Tiga Sidang Buddhis Pertama Tiga Sidang Buddhis Pertama First Buddhist Council (c. 544 BCE) Second Buddhist Council (c. 444 BCE) Third Buddhist Council (c. 326 BCE) Tiga Sidang Buddhis Pertama Sidang Buddhis Pertama (c. 544 BCE) Second Buddhist Council (c. 444 BCE) Third Buddhist Council (c. 326 BCE) Tiga Sidang Buddhis Pertama Sidang Buddhis Pertama (c. 544 BCE) Sidang Buddhis Kedua (c. 444 BCE) Third Buddhist Council (c. 326 BCE) Tiga Sidang Buddhis Pertama Sidang Buddhis Pertama (c. 544 BCE) Sidang Buddhis Kedua (c. 444 BCE) Sidang Buddhis Ketiga (c. 326 BCE) Sidang Pertama Berlangsung 3 bulan setelah kemangkatan Buddha(c. 544 BCE). Held at Rajagaha (the modern city of Rajgir), in the Sattapanni cave. Sponsored by King Ajatasattu, son of King Bimbisara. Presided over by Venerable Maha Kassapa with 500 monks. Sidang Pertama Berlangsung 3 bulan setelah kemangkatan Buddha(c. 544 BCE). Dilaksanakan di Rajagaha (kota modren dari Rajgir), di gua Sattapanni. Sponsored by King Ajatasattu, son of King Bimbisara. Presided over by Venerable Maha Kassapa with 500 monks. Sidang Pertama Berlangsung 3 bulan setelah kemangkatan Buddha(c. 544 BCE). Dilaksanakan di Rajagaha (kota modren dari Rajgir), di gua Sattapanni. Disponsori oleh Raja Ajatasattu, putra dari Raja Bimbisara. Presided over by Venerable Maha Kassapa with 500 monks. Sidang Pertama Berlangsung 3 bulan setelah kemangkatan Buddha(c. 544 BCE). Dilaksanakan di Rajagaha (kota modren dari Rajgir), di gua Sattapanni. Disponsori oleh Raja Ajatasattu, putra dari Raja Bimbisara. Dikepalai oleh Yang Mulia Maha Kassapa dengan 500 bhikkhu. Sidang Pertama Seorang bhikkhu yang bernama Subhada membenci peraturan keras dan bergembira karena tidak perlu mengikutinya lagi. Ven. Maha Kassapa convened Sidang Pertama to prevent the Dhamma and Vinaya from being corrupted and to protect and preserve the teachings of the Sidang Pertama Seorang bhikkhu yang bernama Subhada membenci peraturan keras dan bergembira karena tidak perlu mengikutinya lagi. Yang Mulia Maha Kassapa memanggil rapat Sidang Pertama untuk mencegah lenyapnya Dhamma dan Vinaya dan untuk melindungi dan memelihara ajaran Buddha. Sidang Pertama Buddha memberitahukan Ananda bahwa beberapa peraturan minor dapat diubah tetapi Ananda tidak bertanya yang mana. It was decided that no changes were to be made, and the Monastic rules were preserved as originally laid down. Sidang Pertama Buddha memberitahukan Ananda bahwa beberapa peraturan minor dapat diubah tetapi Ananda tidak bertanya yang mana. Diputuskan bahwa tidak ada perubahan, dan peraturan monastik dipelihara seperti apa yang telah digariskan sebelumnya. Sidang Pertama Kesemua 500 bhikkhu kemudian menyetujuinya dan merumuskan Vinaya dan Dhamma. These were compiled into the Vinaya Pitaka and Sutta Pitaka and memorized, handing them down by oral tradition. The process took 7 months. Sidang Pertama Kesemua 500 bhikkhu kemudian menyetujuinya dan merumuskan Vinaya dan Dhamma. Kesemuanya dikompilasikan ke dalam Vinaya Pitaka dan Sutta Pitaka, dan dihafal, lalu diteruskan dengan tradisi lisan. The process took 7 months. Sidang Pertama Kesemua 500 bhikkhu kemudian menyetujuinya dan merumuskan Vinaya dan Dhamma. Kesemuanya dikompilasikan ke dalam Vinaya Pitaka dan Sutta Pitaka, dan dihafal, lalu diteruskan dengan tradisi lisan. Prosesnya