5 Sistem Agroforestri 5 Sistem agroforestri: tawaran untuk pemecahan masalah 5.1 Pendahuluan Pertambahan penduduk selama beberapa dekade terakhir di Lampung menjadi salah satu pendorong perubahan penggunaan lahan dari kawasan hutan menjadi lahan pemukiman, pertanian dan perkebunan. Hal itu mengakibatkan luasan kawasan hutan semakin berkurang. Pada tahun 1986 sekitar 80 % dari total luasan daerah Lampung Utara masih berupa hutan primer dan sekunder, sedangkan pada tahun 1994 hanya tersisa sekitar 35% (van Noordwijk et al., 1995). Sebagian besar kawasan hutan ternyata telah berubah menjadi lahan pertanian dan perkebunan tebu, karet dan HTI (Gambar 5.1). 100% Sistim Penggunaan Lahan: % Luas total area 75% Tebu/ karet /HTI Pertanian, alang-alang 50% Pekarangan/pepohonan Rawa 25% Belukar Hutan sekunder 0% 1986 1994 Gambar 5.1 Luasan total hutan dan lahan pertanian dan sistem penggunaan lahan lainnya di daerah Lampung Utara di tahun 1986 dan 1994 (Van Noordwijk et al., 1995). Berkurangnya luasan hutan di kawasan ini menimbulkan lebih banyak dampak negatif, misalnya banjir, erosi dan longsor, degradasi lahan, penurunan produktivitas tanah, perubahan iklim, dan penurunan biodiversitas. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, telah disepakati bahwa fungsi hutan yang telah hilang harus dikembalikan. Idealnya kawasan ini harus dihutankan kembali. Namun karena banyak penduduk yang hidupnya bergantung pada kawasan bekas hutan, usaha penghutanan kembali bukan pemecahan yang realistis. Pemerintah dengan terpaksa mempertahankan kawasan hutan yang masih ada agar tidak – 101 – 5 Sistem Agroforestri dikonversi menjadi lahan pertanian. Upaya lain yang dilakukan adalah dengan menggalakkan pertanian campuran dengan memperbanyak pepohonan di antara tanaman semusim pada lahan pertanian, yang dikenal sebagai SISTEM AGROFORESTRI. Disatu sisi agroforestri dapat menghasilkan pangan dan di sisi lain diharapkan bisa memperbaiki kualitas tanah dan lingkungan. 5.2 Pengertian agroforestri Dalam Bahasa Indonesia, agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri, arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Sistem ini telah dipraktekkan oleh petani di berbagai tempat di Indonesia selama berabad-abad, misalnya sistem ladang berpindah, kebun campuran di lahan sekitar rumah (pekarangan) dan padang penggembalaan. Menurut De Foresta et al. (1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah menanam pepohonan secara tumpang-sari dengan satu atau beberapa jenis tanaman semusim. Jenis-jenis pohon yang ditanam bisa bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh dan jati atau bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Salah satu contoh sistem agroforestri sederhana ini dapat dilihat pada Gambar 5.2. Sedang jenis tanaman semusim misalnya padi, jagung, palawija, sayur-mayur dan rerumputan atau jenis tanaman lain seperti pisang, kopi dan kakao. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan atau ditanam berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Gambar 5.2 Sistem agroforestri sederhana terdiri dari karet ditumpangsarikan dengan ubi kayu dan cabe. (Foto: Kurniatun Hairiah) Sistem agroforestri kompleks, merupakan suatu sistem pertanian menetap yang berisi banyak jenis tanaman (berbasis pohon) yang ditanam dan – 102 – 5 Sistem Agroforestri dirawat dengan pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini tercakup beraneka jenis komponen seperti pepohonan, perdu, tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder. Sistem agroforestri kompleks dibedakan menjadi dua, yaitu (a) pekarangan berbasis pepohonan dan (b) agroforest kompleks. Pekarangan biasanya terletak disekitar tempat tinggal, luasnya terbatas (sekitar 0.1 – 0.3 ha) dan sistem ini lebih mudah dibedakan dengan hutan. Contoh: kebun talun, karang kitri dsb. Agroforest kompleks, merupakan hutan masif yang merupakan mosaik (gabungan) dari beberapa kebun berukuran 1-2 ha milik perorangan atau berkelompok, letaknya jauh dari tempat tinggal bahkan terletak pada perbatasan desa, dan biasanya tidak dikelola secara intensif. Contoh: kebun karet, kebun damar dsb (Gambar 5.3). Gambar 5.3 Kebun karet milik petani sebagai salah satu contoh Agroforest compleks (umur sekitar 5 tahun). Kebun terdiri dari berbagai jenis pepohonan seperti jengkol, pete, dan berbagai pohon penghasil timber. Pada bagian bawahnya ditumbuhi tanaman liar lain seperti pakis dsb. (Foto: Meine van Noordwijk). 5.3 Interaksi pepohonan – tanaman semusim – tanah Menanam pohon secara tumpangsari dengan tanaman semusim, pada satu tempat dan waktu yang bersamaan maupun bergiliran (sistem bera), merupakan pola dasar sistem agroforestri. Pada sistem agroforestri terjadi interaksi yaitu adanya proses yang saling mempengaruhi dari komponen-komponen penyusun agroforestri (Gambar 5.4). Interaksi tersebut bisa positif (komplimentasi) atau negatif (kompetisi). Oleh karena itu dalam memilih jenis pohon yang menjadi – 103 – 5 Sistem Agroforestri komponen agroforestri harus didasarkan pada sifat dan bentuk pohon yang berpengaruh terhadap tanaman semusim, apakah merugikan atau menguntungkan. a a c b c a Tan. semusim b b d c c d b d Gambar 5.4 Interaksi antara pohon dan tanaman pangan pada sistem agroforestri. (a = naungan; b= kompetisi akan air dan hara; c = daun gugur (seresah) dari pohon berguna untuk menambah C, N, P dan hara lainnya; d = pohon berperakaran dalam berperanan penting sebagai jaring penyelamat hara yang tercuci ke lapisan bawah). 5.3.1 Pengaruh pohon yang merugikan Beberapa pengaruh pohon yang merugikan bila ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim antara lain: • Kompetisi cahaya Pohon biasanya tumbuh lebih tinggi daripada tanaman semusim, oleh karena itu kanopi pohon akan menaungi tanaman semusim. • Kompetisi air dan hara Akar pepohonan dan tanaman semusim yang berkembang di lapisan yang sama akan saling berebut air dan hara sehingga mengurangi jumlah yang dapat diserap tanaman semusim. Kompetisi antara dua jenis tanaman terjadi bila kedua jenis tanaman (atau lebih) membutuhkan sumberdaya yang sama dan ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan tersebut terbatas. Tanaman yang pertumbuhannya cepat membutuhkan cahaya, air dan hara yang lebih banyak. Oleh karena itu pemilihan pohon dalam sistem agroforestri harus mempertimbangkan kecepatan tumbuhnya serta kebutuhan tanaman lain yang tumbuh pada lahan yang sama. – 104 – 5 Sistem Agroforestri • Inang penyakit Seringkali pepohonan dapat menjadi inang hama dan penyakit untuk tanaman semusim. 