ISLAM DAN DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF FATIMA MARNISSI Rusdin* Abstrak The history of Islamic civilization was filled with political murders caused by a tremendous fear of the rulers to the people in terms of freedom of thought. That fear has even become a kind of paranoid, so the tradition of Arab women firmly refused to take part and would rather put them on the normative life of propane. The women around the world began to dare to shout his voice. For example, cases that occurred in Tunisia, Rabat and Algiers. The Gulf War taught at least two things. First, there are no more boundaries that protect us from the West (Gharb). Second, in a certain degree we have properties vulnerable, the terror that befell us become unstoppable. The rise of Islam and democratization in the Muslim world took place in a dynamic global context. In various parts of the world, people are abuzz called for revival of religion and democratization so that both the terms of the most important in world affairs today. Kata kunci : Fatima Mernissi, Islam dan Demokrasi Biografi Fatima Mernissi dan Karyanya Fatima Mernissi dilahirkan di Fez kota kesembilan di Maroko pada tahun 19401 sekitar 5.000 km dari Makkah dan 1.000 km dari sebelah timur 1 Kerajaan Maroko adalah sebuah negara di barat laut Afrika yang mempunyai garis pantai yang panjang dekat Samudra Atlantik yang memanjang melewati Selat Gibraltar hingga ke Laut Tengah. Lihat http://id. wikipedia.org/wiki/Maroko Pada tanggal 30 Maret 1912 melalui perjanjian Fez antara Maroko dan Perancis ditandatangani suatu perjanjian bahwa Maroko menjadi negara protektorat Perancis. Tahun 1943 muncul partai Istiqlâl (kemerdekaan) yang dipimpin oleh Allal al-Fasi, yang menuntut kemerdekaan penuh untuk Maroko dari tangan Perancis dengan bentuk pemerintahan konstitusional, Maroko pada saat itu dipimpin oleh Sultan Muhammad V. Sesudah perang Dunia II Partai Istiqlal menjadi partai kemerdekaan demokratis yang cenderung ke kiri (komunis). Dan pada akhir 180 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204 Madrid. Ia dilahirkan ditengah situasi kacau karena kaum Kristen pada waktu itu maupun kaum perempuannya tidak mau menerima batas suci dalam Islam (dalam Fiqh disebut sebagai hudu>d).2 Mernissi kecil hidup di dalam sebuah harem 3 bersama ibu dan nenek-neneknya serta saudara perempuan lainnya yang tanpa sengaja membentuknya menjadi pribadi yang kritis dan pemberani. Sebuah harem yang dijaga ketat oleh seorang penjaga pintu agar perempuan-perempuan itu tidak keluar, harem itu juga dirawat dengan baik dan dilayani oleh pelayan perempuan. Neneknya Yasmina, merupakan salah satu istri kakeknya yang berjumlah sembilan, sementara itu tidak terjadi pada ibunya, ayahnya hanya punya satu istri dan tidak berpoligami. Hal ini dikarenakan orang tua mernissi seorang penganut nasionalis yang menolak poligami. Namun begitu, ibunya tetap tidak bisa baca tulis karena waktunya dihabiskan di harem. Walaupun nenek Yasmina adalah perempuan yang tidak terpelajar, namun kecerdikan dan semangatnya tahun 1946 partai Istiqlal mengubah haluannya menjadi partai massa. Maroko modern sebagai Negara Islam yang berbentuk kerajaan, banyak dipengaruhi oleh pemikiran Allal al-Fasi sendiri yang pernah menjadi menteri agama, banyak belajar dari pemikiran Muhammad Abduh (1849-1905), Jamaluddin al-Afghani (1839 – 1897), Voltaire (1694 – 1778), Montesquieu (1689 – 1755) dan Destoyewski (18211881). Islam Maroko diwarnai paham dan praktik marabout dan sufi. Marabout adalah orang yang oleh penduduk setempat dianggap memiliki kesucian, kebijaksanaan, dan hubungan yang dekat dengan Allah SWT, dan mempunyai kekuasaan untuk campur tangan secara positif dalam situasi kecemasan dan ketegangan. Lihat Nina M.Armando, Ensiklopedi Islam (Edisi tahun 2005), (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 286. Lihat juga Allal al-Fasi, Al-Harâkah alIstiqlâliyah fi al-Maghrib al-„Arabi (Gerakan-gerakan Kemerdekaan di Maghrib Arab) (Kairo : Matba‟at al-Risalah, 1988). 2 Fatima Mernissi, Teras Terlarang (Kisah Masa Kecil SeorangFeminis Muslim) (Bandung : Mizan, 1999), 1. 3 Istilah harem terbagi menjadi dua jenis, yaitu harem kerajaan dan harem domestic. Lihat Fatima Mernissi, Teras Terlarang (Kisah Masa Kecil Seorang Feminis Muslim), (Bandung : Mizan, 1999), 37. Mernissi membuat perbedaan antara harem kerajaan (imperial) dan harem tingkat biasa (domestic). Orang Barat biasanya membayangkan harem kelas tinggi, yakni istana-istana yang dimiliki laki-laki yang kaya raya dan berkuasa, yang membeli ratusan wanita budak dan menyimpan mereka dalam lingkungan harem dengan dijaga ketat oleh orang kasim. Haremharem semacam ini telah lenyap oleh Perang Dunia I, ketika kerajaan Ottoman runtuh dan praktek-praktek itu dilarang oleh penguasa Barat. Mernissi dibesarkan dalam harem tingkat biasa, yakni rumah bertembok anggun, meskipun bukan istana. Rumah ini didiami oleh sebuah keluarga besar dengan maksud mencegah perempuan memiliki kontak dengan dunia luar. Lihat http://islamlib.com/id/artikel/konsep-harem-dalam-perspektif-fatima-mernissi/ Islam dan Demokrasi dalam Prespektif Fatima Marnissi 181 menjadikan dia sebagai solidarity maker diantara istri-istri Sidi Tazi (suami Yasmina kakek Fatima Mernissi). Dari nenek Yasmina, Fatima Mernissi belajar tentang kesetaraan sesama manusia, arti keterkungkungan dalam harem, serta hubungan sebab akibat antara kekalahan politik yang dialami kaum muslim dengan keterpurukan yang dialami perempuan. “ Ketika Negara tidak mampu menyuarakan kehendak rakyat, perempuan selalu menjadi korban dari situasi rawan dan kekerasan,4 begitu nenek Yasmina pernah berujar kepada Fatima Mernissi. Sewaktu Mernissi lahir, para nasionalis Maroko berhasil merebut kekuasaan pemerintahan Negara dari tangan kolonial Prancis. Ini diakui Mernissi “....jika saya dilahirkan dua tahun lebih awal, saya tidak akan memperoleh pendidikan, saya lahir pada waktu yang sangat tepat.” Kaum nasionalis yang berjuang melawan Perancis waktu itu menjanjikan akan menciptakan Negara Maroko yang baru, negara dengan persamaan untuk semua.5 Mernissi menerima pendidikan dasar disebuah sekolah yang didirikan oleh gerakan nasionalis, dan pendidikan tingkat menengah disebuah sekolah khusus perempuan didanai oleh protektorat Perancis. Pada tahun 1957 ia belajar ilmu politik di Sorbonne, Perancis dan Universitas Brandeis, Amerika Serikat pada tahun 1973 dimana ia menerima gelar Doktor dengan disertasinya “Beyond The Veil, Male-Female Dynamics In Modern Muslim Society”6. Dia kembali bekerja di Universitas Muhammad V Rabat dan sebagai Professor bidang Sosiologi 7 ia mengajar di Fakultas Sastra antara tahun 1974 dan 1981 pada mata kuliah Metodelogi, Sosiologi Keluarga, dan Psikososiologi. Mernissi tercatat sebagai seorang Feminis Islam Internasional, menjadi Profesor tamu pada Universitas California di Berkeley dan Universitas Harvard.8 Karya-karya Mernissi sarat dengan pengalaman individualnya yang mendorongnya melakukan riset historis tentang berbagai hal yang sudah mengganggu pemahaman keagamaanya. Sebagai contoh dalam bukunya The Veil and The Male Elite : A Feminist Interpretation of Women‟s Rights in Islam (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Menengok Kontroversi 4 Fatima Mernissi, Teras Terlarang, xiv. http://mifka.multiply.com/calender/item/10019/FATIMA_MERNISSI 6 Fatima Mernissi, Beyond The Veil, Male-Female Dynamics In Modern Muslim Society” (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1975), VI Lihat terjemahannaya Fatima Mernissi, Beyond The Veil (Seks dan Kekuasaan : Dinamika Pria dan Wanita Dalam Masyarakat Muslim Modern), (Surabaya : ALFIKR, 1997), vi. 7 Fatima Mernissi, The Veil and The Male Elite : A Feminist Interpretation of Women‟s Rights in Islam, (Addison : Wesley Pulishing Company, 1991), vi 8 Fatima Mernissi, Beyond The Veil, i. 5 182 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204 Keterlibatan Wanita Dalam Politik (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997) yang kemudia ia revisi menjadi Women and Islam : A Historical and Theological Enquiry (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Wanita Dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1994). Pelacakan Mernissi Terhadap nash-nash suci baik Al-Qur‟an dan Hadith didasari pada pengalaman individunya sehari-hari ketika berhubungan dengan masyarakat, seperti misalnya hadîth-hadîth yang ia sebut misoginis yang menyatakan posisi perempuan sama dengan anjing dan keledai sehingga membatalkan shalat seseorang. Perasaannya sangat terguncang ketika mendengar hadith tersebut, bagaimana mungkin Muhammad terkasih, bisa begitu melukai perasaan saya, gadis kecil yang disaat pertumbuhannya berusaha menjadikan dia sebagai pilar-pilar impian romantisnya, aku Mernissi dalam bukunya tersebut. 