Edisi Oktober 2004 Pemikiran Kadin-Indonesia tentang Otonomi Daerah, Perspektif Ekonomi HARAPAN PELUANG INVESTASI PASCA REVISI UU NO. 22 DAN 25 TAHUN 1999 Ketua APPSI, Soetiyoso : “Menerima Hasil Revisi Otda dengan Sejumlah Catatan” Bentuk logo merupakan stylirisasi dari kaca pembesar yang terbentuk atas huruf KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) menjadi mnemonic (jembatan keledai) dari pemantau. Logo Dengan huruf FrnkGothITC Hvlt Bold berwarna electric blue melambangkan keteguhan Lembaga dalam menjalankan kegiatan utamanya yaitu melakukan pemantauan dan pengkajian terhadap pelaksanaan otonomi daerah di seluruh Indonesia. Huruf O (otonomi) adalah lensa kaca pembesar berbentuk pusaran air berwarna gradasi biru gelap. Gradasi warna dari pusat pusaran ke arah lingkaran terluar menjadi semakin nyata. Hal ini melambangkan pergeseran dari sistem pemerintahan yang selama ini terpusat lama kelamaan menjadi terdesentralisasi yang sesuai dengan konsep otonomi daerah. Editorial Pemikiran Kadin-Indonesia tentang Otonomi Daerah, Perspektif Ekonomi Perda Kab. Tangerang No.4/2004 tentang Pedomaan Fasilitas Penanaman Modal Sofjan Wanandi : “Kebijakan pengelolaan sektoral sebaiknya ada pada satu tangan.” HARAPAN PELUANG INVESTASI PASCA REVISI UU NO. 22 DAN 25 TAHUN 1999 Seminar Tinjauan Ekonomi LPEM-FEUI: Tiga Tahun Otonomi Daerah Ketua APPSI, Soetiyoso : “Menerima Hasil Revisi Otda dengan Sejumlah Catatan” Revitalisasi Industri dan Investasi Sumbangan Pemikiran Kadin-Indonesia Gambar Sampul : ©www.m-amienrais.com/album/index.asp. Foto isi diambil dari internet dengan http://www.google.com/ dan sumber foto lain yang disebutkan bersama dengan foto. HARAPAN BARU Presiden baru telah terpilih, Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) juga sudah terbentuk ... masyarakat-pun menaruh harapan barupadarejim pemerintahan Presiden SBY Tidaksalahjuga kalau ‘komunitas’ otda berharap akan perbaikan kualitas pelaksanaan otda. Harapan disertai kecemasan, karena hampir tidak pernah dibahas visi dan program otda dari presiden terpilih kala kampanye berlangsung. Namun itu sudah lewat, yang penting adalah apa yang akan dilaksanakan KIB dibawah SBY. Pelaksanaan otda yang dinilai masih menjadi faktor negatif bagi aktivitas perekonomian oleh pelaku usaha bukan lantas menjadi pembenar untuksentralisasi. UU 22/ 1999 tentangPemerintahan D aerah dan UU25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah PusatdanPemerintah Daerah telah disetujui perubahannya oleh DPR dan bahkan sangat cepat sudah ditandatangani pengesahannya (UU 32/2004 dan 33/2004) oleh Presiden Megawati di penghujung kepemimpinan pemerintahannya waktu itu. Pilihan progresif untuk PILKADA langsung (PILKADAL) telah diputuskan; walaupun belum sepenuhnya menempatkan otonomi individu untuk memilihpemimpinnya dari luarlingkungan parpol yang ada, toh patut kita syukuri, sambil memperjuangkan PP PILKADAL untuk mengakomodir potensi diluar parpol melalui mekanisme rekrutmen pencalonan masing masing parpol. Mengenai pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang diserahkan ke UU sektoral harus dikawal perumusannya dalam UU Sektora! dan sejumlah PP yang mengikutinya. Otda dalam bahaya apabila esensi utama otda diabaikan, subsidiaritas berikan kewenangan kepada daerah untuk hal hal yang dapat ditanganinya, sebaliknya jangan bebankan hal hal diluar kemampuannya kepada daerahL Dalam rekomendasinya kepada pemerintah, Kadin-Indonesia menegaskan prinsipnya dalam pengelolaan sumber daya ekonomi daerah ‘’bahwa untuk penerbitan perijinan usaha sebaiknya diberikan kepada daerah, sedangkan untukpembuatan kebijakan dan pengawasan pelaksanaannyamerupakan kewenangan pemerintah pusat”.Pelaksanaan prinsip tersebut tidak sesederhana rumusannya, tidak mudah untuk membuat sinergi kebijakan peran pemerintah pusat dan daerah dalam hal strategi industri (terkait di dalamnya industri strategis yang mungkin masih menjadi domain pemerintah pusat), kebijakan perdagangan dalam negeri, tata ruang nasional-daerah, kebijakan fiskal, dll.; belum lagi dalam tataran implementasinya. Namun untuk itulah Presiden dipilih dan KIB dibentuk! Masyarakat tidak perlu tokoh imajiner Superman,juga tidak mengharapkan 100 hari kinerja spektakuler pemerintah! Apa artinya gebrakan 100 hari kalau hanya memenjarakan koruptor yang kebetulan sedang ‘sial’karena berada diluar innercircle kekuasaan, apa juga artinya pembatalan Perdadistortifkalau tidak diikuti penguatan kapasitas kelembagaan pusat dan daerah, apa juga artinya adanyajaminan pasokan kebutuhan pangan disaat hari raya kalau pengecer raksasa mematikan usaha kecil yang menghidupi rakyat banyak! Daftar persoalan tidak akan selesai ditulis bila diteruskan; yang diperlukan rakyat adalah adanya sinyal kuat penyelenggaraan negara yang diwarnai keteladanan nilai nilai utama kehidupan: ketulusan, pengabdian, kejujuran, kedisiplinan, kerja keras dan bijak, ... masyarakat memerlukan kesinambungan sinyal perubahan positifyang tidakterputus. Upaya Kadin-Indonesia memberikan kontribusi pemikirannya untuk perbaikan perekonomian Indonesia patut dihargai; dalam konteks daerah akan elok kiranya jika tiap Kadin Daerah melakukan langkah serupa di lingkup wilayahnya masing masing. Diharapkan muncul pemikiran segar dan orisinil versi daerah untuk mengkapitalkan potensi daerahnya secara optimal dan bijak, selain untuk kepentingan pembangunan ekonomi daerah, r ‘oadmap’Kadin Daerah bisa menjadi pengimbang milik Kadin-Indonesia agar kepentingan daerah tidak terabaikan. Soal apakah rekomendasi tersebut akan diakomodir adalah kewenangan pemerintah yang harus mempertimbangkannya secara holistik untuk kepentingan bangsa. KIB harus mampu menjelaskan dan membuktikan keunggulan kebijakan kebijakan dan tindakannya ke para stakeholdernya dengan baik; dengan demikian sang pemimpin negeri ini telah merespon keraguan akan kepemimpinannya dengan karya nyata untuk rakyat banyak. Mari kita dukung dengan mengawasi kinerjanya! (pap) Penerbit : Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Alamat Redaksi : Sekretariat KPPOD, Plaza Great River, 15th floor, Jl. HR. Rasuna Said Kav. X-2 No.1, Jakarta 12950, Phone : 62-21-5226018, 5226027, Fax : 62-21-5226027, E-mail : [email protected], http://www.kppod.org/ Dewan Pengurus KPPOD : Bambang Sujagad, Anton J. Supit, Bambang PS Brodjonegoro, P. Agung Pambudhi, Aburizal Bakrie, Sofjan Wanandi, Adnan Anwar Saleh, Hadi Soesastro, Sri Mulyani Indrawati, Djisman Simandjuntak, Susanto Pudjomartono, Sjarifuddin, Aco Manafe, dan Taufik L. Redaksi : P. Agung Pambudhi, Sigit Murwito, Robert Endi. Tata Letak : F. Sundoko. Iklan dan Distribusi : M. Regina Retno B. 1 Pemikiran Kadin-Indonesia tentang Otonomi Daerah, Perspektif Ekonomi Latar Belakang *) kewenangan pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber sumber ekonomi lainnya. Disinilah permasalahan baru pasca otda mulai muncul karena terjadi pertentangan kewenangan antara daerah dan instansi instansi teknis pemerintah pusat yang tidak atau belum menyesuaikan pengaturan kelembagaannya dengan UU 22/1999. Argumentasi lex specialist derogat lex generalis - bahwa hukum yang spesifik mengalahkan hukum yang bersifat umum – tidak cukup kuat karena hukum spesifik tersebut tidak/belum meyesuaiakan dengan kewenangan UU otda, yang dipahami para pimpinan daerah sebagai UU Batu Penjur u bagi UU lainnya. Pasca reformasi 1998, dibawah kepemimpinan Presiden B.J.Habibie, pemerintah dan DPR sangat produktif menerbitkan sejumlah Undang Undang untuk merespon tuntutan reformasi, diantaranya UU 22/1999 tentang “Pemerintahan Daerah” dan UU 25/1999 tentang “Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”. Kedua UU tersebut menjadi pusat dasar hukum perundangan bagi penyelenggaraan pemerintahan di pusat maupun daerah. Sebagai UU yang mengatur sistem pemerintahan, kekuatan kedua UU ini sangat menentukan Permasalahan bagi pengaturan aspek a s p e k Dunia Usaha di era penyelenggaraan Otda pemerintahan di Setidaknya ada 4 berbagai bidang – (empat) hal utama yang termasuk bidang menjadi tambahan ekonomi! Secara tegas permasalahan bagi pasal 133 dunia usaha yang memerintahkan terkait secara langsung p e n y e s u a i a n dengan pelaksanaan p e r a t u r a n otda: 1) Pajak & perundangan yang Pungutan Daerah, 2) tidak sesuai dengan Kewenangan Ijin UU 22/1999 ini. Usaha, 3) Koordinasi Koordinasi antar daerah - Tenaga kerja dari luar daerah selalu Konsekwensinya UU membanjiri daerah dengan daya tarik investasi tinggi. Namun, antar Daerah, dan 4) Sektoral terkait Lemahnya koordinasi antar daerah bakal menyulitkan investor dalam K e t e n a g a k e r j a a n . aktivitas usaha mesti hal perijinan usaha, biaya pungutan, dan juga ketenagakerjaan. Dalam hal pajak dan menyesuaikan UU 22/ daerah Kesulitan itu sering ditemui oleh investor yang berinvestasi di lebih pungutan 1999 karena jelas (retribusi & bentuk dari satu daerah. disebutkan pada pasal pungutan lainnya), 7 “kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam pelaku usaha dari berbagai sektor baik secara individu seluruh bidang kecuali kewenangan dalam bidang politik perusahaan maupun melalui asosiasi usaha (perkebunan, L.N., pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, perikanan, kehutanan, kawasan industri pengolahan, agama serta kewenangan bidang lain”, yang ditegaskan pertambangan, dll.) mendapat beban tambahan dengan dalam pasal pasal lainnya menyangkut jabaran adanya pungutan pungutan baru yang dianggap tidak kewenangan tersebut (diantaranya pasal 10 “kewenangan semestinya diterapkan karena berpotensi menurunkan mengelola sumber daya nasional”, pasal 11 “kewenangan daya saing ekonomi kita. Dari kajian literatur KPPOD meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan terhadap lebih dari 1.000 perda kategori ini, didapati sekitar kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan 32% perda melanggar prinsip prinsip ekonomi karena: perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pungutan ganda, hambatan tarif dan non tarif pertanahan, koperasi dan tenaga kerja”; pasal 119 perdagangan, tidak ada timbal balik jasa berupa manfaat “kewenangan atas kawasan: otorita, industri, bandar langsung pembayar retribusi, sumbangan wajib, dll., yang udara, pelabuhan, … perkebunan, kehutanan, potensial mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Lebih pertambangan, jalan bebas hambatan). lanjut dari survei KPPOD ditemukan 23% dari 5,140 pelaku Apapun pro kontra beda penafsiran pasal pasal dalam usaha menyatakan bahwa perda telah mendistorsi UU 22/1999, banyak para kepala daerah dan jajaran aktivitas usaha. birokratnya menggunakannya sebagai legitimasi hukum Mengenai kewenangan perijinan usaha, setidaknya untuk mengatur wilayahnya, termasuk dalam hal jabaran dua hal menambah ketidakpastian usaha; pertama, 2 perebutan kewenangan penerbitan dokumen dokumen