5.3.2 Pengaruh pohon yang menguntungkan Penanaman pohon yang ditumpangsarikan dengan tanaman semusim ternyata dapat memberikan keuntungan bagi tanaman semusim. a) Sumber bahan organik Daun pepohonan yang gugur dan hasil pangkasan yang dikembalikan ke dalam tanah dapat menjadi rabuk sehingga tanah menjadi remah. Berapa banyaknya masukan daun gugur setiap tahunnya? b) Menekan gulma Naungan pohon dapat menekan pertumbuhan gulma terutama alang-alang dan menjaga kelembaban tanah sehingga mengurangi risiko kebakaran pada musim kemarau. Adanya naungan dari pohon dapat memberikan keuntungan bagi tanaman tertentu yang menghendaki naungan misalnya kopi. c) Mengurangi kehilangan hara Akar pepohonan yang dalam dapat memperbaiki daur ulang hara, melalui beberapa cara, antara lain: • • • Akar pohon menyerap hara di lapisan atas dengan jalan berkompetisi dengan tanaman pangan, sehingga mengurangi pencucian hara ke lapisan yang lebih dalam. Namun pada batas tertentu kompetisi ini akan merugikan tanaman pangan. Akar pohon berperan sebagai "jaring penyelamat hara" iaitu menyerap hara yang tidak terserap oleh tanaman pangan pada lapisan bawah selama musim pertumbuhan (lihat contoh kasus 5.1). Akar pohon berperan sebagai "pemompa hara" terutama pada tanahtanah subur, yaitu menyerap hara hasil pelapukan mineral/batuan induk pada lapisan bawah. Namun hal ini masih bersifat hipotesis, dan masih perlu penelitian lebih lanjut. d) Memperbaiki porositas tanah Akar pepohonan berperan memperbaiki struktur tanah dan porositas tanah, misalnya akar pohon yang mati meninggalkan lubang pori. Lihat contoh kasus 5.2. e) Menambat N dari udara Pohon berbunga kupu-kupu (legume) dapat menambat N langsung dari udara, sehingga dapat mengurangi jumlah pupuk yang harus diberikan. – 105 – 5 Sistem Agroforestri f) Menekan serangan hama & penyakit Ada pepohonan yang dapat mengurangi populasi hama dan penyakit tertentu. g) Menjaga kestabilan iklim mikro Pepohonan yang ditanam cukup rapat dapat menjaga kestabilan iklim mikro, mengurangi kecepatan angin, meningkatkan kelembaban tanah dan memberikan naungan parsial (misalnya Erythrina (dadap) pada kebun kopi). h) Mengurangi bahaya erosi Untuk jangka panjang mengurangi bahaya erosi, melalui pengaruhnya terhadap perbaikan kandungan bahan organik tanah dan struktur tanah. Contoh Kasus 5.1 Akar pohon sebagai jaring penyelamat hara Pengukuran N tercuci dilakukan pada kedalaman 0.8 m dan > 0.8 m pada sistem budi daya pagar di Pakuan Ratu, Lampung (Suprayogo et al., 2000). Tanaman pagar ditanam pada tahun 1985 yaitu petaian (Peltophorum), gamal (Gliricidia). Tanaman pagar tersebut ditanam berbaris dengan jarak tanam 4 x 0.5 m atau sebagai campuran baris petaian berselang seling dengan gamal. Jumlah N mineral (NH4+ dan NO3- ) yang diperoleh dibandingkan dengan petak jagung monokultur, tanpa tanaman pagar (sebagai kontrol) tetapi jagung dipupuk N sebanyak 90 kg ha-1. Tanaman semusim yang ditanam di antara baris tanaman pagar adalah jagung (musim tanam I) dan diikuti oleh kacang tanah (musim tanam II). Tinggi rendahnya konsentrasi N-mineral yang terukur menunjukkan efektifitas akar pohon dalam menyerap N yang tercuci. Semakin rendah konsentrasi N mineral yang dijumpai berarti semakin efektif akar tanaman pohon dalam menyerap N yang tercuci. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Gambar 5.5. Tidak ada perbedaan jumlah air drainasi pada semua petak. Namun bila ditinjau dari konsentrasi N –mineral (NH4+ dan NO3- ) baik pada kedalaman 0.8 m maupun > 0.8 m, ternyata konsentrasi tertinggi dijumpai pada petak kontrol. Konsentrasi terendah dijumpai pada petak petaian. Sedang konsentrasi N-mineral pada petak gamal, campuran petaian/gamal berada di antaranya. – 106 – 5 Sistem Agroforestri Studi kasus 5.1 (lanjutan) 250 Air drainasi (mm) 200 A. Air drainasi keluar dari kedalaman tanah 0.8 m pemupukan urea-N 60 kg ha dan pemangkasan gliricidia -1 tanam kacang tanah dan pemangkasan peltophorum dan gliricidia 150 100 50 40 + B. Konsentrasi mineral N (NH4 -N+NO3 -N) dalam larutan tanah di kedalaman 0.8 m 30 20 10 0 3 -2 Pencucian mineral N (g m ) Konsentrasi mineral N (mg l-1) 0 + C. Pencucian mineral N (NH4 + NO3 ) keluar dari kedalaman tanah 0.8 m 2 1 0 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 98 105 112 119 126 133 Hari setelah tanam jagung Gambar 5.5 Air yang bergerak ke bawah (air drainasi), konsentrasi N dan jumlah N yang tercuci pada kedalaman 0.8 m pada sistem budi daya pagar, (•) = petaian (ο) = gamal, (t) = campuran petaian + gamal, (? ) = jagung monokultur (kontrol) dengan pemupukan N 90 kg ha-1. Tanda ‘bar” menunjukkan nilai ‘standard error of the difference’ (s.e.d.) (Suprayogo et al., 2000). – 107 – 5 Sistem Agroforestri Contoh kasus 5.2 Manfaat liang akar pohon yang telah mati bagi tanaman semusim Pada tanah masam liang bekas akar mati berguna untuk pertumbuhan akar tanaman lainnya karena lebih rendahnya tingkat keracunan Al daripada tanah di luar liang. Dekomposisi dan mineralisasi akar pohon akan melepaskan beberapa asam-asam organik seperti sitrat, malat dan fulfat yang dapat mengkelat Al menjadi bentuk yang tidak beracun bagi tanaman. Contoh hasil pengukuran pH tanah pada berbagai kedalaman pada profil tanah yang dibuat pada petak budidaya pagar di ultisol, Onne, Nigeria (Tabel 5.1). Sebagai pembanding dua kolom terakhir menunjukkan pH di dalam liang akar pada lapisan tanah bawah dibandingkan dengan pH tanah di sekitarnya di luar liang (Hairiah dan van Noordwijk, 1986). Tabel 5.1 pH-H2O pH-KCl pH tanah pada berbagai kedalaman dalam profil tanah yang dibuat pada petak budidaya pagar dan di dalam liang akar pada lapisan tanah bawah pada Ultisol, Onne, Nigeria (Hairiah & van Noordwijk, 1986). 