9 Kesedihan Mernissi menjadi lebih dalam saat dia mendengar tentang hadîth mengenai kepemimpinan wanita. Motivasinya untuk menyelidiki hadîth semacam ini dengan serius dipicu oleh hadîth yang diucapkan oleh pedagan di pasar yang menafikan kepemimpinan wanita. Dia juga memberikan perhatian terhadap konsep hijab, tema hijab sangat dominan dalam karir intelektual Mernissi, karena soal itulah sejak kecil yang mempengaruhi dirinya dan keluarganya, dan tentunya keluarga muslim lainnya. Hijab, yang merupakan instrument pembatasan, pemisahan dan pengucilan terhadap perempuan dari ruang public bagi Mernissi merupakan bentuk pemahaman keagamaan dominan (yang dikuasai oleh laki-laki). Hijab juga berarti sarana pemisahan antara penguasa dan rakyat, pemikiran hijab yang terakhir ini dipengaruhi oleh realitas kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat Arab.10 Dengan melakukan penafsiran-penafsiran al-Qur‟ân dan hadîth, riset sejarah dan analisa sosiologis, Mernissi berusaha keras untuk membongkar pemahaman tersebut, untuk kemudian memberikan tafsir alternative. Pemikiran Mernissi tentang hal ini bisa kita lihat dalam dua bukunya The Forgotten of Queen in Islam (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, RatuRatu Islam Yang Terlupakan, Bandung: Mizan, 1994) dan Islam and Democracy fear and the modern world (diterjemahkan ke dalam bahasa 9 Fatima Mernissi, Wanita dalam Islam (Bandung: Pustaka, 1994). http://mifka.multiply.com/calender/item/10019/FATIMA_MERNISSI. ihat juga Fatima Mernissi, The Veil and The Male Elite : A Feminist Interpretation of Women‟s Rights in Islam, (Addison : Wesley Pulishing Company, 1991), VI. Lihat juga Fatima Mernissi, The Forgotten of Queen in Islam (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1993) Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan, (Bandung: Mizan, 1994) 7-14. 10 Islam dan Demokrasi dalam Prespektif Fatima Marnissi 183 Indonesia, Islam dan Demokrasi : Antologi Ketakutan (Yogyakarta: LKIS, 1994). 11 Dalam kebanyakan karya-karyanya, Mernissi mencoba menggambarkan bahwa ajaran agama bisa dengan mudah dimanipulasi. Karenanya Mernissi pun percaya, penindasan terhadap perempuan adalah semacam tradisi yang dibuat-buat dan bukan dari ajaran agama Islam. Makanya ia sangat berani dan tidak takut membongkar tradisi yang dianggap sacral oleh masyarakat selama ini. Banyak tulisan-tulisan lepasnya tentang perempuan yang menyuarakan hal diatas, misalnya dalam bukunya Rebellion‟s Women and Islamic Memory, (London & New Jersey : Zed Books, 1996). Sebagai seorang Sosiolog, tulisan-tulisan Mernissi bisa dikatakan tidak semata-mata berisi uraian normative tapi kaya juga dengan analisa sosiologis. Ini bisa terlihat dari karya-karyanya dan disertasi doktoralnya yang dibukukan dengan judul Beyond The Veil, Male-Famale Dynamic in Modern Muslim Society (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Seks dan Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita dalam Masyarakat Modern. Buku ini merupakan hasil penelitiannya terhadap masyarakat Maroko tentang batas-batas seksual perempuan. Sehingga, seakan-akan pergulatan intelektual dan pengalamannya tertuang dalam karya-karyanya, bisa menjadi representasi persoalan perempuan Islam pada umumnya.12 Islam dan Demokrasi Sejarah peradaban Islam yang penuh dengan pembunuhan politik akibat ketakutan luar biasa para penguasa terhadap kebebasan berfikir, menggoreskan ketakutan-ketakutan pada umatnya saat ini pada wacana demokrasi dan hak asasi manusia. Ketakutan ini bahkan menjadi semacam paranoia, sehingga orang Arab ngotot menolak masa lalu dan tega menyembunyikan perempuan dengan ajakan baku yang menempatkan mereka pada kehidupan sebatas hijab dan tembok-tembok harem. Gelombang besar demokratisasi dunia yang sanggup menumbangkan tirai besi Uni Sovyet dan Tembok Berlin, akankah mampu mengantarkan perempuan Muslimah menghirup udara bebas, di dalam dunia tanpa hijab, atau diluar dinding harem?13 Perang Teluk usai sudah, teriakan menentang perang yang paling memilukan berasal dari kaum perempuan seluruh dunia, 11 Fatima Mernissi, Islam and Democracy diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan (Yogyakarta: LKIS, 1994). 90 12 Fatima Mernissi, Beyond The Veil, 23. Lihat juga http:/islamlib.com/ id/index.php?=article&id=320. 13 Fatima Mernissi, Islam dan Demokrasi, 229. 184 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204 terutama perempuan Arab. Di Tunisia, Rabat, dan Aljazair, perempuan meneriakkan kekhawatirannya lebih keras ketimbang ditempat lain. Banyak perempuan dan masyarakat Arab yang damai berada dalam bahaya. Tapi mereka lebih khawatir kalau masyarakat Arab dijebloskan dalam kecamuk perang dan panas api yang dikobarkan oleh kekuatan asing. Kemudian betapa mengerikan masa depan perempuan dalam masyarakat Arab yang terlempar dalam kecamuk perang dan kobaran api yang direstui oleh hukum internasional dan mendapat mandat dari dewan keamanan PBB. Lalu apa hendak dikata bila hal ini dilakukan oleh Negara Barat yang mengklaim kepemimpinan moral dunia dengan memaksa bangsa lain untuk menerimanya sebagai model demokratik universal yang mematahkan kekerasan semua klaim legitimasi, apakah perang ini suatu keniscayaan? 14 Perang teluk, telah mengajarkan kepada kita paling tidak ada dua hal, pertama, tidak ada lagi batas-batas yang melindungi kita dari gharb. Kedua. dalam derajat tertentu kita memiliki sifat mudah diserang, teror yang menimpa kita menjadi tak terbendung, karena itu kita harus menghadapi dan memahami sesuatu yang menakutkan sebagai satu-satunya jawaban. Demokrasi yakni penekanan kedaulatan individu lebih dari pada kedaulatan pemimpin sewenang-wenang. Ia adalah luka lama yang diderita Timur selama berabad-abad. Kekuatan-kekuatan oposisi secara terus menerus memberontak dan membunuh pemimpin pemimpin dan telah berusaha untuk melenyapkan mereka. Tarian kematian antara otoritas dan individualitas bagi umat Islam ditekan, karena dibasahi oleh darah dan kekerasan sehingga tidak ada peradaban yang membiarkan ia mengapung ke permukaan. 15 Demokrasi adalah seperti perahu penguasa yang terapung disungai, yang memaksa kita untuk menghadapi apa yang tidak bisa kita salami dalam kebudayaan kita sampai sekarang ini. Aql (nalar) dan ra‟yu ( pendapat pribadi) menjadi persoalan untuk bersikap dan memecahkan persoalan yang tetap menjadi teka-teki sampai kini, harus taat atau berfikir, harus percaya atau berpikir. Penegasan bahwa kebebasan individu bukan merupakan satu-satunya kekayaan Barat, berada pada inti tradisi kita. Namun ia telah terendam dalam genangan darah yang tak henti-hentinya, Barat dengan penekanannya pada demokrasi tampak benar-benar gharib bagi kita, asing, karena ia merupakan sebuah cermin bagi apa yang kita takutkan. 16 Barat memaksa kita untuk mengingat pendiri mazdhab Maliki yang dianut umat Islam di Afrika Utara. Mālik ibn Anas bin Malik bin 'Āmr al14 Fatima Mernissi, Islam dan Democracy: Fear of the Modern World, (Addison: Wesley Publishing Company, 1992), 1. 15 Ibid, 16. 16 Ibid, 18. Islam dan Demokrasi dalam Prespektif Fatima Marnissi 185 Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), lahir di Madinah pada tahun 714 M / 93 H. Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Mazhab Maliki, kitabnya yang terkenal yaitu al-Muwatta‟. Beliau wafat pada tahun 800 M/ 179 H karena disiksa atas perintah khalifah. 