POLA PENGOBATAN RASIONAL

advertisement
POLA PENGOBATAN RASIONAL
Pasien Cerdas, Pasien sehat
Compassion, Courage, Commitment
YAYASAN ORANG TUA PEDULI (YOP)
Purnamawati Sujud Pujiarto, Dr, SpAK, MMPed
Semua orang suatu saat pasti membutuhkan obat. Namun demikian, bukan berarti kesehatan =
pemberian obat. Tidak semua gangguan kesehatan harus senantiasa dijawab dengan obat
Bagaimana mengkonsumsi obat secara bijak? Mengapa harus bijak? Apakah ada kerugiannya bila
kita tidak bijak dalam mempergunakan obat? Apa sih obat itu? Bagaimana proses penemuannya,
bagaimana pengawasan kualitasnya, bagaimana proses pengawasan keamanannya, bagaimana
proses pemasarannya?
Ternyata, banyak sekali isu seputar obat. Bagaimanapun, segala hal senantiasa memiliki
dua sisi, sisi baik dan sisi kurang baik. Termasuk obat, termasuk antibiotik. Memang, pada
dasarnya, dunia kedokteran bergerak dalam koridor risk and benefit ratio, bergerak dalam ruang
antara “keunrtungan” dan “kerugian”. Bila obat dipergunakan secara bijak, manfaatnya sangat
besar, bahkan bisa menyelamatkan jiwa.
Di lain pihak, tidak sedikit konsumen yang beranggapan bahwa konsultasi medis adalah
kunjungan “berobat” alias upaya meminta obat. Di kamus bahasa Indonesia, konsultasi medis
adalah perundingan antara pemberi dan penerima layanan kesehatan untuk mencari penyebab
terjadinya penyakit & utk menentukan cara2 pengobatannya. Singkatnya, konsultasi medis adalah
upaya advocacy, upaya berbagi informasi, upaya meminta penjelasan dan kejelasan. Memang,
sudah semakin banyak konsumen yang memahami bahwa konsultasi medis tidak selalu berarti
obat, karena, keputusan klinis tergantung penyebab gangguan kesehatan yang tengah dialaminya.
Tujuan kegiatan edukasi ini adalah mengajak konsumen kesehatan untuk menyadari
bahwa urusan kesehatan juga merupakan tanggung jawab mereka, bukan hanya tanggung jawab
tenaga medis. Konsumen harus proaktif mempelajari dasar-dasar kesehatan, mulai dari uoaya
preventif (misalnya imunisasi dan pemberian makan pada anak) sampai dengan pemakaian obat
secara bijak. Pemakaian obat yang rasional. Bukan memusuhi obat, bukan memusuhi antibiotik.
RATIONAL USE OF DRUGS (RUD)
Pola pemakaian obat yang rasional adalah pemakaian obat yang aman dan efektif. Mencakup
pula ketersediaan obat dalam harga yang terjangkau, dapat disimpan dengan mudah, dan obat
yang disediakan merupakan obat yang tepat untuk penyakit yang sedang dialami, dikonsumsi
dengan dosis yang tepat dan untuk jangka waktu yang tepat pula. Menurut WHO, secara garis
besar yang berperan terhadap pola pemberian obat tidak rasional yaitu:
1. Membanjirnya obat dalam jumlah yang sangat besar. Di pasaran, untuk suatu produk
obat tertentu tersedia ratusan bahkan ribuan macam. Dokter menghadapi kesulitan untuk
memilih suatu obat secara rasional dari ribuan pilihan yang tersedia. Oleh karena itu,
semua pihak harus menyadari kriteria seleksi untuk memilih obat yang paling tepat.
2. Proses pengambilan keputusan oleh para dokter. Hal ini dipengaruhi oleh
pengetahuan si dokter perihal obat, kemampuan menghadapi pasien yang “demanding”,
1
dan kemampuan untuk menangkal promosi obat yang agresif. Faktor utama dalam
mengambil keputusan adalah menentukan permasalahan yang sedang dihadapi pasien.
Contoh, anak demam, penyebabnya banyak. Tentukan apa penyebabnya dan atas dasar
itu baru ditetapkan terapi atau manajemennya.
Era kedokteran saat ini adalah era teknologi tinggi. Banyak keuntungan yang dipetik
konsumen, di lain pihak, ada pula kerugiannya. Hubungan dokter dengan pasien yang lebih
“kaku” sentuhan manusiawi sering digantikan oleh pemeriksaan teknologi canggih yang bukan
hanya membuat korban perasaan, tetapi juga korban kantong. Pemahaman akan konsep RUD
akan membantu kita untuk terhindar dari “kerugian” yang potensial terjadi di era teknologi tinggi.
From:
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=1116
Pengukuhan Prof Iwan Dwiprahasto: "Tradisi Menulis Resep Obat Perlu
Dikoreksi” ("Farmakoterapi Berbasis Bukti: Antara Teori dan Kenyataan").
Kurangnya informasi terhadap bukti ilmiah baru tentang obat dan farmakoterapi tampaknya tetap
menghantui kalangan professional kesehatan di negara-negara berkembang, seperti Indonesia.
Meskipun hampir semua jurnal biomedik dan buku-buku teks kedokteran telah tersedia dalam bentuk
elektronik.... tenaga kesehatan dikhawatirkan semakin jauh dari konsep farmakoterapi berbasis bukti
yang mutakhir.
Ironisnya, kelemahan inilah yang dimanfaatkan duta-duta farmasi sebagai peluang dan
secara gencar membanjiri para dokter dengan informasi-informasi tentang obat mereka. Sayang,
informasi ini umumnya unbalanced, cenderung misleading atau dilebih-lebihkan, dan berpihak
pada kepentingan komersial.
"Penggunaan informasi seperti ini sangat beresiko dalam proses terapi," ungkap Prof dr Iwan
Dwiprahasto MMedSc PhD, Senin (7/1) ...Wakil Dekan Bidang Akademik & Kemahasiswaan FK
UGM saat dikukuhkan sebagai Guru Besar FK UGM. Ketua Komite Pendidikan, Penelitian dan
Pengembangan RSUP Dr Sardjito. Keterbatasan informasi ini menjadikan off-label use of drug sangat
marak dalam praktek sehari-hari. Off-label use adalah penggunaan obat di luar indikasi yang
direkomendasikan. Obat yang sering digunakan secara off label antara lain antihistamin,
antikonvulsan, antibiotika, serta obat flu dan batuk. Berbagai obat kardiovaskuler pun sangat
sering digunakan secara off label, antara lain antiangina, antiaritmia, antikoagulan." Berbagai
penggunaan obat diluar dosis yang direkomendasi, termasuk pula dalam katagori ini. Banyak praktekpraktek kefarmasian di apotek tergolong off label use.
"Menggeruskan tablet untuk dijadikan puyer, kapsul, bahkan sirup untuk sediaan
anak, atau menggeruskan tablet atau kaplet untuk dijadikan saleb dan krim adalah bentuk off
label use yang jamak ditemukan. Hal itu terjadi secara turun menurun, berlangsung puluhan
tahun tanpa ada yang sanggup menghentikannya."
”Melestarikan penyimpangan, menikmati kekeliruan, dan mengulang-ulang kesalahan
tampaknya sudah menjadi hedonisme peresepan. Yang satu mengajarkan dan yang lain
mengamini sambil menirukan. Itulah cara termudah untuk mendiseminasikan informasi yang
tidak berbasis bukti."
Menulis resep, seolah telah menjadi tradisi ritual yang tidak bisa dikoreksi. Tulisan yang
sulit dibaca seolah menjadi bagian dari sakralisasi peresepan. "Padahal bahaya mengintai dimanamana. Kebiasaan keliru menuliskan aturan resep 3 kali sehari (signa 3 dd 1) seharusnya mulai
ditinggalkan dan diganti menjadi diminum tiap 8 jam. Pun dengan obat yang diberikan 2 kali sehari,
seharusnya bisa ditulis tiap 12 jam dan seterusnya.
"Menulis resep dalam bentuk campuran (beberapa jenis obat digerus dijadikan satu
sediaan puyer atau sirup) perlu untuk segera dikoreksi, karena termasuk off label use. Jika
praktek-praktek primitive semacam itu tetap dipertahankan, maka keselamatan pasien (patient
safety) tentu akan jadi taruhannya," tandasnya.
