BAB 4. PERTUMBUHAN MIKROBA Mikroba hidup di sekitar kita dan hidup di sembarang lingkungan di bumi. Pertumbuhan mikroba merupakan aspek penting dalam mempelajari mikrobiologi. Karena berdasarkan kurva pertumbuhan tersebut kita dapat memanipulasi pertumbuhan mikroba untuk kepentingan manusia. Bentuk manipulasi pertumbuhan dapat berupa mempercepat maupun menghambat pertumbuhan. PERTUMBUHAN Pertumbuhan adalah bertambahnya tinggi atau berat suatu organisme. Pertambahan tinggi maupun berat organisme merupakan bertambahnya ukuran sel atau bertambahnya jumlah sel. Dalam dunia mikroba pertumbuhan diartikan sebagai bertambahnya jumlah sel. Hal ini karena mikroba sebagian besar adalah organisme bersel tunggal. Sehingga difinisi pertambahan tinggi maupun berat organisme tidak berlaku lagi. Mikroba memperbanyak diri melalui pembelahan sel maupun reproduksi seksual. Reproduksi seksual hanya dijumpai pada mikroba bersel banyak seperti jamur. Pembelahan Sel Terdapat 2 jenis pembelahan sel yaitu pembelahan biner dan pertunasan (budding). Pembelahan biner adalah pembelahan yang menghasilkan 2 sel sama besar (Gambar 3.1), sedangkan pertunasan adalah pembelahan yang menghasilkan 2 sel yang tidak sama besar (sel yang besar disebut induk dan sel yang kecil disebut anak). Pada jamur terdapat suatu deviasi dari pembelahan biner yang disebut pembelahan filamentus. Pembelahan atau pertumbuhan filamentus adalah pembelahan sel filamen (sel tubulus dan panjang), di mana hasil pembelahan tidak terpisah melainkan tetap menjadi suatu bagian utuh organisme tersebut. Hal ini masuk akal karena jamur merupakan mikroba bersel banyak. Pada bagian ini pembelahan sel yang dipelajari adalah pembelahan biner. Hal ini karena bakteri sebagian besar melakukan pembelahan biner dalam pertumbuhannya. Pembelahan (Biner) Sel Pada pembelahan (biner) sel akan memperbesar ukurannya mencapai ukuran ideal untuk pembelahan sel. Selama proses pertambahan ukuran sel terdapat beberapa kejadian di dalam sel termasuk replikasi kromosom dan sintesis dinding sel untuk perpanjangan sel. Pada dasarnya pembelahan sel dimulai setelah pembelahan kromosom. Namun pembelahan sel dapat dimulai tanpa menunggu selesainya pembelahan kromosom. Lokasi pembelahan pada dinding sel bukan di sembarang tempat. Hal ini ditunjukkan oleh adanya mesosom yang berindikasi pada lokasi atau tempat pembelahan berlangsung. Gambar 4.1 Pembelahan biner sel bakteri Staphylococcus aureus Pada bakteri Enterococcus hirae pembelahan sel dimulai dari pembelahan kromosom (replikasi). Dua pita DNA pada kromosom bakteri mengalami pemutusan ikatan pada lokasi yang disebut origin of replication. Dengan putusnya ikatan antarbasa mengakibatkan enzim polimerase bekerja menyintesis pasangan baru untuk masing-masing pita DNA. Selama proses replikasi dinding sel bakteri E. hirae mempersiapkan diri untuk pembelahan dinding sel. Secara kronologis pembelahan dinding sel pada E. hirae adalah sebagai berikut (Gambar 4.2). Terjadi penetrasi sentripetal dinding sel dari 2 arah berlawanan pada pita dinding sel (pita ekuatorial), sehingga menghasilkan celah atau noktah dinding sel 2 pita dinding sel yang terpisah. Penetrasi noktah dinding sel ke arah dalam (70-80 nm) diikuti sintesis dinding sel baru. Pita dinding sel terbelah menjadi 2 dinding sel anakan (sebagian). Penetrasi noktah dinding sel (diikuti sintesis dinding sel baru) semakin ke dalam sehingga 2 noktah dinding sel bertemu. Ketika 2 noktah dinding sel bertemu, dinding sel memisah, terjadi pembelahan sel sempurna. Gambar 4.2 Proses pembelahan sel pada E. hirae. M, mesosom; N, nukleoid; MS, membran sel; PD, pita dinding sel; ND, noktah dinding sel Pengukuran Pertumbuhan Pertumbuhan pada bakteri didefinisikan