mengambil waktu 7 bulan. Sidang Pertama Masih belum terdapat catatan tertulis dari ajaran dan bhikkhu-bhikkhu harus menghafalnya dan kemudian mengajari generasi berikut dari bhikkhu dengan cara yang sama. They were recited by groups of people cross-checking with each other to ensure that no omissions or additions were made. Sidang Pertama Masih belum terdapat catatan tertulis dari ajaran dan bhikkhu-bhikkhu harus menghafalnya dan kemudian mengajari generasi berikut dari bhikkhu dengan cara yang sama. Ajaran-ajaran tersebut dibaca ulang oleh sekelompok bhikkhu yang saling mengoreksi satu sama lain untuk menyakinkan bahwa tidak ada Sidang Pertama Sekitar 83 BCE, Sidang Keempat (dalam tradisi Theravada) diadakan di kota Matale, di Aluvihara di Sri Lanka. At this Council, the teachings handed down orally, were put down in writing on ola leaves. Sidang Pertama Sekitar 83 BCE, Sidang Keempat (dalam tradisi Theravada) diadakan di kota Matale, di Aluvihara di Sri Lanka. Pada Sidang ini, ajaran-ajaran yang disampaikan secara lisan, dicatat dalam tulisan di atas daun ola. Sidang Pertama – Membaca ulang dan menegaskan kembali Dhamma dan Vinaya untuk melindungi dan memelihara ajaran Buddha. Second Council – The 10 disputed points led to the split between the liberal Mahasanghikas and the orthodox Sthavarivadans, the ‘Great Schism’. Third Council – The purification of the Sangha by King Asoka, and the sending of missionary monks to 9 different regions, including Sri Lanka. Sidang Kedua Berlangsung 100 tahun setelah kemangkatan Buddha(c. 444 BCE). Held at Vesali. Patronage of King Kalasoka. Presided over by Venerable Revata with 700 monks. Sidang Kedua Berlangsung 100 tahun setelah kemangkatan Buddha(c. 444 BCE). Dilaksanakan di Vesali. Patronage of King Kalasoka. Presided over by Venerable Revata with 700 monks. Sidang Kedua Berlangsung 100 tahun setelah kemangkatan Buddha (c. 444 BCE). Dilaksanakan di Vesali. Di bawah perlindungan Raja Kalasoka. Presided over by Venerable Revata with 700 monks. Sidang Kedua Berlangsung 100 tahun setelah kemangkatan Buddha(c. 444 BCE). Dilaksanakan di Vesali. Di bawah perlindungan Raja Kalasoka. Dikepalai oleh Yang Mulia Revata dengan 700 bhikkhu. Sidang Kedua Ketika mengunjungi Vesali, Yang Mulia Yasa melihat sekelompok bhikkhu yang dikenal sebagai suku Vajjian mengumpulkan dan menerima emas dan perak. He criticized them but their response was to offer him a share in the hope that he would be won over. Sidang Kedua Ketika mengunjungi Vesali, Yang Mulia Yasa melihat sekelompok bhikkhu yang dikenal sebagai suku Vajjian mengumpulkan dan menerima emas dan perak. Beliau mengkritik mereka tetapi mereka memberikan tanggapan dengan menawarinya sebagian perolehan dengan harapan beliau dapat memihak mereka. Sidang Kedua Yang Mulia Yasa melaporkan pelanggaran ini kepada Yang Mulia Revata yang sangat dihormati, yang menasehati tentang perlunya pelaksanaan sidang. Ten disputed points were brought before a council of the most senior monks at the time. Sidang Kedua Yang Mulia Yasa melaporkan pelanggaran ini kepada Yang Mulia Revata yang sangat dihormati, yang menasehati tentang perlunya pelaksanaan sidang. Sepuluh titik yang diperdebatkan dibawa kedepan sidang di hadapan bhikkhubhikkhu yang paling senior pada waktu itu. Sidang Kedua 1. Menggunakan garam dalam tanduk. 