5 Sistem agroforestri: tawaran untuk

advertisement
5 Sistem Agroforestri
5
Sistem agroforestri:
tawaran untuk pemecahan masalah
5.1 Pendahuluan
Pertambahan penduduk selama beberapa dekade terakhir di Lampung
menjadi salah satu pendorong perubahan penggunaan lahan dari kawasan hutan
menjadi lahan pemukiman, pertanian dan perkebunan. Hal itu mengakibatkan
luasan kawasan hutan semakin berkurang. Pada tahun 1986 sekitar 80 % dari
total luasan daerah Lampung Utara masih berupa hutan primer dan sekunder,
sedangkan pada tahun 1994 hanya tersisa sekitar 35% (van Noordwijk et al.,
1995). Sebagian besar kawasan hutan ternyata telah berubah menjadi lahan
pertanian dan perkebunan tebu, karet dan HTI (Gambar 5.1).
100%
Sistim Penggunaan
Lahan:
% Luas total area
75%
Tebu/ karet /HTI
Pertanian, alang-alang
50%
Pekarangan/pepohonan
Rawa
25%
Belukar
Hutan sekunder
0%
1986
1994
Gambar 5.1 Luasan total hutan dan lahan pertanian dan sistem penggunaan lahan lainnya di
daerah Lampung Utara di tahun 1986 dan 1994 (Van Noordwijk et al., 1995).
Berkurangnya luasan hutan di kawasan ini menimbulkan lebih banyak
dampak negatif, misalnya banjir, erosi dan longsor, degradasi lahan, penurunan
produktivitas tanah, perubahan iklim, dan penurunan biodiversitas. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, telah disepakati bahwa fungsi hutan yang telah
hilang harus dikembalikan. Idealnya kawasan ini harus dihutankan kembali.
Namun karena banyak penduduk yang hidupnya bergantung pada kawasan bekas
hutan, usaha penghutanan kembali bukan pemecahan yang realistis. Pemerintah
dengan terpaksa mempertahankan kawasan hutan yang masih ada agar tidak
– 101 –
5 Sistem Agroforestri
dikonversi menjadi lahan pertanian. Upaya lain yang dilakukan adalah dengan
menggalakkan pertanian campuran dengan memperbanyak pepohonan di antara
tanaman semusim pada lahan pertanian, yang dikenal sebagai SISTEM
AGROFORESTRI. Disatu sisi agroforestri dapat menghasilkan pangan dan di sisi
lain diharapkan bisa memperbaiki kualitas tanah dan lingkungan.
5.2 Pengertian agroforestri
Dalam Bahasa Indonesia, agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau
agroforestri, arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian.
Sistem ini telah dipraktekkan oleh petani di berbagai tempat di Indonesia selama
berabad-abad, misalnya sistem ladang berpindah, kebun campuran di lahan sekitar
rumah (pekarangan) dan padang penggembalaan. Menurut De Foresta et al.
(1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem
agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks.
Sistem agroforestri sederhana adalah menanam pepohonan secara
tumpang-sari dengan satu atau beberapa jenis tanaman semusim. Jenis-jenis
pohon yang ditanam bisa bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh
dan jati atau bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Salah
satu contoh sistem agroforestri sederhana ini dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Sedang jenis tanaman semusim misalnya padi, jagung, palawija, sayur-mayur dan
rerumputan atau jenis tanaman lain seperti pisang, kopi dan kakao. Pepohonan
bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan atau ditanam
berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.
Gambar 5.2 Sistem agroforestri sederhana terdiri dari karet ditumpangsarikan dengan ubi
kayu dan cabe. (Foto: Kurniatun Hairiah)
Sistem agroforestri kompleks, merupakan suatu sistem pertanian
menetap yang berisi banyak jenis tanaman (berbasis pohon) yang ditanam dan
– 102 –
5 Sistem Agroforestri
dirawat dengan pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini
tercakup beraneka jenis komponen seperti pepohonan, perdu, tanaman musiman
dan rerumputan dalam jumlah banyak. Kenampakan fisik dan dinamika di
dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan
sekunder. Sistem agroforestri kompleks dibedakan menjadi dua, yaitu (a)
pekarangan berbasis pepohonan dan (b) agroforest kompleks.
Pekarangan biasanya terletak disekitar tempat tinggal, luasnya terbatas
(sekitar 0.1 – 0.3 ha) dan sistem ini lebih mudah dibedakan dengan hutan.
Contoh: kebun talun, karang kitri dsb.
Agroforest kompleks, merupakan hutan masif yang merupakan mosaik
(gabungan) dari beberapa kebun berukuran 1-2 ha milik perorangan atau
berkelompok, letaknya jauh dari tempat tinggal bahkan terletak pada perbatasan
desa, dan biasanya tidak dikelola secara intensif. Contoh: kebun karet, kebun
damar dsb (Gambar 5.3).
Gambar 5.3 Kebun karet milik petani sebagai salah satu contoh Agroforest compleks (umur
sekitar 5 tahun). Kebun terdiri dari berbagai jenis pepohonan seperti jengkol,
pete, dan berbagai pohon penghasil timber. Pada bagian bawahnya ditumbuhi
tanaman liar lain seperti pakis dsb. (Foto: Meine van Noordwijk).
5.3 Interaksi pepohonan – tanaman semusim – tanah
Menanam pohon secara tumpangsari dengan tanaman semusim, pada satu
tempat dan waktu yang bersamaan maupun bergiliran (sistem bera), merupakan
pola dasar sistem agroforestri. Pada sistem agroforestri terjadi interaksi yaitu
adanya proses yang saling mempengaruhi dari komponen-komponen penyusun
agroforestri (Gambar 5.4). Interaksi tersebut bisa positif (komplimentasi) atau
negatif (kompetisi). Oleh karena itu dalam memilih jenis pohon yang menjadi
– 103 –
5 Sistem Agroforestri
komponen agroforestri harus didasarkan pada sifat dan bentuk pohon yang
berpengaruh terhadap tanaman semusim, apakah merugikan atau
menguntungkan.
a
a
c
b
c
a
Tan.
semusim
b
b
d
c
c
d
b
d
Gambar 5.4 Interaksi antara pohon dan tanaman pangan pada sistem agroforestri. (a =
naungan; b= kompetisi akan air dan hara; c = daun gugur (seresah) dari pohon
berguna untuk menambah C, N, P dan hara lainnya; d = pohon berperakaran
dalam berperanan penting sebagai jaring penyelamat hara yang tercuci ke lapisan
bawah).
5.3.1
Pengaruh pohon yang merugikan
Beberapa pengaruh pohon yang merugikan bila ditanam secara tumpangsari
dengan tanaman semusim antara lain:
• Kompetisi cahaya
Pohon biasanya tumbuh lebih tinggi daripada tanaman semusim, oleh
karena itu kanopi pohon akan menaungi tanaman semusim.
• Kompetisi air dan hara
Akar pepohonan dan tanaman semusim yang berkembang di lapisan yang
sama akan saling berebut air dan hara sehingga mengurangi jumlah yang
dapat diserap tanaman semusim. Kompetisi antara dua jenis tanaman
terjadi bila kedua jenis tanaman (atau lebih) membutuhkan sumberdaya
yang sama dan ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan tersebut terbatas.
Tanaman yang pertumbuhannya cepat membutuhkan cahaya, air dan hara
yang lebih banyak. Oleh karena itu pemilihan pohon dalam sistem
agroforestri harus mempertimbangkan kecepatan tumbuhnya serta
kebutuhan tanaman lain yang tumbuh pada lahan yang sama.
– 104 –
5 Sistem Agroforestri
• Inang penyakit
Seringkali pepohonan dapat menjadi inang hama dan penyakit untuk
tanaman semusim.
