1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk berdampingan
dengan orang lain dan tidak bisa hidup secara individual. Sebagai makhluk sosial
hendaknya manusia saling tolong menolong satu sama lain dan mengadakan interaksi
dengan orang lain untuk bertukar pikiran serta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hal ini sering terlihat secara langsung dalam masyarakat, seperti kegiatan sambatan,
kerja bakti, atau memberi bantuan baik berupa barang maupun jasa pada orang yang
sangat membutuhkan. Memberikan bantuan ataupun keuntungan pada orang lain
tanpa mengharap imbalan apapun dalam psikologi disebut dengan altruisme.
Menurut Sarwono dan Meinarno (2009), pada zaman globalisasi saat ini di
Indonesia banyak kota-kota besar sedikit demi sedikit mengalami perubahan sebagai
akibat dari modernisasi. Jadi, tidaklah mengherankan apabila di kota-kota besar nilainilai pengabdian, kesetiakawanan dan tolong-menolong mengalami penurunan
sehingga yang nampak adalah perwujudan kepentingan diri sendiri dan rasa
individualis.
Pada dasarnya manusia dalam memenuhi kebutuhanya tidak bisa lepas dari
bantuan orang lain, jadi seseorang biasanya lebih menekankan pada kepentingan
bersama dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Hal ini akan mendorong
munculnya perilaku peduli terhadap orang lain, dimana seseorang akan mudah
memberikan pertolongan dengan sukarela kepada orang lain.
1
2
Perilaku menolong disebut juga altruisme. Sears dkk (1994) mendefinisikan
altruisme adalah tindakan suka rela yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun (kecuali
mungkin perasaan telah melakukan kebaikan). Perilaku altruistik terjadi diawali
dengan adanya kemampuan mengadakan interaksi sosial yang baik di masyarakat.
Perilaku menolong merupakan suatu tindakan yang secara harfiah ada dalam diri
manusia. Hal itu karena manusia merupakan makhluk sosial yang harus berinteraksi
dengan sesama untuk memenuhi kebutuhan hidup, saling menolong, membantu, dan
melengkapi satu sama lain.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dalam memberikan
pertolongan kepada orang lain: suasana hati, meyakini keadilan dunia, empati, faktor
situasional, dan faktor sosiobiologis Wortman dkk,( dalam Dayakisni & Hudaniah,
2003). Kemudian Batson (dalam Magdalena, 2012) menjelaskan empati merupakan
pengalaman menempatkan diri pada keadaan emosi orang lain seolah-olah
mengalaminya sendiri. Sikap empati inilah yang akan mendorong seseorang untuk
melakukan tindakan menolong orang lain.
Pada kenyataanya, berdasarkan beberapa fakta dalam kehidupan masyarakat
desa, perilaku menolong sudah mulai menipis dan seringkali terjadi salah kaprah
dalam pemahaman altruisme, fakta-fakta tersebut diantaranya pada kehidupan di
pedesaan beberapa tahun 90-an nilai gotong royong masih sangat terasa. Seperti yang
peneliti amati di lingkungan tempat tinggal peneliti sendiri, ketika ada tetangga yang
melaksanakan hajatan misalnya perkawinan, hampir semua tetangga, tua muda
maupun para remaja ikut membantu (rewang) tuan rumah yang memiliki hajatan
3
tersebut meskipun tanpa permintaan terlebih dahulu, juga terdapat tradisi sambatan
yaitu membantu membangun atau merenovasi rumah tetangga tanpa dibayar upah,
contoh lain ketika mengadakan siskamling hanya dengan kentongan warga dengan
sukarela langsung melaksanakan kewajiban sosial tersebut. Namun di kehidupan
sekarang (2014), kehidupan di desa mulai berubah baik segi fisik maupun sosial
masyarakatnya.
Kehidupan sosial
mulai bergeser, partisipasi masyarakat pada
kegiatan gotong royong semakin menipis sehingga tradisi rewang dan tradisi
sambatan jarang terlihat. Masyarakat mulai berpikir praktis, bahkan sekarang jika
ada kentongan dipukul untuk bersiskamling, banyak orang yang berfikir praktis,
yaitu cukup memberi iuran rutin dan tidak perlu mengikuti siskamling.
