Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016 KERAGAAN ORGAN IKAN KERAPU YANG TERINFEKSI RSIV Evri Noerbaeti Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon Jl. Leo Wattimena, Waiheru, Ambon, 97233 Abstrak Iridovirus merupakan salah satu jenis virus yang dikenal menjadi penyebab utama kematian pada ikan kerapu budidaya. Infeksi iridovirus pada ikan kerapu budidaya menyebabkan penyakit “kerapu tidur“ atau Grouper Sleepy Disease Iridovirus (GSDIV). Virus ini mampu menginfeksi ikan mulai dari stadia fingerling hingga ukuran siap jual dan mampu menyebabkan kematian dalam waktu 2 minggu dengan tingkat kematian mencapai 100 %. Deteksi PCR dengan hanya mengambil salah satu organ dari ikan yang terinfeksi, terkadang tidak menghasilkan intepretasi positif pada hasil elektroforesis sehingga menghasilkan informasi data yang keliru. Informasi mengenai organ tubuh ikan yang berpeluang besar sebagai bahan sampel untuk menghasilkan isolat positif belum banyak diketahui, sehingga perlu dilakukan deteksi dengan tujuan untuk mengetahui prevalensi organ target yang paling banyak terinfeksi RSIV. Sampel berupa organ hati, limpa dan insang dikoleksi dari 5 ekor ikan dengan gejala klinis iridovirus. Diuji dengan PCR konvensional mengacu pada metode Irido Detection Kit (IQ2000). Data yang diperoleh diolah secara scoring berdasarkan penampakkan jumlah band positif dari hasil elektroforesis dimana skor = 0, apabila tidak tampak band positif; score = 1, apabila tampak 1 band positif dan score = 2 apabila tampak 2 band positif. Band positif menunjukkan posisi pada 226 bp dan atau 450 bp. Perbandingan persentase infeksi dari ketiga organ menunjukkan insang merupakan organ yang tertinggi infeksi iridovirus dengan prevalensi sebesar 100%, berikutnya adalah organ hati dengan prevalensi 80% dan limpa dengan prevalensi 70%, sehingga disimpulkan bahwa terdapat perbedaan prevalensi dari kehadiran iridovirus pada ketiga organ tersebut, dengan demikian disarankan untuk menjadikan ketiga organ tersebut sebagai bahan sampel yang akan diekstraksi untuk dijadikan isolat virus. Kata kunci : prevalensi, organ ikan, iridovirus PENDAHULUAN Peningkatan permintaan produk perikanan yang tinggi seperti ikan grouper orange-spotted (Epinephelus coioides), kakap merah snapper (Lutjanus argentimaculatus), kakap putih (Lates calcarifer), dan rabbitfish (Siganus guttatus) dengan harga pasar yang lebih tinggi, berdampak pada budidaya ikan Karamba Jaring Apung (KJA) telah semakin meluas. Bahkan di Asia Tenggara, produksi aquakultur telah tumbuh dengan cepat untuk dekade terakhir, dan telah menyokong secara signifikan persediaan pangan di seluruh dunia serta mampu meningkatkan pendapatan rata-rata untuk banyak negara. Namun intensifikasi aquakultur di banyak negara ini ternyata telah menimbulkan kejadian penyebaran berbagai penyakit dengan relatif cepat, yang mana merupakan salah satu dari faktor penghalang untuk dapat mendukung produksi komoditas perikanan, terutama selama tahap pemeliharaan larva dan benih dari komoditas budidaya. 