islam dan demokrasi fatimah mernisi

advertisement
ISLAM DAN DEMOKRASI
DALAM PERSPEKTIF FATIMA MARNISSI
Rusdin*
Abstrak
The history of Islamic civilization was filled with political
murders caused by a tremendous fear of the rulers to the people
in terms of freedom of thought. That fear has even become a
kind of paranoid, so the tradition of Arab women firmly refused
to take part and would rather put them on the normative life of
propane. The women around the world began to dare to shout
his voice. For example, cases that occurred in Tunisia, Rabat
and Algiers. The Gulf War taught at least two things. First,
there are no more boundaries that protect us from the West
(Gharb). Second, in a certain degree we have properties
vulnerable, the terror that befell us become unstoppable. The
rise of Islam and democratization in the Muslim world took
place in a dynamic global context. In various parts of the world,
people are abuzz called for revival of religion and
democratization so that both the terms of the most important in
world affairs today.
Kata kunci : Fatima Mernissi, Islam dan Demokrasi
Biografi Fatima Mernissi dan Karyanya
Fatima Mernissi dilahirkan di Fez kota kesembilan di Maroko pada
tahun 19401 sekitar 5.000 km dari Makkah dan 1.000 km dari sebelah timur
1
Kerajaan Maroko adalah sebuah negara di barat laut Afrika yang
mempunyai garis pantai yang panjang dekat Samudra Atlantik yang memanjang
melewati Selat Gibraltar hingga ke Laut Tengah. Lihat http://id.
wikipedia.org/wiki/Maroko Pada tanggal 30 Maret 1912 melalui perjanjian Fez
antara Maroko dan Perancis ditandatangani suatu perjanjian bahwa Maroko menjadi
negara protektorat Perancis. Tahun 1943 muncul partai Istiqlâl (kemerdekaan) yang
dipimpin oleh Allal al-Fasi, yang menuntut kemerdekaan penuh untuk Maroko dari
tangan Perancis dengan bentuk pemerintahan konstitusional, Maroko pada saat itu
dipimpin oleh Sultan Muhammad V. Sesudah perang Dunia II Partai Istiqlal menjadi
partai kemerdekaan demokratis yang cenderung ke kiri (komunis). Dan pada akhir
180 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204
Madrid. Ia dilahirkan ditengah situasi kacau karena kaum Kristen pada
waktu itu maupun kaum perempuannya tidak mau menerima batas suci
dalam Islam (dalam Fiqh disebut sebagai hudu>d).2 Mernissi kecil hidup di
dalam sebuah harem 3 bersama ibu dan nenek-neneknya serta saudara
perempuan lainnya yang tanpa sengaja membentuknya menjadi pribadi yang
kritis dan pemberani. Sebuah harem yang dijaga ketat oleh seorang penjaga
pintu agar perempuan-perempuan itu tidak keluar, harem itu juga dirawat
dengan baik dan dilayani oleh pelayan perempuan. Neneknya Yasmina,
merupakan salah satu istri kakeknya yang berjumlah sembilan, sementara itu
tidak terjadi pada ibunya, ayahnya hanya punya satu istri dan tidak
berpoligami. Hal ini dikarenakan orang tua mernissi seorang penganut
nasionalis yang menolak poligami. Namun begitu, ibunya tetap tidak bisa
baca tulis karena waktunya dihabiskan di harem. Walaupun nenek Yasmina
adalah perempuan yang tidak terpelajar, namun kecerdikan dan semangatnya
tahun 1946 partai Istiqlal mengubah haluannya menjadi partai massa. Maroko
modern sebagai Negara Islam yang berbentuk kerajaan, banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Allal al-Fasi sendiri yang pernah menjadi menteri agama, banyak belajar
dari pemikiran Muhammad Abduh (1849-1905), Jamaluddin al-Afghani (1839 –
1897), Voltaire (1694 – 1778), Montesquieu (1689 – 1755) dan Destoyewski (18211881). Islam Maroko diwarnai paham dan praktik marabout dan sufi. Marabout
adalah orang yang oleh penduduk setempat dianggap memiliki kesucian,
kebijaksanaan, dan hubungan yang dekat dengan Allah SWT, dan mempunyai
kekuasaan untuk campur tangan secara positif dalam situasi kecemasan dan
ketegangan. Lihat Nina M.Armando, Ensiklopedi Islam (Edisi tahun 2005), (Jakarta
: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 286. Lihat juga Allal al-Fasi, Al-Harâkah alIstiqlâliyah fi al-Maghrib al-„Arabi (Gerakan-gerakan Kemerdekaan di Maghrib
Arab) (Kairo : Matba‟at al-Risalah, 1988).
2
Fatima Mernissi, Teras Terlarang (Kisah Masa Kecil SeorangFeminis
Muslim) (Bandung : Mizan, 1999), 1.
3
Istilah harem terbagi menjadi dua jenis, yaitu harem kerajaan dan harem
domestic. Lihat Fatima Mernissi, Teras Terlarang (Kisah Masa Kecil Seorang
Feminis Muslim), (Bandung : Mizan, 1999), 37. Mernissi membuat perbedaan antara
harem kerajaan (imperial) dan harem tingkat biasa (domestic). Orang Barat biasanya
membayangkan harem kelas tinggi, yakni istana-istana yang dimiliki laki-laki yang
kaya raya dan berkuasa, yang membeli ratusan wanita budak dan menyimpan
mereka dalam lingkungan harem dengan dijaga ketat oleh orang kasim. Haremharem semacam ini telah lenyap oleh Perang Dunia I, ketika kerajaan Ottoman
runtuh dan praktek-praktek itu dilarang oleh penguasa Barat. Mernissi dibesarkan
dalam harem tingkat biasa, yakni rumah bertembok anggun, meskipun bukan istana.
Rumah ini didiami oleh sebuah keluarga besar dengan maksud mencegah
perempuan
memiliki
kontak
dengan
dunia
luar.
Lihat
http://islamlib.com/id/artikel/konsep-harem-dalam-perspektif-fatima-mernissi/
Islam dan Demokrasi dalam
Prespektif Fatima Marnissi
181
menjadikan dia sebagai solidarity maker diantara istri-istri Sidi Tazi (suami
Yasmina kakek Fatima Mernissi). Dari nenek Yasmina, Fatima Mernissi
belajar tentang kesetaraan sesama manusia, arti keterkungkungan dalam
harem, serta hubungan sebab akibat antara kekalahan politik yang dialami
kaum muslim dengan keterpurukan yang dialami perempuan. “ Ketika
Negara tidak mampu menyuarakan kehendak rakyat, perempuan selalu
menjadi korban dari situasi rawan dan kekerasan,4 begitu nenek Yasmina
pernah berujar kepada Fatima Mernissi. Sewaktu Mernissi lahir, para
nasionalis Maroko berhasil merebut kekuasaan pemerintahan Negara dari
tangan kolonial Prancis. Ini diakui Mernissi “....jika saya dilahirkan dua
tahun lebih awal, saya tidak akan memperoleh pendidikan, saya lahir pada
waktu yang sangat tepat.” Kaum nasionalis yang berjuang melawan Perancis
waktu itu menjanjikan akan menciptakan Negara Maroko yang baru, negara
dengan persamaan untuk semua.5
Mernissi menerima pendidikan dasar disebuah sekolah yang didirikan
oleh gerakan nasionalis, dan pendidikan tingkat menengah disebuah sekolah
khusus perempuan didanai oleh protektorat Perancis. Pada tahun 1957 ia
belajar ilmu politik di Sorbonne, Perancis dan Universitas Brandeis,
Amerika Serikat pada tahun 1973 dimana ia menerima gelar Doktor dengan
disertasinya “Beyond The Veil, Male-Female Dynamics In Modern Muslim
Society”6. Dia kembali bekerja di Universitas Muhammad V Rabat dan
sebagai Professor bidang Sosiologi 7 ia mengajar di Fakultas Sastra antara
tahun 1974 dan 1981 pada mata kuliah Metodelogi, Sosiologi Keluarga, dan
Psikososiologi. Mernissi tercatat sebagai seorang Feminis Islam
Internasional, menjadi Profesor tamu pada Universitas California di
Berkeley dan Universitas Harvard.8
Karya-karya Mernissi sarat dengan pengalaman individualnya yang
mendorongnya melakukan riset historis tentang berbagai hal yang sudah
mengganggu pemahaman keagamaanya. Sebagai contoh dalam bukunya The
Veil and The Male Elite : A Feminist Interpretation of Women‟s Rights in
Islam (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Menengok Kontroversi
4
Fatima Mernissi, Teras Terlarang, xiv.
http://mifka.multiply.com/calender/item/10019/FATIMA_MERNISSI
6
Fatima Mernissi, Beyond The Veil, Male-Female Dynamics In Modern
Muslim Society” (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1975),
VI Lihat terjemahannaya Fatima Mernissi, Beyond The Veil (Seks dan Kekuasaan :
Dinamika Pria dan Wanita Dalam Masyarakat Muslim Modern), (Surabaya :
ALFIKR, 1997), vi.
7
Fatima Mernissi, The Veil and The Male Elite : A Feminist Interpretation of
Women‟s Rights in Islam, (Addison : Wesley Pulishing Company, 1991), vi
8
Fatima Mernissi, Beyond The Veil, i.