0-20 3.6 4.7 Kedalaman (cm) 20-30 30-60 3.6 3.6 4.5 4.4 Di luar liang 3.7 4.4 Di dalam liang 3.4 4.2 Dari data tersebut di atas dapat dilihat bahwa pH di dalam liang akar pohon relatif lebih rendah dari pada tanah disekelilingnya atau tanah dalam profil tanah. Namun mengapa akar ubi kayu masih lebih suka tumbuh pada liang akar pohon tersebut (lihat Gambar 5.6.). Ada 3 kemungkinan yang menyebabkan akar ubikayu suka tumbuh pada liang akar pohon: (a) keracunan Al rendah, (b) lebih kaya akan hara (c) struktur tanah lebih remah. Gambar 5.6 Pemandangan di dalam tanah tentang peranan penting liang yang terbentuk dari akar pohon yang telah mati. Tanah di dalam liang berwarna lebih gelap dan gembur dari pada tanah di sekelilingnya sehingga lebih banyak akar yang tumbuh mengikuti liang tersebut sampai ke lapisan bawah. Akar pohon mati membentuk liang dan akar ubi kayu tumbuh di dalamnya menembus lapisan bawah pada ultisol di Onne Nigeria (Foto: Meine van Noordwijk, 1986) – 108 – 5 Sistem Agroforestri 5.4 Analisis dan sintesis sistem agroforestri: Pohon dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap tanaman lainnya, dan kedua pengaruh tersebut terjadi bersamaan di lapangan yang sangat sulit dipisahkan. Oleh karena itu informasi kuantitatif interaksi pohon dan tanaman semusim dalam sistem tumpangsari sangat terbatas. Berikut adalah contoh studi kasus percobaan lapang di Pakuan Ratu, Lampung (Contoh Kasus 5.3). Contoh kasus 5.3 Interaksi pohon dan tanaman semusim pada sistem budidaya pagar (hedgerow intercropping system) Berikut ini adalah contoh bagaimana mengevaluasi interaksi pohon dan tanaman pangan secara kuantitatif pada sistem budidaya pagar yang telah berumur 7 tahun di Pakuan Ratu. Tanaman jagung dipakai sebagai tanaman indikator, yang ditanam pada loronglorong di antara tanaman pagar. Tujuan percobaan • Mengukur pengaruh tanaman pagar terhadap pengurangan cahaya yang masuk ke dalam petak, • Mengukur kompetisi akar dalam menyerap air dan hara. • Mengukur pengaruh residu dari pohon terhadap kesuburan tanah Penyusunan percobaan budidaya pagar: Pada petak utama terdapat enam spesies tanaman pagar yang ditanam pada tahun 1986, yaitu: (a) Petaian (Peltophorum dasyrrachys), (b) Gamal (Gliricidia sepium), (c) Selang-seling antar baris petaian dan gamal, (d) Kaliandra (Calliandra calothyrsus), (e) lamtoro (Leucaena leucocephala), dan (f) Flemingia congesta. Satu petak lain sebagai kontrol adalah lahan tidak ditanami tanaman pagar. Masing-masing petak dibagi menjadi 4 anak petak untuk menguji respon tanaman terhadap 4 dosis pemupukan N: 0 kg ha -1 ; 45 kg ha-1 ; 90 kg ha-1 dan 135 kg ha-1. Bagaimana menyusun perlakuan untuk mengevaluasi interaksi antara tanaman pagar dan tanaman pangan? Dari petak utama dan anak petak tersebut di atas, dapat dipisahkan pengaruh positif dan negatif pohon terhadap tanaman pangan melalui analisis hasil sebagai berikut: Variabel Perlakuan 1. Naungan 2. Kompetisi akan air dan hara 3. Mulsa 4. Pengaruh residu tanam (pengaruh jangka panjang) • • • • • • • • Dengan pemangkasan tajuk Tanpa pemangkasan tajuk Dengan penyekat akar Tanpa penyekat akar Dengan penambahan biomas sebagai mulsa Tanpa penambahan biomas Dengan penebangan pohon/tanaman pagar Tanpa penebangan pohon/tanaman pagar • Ada 8 sub plot per species pohon TOTAL PLOT – 109 – 5 Sistem Agroforestri Contoh kasus 5.3 (lanjutan) Hasil dari percobaan ini menunjukkan bahwa petaian secara konsisten memberikan pengaruh yang menguntungkan terhadap produksi tanaman semusim (jagung) selama 2 musim tanam. Setelah penebangan tanaman pagar (umur 8 tahun) dan semua hasil tebangan diangkut keluar petak, ternyata tanaman jagung yang ditanam pada lahan tersebut menunjukkan respon yang sangat nyata terhadap 'pengaruh residu' yang ditinggalkan oleh pohon. Pengaruh residu yang ditinggalkan oleh pohon bisa berupa kesuburan tanah yang 'baik', yang dapat dievaluasi dengan membandingkan produksi jagung yang diperoleh pada petak tersebut dengan produksi jagung pada petak kontrol (Gambar 5.7.A). Berdasarkan data produksi rata-rata selama dua musim tanam, dapat dilihat bahwa produksi yang diperoleh pada petak Kaliandra dan Lamtoro lebih tinggi bila dibandingkan dengan produksi yang diperoleh dari petak kontrol dengan pemupukan N sebanyak 135 kg ha-1. Hal ini dapat diartikan sebagai besarnya peranan bahan organik dari ke dua tanaman pagar tersebut terhadap perbaikan kesuburan tanah (F) melalui perbaikan status bahan organik tanah terutama yang berasal dari akar. Namun demikian untuk kondisi 'normal' (pohon tidak ditebang, jadi masukan bahan organik berasal dari pangkasan dan serasah serta dari akar), hanya petaian yang mampu memberikan produksi jagung lebih tinggi dari pada kontrol. Perbedaan terbesar dikarenakan adanya pengaruh naungan, karena pengaruh pemberian mulsa dan pemberian penyekat akar (interaksi bawah tanah) relatif kecil (Gambar 5.7.B). Pada musim tanam ke dua (bulan Februari – Mei) di mana kondisinya lebih kering daripada tahun-tahun sebelumnya, produksi tanaman rendah pada semua perlakuan. Pada kondisi ini jagung menunjukkan respon yang negatif terhadap pemupukan N (produksi terendah diperoleh pada tingkat pemupukan N tertinggi), tetapi residu pohon masih menunjukkan pengaruh positif. Tidak ada perbedaan pengaruh antara pemberian mulsa sebanyak 9 ton ha-1 (normal) dengan pemberian 18 ton ha-1. Informasi ini sangat menguntungkan untuk tujuan praktis di lapangan. Faktor pembatas utama pertumbuhan tanaman pada kondisi ini nampaknya adalah ketersediaan air, karena ketersediaan P telah dikoreksi dengan menambahkan pupuk P ke semua plot. Tabel 5.2. ringkasan analisis interaksi pohon dan tanaman jagung berdasarkan pada tingkat perbaikan kesuburan tanah (F) dan kompetisinya (C), yang ditunjukkan dengan produksi jagung yang diperoleh. