BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Kesenian di kota Solo Wilayah Surakarta dipandang sebagai Daerah yang penting tahun 1746 yaitu ketika Sala dipilih oleh Paku Buwono II sebagai lokasi baru pengganti keraton lama di Kartasura. Keraton lama di Kartosuro dianggap rusak dan tercemari oleh pemberontakan Sunan Kuning. Terpilihnya desa Sala adalah karena Sala merupakan daerah pertemuan Sungai Pepe dan Sungai Bengawan Sala, sehingga bermanfaat dari segi ekonomi, social, politik dan militer.faktor lain adalah karena Sala telah berupa perkampungan sehingga lebih efisien untuk dibangun tanpa harus membabat hutan.(M. Hari Mulyadi dkk, 1999:13) Keraton Surakarta adalah penerus kekuasaan kerajaan Mataram (Islam). Pada proses perkembangan berikutnya kekuasaan kerajaan Surakarta diperkecil melalui perjanjian Giyanti tahun 1755, antara Paku Buwono III dengan pangeran Mangkubumi dibawah pengwasan pemerintah Hindia Belanda. Salah satu isi perjanjian adalah wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yakni kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Pembagian wilayah terjadi lagi melalui perjanjian Salatiga tahun1857 antara Paku Buwono III dan Raden Mas Said yang isinya memecah wilayah Kerajaan Surakarta yaitu Kerajaan Surakarja dan Kadipaten Mangkunegaran. Wilayah-wilayah tersebut oleh pemerintah Hindia Belanda disebut Vonstenlenden. Belanda turut campur dalam pemetaan masyarakat Solo. Hal ini terlihat jelas dalam pengelompokan warga berdasarkan kebangsaan ataupun sukunya, sebagai contoh Pasar Kliwon sebagai pusat orang Arab, lalu kawasan Pasar Gedhe sebagai domisili warga Cina, kemudian masyarakat Madura di daerah Sampangan, orang Kalimantan di Jayengan, dan lain-lain. Belanda cukup berlasan membuat pemetaan semacam itu , salah satu pertimbangan utamanya adalah agar pribumi dan masyarakat non-pribumi tidak menggalang kekuatan dan terpecah-pecah. Selain itu pembagian dua kekuatan besar di Solo(Kasunanan Dan Mangkunegaran) begitu berpengaruh pada kondisi Sosial budaya. Pembagian tersebut jelas terlihat dengan adanya jalan besar (kini Jalan Slamet Riyadi) yang seakan membagi Solo menjadi 2 bagian, tapi baik masyarakat pribumi maupun pendatang, sama-sama memiliki apresiasi terhadap seni. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tempat hiburan di Solo seperti Harmonie, Dardenella, Balai Kambang, Sriwedari, Tirtonadi, dan lain-lain. Kondisi Sosial masyarakat Solo sangat multikultur. Berbagai suku bangsa mendiami kota budaya ini. Secara social masyarakat Solo tertarik dengan bentuk kesenian rakyat yang mudah sekali dikonsumsi. Kantong-kantong hiburan di Solo memadat dan menyebar diberbagai wilayah Solo. Hal ini terkait dengan banyaknya seniman di Solo itu sendiri. Adanya perubahan struktur social masyarakat Jawa akhir abad XIX yang ditandai dengan adanya golongan masyarakat menengah, terutama di kota-kota besar di Jawa, tampaknya mendorong lahirnya bentuk kesenian hiburan Kota, yang disesuaikan dengan selera dan kebutuhan rakyat. Boleh dibilang bahwa bisnis hiburan di Surakarta justru dipelopori oleh orang Cina yang berawal dari pertunjukan wayang wong. Selain lihai dalam perdagangan dan industri orang Cina juga mampu mengolah seni menjadi sesuatu hal yang memiliki nilai jual. Tidak lain hal ini karena orang Cina begitu adaptif dengan masyarakat Surakarta. Bahkan mampu berkolaborasi dengan Mangkunegaran dan Kasunanan dalam bisnis hiburan rakyat.(Susanto, 2005:12). Kondisi kota Solo sendiri pada awal abad XX masih tenang. Suasana santai dan damai tergambar jelas dalam kehidupan sehari-hari . Transportasi darat masih belum ramai. Suasana seperti ini menjadikan seni rakyat sebagai konsumsi yang cocok. Sedangkan keroncong dengan alunan yang santai seakan-akan pas dengan kehidupan Solo sehari-hari. Pergeseran fungsi mulai terlihat ketika Jepang masuk. Musik bergeser menjadi alunan-alunan nada patriotic yang menggambarkan kondisi perjuangan masyarakat Indonesia. Demikian halnya dengan keberadaan Kraton maupun Pura Mangkunegaran, sebagai dua patron besar di Kota Solo, keduanya memiliki posisi penting, baik dari pihak Kasuanan dan Pihak Mangkunegaran ikut andil dalam masalah hiburan. Antusuisme keduanya terlihat dalam hiburan Wayang Wong dan Keroncong. Mangkunegaran memiliki radio untuk mendengarkan musik ketelinga masyarakat serta teather Dardanella(tempat pertunjukan yang sekarang adalah UP Theater), sedangkan Kasunanan memiliki Sriwedari dalam mempertunjukan wayang wong dan Keroncong. Sebagai pusat budaya, Keraton memiliki andil dalam memperkenalkan budayabudaya tradisional ke masyarakat kecil. Sejak dulu berbagai daerah di Indonesia telah dikenal memiliki sumber daya potensial berupa beraneka ragam atraksi wisata baik alam, budaya maupun buatan. Didalamnya termasuk seni tradisional maupun kesenian rakyat Solo memiliki intensitas budaya yang semarak dengan keberadaan keraton menjadikan Solo bercirikan sebagai kota Budaya. Singkatnya seni tradisional mengubah formalitas kebudayaan Keraton , dari patron-clien menjadi produsen-konsumen B. Sejarah Musik Keroncong Di Kota Surakarta Dalam memahami sejarah musik keroncong di kota Solo secara khusus dan perkembangan keroncong secara umum, periodesasi dibagi menjadi 2 garis besar, yang pertama adalah perkembangan keroncong sebelum kemerdekaan dan yang kedua adalah perkembangan keroncong setelah kemerdekaan. Rezim pemerintahan yang berkuasa memiliki kebijakan tersendiri terhadap keberadaan musik keroncong . baik pemerintahan colonial Belanda, bangsa Jepang sampai terbentuknya kedulatan Republik Indonesia. 1. Perkembangan keroncong sebelum kemerdekaan a. Keroncong Pada Masa Kolonial Belanda(1920-1942) Perkembangan musik keroncong di Surakarta mendapat tempat yang Istimewa dan semakin kuat citra Surakarta menguasai keroncong Indonesia (Japi Tambayong, 1992:307). Awal kemunculan musik keroncong berkembang di Ibukota Indonesia, Jakarta. Musik keroncong memang berasal dari Budaya asing tetapi bisa menjadi sepenuhnya musik Indonesia dengan memasukan unsur-unsur kuat dari musik Indonesia asli. Proses “Indonesianisasi” ini membutuhkan waktu ratusan tahun, tapi dalam kasus keroncong, proses ini memakan waktu lebih banyak karena keroncong tidak hanya berkembang disuatu daerah (Ernest Heins 1975:21) Bermula dari keroncong Tugu yang para anggotanya terdiri dari orangorang keturunan Portugis. Sebuah kelompok orkes keroncong yang berada pada salah satu kampong yang bernama Tugu, yang letaknya didaerah Cilincing Tanjung Priok. Menurut Jacobus Quiko, salah satu keturunan bangsa Portugis generasi ketujuh, mengatakan bahwa musik keroncong ini dirintis oleh orangorang Portugis yang berada di Betawi kira-kira tahun 1770-an. Selanjutnya musik keroncong ini turun temurun menjadi musik khas bagi orang-orang keturunan portugis yang berada di Kampung Tugu (Budiman 1979:76) Di Surakarta, pada sekitar tahun 1920-an sudah terdapat musik keroncong. Terbukti ayah angkat dari biduanita Miss Anie Landouw yang bernama Antom Ferdinand Ronald Landouw sudah menggemari musik keroncong, karena ia adalah seorang zanger pada waktu itu dan zanger-zanger seangkatan dia adalah Miss Her Lauot, Van Der Mul dari Jakarta dan Paulos Item dari Malang. Kemudian pada tahun 1926-1927 muncullah nama nama baru seperti halnya : Miss Annie Landouw, Miss Monah serta pemusik antara lain : Sapari, S. Prono pimpinan OK Sinar Muda dan Sukanto Jayadi zanger, juga Narno pimpimnan OK Naghtegal dan masih banyak lagi. (Budiman, 1979:111). Penyanyi wanita memang ditamabah kata Miss, sementara untuk pria istilah yang digunakan adalah budaya-keroncong. Sertiap tahunnya kota Surakarta selalu mengadakan Fandel Concourus seperti kota-kota lainnya. Di Jakarta, sejak tahun 1920an hingga jaman pemerintahan Jepang juga mengadakan Fandel Concours di Pasar Gambir (Budiman, 1979:84). Fandel Concours (Concours Vandel) disebut juga Krontjong Concours (Festival Keroncong). Perlombaan atau untuk masa sekarang ini istilah yang lebih akrab adalah festival, setiap tahun untuk melahirkan juara keroncong dari pulau jawa. Secara resmi perlombaan itu dinamakan Krontjong Vaandel Concours. Digunakan kata Vaandel, karena grup keroncong yang menjadi peserta diharuskan membawa Vaandel yang terbuat dari kain bludru hitam dan ditambah dengan tulisan nama grupnya berwarna emas, misalnya Lief Java (Japi Tambayong, 1992:307). Di Surakarta festival musik tersebut diadakan di Sriwedari, dan dilaksanakan setiap bulan puasa(Ramadhan) untuk menyambut hari puasa yang ke-21 dengan yang disebut Maleman. Orkes keroncong yang biasa tampil setiap tahunnya adalah OK. Sinar Muda pimpinan Prono. Selain itu perayaan yang diramaikan oleh SKC(Solo Keroncong Club) pimpinan Sukamto dan masih banyak lagi (Budiman 1979:113). Pada tahun 1930 sampai awal 1940 musik Indonesia sangat diwarnai dengan berkembangnya tiga ragam musik utama yang populer yaitu keroncong, gambus, dan musik Hawaiian, ditambah dengan musik semi klasik dan klasik dari orchestra yang disukai orang Belanda dan kalangan bumi putera, mulai mendapat pengaruh yang kuat dalam hal pengenalan dan penulisan komposisi musik yang baik. Dimulai tahun 1930 lewat Tjok Sinsu dan para pemusik seangkatannya yang menciptakan lagu yang semuanya ditulis dalam sebuah komposisi musik yang mulai menunjukan perkembangan pengetahuan akan komposisi yang cukup memadai dikalangan pemusik Indonesia.(Japi Tambayong, 1992:309) Pada tahun 1930 sebuah perkumpulsn Orkes Keroncong yang dikenal dengan nama orkes keroncong Monte Carlo. Orkes ini terkenal dengan pembaharuan-pembaharuan mengenai irama dan lagu-lagu diantaranya Keroncong Rumba. Pemain-pemain dari OK. Monte Carlo ini pada jamannya tergolong pemain-pemain yang memiliki citra kuat, diantaranya : Wiranto(biola), Satiarko(biola), Satiman(cello), Suwelo(ukulele), S. Naryo(Bass), Marjokahar sebagai penyanyi(Budiman, 1979:113).. Masih di tahun 1930 menyusul penyanyi dan perkumpulan orkes keroncong yang baru yaitu OK MARKO yang bermarkas di Singosaren. MARKO merupakan singkatan dari Marsudi Agawe Rukun Kesenian lan Olahraga. Penyanyi yang terkenal dari OK MARKO yaitu Gesang. Pada era 1930an, di Solo memang muncul orkes Keroncong Kembang Kacang, di orkes ini Gesang juga ikut bergabung. Di kota Solo, Gesang mengembangkan diri sebagai penyanyi dengan suara khas, karena dianggap memiliki ciri sendiri dibanding penyanyi keroncong lainnya. (Japi Tambayong, 1992:309) Radio merupakan saran paling penting dalam perkembangan musik keroncong. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi, pada tanggal 1 April 1933 resmi berdiri radio ketimuran yang diberi nama Solosche Radio Vereninging(SRV). Radio ini bertempat di Pura Mangkunegaran. Sedangkan di Dalem Kasunanan atau gedung Kong Tong berdiri radio SRI(Solosche Radio Indie). Keduan radio ini selalu menyiarkan lagu-lagu keroncong yang langsung dimainkan oleh orkes keroncong. b. Keroncong Pada Masa Kolonial Jepang (1942-1945) Pecahnya perang kemerdekaan Asia Timur Raya pada tahun 1942 dan Belanda menyerah kepada Jepang, membawa perubahan suasana di Indonesia. Perubahan suasana ini juga membawa perubahan pada dunia musik keroncong. Kedatangan Bangsa Jepang ini segera disusul dengan berbagai macam propaganda yang mencoba mengangkat harkat hidup bangsa Asia. Hal ini dengan sendirinya berarti kebudayaan barat yang ada dan tidak sesuai dengan propaganda dan harus dihilangkan. Upaya ini termasuk menghilangkan kebiasaan memainkan musik hiburan yang sangat berkiblat kebarat-baratan terutama Amerika, yang merupkan tantangan terbesar Jepang dalam perang Asia-Pasifik.