2. Makan setelah petang hari. 3. Makan sekali dan kemudian pergi kembali ke desa untuk makanan lebih. 4. Mengadakan upacara Uposatha di bangunan berbeda (di ruangan sima yang besar). 5. Melakukan upacara Vinaya terlebih dahulu, kemudian mendapatkan persetujuan dari bhikkhu-bhikkhu yang tidak hadir. Sidang Kedua 6. Mengikuti praktek tertentu karena hal itu dilakukan oleh pembina atau guru dari bhikkhu tersebut. 7. Minum susu asam setelah makan siang. 8. Minum anggur palem yang tidak difermentasikan. 9. Menggunakan tikar yang berumbai. 10. Menerima dan menggunakan emas dan perak. Sidang Kedua Sidang tersebut memberi putusan menentang bhikkhu-bhikkhu Vajjian dan menyatakan tindakan mereka tidak sah. A total of 700 monks present then reaffirmed the teachings of the Buddha by reciting the Dhamma and Vinaya together. Sidang Kedua Sidang tersebut memberi putusan menentang bhikkhu-bhikkhu Vajjian dan menyatakan tindakan mereka tidak sah. Sejumlah 700 bhikkhu yang hadir kemudian menegaskan kembali ajaran Buddha dengan membaca ulang Dhamma dan Vinaya secara bersama-sama. Sidang Kedua Akan tetapi, bhikkhu-bhikkhu Vajjian menolak untuk menerima putusan ini dan pergi untuk melaksanakan sidang mereka sendiri. This resulted in the Buddhist Order formally splitting into two sects, and became known as the ‘Great Schism’ of Buddhism. Sidang Kedua Akan tetapi, bhikkhu-bhikkhu Vajjian menolak untuk menerima putusan ini dan pergi untuk melaksanakan sidang mereka sendiri. Hal ini mengakibatkan perpecahan komunitas Sangha secara formal menjadi dua sekte, dan dikenal disebagai ‘Perpecahan Besar’ dari ajaran Buddha. Sidang Kedua Bhikkhu-bhikkhu Vajjian yang liberal dikenal sebagai Mahasanghika atau ‘Komunitas Besar’. The orthodox monks associated with Ven. Revata became known as the Sthavarivadins or the ‘Community of the Elders’. Sidang Kedua Bhikkhu-bhikkhu Vajjian yang liberal dikenal sebagai Mahasanghika atau ‘Komunitas Besar’. Bhikkhu-bhikkhu ortodoks yang berasosiasi dengan Yang Mulia Revata dikenal sebagai Sthavarivadin atau ‘Komunitas para Sesepuh’. Sidang Pertama – Membaca ulang dan menegaskan kembali Dhamma dan Vinaya untuk melindungi dan memelihara ajaran Buddha. Second Council – The 10 disputed points led to the split between the liberal Mahasanghikas and the orthodox Sthavarivadans, the ‘Great Schism’. Third Council – The purification of the Sangha by King Asoka, and the sending of missionary monks to 9 different Sidang Pertama – Membaca ulang dan menegaskan kembali Dhamma dan Vinaya untuk melindungi dan memelihara ajaran Buddha. Sidang Kedua – 10 titik yang diperdebatkan menuntun pada perpecahan di antara Mahasanghika yang liberal dan Sthavarivadan yang ortodoks, ‘Perpecahan Besar’. Third Council – The purification of the Sangha by King Asoka, and the sending of missionary monks to 9 different regions, including Sri Lanka. Sidang Ketiga Berlangsung sekitar 200 tahun setelah kemangkatan Buddha(c. 326 BCE). Held at Asokarama in Pataliputta. Patronage of King Asoka. Presided over by Ven. Moggaliputta Tissa and 1,000 monks. Sidang Ketiga Berlangsung sekitar 200 tahun setelah kemangkatan Buddha(c. 326 BCE). Dilaksanakan di Asokarama di Pataliputta. Patronage of King Asoka. Presided over by Ven. Moggaliputta Tissa and 1,000 monks. Sidang Ketiga Berlangsung sekitar 200 tahun setelah