BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Industri tekstil selain menghasilkan suatu produk juga menghasilkan produk sampingan berupa air limbah, yang sering kali mencemari lingkungan terutama perairan. Air limbah industri tekstil mengandung bahan-bahan kimia yang berasal dari proses pengkanjian, pengelantangan dan pewarnaan. Zat warna tekstil merupakan gabungan dari senyawa organik tidak jenuh, kromium dan auksokromium sebagai pengaktif kerja kromium dan pengikat antara warna dan serat (Pratiwi, 2010). Limbah industri yang mengandung zat pewarna dan bahan kimia lainnya tersebut dialirkan ke dalam kolam-kolam penampungan dan selanjutnya dibuang ke sungai. Limbah berbahaya yang sering digunakan dalam industri tekstil adalah kromium yang merupakan salah satu logam berat. Apabila limbah industri tekstil yang mengandung kromium dibuang langsung ke dalam lingkungan tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu akan menambah jumlah ion logam pada air lingkungan, serta akan menimbulkan dampak negatif bagi keberlangsungan hidup biota air dan lingkungannya (Khaerani, dkk., 2007) Beberapa industri tekstil di Kabupaten Bandung masih membuang limbah hasil industrinya langsung ke sungai, sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan terutama pencemaran air. Seperti kawasan industri tekstil di daerah Majalaya yang membuang limbah hasil produksinya langsung ke sungai yang bermuara di Citarum. Pembuangan limbah secara langsung ke sungai tentu menimbulkan pencemaan yang dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar. Di kecamatan Majalaya terdapat sekitar 174 industri yang mayoritas adalah industri tekstil, sekitar 139 industri menghasilkan limbah berbahaya. Pembuangan limbah di selokan maupun anak sungai yang bermuara di Sungai Citarum sudah terjadi sejak 1980-an (SHNEWS.CO, 2012). Adanya pencemaran pada badan-badan air termasuk sungai, akan menimbulkan masalah dan berdampak negatif pada kehidupan ikan-ikan yang 1 2 hidup di sungai tersebut. Perairan yang tercemar akan mengalami penurunan kualitas, yang menyebabkan daya dukung perairan tersebut menurun terhadap organisme akuatik yang hidup di dalamnya. Masalah pencemaran air menimbulkan berbagai dampak, baik dampak biologi, fisik atau pun kimia. Dampak biologi dapat dilihat dari adanya kematian masal ikan atau berupa kelainan struktural maupun fungsional ke arah abnormal (Alkassasbeh, et al., 2009 dalam Pratiwi, 2010). Ikan yang hidup dalam badan air yang tercemar limbah industri tekstil bukan saja akan mengalami kelainan struktural ataupun fungsional, namun juga akan mengalami perubahan kondisi histologi apabila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas akibat polutan yang masuk secara terus menerus dalam jangka waktu lama (Hardi, 2003 dalam Damayanti, 2010). Insang merupakan organ respirasi pada ikan yang berhubungan langsung dengan air, sehingga apabila air tercemar bahan berbahaya dapat menyebabkan kerusakan pada insang dan organ lainnya yang berhubungan dengan insang. Sedangkan untuk mengetahui adanya akumulasi logam berat (kromium) tertinggi biasanya pada organ hati (dektoksifikasi) dan organ ginjal (ekskresi) (Dinata, 2004 dalam Damayanti, 2010). Untuk mengetahui sejauh mana limbah industri tekstil dapat merusak jaringan insang, hati dan ginjal, maka perlu dilakukan pengamatan mengenai perubahan struktur insang, hati dan ginjal pada hewan uji yaitu ikan yang hidup di DAS Citarum bagian hulu. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, permasalahan yang timbul adalah sejauh mana pencemaran yang bersumber dari limbah industri tekstil dapat berpengaruh terhadap perubahan struktur organ insang, hati dan ginjal ikan yang hidup di DAS Citarum bagian hulu. 3 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan struktur organ insang, hati dan ginjal ikan yang hidup di DAS Citarum bagian hulu akibat pencemaran limbah industri tekstil terutama logam Cr. 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam mengkaji bahaya yang ditimbulkan dari pencemaran limbah industri tekstil terhadap organisme perairan terutama ikan sebagai organisme yang memanfaatkan sumberdaya perairan secara langsung. 