5
182 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204
Keterlibatan Wanita Dalam Politik (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997) yang
kemudia ia revisi menjadi Women and Islam : A Historical and Theological
Enquiry (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Wanita Dalam Islam,
Bandung: Pustaka, 1994). Pelacakan Mernissi Terhadap nash-nash suci baik
Al-Qur‟an dan Hadith didasari pada pengalaman individunya sehari-hari
ketika berhubungan dengan masyarakat, seperti misalnya hadîth-hadîth yang
ia sebut misoginis yang menyatakan posisi perempuan sama dengan anjing
dan keledai sehingga membatalkan shalat seseorang. Perasaannya sangat
terguncang ketika mendengar hadith tersebut, bagaimana mungkin
Muhammad terkasih, bisa begitu melukai perasaan saya, gadis kecil yang
disaat pertumbuhannya berusaha menjadikan dia sebagai pilar-pilar impian
romantisnya, aku Mernissi dalam bukunya tersebut. 9
Kesedihan Mernissi menjadi lebih dalam saat dia mendengar tentang
hadîth mengenai kepemimpinan wanita. Motivasinya untuk menyelidiki
hadîth semacam ini dengan serius dipicu oleh hadîth yang diucapkan oleh
pedagan di pasar yang menafikan kepemimpinan wanita. Dia juga
memberikan perhatian terhadap konsep hijab, tema hijab sangat dominan
dalam karir intelektual Mernissi, karena soal itulah sejak kecil yang
mempengaruhi dirinya dan keluarganya, dan tentunya keluarga muslim
lainnya. Hijab, yang merupakan instrument pembatasan, pemisahan dan
pengucilan terhadap perempuan dari ruang public bagi Mernissi merupakan
bentuk pemahaman keagamaan dominan (yang dikuasai oleh laki-laki).
Hijab juga berarti sarana pemisahan antara penguasa dan rakyat, pemikiran
hijab yang terakhir ini dipengaruhi oleh realitas kekuasaan yang terjadi
dalam masyarakat Arab.10
Dengan melakukan penafsiran-penafsiran al-Qur‟ân dan hadîth, riset
sejarah dan analisa sosiologis, Mernissi berusaha keras untuk membongkar
pemahaman tersebut, untuk kemudian memberikan tafsir alternative.
Pemikiran Mernissi tentang hal ini bisa kita lihat dalam dua bukunya The
Forgotten of Queen in Islam (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, RatuRatu Islam Yang Terlupakan, Bandung: Mizan, 1994) dan Islam and
Democracy fear and the modern world (diterjemahkan ke dalam bahasa
9
Fatima Mernissi, Wanita dalam Islam (Bandung: Pustaka, 1994).
http://mifka.multiply.com/calender/item/10019/FATIMA_MERNISSI. ihat
juga Fatima Mernissi, The Veil and The Male Elite : A Feminist Interpretation of
Women‟s Rights in Islam, (Addison : Wesley Pulishing Company, 1991), VI. Lihat
juga Fatima Mernissi, The Forgotten of Queen in Islam (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1993) Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Fatima Mernissi,
Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan, (Bandung: Mizan, 1994) 7-14.
10
Islam dan Demokrasi dalam
Prespektif Fatima Marnissi
183
Indonesia, Islam dan Demokrasi : Antologi Ketakutan (Yogyakarta: LKIS,
1994). 11
Dalam
kebanyakan
karya-karyanya,
Mernissi
mencoba
menggambarkan bahwa ajaran agama bisa dengan mudah dimanipulasi.
Karenanya Mernissi pun percaya, penindasan terhadap perempuan adalah
semacam tradisi yang dibuat-buat dan bukan dari ajaran agama Islam.
Makanya ia sangat berani dan tidak takut membongkar tradisi yang dianggap
sacral oleh masyarakat selama ini. Banyak tulisan-tulisan lepasnya tentang
perempuan yang menyuarakan hal diatas, misalnya dalam bukunya
Rebellion‟s Women and Islamic Memory, (London & New Jersey : Zed
Books, 1996). Sebagai seorang Sosiolog, tulisan-tulisan Mernissi bisa
dikatakan tidak semata-mata berisi uraian normative tapi kaya juga dengan
analisa sosiologis. Ini bisa terlihat dari karya-karyanya dan disertasi
doktoralnya yang dibukukan dengan judul Beyond The Veil, Male-Famale
Dynamic in Modern Muslim Society (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia,
Seks dan Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita dalam Masyarakat Modern.
Buku ini merupakan hasil penelitiannya terhadap masyarakat Maroko
tentang batas-batas seksual perempuan. Sehingga, seakan-akan pergulatan
intelektual dan pengalamannya tertuang dalam karya-karyanya, bisa menjadi
representasi persoalan perempuan Islam pada umumnya.12
Islam dan Demokrasi
Sejarah peradaban Islam yang penuh dengan pembunuhan politik
akibat ketakutan luar biasa para penguasa terhadap kebebasan berfikir,
menggoreskan ketakutan-ketakutan pada umatnya saat ini pada wacana
demokrasi dan hak asasi manusia. Ketakutan ini bahkan menjadi semacam
paranoia, sehingga orang Arab ngotot menolak masa lalu dan tega
menyembunyikan perempuan dengan ajakan baku yang menempatkan
mereka pada kehidupan sebatas hijab dan tembok-tembok harem.
Gelombang besar demokratisasi dunia yang sanggup menumbangkan tirai
besi Uni Sovyet dan Tembok Berlin, akankah mampu mengantarkan
perempuan Muslimah menghirup udara bebas, di dalam dunia tanpa hijab,
atau diluar dinding harem?13 Perang Teluk usai sudah, teriakan menentang
perang yang paling memilukan berasal dari kaum perempuan seluruh dunia,
11
Fatima Mernissi, Islam and Democracy diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan (Yogyakarta: LKIS, 1994). 90
12
Fatima Mernissi, Beyond The Veil, 23. Lihat juga http:/islamlib.com/
id/index.php?=article&id=320.
13
Fatima Mernissi, Islam dan Demokrasi, 229.
184 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204
terutama perempuan Arab. Di Tunisia, Rabat, dan Aljazair, perempuan
meneriakkan kekhawatirannya lebih keras ketimbang ditempat lain. Banyak
perempuan dan masyarakat Arab yang damai berada dalam bahaya. Tapi
mereka lebih khawatir kalau masyarakat Arab dijebloskan dalam kecamuk
perang dan panas api yang dikobarkan oleh kekuatan asing. Kemudian
betapa mengerikan masa depan perempuan dalam masyarakat Arab yang
terlempar dalam kecamuk perang dan kobaran api yang direstui oleh hukum
internasional dan mendapat mandat dari dewan keamanan PBB. Lalu apa
hendak dikata bila hal ini dilakukan oleh Negara Barat yang mengklaim
kepemimpinan moral dunia dengan memaksa bangsa lain untuk
menerimanya sebagai model demokratik universal yang mematahkan
kekerasan semua klaim legitimasi, apakah perang ini suatu keniscayaan? 14
Perang teluk, telah mengajarkan kepada kita paling tidak ada dua hal,
pertama, tidak ada lagi batas-batas yang melindungi kita dari gharb. Kedua.
dalam derajat tertentu kita memiliki sifat mudah diserang, teror yang
menimpa kita menjadi tak terbendung, karena itu kita harus menghadapi dan
memahami sesuatu yang menakutkan sebagai satu-satunya jawaban.
Demokrasi yakni penekanan kedaulatan individu lebih dari pada kedaulatan
pemimpin sewenang-wenang. Ia adalah luka lama yang diderita Timur
selama berabad-abad. Kekuatan-kekuatan oposisi secara terus menerus
memberontak dan membunuh pemimpin pemimpin dan telah berusaha untuk
melenyapkan mereka. Tarian kematian antara otoritas dan individualitas bagi
umat Islam ditekan, karena dibasahi oleh darah dan kekerasan sehingga tidak
ada peradaban yang membiarkan ia mengapung ke permukaan. 15 Demokrasi
adalah seperti perahu penguasa yang terapung disungai, yang memaksa kita
untuk menghadapi apa yang tidak bisa kita salami dalam kebudayaan kita
sampai sekarang ini. Aql (nalar) dan ra‟yu ( pendapat pribadi) menjadi
persoalan untuk bersikap dan memecahkan persoalan yang tetap menjadi
teka-teki sampai kini, harus taat atau berfikir, harus percaya atau berpikir.
Penegasan bahwa kebebasan individu bukan merupakan satu-satunya
kekayaan Barat, berada pada inti tradisi kita. Namun ia telah terendam dalam
genangan darah yang tak henti-hentinya, Barat dengan penekanannya pada
demokrasi tampak benar-benar gharib bagi kita, asing, karena ia merupakan
sebuah cermin bagi apa yang kita takutkan. 16
Barat memaksa kita untuk mengingat pendiri mazdhab Maliki yang
dianut umat Islam di Afrika Utara. Mālik ibn Anas bin Malik bin 'Āmr al14
Fatima Mernissi, Islam dan Democracy: Fear of the Modern World,
(Addison: Wesley Publishing Company, 1992), 1.
15
Ibid, 16.
16
Ibid, 18.
Islam dan Demokrasi dalam
Prespektif Fatima Marnissi
185
Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin
`Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), lahir di
Madinah pada tahun 714 M / 93 H. Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits,
serta pendiri Mazhab Maliki, kitabnya yang terkenal yaitu al-Muwatta‟.
Beliau wafat pada tahun 800 M/ 179 H karena disiksa atas perintah khalifah.