37 Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016 Penyakit virus pada ikan laut selain VNN, iridovirus diketahui juga menyerang ikan kerapu seperti yang dialami pembudidaya dan pengusaha tambak di kawasan Pulau Puhawang dan Tanjung Putus di Kecamatan Punduh Pedada, Kabupaten Lampung Selatan (Sinar Harapan, 2003), kepulauan Riau, NTB dan Sumatera Barat (Infhem, 2013) yang menyebabkan kerugian hingga miliaran rupiah. Iridovirus merupakan salah satu jenis virus yang dikenal menjadi penyebab utama kematian pada ikan kerapu budidaya. Infeksi iridovirus pada ikan kerapu budidaya menyebabkan penyakit “kerapu tidur“ atau Grouper Sleepy Disease Iridovirus (GSDIV) yang disebabkan oleh virus dari kelompok Iridoviridae yang merupakan virus DNA sitoplasmik. Virus ini mampu menginfeksi ikan mulai dari stadia fingerling hingga ukuran siap jual. Penyakit iridovirus dikatakan sebagai penyakit infeksi yang mampu menyebabkan kematian dalam waktu 2 minggu dengan tingkat kematian mencapai 100 % (Koesharyani dkk, 2001). Kematian massal dapat terjadi hanya dalam jangka waktu beberapa hari – minggu, setelah ikan yang terinfeksi menunjukkan terjadinya gejala klinis seperti lemahnya pergerakan renang sehingga terlihat hanya berdiam diri di permukaan air atau dasar bak, warna tubuh menjadi lebih gelap disertai anemia berat yang dapat terlihat pada insang. Hati berwarna gelap akibat perdarahan hebat atau menjadi pucat dan bengkak. Dan lebih kontras terlihat pada organ limpa yang mengalami pembengkakan dan berwarna sangat gelap hampir kehitaman. Organ insang terlihat pucat menandakan terjadinya anemia berat. Hasil percobaan infeksi buatan yang telah dilakukan oleh Balai Penelitian Perikanan Laut Gondol, menunjukkan bahwa virus ini sangat patogen terhadap ikan kerapu bebek (Koesharyani dkk, 2001). Kelompok virus dari famili iridoviridae dapat menyebabkan serangan hebat yang menyebabkan kerugian secara ekonomi maupun penurunan kualitas lingkungan. Masih sangat sedikit yang diketahui tentang penyakit yang disebabkan oleh iridovirus. Deteksi cepat terhadap penyakit virus umumnya mempergunakan metode PCR dengan primer spesifik dari jenis iridovirus pada kakap merah (Red Sea Bream Iridovirus – RSIV). Pencegahan terbaik adalah dengan mendeteksi pada stadia awal seperti stadia telur atau benih untuk menghindari penyebaran penyakit iridovirus lebih meluas. Pengamatan terhadap sel yang terinfeksi iridovirus pada organ dan jaringan antara lain limpa, ginjal, hati, usus dan insang (OIE, 2006), namun deteksi PCR dengan hanya mengambil salah satu organ dari ikan yang terinfeksi dan dianggap terdapat virus target belum tentu menghasilkan intepretasi positif pada hasil elektroforesis. Informasi mengenai organ tubuh yang paling diminati oleh virus Megalocytivirus sebagai target untuk diinfeksi belum banyak diketahui, sehingga perlu dilakukan deteksi dengan tujuan untuk mengetahui persentase organ target yang paling banyak terinfeksi iridovirus. BAHAN DAN PROSEDUR KERJA Bahan Organ limpa, hati dan insang diperoleh dari ikan kerapu bebek berukuran 200-300 g yang dipelihara di KJA dan menunjukkan gejala klinis terinfeksi iridovirus. Jumlah ikan yang diuji sebanyak 10 ekor. