Indonesia dan Hukum Internasional

advertisement
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL:
DINAMIKA POSISI INDONESIA TERHADAP
HUKUM INTERNASIONAL
Damos Dumoli Agusman
Abstract
Jurists had debated the relationship between international law and
national law for many years. They created the legendary theories,
namely monism and dualism and continue with adoption and
transformation theories. Within the historical perspective of Indonesia,
international law is the pro establishments that give the legitimation
for colonial state to colonize its colony. Therefore, international law is
different with the legal system of Indonesia and become a new element
within the architecture of Indonesian Law. The impact of the
aforementioned issue is Indonesian legal system had not concerned
with the existence of international law, particularly international
treaties.
The issue concerning relationship between international treaties and
national law in Indonesia become unique and interesting. Indonesian
tradition of international law had been colored by nationalistic
sentiment, resistance and the struggling against the colonial tone of
international law. This presumption and tradition will affect the
behavior of Indonesia toward international law as stated by Ko Swan
Sik.
Keywords: international law, national law, Indonesian legal system,
treaty law
A. Pendahuluan
Pakar
hukum
Belanda,
Lambertus
Erades,
pernah
mengekpresikan kegelisahannya bahwa “the relation between international
law and municipal law is a subject with which many generations of lawyers have
8
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
wrestled, are wrestling and will continue to wrestle”.1 Para pakar hukum
telah lama berdebat soal bagaimana hubungan kedua bidang hukum ini
yang akhirnya melahirkan teori legendaris yang disebut dengan monisme
dan dualisme dan berlanjut dengan derivatif-nya yaitu teori adopsi dan
transformasi. Studi tentang hubungan kedua hukum ini sudah banyak,
tidak hanya soal interaksi antara kedua hukum ini namun juga menguak
konflik diantara keduanya. Namun sayangnya, studi ini masih terbatas
pada negara-negara modern2 dan belum banyak mengkaji sistem-sistem
hukum di negara-negara berkembang. Belum banyak terkuak bagaimana
hubungan hukum internasional dan hukum nasional di negara-negara
baru yang lahir setelah PD II dan yang melepaskan diri tradisi hukum
kolonialnya seperti Indonesia.3
Negara-negara bekas koloni, yang mewariskan sistem hukum
negara penjajahnya, lebih gampang menjelaskan hubungan kedua hukum
ini karena negara-negara ini cenderung mewarisi sistem hukum yang
dianut oleh negara penjajahnya yang telah menyediakan doktrin untuk
1 Lambertus Erades, ‘International Law and the Netherlands Legal Order’, di H.F. van Panhuys (ed.),
International Law in the Netherlands, vol. III (1980), 376.
2 Andrea Bianchi, ‘International Law and US Courts: the Myth of Lohengrin Revisited’, 15 EJIL (2004)
4, 751; Tidak seperti pengalaman negara-negara Barat, Ko berargumen bahwa Negara-negara Asia
tidak pernah membahas masalah ini, lihat Swan Sik Ko, ‘International Law in Municipal Legal Orders
of Asian States: Virgin Land’, di Ronald St. J. Macdonald (ed.), Essays in Honour of Wang Tieya
(1994), 740.
3 Studi komparatif dengan merujuk pada beberapa system hukum Negara berkembang dalam proses
penyusunan perjanjian internasional dan status domestik perjanjian internasional dapat ditemukan di
Duncan B Hollis, Merritt R. Blakeslee and L. Benyamin Ederington (eds), National Treaty Law and
Practice (2005); David Sloss (ed.), The Role of Domestic Courts in Treaty Enforcement, A Comparative
Study (2009); Dinah Shelton (ed.), International Law and Domestic Legal Systems: Incorporation,
Transformation and Persuasion (2011).
9
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
persoalan ini.4 Bekas jajahan Inggris akan serta merta mewarisi sistem
common law yang telah menyediakan doktrin untuk persoalan hubungan
hukum internasional dan hukum nasional yang cenderung menganut
dualisme, namun untuk Indonesia persoalan ini tampaknya belum jelas.5
Indonesia adalah negara baru yang memperoleh kemerdekaannya
dan pejajahan Belanda dengan perjuangan pahit. Akibatnya, Indonesia
cenderung anti penjajah dan menjadi tidak antusias mengadopsi tradisi
hukum Belanda sehingga cenderung membangun sistem hukumnya
sendiri.6 Bagi Indonesia, secara historis hukum internasional adalah pro
establishement yang memberi legitimasi bagi negara penjajah untuk terus
menjajah negara jajahannya. Hukum internasional pada waktu itu
menjadi sangat tidak bersahabat bagi Indonesia. Itulah sebabnya, hukum
internasional menjadi agak asing bagi sistem Indonesia dan menjadi
elemen yang cenderung baru dalam arsitektur hukum Indonesia.
Akibatnya, bagaimana sistem hukum Indonesia menyikapi hukum
4 Tiyanjana Maluwa, ‘The Incorporation of International Law and its Interpretational Role in
Municipal Legal Systems in Africa: An Exploratory Survey’, 23 SAYIL (1998), 48.
5 Bekas koloni Inggris di dunia berkembang seperti Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh dan
lainnya) dan di Asia Tenggara (Malaysia, Singapora, Brunei Darussalam) akan tanpa terelakkan
menerapkan prinsip common law Inggris pada status perjanjian internasionalnya. Namun Shaw
memberi kesan bahwa hal tersebut akan berbeda pada Negara civil law, lihat Malcolm N. Shaw,
International Law (1997), 123.
6 Swan Sik Ko mengkategorikan Negara-negara tersebut sebagai tanah perawan, lihat Sik Ko (note 4),
737-752.
10
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
internasional khususnya perjanjian internasional belum mendapatkan
perhatian dalam sistem hukum ini.7
Persoalan tentang hubungan perjanjian internasional dan hukum
nasional menjadi sangat menarik dan unik. Pengalaman sejarah Indonesia
sedikit banyak dapat menjelaskan relasi ini. Indonesia melepaskan diri
dari sistem kolonialisme Belanda yang waktu itu dilabelkan sebagai
dunia Barat, dunia yang menciptakan “hukum internasional”. Tradisi
Indonesia sudah diwarnai oleh sentimen nasionalisme, resistensi dan
perlawanan terhadap apa yang diyakini sebagai “hukum internasional
kolonial”. Persepsi dan tradisi ini, seperti kata Ko Swan Sik8 akan
mewarnai sikap Indonesia terhadap hukum internasional.
Indonesia memisahkan diri dari Belanda dengan cara revolusioner
dan dengan demikian menolak mewarisi tradisi hukum Belanda tentang
hukum internasional.9 Indonesia membangun sistem hukumnya sendiri
dan menetapkan sikap tersendiri terhadap hukum internasional.
Sekalipun mempertahankan tradisi civil law
Belanda, Indonesia
merumuskan UUD-nya sendiri setelah kemerdekaan.
Sejak kemerdekaan, Indonesia berjuang keras untuk memperoleh
pengakuan internasional yang akhirnya diperoleh pada tahun 1949.
7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya
ada pada Swan Sik Ko, The Indonesian Law and Treaties 1945-1990 (1993).
8 Sik Ko (note 4), 738.
9 Selama masa kolonial, Indonesia tidak memiliki sistem hukum yang mengatur perjanjian
internasional karena merupakan bagian dari Belanda dan tidak memiliki kedaulatan. Setelah masa
kemerdekaan, Indonesia mewarisi sebagian besar sistem hukum Belanda (hukum perdata dan
hukum pidana) terkecuali hukum konstitusi.
11
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
Setelah itu, Indonesia mengalami 3 periode rejim pemerintahan, pertama
disebut dengan ‘orde lama’10 yang ditandai dengan sistem demokrasi
terpimpin oleh Presiden Sukarno yang sangat dominan dalam politik
nasional. Pada awalnya Presiden Sukarno berorientasi pada demokrasi
namun lambat laun mengarah pada pelanggengan kekuasaan yang
ditandai dengan istilah Presiden seumur hidup. Krisis ekonomi pada
tahun 1960-an menggiring keruntuhan rejim ini dan selanjutnya diganti
dengan rejim ‘orde baru’ yang dipimpin oleh pemerintahan militer
Presiden Soeharto. Krisis ekonomi yang sama terjadi pada tahun 1998 dan
juga memaksa rejim orde baru ini mengakhiri kekuasaannya yang
kemudian diganti dengan rejim ketiga yaitu rejim ‘reformasi’ yang
menguasai sampai saat ini.
