Pemikiran Kadin-Indonesia tentang Otonomi Daerah

advertisement
Edisi Oktober 2004
Pemikiran Kadin-Indonesia tentang
Otonomi Daerah, Perspektif Ekonomi
HARAPAN PELUANG INVESTASI PASCA
REVISI UU NO. 22 DAN 25 TAHUN 1999
Ketua APPSI, Soetiyoso :
“Menerima Hasil Revisi Otda
dengan Sejumlah Catatan”
Bentuk logo merupakan stylirisasi dari kaca pembesar yang terbentuk atas huruf
KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) menjadi mnemonic
(jembatan keledai) dari pemantau.
Logo Dengan huruf FrnkGothITC Hvlt Bold berwarna electric blue melambangkan
keteguhan Lembaga dalam menjalankan kegiatan utamanya yaitu melakukan
pemantauan dan pengkajian terhadap pelaksanaan otonomi daerah di seluruh Indonesia.
Huruf O (otonomi) adalah lensa kaca pembesar berbentuk pusaran air berwarna
gradasi biru gelap.
Gradasi warna dari pusat pusaran ke arah lingkaran terluar menjadi semakin
nyata. Hal ini melambangkan pergeseran dari sistem pemerintahan yang selama ini
terpusat lama kelamaan menjadi terdesentralisasi yang sesuai dengan konsep otonomi
daerah.
Editorial
Pemikiran Kadin-Indonesia tentang
Otonomi Daerah,
Perspektif Ekonomi
Perda Kab. Tangerang
No.4/2004 tentang
Pedomaan Fasilitas
Penanaman Modal
Sofjan Wanandi :
“Kebijakan pengelolaan
sektoral sebaiknya ada
pada satu tangan.”
HARAPAN PELUANG
INVESTASI PASCA
REVISI UU NO. 22 DAN 25
TAHUN 1999
Seminar Tinjauan
Ekonomi LPEM-FEUI:
Tiga Tahun Otonomi
Daerah
Ketua APPSI, Soetiyoso :
“Menerima Hasil Revisi
Otda dengan Sejumlah
Catatan”
Revitalisasi Industri dan
Investasi
Sumbangan Pemikiran
Kadin-Indonesia
Gambar Sampul : ©www.m-amienrais.com/album/index.asp. Foto isi diambil dari internet
dengan http://www.google.com/ dan sumber foto
lain yang disebutkan bersama dengan foto.
HARAPAN BARU
Presiden baru telah terpilih, Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) juga sudah terbentuk ...
masyarakat-pun menaruh harapan barupadarejim pemerintahan Presiden SBY Tidaksalahjuga
kalau ‘komunitas’ otda berharap akan perbaikan kualitas pelaksanaan otda. Harapan disertai
kecemasan, karena hampir tidak pernah dibahas visi dan program otda dari presiden terpilih kala
kampanye berlangsung. Namun itu sudah lewat, yang penting adalah apa yang akan dilaksanakan
KIB dibawah SBY.
Pelaksanaan otda yang dinilai masih menjadi faktor negatif bagi aktivitas perekonomian oleh
pelaku usaha bukan lantas menjadi pembenar untuksentralisasi. UU 22/ 1999 tentangPemerintahan
D aerah dan UU25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah PusatdanPemerintah
Daerah telah disetujui perubahannya oleh DPR dan bahkan sangat cepat sudah ditandatangani
pengesahannya (UU 32/2004 dan 33/2004) oleh Presiden Megawati di penghujung
kepemimpinan pemerintahannya waktu itu. Pilihan progresif untuk PILKADA langsung
(PILKADAL) telah diputuskan; walaupun belum sepenuhnya menempatkan otonomi individu
untuk memilihpemimpinnya dari luarlingkungan parpol yang ada, toh patut kita syukuri, sambil
memperjuangkan PP PILKADAL untuk mengakomodir potensi diluar parpol melalui mekanisme
rekrutmen pencalonan masing masing parpol.
Mengenai pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang diserahkan ke UU
sektoral harus dikawal perumusannya dalam UU Sektora! dan sejumlah PP yang mengikutinya.
Otda dalam bahaya apabila esensi utama otda diabaikan, subsidiaritas berikan kewenangan kepada
daerah untuk hal hal yang dapat ditanganinya, sebaliknya jangan bebankan hal hal diluar
kemampuannya kepada daerahL Dalam rekomendasinya kepada pemerintah, Kadin-Indonesia
menegaskan prinsipnya dalam pengelolaan sumber daya ekonomi daerah ‘’bahwa untuk penerbitan
perijinan usaha sebaiknya diberikan kepada daerah, sedangkan untukpembuatan kebijakan dan
pengawasan pelaksanaannyamerupakan kewenangan pemerintah pusat”.Pelaksanaan prinsip
tersebut tidak sesederhana rumusannya, tidak mudah untuk membuat sinergi kebijakan peran
pemerintah pusat dan daerah dalam hal strategi industri (terkait di dalamnya industri strategis yang
mungkin masih menjadi domain pemerintah pusat), kebijakan perdagangan dalam negeri, tata
ruang nasional-daerah, kebijakan fiskal, dll.; belum lagi dalam tataran implementasinya. Namun
untuk itulah Presiden dipilih dan KIB dibentuk!
Masyarakat tidak perlu tokoh imajiner Superman,juga tidak mengharapkan 100 hari kinerja
spektakuler pemerintah! Apa artinya gebrakan 100 hari kalau hanya memenjarakan koruptor yang
kebetulan sedang ‘sial’karena berada diluar innercircle kekuasaan, apa juga artinya pembatalan
Perdadistortifkalau tidak diikuti penguatan kapasitas kelembagaan pusat dan daerah, apa juga
artinya adanyajaminan pasokan kebutuhan pangan disaat hari raya kalau pengecer raksasa
mematikan usaha kecil yang menghidupi rakyat banyak! Daftar persoalan tidak akan selesai ditulis
bila diteruskan; yang diperlukan rakyat adalah adanya sinyal kuat penyelenggaraan negara yang
diwarnai keteladanan nilai nilai utama kehidupan: ketulusan, pengabdian, kejujuran, kedisiplinan,
kerja keras dan bijak, ... masyarakat memerlukan kesinambungan sinyal perubahan positifyang
tidakterputus.
Upaya Kadin-Indonesia memberikan kontribusi pemikirannya untuk perbaikan perekonomian
Indonesia patut dihargai; dalam konteks daerah akan elok kiranya jika tiap Kadin Daerah melakukan
langkah serupa di lingkup wilayahnya masing masing. Diharapkan muncul pemikiran segar dan
orisinil versi daerah untuk mengkapitalkan potensi daerahnya secara optimal dan bijak, selain
untuk kepentingan pembangunan ekonomi daerah, r
‘oadmap’Kadin Daerah bisa menjadi
pengimbang milik Kadin-Indonesia agar kepentingan daerah tidak terabaikan.
Soal apakah rekomendasi tersebut akan diakomodir adalah kewenangan pemerintah yang
harus mempertimbangkannya secara holistik untuk kepentingan bangsa. KIB harus mampu
menjelaskan dan membuktikan keunggulan kebijakan kebijakan dan tindakannya ke para
stakeholdernya dengan baik; dengan demikian sang pemimpin negeri ini telah merespon keraguan
akan kepemimpinannya dengan karya nyata untuk rakyat banyak. Mari kita dukung dengan
mengawasi kinerjanya! (pap)
Penerbit : Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Alamat Redaksi : Sekretariat KPPOD, Plaza Great River,
15th floor, Jl. HR. Rasuna Said Kav. X-2 No.1, Jakarta 12950, Phone : 62-21-5226018, 5226027, Fax : 62-21-5226027, E-mail :
[email protected], http://www.kppod.org/ Dewan Pengurus KPPOD : Bambang Sujagad, Anton J. Supit, Bambang PS Brodjonegoro,
P. Agung Pambudhi, Aburizal Bakrie, Sofjan Wanandi, Adnan Anwar Saleh, Hadi Soesastro, Sri Mulyani Indrawati, Djisman
Simandjuntak, Susanto Pudjomartono, Sjarifuddin, Aco Manafe, dan Taufik L. Redaksi : P. Agung Pambudhi, Sigit Murwito, Robert
Endi. Tata Letak : F. Sundoko. Iklan dan Distribusi : M. Regina Retno B.
1
Pemikiran Kadin-Indonesia tentang
Otonomi Daerah, Perspektif Ekonomi
Latar Belakang
*)
kewenangan pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber
sumber ekonomi lainnya. Disinilah permasalahan baru
pasca otda mulai muncul karena terjadi pertentangan
kewenangan antara daerah dan instansi instansi teknis
pemerintah pusat yang tidak atau belum menyesuaikan
pengaturan kelembagaannya dengan UU 22/1999.
Argumentasi lex specialist derogat lex generalis - bahwa
hukum yang spesifik mengalahkan hukum yang bersifat
umum – tidak cukup kuat karena hukum spesifik tersebut
tidak/belum meyesuaiakan dengan kewenangan UU otda,
yang dipahami para
pimpinan
daerah
sebagai UU Batu
Penjur u
bagi
UU
lainnya.
Pasca reformasi 1998, dibawah kepemimpinan
Presiden B.J.Habibie, pemerintah dan DPR sangat
produktif menerbitkan sejumlah Undang Undang untuk
merespon tuntutan reformasi, diantaranya UU 22/1999
tentang “Pemerintahan Daerah” dan UU 25/1999
tentang “Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah”.
Kedua UU tersebut menjadi pusat dasar hukum
perundangan bagi penyelenggaraan pemerintahan di
pusat maupun daerah.
Sebagai UU yang
mengatur
sistem
pemerintahan,
kekuatan kedua UU ini
sangat menentukan
Permasalahan
bagi pengaturan aspek
a
s
p
e
k
Dunia Usaha di era
penyelenggaraan
Otda
pemerintahan
di
Setidaknya ada 4
berbagai bidang –
(empat) hal utama yang
termasuk
bidang
menjadi
tambahan
ekonomi! Secara tegas
permasalahan bagi
pasal
133
dunia usaha yang
memerintahkan
terkait secara langsung
p e n y e s u a i a n
dengan pelaksanaan
p e r a t u r a n
otda: 1) Pajak &
perundangan yang
Pungutan Daerah, 2)
tidak sesuai dengan
Kewenangan
Ijin
UU
22/1999
ini.
Usaha,
3)
Koordinasi
Koordinasi antar daerah - Tenaga kerja dari luar daerah selalu
Konsekwensinya UU
membanjiri daerah dengan daya tarik investasi tinggi. Namun, antar Daerah, dan 4)
Sektoral
terkait
Lemahnya koordinasi antar daerah bakal menyulitkan investor dalam K e t e n a g a k e r j a a n .
aktivitas usaha mesti
hal perijinan usaha, biaya pungutan, dan juga ketenagakerjaan. Dalam hal pajak dan
menyesuaikan UU 22/
daerah
Kesulitan itu sering ditemui oleh investor yang berinvestasi di lebih pungutan
1999 karena jelas
(retribusi
&
bentuk
dari satu daerah.
disebutkan pada pasal
pungutan
lainnya),
7 “kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam pelaku usaha dari berbagai sektor baik secara individu
seluruh bidang kecuali kewenangan dalam bidang politik perusahaan maupun melalui asosiasi usaha (perkebunan,
L.N., pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, perikanan, kehutanan, kawasan industri pengolahan,
agama serta kewenangan bidang lain”, yang ditegaskan pertambangan, dll.) mendapat beban tambahan dengan
dalam pasal pasal lainnya menyangkut jabaran adanya pungutan pungutan baru yang dianggap tidak
kewenangan tersebut (diantaranya pasal 10 “kewenangan semestinya diterapkan karena berpotensi menurunkan
mengelola sumber daya nasional”, pasal 11 “kewenangan daya saing ekonomi kita. Dari kajian literatur KPPOD
meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan terhadap lebih dari 1.000 perda kategori ini, didapati sekitar
kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan 32% perda melanggar prinsip prinsip ekonomi karena:
perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pungutan ganda, hambatan tarif dan non tarif
pertanahan, koperasi dan tenaga kerja”; pasal 119 perdagangan, tidak ada timbal balik jasa berupa manfaat
“kewenangan atas kawasan: otorita, industri, bandar langsung pembayar retribusi, sumbangan wajib, dll., yang
udara, pelabuhan, … perkebunan, kehutanan, potensial mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Lebih
pertambangan, jalan bebas hambatan).
lanjut dari survei KPPOD ditemukan 23% dari 5,140 pelaku
Apapun pro kontra beda penafsiran pasal pasal dalam usaha menyatakan bahwa perda telah mendistorsi
UU 22/1999, banyak para kepala daerah dan jajaran aktivitas usaha.
birokratnya menggunakannya sebagai legitimasi hukum
Mengenai kewenangan perijinan usaha, setidaknya
untuk mengatur wilayahnya, termasuk dalam hal jabaran dua hal menambah ketidakpastian usaha; pertama,
2
perebutan kewenangan penerbitan dokumen dokumen
terkait ijin usaha antara pemerintah daerah dengan
instansi vertikal pemerintah pusat yang ada di daerah.