terkait ijin usaha antara pemerintah daerah dengan instansi vertikal pemerintah pusat yang ada di daerah. Sebagai contoh, kewenangan ijin exploitasi kehutanan di Kalimantan Timur yang berbeda antar Kabupaten yang berada di Kaltim, untuk Kutai Kertanegara dan Kutai Timur misalnya, kewenangan penerbitan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) ada di Kabupaten, namun untuk Nunukan, kewenangannya ada di Pusat melalui instansi vertikalnya di Propinsi. Ketidakpastian kedua, mengenai birokrasi yang semakin panjang untuk mendapatkan ijin usaha yang tidak hanya melibatkan instansi eksekutif daerah namun juga instansi legislatif. Sebagai contoh, untuk pendirian hotel kelas Melati di Kabupaten Tebo-Jambi, pihak eksekutif daerah harus mendapatkan persetujuan dari DPRD, yang dalam prakteknya selain berhubungan dengan pihak eksekutif, investor harus juga berhubungan dengan pihak legislatif untuk suatu hal yang secara operasional kewenangannya ada di pihak eksekutif. Sementara itu, lemahnya koordinasi/kerjasama antar daerah menyebabkan sulitnya investasi di daerah. Investor yang akan menanamkan modalnya untuk suatu investasi yang berlokasi di lebih dari satu Kabupaten/Kota/ Propinsi menghadapi ketidakpastian terkait perijinan usaha, biaya pungutan, ketenagakerjaan, dll., yang berbeda antar daerah daerah yang akan menjadi lokasi usahanya. Sebagai contoh, investor Jepang yang akan berinvestasi industri pengolahan yang lokasi pabriknya (hanya 1 pabrik) masuk wilayah Kabupaten Lampung Selatan dan Timur harus menghadapi birokrasi pemerintahan dengan prosedur dan biaya yang berbeda – dan seperti umumnya, dengan rente ekonomi birokrasi yang berbeda juga. Pelaksanaan otda lainnya yang menyulitkan adalah kebijakan ketenagakerjaan di daerah daerah yang distortif bagi aktivitas usaha. Beberapa daerah mengharuskan adanya prosentase tertentu penyerapan tenaga kerja yang berasal dari daerah (desa, kecamatan, kabupaten) setempat bagi suatu investasi, denda atau bahkan tidak keluarnya ijin usaha dikenakan apabila tidak memenuhi ketentuan tersebut. Affirmative policy seperti ini selain bertentangan dengan prinsip profesionalisme juga sangat riskan terhadap manipulasi kepentingan politik atau vested interest lainnya, apabila justifikasi sosial-politik untuk keluarnya suatu kebijakan affirmative ini tidak melalui pembahasan yang terlembaga secara baik. Terkait dengan beban pungutan yang dibahas di atas, perda perda daerah mengenai ketenagakerjaan yang tujuannya untuk melindungi pekerja hampir semuanya bermuara pada pungutan yang tidak relevan dengan perlindungan tenaga kerja. keinginan instansi pemerintah pusat untuk diikuti kebijakannya dengan pemda yang menolak mematuhinya, banyak hal diantaranya terkait aktivitas usaha di bidang kehutanan, pertambangan, manufaktur, dll. Demikian juga UU 22/1999 sebagaimana dijelaskan di atas, dalam pasal pasalnya (kewenangan: industri, perdagangan, penanaman modal, tenaga kerja, kawasan otorita, pelabuhan, dll.) mengandung hal hal krusial yang mengakibatkan benturan tidak saja dengan UU sektoral, namun sampai tingkat PP, Keppress, bahkan Kepmen, yang menimbulkan ketidakpastian di lapangan. UU 25/1999 juga mengandung pasal pasal krusial terkait sumber sumber penerimaan daerah (PAD, Dana Perimbangan (Bagi Hasil-DAU-DAK), Pinjaman Daerah, dan Lain Lain yang Sah), khususnya pasal 6 mengenai dana bagi hasil untuk daerah hanya untuk sektor kehutanan, pertambangan umum, perikanan, dan migas, karena kebanyakan daerah minim investasi di bidang yang berbasis kekayaan alam tersebut. Implikasinya beberapa daerah (yang perekonomiannya ditopang dari aktivitas usaha dari sumber daya buatan) yang merasa tidak mendapat perlakuan adil terkait bagi hasil ini, sehingga sebagai kompensasi berupaya mendapatkan PAD sebesar besarnya. Upaya mencari PAD tersebut dalam UU 34/2000 tentang “Pajak dan Retribusi Daerah” dimungkinkan karena daerah diperbolehkan untuk membuat jenis pungutan baru sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 UU ini. Terkait ketentuan UU ini dan UU 22/1999, sumber permasalahan juga terkait model pengawasan perda yang menganut rejim pengawasan represif bukan preventif. Dengan pengawasan represif, perda langsung bisa efektif operasional setelah disetujui DPRD dan ditetapkan Kepala Daerah dimana pemda wajib mengirimkannya ke pemerintah pusat dalam waktu 15 hari dan pemerintah pusat hanya memiliki waktu 30 hari untuk pembatalan perda dalam menjalankan fungsi pengawasan represifnya. Berdasar uraian di atas, sejumlah rekomendasi perlu disampaikan untuk memperbaiki situasi tersebut untuk jangka pendek, menengah dan panjang. Dalam 100 hari pertama pemerintahan hal hal yang mesti dilakukan: 1. Analisis dan Rekomendasi Sumber permasalahan di atas setidaknya berasal dari 1) peraturan perundang undangan (Tap MPR, UU, PP, Keppres, Kepmen, SE Menteri, SE Direktorat, Perda, Dll.), 2) supervisi Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah, 3) SDM pemerintahan pusat dan daerah, 4) lemahnya peran masyarakat. Dari sisi peraturan perundangan, Tap MPR III/2000 tentang “Tata Urutan Perundang Undangan” tidak menyebutkan posisi Kepmen (UUD – Tap MPR – UU – Perpu – PP – Keppress – Perda) sehingga dalam pelaksanaan di lapangan timbul pertentangan antara 2. Review perda perda terkait aktivitas usaha dan meminta pemda untuk membatalkan perda yang dinilai distortif terhadap aktivitas usaha. Bilamana daerah menolak melakukannya, apabila pemerintah pusat masih memiliki 30 hari hak pembatalannya, maka dilakukan pembatalan perda perda tersebut. Bila hak 30 hari pemerintah pusat sudah terlampaui, bisa mengajukan judicial review ke MA untuk pembatalan perda perda dimaksud. Catatan: Berdasar UU 32/2004 (pengganti UU 22/1999), pembatalan Perda dilakukan dengan Peraturan Presiden. Finalisasi kajian untuk menerapkan sistem pengawasan perda yang efektif dengan menggunakan IT yang memungkinkan pemerintah pusat dan stakeholder untuk mendapatkan informasi publik tentang perda seketika setelah materi perda di-upload ke internet segera setelah ditetapkan di daerah. Pada prinsipnya sistem ini sangat memungkinkan dan kemungkinan tidak berbiaya tinggi dengan menggunakan jaringan yang sudah ada (KPU) 3 3. ataupun dengan membangun jaringan baru. Sosialisasi intensif penguatan kelembagaan otda untuk meminimalisir permasalahan potensial yang dapat muncul dan mendistorsi aktivitas perekonomian. Rekomendasi tahun pertama sampai dengan tahun kelima untuk dikerjakan pemerintah mencakup: 4. 1. 2. 3. 4 Revisi UU 34/2000 tentang “Pajak dan Retribusi Daerah” dengan fokus: a) membuat close list pajak dan pungutan daerah yang diperkenankan UU, b) mengharuskan pelibatan stakeholder dalam penyusunan perda, c) model pengawasan represif bisa efektif diterapkan apabila ada keharusan untuk menggunakan dukungan IT seperti disampaikan di atas; bila tidak maka model pengawasan preventif yang mesti dipilih. Melengkapi UU 32/2004 (pengganti UU 22/1999) dengan PP, khususnya terkait aktivitas perekonomian dengan memfokuskan pada: a) pembuatan regulasi dan monitoring pelaksanaannya untuk pengelolaan sumber sumber daya alam dan ekonomi berada di pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah yang berwenang dalam pelaksanaannya (termasuk menerbitkan perijinan usaha); b) menekankan pentingnya prinsip prinsip kerjasama (termasuk bidang ekonomi) antar daerah yang dielaborasi dengan lebih baik; c) dalam penyusunan PP melibatkan DPD dan stakeholder penting lainnya. Melengkapi UU 33/2004 (pengganti UU 25/1999) dengan PP khususnya terkait aktivitas 5. perekonomian dengan memfokuskan pada: pertama, menjajaki kemungkinan pemberian insentif fiskal kepada daerah yang menunjukkan kinerja investasinya yang baik (berdasar sejumlah kriteria yang ditentukan). Kedua, dalam pencairan DAU, mensyaratkan ketaatan daerah dalam menjalankan ketentuan peraturan perundangan nasional. Draft RUU Penanaman Modal yang ada sangat potensial bertentangan dengan UU otda, untuk itu perlu dicermati dengan sangat hati hati agar hasil UU tersebut bisa efektif berjalan dalam pelaksanaannya. Identifikasi permasalahan pada UU Sektoral dan peraturan peraturan dibawahnya yang sedang berlaku untuk tujuan perbaikan agar ada harmoni dengan UU otda. Selanjutnya diharapkan bahwa revisi UU Sektoral bisa sesuai dengan prinsip prinsip kewenangan yang diatur dalam UU Otda. Review secara menyeluruh kebijakan pemekaran daerah agar tidak berkembang terus ke arah yang akan merugikan perkembangan ekonomi kita terkait dengan skala ekonomi, dan efektivitas suatu pemerintahan. Bilamana diperlukan dikeluarkan kebijakan untuk sementara waktu (katakanlah 1 tahun) tidak ada pemekaran daerah sambil memperkuat kelembagaan DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah) yang masih jauh dari optimal. Bagian dari Sumbangan Pemikiran Kadin-Indonesia kepada Pemerintah Republik Indonesia Periode 2004-2009 yang dituangkan dalam dokumen “Revitalisasi Industri dan Investasi”. *) Perda Kab. Tangerang No.4/2004 tentang Pedomaan Fasilitas Penanaman Modal adirnya investasi swasta semakin dirasakan penting sebagai titik ungkit pertumbuhan ekonomi. Era pengaruh faktor belanja negara dan konsumsi masyarakat sebagai dua faktor yang cukup signifikan dalam menggerakan roda ekonomi di masa krisis ini sudah tidak mungkin ter us bertahan (menimbang semakin lemahnya kapasitas mereka), dan juga tidak boleh s e l a m a n y a dipertahankan pada tingkat dominan (karena terkadang hanya menghasilkan fenomena ekonomiartifisial yang tidak menunjukan f o n d a s i sesungguhnya). Maka investasi swasta (asing maupun domestik) menjadi tempat berpaling, tak kecuali untuk pembangunan ekonomi daerah semacam di Kabupaten Tangerang. Dalam kerangka itu, sebagai fungsi yang memang harus dijalankan pada tahap pertama, pemerintah daerah menerbitkan aneka regulasi menyangkut perijinan atau pun pungutan yang akan diberlakukan. Di Kabupaten Tangerang, regulasi dimaksud adalah Perda No.4 Tahun 2004 sebagai kodifikasi (himpunan) aturan tentang sebagian besar (kalau bukan semua) proses perijinan penanaman modal. Pada kesempatan awal ini, kita patut memberi apresiasi karena adanya semacam kodifikasi aturan tersebut, yang tidak banyak dilakukan oleh daerah-daerah lain. Dengan adanya suatu himpunan, maka menjadi jelas mana yang dipakai sebagai acuan utama, sementara aturan-aturan lain berfungsi menjabarkannya dalam sektor teknis terkait. Membaca aturan ini, kiranya para calon investor sudah mempunyai gambaran umum tentang kebijakan perijinan investasi di berbagai sektor usaha di Kabupaten Tangerang. Isi Ringkas Perda “Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah diperlukan langkah-langkah untuk lebih mengembangkan iklim usaha yang kondusif dan menjamin kelangsungan penanaman modal di daerah”, demikian menjadi pertimbangan utama kelahiran Perda ini (lihat Konsiderans). Dalam