17 Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866 M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk Islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal. Ia menekankan bahwa manusia adalah tempat kebenaran (haqq), bahwa setiap orang mencerminkan keindahan Ilahiyah dan karena itu perlu berdaulat, beliau dibakar hidup-hidup di Baghdad pada tahun 390 H (abad ke 11 M). 18 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia tidak menakutkan rakyat karena ia menyatakan “kehendak rakyat akan menjadi dasar otoritas pemerintah dan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negerinya. Hal ini menakutkan karena ia memperkuat ingatan Khawârij, sekte pemberontak yang muncul pada awal sejarah Islam yang mengingatkan pada terorisme dan anarkhisme. Ia mengintimidasi masyarakat Islam selama berabad-abad, memperkenalkan penggunaan terorisme sebagai jawaban terhadap aturan yang semena-mena. Karena mereka tidak setuju dengan Imam Ali, maka mereka membunuhnya. Pembunuhan terhadap Imam bermula sangat dini, bahkan sebelum khalifah Ali, apa yang bermula dari khalifah Ali adalah terorisme politik – pembunuhan sebagai sebuah rencana dan program. 19 17 Gubernur Madinah memanggil Imam Malik dan memaksanya menarik kembali kata-katanya, ketika Imam Malik menolak, Gubernur memerintahkan agar Malik ditelanjangi dan dicambuk. Tangannya (yang memegang pena) di penggal dengan kejam sehingga terlepas dari bahunya. Hal ini terjadi pada tahun 147 H, beliau tidak pernah sembuh, hidup dalam keadaan cacat, tetapi terus menulis dan berjuang sampai akhirnya meninggal akibat luka yang dideritanya. Lihat Imam alQurtubi, Al-Intiqa‟fi Fadâ‟il al-Tal‟at al-A‟immah al-Fuqahâ‟, Malik, Syafi‟i wa Abu Hanîfah (Beirut: Dar al-Ilmiyyah, tt) 4. Lihat juga http://id.wikipedia. org/ wiki/Malik_bin_Anas 18 Ibn Khallkan, Wafayat al-A‟yan (Beirut: Dar Sadir, tt) Vol 2, 140. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/mansur_ Al-Hallaj 19 Syarastani, Al-Milal wa al-Nihal, Vol I (Beirut : Dar Sa‟b, 1989), 115 186 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204 Khalifah pertama yang dibunuh secara paradox adalah figure dengan reputasi keadilan terbesar, Umar Ibn al-Khattab, khalifah ortodoks kedua yang tercermin secara mendalam pada missinya. Ia adalah salah seorang pendukung ra‟yu, pertimbangan individual sebagai sumber pembuatan keputusan, yang menjadi konsep fundamental dalam tradisi rasionalis. Menurut Ibn Hazm sejumlah khalifah yang terbunuh dilukai oleh banyak pedang, yaitu mereka merupakan korban kemarahan suatu kelompok pada suatu pembunuhan yang memiliki ruang ritual. 20 Ketakutan orang Arab terhadap demokrasi tidaklah sebesar penderitaan mereka karena lemahnya akses terhadap kemajuan paling penting abad ini, khususnya toleransi – sebagai prinsip dan praktek, yang maksudkan mernissi disini yaitu Humanisme Sekuler yang telah memungkinkan perkembangan masyarakat sipil. Gagasan-gagasan Humanistik yaitu kebebasan berfikir, kedaulatan individu, kebebasan untuk bertindak, dan toleransi (yang dipropagandakan di Barat melalui aliran pemikiran sekuler). Kedaulatan individu selalu mengambil posisi yang agak ambigu dikalangan “para pembaharu” gerakan nasionalis abad 19 yaitu Gerakan yang memusatkan diri pada perjuangan menentang penjajahan dan karena itu sangat anti Barat. Berhadapan dengan Barat yang militeristik dan imperialistik, para nasionalis muslim terpaksa berlindung pada masa lalu mereka dan menegakkannya sebagai benteng --hudûd kultural untuk membebaskan diri dari kekerasan kolonial. 21 Humanisme Sekuler, sebagaimana didefinisikan oleh sosiolog Amerika James Davison Hunter, adalah salah satu masalah yang diajarkan oleh sekolah-sekolah Amerika : “kurikulum sekolah cenderung mencerminkan penekanan pada individu sebagai ukuran bagi segala sesuatu pada otonomi, perasaan-perasaan, kebutuhan-kebutuhan personel dan nilai-nilai yang dijabarkan secara subyektif.” Semuanya independen dari patokan transenden yang dinyatakan dalam teisme tradisional. 22 20 Khalifah Umar Ibn Katab ditikam pada tahun 23/644, Dia khalifah kedua yang memerintah setelah Nabi Muhammad saw. Khalifah Usman ditetak hingga mati dengan pedang pada tahun 35/656, Beliau adalah khalifa ke tiga setelah Umar. Khalifah Marwan ibn Hakam dicekik oleh istrinya Ummu Khalid, khalifah keempat dinasti Umayah meninggal pada tahun 64/683. Umar ibn Abdul Aziz, diracun. Dia khalifah Umayah ke delapan, meninggal pada tahun 101/720. Kemudian al-Walid Ibn Yazid ditetak hingga mati. Lihat Ibn Hazm, Ar-Rasâ‟il (Beirut : Al-Mu‟assasah al-„Arabiyah li Dirasah wa al-Nasr, 1981), Vol 2, 106. Ibn Hazm meninggal pada tahun 456. 21 Fatima Mernissi, Islam dan Democracy, 42 22 James Davison Hunter. “On Secular Humanism” Dialogue (Washington D.C : U.S Information Agency, 1991), 70. Islam dan Demokrasi dalam Prespektif Fatima Marnissi 187 Humanisme sekuler Amerika dikembangkan tidak begitu banyak menentang agama sebagaimana terhadap campur tangan negara pada agama. Kesukseskan pendekatan ditunjukkan dalam kenyataan bahwa Amerika Serikat merupakan salah satu Negara yang paling religious yang dibayangkan, tidak hanya masih banyak gereja, tetapi dalam kenyataannya gereja-gereja terus tumbuh pesat.23 Sebagian besar negara bekas jajahan --- yakni negara-negara non Barat --- tidak pernah mengalami fase sejarah yang begitu sangat diperlukan bagi perkembangan semangat ilmiah, saat mana negara dan institusiinstitusinya menjadi sarana transmisi ide-ide toleransi dan penghormatan terhadap individu. Hal yang terpenting adalah pemerintah kolonial bersifat brutal dan terbatas secara kultural. Pemerintah nasionalis yang menggantikan mereka sama saja brutal dan memusuhi perkembangan semangat ilmiah dan inisiatif individu. Hal ini menghasilkan katup penghambat sesungguhnya bagi dunia ketiga dari kemajuan-kemajuan humanisme pada abad yang lalu dalam kedua aspeknya yaitu Pertama, aspek Ilmiah (mempromosikan penggunaan sumberdaya pemerintah untuk diinvestasikan dalam riset-riset ilmiah dan mendorong kebebasan bereksplorasi). Kedua, aspek politik (menegakkan demokrasi perwakilan, dengan penggunaan hak warga Negara untuk memberikan suara dan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik.24 Filosof Maroko, Ali Umlil 25 menyatakan bahwa gerakan-gerakan nasionalis di akhir abad XIX dan awal abad XX berusaha memodernisasikan kebudayaan umat Islam tanpa melepaskan diri dengan masa lalu yang dibebani dengan despotisme 26 dan manipulasi terhadap yang sacral. Disatu sisi gerakan-gerakan ini memperkenalkan institusi-institusi dan konsepkonsep demokrasi perwakilan Barat seperti “konstitusi, parlemen, dan hakhak pilih universal disisi lain mereka gagal mendidik massa mengenai pokok persoalan yang esensial, seperti kedaulatan individual dan kebebasan berpendapat yang merupakan basis filosofis institusi-institusi dan konsepkonsep ini. Kebebasan beragama (al-hurriyah al-dîniyyah) adalah kebebasan berkeyakinan dan berpendapat, dengan satu syarat utama “jangan meninggalkan Islam”. Ini merupakan jalan Rifa‟at al-Tahtawi 27 pemimpin 23 Fatima Mernissi, Islam dan Democracy, 45. Ibid., 46. 25 „Ali Umlil, Al-Tasa>muh hasb al-Is}la>hiyyah al-Isla>miyyah, (Beirut : Dar al-Tanawbar, 1985) 26 Yaitu dengan makna Negara yang tanpa pandangan ke depan, tanpa ambisi yang sepi ilmu pengetahuan, sepi pemikiran, sepi keindahan hidup, dan sepi kebudayaan. Lihat Fatima Mernissi, Islam dan Democracy, 46. 27 Rifa‟ah At-Tahtawi (1801-1873 Masehi): Beliau adalah Rifa‟ah Rafi‟ bin Badawi bin Ali At-Tahtawi, seorang yang alim dan seorang wartawan yang berasal 24 188 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204 sayap pembaharuan gerakan nasionalis yang paling representative, yang mendifinisikan salah satu konsep kunci tradisi humanistic yang merupakan dasar sistem parlemen. 