5.3.2
Pengaruh pohon yang menguntungkan
Penanaman pohon yang ditumpangsarikan dengan tanaman semusim
ternyata dapat memberikan keuntungan bagi tanaman semusim.
a) Sumber bahan organik
Daun pepohonan yang gugur dan hasil pangkasan yang dikembalikan ke
dalam tanah dapat menjadi rabuk sehingga tanah menjadi remah. Berapa
banyaknya masukan daun gugur setiap tahunnya?
b) Menekan gulma
Naungan pohon dapat menekan pertumbuhan gulma terutama alang-alang
dan menjaga kelembaban tanah sehingga mengurangi risiko kebakaran pada
musim kemarau. Adanya naungan dari pohon dapat memberikan
keuntungan bagi tanaman tertentu yang menghendaki naungan misalnya
kopi.
c) Mengurangi kehilangan hara
Akar pepohonan yang dalam dapat memperbaiki daur ulang hara, melalui
beberapa cara, antara lain:
•
•
•
Akar pohon menyerap hara di lapisan atas dengan jalan berkompetisi
dengan tanaman pangan, sehingga mengurangi pencucian hara ke
lapisan yang lebih dalam. Namun pada batas tertentu kompetisi ini
akan merugikan tanaman pangan.
Akar pohon berperan sebagai "jaring penyelamat hara" iaitu menyerap
hara yang tidak terserap oleh tanaman pangan pada lapisan bawah
selama musim pertumbuhan (lihat contoh kasus 5.1).
Akar pohon berperan sebagai "pemompa hara" terutama pada tanahtanah subur, yaitu menyerap hara hasil pelapukan mineral/batuan induk
pada lapisan bawah. Namun hal ini masih bersifat hipotesis, dan masih
perlu penelitian lebih lanjut.
d) Memperbaiki porositas tanah
Akar pepohonan berperan memperbaiki struktur tanah dan porositas
tanah, misalnya akar pohon yang mati meninggalkan lubang pori. Lihat
contoh kasus 5.2.
e) Menambat N dari udara
Pohon berbunga kupu-kupu (legume) dapat menambat N langsung dari
udara, sehingga dapat mengurangi jumlah pupuk yang harus diberikan.
– 105 –
5 Sistem Agroforestri
f) Menekan serangan hama & penyakit
Ada pepohonan yang dapat mengurangi populasi hama dan penyakit
tertentu.
g) Menjaga kestabilan iklim mikro
Pepohonan yang ditanam cukup rapat dapat menjaga kestabilan iklim
mikro, mengurangi kecepatan angin, meningkatkan kelembaban tanah dan
memberikan naungan parsial (misalnya Erythrina (dadap) pada kebun kopi).
h) Mengurangi bahaya erosi
Untuk jangka panjang mengurangi bahaya erosi, melalui pengaruhnya
terhadap perbaikan kandungan bahan organik tanah dan struktur tanah.
Contoh Kasus 5.1
Akar pohon sebagai jaring penyelamat hara
Pengukuran N tercuci dilakukan pada kedalaman 0.8 m dan > 0.8 m pada
sistem budi daya pagar di Pakuan Ratu, Lampung (Suprayogo et al., 2000). Tanaman
pagar ditanam pada tahun 1985 yaitu petaian (Peltophorum), gamal (Gliricidia). Tanaman
pagar tersebut ditanam berbaris dengan jarak tanam 4 x 0.5 m atau sebagai campuran
baris petaian berselang seling dengan gamal. Jumlah N mineral (NH4+ dan NO3- ) yang
diperoleh dibandingkan dengan petak jagung monokultur, tanpa tanaman pagar (sebagai
kontrol) tetapi jagung dipupuk N sebanyak 90 kg ha-1. Tanaman semusim yang ditanam
di antara baris tanaman pagar adalah jagung (musim tanam I) dan diikuti oleh kacang
tanah (musim tanam II). Tinggi rendahnya konsentrasi N-mineral yang terukur
menunjukkan efektifitas akar pohon dalam menyerap N yang tercuci. Semakin rendah
konsentrasi N mineral yang dijumpai berarti semakin efektif akar tanaman pohon dalam
menyerap N yang tercuci.
Hasil pengukuran dapat dilihat pada Gambar 5.5. Tidak ada perbedaan jumlah
air drainasi pada semua petak. Namun bila ditinjau dari konsentrasi N –mineral (NH4+
dan NO3- ) baik pada kedalaman 0.8 m maupun > 0.8 m, ternyata konsentrasi tertinggi
dijumpai pada petak kontrol. Konsentrasi terendah dijumpai pada petak petaian. Sedang
konsentrasi N-mineral pada petak gamal, campuran petaian/gamal berada di antaranya.
– 106 –
5 Sistem Agroforestri
Studi kasus 5.1 (lanjutan)
250
Air drainasi (mm)
200
A. Air drainasi keluar dari kedalaman tanah 0.8 m
pemupukan urea-N 60 kg ha
dan pemangkasan gliricidia
-1
tanam kacang tanah dan
pemangkasan peltophorum dan gliricidia
150
100
50
40
+
B. Konsentrasi mineral N (NH4 -N+NO3 -N) dalam larutan tanah di kedalaman 0.8 m
30
20
10
0
3
-2
Pencucian mineral N (g m )
Konsentrasi mineral N (mg l-1)
0
+
C. Pencucian mineral N (NH4 + NO3 ) keluar dari kedalaman tanah 0.8 m
2
1
0
14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 98 105 112 119 126 133
Hari setelah tanam jagung
Gambar 5.5 Air yang bergerak ke bawah (air drainasi), konsentrasi N dan jumlah N
yang tercuci pada kedalaman 0.8 m pada sistem budi daya pagar, (•) =
petaian (ο) = gamal, (t) = campuran petaian + gamal, (? ) = jagung
monokultur (kontrol) dengan pemupukan N 90 kg ha-1. Tanda ‘bar”
menunjukkan nilai ‘standard error of the difference’ (s.e.d.) (Suprayogo et
al., 2000).
– 107 –
5 Sistem Agroforestri
Contoh kasus 5.2
Manfaat liang akar pohon yang telah mati bagi tanaman semusim
Pada tanah masam liang bekas akar mati berguna untuk pertumbuhan akar tanaman
lainnya karena lebih rendahnya tingkat keracunan Al daripada tanah di luar liang.
Dekomposisi dan mineralisasi akar pohon akan melepaskan beberapa asam-asam organik
seperti sitrat, malat dan fulfat yang dapat mengkelat Al menjadi bentuk yang tidak
beracun bagi tanaman. Contoh hasil pengukuran pH tanah pada berbagai kedalaman
pada profil tanah yang dibuat pada petak budidaya pagar di ultisol, Onne, Nigeria (Tabel
5.1). Sebagai pembanding dua kolom terakhir menunjukkan pH di dalam liang akar pada
lapisan tanah bawah dibandingkan dengan pH tanah di sekitarnya di luar liang (Hairiah
dan van Noordwijk, 1986).
Tabel 5.1
pH-H2O
pH-KCl
pH tanah pada berbagai kedalaman dalam profil tanah yang dibuat pada
petak budidaya pagar dan di dalam liang akar pada lapisan tanah bawah pada
Ultisol, Onne, Nigeria (Hairiah & van Noordwijk, 1986).
0-20
3.6
4.7
Kedalaman (cm)
20-30
30-60
3.6
3.6
4.5
4.4
Di luar
liang
3.7
4.4
Di dalam
liang
3.4
4.2
Dari data tersebut di atas dapat dilihat
bahwa pH di dalam liang akar pohon relatif
lebih rendah dari pada tanah disekelilingnya
atau tanah dalam profil tanah. Namun
mengapa akar ubi kayu masih lebih suka
tumbuh pada liang akar pohon tersebut
(lihat Gambar 5.6.). Ada 3 kemungkinan
yang menyebabkan akar ubikayu suka
tumbuh pada liang akar pohon: (a)
keracunan Al rendah, (b) lebih kaya akan
hara (c) struktur tanah lebih remah.