kerangka semangat itu, dirasa perlu memberi fasilitasi, yang dimaknai sebagai “segala upaya membantu/memperlancar para penanm modal melalui pedomaan, a r a h a n , pembinaan pemberian persetujuan, perijinan dan f a s i l i t a s penanaman modal” (Pasal 1 ayat 5). S e c a r a umum, Perda ini m e n g a t u r p r o s e s permohonan p e r i j i n a n penanaman modal dalam dua kategori berdasarkan asal modal: •) PMDN: diajukan oleh badan usaha (PT, BUMN/D, dll) maupun perorangan dalam negeri kepada Bupati melalui BKPMD, dengan berpedomaan kepada daftar bidang usaha, bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha kecil dan bidan usaha yang terbuka untuk usaha menengah atau besar dengan syarat kemitraan, dan berbagai ketenetuan lain. Pesetujuan atas permohonan tersebut dikeluarkan oleh Bupati melalui Kantor BKPMD Kab. Tangerang dan diterbitkan selambatlambatnya 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima. •) PMA: diajukan oleh WNA/badan hukum asing/ perusahaan asing, atau yang bersama dengan WNI/ badan hukum Indonesia kepada Bupati melalui Kantor BKPMD dan dapat juga diajukan kepada Kantor Perwakilan RI di luar negeri. Persetujuan selain dikeluarkan oleh Bupati melalui BKPMD, dapat juga oleh Kantor Perwakilan RI tersebut. Adapan jenis-jenis lain permohonan ijin yang perlu mengajukan ijin, batas waktu penerbitan persetujuan dan berbagai ketentuan tambahan lain: •) Permohonan perluasan penanam modal dan diterbitkan selambat-lambatnya 10 hari 5 •) Permohonan perubahan penanaman modal (seperti perubahan lokasi, perubahan bidang usaha/produksi, perubahan investasi/sumber pembiayaan, perubahan kepemilikan saham, perubahan status PMA menjadi PMDN), kesemuanya disetujui maksimal dalam 14 hari. •) Permohonan bagi kegiatan/bidang usaha tertentu (seperti pertambangan bahan galian C dalam rangka PMDN selambat-lambatnya 14 hari, pendirian kantor perwakilan wilayah perusahaan asing selambat-lambat 5 hari, pendirian perusahan penyertaan modal selambat-lambatnya 10 hari, dan penanaman modal di kawasan khusus seperti kawasan berikat atau KAPET tidak ditetapkan waktu maksimal pengurusannya). •) Permohonan ijin pelaksanaan penanaman modal (seperti pengimporan barang modal/bahan baku selambat-lambatnya 10 hari, angka pengenal impor selambat-lambatnya 5 hari, dan ijin kerja bagi tenaga kerja WNA selambat-lambatnya 4 hari) •) Permohonan ijin lokasi diurus dalam waktu 1-3 tahun tergantung luas lahan yang diminta perijinan/ pembebasan tanah, IMB dan HO yang mengacu kepada Perda terkait, ijin usaha tetap (IUT) selambatlambatnya 10 hari •) Pengawasan, laporan aktivitas dan sanksi (pengawasan atas realisasi kegiatan administrasi, fisik dan produksi oleh Tim Pengawas yang dibentuk Bupati; setiap perusahaan wajib menyampaikan laporan aktivitasnya kepada Bupati; dan pemerintah daerah mengenakan sanksi kepada perusahaan yang melnaggar peraturan, menyalahgunakan fasilitas dan tidam melaporkan kegiatan, dengan jenis sanksi seperti penolakan perlayanan perijinan, penghentian sementara kegiatan, pencabutan sebagian atau seluruh fasilitas). Dalam hal prosedur dan persyaratan, secara umum proses pengajuan ijin ditujukan kepada Kepala Daerah (Bupati) melalui Kantor BKPM. Demikian pula persetujuan diberikan oleh pejabat yang sama. Setiap jenis perijinan menunut syarat-syarat umum dan spesifik, namun rata-rata bersifat standar/lazim dalam setiap proses pengurusan perijinan usaha. Ulasan Sisi perkembangan lemah dalam otonomi yang berlaku saat ini adalah kewenangan yang dimiliki pihak daerah belum benar-benar dipakai untuk memper-pendek dan memperjelas rantai pengurusan pelayanan publik, termasuk perijinan usaha. Mungkin terdengar klise bahwa orientasi yang kuat pada kebijakan pungutan justru masih lebih mengemuka ketimbang pelayanan. Apalagi, pungutan yang dirasa tidak proporsional (bermacammacam dan bernilai tinggi) justru tidak diikuti oleh pelayanan birokrasi yang lebih berkaulitas. Good and efecetive governance yang buruk semacam itu berimplikasi kepada tingginya biaya berbisnis (cost of doing business)—tidak hanya dalam artian uang, tetapi juga waktu, kesempatan, enerji, dan sebagainya. Lemahnya fondasi kelem-bagaan bagi pembangunan semacam ini, baik karena mentahnya mental aparat maupun lembeknya regulasi, pada gilirannya membuat daya saing suatu unit ekonomi (daerah maupun negara) menjadi sulit beringsut. Kalau demikian halnya, tentu ia akan sulit terjaring dalam radar kaum investor sebagai calon lokasi investasi baru. 6 Dari semangatnya, Perda No.4 Tahun 2004 ini berkehendak hadir dengan pesan sebaliknya. Bahwa, tugas pemerintah adalah memberi fasilitas, guna memperlancar dan memperjelas proses perijinan usaha di Kabupaten Tangerang. Pertama, seperti telah disinggung, dengan bentuk kodifikasi semacam ini maka para pelaku usaha memegang satu himpunan aturan, tempat ke mana semua aturan teknis sektoral mestinya mengacu. Meski sayang bahwa tidak ada klausul yang menetapkan Perda ini sebagai semacam aturan pokok inevstasi di Kabupaten Tangerang sehinga aturan sektoral tidak bisa mengatur hal yang berlebihan atau di luar aturan pokok ini. Kedua, kejelasan prihal waktu, dengan adanya batasan maksimal (selambat-lambatnya) bagi terbitnya keputusan atas suatu permohonan ijin. Dengan ini, kepastian pengurusan ijin lebih terjamin, opportunity cost menjadi terkendali dan dapat diprediksi. Meski juga disertai catatan bahwa Perda ini tidak mengatur kompensasi apa yang akan didapat pengaju permohonan kalau waktu yang ditetapkan ternyata tak ditepati atau sanksi apa yang mesti ditanggung oleh aparat birokrasi seandaianya batas tenggat itu terlampaui tanpa alasan yang jelas. Ketiga, keringkasan prosedur, di mana Kantor BKPMD menjadi transmisi utama pengurusan investasi sebelum diajukan kepada Kepala Daerah. Menurut Perda ini, para pemohon ijin menyampaikan permohonan yang dilengkapi dengan persyaratan standar yang ditentukan kepada BKPMD, kecuali untuk PMA yang juga bisa melalui Kantor Perwakilan RI setempat, untuk selanjutnya diputuskan status perijinanannya oleh Bupati. Meski tidak disebut secara eksplisit, prosedur kerja semacam ini adalah mirip dengan model yang diterapkan dalam sistem manajemen pelayanan satu atap (SIMTAP). Namun, terlepas dari beberapa hal positif di atas yang sesungguhnya biasa saja namun justru belum menggejala di banyak daerah, efektivitas implementasi Perda ini mungkin tak seindah bunyi klausul yang ada. Terutama adalah terkait faktor perubahan kebijakan di level nasional. Introduksi awal terlihat dari dari kelahiran Keppres No.29 Tahun 2004 yang implisit menarik kembali sebagian kewenangan persetujuan, perijinan dan pemberian fasilitas penanman modal ke pusat, yang disatuatapkan dalam Kantor BKPM (Pasal 3 dan 4). Soal permohonan ijin PMA, Keppres ini menetapkan bahwa proses perijinan melalui Kantor Perwakilan RI hanya untuk selambatlambatnya 30 hari setelah pengesahannya (ditetapkan tanggal 12 April 2004), dan selanjutnya semua permohonan diajukan melalui BKPM (pasal 8 dan 9). Faktor lingkungan makro lain adalah hasil revisi UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Meski kewenangan mengurus administrasi penanaman modal ada di tangan Pemda Kabupaten/Kota (terkecuali yang lintas Kab/Kota ada di tangan Pemda Propinsi), namun unsur-unsur di terkait lainnya seperti kewenangan perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang yang berada di tangan Pemda Propinsi, atau adanya kewenangan pengawasan preventif atas Perda Pajak, Retribusi, dan Tata Ruang, sedikit-banyak berpengaruh dalam menafsirkan keberadaan Perda ini atau Perda lain yang mengatur materi yang bersinggungan dengan kewenangan propinsi atau pusat di atas. Sosialisasi dan koordinasi aturan mudah-mudahan bisa menyelesaikan potensi masalah tersebut.* (ndi) Sofjan Wanandi : “Kebijakan pengelolaan sektoral sebaiknya ada pada satu tangan.” etelah hampir empat tahun otonomi daerah berjalan dengan didasari oleh UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, pada tanggal 28 September 2005 yang lalu DPR telah selesai melakukan revisi kedua UU tersebut. Dengan demikian mulai Januari 2005 pelaksanaan Otonomi Daerah akan berjalan berdasarkan UU yang baru yakni UU No.31 dan 32 tahun 2004. Hasil revisi UU tersebut menghasilkan sejumlah perubahan yang cukup berarti bagi penyelenggaraan otonomi daerah ke depan. Sejumlah tanggapan dan harapan terhadap revisi UU Otonomi daerah ini diberikan oleh sejumlah kalangan, dan tidak ketinggalan para pelaku usaha juga turut memberikan tanggapannya. Sofjan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia berharap agar dengan UU yang baru nantinya pelaksanaan otonomi daerah akan dapat berjalan lebih baik lagi dari sebelumnya agar iklim usaha dan perekonomian Indonesia menjadi lebih baik. Berikut ini tanggapannya terhadap beberapa poin perubahan UU Otonomi Daerah. Kewenangan Perizinan Usaha Sebagai pelaku usaha Sofjan Wanandi menaruh perhatian yang cukup besar terhadap perubahan pasal-pasal yang terkait dengan dunia usaha, diantaranya yang berkaintan dengan kewenangan perizinan usaha. Menurut UU Otonomi Daerah yang baru kewenangan pemberian perizinan pelayanan umum dilakukan bersama antara pemerintah pusat, permerintah propinsi, dan kabupaten/kota. Menurut Sofjan Wanandi yang paling penting bahwa perubahan ini tidak justru menambah beban lagi kepada dunia usaha, tidak menambah birokrasi baru lagi yang Pengelolaan Sumber Daya Alam - Dalam UU No.22/1999, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam terdapat pembagian kewenangan. Sementara dalam undang-undang yang baru disebutkan khusus untuk pengelolaan sumber daya alam, kewenangan daerah diatur dalam peraturan perundang-undangan yakni UU sektoral. memperlambat keluarnya berbagai izin usaha. “Dulu yang kita hadapi adalah banyak keluarnya perda-perda termasuk perizinan yang membebani dengan biaya-biaya. Nah sekarang adanya kontrol dari pemerintah pusat dan propinsi semua hal yang tadinya membebani tersebut dapat dihilangkan. Tapi jangan sampai dalam pelaksanaan nantinya justru menghambat dengan menambah perizinan atau menambah birokrasi baru.” Sofjan juga menekankan agar dalam perubahan undang-undang ini nantinya harus ada juklak yang jelas bagaimana pelaksanaannya, sehingga rules of the game-nya dapat cepat dan biayanya berkurang. Pengelolaan Sumber Daya Alam. Terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, dimana dalam UU No.22 terdapat pembagian kewenangan sampai sejauh mana yang menjadi kewenangan kabupaten, propinsi dan kewenangan pusat, telah memunculkan isu terjadinya tarik menarik antara departemen sektoral dengan daerah, serta adanya peraturan sektoral yang tidak sinkron dengan UU Otonomi daerah. Sementara dalam undang-undang yang baru disebutkan khusus untuk pengelolaan sumber daya alam, kewenangan daerah diatur dalam peraturan perundang-undangan yakni UU sektoral. Menurut