Upaya pemberdayaan penyandang cacat netra melalui rehabilitasi sosial di panti tuna netra dan tuna rungu wicara “Bhakti Candrasa” Surakarta Fatmawati Nikmah Universitas Sebelas Maret BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan usaha yang secara sadar dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Pelaksanaan pembangunan suatu bangsa memerlukan dukungan tersedianya sumber daya baik Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya Manusia (SDM). Kedua sumber daya tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan suatu pembangunan. Tersedianya SDM yang berkualitas baik akan mampu mengolah SDA yang secara efektif dan efisien sehingga proses pembangunan berjalan lancar. Sebagaimana dikemukakan oleh Hadari Nawawi (2001: 48) bahwa manusia sebagai sumber daya merupakan faktor sentral yang harus memberdayakan sumber daya lainnya. Dalam kedudukannya sebagai faktor sentral itu berarti juga sumber daya lainnya tidak dapat menjalankan fungsinya tanpa SDM. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sondang P. Siagian (1996: 3) yang menyatakan bahwa asset terpenting yang dimiliki oleh suatu bangsa adalah sumber daya manusianya. Negara yang terdidik, terampil, berdisiplin, tekun dan mau bekerja keras ternyata dapat berhasil meraih kemajuan yang sangat besar. 1 2 Sumber daya non manusia dan kekayaan alam tidak akan banyak artinya tanpa dikelola manusia secara baik. Oleh karenanya sumber daya manusia dapat dikatakan sebagai unsur utama yang menentukan proses pembangunan. Pembangunan bukan hanya untuk suatu golongan atau sebagian dari masyarakat, melainkan harus dirasakan oleh seluruh rakyat. Proses pembangunan membutuhkan adanya partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat. Partisipasi tersebut tidak hanya dari orang-orang yang mempunyai kesempurnaan fisik saja, namun orang yang tidak memiliki kemampuan fisik dan mental pun harus diberikan suatu kesempatan yang sama dalam pembangunan. Orang-orang yang tidak sempurna baik fisik atau pun mental disebut dengan penyandang cacat. Meskipun dikatakan cacat, sebenarnya mereka masih memiliki potensi yang jika dilakukan suatu usaha dengan penanganan khusus sesuai dengan jenis kecacatannya. Maka para penyandang cacat tersebut dapat diberdayakan secara optimal sehingga mereka dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Akan tetapi keberadaan mereka dalam kehidupan sehari-hari terasa masih terpinggirkan. Masyarakat cenderung lebih membelaskasihani daripada memberikan kesempatan pada penyandang cacat untuk bersemangat mandiri. Mereka dianggap golongan yang lemah, yang karena kecacatannya tidak mampu hidup mandiri sehingga perlu bergantung pada belas kasihan orang lain. Hal ini menyebabkan timbulnya rasa kurang percaya diri, terisolir dan 3 minder pada diri mereka. Terisolasinya penyandang cacat dari masyarakat umum juga disebabkan adanya sikap malu dari pihak keluarga dengan kecacatan mereka, sehingga mereka disembunyikan dari masyarakat secara wajar. Padahal seperti layaknya manusia normal mereka ingin diakui keberadaannya, ingin diperlakukan wajar, serta ingin mendapatkan kebahagiaan dan kebutuhan lainnya. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Hadari Nawawi (1998: 32) bahwa dalam setiap diri manusia terdapat adanya kebutuhan sosial antara lain kebutuhan untuk diakui/diterima dan dihormati serta untuk mengaktualisasi diri. Sebagai warga negara Indonesia, penyandang cacat mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan warga negara lainnya. Mereka memiliki hak yang sama untuk mengembangkan diri dalam rangka mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Hal ini dijamin oleh UUD 1945 pasal 28C ayat 1 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Selain itu dinyatakan pula dalam pasal 31 ayat 1 bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Oleh karena itu penyandang cacat mempunyai hak yang sama dalam bidang pendidikan. Hal ini didukung oleh UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional pasal 8 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Warga negara yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa”. 