(Peter Manual, 1990:208) Pemerintah jepang segera mewajibkan semua orang bisa menyanyikan lagu kebangsaan Kimigayo dan melarang kegiatan hiburan, terutama musik barat untuk dimainkan. Larangan ini tidak berarti bahwa Jepang tidak amemperhatikan masalah musik. Bagi pemerintah Jepang ini memang bersifat politis, karena pada umumnya semua lagu yang sedang beredar pada masa itu sangat bergaya barat. Dengan dimatikannya bentuk-bentuk hiburan musik yang kebarat-baratan tersebut, perkembangan musik pada masa itu hanya diisi oleh keroncong. Hanya musik keroncong yang pada saat itu diperbolehkan dimainkan oleh pemerintah Jepang, dan itu berarti musik keroncong yang mengisi kekosongan dalam usaha mencipta dan menyanyikan lagu pada masa pemerintahan Jepang (Peter Manual, 1990:208). Masa pendudukan Jepang yang berlangung tiga tahun(1942-1945), mendatangkan pukulan berat bagi dunia musik Indonesia, yang mengalami masamasa sulit karena dilarang. Suasana ini membingungkan semua artis dan penyanyi karena kegiatan yang terhenti dan tempat-tempat hiburan serta panggung pertunjukan terbengkalai. Dalam usaha mencipta lagu tidak berarti para pencipta lagu boleh mencipta lagu secara bebas. Pemerintah Jepang turut memperhatikan lagu dan maksud si penciptanya, apakah sesuai dengan semangat ketimuran dan cinta tanah air. Hal ini secara jelas terlihat dalam kata seperti bakti, setia, makmur, maju, indah, dan lain-lain.(Japi Tambayong 1992:212). Pemakaian katakata Slogan seperti di atas sejalan dengan keinginan Jepang agar bangsa-bangsa Asia mencintai tanah airnya sendiri dan sesame bangsa Asia sebagai kawan dalam perjuangan melawan bangsa sekutu. Dengan demikian bentuk-bentuk hiburan musik yang kebarat-baratan tersebut, perkembangan musik Indonesia pada masa itu bisa dikatakan didominasi oleh keroncong. Hanya musik keroncong yang pada saat itu diperbolehkan dimainkan oleh pemerintah Jepang dan itu berarti hanya musik keroncong yang mengisi kekosongan dalam usaha mencipta dan menyanyikan lagu-lagu pada masa pendudukan Jepang. Beberapa radio yang mengudara pada masa pemerintahan Jepang. Hanya boleh menyiarkan musik keroncog seperti radio Pusat Penyiaran Radio Ketimuran (PPRK), radio Jepang Hosokyoku dan Radio Voro. Beberapa lagu keroncong yang diciptakan menjadi terkenal seperti Bengawan Solo (1940) dan Jembatan Merah (1943).(Japi Tambayong 1992:212) Pada masa Jepang timbullah aliran yang ditanamkan Jepang ke Indonesia, yaitu aliran kebudayaan. Aliran kebudayaan yang ingin menguasai Indonesia secara kebudayaan. Dimana-mana diajarkan tarian Jepang (odori) lagu Jepang, dan bahasa Jepang. Pada masa awal kependudukan Jepang keroncong mengalami kemunduran, tetapi karena kebudayaan barat dikiks habis, maka apresiasi (Penghargaan) terhadap irama keroncong justru semakin mendapat angin segar dari mereka yang menganut aliran kebudayaan.(Peter Manual, 1990:210). Radio sebagai salah satu media yang cukup populer dikalangan masyarakat, hanya bisa menyiarkan musik keroncong dan beberapa lagu Jepang, dan dengan beberapa diantaranya dengan sembunyi-sembunyi tetap menyiarkan lagu-lagu perjuangan untuk menghindari dari kejaran tentara Jepang. Salah satu radio yang cukup berani untuk menyiarkan lagu perjuangan adalah Radio Voro. Radio amatir dan radio rakyat di Jakarta. Pemerintah Jepang sering memburu tempat dari radio ini. Sehingga markasnya sering berpindah. Salah satunya penyiarnya adalah Ahmad, seorang violis, aransir,dan dirigen khusus musik keroncong, orkes yang cukup terkenal bernama OK Aseli (Budiman, 1979:143). Memang selama masa pendudukan Jepang, alat komunikasi Radio digunakan oleh kaum nasionalis untuk mempropagandakan Anti-Belanda dan gerakan gerakan pro kemerdekaan. Pemerintah colonial Jepang melarang musikmusik barat muncul di media dan memberikan ruang yang lebih kepada musik Indonesia. Namun jelas, ini memang berbau politis. Pertunjukan musik keroncong mulai dapat ditemukan di pasar malam dan bersama dengan jenis budaya lainnya yang diperbolehkan, musik keroncong menyajikan suatu cara untuk melepaskan kepenatan dari penjajah. Meskipun bangsa Jepang menggunakan musik keroncong sebagai pendukung penjajahannya, akan tetapi lagu-lagu keroncong banyak yang liriknya berisi protes terhadap kekejaman penjajahan Jepang. Apalagi tadinya musik keroncong dianggap kesenian kesenian atau muisik kelas bawah karena dianggap remeh, maka pada jaman Jepang justru mendapat angin segar. Bermuncullah karya cipta yang melengkapi khasanah perkeroncongan seperti: lagu keroncong Jembatan Merah ciptaan Gesang, Swadhes ciptaan Marjo Kahar/Kamadjaya, Pulau Djawa ciptaan Soeminto. Lagu Jembatan Merah dicipta Gesang pada jaman Jepang. Lagu ini tercipta ketika Gesang ikut rombongan Perkumpulan sandiwara Bintang Surabaya. Ketika sandiwara Bintang Surabaya berkunjung ke Solo, pimpinannya, Tuan First Young, menemui Gesang untuk diajak bergabung sebagai penyanyi. Proses penciptaan lagu Jembatan Merah pada waktu itu di Kota Surabaya. Tuan First Young member Tugas kepada Gesang untuk membuat lagu dengan judul Jembatan Merah. Ketika Gesang melihat langsung keadaan fisik dari jembatan tersebut ternyata tidak seperti yang dia bayangkan.(Wendy T Utomo, 1986:22) Gesang mengakui menemui sedikit kesulitan dalam menciptakan lagu Jembatan Merah. Akhirnya dengan membaca sekenario cerita Jembatan Merah. Gesang dapat menciptakan lagu Jembatan Merah. Lagu tersebut menggambarkan sepasang kekasih pemuda dan pemudi yang sedang dilanda percintaan, kemudian terputus di Jembatan Merah, karena pemudi ditinggalkan di tengah jembatan oleh pemuda tersebut dengan janji kelak akan bertemu kembali di jembatan yang sama. Sedangkan gedung-gedung yang besar dan indah yang berada diantara jembatan itu kemudian mendorong Gesang untuk mengatakan bahwa Jembatan Merah sungguh Megah berpagar gedung Indah (Wendy T Utomo, 1986:24) Pada jaman Jepang jarang ada perlombaan atau concurs keroncong untuk meningkatkan mutu, karena suasana perang yang tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan semacam itu. Rakyat Indonesia dikerahkan untuk membantu Jepang menjadi Romusha, sedangkan wanita atau gadis remaja tidak sedikit yang dijadikan wanita penghibur bagi tentara Jepang yang kesepian. Pemerintah Jepang melakukan semua itu dengan kedok yang disebut gotong royong.(A.H Soeharto 1996:37). Kemudian pada tahun 1944 diadakan concurs keroncong oleh Solo Hosokyoku bertempat di taman Sriwedari. Peserta concurs datang dari seluruh daerah di Pulau Jawa dan para jurinya dari ahli-ahli keroncong pada jamannya. Peristiwa apresiasi terhadap seni keroncong inilah yang kemudian dikenang dan dilestarikan dalam bentuk penyelenggaraan Pemilihan Bintang Radio setiap tahun yang dikaitkan dengan acara memperingati Hari Radio, dimulai tanggal 11 September 1951 (A.H Soeharto11996:50). Alasan-alasan dan factor seperti meluasnya pengaruh barat, tumbuhnya lalu lintas antar daerah, mendalamnya rasa bahwa tanah air telah dihisap oleh penjajah, mendorong keinginan untuk merdeka, mempererat persatuan dan kesatuan serta mengikis pengaruh negatif yang datang dari barat. Dibidang perkeroncongan, pengalaman sejarah itu menjadi pondasi dan inspirasi lagu. 2. Keroncong Setelah kemerdekaan a. Periodisasi 1945-1950-an. Perkembangan musik pada penghujung tahun 1945 menghadapi dua hal yang penting dalam perkembangannya. Hal yang pertama adalah lepasnya tekanan terhadap dunia hiburan pada umumnya dan dunia musik pada khususnya, yang selama masa pendudukan Jepang menghadapi tekanan yang sangat besar dari pemerintah Jepang, terutama dunia hiburan yang sangat dipengaruhi oleh gaya barat dengan begitu banyaknya larangan dan batasan-batasan terhadap penciptaan sampai pada pementasannya. Hal yang kedua adalah perkembangan musik yang sangat diwarnai oleh. a. Semangat revolusi akibat perebutan kekuasaan Jepang b. Kenyataan yang terlihat dalam perang dunia kedua dibeberapa Negara yang terlibat yang tidak menghasilkn apa-apa selain kehancuran, termasuk kehancuran beberapa karya seni seniman-seniman besar dunia. c. Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan usaha-usaha untuk mempertahankannya.(A.H Soeharto11996:57). Hal ini bisa ditandai dengan munculnya lagu-lagu yang banyak bertemakan perjuangan atau musik nasional. Keadaan ini semakin berkembang dikalangan composer akibat situasi politik yang belum menentu dan adanya keinginan untuk ambil bagian secara langsung lewat caranya sendiri-sendiri demi mempertahankan kemerdekaan, dan isu yang akhirnya menjadi kenyataan. Belanda masuk lagi ke Indonesia dengan cara menumpang pada pasukan sekutu yang akan melucuti persenjataan Jepang di Indonesia. Kedatangan kaum colonial ini secara kebetulan kembali mengangkat para artis dan pemusik Indonesia yang masih dipengaruhi dengan keadaan pada masa-masa sebelum Belanda meninggalkan Indonesia. Dunia hiburan kembali hidup, pertunjukan-pertunjukan mulai marak lagi akibat kebutuhan para serdadu akan hiburan akibat kelelahan setelah bertempur. Gedung Societet yang selama masa pendudukan Jepang sepi, mulai ramai kembali. Begitu pula dengan beberapa tempat hiburan dan pertunjukan yang segera ramai karena orkes-orkes musik juga mulai beraktifitas dengan bebas.(Wendy T Utomo, 1986:30) Pada jaman perang kemerdekaan, para seniman keroncong masih tetap berkaya bahkan segera produktif menciptakan lagu-lagu yang bernafaskan perjuangan untuk mendorong dan sekaligus juga menghibur para pejuang di berbagai daerah. Beberapa peristiwa politik telah mewarnai perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan dan kedaulatan yang utuh. Beberapa catatan sejarah menginspiraikan para seniman keroncong untuk mengabadikan dalam bentuk lagu yang berjudul antara lain : Sri Dewi Kemerdekaan ciptaan Marjokahar, Irian Pulauku ciptaan Ismair Marzuki, Linggarjati ciptaan Ismail Marzuki.Wendy T Utomo, 1986:31) Kota Solo semakin ramai dan padat oleh seniman-seniman keroncong yang datang dari Jakarta. Pada tahun ini nama-nama penyanyi antara lain Samsidi, Suprapti, Maryati, Sayekti, dan macam-macam perkumpulan orkes keroncong antara lain : OK Bunga Mawar, OK Sederhana, OK Bengwan Solo.(Budiman, 1979:147). Revolusi bangsa Indonesia yang begitu pahit dan meminta banyak korban pada akhirnya selesai dan bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya setelah diproklamirkan pada tahun 1945. Pada saat revolusi berlangsung, kaum nasionalis mengendalikan beberapa stasiun radio yang dipergunakan untuk media penyampai pesan. Mereka menggunakan musik keroncong sebagai sebagai senjatanya dan dengan lagu-lagu perjuangan yang disiarkan melalui radio yang dikuasai oleh kaum nasionalis. Oleh karena itu, musik keroncong bukan saja sebagai musik rendahan tetapi juga merupakan aspirasi nasional. Bahkan sekarang banyak lagu-lagu perjuangan yang dinyanyikan dengan musik keroncong. Seperti yang diutarankan oleh etnomusikolog Dieter Mack “adalah pencipta musik keroncong yang……. Menulis seluruh lagu perjuangan Indonesia yang bisa disamakan dengan The Star Spangled Banner atau America The Beautiful. Lagu-lagu tersebut dikenal sebagai keroncong revolusi dan sering berkaitan dengan isu kemerdekaan dan kebebasan. Salah satu yang terkenal adalah ‘Keroncong Merdeka”(Dieter Mark, 1984:65) Dalam perajalananya yang memasuki dasawarsa pada tahun 1950-an, citra Solo sebagai kota keroncong Indonesia semakin menguat. Bahkan disbanding musik keroncong Jakarta, perkembangan di Solo lebih kuat, beberapa lagu kalangan orang Solo misalnya Gesang , terbukti mampu membawa irama keroncong soloan yang khas dengan suasana yang baru, yaitu dominan bunyi cello yang dipetik menyerupai kendang. Banyak lagu karangan Gesang yang juga mempopulerkan kota asalnya itu, semisal Tirtonardi dan Bengawan Solo. Kemudian muncul juga Maladi(mantan menteri zaman Orde Lama) dan Solo Di Waktu Malam Hari. (Japy Tambayong, 1992:307) b. Periodesasi Langgam Jawa(1950-1965) Rasanya sangat kurang ketika membicarakan musik keroncong tanpa memnbicarakan Langgam Jawa. Lewat tangan Ajaib Andjar Any, keroncong dimodifikasi menjadi langgam Jawa. Sewaktu keroncong mengalami masa “paceklik”, langgam Jawa masih mampu merebut hati pendengar musik tradisional. Bahkan eksis bersamaan dengan eksisnya musik keroncong. Pada tahun 1955 lagu Langgam Jawa mulai merebak. Memang pada era 1950an langgam Jawa semakin populer, beberpa diantaranya dipopulerkan oleh Orkes Keroncong Irama Langgam dan Orkes Keroncong Bintang Surakarta. Pada tahun 1959 diselenggarakan lomba lagu langgam Kembang Kacang yang berhasil mengorbitkan penyanyi Waldjinah sebagai Ratu Kembang Kacang. Yang memprakarsai lomba ini adalah RRI Surakarta bekerjasama dengan Perfini, pimpinan Umar Ismail. Lomba ini diadakan dalam rangka mempromosikan film Perfini yang berjudul “Delapan Penjuru Angin” yang dibintangi Citra Dewi. Dalam film tersebut lagu Kembang Kacang dijadikan Theme Song. Dengan dinobatkannya Ratu Kembang Kacang, Waldjinah diberi kesempatan menyanyikan lagu ini dalan pemutaran perdana film tersebut di Jakarta. Waldjinah merayap terus dan pemilihan bintang radio jenis keroncong tahun 1965 ia berhasil keluar sebagai juara nasional.