Sofjan Wanandi hal tersebut menjadi lebih baik dan lebih jelas kebijakannya. “Lebih baik karena di masa lalu banyak sekali terjadi konflik dalam pengeluaran perizinan dalam pengelolaan sumber daya alam, seperti pada sektor kehutanan, pertambangan dan sebagainya.” Untuk itu menuruf Sofjan memang sebaiknya yang terkait dengan (Bersambung ke hal. 18) 7 8 HARAPAN PELUANG INVESTASI PASCA REVISI UU NO. 22 DAN 25 TAHUN 1999 Iman Rozani eberapa waktu lalu keprihatinan terhadapnya tampaknya berupa dana perimbangan. rancangan isi revisi Undang- belum hilang juga. Betapa tidak, Data publikaksi resmi undang Nomor 22 tahun 1999, menurut perhitungan Bank Dunia Departemen Keuangan, yang Tentang Pemerintah Daerah, (2003), angka pengangguran masih terangkum dalam Nota Keuangan dan Undang-undang Nomor 25 Tahun sekitar 9,1%, masih duakali lebih dan RAPBN Tahun Anggaran 2005, 1999, Tentang Perimbangan besar daripada angka sebelum krisis. menunjukkan bahwa total rupiah Keuangan Antara Pemerintah Pusat Jumlah penduduk yang berada di kewajiban pemerintah untuk dengan Daerah, telah mendapat bawah garis kemiskinan pun masih membayar cicilan dan bunga hutang persetujuan DPR. Dengan demikian, lebih besar daripada sebelum krisis, (dalam negeri dan luar negeri) di kedua isi revisi UU ini tahun 2004 kini tidak tinggal ditandatangani kurang dari 65 triliun ruoleh Presiden, dan piah, artinya sekitar 19% untuk selanjutnya dari penerimaan dalam secara efektif negeri. Ini pun setelah diberlakukan. Kendati, pemerintah Indonesia sudah tentu, isi revisi memperoleh “bonus” kedua UU ini tidak akan dari Negara donor, memuaskan semua ber upa penjadwalan pihak, namun kembali hutang-hutang normatifnya, baik pihak yang jatuh tempo. Bila yang setuju maupun tidak, tentu angka yang keberatan, mesti pembayaran cicilan dan sama mendukung bunga hutang itu pemberlakuan UU menjadi lebih besar lagi, revisi itu. Betapapun, barang kali sekitar 25%. mestilah diingat, bahwa Dibarengi dengan upaya untuk merevisi kemestian membayar UU itu tidak tanpa gaji PNS sebesar Rp 56,7 p e n g o r b a n a n Mengurangi pengangguran - Masuknya investasi setelah revisi UU triliun, belanja barang m a s y a r a k a t . No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 diharapkan mampu sebesar Rp 17 triliun, Setidaknya, rakyat menekan angka kemiskinan dan pengangguran. subsidi BBM dan nontelah membayar pajak BBM Rp 26 triliun, yang cukup banyak untuk membiayai yaitu sekitar 18% dari total penduduk, sebesar dan dana perimbangan semua pihak yang terlibat langsung di tahun 2003, atau sekitar 38 juta or- sebesar Rp 119 triliun, maka total dalam perumusan dan pembahasan ang dibandingkan dengan hanya 34 belanja kesemua jenis pengeluaran revisi UU itu. Lagi pula, jiwa juta orang di tahun 1996. Sementara itu menjadi sekitar 76% dari total demokratik justru benar-benar di pihak lain, dana anggaran penerimaan dalam negeri. Dengan mengejewantah dalam kehidupan pemerintah (utamanya Pemerintah demikian hanya tinggal 29% saja yang manakala kita, sebagai pihak yang Pusat), yang dapat diandalkan untuk dapat dialokasikan untuk investasi tidak setuju lantas bersedia dengan menekan turun angka pengangguran atau pembangunan. Guna menekan rela hati melaksanakan keputusan- dan kemiskinan ini tersisa tinggal angka kemiskinan dan pengangguran keputusan bersama dan institusional, sedikit. Sebagian besar dana APBN di atas. yang sesungguhnya keputusan itu telah terserap untuk pembayaran Kondisi APBN Pemerintah Indokurang sejalan dengan pertimbangan cicilan dan bunga hutang, baik itu nesia di saat ini ibarat “kantung air kita. hutang luar negeri maupun dalam seorang pengelana di gurun pasir”. Mencermati kehidupan ekonomi negeri, pembayaran gaji pegawai, Stok air yang tersisa di kantung tidak bangsa Indonesia saat ini, utamanya subsidi, belanja barang rutin dan cukup untuk meniadakan dahaga setelah tragedi krisis moneter 1997, transfer ke Pemerintah daerah, dalam perjalanan. Kantung itu di 9 samping relatif kecil juga “bocor”, Pemerintah Daerah terhadap aneka setelah keluarnya UU No. 22 dan 25 sehingga air yang tersisa untuk usaha swasta banyak bermunculan. Tahun 1999. melepas dahaga amat tidak cukup. Kemunculannya merupakan cermin Berita hengkangnya perusahaanSebenarnya, jika saja keterbatasan dari bias melihat kewenangan itu. perusahaan asing ke negeri lain APBN tadi dapat disubstitusi oleh Pungutan-pungutan ini jelas seperti: China, Vietnam, Kamboja, peningkatan investasi swasta niscaya memberatkan dunia usaha, dan pada Hongkong, Thailand dan sebagainya kehidupan ekonomi bangsa tidak gilirannya menurunkan minat sudah bukan hal yang aneh di masa seburam seperti sekarang. berusaha. Demo buiruh merupakan paska krisis moneter sampai Sayangnya, peran positif investasi cerminan lain dari masyarakat sekarang. Pemandangan kian swasta untuk mensubstitusi investasi pekerja yang bias dalam melihat menjamurnya pasar loakan (second melalui dana APBN hand) di kota-kota besar tersebut tidak terjadi.. menjadi demikian umum, Total nilai investasi buah dari relatif tingginya swasta domestk yang pengangguran dan telah mendapat kemiskinan tadi. persetujuan BKPM Isi revisi Undang(jangan ditanya tentang undang Nomor 22 dan 25 realisasinya) hanya Tahun 1999 mudahsekitar Rp 17 triliun di mudahan akan dan dapat tahun 2003, hanya 0,8% menghentikan bias-bias saja dari nilai investasi pandangan di atas; dan yang disetujui pada pada gilirannya, iklim tahun 1997. Begitupun usaha yang cerah dan untuk investasi swasta sehat hadir dalam asing, nilainya tidak kehidupan ekonomi lebih dari 27% dari nilai bangsa Indonesia. Isi revisi yang disetujui pada kedua undang-undang ini, tahun 1997. Akibatnya, sebagaimana dengan jelas teramat kecil pula angka dituangkan dalam pasal pengangguran dan 176 Revisi UU No. 22 Pasar Loak dan Kaki Lima - Pemandangan kian menjamurnya kemiskinan yang dapat Tahun 1999, pasar loakan dan kaki lima di kota-kota besar menjadi demikian ditekan. mengamanatkan kepada umum, hal itu adalah buah dari relatif tingginya pengangguran Di samping suasana Pemerintah Daerah untuk dan kemiskinan. politik yang masih memberikan insentif dan/ belum menentu dan sektor kebebasan berpendapat dan atau kemudahan kepada masyarakat perbankan domesrtik yang belum bertindak. Hampir setiap minggu dan/atau investor untuk berusaha. penuh menjalankan fungsi suguhan berita demo buruh tersaji di Artinya, Pemerintah Daerah, intermerdiasinya, sejumlah acara televisi. Ini pun tidak dapat menurut UU ini, jangan lagi menjadi kebijakan ekonomi Pemerintah tidak amat mengganggu kontinuitas penghambat laju investasi dan usaha Daerah telah turut menyumbang usaha. di Indonesia, dan terutama di relatif kecilnya angka investasi Majalah ini (KPPOD), terbitan ke daerahnya. Pemerintah Daerah swasta tadi. Euforia otonomi daerah 2 Tahun 2003, menyajikan berita diharapkan dapat menjadi “partner” dan desentralisasi, yang sebagiannya tentang kebijakan perizinan dan yang baik bagi Pemerintah Pusat. dibawa oleh UU No. 22 dan 25 Tahun pungutan dari Pemerintah Daerah Jika pada saat kini Pemerintah Pusat 1999, telah membawa pemahaman yang disinsentif. Harian Tempo, sedang dirundung masalah, maka keliru pada sebagian besar praktisi tertanggal 16 April tahun lalu (2003), Pemerintah Daerah harus menjadi pemerintahan daerah terhadap peran memuat keterangan tentang 173 pihak yang berupaya mengurangi dan posisinya. Para praktisi peraturan daerah yang mendapat beban masalah itu. Masalah kronik pemerintahan di daerah terlalu teguran dari Mendagri karena pada APBN mesti diupayakan melihat soal “kewenangan” berbagai alas an, utamanya adalah tertutup oleh kiprah Pemerintah ketimbang tanggungjawab dalam karena bertentangan dengan jiwa Daerah yang baik. penyelenggaraan pemerintahan. Di pasal 2 ayat 4 UU No.34 Tahun 2000 Lebih jauh dari yang disebutkan di pihak lain, masyarakat daerah terlalu Tentang Pajak Daerah dan Retribusi atas, revisi kedua undang-undang ini melihat soal “kebebasan” dalam Daerah. Harian Kompas di tahun juga melarang Pemerintah Daerah berpendapat dan bertindak yang sama memberitakan pula bahwa melahirkan pungutan-pungutan ketimbang tanggungjawabnya untuk otonomi daerah telah membuat selain yang secara ekplisit dinyatakan ikutserta aktif memelihara ketertiban pusing pengusaha dan calon investor. undang-undang. Melalui revisi UU ini hidup dan hukum. Pungutan Iklim usaha menjadi lebih memburuk tiada lagi kesempatan bersyarat, 10 seperti pada UU No.34 Tahun 2000, penyelenggaraan pemerintahan, Tiada pertumbuhan investasi dan bagi Pemerintah daerah untuk menekankan aspek kepastian hukum usaha tidak pernah pula daya saing melahirkan pungutan-pungutan di di samping aspek-aspek lain yang menjadi handal. Mengapa?, Karena, luar yang jelas-jelas dinyatakan UU, telah tertuang dalam undang-undang seiring dengan pertumbuhan kendati dengan dalih untuk sebelumnya (sebelum revisi). investasi dan usaha itu invensi dan meningkatkan PAD. Pungutan- Penekanan terhadap kewajiban, inovasi kerap terjadi. Investasi di pungutan yang secara bidang sumberdaya manusia eksplisit dinyatakan dalam membuat sumberdaya manusia UU revisi dinilai telah menjadi lebih adaptif, lebih cukup bagi daerah untuk mampu dan lebih terbuka mendukung PAD-nya. Bila terhadap teknologi bar u. PAD ini kemudian lebih Investasi di bidang infrastruktur kecil daripada kebutuhan menyebabkan berbagai kegiatan belanjanya, dalam rangka produksi menjadi lebih mungkin; untuk melaksanakan tugas dan investasi di bidang barang desentralisasi, maka modal menyebabkan segenap kekurangannya akan faktor produksi, di luar modal itu, ditutup oleh dana menjadi lebih produktif. Oleh perimbangan. sebab itu, untuk meningkatkan UU revisi ini juga daya saing daerah itu maka menekankan tugas peluang-peluang investasi dan pembantuan bagi usaha di daerah tidak Pemerintah Daerah di selayaknya ditutup, melainkan samping tugas mesti kian dibuka lebar. Aneka Hasilguna dan dayaguna - Hasilguna dan dayaguna desentralisasi. Penekanan penyelenggaraan pemerintahan pada akhirnya terukur lewat pungutan yang tidak rasional, atas tugas pembantuan ini, kesejahteraan masyarakat yang kian tinggi. yang menghambat dalam UU revisi, memberi perkembangan investasi dan warna yang benar-benar berbeda dari sekali lagi, berkehendak meniadakan usaha di daerah, mesti segera UU sebelumnya. Dengan penekanan bias pandangan para praktisi dipapas. Birokrasi perizinan mesti ini maka berarti Pemerintah Daerah pemerintahan daerah kepada diupayakan sependek mungkin. tidak lagi boleh hanya semangat pemberian otonomi dan Hasilguna dan dayaguna memperhatikan urusan tangganya desentraliasi daerah. Pemberian penyelenggaraan pemerintahan, sendiri tanpa peduli pada tugas yang otonomi dan desentralisasi daerah pada hakekatnya, terindikasi pada disandang Pemerintah Pusat. bukan bertujuan memberdayakan pertumbuhan yang cepat