BAB 1

advertisement
PROGRAM NASIONAL BAGI ANAK INDONESIA
KELOMPOK KESEHATAN
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Pada United Nation General Assembly Special Session on Children yang diselenggarakan
pada bulan Mei 2002 di New York, negara-negara peserta menegaskan kembali dan
mendeklarasikan komitmen terhadap kesejahteraan anak. Komitmen tersebut dikenal sebagai
“A World Fit for Children” (WFC). Selain berisi pernyataan tentang tekad berbagai negara
untuk terus memperjuangkan kesejahteraan dan kemaslahatan anak, dokumen tersebut juga
berisi hasil telaah terhadap kemajuan yang telah dicapai dan rencana aksi untuk mencapai
target yang telah ditetapkan dan disepakati oleh negara-negara peserta.
Sebagai pengejawantahan komitmen terhadap deklarasi WFC tahun 2002, setiap negara yang
terlibat dan meratifikasinya perlu mengembangkan suatu program nasional bagi anak.
Dokumen tentang program nasional tersebut sangat diperlukan sebagai pedoman bagi
berbagai pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam upaya mencapai target WFC. Ada 4
area pokok yang mendapat perhatian khusus dalam deklarasi WFC tahun 2002, yaitu
peningkatan hidup sehat (promoting healthy lives), penyediaan pendidikan berkualitas
(providing quality education), perlindungan terhadap abuse, eksploitasi, dan kekerasan
(protecting against abuse, exploitation and violence), dan penanggulangan HIV/AIDS
(combating HIV/AIDS).
Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut, Indonesia menyusun Program Nasional Bagi
Anak Indonesia (PNBAI) yang mencakup keempat komponen tersebut. Dokumen ini khusus
berisi tentang PNBAI Bidang Kesehatan.
1.2
LANDASAN
1.2.1. Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child).
Konvensi Hak-hak Anak menekankan beberapa prinsip dasar dalam pemenuhan hak-hak
anak, yaitu:
 non-diskriminasi;
 kepentingan yang terbaik bagi anak;
 hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
 penghargaan terhadap pendapat anak.
1
1.2.2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UUPA).
Pasal-pasal yang berhubungan dengan kesehatan dalam UUPA adalah:
 Pasal 4 tentang hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi serta
mendapat perlindungan.
 Pasal 8 tentang hak anak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial.
 Pasal 44 tentang kewajiban pemerintah dalam menyediakan fasilitas dan upaya kesehatan
yang komprehensif bagi anak.
 Pasal 45 tentang tanggung jawab orang tua dalam menjaga kesehatan dan merawat anak.
 Pasal 46 tentang kewajiban negara, pemerintah, keluarga dan orang tua dalam
mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam
kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.
 Pasal 47 tentang kewajiban negara, pemerintah, keluarga dan orang tua untuk melindungi
anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain.
1.2.3. Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
1.2.4. Millenium Development Goals (MDG)
Pada tahun 2000 telah diformulasikan MDG yang mencakup 8 tujuan utama. Lima dari 8
tujuan utama tersebut terkait dengan bidang kesehatan, yaitu:
 eradikasi kemiskinan yang ekstrim dan kelaparan;
 penurunan kematian anak;
 peningkatan kesehatan ibu;
 pemberantasan HIV/AIDS, malaria dan penyakit-penyakit lain;
 pengembangan kemitraan global untuk pembangunan.
1.2.5. Deklarasi “A World Fit for Children” (WFC)
Dalam Deklarasi WFC ditekankan 8 prinsip yang mendasari gerakan global untuk
menciptakan dunia yang cocok bagi anak. Prinsip yang terkait dengan kesehatan adalah care
for every child yang menyebutkan bahwa setiap anak harus memulai kehidupan dalam
keadaan yang sebaik-baiknya. Kelangsungan hidup, perlindungan, pertumbuhan dan
perkembangan anak dalam keadaan sehat dan gizi yang memadai, merupakan hal yang paling
mendasar dari pembangunan manusia. Untuk itu perlu diselenggarakan berbagai upaya untuk
menanggulangi penyakit menular, mengatasi penyebab utama gizi kurang, dan membesarkan
anak dalam lingkungan yang sehat dan aman yang memungkinkan anak menjadi sehat fisik,
mental dan emosional serta memiliki kemampuan sosial dan mampu belajar.
1.3 . PRINSIP-PRINSIP DASAR
1.3.1. Pendekatan siklus hidup.
2
Pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan proses panjang yang berkesinambungan.
Derajat kesehatan anak pada masa balita sangat berkaitan erat dengan tingkat kesehatannya
pada masa bayi baru lahir. Bayi lahir sehat terkait erat dengan tingkat kesehatan maternal.
Derajat kesehatan maternal terkait erat dengan tingkat kesehatan pada masa remaja. Derajat
kesehatan pada periode remaja sangat terkait dengan kondisi kesehatan anak semasa balita.
Dengan demikian, derajat kesehatan anak tidak dapat dicapai dengan upaya yang dilakukan
sesaat, melainkan merupakan hasil dari upaya yang berkesinambungan selama kehidupan
anak. Dengan demikian upaya pembangunan kesehatan anak tidak dapat dipenggal-penggal
untuk kurun umur tertentu, meskipun masing-masing kurun umur memiliki karakteristik
masalah kesehatan yang berbeda.
Pendekatan siklus hidup memberikan penekanan bahwa upaya pembangunan kesehatan yang
dilakukan oleh satu generasi akan dinikmati hasilnya oleh generasi berikutnya. Upaya
kesehatan tidak hanya memberikan manfaat pada generasi yang melaksanakannya. Lebih dari
itu, manfaat terbesar justru akan dinikmati oleh generasi berikutnya.
1.3.2. Pendekatan kesehatan masyarakat.
Pendekatan kesehatan masyarakat adalah suatu pendekatan yang mengupayakan pencapaian
tingkat kesehatan dan kesejahteraan yang setinggi-tingginya bagi seluruh masyarakat. Upayaupaya yang diselenggarakan difokuskan dan diprioritaskan pada masalah-masalah kesehatan
masyarakat utama yang mengancam dan/atau menimpa keseluruhan masyarakat disertai
aplikasi model pengembangan program yang sistematik untuk memastikan bahwa programprogram yang dikembangkan relevan dan efektif dalam menanggulangi masalah kesehatan
masyarakat utama.
1.4
ARAHAN UNTUK MASA MENDATANG
World Health Organization memberikan arahan bagi pengembangan upaya kesehatan anak
dan remaja pada masa depan, yaitu:
1. Peningkatan kesehatan ibu dan neonatal
2. Peningkatan status gizi
3. Pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit menular
4. Pencegahan dan penanggulangan kecelakaan dan kekerasan
5. Penurunan ancaman lingkungan (fisik)
6. Peningkatan kesehatan remaja
7. Promosi perkembangan psikososial dan kesehatan jiwa anak
3
BAB 2. ANALISIS SITUASI KESEHATAN ANAK INDONESIA
2.1
POPULASI ANAK INDONESIA
Menurut SUSENAS 2001 jumlah penduduk Indonesia 202.707.418 jiwa dengan rasio lakilaki/perempuan hampir seimbang (1,003). Anak umur 0-4 tahun mencapai 5,8persen dari
total penduduk Indonesia, sedangkan anak umur sekolah 5-14 tahun mencapai 20,76persen.