28 Bila kita berbicara tentang konflik antara Islam dan Demokrasi, sebenarnya kita berbicara tentang konflik hukum. Jika acuan dasar Islam adalah al-Qur‟ân, maka demokrasi merujuk pada piagam PBB, karena keduanya merupakan supra undang-undang. Mayoritas negara Islam ikut menandatangani piagam tesebut. Dengan demikian mereka diatur okeh dua hokum yang “kontradiktif”. Disatu sisi piagam PBB memberi kebebasan berfikir kepada warga Negara, sedangkan disisi lain Syari‟ah paling tidak dalam tafsir resminya yang berdasarkan ţâ‟at ( kepatuhan), dan mengutuk kebebasan berfikir.29 Piagam PBB memiliki dampak hukum terhadap wilayah negara-negara Islam yang menandatangani piagam tersebut. Piagam PBB ditandatangani di San Francisco pada tanggal 26 Juni 1945. Diantara negara Islam anggota asli PBB yaitu Iran, Turki, Lebanon, Mesir dan Saudi Arabia. Dengan demikian mereka mengakui piagam PBB lebih tinggi dari pada konstitusional mereka. 30 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia tentu saja menghadirkan perubahan traumatik bersama skema mental abad pertengahan. Konsepkonsepnya yang berakar dalam filsafat pencerahan bisa memunculkan dan mengubah persepsi dalam masyarakat yang bertradisi despotik hanya jika suatu program pendidikan sistematis dan pelajaran ketatanegaraan dilakukan.Pendidikan seperti ini akan berhasil dalam mentransformasikan sikap secara mendalam jika dilaksanakan dalam dua tingkatan yaitu dengan dari Mesir. Beliau dianggap sebagai salah seorang daripada pelopor kebangkitan pemikiran modern di Mesir. Beliau adalah pengasas akhbar “Al-Waqa‟ik AlMisriyah” [Akhbar Mesir]. Beliau banyak mengarang buku serta menterjemahkan buku dari bahasa Perancis. Lihat http://www.2lisan.com/biografi/tokohislam/biografi-singkat-para-tokoh-tokoh/ 28 Fatima Mernissi, Islam and Democracy, 49. 29 Ibid, 60. 30 Isi pembukaan Deklarasi Universal PBB tentang Hak-hak Asasi Manusia menyatakan bahwa : “oleh karena itu sekarang Majlis Umum menyatakan Deklarasi Hak-hak Manusia ini sebagai standar pencapaian umum bagi semua masyarakat dan bangsa. Untuk tujuan tersebut setiap individu dan organ masyarakat harus berusaha menegakkan penghormatan hak-hak dan kebebasan melalui pengajaran dan pendidikan dan melalui langkah-langkah progresif baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional untuk menjamin pengakuan dan kepatuhan yang bersifat universal dan efektif dikalangan bangsa-bangsa Negara anggota sendiri juga dikalangan rakyat diwilayah dibawah jurisdiksinya. Ibid. 62. Islam dan Demokrasi dalam Prespektif Fatima Marnissi 189 pelajaran yang berkelanjutan dan partisipasi yang nyata melalui pemberian suara perwakilan dalam tatanan pengambilan keputusan yang demokratis. Islam dan Demokrasi: Warisan Sejarah dan Konteks Global Kebangkitan Islam dan demokratisasi di dunia Muslim berlangsung dalam konteks global yang dinamis. Diberbagai belahan dunia, orang-orang beramai-ramai menyerukan kebangkitan agama dan demokratisasi sehingga keduanya menjadi tema yang paling penting dalam persoalan dunia dewasa ini. 31 keterlibatan Islam dalam proses pembangunan politik modern terutama dipengaruhi oleh gagasan-gagasan modernisme Islam yang untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) 32 dan Muhammad Abduh (1849 –1905) 33. Kaum modernis adalah mereka yang melakukan artikulasi dan upaya penyadaran untuk mereformulasikan nilainilai dan prinsip-prinsip Islam dalam istilah-istilah pemikiran modern atau untuk menyatukan pemikiran dan institusi-institusi modern dengan tradisi Islam. 34 begitu juga John L Esposito telah mendeskripsikan berbagai sumbangan ide-ide modern terhadap pemikiran politik Islam modern. 35 Salah satu sistem politik Islam yang sering didiskusikan di Negara-negara Islam adalah istilah “demokrasi” 36. Meskipun gagasan tentang demokrasi sudah 31 John L. Esposito and John O.Voll, Islam and Democracy, (New York : Oxford University Press, 1966), 11. Lihat juga Bernard Lewis, et.al, Islam Liberalisme Demokrasi: Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktrin, dan Konteks Global, (Jakarta: Paramadina, 2002), 344. 32 Jamaluddin al-Afgani adalah seorang pemikir Islam, aktivis politik, dan jurnalis terkenal. Ia membenci kolonialisme dan mendorong gerakan nasionalisme serta pan-Islamisme, ia memiliki kepandaian, wibawa, karisma, dan keyakinan akan masa depan peradaban Islam. Ditengah gejolak kolonialisme Eropa di negeri Islam, ia menjadi tokoh pemikiran nasionalisme. Lihat Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam (Edisi tahun 2005), (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 280. 33 Ibid.12. Muhammad Abduh seorang pemikir, teolog, mufti dan pembaru Islam Mesir pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, ia ingin menyegarkan kembali ajaran Islam di dunia modern, sebagai mufti, ia banyak memperbarui hokum Islam, dan ia mencoba mencairkan kekakuan dogma Islam dan memperbaharui system pendidikan Islam, khususnya di Universitas al-Azhar Mesir. 34 Fazlur Rahman, Islam (London : Weidenfeld and Nocolson, 1966), 222. 35 John L. Esposito, Islam and Politics (Syracuse, New York: Syracuse University Press edisi II, 1987), 56. 36 Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan oleh Aristoteles di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal 190 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204 mulai pada zaman Yunani kuno, namun pada masa kekuasaan romawi dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat, dan Benua Eropa memasuki Abad pertengahan (600-1400) demokrasi dapat dikatakan lenyap dari muka Dunia Barat. 37 Prinsip demokrasi baru muncul kembali di Eropa Barat karena di dorong oleh dua kejadian besar yaitu Renaissance dan Reformasi. 38 Istilah demokrasi telah diterima oleh hampir semua pemerintahan di dunia, bahkan kepemerintahan-pemerintahan otoriter sekalipun mengggunakan atribut “demokrasi” untuk memberi ciri kepada rezim dan aspirasi mereka. Akibatnya adalah menjamurnya penggunaan kata demokrasi seperti demokrasi Liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi kerakyatan dan demokrasi sosialis.39 Perubahan penggunaan semacam itu sebagian dimaksudkan untuk membawa konsep demokrasi lebih dekat kepada kultur masyarakat tertentu dan sebagian lagi dimaksudkan untuk menjustifikasi system politik yang diajukan oleh pemerintah tertentu. 40 sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Lihat Syaikh Abu Muhammad „Ashim Al-Burqawi Al-Maqdisi, Agama Demokrasi : Pilih Islam atau Demokrasi?! (Klaten : Kafaya Cipta Media, 2001), 39. Lihat juga Rahman Yasin, Gagasan Islam Tentang Demokrasi ( Yogyakarta : AK GROUP, 2006), 27. 37 Mahfud, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi,(Yogyakarta : Gama Media, 1999), 11. 38 Renaissance yaitu aliran yang menghidupkan kembali minat dan budaya Yunani Kuno, sedangkan Reformasi adalah pergerakan perbaikan keadaan dalam Gereja Katholik kemudian berkembang menjadi asas-asas Protestantisme. Lihat Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, (Yogyakarta: UII Press, 2001), 1. 39 Masa demokrasi terpimpin (1957-1965) di Indonesia dimulai dengan tumbangnya demokrasi parlementer atau demokrasi liberal yang ditandai pengunduran Ali Sastroamidjojo sebagai perdana mentri. Namun begitu, penegasan pemberlakuan demokrasi terpimpin dimulai setelah dibubarkannya badan konstituante dan dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959. Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh sila keempat Pancasila. Namun oleh Presiden Soekarno diartikan terpimpin mutlak oleh presiden (penguasa).Hal yang paling mendasari pembentukan demokrasi terpimpin adalah kepribadian Soekarno dan militer yang dituangkan dalam suatu konsepsi. Konsepsi tentang suatu sistem yang asli Indonesia. Namun sistem ini ditolak oleh Hatta karena dikawatirkan bahwa hal ini akan kembali pada sistem tradisional yang feodal, otokratis, dan hanya dipakai demi kepentingan raja. Lihathttp://id.shvoong.com/law-and-politics/politics/ 1991739-sejarah-dan-pengertian-demokrasi-terpimpin. 