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa Petaian memberikan neraca yang positif, pengaruh positifnya lebih besar dari pada pengaruh negatifnya. Spesies ini memiliki daya kompetisi lebih rendah dari pada spesies lainnya dikarenakan: sistem perakarannya yang dalam dan memiliki sebaran kanopi yang lebih terpusat di dekat batang pokoknya, sehingga memberikan nisbah mulsa: naungan yang lebih tinggi. Tabel 5.2 Analisis interaksi pohon dan tanaman pangan berdasarkan pengaruhnya terhadap kesuburan tanah (F) dan kompetisi (C) terhadap produksi jagung. Spesies Lamtoro (Leucaena) Kaliandra (Calliandra) Petaian (Peltophorum) Flemingia Gamal (Gliricidia) Pengaruh kesuburan, % 152 120 58 37 19 – 110 – Pengaruh kompetisi, % -159 -115 -26 -89 -60 Interaksi % -7 +5 +32 -52 -41 5 Sistem Agroforestri A Produksi biji, ton ha -1 Efek jangka Efekresidu residu jangka panjang panjang 135N 135N 90N 90N 45N 45N 0N 0N Kontrol Budidaya pagar Produksi biji, ton ha-1 5 B Residu Residu L 4 C P 3 P/G F 2 G Mulsa Mulsa 1 C F P/G G P L 0 Akar P P/G C F P -1 F -2 P/G G L G C L -3 Naungan C= Calliandra ; F= Flemingia ; P= Peltophorum ; G= Gliricidia ; L= Leucaena Gambar 5.7 Pengaruh jangka panjang (residu tanaman) terhadap produksi biji jagung berdasarkan data rata-rata dua musim tanam (A), interaksi positif dan negatif dari tanaman pagar pada sistem budidaya pagar (B). Perlakuan kontrol adalah mencerminkan respon tanaman jagung monokultur terhadap pemupukan N (s.e.d = standard error of deviations) (van Noordwijk dan Hairiah, 2000). – 111 – 5 Sistem Agroforestri 5.5 Bagaimana petani memulai sistem agroforestri? Penyediaan lahan untuk pertanian kebanyakan dilakukan dengan cara menebang dan membakar pepohonan atau alang-alang (sistem tebang-bakar). Pembakaran vegetasi mengakibatkan hampir semua cadangan C dan N hilang, tetapi petani masih tetap memilih cara ini karena mudah dan murah. Selain itu cara ini dapat menambah pupuk secara cuma-cuma dari hasil pembakaran biomas, dapat meningkatkan pH, P-tersedia dan kation basa dalam jumlah besar (Tabel 5.3). Tabel 5.3 Komposisi kimia tanah hutan sebelum dan sesudah pembakaran di daerah Pakuan Ratu (Hairiah et al., 1996). pH H2O KCl Sebelum terbakar 0 - 5 cm 6.2 4.7 5 - 10 cm 5.6 4.6 Setelah terbakar 0-3 cm 8.1 7.5 3-5 cm 8.3 7.2 5-10 cm 7.2 6.0 Dalam abu C-org % P-Olsen Abu* mg kg-1 % 2.44 2.12 5.0 2.0 7.55 4.28 1.94 51.4 25.6 6.7 384 75 80 K Ca Mg cmole kg-1 N-total % 0.20 0.20 1.44 1.85 0.62 0.52 0.14 0.14 5.37 2.02 0.29 176 25.5 14.8 3.12 23.6 4.47 3.46 0.63 17.6 0.13 *Abu per berat kering tanah Setelah pembakaran, tanah menjadi lebih subur dan bebas gulma, hama dan penyakit, sehingga biasanya langsung ditanami tanaman pangan (misalnya ubikayu, jagung atau padi). Setelah beberapa tahun, produksi semakin rendah karena tanah semakin tidak subur (lihat Contoh Kasus 5.4). Pada masa lalu petani bisa segera mencari dan membuka lahan baru (ladang berpindah) dan melanjutkan usaha pertaniannya. Hal demikian tidak bisa terjadi lagi sekarang; mereka harus bertahan untuk mengusahakan lahan yang produktivitasnya sudah sangat merosot. Salah satu upaya mempertahankan usahatani yang berkelanjutan pada kondisi demikian adalah dengan menanam pepohonan di antara tanaman semusim (pangan). Ada petani yang berhasil dengan cara ini, sehingga mendorong petani lain untuk mengikutinya. Beberapa alasan yang dikemukakan sebagai faktor yang menyebabkan petani berminat menanam pepohonan, antara lain adalah: • Pepohonan yang masih kecil tidak mengganggu tanaman semusim dan perawatan terhadap tanaman pangan dapat memberikan keuntungan bagi pepohonan. Misalnya: pemupukan dan penyiangan untuk tanaman semusim memberi manfaat kepada pepohonan. • Bila pepohonan sudah besar dan memberi naungan, petani masih dapat menanam tanaman semusim yang tahan naungan seperti talas, kunyit – 112 – 5 Sistem Agroforestri • • dan tanaman obat-obatan lainnya untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Menanam pepohonan yang bernilai ekonomi tinggi misalnya buahbuahan atau kayu untuk bangunan yang berarti menabung untuk masa depan, karena produksinya baru dipetik beberapa tahun lagi. Menanam pohon tidak memerlukan banyak perawatan, sehingga petani tidak perlu mengeluarkan tenaga dan biaya perawatan. Contoh kasus 5.4 Ubikayu menurunkan kesuburan tanah Produksi umbi, ton ha-1 Hasil percobaan di Pakuan Ratu, membuktikan bahwa penanaman ubi kayu secara monokultur maupun tumpangsari dengan jagung dan padi selama beberapa tahun terusmenerus menyebabkan penurunan produksi umbi segar (Gambar 5.8.). Pada musim pertama setelah pembukaan hutan, produksi umbi mencapai 40 ton ha-1, dan pada tahun ketiga turun menjadi 30 ton ha-1 (monokultur) dan 20 ton ha-1 (tumpangsari). Setelah lahan diberakan dan ditumbuhi alang-alang selama 4-5 tahun, kemudian dibuka kembali dan ditanami ubi kayu pada tahun ke delapan, ternyata produksi umbi yang diperoleh bahkan lebih rendah dibandingkan dengan produksi yang diperoleh pada tahun ke tiga. Hal sebaliknya justru terjadi, sistem tumpangsari memberikan produksi umbi lebih tinggi dari pada sistem monokultur. Rendahnya produksi pada sistem monokultur mungkin disebabkan oleh adanya gangguan alang-alang yang tumbuh kembali. Kondisi di bawah ubi kayu monokultur lebih terbuka dari pada sistem tumpangsari, sehingga sinar matahari yang masuk masih lebih banyak. Kondisi ini sangat ideal bagi akar rimpang alang-alang untuk tumbuh kembali. Pemberaan lahan selama 4-5 tahun sebagai padang alang-alang nampaknya tidak dapat memperbaiki kesuburan kimia tanah. Alang-alang memberikan masukan bahan organik dari tajuknya hanya sekitar 3-4 ton ha-1, dan kontribusi haranya juga rendah. Monokultur Tumpangsari 40 30 20 10 Alang-alang 0 0 2 4 6 8 10 Waktu setelah hutan dibakar, tahun Gambar 5.8 Produksi umbi dari ubi kayu pada berbagai waktu pengamatan setelah pembakaran hutan di Pakuan Ratu, Lampung (Hairiah et al, 2000). – 113 – 5 Sistem Agroforestri Namun tidak semua petani tertarik dan mau menanam pepohonan di lahannya. Pada umumnya alasan yang dikemukakan adalah: • Pepohonan baru berproduksi setelah beberapa tahun, sementara kebutuhan bahan pangan harus disediakan setiap hari. • Bibit pepohonan yang dikehendaki seringkali sulit didapat dan bila ada harganya mahal. • Petani sulit memperoleh informasi tentang budidaya pepohonan. • Status lahan garapan yang belum jelas menyebabkan petani tidak mau menanggung risiko kerugian dengan menanami pepohonan jika kemudian harus pindah. Selain alasan-alasan yang disebutkan di atas, sebenarnya masih ada alasan lain yang sifatnya khusus beragam di antara petani. 