dari Pemerintah Daerah, seperti para penguasa daerah, melainkan investasi dan usaha ekonomi dikatakan di atas, mesti menjadi memberdayakan masyarakat daerah. masyarakat itu. Hasilguna dan “partner” yang baik bagi Pemerintah Dengan demikian, segala potensi dayaguna penyelenggaraan Pusat. Sebagai sebuah sub-sistem yang ada pada masyarakat daerah, pemerintahan pada akhirnya terukur dalam sistem pemerintahan nasional termasuk potensi usaha ekonomi lewat kesejahteraan masyarakat Republik Indonesia adalah memang masyarakat, mesti diupayakan yang kian tinggi. selayaknya Pemerintah Daerah berkembang maksimal lewat otonomi Kepastian hukum tak pelak lagi bertindak demikian, yaitu menjadi dan desentralisasi ini. Kesejahteraan amat diperlukan bagi pertumbuhan “partner” yang baik bagi Pemerintah masyarakat Indonesia lah, baik yang investasi dan usaha. PeraturanPusat. Bila diibaratkan, Pemerintah ada di kotamaupun desa, yang peraturan Daerah yang kerap Republik Indonesia ini adalah sebuah menjadi muara akhir pemberian berubah membuat hasil kegiatan kendaraan bermotor maka tentulah otonomi dan desentralisasi itu, bukan usaha dan investasi sukar dipresiksi. seluruh Pemerintah Daerah di Indo- kesejahteraan segelintir orang, Resiko usaha dan investasi niscaya nesia merupakan komponennya. terutama yang berada dijaring-jaring akan besar akibat dari ketidakpastian Setiap komponen yang tidak pemerintahan. hukum ini. Oleh sebab itu, ketentuan terpasang tepat akan senantiasa Peningkatan daya saing (ekonomi) tentang kemestian adanya kepastian mengganggu jalannya kendaraan daerah tak pelak berkorelasi erat hukum dalam kehidupan di daerah, bermotor tersebut. dengan pertumbuhan investasi dan seperti yang dinyatakan oleh UU Akhirnya, kedua UU revisi ini usaha. Telah banyak studi, baik di revisi, amat positif bagi cerahnya menekankan perihal kewajiban di tingkat internasional maupun re- iklim usaha dan investasi. samping hak dan kewenangan gional dan lokal, membuktikan di daerah. Menekankan pula aspek daya mana pertumbuhan investasi dan * Staf Ahli Bidang Kemahasiswaan Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik saing daerah, menekankan hasilguna usaha menjadi salah satu faktor Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan dayaguna dalam penting bagi kekuatan bersaing. (MPKP-FEUI) 11 Seminar Tinjauan Ekonomi LPEM-FEUI: Tiga Tahun Otonomi Daerah iga tahun pelaksanaan UU No 22/1999 Tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25/1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah ternyata belum berjalan dengan mulus karena masih menyimpan segenggam permasalahan yang belum terselesaikan. Dengan latar belakang kondisi seperti inilah maka LPEM FEUI sebagai institusi penelitian yang banyak terlibat dalam kajian otonomi daerah menyimpulkan beberapa pokok diskusi sebagai bahan masukan untuk kebijakan. Pertama, masih belum satunya penafsiran terhadap tugas dan wewenang berbagai level pemerintahan, mulai dari pusat, provinsi hingga kabupaten, menyebabkan terjadinya simpang siur dan tumpang tindih dalam berbagai pelaksanaan yang langsung dan tidak langsung dengan kewenangan masing-masing level, khususnya yang menyangkut kewenangan dalam pungutan pajak dan retribusi terasa ketika daerah berupaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) melalui berbagai peraturan daerah (Perda). Namun berbagai Perda tersebut akhirnya menimbulkan distorsi dalam perekonomian. Kedua, terjadi inkonsistensi antara upaya untuk meningkatkan pendapatan daerah melalui investasi dengan kenyataan bahwa peraturan daerah banyak yang menghambat investasi akibat dari cost of doing business yang tinggi. Ketiga, alokasi dana perimbangan khususnya dana alokasi umum (DAU) seringkali dianggap sebagai block grant sebagai dana untuk membayar gaji bukan sebagai alokasi umum. Dalam prakteknya dana perimbangan masih menganut prinsip “hold harmless” (tidak akan ada daerah yang menerima DAU kurang dari alokasi 12 tahun sebelumnya). Dengan kata lain, DAU belum sepenuhnya dibagi dengan formula. Namun dalam kenyataannya DAU belum sepenuhnya mencerminkan unsur pemerataan kemampuan fiskal mengingat sumber penerimaannya masih dominan, antara 60-80% APBD. Keempat, persoalan pelayanan dan pembiayaan publik daerah. Sesuai dengan amanat UU tentang Otonomi Daerah, Pusat menyerahkan kepada Daerah 11 urusan wajib (obligatory functions) termasuk urusan pelayanan dasar (basic services). Namun pedoman pelaksanaan urusan pelayanan publik dasar baik UU No.22/1999 maupun PP 25/2000 belum lengkap, karena belum dilengkapi dengan petunjuk mengenai standar pelayanan minimum (SPM), serta masih belum jelasnya lingkup kegiatan dari pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan suatu urusan. Dari berbagai permasalahan yang dikupas dan kesimpulan yang dihasilkan seminar tiga tahun otonomi daerah ini, LPEM-FEUI menyodorkan beberapa alternatif kebijakan: Pertama, perlu ada imbalan bagi daerah yang menerapkan good governance dalam bentuk pengakuan atau kemudahan-kemudahan bagi daerah yang memang mempunyai kinerja yang baik. Di samping itu perlu harmonisasi antara pemerintah pusat dan daerah terutama dalam pembangunan infrastruktur. Kedua, dengan pertimbangan kondisi riil daerah di mana pada umumnya daerah menghadapi kendala keterbatasan sumber penerimaan di luar transfer pemerintah pusat maka sudah selayaknya PBB diserahkan kepada daerah. Hal ini dimaksudkan juga untuk memperkecil ketimpangan pendapatan daerah. Ketiga, perlu penerapan “surcharge” atau opsen dalam PPh perseorangan, dan tidak ada bagi hasil pajak baru kecuali digunakan cara opsen. Keempat, BagiHasil Sumber Daya Alam (BHSDA) hendaknya dialokasikan berdasarkan yang dianggarkan (bukan realisasi), serta pengembangan konsep “heritage fund” atau “endowment fund”. Kelima, perimbangan keuangan pusat-daerah dengan memberikan tambahan dana kepada daerah sebaiknya dilakukan melalui penambahan DAK, perbaikan tujuan pemerataan DAU, pengurangan peran bagi hasil pajak, peningkatan kemampuan pajak daerah. DAK ditambah melalui pengalihan DIP, tidak ada lagi “hold harmless” dalam alokasi DAU. Keeenam, untuk pelayanan sektor dasar, daerah dengan keuangan terbatas, Pemerintah Pusat diharapkan membantu daerah bersangkutan dengan dana alokasi khusus (DAK). Melalui instrumen desentralisasi fiskal direkomedasikan agar APBD dapat diarahkan untuk pelayanan dasar, misalnya dengan merevisi formula alokasi DAU untuk memberi prioritas terhadap sektor kesehatan, pendidikan dan infrastr uktur, termasuk mengurangi tingkat kemiskinan. Ketujuh, daerah diberi kesempatan melakukan perbedaan tarif untuk beberapa jenis pelayanan dasar, seperti kesehatan. Cara ini merupakan “cross subsidy” bagi pelayanan lain untuk menjaga kesinambungan pelayanan dasar. Termasuk melakukan kerjasama dengan pihak swasta. KMK 35/2002 perlu ditinjau ulang dengan memperbolehkan pemda melakukan pinjaman terbatas untuk peningkatan pelayanan dasar. Ketua APPSI, Soetiyoso : “Menerima Hasil Revisi Otda dengan Sejumlah Catatan” encana penyempurnaan (revisi) UU No.22/99 tidak terlalu mengherankan. UU No.22/99 dinilai telah mulai terdengar akhir tahun 2000, mendahului banyak memotong kewenangan pemerintah propinsi waktu pemberlakuannya di bulan Januari 2001. (Gubernur), sementara hubungan daerah kabupaten/kota Tak pelak, muncul sikap pro-kontra dalam kelompok dengan propinsi seakan terputus. masyarakat maupun intitusi negara dalam menanggapi “APPSI sejak tahun 2001 memang sangat proaktif perlu-tidaknya revisi tersebut, atau sekurangnya ihwal memperjuangkan revisi UU No.22 Tahun 1999,”demikian saat yang tepat untuk p e n g a k u a n melakukan revisi. Soetiyoso, Ketua Seiring perjalanan APPSI, dalam waktu, wacana ini suatu kesempatan timbul-tenggelam— w a w a n c a r a muncul, lalu hilang, dengan KPPOD kemudian muncul News. “Sikap itu secara kuat, dan s e b a g a i akhirnya benar-benar tindaklanjut dari dikerjakan. hasil Rapat Kerja Tahapan kongkrit APPSI di mana dan lebih seriusnya salah satu adalah ketika DPR rekomendasi melalui Rapat pokoknya adalah Paripurna tanggal 10/ tuntutan revisi”, 11/2003 menyetujui draf tegas Gubernur susunan Badan DKI Jakarta ini. Legislasi Nasional Rekomendasi (Balegnas-DPR) t e r s e b u t Pembagian Kewenangan - Pembagian kewenangan dalam hasil revisi sebagai RUU usul diserahkan ini sudah lebih jelas ketimbang UU No.22/99 sebelumnya. Kedudukan inisiatif Dewan. Lalu kepada Presiden, Gubernur selaku wakil pusat di daerah, sehingga ke depan diharapkan diikuti pembentukan peran supervisi dapat dijalankan. Untuk itu, perlu bagi pusat untuk segera Mendagri dan Panitia Khusus menerbitkan aturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah. sejumlah Menteri (Pansus) untuk teknis lainnya. membahasnya. Pemerintah (Depdagri) pun harus Menyangkut proses pelibatan (partisipasi) yang memicu kecepatan, setidaknya untuk menyeimbangi banyak dikeluhkan kelompok masyarakat dan pemerintah posisi maju pihak DPR. daerah atas pembahasan revisi ini, Soetiyoso merasa Sejak awal tahun berikutnya (2004), pembahasan RUU telah cukup dilibatkan. “Puncak partispasi kami adalah Per ubahan UU No.22/99 dan diikuti UU No.25/99 dengan melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum berlangsung intens, yang hasil akhirnya disetujui (RDPU) dengan Pansus DPR RI pada bulan Juni 2004.” bersama antara pemerintah dan DPR dalam Rapat Bahkan, menurut dia, tidak sebatas partispasi, tetapi juga Pripurna tanggal 29 September lalu, dan tanggal 19 terakomodasinya sebagian besar tuntutan mereka Oktober ditetapkan pengesahannya oleh Presiden sebagaimana yang terlihat dalam hasil revisinya saat ini. Megawati sebagai UU No.32/2004 (Pemda) dan UU No.33/ “Terutama adalah yang berhubungan dengan revisi 2004 (Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah). klausul-klausul yang selama ini dianggap tidak memiliki hubungan hirarkis dengan pemerintah propinsi,”kata Apa Tanggapan APPSI ? pensiunan tentara ini. Berbeda dengan asosiasi-asosiasi pemerintahan Selain tuntutan itu, sejumlah poin lain adalah daerah lainnya (APKASI/ Pemerintah Kabupaten, “menyangkut kejelasan kewenangan propinsi, kejelasan APEKSI/Pemerintah Kota, ADKASI/DPRD Kabupaten, kedudukan Gubernur sebagai wakil pusat di daerah, dan dan ADEKSI/DPRD Kota), APPSI (Asosiasi Pemerintah pemberian bagi hasil pajak pusat yang gemuk kepada Propinsi Seluruh Indonesia) termasuk kelompok yang daerah, seperti PPN, PPH badan, serta menjadikan PBB pro perubahan (revisi) atas UU No.22/99. Hal ini mungkin sebagai pajak daerah”. Namun “memang tidak semua 13 tuntuttan tersebut ditampung dalam hasil revisi. lokal,” demikian Soetiyoso memberi penilaian. Dengan Misalnya, soal pemberian pajak pusat seperti PPN atau pembaruan sistem elektoral di level daerah itu, “rakyat pengalihan PBB menjadi pajak daerah,”demikian bisa semakin berdaulat dan merdeka dalam menentukan