Prof Iwan mengajak para professional kesehatan untuk senantiasa mengacu pada bukti-bukti
ilmiah terkini. "Keeping up to date" bukanlah sekedar slogan tapi merupakan prasyarat
fundamental dalam implementasi Evidence Based Medicine (EBM).
2
BEBERAPA “KELIRUMOLOGI” SEPUTAR OBAT
(1) PANDUAN penanganan suatu penyakit. Tanpa sepenuhnya kita sadari, kita “sangat
mendewa”kan obat-obatan. Ketika kesehatan kita terganggu, kita latas mencari/meminta
obat. Kita ternyata kurang memahami bahwa “penyakit-penyakit” harian (demam, batuk
pilek (ISPA), diare akut) da bayak penyakit lainnya (TBC, tifus, Inefeksi saluran
kemih/ISK, eksim, ampak, dst dst) sudah ada PANDUAN penanganannya. Panduan ini
merupakan hasil penelitian yang sudah terjamin kekuatannya dalam membuktikan
penanganan yang terbaik (yang efektif dan aman) buat penyakit-penyakit terkait.
Panduan ini bisa ditemukan di berbagai textbook kedokteran dan di berbagai situs (web)
terpercaya. Artinya, panduan tersebut (standar pelayanan medis [SPM]) harus diketahui
oleh tenaga medisnya dan pasiennya. Sayangnya, masyarakat Indonesia tidak mengetahui
adanya panduan penanganan penyakit sehingga tidak bisa membantu dunia kedokteran
Indonesia agar lebih “menghormati” panduan tersebut dengan menerapkannya kepada
pasien dengan penyakit terkait. Padahal, panduan tersebut “menjamin” penanganan yang
tepat dan mengedepankan “safety”.
Ketika panduan selsema tidak menakup obat apapun selain obat pereda demam
seperti parasetamol, seharusnya tenaga medis dan pasien memahami dan menerapkannya
dengan benar sehingga ketika flu/selesma, berapapun suhu demamnya, kita tidak
mengkonsumsi antibiotik, atau obat pilek, atau obat batuk! Obat-obatan tersebut
TIDAK ada dalam panduan selesma/flu.
Pada Technical briefing seminar WHO awal tahun 2004 perihal Kebijakan Obat
Esensial dikemukakan bahwa di negara sedang berkembang, jumlah obat yang
diresepkan padahal sebenarnya tidak perlu diberikan sebesar 39 – 59%. Hal ini
mencerminkan tingginya uang yang dibelanjakan untuk obat sebenarnya tidak perlu
dikeluarkan; sungguh suatu pemborosan.
(2) Kesehatan = urusan dokter dan tenaga medis lainnya. Benarkah?
Pasien/konsumen kesehatan merupakan pihak yang paling berkepentingan akan
kesehatan dan kesejahteraan dirinya. Pasien merupakan pihak yang merugi ketika terjadi
hal-hal yang “tidak diinginkan”. Pasien merupakan pihak yang seharusnya sangat
MEMAHAMI penyakitnya dan memahami penanganannya. Tahukah anda bahwa di
negara dengan sistem kesehatan yang kuat sekalipun, agka kematian akibat efek samping
obat menempati urutan ke 5, di atas angka kematian akibat HIV/AIDS dan angka
kematian akibat kecelakaan lalu lintas.
(3) Dokter paling tahu soal obat dan sangat memahami obat-obatan. Siapa bilang?
Kemajuan ilmu kedokteran dan kemajuan ilmu perihal obat-obatan sangat pesat sehingga
tenaga medis sering tidak berhasil untuk senantiasa meng”up date” ilmunya.
Masih banyak pasien yang memperoleh obat atas gejala (gejalanya 6 maka
obatnya mungkin 6 atau lebih) bukan berdasarkan masalah atau diagnosis. Pengobatan
gejala (simtomatik alias pengobatan untuk menghilangkan gejala) bisa “menyesatkan”
karena masalah dasarnya justru tidak terdeteksi atau tidak tertangani. Masalah kedua
adalah overmedicated, dimana ketika hanya butuh 1 atau 2 obat, ternyata kita
memperoleh banyak obat, satu obat untuk satu gejala.
3
Keprihatinan lainnya adalah, banyak obat yang di luar Indonesia sudah tidak
dipergunakan, di indonesia masih diberikan khususnya untuk anak-anak. Misalnya obat
pilek. Padahal, obat pilek yang mengandung dekongestan, tidak pernah terbukti efektif
bakan terbukti TIDAK AMAN bagi bayi dan anak kecil. Oleh karena itu, JANGAN
berikan obat pilek untuk bayi dan anak kecil (obat pilek puyer racikan mauopun obat
pilek sirup bermerek) serta untuk manula. Kedua obat batuk. Batuk karena selesma dan
flu tidak ada obatnya (obat batuk, obat pengencer dahak, TIDAK ada gunanya).
JANGAN berikan obat untuk MENEKAN batuk karena batuk TIDAK boleh ditekan.
Batuk justru membantu kita membersihkan jalan napas. Ketika kita selesma, flu atau
alergi, saluran napas kita banyak dahaknya sehingga otomatis kita harus batuk agar dahak
tersebut “terpental” kita telan atau kita buang atau kita muntahkan. Batuk BUKAN
penyakit. Batuk bukan hal buruk. Ketika anak kita batuk karena asma, kita berikan
obat asma BUKAN obat batuk. Di lain pihak, banyak sekali anak batuk yang puyernya
berisi obat asma! Ketiga, obat anti muntah dan obat diare. Diare dan muntah adalah
refleks tubuh untuk MEMBUANG semua yang tidak berkenan di saluran cerna kita.
Diare dan muntah JANGAN diberi obat anti muntah dan diare karena obat-obatan
tersebut TIDAK MENYEMBUHKAN penyakitnya bakan potensial menyesatkan dan
potensial menimbulkan efek samping. Obat satu-satunya untuk diare akut adalah
ORALIT! Apabila diarenya berdarah, butuh antibiotik tetapi diare berair da diare tanpa
darah JANGAN diberi antibiotika. Antibiotika justru menyebabkan diare. Obat diare
untuk anak sudah tidak dipergunakan lagi di luar Indonesia, sedihnya, masih banyak anak
Indonesia yang memperoleh obat anti diare dan anti muntah.
(4) Antibiotik obat dewa. Entah siapa yang ber”salah” sehingga kita semua (tenaga
medis maupun konsumen kesehatan) memiliki pola pikir bahwa ketika sakit, antibiotik
solusinya agar lebih secepatnya sembuh, agar tidak terjadi infeksi sekunder (infeksi
tambahan) kuman, karena Indonesia beda, Indonesia banyak kuman jadi tetap butuh
antibiotika. Padahal, pasien non Indonesia dengan demam dan batuk pilek, meski tinggal
di Indonesia, mereka tahu bahwa mereka TIDAK perlu mengkonsumsi antibiotika.
Di beberapa negara sedang berkembang, persentase peresepan antibiotika yang
sebenarnya tidak perlu diberikan sebesar 52% - 75%. Penelitian di beberapa tempat di
Sumbar menunjukkan bahwa tingkat pemakaian antibiotika sebesar 90%. Tingkat
penggunaan antibiotika untuk balita mencapai 83% dan 60% pada mereka di atas 5 tahun.
Ironis, anak merupakan populasi yang paling terpapar pada antibiotika. Pada anak, ada 3
kondisi yang hampir selalu diberi antibiotika yaitu demam, radang tenggorkan, dan diare.
Padahal ketiga penyakit ini umumnya penyebabnya virus, TIDAK butuh antibiotika.
Semakin sering anak memperoleh antibiotika, SEMAKIN SERING mereka jatuh
sakit.