Pada masa rejim otoriter baik orde lama maupun orde baru,
perdebatan tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional
tidak berkembang. Sistem politik yang dominan pada waktu itu dengan
serta merta akan memberikan jawaban politik terhadap persoalan juridis
ini. Persoalan ini tidak kontroversial dan tidak merangsang publik untuk
membahas persoalan ini dari segi hukum. Namun di era reformasi
pertanyaan tentang status hukum dari suatu perjanjian internasional di
dalam sistem hukum Indonesia sudah mulai mencuat. Pertanyaan ini
lahir karena tekanan dari dua arah secara bersamaan yaitu internal
10 Istilah ‘orde lama’ (1945-1966) diperkenalkan dan dipergunakan oleh rejim ‘orde baru’ (1966-1999).
12
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
maupun eksternal. Secara internal, Indonesia mulai mempraktekkan
demokrasi modern yang harus ditandai dengan prinsip rule of law,
partisipasi parlemen, pembagian kekuasaan dan kepastian hukum.
Prinsip-prinsip demokrasi ini menuntut adanya ketegasan hukum
tentang status suatu perjanjian internasional dalam sistem hukum.
Tekanan eksternal terjadi akibat globalisasi. Ciri utama dari
globalisasi adalah semakin kaburnya batas perbedaan antara hukum
internasional dan hukum nasional. Dewasa ini telah lahir banya
perjanjian internasional yang bersifat intrusif ke hukum nasional seperti
perjanjian tentang lingkungan hiudp, HAM dan perdagangan. Sifat
intrusif dari perjanjian ini telah mendorong para pakar Indonesia untuk
menemukan jawaban terhadap status perjanjian ini dalam kaca mata
hukum nasional.
B. Respon Indonesia terhadap Hukum Internasional
1. Sikap Permusuhan (1945-1966)
Indonesia memiliki sikap yang sama dengan negara-negara Asia
pada umumnya terhadap hukum internasional, yakni selektif: memilih
norma hukum internasional yang bermanfaat bagi perjuangannya dan
menolak norma yang merugikannya.11 Sikap ini selaras dengan
pengalaman sejarahnya yang melihat hukum internasional sangat
11 James Leslie Brierly, The Law of Nations (1963), 43-44; J.J.G. Syatauw, Some Newly Established
Asian States and the Development of International Law (1961), 221.
13
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
menguntungkan negara penjajah dan sebaliknya merugikan setiap negara
yang hendak merdeka karena karakternya yang ‘separatism”.12 Sentimen
ini telah mendorong para pendiri bangsa untuk mencap bahwa
kolonialisme adalah dunia Barat si pencipta hukum internasional.
Hukum ini menjustifikasi penundukan bangsa Asia Afrika terhadap
kolonialisme.13 Sebaliknya, proklamasi kemerdekaan oleh dunia Barat
dituduh
sebagai
tindakan
sepihak
yang
melanggar
hukum
internasional.14
Berakhirnya perang kemerdekaan ditandai dengan pembentukan
the Netherlands-Indonesia Union pada tahun 1949 dan sejak itu sikap
Indonesia terhadap hukum internasional berorientasi pada Belanda yakni
sangat bersahabat. Namun sikap bersahabat ini hanya berlansung singkat
karena sejak 1950 Indonesia memutuskan secara sepihak Konferensi Meja
12 Kemerdekaan Indonesia terjadi sebelum kaidah self-determination yang dikembangkan dalam UN
Universal Declaration of Human Rights 1948 dan Declaration of Granting Independence to Colonial
People and Countries, 1960. Pada tahap selanjutnya, seiring proses dekolonialisasi setelah Perang
Dunia Kedua, pandangan Negara berkembang terhadap hukum internasional telah menjadi topik
klasik di buku-buku hukum internasional, lihat N. Shaw (note 7), 36-39; Michael Akehurst, Modern
Introduction to International Law (1977), 29; Antonio Cassese, International Law (2005), 115-123.
Beberapa peneliti membahasnya dalam topik “Third World Approaches to International Law”, lihat
B.S. Chimni, ‘Third World Approaches to International Law: Manifesto’, 8 International Community
Law Review (2006), 3-27; David P. Fidler, ‘Revolt Against of From Within the West? TWAIL, the
Developing World, and the Future Direction of International Law’, 2 Chinese JIL (2003) 29, 1-46;
Antony Anghie and B.S. Chimni, ‘Third World Approaches to International Law and Individual
Responsibility in Internal Conflicts’, 2 Chinese JIL (2003) 1, 77-103.
13 Persepsi terhadap hukum internasional sebagai penopang kolonialisme dimiliki oleh sebagian
besar orang Asia pada abad ke-20, lihat Muthucumaraswamy Sornarajah, ‘Asian Perspective to
International Law in the Age of Globalization’, 5 Sing. J. Int'l & Comp. L. (2001) 2, 284-313.
14 Sunaryati Hartono, ‘The Interaction between National Law and International Law in Indonesia’, di
Paul Waart, Paul Peters and Erik Denters (eds), International Law and Development (1988), 35.
14
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
Bundar 1949, yang waktu itu dikritik sebagai melanggar hukum
internasional. Sejak itu, seiring dengan memburuknya hubungan
Indonesia dengan Belanda, sikap anti Barat semakin menguat dan
cenderung menjadi identik dengan sikap anti hukum internasional. Sikap
Indonesia menjadi sangat anti Barat dan cenderung membangkitkan
semangat
revolusi
yang
pernah
dikobarkan
pada
era
perang
kemerdekaan.15 Akibatnya, sentimen ini berimbas pada sikap yang sama
yaitu anti terhadap hukum internasional.
Beberapa kebijakan Indonesia pada era ini sangat sarat dengan
perlawanan terhadap hukum internasional. Pada tahun 1957, kekecewaan
Indonesia terhadap PBB semakin memuncak karena PBB dianggap tidak
lagi membantu Indonesia dalam pertikaian dengan Belanda atas Irian
Barat sehingga pada tahun 1958 Indonesia mengeluarkan PP No. 23 tahun
1958 yang menasionalisasikan semua Perusahaan Belanda di Indonesia.
Berdasarkan penjelasan dari PP ini, kebijakan ini diambil dalam rangka
penyelamatan kelangsungan dan kelancaran ekonomi akibat perjuangan
pembebasan Irian Barat. Kebijakan nasionalisasi ini telah menimbulkan
kontroversi dan melahirkan gugatan terhadap Indonesia di pengadilan
Jerman.16 Para pakar hukum internasional juga angkat bicara mengkritisi
15 B.H. Vlekke, Indonesia in 1956 (1957), 9.
16 Decision of Landesgericht 1958 and Oberlandesgericht Bremen 1959, De Vereingde Deli
Maatschapijen vs Deutsch-Indonesischen Tabak Handels G.m.b.H; Martin Domke, ‘Indonesian
Nationalisation Measures before Foreign Courts’, 54 AJIL (1960) 2, 205-323 and the reply by Hans W.
Baade, ‘Indonesian Nationalization Measures Before Foreign Courts- a Reply’, 54 AJIL (1960), 801-835.
15
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
kebijakan ini sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional.17 Pakar
hukum internasional Mochtar Kusumaatmadja sendiri mengakui bahwa
kebijakan ini prima facie bertentangan dengan hukum internasional
tentang perlindungan warga asing beserta propertinya.18
Resistensi Indonesia terhadap hukum internasional memuncak
pada waktu munculnya ancaman strategis yang diakibatkan oleh hukum
laut yang berlaku pada saat itu. Lebar laut yang hanya diperkenankan 3
mil telah mengakibatkan Indonesia dipisahkan oleh laut bebas dan
membuka ruang bagi kebebasan kapal-kapal perang Belanda di tengahtengah perebutan Irian Barat. Akibatnya Indonesia melihat hukum laut
yang berlaku saat itu sangat merugikan kelangsungan hidup Indonesia
karena wilayah Indonesia menjadi tercerai-berai dan sangat rawan
terhadap disintegrasi oleh daerah-daerah yang pada waktu itu cenderung
menguat. Ancaman ini menimbulkan persoalan ketahanan dan keamanan
negara dan semakin meningkatkan sentimen negatif bahwa hukum
internasional tidak adil.19
Sebagai reaksi terhadap ketidakadilan hukum laut ini maka pada
tahun 1957 Indonesia mengeluarkan deklarasi unilateral yang terkenal
17 Board of Editors, ‘The Measure Taken by Indonesian Government against the Netherlands
Enterprises’, 5 NILR (1958) 3, 227-247; Lord McNair, ‘The Seizure of Property and Enterprises in
Indonesia’, 6 NILR (1959) 3, 218-256; Alfred Verdross, ‘Die Nationalisierung niederländischer
Unternehmungen in Indonesien im Lichte des Völkerrechts’, 6 NILR (1959) 3, 278-290.