Soetiyoso. siapa yang tepat dan layak menjadi pemimpinnya”. Inilah Terpenuhinya sebagian tuntututan lain sudah dirasa esensi demokrasi, yakni kebebasan rakyat untuk memilih, cukup lumayan. “Pembagian kewenangan dalam hasil mempengaruhi agenda para pemimpin dan pada revisi ini sudah lebih jelas ketimbang UU No.22/99 gilirannya bisa mengontrol pelaksanaannya. sebelumnya.” Demikian pula ihwal “kedudukan Gubernur Poin lain dari pemilihan langsung ini adalah selaku wakil pusat di daerah, sehingga ke depan implikasinya bagi penguatan posisi Kepala Daerah di diharapkan peran supervisinya jalan. Masalah dalam depan DPRD. “Kepala daerah tidak lagi mudah penyelenggaran pemerintahan di daerah mungkin bisa dijatuhkan. DPRD tidak bisa menggunakan diselesaikan. Untuk itu, perlu bagi pusat untuk segera pertanggungjawaban kami sebagai sarana untuk menerbitkan aturan m e n j a t u h k a n” . lebih lanjutr seperti PP”. Meski demikian, Namun, pada sisi ia tetap melihat lain, pemilik acara “Bang pentingnya Yos Show” di Lativi ini membangun menyayangkan h u b u n g a n masuknya klausul proporsional pengawasan preventif dengan DPRD. atas sejumlah Perda “Kepala Daerah tertentu dalam UU No.32 t e t a p Tahun 2004 ini. “APPSI berkewajiban menolak pemberlakuan m e m b e r i klausul bahwa Perda keterangan tentang APBD, Pajak pertanggungjawaban Daerah, Retribusi kepada DPRD.” Daerah, dan tata ruang Dalam sejumlah harus dievaluasi dulu hal, “seperti oleh Mendagri dan pembuatan APBD Gubernur. Mestinya atau Perda, cukup diberikan kedudukan DPRD pedomaan yang Pilkada langsung - Salah satu esensi otonomi, sekaligus sebagai wahana tetap kuat. gampang diikuti dan pendidikan politik lokal adalah Pilkada Langsung. Dengan itu, rakyat bisa Semuanya itu evaluasi diserahkan semakin berdaulat dan merdeka dalam menentukan siapa yang tepat dan tentu har us kepada DPRD.” layak menjadi pemimpinnya. dijalankan secara Sebaliknya menurut lebih profesional”. Soetiyoso, “pengawasan preventif semacam itu hanya Sebagai Gubernur Jakarta, bagaimana penilaian tepat dilakukan untuk tugas-tugas pembantuan, di mana Soetiyoso atas kesiapan warga ibukota untuk kewenangan tersebut masih merupakan tanggung jawab mensukseskan sisitem pemilihan baru tersebut ? “Sistem Pemerintah Pusat”. pemilihan secara langsung ini tidak sama sekali baru Kemunculan klausul pengawasan preventif ini dalam sisitem politik kita. Hal ini sudah kita lakukan memang tergolong baru, setidaknya jika dibandingkan dalam pemilihan Kepala daerah”, demikian ia memberi dengan UU No.22/99 yang hanya mengenal jenis penilaian umum. pengawasan represif. Bahkan semasa Orde Baru, yang Sementara untuk Jakarta, “warga Jakarta tentu eksplisit disebut adalah pengawasan preventif, dengan sangat siap, bahkan menanti-nantikan pelaksanaan tenggang waktu evaluasi Perda yang lebih panjang (6 pemilihan Gubernur secara langsung. Dengan demikian, bulan) bagi pemerintah. aspirasi orisinil mereka tidak diselewengkan oleh lembaga lainnya”. Ya, Bang Yos menyadari bahwa Pembaruan Pilkada pemilihan (Gubernur, Bupati, dan Walikota) tidak Terlepas dari sejumlah celah lemahnya, UU No.32/ langsung selama ini rawan diselewengkan oleh lembaga 2004 juga membawa banyak langkah maju dalam lain, yakni lembaga pemilihnya (DPRD). Apa yang penataan otonomi ke depan. Satu yang amat penting menjadi aspirasi otentik masyarakat terkadang tidak adalah pembaruan sistem pemilihan Kepala Daerah, dari tersambungkan secara konsisten dalam garis dipilih oleh DPRD menjadi dipilih langsung oleh rakyat perpolitikan partai atau pilihan para wakil rakyat. Mudahsendiri. Publik sering menyebutnya sebagai Pilkada mudahan kita bisa menaruh harapan yang lebih baik atas langsung. kehadiran sistem baru ini.* (ndi) “Pilkada langsung ini adalah salah satu esensi otonomi, sekaligus sebagai wahana pendidikan politik 14 Revitalisasi Industri dan Investasi Sumbangan Pemikiran Kadin-Indonesia Kadin-Indonesia pada tanggal 27 Oktober 2004 diterima Presiden Republik Indonesia yang didampingi beberapa Menteri di bidang perekonomian, menyerahkan sumbangan pemikirannya untuk perbaikan perekonomian Indonesia melalui sebuah dokumen berjudul “Revitalisasi Industri dan Investasi”. Dokumen tersebut merupakan bagian pertama yang berisi rekomendasi perbaikan ekonomi dengan fokus pada permasalahan dunia usaha lintas sektoral (salah satu diantaranya mengenai otonomi daerah); bagian kedua yang merupakan permasalahan masing masing sektor usaha akan diserahkan pada saatnya, demikian keterangan Kadin-Indonesia. Berikut adalah cuplikan sebagian dari ringkasan eksekutif dokumen tersebut yang originalnya berjumlah 47 halaman. Pengantar Bersama pemerintah, dunia usaha ingin memanfaatkan momentum keberhasilan Pemilu yang lalu dengan membangun optimisme kebangkitan perekonomian kita melalui pengajuan sejumlah rekomendasi yang dituangkan dalam dokumen “Revitalisasi Industri dan Investasi”. Sebuah dokumen hasil kerja Kadin-Indonesia bersama lebih dari 30 asosiasi industri dan perdagangan termasuk kamar dagang asing di Jakarta, sejak bulan April yang lalu; yang dalam pembahasannya juga melibatkan para akademisi dan ekonom. Untuk revitalisasi perekonomian Indonesia, ada sejumlah pra-kondisi yang dibutuhkan sebelum menjalankan program program yang direkomendasikan. Kadin mengharapkan agar pemerintah baru segera memberikan sinyal yang jelas mengenai komitmennya di dalam mengatasi lima prasyarat makro penting yang melandasi terciptanya iklim usaha yang positif, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. Komitmen untuk kebijakan prudensial untuk terus memperbaiki stabilitas makro ekonomi, seperti nilai tukar yang stabil, tingkat inflasi dan suku bunga yang semakin membaik. Komitmen untuk terus meningkatkan keamanan dan menjaga stabilitas politik. Upaya yang sungguh-sungguh untuk menciptakan etos kerja yang positif, disiplin nasional, sikap memberikan pelayanan, dan kepedulian untuk meningkatkan kinerja. Upaya yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki tingkat kepercayaan (trust) dan semangat kebersamaan, antara pemerintah, sektor usaha dan masyarakat, sebagai modal sosial (social capital) yang diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang effisien dan produktif. Komitmen untuk tata pemerintahan yang bersih, transparan, dan efektif (good public governance). Dari hasil diskusi Kadin, ditentukan prioritas 5 bidang lintas sektoral yang menjadi permasalahan utama dunia usaha untuk segera mendapat perhatian; yaitu: hukum, perpajakan, ketenagakerjaan, infrastruktur, dan otonomi daerah. Disamping lima bidang tersebut, Kadin menyampaikan beberapa hal yang tidak kalah pentingnya untuk pengembangan industri kita dengan mendukung pemberdayaan sektor swasta. Mengenai bidang hukum, Kadin mengharapkan terciptanya kepastian hukum dengan menghilangkan grey area yang menjadi celah penyimpangan hukum dalam peraturan perundang undangan kita. Disisi lain diperlukan penegakan hukum dengan reformasi kelembagaan semua unsur pendukung pelaksanaannya, yang mensyaratkan profesionalisme dan integritas tinggi personil pendukungnya. Dalam hal ini, Kadin merekomendasikan beberapa hal, diantaranya: 1) Penegakan hukum atas kasus kasus penyelundupan dan aktivitas illegal perekonomian lainnya yang memukul industri kita melalui tindakan preventif dan represif terhadap pelaku maupun aparatur yang terlibat baik sipil, polisi, maupun militer 2) Penegakan hukum bagi pelanggar hak cipta dan pelaksanaan SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk meminimalisir pemalsuan produk produk 3) Reformasi UU Agraria dan sejumlah peraturan pendukungnya untuk menjamin kepastian usaha di satu sisi dan hak hak masysarakat di sisi lain untuk meminimalisir konflik antara masyarakat dan pelaku usaha. 4) Publikasi yang transparan untuk peraturan perundang-undangan yang baru karena minimnya informasi mengenai UU, PP, Keppres, Kepmen, Dll. seringkali memunculkan tindakan tindakan pemerasan bagi aktivitas usaha 5) Pelibatan dunia usaha dalam pembahasan setiap peraturan perundang-undangan sejak awal inisiasi penyusunannya. 6) Revisi berbagai peraturan perundang-undangan hampir diseluruh bidang yang perincian detail-nya tertuang dalam rekomendasi lengkap Kadin. Perpajakan Dalam hal perpajakan, Kadin berpendapat bahwa pemerintah perlu memprioritaskan upaya reformasi undang-undang dan peraturan perpajakan, serta melanjutkan upaya modernisasi administrasi perpajakan. Untuk itu beberapa rekomendasi yang bersifat operasional perlu menjadi perhatian: 1. Untuk memberikan citra positif bagi aparat pajak 15 2. 3. yang selama ini sering melakukan arbitrary assessment dalam pemeriksaan pajak, perlu ditentukan prosedur yang mengharuskan pemeriksa pajak menyampaikan usul koreksi pajak secara tertulis kepada wajib pajak, dan ditentukan hak wajib pajak untuk menerima ataupun mengajukan protes tertulis atas usul tersebut, yang akan direview oleh tim yang independen, paling tidak atasan pemeriksa. Tanpa prosedur ini, penetapan pajak secara sewenangwenang harus dinyatakan cacat hukum, dan sesuai dengan prinsip level playing field, wajib pajak dapat melakukan gugatan. Proses, prosedur dan waktu restitusi kelebihan pembayaran pajak perlu diperbaiki, dan jangka waktu pembayaran imbalan bunga yang menjadi hak wajib pajak karena kelebihan pembayaran, perlu ditegaskan dalam undang-undang. Hal ini dimaksudkan untuk memperbaiki praktek restitusi selama ini yang sering dipersulit, dan sering pula dilakukan rekayasa oleh aparat perpajakan agar kelebihan tersebut tertunda pengembaliannya atau bahkan ditiadakan. Kadin juga mengusulkan dipertimbangkannya pemutihan perpajakan sebagai langkah transisi menuju era kepatuhan pajak, dimana semua wajib pajak dapat memulai lembaran baru. Sasaran paket pemutihan ini harus mencakup penambahan jumlah wajib pajak baru yang akan mengambil kesempatan untuk mendaftar, dan pelaporan hidden assets oleh para wajib pajak yang telah terdaftar. Pengampunan pajak juga harus mendorong mereka yang menyimpan modalnya di luar negeri untuk memasukkannya kembali ke Indonesia. Kadin berpendapat bahwa untuk mensukseskan upaya reformasi perpajakan, realita saat ini perlu diperhitungkan. Karenanya, Kadin mengusulkan sebelum atau bersamaan dengan diberlakukannya undang-undang pajak baru, wajib pajak diberi opsi dimana dengan tarif khusus wajib pajak dapat menyelesaikan hutang pajaknya untuk asset yang belum pernah dilaporkan dalam perhitungan pajak. Dengan pemutihan hutang pajak masa lalu, setiap pihak dapat berfokus untuk pembayaran pajak yang benar untuk masa berjalan dan masa depan sesuai dengan undang-undang pepajakan yang baru. Ketenagakerjaan Mengenai kebijakan ketenagakerjaan, Kadin berpendapat bahwa masalah pengangguran dan ketenagakerjaan di Indonesia sangat penting dan mendesak untuk segera dicarikan jalan keluar dengan berpedoman pada prinsip prinsip dasar: depolitisasi hubungan industrial, fleksibilitas pasar tenaga kerja, dan peningkatan produktivitas. Atas dasar prinsip prinsip tersebut, direkomendasikan beberapa hal berikut: 1. 