Meskipun proporsi anak umur 0-19 tahun dari seluruh penduduk Indonesia sejak tahun 1996
telah menurun dari 42.9persen menjadi 41.1persen. Namun seiring dengan pertambahan
jumlah penduduk maka jumlah anak umur 0-19 tahun juga terus meningkat. Hal ini berarti
bahwa populasi anak Indonesia yang harus diperhatikan dan diperjuangkan kesejahteraannya
terus meningkat. Beban untuk menanggulangi masalah kesehatan anak juga terus meningkat.
2.2
STATUS KESEHATAN ANAK
Data SUSENAS 2001 menunjukkan bahwa tingkat kematian bayi dan balita yang telah
sempat menurun ternyata cenderung meningkat kembali. Tabel 2.2.1 berikut ini menyajikan
AKB, angka kematian anak (AKA) dan AKBA menurut hasil SUSENAS 1995, 1998 dan
2001. Disamping kemajuan yang cukup bermakna tersebut, tingkat kematian bayi dan balita
di Indonesia masih yang tertinggi di antara negara-negara anggota Association of South-East
Asian Nations (ASEAN). Masalah lain timbul dari besarnya variasi antar propinsi, maupun
relatif besarnya perbedaan antara tingkat kematian di daerah rural dan urban.
Tabel 2.2.1
AKB, AKA, dan AKBA di Indonesia Menurut Tempat Tinggal
Hasil SUSENAS 1995, 1998 dan 2001
Tempat tinggal
SUSENAS 1995
SUSENAS 1998
SUSENAS 2001
Angka Kematian Bayi
Perkotaan
45
35
39
Pedesaan
66
54
59
Kota + Desa
60
49
51
Angka Kematian Anak
Perkotaan
13
8
10
Pedesaan
26
19
21
Kota + Desa
22
15
17
Angka Kematian Balita
Perkotaan
58
42
49
Pedesaan
90
74
78
Kota + Desa
81
65
68
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik
Indonesi (2002). Laporan Data SUSENAS 2001.
4
Menurut SUSENAS 2001 penyebab utama kematian bayi umur <1 tahun adalah kematian
perinatal (36 persen), diikuti oleh pnemonia (28 persen), diare (9 persen), penyakit saluran
cerna (4 persen), tetanus (3 persen) dan penyakit syaraf (3 persen). Penyebab kematian utama
pada periode neonatal (bayi umur <28 hari) adalah prematuritas disertai berat lahir rendah
(29,2 persen), asfiksia lahir (27 persen), tetanus neonatorum (9,5 persen), masalah pemberian
makan (9,5 persen), kelainan kongenital (7,3 persen), gangguan hematologi/ikterus (5,6
persen), pnemonia (2,8 persen), dan sepsis (2,2 persen). Penyebab utama kematian balita
umur 1-4 tahun adalah pneumonia (23 persen), diare (13 persen), penyakit syaraf (12 persen),
tifus (11 persen) dan penyakit saluran cerna (6 persen). Keberhasilan program imunisasi telah
menurunkan mortalitas akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (difteri,
pertusis, campak) dengan cukup tajam dari 52,6 (SKRT 1996) menjadi 1,4 per 100.000
penduduk (SKRT 2001). Penyebab kematian utama anak umur 5-14 tahun adalah tifus, diare
dan pnemonia, dan untuk anak umur >15 tahun (remaja) adalah kecelakaan, tuberkulosis, dan
komplikasi maternal.
Menurut SDKI 1997 prevalensi diare pada balita masih sekitar 10 persen dan pertusis sekitar
9 persen. Hasil Survai Sosial-Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 1999 menunjukkan
bahwa lebih dari 1 persen bayi dan balita menderita campak dalam periode sebulan sebelum
saat pengumpulan data dilakukan. Hasil menggembirakan dicapai dalam upaya eradikasi
polio, dimana sejak 1996 tidak lagi ditemukan kasus baru.
Insidens campak pada anak umur <1 tahun, 1-4 tahun dan 5-14 tahun mengalami penurunan
yang bermakna yaitu berturut-turut dari 20,5 menjadi 9 per 10.000 penduduk, dari 18,4
menjadi 7,4 dan dari 8,4 menjadi 3,4. Demikian pula terjadi penurunan yang bermakna pada
insidens difteri dan pertusis.
Menurut SUSENAS 2001, sebanyak 49,1 persen bayi umur <1 dan 54,8 persen anak balita
umur 1-4 tahun mengeluh sakit dalam sebulan terakhir. Di antara anak umur 0-4 tahun
tersebut ditemukan prevalens panas sebesar 33,4 persen, batuk 28,7 persen, batuk dan nafas
cepat 17,0 persen dan diare 11,4 persen. Prevalensi gejala-gejala penyakit tersebut di
perkotaan dan pedesaan tidak terlalu berbeda.
Data morbitas pada anak umur 5-14 tahun relatif jarang. Menurut SKRT 1995 pola penyakit
anak laki-laki dan perempuan umur 5-14 tahun relatif sama. Penyakit yang paling sering
terjadi adalah anemia (52,8 persen pada laki-laki, 49,2 persen pada perempuan), diikuti
dengan penyakit periodontal (30,2 persen pada laki-laki, 33,6 persen pada perempuan),
infeksi akut saluran nafas atas (29,2 persen pada laki-laki, 29,6 persen pada perempuan),
gangguan telinga luar (23,3 persen pada laki-laki, 22,7 persen pada perempuan), dan tonsilitis
kronik (10,5 persen pada laki-laki, 13,7 persen pada perempuan).
Menurut SUSENAS 2001 prevalensi disabilitas fungsi tubuh pada bayi umur <1 tahun, 1-4
tahun, 5-14 tahun berturut-turut 29,9 persen, 31,6 persen dan 24,2 persen. Prevalens kelainan
struktur organ pada bayi <1 tahun, 1-4 tahun, 5-14 tahun berturut-turut 2,5 persen, 3,3 persen
dan 3,6 persen. Pada anak umur 5-14 tahun ditemukan pula sebanyak partisipasi dan aktivitas
9,6 persen.
5
Secara keseluruhan 29,9 persen bayi umur <1 tahun, 32,8 persen anak umur 1-4 tahun dan
30,1 persen anak umur 5-14 tahun menderita satu jenis disabilitas atau lebih.
Jenis disabilitas fungsi tubuh yang paling banyak diderita anak-anak adalah disabilitas fungsi
pencernaan, metabolisme dan endokrin dan disabilitas fungsi kardiovaskuler, hematologi,
imunologi dan pernafasan.
Tabel 2.2.2 Prevalensi Disabilitas Fungsi Tubuh Pada Anak (dalam persen)
Jenis
Disabilitas Fungsi Tubuh
Mental
Sensorik dan nyeri
Bicara dan suara
Kardiovaskuler, hematologi, imunologi dan
pencernaan
Pencernaan, metabolisme dan endokrin
Urogenital dan reproduksi
Neuromuskuloskeletal dan pergerakan
Kulit, rambut dan kuku
Kelompok Umur
<1 tahun
1-4 tahun
5-14 tahun
1,0
3,0
2,4
1,0
1,3
1,8
3,0
0,6
16,7
11,6
5,7
15,2
19,6
18,1
0,1
0,4
0,3
0,1
1,5
1,9
1,3
Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2002). Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan SKRT 2001: Studi
Morbiditas dan Disabilitas.