40 Abdillah Maskuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966–1993). (Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 1999), 3. Islam dan Demokrasi dalam Prespektif Fatima Marnissi 191 Samuel P. Huntington menyebut proses demokratisasi sekarang ini dengan istilah “ gelombang ketiga demokrasi” yang dimulai sejak tahun 1974. Antara tahun 1974 dan 1990, paling tidak 30 negara berada dalam transisi menuju demokrasi. Gelombang pertama demokrasi dimulai tahun 1820-an dan terus berlangsung selama hampir satu abad sampai tahun 1926, menghasilkan kurang lebih 29 negara demokratis. Namun datangnya kekuasaan Musolini di Italia yang menandai permulaan “gelombang kemunduran pertama” pada tahun 1942 telah mengurangi jumlah Negara demokratis di dunia sampai 12 negara. Kemenangan Sekutu dalam Perang Dunia II memulai gelombang kedua demokrasi, yang mencapai puncaknya pada tahun 1962 dengan 36 negara yang diperintah secara demokratis, tetapi hal ini dikuti oleh “gelombang kemunduran kedua” antara tahun 1960 – 1975 yang mengakibatkan jumlah negara turun sampai 30 negara. 41 Pemerintah Saudi merupakan salah satu dari sedikit pemerintahan di negaranegara Muslim42 yang secara terbuka menolak system demokrasi, karena 41 Samuel P. Huntingtong, “Democracy‟s Third Wave”, (dalam Jurnal of Democracy, Vol 2 No 2 Musim Semi, 1991), 12. Menurutnya ada lima factor utama yang mempengaruhi secara signifikan terhadap peristiwa dan pilihan waktu tentang gelombang ketiga demokrasi antara lain : (1), Problem legitimasi yang mendalam mengenai rezim-rezim otoritarian di dunia dimana nilai-nilai demokrasi diterima secara luas, karena kegagalan ekonomi dan juga kegagalan militer. (2), Pertumbuhan ekonomi global pada tahun 1960-an yang tidak pernah terjadi sebelumnya, telah meningkatkan standar-standar kehidupan, pendidikan yang meningkat, dan meluasnya kelas menengan perkotaan di banyak negara. (3), Pergeseran yang mencolok dalam doktrin dan aktivitas Gereja Khatolik, yang manifestasikan pada Konsili Vatikan Kedua (Second Vatican Council) tahun 1963-1965 dan perubahan Gereja-Gereja Khatolik Nasional dari para pembela status quo untuk melawan otoritarianisme. (4), perubahan-perubahan dalam kebijakan-kebijakan luar negeri, terutama pada sebagian besar masyarakat Eropa, Amerika Serikat, dan Uni Soviet. (5), Snowballing atau demokrasi berpengaruh terhadap transisi yang lebih awal dalam gelombang ketiga untuk mendorong dan menyediakan model-model bagi upaya-upaya demokratisasi selanjutnya. 42 Diantara Negara-negara Islam di dunia sekarang terdapat sejumlah Negara yang pemerintahannya berbentuk monarkhi atau kerajaan, tetapi sebagian besar dari negara-negara itu berpemerintahan republik. Antara lain Arab Saudi, Maroko, dan Jordania, Mesir, Turki dan Pakistan, tiga Negara tersebut (Saudi, Maroko dan Jordania) dalah kerajaan atau monarkhi, tetapi system politik Negara-negara itu tidak selalu sama, Arab Saudi menggunakan monarkhi murni, bagi Arab Saudi Qur‟an merupakan UUD Negara dan syariah sebagai hukum dasar yang dilaksanakan oleh mahkamah-mahkamah syariah dengan ulama sebagai hakim. Kepala Negara adalah seorang raja yang dipilih oleh dan dari keluarga besar Saudi. Sedangkan di Maroko sebagaimana tertera dalam UUD Negara Maroko adalah 192 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204 menurut Raja Fahd demokrasi tidak cocok dengan rakyat Saudi Arabia. 43 Sesungguhnya, meningkatnya partisipasi gerakan-gerakan Islam dalam proses demokratisasi pada akhir tahun 1980-an dan 1990-an terus bergerak menuju pusat-pusat kekuasaan. Kecenderungan semacam ini mengakibatkan masalah tentang kesesuaian antara Islam dan Demokrasi, terutama karena demokrasi didasarkan pada sekulerisme, sedangkan Islam adalah agama yang didasarkan pada kepercayaan kepada Tuhan. 44 John L.Esposito dan James P. Piscatory mengamati bahwa baik prinsip demokrasi dan proses demokratisasi merupakan pokok perdebatan yang hangat dikalangan umat Islam. Selain itu, antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai demokrasi secara inheren merupakan antitesis, sebagaimana terlihat pada masalah-masalah seperti perbedaan antara orang yang beriman dengan orang kafir, serta perbedaan laki-laki dan perempuan. Sekalipun begitu, mereka juga mencatat bahwa sementara umat Islam radikal menolak segala bentuk demokrasi parlementer sebagai bentuk westernisasi dan tidak sesuai dengan tradisi local.45 Bagi kalangan Sunni, kajian hubungan antara Kerajaan yang berkonstitusi dan demokratis dan kedaulatan berada di tangan bangsa yang disalurkan melalui lembaga-lembaga konstitusional yang telah ada. Jordania menggunakan monarkhi berkonstitusi (constitutional monarchy) yang berbentuk kerajaan turun-temurun dan berparlemen, Islam merupakan agama Negara dan bahasa arab adalah bahasa resmi. Sementara Mesir menurut UUD Republik Mesir tahun 1980 sebagai Negara sosialis demokratis. Islam merupakan agama Negara, prinsip-prinsip hukum Islam merupakan salah satu sumber utama hukum, kedaulatan berada ditangan rakyat, dan rakyatlah sumber kekuasaan Negara., Turki menurut UUD baru Turki pada tahun 1924 ditegaskan bahwa Negara Turki adalah berbentuk republic, nasionalis, kerakyatan, kenegaraan, sekularis dan revolusionis. Pasal 3 menyatakan bahwa kedaulatan dengan tanpa syarat berada di tangan bangsa, dan menurut pasal 88 semua warga Negara Turki tanpa membedakan agama dan suku maka disebut sebagai bangsa Turki, Sedangkan dalam Republik Islam Pakistan merupakan suatu Negara yang didirikan pada tahun 1947 dengan Islam sebagai raison d‟etre, ternyata sampai sekarang masalh tempat dan pengertian tentang Islam belum juga terselesaikan karena ada konflik antara kaum sekuler dan kaum yang menginginkan Sistem politik, ekonomi dan social Islam. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta : UI Press, 1993), 221-228. 43 Leon T. Hadar. What Green Peril ?, (dalam Foreign Affairs, Musim Semi, 1993), 39. 44 Abdillah Maskuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966 – 1993). (Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 1999), 5. 45 John L. Esposito and James Piscatori, “Democratization and Islam” (dalam Middle East Journal, Vol.45, No 3 Musim Dingin,1991) 428. Islam dan Demokrasi dalam Prespektif Fatima Marnissi 193 Islam dan demokrasi dipandang bersifat ambiguous atau ambivalen,46 dalam kajian hubungan Islam dan demokrasi – sering juga dirujukkan kepada kajian-kajian hubungan Islam dan politik, terdapat tiga model hubungan Islam dan demokrasi yaitu.47 Pertama. Mayoritas masyarakat Islam dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Islam dan demokrasi. Hubungan Islam dan demokrasi semacam ini biasa disebut dengan hubungan simbiosis-mutualisme. Kedua, Sebagian masyarakat Islam menegaskan bahwa ada hubungan yang canggung antara Islam dan demokrasi, mereka menjadi wakil para pendukung yang mengatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi,48 antara lain respon dikalangan ulama, para intelektual dan aktivis Muslim terhadap istilah demokrasi. Hafiz Salih, misalnya mengharamkan penggunaan istilah dan konsep demokrasi, karenanya harus ditinggalkan, karena konsep ini berarti menegasikan kedaulatan Allah atas nama manusia. Lebih dari itu, istilah ini tidak berasal dari kosakata Islam, dan karenanya harus ditinggalkan sebagaimana Allah telah mengatakan-Nya dalam Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah ayat 104 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): Ra‟aina, tetapi katakanlah : Unzhurna, dan dengarkanlah”.49 Senada dengan Salih, Adnan Ali Ridha al-Nahwi menolak demokrasi tetapi mengajukan syura (musyawarah), terutama karena yang pertama sinonim dengan aturan yang dibuat manusia, sedangkan aturan yang kedua adalah aturan dari Allah. 50 Ketiga, Sebagian masyarakat Islam lainnya menerima adanya hubungan Islam dan Demokrasi sekaligus memberi catatan-catatan penting secara 46 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara : Merajut Kerukunan Antar umat, (cet ke-1; Jakarta: Kompas, 2002), 118-124. 47 Model hubungan ini sebenarnya digunakan untuk melihat adanya hubungan agama dan Negara (politik). Lihat Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 240-302. 48 Pandangan ini diwakili, antara lain oleh kalangan tokoh-tokoh muslim yang tergabung dalam Hizbut Tahrir. Kalangan ini dengan tegas menolak hubungan Islam dan demokrasi, bahkan mereka menyebutkan bahwa demokrasi adalah system kufur. Lihat Syaikh Ali Belhaj, Menghancurkan Demokrasi, (Bogor : Pustaka Thariqul „Izzah, 1999), 1. Lihat juga Abdul Qadim Zallum, Demokrasi:Sistem Kufur, Haram mengambilnya, menerapkannya dan Menyebarluaskannya, (Bogor: Pustaka Thariqul „Izzah, 2001), 10. 