kemangkatan Buddha (c. 326 BCE). Dilaksanakan di Asokarama di Pataliputta. Di bawah perlindungan Raja Asoka. Presided over by Ven. Moggaliputta Tissa and 1,000 monks. Sidang Ketiga Berlangsung sekitar 200 tahun setelah kemangkatan Buddha(c. 326 BCE). Dilaksanakan di Asokarama di Pataliputta. Di bawah perlindungan Raja Asoka. Dikepalai oleh Yang Mulia Moggaliputta Tissa dengan 1000 bhikkhu. Sidang Ketiga Raja Asoka pada awalnya adalah seseorang yang sangat berambisi dan kejam yang memperoleh tahta dengan membunuh semua putra dari ayahnya, kecuali adik kandungnya sendiri. He went on to conquer the neighbouring states, causing untold death and destruction. Sidang Ketiga Raja Asoka pada awalnya adalah seseorang yang sangat berambisi dan kejam yang memperoleh tahta dengan membunuh semua putra dari ayahnya, kecuali adik kandungnya sendiri. Raja melanjutkan penaklukkan kerajaan tetangga, menyebabkan kematian dan kehancuran yang tak terhitung. Sidang Ketiga Dia kemudian menyadari penderitaan yang diperbuat dirinya pada ratusan ribu orang dan ditarik ke dalam ajaran Buddha oleh seorang samanera muda yang bernama Nigrodha. He then ruled according to the Buddhist ideals of pacifism and compassion, and his empire flourished greatly. Sidang Ketiga Dia kemudian menyadari penderitaan yang diperbuat dirinya pada ratusan ribu orang dan ditarik ke dalam ajaran Buddha oleh seorang samanera muda yang bernama Nigrodha. Dia kemudian memimpin sesuai dengan ideal Buddhis yang damai dan belas kasih, dan kerajaannya maju besar. Sidang Ketiga Dia melarang pengorbanan binatang dan kemudian juga melarang pembunuhan binatang di istana untuk tujuan dikonsumsi. He spread Buddhism throughout India through Rock Edicts and Pillars which had important teachings inscribed on them. Many of these archaeological treasures have survived till now. Sidang Ketiga Dia melarang pengorbanan binatang dan kemudian juga melarang pembunuhan binatang di istana untuk tujuan dikonsumsi. Dia menyebarkan ajaran Buddha di sepanjang India melalui Dekrit dan Tiang Batu yang memiliki ukiran ajaran-ajaran penting. Banyak dari harta benda arkeologi ini yang masih bertahan sampai Sidang Ketiga Dia menggunakan kekayaannya yang berlimpah untuk membangun Stupa, dan Vihara- Vihara yang tak terhitung jumlahnya di sepanjang India dan menyediakan dukungan yang dermawan kepada Sangha. But this led to many unwholesome and greedy people joining the Sangha who held wrong views and preached Sidang Ketiga Dia menggunakan kekayaannya yang berlimpah untuk membangun Stupa, dan Vihara- Vihara yang tak terhitung jumlahnya di sepanjang India dan menyediakan dukungan yang dermawan kepada Sangha. Tetapi ini menyebabkan banyak orangorang jahat dan tamak yang memasuki Sangha, yang berpandangan salah dan Sidang Ketiga Raja Asoka kemudian meminta Penetua yang dihormati, Yang Mulia Moggaliputta Tissa untuk membantu mengoreksi keadaan yang menyedihkan ini. The Elder selected 1,000 monks to recite and reaffirm the Dhamma and Vinaya. This took 9 months to complete. Sidang Ketiga Raja Asoka kemudian meminta Penetua yang dihormati, Yang Mulia Moggaliputta Tissa untuk membantu mengoreksi keadaan yang menyedihkan ini. Penetua memilih 1000 bhikkhu untuk membaca ulang dan menegaskan kembali Dhamma dan Vinaya. Ini memerlukan waktu 9 bulan. Sidang Ketiga Raja juga