17
Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj
adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak
Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866 M. Ia
merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut
Zoroaster dan ayahnya memeluk Islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi
abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata:
"Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal. Ia
menekankan bahwa manusia adalah tempat kebenaran (haqq), bahwa setiap
orang mencerminkan keindahan Ilahiyah dan karena itu perlu berdaulat,
beliau dibakar hidup-hidup di Baghdad pada tahun 390 H (abad ke 11 M). 18
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia tidak menakutkan rakyat
karena ia menyatakan “kehendak rakyat akan menjadi dasar otoritas
pemerintah dan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengambil bagian
dalam pemerintahan negerinya. Hal ini menakutkan karena ia memperkuat
ingatan Khawârij, sekte pemberontak yang muncul pada awal sejarah Islam
yang mengingatkan pada terorisme dan anarkhisme. Ia mengintimidasi
masyarakat Islam selama berabad-abad, memperkenalkan penggunaan
terorisme sebagai jawaban terhadap aturan yang semena-mena. Karena
mereka tidak setuju dengan Imam Ali, maka mereka membunuhnya.
Pembunuhan terhadap Imam bermula sangat dini, bahkan sebelum khalifah
Ali, apa yang bermula dari khalifah Ali adalah terorisme politik –
pembunuhan sebagai sebuah rencana dan program. 19
17
Gubernur Madinah memanggil Imam Malik dan memaksanya menarik
kembali kata-katanya, ketika Imam Malik menolak, Gubernur memerintahkan agar
Malik ditelanjangi dan dicambuk. Tangannya (yang memegang pena) di penggal
dengan kejam sehingga terlepas dari bahunya. Hal ini terjadi pada tahun 147 H,
beliau tidak pernah sembuh, hidup dalam keadaan cacat, tetapi terus menulis dan
berjuang sampai akhirnya meninggal akibat luka yang dideritanya. Lihat Imam alQurtubi, Al-Intiqa‟fi Fadâ‟il al-Tal‟at al-A‟immah al-Fuqahâ‟, Malik, Syafi‟i wa
Abu Hanîfah (Beirut: Dar al-Ilmiyyah, tt) 4. Lihat juga http://id.wikipedia. org/
wiki/Malik_bin_Anas
18
Ibn Khallkan, Wafayat al-A‟yan (Beirut: Dar Sadir, tt) Vol 2, 140. Lihat
http://id.wikipedia.org/wiki/mansur_ Al-Hallaj
19
Syarastani, Al-Milal wa al-Nihal, Vol I (Beirut : Dar Sa‟b, 1989), 115
186 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204
Khalifah pertama yang dibunuh secara paradox adalah figure dengan
reputasi keadilan terbesar, Umar Ibn al-Khattab, khalifah ortodoks kedua
yang tercermin secara mendalam pada missinya. Ia adalah salah seorang
pendukung ra‟yu, pertimbangan individual sebagai sumber pembuatan
keputusan, yang menjadi konsep fundamental dalam tradisi rasionalis.
Menurut Ibn Hazm sejumlah khalifah yang terbunuh dilukai oleh banyak
pedang, yaitu mereka merupakan korban kemarahan suatu kelompok pada
suatu pembunuhan yang memiliki ruang ritual. 20 Ketakutan orang Arab
terhadap demokrasi tidaklah sebesar penderitaan mereka karena lemahnya
akses terhadap kemajuan paling penting abad ini, khususnya toleransi –
sebagai prinsip dan praktek, yang maksudkan mernissi disini yaitu
Humanisme Sekuler yang telah memungkinkan perkembangan masyarakat
sipil.
Gagasan-gagasan Humanistik yaitu kebebasan berfikir, kedaulatan
individu, kebebasan untuk bertindak, dan toleransi (yang dipropagandakan
di Barat melalui aliran pemikiran sekuler). Kedaulatan individu selalu
mengambil posisi yang agak ambigu dikalangan “para pembaharu” gerakan
nasionalis abad 19 yaitu Gerakan yang memusatkan diri pada perjuangan
menentang penjajahan dan karena itu sangat anti Barat. Berhadapan dengan
Barat yang militeristik dan imperialistik, para nasionalis muslim terpaksa
berlindung pada masa lalu mereka dan menegakkannya sebagai benteng --hudûd kultural untuk membebaskan diri dari kekerasan kolonial. 21
Humanisme Sekuler, sebagaimana didefinisikan oleh sosiolog Amerika
James Davison Hunter, adalah salah satu masalah yang diajarkan oleh
sekolah-sekolah Amerika : “kurikulum sekolah cenderung mencerminkan
penekanan pada individu sebagai ukuran bagi segala sesuatu pada otonomi,
perasaan-perasaan, kebutuhan-kebutuhan personel dan nilai-nilai yang
dijabarkan secara subyektif.” Semuanya independen dari patokan
transenden yang dinyatakan dalam teisme tradisional. 22
20
Khalifah Umar Ibn Katab ditikam pada tahun 23/644, Dia khalifah kedua
yang memerintah setelah Nabi Muhammad saw. Khalifah Usman ditetak hingga
mati dengan pedang pada tahun 35/656, Beliau adalah khalifa ke tiga setelah Umar.
Khalifah Marwan ibn Hakam dicekik oleh istrinya Ummu Khalid, khalifah keempat
dinasti Umayah meninggal pada tahun 64/683. Umar ibn Abdul Aziz, diracun. Dia
khalifah Umayah ke delapan, meninggal pada tahun 101/720. Kemudian al-Walid
Ibn Yazid ditetak hingga mati. Lihat Ibn Hazm, Ar-Rasâ‟il (Beirut : Al-Mu‟assasah
al-„Arabiyah li Dirasah wa al-Nasr, 1981), Vol 2, 106. Ibn Hazm meninggal pada
tahun 456.
21
Fatima Mernissi, Islam dan Democracy, 42
22
James Davison Hunter. “On Secular Humanism” Dialogue (Washington
D.C : U.S Information Agency, 1991), 70.
Islam dan Demokrasi dalam
Prespektif Fatima Marnissi
187
Humanisme sekuler Amerika dikembangkan tidak begitu banyak
menentang agama sebagaimana terhadap campur tangan negara pada agama.
Kesukseskan pendekatan ditunjukkan dalam kenyataan bahwa Amerika
Serikat merupakan salah satu Negara yang paling religious yang
dibayangkan, tidak hanya masih banyak gereja, tetapi dalam kenyataannya
gereja-gereja terus tumbuh pesat.23
Sebagian besar negara bekas jajahan --- yakni negara-negara non
Barat --- tidak pernah mengalami fase sejarah yang begitu sangat diperlukan
bagi perkembangan semangat ilmiah, saat mana negara dan institusiinstitusinya menjadi sarana transmisi ide-ide toleransi dan penghormatan
terhadap individu. Hal yang terpenting adalah pemerintah kolonial bersifat
brutal dan terbatas secara kultural. Pemerintah nasionalis yang menggantikan
mereka sama saja brutal dan memusuhi perkembangan semangat ilmiah dan
inisiatif individu. Hal ini menghasilkan katup penghambat sesungguhnya
bagi dunia ketiga dari kemajuan-kemajuan humanisme pada abad yang lalu
dalam kedua aspeknya yaitu Pertama, aspek Ilmiah (mempromosikan
penggunaan sumberdaya pemerintah untuk diinvestasikan dalam riset-riset
ilmiah dan mendorong kebebasan bereksplorasi). Kedua, aspek politik
(menegakkan demokrasi perwakilan, dengan penggunaan hak warga Negara
untuk memberikan suara dan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan
politik.24 Filosof Maroko, Ali Umlil 25 menyatakan bahwa gerakan-gerakan
nasionalis di akhir abad XIX dan awal abad XX berusaha memodernisasikan
kebudayaan umat Islam tanpa melepaskan diri dengan masa lalu yang
dibebani dengan despotisme 26 dan manipulasi terhadap yang sacral. Disatu
sisi gerakan-gerakan ini memperkenalkan institusi-institusi dan konsepkonsep demokrasi perwakilan Barat seperti “konstitusi, parlemen, dan hakhak pilih universal disisi lain mereka gagal mendidik massa mengenai pokok
persoalan yang esensial, seperti kedaulatan individual dan kebebasan
berpendapat yang merupakan basis filosofis institusi-institusi dan konsepkonsep ini. Kebebasan beragama (al-hurriyah al-dîniyyah) adalah kebebasan
berkeyakinan dan berpendapat, dengan satu syarat utama “jangan
meninggalkan Islam”. Ini merupakan jalan Rifa‟at al-Tahtawi 27 pemimpin
23
Fatima Mernissi, Islam dan Democracy, 45.
Ibid., 46.
25
„Ali Umlil, Al-Tasa>muh hasb al-Is}la>hiyyah al-Isla>miyyah, (Beirut :
Dar al-Tanawbar, 1985)
26
Yaitu dengan makna Negara yang tanpa pandangan ke depan, tanpa ambisi
yang sepi ilmu pengetahuan, sepi pemikiran, sepi keindahan hidup, dan sepi
kebudayaan. Lihat Fatima Mernissi, Islam dan Democracy, 46.