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah DNA exctraction kit (IQ2000), Irido Detection Kit (IQ2000), Agarose, TBE 1X, Ethidium Bromida Alat Peralatan utama yang digunakan mikrocentrifuge (Profuge), heating block (Lab-Line), vortex (Thermolyne), Thermal cycle (Thermo), UVDoc, elektrophoresis (Thermo), mikropipet P10, P100, P200 dan P1000 (Gilson) 38 Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016 Cara Kerja Persiapan Organ Organ target dikoleksi dari 5 ekor ikan. Organ hati, limpa dan insang dicuci dengan air, tiris dan keringkan. Ambil sebanyak 20 mg dan masukkan masing-masing kedalam micotube 1,5 ml. Gerus hingga hancur dengan pelet pestle. Ekstraksi Organ Masing-masing microtube berisi lumatan organ ditambahkan 600 µl cairan DTAB dan homogenkan kemudian inkubasi pada 75oC selama 5 menit. Dinginkan dan vortex sebentar kemudian tambahkan 700 µl Chloroform, vortex 20 detik dan centrifuge pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Pindahkan 200 µl supernatan kedalam mikrotube baru dan tambahkan 100 µl CTAB solution dan 900 µl ddH2O. Vortex dan inkubasi pada 75oC selama 5 menit. Dinginkan dan centrifuge pada kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. Buang supernatan, tambahkan 150 µl disolved solution. Inkubasi pada 75oC selama 5 menit kemudian centrifuge pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Ambil supernatan, masukan dalam mikrotube baru dan tambahkan 300 µl ethanol 95%. Vortex dan centrifuge pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Buang supernatan, cuci pelet dengan 200 µl etanol 70%. Spin down dengan kecepatan 9000 rpm beberapa saat, kemudian buang ethanol dan keringkan pellet. Larutkan dengan ddH2O sebanyak 50 µl. Amplifikasi Amplifikasi dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap-1 reaksi first PCR dan tahap-2 reaksi nested PCR. Formulasi reaksi first PCR (First PCR Premix 22,5 µl, IQzyme DNA Polymerase 1,5 µl) dan reaksi nested PCR (Nested PCR Premix 42,0 µl, IQzyme DNA Polymerase3,0 µl). Sampel, kontrol positif dan kontrol negatif masing-masing sebanyak 2 µl dimasukkan kedalam microtube ukuran 0,2 ml berisi 8 µl formulasi reaksi first PCR. Amplifikasi pada kondisi suhu 94°C x 30 detik, 62°C x 30 detik,72°C x 30 detik diulangi 5 siklus; 94°C x 15 detik, 62°C x 15 detik, 72°C x 20 detik diulangi 20 siklus dan 72°C x 30 detik, 20°C x 30 detik sebanyak 1 siklus. Setelah amplifikasi tahap-1, tambahkan formulasi reaksi nested PCR sebanyak 15 µl pada masing-masing mikrotube amplifikasi tahap-1 dan amplifikasi kembali pada tahap-2 dengan kondisi suhu 94°C x 20 detik, 62°C x 20 detik, 72°C x 30 detik diulangi 25 siklus; 72°C x 30 detik, 20°C x 30 detik sebanyak 1 siklus. Elektroforesis Sebanyak 8 µl sampel dari masing-masing microtube hasil reaksi nested PCR dicampur dengan 2 µl 6x loading dye di atas kertas polyethylene butadiene rubber parafilm kemudian dimasukkan ke dalam masing-masing sumur pada agarose 2% yang terendam TBE 1x dalam chamber elektroforesis. Perangkat elektroforesis kemudian dinyalakan dan dijalankan pada tegangan 100 V selama 35 menit. Gel hasil elektroforesis kemudian divisualisasikan dengan siar UV dan didokumentasikan melalui UVdoc. Analisa Data Data yang diperoleh diolah secara scoring berdasarkan penampakkan jumlah band positif dari hasil elektroforesis. Penentuan data scoring adalah sebagai berikut : skor = 0, apabila tidak tampak band positif; score = 1, apabila tampak 1 band positif dan score = 2 apabila tampak 2 band positif. Band positif menunjukkan posisi pada 226 bp dan atau 450 bp. 39 Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016 HASIL DAN PEMBAHASAN Kategori sampel terinfeksi iridovirus dengan penampakkan band positif dari hasil elektroforesis ditandai dengan penampakkan 1 – 2 band pada gel agarose. Kategori