Are You a Stupid Manager ?

advertisement
Mencari CEO Dambaan
( By Freddy Liong, MBA, CBA, ACMC )
Lagi-lagi saya menerima keluhan dari seseorang yang sedang saya coach.
Bedanya, keluhan justru saya terima dari seseorang dengan level tinggi di
perusahaan. Bukan sekadar manajer atau general manajer. Kali ini malah dari
seorang CEO. Keluhannya dimulai dari rendahnya trust bawahan padanya.
Bahkan, dia dapat merasakan bahwa para GM, manajer, dan staff di bawahnya
seolah-olah menghindar bertemu dengannya. Seperti antipati.
Saya percaya, bahwa problem relasi semacam itu tidak muncul secara tiba-tiba.
Pasti ada sumber api ketika kita merasa ada bau asap menyengat, bukan? Saya
pun mengajak dia mengobrol dan dengan mudah dia bercerita. Dari situlah saya
mulai dapat menyusun peta persoalan.
CEO yang ini punya style seperti kebanyakan orang. Dia menerapkan 3M yaitu
memerintah, mengontrol, dan bila perlu mengomel. Dia yakin itulah style terbaik
yang cocok untuk diterapkan bagi seluruh jajarannya. Dia berkisah, bawahan baru
bisa patuh dan bekerja keras bila diperlakukan keras. “Anak sekarang rata-rata
lembek, malas, tidak taat target, gampang mengeluh, lebih banyak ngobrol dan
main di media sosial,” keluhnya. Itu sebabnya dia sangat ketat mengontrol seluruh
bawahannya termasuk para GM dan manajer. Lengah sedikit, mereka bisa
berbuat semaunya, begitu kata dia dengan tegas.
Dari situlah, CEO ini memilih untuk membatasi diri dalam membangun relasi di
kantor. Baginya, terlalu dekat dengan bawahan akan mengurangi wibawa, anak
buah bisa ngelunjak, berkurang rasa hormatnya, dan kepatuhan pun jadi hilang.
baginya, relationship hanya perlu sekadarnya. Tak perlu ada basa-basa apalagi
sampai ke hati.
Buntutnya, hubungan CEO dengan karyawan di level bawahnya memang rapuh.
Lebih banyak instruksi dan minim support. Karyawan merasa hanya menerima
lemparan tugas yang bertubi-tubi, bukan pendelegasian.
Saya mencoba mengurai problem itu karena CEO itu meminta saran perbaikan.
Hal pertama yang tampak adalah, si CEO adalah tipe orang yang visual oriented.
Dia tidak terlihat sebagai pribadi yang people oriented. Baginya, relationship yang
baik dan harmonis justru dapat melemahkan ketaatan. Dan itu efeknya besar pada
pencapaian target. Benarkah demikian? Apakah relationship oriented kalah bagus
dibandingkan dengan task oriented?
Mari kita bedah. Pemimpin yang relationship oriented adalah pemimpin yang
berfokus untuk memberikan support, memotivasi anggota tim, dan
mengembangkan mereka termasuk meningkatkan kualitas hubungan atasan
dengan bawahan. Style pemimpin semacam ini mendorong kerja sama tim yang
baik dan kolaboratif melalui pembinaan hubungan positif dan komunikasi yang
baik. Pemimpin berorientasi pada hubungan memprioritaskan kualitas kerja
semua orang dalam kelompok, dan akan menempatkan waktu dan usaha dalam
memenuhi kebutuhan individu setiap orang yang terlibat. Ia juga menciptakan
interaksi yang lebih santai dengan anggota tim untuk belajar tentang kekuatan dan
kelemahan mereka serta menciptakan lingkungan kerja yang non-kompetitif dan
terbuka.
Lebih dalam lagi, manfaat kepemimpinan relationship oriented adalah:
Pertama, anggota tim berada dalam lingkungan di mana mereka punya keyakinan
bahwa pemimpin peduli tentang kebutuhan mereka. Di situlah trust dapat tumbuh
subur di antara keduanya, atasan dan bawahan.