1.5 Pendekatan Masalah Limbah cair industri tekstil mengandung senyawa logam berat yang berbahaya untuk lingkungan perairan dan biota yang hidup di dalamnya. Jenis limbah yang dihasilkan dari proses tekstil diantaranya logam berat terutama As, Cd, Cr, Pb, Cu, Zn, kemudian hidrokarbon terhalogenasi, pigmen, zat warna dan pelaut organik (Astriani, 2010). Limbah tekstil yang dihasilkan terutama dari proses pewarnaan dan pembilasan menghasilkan air yang berwarna dengan COD tinggi dan bahan-bahan lain dari zat warna yang dipakai, seperti fenol dan logam berat. Menurut Khaerina, dkk. (2007), Logam berat yang banyak terkandung dalam limbah industri tekstil adalah kromium (Cr). Secara kimia sifat logam berat yaitu ionik, sehingga mudah mengendap pada sedimen dan mempunyai waktu tinggal (residence time) sampai ribuan tahun. Logam berat juga dapat terakumulasi dalam tubuh ikan melalui beberapa jalan seperti pernafasan (repirasi), saluran makanan (biomagnifikasi) dan melalui kulit (difusi) (Darmono, 2008 dalam Saputra, 2009). Dampak akumulasi logam berat pada tubuh ikan dapat menutup membran insang sehingga ikan kekurangan oksigen, menurunkan tingkat kematangan gonad, serta menghambat pertumbuhan. Kromium termasuk kedalam jenis logam berat yang sangat toksik. Kromium merupakan ion logam yang bersifat racun baik bagi manusia maupun bagi kehidupan mahluk hidup lainnya (ikan). Studi epidemiologi yang dilakukan 4 oleh Baetjer, et al. (EPA, 1984) menunjukan bahwa senyawa Cr (VI) sangat responsif terhadap neoplasia saluran pernafasan. Senyawa ini juga dapat menyebabkan kanker lokal pada organ tubuh tikus dan kelinci yang terpapar senyawa kromium. Senyawa Cr (VI) dapat menyebabkan terjadinya mutagen yang pada akhirnya berpengaruh langsung pada asam deoksiribo nukleat (DNA) sehingga sel mahluk hidup akan berubah (Sukenjah, 2006). Kromium dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan manusia baik secara akut maupun secara kronis. Paparan dengan konsentrasi yang lebih tinggi melalui pernafasan (pada manusia) dapat menyebabkan gangguan pada hati, ginjal saluran pencernaan dan sistem kekebalan tubuh. Pada manusia kromium dapat mengakibatkan gangguan pada sistem reproduksi, gangguan hamil dan cacat pada bayi. EFA telah menggolongkan kromium (VI) sebagai zat karsinogenik kelompok A, yaitu kelompok yang paling berpotensi menimbulkan kanker (Sukenjah, 2006). Secara umum efek yang dapat ditimbulkan dari paparan kromium untuk efek fisiologis yaitu dapat menyerang organ tubuh bagian paru-paru, hati, ginjal, kulit dan kekebalan tubuh. Efek pada sistem pernafasaan jika terhirup dapat menyebabkan iritasi saluran pernafasan. Efek pada ginjal pada paparan kromium sebesar 20 µm/m3 menunjukan kerusakan saluran ginjal, dan pada paparan yang lebih tinggi menyebabkan matinya sel ginjal. Sedangkan efek pada hati dapat menyebabkan kerusakan hati, suatu studi menunjukan 20% pekerja yang terkena paparan kromium mengalami kerusakan hati dan ginjal (Sukenjah, 2006). Dalam lingkungan perairan limbah industri tekstil yang mengandung logam berat Cr apabila dibuang ke sungai atau badan air lainnya tanpa ada proses sebelumnya dapat menambah jumlah ion logam dan menimbulkan dampak negatif bagi keberlangsungan hidup serta perkembangbiakan biota air dilingkungan tersebut. Dampak yang timbul dari pencemaran limbah industri dapat berupa dampak fisik dan kimia ataupun dampak biologis. Dampak fisik dapat digambarkan dengan adanya perubahan warna air atau perubahan morfologi ikan. Dampak kimia dapat dilihat dari perubahan kualitas air yang tidak sesuai baku mutu air pada tiap-tiap peruntukannya. Sedangkan dampak biologis dapat berupa kematian ikan atau sekurang-kurangnya kerusakan jaringan atau perubahan 5 struktur organ, hal tersebut disebabkan organisme perairan dapat mengakumulasi beban pencemaran yang masuk kedalam tubuhnya (Pratiwi, 2010). Ketika bahan pencemar yang terakumulasi telah melewati batas toleransi tubuh organisme tersebut, akan mengakibatkan kerusakan organ organisme