(A.H Soeharto, 1996:55) Langgam Jawa sendiri sejatinya telah ada sebelum kemerdekaan, sehingga dalam proses membuat keroncong lebih dihargai, dan penggabungan dengan musik gamelan muncul. Selama abad 20, keroncong meluas ke kota-kota di Jawa Tengah dan membawa perubahan yang menonjol. Perubahan yang diterima ini adalah refleksi langsung dari system nilai dan norma tingkah laku antar kaum cosmopolitan di daerah kota dagang bagian utara Jawa dengan nilai dan norma tradisional yang asli, etika dan tingkah laku yang berkembang di Surakarta dan Yogyakarta.(Japy Tambayong, 1992:310) Keroncong juga kemudian digunakan berdampingan dengan musik tradisional Jawa yaitu Gamelan. Di Jawa Tengah keroncong dipadukan dengan musik gamelan (langgam Jawa) sehingga menjadi musik yang lebih dihargai . Instrument yang digunakan, selain alat keroncong yang sederhana, juga memainkan pola-pola melodi dari beberapa intrumen gamelan. Penyanyi keroncong paling populer di jawa tengah adalah waldjinah sebagai ratu kembang kacang atau ratu walang kekek, ia adalah seorang wanita yang cantik, elegan dan berbakat. Saat ini pengenalan vocal solo (bawa) yang biasanya ditemui di musik gamelan, sering digunakan yang biasanya ditemui di musik gamelan, seiring digunakan untuk membuka pagelaran musik keroncong . komposisi yang digunakan dari gabungan antara musik dan gamelan(langgam Jawa) adalah lagu paling populer..(A.H Soeharto, 1996:55) Tempat yang menjadikan langgam Jawa tetap eksis adalah Kota Solo. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena apresiasi terhadap langgam jawa sangat tinggi. Sementara itu, kota Solo yang tadinya merupakan gudang keroncong, memiliki lebih dari 30 (tiga puluh) orkes keroncong mulai layu satu persatu. Seniman tetap ingin maju berkresi namun berbagai tantangan dan hambatan kurang mendukung pertumbuhannya..(A.H Soeharto, 1996:57) Pada tahun 1960 makin menguatnya irama langgam Jawa. Tercatat beberapa seniman pencipta lagu langgam Jawa, antara lain: Anjar Any dengan lagu ciptaannya “Yen Ing Tawang Ana Lintang”. Tidak dapat disangkal langgam Jawa adalah anak kandung keroncong hasil perkawinannya dengan irama daerah Jawa. Langgam Jawa sendiri banyak digemari masyarakat..(A.H Soeharto, 1996:57) c. Periodisasi 1965 – 1970 Ketika Indonesia sedang mengalamu revolusi 1965 dimana terjadi ketegangan dunia dengan pecahnya dua blok besar, Blok Barat dipegang oleh Amerika dan Blok Timur dipegang Oleh Rusia. Pemerintah era Soekarno, justru mencondongkan kebijakan dan kiblat politik ekonominya ke Blok Timur yang berhalauan komunis. Ini mau tidak mau berpengaruh juga terhadap nilai budaya yang diserap lewat hubungan internasional tersebut. Tidak mengherankan apabila Soekarno melarang rakyatnya untuk mengkonsumsi produk-produk yang berbau kebarat-baratan. Letak kota Solo yang secara geopolitics sangat strategis, terlebih lagi pada masa itu iklim politik di kota Solo begitu bercorak. Sebagai partai dominan waktu itu adalah PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada pemilu 1955, PKI mendapat suara terbanyak di Solo yaitu sebesar 736, kemudian disusul oleh PNI sebesar 595. (Subagio Reksodipuro1980: 2) Pada masa tahun 1960an, seni musik komersial mulai masuk di Indonesia. Gerakan masuknya musik komersial ke Indonesia, karena merupakan respon dari tekanan-tekanan yang ada, baik dari dalam maupun dari luar. Dan musisi Jawa akhirnya terjun ke pementasan yang komersial untuk menghasilkan uang dari orangorang asing, seperti halnya dengan orang-orang Bali yang telah berhasil melakukannya. Musisidan seniman Jawa ingin menarik golongan kelas menengah yang sangat menyukai seni tradisional(saat ini keroncong bagian dari seni tradisional) dengan tampilan yang lebih modern. Untuk musik keroncong sendiri, modernisasi yang dilakukan berarti harus menambah instrument orchestra ke dalam kelompok yang lama dan menulis aransemen lagu. Inovasi ini pertama kali dipentaskan dalam world’s Fair pada tahun 1961 oleh satu orkes keroncong yang dipimpin oleh jenderal Pirngdie dengan aransemen baru disebut “keroncong bea”.(Budiman, 1976:150) Salah satu album yang terkenal adalah “a tribute heroes”, dia juga menyebut keroncong sebagai “musik rakyat yang mengekspresikan suasana hati dan alam”, dan memberikan lagu-lagu yang lembut dan melodis. Namun lagu-lagu tersebut sangat patriotis karena memuji pahlawan kemerdekaan, presiden Soekarno mendukung langkah-langkah yang ditempuh Pirngadie untuk menciptakan suatu musik nasional. Meskipun usaha untuk membuat lagu-lagu yang dapat dikeroncongka telah ada, namun seringkali aransemen musiknya gagal menggambarkan kesan keroncong adalah musik nasional.(Budiman, 1976:150) Terlebih lagi, banyak elite di Jakarta mulai memiliki citarasa lain yaitu ketertarikan pada musik Hawaii. Sikap anti barat Soekarno terhadap barat ini memang memberi ketrbukaan besar terhadap eksistensi musik nasional termasuk keroncong. Sorkarno amat anti dengan musik barat yang disebutnya dengan musik ngak ngek ngok. Bahkan musik yang mengekor kepada baratpun dibrendel seperti halnya yang pernah terjadi pada Koes Plus(dimana gaya permainannya mengekor pada The Beatles). Perbaikan ini juga menimbulkan efek balik karena langkah yang diambil Soekarno itu tetap berhalauan politis.(Budiman, 1976:150) Setelah jatuhnya soekarno pada 1966, pemerintah digantikan oleh Soeharto dan kebijkan-kebijakan baru pun terbuka. Pengaruh barat mengalir deras masuk ke Indonesia. Perlahan-lahan pamor keroncong juga mulai menurun diterpa arus musik modern. Di Solo sendiri, mundurnya musik keroncong juga disebabkan menjamurnya pusat hiburan yang menyajikan musik-musik modern. Selain itu matinya kelompok orkes keroncong juga membuat eksistensi keroncong menurun. Hal ini terjadi hingga sekarang dimana keroncong seolah hilang dari pasar musik di Nusantara. Matrik 4.1 Sejarah Musik Keroncong No Sebelum Kemerdekaan Sesudah Kemerdekaan 1. Keroncong Sudah ada Di Kota Pada Tahun 1960an Keroncong mencapai Solo sejak jaman Belanda, masa jayanya, ini dikarenakan keadaan terbukti dengan adanya politik Orde Lama yang melarang masuk pergelaran-pergelaran keroncong dan diputarnya musik-musik barat, karena masa lalu pemerintahan waktu itu cenderung anti barat 2. Pada masa Penjajahan Jepang Eksistensi keroncong mulai memudar Keroncong menjadi Satu-satunya setelah Orde Lama runtuh, derasnya arus musik yang diputar di radio, dan budaya barat yang masuk dan mengkikis menemani pejuang dalam eksistensi keroncong pada Tahun 1970an, merebut kemerdekaan untuk itu mincullah keroncong dengan kemasan baru yaitu Langgam Sumber: Data Sekunder tahun 2016 C. Keadaan Musik Keroncong Di Kota Solo Saat Ini Setelah sejarah panjang musik keroncong yang telah dijabarkan diatas, kini keroncong telah habis masa keemasannya, hal ini terbukti tidak banyak pelaku industry musik yang mau melakukan produksi rekaman musik ini.Hal ini tak lepas dari pengaruh perkembangan jaman yang kian maju. Hal ini diungkapkan oleh ketua HAMKRI Cabang Surakarta Bapak Wartono “ Setelah Orde Lama berkahir keran-keran budaya mulai dibuka, masuklah musik-musik barat seperti Rock, Jazz, dan Pop. Hal seperti ini membuat Keroncong semakin terdesak dan ini sudah berlangsung beberapa decade ini” Sistem politik yang berubah juga telah mempengaruhi keroncong, masa orde lama yang telah membesarkan musik keroncong berganti dengan orde baru yang lebih liberal.Selera musik masyarakatpun mulai bergeser dengan adanya aliran-aliran musik barat yang masuk ke Indonesia.Lambat laun keroncong seperti hilang tergerus derasnya aliran-aliran baru yang mengacu pada musik barat. Masyarakat yang cenderung jenuh dengan musik-musik tradisional telah berbondong-bondong menyukai musik modern seperti musik Rock. Akan tetapi beberapa tahun belakangan ini budaya-budaya tradisional mulai menggeliat kembali, termasuk musik keroncong. Masyarakat sedikit demi sedikit mulai sadar akan budayanya. Seperti ungkapan Pak Wartono. “tetapi sekarang ini seperti kesenian wayang orang mulai banyak lagi yang nonton. Seakan muncul kerinduan terhadap budaya kita termasuk keroncong. Masyarakat mulai sadar bahwa budaya kita ini menarik, maka dari itu kita sediakan media semaksimal mungkin” Musik keroncong mulai diminati kembali walaupun belum seperti masa keemasannya.Tetapi pelestarian keroncong dan minat masyarakat sendiri mulai menunjukan hasil yang positif.Di Solo sendiri geliat keroncong ditunjukan oleh banyaknya komunitas keroncong yang mencapai puluhan.Kesadaran inilah yang menjadi modal yang besar untuk mengembalikan keroncong seperti masa jayanya menjadi hal yang tidak mustahil. “sekarang ini sudah banyak upaya-upaya dari kita, kita pakai prinsip tak kenal maka tak sayang, makanya sekarang kita mengenalkan lagi musik keroncong pada anak-anak kecil, terus di sekolah sekolah juga ada ekstrakulikuler keroncon, jadi keroncong ini ada regenerasinya, walaupun belum seperti dulu” Keterbiasaan masyarakat Solo terhadap musik keroncong juga menjadi andil penting dalam pelestarian ini.hal ini terlihat setiap adanya pergelaran keroncog di Kota Solo masih banyak di datangi. Setidaknya ada seratusan orang datang meniknati musik keroncong di Joglo Sriwedari pada hari Jumat 8 Januari 2016 kemarin yang telah peneliti amati. Gambar 1.1 Keroncong Joglo Sriwedaro Sumber : Dokumentasi Penulis Yang menarik ketika kita membahas Keroncong dan Solo pada saat ini adalah masyarakat pendengarnya.Masyarakat pendengar adalah masyarakat yang mendengarkan keroncong bukan karena mereka ikut-ikutan, tetapi mereka yang mendengarkan keroncong karena benar-benar suka.Nyatanya pergelaran-pergelaran keroncong seperti keroncong cakrawala RRI dan Keroncong Joglo Sriwedari yang kebetulan penulis hadiri di datangi oleh ratusan orang yang rela menembus hujan demi mendengarkan keroncong.Membentuk masyarakat pendengar tidak mudah, karena membentuk masyarakat pendengar harus melibatkan psikologis seorang pendengar, dan sisi sosiologis dari bagaimana lingkungan dimana si pendengar itu tinggal.Contohnya begini mengapa di Semarang atau di Jogja yang memiliki kedekatan budaya dengan Solo tidak bisa menyelenggarakan pergelaran keroncong sekelas SKF?Karena betapa terbiasanya masyarkat Solo dengan keroncong di banding masyarakat di Jogja dan Semarang.Karena keroncong sendiri sudah menjadi keseharian warga Solo.Diputar di radio setiap malam sebagai pengantar tidur, disiang hari sebagai teman beraktifitas, hiburan dalam hajatan.Secara tidak langsung hal-hal tersebut telah membentuk masyarakat pendengar bagi musik keroncong.Sebenarnya hal inilah yang perlu dipertahankan untuk pelestarian keroncong. Pak Wartono sendiri memiliki relasi keberbagai kota termasuk Jogja. Perkembangan keroncong di kota Solo saat ini masih belum dapat diprediksi, banyaknya selera masyarakat terhadap berbagai jenis musik memakas para seniman keroncong untuk memutar otak agar keroncong tidak tertinggal. “keroncong Solo pada masi ini itu adalah keroncong dalam persimpangan, dalam persimpangan itu maksudnya begini, pertama, kita tidak bisa memprediksi keroncong ini mau dibawa kemana, hal ini dikarenakan adanya komunitas yang beragam, dan mereka bermain-main dengan musik keroncong, misalkan ada yang main Congrock yang ada unsure musik rocknya, kalo kita bicara itu bukan milik kita, itu hanya selera segelintir orang saja yang ingin bermain-main dengan genre keroncong itu sendiri” Selain itu keroncong dalam persimpangan dalam pengertian ini pak Wartono juga menjelaskan bahwa musik keroncong ini akan dilestarikan sebagai cagar budaya atau akan terus berkembang “yang keduanya, keroncong ini tidak tau mau dibawa kemana, mau dijadikan cagar budaya, kalau dijadikan cagar budaya keroncong akan tetap dibiarkan seperti ini tidak boleh dirubah bentuknya, kalau