Sebagai contoh, kewenangan ijin exploitasi kehutanan di
Kalimantan Timur yang berbeda antar Kabupaten yang
berada di Kaltim, untuk Kutai Kertanegara dan Kutai
Timur misalnya, kewenangan penerbitan SKSHH (Surat
Keterangan Sahnya Hasil Hutan) ada di Kabupaten,
namun untuk Nunukan, kewenangannya ada di Pusat
melalui instansi vertikalnya di Propinsi. Ketidakpastian
kedua, mengenai birokrasi yang semakin panjang untuk
mendapatkan ijin usaha yang tidak hanya melibatkan
instansi eksekutif daerah namun juga instansi legislatif.
Sebagai contoh, untuk pendirian hotel kelas Melati di
Kabupaten Tebo-Jambi, pihak eksekutif daerah harus
mendapatkan persetujuan dari DPRD, yang dalam
prakteknya selain berhubungan dengan pihak eksekutif,
investor harus juga berhubungan dengan pihak legislatif
untuk suatu hal yang secara operasional kewenangannya
ada di pihak eksekutif.
Sementara itu, lemahnya koordinasi/kerjasama antar
daerah menyebabkan sulitnya investasi di daerah. Investor yang akan menanamkan modalnya untuk suatu
investasi yang berlokasi di lebih dari satu Kabupaten/Kota/
Propinsi menghadapi ketidakpastian terkait perijinan
usaha, biaya pungutan, ketenagakerjaan, dll., yang berbeda
antar daerah daerah yang akan menjadi lokasi usahanya.
Sebagai contoh, investor Jepang yang akan berinvestasi
industri pengolahan yang lokasi pabriknya (hanya 1
pabrik) masuk wilayah Kabupaten Lampung Selatan dan
Timur harus menghadapi birokrasi pemerintahan dengan
prosedur dan biaya yang berbeda – dan seperti umumnya,
dengan rente ekonomi birokrasi yang berbeda juga.
Pelaksanaan otda lainnya yang menyulitkan adalah
kebijakan ketenagakerjaan di daerah daerah yang
distortif bagi aktivitas usaha. Beberapa daerah
mengharuskan adanya prosentase tertentu penyerapan
tenaga kerja yang berasal dari daerah (desa, kecamatan,
kabupaten) setempat bagi suatu investasi, denda atau
bahkan tidak keluarnya ijin usaha dikenakan apabila tidak
memenuhi ketentuan tersebut. Affirmative policy seperti
ini selain bertentangan dengan prinsip profesionalisme
juga sangat riskan terhadap manipulasi kepentingan
politik atau vested interest lainnya, apabila justifikasi
sosial-politik untuk keluarnya suatu kebijakan affirmative
ini tidak melalui pembahasan yang terlembaga secara
baik. Terkait dengan beban pungutan yang dibahas di atas,
perda perda daerah mengenai ketenagakerjaan yang
tujuannya untuk melindungi pekerja hampir semuanya
bermuara pada pungutan yang tidak relevan dengan
perlindungan tenaga kerja.
keinginan instansi pemerintah pusat untuk diikuti
kebijakannya dengan pemda yang menolak mematuhinya,
banyak hal diantaranya terkait aktivitas usaha di bidang
kehutanan, pertambangan, manufaktur, dll.
Demikian juga UU 22/1999 sebagaimana dijelaskan di
atas, dalam pasal pasalnya (kewenangan: industri,
perdagangan, penanaman modal, tenaga kerja, kawasan
otorita, pelabuhan, dll.) mengandung hal hal krusial yang
mengakibatkan benturan tidak saja dengan UU sektoral,
namun sampai tingkat PP, Keppress, bahkan Kepmen,
yang menimbulkan ketidakpastian di lapangan.
UU 25/1999 juga mengandung pasal pasal krusial terkait
sumber sumber penerimaan daerah (PAD, Dana
Perimbangan (Bagi Hasil-DAU-DAK), Pinjaman Daerah,
dan Lain Lain yang Sah), khususnya pasal 6 mengenai
dana bagi hasil untuk daerah hanya untuk sektor
kehutanan, pertambangan umum, perikanan, dan migas,
karena kebanyakan daerah minim investasi di bidang yang
berbasis kekayaan alam tersebut. Implikasinya beberapa
daerah (yang perekonomiannya ditopang dari aktivitas
usaha dari sumber daya buatan) yang merasa tidak
mendapat perlakuan adil terkait bagi hasil ini, sehingga
sebagai kompensasi berupaya mendapatkan PAD sebesar
besarnya.
Upaya mencari PAD tersebut dalam UU 34/2000 tentang
“Pajak dan Retribusi Daerah” dimungkinkan karena
daerah diperbolehkan untuk membuat jenis pungutan baru
sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 UU ini. Terkait
ketentuan UU ini dan UU 22/1999, sumber permasalahan
juga terkait model pengawasan perda yang menganut
rejim pengawasan represif bukan preventif. Dengan
pengawasan represif, perda langsung bisa efektif
operasional setelah disetujui DPRD dan ditetapkan Kepala
Daerah dimana pemda wajib mengirimkannya ke
pemerintah pusat dalam waktu 15 hari dan pemerintah
pusat hanya memiliki waktu 30 hari untuk pembatalan
perda dalam menjalankan fungsi pengawasan represifnya.
Berdasar uraian di atas, sejumlah rekomendasi perlu
disampaikan untuk memperbaiki situasi tersebut untuk
jangka pendek, menengah dan panjang. Dalam 100 hari
pertama pemerintahan hal hal yang mesti dilakukan:
1.
Analisis dan Rekomendasi
Sumber permasalahan di atas setidaknya berasal dari
1) peraturan perundang undangan (Tap MPR, UU, PP,
Keppres, Kepmen, SE Menteri, SE Direktorat, Perda, Dll.),
2) supervisi Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah
Daerah, 3) SDM pemerintahan pusat dan daerah, 4)
lemahnya peran masyarakat.
Dari sisi peraturan perundangan, Tap MPR III/2000
tentang “Tata Urutan Perundang Undangan” tidak
menyebutkan posisi Kepmen (UUD – Tap MPR – UU –
Perpu – PP – Keppress – Perda) sehingga dalam
pelaksanaan di lapangan timbul pertentangan antara
2.
Review perda perda terkait aktivitas usaha dan
meminta pemda untuk membatalkan perda yang
dinilai distortif terhadap aktivitas usaha. Bilamana
daerah menolak melakukannya, apabila
pemerintah pusat masih memiliki 30 hari hak
pembatalannya, maka dilakukan pembatalan
perda perda tersebut. Bila hak 30 hari pemerintah
pusat sudah terlampaui, bisa mengajukan judicial
review ke MA untuk pembatalan perda perda
dimaksud. Catatan: Berdasar UU 32/2004
(pengganti UU 22/1999), pembatalan Perda
dilakukan dengan Peraturan Presiden.
Finalisasi kajian untuk menerapkan sistem
pengawasan perda yang efektif dengan
menggunakan IT yang memungkinkan
pemerintah pusat dan stakeholder untuk
mendapatkan informasi publik tentang perda
seketika setelah materi perda di-upload ke
internet segera setelah ditetapkan di daerah. Pada
prinsipnya sistem ini sangat memungkinkan dan
kemungkinan tidak berbiaya tinggi dengan
menggunakan jaringan yang sudah ada (KPU)
3
3.
ataupun dengan membangun jaringan baru.
Sosialisasi intensif penguatan kelembagaan otda
untuk meminimalisir permasalahan potensial
yang dapat muncul dan mendistorsi aktivitas
perekonomian.
Rekomendasi tahun pertama sampai dengan tahun kelima
untuk dikerjakan pemerintah mencakup:
4.
1.
2.
3.
4
Revisi UU 34/2000 tentang “Pajak dan Retribusi
Daerah” dengan fokus: a) membuat close list pajak
dan pungutan daerah yang diperkenankan UU, b)
mengharuskan pelibatan stakeholder dalam
penyusunan perda, c) model pengawasan represif
bisa efektif diterapkan apabila ada keharusan
untuk menggunakan dukungan IT seperti
disampaikan di atas; bila tidak maka model
pengawasan preventif yang mesti dipilih.
Melengkapi UU 32/2004 (pengganti UU 22/1999)
dengan PP, khususnya terkait aktivitas
perekonomian dengan memfokuskan pada: a)
pembuatan
regulasi
dan
monitoring
pelaksanaannya untuk pengelolaan sumber
sumber daya alam dan ekonomi berada di
pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah
yang berwenang dalam pelaksanaannya
(termasuk menerbitkan perijinan usaha); b)
menekankan pentingnya prinsip prinsip kerjasama
(termasuk bidang ekonomi) antar daerah yang
dielaborasi dengan lebih baik; c) dalam
penyusunan PP melibatkan DPD dan stakeholder
penting lainnya.
Melengkapi UU 33/2004 (pengganti UU 25/1999)
dengan PP khususnya terkait aktivitas
5.
perekonomian dengan memfokuskan pada:
pertama, menjajaki kemungkinan pemberian
insentif fiskal kepada daerah yang menunjukkan
kinerja investasinya yang baik (berdasar sejumlah
kriteria yang ditentukan). Kedua, dalam pencairan
DAU, mensyaratkan ketaatan daerah dalam
menjalankan ketentuan peraturan perundangan
nasional.
Draft RUU Penanaman Modal yang ada sangat
potensial bertentangan dengan UU otda, untuk itu
perlu dicermati dengan sangat hati hati agar hasil
UU tersebut bisa efektif berjalan dalam
pelaksanaannya.
Identifikasi permasalahan pada UU Sektoral dan
peraturan peraturan dibawahnya yang sedang
berlaku untuk tujuan perbaikan agar ada harmoni
dengan UU otda. Selanjutnya diharapkan bahwa
revisi UU Sektoral bisa sesuai dengan prinsip
prinsip kewenangan yang diatur dalam UU Otda.
Review secara menyeluruh kebijakan pemekaran
daerah agar tidak berkembang terus ke arah yang akan
merugikan perkembangan ekonomi kita terkait dengan
skala ekonomi, dan efektivitas suatu pemerintahan.
Bilamana diperlukan dikeluarkan kebijakan untuk
sementara waktu (katakanlah 1 tahun) tidak ada
pemekaran daerah sambil memperkuat kelembagaan
DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah) yang
masih jauh dari optimal.
Bagian dari Sumbangan Pemikiran Kadin-Indonesia
kepada Pemerintah Republik Indonesia Periode 2004-2009
yang dituangkan dalam dokumen “Revitalisasi Industri
dan Investasi”.
*)
Perda Kab. Tangerang No.4/2004 tentang
Pedomaan Fasilitas Penanaman Modal
adirnya investasi swasta semakin dirasakan
penting sebagai titik ungkit pertumbuhan
ekonomi. Era pengaruh faktor belanja negara dan
konsumsi masyarakat sebagai dua faktor yang cukup
signifikan dalam menggerakan roda ekonomi di masa
krisis ini sudah
tidak
mungkin
ter us
bertahan
(menimbang
semakin lemahnya
kapasitas mereka),
dan juga tidak boleh
s e l a m a n y a
dipertahankan
pada
tingkat
dominan (karena
terkadang hanya
menghasilkan
fenomena ekonomiartifisial yang tidak
menunjukan
f o n d a s i
sesungguhnya).
Maka investasi
swasta
(asing
maupun domestik)
menjadi tempat
berpaling,
tak
kecuali
untuk
pembangunan
ekonomi daerah
semacam di Kabupaten Tangerang. Dalam kerangka itu,
sebagai fungsi yang memang harus dijalankan pada tahap
pertama, pemerintah daerah menerbitkan aneka regulasi
menyangkut perijinan atau pun pungutan yang akan
diberlakukan. Di Kabupaten Tangerang, regulasi
dimaksud adalah Perda No.4 Tahun 2004 sebagai kodifikasi
(himpunan) aturan tentang sebagian besar (kalau bukan
semua) proses perijinan penanaman modal.
Pada kesempatan awal ini, kita patut memberi apresiasi
karena adanya semacam kodifikasi aturan tersebut, yang
tidak banyak dilakukan oleh daerah-daerah lain. Dengan
adanya suatu himpunan, maka menjadi jelas mana yang
dipakai sebagai acuan utama, sementara aturan-aturan
lain berfungsi menjabarkannya dalam sektor teknis terkait.
Membaca aturan ini, kiranya para calon investor sudah
mempunyai gambaran umum tentang kebijakan perijinan
investasi di berbagai sektor usaha di Kabupaten
Tangerang.