dengan pertambahan berat sel. Karena berat sel relatif sama, maka pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan jumlah sel. Terdapat berbagai metode dalam mengukur pertumbuhan sel bakteri. Perhitungan sel bakteri terdiri atas 2 cara, yaitu perhitungan langsung dan tidak langsung. Perhitungan langsung meliputi metode turbidimetri, total count, dan berat kering. Perhitungan tidak langsung yaitu viable count. Metode Turbidimetri Secara rutin jumlah sel bakteri dapat dihitung dengan cara mengetahui kekeruhan (turbiditas) kultur. Semakin keruh suatu kultur, semakin banyak jumlah selnya. Prinsip dasar metode turbidimetri adalah, jika cahaya mengenai sel, maka sebagian cahaya diserap dan sebagian cahaya diteruskan. Jumlah cahaya yang diserap proposional (berbanding lurus) dengan jumlah sel bakteri. Atau jumlah cahaya yang diteruskan berbanding terbalik dengan jumlah sel bakteri. Semakin banyak jumlah sel, semakin sedikit cahaya yang diteruskan (Gambar 4.3). Menurut Hukum Beer-Lambert bahwa fraksi cahaya yang diteruskan (I/I0) akan menurun seiring dengan log-10 densitas sel (x) atau I/I0= 10-xl. Di mana l adalah lebar wadah atau kuvet. Jika dikali log10, maka log I/I0 = -xl. Karena log I/I0 = OD=absorbansi cahaya, maka diperoleh persamaan OD=A= xl. Metode ini mempunyai kelemahan, yaitu tidak dapat membedakan antara sel mati dan sel hidup. Gambar 4.3 Perhitungan sel dengan metode turbidimetri. Suspensi mikroba menerima cahaya dari lampu. Ketika cahaya mengenai sel mikroba, cahaya diserap (garis panah membelok, I0) dan jika cahaya tidak mengenai sel mikroba , maka cahaya diteruskan (garis panah lurus, I). Metode Total Count Total count memerlukan mikroskop dan wadah yang diketahui volumenya. Jika setetes kultur dimasukkan ke dalam wadah (misalnya hemasitometer) yang telah diketahui volumenya, maka jumlah sel dapat dihitung (Gambar 4.4). Akan tetapi, cara ini memiliki keterbatasan, yaitu tidak dapat membedakan sel hidup dan mati dan tidak dapat digunakan pada jumlah sel yang sangat sedikit (kurang dari 106 sel/ml). Gambar 4.4 Hemasitometer yang dapat digunakan untuk perhitungan total count Metode yang lebih memuaskan dalam mengukur jumlah sel adalah Elektronic Total Count. Jika medan listrik mengenai sel hidup, maka timbul kejutan listrik. Akan tetapi, jika medan listrik mengenai sel mati, maka tidak timbul kejutan listrik. Semakin banyak kejutan listrik, semakin banyak pula jumlah sel yang hidup. Metode Berat Kering Cara yang paling cepat mengukur jumlah sel adalah metode berat kering. Metode ini relatif mudah dilakukan, yaitu kultur disaring atau disentrifugasi, kemudian bagian yang tersaring atau yang mengendap hasil sentrifugasi dikeringkan. Pada metode ini juga tidak dapat membedakan sel yang hidup dan yang mati. Akan tetapi, keterbatasan itu tidak menutup manfaat metode ini dalam hal mengukur efisiensi fermentasi, karena pertumbuhan diukur dengan satuan berat, sehingga dapat diperhitungkan dengan parameter konsumsi substrat dan produksi senyawa yang diinginkan. Gambar 4.5 Cara pengenceran mikroba yang hendak dihitung jumlah selnya secara viable count Metode Viable Count Metode viable count sering disebut dengan metode total plate count. Kultur diencerkan sampai batas yang diinginkan. Kultur encer ditumbuhkan kembali pada media, sehingga diharapkan setiap sel tumbuh menjadi 1 koloni beberapa saat berikutnya biasanya 12-4 jam (Gambar 4.5). Akan tetapi, cara ini memiliki keterbatasan, yaitu jumlah sel terhitung biasanya lebih kecil dari sebenarnya (kemungkinan besar 1 koloni dapat berasal dari lebih dari 2 sel) dan tidak dapat diaplikasikan pada bakteri yang tumbuh lambat. Pada metode ini yang perlu diperhatikan adalah jumlah sel bakteri harus