ini terjadi maka keroncong akan ketinggalan kereta, pada akhirnya masyarakat akan dibuat menjadi jenuh kembali, atau dikembangkan mengikuti perkembangan jaman, nahh ini yang sulit, karena keroncong ini memiliki pagar-pagar pembatas dalam musikalitasnya, jika salah perhitungan cirikhas keroncong akan hilang” Ciri khas dari keroncong Solo sendiri adalah musik “ngelaras”, musik yang mengalun mendayu-dayu yang terpengaruh dari ketukan gamelan jawa. Inilah yang membuat keroncong Solo berbeda dengan keroncong dari daerah lain. Keroncong Solo bukan musik untuk dipentaskan tetapi musik yang dinikmati. “ keroncong Solo ini adalah musik ngelaras kalo orang Jawa bilang, jadi kalau orang mau ngelaras keroncong itu ya di Solo tempatnya. Itulah mengapa kadaan keroncong di Solo ini cenderung masih banyak penikmatnya. Berbeda dengan keroncong Semarang yang permainannya cenderung cepat, kalau orang mau ngelaras ya ngga dapet apa-apa” Keroncong Solo memiliki keunikan tersendiri dimata penggemarnya, di Solo yang kental dengan budaya Jawa yang dikenal dengan kehalusan dan kesopanannya juga mempengaruhi ciri musik keroncong. Alunan musik keroncong Solo juga terpengaruh dengan Gending Jawa, jadi keroncong Solo cenderung mengalun lembut tetapi masih dalam pagar-pagar pembatas musik keroncong sehingga paten-paten musik keroncong masih dipertahankan.Hal ini yang mempengaruhi pendengarnya, musik keroncong Solo menjadi nikmat untuk didengarkan, cocok bagi masyarakat Solo yang mempunyai hobi “ngelaras” setelah bekerja. D. Peran HAMKRI Surakarta Terhadap Pelestarian Musik Keroncong Di Solo Ketika kita berbicara tentang keroncong, itu tidak bisa lepas dari HAMKRI singkatan dari Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia.Seperti yang diungkapkan pak Wartono HAMKRI terbentuk pada tahun 1976.HAMKRI terbentuk atas kegelisayan R. Maladi yang saat itu menjabat sebagai Mentri Pemuda Dan Olahraga atas terpuruknya musik keroncong pada masa itu. “Waktu itu seniman-seniman seperti Bu Waldjinah dan Gesang dipanggil kejakarta dalam rangka kegelisahan Pak Maladi, atas terpuruknya keroncong karena banyaknya genre-genre musik baru yang masuk ke Indonesia, maka dibentuklah HAMKRI” HAMKRI sebagai organisasi yang bertujuan untuk melestarikan keroncong setelah keroncong mengalami penurunan penggemar seara drastis. Awal mulanya HAMKRI didirikan seperti organisasi lain, tetapi perkembangannya HAMKRI mulai berubah menjadi organisasi yang berbeda. Anggotanya pun tidak jelas. Menurut pak Wartono, ini mungkin karena sifat seniman yang tidak mau repot, “HAMKRI pada mulanya seperti layaknya organisasi lain, terstruktur, susunannya jelas, tetapi ini tidak jalan, HAKRI sekarang ini berubah tidak seperti organisasi pada umumnya, jadi kita tidak bisa memaksakan kewajiban pada setiap anggotanya, jadi di Solo istilah Anggota HAMKRI itu tidak ada, mungkin karena sifat seniman yang cuek ya, mereka di suruh buat KTA aja susah, padahal biayanya gratis,bergerak ya berherak saja pokoke main keroncong yo main begitu”. Hal lain yang berubah adalah peran hamkri, yang awalnya sebagai himpunan dan sebagai wadah kini berubah menjadi motivator dan penyedia ruang bagi mereka yang peduli terhadap keroncong, bukan hanya komunitas, tetapi mereka penikmat, juga aktifis yang bergerak dalam pelestarian keroncong. Hal ini menjadi penting karena jika tidak diberi ruang, maka keroncong lambat laun akan punah. Ketiadaan ruang menjadikan pelestarian keroncong ini sia-sia.Tidak ada ruang berarti tidak ada pentas keroncong. “peran HAMKRI sendiri sekarang juga berubah, bukan sebagai wadah dan himpuan artis keroncong, tetapi sebagai motivator dan penyedia ruang bagi mereka penggerak keroncong, bukan hanya artis saja, tetapi juga penikmat dan aktivis” Banyak sekali hal yang telah dilakukan HAMKRI dalam pelestarian musik keroncong.HAKRI telah menyediakan media sebanyak-banyaknya bagi keroncong agar tumbuh subur kembali, contoh saja SKF, Keroncong Cakrawala RRI dan Keroncong Joglo Sriwedari yang rutin diadakan. “kalau upaya sudah banyak, misalkan kita menarik orang yang peduli terhadap keroncong sebanyak-banyaknya, baik tua muda, kita sediakan media semaksimal mungkin untuk mereka, missal kita mendekati RRI untuk setiap minggu ke-2 tampil, terus minggu pertama Pojok Pamor juga, terus diadakan di Joglo acara kita sendiri, pokoknya kita sediakan, dan itu rutin” HAMKRI sebagai motivator bagi penggerak keroncong juga sering mengadakan lomba keroncong yang diikuti oleh anggota PKK setiap kelurahan.Hal ini dilakukan sebagai pengenalan kembali keroncong, menemukan bibit-bibit keroncong untuk regenerasi kedepannya. “ kita sering mengadakan lomba di tingkat PKK kelurahan, instrument kita yang sediakan, karena saya sadar bahwa sekarang ini banyak bibit-bibit keroncong yang belum tumbuh atau bibit yang sudah tumbuh tapi sementaera layu. Nah ini yang kita perlukan untuk regenerasi, agar keroncong terus ada. Tetapi langkah HAMKRI tidak selau mulus, dalam setiap usaha pasti ada hambatan yang dihadapi, salah satunya adalah segi fiansial, karena HAMKRI sekarang ini bergerak dari dana pribadi dan sumbangan dari orang-orang yang peduli dengan musik keroncong. “bantuan dana dari pemerintah sekarang sudah tidak ada, sekarang kita bergerak dengan kantong pribadi, ada sumbangan sukarela dari pihak-pihak yang mensuport keroncong, kalau dibilang susah ya susah, tetapi kita harus tetap jalan, mbuh pie carane, karena saya sendiri juga menyadari bahwa keroncong ini adalah air mandi saya, dalam keroncong saya menemukan jati diri saya” Hambatan lain adalah dari segi musikalitas, keroncong, adalah musik yang tidak mudah untuk di mainkan, tidak semua musisi bisa bermain keroncong.Brand kerocong sebagai musik kuno telah melekat pada pemikiran orang-orang yang menggeluti seni musik.Ada semacam pantangan untuk segelintir musisi untuk menyentuh musik keroncong ini. “kadang-kadang mereka terutama anak muda, enggan yang mau diajak main, alasannya beragam,ada yang bilang musik kuno lah, males lah, katanya ga ada tantangannya, alasan ga bisa, banyak pokoknya, padahal mereka juga sering ngeband” Sebagai penggerak keroncong HAMKRI mempunyai harapan yang besar terhadap musik keroncong di kota Solo ini. Harapan terbesar HAMKRI seperti yang di sampaikan Pak Wartono adalah mengembalikan masa kejaayan keroncong seperti masa lalu. “harapan HAMKRI itu untuk mengembalikan keroncong seperti masa jayanya. Keroncong lebih dikenal dunia sebagai identitas budaya Indonesia, seperti orang kalau ada pergelaran musik Rock, mereka tau kalau itu adalah musik rock, sama halnya keroncong, kalau orang Indonesia kalau ada pergelaran keroncong mereka tau itu keroncong, kita pengennya juga begitu untuk orang luar negeri, agar keroncong ini bisa mendunia” Keroncong menjadi warisan budaya asli Indonesia, tentu masyarakat Indonesia harus merasa memiliki.Bagi Pak wartono yang memiliki cita-cita besar terhadap musik keroncong pelestarian sangat penting, tetapi pelestarian ini juga membutuhkan perhatian dari semua pihak tanpa terkecuali, karena ini menyangkut budaya kita, pemerintah, masyarakat pada umumnya dan terlebih lagi generasi penerus.Karena tanpa regenerasi pelestarian hanya omong kosong belaka, jika perlu keroncong menjadi musik yang mendunia seperti halnya Jazz dan Rock. E. Peran komunitas di Kota Solo dalam melestarikan musik keroncong Kota Solo merupakan kota Budaya yang memilik berbagai macam kearifan local, salah satunya adalah musik keroncong. Meskipun tidak lahir di kota Solo, tetapi musik keroncong tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang mengenai hiburan di Kota Solo. Tetapi dengan berkembangnya musik modern, kerocong seolah-olah hilang terkikis oleh industri musik modern yang kian hari kian beragam. Musik kerocong dianggap musik yang kuno dan ketinggalan jaman oleh sebagian besar penikmat musik di kota Solo. Dengan adanya anggapan seperti itu, label-label rekaman seakan enggan untuk memasukan musik keroncong ke dalam industri musik di Indonesia. Dengan begitu eksistensi keroncong pun mulai memudar. Dengan adanya masalah tersebut munculah aktor-aktor yang sadar bahwa keroncong adalah kearifan local yang perlu dilestarikan. Dengan kesadaran itu aktor mulai mendirikan komunitas yang berfokus pada pelestarian musik keroncong di Kota Solo yang lebih dikenal dengan Orkes Keroncong. sebagai komunitas yang menduduki kota Solo dan bertindak secara kolektif untuk menjadi komunitas yang kreatif, studi ini menemukan tindakan social yang dilakukan oleh Orkes Keroncong dan diwujudkan dalam berbagai macam kegiatan. Hal ini berhubungan dengan selogam Kota Solo: Solo Kota Budaya dan Solo The Spirit of Java. Apabila keroncong yang merupakan musik tradisional dan salah satu kearifan local hilang dari kota Solo berarti selogan itu hanyalah tulisan-tulisan kosong yang terpampang disetiap sudut Kota Solo. Oleh sebab itu dengan adanya Komunitas Keroncong ini akan menjadi ruang bagi masyarakat yang sadar budaya di kota Solo untuk melakukan aksi, sehingga dapat mewujudkan tujuan bersama melalui langkah-langkah yang tepat. Hal tersebut dilakukan beberapa kegiatan dari komunitas keroncong sendiri agar keroncong tetap ada dan lestari. Dalam hal ini peneliti mengambil tiga sample Komunitas yang dianggap besar di Kota Solo yaitu Orkes Keroncong Kalimaya, Orkes Keroncong Purwa Nada dan Orkes Keroncong Bali Nada. 1. Purwanada Orkes Keroncong Purwanada berdiri pada akhir tahun 1998 di Kampung Purwodiningratan, Kelurahan Purwodiningratan, Kecamatan Jebres, Surakarta. Bermula dari kecintaan Bapak Anton terhadap keroncong, beliau ingin terus bermain keroncong. Awal mula terbentuknya hanya tiga orang yang bergabung yaitu teman semasa sekolah dari bapak Anton. Kemudian bapak Anton meminta bantuan kepada pengurus LPMK setempat, dan disarankan untuk membuat proposal ke Kalurahan untuk meminta batuan perlengkapan dan alat musik. Dan akhirnya bantuan pun diterima. Alat pun dibeli dan perlengkapan akhirnya tersedia. Pada awalnya nama Orkes ini bernama Orkes Latar Ombo dalam bahasa Indonesia berarti Halaman yang luas, karena pada awalnya orkes ini dimainkan di halaman rumah bapak Anton. Dengan keenam rekannya semasa sekolah pak Anton merintis orkes ini. Dengan lengkapnya alat bapak Anton mulanya ingin memperkenalkan musik keroncong pada warga sekitar terkhusus anak-anak muda yang sedang gandrung oleh musik modern. Baru pada tahun 2007 setelah menerima bantuan tahap ke dua dari Pemkot Surakarta barulah orkes ini berganti nama Purwanada. Purwanada diambil karena orkes ini bertempat di Kalurahan Purwodiningratan dan kata “nada” diambil dari satuan bunyi dalam musik. Kini Purwanada telah menjadi orkes yang dikenal karena kekreatifannya dalam permainan musik keroncong. orkes ini telah tampil diberbagai event di kota solo, seperti Keroncong Bale, Keroncong Joglo, dan bahkan sekelas Solo Keroncong Festival. Orkes ini telah beranggotakan 9 orang dari warga sekitar dan 2 orang dari luar Purwodiningratan. Sama halnya dengan dengan komunitas lain, Purwanada juga punya kegiatan, kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan keroncong yang bertujuan untuk melestarikan keroncong, sperti yang diungkapkan oleh Pak Anton, “ kalau kegiatan kita sendiri, kita main di Car Free Day Juanda setiap Minggu pagi, kalau event-event kita ikut main di Balai Sudjatmoko dan Joglo Sriwedari sama setahun sekali main di Pra Event Solo Keroncong Festival di Pasar Gede dan SKF juga” Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Pak Yadi bahwa kegiatan tersebut untuk menarik minat masyarakat terhadap musik keroncong. “purwanada main di CFD di dekat Soto Pojok depan SD Warga, untuk mengenalkan permainan kami di penggunjung CFD, terutama anak muda, karena harus ada regenerasi dalam musik keroncong ini, kalau ngga mustahil bisa jalan” Kegiatan tersebut berhasil menarik banyak penonton, karena pemilihan tempat yang strategis karena setiap minggu pagi tempat tersebut berada didekat tempat makan yang ramai. Pak Anton berpendapat itu adalah langkah kecil yang penting karena purwanada ingin menegaskan bahwa musik keroncong masih layak untuk dinikamti seluruh golongan masyarakat.Terlebih