Isi Ringkas Perda
“Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah
diperlukan langkah-langkah untuk lebih mengembangkan
iklim usaha yang kondusif dan menjamin kelangsungan
penanaman modal di daerah”, demikian menjadi
pertimbangan utama kelahiran Perda ini (lihat
Konsiderans). Dalam kerangka semangat itu, dirasa perlu
memberi fasilitasi, yang dimaknai sebagai “segala upaya
membantu/memperlancar para penanm modal melalui
pedomaan,
a r a h a n ,
pembinaan
pemberian
persetujuan,
perijinan dan
f a s i l i t a s
penanaman
modal” (Pasal 1
ayat 5).
S e c a r a
umum, Perda ini
m e n g a t u r
p r o s e s
permohonan
p e r i j i n a n
penanaman
modal dalam
dua kategori
berdasarkan
asal modal:
•)
PMDN:
diajukan oleh
badan usaha
(PT, BUMN/D,
dll)
maupun
perorangan dalam negeri kepada Bupati melalui
BKPMD, dengan berpedomaan kepada daftar bidang
usaha, bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha
kecil dan bidan usaha yang terbuka untuk usaha
menengah atau besar dengan syarat kemitraan, dan
berbagai ketenetuan lain. Pesetujuan atas permohonan
tersebut dikeluarkan oleh Bupati melalui Kantor
BKPMD Kab. Tangerang dan diterbitkan selambatlambatnya 5 (lima) hari kerja sejak permohonan
diterima.
•) PMA: diajukan oleh WNA/badan hukum asing/
perusahaan asing, atau yang bersama dengan WNI/
badan hukum Indonesia kepada Bupati melalui Kantor
BKPMD dan dapat juga diajukan kepada Kantor
Perwakilan RI di luar negeri. Persetujuan selain
dikeluarkan oleh Bupati melalui BKPMD, dapat juga
oleh Kantor Perwakilan RI tersebut.
Adapan jenis-jenis lain permohonan ijin yang perlu
mengajukan ijin, batas waktu penerbitan persetujuan dan
berbagai ketentuan tambahan lain:
•) Permohonan perluasan penanam modal dan
diterbitkan selambat-lambatnya 10 hari
5
•) Permohonan perubahan penanaman modal (seperti
perubahan lokasi, perubahan bidang usaha/produksi,
perubahan investasi/sumber pembiayaan, perubahan
kepemilikan saham, perubahan status PMA menjadi
PMDN), kesemuanya disetujui maksimal dalam 14 hari.
•) Permohonan bagi kegiatan/bidang usaha tertentu
(seperti pertambangan bahan galian C dalam rangka
PMDN selambat-lambatnya 14 hari, pendirian kantor
perwakilan wilayah perusahaan asing selambat-lambat
5 hari, pendirian perusahan penyertaan modal
selambat-lambatnya 10 hari, dan penanaman modal di
kawasan khusus seperti kawasan berikat atau KAPET
tidak ditetapkan waktu maksimal pengurusannya).
•) Permohonan ijin pelaksanaan penanaman modal
(seperti pengimporan barang modal/bahan baku
selambat-lambatnya 10 hari, angka pengenal impor
selambat-lambatnya 5 hari, dan ijin kerja bagi tenaga
kerja WNA selambat-lambatnya 4 hari)
•) Permohonan ijin lokasi diurus dalam waktu 1-3 tahun
tergantung luas lahan yang diminta perijinan/
pembebasan tanah, IMB dan HO yang mengacu kepada
Perda terkait, ijin usaha tetap (IUT) selambatlambatnya 10 hari
•) Pengawasan, laporan aktivitas dan sanksi
(pengawasan atas realisasi kegiatan administrasi, fisik
dan produksi oleh Tim Pengawas yang dibentuk Bupati;
setiap perusahaan wajib menyampaikan laporan
aktivitasnya kepada Bupati; dan pemerintah daerah
mengenakan sanksi kepada perusahaan yang
melnaggar peraturan, menyalahgunakan fasilitas dan
tidam melaporkan kegiatan, dengan jenis sanksi seperti
penolakan perlayanan perijinan, penghentian
sementara kegiatan, pencabutan sebagian atau seluruh
fasilitas).
Dalam hal prosedur dan persyaratan, secara umum
proses pengajuan ijin ditujukan kepada Kepala Daerah
(Bupati) melalui Kantor BKPM. Demikian pula
persetujuan diberikan oleh pejabat yang sama. Setiap jenis
perijinan menunut syarat-syarat umum dan spesifik,
namun rata-rata bersifat standar/lazim dalam setiap
proses pengurusan perijinan usaha.
Ulasan
Sisi perkembangan lemah dalam otonomi yang berlaku
saat ini adalah kewenangan yang dimiliki pihak daerah
belum benar-benar dipakai untuk memper-pendek dan
memperjelas rantai pengurusan pelayanan publik,
termasuk perijinan usaha. Mungkin terdengar klise bahwa
orientasi yang kuat pada kebijakan pungutan justru masih
lebih mengemuka ketimbang pelayanan. Apalagi,
pungutan yang dirasa tidak proporsional (bermacammacam dan bernilai tinggi) justru tidak diikuti oleh
pelayanan birokrasi yang lebih berkaulitas.
Good and efecetive governance yang buruk semacam
itu berimplikasi kepada tingginya biaya berbisnis (cost of
doing business)—tidak hanya dalam artian uang, tetapi
juga waktu, kesempatan, enerji, dan sebagainya.
Lemahnya fondasi kelem-bagaan bagi pembangunan
semacam ini, baik karena mentahnya mental aparat
maupun lembeknya regulasi, pada gilirannya membuat
daya saing suatu unit ekonomi (daerah maupun negara)
menjadi sulit beringsut. Kalau demikian halnya, tentu ia
akan sulit terjaring dalam radar kaum investor sebagai
calon lokasi investasi baru.
6
Dari semangatnya, Perda No.4 Tahun 2004 ini
berkehendak hadir dengan pesan sebaliknya. Bahwa,
tugas pemerintah adalah memberi fasilitas, guna
memperlancar dan memperjelas proses perijinan usaha
di Kabupaten Tangerang. Pertama, seperti telah
disinggung, dengan bentuk kodifikasi semacam ini maka
para pelaku usaha memegang satu himpunan aturan,
tempat ke mana semua aturan teknis sektoral mestinya
mengacu. Meski sayang bahwa tidak ada klausul yang
menetapkan Perda ini sebagai semacam aturan pokok
inevstasi di Kabupaten Tangerang sehinga aturan sektoral
tidak bisa mengatur hal yang berlebihan atau di luar aturan
pokok ini.
Kedua, kejelasan prihal waktu, dengan adanya batasan
maksimal (selambat-lambatnya) bagi terbitnya keputusan
atas suatu permohonan ijin. Dengan ini, kepastian
pengurusan ijin lebih terjamin, opportunity cost menjadi
terkendali dan dapat diprediksi. Meski juga disertai
catatan bahwa Perda ini tidak mengatur kompensasi apa
yang akan didapat pengaju permohonan kalau waktu yang
ditetapkan ternyata tak ditepati atau sanksi apa yang mesti
ditanggung oleh aparat birokrasi seandaianya batas
tenggat itu terlampaui tanpa alasan yang jelas.
Ketiga, keringkasan prosedur, di mana Kantor BKPMD
menjadi transmisi utama pengurusan investasi sebelum
diajukan kepada Kepala Daerah. Menurut Perda ini, para
pemohon ijin menyampaikan permohonan yang dilengkapi
dengan persyaratan standar yang ditentukan kepada
BKPMD, kecuali untuk PMA yang juga bisa melalui Kantor
Perwakilan RI setempat, untuk selanjutnya diputuskan
status perijinanannya oleh Bupati. Meski tidak disebut
secara eksplisit, prosedur kerja semacam ini adalah mirip
dengan model yang diterapkan dalam sistem manajemen
pelayanan satu atap (SIMTAP).
Namun, terlepas dari beberapa hal positif di atas yang
sesungguhnya biasa saja namun justru belum menggejala
di banyak daerah, efektivitas implementasi Perda ini
mungkin tak seindah bunyi klausul yang ada. Terutama
adalah terkait faktor perubahan kebijakan di level nasional.
Introduksi awal terlihat dari dari kelahiran Keppres No.29
Tahun 2004 yang implisit menarik kembali sebagian
kewenangan persetujuan, perijinan dan pemberian
fasilitas penanman modal ke pusat, yang disatuatapkan
dalam Kantor BKPM (Pasal 3 dan 4). Soal permohonan
ijin PMA, Keppres ini menetapkan bahwa proses perijinan
melalui Kantor Perwakilan RI hanya untuk selambatlambatnya 30 hari setelah pengesahannya (ditetapkan
tanggal 12 April 2004), dan selanjutnya semua permohonan
diajukan melalui BKPM (pasal 8 dan 9).
Faktor lingkungan makro lain adalah hasil revisi UU
No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Meski
kewenangan mengurus administrasi penanaman modal
ada di tangan Pemda Kabupaten/Kota (terkecuali yang
lintas Kab/Kota ada di tangan Pemda Propinsi), namun
unsur-unsur di terkait lainnya seperti kewenangan
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
yang berada di tangan Pemda Propinsi, atau adanya
kewenangan pengawasan preventif atas Perda Pajak,
Retribusi, dan Tata Ruang, sedikit-banyak berpengaruh
dalam menafsirkan keberadaan Perda ini atau Perda lain
yang mengatur materi yang bersinggungan dengan
kewenangan propinsi atau pusat di atas. Sosialisasi dan
koordinasi aturan mudah-mudahan bisa menyelesaikan
potensi masalah tersebut.* (ndi)
Sofjan Wanandi : “Kebijakan
pengelolaan sektoral sebaiknya
ada pada satu tangan.”
etelah hampir empat tahun
otonomi daerah berjalan
dengan didasari oleh UU No.22
Tahun
1999,
tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No.25
Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pemerintah Pusat dan
Daerah, pada tanggal 28 September
2005 yang lalu DPR telah selesai
melakukan revisi kedua UU tersebut.
Dengan demikian mulai Januari 2005
pelaksanaan Otonomi Daerah akan
berjalan berdasarkan UU yang baru
yakni UU No.31 dan 32 tahun 2004.
Hasil
revisi
UU
tersebut
menghasilkan sejumlah perubahan
yang
cukup
berarti
bagi
penyelenggaraan otonomi daerah ke
depan. Sejumlah tanggapan dan
harapan terhadap revisi UU Otonomi
daerah ini diberikan oleh sejumlah
kalangan, dan tidak ketinggalan para
pelaku usaha juga turut memberikan
tanggapannya. Sofjan Wanandi, Ketua
Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia
berharap agar dengan UU yang baru
nantinya pelaksanaan otonomi
daerah akan dapat berjalan lebih baik
lagi dari sebelumnya agar iklim usaha
dan perekonomian Indonesia menjadi
lebih baik. Berikut ini tanggapannya
terhadap beberapa poin perubahan
UU Otonomi Daerah.
Kewenangan Perizinan Usaha
Sebagai pelaku usaha Sofjan
Wanandi menaruh perhatian yang
cukup besar terhadap perubahan
pasal-pasal yang terkait dengan dunia
usaha, diantaranya yang berkaintan
dengan kewenangan perizinan usaha.
Menurut UU Otonomi Daerah yang
baru kewenangan pemberian
perizinan pelayanan umum dilakukan
bersama antara pemerintah pusat,
permerintah
propinsi,
dan
kabupaten/kota. Menurut Sofjan
Wanandi yang paling penting bahwa
perubahan ini tidak justru menambah
beban lagi kepada dunia usaha, tidak
menambah birokrasi baru lagi yang
Pengelolaan Sumber Daya Alam - Dalam UU No.22/1999, pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam terdapat pembagian kewenangan. Sementara dalam
undang-undang yang baru disebutkan khusus untuk pengelolaan sumber daya alam,
kewenangan daerah diatur dalam peraturan perundang-undangan yakni UU sektoral.
memperlambat keluarnya berbagai
izin usaha. “Dulu yang kita hadapi
adalah banyak keluarnya perda-perda
termasuk perizinan yang membebani
dengan biaya-biaya. Nah sekarang
adanya kontrol dari pemerintah pusat
dan propinsi semua hal yang tadinya
membebani
tersebut
dapat
dihilangkan. Tapi jangan sampai
dalam pelaksanaan nantinya justru
menghambat dengan menambah
perizinan atau menambah birokrasi
baru.” Sofjan juga menekankan agar
dalam perubahan undang-undang ini
nantinya harus ada juklak yang jelas
bagaimana
pelaksanaannya,
sehingga rules of the game-nya dapat
cepat dan biayanya berkurang.
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Terkait dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam,
dimana dalam UU No.22 terdapat
pembagian kewenangan sampai
sejauh mana yang menjadi
kewenangan kabupaten, propinsi dan
kewenangan
pusat,
telah
memunculkan isu terjadinya tarik
menarik antara departemen sektoral
dengan daerah, serta adanya
peraturan sektoral yang tidak sinkron
dengan UU Otonomi daerah.