5.6 Mengapa produksi tanaman semusim menurun? Salah satu penyebab turunnya produksi tanaman semusim adalah penurunan kesuburan tanah. Hal ini terjadi karena adanya pengangkutan hara keluar dari petak yang terjadi terus-menerus dalam jumlah besar melalui panen, pencucian dan erosi. Sementara itu jumlah hara yang kembali ke dalam tanah melalui daun yang gugur dan pengembalian sisa panen lebih sedikit dibanding hara yang diangkut ke luar, sehingga setiap tahun terjadi defisit hara. Akibatnya, tanaman pada musim berikutnya akan mengalami kahat hara, sehingga perlu diberi pupuk. Petani sering mengakui bahwa karena kekurangan modal untuk beli pupuk mengakibatkan produksi tanaman selalu menurun. Hal ini membuktikan bahwa jumlah hara tersedia dalam tanah lebih sedikit dibanding jumlah yang dibutuhkan tanaman (Contoh kasus 5.5). – 114 – 5 Sistem Agroforestri Contoh kasus 5.5 Neraca C pada berbagai pola tanam Pengukuran neraca karbon (C) dilakukan pada beberapa macam pola tanam di Pakuan Ratu, yaitu pola berbasis ubikayu, budidaya pagar dan tumpang gilir tanaman leguminosa (kacang-kacangan). Hasilnya menunjukkan bahwa pola tanam berbasis ubi kayu memberikan neraca C negatif (artinya jumlah C yang terangkut keluar > jumlah C yang kembali ke tanah), dengan jumlah yang terangkut sekitar 7 ton ha-1 th-1 terutama terangkut sebagai umbi dan batang (Gambar 5.9.A.). Pola tanam budidaya pagar memberikan neraca C positif, di mana jumlah keluaran C yang terangkut panen sekitar 1.5 ton ha-1 th-1, dan masukan C sekitar 2.5 ton ha-1 th-1 sebagai biomas hasil pangkasan. Pola tanam tumpang gilir dengan tanaman kacang-kacangan penutup tanah menghasilkan kelebihan (surplus) masukan C ke dalam tanah sekitar 1.5 ton ha-1 th-1. Sedang pada neraca N, pola tanam berbasis ubikayu (Gambar 5.9B: PT 1 dan 2) menghasilkan neraca negatif. Pola tanam budidaya pagar (PT 3 dan 4) dan kacangkacangan (PT 5) menghasilkan neraca positif. Pola tanam budidaya pagar (PT 6) memberikan neraca netral karena adanya pengangkutan N melalui biji kacang tunggak. Pada sistem budidaya pagar terjadi surplus N sekitar 15-50 kg ha-1; dan untuk sistem rotasi sekitar 10-20 kg ha-1. Untuk pola tanam berbasis ubikayu memberikan neraca N minus sekitar 60 kg ha-1 (Gambar 5.9.B). Hasil perhitungan ini belum memperhitungkan adanya kehilangan N melalui pencucian, erosi atau penguapan maupun besarnya masukan N dari hasil penambatan N dari udara oleh tanaman kacang-kacangan. Perhitungan neraca C dan N ini dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa selalu terjadi penurunan produksi ubikayu setelah hutan dikonversi menjadi lahan pertanian. Dengan sistem budi daya pagar, produksi jagung dapat meningkat sekitar 1.5 ton ha-1 (van Noordwijk et al., 1995). Mengingat produksi tanaman yang diperoleh per satuan tenaga kerja masih lebih rendah bila dibandingkan dengan produksi dari pembukaan lahan baru, maka petani akan memilih membuka lahan baru dan meninggalkan lahan yang lama. Lahan pertanian yang telah terlantar tersebut akhirnya ditumbuhi gulma alang-alang (Imperata cylindrica). – 115 – 5 Sistem Agroforestri Contoh kasus 5.5 (lanjutan) 8 Kembali ke tanah Terangkut panen Neraca C, ton ha-1 th-1 6 4 A) 2 0 -2 -4 -6 -8 Neraca N, ton ha-1 th-1 150 100 B) 50 0 -50 -100 PT 1 PT 2 PT3 PT4 PT5 PT6 -150 Ubikayu Budidaya pagar Tumpang gilir Gambar 5.9 Neraca C dan N dari berbagai sistem pola tanam di Lampung Utara (Hairiah et al., 2000). PT 1 2 3 4 5 6 Uraian Pola Tanam Ubikayu monokultur Ubikayu + jagung + padi /kacang tanah Budidaya pagar; tanaman pagar yang ditanam petaian dicampur dengan gamal tumpang sari dengan jagung + padi / kacang tanah/kc. tunggak Budidaya pagar; tanaman pagar yang ditanam Flemingia tumpang sari dengan jagung + padi / kacang tanah/kc.tunggak Tumpang gilir: Jagung + padi /kacang tanah/ kacang tunggak Tumpang gilir: Jagung + padi /kacang tanah/koro benguk + berarti tumpang sari; / berarti dikuti oleh tanaman berikutnya atau tumpang gilir – 116 – 5 Sistem Agroforestri 5.7 Dasar-dasar pertimbangan memilih jenis pohon Telah diuraikan bahwa pepohonan bisa memberi dampak positif dan/atau negatif terhadap tanaman semusim yang ditanam secara tumpangsari. Demikian pula setiap jenis pohon tidak mungkin memberikan semua keuntungan yang sudah dikemukakan. Oleh karena itu sebelum memilih dan menanam pepohonan harus diketahui dengan jelas apa maksud dan tujuannya. Sesudah itu perlu memperhatikan beberapa kriteria dari pepohonan seperti berikut: a) Bentuk dan sebaran tajuk pohon Pepohonan umumnya tumbuh lebih tinggi dan luasan tajuknya jauh lebih besar daripada tanaman semusim, sehingga dapat menaungi tanaman semusim di dekatnya. Penaungan ini menyebabkan jumlah cahaya matahari yang dapat ditangkap tanaman menjadi berkurang, padahal tanaman membutuhkan cahaya matahari untuk proses fotosintesa. Bentuk dan sebaran tajuk pohon menentukan tingkat penaungan dan besarnya cahaya matahari diterima tanaman semusim. Pohon yang tumbuh tidak terlalu tinggi dengan sebaran tajuk yang rapat tetapi tidak terlalu melebar, cocok digunakan sebagai tanaman pagar dalam sistem tumpangsari. Sebagai contoh, petaian memiliki sebaran tajuk yang tidak terlalu melebar (Gambar 5.10.) tetapi mampu memberikan produksi pangkasan sekitar 8 ton ha-1, tidak terlalu banyak memberikan naungan terhadap tanaman yang ditanam disekitarnya. Tanaman pagar yang lain seperti lamtoro, gamal dan kaliandra memberikan hasil pangkasan yang hampir sama, tetapi bentuk kanopinya terlalu melebar. Jenis pepohonan ini kurang cocok untuk tanaman pagar karena perlu lebih banyak tenaga kerja untuk melakukan pemangkasan cabang dan ranting yang lebih sering. Gamal Tinggi, m Lamtoro 4m 4m Petaian Tinggi, m Kaliandra 4m 4m Gambar 5.10 Sebaran tajuk beberapa tanaman pagar dalam sistem budi daya pagar di Pakuan Ratu, Lampung (Hairiah et al., 1992). – 117 – 5 Sistem Agroforestri b) Produksi seresah Pepohonan dapat memberikan masukan bahan organik melalui pangkasan biomassa berupa daun, cabang dan ranting. Apabila tidak ada pemangkasan maka masukan bahan organik dapat terjadi melalui daun, cabang dan ranting yang gugur. Jumlah masukan bervariasi tergantung dari jenis tanaman dan musim. Pada musim kemarau beberapa tanaman cenderung lebih banyak menggugurkan daunnya dari pada musim penghujan. Produksi rata-rata pangkasan beberapa jenis pepohonan per tahunnya sekitar 8 - 10 ton ha-1. Contoh kasus 5.6 Hasil penelitian: produksi bahan organik Masukan bahan organik yang berasal dari daun, ranting dan cabang yang gugur di Pakuan Ratu, Lampung: • • • Petaian monokultur berumur 10 tahun menghasilkan masukan sekitar 12 ton ha-1 tahun-1. Gamal monokultur juga berumur 10 tahun memberikan masukan sekitar 5 ton ha-1 tahun-1. Hutan sekunder memberikan masukan sekitar 8-9 ton ha-1 tahun-1. c) Sinkronisasi antara ketersediaan hara dan kebutuhan tanaman Seresah yang dihasilkan pepohonan