anak muda yang sedang gandrung dengan musik modern. Dengan adanya kegiatan ini orkes keroncong seakan-akan ingin menunjukan bahwa musik keroncong belum hilang, keroncong masih ada. Dalam aksi ini orkes keroncong tak hanya membawakan lagu-lagu keroncong dan langgam Jawa klasik seperti Jembatan Merah, Bengawan Solo, Caping Gunung dan Walang Kekek. Namun juga lagu-lagu Populer seperti Kisah Sedih di Hari Minggu dari Koes Plus yang dimainkan dengan nuansa keroncong dan lagu Jawa seperti Nunut Ngiyup yang dipopulerkan oleh Didi Kempot dan masih banyak lagi. Hal ini dilakukan agar keroncong terlihat lebih menarik, dan menurut pak Anton keroncong adalah musik yang fleksibel bisa berbaur dengan sebagian musik yang ada. Dari kegiatan itu orkes keroncong semakin memperkenalkan diri sebagai salah satu komunitas yang melakukan hal positif untuk selalu melestarikan musik tradisional Keroncong di Kota Solo. Dengan adanya komunitas yang aktif dalam melakukan hal seperti ini demi menjaga keberadaan musik keroncong. keberadaan komunitas keroncong telah menunjukan bahwa keroncong bukan musik yang kaku, dan ketinggalan jaman. Dan semakin mempertegas bahwa Solo adalah gudangnya komunitas keroncong. Untuk melestarikan keroncong bukan perkara yang mudah, sehingga diperlukan perjuangan yang berat dari setiap personil komunitas keroncong yang harus mencurahkan pikiran dan materi mereka untuk menggembangkan komunitas ini. Contohnya menciptakan lagu, dalam hal ini OK Purwanada telah menciptakan lagu-lagu keroncong, salah satunya berjudul “Solo Kotaku” yang liriknya kira-kira begini: “Solo Kotaku yang berseri dan menawan, engkau bagai rembulan purnama bersinar terang. Pesonamu adalah nostalgia disaat aku ada diperantauan. Terkenang selalu saat ku jauh darimu………” Untuk menjaga kualitas musik keroncong yang dibawakan OK Purwanada rutin mengadakan latihan. Hal ini menunjukan bahwa Purwanada benar-benar serius dalam pelestarian keroncong. Selain meningkatkan kualitas dalam bermusik, latihan juga bertujuan untuk mengenalkan dan menggaungkan kembali musik keroncong. Seperti yang di ungkapkan pak Anton. “Latihan pertamanya hari Jumat, tetapi ada pengajian yang rampung jam 10 malam mau diterusin latihan juga kemalaman akhirnya diganti hari Selasa malam jam delapan sampai jam sepuluh. Kita latihan bukan hanya pengen lebih bagus, tapi juga mau menarik minat warga, atau orang lewat biar mereka tau kalau .”keroncong masih ini masih ada. Makanya latiannya di luar kalau ngga hujan” Dalam pelestarian ini tidak selalu lancar dalam melakukan kegiatan-kegiatan komunitas, pasti ada hambatan dalam melakukan pelestarian keroncong ini, hambatan-hambatai itupun beragam. Ada yang muncul dari internal komunitas ada juga hambatan dari luar komunitas. Banyak yang belum mengerti pentingnya melestarikan musik keroncong yang adalah musik yang menjadi saksi perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan ini. Seperti yang di ungkapkan bapak Yadi : “ ya kita menyadari mas kalau semua oranh itu belum tentu suka keroncong, kaya ada yang protes suaranya mbrebeki, ganggu jalan, tapi kalau melarang sih belum ada” Dan hambatan dari internal komunitas sendiri muncul dari segi financial yang semakin hari semakin berat. Begini tanggapan Pak Anton: “sekali latihan saya harus menyiapkan dana seratus dua puluh ribu, itu belum bayar yang amin fluite dan biola. Terus buat peremajaan alat itu butuh dana yang besar, sebenarnya ada bantuan dana dari kalurahan sepuluh juta, tapi buat peremajaab sound dan alat yaudah uang habis pakai” Dengan adanya hambatan tersebut tak menyurutkan semangat Purwanada untuk tetap berjuang melestarikan musik keroncong di kota Solo. Mereka tetap berusaha memperkenalkan kembali keroncong yang eksistensinya mulai memudar dan betapa pentingnya menlestarikan kearifan lokal agar tidak diambil oleh bangsa lain. Karena dengan demikian keroncong di kota Solo akan tetap ada, Solo akan tetap menjadi Kota Keroncong. 2. Orkes Keroncong Kalimaya. Orkes Kalimaya berdiri pada tahun 2013, didirikan oleh Pak Warso Batik, bertempat Kampunng Mutihan, Kelurahan Sondakaan, Kecamatan Lawean, Solo. Awalnya Orkes Kalimaya adalah Orkes Melayu dari tahun 1999, tetapi karena tergeraknya Pak Warso Batik melihat keadaan keroncong yang mulai menggeliat pada waktu itu, Pak Warso Batik ingin ikut serta melestarikan keroncong sebagai kearifan local. “Pengennya ya melestarikan, saat ini keroncong Solo itu sudah lumayan bagus, tapi kalo kita ikut serta dan menarik banyak orang lain lagi untuk ikut peduli kan ya lebiha bagus lagi” Sama seperti Purwanada Orkes kalimayapun mempunyai agenda dan cara tersendiri untuk melestarikan keroncong ini, kegiatan yang dirasa efektif oleh Bapak Warso Batik adalah menyediakan hiburan musik keroncong di Acara-acara hajatan secara gratis. “Kalimaya itu tujuannya bukan mencari untung, tapi benar-benar murni melestarikan, kita kalau di undang ke hajatan gitu ya ga ditarik biaya, yang penting kita main dan orang-orang tau kalau musik keroncong itu musik indah dan harus dilestarikan” Latihan bagi Kalimaya adalah hal yang sangat penting. Karena OK Kalimaya memiliki tempat yang luas seringkali Orkes Kalimaya mengadakan latihan bersama Orkes lain di wilayah Surakarta dan sekitarnya seperti Klaten dan Boyolali, serta Sukoharjo. Latihan ini rutin diadakan sebulan sekali. Menurut Pak Warso Batik, selain untuk latihan, hal ini bisa dijadikan hiburan untuk warga sekitar, dan akhirnya akan menarik minat warga dan akhirnya menyadari bahwa musik keroncong itu menarik. “ Latihannya setiap Kamis malam jum’at, jam tujuh malam sampai jam dua belas, kalau setiap kamis ke tiga, kita adakan latihan gabungan, empat sampai enam orkes, jadi rame, orang Pajang, Baron banyak yang datang nonton” Seperti dalam usaha lain Kalimaya pun mengalami beberapa hambatan, hambatan yang datang dari dalam dan luar. Hambatan dari dalam sering kali datang dari anggotanya, anggota tetap yang dimiliki kalimaya hanya tujuh orang saja, itupun sudah termasuk penyanyi. Anggota lain berasal dari luar, maksudnya anggota tidak hanya bermain di Kalimaya tetapi juga bermain keroncong di orkes lain, jadi jika anggota yang berasal orkes lain sedang menghadiri acara lain, maka latihan akan terganggu karena Pak Warso Batik harus mencari anggota cadangan untuk melengkapi anggotanya. “Halangannya kalau ada anggota yang tidak datang, karena anggota saya yang tetap Cuma ada tujuh yang lain orang luar, kalau pas orkesnya main ya saya harus cari pocokan” Halangan dari luar disampaikan oleh bapak Ari yang juga merupakan penyanyi dari Kalimaya. Beliau mengatakan hambatan dari luar adalah sulitnya mengajak kaula muda untuk bermain keroncong, sekarang masih sedikit pemuda yang mau bermain keroncong. “ngajak pemuda itu susah mas, katanya keroncong itu sulit, padahal mereka juga main musik pop, kalau ditawari main keronco ga mau katanya ga bisalah, banyak alasannya” Walaupun keadaan keroncong di Solo saat ini sudah, tetapi jika tidak adanya pelestarian maka keroncong lambat laun akan hilang terkikis tren yang akan muncul selanjutnya, maka dari itu Pak Warso Batik berharap adanya pelestarian berkesinambungan terhadap musik keroncong, dan pemerintah juga seharusnya ikut serta dalam peletarian karena Pak Warso menganggap pemerintah cenderung cuek terhadap keroncong. “Harapan Saya ya pelestarian keroncong bisa lebih ditingkatkan lagi, pemerintah lebih member perhatian lah, kasian teman-teman yang orkesnya harus bubar karena terkendala dana, kalau pengusaha sih mungkin masih bisa untuk menjalankan orkes dengan uangnya sendiri tapi yang lain yang orkes kecilkecil itu kasihan, semangatnya besar tapi ga bisa tersalurkan”. Gambar 4.2 Ket Gambar : Orkes Kalimaya Sumber : Dokumentasi Penulis 3. Bali Nada Bali Nada adalah orkes keroncong yang berdiri pada tahun 2006 dengan Bapak Agus Sumarno sebagai ketuanya. Bali Nada beralamat di Kalurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres. Bali Nada terbentuk atas kepedulian Bapak Agus Sumarno yang juga adalah pengurus HAMKRI Solo. Beliau mempunyai andil yang besar bagi pelestarian keroncong di Solo, selain sebagai ketua dari Bali Nada beliau juga menjadi Donatur bagi beberapa orkes keroncong lain, salah satunya adalah Purwanada. Menurut beliau keroncong Solo tidak akan bisa lestari jika tidak adanya kepedulian pengusaha, karena pemerintah tidak banyak ikut andil dalam pelestarian musik keroncong. “ Sekarang ini keroncong itu sedang kesulitan, maka saya dengan kemampuan saya saat ini yang saya rasa saya mampu untuk memberi sedikit dalam keberlangsungan musik keroncong di Solo, soalnya kalau jagake dari bantuan pemerintah saja yang tidak jelas ya akan koleps keroncong ini, jadi pengusaha harus bergerak” Bali Nada adalah Orkes yang memliki anggota tetap paling banyak yaitu mencapai 30(tiga puluh)an anggota tetap. Dengan modal seperti itu Bali Nada menjadi Orkes yang paling kreatif dan sudah terkenal tidak hanya di Solo saja namun juga di Seluruh Indonesia, karena Bali Nada telah bermain keroncong hingga ke negeri tetangga yaitu Malaysia. “kalau bali nada ini anggotannya paling banyak ada tiga puluhan, Bali nada pernah main samapai Malaysia ada event di sana dan kita di Undang” Selain itu Bali Nada memliki aturan yang harus dipatuhi oleh seluruh anggotanya yaitu semua anggota tidak boleh bermain di orkes lain jika Bali Nada sedang mengadakan latihan atau menghadiri event, dan anggota yang sudah memiliki anak wajib mengenalkan keroncong ke anaknya. “ dalam Bali Nada itu ada aturan, yaitu Bali Nada tidak boleh di nomor dua kan, artinya begini, setiap anggota yang juga bermain di Orkes lain, tidak boleh bolos kalau pas Bali Nada ada acara, kecuali kalau sakit, atau keperluan yang lebih penting, kalau pas orkesnya bentrok ya dia harus main di Bali Nada, soalnya itu sudah di sepakati dulu, bukannya apa-apa, pemain kalau ganti itu satu sama yang lain kadang ngga cocok akhirnya mainnya jadi berantakan, satu lagi kalau yang udah punya anak wajib minimal mengenalkan keroncong dari dini, syukur-syukur mau ngajari main alat musik keroncong, itu lebih bagus. Latihan juga diadakan secara rutin seminggu dua kali yaitu selasa dan Jum’at. Balinada memiliki gedung latihan dan sanggar keroncong jadi tidak ada masalah bagi Bali Nada untuk melaksanakan Latihan rutin. “ Latihan rutin tiap hari selasa dan Jum’at, karena kita punya tempat latihan sendiri dan itu indoor jadi latihan bisa dilaksanakan tanpa ada halangan seperti hujan, Latihan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan musikalitas Bali Nada” Harapan Bagi Bali Nada menurut Pak Agus Sumarno adalah musik keroncong kembali dicintai masyarakat, dan mampu bersaing dengan musik populer dewasa ini. Dan lebih banyak pengusaha yang peduli terhadap keroncong karena menurut beliau, jika pemerintah acuh, pengusaha masih mampu untuk memberikan dukungan terhadap musik keroncong. “Harapan saya ya keroncong lebih bisa bersaing, seperti Dangdut kan sekarang juga berhadapan langsung dengan musik industri sekarang, lalu lebih banyak pengusaha yang peduli, saya kira pengusaha saja cukup untuk keberlangsungan keroncong, tidak usah nunggu pemerintah” Gambar 4.3 Keterangan Gambar: Bali Nada saat mengisi acara keroncong cakrawala RRI Sumber: Dokumentasi Penulis Matrik 4.2 Kegiatan Komunitas No. Komunitas 1. HAMKRI 2. Purwanada Peran - Sebagai motivator bagi komunitas - Penyedia Ruang bagi komunitas - Penggerak Komunitas Keroncong - Pelestari Keroncong - Mengenalkan kembali musik keroncong pada masyarakat 3. 