tersebut atau bahkan menyebabkan organisme tersebut mati (Rachmadi, 2012) Perubahan kondisi histologi pada ikan dapat terjadi dalam waktu singkat, disebabkan pergeseran kondisi lingkungan akibat masuknya bahan polutan ke perairan (Hardi, 2003 dalam Damayanti, 2010). Insang selain sebagai alat pernapasan ikan, juga digunakan sebagai alat pengatur tekanan antara air dan dalam tubuh ikan (osmoregulasi). Oleh sebab itu, insang merupakan organ yang penting pada ikan dan sangat peka terhadap pengaruh toksisitas logam. Toksisitas logam-logam berat yang melukai insang dan struktur jaringan luar lainnya, dapat menimbulkan kematian terhadap ikan yang disebabkan oleh proses anoxemia, yaitu terhambatnya fungsi pernapasan yakni sirkulasi dan ekskresi dari insang. Perubahan kondisi histologi insang dapat digunakan sebagai indikator pencemaran dilingkungan mulai dari adanya kontaminasi sampai pencemaran tingkat tinggi, dengan ditandai adanya edema (pembengkakan sel atau penimbunan cairan secara berlebihan didalam jaringan), hiperplasia (pembentukan jaringan secara berlebihan karena bertambahnya jumlah sel), nekrosis (kematian jaringan) dan atropi (penurunan jumlah atau ukuran dari jaringan). Penelitian Alifia dan Djawad (2003), bahwa kerusakan lamella insang terjadi sejalan dengan semakin tingginya konsentrasi logam timbal (Pb), kondisi histologi insang dengan konsentrasi 0,05 ppm menunjukkan terjadinya pembesaran epitel lamella, hiperplasia terjadi ketika konsentrasi Pb 0,1 ppm dan hilangnya fungsi epitel ketika konsentrasi 0,15 ppm. Organ hati memiliki fungsi sebagai dektoksifikasi bahan pencemar karena memiliki sel kupffer. Sel kupffer merupakan monosif atau makrofag yang memiliki fungsi utama menelan bakteri dan benda asing dalam darah. Sehingga hati merupakan salah satu organ utama pertahanan agen toksik (Anderson, 1995 dalam Damayanti, 2010). Penelitian Destiany (2007) menunjukkan ikan yang diberi merkuri klorida mengalami pembengkakan sel dan kongesti (pembendungan darah). Penelitian Damayanti (2009) menunjukkan bahwa organ 6 hati yang tercemar logam berat di waduk Cirata mengalami kerusakan seperti degradasi vakuola, piknotis, steatosis dan nekrosis. Penelitian histopatologi hati pernah dilakukan oleh Hidayati (2009) dengan hasil menunjukkan ikan bandeng yang dipelihara dalam air yang mengandung lumpur Sidoarjo mengalami pembengkakan sel dan kehilangan integritas pembuluh darah kapiler (sinusoid), dikarenakan lumpur Sidoarjo mengandung logam berat diatas ambang batas yang dipersyaratkan unsur Cd (0,45 ppm), Cr (105,44 ppm), As (0,99 ppm) dan Hg (1,96 ppm) dengan pH Lumpur 9,18. Berdasarkan hasil penelitian Setyowati, dkk. (2010) dilokasi lumpur Sidoarjo mendapatkan hasil, ikan belanak mengalami kerusakan bridging necrosis, fokal nekrosis, degenerasi intralobular, peradangan dan pembengkakan bagian portal. Kerusakan hati akan menyebabkan terganggunya fungsi hati sebagai dektoksifikasi serta terganggunya produksi aliran empedu juga peredaran darah. Organ ginjal berfungsi menetralisir racun atau bahan pencemar yang telah masuk kedalam tubuh, juga akan memberikan reaksi terhadap bahan pencemar. Ginjal mempunyai peran utama dalam ekskresi metabolisme, pencernaan dan tempat penyimpanan berbagai unsur. Ginjal berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresi bahan yang tidak dibutuhkan oleh tubuh, termasuk logam berat yang toksik (Erlangga, 2007). Penelitian Erlangga (2007) menunjukkan organ ginjal ikan baung di sungai Kampar yang telah tercemar logam berat mengalami kelainan yang terjadi pada struktur sel ginjal ikan tersebut, yaitu terjadinya mineralisasi, neokrosis, infeksi dan radang limfosit. Berdasarkan uraian di atas, melihat fungsi insang, hati dan ginjal pada ikan, serta pengaruh yang terjadi akibat paparan logam berat terhadap organ-organ tersebut, maka perubahan struktur organ dapat dijadikan indikator pencemaran yang terjadi dilingkungan perairan. Kerusakan organ insang, hati dan ginjal ikan akan tergantung pada konsentrasi dan lama waktu ikan terpapar limbah industri tekstil terutama logam berat kromium (Cr).