mendekati kelipatan 10 pada setiap pengencerannya. Jika tidak, maka perhitungan dianggap gagal. Misalnya cawan yang dapat dihitung jumlah selnya adalah yang mempunyai jumlah sel sekitar 2-4 untuk sampel pengenceran (10-x), 20-40 untuk sampel pengenceran (10-(x+1)), dan 200-400 untuk sampel pengenceran (10-(x+2)). Fase Pertumbuhan Fase dalam pertumbuhan bakteri telah dikenal luas oleh ahli mikrobiologi. Terdapat 4 fase pertumbuhan bakteri ketika ditumbuhkan pada kultur curah (batch culture), yaitu fase adaptasi (lag phase), fase perbanyakan (exponential phase), fase statis (stationer phase), dan fase kematian (death phase) (Gambar 4.6) Gambar 4.6 Fase dalam pertumbuhan bakteri pada kultur curah (batch culture); 1 fase adaptasi; 2 fase perbanyakan; 3 fase statis; 4 fase kematian. Fase Adaptasi Ketika sel dalam fase statis dipindahkan ke media baru, sel akan melakukan proses adaptasi. Proses adaptasi tersebut meliputi sintesis enzim baru yang sesuai dengan medianya dan pemulihan terhadap metabolit yang bersifat toksik (misalnya asam, alkohol, dan basa) pada waktu di media lama. Pada fase adaptasi tidak dijumpai pertambahan jumlah sel. Akan tetapi, terjadi pertambahan volume sel, karena pada fase statis biasanya sel melakukan pengecilan ukuran sel. Akan tetapi, fase adaptasi dapat dihindari (langsung ke fase perbanyakan), jika sel di media lama dalam kondisi fase perbanyakan dan dipindah ke media baru yang sama komposisinya dengan media lama. Fase Perbanyakan Setelah sel memperoleh kondisi ideal dalam pertumbuhannya, sel melakukan pembelahan. Karena pembelahan sel merupakan persamaan eksponensial, maka fase tersebut disebut fase eksponensial. Pada fase perbanyakan jumlah sel meningkat sampai pada batas tertentu (tidak terdapat pertambahan bersih jumlah sel), sehingga memasuki fase statis. Pada fase perbanyakan sel bakteri bertambah mengikuti pola atau persamaan eksponensial, yaitu Nt=No2n. Di mana Nt adalah populasi bakteri pada waktu ke-t; No adalah populasi awal bakteri, dan n adalah jumlah generasi. Secara praktek kita dapat mengubah persamaan di atas dengan persamaan logaritmik, yaitu log10Nt= log10No + log102n. Dengan demikian kita dapat menentukan jumlah generasi (n) = 3.32[log10Nt - log10No]. Setelah menentukan jumlah generasi, maka kita dapat menentukan laju pertumbuhan (k) = n/t = (3.32[log10Nt - log10No])/t. Waktu generasi juga dapat kita hitung (tgen) = 1/k = t/n = t/(3.32[log10Nt - log10No]). Pada fase perbanyakan sel melakukan konsumsi nutrien dan proses fisiologis lainnya. Pada fase ini produk senyawa yang diinginkan oleh manusia terbentuk, karena senyawa tersebut merupakan senyawa yang disekresi oleh sel bakteri. Beberapa senyawa yang diinginkan pada fase perbanyakan adalah etanol, asam laktat dan asam organik lainnya, asam amino, asam lemak, dan lainnya. Fase Statis Alasan bakteri tidak melakukan pembelahan sel pada fase statis bermacammacam. Beberapa alasan yang dapat dikemukaan adalah nutrien habis, akumulasi metabolit toksik (misalnya alkohol, asam, dan basa), penurunan kadar oksigen, dan penurunan nilai aw (ketersediaan air). Untuk kasus kedua dijumpai pada fermentasi alkohol dan asam laktat, untuk kasus ketiga dijumpai pada bakteri aerob, dan untuk kasus keempat dijumpai pada fungi. Pada fase statis biasanya sel melakukan adaptasi terhadap kondisi yang kurang menguntungkan. Adaptasi itu dapat menghasilkan senyawa yang diinginkan manusia misalnya antibiotika dan antioksidan4). Fase Kematian Penyebab utama kematian adalah autolisis sel dan penurunan energi seluler. Beberapa bakteri hanya mampu bertahan beberapa jam selama fase statis dan akhirnya masuk ke fase kematian, sedangkan ada bakteri yang mampu bertahan sampai harian bahkan mingguan