Jenis kelainan struktur organ yang terbanyak diderita anak-anak adalah kelainan mata dan
telinga.
Tabel 2.2.3 Prevalensi Kelainan Struktur Organ Pada Anak (dalam persen)
Jenis
Kelainan Struktur Organ
Sistem syaraf
Mata dan telinga
Pembentukan suara
Kardiovaskuler, imunologi, dan sistem
pernafasan
Pencernaan, metabolisme dan endokrin
Sistem urogenital
Kulit, kuku dan rambut
Kelompok Umur
<1 tahun
1-4 tahun
5-14 tahun
0,1
1,0
1,5
1,4
1,5
0,5
0,7
0,1
0,3
-
0,3
0,5
0,1
0,2
0,5
1,0
0,8
Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2002). Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan SKRT 2001: Studi
Morbiditas dan Disabilitas.
6
Sedangkan jenis disabilitas partisipasi dan aktivitas yang paling banyak diderita anak umur 514 tahun adalah disabilitas belajar dan menerapkan pengetahuan, serta disabilitas
komunikasi.
Tabel 2.2.4 Prevalensi Disabilitas Partisipasi dan Aktivitas
Pada Anak Umur 5-14 Tahun
Jenis Disabilitas Partisipasi dan Aktivitas
Prevalens (persen)
Belajar dan menerapkan pengetahuan
5,1
Komunikasi
5,3
Mobilisasi
0,1
Merawat diri sendiri
0,1
Melakukan kegiatan rumah tangga
2,1
Melakukan interaksi hubungan antar perseorangan
0,4
Pendidikan, pekerjaan dan ekonomi
2,0
Bermasyarakat, sosial dan kehidupan bernegara
1,7
Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2002). Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan SKRT 2001: Studi
Morbiditas dan Disabilitas.
2.3.
STATUS KESEHATAN IBU
Derajat kesehatan anak tidak dapat dipisahkan dari derajat kesehatan ibu. Data SUSENAS
2001 menunjukkan Angka kematian ibu (AKI) sebesar 394 per 100.000 kelahiran hidup.
Dalam kurun waktu 15 tahun AKI tidak menunjukkan penurunan, malah terlihat stagnant.
Dari hasil survei tahun 2001 tersebut terlihat bahwa penyebab kematian ibu tertinggi adalah
perdarahan termasuk abortus adalah 34,3 persen, diikuti oleh eklampsia (23,7 persen). Data
rumah sakit menunjukkan bahwa kematian ibu di rumah sakit semakin meningkat, yaitu dari
4 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1994 menjadi 8 per 1000 pada tahun 1999. Case
fatality rate kasus maternal juga meningkat dari 0,4 persen (1993 dan 1994) menjadi 0,5
persen (1996) dan 0,8 persen (1999).
2.4.
STATUS GIZI
Dari berbagai sumber data dari tahun 1986 sampai 1999, prevalens BBLR berkisar antara 716 persen. Diperkirakan ada 5 juta bayi lahir, maka setiap tahun diperkirakan 355.000
sampai 710.000 bayi lahir dengan kondisi BBLR.
Data terakhir menurut SUSENAS 2001 menunjukkan bahwa prevalensi pendek/sangat
pendek pada balita mencapai 34 persen, pada anak usia sekolah 5-14 tahun 0,1 persen.
Prevalensi kurus/sangat kurus pada balita 16 persen, dan apda anak usia sekolah 0,5 persen.
Prevalensi balita dengan gizi kurang/gizi buruk (underweight) 31 persen. Data ini
7
menunjukkan adanya penurunan prevalensi gizi kurang dibandingkan dengan kondisi pada
tahun 1989. Namun demikian ditinjau dari jumlah penduduk dan proporsi balita, jumlah
balita dengan gizi buruk pada tahun 2002 dapat dikatakan lebih tinggi daripada tahun 1989.
Sedangkan prevalensi gizi kurang pada anak usia sekolah adalah sebesar 0,4 persen pada
anak laki-laki dan 0,5 persen pada anak perempuan.
Selain itu, terlihat pula bahwa jumlah dan proporsi balita dengan gizi buruk cenderung
meningkat dari tahun 2000 ke tahun 2002. Hasil Susenas 2001 juga menunjukkan bahwa
status gizi balita di desa lebih rendah daripada di kota, dan status gizi balita di Kawasan
Timur Indonesia lebih rendah daripada di kawasan lain. Data ini menunjukkan bahwa secara
umum krisis multi-dimensi di Indonesia juga menimbulkan dampak negatif terhadap status
gizi balita.
Masalah gizi lain yang cukup penting adalah adalah defisiensi gizi mikro. Meskipun
Indonesia sudah dinyatakan bebas dari xeroftalmia pada tahun 1992, balita di Indonesia
berisiko untuk kembali mengalami xeroftalmia. Hal ini disebabkan proporsi balita dengan
serum retinol <20g/100mL masih tinggi. Selain itu kebiasaan balita mengkonsumsi sayur
dan buah berwarna masih belum membudaya.
Prevalens gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) pada anak usia sekolah telah
menurun dari 30 persen pada tahun 1980 menjadi 9,8 persen pada tahun 1998. Namun
demikian masih dijumpai sekitar 7 persen kecamatan endemik berat (prevalens GAKY >30
persen) dan 5,1 persen kabupaten endemik berat.
Data tahun 1986 menunjukkan prevalens anemia defisiensi besi pada perempuan hamil
sebesar 73 persen, yang kemudian menurun menjadi 63,5 persen pada tahun 1992 dan 50,9
persen pada tahun 1995. Data SUSENAS 2001 menunjukkan prevalensi anemia diantara
balita mencapai 48 persen, dengan prevalensi tertinggi pada bayi <1 tahun. Prevalensi anemia
pada balita di desa lebih tinggi daripada di kota. Sedangkan prevalensi anemia pada anak
umur 5-14 tahun masih sekitar 28,3 persen.
Data tentang status gizi remaja sangat terbatas. Berdasarkan data SKRT 1995 sekitar 51,7
persen remaja perempuan menderita anemia. Di DKI Jakarta sekitar 17,9 persen siswa SLTA
menderita anemia (Budiarso, Lubis dan Kristanti, 1999) dan 42,1 persen memiliki Indeks
Massa Tubuh (IMT) di bawah normal menurut standard Thomas. Data lain menunjukkan
bahwa pada remaja umur 13-19 tahun di Jawa Barat terdapat prevalensi KEP 16,8 persen dan
prevalensi anemia 42,4 persen. Sedangkan di Bali prevalensi KEP 30,2 persen dan
prevalensi anemia 44,5 persen.
2.5
KETERSEDIAAN AIR BERSIH DAN JAMBAN SANITER
Hasil SUSENAS 2001 menunjukkan bahwa aksesibilitas terhadap sumber air bersih yang
terlindung dalam kurun waktu 3 tahun tidak banyak berubah, yaitu hanya meningkat dari 73
persen menjadi 75 persen (83 persen di Jawa-Bali, 59 persen di Sumatera, dan 60 persen di
Kawasan Timur Indonesia), sementara penggunaan jamban saniter meningkat dari 38,9
persen menjadi 61,6 persen.