18 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (1976), 48-49.
19 Beberapa penulis seperti Sornarajah menyatakan bahwa: ‘once free, the new States began to
construct a series of principles of international law that conserved their interest’, lihat Sornarajah
(note 15), 286.
16
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
dengan Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini menegaskan bahwa laut yang
berada diantara pulau-pulau adalah laut yang menghubungkan pulaupulau ketimbang memisahkannya. Untuk itu, Deklarasi menetapkan
penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar
dari pulau-pulau terluar dan selanjutnya mengklaim bahwa perairan
didalamnya yang semula adalah laut bebas menjadi perairan pedalaman.
Deklarasi ini tentu saja mengundang protes keras dari negara-negara
Barat20 khususnya Amerika Serikat21 yang menganggap Deklarasi ini
sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional. Walaupun deklarasi
ini ditolak dalam Konferensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut, Indonesia
tetap bersikukuh dengan kebijakan ini dengan mengeluarkan UU No. 4
Tahun 1960 yang mempertahankan
sikap
‘persistent non-compliance’
terhadap ‘international law’, sampai akhirnya gagasan ini diterima dalam
Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut.
Sikap apatis terhadap hukum internasional semakin meningkat
manakala politik luar negeri Indonesia mendekat ke blok sosialis Russia
dan China di era perang dingin, dan eskalasinya semakin buruk pada
tahun 1963 waktu Presiden Soekarno menggagas ide kontroversial
tentang ‘new emerging forces’ (NEFOS) yang mewakili negara-negara Asia,
Amerika Latin, negara-negara sosialis dan berhadapan dengan apa yang
dia sebut sebagai ‘old emerging forces’ (OLDEFOS) yang merujuk pada
20 Daniel P. O’Connell, The International Law of the Sea (1982), 39.
21 Arthur H. Dean, ‘The Second Geneva Conference on the Law of the Sea: The Fight for Freedom of
the Seas’, 54 AJIL (1960) 4, 753.
17
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
negara-negara kapitalis. Gerakan ini berakhir ketika Soekarno dipaksa
turun dari kekuasaannya pada tahun 1966. Sikap perlawanan terhadap
hukum internasional mencapai klimaks pada saat Indonesia melalui
suratnya tanggal 20 January 1965 menyatakan mundur
22
dari
keanggotaan PBB dan semua organnya dengan dasar pertimbangan sbb:
… that in the circumstances which have been created by colonial
powers in the United Nations so blatantly against our anticolonial struggle and indeed against the lofty principles and
purposes of the United Nations Charter, the Government felt
that no alternative had been left for Indonesia but withdrawal
from the United Nations.
Sikap permusuhan Indonesia terhadap hukum internasional juga
memperoleh dukungan dari para pakar Indonesia. Dalam rangka
pembelaan terhadapa posisi Indonesia yang menarik diri sepihak dari
Perjanjian Konferensi Meja Bundar 1949 yang dituduh sebagai
pelanggaran pacta sunt servanda, Roeslan Abdulgani, berpendapat bahwa
tindakan itu bisa dibenarkan berdasarkan prinsip rebus sic stantibus.23
22 Piagam PBB tidak memiliki aturan terkait mundurnya Negara dari PBB sehingga ada argument
bahwa tindakan Indonesia tidak memiliki dasar hukum, lihat Egon Schwelb, ‘Withdrawal from the
United Nations: the Indonesian Intermezzo’, 61 AJIL (1967), 661-672. Pada tahun 1966, keanggotaan
Indonesia berlanjut dan Sekjen PBB U Thant menganggap bahwa mundurnya Indonesia sebagai
penangguhan tindakan Indonesia di PBB. Oleh karenanya, Indonesia tetap harus membayar
kontribusi tahunan selama masa penangguhan tersebut, lihat Kusumaatmajda (note 20), 89-99.
23 Roesland Abdulgani, Hukum dalam Revolusi dan Revolusi dalam Hukum (1965), 36.
18
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
Dalam pernyataannya di London Conference on the Suez Canal Crisis 1956,
Abdulgani
mengklarifikasi
posisi
Indonesia
terhadap
perjanjian
internasional dengan menyatakan:
Mr. Chairman, I understand fully Sir Anthony Eden’s remarks
this morning about respect for the sanctity of international law.
However Mr. Chairman, I should add one comment upon this,
and that is that most of international treaties which are a
reflection of international law do not respect the sanctity of men
as equal human beings irrespective of their race, or their creed or
locality. Most of the existing laws between Asian and African
and the old-established western world are more or less outmoded
and should be regarded as a burden of modern life. They should
be revised and be made more adaptable to modern international
relations and the emancipation of all parts of mankind.24
Presiden Soekarno juga menggunakan dalil yang diungkapkan
oleh Roeslan Abdulgani diatas dalam setiap pidato retorikanya yang
akhirnya berhasil menarik hati rankyat Indonesia untuk mendukung
kebijakan anti terhadap hukum internasional. Soekarno mengkritik para
ahli yang terlalu menekankan pada kesakralan perjanjian internasional
karena setiap perjanjian harus dapat direvisi jika bertentangan dengan
24 Pidato Menlu RI pada London Conference on Suez Canal, Aug. 16, 1956, in Abdulgani (note 25),
59.
19
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
keadilan dan kemanusiaan. Menurut Soekarno, perjanjian internasional
yang merestui penjajahan harus segera diakhiri.25 Pakar hukum lain yang
mengecap pendidikan di Belanda, Muhammad Yamin, juga mengkritik
hukum internasional yang berlaku saat itu sebagai ciptaan Eropa Barat
dimana negara-negara Eropa Timur dan Asia tidak terlibat dalam
permubataannya.26
Sentimen anti hukum internasional ini telah mengkristal menjadi
persepsi publik dan mengakibatkan perkembangan hukum internasional
pada era ini di Indonesia sangat lambat bahkan mengarah ke apatisme.
2. “Sikap Bersahabat” Era Orde Baru (1966-1998)
Sejak 1966, Indonesia dibawah kekuasaan rejim orde baru yang
dipimpin oleh Presiden Soeharto sampai tahun 1998. Rejim ini ditandai
dengan
dominasi
mengambil
kekuasaan
keputusan
ketatanegaraan
eksekutif
politik
sebelumnya
yang
telah
yang
sangat
mendorong
senantiasa
solid.
rejim
mampu
Pengalaman
ini
untuk
menekankan stabilitas politikd dan ekonomi sehingga menutup ruang
adanya perubahan konstitutional yang bakal rawan terhadap stabilitas
dimaksud.
Di bawah rejim ini, sikap terhadap hukum internasional
cenderung “bersahabat” karena kiblat politik luar negeri-nya sangat
25 President Soekarno’s Speech on Aug. 17, 1959, Bahan-bahan Pokok Indoktrinasi (1964), 33.
26 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, vol. III (1960), 48.
20
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
bersahabat dengan dunia Barat. Terjadi pergeseran yang signifikan dari
yang semula bermusuhan menjadi lebih berkerjasama dengan dunia
internasional. The attitude had moved from being hostile to being more
cooperative with respect to international law. Pergeseran ini ditegaskan
oleh pakar hukum internasional, Mochtar Kusumaatmadja, yang
berupaya mencari keseimbangan antara kebutuhan negara-negara
berkembang dan stabilitas hukum internasional yang berlaku saat itu.
Dia menyadari bahwa hukum internasional yang berlaku mungkin sudah
usang dan tidak lagi sesuai dengan perubahan masyarakat internasional.
Namun dalam menyikapi keusangan hukum internasional ini sikap
penolakan Indonesia tidak harus diartikan sebagai pelanggaran hukum
ini. Selanjutnya dia mengembangkan dalil bahwa Indonesia dapat saja
tidak menerapkan norma hukum internasional yang usang itu sepanjang
Indonesia juga memperhatikan kepentingan hukum negara-negara lain.
Dalam hal ini Indonesia sangat ingin berkontribusi terhadap perubahan
hukum internasional yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat
internasional yang telah berubah ini.27
Politik luar negari Indonesia selanjutnya terinspirasi dengan
gagasan konstruktif dari Mochtar Kusumaatmadja sehingga penolakan
terhadap hukum laut internasional yang kerasa di jaman orde lama
bergeser menjadi politik keterlibatan yang konstuktif di jaman orde baru.