pada fase statis dan akhirnya masuk ke fase kematian. Beberapa bakteri bahkan mampu bertahan sampai puluhan tahun sebelum mati dengan mengubah sel menjadi spora. Pertumbuhan Diauxic Pertumbuhan diauxic terjadi ketika bakteri dihadapkan pada dua sumber karbon yang berbeda dan mampu menggunakan kedua sumber karbon tersebut. Misalnya E. coli ditumbuhkan pada media yang mengandung glukosa dan laktosa (Gambar 4.7). E. coli memanfaatkan glukosa, karena sel telah memiliki enzim pendegradasi glukosa (enzim struktural). Glukosa sendiri menghambat sintesis enzim pemecah laktosa. Ketika glukosa habis, sel masuk fase statis dan menyintesis enzim yang mampu menghidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Ketika glukosa tersedia di media, sel memasuki fase perbanyakan kembali. Gambar 4.7 Pertumbuhan diauxic pada E. coli ketika dihadapkan pada 2 sumber karbon, yaitu glukosa dan laktosa. Rhizobium juga menunjukkan pertumbuhan diauxic ketika pada media diintroduksi 2 sumber karbon, yaitu suksinat dan glukosa. Rhizobium memanfaatkan suksinat dulu, kemudian glukosa. Mengapa Rhizobium lebih memanfaatkan suksinat bukan glukosa? Hal ini karena Rhizobium merupakan bakteri simbion. Secara alami bakteri simbion biasanya memerlukan triosa atau tetrosa yang dihasilkan dari siklus asam sitrat (Krebs) yang dihasilkan oleh inangnya daripada heksosa. Kultur Kontinyu Dengan mengunakan kultur curah, maka fase perbanyakan sangat terbatas dan dengan segera beralih ke fase statis. Hal ini tidak menguntungkan bagi ahli mikrobiologi untuk mempelajari aspek-aspek dalam fisiologi bakteri. Oleh karena itu para ahli mikrobiologi memperkenalkan suatu metode kultivasi yang dapat memperpanjang umur fase perbanyakan bakteri. Metode demikian disebut kultur kontinyu. Kultur kontinyu dapat dirancang dengan 2 metode yaitu metode kemostat dan turbidostat. Kedua metode pada dasarnya mengontrol populasi bakteri pada jumlah tertentu. Pada metode kemostat kontrol populasi bakteri berdasarkan pada laju pemasukan media pakan steril (Gambar 4.8). Sedangkan pada metode turbidostat kontrol populasi berdasarkan sensor foto-sel yang dapat mengukur populais bakteri. Gambar 4.8 Metode kemostat pada kultur kontinyu PEMBENTUKAN SPORA Spora pada bakteri berbeda dengan spora pada fungi. Bakteri Bacillus dan Clostridium mampu mengubah sel vegetatif menjadi spora yang disebut endospora. Myxococcus mampu membentuk spora yang disebut mikrokista. Bakteri Azotobacter dan anggotanya membentuk spora yang disebut kista. Sianobakteri membentuk spora yang disebut akinet. Spora bakteri mampu bertahan pada kondisi lingkungan yang ekstrim. Endospora Bacillus mampu bertahan terhadap proses sterilisasi dengan autoklaf. Bakteri Bacillus dan Clostridium mampu membentuk endospora (Gambar 4.9). Proses pembentukan endospora disebut sporulasi. Sporulasi biasanya dimulai ketika sel memasuki fase stasioner. Sel berubah baik secara morfologi maupun fisiologi khususnya mempersiapkan diri untuk pembentukan endospora. Beberapa jenis bakteri mampu melakukan autolisis sel vegetatif, sedangkan beberapa jenis bakteri tidak mampu melakukannya, sehingga endospora tetap berada di dalam sel vegetatif. Pembentukan spora bakteri secara alami belum diketahui dengan jelas. Akan tetapi, kita dapat memicu bakteri membentuk spora. Pemanasan pada suhu 60-65C selama 10 menit atau lebih mampu memicu pembentukan spora. Faktor lain yang mampu memicu pembentukan spora bakteri adalah perlakuan pH rendah, suhu rendah, pemberian agen pereduksi, dana agen-agen kimia lainnya. Gambar 4.9 Struktur endospora Bacillus menunjukkan pembungkus spora (spore coat; SC) yang tebal, alur germinal (germinal groove; G) di dalam spore coat, lapisan korteks luar (outer