8
2.6
PERILAKU KESEHATAN
Data terakhir menunjukkan adanya penurunan prevalens ASI eksklusif (bayi mendapat hanya
ASI saja sampai umur 4 bulan) dari 65,1 persen (Susenas 1998) menjadi 49,2 persen
(Susenas 2001). Proporsi bayi mendapatkan ASI eksklusif di perdesaan lebih tinggi daripada
di perkotaan dan di Kawasan Timur Indonesia lebih tinggi daripada di kawasan Jawa, Bali
dan Sumatera. Sedangkan ibu menyusui bayinya sampai umur 12-15 bulan sekitar 86 persen,
dan sekitar 66 persen menyusui sampai bayi umur 22-23 bulan.
Hanya sekitar 6 persen bayi umur 6-7 bulan belum mendapatkan makanan pendamping ASI
(Susenas 2001). Proporsi ini hampir sama antara perdesaan dan perkotaan. Akan tetapi
kualitas makanan tambahan yang diberikan kepada bayi kebanyakan tidak adekuat.
Umumnya makanan tambahan tersebut hanya mengandung sekitar 50 persen dari jumlah
energi yang disarankan WHO dan sekitar 30 persen dari kandungan mikronutrien yang
dibutuhkan anak.
Di antara penduduk yang mempunyai keluhan sakit hanya 36,6 persen yang berobat jalan ke
sarana pelayanan kesehatan, sebesar 27,8 persen berobat ke Puskesmas dan Puskesmas
Pembantu, 30,55 persen ke dokter praktek, 14,54 persen ke rumah sakit, 14,37 persen ke
petugas kesehatan lain, serta 3,5 persen ke dukun/tabib/ sinshe (Susenas 2000).
Hasil Susenas 2001 menunjukkan bahwa dari penduduk yang mengeluh sakit dalam 1 bulan
terakhir ada sekitar 56,3 persen yang mengobati sendiri. Kondisi ini lebih rendah dari
Susenas 1998 yang mencapai 62,2 persen. Di antara yang mengobati sendiri sekitar 85,2
persen menggunakan obat modern, 28,7 persen menggunakan obat tradisional, dan 8,5 persen
menggunakan cara lainnya. Penggunaan obat tradisional meningkat hampir 2 kali lipat,
dimana pada tahun 1998 hanya mencapai 15 persen.
Posyandu adalah Pos Pelayanan Terpadu yang diselenggarakan oleh masyarakat di tingkat
desa. Hasil Survei Potensi Desa (PODES) tahun 2000 menunjukkan bahwa 92 persen desa
telah memiliki Posyandu. Di antara desa yang tidak memiliki Posyandu, 50 persen
menyatakan mudah menjangkau Posyandu (di desa lain). Berdasarkan data tersebut secara
keseluruhan 96 persen desa secara fisik memiliki aksesibilitas ke Posyandu relatif mudah.
Namun demikian pemanfaatan Posyandu oleh balita belum seperti yang diharapkan. Menurut
Susenas 2001, hanya 40 persen balita dilaporkan dibawa ke Posyandu dalam 1 bulan terakhir
dan sekitar 28 persen balita tidak pernah dibawa mengunjungi ke Posyandu. Jika ditinjau dari
kelompok umurnya, yang terbanyak memanfaatkan Posyandu adalah bayi 0-11 bulan.
Selanjutnya proporsi tersebut menurun seiring dengan meningkatnya umur anak. Di
perkotaan lebih banyak yang tidak memanfaatkan Posyandu dibandingkan di perdesaan (30,6
persen vs 25,7 persen).
Hasil Susenas 2001 menunjukkan bahwa sekitar 27,7 persen penduduk umur >10 tahun
merokok dalam 1 bulan terakhir. Prevalensi merokok di antara penduduk laki-laki adalah
54,5 persen dan di antara penduduk perempuan 1,2 persen. Sekitar 92 persen perokok
menyatakan kebiasaan merokoknya di dalam rumah ketika berada bersama dengan anggota
9
rumah tangga lainnya. Sekitar 9,4 persen perokok mulai merokok pada usia 10-14 tahun, dan
terbanyak mulai pada usia 15-19 tahun (59,1 persen).
2.7
PELAYANAN KESEHATAN
Dalam upaya meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan, sampai dengan tahun 2000,
telah dibangun sarana kesehatan berupa 7.277 Puskesmas (1.818 dengan rawat inap), 21.587
Puskesmas Pembantu, 5.084 Puskesmas Keliling, 935 rumah sakit umum (milik pemerintah,
swasta, dan TNI) disertai penempatan tenaga kesehatan di berbagai sarana tersebut dan
54.120 bidan di desa. Namun demikian penampilan dan mutu pelayanan kesehatan, terutama
pelayanan kesehatan ibu dan anak, masih belum optimal. Lemahnya manajemen, belum
mantapnya pelayanan rujukan, penyebaran sarana dan prasarana kesehatan yang tidak merata
dan kurangnya dukungan logistik dan biaya operasional menyebabkan mutu pelayanan belum
seperti yang diharapkan. Meskipun angka rata-rata kunjungan per hari di Puskesmas pada
tahun 1996 sudah cukup tinggi (108 kunjungan per Puskesmas per hari), namun tidak sedikit
Puskesmas yang kunjungan rata-ratanya per hari <10 orang.
Upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan di Puskesmas digalakkan sejak tahun 1994.
Peningkatan mutu (quality assurance) tersebut diarahkan pada upaya pelayanan kesehatan
dasar yang memiliki daya ungkit besar dalam menurunkan AKB, AKI, dan tingkat
morbiditas penyakit-penyakit utama sebagaimana diuraikan sebelumnya, yaitu pelayanan
kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi, imunisasi, penanggulangan ISPA, pemberantasan
diare, malaria, tuberkulosis paru dan vektor demam berdarah, penyuluhan kesehatan, dan
upaya kesehatan sekolah.
Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2001, cakupan K1 (pelayanan antenatal yang
pertama kali) 90,5 persen. Cakupan K4 (pelayanan antenatal 4 kali) 74.25 persen. Data
Susenas 2001 menunjukkan bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan mengalami
peningkatan. Sebanyak 58,9 persen persalinan, penolong pertamanya adalah tenaga
kesehatan (terdiri dari 8,4 persen dokter, 49,7 persen bidan dan 0,8 persen paramedis lain)
dan 64 persen penolong terakhirnya adalah tenaga kesehatan (9,1 persen dokter, 53,8 persen
bidan dan 1,1 persen paramedis lain).
Pada Susenas 2001 cakupan KB Aktif menurun dari 55,4 persen (1998) menjadi 53,8 persen.
Metode kontrasepsi yang dipergunakan berturut-turut dari yang terbanyak adalah suntik 25,8
persen, pil 13,4 persen, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) 6,4 persen dan susuk 4,8
persen.
Penggunaan Buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA) ditingkat keluarga (home based)
dimaksudkan agar keluarga mempunyai buku catatan dan informasi kesehatan dan tumbuh
kembang anak. Model penggunaan Buku KIA pertama kali diterapkan di Indonesia pada
tahun 1996. Pada saat ini telah digunakan di 24 provinsi di 214 kabupaten/kota. Sekitar
10.000 bidan dan 50.000 kader posyandu dilatih dalam penggunaan Buku KIA dan sekitar 5
juta Buku KIA telah dicetak dan dibagikan kepada ibu-ibu hamil. Setelah anak lahir, buku
tersebut menjadi milik anak sekaligus untuk pembinaan perkembangan anak sejak usia dini
(early child development).