Sementara dalam undang-undang
yang baru disebutkan khusus untuk
pengelolaan sumber daya alam,
kewenangan daerah diatur dalam
peraturan perundang-undangan
yakni UU sektoral. Menurut Sofjan
Wanandi hal tersebut menjadi lebih
baik dan lebih jelas kebijakannya.
“Lebih baik karena di masa lalu
banyak sekali terjadi konflik dalam
pengeluaran perizinan dalam
pengelolaan sumber daya alam,
seperti pada sektor kehutanan,
pertambangan dan sebagainya.”
Untuk itu menuruf Sofjan memang
sebaiknya yang terkait dengan
(Bersambung ke hal. 18)
7
8
HARAPAN PELUANG INVESTASI PASCA
REVISI UU NO. 22 DAN 25 TAHUN 1999
Iman Rozani
eberapa
waktu
lalu keprihatinan terhadapnya tampaknya berupa dana perimbangan.
rancangan isi revisi Undang- belum hilang juga. Betapa tidak,
Data
publikaksi
resmi
undang Nomor 22 tahun 1999, menurut perhitungan Bank Dunia Departemen Keuangan, yang
Tentang Pemerintah Daerah, (2003), angka pengangguran masih terangkum dalam Nota Keuangan
dan Undang-undang Nomor 25 Tahun sekitar 9,1%, masih duakali lebih dan RAPBN Tahun Anggaran 2005,
1999,
Tentang
Perimbangan besar daripada angka sebelum krisis. menunjukkan bahwa total rupiah
Keuangan Antara Pemerintah Pusat Jumlah penduduk yang berada di kewajiban
pemerintah
untuk
dengan Daerah, telah mendapat bawah garis kemiskinan pun masih membayar cicilan dan bunga hutang
persetujuan DPR. Dengan demikian, lebih besar daripada sebelum krisis, (dalam negeri dan luar negeri) di
kedua isi revisi UU ini
tahun 2004 kini tidak
tinggal ditandatangani
kurang dari 65 triliun ruoleh Presiden, dan
piah, artinya sekitar 19%
untuk
selanjutnya
dari penerimaan dalam
secara
efektif
negeri. Ini pun setelah
diberlakukan. Kendati,
pemerintah Indonesia
sudah tentu, isi revisi
memperoleh “bonus”
kedua UU ini tidak akan
dari Negara donor,
memuaskan semua
ber upa penjadwalan
pihak,
namun
kembali hutang-hutang
normatifnya, baik pihak
yang jatuh tempo. Bila
yang setuju maupun
tidak, tentu angka
yang keberatan, mesti
pembayaran cicilan dan
sama
mendukung
bunga
hutang
itu
pemberlakuan
UU
menjadi lebih besar lagi,
revisi itu. Betapapun,
barang kali sekitar 25%.
mestilah diingat, bahwa
Dibarengi
dengan
upaya untuk merevisi
kemestian membayar
UU itu tidak tanpa
gaji PNS sebesar Rp 56,7
p e n g o r b a n a n Mengurangi pengangguran - Masuknya investasi setelah revisi UU triliun, belanja barang
m a s y a r a k a t . No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 diharapkan mampu sebesar Rp 17 triliun,
Setidaknya, rakyat menekan angka kemiskinan dan pengangguran.
subsidi BBM dan nontelah membayar pajak
BBM Rp 26 triliun,
yang cukup banyak untuk membiayai yaitu sekitar 18% dari total penduduk, sebesar dan dana perimbangan
semua pihak yang terlibat langsung di tahun 2003, atau sekitar 38 juta or- sebesar Rp 119 triliun, maka total
dalam perumusan dan pembahasan ang dibandingkan dengan hanya 34 belanja kesemua jenis pengeluaran
revisi UU itu. Lagi pula, jiwa juta orang di tahun 1996. Sementara itu menjadi sekitar 76% dari total
demokratik justru benar-benar di pihak lain, dana anggaran penerimaan dalam negeri. Dengan
mengejewantah dalam kehidupan pemerintah (utamanya Pemerintah demikian hanya tinggal 29% saja yang
manakala kita, sebagai pihak yang Pusat), yang dapat diandalkan untuk dapat dialokasikan untuk investasi
tidak setuju lantas bersedia dengan menekan turun angka pengangguran atau pembangunan. Guna menekan
rela hati melaksanakan keputusan- dan kemiskinan ini tersisa tinggal angka kemiskinan dan pengangguran
keputusan bersama dan institusional, sedikit. Sebagian besar dana APBN di atas.
yang sesungguhnya keputusan itu telah terserap untuk pembayaran
Kondisi APBN Pemerintah Indokurang sejalan dengan pertimbangan cicilan dan bunga hutang, baik itu nesia di saat ini ibarat “kantung air
kita.
hutang luar negeri maupun dalam seorang pengelana di gurun pasir”.
Mencermati kehidupan ekonomi negeri, pembayaran gaji pegawai, Stok air yang tersisa di kantung tidak
bangsa Indonesia saat ini, utamanya subsidi, belanja barang rutin dan cukup untuk meniadakan dahaga
setelah tragedi krisis moneter 1997, transfer ke Pemerintah daerah, dalam perjalanan. Kantung itu di
9
samping relatif kecil juga “bocor”, Pemerintah Daerah terhadap aneka setelah keluarnya UU No. 22 dan 25
sehingga air yang tersisa untuk usaha swasta banyak bermunculan. Tahun 1999.
melepas dahaga amat tidak cukup.
Kemunculannya merupakan cermin
Berita hengkangnya perusahaanSebenarnya, jika saja keterbatasan dari bias melihat kewenangan itu. perusahaan asing ke negeri lain
APBN tadi dapat disubstitusi oleh Pungutan-pungutan
ini
jelas seperti: China, Vietnam, Kamboja,
peningkatan investasi swasta niscaya memberatkan dunia usaha, dan pada Hongkong, Thailand dan sebagainya
kehidupan ekonomi bangsa tidak gilirannya menurunkan minat sudah bukan hal yang aneh di masa
seburam
seperti
sekarang. berusaha. Demo buiruh merupakan paska krisis moneter sampai
Sayangnya, peran positif investasi cerminan lain dari masyarakat sekarang. Pemandangan kian
swasta untuk mensubstitusi investasi pekerja yang bias dalam melihat menjamurnya pasar loakan (second
melalui dana APBN
hand) di kota-kota besar
tersebut tidak terjadi..
menjadi demikian umum,
Total nilai investasi
buah dari relatif tingginya
swasta domestk yang
pengangguran
dan
telah
mendapat
kemiskinan tadi.
persetujuan
BKPM
Isi revisi Undang(jangan ditanya tentang
undang Nomor 22 dan 25
realisasinya) hanya
Tahun
1999
mudahsekitar Rp 17 triliun di
mudahan akan dan dapat
tahun 2003, hanya 0,8%
menghentikan bias-bias
saja dari nilai investasi
pandangan di atas; dan
yang disetujui pada
pada gilirannya, iklim
tahun 1997. Begitupun
usaha yang cerah dan
untuk investasi swasta
sehat
hadir
dalam
asing, nilainya tidak
kehidupan
ekonomi
lebih dari 27% dari nilai
bangsa Indonesia. Isi revisi
yang disetujui pada
kedua undang-undang ini,
tahun 1997. Akibatnya,
sebagaimana dengan jelas
teramat kecil pula angka
dituangkan dalam pasal
pengangguran
dan
176 Revisi UU No. 22
Pasar Loak dan Kaki Lima - Pemandangan kian menjamurnya
kemiskinan yang dapat
Tahun
1999,
pasar loakan dan kaki lima di kota-kota besar menjadi demikian
ditekan.
mengamanatkan kepada
umum, hal itu adalah buah dari relatif tingginya pengangguran
Di samping suasana
Pemerintah Daerah untuk
dan kemiskinan.
politik yang masih
memberikan insentif dan/
belum menentu dan sektor kebebasan
berpendapat
dan atau kemudahan kepada masyarakat
perbankan domesrtik yang belum bertindak. Hampir setiap minggu dan/atau investor untuk berusaha.
penuh
menjalankan
fungsi suguhan berita demo buruh tersaji di Artinya, Pemerintah Daerah,
intermerdiasinya,
sejumlah acara televisi. Ini pun tidak dapat menurut UU ini, jangan lagi menjadi
kebijakan ekonomi Pemerintah tidak amat mengganggu kontinuitas penghambat laju investasi dan usaha
Daerah telah turut menyumbang usaha.
di Indonesia, dan terutama di
relatif kecilnya angka investasi
Majalah ini (KPPOD), terbitan ke daerahnya. Pemerintah Daerah
swasta tadi. Euforia otonomi daerah 2 Tahun 2003, menyajikan berita diharapkan dapat menjadi “partner”
dan desentralisasi, yang sebagiannya tentang kebijakan perizinan dan yang baik bagi Pemerintah Pusat.
dibawa oleh UU No. 22 dan 25 Tahun pungutan dari Pemerintah Daerah Jika pada saat kini Pemerintah Pusat
1999, telah membawa pemahaman yang disinsentif. Harian Tempo, sedang dirundung masalah, maka
keliru pada sebagian besar praktisi tertanggal 16 April tahun lalu (2003), Pemerintah Daerah harus menjadi
pemerintahan daerah terhadap peran memuat keterangan tentang 173 pihak yang berupaya mengurangi
dan posisinya. Para praktisi peraturan daerah yang mendapat beban masalah itu. Masalah kronik
pemerintahan di daerah terlalu teguran dari Mendagri karena pada APBN mesti diupayakan
melihat
soal
“kewenangan” berbagai alas an, utamanya adalah tertutup oleh kiprah Pemerintah
ketimbang tanggungjawab dalam karena bertentangan dengan jiwa Daerah yang baik.
penyelenggaraan pemerintahan. Di pasal 2 ayat 4 UU No.34 Tahun 2000
Lebih jauh dari yang disebutkan di
pihak lain, masyarakat daerah terlalu Tentang Pajak Daerah dan Retribusi atas, revisi kedua undang-undang ini
melihat soal “kebebasan” dalam Daerah. Harian Kompas di tahun juga melarang Pemerintah Daerah
berpendapat
dan
bertindak yang sama memberitakan pula bahwa melahirkan pungutan-pungutan
ketimbang tanggungjawabnya untuk otonomi daerah telah membuat selain yang secara ekplisit dinyatakan
ikutserta aktif memelihara ketertiban pusing pengusaha dan calon investor. undang-undang. Melalui revisi UU ini
hidup dan hukum.
Pungutan Iklim usaha menjadi lebih memburuk tiada lagi kesempatan bersyarat,
10
seperti pada UU No.34 Tahun 2000, penyelenggaraan pemerintahan, Tiada pertumbuhan investasi dan
bagi Pemerintah daerah untuk menekankan aspek kepastian hukum usaha tidak pernah pula daya saing
melahirkan pungutan-pungutan di di samping aspek-aspek lain yang menjadi handal. Mengapa?, Karena,
luar yang jelas-jelas dinyatakan UU, telah tertuang dalam undang-undang seiring dengan pertumbuhan
kendati dengan dalih untuk sebelumnya (sebelum revisi). investasi dan usaha itu invensi dan
meningkatkan PAD. Pungutan- Penekanan terhadap kewajiban, inovasi kerap terjadi. Investasi di
pungutan yang secara
bidang sumberdaya manusia
eksplisit dinyatakan dalam
membuat sumberdaya manusia
UU revisi dinilai telah
menjadi lebih adaptif, lebih
cukup bagi daerah untuk
mampu dan lebih terbuka
mendukung PAD-nya. Bila
terhadap teknologi bar u.