Gambar 5.6
Pemandangan di dalam tanah tentang
peranan penting liang yang terbentuk dari
akar pohon yang telah mati. Tanah di dalam
liang berwarna lebih gelap dan gembur dari
pada tanah di sekelilingnya sehingga lebih
banyak akar yang tumbuh mengikuti liang
tersebut sampai ke lapisan bawah. Akar
pohon mati membentuk liang dan akar ubi
kayu tumbuh di dalamnya menembus
lapisan bawah pada ultisol di Onne Nigeria
(Foto: Meine van Noordwijk, 1986)
– 108 –
5 Sistem Agroforestri
5.4 Analisis dan sintesis sistem agroforestri:
Pohon dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap tanaman
lainnya, dan kedua pengaruh tersebut terjadi bersamaan di lapangan yang sangat
sulit dipisahkan. Oleh karena itu informasi kuantitatif interaksi pohon dan
tanaman semusim dalam sistem tumpangsari sangat terbatas. Berikut adalah
contoh studi kasus percobaan lapang di Pakuan Ratu, Lampung (Contoh Kasus
5.3).
Contoh kasus 5.3
Interaksi pohon dan tanaman semusim pada sistem budidaya pagar
(hedgerow intercropping system)
Berikut ini adalah contoh bagaimana mengevaluasi interaksi pohon dan tanaman pangan
secara kuantitatif pada sistem budidaya pagar yang telah berumur 7 tahun di Pakuan
Ratu. Tanaman jagung dipakai sebagai tanaman indikator, yang ditanam pada loronglorong di antara tanaman pagar.
Tujuan percobaan
• Mengukur pengaruh tanaman pagar terhadap pengurangan cahaya yang masuk ke
dalam petak,
• Mengukur kompetisi akar dalam menyerap air dan hara.
• Mengukur pengaruh residu dari pohon terhadap kesuburan tanah
Penyusunan percobaan budidaya pagar:
Pada petak utama terdapat enam spesies tanaman pagar yang ditanam pada tahun 1986,
yaitu: (a) Petaian (Peltophorum dasyrrachys), (b) Gamal (Gliricidia sepium), (c) Selang-seling
antar baris petaian dan gamal, (d) Kaliandra (Calliandra calothyrsus), (e) lamtoro (Leucaena
leucocephala), dan (f) Flemingia congesta. Satu petak lain sebagai kontrol adalah lahan tidak
ditanami tanaman pagar. Masing-masing petak dibagi menjadi 4 anak petak untuk
menguji respon tanaman terhadap 4 dosis pemupukan N: 0 kg ha -1 ; 45 kg ha-1 ; 90 kg
ha-1 dan 135 kg ha-1.
Bagaimana menyusun perlakuan untuk mengevaluasi interaksi antara tanaman
pagar dan tanaman pangan?
Dari petak utama dan anak petak tersebut di atas, dapat dipisahkan pengaruh positif dan
negatif pohon terhadap tanaman pangan melalui analisis hasil sebagai berikut:
Variabel
Perlakuan
1.
Naungan
2.
Kompetisi akan air dan hara
3.
Mulsa
4.
Pengaruh residu tanam
(pengaruh jangka panjang)
•
•
•
•
•
•
•
•
Dengan pemangkasan tajuk
Tanpa pemangkasan tajuk
Dengan penyekat akar
Tanpa penyekat akar
Dengan penambahan biomas sebagai mulsa
Tanpa penambahan biomas
Dengan penebangan pohon/tanaman pagar
Tanpa penebangan pohon/tanaman pagar
•
Ada 8 sub plot per species pohon
TOTAL PLOT
– 109 –
5 Sistem Agroforestri
Contoh kasus 5.3 (lanjutan)
Hasil dari percobaan ini menunjukkan bahwa petaian secara konsisten
memberikan pengaruh yang menguntungkan terhadap produksi tanaman semusim
(jagung) selama 2 musim tanam. Setelah penebangan tanaman pagar (umur 8 tahun) dan
semua hasil tebangan diangkut keluar petak, ternyata tanaman jagung yang ditanam pada
lahan tersebut menunjukkan respon yang sangat nyata terhadap 'pengaruh residu' yang
ditinggalkan oleh pohon. Pengaruh residu yang ditinggalkan oleh pohon bisa berupa
kesuburan tanah yang 'baik', yang dapat dievaluasi dengan membandingkan produksi
jagung yang diperoleh pada petak tersebut dengan produksi jagung pada petak kontrol
(Gambar 5.7.A). Berdasarkan data produksi rata-rata selama dua musim tanam, dapat
dilihat bahwa produksi yang diperoleh pada petak Kaliandra dan Lamtoro lebih tinggi
bila dibandingkan dengan produksi yang diperoleh dari petak kontrol dengan pemupukan
N sebanyak 135 kg ha-1. Hal ini dapat diartikan sebagai besarnya peranan bahan organik
dari ke dua tanaman pagar tersebut terhadap perbaikan kesuburan tanah (F) melalui
perbaikan status bahan organik tanah terutama yang berasal dari akar. Namun demikian
untuk kondisi 'normal' (pohon tidak ditebang, jadi masukan bahan organik berasal dari
pangkasan dan serasah serta dari akar), hanya petaian yang mampu memberikan produksi
jagung lebih tinggi dari pada kontrol. Perbedaan terbesar dikarenakan adanya pengaruh
naungan, karena pengaruh pemberian mulsa dan pemberian penyekat akar (interaksi
bawah tanah) relatif kecil (Gambar 5.7.B).
Pada musim tanam ke dua (bulan Februari – Mei) di mana kondisinya lebih
kering daripada tahun-tahun sebelumnya, produksi tanaman rendah pada semua
perlakuan. Pada kondisi ini jagung menunjukkan respon yang negatif terhadap
pemupukan N (produksi terendah diperoleh pada tingkat pemupukan N tertinggi), tetapi
residu pohon masih menunjukkan pengaruh positif. Tidak ada perbedaan pengaruh
antara pemberian mulsa sebanyak 9 ton ha-1 (normal) dengan pemberian 18 ton ha-1.
Informasi ini sangat menguntungkan untuk tujuan praktis di lapangan. Faktor pembatas
utama pertumbuhan tanaman pada kondisi ini nampaknya adalah ketersediaan air, karena
ketersediaan P telah dikoreksi dengan menambahkan pupuk P ke semua plot.
Tabel 5.2. ringkasan analisis interaksi pohon dan tanaman jagung berdasarkan
pada tingkat perbaikan kesuburan tanah (F) dan kompetisinya (C), yang ditunjukkan
dengan produksi jagung yang diperoleh. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa Petaian
memberikan neraca yang positif, pengaruh positifnya lebih besar dari pada pengaruh
negatifnya. Spesies ini memiliki daya kompetisi lebih rendah dari pada spesies lainnya
dikarenakan: sistem perakarannya yang dalam dan memiliki sebaran kanopi yang lebih terpusat di
dekat batang pokoknya, sehingga memberikan nisbah mulsa: naungan yang lebih tinggi.
Tabel 5.2
Analisis interaksi pohon dan tanaman pangan berdasarkan pengaruhnya
terhadap kesuburan tanah (F) dan kompetisi (C) terhadap produksi jagung.
Spesies
Lamtoro (Leucaena)
Kaliandra (Calliandra)
Petaian (Peltophorum)
Flemingia
Gamal (Gliricidia)
Pengaruh
kesuburan, %
152
120
58
37
19
– 110 –
Pengaruh
kompetisi, %
-159
-115
-26
-89
-60
Interaksi
%
-7
+5
+32
-52
-41
5 Sistem Agroforestri
A
Produksi biji, ton ha -1
Efek
jangka
Efekresidu
residu jangka
panjang
panjang
135N
135N
90N
90N
45N
45N
0N
0N
Kontrol
Budidaya pagar
Produksi biji, ton ha-1
5
B
Residu
Residu
L
4 C
P
3
P/G
F
2
G
Mulsa
Mulsa
1
C F P/G G
P
L
0
Akar
P P/G
C
F
P
-1
F
-2
P/G
G
L
G
C
L
-3
Naungan
C= Calliandra ; F= Flemingia ; P= Peltophorum ; G= Gliricidia ; L= Leucaena
Gambar 5.7 Pengaruh jangka panjang (residu tanaman) terhadap produksi biji jagung
berdasarkan data rata-rata dua musim tanam (A), interaksi positif dan negatif
dari tanaman pagar pada sistem budidaya pagar (B). Perlakuan kontrol adalah
mencerminkan respon tanaman jagung monokultur terhadap pemupukan N
(s.e.d = standard error of deviations) (van Noordwijk dan Hairiah, 2000).