4. Kalimaya Balinada - Pelestari Keroncong - Sanggar bagi latihan kolektif - SupportingBagi Komunitas lain - Pelestari Keroncong Sumber :Data Primer 2016 F. Kondisi Sosial Budaya yang mendukung Keberadaan musik keroncong Musik Indonesia, sebuah kata yamg bisa berarti musik yang asli Indonesia, tapi juga bermakna dunia musik yang berkembang di Indonesia, tanpa embel-embel-ebel asli Masih bisa diperdebatkan, karena sejatinya musik Indonesia dipengaruhi oleh banyak warna, seperti halnya keroncong yang di klaim sebagai musik asli Indonesia. Walau dalam sejarahnya, keroncong justru kental dengan aroma Portugis, karena secara historis keroncong memang dibawa oleh pelaut-pelaut Portugis yang kemudian perlahan berkembang di pesisir pantai Batavia menyebar ke pelosok Indonesia. Musik sejenis keroncong, lalu gambang kromong Betawi tentunya mendapat pengaruh besar yang menjadikan eksistensi ini sendiri menguat serta melemah. Sebagai bagian dari seni, maka keroncong adalah produk budaya manusia. Banyak factor yang mempengaruhi keberadaan keroncong sebagai musik tradisional. Di Solo sendiri seperti yang dipaparkan pada pembahasan sebelumnya keroncong melalui perjalanan panjang. Adanya musik keroncong di kota Solo tak lepas dari keadaan social budaya yang mendukung adanya musik keroncong ini. Berikut adalah beberapa kondisi social budaya di kota Solo yang mendukung keberadaan musik keroncong. a. Kreativitas dan inovasi seniman Keroncong Di Surakarta Kota Solo dikatakan sebagai gudangnya seniman keroncong. kantong-kantong keroncong dulu pernah menjamur di kota budaya ini. Bisnis pertunjukan di Kota Solo awalnya adalah dengan adanya seni wayang wong, baik yang dimiliki oleh Mangkunegaran, Keraton Kasunanan, milik warga Cina ataupun milik masyarakat pribumi. Seni pertunjukan Wayang wong ini akhirnya mengilhami terbentuknya tempat-tempat hiburan masyarakat di Kota Solo seperti Sriwedari, Balai Kambang, Tirtonardi, Minapadi, dan taman Ronggowarsito di Jurug. Di tempat-tempat hiburan ini akhirnya berkembang budaya keroncong. Melalui perkembangan ini lahirlah lagulagu keroncong monumental seperti Bengawan Solo, Kota Surakarta, Keroncong Tirtonardi dan Minapadi dan Putri Solo. Selain terkenal dengan banyaknya kelompok keroncong, permainan Keroncong gaya Solo memiliki cirri khas sendiri. Seperti yang diungkapkan pak Anton: “permainan keroncong Solo itu berbeda dengan keroncong daerah lain misalnya di Jakarta Tugu ya, kalau tugu permainan cuknya itu pores tapi kalau keroncong Solo cuknya kaya ada entulannya gini loh” Dalam gaya dan irama keroncong Soloan dan dan Jakartanan mempunyai perbedaan yang nyata. Dalam hal ini tidak berarti didaerah lain tidak mempunyai gaya permainan keroncong tersendiri, namun gaya permainan keroncong daerah lain tidak begitu jauh dengan permainan keroncong Jakartanan ataupun Soloan, terkecuali daerah-daerah lain itu memainkan lagu-lagu daerah yang bukan lagu keroncong asli, dan sudah pasti terlihat perbedaan irama yang nyata. Gaya permainan keroncong Solo memiliki cirri khas tersendiri. Prolong adalah istilah cara memainkan ukulele(cuk), jadi memainkan cuk gaya soloan ini caranya membunyikannya dengan cara dipetik senarnya satu-persatu untuk mencari nada-nada yang serasi. Kekreatifitasn musisi keroncong di Solo tak hanya berhenti di situ. Di Solo juga lahir aliran Langgam Jawa yang merupakan hasil pengembangan musik keroncong. Langgam Jawa memiliki keunikan sendiri karena lagu yang dimainkan, dibawakan secara mendayu-dayu karena pengaruh dari musik gamelan, seperti yang diungkapkan Bapak Anton “langgam Jawa itu ya hanya ada di Solo, hasil kreasi musisi Solo. Itu musik keroncong yang memasukan unsur musik lain yaitu gamelan” Yang membuat masyarakat suka pada keroncong adalah berkat modifikasi yang dilakukan oleh para musisi. Syair menjadi focus perhatian para pecinta keroncong. keroncong Solo memiliki ciri yang berbeda Jakarta dan Yogyakarta. Keroncong Jakarta lebih meriah, sedangkan keroncong Yogyakarta masih memegang aturan lama atau aturan murni. Untuk keroncong Solo sendiri mempunyai gaya yang romantic dan dinamis serta variatif. Begini jawaban Bapak Anton saat peneliti bertanya tentang Keroncong Solo : “gaya permainan keroncong Solo seperti air yang mengalir, tenang dan santai. Walaupun lagunya sama, tetapi yang membedakan adalah senimannya. Seniman memilik andil besar dalam gaya daerah” b. Banyak Seniman Keroncong Legendaris Lahir di Solo Solo sebagai Ibu Kota keroncong telah melahirkan seniman-seniman keroncong yang melegenda hingga sekarang. Para seniman menciptakan karya yang hebat yang mampu menuai decak kagum dari masyarakat yang bahkan bukan penggemar keroncong contohnya Lagu Bengawan Solo. Dalam hal ini begini pendapat BapakWartono: “keroncong itu tidak bisa lepas dari kota Solo, banyak seniman keroncong legendaries lahir di sini, contohnya saja siapa yang ngga kenal Gesang? Waldjinah? Yang udah mendunia melalui lagu Bengawan Solo dan Jembatan Merah. Itupun masih banyak nama seperti Sapari, Marjokahar, banyak pokoknya” Banyaknya seniman ini jelas berpengaruh besar terhadap keberadaan keroncong di Kota Solo hingga sekarang. Banyak seniman berarti banyak karya, jika banyak karya otomatis penikmat keroncong akan berdatangan ke kota Solo dan itu dengan banyaknya penikmat maka akan muncul lebih banyak lagi tokoh-tokoh keroncong yang hebat dari generasi ke generasi. c. Banyaknya Pergelaran Keroncong baik bertaraf Lokal sampai Internasional Dewasa ini Solo sering mengadakan event-event budaya seperti Solo Batik Carnival, Suronan, Sekatenan, dan SIPA. Untuk keroncong sendiri di Kota Solo telah di sediakan wadah yaitu keroncong Bale, Keroncong Joglo Sriwedar, keroncong RRI dan yang bertaraf internasional seperti Solo Keroncong Festival. Berikut Adalah Pergelaran Kroncong yang masih Aktif Sampai Sekarang a. Keroncong Cakrawala RRI Pergelaran ini adalah pergelaran bersejarah yang dimiliki oleh kota Solo, pergelaran ini dimulai pada tahun 1960an, tepat dimana keroncong mencapai masa jayanya. Keroncong cakrawala RRI adalah pergelaran musik keroncong yang sangat penting untuk kelangsungan hidup musik keroncong di Kota Solo. RRI menjadi salah satu media terpenting dalam pelestarian keroncong, karena lewat RRI keroncong diperdengarkan keseluruh kota Solo. Begini tanggapan Pak Wartono mengenai Keroncong Cakrawala RRI. “ ini adalah salah satu Upaya HAMKRI dalam penyediaan media, RRI memegang peran penting karena RRI menjadi alat yang dirasa paling efektif untuk menunjukan bahwa keroncon ini masih eksis, dengan begitu mereka di daerah pinggran yang tidak tersentuh oleh kami akhirnya ditumbuhkan semangatnya, karena merka merasa perjuangan mereka tidaklah sendiri, masih banyak yang seperti mereka.” Media disini berperan sebagai pemberi informasi dan hiburan.Hiburan kepada mereka yang rindu terhadap keroncong.Keroncong Cakrawala RRI menjadi semacam obat bagi mereka yang ingin menghadiri pergelaran keroncong namun tidak bisa karena kesibukan.Jarak tempu, dll, mereka dapat menikamati musik keroncong lewat radio. Namun lagi-lagi keroncong RRI ini tidaklah sempurna, karena Keroncong Cakrawala RRI ini pernah vakum di awal-awal tahun 2000an. Dan kembali hadir pada akhir tahun 2014. Belum ada alasan yang pasti mengapa pada saat itu acara ini dihentikan, yang jelas ini menjadi kerugian yang besar untu keroncong Solo pada waktu itu, karena pada waktu itu media belum seperti sekarang, dulu masih banyak yang acuh tak acuh terhadap keroncong, berbeda seperti sekarang, karena mulai banyak yang peduli terhadap musik keroncong. b. Keroncong Joglo Sriwedari Keroncong Joglo Sriwedari adalah acara yang dibuat HAMKRI Surakarta sebagai media bagi komunitas-komunitas yang ada di Solo menunjukan kreatifitas mereka.Acara rutin setiap Jum’at Malam ini seringkali dihadiri oleh ratusan warga Solo yang ingin menikmati musik keroncong. Ini yang disampaikan oleh Pak Wartono: “Keroncong Joglo itu diadakan sendiri, ya masa HAMKRI ngga punya acara sendiri, sementara kita terus mendorong media lain untuk mengadakan acara, jadi Keroncong Joglo ini menjadi semacam pemberi apresiasi bagi Komunitas-komunitas agar mereka bisa bersaing dengan komunitas lain dalam berkarya.” Selain untuk hiburan warga Solo Keroncong Joglo juga sebagai ajang kompetisi bagi komunitas dalam menunjukan kreatifitasnya, hal ini dimaksudkan agar keroncong bisa menyesuaikan diri dengan jaman dan tidak ketinggalan dengan musik lain. d. Solo Keroncong Festival Sebagai Event Keronong Terbesar seluruh Indonesia Solo Keroncong Festival atau disingkat SKF pertamakali diadakan pada tahun 2008 dan dijadikan sebagai event budaya tahunan di Kota Solo. Seperti yang telah dibahas diatas, Solo memiliki banyak event-event keroncong.SKF ini menjadi festival keroncong yang terbesar di Indonesia.Tidak hanya bertabur bintang keroncong local dan nasional saja tetapi SKF jg kerap kali dihadiri oleh orkes-orkes Keroncong dari luar negeri seperti Malaysia dan Singapore. Didalam festival ini juga tidak hanya di hadiri oleh musisi-musisi keroncong saja tetapi juga musik bergenre lain, seperti yang di utarakan Bapak Wartono ketua HAMKRI Solo. “ Kami mengundang bintang tamu yang mengusung genre musik lain karena ingin membentuk opini masyarakat bahwa musik genre lainnya bisa berkolaborasi dengan musik keroncong” Hal ini menunjukan bahwa keroncong bukanlah genre musik yang kaku, tetapi bisa berdampingan dengan musik lain dan didalam SKF itu terbukti dalam gelarannya yang ke-7 yang diadakan pada tanggal 25-26 September 2015. Musisi Pop senior era 70an, Johan Untung dan musisi pop berbahas mandarin 2000an ikut memeriahkan acara ini. Solo keroncong Festival menurut Pak Wartono adalah sebagai Evaluasi, dan menunjukan bahwa keroncong Solo itu masih memiliki gaung dibandingkan daerah lain. Evaluasi maksudnya adalah sudahkah keroncong ini memenuhi harapan atau belum, karena sebagai Kota wisata Solo dikunjungi juga oleh orang asing dari berbagai Negara SKF ingin memperkenalkan keroncong sebagai Budaya Indonesia. “SKF itu sebagai Evaluasi, maksudnya begini, evaluasi dalam arti kita bandingkan dari tahun ke tahun, bagaimana keadaan keroncong Solo ini, dan juga SKF menunjukan bahwa Keroncong Solo itu lebih maju dari daerah lain, kenapa begitu? Itu karena masyarakat pendengar, masyarakat Solo itu sudah terbiasa dengan keroncong” Pada gelaran itu tak kurang dari ratusan orang menyaksikan acara terbeut.tak hanya datang dari dalam kota Solo saja tetapi juga luar kota Solo dan bahkan Turis mancanegara pun ikut hadir menyaksikan Solo Keroncong Festival. Hal ini menunjukan bahwa Kota Solo adalah kota yang tidak dapat dilepaskan dari musik keroncong, maksudnya, kota Solo menjadi barometer bagi musik keroncong di seluruh Nusantara. Gambar4.3 SKF 2015 Sumber : Dokumentasi Penulis Pada SKF ke-7 tahun 2015 ini mengambil tema “Keroncong musik Nusantara” seperti yang disampaikan oleh pak Wartono. “Tema kali ini adalah Keroncong musik Nusantara, dimana maksud tema tersebut adalah bahwa musik keroncong dengan perpaduan unsur bunyi dari alat-alat musik daerah, akan menjadi identitas dan keberagaman musik keroncong di seluruh Nusantara” Keroncong adalah musik asli Indonesia dengan tema ini SKF mengukuhkannya bahwa keroncong merupakan identitas dari Indonesia itu sendiri.Dan SKF juga ingin menunjukan bahwa Kota Solo menjadi Kota yang serius melestarikan musik keroncong dan semakin mengukuhkan bahwa Kota Solo adalah Kota Keroncong. “ Keroncong adalah musik asli Indonesia, walaupun alat-alat yang dipakai adalah alat musik Portugis, tetapi cara bermainnya adalah cara bermain Indonesia. Misalnya begini mas, Cello yang harusnya gesek dalam musik keroncong Cello dimainkan dengan di petik, melodi gitar keroncong juga khas, dan kocokan ukulele dalam keroncong memainkan harmoni yg lebih indah. Dan keroncong itu milik Indonesia, di Portugis sendiri tidak ada muski keroncong”(wawancara dengan Ketua HAMKRI Wartono, 25 September 2015) Selain itu SKF 2015 juga bernuansa Maritim, terlihat dari bentuk panggung yang menyerupai kapal layar.Ini dimaksudkan untuk memeberi dukukan moral bagi Indonesia untuk kembali lagi sebagai Negara maritim.Begini kata pak Wartono ketika ditanya mengenai ini. “suasana maritim untuk mendukung Indonesia yang digemborkan akan kembali menjadi Negara maritim. Jadi panggung dibuat demikian, bagus kan?” Tak hanya itu SKF 2015 kali ini dihadiri oleh dua kelompok musik penggemar keroncong asal Malaysia atas inisiatifnya sendiri.Seperti yang disampaikan oleh bapak Wartono. “Tamu dari Malaysia itu bukan kami yang undang, tetapi keinginan mereka sendiri yang ingin tampil di SKF 2015. Dua kelompok itu adalah Kelompok Komunitas Pelukis Malaysia dan Jembatan Pelancongan Labuhan” Dengan adanya SKF ini musik keroncong dapat dinikmati