27
Rifa‟ah At-Tahtawi (1801-1873 Masehi): Beliau adalah Rifa‟ah Rafi‟ bin
Badawi bin Ali At-Tahtawi, seorang yang alim dan seorang wartawan yang berasal
24
188 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204
sayap pembaharuan gerakan nasionalis yang paling representative, yang
mendifinisikan salah satu konsep kunci tradisi humanistic yang merupakan
dasar sistem parlemen. 28
Bila kita berbicara tentang konflik antara Islam dan Demokrasi,
sebenarnya kita berbicara tentang konflik hukum. Jika acuan dasar Islam
adalah al-Qur‟ân, maka demokrasi merujuk pada piagam PBB, karena
keduanya merupakan supra undang-undang. Mayoritas negara Islam ikut
menandatangani piagam tesebut. Dengan demikian mereka diatur okeh dua
hokum yang “kontradiktif”. Disatu sisi piagam PBB memberi kebebasan
berfikir kepada warga Negara, sedangkan disisi lain Syari‟ah paling tidak
dalam tafsir resminya yang berdasarkan ţâ‟at ( kepatuhan), dan mengutuk
kebebasan berfikir.29 Piagam PBB memiliki dampak hukum terhadap
wilayah negara-negara Islam yang menandatangani piagam tersebut. Piagam
PBB ditandatangani di San Francisco pada tanggal 26 Juni 1945. Diantara
negara Islam anggota asli PBB yaitu Iran, Turki, Lebanon, Mesir dan Saudi
Arabia. Dengan demikian mereka mengakui piagam PBB lebih tinggi dari
pada konstitusional mereka. 30
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia tentu saja menghadirkan
perubahan traumatik bersama skema mental abad pertengahan. Konsepkonsepnya yang berakar dalam filsafat pencerahan bisa memunculkan dan
mengubah persepsi dalam masyarakat yang bertradisi despotik hanya jika
suatu program pendidikan sistematis dan pelajaran ketatanegaraan
dilakukan.Pendidikan seperti ini akan berhasil dalam mentransformasikan
sikap secara mendalam jika dilaksanakan dalam dua tingkatan yaitu dengan
dari Mesir. Beliau dianggap sebagai salah seorang daripada pelopor kebangkitan
pemikiran modern di Mesir. Beliau adalah pengasas akhbar “Al-Waqa‟ik AlMisriyah” [Akhbar Mesir]. Beliau banyak mengarang buku serta menterjemahkan
buku dari bahasa Perancis. Lihat http://www.2lisan.com/biografi/tokohislam/biografi-singkat-para-tokoh-tokoh/
28
Fatima Mernissi, Islam and Democracy, 49.
29
Ibid, 60.
30
Isi pembukaan Deklarasi Universal PBB tentang Hak-hak Asasi Manusia
menyatakan bahwa : “oleh karena itu sekarang Majlis Umum menyatakan Deklarasi
Hak-hak Manusia ini sebagai standar pencapaian umum bagi semua masyarakat dan
bangsa. Untuk tujuan tersebut setiap individu dan organ masyarakat harus berusaha
menegakkan penghormatan hak-hak dan kebebasan melalui pengajaran dan
pendidikan dan melalui langkah-langkah progresif baik pada tingkat nasional
maupun tingkat internasional untuk menjamin pengakuan dan kepatuhan yang
bersifat universal dan efektif dikalangan bangsa-bangsa Negara anggota sendiri juga
dikalangan rakyat diwilayah dibawah jurisdiksinya. Ibid. 62.
Islam dan Demokrasi dalam
Prespektif Fatima Marnissi
189
pelajaran yang berkelanjutan dan partisipasi yang nyata melalui pemberian
suara perwakilan dalam tatanan pengambilan keputusan yang demokratis.
Islam dan Demokrasi: Warisan Sejarah dan Konteks Global
Kebangkitan Islam dan demokratisasi di dunia Muslim berlangsung
dalam konteks global yang dinamis. Diberbagai belahan dunia, orang-orang
beramai-ramai menyerukan kebangkitan agama dan demokratisasi sehingga
keduanya menjadi tema yang paling penting dalam persoalan dunia dewasa
ini. 31 keterlibatan Islam dalam proses pembangunan politik modern terutama
dipengaruhi oleh gagasan-gagasan modernisme Islam yang untuk pertama
kalinya diperkenalkan oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) 32 dan
Muhammad Abduh (1849 –1905) 33. Kaum modernis adalah mereka yang
melakukan artikulasi dan upaya penyadaran untuk mereformulasikan nilainilai dan prinsip-prinsip Islam dalam istilah-istilah pemikiran modern atau
untuk menyatukan pemikiran dan institusi-institusi modern dengan tradisi
Islam. 34 begitu juga John L Esposito telah mendeskripsikan berbagai
sumbangan ide-ide modern terhadap pemikiran politik Islam modern. 35 Salah
satu sistem politik Islam yang sering didiskusikan di Negara-negara Islam
adalah istilah “demokrasi” 36. Meskipun gagasan tentang demokrasi sudah
31
John L. Esposito and John O.Voll, Islam and Democracy, (New York :
Oxford University Press, 1966), 11. Lihat juga Bernard Lewis, et.al, Islam
Liberalisme Demokrasi: Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktrin, dan Konteks
Global, (Jakarta: Paramadina, 2002), 344.
32
Jamaluddin al-Afgani adalah seorang pemikir Islam, aktivis politik, dan
jurnalis terkenal. Ia membenci kolonialisme dan mendorong gerakan nasionalisme
serta pan-Islamisme, ia memiliki kepandaian, wibawa, karisma, dan keyakinan akan
masa depan peradaban Islam. Ditengah gejolak kolonialisme Eropa di negeri Islam,
ia menjadi tokoh pemikiran nasionalisme. Lihat Nina M. Armando, Ensiklopedi
Islam (Edisi tahun 2005), (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 280.
33
Ibid.12. Muhammad Abduh seorang pemikir, teolog, mufti dan pembaru
Islam Mesir pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, ia ingin menyegarkan
kembali ajaran Islam di dunia modern, sebagai mufti, ia banyak memperbarui
hokum Islam, dan ia mencoba mencairkan kekakuan dogma Islam dan
memperbaharui system pendidikan Islam, khususnya di Universitas al-Azhar Mesir.
34
Fazlur Rahman, Islam (London : Weidenfeld and Nocolson, 1966), 222.
35
John L. Esposito, Islam and Politics (Syracuse, New York: Syracuse
University Press edisi II, 1987), 56.
36
Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan oleh
Aristoteles di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Kata "demokrasi" berasal dari dua
kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan,
sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal
190 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204
mulai pada zaman Yunani kuno, namun pada masa kekuasaan romawi
dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat, dan Benua Eropa memasuki Abad
pertengahan (600-1400) demokrasi dapat dikatakan lenyap dari muka Dunia
Barat. 37 Prinsip demokrasi baru muncul kembali di Eropa Barat karena di
dorong oleh dua kejadian besar yaitu Renaissance dan Reformasi. 38 Istilah
demokrasi telah diterima oleh hampir semua pemerintahan di dunia, bahkan
kepemerintahan-pemerintahan otoriter sekalipun mengggunakan atribut
“demokrasi” untuk memberi ciri kepada rezim dan aspirasi mereka.
Akibatnya adalah menjamurnya penggunaan kata demokrasi seperti
demokrasi Liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi kerakyatan dan
demokrasi sosialis.39 Perubahan
penggunaan semacam itu sebagian
dimaksudkan untuk membawa konsep demokrasi lebih dekat kepada kultur
masyarakat tertentu dan sebagian lagi dimaksudkan untuk menjustifikasi
system politik yang diajukan oleh pemerintah tertentu. 40
sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Lihat Syaikh Abu
Muhammad „Ashim Al-Burqawi Al-Maqdisi, Agama Demokrasi : Pilih Islam atau
Demokrasi?! (Klaten : Kafaya Cipta Media, 2001), 39. Lihat juga Rahman Yasin,
Gagasan Islam Tentang Demokrasi ( Yogyakarta : AK GROUP, 2006), 27.
37
Mahfud, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi,(Yogyakarta : Gama Media,
1999), 11.
38
Renaissance yaitu aliran yang menghidupkan kembali minat dan budaya
Yunani Kuno, sedangkan Reformasi adalah pergerakan perbaikan keadaan dalam
Gereja Katholik kemudian berkembang menjadi asas-asas Protestantisme. Lihat
Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah
dan UUD 1945, (Yogyakarta: UII Press, 2001), 1.
39
Masa demokrasi terpimpin (1957-1965) di Indonesia dimulai dengan
tumbangnya demokrasi parlementer atau demokrasi liberal yang ditandai
pengunduran Ali Sastroamidjojo sebagai perdana mentri. Namun begitu, penegasan
pemberlakuan demokrasi terpimpin dimulai setelah dibubarkannya badan
konstituante dan dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959. Demokrasi Terpimpin
adalah demokrasi yang dipimpin oleh sila keempat Pancasila. Namun oleh Presiden
Soekarno diartikan terpimpin mutlak oleh presiden (penguasa).Hal yang paling
mendasari pembentukan demokrasi terpimpin adalah kepribadian Soekarno dan
militer yang dituangkan dalam suatu konsepsi. Konsepsi tentang suatu sistem yang
asli Indonesia. Namun sistem ini ditolak oleh Hatta karena dikawatirkan bahwa hal
ini akan kembali pada sistem tradisional yang feodal, otokratis, dan hanya dipakai
demi kepentingan raja. Lihathttp://id.shvoong.com/law-and-politics/politics/
1991739-sejarah-dan-pengertian-demokrasi-terpimpin.
40
Abdillah Maskuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons
Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966–1993).
(Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 1999), 3.