– 111 –
5 Sistem Agroforestri
5.5 Bagaimana petani memulai sistem agroforestri?
Penyediaan lahan untuk pertanian kebanyakan dilakukan dengan cara
menebang dan membakar pepohonan atau alang-alang (sistem tebang-bakar).
Pembakaran vegetasi mengakibatkan hampir semua cadangan C dan N hilang,
tetapi petani masih tetap memilih cara ini karena mudah dan murah. Selain itu
cara ini dapat menambah pupuk secara cuma-cuma dari hasil pembakaran biomas,
dapat meningkatkan pH, P-tersedia dan kation basa dalam jumlah besar (Tabel
5.3).
Tabel 5.3
Komposisi kimia tanah hutan sebelum dan sesudah pembakaran di daerah
Pakuan Ratu (Hairiah et al., 1996).
pH
H2O KCl
Sebelum terbakar
0 - 5 cm
6.2
4.7
5 - 10 cm
5.6
4.6
Setelah terbakar
0-3 cm
8.1
7.5
3-5 cm
8.3
7.2
5-10 cm
7.2
6.0
Dalam abu
C-org
%
P-Olsen Abu*
mg kg-1
%
2.44
2.12
5.0
2.0
7.55
4.28
1.94
51.4
25.6
6.7
384
75
80
K
Ca
Mg
cmole kg-1
N-total
%
0.20
0.20
1.44
1.85
0.62
0.52
0.14
0.14
5.37
2.02
0.29
176
25.5
14.8
3.12
23.6
4.47
3.46
0.63
17.6
0.13
*Abu per berat kering tanah
Setelah pembakaran, tanah menjadi lebih subur dan bebas gulma, hama dan
penyakit, sehingga biasanya langsung ditanami tanaman pangan (misalnya
ubikayu, jagung atau padi). Setelah beberapa tahun, produksi semakin rendah
karena tanah semakin tidak subur (lihat Contoh Kasus 5.4). Pada masa lalu petani
bisa segera mencari dan membuka lahan baru (ladang berpindah) dan melanjutkan
usaha pertaniannya. Hal demikian tidak bisa terjadi lagi sekarang; mereka harus
bertahan untuk mengusahakan lahan yang produktivitasnya sudah sangat merosot.
Salah satu upaya mempertahankan usahatani yang berkelanjutan pada
kondisi demikian adalah dengan menanam pepohonan di antara tanaman
semusim (pangan). Ada petani yang berhasil dengan cara ini, sehingga
mendorong petani lain untuk mengikutinya. Beberapa alasan yang dikemukakan
sebagai faktor yang menyebabkan petani berminat menanam pepohonan, antara
lain adalah:
• Pepohonan yang masih kecil tidak mengganggu tanaman semusim dan
perawatan terhadap tanaman pangan dapat memberikan keuntungan
bagi pepohonan. Misalnya: pemupukan dan penyiangan untuk tanaman
semusim memberi manfaat kepada pepohonan.
• Bila pepohonan sudah besar dan memberi naungan, petani masih dapat
menanam tanaman semusim yang tahan naungan seperti talas, kunyit
– 112 –
5 Sistem Agroforestri
•
•
dan tanaman obat-obatan lainnya untuk memenuhi kebutuhan seharihari.
Menanam pepohonan yang bernilai ekonomi tinggi misalnya buahbuahan atau kayu untuk bangunan yang berarti menabung untuk masa
depan, karena produksinya baru dipetik beberapa tahun lagi.
Menanam pohon tidak memerlukan banyak perawatan, sehingga petani
tidak perlu mengeluarkan tenaga dan biaya perawatan.
Contoh kasus 5.4
Ubikayu menurunkan kesuburan tanah
Produksi umbi, ton ha-1
Hasil percobaan di Pakuan Ratu, membuktikan bahwa penanaman ubi kayu secara
monokultur maupun tumpangsari dengan jagung dan padi selama beberapa tahun terusmenerus menyebabkan penurunan produksi umbi segar (Gambar 5.8.). Pada musim
pertama setelah pembukaan hutan, produksi umbi mencapai 40 ton ha-1, dan pada tahun
ketiga turun menjadi 30 ton ha-1 (monokultur) dan 20 ton ha-1 (tumpangsari). Setelah lahan
diberakan dan ditumbuhi alang-alang selama 4-5 tahun, kemudian dibuka kembali dan
ditanami ubi kayu pada tahun ke delapan, ternyata produksi umbi yang diperoleh bahkan
lebih rendah dibandingkan dengan produksi yang diperoleh pada tahun ke tiga. Hal
sebaliknya justru terjadi, sistem tumpangsari memberikan produksi umbi lebih tinggi dari
pada sistem monokultur. Rendahnya produksi pada sistem monokultur mungkin
disebabkan oleh adanya gangguan alang-alang yang tumbuh kembali. Kondisi di bawah
ubi kayu monokultur lebih terbuka dari pada sistem tumpangsari, sehingga sinar matahari
yang masuk masih lebih banyak. Kondisi ini sangat ideal bagi akar rimpang alang-alang
untuk tumbuh kembali.
Pemberaan lahan selama 4-5 tahun sebagai padang alang-alang nampaknya tidak
dapat memperbaiki kesuburan kimia tanah. Alang-alang memberikan masukan bahan
organik dari tajuknya hanya sekitar 3-4 ton ha-1, dan kontribusi haranya juga rendah.
Monokultur
Tumpangsari
40
30
20
10
Alang-alang
0
0
2
4
6
8
10
Waktu setelah hutan dibakar, tahun
Gambar 5.8 Produksi umbi dari ubi kayu pada berbagai waktu pengamatan setelah
pembakaran hutan di Pakuan Ratu, Lampung (Hairiah et al, 2000).
– 113 –
5 Sistem Agroforestri
Namun tidak semua petani tertarik dan mau menanam pepohonan di
lahannya. Pada umumnya alasan yang dikemukakan adalah:
• Pepohonan baru berproduksi setelah beberapa tahun, sementara
kebutuhan bahan pangan harus disediakan setiap hari.
• Bibit pepohonan yang dikehendaki seringkali sulit didapat dan bila ada
harganya mahal.
• Petani sulit memperoleh informasi tentang budidaya pepohonan.
• Status lahan garapan yang belum jelas menyebabkan petani tidak mau
menanggung risiko kerugian dengan menanami pepohonan jika
kemudian harus pindah.
Selain alasan-alasan yang disebutkan di atas, sebenarnya masih ada alasan
lain yang sifatnya khusus beragam di antara petani.
5.6 Mengapa produksi tanaman semusim menurun?
Salah satu penyebab turunnya produksi tanaman semusim adalah
penurunan kesuburan tanah. Hal ini terjadi karena adanya pengangkutan hara
keluar dari petak yang terjadi terus-menerus dalam jumlah besar melalui panen,
pencucian dan erosi. Sementara itu jumlah hara yang kembali ke dalam tanah
melalui daun yang gugur dan pengembalian sisa panen lebih sedikit dibanding
hara yang diangkut ke luar, sehingga setiap tahun terjadi defisit hara. Akibatnya,
tanaman pada musim berikutnya akan mengalami kahat hara, sehingga perlu
diberi pupuk. Petani sering mengakui bahwa karena kekurangan modal untuk beli
pupuk mengakibatkan produksi tanaman selalu menurun. Hal ini membuktikan
bahwa jumlah hara tersedia dalam tanah lebih sedikit dibanding jumlah yang
dibutuhkan tanaman (Contoh kasus 5.5).