mempertanyai bhikkhu-bhikkhu dari banyak Vihara, dan mereka yang berpandangan salah tersingkap dan segera diusir dari Sangha. In this way, the Sangha was purged of heretics, and corrupt and bogus monks. Sidang Ketiga Raja juga mempertanyai bhikkhu-bhikkhu dari banyak Vihara, dan mereka yang berpandangan salah tersingkap dan segera diusir dari Sangha. Dengan cara ini, Sangha dibersihkan dari bhikkhu-bhikkhu yang heretik, korupsi dan palsu. Sidang Ketiga Sebagai tambahan, buku kelima dari Abhidhamma Pitaka yang disebut Kathavatthu, disusun untuk memeriksa dan menyangkal ajaran heretik. Possibly the most significant achievement of this Council was the sending of missionary monks to nine different regions around India. Sidang Ketiga Sebagai tambahan, buku kelima dari Abhidhamma Pitaka yang disebut Kathavatthu, disusun untuk memeriksa dan menyangkal ajaran heretik. Kemungkinan pencapaian yang paling penting dari sidang ini adalah pengiriman bhikkhu-bhikkhu misionaris ke 9 daerah yang berbeda di sekitar India. Sidang Ketiga Sejauh ini, misi yang paling penting dan sukses adalah misi ke Sri Lanka. It was led by King Asoka’s own son, Ven. Mahinda who converted the Sri Lankan king, and eventually all his subjects, to Buddhism. The Tipitaka was also brought over and eventually compiled into writing in Sri Lanka about 300 years later. Sidang Ketiga Sejauh ini, misi yang paling penting dan sukses adalah misi ke Sri Lanka. Misi tersebut dipimpin oleh putra kandung Raja Asoka, Yang Mulia Mahinda yang menarik raja Sri Lankan, dan kemudian seluruh pengikutnya, ke dalam ajaran Buddha. The Tipitaka was also brought over and eventually compiled into writing in Sri Lanka about 300 years later. Sidang Ketiga Sejauh ini, misi yang paling penting dan sukses adalah misi ke Sri Lanka. Misi tersebut dipimpin oleh putra kandung Raja Asoka, Yang Mulia Mahinda yang menarik raja Sri Lankan, dan kemudian seluruh pengikutnya, ke dalam ajaran Buddha. Tipitaka juga dibawa dan kemudian disusun secara tertulis di Sri Lanka sekitar 300 tahun kemudian. Sidang Pertama – Membaca ulang dan menegaskan kembali Dhamma dan Vinaya untuk melindungi dan memelihara ajaran Buddha. Second Council – The 10 disputed points led to the split between the liberal Mahasanghikas and the orthodox Sthavarivadans, the ‘Great Schism’. Third Council – The purification of the Sangha by King Asoka, and the sending of missionary monks to 9 different regions, including Sri Lanka. Sidang Pertama – Membaca ulang dan menegaskan kembali Dhamma dan Vinaya untuk melindungi dan memelihara ajaran Buddha. Sidang Kedua – 10 titik yang diperdebatkan menuntun pada perpecahan di antara Mahasanghika yang liberal dan Sthavarivadan yang ortodoks, ‘Perpecahan Besar’. Third Council – The purification of the Sangha by King Asoka, and the sending of missionary monks to 9 different regions, including Sri Lanka. Sidang Pertama – Membaca ulang dan menegaskan kembali Dhamma dan Vinaya untuk melindungi dan memelihara ajaran Buddha. Sidang Kedua – 10 titik yang diperdebatkan menuntun pada perpecahan di antara Mahasanghika yang liberal dan Sthavarivadan yang ortodoks, ‘Perpecahan Besar’. Sidang Ketiga – Pemurnian Sangha oleh Raja Asoka, dan pengiriman bhikkhubhikkhu misionaris ke 9 daerah yang berbeda, termasuk Sri Lanka. Dipersiapkan oleh T Y Lee www.justbegood.net