Sejak era ini, Indonesia tidak lagi menolak membabi buta hukum laun
27 Kusumaatmadja (note 20), 63.
21
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
namun turut aktif menegosiasikan klaim Deklarasi Djuanda-nya pada
rangkaian perundingan hukum laut di PBB yang berakhir dengan
diterimanya konsep negara kepulauan pada
Konferensi PBB tentang
Hukum Laut 1982.28 Suksesnya Indonesia memeperoleh pengakuan atas
apa yang selama ini dinilai sebagai “pelanggaran hukum internasional”
telah mengubah pola pikir para ahli bahwa apa yang dilakukan oleh
Indonesia
adalah
“membuat
hukum
internasional”
melanggarnya (making instead of breaking international law).29
ketimbang
Mochtar
Kusumaatmadja30 selalu menekankan bahwa klaim unilateral yang
didorong oleh kebutuhan prinsip suatu negara dapat mengkristal
menjadi suatu norma hukum baru berdasarkan kebiasaan internasional.
Dalam hal ini menurunya, klaim unilateral dari negara berkembang,
terlepas apakah itu destruktif atau konstruktif terhadap hukum
internasional pada awalnya, tidak harus berarti tetap desruktif pada
akhirnya. Dalil ini telah dibuktikan dengan pengalaman Indonesia di
bidang hukum laut.
Mengingat bahwa rejim order baru didukung oleh kekuasaan
militer yang kuat di wilayah politik, hukum internasional juga dimaknai
28 The Archipelagic concept for which Indonesia sought international recognition had been submitted
to the UN Conference by Mochtar Kusumaatmadja in a well descriptive international legal policy, see
Kusumaatmadja, Konsepsi Hukum Negara Nusantara pada Konferensi Hukum Laut ke III (The
Legal Concept of Archipelagic State at Conference of Law of the Sea)(1977).
29 Barbara Kwiatkowska, ‘The Archipelagic Regime in the Philippines and Indonesia, Making or
Breaking International Law’, 6 International Journal of Estuarine (1991) 1, 13-30.
30 Kusumaatmadja (note 20), 56-65.
22
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
dan diperlakukan dalam konteks berdasarkan politik ketimbang hukum.
Dalam hal ini kehendak politik Presiden sangat menentukan tentang
bagaimana hukum internasional beroperasi di wilayah hukum nasional.
Sehingga tidaklah mengherankan jika keputusan politik lah yang
mendorong Indonesia menerima jurisdiksi Mahkamah Internasional
untuk penyelesaian konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia
pada tahun 1997. Kekuatan politik pula yang mendorong Indonesia
mengintegrasikan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia tahun 1976,
yang oleh masyarakat internasional dinilai sebagai pelanggaran hukum
internasional.31 Artinya, hukum internasional tidak berakar pada sistem
hukum nasional melainkan ditegakkan dan bahkan dilanggar oleh
pertimbangan politik yang kuat.
Issue HAM sangat menonjol di era orde baru. Dalam hal ini
Indonesia
mengembangkan
prinsip
hukum
internasional
tentang
penolakan campur tangan asing kedalam masalah dalam negeri dalam
rangka serangan internasional di bidang HAM.32 Mengingat kekuatan
militer di Indonesia berorientasi pada keamanan nasional yang acap kali
memasuki wilayah sipil, maka hukum internasional tentang HAM
31 Pada tahun 1975 Indonesia ‘menganeksesi’ Timor Timur dengan merujuk pada hak selfdetermination yang telah ditunjukan oleh perwakilan rakyat Timor Timur melalui Balibo Declaration
of 1975. PBB tidak mengakui klaim Indonesia bahwa rakyat Timor Timur telah mempergunakan hak
self-determination dan tetap menyimpan isu tersebut di Agenda sampai tahun 1999, dimana setelah
referendum yang disponsori PBB, Timor Timur menjadi negara merdeka.
32 Anja Jetschke, ‘Linking the Unlinkable? International Norms and Nationalism in Indonesia and the
Philippines’, di Thomas Risse, Stephen C. Ropp and Kathryn Sikkink (eds), The Power of Human
Rights: International Norms and Domestic Change (1999), 141; Bahwa sosialisasi suatu negara pads
norma HAM international dapat dibagi pada model spiral 5 fase: 1. Represi; 2. Penyangkalan; 3.
Konsesi taktis; 4. Status preskriptif; 5. Tingkah laku yang mengikuti aturan secara konsisten.
23
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
menjadi tidak kompatibel dengan politik pemerintah. Kecaman HAM
terhadap
Indonesia
semakin
memuncak
pada
waktu
Indonesia
menduduki Timor Timur pada tahu 1975. Dalam rangka menjawab
kecaman internasional ini, Indonesia menggalang kekuatan Asia dan
mengembangkan konsep Asian value dengan melahirkan apa yang
disebut konsep cultural relativism (melawan Western universality of human
rights)33 yang oleh dunia akademisi dikecam sebagai upaya untuk
melegitimasi kekuasaan otoriter.34
Kebijakan HAM ini pada hakekatnya didasarkan pada konsep
tentang negara integral yang telah digagas oleh Professor Soepomo pada
watu pendirian negara di awal kemerdekaan, yang pada waktu itu
menolak ide individualisme.35 Pada tahap persiapan kemerdekaan RI, ide
negara integralistik dinilai lebih berakar pada kultur Indonesia yang
menekankan bahwa hak individu dan hak negara tidak dapat dipisahkan.
Ide ini secara efektif diterapkan oleh pemerintah order baru sehingga
tidak membuka ruang bagi penghormatan HAM individu seperti yang
dibayangkan oleh dunia Barat.
33 R.J. Vincent, Human Rights and International Relations (2001), 39-48.
34 Knut D. Asplund, ‘Resistance to Human Rights in Indonesia’, 10 Asia-Pacific Journal on Human
Rights and Law (2009) 1, 27-47.
35 Prof. Soepomo, anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia,
menyatakan di depan BPUPKI bahwa ide ‘negara totaliter’ seperti Jerman di bawah Nazi atau Jepang
sebelum PD II agar dipakai pada negara Indonesia, lihat Supomo, ‘Integralist State’ di Herbert Feith
and Lance Castles (eds), Indonesian Political Thinking 1945-1966 (1970), 188-192.
24
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
3. Hukum International di Era Reformasi (1998-sekarang)
Rerformasi politik yang berlangsung sejak 1999 telah melahirkan
perubahan
radikal
dalam
sistem
hukum
dan
kelembagaan
ketatanegaraan Indonesia. Dalam perubahan radikal ini, hukum
internasional sayangnya belum memperoleh perhatian yang memadai
dan bahkan tidak melahirkan sama sekali aturan konstitusi tentang
hukum internasional. Luputnya perhatian politik terhadap hukum
internasional dapat dimaklumi. Reformasi yang terjadi sejak tahun 1998
dipicu oleh tekanan politik domestik dalam rangka menyelesaikan
persoalan dalam negari akibat krisis multi dimensi yang dipicu oleh krisi
ekonomi.
Sehingga
arah
reformasi
lebih
diorientasikan
pada
pembangunan kelembagaan konstitusional dimana hukum internasional
bukan merupakan prioritas. Dalam konteks ini gerakan reformasi tidak
melihat ada yang salah dalam hukum internasional dalam sistem hukum
Indonesia dan kalau pun ada tidaklah langsung bersentuhan persoalan
reformasi itu sendiri. Oleh sebab itu persoalan status hukum internasional
tidaklah merupakan agenda penting dalam reformasi.
Faktor utama lainnya yang mengakibatkan hukum internasional
tidak menjadi perhatian reformasi adalah karena disiplin hukum ini tidak
terlalu popular dalam kesharian masyarakat dan tidak terlalu menarik
minat publik Indonesia. Hukum internasional masih dipahami sebagai
bidang yang ekslusif tugas pemerintah khususnya kementerian luar
negeri. Ketertarikan terhadap hukum internasional masih terbatas pada
komunitas akademis dan itu pun masih diajarkan secara minimalis dan
25
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
masih jauh dari standar negara-negara maju36 sehingga studi dan
penelitian tentang hukum internasional masih sangat langka.37 Sekalipun
merupakan mata kuliah dalam berbagai universitas, hukum ini masih
diajarkan secara terisolasi tanpa perlu mengkaitkannya dengan hukum
nasional. Di lain pihak, disiplin hukum tata negara dan administrasi
negara telah berkembang dengan pesat di Indonesia namun agak
membisu soal hukum internasional. Bab tentang hubungan hukum
internasional dan hukum nasional sekalipun diajarkan di mata kuliah
hukum internasional jarang merujuk kepada praktik Indonesia dan kalau
pun ada hanya bersifat indikasi saja.38 Pakar hukum Indonesia secara
umum masih belum memiliki minat untuk mendalami tentang status
hukum internasional di dalam sistem hukum nasional.