– 114 –
5 Sistem Agroforestri
Contoh kasus 5.5
Neraca C pada berbagai pola tanam
Pengukuran neraca karbon (C) dilakukan pada beberapa macam pola tanam di
Pakuan Ratu, yaitu pola berbasis ubikayu, budidaya pagar dan tumpang gilir tanaman
leguminosa (kacang-kacangan). Hasilnya menunjukkan bahwa pola tanam berbasis ubi
kayu memberikan neraca C negatif (artinya jumlah C yang terangkut keluar > jumlah C
yang kembali ke tanah), dengan jumlah yang terangkut sekitar 7 ton ha-1 th-1 terutama
terangkut sebagai umbi dan batang (Gambar 5.9.A.). Pola tanam budidaya pagar
memberikan neraca C positif, di mana jumlah keluaran C yang terangkut panen sekitar
1.5 ton ha-1 th-1, dan masukan C sekitar 2.5 ton ha-1 th-1 sebagai biomas hasil pangkasan.
Pola tanam tumpang gilir dengan tanaman kacang-kacangan penutup tanah menghasilkan
kelebihan (surplus) masukan C ke dalam tanah sekitar 1.5 ton ha-1 th-1.
Sedang pada neraca N, pola tanam berbasis ubikayu (Gambar 5.9B: PT 1 dan
2) menghasilkan neraca negatif. Pola tanam budidaya pagar (PT 3 dan 4) dan kacangkacangan (PT 5) menghasilkan neraca positif. Pola tanam budidaya pagar (PT 6)
memberikan neraca netral karena adanya pengangkutan N melalui biji kacang tunggak.
Pada sistem budidaya pagar terjadi surplus N sekitar 15-50 kg ha-1; dan untuk sistem
rotasi sekitar 10-20 kg ha-1.
Untuk pola tanam berbasis ubikayu memberikan neraca N minus sekitar 60 kg
ha-1 (Gambar 5.9.B). Hasil perhitungan ini belum memperhitungkan adanya kehilangan N
melalui pencucian, erosi atau penguapan maupun besarnya masukan N dari hasil
penambatan N dari udara oleh tanaman kacang-kacangan. Perhitungan neraca C dan N ini
dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa selalu terjadi penurunan produksi ubikayu
setelah hutan dikonversi menjadi lahan pertanian. Dengan sistem budi daya pagar,
produksi jagung dapat meningkat sekitar 1.5 ton ha-1 (van Noordwijk et al., 1995).
Mengingat produksi tanaman yang diperoleh per satuan tenaga kerja masih lebih
rendah bila dibandingkan dengan produksi dari pembukaan lahan baru, maka petani
akan memilih membuka lahan baru dan meninggalkan lahan yang lama. Lahan
pertanian yang telah terlantar tersebut akhirnya ditumbuhi gulma alang-alang (Imperata
cylindrica).
– 115 –
5 Sistem Agroforestri
Contoh kasus 5.5 (lanjutan)
8
Kembali ke tanah
Terangkut panen
Neraca C, ton ha-1 th-1
6
4
A)
2
0
-2
-4
-6
-8
Neraca N, ton ha-1 th-1
150
100
B)
50
0
-50
-100
PT 1 PT 2
PT3
PT4
PT5
PT6
-150
Ubikayu
Budidaya pagar Tumpang gilir
Gambar 5.9 Neraca C dan N dari berbagai sistem pola tanam di Lampung Utara
(Hairiah et al., 2000).
PT
1
2
3
4
5
6
Uraian Pola Tanam
Ubikayu monokultur
Ubikayu + jagung + padi /kacang tanah
Budidaya pagar; tanaman pagar yang ditanam petaian dicampur dengan
gamal tumpang sari dengan jagung + padi / kacang tanah/kc. tunggak
Budidaya pagar; tanaman pagar yang ditanam Flemingia tumpang sari
dengan jagung + padi / kacang tanah/kc.tunggak
Tumpang gilir: Jagung + padi /kacang tanah/ kacang tunggak
Tumpang gilir: Jagung + padi /kacang tanah/koro benguk
+ berarti tumpang sari; / berarti dikuti oleh tanaman berikutnya atau tumpang gilir
– 116 –
5 Sistem Agroforestri
5.7 Dasar-dasar pertimbangan memilih jenis pohon
Telah diuraikan bahwa pepohonan bisa memberi dampak positif dan/atau
negatif terhadap tanaman semusim yang ditanam secara tumpangsari. Demikian
pula setiap jenis pohon tidak mungkin memberikan semua keuntungan yang
sudah dikemukakan. Oleh karena itu sebelum memilih dan menanam pepohonan
harus diketahui dengan jelas apa maksud dan tujuannya. Sesudah itu perlu
memperhatikan beberapa kriteria dari pepohonan seperti berikut:
a) Bentuk dan sebaran tajuk pohon
Pepohonan umumnya tumbuh lebih tinggi dan luasan tajuknya jauh lebih
besar daripada tanaman semusim, sehingga dapat menaungi tanaman semusim di
dekatnya. Penaungan ini menyebabkan jumlah cahaya matahari yang dapat
ditangkap tanaman menjadi berkurang, padahal tanaman membutuhkan cahaya
matahari untuk proses fotosintesa. Bentuk dan sebaran tajuk pohon menentukan
tingkat penaungan dan besarnya cahaya matahari diterima tanaman semusim.
Pohon yang tumbuh tidak terlalu tinggi dengan sebaran tajuk yang rapat
tetapi tidak terlalu melebar, cocok digunakan sebagai tanaman pagar dalam sistem
tumpangsari. Sebagai contoh, petaian memiliki sebaran tajuk yang tidak terlalu
melebar (Gambar 5.10.) tetapi mampu memberikan produksi pangkasan sekitar 8
ton ha-1, tidak terlalu banyak memberikan naungan terhadap tanaman yang
ditanam disekitarnya. Tanaman pagar yang lain seperti lamtoro, gamal dan
kaliandra memberikan hasil pangkasan yang hampir sama, tetapi bentuk
kanopinya terlalu melebar. Jenis pepohonan ini kurang cocok untuk tanaman
pagar karena perlu lebih banyak tenaga kerja untuk melakukan pemangkasan
cabang dan ranting yang lebih sering.
Gamal
Tinggi, m
Lamtoro
4m
4m
Petaian
Tinggi, m
Kaliandra
4m
4m
Gambar 5.10 Sebaran tajuk beberapa tanaman pagar dalam sistem budi daya pagar di Pakuan
Ratu, Lampung (Hairiah et al., 1992).
– 117 –
5 Sistem Agroforestri
b) Produksi seresah
Pepohonan dapat memberikan masukan bahan organik melalui pangkasan
biomassa berupa daun, cabang dan ranting. Apabila tidak ada pemangkasan maka
masukan bahan organik dapat terjadi melalui daun, cabang dan ranting yang
gugur. Jumlah masukan bervariasi tergantung dari jenis tanaman dan musim.
Pada musim kemarau beberapa tanaman cenderung lebih banyak menggugurkan
daunnya dari pada musim penghujan. Produksi rata-rata pangkasan beberapa
jenis pepohonan per tahunnya sekitar 8 - 10 ton ha-1.
Contoh kasus 5.6
Hasil penelitian: produksi bahan organik
Masukan bahan organik yang berasal dari daun, ranting dan
cabang yang gugur di Pakuan Ratu, Lampung:
•
•
•
Petaian monokultur berumur 10 tahun menghasilkan masukan sekitar 12 ton ha-1
tahun-1.
Gamal monokultur juga berumur 10 tahun memberikan masukan sekitar 5 ton ha-1
tahun-1.