Faktor terpenting yang mendorong sesorang dalam memberikan pertolngan
salah satunya adalah empati. Sehingga peneliti tertarik dalam penelitianya
menggunakan empati sebagai variabel prediktor (variabel bebas) untuk mengukur
altruisme antara lain karena empati merupakan dasar dari ketrampilan seseorang
dalam berinteraksi sosial, sehingga mempunyai peranan yang sangat penting bagi
remaja, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dalam kelompok karang
taruna. Batson (dalam Taufik, 2012) menyatakan bahwa empati dapat menimbulkan
dorongan untuk menolong, dan tujuan dari menolong itu untuk memberikan
kesejahteraan bagi target empati. Stephan & Stephan (dalam Gusti & Margaretha,
2010) menyatakan bahwa orang yang memiliki rasa empati akan berusaha untuk
menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan dan merasa kasihan terhadap
penderitaan orang tersebut. Tanpa kemampuan empati seseorang dapat terasing,
4
salah menafsirkan perasaan, sehingga mati rasa atau tumpulnya perasaan yang
berakibat rusaknya hubungan dengan orang lain (Sari dkk, 2003).
Pada usia remaja, salah satu tugas perkembangan yang sulit dan juga
terpenting adalah penyesuaian sosial. Perubahan-perubahan sosial dari masa anakanak ke masa remaja merupakan bagian yang sulit dari tugas perkembangan.
Perubahan perilaku sosial seperti mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan
teman sebaya, mencapai peran sosial dan perilaku altruisme yang tinggi. Hurlock
(Paramitasari & Alfian, 2012) menjelaskan tugas perkembangan tersebut pada masa
remaja menuntut perubahan besar dalam berperilaku, dalam hal ini anggota karang
taruna, karena merupakan dasar bagi pembentukan sikap dan juga pola perilaku
Pemahaman yang melibatkan komponen kognisi dan afeksi membuat remaja
mampu membangun hubungan interpersonal yang kuat, positif, dan peduli
terhadap kondisi orang lain yang sedang mengalami kesulitan. Akar empati yang
kuat diharapkan anggota karang taruna akan mampu menumbuhkan perilaku
altruisme yang tinggi dalam berinteraksi dengan orang lain. Empati yang kuat
dalam diri remaja diharapkan akan menumbuhkan perasaan peka serta rasa iba
terhadap suatu kejadian yang dialami oleh orang lain, sehingga mendorong remaja
untuk menolong orang lain dalam setiap kesulitan.
Adanya empati yang kuat akan menumbuhkan rasa kepedulian dan rasa iba
yang kemudian muncullah perilaku menolong dalam diri remaja dilingkungan
masyarakat. Brigham (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) berpendapat bahwa
perilaku menolong mempunyai maksud untuk menyokong kepentingan dan
kesejahteraan orang lain.
5
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan masalah “Apakah ada
hubungan antara empati dengan perilaku altruisme pada anggota karang taruna?”.
Kemudian untuk menjawab permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan antara empati dengan perilaku
altruisme pada karang taruna desa Pakang”.
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui hubungan antara empati dengan perilaku altruisme anggota karang
taruna di desa Pakang.
2. Mengetahui tingkat empati anggota karang taruna di desa Pakang.
3. Mengetahui tingkat perilaku altruisme pada anggota karang taruna di desa
Pakang.
4. Mengetahui sumbangan efektif empati terhadap perilaku altruisme anggota
karang taruna di desa Pakang.
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapokan dapat bermanfaat bagi:
1. Bagi karang taruna (subjek), penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai hubungan antara empati dengan perilaku altruisme,
sehingga diharapkan remaja atau anggota karang taruna dapat memahami
manfaat empati sebagai upaya meningkatkan altruisme.
6
2. Bagi orang tua, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
anak dalam bertingkah laku terkait pemahaman dan peningkatan kemampuan
berempati, sehingga anak dapat mengoptimalkan diri sebagai remaja yang peduli
terhadap orang lain dalam berinteraksi..
3. Bagi peneliti lain, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
masukan, bahan informasi, dan referensi dalam melakukan penelitian lebih
lanjut dengan jenis bidang yang sama.
Download