(5) Puyer yang terbaik buat anak Indonesia. Selama ini semua orang “take it for
granted” bahwa resep (khususnya buat anak) adalah puyer. Puyer adalah bagian dari
“kultur”, tradisi, tak terpisahkan dari dunia kedokteran di Indonesia. Puyer dianggap yang
terbaik dan paling tepat untuk Indonesia karena “murah” (padahal, tidak ada negara
miskin lainnya yang memberikan peresepan puyer). Alasan agi mereka yang “pro” puyer
adalah karena puyer paling tepat buat Indonesia karena (1) dosisnya bisa tepat (padahal
dosis bisa akurat apabila kita mempergunakan “syringe” untuk mengukur; (2) puyer
4
paling tepat karena praktis dan “mudah” yaitu ketika anak butuh banyak obat (padahal,
gangguan kesehatan harian tidak butuh banyak obat); (3) puyer paling tepat untuk
Indonesia karena puyer = murah (padahal, penelitian menunjukkan bahwa resep-resep
puyer samasekali TIDAK murah karena terdiri dari banyak obat yang tidak dibutuhkan
dan obatnya kebanyakan bukan obat generik). .
Apa masalah yang ditimbulkan pembuatan obat racikan bentuk puyer?
Dewasa ini peresepan obat puyer di negara maju sudah sangat berkurang karena:
1. Kemungkinan kesalahan manusia dalam pembuatan obat racik puyer ini tidak dapat
diabaikan, misalnya kesalahan menimbang obat, atau membagi puyer dalam porsi2 yang tidak
sama besar. Kontrol kualitas sulit sekali dapat dilaksanakan untuk membuat obat racikan ini.
2. Stabilitas obat tertentu dapat menurun bila bentuk aslinya digerus, misalnya bentuk tablet salut
selaput (film coated), tablet salut selaput (enteric coated), atau obat yang tidak stabil (misalnya asam
klavulanat) dan obat yang higroskopis (misalnya preparat yang mengandung enzim
pencernaan)
3. Toksisitas obat dapat meningkat, misalnya preparat lepas lambat bila digerus akan kehilangan
sifat lepas lambatnya.
4. Waktu penyediaan obat lebih lama. Rata2 diperlukan waktu 10 menit untuk membuat satu
resep racikan puyer, 20 menit untuk racikan kapsul, sedangkan untuk mengambil obat jadi
diperlukan waktu hanya kurang dari 1 menit. Kelambatan ini berpengaruh terhadap tingkat
kepuasan pasien terhadap layanan.
5. Efektivitas obat dapat berkurang karena sebagian obat akan menempel pada blender/mortir
dan kertas pembungkus.
6. Pembuatan obat puyer menyebabkan pencemaran lingkungan yang kronis di bagian farmasi
akibat bubuk obat yang beterbangan ke sekitarnya. Hal ini dapat merusak kesehatan petugas
setempat
7. Obat racikan puyer tidak dapat dibuat dengan tingkat higienis yang tinggi sebagaimana halnya
obat yang dibuat pabrik karena kontaminasi yang tak terhindarkan pada waktu pembuatannya
8. Pembuatan obat racikan puyer membutuhkan biaya lebih mahal karena menggunakan jam
kerja tenaga di bagian farmasi sehingga asumsi bahwa harganya akan lebih murah belum tentu
tercapai
9. Dokter yang menulis resep sering kurang mengetahui adanya obat sulit dibuat puyer (difficult-to
compound drugs) misalnya preparat enzim
10. Peresepan obat racik puyer meningkatkan kecenderungan penggunaan obat irasional karena
penggunaan obat polifarmasi tidak mudah diketahui oleh pasien.
Peresepan puyer TIDAK akan terjadi apabila kita memperhatikan dan menghormati dua
hal di bawah ini yaitu (1) Good Manufaturing Practice (cara pembuatan obat yang
benar) dan (2) Good Prescribing Practice (GPP) dan EBMnya (lihat 6 langkah peresepan
yang benar)
Singkatnya, urusan membuat obat merupakan rantai panjang nan rumit. Banyak
persyaratan yang HARUS dipenuhi. Apakah penggerusan obat ’kembali” menjadi bubuk
tidak melanggar konsep GMP? Bagaimana dengan kualitas (dan stabilitas) obat yang
digerus apalagi ketika penggerusanya bersama-sama dengan berbagai obat lainnya?
Apalagi Indonesia negara tropis yang lembab, patut dipertanyakan stabilitas obat apalagi
yang dicampur dan digerus bersama menjadi puyer.
(6) Ke dokter = minta resep/obat. Tidak sedikit konsumen yang beranggapan bahwa
konsultasi medis adalah kunjungan “berobat” alias upaya meminta obat. Di kamus bahasa
Indonesia, konsultasi medis adalah perundingan antara pemberi dan penerima layanan
5
kesehatan untuk mencari penyebab terjadinya penyakit & utk menentukan cara2
pengobatannya. Singkatnya, konsultasi medis adalah upaya advocacy, upaya berbagi
informasi, upaya meminta penjelasan dan kejelasan. Memang, sudah semakin banyak
konsumen yang memahami bahwa konsultasi medis tidak selalu berarti obat, karena,
keputusan klinis tergantung penyebab gangguan kesehatan yang tengah dialaminya.
Ambil contoh, bayi diare. Penyebab utamanya adalah infeksi virus dan obatnya
adalah cairan rehidrasi oral (oralit) dan ASI untuk mencegah dehidrasi. Dokter memberi
informasi perihal penyebab, tatalaksana, dan risiko komplikasi. Dokter menyatakan
bahwa diare akan sembuh sendiri, tidak ada obat yang diperlukan selain cairan rehidrasi
oral. Dengan demikian, konsultasi medis tidak senantiasa harus diakhiri dengan penulisan
secarik kertas resep. Nasehat dokter yang profesional juga suatu bentuk “obat”. Pada
dasarnya, tidak banyak gangguan kesehatan yang tatalaksananya harus berupa pemberian
obat (di makalah terdahulu sudah dikemukakan bahwa ada 5 bentuk terapi; pemberian
obat hanyalah salah satunya). Ketika butuh obat, banyak sekali faktor yang berperan
dalam peresepan obat.
(7) Obat injeksi saja biar lebih mantap. Di negara sedang berkembang, persentase
pemberian obat secara injeksi (yang sebenarnya bisa diberikan secara oral) juga
tinggi (20 – 76%). Sebenarnya, tidak banyak pasien yang membutuhkan pemberian obat
melalui suntikan. Selain itu, dipandang dari berbagai aspek, selama obat masih dapat
diberikan secara oral, pemberian melalui suntikan banyak dampak negatifnya termasuk
tingginya biaya karena pasien umumnya harus rawat inap di rumah sakit dan
meningkatnya risiko efek samping obat, kemungkinan masuknya bakteria ke tubuh kita
saat penyuntikan dilakukan, serta terusiknya rasa nyaman. WHO melaporkan bahwa
sedikitnya 15 milyun penyuntikan per tahun di seluruh belahan dunia. Separuhnya
mempergunakan jarum suntik yang tidak steril. Setiap tahun, tercatat 2,3 – 4,7 juta
infeksi hepatitis B/C dan 160.000 infeksi HIV akibat pemberian obat melalui suntikan.
Diskusikan dengan dokter bila dinyatakan perlu obat suntik.
(8) Mahal = berkualitas. Layanan kesehatan yang berkualitas adalah layanan kesehatan
yang profesional artinya mendahulukan kepentingan pasien (jika tidak butuh obat dokter
harus berani mengatakan yang sebenarnya dan pasien harus menghormatinya), layanan
kesehatan yang padat akal (bukan padat ongkos), layanan kesehatan yang transparan
dan sesuai bukti ilmiah alias EBM atau kedokteran berbasis BUKTI.
RUD adalah pola pemberian obat yang tepat yaitu pemilihan obat yang sesuai dengan diagnosis
penyakitnya, tepat konsumsinya, tepat dosisnya, tepat jangka waktu pemberiannya, dan aman,
dengan harga semurah mungkin serta dengan pemberian informasi yang obyektif. Singkatnya,
pola pemakaian obat yang aman dan efektif (cost-effective), efisien dengan good outcome.
Pendekatannya sesuai alur di bawah:
1. Pasien dan permasalahannya. Dokter harus mengumpulkan data perihal perjalanan
penyakit dan pengobatan yang pernah diperoleh pasien.
2. Diagnosis: diagnosis tepat atau akurasi tinggi. Bila tidak memungkinkan, setidaknya
ada diagnosis perkiraan untuk selanjutnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang
(laboratorium, pemeriksaan radiologis, dan sebagainya).