Sampai pada tahun 2000-an, hubungan hukum internasional dan
hukum nasional belum menjadi perhatian akademis dan belum
menyinggung kepentingan praktis para praktisi sehingga bukanlah
36 Hikmahanto Juwana, ‘Teaching International Law in Indonesia’, 5 Sing. J. Int'l & Comp. L. (2001)
412, 412-415.
37 Beberapa ahli hukum telah meneliti masalah perjanjian internasional dari kebijakan hukum
Indonesia namun kebanyakan berpusar pads masalah pembuatan perjanjian internasional bukan
malah status perjanjian internasional di hukum Indonesia, seperti Harjono, Politik Hukum Perjanjian
Internasional (1999); Swan Sik Ko turut menulis secara singkat mengenai Hukum Indonesia dalam
keterkaitannya dengan perjanjian internasional, lihat Swan Sik Ko, The Indonesian Law and Treaties
1945-1990 (1994).
38 Ahli hukum Indonesia di era 1950 seperti Prof. Utrecht dan Prof. Kusumaatmadja di 1980s telah
mengindikasikan bahwa Indonesia cenderung mempergunakan pendekatan monisme, lihat E.
Utrecht and Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia (1983), 120; Kusumaatmadja
(note 20), 65-67.
26
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
merupakan isu yang kontroversial. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor
sbb:
Pakar konstitusi/tatanegara dan pakar hukum internasional di
Indonesia masih terpaku dengan wilayah disiplinnya sendiri-sendiri dan
memandang hukum internasional menurut perspektif masing-masing.39
Bagi pakar konstitusi/tatanegara, perjanjian internasional secara teoritis
adalah sumber hukum tatanegara. Sedangkan bagi pakar hukum
internasional, perjanjian internasional adalah dokumen hukum yang
tunduk pada hukum internasional. Pakar hukum internasional tidak
tertarik untuk membahas status hukum ini dalam sistem hukum nasional.
Karena perjanjian internasional ditangani oleh eksektuf yang kuat dan
dominan maka issue-issue praktis tentang perjanjian internasional tidak
pernah muncul dalam wacana dan perdebatan publik.
Jika timbul
permasalahan maka keputusan politik akan dengan serta merta
menuntaskannya tanpa hiruk pikuk debat publik. Komunitas akademis
menjadi tidak terstimulasi untuk memperdebatkannya dan kalaupun
didiskusikan maka akan terlihat kurangnya aspek-aspek internasional
dari hukum tatanegara, dan sebaliknya lemahnya pembahasan aspek
konstitusional dari hukum internasional.
Sejak kemerdekaan RI tahun 1945, dunia akademisi Indonesia
diwarnai oleh sentimen nasionalisme yang tinggi dan memandang
39 Situasi ini turut disebabkan oleh struktur Fakultas Hukum di Indonesia dimana hukum
konstitusi/administrasi dan hukum internasional adalah subjek terpisah dengan departemen yang
berbeda.
27
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
hukum internasional sebagai hukum kolonial. Para pakar akan melirik
hukum internasional hanya jika mempengaruhi kepentingan hukum
nasionalnya.40
Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), Indonesia berada
pada wilayah terpencil yang jauh dari interkasi lintas perbatasan.
Hubungan
internasional
hanya
dilihat
sebagai
hubungan
antar
pemerintah ketimbang hubungan antar manusia. Pola pikir ini
mendorong para pakar untuk bersikap konservatif tentang hukum
internasional sehingga hanya memandang perjanjian internasional
sebagai dokumen antar negara urusan ekslusif kementerian luar negeri.
Pertanyaan tentang status domestik dari perjanjian internasional tidak
meyangkut kepentingan publik sehingga tidak menjadi perhatian para
pakar konstitusi/tatanegara maupun pakar hukum internasional.
C. Perlunya
Rejim
Hukum
yang
jelas
tentang
Perjanjian
Internasional dalam transisi demokrasi Indonesia
1. Konsekuensi
dari
Sistem
Hukum
yang
berlandaskan
Demokrasi
Indonesia sedang menuju ke arah sistem demokrasi penuh. Dalam
suatu negara demokrasi, prinsip rule of law/Rechtsstaat, yang bercirikan
legalitas, kepastian hukum dan equality adalah bagian yang tidak
40 Hukum laut menjadi subjek yang menarik pada tahun 1960-1982 saat Indonesia mengajukan
kepentingan strategies national pada konsep kepulauan internasional ke PBB.
28
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
terpisahkan. Semua negara demokrasi pada umumnya akan mengalami
tuntutan tentang elemen-elemen ini yang pada akhirnya harus
memperjelas tentang status perjanjian dalam sistem hukum nasionalnya.
Mengingat perjanjian internasional akan menciptakan hak dan kewajiban
terhadap individu maka validitasnya dalam hukum nasional harus jelas
secara konstitutional dan tidak didasarkan pada suatu diskresi semata.
Dengan kata lain, rejim hukum yang jelas yang mengatur status
perjanjian dalam hukum nasional adalah conditio sine quo non untuk suatu
sistem negara demokrasi. Proses transisi demokrasi di Indonesia
mensyaratkan rejim hukum yang jelas tentang hukum internasional.
Sebelum menjadi negara demokrasi, pada umumnya suatu negara
tidak memiliki rejim hukum yang jelas tentang status hukum
internasional dalam hukum nasionalnya. Afrika Selatan, contohnya,
sebagai bekas jajahan negara-negara persemakmuran seyogianya sudah
memiliki rejim yang jelas dari negara penjajahnya, namun kenyataannya
asumsi ini tidak tercermin dalam jurisprudensinya.41 Rejim hukum yang
jelas tentang status hukum khsusunya perjanjian internasional baru
tercipta sejak lahirnya Konstitusi baru tahun 1994 Afrika Selatan.42 Untuk
pertama kalinya, Konstitusi Afrika Selatan menyediakan memuat norma
yang mengatur perjanjian dan hukum internasional dalam hukum
41 J.W. Bridge, ‘The Relationship between International Law and the Law of South Africa’, 20 ICLQ
(1971), 746.
42 Dermott Devine, ‘The Relationship between International Law and Municipal Law in the Light of
the Interim South African Constitution 1992’, 44 ICLQ (1995), 1.
29
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
nasionalnya. Hubungan hukum internasional dan hukum nasional lebih
jelas diatur pasca reformasi di Afrika Selatan.43
Negara-negara demokrasi baru di Eropa Timur dan bekas Uni
Soviet juga mengalami situasi yang sama dan pada umumnya dituntut
untuk memperjelas status perjanjian dan hukum internasional dalam
hukum nasionalnya. Sebelum proses demokratisasi, status hukum
internasional sama sekali tidak diatur dalam konstitusi maupun undangundang nasionalnya. Akibatnya, sistem hukumnya menjadi tidak
konsisten dan tidak tegas dalam teori dan prakteknya. Itulah sebabnya,
para pakar di negara-negara ini mendesak agar hubungan hukum
internasional dan hukum nasional diatur secara jelas dalam konstitusi.44
Sekalipun masing-masing negara berbeda dalam mengatur hubungan ini
namun klausula tentang ini sudah terdapat di banyak konstitusi negaranegara tersebut.45
Indonesia pada akhirnya harus melalui tuntutan seperti yang
dialami negara-negara demokrasi dimaksud. Sejak jatuhnya orde baru,
terdapat tuntutan yang keras untuk perubahan struktur dan bangunan
43 Andre Stemmet, ‘The Influence of Recent Constitutional Developments in South Africa on the
Relationship between International Law and Municipal Law’, 33 Int'l L.(1999) 1, 74.
44 Eric Stein, ‘International Law in Internal Law: Toward Internationalization of Central-Eastern
European Constitutions’, 88 AJIL (1994) 3, 427-450.
45 Vladlen S. Vereshchetin, ‘New Constitution and the Old Problem of the Relationship between
International Law and National Law’, 7 EJIL (1996), 34.
30
JURNAL OPINIO JURIS
politik
Indonesia.46
Vol. 15  Januari-April 2014
Struktur politik dan ketatanegaraan ini telah telah
mengalami reformasi melalui amandemen UUD 1945 yang berlangsung
antara tahun 1999-2002. Reformasi konstitusional telah menghasilkan
perubahan fundamental yang ditandai dengan pembagian kekuasaan
yang signifikan dalam rangka terbentuknya sistem demokrasi.