memiliki kualitas yang berbeda-beda yang pada akhirnya menentukan kecepatan pelapukan dan mineralisasi. Kualitas bahan yang dihasilkan harus sesuai dengan kecepatan tumbuh dan kebutuhan hara tanaman semusim supaya terjadi sinkronisasi (lihat Bab 4). Oleh karena itu dibutuhkan informasi tentang variabel yang menentukan kualitas bahan organik, supaya dapat membantu pemilihan jenis pohon yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman semusim. Pada umumnya petani sudah cukup berpengalaman dalam mengenali kecepatan dekomposisi dari beberapa jenis seresah yang dijumpai di lahannya. Berikut adalah beberapa ciri seresah yang cepat lapuk yang dikenali oleh petani di daerah Lampung. Variabel Ketebalan daun Permukaan daun Kelenturan daun Cepat Lapuk tipis bertulang daun halus halus tidak mudah patah (lentur) Lambat Lapuk tebal, bertulang daun besar dan kaku mengkilap berlilin atau bisa juga berbulu mudah patah Menurut pengamatan petani bahwa seresah daun jati yang kaku dan memiliki permukaan kasar dapat bertahan lama di lahan karena daun ini sangat lambat dilapuk (Gambar 5.11). Selama musim kemarau pohon jati merontokkan – 118 – 5 Sistem Agroforestri daunnya untuk mengurangi transpirasi karena ketersediaan air tanah yang terbatas. Lahan menjadi lebih terbuka sehingga seresah jati menjadi semakin kering. Daun jati kering yang menutup permukaan tanah dapat cukup lama berperan sebagai mulsa sehingga dapat mempertahankan kelembaban tanah. Namun daun jati kering ini mudah sekali terbakar selama musim kemarau, sehingga sering merugikan petani di sekelilingnya. Gambar 5.11 Seresah daun jati dan alang-alang lambat dilapuk, tinggal cukup lama di permukaan tanah sehingga rawan terhadap kebakaran di musim kemarau (Foto: Kurniatun Hairiah) d) Kedalaman perakaran Pohon yang berakar dalam berperan sebagai jaring penyelamat hara yang baik dan memiliki ketahanan terhadap kekeringan. Tanaman yang akarnya tersebar intensif dan dalam akan lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan dengan yang berperakaran dangkal. Tanaman ini juga toleran terhadap Al. Distribusi kedalaman perakaran yang dibutuhkan telah dibicarakan pada Bab 4 dan contoh hasil estimasi model WaNuLCAS akan dibicarakan pada Bab 6. Contoh hasil pengamatan distribusi perakaran tanaman legum dan pohon buahbuahan dapat dilihat pada Lampiran 5.1 dan 5.2. e) Penambatan N dari udara Kemampuan tanaman untuk menambat N dari udara bebas diharapkan dapat menambah ketersediaan N dalam tanah. Tanaman yang mempunyai kemampuan ini adalah dari jenis leguminosa (kacang-kacangan), walaupun tidak – 119 – 5 Sistem Agroforestri semua legume dapat menguntungkan. Strategi pemilihan tanaman legume untuk perbaikan cadangan N dalam tanah telah dibicarakan cukup mendalam pada Bab 4. Contoh kasus 5.7 Hasil penelitian: komposisi bahan organik Hasil pengukuran kandungan lignin, polifenolik dan total kation (Ca+Mg+K) pada beberapa jenis tanaman pepohonan di Pakuan Ratu, Lampung disajikan pada Tabel 5.4. Bahan organik asal pangkasan gamal (Gliricidia) merupakan bahan yang paling cepat melepaskan unsur hara bila dibandingkan dengan seresah asal daun jambu karena kandungan ligninnya lebih rendah. Seresah gamal akan cepat habis terdekomposisi dalam waktu 4 minggu (Handayanto, 1997). Petaian memiliki kualitas lebih rendah dibanding gamal, bukan ditentukan oleh kandungan ligninnya, melainkan karena kandungan polifenoliknya yang lebih tinggi. Dalam waktu 4 minggu petaian baru melepaskan sekitar sepertiga dari N yang dikandungnya. Tabel 5.4 Konsentrasi total kation, nisbah C/N, Lignin: N (Lg/N), Polyphenolic: N (Pp/N) dari biomas yang dipakai dalam percobaan inkubasi. Spesies N % C: N L P % % Lg:N Pp:N (Lg+Pp) /N Σ kation cmol kg-1 1 Kaliandra/Calliandra 3.65 13.1 12 4.26 3.29 1.17 4.45 58.8 2 Petaian/Peltophorum 2.47 13.6 19 4.76 7.69 1.93 9.62 58.4 3 Gamal/Gliricidia 4.57 10.2 11 1.80 2.41 0.39 2.80 52.9 4 Lamtoro/Leucaena 3.28 14.8 12 2.30 3.66 0.70 4.36 42.1 5 Flemingia 3.22 17.6 9 2.59 2.80 0.80 3.60 36 6 Jambu air/Syzigium 2.81 8.7 32 0.32 11.4 0.11 11.5 88.9 7 Bulangan/Gmelina 6.11 6.7 28 1.10 4.58 0.18 4.76 126.2 8 Sungkai/Perunema 5.85 9.0 37 1.56 6.33 0.27 6.59 72.5 9 Krinyu/Chromolaena 1.88 27.7 32 2.33 17 1.24 18.3 100 0.78 74 11 0.65 14 0.83 14.9 19.45 10 Alang-alang/ Imperata Informasi hasil analisis beberapa jenis bahan ini dapat dipakai sebagai dasar menentukan kualitas bahan organik, sehingga dapat menaksir kecepatan mineralisasinya. Lebih jauh hal ini dapat dipakai untuk memilih jenis pepohonan yang memiliki sinkronisasi cukup tinggi dengan tanaman semusim yang ada. – 120 – 5 Sistem Agroforestri f) Ketahanan terhadap pangkasan Untuk mengurangi persaingan akan cahaya antara pohon dan tanaman semusim, perlu dilakukan pemangkasan daun dan ranting pohon tanaman pagar. Beberapa jenis pohon tetap tumbuh baik walaupun sering dipangkas, namun ada jenis-jenis pohon yang tidak tahan mengalami pemangkasan, ditandai dengan kemunduran pertumbuhan setelah dipangkas beberapa kali. Pohon yang mudah dan cepat tumbuh kembali setelah mengalami pemangkasan periodik sangat cocok untuk digunakan sebagai tanaman pagar. Berikut ini daftar ketahanan beberapa jenis pohon terhadap pangkasan: Nama tanaman Dadap (Erythrin) Kaliandra (Calliandra ) Lamtoro (Leucaena) Gamal (Gliricidia ) Petaian/soga (Peltophorum) Flemingia Ketahanan terhadap pangkasan rendah (~ 3 tahun) sedang (~ 5-7 tahun) sedang (~ 5-7 tahun) tahan (>7 tahun) tahan (>7 tahun) tahan (>7 tahun) g) Kemampuan mengendalikan gulma Alang-alang merupakan gulma yang paling dominan pada lahan-lahan terbuka dan terlantar. Gulma ini mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap tanaman pertanian, karena daya saingnya sangat kuat akan air, hara. Tumbuhan ini sangat tahan kekeringan, mudah beradaptasi dengan tanah miskin hara, masam, dan tahan terhadap Al yang meracun. Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome) yang menyebar luas di bawah permukaan tanah. Alang-alang dapat berkembang biak melalui biji dan akar rimpang, namun pertumbuhannya terhambat bila ternaungi. Oleh karena itu salah satu cara mengatasinya adalah dengan jalan menanam tanaman lain yang tumbuh lebih cepat dan dapat menaungi. Menanam tanaman penutup tanah baik berupa tanaman semusim, perdu, atau pohon dapat membantu mengendalikan alang-alang. Tidak semua pohon yang digunakan sebagai tanaman pagar dapat menekan pertumbuhan alang-alang. Hanya pepohonan yang cepat tumbuh dan memiliki tajuk yang rapat dan padat sangat potensial untuk mengendalikan alang-alang. Dua contoh jenis pohon yang dipergunakan untuk mereklamasi lahan alang-alang di Lampung yaitu petaian dan gamal dapat dilihat pada Gambar 5.12. – 121 – 5 Sistem Agroforestri Contoh kasus 5.8 Naungan dan Alang-alang Hasil percobaan dan survey (Purnomosidhi et al., 2000) pada lahan petani di Pakuan Ratu, Lampung menunjukkan bahwa: untuk membasmi alang-alang secara biologi diperlukan penaungan yang dapat mengurangi sinar matahari yang masuk minimal 80% dari jumlah total sinar pada tempat-tempat terbuka, dan waktu yang diperlukan minimal 2 bulan. Tanaman penutup tanah kacang-kacangan (LCC) berumur pendek dan tumbuh cepat seperti Mucuna pruriens var. utilis (Bhs. Jawa koro-benguk) yang siklus hidupnya hanya sekitar 5 bulan, dengan kemampuan menutup permukaan tanah sekitar 80% pada saat tanaman telah berumur 4 bulan, mempunyai potensi menekan alang-alang. Koro benguk hanya mampu menekan populasi alang-alang tetapi tidak mampu membunuh akar rimpang alang-alang. Jalan keluarnya adalah mengkombinasikan dengan tanaman penutup tanah lain yang berumur lebih panjang misalnya kacang ruji (Pueraria), ki besin (Centrosema) dan pepohonan bernilai ekonomi tinggi yang pertumbuhannya cepat pula. Bila sistem campuran ini telah terbentuk dan akar rimpang alang-alang telah mati, maka tanaman pangan dapat ditanam disela-sela pepohonan. Dan bila sebaran tajuk pepohonan telah rapat dan cahaya yang masuk terlalu sedikit maka lahan dapat dibiarkan menjadi sistem agroforestri. Pada kondisi ini merupakan titik awal dimulainya sistem agroforestri pada lahan bekas alang-alang. Gambar 5.12 Petaian (atas) dan gamal (bawah) ditanam berbaris untuk memberantas alang-alang melalui efek naungan. Tajuk gamal meyebar ke samping tetapi tidak cukup rimbun sehingga masih banyak matahari yang masuk, maka populasi alang-alang masih tinggi. (Foto: Meine van Noordwijk) – 122 – 5 Sistem Agroforestri h) Manfaat tambahan Salah satu alasan keberatan petani menerapkan tumpangsari tanaman semusim dengan pohon adalah berkurangnya lahan untuk tanaman semusim, karena digunakan untuk menanam pohon sehingga pendapatan jangka pendek menjadi berkurang. Oleh karena itu, untuk mengganti ‘kerugian’ tersebut, pohon yang dipilih sebaiknya yang memberikan manfaat ganda bagi petani: menjamin lingkungan tumbuh yang baik dan dapat memberikan produksi yang dapat dimanfaatkan segera seperti buah, sayur, getah, pakan ternak, kayu bakar, dan sebagainya. 5.8 Mengelola pohon Prinsip dasar fisiologi tanaman: Hubungan fungsi antara akar dan tajuk Sebaran akar tanaman ditentukan oleh sifat genetik, lingkungan tanah, dan pengelolaan tanaman. Usaha pengelolaan pohon yang akan mempengaruhi jumlah dan distribusi perakaran antara lain adalah pengaturan kepadatan populasi pohon dan pemangkasan tajuk. Perubahan pertumbuhan pohon di bagian tajuk akan diikuti oleh perubahan pertumbuhan akar. Menurut konsep dasar fisiologi yang lama, pertumbuhan akar dan fungsinya bagi produksi tanaman adalah didasarkan atas 'keseimbangan morfogenetik' antara akar dan tajuk tanaman. Dengan kata lain bahwa 'lebih banyak akar, mengakibatkan pertumbuhan tajuk menjadi lebih baik', atau tinggi pohon dan luas sebaran tajuknya akan menentukan kedalaman dan luas sebaran perakaran pohon tersebut. Oleh karena itu sebagai dasar pedoman pemberian pupuk kepada pohon atau tanaman biasanya dengan memperhatikan lebar sebaran tajuknya. Berdasarkan hasil penelitian fisiologi Hubungan akar dan tajuk tanaman yang telah dilakukan seabad yang lalu tanaman adalah hubungan membuktikan bahwa anggapan tersebut tidak KESEIMBANGAN FUNGSI sepenuhnya benar. Oleh sebab itu konsep Bukan KESEIMBANGAN MORFOLOGI dasar hubungan antara akar dan tajuk tanaman tidak dapat diterima lagi dan berubah menjadi 'keseimbangan fungsi'. Konsep baru ini lebih menekankan pada fungsi perakaran dalam menyerap air dan hara oleh sistem perakaran daripada ukuran distribusi sistem perakaran tanaman tersebut. Tajuk melalui proses fotosintesis menyediakan karbohidrat untuk akar dan akar menyerap air dan hara dari dalam tanah untuk memenuhi kebutuhan tajuk. Jumlah air dan hara yang diserap oleh akar ditentukan oleh banyak faktor antara lain kebutuhan tanaman, ketersediaannya dalam tanah, kontak antara akar dengan tanah dan luas permukaan akar. Tajuk dan akar sama-sama memiliki kurva pertumbuhan optimum namun pada kondisi yang berbeda. Untuk mencapai pertumbuhan optimum, tingkat kesuburan tanah yang dibutuhkan oleh akar relatif – 123 – 5 Sistem Agroforestri 40 10 30 0.1 20 Taju k:a kar 1 10 0 0.01 0 Nisbah tajuk : akar 100 Be rat taju Be k rat ak ar Berat kering lebih rendah dari pada kondisi yang dibutuhkan oleh tajuk. Gambar 5.13. memberikan gambaran secara skematis tentang respon tajuk dan akar tanaman terhadap ketersediaan air dan hara (Schuurman, 1983). Tanaman yang tumbuh pada tanah yang subur memiliki nisbah tajuk: akar yang lebih tinggi sebagai akibat tingginya produksi tajuk dari pada tanaman yang tumbuh pada tanah kurang subur atau tanah kering. Pernyataan ini memberikan gambaran seolah-olah lingkungan tanah yang menentukan pertumbuhan akar, tetapi sebenarnya yang menentukan adalah kebutuhan tanaman. Meningkatnya total luas permukaan daun, maka tanaman membutuhkan total luas permukaan akar yang lebih tinggi pula guna mencukupi kebutuhan air dan hara. Dengan demikian tanaman yang tumbuh pada tanah kering biasanya akan membentuk akar yang lebih banyak dari pada daerah basah, sehingga setiap peningkatan berat kering tajuk akan diikuti oleh peningkatan serapan air dan hara. Akibatnya nilai nisbah tajuk: akar akan terus meningkat dengan meningkatnya kesuburan tanah, dan sampai tingkat tertentu akar tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan tajuk dan nilai nisbah tajuk: akar akan kembali menurun. Selanjutnya respon tanaman terhadap lingkungan yang ditunjukkan oleh meningkatnya serapan air dan hara, dibedakan menjadi 2 macam (Goedewagen, 1937): a. ‘respon morfologi’ yaitu pembentukan akar yang lebih banyak b. ‘respon fungsi’ yaitu ekstra aktifitas serapan air dan hara per unit akar. 3 6 Kesuburan Tanah 9 Gambar 5.13 Skematik respon akar dan tajuk terhadap berbagai kondisi kesuburan tanah (ketersediaan air dan hara) pada tanah-tanah pertanian (Schuurman, 1983). 