Hutan sekunder memberikan masukan sekitar 8-9 ton ha-1 tahun-1.
c) Sinkronisasi antara ketersediaan hara dan kebutuhan tanaman
Seresah yang dihasilkan pepohonan memiliki kualitas yang berbeda-beda
yang pada akhirnya menentukan kecepatan pelapukan dan mineralisasi. Kualitas
bahan yang dihasilkan harus sesuai dengan kecepatan tumbuh dan kebutuhan hara
tanaman semusim supaya terjadi sinkronisasi (lihat Bab 4). Oleh karena itu
dibutuhkan informasi tentang variabel yang menentukan kualitas bahan organik,
supaya dapat membantu pemilihan jenis pohon yang disesuaikan dengan
kebutuhan tanaman semusim.
Pada umumnya petani sudah cukup berpengalaman dalam mengenali
kecepatan dekomposisi dari beberapa jenis seresah yang dijumpai di lahannya.
Berikut adalah beberapa ciri seresah yang cepat lapuk yang dikenali oleh petani di
daerah Lampung.
Variabel
Ketebalan daun
Permukaan daun
Kelenturan daun
Cepat Lapuk
tipis bertulang daun halus
halus
tidak mudah patah (lentur)
Lambat Lapuk
tebal, bertulang daun besar dan kaku
mengkilap berlilin atau bisa juga berbulu
mudah patah
Menurut pengamatan petani bahwa seresah daun jati yang kaku dan
memiliki permukaan kasar dapat bertahan lama di lahan karena daun ini sangat
lambat dilapuk (Gambar 5.11). Selama musim kemarau pohon jati merontokkan
– 118 –
5 Sistem Agroforestri
daunnya untuk mengurangi transpirasi karena ketersediaan air tanah yang terbatas.
Lahan menjadi lebih terbuka sehingga seresah jati menjadi semakin kering. Daun
jati kering yang menutup permukaan tanah dapat cukup lama berperan sebagai
mulsa sehingga dapat mempertahankan kelembaban tanah. Namun daun jati
kering ini mudah sekali terbakar selama musim kemarau, sehingga sering
merugikan petani di sekelilingnya.
Gambar 5.11 Seresah daun jati dan alang-alang lambat dilapuk, tinggal cukup lama di
permukaan tanah sehingga rawan terhadap kebakaran di musim kemarau (Foto:
Kurniatun Hairiah)
d) Kedalaman perakaran
Pohon yang berakar dalam berperan sebagai jaring penyelamat hara yang
baik dan memiliki ketahanan terhadap kekeringan. Tanaman yang akarnya
tersebar intensif dan dalam akan lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan
dengan yang berperakaran dangkal. Tanaman ini juga toleran terhadap Al.
Distribusi kedalaman perakaran yang dibutuhkan telah dibicarakan pada Bab 4
dan contoh hasil estimasi model WaNuLCAS akan dibicarakan pada Bab 6.
Contoh hasil pengamatan distribusi perakaran tanaman legum dan pohon buahbuahan dapat dilihat pada Lampiran 5.1 dan 5.2.
e) Penambatan N dari udara
Kemampuan tanaman untuk menambat N dari udara bebas diharapkan
dapat menambah ketersediaan N dalam tanah. Tanaman yang mempunyai
kemampuan ini adalah dari jenis leguminosa (kacang-kacangan), walaupun tidak
– 119 –
5 Sistem Agroforestri
semua legume dapat menguntungkan. Strategi pemilihan tanaman legume untuk
perbaikan cadangan N dalam tanah telah dibicarakan cukup mendalam pada Bab 4.
Contoh kasus 5.7
Hasil penelitian: komposisi bahan organik
Hasil pengukuran kandungan lignin, polifenolik dan total kation (Ca+Mg+K) pada
beberapa jenis tanaman pepohonan di Pakuan Ratu, Lampung disajikan pada Tabel 5.4.
Bahan organik asal pangkasan gamal (Gliricidia) merupakan bahan yang paling cepat
melepaskan unsur hara bila dibandingkan dengan seresah asal daun jambu karena
kandungan ligninnya lebih rendah. Seresah gamal akan cepat habis terdekomposisi dalam
waktu 4 minggu (Handayanto, 1997). Petaian memiliki kualitas lebih rendah dibanding
gamal, bukan ditentukan oleh kandungan ligninnya, melainkan karena kandungan
polifenoliknya yang lebih tinggi. Dalam waktu 4 minggu petaian baru melepaskan sekitar
sepertiga dari N yang dikandungnya.
Tabel 5.4
Konsentrasi total kation, nisbah C/N, Lignin: N (Lg/N), Polyphenolic: N
(Pp/N) dari biomas yang dipakai dalam percobaan inkubasi.
Spesies
N
%
C: N
L
P
%
%
Lg:N
Pp:N
(Lg+Pp)
/N
Σ kation
cmol kg-1
1
Kaliandra/Calliandra
3.65
13.1
12
4.26
3.29
1.17
4.45
58.8
2
Petaian/Peltophorum
2.47
13.6
19
4.76
7.69
1.93
9.62
58.4
3
Gamal/Gliricidia
4.57
10.2
11
1.80
2.41
0.39
2.80
52.9
4
Lamtoro/Leucaena
3.28
14.8
12
2.30
3.66
0.70
4.36
42.1
5
Flemingia
3.22
17.6
9
2.59
2.80
0.80
3.60
36
6
Jambu air/Syzigium
2.81
8.7
32
0.32
11.4
0.11
11.5
88.9
7
Bulangan/Gmelina
6.11
6.7
28
1.10
4.58
0.18
4.76
126.2
8
Sungkai/Perunema
5.85
9.0
37
1.56
6.33
0.27
6.59
72.5
9
Krinyu/Chromolaena
1.88
27.7
32
2.33
17
1.24
18.3
100
0.78
74
11
0.65
14
0.83
14.9
19.45
10 Alang-alang/ Imperata
Informasi hasil analisis beberapa jenis bahan ini dapat dipakai sebagai dasar menentukan
kualitas bahan organik, sehingga dapat menaksir kecepatan mineralisasinya. Lebih jauh hal
ini dapat dipakai untuk memilih jenis pepohonan yang memiliki sinkronisasi cukup tinggi
dengan tanaman semusim yang ada.
– 120 –
5 Sistem Agroforestri
f) Ketahanan terhadap pangkasan
Untuk mengurangi persaingan akan cahaya antara pohon dan tanaman
semusim, perlu dilakukan pemangkasan daun dan ranting pohon tanaman pagar.
Beberapa jenis pohon tetap tumbuh baik walaupun sering dipangkas, namun ada
jenis-jenis pohon yang tidak tahan mengalami pemangkasan, ditandai dengan
kemunduran pertumbuhan setelah dipangkas beberapa kali. Pohon yang mudah
dan cepat tumbuh kembali setelah mengalami pemangkasan periodik sangat
cocok untuk digunakan sebagai tanaman pagar. Berikut ini daftar ketahanan
beberapa jenis pohon terhadap pangkasan:
Nama tanaman
Dadap (Erythrin)
Kaliandra (Calliandra )
Lamtoro (Leucaena)
Gamal (Gliricidia )
Petaian/soga (Peltophorum)
Flemingia
Ketahanan terhadap pangkasan
rendah (~ 3 tahun)
sedang (~ 5-7 tahun)
sedang (~ 5-7 tahun)
tahan (>7 tahun)
tahan (>7 tahun)
tahan (>7 tahun)
g) Kemampuan mengendalikan gulma
Alang-alang merupakan gulma yang paling dominan pada lahan-lahan
terbuka dan terlantar. Gulma ini mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap
tanaman pertanian, karena daya saingnya sangat kuat akan air, hara. Tumbuhan
ini sangat tahan kekeringan, mudah beradaptasi dengan tanah miskin hara,
masam, dan tahan terhadap Al yang meracun.
Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari,
dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)
yang menyebar luas di bawah permukaan tanah. Alang-alang dapat berkembang
biak melalui biji dan akar rimpang, namun pertumbuhannya terhambat bila
ternaungi. Oleh karena itu salah satu cara mengatasinya adalah dengan jalan
menanam tanaman lain yang tumbuh lebih cepat dan dapat menaungi.