49 Hafiz Salih, Al-Dimuqratiyyah wa Hukm al-islam fiha (Beirut : Dar alNahdah al-Islamiyyah, 1988), 95-96. Ra‟aina dan Unzhurna mempunyai arti yang sama, namun karena orang Yahudi sering mengatakan ra‟aina, maka para sahabat Nabi disuruh agar mengatakan “unzhurna”. 50 Adnan Ali Ridha al-Nahwi, Al-Syûrâ la al-Dimuqratiyyah, (Kairo : Dar alShwa, 1985), 40. 194 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204 kritis. Hubungan ini disebut dengan hubungan reaktif-kritis atau simbiotik. 51 Mereka juga mengajukan prinsip-prinsip keadilan, musyawarah, hak asasi, toleransi dan sebagainya. Ada beberapa intelektual Muslim yang menerima istilah demokrasi dengan modifikasi tertentu sesuai dengan ajaran Islam, antara lain Fazlur Rahman,52 Hamid Enayat, 53 Muhammad Asad,54 dan Javid Iqbal. 55 Persentuhan Islam dan Demokrasi Islam adalah agama (religius), Islam diyakini dan dipahami merupakan seperangkat ketentuan dan aturan (aqîdah wa al-sharî‟ah) yang 51 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta : Paramadina, 1998), 23. 52 Fazlur Rahman, Implementation of The Islamic State in The Pakistan Millieu, dalam Islamic Studies No 3, 1967, 6. Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 di daerah Hazara Pakistan. Pada 26 Juli 1988 profesor pemikiran Islam di Univesitas Chicago itu pun bmeninggal pada usia ke 69 tahun. 53 Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought : Response of The Shi‟I and Sunni Muslims to The Twentieth Century, (Texas : Texas University, 1981), 125-139. Hamid Enayat (1932-1982) adalah seorang reader dalam timur tengah sejarah modern di Universitas Oxford dan Fellow di St Anatony‟s College Oxford, dan Profesor dalam Ilmu Politik di universitas Teheran Iran. 54 Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam, sebagaimana disebutkan dalam John L.Esposito dan James Piscatori, Democratisation and Islam, (dalam Middle East Journal, Vol.45, No 3 Musim Dingin,1991) 435. Muhammad Asad atau Leopold Weiss (lahir di Lemberg, Austria-Hongaria pada tahun 1900 – meninggal di Spanyol pada tahun 1992) adalah seorang cendekiawan muslim, mantan Duta Besar Pakistan untuk Perserikatan Bangsa Bangsa, dan penulis beberapa buku tentang Islam termasuk salah satu tafsir Al Qur'an modern yakni The Message of the Qur'an. Muhammad Asad terlahir sebagai Leopold Weiss pada tahun 1900 di kota Lemberg, saat itu bagian dari Kekaisaran Austria-Hongaria(sekarang bernama Lviv dan terletak di Ukraina) dalam lingkungan keluarga Yahudi. Keluarganya secara turun-temurun adalah rabbi (pemuka agama Yahudi) kecuali ayahnya yang menjadi seorang pengacara. Pendidikan agama yang ia enyam selama masa kecil hingga mudanya menjadikan ia familiar dengan bahasa Arab, Kitab Perjanjian Lama serta teks-teks maupun tafsir dari Talmud, Mishna, Gemara dan Targum. 55 Javid Iqbal, “Democracy and The Modern State”, dalam John L.Esposito (ed) Voice of Resurgent Islam, (New York : Oxford University Press, 1984), 257. Javid Iqbal lahir pada tanggal 5 Oktober 1924, putra dari seorang Pemikir Pakistan yaitu Muhammad Iqbal. Dia adalah seorang sarjana terkemuka, mantan kepala kehakiman Pengadilan Tinggi Lahore dan pensiunan hakim Mahkamah Agung Pakistan. Islam dan Demokrasi dalam Prespektif Fatima Marnissi 195 bersumber dari Allah SWT. Agama, dalam keseluruhan aspek ajarannya dimaksudkan untuk menjadi panduan bagi manusia, berarti ia juga harus menjadi basis bagi semua atau keseluruhan perilaku manusia, yang antara lain meliputi perilaku politik, ekonomi, social dan lain sebagainya. Sebagai kumpulan ajaran Allah SWT, Islam terkodifikasi dalam al-Qur‟ân, al-Qur‟ân inilah yang kemudian menjadi rujukan perilaku manusia. Tetapi karena ajaran-ajaran dalam al-Qur‟ân memerlukan penjelasan, maka keberadaan Nabi Muhammad SAW adalah berperan sebagai orang yang menjelaskan alQur‟ân (mubayyin al-Qur‟ân). Nabi Muhammadlah yang kemudian memberikan penjelasan secara operasional terhadap ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur‟ân. Karena itu kemudian, keduanya al-Qur‟ân dan Sunnah menjadi rujukan bagi perilaku umat Islam. 56 Di Madinah Nabi Muhammad, SAW kemudian melakukan perjanjian dengan Bani Quraisy dan Bani Yatsrib yang terkenal dengan Istilah Konstitusi Madinah. 57 Memperhatikan Islam sebagai kumpulan ajaran yang berasal dari Allah SWT, dan kemudian dilembagakan melalui Nabi 56 Basrowi dan Suko Susilo, Demokrasi dan HAM. (Kediri : Jenggala Pustaka Utama, 2006), 26. 57 Situasi Madinah yang dihuni oleh penduduk yang majemuk, dengan kepentingan, adat kebiasaan, agama dan lain-lain keragaman, yang sering menimbulkan pertentangan bahkan perang antar suku, memerlukan suatu penguasa politik yang kuat dan berwibawa untuk memerintah masyarakat tersebut. Berdasarkan keadaan itu, maka Konstitusi Madina secara tersurat berisikan ketentuan yang bertautan dengan demokrasi politik. Dalam pembukaan Konstitusi Madinah yang berbunyi “ Dengan Asma Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayan . Ini adalah kitab (ketentuan tertulis) dari Nabi Muhammad SAW antara orang-orang Mukmin yang berasal dari Quraisy dan Yatsrib dan yang mengikuti mereka, kemudian menggabungkan diri dengan mereka dan berjuang bersama mereka.“ Dalam pembukaan ini terdapat lima pokok kandungan, antara lain: 1)Penempatan asma Allah SWT pada posisi teratas. 2), Perjanjian masyarakat (social contract) secara tertulis. 3), kemajemukan masyarakat yang ikut dalam Konstitusi Madinah.. 4), keanggotaan terbuka (open membership) dan 5), Persatuan dalam ke-bhineka-an (unity in diversity). Para ahli Ilmu pengetahuan, khususnya ahli sejarah menyebut naskah politik yang dibuat Nabi Muhammad SAW itu dengan nama yang macam-macam. W. Montgommery Watt menyebutnya dengan “The Constitution of Medina”, RA.Nicholson “Charter”, Majid Khadduri “Treaty”, Philip K.Hitti “Agreement”, Zainal Abidin Ahmad “Piagam” Lihat Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, (Yogyakarta : UII Press, 2001), 3 dan 52 196 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204 Muhammad SAW, dapat dikatakan bahwa yang bisa disebut memiliki kemutlakan untuk mengatur manusia disini adalah Allah SWT. Dalam pandangan ini Allahlah (al-Khâliq) yang memiliki kedaulatan atas manusia, Allahlah yang menentukan segala ketentuan dan aturan untuk sekalian ciptaanya (al-Makhlûq), termasuk di dalamnya adalah manusia. Dengan demikian manusia harus tunduk dan patuh kepada semua ketentuan dan aturan Allah ini. Ketentuan dan aturan yang bersumber dari Allah ini dipandang memiliki nilai kemutlakan (ultimate). Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak Negara. pemberlakuan demokrasi ke dalam tiga model berdasarkan penerapannya. Ketiganya yaitu demokrasi formal, demokrasi permukaan (façade) dan demokrasi substantif. 58 Ketiga model ini menggambarkan praktik demokrasi sesungguhnya yang berlangsung di negara manapun yang mempraktikkan demokrasi di muka bumi ini. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi antara lain Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan). Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. Dari pendefinisian yang demikian bisa dilihat adanya implikasi antara lain terhadap cara pengangkatan kepala negara dan cara pengambilan keputusan tentang suatu perundang-undangan atau aturan pemerintah. Warga Negara atau rakyat (demos) dalam demokrasi selalu mendapatkan perhatian, 58 http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, Demokrasi formal ditandai dengan adanya kesempatan untuk memilih pemerintahannya dengan interval yang teratur dan ada aturan yang mengatur pemilu. Peran pemerintah adalah mengatur pemilu dengan memperhatikan proses hukumnya. Demokrasi permukaan (façade) merupakan gejala yang umum di Dunia Ketiga. Tampak luarnya memang demokrasi, tetapi sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Pemilu diadakan sekadar para os inglesses ver, artinya "supaya dilihat oleh orang Inggris". Hasilnya adalah demokrasi dengan intensitas rendah yang dalam banyak hal tidak jauh dari sekadar polesan pernis demokrasi yang melapisi struktur politik. Demokrasi substantif menempati rangking paling tinggi dalam penerapan demokrasi. Demokrasi substantif memberi tempat kepada rakyat jelata, kaum miskin, perempuan, kaum muda, golongan minoritas keagamaan dan etnik, untuk dapat benar-benar menempatkan kepentingannya dalam agenda politik di suatu negara. Dengan kata lain, demokrasi substantif menjalankan dengan sungguh-sungguh agenda kerakyatan. Islam dan Demokrasi dalam Prespektif Fatima Marnissi 197 implikasi dari cara pandang yang demikian adalah pada diletakkannya pilarpilar demokrasi yang selalu mengutamakan kepentingan warga negara. 