Islam dan Demokrasi dalam
Prespektif Fatima Marnissi
191
Samuel P. Huntington menyebut proses demokratisasi sekarang ini
dengan istilah “ gelombang ketiga demokrasi” yang dimulai sejak tahun
1974. Antara tahun 1974 dan 1990, paling tidak 30 negara berada dalam
transisi menuju demokrasi. Gelombang pertama demokrasi dimulai tahun
1820-an dan terus berlangsung selama hampir satu abad sampai tahun 1926,
menghasilkan kurang lebih 29 negara demokratis. Namun datangnya
kekuasaan Musolini di Italia yang menandai permulaan “gelombang
kemunduran pertama” pada tahun 1942 telah mengurangi jumlah Negara
demokratis di dunia sampai 12 negara. Kemenangan Sekutu dalam Perang
Dunia II memulai gelombang kedua demokrasi, yang mencapai puncaknya
pada tahun 1962 dengan 36 negara yang diperintah secara demokratis, tetapi
hal ini dikuti oleh “gelombang kemunduran kedua” antara tahun 1960 –
1975 yang mengakibatkan jumlah negara turun sampai 30 negara. 41
Pemerintah Saudi merupakan salah satu dari sedikit pemerintahan di negaranegara Muslim42 yang secara terbuka menolak system demokrasi, karena
41
Samuel P. Huntingtong, “Democracy‟s Third Wave”, (dalam Jurnal of
Democracy, Vol 2 No 2 Musim Semi, 1991), 12. Menurutnya ada lima factor utama
yang mempengaruhi secara signifikan terhadap peristiwa dan pilihan waktu tentang
gelombang ketiga demokrasi antara lain : (1), Problem legitimasi yang mendalam
mengenai rezim-rezim otoritarian di dunia dimana nilai-nilai demokrasi diterima
secara luas, karena kegagalan ekonomi dan juga kegagalan militer. (2), Pertumbuhan
ekonomi global pada tahun 1960-an yang tidak pernah terjadi sebelumnya, telah
meningkatkan standar-standar kehidupan, pendidikan yang meningkat, dan
meluasnya kelas menengan perkotaan di banyak negara. (3), Pergeseran yang
mencolok dalam doktrin dan aktivitas Gereja Khatolik, yang manifestasikan pada
Konsili Vatikan Kedua (Second Vatican Council) tahun 1963-1965 dan perubahan
Gereja-Gereja Khatolik Nasional dari para pembela status quo untuk melawan
otoritarianisme. (4), perubahan-perubahan dalam kebijakan-kebijakan luar negeri,
terutama pada sebagian besar masyarakat Eropa, Amerika Serikat, dan Uni Soviet.
(5), Snowballing atau demokrasi berpengaruh terhadap transisi yang lebih awal
dalam gelombang ketiga untuk mendorong dan menyediakan model-model bagi
upaya-upaya demokratisasi selanjutnya.
42
Diantara Negara-negara Islam di dunia sekarang terdapat sejumlah Negara
yang pemerintahannya berbentuk monarkhi atau kerajaan, tetapi sebagian besar dari
negara-negara itu berpemerintahan republik. Antara lain Arab Saudi, Maroko, dan
Jordania, Mesir, Turki dan Pakistan, tiga Negara tersebut (Saudi, Maroko dan
Jordania) dalah kerajaan atau monarkhi, tetapi system politik Negara-negara itu
tidak selalu sama, Arab Saudi menggunakan monarkhi murni, bagi Arab Saudi
Qur‟an merupakan UUD Negara dan syariah sebagai hukum dasar yang
dilaksanakan oleh mahkamah-mahkamah syariah dengan ulama sebagai hakim.
Kepala Negara adalah seorang raja yang dipilih oleh dan dari keluarga besar Saudi.
Sedangkan di Maroko sebagaimana tertera dalam UUD Negara Maroko adalah
192 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204
menurut Raja Fahd demokrasi tidak cocok dengan rakyat Saudi Arabia. 43
Sesungguhnya, meningkatnya partisipasi gerakan-gerakan Islam dalam
proses demokratisasi pada akhir tahun 1980-an dan 1990-an terus bergerak
menuju pusat-pusat kekuasaan. Kecenderungan semacam ini mengakibatkan
masalah tentang kesesuaian antara Islam dan Demokrasi, terutama karena
demokrasi didasarkan pada sekulerisme, sedangkan Islam adalah agama
yang didasarkan pada kepercayaan kepada Tuhan. 44
John L.Esposito dan James P. Piscatory mengamati bahwa baik
prinsip demokrasi dan proses demokratisasi merupakan pokok perdebatan
yang hangat dikalangan umat Islam. Selain itu, antara nilai-nilai Islam dan
nilai-nilai demokrasi secara inheren merupakan antitesis, sebagaimana
terlihat pada masalah-masalah seperti perbedaan antara orang yang beriman
dengan orang kafir, serta perbedaan laki-laki dan perempuan. Sekalipun
begitu, mereka juga mencatat bahwa sementara umat Islam radikal menolak
segala bentuk demokrasi parlementer sebagai bentuk westernisasi dan tidak
sesuai dengan tradisi local.45 Bagi kalangan Sunni, kajian hubungan antara
Kerajaan yang berkonstitusi dan demokratis dan kedaulatan berada di tangan bangsa
yang disalurkan melalui lembaga-lembaga konstitusional yang telah ada. Jordania
menggunakan monarkhi berkonstitusi (constitutional monarchy) yang berbentuk
kerajaan turun-temurun dan berparlemen, Islam merupakan agama Negara dan
bahasa arab adalah bahasa resmi. Sementara Mesir menurut UUD Republik Mesir
tahun 1980 sebagai Negara sosialis demokratis. Islam merupakan agama Negara,
prinsip-prinsip hukum Islam merupakan salah satu sumber utama hukum, kedaulatan
berada ditangan rakyat, dan rakyatlah sumber kekuasaan Negara., Turki menurut
UUD baru Turki pada tahun 1924 ditegaskan bahwa Negara Turki adalah berbentuk
republic, nasionalis, kerakyatan, kenegaraan, sekularis dan revolusionis. Pasal 3
menyatakan bahwa kedaulatan dengan tanpa syarat berada di tangan bangsa, dan
menurut pasal 88 semua warga Negara Turki tanpa membedakan agama dan suku
maka disebut sebagai bangsa Turki, Sedangkan dalam Republik Islam Pakistan
merupakan suatu Negara yang didirikan pada tahun 1947 dengan Islam sebagai
raison d‟etre, ternyata sampai sekarang masalh tempat dan pengertian tentang Islam
belum juga terselesaikan karena ada konflik antara kaum sekuler dan kaum yang
menginginkan Sistem politik, ekonomi dan social Islam. Lihat Munawir Sjadzali,
Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta : UI Press, 1993),
221-228.
43
Leon T. Hadar. What Green Peril ?, (dalam Foreign Affairs, Musim Semi,
1993), 39.
44
Abdillah Maskuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons
Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966 – 1993).
(Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 1999), 5.
45
John L. Esposito and James Piscatori, “Democratization and Islam” (dalam
Middle East Journal, Vol.45, No 3 Musim Dingin,1991) 428.
Islam dan Demokrasi dalam
Prespektif Fatima Marnissi
193
Islam dan demokrasi dipandang bersifat ambiguous atau ambivalen,46 dalam
kajian hubungan Islam dan demokrasi – sering juga dirujukkan kepada
kajian-kajian hubungan Islam dan politik, terdapat tiga model hubungan
Islam dan demokrasi yaitu.47 Pertama. Mayoritas masyarakat Islam dengan
tegas mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Islam dan demokrasi.
Hubungan Islam dan demokrasi semacam ini biasa disebut dengan hubungan
simbiosis-mutualisme. Kedua, Sebagian masyarakat Islam menegaskan
bahwa ada hubungan yang canggung antara Islam dan demokrasi, mereka
menjadi wakil para pendukung yang mengatakan bahwa Islam bertentangan
dengan demokrasi,48 antara lain respon dikalangan ulama, para intelektual
dan aktivis Muslim terhadap istilah demokrasi. Hafiz Salih, misalnya
mengharamkan penggunaan istilah dan konsep demokrasi, karenanya harus
ditinggalkan, karena konsep ini berarti menegasikan kedaulatan Allah atas
nama manusia. Lebih dari itu, istilah ini tidak berasal dari kosakata Islam,
dan karenanya harus ditinggalkan sebagaimana Allah telah mengatakan-Nya
dalam Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah ayat 104 yang artinya “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): Ra‟aina,
tetapi katakanlah : Unzhurna, dan dengarkanlah”.49 Senada dengan Salih,
Adnan Ali Ridha al-Nahwi menolak demokrasi tetapi mengajukan syura
(musyawarah), terutama karena yang pertama sinonim dengan aturan yang
dibuat manusia, sedangkan aturan yang kedua adalah aturan dari Allah. 50
Ketiga, Sebagian masyarakat Islam lainnya menerima adanya hubungan
Islam dan Demokrasi sekaligus memberi catatan-catatan penting secara
46
Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara : Merajut
Kerukunan Antar umat, (cet ke-1; Jakarta: Kompas, 2002), 118-124.
47
Model hubungan ini sebenarnya digunakan untuk melihat adanya hubungan
agama dan Negara (politik). Lihat Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam
Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 240-302.
48
Pandangan ini diwakili, antara lain oleh kalangan tokoh-tokoh muslim yang
tergabung dalam Hizbut Tahrir. Kalangan ini dengan tegas menolak hubungan Islam
dan demokrasi, bahkan mereka menyebutkan bahwa demokrasi adalah system kufur.
Lihat Syaikh Ali Belhaj, Menghancurkan Demokrasi, (Bogor : Pustaka Thariqul
„Izzah, 1999), 1. Lihat juga Abdul Qadim Zallum, Demokrasi:Sistem Kufur, Haram
mengambilnya, menerapkannya dan Menyebarluaskannya, (Bogor: Pustaka
Thariqul „Izzah, 2001), 10.
49
Hafiz Salih, Al-Dimuqratiyyah wa Hukm al-islam fiha (Beirut : Dar alNahdah al-Islamiyyah, 1988), 95-96. Ra‟aina dan Unzhurna mempunyai arti yang
sama, namun karena orang Yahudi sering mengatakan ra‟aina, maka para sahabat
Nabi disuruh agar mengatakan “unzhurna”.