12 Optimum Akar Tajuk Bila ditinjau dari sisi tanaman menunjukkan adanya pengaturan secara aktif oleh tanaman, dengan jalan mengatur keseimbangan nisbah tajuk: akar setelah mengalami hambatan lingkungan. Pengaturan itu dapat berupa pengurangan atau penambahan organ tanaman (Brouwer, 1963; 1983). Pengelolaan pohon misalnya pemangkasan tajuk atau akar, teknik persiapan bibit atau teknik penanamannya di lapangan juga akan mempengaruhi distribusi perakaran yang pada akhirnya – 124 – 5 Sistem Agroforestri mempengaruhi pertumbuhan tajuk (Contoh Kasus 5.5 dan 5.9). Ada dua pertanyaan yang umumnya timbul sehubungan dengan pengelolaan pohon yaitu: a. Kapan dan pada ketinggian berapa pemangkasan pohon dilakukan? b. Teknik menanam pohon yang tepat untuk mendapatkan perkembangan akar yang dalam. Contoh kasus 5.9 Kapan dan pada ketinggian berapa pemangkasan pohon dilakukan? Percobaan lapangan dilakukan pada ultisol, di Pakuan Ratu, Lampung, bertujuan untuk mengetahui pengaruh tinggi pangkasan pohon terhadap sebaran akar pada pohon petaian (Peltophorum) dan Calliandra calothyrsus. Tanaman dipangkas pada ketinggian yaitu: 0.50; 0.75 atau 1.0 m dari permukaan tanah. Hasilnya menunjukkan bahwa tinggi pangkasan yang rendah (dekat dengan permukaan tanah), mengakibatkan tanaman membentuk lebih banyak akar kecil pada lapisan permukaan 0-10 cm. (Gambar 5.14 dan 5.15). Hasil yang sama akan diperoleh pula bila tajuk sering dipangkas. Peltophorum Tinggi pangkasan: Gambar 5.14 Sebaran akar Peltophorum dan Calliandra pada kedalaman 10 cm setelah 6 bulan dipangkas pada berbagai ketinggian. Semakin rendah tingkat pangkasan pohon semakin banyak akar halus dijumpai pada bagian permukaan tanah (Hairiah et al., 1992) – 125 – 5 Sistem Agroforestri Contoh kasus 5.9 (lanjutan) Adanya pemangkasan tajuk tanaman menyebabkan berkurangnya aktivitas akar, bila tajuk tanaman telah tumbuh kembali akan diikuti pula oleh pertumbuhan akar-akar baru. Gambar 5.15 Foto akar petaian (Peltophorum) yang dipangkas setinggi 50 cm (pohon sebelah kiri); dan 75 cm (pohon sebelah kanan) (Foto: Kurniatun Hairiah). Hasil penelitian ini merupakan informasi yang berguna bagi petani yang melakukan praktek wanatani di lahannya terutama pada daerah-daerah kering. Semakin banyak akar yang terbentuk pada lapisan atas maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya kompetisi akan air dan hara antar tanaman. Tanaman yang memiliki perakaran dangkal biasanya kurang tahan terhadap kekeringan. Informasi lebih lanjut dari percobaan ini bahwa pemangkasan pertama sebaiknya dilakukan bila tanaman telah cukup dewasa (sekitar 2 tahun) dimana akar tanaman telah tumbuh cukup dalam. Pelajaran berguna yang bisa diambil adalah: • Tinggi pangkasan dilakukan pada ketinggian minimal 0.75 m. • Pemangkasan pertama sebaiknya dilakukan bila pohon telah berumur minimal 2 tahun. – 126 – 5 Sistem Agroforestri Contoh kasus 5.10 Teknik penanaman pohon yang tepat untuk mendapatkan perkembangan akar yang dalam. Percobaan dilakukan di lapangan di daerah Pakuan Ratu, Lampung, untuk mendapatkan teknik penyediaan bibit pohon yang tepat agar diperoleh distribusi sistem perakaran yang dalam. Jenis pohon yang dicoba adalah petaian (Peltophorum) dan gamal (Gliricidia). Teknik penyediaan bibit petaian yang dibandingkan adalah: (a) biji ditanam langsung di lapangan, (b) menanam bibit cabutan (putaran). Sedangkan untuk gamal adalah: (a) biji ditanam langsung di lapangan, (b) menanam dari stek sepanjang 50 cm. Pengukuran total panjang akar (Lrv) dan berat biomasa tajuk dilakukan setelah tanaman berumur 1 tahun, dengan selang periode pengamatan 3 bulan. log Lrv -1.2 0 - 10 -1.0 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 Kedalaman, cm 10 - 20 20 - 30 30 - 40 G-biji G-stek P-biji P-cabutan 40 - 50 50 - 60 0 - 10 Kedalaman, cm 10 - 20 Hasil pengamatan total panjang akar (Lrv, cm cm-3 tanah) pada periode pertama (umur 15 bulan) menunjukkan bahwa menanam pohon langsung dari biji memberikan total panjang akar lebih tinggi dari pada cabutan atau stek (Gambar 5.16). Namun pada periode pengamatan berikutnya secara bertahap perbedaan itu mengecil. Dan pada periode ke tiga tidak dijumpai lagi adanya perbedaan total panjang akar dari ke dua teknik penanaman pada ke 2 jenis tanaman yang diuji (Gambar 5.16 bawah). Gambar 5.16 Total panjang akar (Lrv) petaian dan gamal pada berbagai kedalaman tanah dengan perlakuan teknik penanaman pada periode pertama (atas) dan periode ke-3 (bawah). 20 - 30 30 - 40 40 - 50 50 - 60 Penanaman pohon langsung dari biji, sebenarnya lebih murah dan tidak membutuhkan tenaga yang banyak. Namum pertumbuhan pohon yang ditanam dengan teknik ini sangat lambat pada awalnya, sehingga memerlukan tenaga ekstra untuk penanggulangan gulma di sekeliling pohon. Bila penyediaan stek memungkinkan, maka teknik penanaman stek lebih menguntungkan karena pohon tumbuh dengan cepat sehingga menutupi permukaan tanah. Dengan demikian mengurangi tenaga kerja untuk penyiangan. Jadi kedua teknik penanaman sama-sama memiliki keuntungan dan kerugian. Petani dapat mencoba sendiri berbagai teknik penanaman yang lain pada berbagai pohon yang diinginkan, dengan mengamati pertumbuhan pohon di atas dan di bawah tanah. – 127 – 5 Sistem Agroforestri Saran pengelolaan pohon a. Naungan dikurangi dengan jalan pemangkasan cabang pohon selama musim tanam, tetapi dibiarkan tumbuh pada musim kemarau untuk menekan pertumbuhan gulma (misalnya alang-alang). b. Pemangkasan pertama bisa dilakukan bila pohon telah berumur minimal 2 tahun. c. Tinggi pangkasan minimal 75 cm dari permukaan tanah. Pemangkasan lebih rendah dari 75 cm akan menyebabkan pertumbuhan akar pohon terpusat pada lapisan tanah atas, sehingga menimbulkan kompetisi dengan tanaman semusim. d. Frekuensi pemangkasan tidak lebih dari 3x dalam setahun. Pemangkasan tajuk yang terlalu sering mendorong terbentuknya akar halus pada lapisan atas. e. Teknik menanam pohon dapat dilakukan dengan jalan menanam biji langsung di lapangan, stek atau dari bibit cabutan tergantung dari bahan tanam dan tenaga yang tersedia. Bila bahan tanam stek tersedia menanam stek lebih cepat dan mengurangi populasi gulma. – 128 –