang percaya diri, kurang matang secara social dan kurang
menghargai orang lain. Hal itulah yang membuat anak cenderung sulit
berempati terhadap orang lain.
Dari pola asuh authoritatif, otoriter, dan permisif, yang paling baik
untuk mengajarkan dan menumbuhkan empati pada anak adalah tipe pola
asuh demokratis.
Eisenberg
(2002)
menambahkanbeberapa
faktor
yang
mempengaruhi proses perkembangan empati pada diri seseorang yaitu :
A. Kebutuhan
Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi akan
mempunyai tingkat empati dan nilai prososial yang rendah, sedangkan
individu yang memiliki kebutuhan afiliasi yang rendah akan mempunyai
tingkat empati yang tinggi.
B. Jenis Kelamin
Perempuan mempunyai tingkat empati yang lebih tinggi daripada
laki-laki. Persepsi ini didasarkan ada kepercayaan bahwa perempuan lebih
nurturance (bersifat memelihara) dan lebih berorientasi interpersonal
20
dibandingkan laki-laki. Untuk respon empati, mendapatkan hasil bahwa
anak perempuan lebih empatik dalam merespon secara verbal keadaan
distress orang lain. Empati adalah merupakan ciri khas dari wanita yang
lebih peka terhadap emosi orang lain dan bisa lebih mengungkapkan
emosinya dibandingkan laki-laki (Koestner, 1990).
Kemampuan
berempati
akan
semakin
bertambah
dengan
meningkatnya usia. Selanjutnya Koestner (1990) menyatakan bahwa
semakin tua usia seseorang semakin baik kemampuan empatinya
dikarenakan bertambahnya pemahaman perspektif.
C. Derajat Kematangan Psikis
Empati juga dipengaruhi oleh derajat kematangan. Yang dimaksud
dengan derajat kematangan dalam hal ini adalah besarnya kemampuan
seseorang dalam memandang, menempatkan diri pada perasaan orang lain
serta melihat kenyataan dengan empati secara proporsional. Derajat
kematangan seseorang akan sangat mempengaruhi kemampuan empatinya
terhadap orang lain. Seseorang dengan derajat kematangan yang baik akan
mampu untuk menampilkan empati yang tinggi pula.
D. Sosialisasi
Sosialisasi merupakan proses melatih kepekaan diri terhadap
rangsangan sosial yang berhubungan dengan empati dan sesuai dengan
norma, nilai atau harapan sosial. Sosialisasi memungkinkan seseorang
21
dapat mengalami empati artinya mengarahkan seseorang untuk melihat
keadaan orang lain dan berpikir tentang orang lain.
Sosialisasi menjadi dasar penting dalam berempati karena dapat
melahirkan sikap empati pada anak, kepekaan sosial juga berpengaruh
pada perkembangan empati anak terhadap lingkungan.
2.2 Pola Asuh Orangtua
2.2.1
Pengertian Pola Asuh
Pola asuh menurut Meichati (1983) adalah perlakuan orangtua
dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberikan perlindungan dan
pendidikan anak dalam kehidupan sehari-hari. Pola asuh merupakan
pengaruh paling besar dalam kehidupan anak. Apa yang terjadi pada anak
di masa mendatang dipengaruhi oleh pola asuh Orangtua di masa lalu. Jadi
dapat disimpulkan bahwa dalam menerapkan pola asuh terhadap anak,
Orangtua tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik anak namun juga harus
memenuhi kebutuhan psikis anak.
Baumrind dalam Patricia (2011) mendefinisikan bahwa pola asuh
adalah kumpulan dari sikap, praktek dan ekspresi nonverbal orangtua yang
bercirikan kaalamian dari interaksi orangtua kepada anak sepanjang situasi
yang berkembang. Baumrind juga berpendapat bahwa pola asuh didasarkan
pada dua aspek pengasuhan yang sangat penting. Pertama adalah respon
orangtua yang mengacu pada tingkat orangtua merespon kebutuhan anak,
22
kedua adalah harapan orangtua yang mengacu pada sejauh mana orangtua
mengharapkan perilaku yang lebih matang dan bertanggung jawab dari
seorang anak.
Dari pengertian tersebut maka diketahui bahwa, pola asuh orangtua
adalah hubungan orangtua dan anak dalam mengadakan kegiatan
pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik dan membimbing
anak untuk mencapai kedewasaan sesuai norma-norma yang ada dalam
masyarakat.