Kedua, pemimpin yang relationship oriented memahami bahwa membangun
produktivitas positif memerlukan lingkungan yang positif di mana individu merasa
didorong untuk maju. Konflik pribadi, ketidakpuasan dengan pekerjaan,
kebencian, dan bahkan kebosanan memang dapat menurunkan produktivitas,
sehingga pemimpin akan memastikan bahwa masalah tersebut tetap minimal.
Ketiga, dan ini keuntungan besar adalah anggota tim mungkin lebih bersedia
mengambil risiko, karena mereka tahu bahwa pemimpin akan memberikan
support jika diperlukan.
Adakah efek buruk dari kepemimpinan yang relationship oriented? Ada, dan ini
yang menjadi kekhawatiran CEO tadi. Relasi yang terlalu jauh dan mendalam
seringkali membuat lunturnya sistem kontrol untuk mencapai target dan
menyelesaikan tugas.
Sekarang kita tengok jenis kepemimpinan kedua yaitu task oriented.
Pemimpin yang memiliki style task oriented akan fokus pada serangkaian tugas
yang harus dia delegasikan untuk mencapai tujuan dan target yang sudah
ditentukan. Para pemimpin ini cenderung kurang peduli dengan ide inovatif
karyawan. Baginya tugas dia adalah membagi tugas, mengontrol, dan selanjutnya
mengevaluasi kemajuan tim.
Keuntungan kepemimpinan berorientasi tugas adalah bahwa hal itu memastikan
bahwa tenggat waktu terpenuhi dan pekerjaan selesai, dan itu sangat berguna
untuk anggota tim yang tidak mengelola waktu mereka dengan baik. Selain itu,
jenis pemimpin ini akan cenderung memberikan contoh pemahaman yang kuat
tentang bagaimana berfokus pada prosedur kerja yang diperlukan, sehingga
dapat mendelegasikan pekerjaan sesuai untuk memastikan bahwa semuanya
akan dilakukan pada waktu yang tepat dan produktif.
Adakah efek buruknya? Ya ada. para pemimpin yang task oriented cenderung
tidak berpikir banyak tentang kebutuhan kesejahteraan dan ketenangan kerja tim
mereka, dalam level akut, anggota tim dapat mengalami demotivasi dan itu tentu
saja kontraproduktif dengan semangat si pemimpin yang task oriented.
Task-Oriented
Relationship-Oriented
Emphasis on work facilitation
Emphasis on interaction facilitation
Focus on structure, roles and tasks
Focus on relationships, well-being and
motivation
Produce desired results is a priority
Foster positive relationships is a priority
Emphasis on goal-setting and a clear plan to Emphasis on team
achieve goals
communication within
members
and
Strict use of schedules and step-by-step plans, Communication
facilitation,
casual
and a punishment/incentive system
interactions and frequent team meetings
Saran yang kemudian saya berikan untuk mengatasi problem si CEO tadi adalah
untuk bersikap luwes. Seperti bergerak berayun secara dinamis, kapan harus
berorientasi pada pencapaian target dan kapan dia harus berorientasi untuk
membangun relasi. Ini tidak sulit sebetulnya bagi dia karena level dia adalah CEO
dan tidak bersentuhan langsung dengan staff produksi. Saat situasi kritis, pola
task oriented tentunya perlu diperbanyak porsinya, sedangkan saat kondisi
sebaliknya yang terjadi, maka dia bisa mulai mengubah style-nya lebih rileks
dalam menghadapi anggota tim.
Freddy Liong, MBA, CBA, ACMC








Certified Behavior Analyst
Associate Certified Meta Coach – USA
Certified Meta Master Neurosemantic – USA
Identity Compass Consultant – Germany
www.freddway.com
www.bursatraining.com
Video-promo : https://www.youtube.com/watch?v=8DDGMGujxM4
Licensed Identity Compass Consultant
http://id.identitycompass.com/consultants/index.php?intSubNr=373
Download