UUD 1945 sebelum amandemen telah dikritik oleh para ahli HTN
karena memiliki banyak kelemahan.
Pakar konstitusi Moh. Mahfud47
menyatakan bahwa UUD 1945 sebelum amandemen menciptakan sistem
ekesekutif yang lebih kuat, lemahnya checks and balances, banyaknya
pendelegasian aturan ke level UU, banyaknya norma konstitusi yang
rancu, serta penekanan pada kemauan politik dan integritas para politisi.
Amandemen UUD 1945 telah menciptakan sistem yang secara teori
dalam
mengatasi
kelemaahan-kelemahan
ini
melalui
pemberian
kekuasaan lebih besar kepada Parlemen, terciptaknya sistem checks and
balances serta dianutnya prinsip rule of law. Namun sayangnya, persoalan
tentang status perjanjian internasional dalam hukum Indonesia masih
belum terjamah oleh amandemen. Sebelum amandemen, pertanyaan ini
ditangani melalui diskresi pemerintah tanpa proses checks and balances
dari kekuasaan parlemen. Sistem yang terbentuk dapat menciptakan
stabilitas dalam mengeimplementasikan perjanjian internasional namun
46 I Ketut Putra Erawan, ‘Political Reform and Regional Politics in Indonesia’, 39 Asian Survey (1999)
4, 588.
47 Moh. Mahfud, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara (1999), 52; Saldi Isra,
Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial
Indonesia (2010), 1-10.
31
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
secara bersamaan gagal menjelasan tentang statusnya dalam hukum
nasional.
UUD 1945 yang telah diamandemen telah mentransformasikan
beberapa ciri-ciri sbb:
(a) dari otoriter ke pemerintahaan demokratis,
(b) dari executive heavy ke equal checks and balances,
(c) dari kekuasaan militer ke supremasi hukum
(d) dari pengingkaran ke penghormatan terhadap HAM,
(e) dari sentralisasi ke otonomi daerah.
Konstelasi
kekuasaan ketatanegaraan
dewasa ini
tentunya
membutuhkan adanya sistem hukum yang jelas termasuk rejim hukum
yang mengatur hubungan hukum internasional dan hukum nasional.
Struktur ketatanegaraan pasca amandemen telah memperjelas kekuasaan
masing-masing lembaga negara, baik eksekutif, legislatif dan judikatif.
Kekuasaan eksekutif telah diberi kekuasaan yang terbatas namun masih
memegang kekuasaan untuk membuat perjanjian internasional dan
implementasinya. Kekuasaan legislatif diberi kekuasaan yang lebih besar
dalam pembuatan undang-undang dan tentunya akan mencakup
kekuasaan
yang
dapat
mempengaruhi
penentuan
status
norma
internasional kedalam hukum nasional. Kekuasaan judikatif saat ini telah
bebas
dari
pengaruh
eksekutf
dan
tentunya
berwenang
menginterpretasikan dan menentukan kekuatan mengikat perjanjian
internasional. Selain itu, bebasnya kekuasaan judikatif juga melahirkan
pertanyaan apakah kekuasaan ini mencakup unuk menguji perjanjian
32
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
internasional terhadap UUD 1945. Dalam sistem checks and balances ini,
setiap organ negara harus memiliki posisi konstitusional yang jelas
tentang hak dan kewajiban dari perjanjian internasional.
Perdebatan tentang hubungan hukum nasional dan hukum
internasional khususnya perjanjian internasional telah menjadi agenda
publik. Pertanyaan tentang status perjanjian internasional dalam hukum
nasional telah mencuat tidak hanya di kalangan praktisi melainkan juga
di kalangan pembuat UU dan penegak hukum. Perjanjian internasional
yang dibuat oleh Indonesia semakin meningkat baik dari segi kualitas
maupun kuantitias. Perjanjian yang dibuat deawas ini cenderung mulai
mengatur hak dan kepentingan individual seperti HAM, lingkungan
hidup dan perdagangan sehingga melahirkan pertanyaan tentang
bagaimana
penerapaknya
dalam
hukum
nasional.48
Dengan
perkembangan ini maka ketiadaan rejim hukum yang jelas akan
melahirkan ketidakpastian hukum tentang hak dan kewajiban individual
yang
lahir
dari
perjanjian-perjanjian
tersebut.
Dari
perspektif
internasional, Indonesia tentunya dituntut untuk memenuhi kewajiban
internasionalnya yang lahir dari setiap perjanjian internasional yang
mengikatnya. Para pakar meyakini bahwa negara yang tidak memiliki
48 Debat yang mengemuka pada rangkaian Focussed Group Discussions dalam Status Perjanjian
Internasional di Sistem Hukum Indonesia telah dilaksanakan oleh Kemlu RI dan dihadiri oleh ahli
hukum dari berbagai universitas semenjak tahun 2006, hasilnya bisa dibaca di Perjanjian
Internasional dalam Teori dan Praktik Indonesia, Kompilasi Permasalahan, Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia (2008); Status Perjanjian Internasional dalam Tata Perundang-undangan
Nasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (2009).
33
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
rejim hukum yang jelas tentang hukum internasional akan mengalami
risiko ganda, yaitu melanggar hukum internasional dan merusak balance
of powers dalam sistem konstitusinya.49
Ketidakpastian akibat tidak adanya rejim hukum yang jelas
tentang hukum internasional semakin diperparah dengan derasnya arus
globalisasi. Karakter perjanjian internasional di era globalisasi ini sangat
intrusif dan menyentuh wilayah ekslusif hukum nasional, seperti
perjanjian-perjanjian
di
bidang
HAM,
lingkungan
hidup
dan
perdagangan.50 Hukum Indonesia tidak dapat lagi berdiri sendiri.
Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa setiap sistem
hukum nasional saat ini harus melakukan rekonsiliasi terhadap standar
internasional. Jika di masa-masa lalu hukum nasional bisa kebal dari
pengaruh internasional maka dewasa ini telah mengkristal adanya syarat
minimum bagi setiap negara untuk mematuhi suatu perjanjian
internasional.51
Sebagai negara demokrasi yang terinspirasi dengan model Barat,
Indonesia saat ini berupaya untuk menerapkan standar negara-negara
modern. Sistem negara hukum, partisipasi parlemen, pembagian
49 Giuliana Ziccardi Capaldo, ‘Treaty and National Law in a Globalizing Sytem’, in The Global
Community, 1 Yearbook of Internatioanl Law and Jurisprudence (2003) , 140.
50 Banyak yang berargumen bahwa globalisasi hukum internasional telah memasuki ranah domestik
yang dulu secara eksklusif mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya, lihat Anne Marie
Slaughter and William Burke-White, ‘The Future of International is Domestic (or, The European Way
of Law)’, 47 Harv. Int'l L. J. (2006) 2, 327.
51 Stefan Kadelbach, ‘The Transformation of Treaties into Domestic Law’, 42 GYIL (1999), 67.
34
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
kekuasaan, kepastian hukum merupakan ciri-ciri negara demokrasi yang
hendak dibangun oleh negara Indonesia. Konsekuensi logis dari upaya
ini adalah bahwa Indonesia perlu memiliki rejim hukum yang jelas yang
mampu menjawab secara pasti dan predictable tentang status perjanjian
internasional
dalam hukum
nasional.
Pertanyaan
tentang
status
perjanjian ini juga akan terkait dengan kedudukan hirarkis-nya dalam
sturktur perundang-undangan. Sejak kemerdekaannya, Indonesia telah
menganut teori Stufenbau dari Hans Kelsen. Dengan teori ini maka
Indonesia telah membangun secara hirarkis sumber hukum dan tata
urutan perundang-undangannya yang dimulai dari norma fundamental
Pancasila, UUD 1945, UU dan seterusnya.52 Sistem hirarkis ini juga akan
menyisakan
pertanyaan
tentang
bagaimana
kedudukan
hukum
internasional khsusunya perjanjian internasional dalam bangunan
hirarkis tersebut.53
52 Semenjak tahun 1966, terinspirasi oleh Hans Kelsen dengan teori Grundnorm and Stufenbau des
Rechts/Stufenbau der Rechtsordnung dan Hans Nawiasky dengan teori Staatsfundamental Norm,
Indonesia telah menyusun sistem hirarki norma. Saat ini diatur oleh UU No. 12 tahun 2011 yang
menyatakan bahwa tata urutan peraturan adalah:
a. Undang-Undang Dasar 1945;
b. Ketetapan MPR;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi;
g. Peraturan Daerah Kabupaten.