PAD ini kemudian lebih
Investasi di bidang infrastruktur
kecil daripada kebutuhan
menyebabkan berbagai kegiatan
belanjanya, dalam rangka
produksi menjadi lebih mungkin;
untuk melaksanakan tugas
dan investasi di bidang barang
desentralisasi,
maka
modal menyebabkan segenap
kekurangannya
akan
faktor produksi, di luar modal itu,
ditutup
oleh
dana
menjadi lebih produktif. Oleh
perimbangan.
sebab itu, untuk meningkatkan
UU revisi ini juga
daya saing daerah itu maka
menekankan
tugas
peluang-peluang investasi dan
pembantuan
bagi
usaha
di
daerah
tidak
Pemerintah Daerah di
selayaknya ditutup, melainkan
samping
tugas
mesti kian dibuka lebar. Aneka
Hasilguna dan dayaguna - Hasilguna dan dayaguna
desentralisasi. Penekanan penyelenggaraan pemerintahan pada akhirnya terukur lewat pungutan yang tidak rasional,
atas tugas pembantuan ini, kesejahteraan masyarakat yang kian tinggi.
yang
menghambat
dalam UU revisi, memberi
perkembangan investasi dan
warna yang benar-benar berbeda dari sekali lagi, berkehendak meniadakan usaha di daerah, mesti segera
UU sebelumnya. Dengan penekanan bias pandangan para praktisi dipapas. Birokrasi perizinan mesti
ini maka berarti Pemerintah Daerah pemerintahan daerah kepada diupayakan sependek mungkin.
tidak
lagi
boleh
hanya semangat pemberian otonomi dan
Hasilguna
dan
dayaguna
memperhatikan urusan tangganya desentraliasi daerah. Pemberian penyelenggaraan pemerintahan,
sendiri tanpa peduli pada tugas yang otonomi dan desentralisasi daerah pada hakekatnya, terindikasi pada
disandang Pemerintah Pusat. bukan bertujuan memberdayakan pertumbuhan yang cepat dari
Pemerintah
Daerah,
seperti para penguasa daerah, melainkan investasi dan usaha ekonomi
dikatakan di atas, mesti menjadi memberdayakan masyarakat daerah. masyarakat itu. Hasilguna dan
“partner” yang baik bagi Pemerintah Dengan demikian, segala potensi dayaguna
penyelenggaraan
Pusat. Sebagai sebuah sub-sistem yang ada pada masyarakat daerah, pemerintahan pada akhirnya terukur
dalam sistem pemerintahan nasional termasuk potensi usaha ekonomi lewat kesejahteraan masyarakat
Republik Indonesia adalah memang masyarakat, mesti diupayakan yang kian tinggi.
selayaknya Pemerintah Daerah berkembang maksimal lewat otonomi
Kepastian hukum tak pelak lagi
bertindak demikian, yaitu menjadi dan desentralisasi ini. Kesejahteraan amat diperlukan bagi pertumbuhan
“partner” yang baik bagi Pemerintah masyarakat Indonesia lah, baik yang investasi dan usaha. PeraturanPusat. Bila diibaratkan, Pemerintah ada di kotamaupun desa, yang peraturan Daerah yang kerap
Republik Indonesia ini adalah sebuah menjadi muara akhir pemberian berubah membuat hasil kegiatan
kendaraan bermotor maka tentulah otonomi dan desentralisasi itu, bukan usaha dan investasi sukar dipresiksi.
seluruh Pemerintah Daerah di Indo- kesejahteraan segelintir orang, Resiko usaha dan investasi niscaya
nesia merupakan komponennya. terutama yang berada dijaring-jaring akan besar akibat dari ketidakpastian
Setiap komponen yang tidak pemerintahan.
hukum ini. Oleh sebab itu, ketentuan
terpasang tepat akan senantiasa
Peningkatan daya saing (ekonomi) tentang kemestian adanya kepastian
mengganggu jalannya kendaraan daerah tak pelak berkorelasi erat hukum dalam kehidupan di daerah,
bermotor tersebut.
dengan pertumbuhan investasi dan seperti yang dinyatakan oleh UU
Akhirnya, kedua UU revisi ini usaha. Telah banyak studi, baik di revisi, amat positif bagi cerahnya
menekankan perihal kewajiban di tingkat internasional maupun re- iklim usaha dan investasi.
samping hak dan kewenangan gional dan lokal, membuktikan di
daerah. Menekankan pula aspek daya mana pertumbuhan investasi dan * Staf Ahli Bidang Kemahasiswaan Program
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
saing daerah, menekankan hasilguna usaha menjadi salah satu faktor Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
dan
dayaguna
dalam penting bagi kekuatan bersaing. (MPKP-FEUI)
11
Seminar Tinjauan Ekonomi LPEM-FEUI:
Tiga Tahun Otonomi Daerah
iga tahun pelaksanaan UU No
22/1999 Tentang Pemerintah
Daerah dan UU No 25/1999
Tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah ternyata belum
berjalan dengan mulus karena masih
menyimpan segenggam permasalahan yang belum terselesaikan.
Dengan latar belakang kondisi seperti
inilah maka LPEM FEUI sebagai
institusi penelitian yang banyak
terlibat dalam kajian otonomi daerah
menyimpulkan beberapa pokok
diskusi sebagai bahan masukan
untuk kebijakan.
Pertama, masih belum satunya
penafsiran terhadap tugas dan wewenang berbagai level pemerintahan,
mulai dari pusat, provinsi hingga
kabupaten, menyebabkan terjadinya
simpang siur dan tumpang tindih
dalam berbagai pelaksanaan yang
langsung dan tidak langsung dengan
kewenangan masing-masing level,
khususnya yang menyangkut kewenangan dalam pungutan pajak dan
retribusi terasa ketika daerah
berupaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) melalui
berbagai peraturan daerah (Perda).
Namun berbagai Perda tersebut
akhirnya menimbulkan distorsi
dalam perekonomian.
Kedua, terjadi inkonsistensi
antara upaya untuk meningkatkan
pendapatan daerah melalui investasi
dengan kenyataan bahwa peraturan
daerah banyak yang menghambat
investasi akibat dari cost of doing
business yang tinggi. Ketiga, alokasi
dana perimbangan khususnya dana
alokasi umum (DAU) seringkali
dianggap sebagai block grant sebagai
dana untuk membayar gaji bukan
sebagai alokasi umum. Dalam
prakteknya dana perimbangan masih
menganut prinsip “hold harmless”
(tidak akan ada daerah yang
menerima DAU kurang dari alokasi
12
tahun sebelumnya). Dengan kata lain,
DAU belum sepenuhnya dibagi
dengan formula. Namun dalam
kenyataannya DAU belum sepenuhnya mencerminkan unsur pemerataan kemampuan fiskal mengingat
sumber penerimaannya masih
dominan, antara 60-80% APBD.
Keempat, persoalan pelayanan
dan pembiayaan publik daerah.
Sesuai dengan amanat UU tentang
Otonomi Daerah, Pusat menyerahkan
kepada Daerah 11 urusan wajib
(obligatory functions) termasuk
urusan pelayanan dasar (basic services). Namun pedoman pelaksanaan
urusan pelayanan publik dasar baik
UU No.22/1999 maupun PP 25/2000
belum lengkap, karena belum
dilengkapi
dengan
petunjuk
mengenai standar pelayanan minimum (SPM), serta masih belum
jelasnya lingkup kegiatan dari
pemerintah kabupaten/kota dalam
melaksanakan suatu urusan.
Dari berbagai permasalahan yang
dikupas dan kesimpulan yang dihasilkan seminar tiga tahun otonomi
daerah ini, LPEM-FEUI menyodorkan beberapa alternatif kebijakan:
Pertama, perlu ada imbalan bagi
daerah yang menerapkan good governance dalam bentuk pengakuan atau
kemudahan-kemudahan bagi daerah
yang memang mempunyai kinerja
yang baik. Di samping itu perlu
harmonisasi antara pemerintah pusat
dan daerah terutama dalam pembangunan infrastruktur.
Kedua, dengan pertimbangan
kondisi riil daerah di mana pada
umumnya daerah menghadapi kendala keterbatasan sumber penerimaan di luar transfer pemerintah
pusat maka sudah selayaknya PBB
diserahkan kepada daerah. Hal ini
dimaksudkan juga untuk memperkecil ketimpangan pendapatan
daerah.
Ketiga, perlu penerapan “surcharge” atau opsen dalam PPh
perseorangan, dan tidak ada bagi
hasil pajak baru kecuali digunakan
cara opsen.
Keempat, BagiHasil Sumber Daya
Alam (BHSDA) hendaknya dialokasikan berdasarkan yang dianggarkan
(bukan realisasi), serta pengembangan konsep “heritage fund” atau
“endowment fund”.
Kelima, perimbangan keuangan
pusat-daerah dengan memberikan
tambahan dana kepada daerah
sebaiknya
dilakukan
melalui
penambahan DAK, perbaikan tujuan
pemerataan DAU, pengurangan
peran bagi hasil pajak, peningkatan
kemampuan pajak daerah. DAK
ditambah melalui pengalihan DIP,
tidak ada lagi “hold harmless” dalam
alokasi DAU.
Keeenam, untuk pelayanan sektor
dasar, daerah dengan keuangan
terbatas, Pemerintah Pusat diharapkan membantu daerah bersangkutan dengan dana alokasi khusus
(DAK). Melalui instrumen desentralisasi fiskal direkomedasikan agar
APBD dapat diarahkan untuk
pelayanan dasar, misalnya dengan
merevisi formula alokasi DAU untuk
memberi prioritas terhadap sektor
kesehatan, pendidikan dan infrastr uktur, termasuk mengurangi
tingkat kemiskinan.
Ketujuh, daerah diberi kesempatan melakukan perbedaan tarif
untuk beberapa jenis pelayanan
dasar, seperti kesehatan. Cara ini
merupakan “cross subsidy” bagi
pelayanan lain untuk menjaga kesinambungan pelayanan dasar. Termasuk melakukan kerjasama dengan
pihak swasta. KMK 35/2002 perlu
ditinjau ulang dengan memperbolehkan pemda melakukan pinjaman terbatas untuk peningkatan
pelayanan dasar.
Ketua APPSI, Soetiyoso :
“Menerima Hasil Revisi Otda
dengan Sejumlah Catatan”
encana penyempurnaan (revisi) UU No.22/99 tidak terlalu mengherankan. UU No.22/99 dinilai telah
mulai terdengar akhir tahun 2000, mendahului banyak memotong kewenangan pemerintah propinsi
waktu pemberlakuannya di bulan Januari 2001. (Gubernur), sementara hubungan daerah kabupaten/kota
Tak pelak, muncul sikap pro-kontra dalam kelompok dengan propinsi seakan terputus.
masyarakat maupun intitusi negara dalam menanggapi
“APPSI sejak tahun 2001 memang sangat proaktif
perlu-tidaknya revisi tersebut, atau sekurangnya ihwal memperjuangkan revisi UU No.22 Tahun 1999,”demikian
saat yang tepat untuk
p e n g a k u a n
melakukan
revisi.
Soetiyoso, Ketua
Seiring
perjalanan
APPSI,
dalam
waktu, wacana ini
suatu kesempatan
timbul-tenggelam—
w a w a n c a r a
muncul, lalu hilang,
dengan KPPOD
kemudian
muncul
News. “Sikap itu
secara kuat, dan
s e b a g a i
akhirnya benar-benar
tindaklanjut dari
dikerjakan.
hasil Rapat Kerja
Tahapan kongkrit
APPSI di mana
dan lebih seriusnya
salah
satu
adalah ketika DPR
rekomendasi
melalui
Rapat
pokoknya adalah
Paripurna tanggal 10/
tuntutan revisi”,
11/2003 menyetujui draf
tegas Gubernur
susunan
Badan
DKI Jakarta ini.
Legislasi
Nasional
Rekomendasi
(Balegnas-DPR)
t e r s e b u t
Pembagian Kewenangan - Pembagian kewenangan dalam hasil revisi
sebagai RUU usul
diserahkan
ini sudah lebih jelas ketimbang UU No.22/99 sebelumnya. Kedudukan
inisiatif Dewan. Lalu
kepada Presiden,
Gubernur selaku wakil pusat di daerah, sehingga ke depan diharapkan
diikuti pembentukan peran supervisi dapat dijalankan. Untuk itu, perlu bagi pusat untuk segera Mendagri
dan
Panitia
Khusus menerbitkan aturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
sejumlah Menteri
(Pansus)
untuk
teknis lainnya.
membahasnya. Pemerintah (Depdagri) pun harus
Menyangkut proses pelibatan (partisipasi) yang
memicu kecepatan, setidaknya untuk menyeimbangi banyak dikeluhkan kelompok masyarakat dan pemerintah
posisi maju pihak DPR.
daerah atas pembahasan revisi ini, Soetiyoso merasa
Sejak awal tahun berikutnya (2004), pembahasan RUU telah cukup dilibatkan. “Puncak partispasi kami adalah
Per ubahan UU No.22/99 dan diikuti UU No.25/99 dengan melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum
berlangsung intens, yang hasil akhirnya disetujui (RDPU) dengan Pansus DPR RI pada bulan Juni 2004.”
bersama antara pemerintah dan DPR dalam Rapat Bahkan, menurut dia, tidak sebatas partispasi, tetapi juga
Pripurna tanggal 29 September lalu, dan tanggal 19 terakomodasinya sebagian besar tuntutan mereka
Oktober ditetapkan pengesahannya oleh Presiden sebagaimana yang terlihat dalam hasil revisinya saat ini.
Megawati sebagai UU No.32/2004 (Pemda) dan UU No.33/ “Terutama adalah yang berhubungan dengan revisi
2004 (Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah).
klausul-klausul yang selama ini dianggap tidak memiliki
hubungan hirarkis dengan pemerintah propinsi,”kata
Apa Tanggapan APPSI ?
pensiunan tentara ini.