3. Tujuan terapi: dipengaruhi jenis penyakit dan “keparahan”nya. Secara garis besar tujuan
adalah kesembuhan atau berkurangnya/hilangnya gejala/keluhan.
6
4. Pemilihan obat. Dilakukan dalam dua tahapan berikut:
a. Menetapkan obat yang akan dipilih dengan catatan, hanya sebagian gangguan
kesehatan yang memang membutuhkan obat. Nasehat yang profesional juga obat.
Tidak jarang, ketika pasien tidak membutuhkan obat, dokter tetap memberikan
resep misalnya suplemen atau imunomodulator.
b. Dari berbagai obat yang tersedia di tahap pertama di atas, dilakukan kajian dari
berbagai aspek yaitu efektivitas, keamanan, suitability, biaya, kemudahan
pemberiannya, serta persyaratan penyimpanannya. Pada anak misalnya,
sirup tentunya lebih suitable ketimbang puyer (belum lagi bicara soal stabilitas
obat di udara tropis). Dari sisi efektivitas versus biaya, obat generik tentunya
menjadi pilihan ketimbang obat bermerek. Ketika membutuhkan antibiotik,
tentunya dipilih yang sesuai target yang dibidik.
5. Terapi dimulai: Dokter meresepkan obat; memberi penjelasan manfaat dan efek
samping obat serta tindakan seandainya terjadi reaksi efek samping obat.
c. Hasil terapi: Dokter melakukan penilaian terhadap terapi yang sudah dilakukan
agar dapat menyimpulkan hasilnya.
d. Kesimpulan terapi: Dokter menilai tercapai tidaknya tujuan terapi. Bila tujuan
tidak/belum tercapai, dokter meninjau kembali akurasi diagnosis serta
mengevaluasi kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi.
PERMASALAHAN
PASIEN
DIAGNOSI
S
TUJUAN TERAPI
Efektivitas
Safety
Suitability
BIAYA
Kemudahan
PEMILIHAN OBAT
TERAPI DIMULAI
HASIL & KESIMPULAN TERAPI
Menentukan permasalahan. Berdasarkan rangkaian langkah yang harus dilakukan sebelum
sampai pada langkah penatalaksanaan adalah menentukan permasalahan dan penyebabnya.
Keduanya ini merupakan fondasi pelaksanaan pola pengobatan yang rasional. Contoh
sederhana adalah ketika seorang anak batuk; kita tahu bahwa batuk adalah gejala dan langkah
pertama adalah mencari penyebabnya sehingga dokter dapat menentukan diagnosisnya dan atas
dasar diagnosis tersebut baru ditetapkan tatalaksananya.
MENGAPA KITA PERLU MEMAHAMI KONSEP RUD?
Nowadays, most patient-physician interactions
end with a prescription
7
Kata-kata di atas dikutip dari seorang pakar WHO dalam kuliahnya mengenai RUD. Beliaupun
menganjurkan agar semua pihak menyadari bahwa konsultasi medis adalah interaksi yang tidak
selalu harus diikuti dengan penulisan secarik kertas resep. Mengapa demikian? Bagaimanapun
semakin banyak saja pihak-piihak yang menyadari bahwa selain manfaat, obat juga memiliki sisi
“negatif”. Selain itu, semakin banyak konsumen yang menyadari peran dan tanggung jawabnya
sehingga turut proaktif dalam pola pengobatan dan layanan kesehatan.
BAGAIMANA OBAT BEKERJA & MENGAPA KITA HARUS BIJAK DENGAN OBAT?
Paling tidak ada tiga hal yang perlu kita waspadai perihal pemakaian obat:
1. Kemungkinan interaksi antar satu obat dengan obat lainnya
2. Kemungkinan efek samping dan pengetahuan akan indikasi kontra pemberian suatu obat
3. Kepedulian perihal rasio untung ruginya
Di negara maju, terbukti, konsumen menghargai dokter yang mau memberikan penjelasan perihal
kerja obat yang harus dikonsumsi serta penjelasan perihal efek-efek yang mungkin terjadi.
Obat bekerja melalu berbagai mekanisme. Pertama, dengan menghambat suatu reseptor di
permukaan suatu sel; melalui proses penghambatan kerja suatu ensim, atau melalui pemblokiran
reseptor di dalam suatu sel. Berbagai efek yang bisa timbul akibat kombinasi beberapa obat:
Interaksi obat adalah suatu kondisi dimana pemberian 2 obat atau lebih menyebabkan timbulnya
efek yang BERBEDA dari yang semula direncanakan. Misalnya, pemakaian suatu obat A bila
disertai pula dengan mengkonsumsi obat lainnya, bisa menyebabkan obat A lebih “kuat” efeknya,
atau justru lebih “lemah”.
Efek samping. Timbulnya efek negatif suatu obat. Contoh sederhana, bila kita mengkonsumsi
obat A; di samping itu, kita juga mengkonsumsi obat B yang memiliki sifat menekan suatu ensim
hati yang fungsinya memetabolisme obat. Akibatnya, karena ensim tersebut ditekan, maka proses
metabolisme dan pembuangan opbat A pun akan terhambat, sehingga kadar obat A di darah
meningkatdan menyebabkan kemungkinan toksisitas akibat obat A akan meningkat.
Indikasi kontra. Suatu kondisi kesehatan yang menyebabkan yang bersangkutan dianjurkan
untuk tidak mengkonsumsi obat tertentu. Misalnya, orang hipertensi sebaiknya menghindar dari
obat flu.
Rasio untung rugi. Contoh, anak kita didiagnosis (dengan catatan diagnosisnya akurat)
menderita tuberkulosis/TB. Kita harus memberikan obat anti TB yaitu 2 bulan pertama PZA,
rifampisin, dan INH dilanjutkan dengan 4 – 6 bulan lagi dengan INH dan rifampisin. Kita tahu
bahwa obat-obatan tersebut potensial menganggu fungsi hati (ringan sampai berat), namun, obat
tersebut tetap kita berikan (diawasi ketat) karena manfaatnya dalam mengobati TB jauh lebih
besar dari kerugian akibat efek sampingnya. Penelitian membuktikan bahwa pasien yang
memahami kondisi kesehatannya akan lebih patuh, lebih proaktif dalam penanganan penyakitnya.
APA SAJA “RUTE” YANG DAPAT DIPAKAI UNTUK MEMBERIKAN OBAT?
Secara garis besar ada dua alternatif, pemberian secara enteral (melalui saluran cerna) dan
pemberian secara parenteral yaitu penyuntikan langsung ke pembuluh darah (penyuntikan
intravena) atau penyuntikan di otot.(intra muskular).
1. Enteral (melalui saluran cerna).
Dapat dibagi menjadi 3 jalur pemberian yaitu peroral (melalui mulut), sublingual (di
taruh di bawah lidah), atau per rektal (dimasukkan melalui anus)
2. Parenteral (melalui “aliran darah”).
• Intravenous (IV, intravena, pembuluh darah balik/vena)
• Intra-arterial (IA, melalui arteri)
• Subcutaneous (SC, melalui jaringan di bawah kulit)
• Intradermal (ID, melalui kulit)
• Intramuscular (IM)
8
• Intraperitoneal (IP, melalui selaput perut)
• Lungs (Inhalation, melalui paru-paru)
• Skin (Topical, terapi lokal di kulit), Eye (Opthalmic), Ear (Otic), Vagina
• Urethra (saluran kencing), Urinary Bladder (kandung kemih)
• Intrathecal (langsung ke rongga otak), Epidural (rongga cairan otak di tulang
belakang)
• Langsung ke organ sasaran.
UNTUNG RUGI PEMBERIAN SECARA ORAL, IV, IM, SC.
Safety. Pemberian per oral merupakan cara yang aman. Disusul dengan penyuntikan di bawah
kulit, lalu peyuntikan di otot. Risiko dampak negatif paling besar adalah pemberian intra vena.
Kenyamanan. Begitu pula halnya dengan kenyamanan. Pemberian secara oral merupakan cara
yang paling mudah dan enak
Biaya. Sebaliknya, biaya paling tinggi bila obat harus diberikan secara intra vena, paling murah
bila diberikan secara per oral.