infeksi dibedakan pada 2 kategori yaitu infeksi berat yang menunjukkan penampakkan 2 band (226 bp, 450 bp) dari hasil elektroforesis, dan infeksi ringan yang menunjukkan penampakkan 1 band ( 226 bp), sementara tidak ditemukan adanya penampakkan band atau penampakkan 1 band pada 665 bp menunjukkan negatif iridovirus. Penampakkan band positif iridovirus dari hasil elektroforesis umumnya menunjukkan perbedaan kategori infeksi pada masing-masing organ yang diuji. Intepretasi hasil elektroforesis dari organ uji dapat terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Hasil Penampakkan Band Sampel Organ Hati + ++ + + ++ + + Limpa + + + + + + + + - Insang ++ ++ ++ + ++ ++ + + ++ + 019i 020i 021i 022i 023i 024i 025i 026i 027i 028i Ket : (-) tidak tampak band; (+) tampak 1 band; (++) tampak 2 band 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 450 bp 226 bp Gambar 1. Hasil Elektroforesis (1-10) sampel organ; (11) positif kontrol dan (12) negatif kontrol Data scoring yang diolah dari hasil elektroforesis dapat dilihat pada tabel 2. Berikut ini : Tabel 2. Data Skoring Penampakkan Band No 1 2 3 Organ Limpa Hati Insang Score = 0 3 2 0 Score = 1 7 5 5 40 Score = 2 0 3 5 Prevalensi (%) 70 80 100 Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016 Data score diatas menunjukkan bahwa organ insang merupakan organ yang paling sering terinfeksi berat iridovirus yakni dengan score 2. Infeksi iridovirus kategori ringan dijumpai terbanyak pada organ limpa dengan score 1. Perbandingan persentase infeksi dari ketiga organ menunjukkan insang merupakan organ yang tertinggi infeksi iridovirus dengan prevalensi sebesar 100%, berikutnya adalah organ hati dengan prevalensi 80% dan limpa dengan prevalensi 70%. Jumlah organ terinfeksi iridovirus dapat dilihat pada grafik berikut ini : Jumlah Organ Terinfeksi 12 10 8 6 4 2 0 Limfa Hati Insang Organ Grafik 1. Jumlah Organ Terinfeksi Iridovirus OIE,2006, dijelaskan bahwa organ yang menjadi target dari infeksi iridovirus antara lain limpa, ginjal, hati, usus dan insang. Gejala klinis yang diperlihatkan pada organ-organ tersebut bilamana terinfeksi iridovirus menunjukkan terjadinya anemia berat yang terlihat dari warna insang yang pucat, organ hati dan limpa mengalami pembengkakan dan berwarna gelap hampir kehitaman akibat perdarahan hebat terutama pada organ limpa atau sebaliknya terlihat pucat. Ikan yang terinfeksi menunjukkan kelemahan, anemia berat, petechiae (pendarahan) pada insang dan pembesaran limpa. Penyakit ini ditandai oleh munculnya pembesaran sel yang berwarna gelap oleh pewarna giemsa pada pengamatan mikroskopik terhadap jaringan limpa, jantung, ginjal, hati dan insang dari ikan yang terinfeksi. Hasil scoring pada organ limpa memperlihatkan bahwa 70% organ tersebut mengalami infeksi ringan, meskipun diketahui bahwa virus mudah melipatgandakan diri pada sitoplasma sel limpa. Ringannya infeksi iridovirus pada limpa diduga virus mudah bermigrasi ke organ-organ lain seperti hati, jantung, lambung, usus dan insang. Meskipun memiliki presensi yang rendah, Mahardika (2013) mengatakan organ limpa memperlihatkan pembesaran sel saat terinfeksi dibandingkan organ lainnya. Sel-sel membesar tersebut merupakan sel monosit yng terinfeksi oleh megalocytivirus yang terbentuk akibat reaksi dari protein antivirus yang terdapat dalam sistem pertahanan tubuh