oleh masyarakat sehingga musik keroncong akan tetap ada dan lestari. Dan SKF hanya ada di Kota Solo. Hal ini semakin mengukuhkan bahwa Solo adalah Ibu Kota Keroncong. Tetapi tak ada gading yang tak retak, begitupun dengan SKF ini masih banyak kelemahan yang ada dalam pergelaran ini. seperti yang disampaikan oleh pak Wartono bahwa keterlibatan HAMKRI secara penuh hanya terjadi pada SKF 2015 saja, sebelumya HAMKRI terlibat hanya sebatas penyedia Orkes saja, karena semua yang menangani pergelaran adalah TATV sebagai Event Organizer. Hal ini mebuat pergelaran menjadi kurang memiliki makna pelestarian. “HAMKRI itu menangani SKF hanya tahun ini saja, tahun-tahun sebelumnya ditangani oleh EOnya TATV, HAMKRI Cuma istilahnya main keroncong saja tidak ikut campur dalam persiapan maupun jalannya acara, Yaa keroncong tanpa HAMKRI itu kaya ada yg kurang” Dan yang lebih disayangkan lagi SKF 2015 adalah pergelaran terakhir, karena tahun 2016 SKF akan ditiadakan dengan alasan yang belum diketahui. Seperti yang diungkapkan Pak Wartono “tahun 2016 ini SKF ditiadakan, saya juga belum diberi tahu alasannya apa, tapi ini masih kita perjuangkan walaupun itu sulit” Padahal SKF juga sebagai Alat untuk mendapatkan legitimasi, seperti halnya musik Pop, Rock dan Jazz. Musik Jazz misalnya, banyak orang mengira bahwa musik Jazz itu berasal dari America, tetapi itu salah, orang yang berwawasan tentang musik, mereka sudah tau bahwa musik Jazz itu berasal dari Afrika, tapi berkembang pesat di Amerika. Musik Jazz dibawa oleh Bangsa Gipsi, yang bekerja sebagai petani di Amerika. Tanpa menulis pergelaran Jazz pun orang sudah tahu bahwa itu adalah musik Jazz, itulah yang ingin dicapai oleh Keroncong dengan adanya SKF pada Saat ini, yaitu mendapatkan Legitimasi Secara De Facto, bukan De Yure. Tidak perlu diakui UNESCO sebagai Heritage, tetapi Keroncong lebih baik dikenal oleh masyarakat Dunia sebagai musik Indonesia, hanya dengan mendengar musiknya saja seperti ketika kita mendengar musik Rock.SKF memiliki fungsi yang penting bagi kelangsungan musik keroncong, tidak hanya di Solo, tetapi di seluruh Indoensia.Dan akhirnya musik keroncong menjadi alat pemersatu bangsa. e. Adanya Studio Lokananta Sebagai Studio Yang Sejarahnya Ikut Dalam Menyebarkan Musik Keroncong Pada era 1950-1960a, sejarah indutri rekaman di Indonesia mulau tumbuh merambah warna pada eksistensi musik Indonesia. Ada dua tempat sebagai kemunculannya: Lokananta di Surakarta dan Irama di Menteng Jakarta. Lokananta adalah industri rekaman milik pemerintah, sedangkan Irama adalah sebuah studio kecil dalam garasi di kawasan Menteng milik Suyoso Karsono yang akrab dipanggil mas Yos. Irama lebih banyak melahirkan lagu-lagu hiburan untuk lagu pop sekarang, sedangkan Lokananta eksis mengusung lagu-lagu tradisional dan musik-musik daerah (seperti gamelan). Lokananta adalah perusahaan rekaman milik pemerintah Indnesia yang berdiri pada tahun 1956 di Surakarta. Mulai tahun 1958 piringan hitam mulai dipasarkan kepada umum melalui RRI dan label Lokananta yang kurang lebih berarti “Gamelan di Kahyangan yang berbunyi tanpa penabuh”. Melihat potensi penjualan piringan hitam maka melalui PP Nomor 215 status Lokananta menjadi Perusahaan Negara. Dari perusahaan rekaman inilah lahir penyanyi-penyanyi legendaries Indonesia seperti Gesang, Titiek Puspa, Waldjinah, Adi Bing Slamet, Sam Saimun hingg pelawak Basiyo. Keberadaan Industri rekaman ini turut mendorong keberadaan musik tradisional termasuk di dalamnya adalah musik keroncong. Jebolan Lokananta yaitu Gesang dan Waldjinah kemudian laris menyuguhkan irama-irama keroncong, langgam dan sebagainya ke telinga masyarakat sehingga musik-musik tersebut makin akrab dengan khalayak. Dalam kaitannya dengan Keroncong penulis melakukan wawancara dengan mas Damar salah seorang pengurus lokananta.Menurutnya Lokananta menjadi studio bersejarah di Indonesia. “Lokananta itu studio rekaman pertama, berdirinya tahun 60an kalau ga salah, dulu jadi produsen piringan hitam, salah satu yang direkam adalah musik keroncong pada saat itu karena yang di bolehin untuk diputar di radio hanya musik tradisional saja, semua yang mengandung unsur barat dilarang” Memang pada saat itu kebijakan Soekarno tidak memperbolehkan apapun yang berbau barat untuk ada di Indonesia termasuk musik, hanya musik tradisional sepertikeroncong yng dianggap sebagai musik asli Indonesia yang diperbilehkan dimainkan. “menurut saya Lokananta dan musik keroncong itu tidak dapat dipisahkan karena Lokananta Berjaya dulu karena musik keroncong dan pada saat Musik Keroncong Berjaya di tahun 60an, itu karena Lokananta adalah salah satu yang menyebarkannya, sampai sekarangpun masih begitu, Eyang Waldjinah juga masih sering ke sini” Hal ini terlihat bahwa Lokananta erat hubungannya dengan musik keroncong.Lokananta sebagai produsen piringa hitam dulunya berperan menyebarkan keroncong. Seperti yang telah dijelaskan diatas, musisi-musisi keroncong legendaris seperti Waldjinah, Gesang, bahkan Anjar Any juga pernah melakukan rekaman di sana. “Harapannya untuk Lokananta ini ya diberi perhatian khusus soalnya ini kan cagar budaya, mas lihat sendiri keadaannya udah kaya gini, ya saya pengennya kita di support penuh sama pemerintah. Kalau untuk keroncong saya kira juga sama ya, harus dapat perhatian lebih karena itu musik bersejarah, jadi tidak boleh hilang, apa lagi nanti di aku-aku sama Negara “ Sama seperti musik keroncong yang adalah musik bersejarah, Lokananta adalah tempat bersejarah bagi musik Indonesia.tetapi Lokananta seiring waktu berjalan mulai ditinggalkan karena dianggap kuno, dan berbeda dengan label musik modern yang sudah berkembang pesat di Indonesia. Lokananta dan Keroncong dua sejarah yang tidak diterima dalam Industri musik sekarang ini. Matrik 4.3 Keadaan Sosial Budaya Kota Solo No Yang Mendukung Keberadaan Keterangan Keroncong 1. 2. Kreativitas Dan Inovasi Seniman - Permainan Ukulele(cuk) yg khas Keroncong Solo - Munculnya gaya soloan - Munculnya Langgam Jawa Banyaknya Seniman Legendaris - Gesang Keroncong yang lahir di Solo - Waldjinah 3. 4. - Anjar Any Banyaknya Pergelaran Musik - SKF keroncong Di Solo - Cakrawala RRI - Keroncong Bale - Keroncong Joglo Sriwedari - SKF (Solo Keroncong Festival) Adanya SKF sebagai Even keroncong terbesar di Indonesia sebagai Evaluasi atas semua kegiatan pelestarian keroncong di Solo 5. Adanya Lokananta Sebagai studio rekaman bersejarah. - SKF sudah diadakan 7(tujuh) kali - Lokananta sebagai media penyebaran musik keroncong dimasa lampau Sumber: Data Primer 2016 G. Dampak Perkembangan Tehknologi Terhadap Pelestarian Keroncong Pada saat ini perkembangan tekhnologi yang masiv telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia, dampaknya pun beragam ada yang berdampak positif dan juga negative. Hal itu juga terjadi dalam pelestarian keroncong dimana tekhnologi mulai mempengaruhi pola pikir masyarakat, termasuk para penggerak keroncong. Salah satunya adalah media social, yang dianggap sebagai penghubung bagi mereka yang memiliki tujuan yang sama untuk saling berbagi mengungkapkan ideologi mereka secara bebas. Sepeti apa yang dialami oleh pak Wartono, beliau mengaku terbantu oleh adanya media social seperti Facebook dan Blackberry Massager. “tehknologi berperan sangat besar bagi pelestarian keroncong, misalkan saya mau mengundang orkes dari Kalimantan ya cukup di BBM saja, atau kita nulis di dinding Halaman Facebook di grup Keroncong udah nanti bakal datang” Fungsi lain adalah mempersatukan kelompok-kelompok dari berbagai daerah. Mereka tidak lagi merasa sendiri. Dengan adanya media social mereka merasa tidak berjuang sendiri, mereka akan lebih bersemangat untuk melestarikan keroncong. H. Analisis Data Banyak ahli mengatakan bahwa komunitas merupakan suatu kelompok yang anggotanya memiliki ciri-ciri yang hampir sama atau serupa, yang biasanya dihimpun oleh rasa memiliki atau ikatan dan interaksi sosial tertentu yang menjadikan kelompok itu sebagai suatu identitas sosial tersendiri. Aksi komunitas melibatkan masyarakat untuk menyampaikan tuntutan mereka pada para pembuat kebijakan dan menunjukan apa yang menjadi minat dan kepentingan mereka serta mereka mengharapkan agar para pembuat kebijakan mau menanggapi tuntutan mereka Glen menyatakan bahwa aksi komunitas biasanya terkait dengan suatu isu khusus yang dirasa “merisaukan” oleh suatu komunitas. Isu tersebut mungkin merupakan isu yang khusus bagi sekelompok orang yang berada di wilayah tertentu atau mungkin merupakan isu yang dirasakan oleh masyarakat secara umum. Kesamaan pengalaman terhadap hal yang dianggap tidak “menyenagkan” tersebut dapat menjadi tenaga penggerak untuk mengorganisasi kekuatan yang akan memunculkan solidaritas kolektif.Solidaritas kolektif ini merupakan tenaga penggerak yang utama untuk munculnya suatu gerakan komunitas. Tanpa adanya solidaritas kolektif sebagai energi utama dari gerakan ini, aksi-aksi yang akan dilakukan menjadi lemah dan tidak mempunyai cukup kekuatan untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan. Ketika komunitaas ingin menggoyang suatu sistem yang sudah mapan, mereka sangat membutuhkan adanya solidaritas kolekktif untuk menjamin keberhasilan gerakan mereka. Setiap orang harus belajar mengisi peran, seperti halnya suatu komunitas yang mempeljari peran sekurang-kurangnya melibatkan dua aspek: (1) Kita harus belajaar melaksanakan kewajiban dan menuntut hak-hak suatu peran. (2) Kita Harus memiliki sikap, perasaan dan harapan-harapan yang sesuai dengan peran tersebut. Dari kedua aspek ini, aspek kedualah yang lebih penting. Setiap orang dalam komunitas dapat mempelajari bagaimana mengisi suatu peran. Apabila tidak dapat mengisi suatu peran dengan senang dan sukses tanpa disosialisasikan untuk menerimaa bahwa peran tersebut berguna, memuaskan dan sesuai. Pada pembahasan sebelumnya ketika para personil Orkes keroncong memainkan musik keroncong . Itu bukan hanya sebagai kegiatan yang berlangsung begitu saja, akan tetapi meruoakan suatu kegiatan dimana mereka ingin menunjukkan dirinya untuk proses pengenalan terhadap masyarakat. Adanya komunitas-komunitas keroncong yang tersebar di sekitaran kota Solo menjadi suatu gerakan Budaya. E.B Taylorpernah memberikan definisi kebudayaan sebagai berikut: kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat(Soekanto Soerjono, 2005: 118) Berawal dari kesadaran bahwa musik keroncong adalah kearifan local yang harus dilestarikan. Komunitas keroncong jika memakai konsep diatas maka para anggotanya termasuk pada tindakan social melalui kebudayaan sebagai hasil karya. Banyak terdapat komunitas keroncong yang ada di Kota Solo, akan tetapi itu tidak menjadi suatu kendala, karena semua komunitas keroncong memiliki tujuan yang sama yaitu menjaga agar keroncong tetap ada. Dengan mengetahui karakteristik para anggota Komunitas keroncong , maka dapat disimak apapun yang melatarbelakangi mereka peduli terhadap musik keroncong, terlihat dari cara mereka yang selalu terdorong untuk mengajak warga lainnya untuk lebih mengenal musik keroncong serta selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan budaya di Kota Solo terlebih yang berhubungan dengan musik keroncong. hal tersebut mereka lakukan karena kepedulian mereka akan pentingnya melestarika musik keroncong sebagai produk kebudayaan Indonesia demi masa depan, agar anak cucu mereka dapat menikmati musik keroncong. Dan komunitas keroncong memerankan peran pada masyarakat luas yang bertujuan memperkenalkan musik keroncong. Studi ini mengungkapkan bahwa di kalangan personil komunitas keroncong ingin memperkenalkan kembali musik keroncong yang telah di lupakan orang banyak. Meski terkadang itu tidak mendapat respon yang baik dari masyarakat, akan tetapi semangat para personil komunitas keroncong tidak pernah terputus di tengah jalan demi kepentingan bersama. Komunitas keroncong berfungsi sebagai wadah atau tempet berkumpulnya orang yang peduli dan sadar akan pentingnya melestarikan musik tradisional keroncong di Kota Solo. Ketika komunitas keroncong memperkenalkan musik keroncong dan mengajak untuk peduli terhadap kelestariannya, mereka tidak hanya menunjukan eksistensi