cortex layer; OCL) dan korteks (Cx), lapisan germinal dinding sel (germinal cell wall layer; GCW). Di bawah membran protoplasma (PM), terdapat daerah yang terisi nukleoid (n) Perubahan morfologi pada proses pembentukan endospora bakteri Bacillus dapat dilihat pada Gambar 4.10. Pada tahap pertama (I) bakteri membentuk filamen aksial. Pembentukan filamen aksial tidak berlangsung lama. Tahap kedua (II) adalah pembentukan septum asimetris, menghasilkan sel induk dan calon sel pra-spora. Masing-masing sel menerima DNA anakan. Selanjutnya terjadi fagositosis sel praspora oleh sel induk, sehingga sel praspora menjadi bentukan yang disebut protoplas. Tahap ketiga (III) adalah perkembangan protoplas yang disebut perkembangan spora-awal (forespore). Pada perkembangan spora-awal belum terbentuk peptidoglikan, sehingga bentuk spora-awal tidak beraturan (amorfus). Tahap keempat (IV) adalah pembentukan korteks (peptidoglikan). Spora-awal menyintesis peptidoglikan, sehingga spora-awal mempunyai bentuk pasti. Pembentukan peptidoglikan oleh spora-awal disebut juga pembentukan korteks. Tahap kelima (V) adalah pembentukan pembungkus (coat). Spora-awal menyintesis berlapis-lapis pembungkus spora. Pembungkus spora disintesis baik secara terusmenerus maupun terputus-putus, sehingga tampak seperti penebalan korteks. Material korteks dan pembungkus spora berbeda. Tahap keenam (VI) adalah pematangan spora. Spora bakteri menyintesis asam dipokolinat dan melakukan pengambilan kalsium. Dua komponen ini merupakan karakteristik resistensi dan dormansi endospora. Tahap ketujuh (VII) adalah pelepasan spora. Terjadi lisis sel induk, sehingga spora yang telah matang keluar. Gambar 4.10 Tahapan perkembangan endospora Bacillus subtillis. Tahapan perkembangan endospora (I—VIII) dapat dilihat di teks. PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PERTUMBUHAN Laju pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi kondisi lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan dapat menghambat pertumbuhan bahkan dapat membunuh pertumbuhan mikroba. Parameter lingkungan yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba adalah suhu, ketersediaan oksigen, konsentrasi ion hidrogen (pH), dan konsentrasi solut Suhu Setiap mikroba memiliki kisaran suhu bagi pertumbuhannya. Bahkan mikroba mampu hidup di bawah titik beku (0C) seperti di kutub utara dan selatan sampai di atas titik didih (100C) seperti di sekitar kawah gunung berapi. Namun sebagian besar mikroba mampu tumbuh di kisaran suhu 20—30C. Kisaran pertumbuhan mikroba juga bervariasi. Bakteri patogen Neisseria gonorrhoeae mampu tumbuh di kisaran suhu sempit (35—40C). Bakteri tanah Bacillus licheniformus mampu tumbuh pada kisaran suhu luas (25—60C). Kisaran suhu pertumbuhan mencerminkan lingkungan di mana mikroba tumbuh. Dengan demikian Neisseria gonorrhoeae hanya dapat tumbuh di tubuh manusia, sedangkan Bacillus licheniformus mampu tumbuh di tanah dengan suhu berfluktuasi. Di antara kisaran suhu terendah dan tertinggi terdapat suhu optimal (Gambar 4.11). Suhu optimal merupakan suhu pertumbuhan yang menghasilkan laju maksimal pertumbuhan mikroba. Suhu optimum pertumbuhan mikroba selalu lebih rendah beberapa derajat dari suhu maksimal pertumbuhan. Gambar 4.11 Grafik laju pertumbuhan mikroba yang mencapai maksimal pada suhu optimal dan minimal pada suhu minimum dan maksimum. Terminologi umum untuk kisaran suhu pertumbuhan mikroba adalah psikrofil, mesofil, dan thermofil. Psikrofil merupakan kisaran suhu pertumbuhan mikroba antara 0—20C. Mesofil merupakan kisaran suhu pertumbuhan mikroba antara 20—45C. Thermofil merupakan kisaran suhu pertumbuhan mikroba antara 45—80C. Jika mikroba mampu tumbuh di atas 80C disebut thermofil