Berbeda dengan asosiasi-asosiasi pemerintahan
Selain tuntutan itu, sejumlah poin lain adalah
daerah lainnya (APKASI/ Pemerintah Kabupaten, “menyangkut kejelasan kewenangan propinsi, kejelasan
APEKSI/Pemerintah Kota, ADKASI/DPRD Kabupaten, kedudukan Gubernur sebagai wakil pusat di daerah, dan
dan ADEKSI/DPRD Kota), APPSI (Asosiasi Pemerintah pemberian bagi hasil pajak pusat yang gemuk kepada
Propinsi Seluruh Indonesia) termasuk kelompok yang daerah, seperti PPN, PPH badan, serta menjadikan PBB
pro perubahan (revisi) atas UU No.22/99. Hal ini mungkin sebagai pajak daerah”. Namun “memang tidak semua
13
tuntuttan tersebut ditampung dalam hasil revisi. lokal,” demikian Soetiyoso memberi penilaian. Dengan
Misalnya, soal pemberian pajak pusat seperti PPN atau pembaruan sistem elektoral di level daerah itu, “rakyat
pengalihan PBB menjadi pajak daerah,”demikian bisa semakin berdaulat dan merdeka dalam menentukan
Soetiyoso.
siapa yang tepat dan layak menjadi pemimpinnya”. Inilah
Terpenuhinya sebagian tuntututan lain sudah dirasa esensi demokrasi, yakni kebebasan rakyat untuk memilih,
cukup lumayan. “Pembagian kewenangan dalam hasil mempengaruhi agenda para pemimpin dan pada
revisi ini sudah lebih jelas ketimbang UU No.22/99 gilirannya bisa mengontrol pelaksanaannya.
sebelumnya.” Demikian pula ihwal “kedudukan Gubernur
Poin lain dari pemilihan langsung ini adalah
selaku wakil pusat di daerah, sehingga ke depan implikasinya bagi penguatan posisi Kepala Daerah di
diharapkan peran supervisinya jalan. Masalah dalam depan DPRD. “Kepala daerah tidak lagi mudah
penyelenggaran pemerintahan di daerah mungkin bisa dijatuhkan. DPRD tidak bisa menggunakan
diselesaikan. Untuk itu, perlu bagi pusat untuk segera pertanggungjawaban kami sebagai sarana untuk
menerbitkan aturan
m e n j a t u h k a n” .
lebih lanjutr seperti PP”.
Meski demikian,
Namun, pada sisi
ia tetap melihat
lain, pemilik acara “Bang
pentingnya
Yos Show” di Lativi ini
membangun
menyayangkan
h u b u n g a n
masuknya
klausul
proporsional
pengawasan preventif
dengan DPRD.
atas sejumlah Perda
“Kepala Daerah
tertentu dalam UU No.32
t e t a p
Tahun 2004 ini. “APPSI
berkewajiban
menolak pemberlakuan
m e m b e r i
klausul bahwa Perda
keterangan
tentang APBD, Pajak
pertanggungjawaban
Daerah,
Retribusi
kepada DPRD.”
Daerah, dan tata ruang
Dalam sejumlah
harus dievaluasi dulu
hal,
“seperti
oleh Mendagri dan
pembuatan APBD
Gubernur. Mestinya
atau
Perda,
cukup
diberikan
kedudukan DPRD
pedomaan
yang Pilkada langsung - Salah satu esensi otonomi, sekaligus sebagai wahana tetap
kuat.
gampang diikuti dan pendidikan politik lokal adalah Pilkada Langsung. Dengan itu, rakyat bisa Semuanya
itu
evaluasi diserahkan semakin berdaulat dan merdeka dalam menentukan siapa yang tepat dan tentu
har us
kepada
DPRD.” layak menjadi pemimpinnya.
dijalankan secara
Sebaliknya menurut
lebih profesional”.
Soetiyoso, “pengawasan preventif semacam itu hanya
Sebagai Gubernur Jakarta, bagaimana penilaian
tepat dilakukan untuk tugas-tugas pembantuan, di mana Soetiyoso atas kesiapan warga ibukota untuk
kewenangan tersebut masih merupakan tanggung jawab mensukseskan sisitem pemilihan baru tersebut ? “Sistem
Pemerintah Pusat”.
pemilihan secara langsung ini tidak sama sekali baru
Kemunculan klausul pengawasan preventif ini dalam sisitem politik kita. Hal ini sudah kita lakukan
memang tergolong baru, setidaknya jika dibandingkan dalam pemilihan Kepala daerah”, demikian ia memberi
dengan UU No.22/99 yang hanya mengenal jenis penilaian umum.
pengawasan represif. Bahkan semasa Orde Baru, yang
Sementara untuk Jakarta, “warga Jakarta tentu
eksplisit disebut adalah pengawasan preventif, dengan sangat siap, bahkan menanti-nantikan pelaksanaan
tenggang waktu evaluasi Perda yang lebih panjang (6 pemilihan Gubernur secara langsung. Dengan demikian,
bulan) bagi pemerintah.
aspirasi orisinil mereka tidak diselewengkan oleh
lembaga lainnya”. Ya, Bang Yos menyadari bahwa
Pembaruan Pilkada
pemilihan (Gubernur, Bupati, dan Walikota) tidak
Terlepas dari sejumlah celah lemahnya, UU No.32/ langsung selama ini rawan diselewengkan oleh lembaga
2004 juga membawa banyak langkah maju dalam lain, yakni lembaga pemilihnya (DPRD). Apa yang
penataan otonomi ke depan. Satu yang amat penting menjadi aspirasi otentik masyarakat terkadang tidak
adalah pembaruan sistem pemilihan Kepala Daerah, dari tersambungkan secara konsisten dalam garis
dipilih oleh DPRD menjadi dipilih langsung oleh rakyat perpolitikan partai atau pilihan para wakil rakyat. Mudahsendiri. Publik sering menyebutnya sebagai Pilkada mudahan kita bisa menaruh harapan yang lebih baik atas
langsung.
kehadiran sistem baru ini.* (ndi)
“Pilkada langsung ini adalah salah satu esensi
otonomi, sekaligus sebagai wahana pendidikan politik
14
Revitalisasi Industri dan Investasi
Sumbangan Pemikiran Kadin-Indonesia
Kadin-Indonesia pada tanggal 27 Oktober 2004 diterima Presiden Republik Indonesia yang didampingi beberapa
Menteri di bidang perekonomian, menyerahkan sumbangan pemikirannya untuk perbaikan perekonomian Indonesia melalui sebuah dokumen berjudul “Revitalisasi Industri dan Investasi”. Dokumen tersebut merupakan bagian
pertama yang berisi rekomendasi perbaikan ekonomi dengan fokus pada permasalahan dunia usaha lintas sektoral
(salah satu diantaranya mengenai otonomi daerah); bagian kedua yang merupakan permasalahan masing masing
sektor usaha akan diserahkan pada saatnya, demikian keterangan Kadin-Indonesia. Berikut adalah cuplikan
sebagian dari ringkasan eksekutif dokumen tersebut yang originalnya berjumlah 47 halaman.
Pengantar
Bersama pemerintah, dunia usaha ingin memanfaatkan
momentum keberhasilan Pemilu yang lalu dengan
membangun optimisme kebangkitan perekonomian kita
melalui pengajuan sejumlah rekomendasi yang
dituangkan dalam dokumen “Revitalisasi Industri dan
Investasi”. Sebuah dokumen hasil kerja Kadin-Indonesia
bersama lebih dari 30 asosiasi industri dan perdagangan
termasuk kamar dagang asing di Jakarta, sejak bulan April
yang lalu; yang dalam pembahasannya juga melibatkan
para akademisi dan ekonom.
Untuk revitalisasi perekonomian Indonesia, ada sejumlah
pra-kondisi yang dibutuhkan sebelum menjalankan program program yang direkomendasikan. Kadin
mengharapkan agar pemerintah baru segera memberikan
sinyal yang jelas mengenai komitmennya di dalam
mengatasi lima prasyarat makro penting yang melandasi
terciptanya iklim usaha yang positif, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
Komitmen untuk kebijakan prudensial untuk terus
memperbaiki stabilitas makro ekonomi, seperti
nilai tukar yang stabil, tingkat inflasi dan suku
bunga yang semakin membaik.
Komitmen untuk terus meningkatkan keamanan
dan menjaga stabilitas politik.
Upaya yang sungguh-sungguh untuk menciptakan
etos kerja yang positif, disiplin nasional, sikap
memberikan pelayanan, dan kepedulian untuk
meningkatkan kinerja.
Upaya yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki
tingkat kepercayaan (trust) dan semangat
kebersamaan, antara pemerintah, sektor usaha
dan masyarakat, sebagai modal sosial (social capital) yang diperlukan untuk menciptakan
masyarakat yang effisien dan produktif.
Komitmen untuk tata pemerintahan yang bersih,
transparan, dan efektif (good public governance).
Dari hasil diskusi Kadin, ditentukan prioritas 5 bidang
lintas sektoral yang menjadi permasalahan utama dunia
usaha untuk segera mendapat perhatian; yaitu: hukum,
perpajakan, ketenagakerjaan, infrastruktur, dan
otonomi daerah. Disamping lima bidang tersebut, Kadin
menyampaikan beberapa hal yang tidak kalah pentingnya
untuk pengembangan industri kita dengan mendukung
pemberdayaan sektor swasta.
Mengenai bidang hukum, Kadin mengharapkan
terciptanya kepastian hukum dengan menghilangkan grey
area yang menjadi celah penyimpangan hukum dalam
peraturan perundang undangan kita. Disisi lain diperlukan
penegakan hukum dengan reformasi kelembagaan semua
unsur pendukung pelaksanaannya, yang mensyaratkan
profesionalisme dan integritas tinggi personil
pendukungnya. Dalam hal ini, Kadin merekomendasikan
beberapa hal, diantaranya:
1) Penegakan hukum atas kasus kasus
penyelundupan dan aktivitas illegal perekonomian
lainnya yang memukul industri kita melalui
tindakan preventif dan represif terhadap pelaku
maupun aparatur yang terlibat baik sipil, polisi,
maupun militer
2) Penegakan hukum bagi pelanggar hak cipta dan
pelaksanaan SNI (Standar Nasional Indonesia)
untuk meminimalisir pemalsuan produk produk
3) Reformasi UU Agraria dan sejumlah peraturan
pendukungnya untuk menjamin kepastian usaha
di satu sisi dan hak hak masysarakat di sisi lain
untuk meminimalisir konflik antara masyarakat
dan pelaku usaha.
4) Publikasi yang transparan untuk peraturan
perundang-undangan yang baru karena minimnya
informasi mengenai UU, PP, Keppres, Kepmen,
Dll. seringkali memunculkan tindakan tindakan
pemerasan bagi aktivitas usaha
5) Pelibatan dunia usaha dalam pembahasan setiap
peraturan perundang-undangan sejak awal
inisiasi penyusunannya.
6) Revisi berbagai peraturan perundang-undangan
hampir diseluruh bidang yang perincian detail-nya
tertuang dalam rekomendasi lengkap Kadin.
Perpajakan
Dalam hal perpajakan, Kadin berpendapat bahwa
pemerintah perlu memprioritaskan upaya reformasi
undang-undang dan peraturan perpajakan, serta
melanjutkan upaya modernisasi administrasi perpajakan.
Untuk itu beberapa rekomendasi yang bersifat operasional
perlu menjadi perhatian:
1. Untuk memberikan citra positif bagi aparat pajak
15
2.
3.
yang selama ini sering melakukan arbitrary assessment dalam pemeriksaan pajak, perlu
ditentukan prosedur yang mengharuskan
pemeriksa pajak menyampaikan usul koreksi
pajak secara tertulis kepada wajib pajak, dan
ditentukan hak wajib pajak untuk menerima
ataupun mengajukan protes tertulis atas usul
tersebut, yang akan direview oleh tim yang
independen, paling tidak atasan pemeriksa. Tanpa
prosedur ini, penetapan pajak secara sewenangwenang harus dinyatakan cacat hukum, dan
sesuai dengan prinsip level playing field, wajib
pajak dapat melakukan gugatan.
Proses, prosedur dan waktu restitusi kelebihan
pembayaran pajak perlu diperbaiki, dan jangka
waktu pembayaran imbalan bunga yang menjadi
hak wajib pajak karena kelebihan pembayaran,
perlu ditegaskan dalam undang-undang. Hal ini
dimaksudkan untuk memperbaiki praktek
restitusi selama ini yang sering dipersulit, dan
sering pula dilakukan rekayasa oleh aparat perpajakan agar kelebihan tersebut tertunda pengembaliannya atau bahkan ditiadakan.
Kadin juga mengusulkan dipertimbangkannya
pemutihan perpajakan sebagai langkah transisi
menuju era kepatuhan pajak, dimana semua wajib
pajak dapat memulai lembaran baru. Sasaran paket pemutihan ini harus mencakup penambahan
jumlah wajib pajak baru yang akan mengambil
kesempatan untuk mendaftar, dan pelaporan
hidden assets oleh para wajib pajak yang telah
terdaftar. Pengampunan pajak juga harus
mendorong mereka yang menyimpan modalnya di
luar negeri untuk memasukkannya kembali ke
Indonesia. Kadin berpendapat bahwa untuk
mensukseskan upaya reformasi perpajakan, realita saat ini perlu diperhitungkan. Karenanya,
Kadin mengusulkan sebelum atau bersamaan
dengan diberlakukannya undang-undang pajak
baru, wajib pajak diberi opsi dimana dengan tarif
khusus wajib pajak dapat menyelesaikan hutang
pajaknya untuk asset yang belum pernah
dilaporkan dalam perhitungan pajak. Dengan
pemutihan hutang pajak masa lalu, setiap pihak
dapat berfokus untuk pembayaran pajak yang
benar untuk masa berjalan dan masa depan sesuai
dengan undang-undang pepajakan yang baru.