50
Adnan Ali Ridha al-Nahwi, Al-Syûrâ la al-Dimuqratiyyah, (Kairo : Dar alShwa, 1985), 40.
194 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204
kritis. Hubungan ini disebut dengan hubungan reaktif-kritis atau simbiotik. 51
Mereka juga mengajukan prinsip-prinsip keadilan, musyawarah, hak asasi,
toleransi dan sebagainya.
Ada beberapa intelektual Muslim yang menerima istilah demokrasi
dengan modifikasi tertentu sesuai dengan ajaran Islam, antara lain Fazlur
Rahman,52 Hamid Enayat, 53 Muhammad Asad,54 dan Javid Iqbal. 55
Persentuhan Islam dan Demokrasi
Islam adalah agama (religius), Islam diyakini dan dipahami
merupakan seperangkat ketentuan dan aturan (aqîdah wa al-sharî‟ah) yang
51
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia (Jakarta : Paramadina, 1998), 23.
52
Fazlur Rahman, Implementation of The Islamic State in The Pakistan
Millieu, dalam Islamic Studies No 3, 1967, 6. Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21
September 1919 di daerah Hazara Pakistan. Pada 26 Juli 1988 profesor pemikiran
Islam di Univesitas Chicago itu pun bmeninggal pada usia ke 69 tahun.
53
Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought : Response of The Shi‟I
and Sunni Muslims to The Twentieth Century, (Texas : Texas University, 1981),
125-139. Hamid Enayat (1932-1982) adalah seorang reader dalam timur tengah
sejarah modern di Universitas Oxford dan Fellow di St Anatony‟s College Oxford,
dan Profesor dalam Ilmu Politik di universitas Teheran Iran.
54
Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam,
sebagaimana disebutkan dalam John L.Esposito dan James Piscatori,
Democratisation and Islam, (dalam Middle East Journal, Vol.45, No 3 Musim
Dingin,1991) 435. Muhammad Asad atau Leopold Weiss (lahir di Lemberg,
Austria-Hongaria pada tahun 1900 – meninggal di Spanyol pada tahun 1992) adalah
seorang cendekiawan muslim, mantan Duta Besar Pakistan untuk Perserikatan
Bangsa Bangsa, dan penulis beberapa buku tentang Islam termasuk salah satu tafsir
Al Qur'an modern yakni The Message of the Qur'an. Muhammad Asad terlahir
sebagai Leopold Weiss pada tahun 1900 di kota Lemberg, saat itu bagian dari
Kekaisaran Austria-Hongaria(sekarang bernama Lviv dan terletak di Ukraina) dalam
lingkungan keluarga Yahudi. Keluarganya secara turun-temurun adalah rabbi
(pemuka agama Yahudi) kecuali ayahnya yang menjadi seorang pengacara.
Pendidikan agama yang ia enyam selama masa kecil hingga mudanya menjadikan ia
familiar dengan bahasa Arab, Kitab Perjanjian Lama serta teks-teks maupun tafsir
dari Talmud, Mishna, Gemara dan Targum.
55
Javid Iqbal, “Democracy and The Modern State”, dalam John L.Esposito
(ed) Voice of Resurgent Islam, (New York : Oxford University Press, 1984), 257.
Javid Iqbal lahir pada tanggal 5 Oktober 1924, putra dari seorang Pemikir Pakistan
yaitu Muhammad Iqbal. Dia adalah seorang sarjana terkemuka, mantan kepala
kehakiman Pengadilan Tinggi Lahore dan pensiunan hakim Mahkamah Agung
Pakistan.
Islam dan Demokrasi dalam
Prespektif Fatima Marnissi
195
bersumber dari Allah SWT. Agama, dalam keseluruhan aspek ajarannya
dimaksudkan untuk menjadi panduan bagi manusia, berarti ia juga harus
menjadi basis bagi semua atau keseluruhan perilaku manusia, yang antara
lain meliputi perilaku politik, ekonomi, social dan lain sebagainya. Sebagai
kumpulan ajaran Allah SWT, Islam terkodifikasi dalam al-Qur‟ân, al-Qur‟ân
inilah yang kemudian menjadi rujukan perilaku manusia. Tetapi karena
ajaran-ajaran dalam al-Qur‟ân memerlukan penjelasan, maka keberadaan
Nabi Muhammad SAW adalah berperan sebagai orang yang menjelaskan alQur‟ân (mubayyin al-Qur‟ân). Nabi Muhammadlah yang kemudian
memberikan penjelasan secara operasional terhadap ajaran-ajaran yang
terdapat di dalam al-Qur‟ân. Karena itu kemudian, keduanya al-Qur‟ân dan
Sunnah menjadi rujukan bagi perilaku umat Islam. 56
Di Madinah Nabi Muhammad, SAW kemudian melakukan perjanjian
dengan Bani Quraisy dan Bani Yatsrib yang terkenal dengan Istilah
Konstitusi Madinah. 57 Memperhatikan Islam sebagai kumpulan ajaran yang
berasal dari Allah SWT, dan kemudian dilembagakan melalui Nabi
56
Basrowi dan Suko Susilo, Demokrasi dan HAM. (Kediri : Jenggala Pustaka
Utama, 2006), 26.
57
Situasi Madinah yang dihuni oleh penduduk yang majemuk, dengan
kepentingan, adat kebiasaan, agama dan lain-lain keragaman, yang sering
menimbulkan pertentangan bahkan perang antar suku, memerlukan suatu penguasa
politik yang kuat dan berwibawa untuk memerintah masyarakat tersebut.
Berdasarkan keadaan itu, maka Konstitusi Madina secara tersurat berisikan
ketentuan yang bertautan dengan demokrasi politik. Dalam pembukaan Konstitusi
Madinah yang berbunyi “ Dengan Asma Allah yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayan . Ini adalah kitab (ketentuan tertulis) dari Nabi Muhammad SAW antara
orang-orang Mukmin yang berasal dari Quraisy dan Yatsrib dan yang mengikuti
mereka, kemudian menggabungkan diri dengan mereka dan berjuang bersama
mereka.“ Dalam pembukaan ini terdapat lima pokok kandungan, antara lain:
1)Penempatan asma Allah SWT pada posisi teratas. 2), Perjanjian masyarakat
(social contract) secara tertulis. 3), kemajemukan masyarakat yang ikut dalam
Konstitusi Madinah.. 4), keanggotaan terbuka (open membership) dan 5), Persatuan
dalam ke-bhineka-an (unity in diversity). Para ahli Ilmu pengetahuan, khususnya ahli
sejarah menyebut naskah politik yang dibuat Nabi Muhammad SAW itu dengan
nama yang macam-macam. W. Montgommery Watt menyebutnya dengan “The
Constitution of Medina”, RA.Nicholson “Charter”, Majid Khadduri “Treaty”,
Philip K.Hitti “Agreement”, Zainal Abidin Ahmad “Piagam” Lihat Muhammad
Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD
1945, (Yogyakarta : UII Press, 2001), 3 dan 52
196 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204
Muhammad SAW, dapat dikatakan bahwa yang bisa disebut memiliki
kemutlakan untuk mengatur manusia disini adalah Allah SWT. Dalam
pandangan ini Allahlah (al-Khâliq) yang memiliki kedaulatan atas manusia,
Allahlah yang menentukan segala ketentuan dan aturan untuk sekalian
ciptaanya (al-Makhlûq), termasuk di dalamnya adalah manusia. Dengan
demikian manusia harus tunduk dan patuh kepada semua ketentuan dan
aturan Allah ini. Ketentuan dan aturan yang bersumber dari Allah ini
dipandang memiliki nilai kemutlakan (ultimate). Namun, arti dari istilah ini
telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi
sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di
banyak Negara. pemberlakuan demokrasi ke dalam tiga model berdasarkan
penerapannya. Ketiganya yaitu demokrasi formal, demokrasi permukaan
(façade) dan demokrasi substantif. 58
Ketiga model ini menggambarkan praktik demokrasi sesungguhnya
yang berlangsung di negara manapun yang mempraktikkan demokrasi di
muka bumi ini. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi antara lain Adanya
keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik,
baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan). Adanya persamaan hak
bagi seluruh warga negara dalam segala bidang. Adanya kebebasan dan
kemerdekaan bagi seluruh warga negara. Adanya pemilihan umum untuk
memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. Dari
pendefinisian yang demikian bisa dilihat adanya implikasi antara lain
terhadap cara pengangkatan kepala negara dan cara pengambilan keputusan
tentang suatu perundang-undangan atau aturan pemerintah. Warga Negara
atau rakyat (demos) dalam demokrasi selalu mendapatkan perhatian,
58
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, Demokrasi formal ditandai dengan
adanya kesempatan untuk memilih pemerintahannya dengan interval yang teratur
dan ada aturan yang mengatur pemilu. Peran pemerintah adalah mengatur pemilu
dengan memperhatikan proses hukumnya. Demokrasi permukaan (façade)
merupakan gejala yang umum di Dunia Ketiga. Tampak luarnya memang
demokrasi, tetapi sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Pemilu diadakan
sekadar para os inglesses ver, artinya "supaya dilihat oleh orang Inggris". Hasilnya
adalah demokrasi dengan intensitas rendah yang dalam banyak hal tidak jauh dari
sekadar polesan pernis demokrasi yang melapisi struktur politik. Demokrasi
substantif menempati rangking paling tinggi dalam penerapan demokrasi.