59 Demokrasi oleh karena itu bergantung kepada pembangunan suatu budaya warga Negara yang demokratis. Budaya dalam pengertian ini adalah perilaku, praktek dan norma-norma yang menjelaskan kemampuan warga Negara untuk memerintah diri sendiri dapat disebur dengan istilah “kebebasan” Kebebasan dan demokrasi sering dipakai secara timbal balik, tetapi keduanya tidak sama. Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi juga menyangkut seperangkat praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah yang panjang. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah “pelembagaan” dari kebebasan. Oleh karena itu wajar kalau dalam perkembangannya wacana demokrasi ini terkait dengan persoalan kebebasan, misalnya hak asasi manusia, persamaan di depan hukum, dan toleransi. 60 Persinggungan antara Islam dan demokrasi, sebenarnya merupakan bagian atau konsekuensi logis dari pertemuan antara wacana politik Islam dengan wacana politik Barat.61 Fazlur Rahman berpendapat bahwa sejak mulainya ekspansionisme Barat pada negeri-negeri Muslim, kaum muslimin, setelah kegagalan perlawanan militer dan politik mereka yang awal terhadap Barat, kemudian mencurahkan perhatiannya pada masalah reorganisasi politik yang efektif. 62 Persinggungan demikian merupakan konsekuensi logis dari pertemuanpertemuan sejarah yang terjadi bertahun-tahun, hingga akhirnya menimbulkan sintesa-sintesa politik yang dalam banyak hal justru saling memperkaya. Apresiasi kalangan Islam terhadap konsep demokrasi, sesungguhnya merupakan fenomena yang tidak berdiri sendiri dan terusmenerus berproses. 63 Apapun apresiasi yang diberikan terhadap konsep demokrasi oleh kalangan Islam, tak lepas dari proses kreativitas berfikir (ijtihâd) yang dilakukan terbuka, bebas dari rasa rendah diri dan prasangka- 59 Pilar-pilar demokrasi antara lain (a), kedaulatan rakyat, (b), pemerintahan berdasarkan persetujuan, (c), kekuasaan mayoritas, (d), hak-hak minoritas, (e), jaminan hak-hak asasi manusia (f), pemilihan yang bebas dan jujur (g), persamaan didepan hokum (h), proses hokum yang wajar (i), pembatasan pemerintah secara konstitusional, (j), pluralism agama dan (k), nilai-nilai toleransi, pragmatism, kerjasama dan mufakat, lihat Basrowi dan Suko Susilo, Demokrasi dan Ham. (Kediri : Jenggala Pustaka Utama, 2006), 28 60 Ibid. 61 Edward Mortimer, Islam dan Kekuasaan (Bandung : Mizan, 1984), 70 62 Fazlur Rahman, Islam, 322 63 Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi : Pemikiran Nurcholish Madjid, (Jakarta: Penerbit Republika, 2004), 79. 198 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204 prasangka buruk yang berlebihan terhadap nilai-nilai dari luar Islam. 64 Beberapa intelektual Muslim mencoba merumuskan titik temu antara Islam dan demokrasi melalui pencarian kohesif prinsip-prinsip tentang pengaturan kehidupan masyarakat. Islam memiliki kesesuaian dengan demokrasi karena adanya koherensi nilai yang terkandung didalamnya, seperti prinsip persamaan (al-musawwah), kebebasan (al-hurriyah). Pertanggungjawaban (al-mas‟u>liyah) dan kedaulatan rakyat atau musyawarah. (syu>ra>). Sebagai contoh sederhana, pada saat rintisan awal dari pola hubungan Islam dan Demokrasi, bisa ditelusuri dari genealogi gagasan demokrasi kelompok Sunni.65 Gagasan sederhana itu sebagai berikut : Pertama. Prinsip keadilan politik, hal ini merupakan nilai dasar bagi regulasi proses bernegara. Keadilan diinstitusionalkan dalam aturanaturan hokum yang menjamin keadilan publik untuk melindungi hak-hak asasi warga Negara atas dasar prinsip persamaan (al-musa>wah). Dalam teoritisi sunni klasik, prinsip ini harus dilembagakan dalam perilaku politik elite, sehingga syarat menjadi imamah adalah harus adil. Kedua, Kekuasaan adalah amanat. Teoritisi Sunni yang merumuskan teori kekuasaan sebagai amanat adalah Ibn Taimiyyah. Konsekwensi dari konsepsi kekuasaan sebagai sebuah amanat adalah keharusan adanya pertanggung jawaban kepada Tuhan maupun tanggung jawab secara konstitusional kepada masyarakat (public accountability). Ketiga, Dalam system demokrasi modern, amanat yang harus dijalankan dan dipertanggungjawabkan oleh penguasa adalah produk pemimpin secara musyawarah, dalam konsesus Sunni, seorang pemimpin harus ditetapkan berdasarkan pemilihan. Mekanisme seperti ini merupakan aktualisasi dari nilai-nilai kebebasan yang dilembagakan dalam institusi bernama pemilihan umum (PEMILU). Keempat, Kultur kritik yang sehat, dalam konteks ini umat diperkenankan bahkan diharuskan melakukan kritik yang bersifat proposional dan konstitusional (al-mauidzah al-hasanah) terhadap para penguasa. Tujuannya, agar proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijaksanaan dilapangan tidak membawa kerusakan sendi-sendi kemasyarakatan. Kelima, Pembagian kekuasaan, prinsip pembagian kekuasaan akan mencegah melembaganya kekuasaan yang terpusat pada satu kelompok atau individu tertentu. Lima prinsip diatas, dengan kriteria terbatas merupakan genealogi demokrasi pemikiran politik Sunni. 66 Persinggungan antara Islam dan demokrasi terlihat ketika konsep Islam 64 Amaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 5. 65 Ibid., 42-47. 66 Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi, 80-81 Islam dan Demokrasi dalam Prespektif Fatima Marnissi 199 berbicara tentang 7 ciri-ciri Negara, karena bukankah demokrasi merupakan bagian kecil dari system politik bernegara, antara lain : Pertama, Kekuasaan dipegang penuh oleh umat. Kedua, Masyarakat ikut berperan dan bertanggung jawab. Ketiga, kebebasan adalah hak bagi semua orang, keempat, persamaan diantara semua manusia. Kelima, kelompok yang berbeda juga memiliki legalitas. Keenam, kedzaliman mutlak tidak diperbolehkan dan usaha meluruskannya adalah wajib. Ketujuh, Undangundang diatas segalanya. Kesemua cirri ini tidak ada satupun yang berbenturan dengan nilai-nilai demokrasi.67 Selain itu substansi demokrasi adalah penghargaan terhadap hak-hak asasi, dalam konsepsi Islam dikenal dengan enam kaidah-kaidah dalam menopang tegaknya demokrasi, antara lain: Pertama, ta‟aruf dan saling mengenal (sesuai dengan QS. Al-Hujûrah, 49: 13). Kedua, syûra atau musyawarah (sesuai dengan QS. As-Syûra, 42:38). Ketiga. Ta‟awun atau kerjasama (sesuai dengan QS. Al-Maidah, 5:2) Keempat, Maslahah atau menguntungkan masyarakat, kata ini berakar pada kata shalih yang berarti kebaikan pada umumnya dan menguntungkan. Kelima, „adl atau adil (sesuai dengan QS. An-Nisa‟, 4:58).68 Sesungguhnya Islam lebih dulu memancangkan sendi-sendi bangunan substansi demokrasi, tapi rincianya diserahkan kepada ijtihad orang-orang Muslim sesuai dengan dasar-dasar agama, kemaslahatan dunia, dan perkembangan hidupnya, menurut pertimbangan tempat dan waktu serta trend kehidupan dunia. Jadi ada baiknya jika mengambil pemikiran, system, metode, dan aturan yang bermanfaat, selagi tidak bertentangan dengan nash yang jelas makna dan hukumnya serta kaidah hukum yang tetap.69 Pendapat diatas didukung oleh Salim Ali Bahnasawi bahwasanya demokrasi tidak bertentangan dengan dunia Islam, sebab Islam menetapkan bagi manusia kebebasan memilih keyakinan. Jika memilih keyakinan merupakan kebebasan, maka memilih pemimpin pun demikian juga.70 Dalam sistem demokrasi, terdapat diantaranya kedaulatan rakyat dimana rakyat mempunyai hak dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan pemilihan anggota majelis perwakilan, memilih penguasa, 67 Fahmi Huwaydi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani, (Bandung: Mizan, 1996) 160-161. 