ikan secara alami dalam menghambat perkembangbiakan virus pada selsel hematopoitik yang merupakan organ pembentuk sel-sel darah. Semakin banyak sel-sel membesar terbentuk, akan terlihat semakin menurun jumlah sel-sel darah merah yang mengakibatkan ikan kekurangan sel-sel darah merah untuk transportasi sari-sari makanan ke seluruh tubuh terjadinya anemia. Hasil scoring pada organ hati memperlihatkan perbandingan prevalensi 50% infeksi ringan dan 30% infeksi berat. Meskipun hasil penelitian Mahardika (2013) menunjukkan bahwa organ hati tidak mengalami pembesaran sel sebagaimana organ limpa dan ginjal, hasil deteksi menunjukkan presensi kehadiran virus iridovirus pada organ ini lebih besar. Hal ini diduga 41 Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016 karena fungsi hati sebagai tempat metabolisme karbohidrat, organ pembersih racun dan limbah hasil metabolisme serta pemulihan sel baru, yang memiliki kinerja tinggi memungkinkan prevalensi infeksi lebih besar. Sementara hasil scoring pada organ insang menunjukkan prevalensi 100% dengan prevalensi 50% infeksi ringan dan 50% infeksi berat. Hasil ini menunjukkan bahwa peluang infeksi pada insang lebih besar dari kedua organ lainnya yaitu limpa dan hati. Hal ini diduga karena sebagai alat pernapasan insang berperan penting dalam menyelenggarakan homeostatis lingkungan dalam diri ikan. Berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam dan air, lapisan epitel insang yang tipis sangat rawan terhadap invasi pathogen dimana kerusakkan struktur yang ringan sekalipun sangat mengganggu peraturan osmose dan kesulitan pernapasan. Dengan posisi yang memiliki kontak langsung dengan lingkungan, insang memilki peluang terkena paparan virus yang terkandung dalam badan inklusi dari sel-sel yang terinfeksi telah lisis ke lingkungan perairan. Dari hasil tersebut ketiga organ ikan ini dapat dijadikan bahan sampel untuk dilakukan pengujian deteksi infeksi penyakit iridovirus. KESIMPULAN Terdapat perbedaan prevalensi dari kehadiran iridovirus pada ketiga organ dimana prevalensi terbesar ditemukan pada organ hati, dengan demikian disarankan untuk menjadikan ketiga organ tersebut sebagai bahan sampel yang akan diekstraksi untuk dijadikan isolat virus. DAFTAR PUSTAKA INFHEM. 2013. Langkah bijak hadapi bangkitnya Iridovirus. Informasi Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Vol. 2 No. 2 Januari 2013. Jakarta. Koesharyani, I., Des Roza, K. Mahardika, F. Johnny, Zafran dan Kei Yuasa. 2001. Penuntun Diagnosa Penyakit Ikan-II. Penyakit Ikan Laut dan Krustase di Indonesia. JICA. Mahardika K., dan I. Mastuti. 2013. Studi histopatologi : Pembentukkan sel-sel membesar pada organ ikan kerapu setelah terinfeksi Megalocytivirus. Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 OIE. 2006. Manual of Diagnostic Test for Aquatic Animals. Red Sea Bream Iridoviral Disease. Capter 2.1.15 Weber E.S, T.B. Waltzek, D.A. Young, E. L. Twitchell, A.E. Gates, A. Vagelli, G. R. Risatti, R.P. Hedrick, and S. Frasca. 2009. Systemic iridovirus infesction in the Banggai Cardinalfish (Pterapogon kauderni Koumans 1933). J.Vet diag invest 21 :306-320 (2009) Won K.M., Cho, M.Y., Park M.A., Jee B.Y., Myeong J.I., and Kim J.W. 2013. First report of Megalocytivirus infection in farmed starry flounder, Platichthys stellatus, in Korea. Fish aquat sci 16(2), 93-99, 2013 42