53 Tata urutan perjanjian internasional diakui merupakan a critical subject dalam status perjanjian
internasional di hokum nasional, lihat Francis G. Jacobs, ‘Introduction’, di G. Jacobs and Roberts (note
3), xxiv.
35
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
2. Pentaatan terhadap Hukum Internasional
Indonesia menghadapi tekanan dinamis dari dua arah sekaligus
secara bersamaan Pertama, tekanan dari dinamika reformasi yang
menuntut adanya standar demokrasi serta penegakan dan pentaatan
hukum termasuk kewajiban internasional Indonesia yang lahir dari
hukum termasuk perjanjian internasional.
Kedua, tekanan dari
globalisasi yang juga membentuk suatu sistem dalam masyarakat
internasional yang telah menuntut adanya standar minimum tentang
postur suatu sistem hukum nasional dalam mengimplementasikan
kewajiban internasionalnya.54
Sejak kemerdekaan, Indonesia telah membuat banyak perjanjian
internasional dan telah merupakan aktivitas rutin dari pemerintah.
Indonesia turut aktif membuat perjanjian internasional dalam berbagai
forum baik multilateral, regional maupun bilateral. Sampai saat ini,
Indonesia telah mendpositkan sekitar 4000 dokumen “perjanjian” yang
mengatur berbagai issue. Jumlah perjanjian yang membutuhkan
pemberlakuan
khususnya
di
dalam
bidang
hukum
nasional
ekonomi
seperti
juga
semakin
pasar
bebas,
meningkat
investasi,
penghindaran pajak berganda; kerjasama hukum seperti ekstradisi,
bantuan hukum timbal balik, pembrantasan kriminal terorganisasi, anti
korupsi, dan pemberantasan terorisme.
54 Kadelbach (note 53), 67-68.
36
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
Sejak reformasi tahun 1998, semua Presiden yang memerintah
sampai saat ini secara konsisten menetapkan politik luar negeri yang
berorientasi pada peningkatkan peran Indonesia di fora internasional,
menciptakan perdamaian, pemulihan citra Indonesia di mata dunia, dan
mendorong terciptanya tata ekonomi dunia yang lebih baik pada tingka
regional
nasional.55
maupun
internasional
Untuk
memperoleh
serta
mendukung
reputasi
dan
pembangunan
kredibilitas
dimata
internasional seperti yang dicanangkan dalam politik luar negeri itu
Indonesia
harus
memperlihatkan
kepatuhannya
kepada
hukum
internasional.56 Pentaatan terhadap perjanjian internasional merupakan
parameter utama. Sebagai pihak dalam perjanjian internasional Indonesia
terikat pada prinsip pacta sunt servanda, suatu prinsip fundamental dalam
hukum perjanjian internasional bahwa para pihak harus melaksanakan
perjanjian
dengan
itikad
baik.57
Kegagalan
untuk
melaksanakan
perjanjian akan melahirkan pelanggaran hukum internasional dan hanya
akan merusak reputasi dan kredibilitas Indonesia di mata dunia.
Kegagalan mentaati perjanjian internasional akan melahirkan
pertanggungjawaban internasional dan negara tidak dapat berlindung
55 Kementrian Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Rencana Pembangungan Jangka
Menengah 2004 – 2009, Bab 8.
56 Dari implikasi empiris pre-commitment and diffusion theories, Ginsburg menemukan bahwa
adopsi hukum international merupakan strategy yang berguna bagi demokrasi untuk menetapkan
kebijakan tertentu, menambah kepercayaan pads pemerintah dan rejim yang berkuasa dan
menambah reputasi internasional, lihat Tom Ginsburg, Svitlana Chernykh and Zachary Elkins,
‘Commitment and Diffusion: How and Why National Constitutions Incorporate International Law’,
University of Illinois Law Review (2008), http://works.bepress.com/tom_ginsburg/18, 201 (last
visited on 9 April 2013).
57 Article 26 VCLT of 1969.
37
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
dibalik hukum nasionalnya untuk menjustifikasi kegagalan ini. Dalam hal
ini, suatu negara justru harus memastikan bahwa pentaatan perjanjian ini
mendapat justifikasi dari hukum nasionalnya. Di lain pihak, bagaimana
perjanjian internasional ditransformasikan, diadopsi, dan diperingkatkan
dalam hukum nasional adalah urusan hukum nasional.58 Kedaulatan
hukum nasional untuk menentukan status ini akan tetap dihormati
sepanjang
hukum
internasional
masih
berkarakter
Westphalian.59
Mengingat bahwa hukum nasional harus menentukan status ini maka
setiap hukum nasional harus memiliki rejim hukum yang jelas tentang
hukum internasional khususnya perjanjian internasional.
Globalisasi saat ini cenderung mensyaratkan adanya kepastian
bahwa setiap hukum nasional negara pihak mentaati perjanjian
internasional sehingga dan untuk itu hukum internasional telah mulai
mengembangkan suatu mekanisme pentaatan perjanjian. Indonesia telah
menjadi pihak pada berbagai perjanjian internasional yang menyediakan
mekanisme pentaatan dimaksud seperti Konvensi-konvensi HAM yang
diperlengkapi
dengan
mekanisme
monitoring.60
Indonesia
telah
dimonitor secara regular oleh mekanisme ini dan dari perspektif politik
58 Kadelbach (note 53), 66.
59 Stephane Beaulac, ‘Westphalia, Dualism and Contextual Interpretation’, EUI Working Papers,
European University Institute (2007), 5-6; Mattias Kumm, ‘Democratic Constitutionalism Encounters
International Law: Terms of Engagement’, di S. Choudhry (ed.), The Migration of Constitutional Ideas
(2006), 258.
60 Michael O'Flaherty and Claire O'Brien, ‘Reform of UN Human Rights Treaty Monitoring Bodies: A
Critique of the Concept Paper on the High Commissioner's Proposal for a Unified Standing Treaty
Body’, 7 Human Rights Law Review (2007) 1, 141-172.
38
JURNAL OPINIO JURIS
luar
negeri
tetap
Vol. 15  Januari-April 2014
berkomitment
untuk
mentaati
kewajiban
perjanjiannya.61 Mengingat konvensi-konvensi HAM mengatur hak
indvidu yang merupakan domain hukum nasional, maka implementasi
dari hak-hak ini di dalam hukum nasional menjadi mutlak. Untuk
maksud itu, Indonesia sudah menghadapi berbagai persoalan hukum
tentang bagaimana perjanjian ini beroperasi di dalam hukum nasional.62
Dalam konteks regional, Indonesia saat ini terlibat dalam proses
konstitusionalisasi di ASEAN. Diberlakukannya Piagam ASEAN 2008
telah melahirkan pertanyaan baru tentang hubungan Piagam ASEAN
termasuk aturan turunannya dengan hukum nasional setiap negara. Para
pakar telah membayangkan munculnya perosalan-persoalan hukum dari
meningkatnya konstitusionalisasi hukum internasional yang disebabkan
beroperasinya
Piagam
ASEAN
termasuk
persoalan
bagaimana
mengintegrasikan norma-norma yang lahir dari sistem ASEAN kedalam
hukum nasional, menginterpretasikannya serta menerapkannya dalam
domain hukum nasional.63
61 Semenjak tahun 1998, Indonesia telah meluncurkan rangakaian rencana aksi dalam hak asasi
manusia yang ditujukan, inter alia, implementasi norma dan standar hak asasi manusia. Rencana
kerja yang berlaku saat ini (2011-2014) diatur dalam Peraturan Presiden No. 23 tahun 2011.
62 Badan HAM PBB seperti Committee on the Elimination of Racial Discrimination mempertanyakan
status Konvensi di hukum nasional dan sejauh mana pengadilan domestik dapat secara langsung
menerapkan aturan Konvensi dimaksud, UN Doc. CERD/C/IDN/3, Seventy-first session, Geneva, 30
July-18 August 2007, question no. 3.
63 Diane Desierto, ‘ASEAN’S Constitutionalization of International Law: Challenges to Evolution
under the New ASEAN Charter’, 49 Colum. J. Transnat’l L. (2010-2011), 268-320.
39
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
3. Desentralisasi
Salah satu agenda utama dari reformasi 1998 adalah tuntutan
desentralisasi kekuasaan yang selama ini terkonsentrasi pada pemerintah
pusat. Sebelumnya, pemerintah pusat memegang kendali pemerintahaan
atas pemerintah daerah. Kekuasaan pemerintah daerah bersumber dari
pemerintah pusat sehingga dalam pelaksanaan fungsinya pemerintah
daerah bertindak atas nama pemerintah pusat.