68 Idris Thaha, Demokrasi Religius : Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais (Jakarta : Teraju, 2005), 48. Lihat juga Anas Urbaningrum, IslamoDemokrasi, 82-83 69 Yusuf Al-Qardhawy, Fiqh Daulah Dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Sunnah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), 192. 70 Salim Ali Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta: Pustaka alKautsar, 1996), 110 200 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204 mengontrolnya serta memecatnya, dari sisi inilah demokrasi sejalan dengan konsepsi Islam. Kesimpulan Ada tiga model hubungan Islam dan demokrasi yaitu. Mayoritas masyarakat Islam dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Islam dan demokrasi. Hubungan Islam dan demokrasi semacam ini biasa disebut dengan hubungan simbiosis-mutualisme. Sebagian masyarakat Islam menegaskan bahwa ada hubungan yang canggung antara Islam dan demokrasi, mereka menjadi wakil para pendukung yang mengatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi, antara lain respon dikalangan ulama, para intelektual dan aktivis Muslim terhadap istilah demokrasi. Hafiz Salih, misalnya mengharamkan penggunaan istilah dan konsep demokrasi, karenanya harus ditinggalkan, karena konsep ini berarti menegasikan kedaulatan Allah atas nama manusia. Lebih dari itu, istilah ini tidak berasal dari kosakata Islam, dan karenanya harus ditinggalkan sebagaimana Allah telah mengatakan-Nya dalam AlQur‟an Surat Al-Baqârah ayat 104 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): Ra‟aina, tetapi katakanlah : Unzhurna, dan dengarkanlah”. Senada dengan Salih, Adnan Ali Ridha al-Nahwi menolak demokrasi tetapi mengajukan syura (musyawarah), terutama karena yang pertama sinonim dengan aturan yang dibuat manusia, sedangkan aturan yang kedua adalah aturan dari Allah. Sebagian masyarakat Islam lainnya menerima adanya hubungan Islam dan Demokrasi sekaligus memberi catatan-catatan penting secara kritis. Hubungan ini disebut dengan hubungan reaktif-kritis atau simbiotik. Mereka juga mengajukan prinsip-prinsip keadilan, musyawarah, hak asasi, toleransi dan sebagainya. Ada beberapa intelektual Muslim yang menerima istilah demokrasi dengan modifikasi tertentu sesuai dengan ajaran Islam, antara lain Fazlur Rahman, Hamid Enayat, Muhammad Asad, dan Javid Iqbal. Daftar Pustaka Alim, Muhammad. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945. Yogyakarta : UII Press, 2001. al-Fasi, Allal. Al-Harâkah al-Istiqlâliyah fi al-Maghrib al-„Arabi (Gerakangerakan Kemerdekaan di Maghrib Arab) .Kairo : Matba‟at al-Risalah, 1988. Islam dan Demokrasi dalam Prespektif Fatima Marnissi 201 Al-Maqdisi, Syaikh Abu Muhammad „Ashim Al-Burqawi. Agama Demokrasi : Pilih Islam atau Demokrasi?!. Klaten : Kafaya Cipta Media, 2001. al-Nahwi, Adnan Ali Ridha. Al-Syûrâ la al-Dimuqratiyyah. Kairo : Dar alShwa, 1985. Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqh Daulah Dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Sunnah .Jakarta :Pustaka Al-Kautsar, 1997. al-Qurtubi, Imam. Al-Intiqa‟fi Fadâ‟il al-Tal‟at al-A‟immah al-Fuqâha, Malik, Syafi‟i wa Abu Hanifah. Beirut : Dar al-Ilmiyyah, tt. Armando, Nina M. Ensiklopedi Islam (Edisi tahun 2005) Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005. Asad, Muhammad. The Principles of State and Government in Islam, sebagaimana disebutkan dalam John L.Esposito dan James Piscatori, Democratisation and Islam, dalam Middle East Journal, Vol.45, No 3 Musim Dingin,1991. Azra, Azyumardi. Reposisi Hubungan Agama dan Negara : Merajut Kerukunan Antar umat, .Jakarta : Kompas, 2002. Bahnasawi, Salim Ali. Wawasan Sistem Politik Islam. Jakarta : Pustaka alKautsar, 1996. Basrowi dan Susilo, Suko. Demokrasi dan Ham. Kediri : Jenggala Pustaka Utama, 2006. Belhaj, Syaikh Ali. Menghancurkan Demokrasi. Bogor : Pustaka Thariqul „Izzah, 1999. Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta : Paramadina, 1998. Enayat, Hamid. Modern Islamic Political Thought : Response of The Shi‟I and Sunni Muslims to The Twentieth Century, Texas : Texas University, 1981. Esposito, John L. and Piscatori, James “Democratization and Islam”. dalam Middle East Journal, Vol.45, No 3 Musim Dingin,1991. Esposito, John L. and O.Voll, John. Islam and Democracy. New York : Oxford University Press, 1966 Hadar, Leon T. What Green Peril ?,dalam Foreign Affairs, Musim Semi, 1993. 202 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204 Huntingtong, Samuel P. “Democracy‟s Third Wave”, dalam Jurnal of Democracy, Vol 2 No 2 Musim Semi, 1991. Huwaydi, Fahmi. Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani. Bandung : Mizan, 1996. http://mifka.multiply.com/calender/item/10019/FATIMA_MERNISSI http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, http://id.wikipedia.org/wiki/Maroko http://id.wikipedia.org/wiki/Mansur_Al-Hallaj http://id.wikipedia.org/wiki/Malik_bin_Anas http://islamlib.com/id/artikel/konsep-harem-dalam-perspektif-fatimamernissi/ http://www.2lisan.com/biografi/tokoh-islam/biografi-singkat-para-tokohtokoh Ibn Hazm, Ar-Rasâ‟il. Beirut : Al-Mu‟assasah al-„Arabiyah li Dirasah wa alNasr, 1981. Iqbal, Javid. “Democracy and The Modern State”, dalam John L.Esposito (ed) Voice of Resurgent Islam. New York : Oxford University Press, 1984. James Davison Hunter. “On Secular Humanism” Dialogue (Washington D.C : U.S Information Agency, 1991. Khallkan, Ibn. Wafayat al-A‟yan. Beirut : Dar Sadir, tt. Lewis et.al, Bernard., Islam Liberalisme Demokrasi : Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktrin, dan Konteks Global. Jakarta : PARAMADINA, 2002. Mahfud. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta : Gama Media, 1999. Masdar, Amaruddin Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Maskuri, Abdillah. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia Mernissi, Fatima. Teras Terlarang (Kisah Masa Kecil SeorangFeminis Muslim). Bandung : Mizan, 1999. Islam dan Demokrasi dalam Prespektif Fatima Marnissi 203 Mernissi, Fatima. Beyond The Veil, Male-Female Dynamics In Modern Muslim Society”. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1975. Mernissi, Fatima. Beyond The Veil (Seks dan Kekuasaan : Dinamika Pria dan Wanita Dalam Masyarakat Muslim Modern). Surabaya : ALFIKR, 1997. Mernissi, Fatima. The Veil and The Male Elite : A Feminist Interpretation of Women‟s Rights in Islam. Addison : Wesley Pulishing Company, 1991. Mernissi, Fatima. Wanita Dalam Islam. Bandung: Pustaka, 1994. Mernissi, Fatima. The Forgotten of Queen in Islam. Minneapolis : University of Minnesota Press, 1993. Mernissi, Fatima. Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan. Bandung: Mizan, 1994. Mernissi, Fatima. Islam and Democracy Islam dan Democracy: Fear of the Modern World, (Addison: Wesley Publishing Company, 1992. Mernissi, Fatima. Islam dan Demokrasi : Antologi Ketakutan. Yogyakarta: LKIS, 1994. Mortimer, Edward. Islam dan Kekuasaan . Bandung : Mizan, 1984. Rahman, Fazlur. Islam. London : Weidenfeld and Nocolson, 1966. Rahman, Fazlur. Implementation of The Islamic State in The Pakistan Millieu, dalam Islamic Studies No 3, 1967. Salih, Hafiz. Al-Dimuqratiyyah wa Hukm al-islam fiha. Beirut : Dar alNahdah al-Islamiyyah, 1988. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta : UI Press, 1993. Syarastani, Al-Milal wa al-Nihal. Beirut : Dar Sa‟b, 1989. Thaba, Abdul Aziz. Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Thaha, Idris Demokrasi Religius : Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais. Jakarta : TERAJU, 2005. Umlil, „Ali. Al-Tasamuh hasb al-Islahiyyah al-Islamiyyah. Beirut : Dar alTanawbar, 1985. 204 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204 Urbaningrum, Anas. Islamo-Demokrasi : Pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta : Penerbit Republika, 2004. Yasin, Rahman. Gagasan Islam Tentang Demokrasi. Yogyakarta : AK GROUP, 2006. Zallum, Abdul Qadim. Demokrasi : Sistem Kufur, Haram mengambilnya, menerapkannya dan Menyebarluaskannya. Bogor : Pustaka Thariqul „Izzah, 2001. *Dosen Tetap Jurusan Ushuluddin STAIN Datokarama Palu