Ketenagakerjaan
Mengenai kebijakan ketenagakerjaan, Kadin berpendapat
bahwa masalah pengangguran dan ketenagakerjaan di
Indonesia sangat penting dan mendesak untuk segera
dicarikan jalan keluar dengan berpedoman pada prinsip
prinsip dasar: depolitisasi hubungan industrial,
fleksibilitas pasar tenaga kerja, dan peningkatan
produktivitas. Atas dasar prinsip prinsip tersebut,
direkomendasikan beberapa hal berikut:
1.
16
Menyelaraskan kenaikan upah minimun sejalan
dengan kenaikan tingkat produktivitas. Sementara
ini, pemerintah perlu menghimbau Dewan
Pengupahan dan Jaminan Sosial Daerah untuk
memelihara tingkat upah riil konstan selama 5
tahun mendatang.
2.
Pembentukan komisi ahli untuk menyusun blue
print persiapan sistem jaminan sosial yang
affordable dan konsisten dengan semangat
penciptaan lapangan kerja.
3.
Peninjauan kebijakan ketenagakerjaan untuk
meningkatkan
kualitas
SDM
dengan
mengikutsertakan sektor swasta dalam mengembangkan skill tenaga kerja.
Infrastruktur
Untuk rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur
diperlukan kerjasama antara pemerintah dan swasta.
Kebutuhan investasi baru di sektor infrastruktur
diperkirakan berjumlah US$72 milyar untuk lima tahun
mendatang, dimana sektor swasta diharapkan akan
berpartisipasi paling tidak sampai sekitar 40%. Meskipun
demikian, pengalaman kerja sama pemerintah dan swasta
untuk membangun infrastruktur dasar sejauh ini tidak
cukup banyak yang berhasil. Untuk menarik minat swasta
dalam investasi penyediaan infrastruktur diperlukan iklim
investasi yang kondusif, perlindungan hukum, kejelasan
peraturan agar investor merasa aman untuk menanamkan
modalnya di dalam proyek jangka panjang yang akan menguntungkan semua pihak.
Secara lebih spesifik, Kadin memberikan beberapa usulan
sebagai berikut:
1) Penyusunan infrastructure road map/blue print
yang mencakup strategi dan prioritas
pembangunan infrastruktur, target penyediaan
infrastruktur yang harus dicapai dalam kerangka
waktu yang ditentukan.
2) Dukungan pemerintah dengan memperluas
kemungkinan
investasi
swasta
untuk
mendapatkan dukungan instrumen finansial dari
potensi sumber finansial dalam maupun luar
negeri.
3) Kebijakan pembangunan infrastruktur yang
memberi kemudahan investor di Kawasan Timur
dan Kawasan Kawasan Teringgal lainnya di
Indonesia.
4) Kebijakan kebijakan untuk mendukung
pembangunan beberapa sektor infrastruktur, diantaranya: di bidang kelistrikan dengan adanya
jaminan tarif listrik pada harga komersial;
penghapusan peran Jasa Marga sebagai regulator agar tidak menimbulkan pententangan
kepentingan atas peran rangkapnya selama ini
sebagai regulator dan investor sekaligus; di bidang
telekomunikasi, mengakhiri duopoli Telkom dan
Indosat dan kebijakan mengeluarkan Dirjen Postel
dari BRTI; dll.
Otonomi Daerah
Dunia usaha mendukung upaya pemerintah untuk
memberikan perluasan kewenangan pemerintah daerah
dalam mengoptimalkan potensi ekonomi dan peran serta
masyarakat daerah melalui eksperimen besar otonomi
daerah. Namun sangat disayangkan bahwa karena
lemahnya kelembagaan pendukungnya, program yang
bertujuan mulia ini dalam implementasinya masih
menjadi faktor negatif bagi peningkatan aktivitas
perekonomian dengan munculnya kebijakan kebijakan
daerah yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi, dan
ketidakjelasan kewenangan antar tingkat pemerintahan
Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota yang menimbulkan
ketidakpastian baru dalam hal perijinan usaha dan
pemanfaatan sumber daya ekonomi daerah.
Untuk peningkatan kualitas pelaksanaan otonomi daerah,
Kadin merekomendasikan beberapa hal dengan tujuan
untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
baru melalui sinkronisasi kebijakan ekonomi antara pusat
dan daerah.
1) Dengan acuan UU 32/2004 hasil penggantian UU
22/1999, diharapkan keluarnya Peraturan Presiden
tentang Pembatalan Perda distortif, atau
pengajuan judicial review ke MA. Pembatalan
Perda ini perlu disosialisasikan secara luas ke
seluruh pemerintah daerah untuk efektivitas
pelaksanaannya.
2) Revisi UU 34/2000 tentang Pajak dan Retribusi
Daerah dengan prinsip: pembuatan close list pajak
daerah dan sumber pendapatan lain lain; dan
keharusan pelibatan stakeholder untuk
penyusunan Perda
3) Pembuatan PP dari UU 32/2004 yang terkait aktivitas perekonomian dengan prinsip dasar:
penentuan kebijakan pengelolaan SDA dan
sumber daya ekonomi lainnya dan supervisi
implementasinya oleh pemerintah pusat,
sedangkan perijinan sebaiknya diberikan
kewenangannya kepada Pemda; serta elaborasi
detil prinsip-prinsip kerjasama antar daerah.
Pemberdayaan Sektor Swasta
Kadin berpendapat bahwa untuk memungkinkan
Indonesia menjadi negara industri yang mempunyai daya
saing yang kuat, pemerintah perlu mengkoordinasikan
kebijakan industri dengan kebijakan investasi, kebijakan
perdagangan, dan tidak kalah pentingnya kebijakan pengembangan tenaga kerja, kebijakan teknologi/riset dan
kebijakan pengembangan UKM yang diperlukan untuk
mendukung pemberdayaan sektor swasta dalam mengembangkan industri. Tanpa pendekatan industri yang
terpadu, sektor industri akan mengalami kesulitan
menghadapi persaingan produk asing yang lebih murah
dengan kualitas yang lebih baik, dan pasokan yang lancar.
Strategi industri harus pula menciptakan sinergi antara
UKM dengan industri besar yang memang mempunyai
peranan menggalang sumber ekonomi diberbagai sektor
yang memerlukan skala ekonomi. Karena masing-masing
memang punya peranan sendiri, maka harus dihindari
kesalah pahaman bahwa: big is bad, small is good.
Di samping perlunya arah pengembangan industri yang
jelas dan terpadu, ada beberapa realita yang perlu
dihadapi di dalam rangka pembenahan agar daya saing
perusahaan dan industri di Indonesia menjadi lebih baik,
khususnya di dalam menghadapi persaingan dalam era
perdagangan bebas:
1.
Negara pesaing mempergunakan teknologi dan
sistem manajemen lebih modern.
2. Cukup banyak produk ekspor indonesia yang
mempunyai ketergantungan cukup tinggi pada
bahan baku impor.
3. Pasokan bahan baku lokal dan sumber energi
sering tidak terintegrasi, dan kualitasnya tidak
konsisten.
4. Perlu evaluasi kembali harmonisasi tarif sektor
industri. Kebijakan bea masuk dapat diarahkan
bagi usaha peningkatan ekspor dan penyelamatan
industri dalam negeri.
5. Perlunya tim yang terdiri dari unsur pemerintah
dan dunia usaha untuk melakukan lobi dalam fora
internasional untuk memperjuangkan revisi
kebijakan kebijakan yang merugikan Indonesia,
dan bilamana perlu reposisi status Indonesia
dalam keanggotaan pada lembaga lembaga
perdagangan internasional
6. Bunga pinjaman bank/financing cost relatif lebih
mahal dibanding dengan negara ASEAN lain. Di
samping itu, industri UKM menghadapi banyak
kesulitan administrasi dan penjaminan untuk
pendanaan kegiatannya.
7. Pasar modal belum mampu untuk menjadi sumber
pendanaan sektor riel dan masih belum mampu
untuk menggalang sumber modal jangka
menengah dari investor lokal.
8. Perlu peningkatan kualitas SDM dan produktivitas melalui capacity building dan program
pendidikan/ pelatihan.
9. Kekurangan informasi yang up to date mengenai
peluang atau akses ke pasar dunia, dan lemahnya
jaringan pemasaran di dalam dan luar negeri yang
perlu peningkatan.
10. Perlu menambah keragaman produk ekspor yang
memiliki keunggulan daya saing.
11. Diperlukan pengembangan cluster based approach, yang memungkinkan kolaborasi industri
inti dengan industri pendukung di berbagai daerah
sesuai dengan potensi dan kompetensi intinya.
12. Dukungan kelembagaan pemerintah secara tepat,
diantaranya pembentukan Badan Pariwisata
Nasional dibawah koordinasi Menteri di bidang
perekonomian, dll.
Kadin menyadari bahwa sektor swasta perlu memainkan
peranan aktif di dalam upaya memperbaiki daya saing
industri. Meskipun demikian, tanpa kerangka hukum, strategi/arah industri dan peraturan serta iklim usaha yang
mendukung, upaya tersebut tidak mungkin berhasil.
Karenanya, Kadin berkesimpulan bahwa diperlukan kerja
sama dan dialog yang terinstitusi antara pemerintah dengan sektor swasta untuk melakukan berbagai
pembenahan. Di samping itu, perlu adanya koordinasi lintas departemen agar semua keputusan yang diambil dapat
diimplementasikan dan dimonitor kemajuannya.***
17
Sofjan Wanandi : “Kebijakan pengelolaan sektoral sebaiknya ...”
Sambungan dari hal 7
pengelolaan sumber daya alam harus PBB harus menjadi pajak daerah dan panjang, dan dilibatkannya propinsi
dilihat dari kebijakan sektoral secara dipungut oleh daerah. Hanya saja untuk melakukan pengawasan
menyeluruh. Dengan demikian yang saat ini masih dikhawatirkan terhadap APBD atau Perda yang
tentunya yang lebih mengetahuinya oleh para pelaku usaha adalah lainnya. Disamping ada perda-perda
adalah pemerintah pusat, sehingga apakah daerah memiliki aparat yang yang harus langsung disampaikan ke
pusat yang harus mengelola dan mampu mengelolanya. Apabila PBB pusat yakni yang terkait dengan
daerah-daerah harus tahu juga, serta dikelola oleh pemda pengusaha masalah keuangan (pajak dan
tidak boleh dilupakan bahwa harus menjadi lebih mudah apabila hanya retribusi), SDA kewajiban bagi daerah
/
kota
untuk
ada bagian untuk pemerintah daerah. berhubungan dengan satu aparat kabupaten
“Kebijakan pengelolaan sektoral pajak dan tidak ada dua aparat lagi. menyampaikan perda-perdanya
kepada
propinsi
sebaiknya ada
sebelum
perda
pada
satu
tersebut diberlakukan.
tangan. Tidak
Sofjan Wanandi sangat
b o l e h
m e n d u k u n g
pemerintah
ketentuan tersebut,
pusat bilang lain
karena menurutnya
dan
daerah
selama ini banyak
bilang lain lagi,
sekali perda-perda
a k h i r n y a
yang dibuat oleh
pengusaha yang
pemerintah daerah
jadi
korban
yang
menambah
dengan adanya
beban para pengusaha
biaya tambahan
karena tidak ada
lagi
karena
kontrol
dari
masing-masing
pemerintah pusat.
sewenang“Sebegitu banyaknya
w e n a n g
perda yang tiba-tiba
memutuskan
keluar dan tidak jelas
sendiri-sendiri.”
tersebut menambah
Menurut Sofjan
beban pelaku usaha
hal ini dimasa
lalu
selalu Perda dan Iklim Investasi - Pengawasan yang lebih ketat atas peraturan dan susah untuk
terjadi
pada daerah oleh pemerintah pusat dapat membantu memperbaiki iklim investasi menghitung costnya.
adanya
s e k t o r sebab dengan kepastian biaya tersebut, investor akan mudah menghitung Dengan
sinkronisasi buat kami
k e h u t a n a n , biaya yang harus dibayar
akan terbantu, dimana
pertambangan,
perikanan dan lain-lain. Dengan “Asal kualitas sumber daya manusia biaya-biayanya menjadi jelas karena
dikembalikan kepada kebijakan pusat yang melakukan pelayanan dan di pusat kita sudah dapat menghitung
tentunya akan sangat membantu pengelolaannya minimal tetap sama pajak apa saja yang harus dibayar dan
para pelaku usaha, karena hanya ada dengan yang sekarang ini tidak pungutan non pajak apa yang harus
satu pintu saja. “Jangan sampai satu masalah. PBB pada akhirnya dibayar.” Menuruf Sofjan, dengan
pintu memberikan izin, sementara memang harus diberikan kepada pengawasan yang lebih ketat
pintu yang lain menjegal,” demikian daerah, karena memang mereka yang terhadap perda-perda yang dibuat
akan menggunakannya untuk gunan oleh pemda, pengusaha akan lebih
ungkapnya.