16 Menyelaraskan kenaikan upah minimun sejalan dengan kenaikan tingkat produktivitas. Sementara ini, pemerintah perlu menghimbau Dewan Pengupahan dan Jaminan Sosial Daerah untuk memelihara tingkat upah riil konstan selama 5 tahun mendatang. 2. Pembentukan komisi ahli untuk menyusun blue print persiapan sistem jaminan sosial yang affordable dan konsisten dengan semangat penciptaan lapangan kerja. 3. Peninjauan kebijakan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas SDM dengan mengikutsertakan sektor swasta dalam mengembangkan skill tenaga kerja. Infrastruktur Untuk rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur diperlukan kerjasama antara pemerintah dan swasta. Kebutuhan investasi baru di sektor infrastruktur diperkirakan berjumlah US$72 milyar untuk lima tahun mendatang, dimana sektor swasta diharapkan akan berpartisipasi paling tidak sampai sekitar 40%. Meskipun demikian, pengalaman kerja sama pemerintah dan swasta untuk membangun infrastruktur dasar sejauh ini tidak cukup banyak yang berhasil. Untuk menarik minat swasta dalam investasi penyediaan infrastruktur diperlukan iklim investasi yang kondusif, perlindungan hukum, kejelasan peraturan agar investor merasa aman untuk menanamkan modalnya di dalam proyek jangka panjang yang akan menguntungkan semua pihak. Secara lebih spesifik, Kadin memberikan beberapa usulan sebagai berikut: 1) Penyusunan infrastructure road map/blue print yang mencakup strategi dan prioritas pembangunan infrastruktur, target penyediaan infrastruktur yang harus dicapai dalam kerangka waktu yang ditentukan. 2) Dukungan pemerintah dengan memperluas kemungkinan investasi swasta untuk mendapatkan dukungan instrumen finansial dari potensi sumber finansial dalam maupun luar negeri. 3) Kebijakan pembangunan infrastruktur yang memberi kemudahan investor di Kawasan Timur dan Kawasan Kawasan Teringgal lainnya di Indonesia. 4) Kebijakan kebijakan untuk mendukung pembangunan beberapa sektor infrastruktur, diantaranya: di bidang kelistrikan dengan adanya jaminan tarif listrik pada harga komersial; penghapusan peran Jasa Marga sebagai regulator agar tidak menimbulkan pententangan kepentingan atas peran rangkapnya selama ini sebagai regulator dan investor sekaligus; di bidang telekomunikasi, mengakhiri duopoli Telkom dan Indosat dan kebijakan mengeluarkan Dirjen Postel dari BRTI; dll. Otonomi Daerah Dunia usaha mendukung upaya pemerintah untuk memberikan perluasan kewenangan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan potensi ekonomi dan peran serta masyarakat daerah melalui eksperimen besar otonomi daerah. Namun sangat disayangkan bahwa karena lemahnya kelembagaan pendukungnya, program yang bertujuan mulia ini dalam implementasinya masih menjadi faktor negatif bagi peningkatan aktivitas perekonomian dengan munculnya kebijakan kebijakan daerah yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi, dan ketidakjelasan kewenangan antar tingkat pemerintahan Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota yang menimbulkan ketidakpastian baru dalam hal perijinan usaha dan pemanfaatan sumber daya ekonomi daerah. Untuk peningkatan kualitas pelaksanaan otonomi daerah, Kadin merekomendasikan beberapa hal dengan tujuan untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru melalui sinkronisasi kebijakan ekonomi antara pusat dan daerah. 1) Dengan acuan UU 32/2004 hasil penggantian UU 22/1999, diharapkan keluarnya Peraturan Presiden tentang Pembatalan Perda distortif, atau pengajuan judicial review ke MA. Pembatalan Perda ini perlu disosialisasikan secara luas ke seluruh pemerintah daerah untuk efektivitas pelaksanaannya. 2) Revisi UU 34/2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dengan prinsip: pembuatan close list pajak daerah dan sumber pendapatan lain lain; dan keharusan pelibatan stakeholder untuk penyusunan Perda 3) Pembuatan PP dari UU 32/2004 yang terkait aktivitas perekonomian dengan prinsip dasar: penentuan kebijakan pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya dan supervisi implementasinya oleh pemerintah pusat, sedangkan perijinan sebaiknya diberikan kewenangannya kepada Pemda; serta elaborasi detil prinsip-prinsip kerjasama antar daerah. Pemberdayaan Sektor Swasta Kadin berpendapat bahwa untuk memungkinkan Indonesia menjadi negara industri yang mempunyai daya saing yang kuat, pemerintah perlu mengkoordinasikan kebijakan industri dengan kebijakan investasi, kebijakan perdagangan, dan tidak kalah pentingnya kebijakan pengembangan tenaga kerja, kebijakan teknologi/riset dan kebijakan pengembangan UKM yang diperlukan untuk mendukung pemberdayaan sektor swasta dalam mengembangkan industri. Tanpa pendekatan industri yang terpadu, sektor industri akan mengalami kesulitan menghadapi persaingan produk asing yang lebih murah dengan kualitas yang lebih baik, dan pasokan yang lancar. Strategi industri harus pula menciptakan sinergi antara UKM dengan industri besar yang memang mempunyai peranan menggalang sumber ekonomi diberbagai sektor yang memerlukan skala ekonomi. Karena masing-masing memang punya peranan sendiri, maka harus dihindari kesalah pahaman bahwa: big is bad, small is good. Di samping perlunya arah pengembangan industri yang jelas dan terpadu, ada beberapa realita yang perlu dihadapi di dalam rangka pembenahan agar daya saing perusahaan dan industri di Indonesia menjadi lebih baik, khususnya di dalam menghadapi persaingan dalam era perdagangan bebas: 1. Negara pesaing mempergunakan teknologi dan sistem manajemen lebih modern. 2. Cukup banyak produk ekspor indonesia yang mempunyai ketergantungan cukup tinggi pada bahan baku impor. 3. Pasokan bahan baku lokal dan sumber energi sering tidak terintegrasi, dan kualitasnya tidak konsisten. 4. Perlu evaluasi kembali harmonisasi tarif sektor industri. Kebijakan bea masuk dapat diarahkan bagi usaha peningkatan ekspor dan penyelamatan industri dalam negeri. 5. Perlunya tim yang terdiri dari unsur pemerintah dan dunia usaha untuk melakukan lobi dalam fora internasional untuk memperjuangkan revisi kebijakan kebijakan yang merugikan Indonesia, dan bilamana perlu reposisi status Indonesia dalam keanggotaan pada lembaga lembaga perdagangan internasional 6. Bunga pinjaman bank/financing cost relatif lebih mahal dibanding dengan negara ASEAN lain. Di samping itu, industri UKM menghadapi banyak kesulitan administrasi dan penjaminan untuk pendanaan kegiatannya. 7. Pasar modal belum mampu untuk menjadi sumber pendanaan sektor riel dan masih belum mampu untuk menggalang sumber modal jangka menengah dari investor lokal. 8. Perlu peningkatan kualitas SDM dan produktivitas melalui capacity building dan program pendidikan/ pelatihan. 9. Kekurangan informasi yang up to date mengenai peluang atau akses ke pasar dunia, dan lemahnya jaringan pemasaran di dalam dan luar negeri yang perlu peningkatan. 10. Perlu menambah keragaman produk ekspor yang memiliki keunggulan daya saing. 11. Diperlukan pengembangan cluster based approach, yang memungkinkan kolaborasi industri inti dengan industri pendukung di berbagai daerah sesuai dengan potensi dan kompetensi intinya. 12. Dukungan kelembagaan pemerintah secara tepat, diantaranya pembentukan Badan Pariwisata Nasional dibawah koordinasi Menteri di bidang perekonomian, dll. Kadin menyadari bahwa sektor swasta perlu memainkan peranan aktif di dalam upaya memperbaiki daya saing industri. Meskipun demikian, tanpa kerangka hukum, strategi/arah industri dan peraturan serta iklim usaha yang mendukung, upaya tersebut tidak mungkin berhasil. Karenanya, Kadin berkesimpulan bahwa diperlukan kerja sama dan dialog yang terinstitusi antara pemerintah dengan sektor swasta untuk melakukan berbagai pembenahan. Di samping itu, perlu adanya koordinasi lintas departemen agar semua keputusan yang diambil dapat diimplementasikan dan dimonitor kemajuannya.*** 17 Sofjan Wanandi : “Kebijakan pengelolaan sektoral sebaiknya ...” Sambungan dari hal 7 pengelolaan sumber daya alam harus PBB harus menjadi pajak daerah dan panjang, dan dilibatkannya propinsi dilihat dari kebijakan sektoral secara dipungut oleh daerah. Hanya saja untuk melakukan pengawasan menyeluruh. Dengan demikian yang saat ini masih dikhawatirkan terhadap APBD atau Perda yang tentunya yang lebih mengetahuinya oleh para pelaku usaha adalah lainnya. Disamping ada perda-perda adalah pemerintah pusat, sehingga apakah daerah memiliki aparat yang yang harus langsung disampaikan ke pusat yang harus mengelola dan mampu mengelolanya. Apabila PBB pusat yakni yang terkait dengan daerah-daerah harus tahu juga, serta dikelola oleh pemda pengusaha masalah keuangan (pajak dan tidak boleh dilupakan bahwa harus menjadi lebih mudah apabila hanya retribusi), SDA kewajiban bagi daerah / kota untuk ada bagian untuk pemerintah daerah. berhubungan dengan satu aparat kabupaten “Kebijakan pengelolaan sektoral pajak dan tidak ada dua aparat lagi. menyampaikan perda-perdanya kepada propinsi sebaiknya ada sebelum perda pada satu tersebut diberlakukan. tangan. Tidak Sofjan Wanandi sangat b o l e h m e n d u k u n g pemerintah ketentuan tersebut, pusat bilang lain karena menurutnya dan daerah selama ini banyak bilang lain lagi, sekali perda-perda a k h i r n y a yang dibuat oleh pengusaha yang pemerintah daerah jadi korban yang menambah dengan adanya beban para pengusaha biaya tambahan karena tidak ada lagi karena kontrol dari masing-masing pemerintah pusat. sewenang“Sebegitu banyaknya w e n a n g perda yang tiba-tiba memutuskan keluar dan tidak jelas sendiri-sendiri.” tersebut menambah Menurut Sofjan beban pelaku usaha hal ini dimasa lalu selalu Perda dan Iklim Investasi - Pengawasan yang lebih ketat atas peraturan dan susah untuk terjadi pada daerah oleh pemerintah pusat dapat membantu memperbaiki iklim investasi menghitung costnya. adanya s e k t o r sebab dengan kepastian biaya tersebut, investor akan mudah menghitung Dengan sinkronisasi buat kami k e h u t a n a n , biaya yang harus dibayar akan terbantu, dimana pertambangan, perikanan dan lain-lain. Dengan “Asal kualitas sumber daya manusia biaya-biayanya menjadi jelas karena dikembalikan kepada kebijakan pusat yang melakukan pelayanan dan di pusat kita sudah dapat menghitung tentunya akan sangat membantu pengelolaannya minimal tetap sama pajak apa saja yang harus dibayar dan para pelaku usaha, karena hanya ada dengan yang sekarang ini tidak pungutan non pajak apa yang harus satu pintu saja. “Jangan sampai satu masalah. PBB pada akhirnya dibayar.” Menuruf Sofjan, dengan pintu memberikan izin, sementara memang harus diberikan kepada pengawasan yang lebih ketat pintu yang lain menjegal,” demikian daerah, karena memang mereka yang terhadap perda-perda yang dibuat akan menggunakannya