ekstrim atau hiperthermofil, sedangkan yang mampu tumbuh di bawah 0C disebut psikrofil ekstrim atau hipopsikrofil. Lingkungan yang dapat dijumpai mikroba hiperthermofil adalah di sumber mata air panas maupun di perut gunung berapi. Sedangkan lingkungan yang dapat dijumpai mikroba hipopsikrofil adalah di kutub dan di periran laut dalam. Kisaran pertumbuhan berbagai mikroba dapat dilihat pada Tabel 4.1 Tabel 4.1 Kisaran suhu pertumbuhan berbagai bakteri Bakteri Habitat Minimal Listeria monocytogenes Hewan, tanah, vegetasi 1 akar, air Vibrio marinus Laut terbuka 4 Stenotrophomonas Tanah 4 maltophilia Optimal Maksimal 30-37 45 15 35 30 41 Thiobacillus novellus Tempat yang terdapat sulfur tereduksi Kulit Saluran pencernaan Tanah, makanan Membran mukosa Manure piles (warm) 5 25-30 Staphylococcus aureus 10 30-37 Escherichia coli 10 37 Clostridium perfringens 15 45 Streptococcus pyogenes 20 37 Anoxybacillus 30 60 flavithermus Thermus aquaticus Mata air panas 40 70-72 Methanococcus Hydrothermal vent* 60 85 jannaschii Sulfolobus Mata air sulfur (panas & 70 75-85 acidocaldarius sulfur tereduksi) Pyrobacterium brockii Hydrothermal vent* 80 102-105 Methanopyrus kandleri Hydrothermal vent* 85 100 * Terdapat pada laut dalam dengan gradien suhu tinggi antara 4—300C. 42 45 45 55 40 72 79 90 90 115 110 Pada suhu minimum, biasanya membran sel mengalami pembekuan, sehingga menghambat fungsinya (transportasi molekul). Untuk mengatasi hal tersebut, biasanya asam lemak pada membran sel mikroba dipenuhi oleh asam lemak tidak jenuh. Hal ini karena titik beku asam lemak tidak jenuh sangat rendah (di bawah 0C), sehingga fungsi transportasi molekul membran sel berperan baik. Hal ini terlihat pada mikroba yang diisolasi dari Antartika ternyata memiliki membran sel yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh (polyunsaturated fatty acid). Hal sebaliknya terjadi pada mikroba thermofil. Membran sel pada mikroba thermofil banyak mengandung asam lemak jenuh. Pada suhu tinggi dan rendah juga menimbulkan permasalahan pada fungsi enzim. Oleh karena itu mikroba psikrofil biasanya memiliki enzim yang masih mampu menjalankan fungsinya pada suhu rendah yaitu dengan mengubah urutan asam amino dan struktur 3D enzim. Perubahan tersebut mengakibatkan enzim bekerja baik pada suhu rendah, tetapi tidak bekerja (terdenaturasi) pada suhu moderat. Jika dalam kondisi normal pada suhu di atas 50C enzim mengalami denaturasi, maka mikroba thermofil memodifikasi enzimnya, sehingga enzim tersebut mampu bekerja baik pada suhu tinggi. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa enzim thermofil lebih kaku dibadingkan enzim mesofil, yaitu dengan memperbanyak jembatan garam pada struktur 3D enzim. Oksigen Banyak mikroba memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya, terutama sebagai akseptor elektron pada proses respirasi. Namun terdapat mikroba yang tidak memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Mikroba yang memerlukan (mutlak) oksigen bagi pertumbuhannya disebut aerob obligat. Mikroba yang tidak memerlukan (mutlak) oksigen bagi pertumbuhannya disebut anaerob obligat. Mikroba aerob yang dapat tumbuh tanpa oksigen disebut fakultatif anaerob. Mikroba yang dapat tumbuh dengan atau tanpa adanya oksigen (meskipun dia tidak memerlukan oksigen) disebut aerotoleran anaerob. Sedangkan mikroba yang hanya dapat tumbuh di lingkungan dengan kandungan oksigen rendah ( di bawah kandungan oksigen atmosfer) disebut mikroaerofil. Daftar mikroba dan ketergantungannya terhadap oksigen dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Daftar mikroba dan ketergantungannya terhadap oksigen Mikroba Habitat Ketergantungan akan oksigen Sulfolobus acidocaldarius Mata air sulfur panas Aerob