Sofjan Wanandi juga menyinggung di daerah.”
mudah menghitung cost dan
mengenai
adanya
perasaan
bagaimana melakukan efisiensi
ketidakadilan bagi daerah dalam bagi Perda dan Iklim Investasi
usaha. Ditambahkannya pula bahwa
hasil antara pemerintah pusat dan
Isu yang juga sering muncul dalam banyak investor asing yang tidak mau
daerah yang mendorong daerah pelaksanaan Otonomi Daerah selama berinvestasi ke Indonesia salah satu
untuk mengenjot penerimaan PAD. empat tahun terkhir adalah terkait penyebabnya adalah otonomi daerah
Ada pula daerah-daerah yang dengan peraturan daerah (perda) yang belum jelas. Pada akhirnya
meminta beberapa pajak pusat bermasalah. Hal tersebut disinyalir pengangguran bertambah karena
didaerahkan, yang salah satunya karena kontrol dari pusat yang tidak tidak ada lapangan usaha baru.
adalah Pajak Bumi dan Bangunan efektif karena waktu untuk “Sekarang dengan adanya perubahan
(PBB). Namun demikian dalam UU melakukan review terlalu singkat. UU Otonomi Daerah, segala
yang baru tetap menjadi pajak pusat. Berdasarkan UU yang baru waktu perbaikan dari kelemahan undangMelihat hal tersebut, Sofjan Wanandi yang dimiliki oleh pemerintah untuk undang lama harus kita dukung.”
berpendapat bahwa pada akhirnya melakukan pengawasan lebih
Dengan
diberikannya
18
kewenangan pemerintah propinsi daerah yang nilainya tidak besar. termasuk para pelaku usaha untuk
untuk mereview perda kabupaten Menuruf Sofjan Wanandi agar pasal berpartisipasi. Namun sayangnya
kota
memungkinkan
adanya ini efektif, yang bisa diberikan oleh dalam ketentuan UU yang baru ini
kebijakan yang berbeda atau daerah kepada investor adalah untuk menjadi calon kepala daerah
bertentangan antar propinsi. Namun pelayanan yang baik, proses perizinan harus melalui partai politik. Sofjan
hal ini tidak menjadi kekhawatiran cepat, dan jelas. Barangkali untuk Wanandi berpendapat bahwa secara
bagi Sofjan Wanandi. Dia berharap UKM insentif berupa keringanan demokratis hal tersebut tidak tepat.
agar hal tersebut akan digunakan pajak dan retribusi sangat berarti dan Dia berharap agar kedepannya UU
oleh propinsi dan kabupaten untuk perlu diberikan. Namun untuk para Otonomi yang baru ini masih dapat
bersaing dalam menarik investasi investor besar, insentif yang direvisi sehingga memberi peluang
setiap orang menjadi
yaitu
dengan
kepala daerah tanpa
memberikan insentif
harus melalui partai
kepada para pelaku
politik.
Sofjan
usaha.
“Kita
menduga
bahwa
berharap agar tiapketentuan tersebut
tiap propinsi saling
dimaksudkan agar
bersaing
dalam
partai politik lebih
memberikan service
berperan
dalam
terhadap pengusaha
screaning para calon
dalam
rangka
kepala daerah. “Saya
menarik investment
sangat
setuju
ke sana. Kalau
pemilihan
secara
dalam suatu daerah
langsung itu memang
service atau bebanperlu dan harus,
b e b a n n y a
sehingga
rakyat
b e r t a m b a h ,
berhak untuk ikut
akhirnya daerah
menentukan yang
sendiri yang akan
menurut
mereka
r ugi karena tidak
terbaik
untuk
ada pelaku usaha
yang mau berusaha Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung - Partisipasi bagi semua memimpin mereka.”
di sana.” Menurunya lapisan masyarakat dalam proses demokrasi setelah revisi UU No. 22/ Untuk menjadi calon
kepala daerah tentu
p e r b e d a a n 1999 diwujudkan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung.
ada persyaratan yang
kebijakan di tingkat
harus
dipenuhi.
propinsi
harus
dikaitkan dengan kemampuan atau diperlukan adalah pelayanan Apabila ada para pelaku usaha yang
kekayaan daerah propinsi. “Kita juga perizinan yang baik dan cepat. Jika berniat menjadi calon bupati atau
akan melihat dulu apa yang akan para pelaku usaha besar tetap akan walikota harus mengikuti aturan
dimanfaatkan dari perbedaan itu, diberikan insentif berupa keringanan tersebut yakni bergabung ke partai
karena tiap-tiap daerah mempunyai pajak dan retribusi, sekecil apapun politik tertentu sebagai tempat
cirri khas. Perbedaan itu tidak apa- tetap baik dalam rangka untuk screaning mereka. Apabila seorang
apa jika semuanya ditujukan untuk berkompetisi menarik investasi. pengusaha memang mempunyai
efisiensi dan kemampuan daerah “Yang lebih penting bagi pelaku usaha kemampuan yang tinggi tentu dia
karena kekayaan alam.” Selanjutnya besar adalah tidak diganggu dan tetap dapat membawa salah satu partai
Sofjan juga menyatakan bahwa dibantu serta difasilitasi apabila untuk pemilihan. Jika dibandingkan
perbedaan tarif dan perbedaan mereka menghadapi kesulitan- dengan ketentuan lama maka
peraturan tersebut yang akan dilihat kesulitan di lapangan,” demikian ketentuan pilkada secara langsung ini
oleh para pelaku usaha, sebagai penjelasan Sofjan Wanandi.
jauh lebih baik. “Untuk menjadi
pertimbangan untuk menentukan
kepala daerah sekarang ini hanya
dimana mereka akan melakukan Pemilihan Kepala Daerah Secara ditentukan oleh segelintir orang di
Langsung
investasi.
DPRD. Di situlah masalah seperti
Untuk menarik investor secara
Pengusaha yang aktif di berbagai KKN diantara DPRD dan Bupati,
teoritis maupun praktis dilakukan organisasi ini juga menaruh Walikota, dan Gubernur terjadi.
dengan diberikan insentif. Dalam UU perhatian besar terhadap proses Sehingga akhirnya yang diperhatikan
yang baru dinyatakan bahwa untuk demokratisasi di daerah. Menurunya bukan lagi rakyat, tetapi hanya 50 ormeningkatkan perekonomian daerah, salah satu bentuk demokratisasi di ang anggota DPRD.” git
maka daerah dapat memberikan daerah adalah proses pemilihan
insentif kepada pengusaha. Namun kepala daerah (pilkada) secara
jika dilihat instrumen yang dimiliki langsung. Dengan perubahan UU
oleh daerah untuk memberikan Otonomi pilkada dilakukan secara
insentif kepada investor tidaklah langsung. Hal tersebut merupakan
banyak, seperti pajak dan retribusi peluang setiap anggota masyarakat
19
Bapekki Evaluasi Pajak Daerah
Koordinasi Tim Tarif dan kajian pajak daerah, pungutan daerah, serta pinjaman daerah selanjutnya akan dilakukan
oleh Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerja Sama Internasional (Bapekki). “Pembentukan badan ini
merupakan bagian dari hasil reorganisasi di lingkungan Departemen Keuangan (Depkeu),” ungkap Pjs Kepala Bapekki
Anggito Abimanyu usai menghadiri rapat pimpinan di Gedung Departemen Keuangan Jakarta, kemarin. Menurut
Anggito, peran Bapekki didasarkan pada lima pilar fungsi yang semula tersebar di berbagai organisasi Depkeu. Pertama,
mengkaji APBN. Kedua, Ketua Tim Tarif diduduki oleh Kepala Bapekki secara ad hoc. Lebih jauh pilar fungsi ketiga
mencakup evaluasi terhadap pajak daerah maupun pungutan daerah. Fungsi tersebut sebelumnya berada di bawah
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD), yang kemudian dialihkan ke Bapekki karena
Ditjen PKPD dilebur ke dalam Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK). ‘’Evaluasi dan
kajian mengenai pajak daerah dan lain-lain itu dilakukan sebelum Menkeu menyerahkan ke Mendagri. Menkeu
mengambil keputusan menerima atau tidak berdasarkan rekomendasi Bapekki,’’ paparnya. Pilar fungsi keempat adalah
evaluasi terhadap pinjaman daerah dan keuangan pada umumnya, termasuk kajian masalah penerbitan obligasi oleh
daerah. Kelima, mewakili Menkeu dalam bidang kerja sama internasional. (Media Indonesia)
Pelindo Siap Serahkan Pelabuhan Ke Pemda
PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) siap menyerahkan pengelolaan pelabuhan pada pemerintah daerah (pemda) kalau
memang aturannya sudah ada. “Kalau memang aturan penyerahannya sudah ada, kami siap menyerahkan pengelolaan
semua pelabuhan pada pemda setempat,” kata Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha PT Peabuhan Indonesia (Pelindo) II Seopadi kemarin menanggapi rencana penyerahan kewenangan pengelolaan pelabuhan pada pemda
sesuai dengan era otonomi daerah dewasa ini. Menurut dia, sesuai UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran, PT. Pelindo
diberi kewenangan untuk mengelola operasional pelabuhan di seluruh Indonesia. “Jika pemerintah minta kita
menyerahkan pada pemda, kami ikut,” katanya.
Dia menambahkan sambil menunggu perintah itu turun maka saat ini PT Pelindo memilih melakukan kerja sama
dengan pemda setempat dalam pengelolaan pelabuhan. Belum lama ini, PT Pelindo II berkeja sama dengan Pemerintah
Kota (Pemkot) Bengkulu mengelola Pelabuhan Pulau Baai, sehingga dapat dimanfaatkan secara maskimal. (Bisnis
Indonesia)
Bagi Hasil Migas Baru Naik Pada 2009, Porsi DAU Dinaikkan Jadi 26%
Panja amendemen paket UU otonomi daerah menyepakati persentase Dana Alokasi Umum (DAU) naik menjadi 26%
dari penerimaan dalam negeri bersih pada 2008 dan Bagi Hasil Migas (BHM) untuk daerah penghasil naik 0,5% pada
2009. Endang Zainal Abidin, Wakil Ketua Panitia Khusus DPR tentang UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah dan
UU No. 25/1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, mengatakan kenaikan prosentase dalam DAU
dan BHM merupakan jalan tengah antara kesinambungan fiskal nasional dan kebutuhan daerah. (Bisnis Indonesia)
Perda Tertib Dicurigai Suburkan Pungli
Pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) No 1/2004 tentang Tertib Pemanfaatan Jalan dan Retribusi Pengendalian
Kelebihan Muatan telah menimbulkan reaksi keras dari kalangan sopir dan pengusaha truk di Sumatera Barat, termasuk
DPD Organda Sumbar. Mulai 1 Oktober 2004 retribusi dan sanksi, dikenakan pada truk yang membawa barang berlebih,
tetapi harus membayar retribusi seperti ditetapkan dalam perda itu. Jadi, pembayarannya resmi tidak seperti rahasia
umum selama ini, dengan uang pungli (pungutan liar). Hasil penerimaan retribusi dibagi hasil, 70 persen untuk provinsi
dan 30 persen untuk kabupaten/kota. Pengusaha angkutan selama ini telah dibebani berbagai pungutan di jalan raya,
dan jembatan timbang sebagai unit pemungut retribusi sebesar Rp 150.000 saat melewati jembatan timbang tidak punya
dasar hukum yang kuat untuk meminta retribusi sehingga kemungkinan besar akan menjadi pungutan liar akan terjadi.
(Kompas)
Depdagri Harus Segera Keluarkan PP Pilkada Langsung
Setelah disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti UU Nomor
22 Tahun 1999, Departemen Dalam Negeri seharusnya segera mengeluarkan peraturan pemerintah yang akan
mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah langsung. PP tersebut nantinya akan menjadi acuan setiap daerah
melaksanakan pilkada. “Kalau benar pilkada dimulai Juli 2005, maka KPUD harus sudah mempersiapkan tiga atau
empat bulan sebelumnya,” kata Maswadi Rauf, Sabtu (23/10). Karena itu, paling tidak Depdagri sudah mempersiapkan
peraturan pemerintah (PP)-nya akhir tahun ini untuk kemudian segera disosialisasikan. Direktur Otonomi Daerah
Depdagri Progo Nurdjaman mengatakan, Depdagri masih mempersiapkan sosialisasi pilkada langsung ke daerahdaerah. “Program sosialisasi baru akan disampaikan ke Mendagri”, kata Progo. (Kompas)
20
Download