Bila pemberian per oral lebih aman, lebih nyaman, dan lebih murah, mengapa kita
mempertimbangkan cara pemberian yang lain?
Ada saat dan kondisi dimana memang diperlukan pemberian melalui jalur lain yaitu kondisi
dimana dibutuhkan konsentrasi obat yang tinggi di tempat/jaringan yang dituju (target organ);
untuk meningkatkan efikasi obat tetapi tanpa menimbulkan efek samping pada tubuh. Misalnya
terapi inhalasi (inhale=menghirup) paru, obat yang diletakkan di bawah lidah (sublingual) agar
obat segera memasuki aliran darah ke jantung tanpa harus masuk ke hati terlebih dahulu.
Terapi juga dapat melalui rektum (ujung dari usus besar) bila pasien muntah-muntah dan
tidak dapat mengkonsumsi obat peroral.
HATI DAN METABOLISME OBAT – SIAPA BILANG OBAT PASTI AMAN?
Kebanyakan obat tidak larut dalam air sehingga perlu diproses di hati agar menjadi komponen
yang larut dalam air. Setelah larut dalam air, obat baru dapat dibuang dari tubuh, baik melalui
ginjal dibuang ke urin atau melalui usus dibuang di tinja.
Proses metabolisme tersebut terdiri dari 2 tahapan. Tahapan pertama, ditolong oleh suatu
keluarga besar ensim P450, menghasilkan suatu zat antara yang selanjutnya di tahapan kedua
akan diolah sekelompok ensim lain di antaranya yang terpenting adalah ensim gluthation
sehingga terbentuk produk yang larut air dan siap untuk di”buang”. Zat antara yang dihasilkan
tersebut merupakan suatu radikal bebas yang potensial mengganggu sel hati, me”racuni” sel hati.
Tahap kedua merupakan tahap “menetralisir” zat antara yang toksik tersebut. Dengan demikian,
pada dasarnya semua obat, bila penggunaannya tidak tepat, dapat menganggu fungsi hati. Tidak
tepat yang dimaksud adalah tidak tepat indikasinya, tidak tepat penggabungannya dengan obat
lain, tidak tepat dosisnya. Di lain pihak bayi baru lahir sampai usia 6 bulan kemampuan hatinya
rendah sehingga kemampuan “clearance” atau pembuangan obat juga rendah. Selain itu,
kemampuan ginjal untuk mengeluarkan zat-zat yang harus dibuang dari tubuh juga masih rendah.
Oleh karena itu, pada kelompok ini pemberian obat harus sangat berhati-hati karena risiko
toksisitas obat jauh lebih tinggi anak besar dan orang dewasa muda. Di lain pihak, pada usia
sangat lanjut, kemampuan hati juga sudah menurun sehingga kemampuan membuang zat zat
beracun juga sudah berkurang. Oleh karena itu, pemberian obat pada manula juga harus berhatihati. Demikian pula halnya dengan pemberian obat pada pasien penyakit hati dan ginjal kronis.
Kerusakan sel hati bisa terjadi kalau suatu obat diberikan bersama obat lain yang sifatnya
merangsang ensim P450 atau menghambat ensim gluthation. Sebagai contoh:
- Parasetamol, bila dosisnya berlebihan, dapat merusak hati. Parasetamol di luar negeri
sering dipakai remaja untuk suicide attempt. Parasetamol juga akan meningkat
toksisitasnya bila dicampur dengan obat lain yang sifatnya merangsang ensim P450
9
-
-
-
seperti rifampisisn, fenobarbital atau INH. Di lain sisi, pencampuran parasetamol
denga luminal justru akan mengurangi efek atipiretik parasetamol.
Obat anti TBC seperti pirazinamid (PZA), rifampisin dan INH, memiliki risiko tinggi
kerusakan hati. Terlebih bila digabung dengan obat lain yang potensial merusak hati
seperti obat anti kejang (asam valproat/depakene), parasetamol.
Antibiotik golongan makrolid (eritromisin) dan antibiotik kloramfenikol (kemisetin,
kloramfenikol, thiamfenikol, urfamisin) menghambat ensim P450 sehingga “clearance”
atau pembuangan obat lainnya terganggu dan mengakibatkan kadar obat kedua di darah
meningkat dan meningkat pula risiko toksisitas obat kedua. Misalnya, eritromisin
digabung dengan teofilin, maka risiko toksistas teofilin akan sangat meningkat. Di lain
pihak, teofilin sendiri tergolong obat dengan safety margin yang sempit dan indikasi
pemberiannya sebetulnya sangat terbatas.
Obat anti kejang; Obat sitostatika (antikanker); Hormon
PRINSIPPERESEPAN PADA ANAK
Beberapa prinsip yang harus dipikirkan saat memutuskan pemberian obat pada populasi pediatri:
- Apakah terapi memang dibutuhkan? Hal ini tentunya dipengaruhi oleh akurasi
diagnosis yang ditegakkan, oleh perhitungan risiko dan keuntungan
- Pemilihan obat, termasuk jenis/bentuk obat dan dosisnya. Pilihan tentunya jatuh kepada
obat yang paling cocok (sirup/dropmerupakan bentuk yang paling cocok untuk
bayi/anak), yqng paling aman. Hindari pemakaian tetrasiklin.Kloramfenikol jangan
dipakai sampai bayi usia 2 bulan; pemakaiannya seyogyanya disertai dengan pengukuran
kadarnya di darah.
- Dosis. Pilih obat yang sudah diteliti. Dosis juga harus bersifat individuil. Pada obat
tertentu pantau dosis dengan efek yang dialami anak. Peresepan harus jelas disertai
dengan instruksi yang jelas. Tulisa terbaca dan dalam bahasa lokal.
- Drug compliance atau kepatuhan pemakaian obat. Oleh karena itu, penulisan resep harus
disertai dengan instruksi yang mudah dimengerti.
- Lama terapi. Ditentukan oleh hasil kajian terkini (EBM), perjalanan atau pola
penyakitnya (nature of illness)
- Biaya.
- Kemungkinan kesalahan dispensing.
Oleh karena itu, kebijakan pemberian obat pada bayi harus mengedepankan safety, efficacy
berada diurutan berikutnya. sesederhana mungkin dan dengan penjelasan yang informatif.
APAKAH ANAK BENAR-BENAR BUTUH OBAT? APAKAH OBAT YANG
DIBERIKAN OBAT YANG PALING “TEPAT”?
Pertanyaan pertama yang harus ada di kepala kita adalah Is this the best drug? Is it safe?
Selanjutnya, pertanyakan bagaimana dampaknya terhadap penyakit yang sedang dialami anak,
berapa lama terapi harus diberikan, apakah instruksi dosisnya jelas, efek samping yang mungkin
bisa terjadi, ada tidaknya interaksi dengan obat yang lain.
10
PROFIL OBAT ANTI DEMAM (ANTIPYRETIC)
Efek
Dosis
mg/kg
Efek
samping
Ibuprofen
Asetaminofen
Asetosal
AP, AG, AI
5-10
AP, AG
10-15
AP, AG, AI
Tidak boleh
usia < 16 tahun
Mual, iritasi- Aman bila
perdarahan
dosis tidak
saluran cerna, berlebih, iritasi
gagal ginjal
saluran cerna,
AP: anti piretik (penurun demam)
AG: analgesik (penghilang rasa sakit)
AI: anti inflamasi (anti radang)
Sindrom Reye,
iritasiperdarahan
saluran cerna
Asam
Mefenamat
AP, AG
Tidak
dianjurkan
untuk demam
pada anak
Anemia
hemolitik
Metamizole
AP, AG, AI
Tidak
dianjurkan
Agranulositosis
Reaksi alergi
berat
Dari tabel di atas, tampak bahwa dengan dosis yang benar dan atas indikasi yang tepat, maka
yang paling aman adalah parasetamol atau asetaminofen.