komunitas mereka, akan tetapi mereka juga ingin melakukan tindakan social yang disebut oleh Parson salah satunya dalam menyusun skema unit-unit dasar tindakan social, yakni seseorang mempunyai alternative cara, alat serta tehnik untuk mencapai tujuan : untuk melestarikan musik keroncong di Kota Solo. Ikut peduli terhadap keberadaan musik keroncong tentunya bukan hanya sekedar peduli tapi tidak melakukan tindakan apapun, melainkan kita dapat menyampaikan ke khalayak umum tentang manfaat dari melestarikan keroncong. sebagiam masyarakat kita sadar akan pentingnya menjaga kearifan local, tetapi kesadaran ini akan terus digempur oleh perkembangan zaman yang cepat dan praktis. Maka dari itulah warga harus dituntut untuk terus berupaya menjaga kesadaran walau banyak rintangan didepannya. Dengan perkembangan yang cepat inilah masyarakat serasa dituntut untuk melakukan hal yang serba cepat dan praktis, sehingga kalau hanya peduli terhadap keroncong tanpa melakukan tindaka nyata, pelestarian keroncong akan menjadi artificial saja, karena melestarikan musik keroncong terkait erat dengan tradisi dan kultur. Maka dari itulah seharusnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh komunutas keroncong ini dijadikan suatu kegiatan yang missal dan membudaya, sehingga kesadaran masyarakatpun dapat diperbaiki. Oleh sebab itu, peran komunitas keroncong dapat dilihat dari aksi-aksi komunitas yang diwujudkan melalui kegiatan sebagai gerakan kebudayaan. Kebudayaan untu menjaga keroncong tetap lestari dapat juga diartikan sebagai langkah-langkah yang tersistem untuk menuntun masyarakat ikut serta dalam pelestarian musik keroncong. Teori aksi yang termasuk ke dalam paradigma definisi social berusah memahami kegiatan untuk melestarikan musik keroncong di kalangan personil komunitas keroncong, dalam hal ini mereka tetap lebih dari sekedar hal-hal yang sifatnya kelompok, melestarikan musik keroncong dipahami sebagai aksi komunitas untuk mencapai tunjuan tertentu. Komunitas keroncong ini merupakan cara, alat serta tehnik untuk mencapai tujuannya yang tengah di bagun oleh personil komunitas keroncong. Dalam memahami kegiatan pelestarian musik keroncong juga perlu menggunakan Konsep yang dikemukakan oleh Parson untuk melihat Komunitas keroncong mewujudkan tujuannya tersebut, konsep yang ada adalam terori parson adalah Adaptasi, Goal Attainment, Integrasi, dan Latensi atau disingkat dengan AGIL Menurut Talcott Parsons, masyarakat manusia diumpamakan sebagai organ tubuh manusia, oleh karena itulah masyarakat juga dapat dipelajari seperti tubuh manusia. Pertama, tubuh manusia memiliki berbagai bagian yang saling berhubungan. Begitu juga dengan kebudayaan dan masyarakat (kelompok musik), dikarenakan keduanya saling terkait dan bergantung satu sama lain. Kedua setiap bagian tubuh manusia memiliki fungsi yang jelas dank has. Demikian pula dengan komunitas keroncong dan para penggerak keroncong.Kelompok tersebut memiliki tugas masing-masing dalam pelestarian musik keroncong. Pertama, Adaptation, fungsi adaptasi berhubungan dengan penyesuaian akan kebutuhan individu dengan lingkungannya. Sistem harus bisa mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar.Mereka dituntut bisa beradaptasi dengan lingkungan tersebut dengan beragam kebutuhannya. Mengenai peran komunitas keroncong dalam melestarikan keroncong, adaptasi yang dilakukan adalah dengan memadukan musik kerocong dengan aliran musik lain. Dalam pelestarian keroncong agar tidak disebut dengan musik kuno, keroncong harus berbenah. Kebutuhan komunitas agar dapat bertahan dari tuntutan jaman adalah dengan beradaptasi, cara keroncong beradaptasi adalah dengan membawakan lagu dari genre lain yang di keroncongkan. Selain itu komunitas juga membuat karya musik keroncong yang lebih modern contohnya adalah keroncong orkestra, hal itu dibutuhkan komunitas keroncong agar keroncong tidak ketinggalan kereta dan dapat menarik minat warga Kota Solo untuk ikut serta dalam pelestarian keroncong. Peran komunitas keroncong adalah sebagai perantara musik keroncong itu sendiri dengan masyarakat, maksudnya komunitas disini ingin menarik minat masyarakat dengan musiknya dan dengan kreatifitasnya. Komunitas melakukan adaptasi dengan membuat pergelaran keroncong secara rutin, selain ingin melestarikan juga komunitas ingin menghibur masyarakat dan akhirnya menarik kepedulian pada musik keroncong Goal Attainment,atau pencapaian tujuan, sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya. Yaitu, seseorang harus memiliki target untuk dicapai dalam hidupnya. Karena jika ia tidak memiliki target atau tujuan ia tidak bisa bertahan hidup (George Ritzer, 2009:257). Dalam penelitian peran komunitas keroncong dalam pelestarian keroncong penulis mencoba mengkaitkan dengan tujuan komunitas keroncong karena saat ini sudah ada cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan utama komunitas keroncong adalah menjaga keroncong tetap lestari dengan menarik minat warga kota Solo agar berperan serta dalam pelestarian keroncong. Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut komunitas telah melakukan serangkaian kegiatan secara rutin. Berbagai kegiatan tersebut dimaksudkan untuk menarik minat warga solo agar peduli adalah melakukan latihan di luar ruangan, dan melakukan latihan secara kolektif, hal ini dilakukan untuk memperlihatkan bahwa musik keroncong adalah budaya Indoensia yang menarik.Selian itu HAMKRI juga mengadakan lomba keroncong pada tingkat PKK yang bertujuan untuk mencari bibit-bibit seniman keroncong. Selain itu komunitas Bali Nada yang mewajibkan anggotanya untuk melakukan pendidikan kepada putra putri mereka sejak usia dini. Ini dimaksudkan agar terbentuk gerasi keroncong secara berkesinambungan. Menurut Parson pencapaian tujuan, yakni menentukan, mengatur, dan memfasilitasi pencapaian tujuan dan kesepakatan. Konsekuensinya ia harus memiliki alat dan sumberdaya untuk mengidentifikasi, menyelaksi, dan menentukan tujuan kolektif.(Rahmat K Dwi Susanto, 2009:121) dalam kaitannya dalam pelestarian keroncong HAMKRI telah memfasilitasi komunitas keroncong agar kegiatan pelestarian dapat berjalan dengan baik. Dengan menggadeng RRI, HAMKRI mengadakan pergelaran Keroncong Cakrawala RRI, selain itu HAMKRI secara mandiri mengadakan pergelaran Keroncong Joglo Sriwedari untuk menarik minat masyarakat untuk peduli terhadap keroncong. Ketiga, Integrasi,Dalam teori sistem yang diungkapkan oleh Talcott Parsons, dalam sistem sosial dapat dianalisis melalui persyaratan-persyaratan fungsional yang harus dimiliki sebuah sistem sosial atau sistem sosial dapat dikembangkan jika memenuhi persyaratanpersyaratan fungsional dalam kerangka AGIL (Nasrullah Nasir, 2009:64). Dalam penelitian ini penulis menemukan itegrasi yang di lakukan oleh Komunitas Keroncong dengan HAMKRI.HAMKRI membuka sarana dan memberikan dukungan moral dan material untuk komunitas keroncong dalam pelestarian musik keroncong.Hal tersebut telah membatu komunitas keroncong dalam keikutsertaannya dalam pergelaran yang diadakan oleh HAMKRI dan media lainnya seperti RRI.HAMKRI telah membuka jalan bagi komunitas dan warga Solo yang peduli untuk ikut serta secara langsung dalam pelestarian keroncong. Tanpa HAMKRI, komunitas tidak memiliki media untuk berkarya secara kolektif dengan komunitas lainnya, karena akan sulit untuk melestarikan keroncong jika setiap komunitas hanya bergerak sendiri-sendiri. Tanpa Komunitas, mustahil bagi HAMKRI untuk melestarikan keroncong, karena komunitaslah yang memainkan musik keroncong, tampa komunitas hamkri tidak memiliki alat untuk mengenalkan kembali musik keroncong sebagai musik asli Indonesia. Keempat, Latensi, Dalam kerangka AGIL Parson menyebutkan mengenai konsep latent pattren maintenance. Latent pattren maintenance merupakan cara mempertahankan kesinambangan tindakan dalam suatu sistem yang mengikuti norma atau aturan tertentu. Sebuah sistem harus berfungsi sebagai pemeliharaa pola, sebuah sistem harus memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu dan kultural. fungsi ini merupakan fungsi kultural (Nanang Martono, 2012: 51). Konsep Latensi menunjukan pada berhentinya interaksi. Para anggota pada sistem sosial apa saja bisa letih dan jenuh serta tunduk pada sistem sosial lainya dimana mungkin mereka terlibat. Karena itu semua sistem sosial harus brjaga-jaga bila mana sistem itu satu waktu kocar-kacir dan para anggotanya tidak lagi bertindak atau beriteraksi sebagai suatu sistem (Nasrullah Nasir, 2009 : 65). Latensi yang terdapat dalam penelitian peran komunitas keroncong dalam pelestarian keroncong ini adalah pembagian pendapatan berupa uang ketika komunitas ditanggap dalam suatu acara. Ketika ditanggap dalam sebuah acara, komunitas seperti Purwanada mendapat penghasilan berupa uang yang akan dibagikan kepada anggotannya, sementara komunitas seperti Bali Nada dan Kalimaya menggaji anggotanya setiap bulan. Dengan adanya ini anggota menjadi termotivasi sehingga pelestarian keroncong dapat berjalan dengan baik. Keinginan HAMKRI dan Komunitas keroncong untuk mengembalikan keroncong pada masa jayanya mengharuskan keduanya bekerja keras dalam menarik kepedulian Warga Solo.Kreatifitas menjadi sesuatu yang wajib ditingkatkan untuk setiap anggotanya untuk pelestarian keroncong.Kreatifitas tidak serta merta hadir dalam kehidupan mereka, tetapi sebagai bentuk kemampuan membaca permasalahan, mampu menganalisis yang selanjutnya menjadi sebuah tindakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Awal terbentuknya HAMKRI karena kegelisahan para seniman Keroncong karena eksistensi keroncong yang mulai terkikis budaya modern pada tahun 1970an. Terlebih disaat runtuhnya Orde Lama dan keran-keran budaya dibuka sehingga invansi budaya-budaya barat yang masiv termasuk masuknya musik-musik populer semakin mengkikis eksistensi musik keroncong barulah terpikir untuk mengumpulkan komunitas-komunitas musik keroncong yang masih bertahan untuk berkumpul dan membentuk HAMKRI. Dengan terbentuknya HAMKRI yang terdiri dari komunitas-komunitas pada awalnya setidaknya membuat keroncong mampu bertahan hingga sekarang. Walaupun masih jauh dari apa yang diharapkan, sampai hari ini keroncong telah mampu memaksa senimannya untuk berfikir keras agar keberadaannya tidak hilang terkikis jaman. Sebuah adaptasi, sebuah kreatifitas dan kekuatan untuk mempetahankan hidupnya. Individu dikatakan berdaya apabila telah mampu, baik mampu dalam bidang ekonomi, pengetahuan, ketrampilan maupun mampu keluar dari permasalahan yang menderanya.Sama halnya dengan para seniman keroncong yang mampu mencari jalan keluar untuk mengatasi sekaratnya keroncong pada beberapa decade silam. Keputusan untuk mendirikan HAMKRI tidak dilakukan secara langsung tetapi melalui proses, salah satunya adalah dengan mengumpulkan komunitas-komunitas yang masih bertahan pada waktu itu dan itu berpengaruh hingga sekarang komunitas keroncong telah banyak terbentuk di Surakarta. Kini dengan adanya komunitas keroncong dan HAMKRI masyarakat yang awalnya merasa berjuang sendiri menemukan motivasi, karena akhirnya mereka mengetahui bahwa mereka tidak berjuang sendiri Matriks 4.4 Keroncong AGIL No Keroncong AGIL Keterangan 1. Adaptasi Keroncong membawakan lagu-lagu dari genre lain yang populer untuk di mainkan denga paten-paten yang ada dalam keroncong tanpa menghilangkan ciri khas musik keroncong 2. Gold Attainment Komunitas keroncong memiliki tujuan ingin menjadikan keroncong seperti masa jayanya pada tahun 1960an. Hal yang dilakukan oleh Komunitas Keroncong dan HAMKRI adalah mengadakan lomba keroncong tingkat PKK, melakukan pendidikan musik keroncong pada usia dini. Untuk generasai penerus keroncong yang berkesinambungan 3. Integrasi Dalam pelestarian keroncong Komunitas melakuakan koordinasi dengan HAMKRI untuk penyediaan media dan dukungan bagi komunitas 4 Latensi Untuk motivasi bagi anggota komunitas keroncong, didalamnya terdapat bagi hasil dan gaji yang diterapkan seperti pada Kalimaya dan Bali nada yang menggaji anggotanya, sedangkan purwanada yang membagikan hasil ketika mereka diminta untuk mengisi acara seperti hajatan atau peresmian. Sumber : Data Primer