Demokrasi substantif memberi tempat kepada rakyat jelata, kaum miskin,
perempuan, kaum muda, golongan minoritas keagamaan dan etnik, untuk dapat
benar-benar menempatkan kepentingannya dalam agenda politik di suatu negara.
Dengan kata lain, demokrasi substantif menjalankan dengan sungguh-sungguh
agenda kerakyatan.
Islam dan Demokrasi dalam
Prespektif Fatima Marnissi
197
implikasi dari cara pandang yang demikian adalah pada diletakkannya pilarpilar demokrasi yang selalu mengutamakan kepentingan warga negara. 59
Demokrasi oleh karena itu bergantung kepada pembangunan suatu
budaya warga Negara yang demokratis. Budaya dalam pengertian ini adalah
perilaku, praktek dan norma-norma yang menjelaskan kemampuan warga
Negara untuk memerintah diri sendiri dapat disebur dengan istilah
“kebebasan” Kebebasan dan demokrasi sering dipakai secara timbal balik,
tetapi keduanya tidak sama. Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat
gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi juga menyangkut seperangkat
praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah yang panjang. Dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah “pelembagaan” dari
kebebasan. Oleh karena itu wajar kalau dalam perkembangannya wacana
demokrasi ini terkait dengan persoalan kebebasan, misalnya hak asasi
manusia, persamaan di depan hukum, dan toleransi. 60 Persinggungan antara
Islam dan demokrasi, sebenarnya merupakan bagian atau konsekuensi logis
dari pertemuan antara wacana politik Islam dengan wacana politik Barat.61
Fazlur Rahman berpendapat bahwa sejak mulainya ekspansionisme Barat
pada negeri-negeri Muslim, kaum muslimin, setelah kegagalan perlawanan
militer dan politik mereka yang awal terhadap Barat, kemudian
mencurahkan perhatiannya pada masalah reorganisasi politik yang efektif. 62
Persinggungan demikian merupakan konsekuensi logis dari pertemuanpertemuan sejarah yang terjadi bertahun-tahun, hingga akhirnya
menimbulkan sintesa-sintesa politik yang dalam banyak hal justru saling
memperkaya. Apresiasi kalangan Islam terhadap konsep demokrasi,
sesungguhnya merupakan fenomena yang tidak berdiri sendiri dan terusmenerus berproses. 63 Apapun apresiasi yang diberikan terhadap konsep
demokrasi oleh kalangan Islam, tak lepas dari proses kreativitas berfikir
(ijtihâd) yang dilakukan terbuka, bebas dari rasa rendah diri dan prasangka-
59
Pilar-pilar demokrasi antara lain (a), kedaulatan rakyat, (b), pemerintahan
berdasarkan persetujuan, (c), kekuasaan mayoritas, (d), hak-hak minoritas, (e),
jaminan hak-hak asasi manusia (f), pemilihan yang bebas dan jujur (g), persamaan
didepan hokum (h), proses hokum yang wajar (i), pembatasan pemerintah secara
konstitusional, (j), pluralism agama dan (k), nilai-nilai toleransi, pragmatism,
kerjasama dan mufakat, lihat Basrowi dan Suko Susilo, Demokrasi dan Ham.
(Kediri : Jenggala Pustaka Utama, 2006), 28
60
Ibid.
61
Edward Mortimer, Islam dan Kekuasaan (Bandung : Mizan, 1984), 70
62
Fazlur Rahman, Islam, 322
63
Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi : Pemikiran Nurcholish Madjid,
(Jakarta: Penerbit Republika, 2004), 79.
198 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204
prasangka buruk yang berlebihan terhadap nilai-nilai dari luar Islam. 64
Beberapa intelektual Muslim mencoba merumuskan titik temu antara Islam
dan demokrasi melalui pencarian kohesif prinsip-prinsip tentang pengaturan
kehidupan masyarakat. Islam memiliki kesesuaian dengan demokrasi karena
adanya koherensi nilai yang terkandung didalamnya, seperti prinsip
persamaan (al-musawwah), kebebasan (al-hurriyah).
Pertanggungjawaban (al-mas‟u>liyah) dan kedaulatan rakyat atau
musyawarah. (syu>ra>). Sebagai contoh sederhana, pada saat rintisan awal
dari pola hubungan Islam dan Demokrasi, bisa ditelusuri dari genealogi
gagasan demokrasi kelompok Sunni.65 Gagasan sederhana itu sebagai
berikut : Pertama. Prinsip keadilan politik, hal ini merupakan nilai dasar
bagi regulasi proses bernegara. Keadilan diinstitusionalkan dalam aturanaturan hokum yang menjamin keadilan publik untuk melindungi hak-hak
asasi warga Negara atas dasar prinsip persamaan (al-musa>wah). Dalam
teoritisi sunni klasik, prinsip ini harus dilembagakan dalam perilaku politik
elite, sehingga syarat menjadi imamah adalah harus adil. Kedua, Kekuasaan
adalah amanat. Teoritisi Sunni yang merumuskan teori kekuasaan sebagai
amanat adalah Ibn Taimiyyah. Konsekwensi dari konsepsi kekuasaan
sebagai sebuah amanat adalah keharusan adanya pertanggung jawaban
kepada Tuhan maupun tanggung jawab secara konstitusional kepada
masyarakat (public accountability). Ketiga, Dalam system demokrasi
modern, amanat yang harus dijalankan dan dipertanggungjawabkan oleh
penguasa adalah produk pemimpin secara musyawarah, dalam konsesus
Sunni, seorang pemimpin harus ditetapkan berdasarkan pemilihan.
Mekanisme seperti ini merupakan aktualisasi dari nilai-nilai kebebasan yang
dilembagakan dalam institusi bernama pemilihan umum (PEMILU).
Keempat, Kultur kritik yang sehat, dalam konteks ini umat diperkenankan
bahkan diharuskan melakukan kritik yang bersifat proposional dan
konstitusional (al-mauidzah al-hasanah) terhadap para penguasa.
Tujuannya, agar proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan
kebijaksanaan dilapangan tidak membawa kerusakan sendi-sendi
kemasyarakatan. Kelima, Pembagian kekuasaan, prinsip pembagian
kekuasaan akan mencegah melembaganya kekuasaan yang terpusat pada
satu kelompok atau individu tertentu. Lima prinsip diatas, dengan kriteria
terbatas merupakan genealogi demokrasi pemikiran politik Sunni. 66
Persinggungan antara Islam dan demokrasi terlihat ketika konsep Islam
64
Amaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang
Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 5.
65
Ibid., 42-47.
66
Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi, 80-81
Islam dan Demokrasi dalam
Prespektif Fatima Marnissi
199
berbicara tentang 7 ciri-ciri Negara, karena bukankah demokrasi merupakan
bagian kecil dari system politik bernegara, antara lain : Pertama, Kekuasaan
dipegang penuh oleh umat. Kedua, Masyarakat ikut berperan dan
bertanggung jawab. Ketiga, kebebasan adalah hak bagi semua orang,
keempat, persamaan diantara semua manusia. Kelima, kelompok yang
berbeda juga memiliki legalitas. Keenam, kedzaliman mutlak tidak
diperbolehkan dan usaha meluruskannya adalah wajib. Ketujuh, Undangundang diatas segalanya. Kesemua cirri ini tidak ada satupun yang
berbenturan dengan nilai-nilai demokrasi.67
Selain itu substansi demokrasi adalah penghargaan terhadap hak-hak
asasi, dalam konsepsi Islam dikenal dengan enam kaidah-kaidah dalam
menopang tegaknya demokrasi, antara lain: Pertama, ta‟aruf dan saling
mengenal (sesuai dengan QS. Al-Hujûrah, 49: 13). Kedua, syûra atau
musyawarah (sesuai dengan QS. As-Syûra, 42:38). Ketiga. Ta‟awun atau
kerjasama (sesuai dengan QS. Al-Maidah, 5:2) Keempat, Maslahah atau
menguntungkan masyarakat, kata ini berakar pada kata shalih yang berarti
kebaikan pada umumnya dan menguntungkan. Kelima, „adl atau adil (sesuai
dengan QS. An-Nisa‟, 4:58).68
Sesungguhnya Islam lebih dulu memancangkan sendi-sendi bangunan
substansi demokrasi, tapi rincianya diserahkan kepada ijtihad orang-orang
Muslim sesuai dengan dasar-dasar agama, kemaslahatan dunia, dan
perkembangan hidupnya, menurut pertimbangan tempat dan waktu serta
trend kehidupan dunia. Jadi ada baiknya jika mengambil pemikiran, system,
metode, dan aturan yang bermanfaat, selagi tidak bertentangan dengan nash
yang jelas makna dan hukumnya serta kaidah hukum yang tetap.69 Pendapat
diatas didukung oleh Salim Ali Bahnasawi bahwasanya demokrasi tidak
bertentangan dengan dunia Islam, sebab Islam menetapkan bagi manusia
kebebasan memilih keyakinan. Jika memilih keyakinan merupakan
kebebasan, maka memilih pemimpin pun demikian juga.70
Dalam sistem demokrasi, terdapat diantaranya kedaulatan rakyat
dimana rakyat mempunyai hak dalam masalah-masalah yang berkaitan
dengan pemilihan anggota majelis perwakilan, memilih penguasa,
67
Fahmi Huwaydi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani, (Bandung:
Mizan, 1996) 160-161.
68
Idris Thaha, Demokrasi Religius : Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan
M. Amien Rais (Jakarta : Teraju, 2005), 48. Lihat juga Anas Urbaningrum, IslamoDemokrasi, 82-83
69
Yusuf Al-Qardhawy, Fiqh Daulah Dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Sunnah
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), 192.