Tips:
-
Hindari pemakaian obat anti demam lebih dari satu jenis
Jangan pakai asetosal untuk infeksi virus karena berisiko mengalami sindrom Reye;
asetosal (aspirin, aspilet) tidak boleh diberikan pada anak usia kurang dari 16 tahun
ASPIRIN/ACETOSAL
Aspirin tergolong obat NSAIDS atau non steroid anti inflammatory drugs, artinya obat yang
memiliki efek anti inflamasi tetapi bukan termasuk golongan steroid. Aspirin atau asetosal salah
satu nama dagangnya adalah aspilet. Selain efek anti inflamasi atau anti radang, aspirin juga
memiliki sifat analgesik (pereda rasa sakit) dan antipiretik (penurun demam). Oleh karena itu,
indikasi pemberian aspirin adalah, penghilang rasa sakit, anti inflamasi (misalnya pada penyakit
autoimun seperti artritis atau radang sendi), tetapi aspirin juga dipakai pada infark jantung dan
hiperagregasi trombosit (“kekentalan darah”) karena aspirin juga bisa mengencerkan darah.
Aspirin berinteraksi dengan:steroid, anticoagulants (obat anti pembekuan darah), obat
antirheuma, dan obat anti gout. Pemberian aspirin bersama dengan salah satu obat tersebut akan
meningkatkan risiko perdarahan.
Selain itu, pemberian aspirin pada anak dengan infeksi virus potensial menimbulkan
sindrom Reye, suatu kondisi yang potensial mengancam jiwa yang pada intinya melibatkan
kelainan berat pada otak dan hati. Anak mengalami penurunan kesadaran, kejang-kejang, dan
gagal hati. Oleh karena itu, dunia kedokteran membuat keputusan melarang pemberian aspirin
pada anak berusia kurang dari 16 tahun. Efek samping lain yang dapat ditimbulkan aspirin:
- Perdarahan saluran cerna
- Blood thinning atau pengenceran darah
- Tukak lambung
- Thrombocytopenia atau penurunan jumlah trombosit
- Reaksi alergi, Dizzyness atau pusing, Tinnitus (telinga berdenging)
OBAT SELESMA
Penyebab flu/selesma adalah infeksi virus. Gejalanya adalah:
- Meler, Sakit menelan/radang tenggorokan, Bersin, muntah, hidung buntu
11
-
Demam tinggi yang timbul mendadak, Sakit badan (otot dan tulang)
Lamanya 3 hari s/d 2 minggu, tergantung daya tahan tubuh anak dan tergantung ada
tidaknya orang lain yg juga sakit flu di rumah atau di sekolah si anak. Bayi/anak yang memiliki
saudara kandung yang lebih besar (sudah bersekolah), bisa lebih sering mengalami colds dan flu.
Kita sering mengganggap meler sebagai flu. Padahal, penyebab “ingusan” bisa infeksi
virus, alergi, kedinginan, atau sesudah menangis. “ingusan” karena alergi tidak disertai demam
dan tidak ada tanda-tanda infeksi lainnya (lesu, kehilangan nafsu makan, mual/muntah). Lalu apa
bedanya common colds (selesma) dengan influenza?
Selesma tidak ada obatnya, terlebih pada bayi. Obat yang paling ampuh adalah sang
waktu, memberi kesempatan kepada sistem imun si anak untuk memerangi infeksinya. Kadang
kita perlu membuat bayi/anak merasa sedikit nyaman.
Coba perhatikan resep puyer yang diberikan kepada anak anda yang tengah selesma. Umumnya
terdiri dari CTM (antihistamin), diphenhydramine, efedrin atau pseudoefedrin. Pemberian
obat-obatan tersebut sebetulnya tidak rasional. Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah
dahak semakin kental (sehingga anak batuk lebih hebat), mengantuk, palpitasi (jantung
berdebar-debar), mulut-hidung-tenggorokan terasa kering, hipertensi, gangguan buang air
kecil. Berikut ini pengumuman berdasarkan US government research: “OTC cold
medicines dangerous for kids under 6”.
• Satu masalah yang sering mengganggu hubungan dokter-pasien adalah
• ekspektasi yang tak realistis atau
• tidak mempercayai diagnosis –
• tidak mempercayai penyakit harian ringan tak butuh terapi
• Mis: banyak orangtua mengharapkan obat untuk selesma-flu. Padahal, a waitand-see approach jauh lebih baik. Akibatnya… doctor may feel pressured to
give in to parental expectations for prescriptions or treatment, even when
it's not necessary or in the best interest of the child's health.
Kesimpulan: selesma dan influenza tak bisa dibunuh dengan antibiotic. Tak ada obat
untuk mempercepat penyembuhan. Cukup berikan parasetamol jika demam, observasi,
dan cairan sesering mungkin (ASI dll).
BATUK & BRONKITIS & COUGH MIXTURE (obat batuk)?
Batuk, pada dasarnya merupakan suatu refleks yang pusat pengaturannya berada di otak.
Refleks batuk ini juga merupakan salah satu sistem pertahanan tubuh terhadap benda asing yang
masuk ke saluran napas. Ketika tersedak, ketika terkena infeksi flu, maka lendir berlebihan akan
dibatukkan oleh tubuh kita. Lihat gambar sebelah kanan yang dikeluarkan oleh CDC ... disitu
dinyatakan bahwa pada umumnya batuk dan radang tenggorokan tidak membutuhkan terapi
antibiotika. Perbanyak minum ... maka batukpun akan mereda karena lendir menjadi lebih encer
dan lebih mudah untuk dikeluarkan.
Batuk akibat meningkatnya produksi dahak kebanyakan disebabkan infeksi virus atau
alergi. Batuk akibat infeksi virus flu misalnya bisa berlangsung sampai dengan 2 minggu bahkan
lebih lama lagi bila anak kita sensitif atau alergi, atau bila di rumah ada anak lain yang lebih
besar atau yang juga sedang sakit.
Istilah bronkitis sendiri tidak mencerminkan suatu etiologi. Penelitian membuktikan
bahwa bronkitis umumnya disebabkan oleh infeksi virus dan merupakan suatu kondisi yang
sifatnta self limiting. Penelitian pada 1398 anak yang keluhan utamanya batuk juga menunjukkan
bahwa 88% anak tersebut diresepkan antibiotik sehingga menunjukkan ”keyakinan” para dokter
12
seolah kondisi ini disebabkan oleh infeksi bakteria. Pemberian antibiotik sebaiknya ditunda
sampai penyebabnya diketahui dengan pasti. Secara garis besar, penyebab pada bayi dan anak
kecil adalah virus parainfluensa, RSV, dan virus influensa. Pada anak berusia > 5 tahun umumnya
juga disebakan oleh infeksi virus meski kadang perl;u dipikirkan infeksi Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumonia. Batuk lama pada anak besar bisa karena pertusis, M
pneumoniae, tetapi kebanyakan disebabkan karena alergi dan infeksi virus sehingga kebanyakan
tidak membutuhkan antibiotik. Infeksi M pneumoniae umumnya bersifat ringan keculai pada
remaja dan anak besar yang bisa menyebabkan batuk lama atu pneumonia, dalam hal ini barulah
diperlukan antibiotik. Pada anak besar, batuk yang sangat lama (lebih dari 4 – 8 minggu) pikirkan
kemungkinan hipersensitivitas saluran napas, aspirasi benda asing, tuberkulosis, pertusis, cystic
fibrosis, atau sinusitis; dalam kondisi ini terapi antibiotik perlu dipertimbangkan.
TATALAKSANA: prinsipnya mencari tahu penyebabnya
Batuk karena produksi dahak berlebihan, upayakan untuk mengurangi produksi lendir:
 Minum banyak yang hangat, Bayi - bantal agak tinggi,
 Jangan ada asap rokok, Ruangan jangan kering (Moist air)
 Umumnya NO – ANTIBIOTICS; NO penekan refleks batuk codein, dekstrometorfan
(DMP).
 Batuk bukan penyakit, Cari penyebabnya.