2.2.2
Macam-macam Pola Asuh Orangtua
Baumrind dalam Yusuf (2002) menjelaskan bahwa ada empat pola
asuh orangtua dan dampaknya pada anak, dari keempat perlakuan hanya
tiga yang dilaporkan Baumrind, untuk memperoleh kejelasan tentang
gambaran hasil penelitian tersebut, dapat disimak dalam tabel dibawah ini :
Tabel 2.1 Tipe Pola Asuh Orangtua
Pola asuh
1. Authortarian
Perilaku orangtua
1.
Profil perilaku anak
Accaptance
rendah
1.
Mudah tersinggng
kontrol tinggi
2.
Penakut
2.
Suka menghukum secara fisik
3.
Pemurung
3.
Bersikap mengkomando
4.
Mudah terpengaruh
4.
Kaku
5.
Mudah stres
5.
Emosional
6.
Tidak punya arah masa
dan
namun
bersikap
menolak
2. Permissive
1.
depan
Accaptance
tinggi
namun
kontrol rendah
2.
1.
Agresif dan impulsif
2.
Suka
Memberi kebebasan kepada
anak
untuk
dorongannya
23
menyatakan
memberontak
kurang percaya diri
3.
Suka mendominasi
4.
Prestasi rendah
3. Authoritative
1.
2.
Accaptance tinggi dan kontrol
1.
Bersahabat
tinggi
2.
Memiliki rasa percaya
Kasih sayang dan cinta yang
tinggi
3.
3.
Responsif
terhadap
kebutuhan anak
4.
diri
Mampu mengendalikan
diri
4.
Sopan
Memberikan
penjelasan
5.
Mau bekerja sama
tentang
perbuatan
6.
Orientasi tujuan jelas
dampak
yang baik dan buruk
5.
Mendorong
anak
untuk
menyatakan pendapat
Menurut Baumrind dalam Yusuf (2002) pola asuh authoritative
menunjukkan dampak yang lebih dan cenderung tidak menunjukkan
perilaku kekacauan atau nakal. Pola asuh yang menunjukkan kasih sayang
mempunyai kontribusi kepada pengembangan kepribadian anak yang sehat.
2.2.3
Aspek-Aspek dalam Pola Asuh Orangtua
Menurut Baumrind dalam Edwards (2006) ada empat aspek yang
terkandung dalam pola asuh orangtua yaitu strickness, supervision,
acceptance, dan involment.
1. Strickness adalah ketaatan orangtua dalam membuat banyak peraturan
untuk mengatur perilaku anak.
2. Supervision adalah pengawasan orangtua terhadap perilaku dan
aktivitas anak.
3. Acceptance adalah penerimaan orangtua teradap perilaku anak.
4. Involment adalah keterlibatan orangtua dalam kehidupan anak.
24
Lebih jelasnya hubungan antara ketaatan orangtua, pengawasan
orangtua, penerimaan orangtua dan keterlibatan orangtua dijelaskan pada
tabel dibawah ini :
Tabel 2.2 Aspek-aspek Pola Asuh Orangtua
Penerimaan dan Keterlibatan
Ketaatan dan
Tinggi
Pengawasan
Rendah
Tinggi
Rendah
Pola Asuh
Pola Asuh
Demokratis
Otoriter
Pola Asuh
Pola Asuh
Permisif
Neglacfull
Pola asuh demokratis dikenal dengan sebutan trinitas demokratis
yaitu hangat, terbuka serta bebas terkendali. Seperti pada tabel 2.2 pola
asuh demokratis terjadi pada tingkat penerimaan dan keterlibatan yang
tinggi dan juga tingkat ketetatan serta pengawasan yang tinggi, termasuk
didalamnya terdapat kehangatan, keterbukaan dan dibentuknya kebebasan
yang terkendali dalam saling bertukar pendapat. Pola asuh otoriter terjadi
karena adanya keketatan dan tingkat kontrol yang tinggi tanpa adanya
kehangatan serta keterlibatan didalamnya, sehingga tingkat penerimaan
rendah dikarenakan tidak adanya kterbukaan dalam komunikasi antar
orangtua dengan anak. Pola asuh permisif terjadi saat tingkat penerimaan
dan kasih sayang serta keterlibatan tinggi sehingga tingkat keketatan dan
tingkat pengawasan tergolong rendah. Pola asuh neglactfull atau
penelantar memiliki tingkat keterlibatan dan penerimaan yang sangat
rendah serta tingkat keketatan dan pengawasan yang rendah.