obligat Acinetobacter calcoaceticus Kulit Aerob obligat Bifidobacterium bifidum Usus manusia Anaerob obligat Methanosarcina barkeri Air tawar, sedimen laut, Anaerob obligat digestor limbah anaerob Magnetospirillum Air tawar dan laut Mikroaerofil magnetotacticum Campylobacter jejuni Permukaan mukosa hewan Mikroaerofil & burung Bacillus licheniformis Ubiquitous Fakultatif anaerob Enterobacter aerogenes Usus hewan berdarah Fakultatif anaerob panas, air tawar Vibrio fischeri Air laut, organ ringan Fakultatif anaerob species laut Lactobacillus acidophilus Hewan, tanaman, makanan Aerotoleran anaerob terfermentasi Gambar 4.12 Pengaruh oksigen pada pola pertumbuhan mikroba. Media thioglikolat agar mampu membatasi difusi oksigen hanya sampai ¼ bagian agar. Tabung #1 menunjukkan pertumbuhan mikroba aerob. Tabung #2 dan #3 menunjukkan pertumbuhan mikroba fakultatif anaerob, dan tabung #4 menunjukkan pertumbuhan mikroba anaerob. Media thioglikolat agar (mengandung thioglikolat dan sistein) dapat menunjukkan ketergantungan mikroba terhadap oksigen (Gambar 4.12). Mikorba fakultatif anaerob tumbuh tersebar (dari atas sampai bawah), anaerob kaku hanya tumbuh di dasar agar, dan aerob hanya tumbuh di atas saja. Aerob obligat dan fakultatif anaerob mempunyai laju pertunmbuhan lebih tinggi daripada aerotoleran anaerob dan anaerob obligat. Hal ini karena aerob obligat dan fakultatif anaerob mempunyai kemampuan menghasilkan energi lebih tinggi dibandingkan aerotoleran anaerob dan anaerob obligat ketika melakukan respirasi dan metabolisme. Meskipun mikroba aerob memerlukan oksigen dalam pertumbuhannya, tetapi sebagian besar enzim mengalami kerusakan jika kontak dengan oksigen. Oleh karena itu mikroba melakukan detoksifikasi oksigen. Mekanisme detoksifikasi oksigen dapat dilihat pada Gambar 4.13. Oksigen bereaksi menjadi 2 produk utama dalam sel yaitu hidrogen peroksida (H2O2) dan superoksida radikal (O2-). Kedua produk ini sangat berbahaya bagi sel karena dapat memicu karsinogenesis. Oleh karena itu, mikroba menetralisir hidrogen peroksida dan radikal superoksida dengan enzim katalase dan superoksida dismutase menjadi oksigen dan air. Gambar 4.13 Mekanisme detoksifikasi oksigen Konsentrasi Ion Hidrogen (pH) Di dalam air konsentrasi ion hidrogen bervariasi antara 1x10-14 M (pH 14) sampai 1 M (pH 0). Mikroba dapat ditemukan disetiap lingkungan berpH 1—14, tetapi sebagian besar ditemukan pada lingkungan berpH 7 (netral). Berdasarkan ketergantungan terhadap pH, maka mikroba dapat dikelompokkan menjadi 5 kelompok yaitu asidofil, netrofil, alaklifil, alaklifil ekstrim, dan asidofil ekstrim (Gambar 4.14). Bakteri Thiobacillus dan Sulfolobus merupakan mikroba asidofil yang mampu hidup pada lingkungan berpH 1—5,5, sedangkan mikroba patogen Streptococcus merupakan mikroba netrofil dengan kisaran pertumbuhan pada lingkungan berpH 6,5—8 (Tabel 4.3). Mikroba alaklifil lebih memilih hidup di lingkungan berpH 8—11, yaitu di danau bersoda dan tanah berkarbonat. Gambar 4.14 Pengelompokan mikroba berdasarkan nilai pH pertumbuhannya Tabel 4.3 Nilai pH lingkungan untuk pertumtumbuhan berbagai mikroba Organisme Thiobacillus thiooxidans Sulfolobus acidocaldarius Bacillus acidocaldarius Zymomonas lindneri Lactobacillus acidophilus Staphylococcus aureus Escherichia coli Clostridium sporogenes Erwinia caratovora Pseudomonas aeruginosa Streptococcus pneumoniae Nitrobacter spp. pH Min pH Opt pH Maks Daerah kaya sulfur (biasanya asam) Mata air sulfur asam Habitat 0.5 2.0-2.8 4.0-6.0 1.0 2.0-3.0 5.0 Mata air panas asam 2.0 4.0 6.0 Lingkungan tinggi gula 3.5 5.5-6.0 7.5 4.0-4.6 5.8-6.6 6.8 4.2 7.0-7.5 9.3 4.4 5.0-5.8 6.0-7.0 6.0-7.6 9.0 8.5-9.0 5.6 7.1 9.3 Ubiquitous 5.6 6.6-7.0 8.0 Patogen hewan 6.5 