UUD 45 hasil reformasi telah memberi ruang bagi otonomi daerah
yang memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada daerah melalui
sistem tiga lapis: pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Masing-masing tingkat diberikan otonomi untuk melaksanakan fungsi
pemerinthaan untuk hampir di semua bidang kecuali politi luar negeri,
pertahana, keamanan, keuangan, kehakiman dan agama.
Secara paralel terdapat pula otonomi khusus yang diberikan
kepada dua provinsi yaitu Provinsi Aceh dan Papua. Otonomi khusus ini
diberikan karena secara historis terdapat karakteristik khusus dari kedua
daerah ini yang berbeda dengan daerah-daerah lain. Tuntutan akan
otonomi khusus ini sudah ada sebelum reformasi berlangsung dan
selama ini telah menjadi issue politik yang sensitif antara pusat dan
daerah. Konflik antara pusat dan daerah ini telah mengundang perhatian
internasional
dan
berpontensi
untuk
gerakan
separatisme
yang
melibatkan negara-negara lain. Dengan otonomi khusus ini maka kedua
daerah tersebut memperoleh kekuasaan yang lebih besar dibandingkan
provinsi-provinsi lainnya.
40
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
Adanya otonomi daerah ini akan melahirkan pertanyaan baru
tentang kekuasaan membuat perjanjian internasional pemerintah daerah
khususnya jika materi yang diperjanjikan berada dibawa kewenangan
eksklusifnya. Terlebih lagi dengan otonomi khusus yang diberikan
kepada Pemerintah Papua dan Aceh telah melahirkan tuntutan baru agar
mereka dapat langsung berinteraksi dengan masyarakat internasional
atas namanya sendiri yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan
apakah mereka berwenang untuk membuat perjanjian dengan pihak
asing. Pertanyaan ini bukan hal yang baru bagi setiap negara modern dan
selalu muncul di banyak negara khususnya yang berkarakter federalisme.
Para pakar hukum sepakat bahwa konstitusi masing-masing
negara sangat menentukan dalam pemberian kekuasaan membuat
perjanjian oleh entitas daerah. Kekuasaan ini dapat dinikmati oleh
pemerintah daerah jika diberikan oleh konstitusinya.64 Draft akhir dari
Komisi Hukum Internasional tentang Perjanjian Internasional65 yang
kemudian dihapus pada saat Konferensi pada tahun 1969 menyerahan
persoalan ini kepada konstitusi masing-masing negara. Draft tersebut
menyatakan: States members of a federal union may posses a capacity to
conclude treaties if such capacity is admitted by the federal constitution and
within the limits there laid down. Dihapuskan draft pasal ini tidak diartikan
64 Helmut Steinberger, ‘Constitutional Subdivisions of States or Unions and their Capacity to
conclude Treaties’, 27 ZaöRV (1967), 428; Thomas A. Levy, ‘Provincial International Status Revisited’,
3 Dalhousie L.J. (1976-1977), 75.
65 ILC Official Records: 21st session, Supplement No. 9 (A/6309/Rev.1), UN (1966), 10.
41
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
sebagai penolakan terhadap kekuasaan negara bagian untuk membuat
perjanjian internasional.66
Menurut pandangan tradisionl, kekuasaan membuat perjanjian
internasional secara keseluruhan berada di tangan Raja sebagai atribut
kedaulatan.
Namun
gerakan
konstitusionalisme
dan
pemisahan
kekuasaan dewasa ini telah mendorong lahirnya aturan konstitusi yang
membedakan
antara
membuat
perjanjian
internasional
dengan
melaksanakan perjanjian internasional.67 Sebagai konsekuensi, kekuasaan
membuat perjanjian telah telah dialokasikan kepada berbagai organ
negara baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal terdapat
tuntutan untuk adanya partisipasi parlemen sehingga terjadi pembagian
kekuasaan antara pemerintah dan parlemen dan memberikan kepada
parlemen kekuasaan untuk melaksanakan perjanjian dalam kerangka
fungsi legislasi. Secara vertikal telah lahir pemerintah daerah yang
memiliki kewenangan eksklusif atas beberapa urusan pemerintahaan
yang mengakibatkan mereka harus berpartisipasi jika urusan eksklusif ini
diperjanjikan dengan pihak asing.
66 Mark E. Villiger, Commentary on the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties (2009), 127128; Alasan utama penghapusan adalah dengan membuat kecakapan (bagi negara bagian untuk
membuat perjanjian internasional) hanya bergantung bagi aturan konsitusi federal, paragraf tersebut
akan dapat menjadi pemicu untuk bagi negara lain untuk menginterpretasikan sendiri konstitusi
tersebut, lihat J.S. Stanford, ‘United Nations Law of Treaties Conference: First Session’, 19 U. Toronto
L.J. (1969), 60-61.
67 Luzius Wildhaber, ‘Provisions of Internal Law Regarding Competence to Conclude a Treaty’, 8 Va.
J. Int'l L. (1967-1968), 94.
42
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
Persoalan ini sangat nyata dalam sistem federalisme karena
kekuasaan pemerintah terbagi antara pemerintah pusat dan daerah dan
setiap penduduk akan tunduk pada dua otoritas pembuat undangundang secara bersamaan. Dalam hal ini masing-masing otoritas tidak
tunduk satu sama lain (subordinasi) melainkan bersifat koordinatif.68
Praktek negara menunjukkan bahwa ternyata persoalan kontroversi
tentang kekuasaan membuat perjanjian internasional oleh entitas atau
bagian negara tidak hanya melulu terjadi pada situasi negara federalisme
melainkan juga dalam situasi hubungan kolonial. overseas territories, dan
dependent territories. Ini membuktikan bahwa persoalan kekuasaan
membuat perjanjian bisa muncul di setiap entitas selain negara.
Walapun
terdapat
kecenderungan
negara-negara
untuk
menghapuskan kekuasaan membuat perjanjian dari entitas daerah,69
persoalan dasarnya masih mewarnai hubungan pusat dan daerah.
Tantangan yang muncul saat ini adalah bagaimana menangani konflik
antara pusat dan daerah jika pemerintah pusat membuat perjanjian yang
materinya dibawah kekuasaan eksklusif dari pemerintah daerah. Saat ini
muncul gagasan bahwa keterlibatan pemerintah daerah untuk membuat
perjanjian tidaklah semata-mata untuk maksud melindungi kepentingan
daerah tsb melainkan adalah konsekuensi dari desentralisasi dan
68 A. Kim Campbell, ‘Federalism and International Relations: The Canadian Experience’, 85 Am.
Soc'y Int'l L. Proc. (1991), 125.
69 Oliver J. Lissitzyn, ‘Territorial Entities other than Independent States in the Law of Treaties’, RdC
(1968-III), 87.
43
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 15  Januari-April 2014
globalisasi. Di era globalisasi terdapat kebutuhan adanya kebijakan luar
negeri oleh otonomi daerah sebagai konsekuensi dari demokratisasi,
federalisme,
tingkat
pertumbuhan
ekonomi,
meningkatnya
internasionalisasi pasar.70
Terlepas dari apa pun struktur negara, apakah kesatuan atau
federalisme, pertanyaan tentang bagaimana kewenangan eksklusif daerah
diperlakukan jika urusan yang dibawah wewenang eksklusif ini menjadi
objek dan materi dari suatu perjanjian internasional. Pertanyaan ini akan
bersentuhan dengan kekuasaan membuat perjanjian internasional
menurut hukum konstitusinya. Beberapa perjanjian justru telah membuka
ruang bagi partisipasi sub-negara jika materinya adalah wewenang
eksklusif dari sub-negara itu yang berada di luar kewenangan pemerintah
pusat.71 Dalam hal ini fenomena desentralisasi tetap melahirkan persoalan
kontroversi terhadap posisi negara terhadap perjanjian internasional.
***
70 Ferran Requejo, ‘Foreign Policy of Constituents Units in a Globalised World’, di Ferran Requejo
(ed.), Foreign Policy of Constituents Units at the Beginning of 21st Century (2010), 11.
71 Agreement Establishing the World Trade Organization menyatakan di Pasal XII bahwa Setiap
Negara atau wilayah kepabeanan terpisah memiliki otoritas penuh untuk mengatur hubungan
dagang eksternal dan masalah-masalah lain yang diatur di Perjanjian ini dan Perjanjian Dagang
Multilateral yang mengacu pada Perjanjian ini, dalam aturan yang disetujui diantara mereka dan
WTO. Aksesi tersebut akan berlaku pada Perjanjian ini dan Perjanjian Dagang Multilateral yang
terlampir.
44
Download