10
Menurut laporan Profil Kesehatan 2001, cakupan pemeriksaan neonatal (bayi <1 bulan)
adalah 76.26 persen. Meskipun kegiatan deteksi dini dan stimulasi perkembangan anak telah
dilaksanakan di unit pelayanan KIA di puskemas sejak tahun 1990, namun data-data tentang
pelaksanaan kegiatan tersebut masih sangat terbatas. Kegiatan lainnya adalah manajemen
terpadu balita sakit (integrated management of childhood illness) yaitu pendekatan holistik
dan terpadu dalam tatalaksana penyakit-penyakit yang menjadi penyebab utama kematian
neonatal, bayi dan anak balita mulai diterapkan pada tahun 1997 di 2 propinsi (2 kabupaten
di Jawa Timur dan 1 kabupaten Jawa Barat). Sampai saat ini sudah 30 provinsi menerapkan
MTBS di sekitar 165 kabupaten/kota.
Program imunisasi telah memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Data yang tersedia
dari pencatatan program imunisasi pada tahun 2001 menunjukkan cakupan Hepatitis B-1
pada bayi umur 0-7 hari 3 persen, dan Hepatitis B-3 67,1 persen. Cakupan imunisasi BCG
pada bayi 0-11 bulan mencapai 96,8 persen, DPT-3 90,6 persen, Polio-4 90,4 persen, campak
89,9 persen. Cakupan imunisasi DT pada murid kelas 1 SD mencapai 95 persen, imunisasi
TT pada murid kelas 2-6 SD sebesar 94,6 persen, dan cakupan imunisasi TT lengkap (TT-2)
pada ibu hamil mencapai 71,9 persen.
Data yang sama menunjukkan cakupan pemberian 90 tablet besi pada ibu hamil mencapai
61,2 persen. Cakupan pemberian kapsul yodium mencapai 44,5 persen pada ibu hamil, 55,4
persen pada ibu nifas, dan 83,3 persen pada anak SD. Pemberian vitamin A mencakup 55,75
persen bayi, 67,8 persen anak balita dan 40,27 persen ibu nifas.
Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) yang dilaksanakan sejak
pertengah tahun 1998 merupakan salah satu upaya Pemerintah Republik Indonesia untuk
mengatasi dampak krisis ekonomi terhadap derajat kesehatan anak-anak dari keluarga
miskin. Sebanyak 12.985.128 keluarga miskin (gakin) dari 13.997.030 sasaran gakin telah
memiliki Kartu Sehat (KS) dan sebanyak 6.815.501 gakin (48,7 persen) telah memanfaatkan
fasilitas kesehatan yang tersedia. Sejauh ini bentuk pelayanan kesehatan bagi gakin
difokuskan pada pelayanan kesehatan ibu (yaitu pelayanan kebidanan dasar, pertolongan
persalinan dan pelayanan nifas) dan PMT Pemulihan pada anak umur 6-23 bulan dan ibu
hamil dengan KEK.
Sampai dengan bulan Desember 2002 dari 884.071 bumil gakin, cakupan pelayanan
antenatal mencapai 83,4 persen, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan 72,2 persen,
dan cakupan pelayanan ibu nifas 80,1 persen. Sebanyak 9,6 persen bumil gakin telah
menerima pelayanan rujukan baik ke Puskesmas perawatan maupun ke rumah sakit.
Dari sasaran 135.498 bayi gakin berumur 6-11 bulan yang memperoleh PMT Pemulihan
sebanyak 40,2 persen, dan dari 240.382 anak gakin berumur 12-23 bulan sebanyak 38,7
persen mendapat PMT Pemulihan. Dari 30.220 ibu hamil (bumil) dengan kekurangan energi
kronik (KEK), yang memperoleh PMT Pemulihan adalah 56,2 persen. PMT Penyuluhan
diberikan kepada 39,8 persen dari 413.375 anak berusia 24-59 bulan.
11
2.8
PEMBERDAYAAN KELUARGA
Pembangunan kesehatan juga dilaksanakan melalui pemberdayaan keluarga. Terkait dengan
pelayanan kesehatan anak telah didirikan berbagai bentuk upaya kesehatan berbasis
masyarakat, antara lain Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang mengintegrasikan 5
program, yaitu (1) pemantauan pertumbuhan anak dan upaya perbaikan gizi, (2) pelayanan
kesehatan ibu dan anak, termasuk pemantauan perkembangan anak, (3) pelayanan keluarga
berencana, (4) imunisasi dan (5) penanggulangan diare. Hingga saat ini telah terbentuk
sekitar 240.000 Posyandu.
Sejalan dengan penempatan bidan di desa, masyarakat desa berpartisipasi dalam penyediaan
dan pengembangan Pondok Bersalin Desa (Polindes). Adanya Polindes menyebabkan
masyarakat memiliki aksesibilitas yang lebih baik terhadap pelayanan kebidanan dasar,
persalinan, pelayanan ibu nifas, serta pelayanan kesehatan bagi bayi baru lahir, bayi, balita
dan anak pra-sekolah. Sampai saat ini telah didirikan 33.083 Polindes.
Untuk mempercepat tercapainya visi Indonesia Sehat 2010 pemberdayaan masyarakat
dilaksanakan pula dalam bentuk berbagai gerakan, misalnya Gerakan Sayang Ibu (GSI),
Gerakan Anti Madat, Gerakan Peningkatan Penggunaan ASI, Gerakan Pita Putih (Safe
Motherhood), Gerakan Pita Merah (HIV/AIDS), Rumah Sakit Sayang Bayi, Gebrak Malaria,
Gerakan Terpadu Nasional Tuberkulosis (Gerdunas TB), dan sebagainya.
12
BAB 3. VISI, MISI DAN TUJUAN
3.1
VISI DAN MISI PNBAI
Visi dan Misi PNBAI mengacu pada visi dan misi Indonesia Sehat 2010. Adapun definisi
sehat yang dimaksud adalah definisi sehat sesuai dengan definisi WHO, yaitu suatu keadaan
yang tidak hanya semata-mata bebas dari penyakit dan kecacatan, tetapi suatu keadaan sehat
fisik, mental dan sosial.
3.1.1 Visi
Gambaran anak Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan
anak adalah setiap anak Indonesia hidup dalam keluarga, masyarakat dan lingkungan yang
sehat dan berperilaku hidup sehat, memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan
komprehensif yang bermutu secara adil dan merata, sehingga memiliki derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
3.1.2 Misi
1. Menempatkan kesehatan anak sebagai prioritas utama dalam pembangunan kesehatan
maupun pembangunan nasional.
2. Mengembangkan kemampuan keluarga, orang tua dan wali anak dalam memenuhi hakhak anak untuk menjadi sehat.
3. Menggerakkan berbagai potensi masyarakat dalam mendukung upaya peningkatan
derajat kesehatan anak.
4. Meningkatkan derajat kesehatan anak melalui berbagai upaya lintas sektor terkait.
5. Mengembangkan pelayanan kesehatan fisik, mental dan sosial bagi anak Indonesia yang
berkualitas dan tersedia secara merata, adil dan terjangkau.