Menanam tanaman penutup tanah baik berupa tanaman semusim, perdu,
atau pohon dapat membantu mengendalikan alang-alang. Tidak semua pohon
yang digunakan sebagai tanaman pagar dapat menekan pertumbuhan alang-alang.
Hanya pepohonan yang cepat tumbuh dan memiliki tajuk yang rapat dan padat
sangat potensial untuk mengendalikan alang-alang. Dua contoh jenis pohon yang
dipergunakan untuk mereklamasi lahan alang-alang di Lampung yaitu petaian dan
gamal dapat dilihat pada Gambar 5.12.
– 121 –
5 Sistem Agroforestri
Contoh kasus 5.8
Naungan dan Alang-alang
Hasil percobaan dan survey (Purnomosidhi et al., 2000) pada lahan petani di Pakuan
Ratu, Lampung menunjukkan bahwa:
untuk membasmi alang-alang secara biologi diperlukan penaungan yang
dapat mengurangi sinar matahari yang masuk minimal 80% dari jumlah
total sinar pada tempat-tempat terbuka, dan waktu yang diperlukan minimal
2 bulan.
Tanaman penutup tanah kacang-kacangan (LCC) berumur pendek dan tumbuh
cepat seperti Mucuna pruriens var. utilis (Bhs. Jawa koro-benguk) yang siklus hidupnya
hanya sekitar 5 bulan, dengan kemampuan menutup permukaan tanah sekitar 80% pada
saat tanaman telah berumur 4 bulan, mempunyai potensi menekan alang-alang. Koro
benguk hanya mampu menekan populasi alang-alang tetapi tidak mampu membunuh akar
rimpang alang-alang. Jalan keluarnya adalah mengkombinasikan dengan tanaman penutup
tanah lain yang berumur lebih panjang misalnya kacang ruji (Pueraria), ki besin (Centrosema)
dan pepohonan bernilai ekonomi tinggi yang pertumbuhannya cepat pula.
Bila sistem campuran ini telah terbentuk dan akar rimpang alang-alang telah mati,
maka tanaman pangan dapat ditanam disela-sela pepohonan. Dan bila sebaran tajuk
pepohonan telah rapat dan cahaya yang masuk terlalu sedikit maka lahan dapat dibiarkan
menjadi sistem agroforestri. Pada kondisi ini merupakan titik awal dimulainya sistem
agroforestri pada lahan bekas alang-alang.
Gambar 5.12
Petaian (atas) dan gamal (bawah)
ditanam berbaris untuk
memberantas alang-alang melalui
efek naungan. Tajuk gamal
meyebar ke samping tetapi tidak
cukup rimbun sehingga masih
banyak matahari yang masuk, maka
populasi alang-alang masih tinggi.
(Foto: Meine van Noordwijk)
– 122 –
5 Sistem Agroforestri
h) Manfaat tambahan
Salah satu alasan keberatan petani menerapkan tumpangsari tanaman
semusim dengan pohon adalah berkurangnya lahan untuk tanaman semusim,
karena digunakan untuk menanam pohon sehingga pendapatan jangka pendek
menjadi berkurang. Oleh karena itu, untuk mengganti ‘kerugian’ tersebut, pohon
yang dipilih sebaiknya yang memberikan manfaat ganda bagi petani: menjamin
lingkungan tumbuh yang baik dan dapat memberikan produksi yang dapat
dimanfaatkan segera seperti buah, sayur, getah, pakan ternak, kayu bakar, dan
sebagainya.
5.8 Mengelola pohon
Prinsip dasar fisiologi tanaman: Hubungan fungsi antara akar dan tajuk
Sebaran akar tanaman ditentukan oleh sifat genetik, lingkungan tanah, dan
pengelolaan tanaman. Usaha pengelolaan pohon yang akan mempengaruhi
jumlah dan distribusi perakaran antara lain adalah pengaturan kepadatan populasi
pohon dan pemangkasan tajuk. Perubahan pertumbuhan pohon di bagian tajuk
akan diikuti oleh perubahan pertumbuhan akar.
Menurut konsep dasar fisiologi yang lama, pertumbuhan akar dan
fungsinya bagi produksi tanaman adalah didasarkan atas 'keseimbangan
morfogenetik' antara akar dan tajuk tanaman. Dengan kata lain bahwa 'lebih
banyak akar, mengakibatkan pertumbuhan tajuk menjadi lebih baik', atau
tinggi pohon dan luas sebaran tajuknya akan menentukan kedalaman dan luas
sebaran perakaran pohon tersebut. Oleh karena itu sebagai dasar pedoman
pemberian pupuk kepada pohon atau tanaman biasanya dengan memperhatikan
lebar sebaran tajuknya.
Berdasarkan hasil penelitian fisiologi
Hubungan akar dan tajuk
tanaman yang telah dilakukan seabad yang lalu
tanaman adalah hubungan
membuktikan bahwa anggapan tersebut tidak
KESEIMBANGAN FUNGSI
sepenuhnya benar. Oleh sebab itu konsep
Bukan KESEIMBANGAN
MORFOLOGI
dasar hubungan antara akar dan tajuk tanaman
tidak dapat diterima lagi dan berubah menjadi
'keseimbangan fungsi'. Konsep baru ini lebih menekankan pada fungsi
perakaran dalam menyerap air dan hara oleh sistem perakaran daripada ukuran
distribusi sistem perakaran tanaman tersebut.
Tajuk melalui proses fotosintesis menyediakan karbohidrat untuk akar dan
akar menyerap air dan hara dari dalam tanah untuk memenuhi kebutuhan tajuk.
Jumlah air dan hara yang diserap oleh akar ditentukan oleh banyak faktor antara
lain kebutuhan tanaman, ketersediaannya dalam tanah, kontak antara akar dengan
tanah dan luas permukaan akar. Tajuk dan akar sama-sama memiliki kurva
pertumbuhan optimum namun pada kondisi yang berbeda. Untuk mencapai
pertumbuhan optimum, tingkat kesuburan tanah yang dibutuhkan oleh akar relatif
– 123 –
5 Sistem Agroforestri
40
10
30
0.1
20
Taju
k:a
kar
1
10
0
0.01
0
Nisbah tajuk : akar
100
Be
rat
taju
Be
k
rat
ak
ar
Berat kering
lebih rendah dari pada kondisi yang dibutuhkan oleh tajuk. Gambar 5.13.
memberikan gambaran secara skematis tentang respon tajuk dan akar tanaman
terhadap ketersediaan air dan hara (Schuurman, 1983). Tanaman yang tumbuh
pada tanah yang subur memiliki nisbah tajuk: akar yang lebih tinggi sebagai akibat
tingginya produksi tajuk dari pada tanaman yang tumbuh pada tanah kurang
subur atau tanah kering. Pernyataan ini memberikan gambaran seolah-olah
lingkungan tanah yang menentukan pertumbuhan akar, tetapi sebenarnya yang
menentukan adalah kebutuhan tanaman. Meningkatnya total luas permukaan
daun, maka tanaman membutuhkan total luas permukaan akar yang lebih tinggi
pula guna mencukupi kebutuhan air dan hara. Dengan demikian tanaman yang
tumbuh pada tanah kering biasanya akan membentuk akar yang lebih banyak dari
pada daerah basah, sehingga setiap peningkatan berat kering tajuk akan diikuti
oleh peningkatan serapan air dan hara. Akibatnya nilai nisbah tajuk: akar akan
terus meningkat dengan meningkatnya kesuburan tanah, dan sampai tingkat
tertentu akar tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan tajuk dan nilai nisbah
tajuk: akar akan kembali menurun.
Selanjutnya respon tanaman terhadap lingkungan yang ditunjukkan oleh
meningkatnya serapan air dan hara, dibedakan menjadi 2 macam (Goedewagen,
1937):
a. ‘respon morfologi’ yaitu pembentukan akar yang lebih banyak
b. ‘respon fungsi’ yaitu ekstra aktifitas serapan air dan hara per unit akar.
3
6
Kesuburan Tanah
9
Gambar 5.13
Skematik respon akar dan tajuk
terhadap berbagai kondisi
kesuburan tanah (ketersediaan air
dan hara) pada tanah-tanah
pertanian (Schuurman, 1983).