7.8 8.3 Ubiquitous 6.6 7.6-8.6 10.0 Hewan, tumbuhan, materi terbusukan Permukaan hewan, rongga hidung, kulit Usus hewan Tanah dan sedimen anaerobik Patogen tanaman Meskipun hidup di lingkungan berpH jauh dari netral, tetapi mikroba asidofil dan alaklifil mampu menjaga nilai pH sitoplasma sekitar netral (Tabel 4.4). Mikroba asidofil mampu hidup sampai nilai pH eksternal 1-4, tetapi nilai pH intrasel 6,5. Dengan demikian bakteri asidofil mampu mempertahankan gradien pH lebih dari 2,5 unit. Demikian juga untuk bakteri neutrofil dan alkalifil. Bakteri neutrofil mampu mempertahankan gradien pH sekitar 0,5-1,5 unit dan bakteri alkalifil mampu mempertahankan gradien pH sekitar 1,5-2 unit. Stabilitas nilai pH intrasel sangat penting, karena aktivitas metabolisme pada umumnya bekerja maksimal pada lingkungan berpH netral. Untuk menjaga stabilitas nilai pH intrasel, sel prokariota harus dapat menjaga gradien pH antara eksternal dan intrasel semaksimal mungkin. Mekanisme mempertahankan kestabilan nilai pH internal terhadap perubahan nilai pH eksternal disebut homeostasis pH. Tabel 4.4 Nilai pH di dalam dan di luar sel pada mikroba netrofil, asidofil, dan alkalifil. Mikroba Nilai pH luar Nilai pH dalam Neutrofil Asidofil Alkalifil 6-8 1-4 9-12 7,5-8,0 6,5-7,0 8,4-9,0 Gradien pH (pH) 0,5—1,5 >2,5 1,5—2,0 Gambar 18.2 Mekanisme homeostasis pH. Banyak faktor yang mempengaruhi nilai pH intrasel. Salah satu faktor adalah kapasitas bufer sitoplasma dan metabolisme produksi asam dan basa. Namun faktor utama dalam homeostasis pH adalah mengatur keluar-masuknya proton. Ketika nilai pH intrasel menjadi sangat asam (akibat perubahan nilai pH eksternal menjadi asam), maka proton akan dipompa keluar (Gambar 4.15,1). Proses ini harus dinetralisir, yaitu dengan pengambilan K+ (Gambar 4.15, 2). Sebaliknya ketika nilai pH intrasel menjadi alkali, maka sel melakukan pengambilan proton dan memompa keluar Na+ atau K+ (Gambar 4.15, 3 dan 4). Oleh karena itu, penghambatan pompa proton mengakibatkan nilai pH intrasel sama dengan nilai pH eksternal (pH internal = pH eksternal). Konsentrasi Solut (Ketersediaan Air) Air merupakan pelarut universal yang dapat melarutkan sebagian besar molekul untuk kehidupan. Oleh karena itu organisme mutlak memerlukan air untuk kehidupannya. Oleh karena itu, dengan membuang aor dari makanan mampu mengawetkan makanan dari kontaminasi mikorba, sehingga umur makanan menjadi lama. Ketersediaan air (aktivitas air) merupakan ukuran seberapa banyak air bebas untuk keperluan reaksi seluler. Air murni memiliki aktivitas air sebanyak 100%. Konsentrasi air dapat diperkecil dengan mengevaporasi maupun dengan mengikatnya dengan solut. Semakin tinggi konsentrasi solut, maka kecil aktivitas air. Meningkatnya konsentrasi solut berpengaruh pada sel. Sel akan mengeluarkan air untuk menetralisir lingkungan yang pekat solut, sehingga sel mengalami plasmolisis. Sebaliknya jika konsentrasi solut rendah, maka air akan masuk ke dalam sel, sehingga sel berpotensi pecah. Untungnya mikroba memiliki membran sel dan dinding sel yang mampu menahan tekanan osmotik akibat proses osmosis. Semakin pekat konsentrasi solut juga akan menyulitkan kerja enzim, karena kerja enzim terhadao solut memerlukan sejumlah air. Akibatnya enzim tidak bekerja dengan baik. Mikroba yang memerlukan konsentrasi garam tinggi dalam lingkungan disebut halofil. Halofil lemah, moderat, dan ekstrim memerlukan konsentrasi garam masing-masing sebesar 1—6%, 6—15%, dan 15—30%. Mikroba halotoleran masih dapat tumbuh sampai kadar garam 15% tetapi tumbuh baik jika tidak ada garam. Mikroba yang mampu tumbuh pada lingkungan berkadar gula tinggi disebut osmofil. Mikroba yang mampu tumbuh di lingkungan kering disebut xerofil.