6. Meningkatkan lingkungan fisik, mental dan sosial yang sehat bagi anak.
3.2
TUJUAN, TARGET DAN INDIKATOR
3.2.1 Tujuan
Tujuan PNBAI bidang Kesehatan mengacu MDG, yang meliputi:
1. Eradikasi kelaparan dan kemiskinan
2. Menurunkan angka kematian anak
3. Meningkatkan kesehatan ibu
4. Pemberantasan HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain
5. Menjamin kesinambungan lingkungan
13
3.2.2 Target dan indikator
Target dan indikator PNBAI mengacu pada target dan indikator WFC, yaitu:
1. Menurunnya AKB dan AKBA pada tahun 2015 menjadi 1/3 dari kondisi 2001
- Menurunnya angka kematian bayi menjadi 17 per 1000 kelahiran hidup pada tahun
2015, terutama difokuskan pada upaya menurunkan angka kematian neonatal.
- Menurunnya angka kematian balita menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup pada tahun
2015.
- Menurunnya angka kematian karena pneumonia dari 5 menjadi 2 per 1000 kelahiran
hidup pada tahun 2010.
- Menurunnya angka kematian akibat diare diantara balita dari 2,5 menjadi 1 per 1000
kelahiran hidup pada tahun 2010.
- Menurunnya angka kematian akibat campak pada tahun 2005 menjadi 1/2 dari
keadaan pada tahun 2001.
- Eliminasi tetanus neonatorum pada tahun 2005.
- Menurunnya angka kesakitan malaria menjadi 1 per 1000 penduduk dan angka
kematian karena malaria sebanyak 75 persen serta menjamin 60 persen penduduk di
daerah berisiko malaria – terutama anak dan wanita – menggunakan kelambu yang
mengandung insektisida.
- Meningkatnya angka kesembuhan penderita TBC dengan BTA positif menjadi  85
pada tahun 2010.
- Desa/kelurahan mencapai Universal Child Immunization (UCI) 100 persen pada
tahun 2010.
- Menurunnya kasus Acute Flacid Paralysis (AFP) yang ditemukan per 100.000
penduduk  15 tahun menjadi  1
- Meningkatnya cakupan kunjungan neonatus menjadi 90 persen dan cakupan
kunjungan bayi menjadi 90 persen pada tahun 2010.
- Meningkatnya cakupan bayi berat lahir rendah (BBLR) yang ditangani menjadi 100
persen.
- Neonatal risiko tinggi/komplikasi yang ditangani mencapai 80 persen.
- Meningkatnya cakupan manajemen terpadu pada balita sakit pneumonia, diare,
malaria, campak, DBD, infeksi telinga, gizi kurang, menjadi 100 persen pada tahun
2010.
2. Menurunnya AKI pada tahun 2015 menjadi 1/3 dari kondisi pada tahun 2001.
- Menurunnya AKI menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010.
- Meningkatnya kunjungan ibu hamil K4 menjadi 95 persen pada tahun 2010.
- Meningkatnya pertolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan yang
memiliki kompetensi kebidanan menjadi 90 persen pada tahun 2010.
- Cakupan ibu hamil risiko tinggi yang dirujuk 100 persen pada tahun 2010.
- Meningkatnya penanganan kasus komplikasi obstetrik menjadi >20 persen pada tahun
2010.
- Akses terhadap ketersediaan darah dan komponen yang aman untuk menangani
rujukan ibu hamil dan neonatus mencapai 80 persen tahun 2010.
- Ibu hamil risiko tinggi/komplikasi yang ditangani mencapai 80 persen pada tahun
14
-
-
2010.
Ibu hamil mendapat 90 tablet Fe mencapai 90 persen pada tahun 2010.
Menurunnya prevalens anemia gizi pada ibu hamil (kadar hemoglobin <8 gr persen)
menjadi 20 persen dan anemia pada wanita usia subur menjadi 15 persen pada tahun
2010.
Menurunnya angka kehamilan yang tidak diinginkan dari 17,1 persen menjadi 11
persen pada tahun 2010.
Meningkatnya kabupaten/kota yang mempunyai sedikitnya 4 puskesmas PONED
menjadi 60 persen pada tahun 2010.
Tersedianya tenaga profesional dan fasilitas di RS Kabupaten untuk pelayanan
PONEK.
3. Menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita menjadi pada tahun 2015 menjadi 1/3 dari
kondisi pada tahun 2001 dengan perhatian khusus pada anak di bawah 2 tahun dan
penurunan angka BBLR.
- Menurunnya prevalensi balita bawah garis merah <15 persen pada tahun 2010.
- Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan 100 persen pada tahun 2010.
- Meningkatnya pemberian ASI eksklusif sampai umur 6 bulan menjadi 80 persen pada
tahun 2010.
- Meningkatnya pemberian ASI disertai makanan pendamping ASI pada anak umur 6
bulan sampai 2 tahun menjadi 80 persen pada tahun 2010
- Menurunnya prevalensi BBLR menjadi <5persen pada tahun 2010.
- Cakupan balita mendapat kapsul Vitamin A 2 kali per tahun 90 persen pada tahun
2010.
- Eradikasi kretin baru pada bayi pada tahun 2010.
- Menurunnya total goitre rate menjadi 13 persen pada tahun 2010.
- Menurunnya prevalensi anemia pada balita menjadi 16 persen pada tahun 2010.
- Menurunnya prevalensi balita pendek/sangat pendek menjadi 10,3 persen pada tahun
2015.
- Menurunnya prevalensi balita kurus/sangat kurus menjadi 5,3 persen pada tahun 2015
4. Menurunnya proporsi rumah tangga yang tidak memiliki aksesibilitas terhadap fasilitas
sanitasi dan air bersih yang terjangkau pada tahun 2015 menjadi 1/3 dari proporsi pada
tahun 2001.
- Meningkatnya cakupan air bersih dari 73,5 persen menjadi 91,2 persen pada tahun
2015
- Meningkatnya cakupan jamban saniter dari 93 persen menjadi 97,7 persen pada tahun
2015
5. Penyelenggaraan program nasional perkembangan anak dini usia (early child
development).
- Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan bagi balita dan anak pra-sekolah
menjadi 80 persen pada tahun 2010.
- Meningkatnya balita yang naik berat badannya menjadi 80 persen
- Meningkatnya cakupan deteksi dan stimulasi dini tumbuh kembang anak balita dan
prasekolah menjadi 90 persen pada tahun 2010.
15
-
Sedikitnya 80 persen balita memiliki Buku KIA pada tahun 2010.
Pelayanan gangguan jiwa pada anak di sarana pelayanan kesehatan umum mencapai
15 persen pada tahun 2010.
Tersedianya tenaga profesional dan fasilitas di RS Kabupaten untuk pelayanan
rujukan kesehatan dan tumbuh kembang anak.
Cakupan posyandu purnama yang menyelenggarakan kegiatan perkembangan anak
dini usia sedikitnya 40 persen.
6. Penyelenggaraan program kesehatan nasional remaja.
- Meningkatnya cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh tenaga
kesehatan atau tenaga terlatih/Guru UKS/Dokter Kecil 100 persen pada tahun 2010
- Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan remaja 80 persen pada tahun 2010.
7. Penyelenggaraan program nasional kesehatan reproduksi.
- Cakupan KB aktif menjadi 70 persen pada tahun 2010.
- Meningkatnya cakupan kasus efek samping/komplikasi KB 100 persen pada tahun
2010.
- Sedikitnya 80 persen Puskesmas memberikan pelayanan Kesehatan Reproduksi
(PKRE dan PKRK) pada tahun 2010.