12
Optimum Akar Tajuk
Bila ditinjau dari sisi tanaman menunjukkan adanya pengaturan secara aktif
oleh tanaman, dengan jalan mengatur keseimbangan nisbah tajuk: akar setelah
mengalami hambatan lingkungan. Pengaturan itu dapat berupa pengurangan atau
penambahan organ tanaman (Brouwer, 1963; 1983). Pengelolaan pohon misalnya
pemangkasan tajuk atau akar, teknik persiapan bibit atau teknik penanamannya di
lapangan juga akan mempengaruhi distribusi perakaran yang pada akhirnya
– 124 –
5 Sistem Agroforestri
mempengaruhi pertumbuhan tajuk (Contoh Kasus 5.5 dan 5.9). Ada dua
pertanyaan yang umumnya timbul sehubungan dengan pengelolaan pohon yaitu:
a. Kapan dan pada ketinggian berapa pemangkasan pohon dilakukan?
b. Teknik menanam pohon yang tepat untuk mendapatkan perkembangan akar
yang dalam.
Contoh kasus 5.9
Kapan dan pada ketinggian berapa pemangkasan pohon dilakukan?
Percobaan lapangan dilakukan pada ultisol, di Pakuan Ratu, Lampung, bertujuan untuk
mengetahui pengaruh tinggi pangkasan pohon terhadap sebaran akar pada pohon petaian
(Peltophorum) dan Calliandra calothyrsus. Tanaman dipangkas pada ketinggian yaitu: 0.50;
0.75 atau 1.0 m dari permukaan tanah. Hasilnya menunjukkan bahwa tinggi pangkasan
yang rendah (dekat dengan permukaan tanah), mengakibatkan tanaman membentuk lebih
banyak akar kecil pada lapisan permukaan 0-10 cm. (Gambar 5.14 dan 5.15). Hasil yang
sama akan diperoleh pula bila tajuk sering dipangkas.
Peltophorum
Tinggi pangkasan:
Gambar 5.14 Sebaran akar Peltophorum dan Calliandra pada kedalaman 10 cm setelah 6
bulan dipangkas pada berbagai ketinggian. Semakin rendah tingkat
pangkasan pohon semakin banyak akar halus dijumpai pada bagian
permukaan tanah (Hairiah et al., 1992)
– 125 –
5 Sistem Agroforestri
Contoh kasus 5.9 (lanjutan)
Adanya pemangkasan tajuk tanaman menyebabkan berkurangnya aktivitas
akar, bila tajuk tanaman telah tumbuh kembali akan diikuti pula oleh pertumbuhan
akar-akar baru.
Gambar 5.15 Foto akar petaian (Peltophorum) yang dipangkas setinggi 50 cm (pohon
sebelah kiri); dan 75 cm (pohon sebelah kanan) (Foto: Kurniatun
Hairiah).
Hasil penelitian ini merupakan informasi yang berguna bagi petani yang
melakukan praktek wanatani di lahannya terutama pada daerah-daerah kering. Semakin
banyak akar yang terbentuk pada lapisan atas maka semakin besar pula kemungkinan
terjadinya kompetisi akan air dan hara antar tanaman. Tanaman yang memiliki
perakaran dangkal biasanya kurang tahan terhadap kekeringan. Informasi lebih lanjut
dari percobaan ini bahwa pemangkasan pertama sebaiknya dilakukan bila tanaman telah
cukup dewasa (sekitar 2 tahun) dimana akar tanaman telah tumbuh cukup dalam.
Pelajaran berguna yang bisa diambil adalah:
• Tinggi pangkasan dilakukan pada ketinggian minimal 0.75 m.
• Pemangkasan pertama sebaiknya dilakukan bila pohon telah berumur minimal 2
tahun.
– 126 –
5 Sistem Agroforestri
Contoh kasus 5.10
Teknik penanaman pohon yang tepat untuk mendapatkan
perkembangan akar yang dalam.
Percobaan dilakukan di lapangan di daerah Pakuan Ratu, Lampung, untuk
mendapatkan teknik penyediaan bibit pohon yang tepat agar diperoleh distribusi sistem
perakaran yang dalam. Jenis pohon yang dicoba adalah petaian (Peltophorum) dan gamal
(Gliricidia). Teknik penyediaan bibit petaian yang dibandingkan adalah: (a) biji ditanam
langsung di lapangan, (b) menanam bibit cabutan (putaran). Sedangkan untuk gamal
adalah: (a) biji ditanam langsung di lapangan, (b) menanam dari stek sepanjang 50 cm.
Pengukuran total panjang akar (Lrv) dan berat biomasa tajuk dilakukan setelah tanaman
berumur 1 tahun, dengan selang periode pengamatan 3 bulan.
log Lrv
-1.2
0 - 10
-1.0
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
Kedalaman, cm
10 - 20
20 - 30
30 - 40
G-biji
G-stek
P-biji
P-cabutan
40 - 50
50 - 60
0 - 10
Kedalaman, cm
10 - 20
Hasil
pengamatan
total
panjang akar (Lrv, cm cm-3 tanah)
pada periode pertama (umur 15
bulan)
menunjukkan
bahwa
menanam pohon langsung dari biji
memberikan total panjang akar
lebih tinggi dari pada cabutan atau
stek (Gambar 5.16). Namun pada
periode pengamatan berikutnya
secara bertahap perbedaan itu
mengecil. Dan pada periode ke
tiga tidak dijumpai lagi adanya
perbedaan total panjang akar dari
ke dua teknik penanaman pada ke 2
jenis tanaman yang diuji (Gambar
5.16 bawah).
Gambar 5.16
Total panjang akar (Lrv) petaian
dan gamal pada berbagai
kedalaman tanah dengan perlakuan
teknik penanaman pada periode
pertama (atas) dan periode ke-3
(bawah).
20 - 30
30 - 40
40 - 50
50 - 60
Penanaman pohon langsung dari biji, sebenarnya lebih murah dan tidak
membutuhkan tenaga yang banyak. Namum pertumbuhan pohon yang ditanam dengan
teknik ini sangat lambat pada awalnya, sehingga memerlukan tenaga ekstra untuk
penanggulangan gulma di sekeliling pohon. Bila penyediaan stek memungkinkan, maka
teknik penanaman stek lebih menguntungkan karena pohon tumbuh dengan cepat
sehingga menutupi permukaan tanah. Dengan demikian mengurangi tenaga kerja untuk
penyiangan. Jadi kedua teknik penanaman sama-sama memiliki keuntungan dan
kerugian. Petani dapat mencoba sendiri berbagai teknik penanaman yang lain pada
berbagai pohon yang diinginkan, dengan mengamati pertumbuhan pohon di atas dan di
bawah tanah.
– 127 –
5 Sistem Agroforestri
Saran pengelolaan pohon
a. Naungan dikurangi dengan jalan pemangkasan cabang pohon selama musim tanam,
tetapi dibiarkan tumbuh pada musim kemarau untuk menekan pertumbuhan gulma
(misalnya alang-alang).
b. Pemangkasan pertama bisa dilakukan bila pohon telah berumur minimal 2 tahun.
c. Tinggi pangkasan minimal 75 cm dari permukaan tanah. Pemangkasan lebih rendah
dari 75 cm akan menyebabkan pertumbuhan akar pohon terpusat pada lapisan tanah
atas, sehingga menimbulkan kompetisi dengan tanaman semusim.
d. Frekuensi pemangkasan tidak lebih dari 3x dalam setahun. Pemangkasan tajuk yang
terlalu sering mendorong terbentuknya akar halus pada lapisan atas.
e. Teknik menanam pohon dapat dilakukan dengan jalan menanam biji langsung di
lapangan, stek atau dari bibit cabutan tergantung dari bahan tanam dan tenaga yang
tersedia. Bila bahan tanam stek tersedia menanam stek lebih cepat dan mengurangi
populasi gulma.
– 128 –
Download