70
Salim Ali Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta: Pustaka alKautsar, 1996), 110
200 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204
mengontrolnya serta memecatnya, dari sisi inilah demokrasi sejalan dengan
konsepsi Islam.
Kesimpulan
Ada tiga model hubungan Islam dan demokrasi yaitu. Mayoritas
masyarakat Islam dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada pemisahan
antara Islam dan demokrasi. Hubungan Islam dan demokrasi semacam ini
biasa disebut dengan hubungan simbiosis-mutualisme.
Sebagian masyarakat Islam menegaskan bahwa ada hubungan yang
canggung antara Islam dan demokrasi, mereka menjadi wakil para
pendukung yang mengatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi,
antara lain respon dikalangan ulama, para intelektual dan aktivis Muslim
terhadap istilah demokrasi. Hafiz Salih, misalnya mengharamkan
penggunaan istilah dan konsep demokrasi, karenanya harus ditinggalkan,
karena konsep ini berarti menegasikan kedaulatan Allah atas nama manusia.
Lebih dari itu, istilah ini tidak berasal dari kosakata Islam, dan karenanya
harus ditinggalkan sebagaimana Allah telah mengatakan-Nya dalam AlQur‟an Surat Al-Baqârah ayat 104 yang artinya “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): Ra‟aina, tetapi
katakanlah : Unzhurna, dan dengarkanlah”. Senada dengan Salih, Adnan
Ali Ridha al-Nahwi menolak demokrasi tetapi mengajukan syura
(musyawarah), terutama karena yang pertama sinonim dengan aturan yang
dibuat manusia, sedangkan aturan yang kedua adalah aturan dari Allah.
Sebagian masyarakat Islam lainnya menerima adanya hubungan Islam
dan Demokrasi sekaligus memberi catatan-catatan penting secara kritis.
Hubungan ini disebut dengan hubungan reaktif-kritis atau simbiotik. Mereka
juga mengajukan prinsip-prinsip keadilan, musyawarah, hak asasi, toleransi
dan sebagainya. Ada beberapa intelektual Muslim yang menerima istilah
demokrasi dengan modifikasi tertentu sesuai dengan ajaran Islam, antara lain
Fazlur Rahman, Hamid Enayat, Muhammad Asad, dan Javid Iqbal.
Daftar Pustaka
Alim, Muhammad. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi
Madinah dan UUD 1945. Yogyakarta : UII Press, 2001.
al-Fasi, Allal. Al-Harâkah al-Istiqlâliyah fi al-Maghrib al-„Arabi (Gerakangerakan Kemerdekaan di Maghrib Arab) .Kairo : Matba‟at al-Risalah,
1988.
Islam dan Demokrasi dalam
Prespektif Fatima Marnissi
201
Al-Maqdisi, Syaikh Abu Muhammad „Ashim Al-Burqawi. Agama
Demokrasi : Pilih Islam atau Demokrasi?!. Klaten : Kafaya Cipta
Media, 2001.
al-Nahwi, Adnan Ali Ridha. Al-Syûrâ la al-Dimuqratiyyah. Kairo : Dar alShwa, 1985.
Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqh Daulah Dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Sunnah
.Jakarta :Pustaka Al-Kautsar, 1997.
al-Qurtubi, Imam. Al-Intiqa‟fi Fadâ‟il al-Tal‟at al-A‟immah al-Fuqâha,
Malik, Syafi‟i wa Abu Hanifah. Beirut : Dar al-Ilmiyyah, tt.
Armando, Nina M. Ensiklopedi Islam (Edisi tahun 2005) Jakarta : Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2005.
Asad, Muhammad. The Principles of State and Government in Islam,
sebagaimana disebutkan dalam John L.Esposito dan James Piscatori,
Democratisation and Islam, dalam Middle East Journal, Vol.45, No 3
Musim Dingin,1991.
Azra, Azyumardi. Reposisi Hubungan Agama dan Negara : Merajut
Kerukunan Antar umat, .Jakarta : Kompas, 2002.
Bahnasawi, Salim Ali. Wawasan Sistem Politik Islam. Jakarta : Pustaka alKautsar, 1996.
Basrowi dan Susilo, Suko. Demokrasi dan Ham. Kediri : Jenggala Pustaka
Utama, 2006.
Belhaj, Syaikh Ali. Menghancurkan Demokrasi. Bogor : Pustaka Thariqul
„Izzah, 1999.
Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia. Jakarta : Paramadina, 1998.
Enayat, Hamid. Modern Islamic Political Thought : Response of The Shi‟I
and Sunni Muslims to The Twentieth Century, Texas : Texas
University, 1981.
Esposito, John L. and Piscatori, James “Democratization and Islam”. dalam
Middle East Journal, Vol.45, No 3 Musim Dingin,1991.
Esposito, John L. and O.Voll, John. Islam and Democracy. New York :
Oxford University Press, 1966
Hadar, Leon T. What Green Peril ?,dalam Foreign Affairs, Musim Semi,
1993.
202 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204
Huntingtong, Samuel P. “Democracy‟s Third Wave”, dalam Jurnal of
Democracy, Vol 2 No 2 Musim Semi, 1991.
Huwaydi, Fahmi. Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani. Bandung :
Mizan, 1996.
http://mifka.multiply.com/calender/item/10019/FATIMA_MERNISSI
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi,
http://id.wikipedia.org/wiki/Maroko
http://id.wikipedia.org/wiki/Mansur_Al-Hallaj
http://id.wikipedia.org/wiki/Malik_bin_Anas
http://islamlib.com/id/artikel/konsep-harem-dalam-perspektif-fatimamernissi/
http://www.2lisan.com/biografi/tokoh-islam/biografi-singkat-para-tokohtokoh
Ibn Hazm, Ar-Rasâ‟il. Beirut : Al-Mu‟assasah al-„Arabiyah li Dirasah wa alNasr, 1981.
Iqbal, Javid. “Democracy and The Modern State”, dalam John L.Esposito
(ed) Voice of Resurgent Islam. New York : Oxford University Press,
1984.
James Davison Hunter. “On Secular Humanism” Dialogue (Washington D.C
: U.S Information Agency, 1991.
Khallkan, Ibn. Wafayat al-A‟yan. Beirut : Dar Sadir, tt.
Lewis et.al, Bernard., Islam Liberalisme Demokrasi : Membangun Sinerji
Warisan Sejarah, Doktrin, dan Konteks Global. Jakarta :
PARAMADINA, 2002.
Mahfud. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta : Gama Media,
1999.
Masdar, Amaruddin Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang
Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Maskuri, Abdillah. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual
Muslim Indonesia
Mernissi, Fatima. Teras Terlarang (Kisah Masa Kecil SeorangFeminis
Muslim). Bandung : Mizan, 1999.
Islam dan Demokrasi dalam
Prespektif Fatima Marnissi
203
Mernissi, Fatima. Beyond The Veil, Male-Female Dynamics In Modern
Muslim Society”. Bloomington and Indianapolis: Indiana University
Press, 1975.
Mernissi, Fatima. Beyond The Veil (Seks dan Kekuasaan : Dinamika Pria
dan Wanita Dalam Masyarakat Muslim Modern). Surabaya :
ALFIKR, 1997.
Mernissi, Fatima. The Veil and The Male Elite : A Feminist Interpretation of
Women‟s Rights in Islam. Addison : Wesley Pulishing Company,
1991.
Mernissi, Fatima. Wanita Dalam Islam. Bandung: Pustaka, 1994.
Mernissi, Fatima. The Forgotten of Queen in Islam. Minneapolis : University
of Minnesota Press, 1993.
Mernissi, Fatima. Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan. Bandung: Mizan,
1994.
Mernissi, Fatima. Islam and Democracy Islam dan Democracy: Fear of the
Modern World, (Addison: Wesley Publishing Company, 1992.
Mernissi, Fatima. Islam dan Demokrasi : Antologi Ketakutan. Yogyakarta:
LKIS, 1994.
Mortimer, Edward. Islam dan Kekuasaan . Bandung : Mizan, 1984.
Rahman, Fazlur. Islam. London : Weidenfeld and Nocolson, 1966.
Rahman, Fazlur. Implementation of The Islamic State in The Pakistan
Millieu, dalam Islamic Studies No 3, 1967.
Salih, Hafiz. Al-Dimuqratiyyah wa Hukm al-islam fiha. Beirut : Dar alNahdah al-Islamiyyah, 1988.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.
Jakarta : UI Press, 1993.
Syarastani, Al-Milal wa al-Nihal. Beirut : Dar Sa‟b, 1989.
Thaba, Abdul Aziz. Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru. Jakarta:
Gema Insani Press, 1997.
Thaha, Idris Demokrasi Religius : Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan
M. Amien Rais. Jakarta : TERAJU, 2005.
Umlil, „Ali. Al-Tasamuh hasb al-Islahiyyah al-Islamiyyah. Beirut : Dar alTanawbar, 1985.
204 Musawa, Vol. 3, No. 2, Desember 2011: 179-204
Urbaningrum, Anas. Islamo-Demokrasi : Pemikiran Nurcholish Madjid.
Jakarta : Penerbit Republika, 2004.
Yasin, Rahman. Gagasan Islam Tentang Demokrasi. Yogyakarta : AK
GROUP, 2006.
Zallum, Abdul Qadim. Demokrasi : Sistem Kufur, Haram mengambilnya,
menerapkannya dan Menyebarluaskannya. Bogor : Pustaka Thariqul
„Izzah, 2001.
*Dosen Tetap Jurusan Ushuluddin STAIN Datokarama Palu
Download