25
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orangtua
Menurut Baumrind dalam Edwards (2006) ada dua faktor yang
mempengaruhi pola asuh orangtua.
a. Ketegangan
Ketegangan menyebabkan ketidak konsistenan dalam mengasuh
anak. Menyebabkan pola asuh Orangtua berbeda dri waktu ke
waktu
b. Cara Orangtua dibesarkan
Para Orangtua cenderung membesarkan anak anak mereka dengan
cara yang sama dengan waktu mereka dibesarkan.
2.3 Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan merupakan hasil penelitian orang lain yang
relevan dijadikan titik tolak penelitian dalam mencoba melakukan
pengulangan, merevisi, memodifikasi dan sebagainya. Penelitian yang
relevan dengan penulis yaitu antara lain penelitian oleh
Berdasarkan penelitian Hudiyah (2010), tentang hubungan antara
pola asuh authoritatif dengan empati pada anak,diketemukan koefisien
korelasi (r) sebesar 0,510 dengan p = 0,000 (p<0,01), yang artinya terdapat
hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh authoritatif
dengan empati pada anak.
Hasil penelitian tersebut bertolak belakang dengan penelitian yang
dilakukan oleh Lestari (2011), tentang hubungan pola asuh orangtua
authoritaitf dengan empati pada anak TK Aisyiyah Bustanul Athfal 24
26
Malang, berdasarkan analisis data pola asuh orangtua authoritatif dan
empati menggunakan korelasi Spearman Rho (SPSS seri15) ditemukan
hasil P-value = 0,815 lebih besar dari P > 0,05 dan analisis korelasi
spearman rho yaitu rs = 0,028. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara pola asuh authoritatif dengan empati anak
di sekolah.
Hasil penelitian Palwo (2003) tentang hubungan pola asuh
orangtua, harga diri, agresivitas siswa “SMU Alternatif” dikota Semarang
diperoleh korelasi rxy=212**, yang artinya tipe pola asuh 3 (demokratis)
terjadi korelasi antara pola asuh orangtua, harga diri, dan agresivitas.
Mengkaji dari penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, maka
dapat dilihat dengan pola asuh orangtua yang berbeda-beda pada anak
dapat menghasilkan empati yang berbeda-beda pula. Hal tersebut
ditujukan pada sikap hubungan sosial anak di lingkungannya.
2.4 Kerangka Berfikir
Pola asuh masing masing orangtua mempunyai pengaruh tersendiri
terhadap kepribadian anak. Produk dari pola asuh masing-masing orangtua
menunjukkan kepekaan perasaan yang berbeda. Pola asuh yang lebih
menunjukkan kasih sayang kepada anak, secara langsung melatih anak
untuk peka terhadap perasaan orang lain. Lebih jauh kepekaan perasaan
disini adalah empati, empati tumbuh melalui cara membesarkan anak
dengan kepedulian dan kasih sayang.
27
Empati mempunyai peran yang penting dalam kehidupan sosial,
tanpa kepekaan empati orang akan menjadi kikuk sosial, entah akibat salah
menafsirkan perasaan orang lain atau mati rasanya perasaan seseorang
akibat rusaknya suatu. Salah satu wujud kurangnya empati adalah ketika
kita cenderung menyamaratakan orang lain bukannya memandangnya
sebagai individu yang unik.
Pembentukan empati memang tidak lepas dari pengaruh peranan
pola asuh orangtua, orangtua merupakan pihak yang memiliki peranan
dalam mengatur dan mendidik anak agar tumbuh kembang dengan baik.
Penalarannya adalah ada hubungan yang signifikan antara pola
asuh dengan empati. Asumsinya pola asuh yang menunjukkan kasih
sayang yang tinggi yaitu pola asuh authoritatif menumbuhkan empati yang
tinggi, sedangkan pola asuh yang kadar kasih sayangnya kurang tinggi
yaitu pola asuh otoriter dan permisif, empati yang di miliki oleh anak
tergolong sedang bahkan rendah.
2.5 Hipotesis
Berdasarkan uraian teori diatas maka dapat diajukan hipotesis yaitu
ada hubungan yang signifikan antara tipe pola asuh authoritatif dengan
empati.
28
Download