16
BAB 4. S T R A T E G I
Ada lima strategi utama untuk mewujudkan visi dan menjalankan misi Program Nasional
Kesehatan Bagi Anak Indonesia. Kelima strategi utama tersebut adalah:
1. Peningkatkan mutu, distribusi dan keterjangkauan upaya kesehatan termasuk
pembiayaan, sumberdaya dan manajemen kesehatan.
2. Peningkatkan kerja sama lintas sektor termasuk dengan dukungan lembaga eksekutif dan
legislatif di semua tingkatan administrasi.
3. Pemberdayaan keluarga, orang tua dan/atau wali anak.
4. Pemberdayaan masyarakat termasuk LSM, organisasi profesi, dan swasta.
5. Melaksanakan penelitian dan pengembangan untuk mendukung program kesehatan dan
kesejahteraan anak.
17
BAB V. KEGIATAN POKOK
1. Peningkatkan mutu, distribusi dan keterjangkauan upaya kesehatan termasuk
pembiayaan, sumberdaya dan manajemen kesehatan.
 Penambahan sarana dan prasarana, tenaga kesehatan dan pengembangan mobile
services
 Peningkatan mutu layanan melalui kegiatan standardisasi, akreditasi, sertifikasi,
penjaminan mutu, pelatihan dan pengembangan model-model intervensi yang tepat
guna, lokal spesifik dan berdaya ungkit tinggi
 Pemantapan sistem pembiayaan kesehatan melalui pengembangan jaminan kesehatan
dan jaring pengaman sosial bagi anak dari keluarga miskin
 Peningkatan akses anak-anak pada situasi khusus (mis. anak-anak di wilayah
terpencil, anak-anak korban bencana, anak-anak dalam pengungsian, anak-anak
dalam wilayah konflik, anak-anak terlantar) terhadap pelayanan kesehatan
komprehensif yang bermutu
Peningkatkan mutu, distribusi dan keterjangkauan upaya kesehatan termasuk
pembiayaan, sumberdaya dan manajemen kesehatan meliputi upaya kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai berikut:
1.1. Pelayanan kesehatan keluarga
1.1.1. Pelayanan kesehatan balita dan anak pra-sekolah yang mencakup pelayanan
neonatal esensial, MTBS, deteksi dini dan stimulasi perkembangan pada anak.
1.1.2. Pelayanan kesehatan maternal: pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan,
pelayanan obstetri dan neonatal emergensi dasar dan komprehensif.
1.1.3. Usaha kesehatan sekolah dan pelayanan kesehatan remaja.
1.1.4. Pelayanan kesehatan reproduksi esensial.
1.2. Perbaikan gizi
1.2.1. Penanggulangan anemia gizi pada ibu hamil, wanita usia subur dan balita.
1.2.2. Peningkatan pemberian ASI eksklusif dan MP-ASI.
1.2.3. Penanggulangan gizi kurang termasuk pemantauan pertumbuhan anak,
pemberian makanan tambahan (PMT) dan survei kewaspadaan pangan dan
gizi.
1.2.4. Suplementasi vitamin A, yodium, zat besi.
1.3. Pencegahan dan pemberantasan penyakit
1.3.1. Pencegahan dan pemberantasan ISPA, diare, malaria, tuberkulosis, PMS,
HIV/AIDS.
1.3.2. Eliminasi tetanus neonatorum.
1.3.3. Imunisasi untuk 7 macam antigen termasuk upaya Eradikasi Polio dan
Reduksi Campak.
1.4. Pelayanan kesehatan jiwa anak dan remaja, termasuk gangguan perkembangan anak
serta pencegahan dan penanggulangan penyalah-gunaan narkotik, psikotropika dan
zat adiktif.
18
1.5. Penyediaan air bersih dan jamban saniter.
1.6. Promosi perilaku hidup bersih dan sehat termasuk pencegahan kecelakaan dan
cedera pada anak
2. Peningkatan kerja sama lintas sektor termasuk lembaga eksekutif dan legistlatif di
semua tingkatan administrasi.
2.1. Melakukan advokasi kepada lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif, unit-unit
perencana, dan sektor-sektor terkait agar senantiasa mengutamakan program
kesehatan dalam rangka pemenuhan hak-hak anak.
2.2. Memastikan adanya kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berpihak
pada kepentingan kesehatan, utamanya kesehatan anak (healthy public policy).
2.3. Memastikan dukungan lintas sektor dalam penyelenggaraan upaya peningkatan
derajat kesehatan anak.
3. Pemberdayaan Keluarga
Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu, suami (ayah), wali anak dan
pengasuh anak dalam perawatan dan pengasuhan anak dini usia (0-6 tahun).
Meningkatkan perilaku mencari pertolongan kesehatan (health seeking care)
secara tepat waktu ke tenaga profesional.
4. Pemberdayaan Masyarakat
4.1. Peningkatan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat antara lain melalui
revitalisasi Posyandu, pemanfaatan Polindes.
4.2. Melaksanakan berbagai pelatihan bagi kader, tokoh masyarakat dan tenaga
sukarela lainnya dalam rangka mengaktifkan berbagai kegiatan kesehatan berbasis
masyarakat.
4.3. Mengembangkan kewaspadaan dan kesiagaan masyarakat dalam menanggulangi
berbagai masalah kesehatan ibu dan anak.
4.4. Mengembangkan peran aktif LSM, organisasi profesi dan swasta, organisasi
pemuda, Saka Bakti Husada, dan sebagainya, dalam upaya peningkatan derajat
kesehatan anak.
4.5. Menggali dan memobilisasi potensi masyarakat dalam penyelenggaraan upaya
peningkatan derajat kesehatan anak
5. Penelitian dan Pengembangan
Mendukung dan turut melaksanakan upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kesehatan yang tepat guna, efektif dan efisien.
Mendukung dan/atau turut melaksanakan upaya pengembangan metode dan pengelolaan
pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien
Mengembangkan dan melaksanakan prinsip-prinsip perencanaan dan penyelenggaraan
pelayanan kesehatan yang berbasis data (evidence based), termasuk pengembangan
Sistem Informasi Kesehatan dan Sistem Informasi Manajemen
Mengembangkan berbagai peraturan perundang-undangan dan landasan hukum yang
sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan pelayanan kesehatan, khususnya untuk
anak
19
BAB 6. KELEMBAGAAN
Pengembangan kelembagaan dilakukan melalui 4 upaya utama, yaitu:
 pemantapan kelembagaan di tingkat pusat;
 pemantapan kelembagaan di daerah, baik di propinsi maupun kabupaten/kota;
 pemantapan kelembagaan lintas sektor, baik di tingkat pusat maupun kabupaten/kota; dan
 pemantapan peran lembaga swadaya masyarakat; dan
Pemantapan kelembagaan di tingkat pusat dilakukan untuk meningkatkan kemampuannya
dalam melaksanakan perannya dalam mengembangkan kebijakan, menetapkan standard, dan
melakukan pemantauan dan penilaian. Upaya pemantapan dilakukan antara lain dengan:
 Penguatan unit-unit yang menangani masalah kesehatan anak di Departemen Kesehatan
 Pembentukan lembaga nasional yang menangani masalah kesehatan anak, misalnya
berbentuk Institut Nasional Untuk Kesehatan Anak (National Institute for Child Health).
Di tingkat propinsi dan kabupaten/kota pemantapan kelembagaan perlu dilakukan khususnya
sehubungan dengan dilaksanakannya desentralisasi dan otonomi daerah. Upaya khusus perlu
dilakukan misalnya untuk:
 Pemantapan organisasi Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota, disertai dengan
upaya pengembangan kapasitas organisasi, pengembangan sumber daya manusia, dan
pengembangan kemampuan pendanaan.