 Obat batuk? Tidak ada! Kecuali batuiknya karena asma
STEROID
Steroid adalah suatu hormon seks yang dihasilkan oleh kelenjar anak ginjal. Tidak sedikit dokter
yang menganggap steroid sebagai “obat dewa” khususnya pada anak batuk. Padahal penggunaan
steroid dapat menimbulkan berbagai efek samping terutama bila pemberiannya berulang-ulang
atau untuk jangka panjang. Pemberian steroid jangka panjang akan menekan kelenjar anak ginjal
agar tidak terjadi kelebihan konsentrasi steroid dalam darah yang bersangkutan. Oleh karena itu,
penghentian steroid setelah suatu terapi jangka panjang, harus dilakukan perlahan-lahan secara
bertahap.Bila steroid dihentikan secara mendadak maka akan terjadi suatu kondisi
kegawatdaruratan akibat krisis kelenjar adrenal. Tubuh yang tiba-tiba tidak memiliki pasokan
steroid akan mengalami kekacauan elektrolit (Natrium dan Kalium), hipoglikemi (penurunan
kadar gula darah), hipotensi, dan lain-lain
Kapan steroid benar-benar dibutuhkan oleh tubuh kita? Berikut ini adalah beberapa
indikasi pemberian steroid:
- Penyakit autoimun
- Asma
- Reaksi alergi yang berat
- “Doping”
- Pasca transplantasi organ
Efek samping yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:
- Osteoporosis (pengeroposan tulang)
- Fraktur spontan (patah tulang tanpa didahului trauma yang bermakna)
- Penampilan Cushingoid (antara lain wajah dengan pipi tembam, alis tebal, kumis,
berbulu, striae atau gurat-gurat kulit, perut membesar akibat penumpukan lemak)
- Acne/herawat
- Hirsutism (penumbuhan bulu tubuh yang berlebihan)
- Short stature (perawakan pendek akibat penutupan dini cawan tulang rawan di ujung
tulang panjang)
- Perdarahan saluran cerna
13
-
Glaucoma (peningkatan tekanan di dalam bola mata yang bila berkepanjangan dapat
menyebabkan kebutaan)
- Tekanan darah tinggi
- Edema (penumpukan cairan dalam tubuh)
- Perubahan perilaku (euforia atau depresi)
- Muscle weakness
- Diabetes, dan lain-lain
Pelajari resep yang diberikan kepada anda, tanyakan dan diskusikan obat-obatan yang diberikan,
termasuk pertanyakan indikasi pemberian steroid. Bila kondisi anak memerlukan steroid jangka
panjang, diskusikan cara mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping di atas.
PHENOBARBITAL/LUMINAL
Fenobarbital tergolong obat anti kejang, oleh karena itu, fenobarbital merupakan salah satu
pilihan obat untuk epilepsi. Di Indonesia, fenobarbital diberikan kepada hampir semua anak/bayi
demam dengan tujuan mencegah terjadinya kejang demam. Padahal, standard operating
procedure (SOP) tatalaksana kejang demam maupun SOP demam tidak mencantumkan perlunya
pemberian fenobarbital untuk mencegah terjadinya kejang demam. Kejang demam tidak dapat
dicegah. Oleh karena itu, pemberian fenobarbital pada anak demam merupakan pola pemberian
obat yang tidak rasional.
Pemberian fenobarbital pada kondisi demam bukan saja tidak diperlukan, bahkan dapat
merugikan. Fenobarbital merupakan salah satu obat yang menekan ensim sitokrom P450 di hati,
ensim yang berperan pada metabolisme obat tahap pertama (lihat slide no 9). Penekanan ensim
ini menyebabkan terganggunya metabolisme obat lain yang diberikan bersamaan dengan
fenobarbital, akibatnya konsentrasi obat lain akan meningkat dan meningkat pula risiko toksisitas
obat yang diberikan bersama fenobarbital. Misalnya, pemberian fenobarbital dengan parasetamol
menyebabkan kadar parasetamol di darah meningkat (dibandingkan bila parasetamol hanya
diberikan tanpa fenobarbital) sehingga risiko “keracunan” parasetamol pun meningkat. Hal yang
sama terjadi bila fenobarbital diberikan bersama chloramphenicol, steroid, teofilin,
metronidazole, rifampisin, obat untuk asma, obat untuk selesma.
Efek samping yang mungkin ditimbulkannya:
- Mengantuk, penurunan kesadaran
- Sakit kepala, Pusing/Dizziness
- Depresi atau hiperaktivitas
- Gangguan lambung, Muntah-muntah
ANTI DIARE, ANTI MUNTAH
Simaklah SOP diare dengan atau tanpa muntah. Keduanya adalah gejala, bukan penyakit. Carilah
penyebabnya. Pada anak dan bayi, kebanyakan disebabkan oleh infeksi virus yang akan sembuh
sendiri dalam beberapa hari, tanpa pengobatan kecuali cairan dan cairan rehidrasi oral. Ada
kebiasaan bila anak/bayi diare, diberi berbagai macam obat mulai dari kaolin, smectite (Smecta),
LactoB, sampai dengan obat anti jamur, dan antibiotik. Pemberian obat-obat tersebut tidak ada
dalam SOP tatalaksana diare dan muntah, juga tidak ada evidence nya (tidak terbukti EBMnya).
Kaolin: Pernah coba browsing di situs WHO atau lainnya? Tidak menemukan? Jangan bingung,
memang obat ini tidak dipakai di negeri lain. Bahkan dari produsen nya sendiri menyatakan
bahwa obat ini justru tidak boleh diberikan pada infeksi E coli, salmonella, shigella, dan tidak
boleh juga diberikan pada diare yang ada darahnya serta bila ada kecurigaan obstruksi usus dan
berbagai kasus bedah lainnya. Kaolin juga dapat menimbulkan efek samping yang disebut Toxic
megacolon yaitu terkumpulnya dan terperangkapnya tinja di usus besar sehingga racun-racun
yang seharusnya dikeluarkan oleh tubuh kita akan meracuni tubuh kita. Selain itu, baru-baru saja
ada warning agar tidak memberikan Kaopectate karena kandungan aspirin di dalamnya.
14
Pepto Bismol Warning
====================
Parents generally know that they shouldn't give aspirin to their kids. They may not
know exactly why, but most are aware that it can be dangerous. Of course, the reason
to avoid these medications is because they can increase your child's chances of
developing Reye's syndrome if they take them while they also have a viral infection,
such as the flu or chicken pox.
There are other medicines that contain salicylates, which are related to aspirin, that
you should also avoid. Their link to Reye's syndrome is just theoretical though. These
include: Kaopectate & Pepto-Bismol
Also remember that the AAP, in the practice parameter: The management of acute
gastroenteritis in young children, makes the recommendation that 'as a general rule,
pharmacologic agents should not be used to treat acute diarrhea' and that 'the routine
use of bismuth subsalicylate is not recommended in the treatment of children with
acute diarrhea'.
Anti Jamur? Dalam keadaan normal, jamur banyak sekali di usus kita, dan samasekali tidak
membahayakan bahkan kita butuhkan antara lain untuk memproses sisa makanan yang akan
dibuang. Bila kita mengalami kelainan sistem imun misalnya pasca transplantasi organ atau
memperoleh steroid jangka panjang, maka tubuh kita potensial rentan trerhadap infeksi jamur.
Diare pada orang normal samasekali tidak memerlukan anti jamur. Obat anti jamur justru dapat
menimbulkan gangguan pencernaan karena obat tersebut membunuh jamur “baik” yang ada di
dalam usus kita.
Antibiotik? Hanya diare akibat parasit (umumnya ditandai dengan adanya darah di tinjanya)
yang perlu diberi antibiotik. Diare akibat kuman sekalipun umumnya tidak membutuhkan
antibiotik. Pemberian antibiotik akan menganggu flora normal di usus kita dan menimbulkan
gangguan pencernaan termasuk diare yang berkepanjangan. Pemberian antibiotik dapat
menyebabkan colitis pseudomembranosa yaitu suatu kondisi dimana usus besar dilapisi suatu
selaput akibat maraknya kuman (yang aslinya bukan kuman jahat) sehingga proses penyerapan air
di usus besar terganggu dan terjadilah diare berkepanjangan.
Anti muntah. Secara garis besar, muntah bisa dibagi dua, muntah karena kelainan usus yang
memerlukan tindakan bedah (apendisitis, intususepsi/penjepitan usus, strangulasi/usus terpelintir,
hernia, tumor). Muntah juga bisa karena infeksi dan sebagian besar muntah pada bayi dan anak
disebabkan oleh gastroenteritis virus. Pemberian obat muntah sangat melawan proses fisiologis
tubuh untuk membuang racun, kedua, menyesatkan kita kalau ada kelainan bedah tersebut di atas.