untuk gunan oleh pemda, pengusaha akan lebih ungkapnya. Sofjan Wanandi juga menyinggung di daerah.” mudah menghitung cost dan mengenai adanya perasaan bagaimana melakukan efisiensi ketidakadilan bagi daerah dalam bagi Perda dan Iklim Investasi usaha. Ditambahkannya pula bahwa hasil antara pemerintah pusat dan Isu yang juga sering muncul dalam banyak investor asing yang tidak mau daerah yang mendorong daerah pelaksanaan Otonomi Daerah selama berinvestasi ke Indonesia salah satu untuk mengenjot penerimaan PAD. empat tahun terkhir adalah terkait penyebabnya adalah otonomi daerah Ada pula daerah-daerah yang dengan peraturan daerah (perda) yang belum jelas. Pada akhirnya meminta beberapa pajak pusat bermasalah. Hal tersebut disinyalir pengangguran bertambah karena didaerahkan, yang salah satunya karena kontrol dari pusat yang tidak tidak ada lapangan usaha baru. adalah Pajak Bumi dan Bangunan efektif karena waktu untuk “Sekarang dengan adanya perubahan (PBB). Namun demikian dalam UU melakukan review terlalu singkat. UU Otonomi Daerah, segala yang baru tetap menjadi pajak pusat. Berdasarkan UU yang baru waktu perbaikan dari kelemahan undangMelihat hal tersebut, Sofjan Wanandi yang dimiliki oleh pemerintah untuk undang lama harus kita dukung.” berpendapat bahwa pada akhirnya melakukan pengawasan lebih Dengan diberikannya 18 kewenangan pemerintah propinsi daerah yang nilainya tidak besar. termasuk para pelaku usaha untuk untuk mereview perda kabupaten Menuruf Sofjan Wanandi agar pasal berpartisipasi. Namun sayangnya kota memungkinkan adanya ini efektif, yang bisa diberikan oleh dalam ketentuan UU yang baru ini kebijakan yang berbeda atau daerah kepada investor adalah untuk menjadi calon kepala daerah bertentangan antar propinsi. Namun pelayanan yang baik, proses perizinan harus melalui partai politik. Sofjan hal ini tidak menjadi kekhawatiran cepat, dan jelas. Barangkali untuk Wanandi berpendapat bahwa secara bagi Sofjan Wanandi. Dia berharap UKM insentif berupa keringanan demokratis hal tersebut tidak tepat. agar hal tersebut akan digunakan pajak dan retribusi sangat berarti dan Dia berharap agar kedepannya UU oleh propinsi dan kabupaten untuk perlu diberikan. Namun untuk para Otonomi yang baru ini masih dapat bersaing dalam menarik investasi investor besar, insentif yang direvisi sehingga memberi peluang setiap orang menjadi yaitu dengan kepala daerah tanpa memberikan insentif harus melalui partai kepada para pelaku politik. Sofjan usaha. “Kita menduga bahwa berharap agar tiapketentuan tersebut tiap propinsi saling dimaksudkan agar bersaing dalam partai politik lebih memberikan service berperan dalam terhadap pengusaha screaning para calon dalam rangka kepala daerah. “Saya menarik investment sangat setuju ke sana. Kalau pemilihan secara dalam suatu daerah langsung itu memang service atau bebanperlu dan harus, b e b a n n y a sehingga rakyat b e r t a m b a h , berhak untuk ikut akhirnya daerah menentukan yang sendiri yang akan menurut mereka r ugi karena tidak terbaik untuk ada pelaku usaha yang mau berusaha Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung - Partisipasi bagi semua memimpin mereka.” di sana.” Menurunya lapisan masyarakat dalam proses demokrasi setelah revisi UU No. 22/ Untuk menjadi calon kepala daerah tentu p e r b e d a a n 1999 diwujudkan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. ada persyaratan yang kebijakan di tingkat harus dipenuhi. propinsi harus dikaitkan dengan kemampuan atau diperlukan adalah pelayanan Apabila ada para pelaku usaha yang kekayaan daerah propinsi. “Kita juga perizinan yang baik dan cepat. Jika berniat menjadi calon bupati atau akan melihat dulu apa yang akan para pelaku usaha besar tetap akan walikota harus mengikuti aturan dimanfaatkan dari perbedaan itu, diberikan insentif berupa keringanan tersebut yakni bergabung ke partai karena tiap-tiap daerah mempunyai pajak dan retribusi, sekecil apapun politik tertentu sebagai tempat cirri khas. Perbedaan itu tidak apa- tetap baik dalam rangka untuk screaning mereka. Apabila seorang apa jika semuanya ditujukan untuk berkompetisi menarik investasi. pengusaha memang mempunyai efisiensi dan kemampuan daerah “Yang lebih penting bagi pelaku usaha kemampuan yang tinggi tentu dia karena kekayaan alam.” Selanjutnya besar adalah tidak diganggu dan tetap dapat membawa salah satu partai Sofjan juga menyatakan bahwa dibantu serta difasilitasi apabila untuk pemilihan. Jika dibandingkan perbedaan tarif dan perbedaan mereka menghadapi kesulitan- dengan ketentuan lama maka peraturan tersebut yang akan dilihat kesulitan di lapangan,” demikian ketentuan pilkada secara langsung ini oleh para pelaku usaha, sebagai penjelasan Sofjan Wanandi. jauh lebih baik. “Untuk menjadi pertimbangan untuk menentukan kepala daerah sekarang ini hanya dimana mereka akan melakukan Pemilihan Kepala Daerah Secara ditentukan oleh segelintir orang di Langsung investasi. DPRD. Di situlah masalah seperti Untuk menarik investor secara Pengusaha yang aktif di berbagai KKN diantara DPRD dan Bupati, teoritis maupun praktis dilakukan organisasi ini juga menaruh Walikota, dan Gubernur terjadi. dengan diberikan insentif. Dalam UU perhatian besar terhadap proses Sehingga akhirnya yang diperhatikan yang baru dinyatakan bahwa untuk demokratisasi di daerah. Menurunya bukan lagi rakyat, tetapi hanya 50 ormeningkatkan perekonomian daerah, salah satu bentuk demokratisasi di ang anggota DPRD.” git maka daerah dapat memberikan daerah adalah proses pemilihan insentif kepada pengusaha. Namun kepala daerah (pilkada) secara jika dilihat instrumen yang dimiliki langsung. Dengan perubahan UU oleh daerah untuk memberikan Otonomi pilkada dilakukan secara insentif kepada investor tidaklah langsung. Hal tersebut merupakan banyak, seperti pajak dan retribusi peluang setiap anggota masyarakat 19 Bapekki Evaluasi Pajak Daerah Koordinasi Tim Tarif dan kajian pajak daerah, pungutan daerah, serta pinjaman daerah selanjutnya akan dilakukan oleh Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerja Sama Internasional (Bapekki). “Pembentukan badan ini merupakan bagian dari hasil reorganisasi di lingkungan Departemen Keuangan (Depkeu),” ungkap Pjs Kepala Bapekki Anggito Abimanyu usai menghadiri rapat pimpinan di Gedung Departemen Keuangan Jakarta, kemarin. Menurut Anggito, peran Bapekki didasarkan pada lima pilar fungsi yang semula tersebar di berbagai organisasi Depkeu. Pertama, mengkaji APBN. Kedua, Ketua Tim Tarif diduduki oleh Kepala Bapekki secara ad hoc. Lebih jauh pilar fungsi ketiga mencakup evaluasi terhadap pajak daerah maupun pungutan daerah. Fungsi tersebut sebelumnya berada di bawah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD), yang kemudian dialihkan ke Bapekki karena Ditjen PKPD dilebur ke dalam Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK). ‘’Evaluasi dan kajian mengenai pajak daerah dan lain-lain itu dilakukan sebelum Menkeu menyerahkan ke Mendagri. Menkeu mengambil keputusan menerima atau tidak berdasarkan rekomendasi Bapekki,’’ paparnya. Pilar fungsi keempat adalah evaluasi terhadap pinjaman daerah dan keuangan pada umumnya, termasuk kajian masalah penerbitan obligasi oleh daerah. Kelima, mewakili Menkeu dalam bidang kerja sama internasional. (Media Indonesia) Pelindo Siap Serahkan Pelabuhan Ke Pemda PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) siap menyerahkan pengelolaan pelabuhan pada pemerintah daerah (pemda) kalau memang aturannya sudah ada. “Kalau memang aturan penyerahannya sudah ada, kami siap menyerahkan pengelolaan semua pelabuhan pada pemda setempat,” kata Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha PT Peabuhan Indonesia (Pelindo) II Seopadi kemarin menanggapi rencana penyerahan kewenangan pengelolaan pelabuhan pada pemda sesuai dengan era otonomi daerah dewasa ini. Menurut dia, sesuai UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran, PT. Pelindo diberi kewenangan untuk mengelola operasional pelabuhan di seluruh Indonesia. “Jika pemerintah minta kita menyerahkan pada pemda, kami ikut,” katanya. Dia menambahkan sambil menunggu perintah itu turun maka saat ini PT Pelindo memilih melakukan kerja sama dengan pemda setempat dalam pengelolaan pelabuhan. Belum lama ini, PT Pelindo II berkeja sama dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Bengkulu mengelola Pelabuhan Pulau Baai, sehingga dapat dimanfaatkan secara maskimal. (Bisnis Indonesia) Bagi Hasil Migas Baru Naik Pada 2009, Porsi DAU Dinaikkan Jadi 26% Panja amendemen paket UU otonomi daerah menyepakati persentase Dana Alokasi Umum (DAU) naik menjadi 26% dari penerimaan dalam negeri bersih pada 2008 dan Bagi Hasil Migas (BHM) untuk daerah penghasil naik 0,5% pada 2009. Endang Zainal Abidin, Wakil Ketua Panitia Khusus DPR tentang UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25/1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, mengatakan kenaikan prosentase dalam DAU dan BHM merupakan jalan tengah antara kesinambungan fiskal nasional dan kebutuhan daerah. (Bisnis Indonesia) Perda Tertib Dicurigai Suburkan Pungli Pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) No 1/2004 tentang Tertib Pemanfaatan Jalan dan Retribusi Pengendalian Kelebihan Muatan telah menimbulkan reaksi keras dari kalangan sopir dan pengusaha truk di Sumatera Barat, termasuk DPD Organda Sumbar. Mulai 1 Oktober 2004 retribusi dan sanksi, dikenakan pada truk yang membawa barang berlebih, tetapi harus membayar retribusi seperti ditetapkan dalam perda itu. Jadi, pembayarannya resmi tidak seperti rahasia umum selama ini, dengan uang pungli (pungutan liar). Hasil penerimaan retribusi dibagi hasil, 70 persen untuk provinsi dan 30 persen untuk kabupaten/kota. Pengusaha angkutan selama ini telah dibebani berbagai pungutan di jalan raya, dan jembatan timbang sebagai unit pemungut retribusi sebesar Rp 150.000 saat melewati jembatan timbang tidak punya dasar hukum yang kuat untuk meminta retribusi sehingga kemungkinan besar akan menjadi pungutan liar akan terjadi. (Kompas) Depdagri Harus Segera Keluarkan PP Pilkada Langsung Setelah disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 1999, Departemen Dalam Negeri seharusnya segera mengeluarkan peraturan pemerintah yang akan mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah langsung. PP tersebut nantinya akan menjadi acuan setiap daerah melaksanakan pilkada. “Kalau benar pilkada dimulai Juli 2005, maka KPUD harus sudah mempersiapkan tiga atau empat bulan sebelumnya,” kata Maswadi Rauf, Sabtu (23/10). Karena itu, paling tidak Depdagri sudah mempersiapkan peraturan pemerintah (PP)-nya akhir tahun ini untuk kemudian segera disosialisasikan. Direktur Otonomi Daerah Depdagri Progo Nurdjaman mengatakan, Depdagri masih mempersiapkan sosialisasi pilkada langsung ke daerahdaerah. “Program sosialisasi baru akan disampaikan ke Mendagri”, kata Progo. (Kompas) 20