 Pemantapan organisasi pemberi pelayanan kesehatan anak baik pemerintah maupun
swasta (rumah sakit, puskesmas, klinik, rumah bersalin, balai kesehatan, laboratorium
kesehatan, dan lain-lain).
 Pengembangan komunikasi dan koordinasi antar Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
khususnya dalam menanggulangi masalah-masalah kesehatan yang terjadi lintas wilayah.
Keberhasilan pembangunan kesehatan tidak hanya ditentukan oleh upaya sektor kesehatan.
Untuk menanggulangi suatu masalah kesehatan secara mendasar perlu ditanggulangi faktorfaktor pengaruh yang bukan merupakan masalah kesehatan. Peran sektor-sektor lain sangat
dibutuhkan untuk menanggulangi berbagai penyebab mendasar. Upaya untuk meningkatkan
peran dan kontribusi lintas sektor antara lain:
 Meningkatkan peran dan aktifitas berbagai kelompok kerja lintas sektor yang sudah ada,
misalnya kelompok kerja nasional dalam bidang kesehatan reproduksi, penanggulangan
HIV/AIDS, safe motherhood, gizi, dan lain-lain.
 Menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga lintas sektor dari sektor-sektor terkait
seperti Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Departemen Pendidikan Nasional,
Departemen Sosial, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan Departemen
Pertanian.
Peran dan partisipasi Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan salah satu
kunci keberhasilan pembangunan kesehatan. Untuk itu Pemerintah perlu bekerja sama
dengan LSM dan mendorong berdiri dan berkembangnya berbagai LSM yang peduli
dan/atau bergerak di bidang kesehatan.
20
BAB 7. P E N D A N A A N
Dana dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan PNBAI bidang kesehatan
meliputi dana dan sumber daya untuk:
 pengembangan sumber daya manusia;
 pengembangan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan;
 pengadaan obat dan bahan habis pakai;
 pengembangan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan (pelayanan kesehatan
keluarga, perbaikan gizi, pencegahan dan pemberantasan penyakit, pelayanan kesehatan
jiwa, kesehatan lingkungan dan promosi kesehatan);
 pengembangan peran serta masyarakat;
 pengembangan kelembagaan; dan
 penelitian dan pengembangan teknologi.
Kebutuhan untuk pengembangan sumber daya manusia akan mencakup dana dan sumber
daya lain untuk:
 Melaksanakan pelatihan bagi tenaga kesehatan yang sudah ada, terutama bagi tenaga
kesehatan di unit-unit pelayanan kesehatan terdepan seperti Puskesmas Pembantu
(Pustu), Pondok Bersalin Desa (Polindes), dan Puskesmas, Rumah Sakit Kabupaten/Kota.
 Melaksanakan pengangkatan dan penempatan tenaga kesehatan baru, terutama untuk
daerah-daerah sulit dan/atau terpencil.
Kebutuhan untuk pengembangan sarana pelayanan kesehatan akan mencakup dana dan
sumber daya lain untuk:
 Menambah sarana dan prasarana pelayanan kesehatan baru – khususnya sarana pelayanan
kesehatan terdepan seperti Pustu, Polindes, Puskesmas dan Rumah Sakit Kabupaten/Kota
– terutama dikaitkan dengan adanya pemekaran wilayah (kabupaten/kota baru).
 Memelihara dan merenovasi sarana dan prasarana pelayanan kesehatan lama.
 Menambah alat kesehatan sehingga sesuai dengan standard yang ditetapkan.
Kebutuhan untuk pengadaan obat dan bahan habis pakai mencakup dana dan sumber daya
lain untuk:
 Menyediakan obat esensial termasuk mikronutrien.
 Menyediakan vaksin untuk imunisasi dasar (tuberkulosis, DPT, polio, campak, hepatitis).
 Menyediakan makanan tambahan bagi anak, khususnya anak umur 6-24 bulan.
Kebutuhan untuk pengembangan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan meliputi dana
dan sumber daya untuk
 Melaksanakan pelayanan kesehatan.
 Manajemen pelayanan kesehatan termasuk pengembangan sistem informasi kesehatan
dan sistem informasi manajemen.
 Melaksanakan kegiatan supervisi, pemantauan dan evaluasi
 Melaksanakan sistem kewaspadaan dini.
 Mengembangkan model intervensi yang berdaya ungkit tinggi.
21
Kebutuhan untuk pengembangan peran serta masyarakat mencakup dana dan sumber daya
lain untuk:
 Melakukan revitalisasi berbagai kegiatan kesehatan berbasis masyarakat (misalnya
revitalisasi 240.000 Posyandu).
 Melaksanakan berbagai kegiatan untuk mendorong berdiri dan berperan-aktifnya LSM
yang peduli kesehatan.
Kebutuhan untuk pengembangan kelembagaan mencakup dana dan sumber daya lain untuk:
 Melakukan berbagai kegiatan dalam rangka advokasi kepada lembaga-lembaga legislatif,
unit-unit perencana, dan berbagai sektor terkait.
 Melakukan berbagai kegiatan untuk mendorong terbentuk dan berperan-aktifnya berbagai
kelembagaan di tingkat pusat sampai kabupaten/kota (misalnya Institut Nasional Untuk
Kesehatan Anak, Konsil Kesehatan Kabupaten/Kota).
Kebutuhan untuk pengembangan teknologi mencakup dana dan sumber daya lain untuk:
 Menjalin kerja sama dengan berbagai institusi yang melakukan penelitian tentang
kesehatan
 Bekerja sama dengan institusi pelaksana penelitian melakukan berbagai penelitian
terapan dalam bidang kesehatan ibu dan anak.
22
DAFTAR RUJUKAN
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002).
Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan Data Susenas 2001: Status Kesehatan,
Pelayanan Kesehatan, Perilaku Hidup Sehat dan Kesehatan Lingkungan.
__________ (2002). Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan Studi Mortalitas 2001: Pola
Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia.
__________ (2002). Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan SKRT 2001: Studi
Morbiditas dan Disabilitas.
Badan Pusat Statistik Jakarta (2002). Statistik Kesejahteraan Rakyat 2002.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002). Sistem Kesehatan Nasional (Draf
Rancangan Agustus 2003)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002). Profil Kesehatan Indonesia 2001.
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia (2000). Profil
Kesehatan Indonesia 2000.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1999). Indonesia Sehat 2010.
Kelompok Studi Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan World Health
Organization (2001). Penilaian Situasi Kesehatan Anak Umur Sekolah Termasuk
Remaja di Indonesia.
Pemerintak Republik Indonesia (2002). Undang-undang Republik Indonesia No.23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak.
__________ (2001). Indonesia Country Report. 5th East Asia and Pacific Ministerial
Consultation on Shaping the Future Agenda for Children.
Pemerintah Republik Indonesia dan UNICEF (2001). National Report on Follow-up to the
World Summit for Children (1990-2000).
__________ (2000). The Situation of Children and Women in Indonesia, 2000
Unicef EAPRO 2003. Report of the Sixth East Asia and Pacific Ministerial Consultation On
Children 5-7 May 2003 Bali, Indonesia
World Health Organization (2001). Strategic Directions for Improving the Health and
Development of Children and Adolescents.
23
Download