Selain itu, obat anti muntah tersebut potensial menimbulkan efek samping.Be rational, jangan
tergopoh-gopoh menghentikan gejala. Cari penyebabnya, itu sikap yang bijak.
TEOFILIN
Teofilin sering sekali ditulis diresep untuk anak batuk pilek padahal teofilin BUKAN obat batuk
pilek. Teofilin adalah suatu bronkodilator (pembuka saluran napas) yang dibutuhkan anak asma
berat atau asma yang tidak memberikan respons terhadap bronkodilator lainnya misalnya
salnutamol. Anehnya, resep teofilin umumnya diberikan bersamaan dengan salbutamol dan
steroid, antihistamin, serta antibiotik. Padahal, di negara maju, obat ini jarang sekali dipakai
karena
(1) ia potensial menimbulkan efek samping (rentang keamanannya sempit). Artinya, dosis terapi
sangat berhimpitan dengan dosis yang bisa menimbulkan efek samping; ia juga harus
dipergunakan dengan sangat hati-hati (yang pasti bukan untuk anak batuk pilek biasa) karena
15
(2) teofilin berpengaruh terhadap sistem jantung-pembuluh darah, syaraf dan otak, saluran cerna,
serta sistem metabolik. Efek samping nya antara lainmual, diare, detak jantung meningkat, irama
jantung tidak beraturan, serta eksitasi sistem otak. Kelebihan dosis Teofilin juga bisa
menyebabkan hypokalemia, hyperglycemia, hypercalcemia, hypophosphatemia, acidosis.
(3) toksisitasnya meningkat apabila pada saat bersamaan diberikan obat cimetidine, phenytoin
(anti kejang), erythromycin,
fluoroquinolones. Juga berinteraksi dengan allopurinol,
azithromycin (Zithromax), carbamazepine (Tegretol), cimetidine (Tagamet), ciprofloxacin
(Cipro), clarithromycin, diuretics, lithium, oral contraceptives, prednisone, propranolol, rifampin,
tetracycline, obat lain untuk infeksi dan penyakit jantung.
Ketika anak memperoleh resep, tanya dokter apakah ada teofilin nya ... apabila ya .. tanya
apa maksudnya karena ia hanya diberikan pada asma yang tidak mempan obat asma biasa.
POLA PENGOBATAN TIDAK RASIONAL (IRUD)
Pola pengobatan yang tidak rasional adalah pola pengobatan yang tidak mengikuti kaidah
pengobatan rasional. Dari berbagai studi, bentuk utama IRUD adalah:
- polifarmasi (pemberian beberapa obat sekaligus pada saat yang bersamaan pada
kondisi yang tidak memerlukan beberapa obat sekaligus)
- pemberian antibiotika yang berlebihan
- pemberian steroid yang berlebihan
- tingginya tingkat pemakaian obat non generik
- tingginya tingkat pemakaian obat injeksi
- tingginya tingkat pemakaian “obat” yang sebenarnya tidak dibutuhkan (off
label use). Termasuk di dalam kategori off label use adalah pemberian antibiotik
untuk infeksi virus seperti diare akut dan ISPA, pemberian steroid untuk batuk
pilek ISPA. Contoh lain misalnya, pemberian suplemen, vitamin, antihistamin
untuk common colds/flu, bronkodilator untuk batuk pada ISPA, dsb nya.
Anak merupakan populasi yang paling terpapar pada obat – pada banyak obat
(polypharmacy) dan kepada antibiotik. Tiga kondisi yang paling sering diterapi dengan
antibiotik adalah demam, radang tenggorokan, dan diare. Padahal ketiganya itu umumnya
disebabkan oleh infeksi virus.
Peran konsumen sangat besar dalam rangka mewujudkan pola pengobatan yang
rasional. Konsumen yang rasional merupakan “sumber tenaga” untuk membantu proses
reformasi dunia kedokteran. Milikilah pengetahuan dasar kesehatan dan diskusikanlah dengan
dokter anda setiap mengalami gangguan kesehatan. Untuk memperkuat bargaining power,
bawalah artikel terkait. Ajukanlah minimal tiga pertanyaan:
1. Apa penyebab gangguan kesehatan yang tengah dialami?
2. Apa yang harus saya lakukan?
3. mengapa harus melakukan itu semua? Kapan saya harus cemas dan menghubungi dokter?
Bertanyalah setiap kali anak diberi resep. Ask as many questions as you need. Tanyakanlah:
1. Apakah anak saya benar-benar memerlukan obat?
2. Obat apa saja yang diberikan? Mengapa sebanyak itu? Apa kerja masing-masing obat?
3. Apakah ada interaksi antara setiap obat?
4. Apa efek samping yang mungkin terjadi? Apa yang harus diamati? Bagaimana mencegah
terjadinya efek samping? Apa yang harus saya lakukan bila terjadi efek samping?.
Kedua, komunikasikanlah perkembangan kondisi anak ke dokter anda. Termasuk bila anda
mencurigai terjadinya reaksi akibat obat. Bekal pengetahuan, kekritisan, akan melindungi
anak dari polifarmasi & antibiotic overuse.
16
PROTECTING YOUR CHILD FROM IRUD
Sebagai orang tua, sebagai konsumen, kita punya hak dan punya kewajiban. Hak atas keamanan,
kenyamanan, dan hak untuk memperoleh layanan terbaik, hak untuk memperoleh informasi yang
obyektif. Kalian juga jangan melupakan kewajiban kita, kewajiban untuk mencari informasi yang
obyektif, kewajiban untuk membina kemitraan dengan dokter kita. Secara sederhana, bantulah
terwujudnya pola pengobatan rasional dengan melakukan beberapa hal berikut ini:
• Hitung jumlah semua obat yang diberikan termasuk jumlah yang ada di dalam puyer
(semakin banyak jumlah obat, semakin kita harus “concern”)
• Miliki kopi resep untuk arsip seandainya di kemudian hari dibutuhkan sebagai riwayat
pengobatan anak atau apabila anak mengalami reaksi alergi/efek samping obat.
• Setiap obat (setiap baris obat di resep), tanyakan 5 hal berikut:
1. Apa kandungan aktif nya (generiknya)
2. Apa indikasi pemberiannya. Bagaimana mekanisme kerjanya
3. Apa risiko efek sampingnya
4. Apakah ada alternatif selain obat ini (mis harus obat?, bagaimana dengan
generiknya?)
5. Bagaimana cara pemberiannya
• Berkonsultasilah dengan ahli farmasi perihal kemungkinan interaksi obat.
• Beritahu DSA apabila anak tengah mengkonsumsi obat lain, tengah menderita penyakit
lain, atau tengah mengkonsumsi produk herbal, suplemen atau” obat” tradisional.
Kesemuanya bisa saja berinteraksi dengan obat yang akan diberikan DSA.
MILIKI PENGETAHUAN PERIHAL BERBAGAI OBAT-OBATAN YANG SERING
DIBERIKAN KEPADA ANAK ANDA.
TAKE MEDICATIONS SAFELY
Berikut ini panduan untuk orang tua untuk mengurangi kemungkinan kesalahan pemberian obat.
Berbagai instruksi ini dapat dibaca di berbagai web terkemuka yang kredibel. Ini menunjukkan
bahwa semua pihak sangat concern perihal anak dan perihal anak yang harus memperoleh obat.
- Baca petunjuk pemakaian obat, baca instruksi di label obat di tempat terang untuk
memastikan agar anda tidak sedang salah membaca.
- Baca label instruksi pemberian obat sebelum membuka botol obat, sesudah mengambil
sejumlah dosis yang dibutuhkan, dan sekali lagi sebelum memberikan obat kepada anak.
- Simpan obat di tempat yang aman, yang tidak dapat dijangkau anak. Jangan menaruh
lemari obat di kamar mandi karena kelembaban kamar mandi bisa merusak obat.
- Berikan dosis yang tepat, akurat, berdasarkan usia, berat badan, atau tanya dokter.
Konsumen yag cerdas dan well informed merupakan mitra yang menyenangkan. Pesan
tertulis di buku panduan kesehatan anak Royal Children’s hospital Melbourne: With the
enormous explosion of our knowledge about and use of pharmaceuticals, we need more than
ever to get the right medicine to our sick children and ensure they receive the best and safest
pharmaceutical care possible.
Last editing: 10 April 2009
17
Download