4 Penyandang cacat juga tidak kehilangan hak untuk memperoleh kesempatan kerja maupun hidup yang layak. Hal itu dijamin dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yang berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Oleh karena itu dalam pelaksanaan suatu kebijakan pemerintah perlu dicegah adanya diskriminasi yang merugikan para penyandang cacat, kaum muda, mereka yang berusia lanjut untuk memperoleh dan memiliki pekerjaan yang produktif yang memberikan imbalan yang layak (Soeroto, 1992: 98). Apalagi dalam UUD 1945 pasal 28 i ayat 2 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Hal ini menunjukkan bahwa penyandang cacat mempunyai harkat dan martabat yang sama dengan manusia normal. Kesempatan untuk mendapat kesamaan kedudukan, hak dan kewajiban bagi penyandang cacat dapat diwujudkan jika tersedia aksesibilitas yakni suatu kemudahan bagi penyandang cacat untuk mencapai kesamaan kesempatan tersebut. Penyediaan aksesibilitas dapat berupa fisik dan non fisik, antara lain sarana dan prasarana umum serta informasi yang diperlukan penyandang cacat. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya diskriminasi antara penyandang cacat dengan orang yang normal. Dengan kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan terutama dalam memperoleh pendidikan dan pekerjaan akan mendorong terwujudnya peningkatan kesejahteraan sosial 5 mereka. Adapun yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial menurut penjelasan UU No. 4 tahun 1997 tentang ‘penyandang cacat’ adalah: “Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara sesuai dengan Pancasila”. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat dapat dilakukan dengan memberdayakan mereka dengan cara menggali potensi yang dimilikinya serta mengembangkan potensi tersebut sehingga mereka menjadi sumber daya manusia yang produktif tanpa bergantung pada belas kasihan orang lain. Dengan kata lain pemberdayaan penyandang cacat akan meningkatkan kemandirian penyandang cacat sehingga mereka dapat berperan aktif dalam kehidupan masyarakat. Terdapat berbagai jenis kecacatan namun dalam hal ini penelitian lebih difokuskan pada penyandang cacat netra (tuna netra). Kecacatan fungsi penglihatan yang mereka derita menimbulkan berbagai keterbatasan dalam menjalankan aktivitas mereka sehari-hari, yang berarti mempersempit ruang gerak mereka untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Padahal indera penglihatan merupakan salah satu sumber informasi yang vital bagi manusia. Seseorang yang mengalami gangguan pada indera penglihatan akan berdampak pada kemampuan aktivitas yang bersangkutan menjadi terbatas, karena informasi yang diperoleh akan jauh berkurang dibandingkan dengan orang yang berpenglihatan normal. Hal ini apabila tidak mendapat penanganan/rehabilitasi khusus akan mengakibatkan timbulnya berbagai 6 kendala psikologis,seperti perasaan inferior, depresi atau hilangnya makna hidup,dan sebagainya. Oleh karena itu, mereka perlu diberdayakan agar kecacatan fungsi penglihatan yang mereka derita tidak menghalangi mereka untuk dapat menjalankan kehidupannya seperti halnya orang yang berpenglihatan normal, sehingga keberadaan mereka tidak terisolir dari kehidupan masyarakat yang wajar. Pemberdayaan tersebut memerlukan peran serta dari berbagai pihak baik dari pemerintah, masyarakat maupun penyandang cacat netra sendiri. Seperti halnya daerah lainnya, Surakarta juga tak terlepas dari masalah keberadaan penyandang cacat netra. Sejauh ini upaya yang telah dilakukan pemerintah terhadap penyandang cacat netra tersebut adalah dengan pemberian bantuan pelayanan sosial baik melalui sistem panti maupun non panti. Sistem non panti dilakukan dengan memberikan pelatihan dan bantuan usaha. Akan tetapi karena keterbatasan dana, pelaksanaan pelatihan melalui sistem non panti ini biasanya hanya diselenggarakan setahun sekali dan berlangsung selama beberapa hari saja. Pada tahun 2002 program tersebut diselenggarakan selama 3 hari dan hanya diikuti 8 orang dari 176 penyandang cacat netra yang tercatat di Surakarta (Sumber: Muladi, Kasubsi Rehabilitasi Tuna Sosial – Dinkesra PP Surakarta). Hal ini menunjukkan pemberdayaan penyandang cacat netra melalui sistem non panti tersebut belum optimal. Oleh karena itu, bantuan pelayanan sosial melalui sistem panti dapat dijadikan alternatif lain dalam upaya memberdayakan penyandang cacat netra. Adapun salah satu panti yang menyelenggarakan rehabilitasi bagi penyandang cacat netra adalah Panti Sosial Bina Netra “Bhakti Candrasa” 7 Surakarta, yang kemudian mulai tanggal 2 April 2002 berganti nama menjadi Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara “Bhakti Candrasa” Surakarta. Panti tersebut merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kesejahteraan Sosial propinsi Jawa Tengah yang bertugas memberikan pelayanan sosial yang meliputi pembinaan fisik, mental, sosial, pelatihan, keterampilan, dan resosialisasi/penyaluran serta pembinaan lanjut bagi para penyandang cacat netra agar mampu berperan aktif dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan pra survey yang telah dilakukan, saat ini kapasitas Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara (PTNRW) “Bhakti Candrasa” Surakarta adalah 85 orang. Pada tahun 2002 tercatat ada 70 orang penyandang cacat netra yang rehabilitasi di panti ini. Penyandang cacat yang memperoleh pelayanan rehabilitasi dalam panti disebut dengan kelayan. Sistem perekrutan kelayan yang dilakukan PTNRW adalah sistem ‘waiting list’ dimana perekrutan diadakan setiap ada kelayan yang lulus/keluar, sehingga setiap tahun menerima penyandang cacat netra dengan jumlah yang berbeda tergantung pada jumlah kebutuhan yang disesuaikan dengan kapasitas panti. Proses pelayanan rehabilitasi penyandang cacat netra di PTNRW “Bhakti Candrasa” dilakukan selama 3 – 3,5 tahun. Selama proses rehabilitasi, mereka memperoleh pembinaan berupa bimbingan fisik, bimbingan mental, bimbingan sosial/kemasyarakatan, bimbingan kecerdasan dan bimbingan keterampilan. Dengan rehabilitasi tersebut diharapkan penyandang cacat netra dapat mengembangkan diri dan potensinya sehingga akan meningkatkan 8 kemandirian mereka untuk dapat menjalankan kelangsungan hidupnya secara layak serta berperan aktif dalam masyarakat. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka dalam penelitian ini penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana upaya rehabilitasi sosial yang dilakukan Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara “Bhakti Candrasa” Surakarta dalam rangka memberdayakan penyandang cacat netra? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan rehabilitasi sosial? C. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Operasional a. Untuk mengetahui upaya rehabilitasi sosial yang dilakukan Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara “Bhakti Candrasa” Surakarta dalam memberdayakan para penyandang cacat netra. b. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi pelaksanaan rehabilitasi sosial. 2. Tujuan Fungsional Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh instansi yang bersangkutan sebagai bahan masukan dalam melaksanakan pemberdayaan terhadap penyandang cacat netra. 3. Tujuan individual 9 Untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Landasan Teori Teori merupakan unsur penelitian yang paling besar peranannya dalam suatu penelitian, karena melalui teori ilmiah peneliti mencoba menerangkan suatu fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi fokus perhatiannya. Menurut Kerlinger, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep (Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi, 1995: 37). Untuk itulah maka dibawah ini akan diuraikan beberapa teori yang mendukung dan menjelaskan arahan penelitian ini, sebagai berikut: 1. Pemberdayaan Penyandang Cacat Netra Pemberdayaan mempunyai makna harfiah membuat seseorang berdaya. Istilah lain untuk pemberdayaan adalah penguatan atau empowerment. Pemberdayaan pada intinya adalah pemanusiaan, dalam arti mendorong orang untuk menampilkan dan merasakan hak-hak asasinya. Di dalam pemberdayaan terkandung unsur pengakuan dan penguatan posisi seseorang melalui penegasan terhadap hak dan kewajiban yang dimiliki dalam seluruh tatanan kehidupan. Di dalam proses pemberdayaan diusahakan agar orang berani menyuarakan dan memperjuangkan ketidakseimbangan hak dan kewajiban. Pemberdayaan mengutamakan usaha sendiri dari orang yang diberdayakan untuk meraih keberdayaannya. 10 Oleh karena itu pemberdayaan sangat jauh dari konotasi ketergantungan (Indrasari Tjandraningsih dalam Surya Mulandar, 1996: 3). Ciri-ciri pemberdayaan menurut Korten adalah: a. Prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhannya harus diletakkan pada masyarakat atau komunitas itu sendiri. b. Meningkatkan kemampuan masyarakat atau komunitas untuk mengelola dan memobilisasi sumber-sumber yang ada untuk mencukupi kebutuhannya. c. Mentoleransi variasi lokal dan karenanya sifatnya amat fleksibel menyesuaikan dengan kondisi lokal. d. Menekankan pada proses sosial learning yang di dalamnya terdapat interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi proyek. e. Proses pembentukan jaringan antara birokrat dan lembaga swadaya masyarakat, satuan-satuan organisasi tradisional yang mandiri, merupakan bagian integral dari pendekatan ini, baik untuk meningkatkan kemampuan mereka mengidentifikasi dan mengelola berbagai sumber maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur vertikal dan horisontal (Moeljarto T., 1995: 26) Menurut pendapat Dr. Anggito Abimanyu, dkk (1995: 136) pemberdayaan diartikan sebagai: 11 “Pemberdayaan masyarakat (empowerment) yang dimaksud bahwa pembangunan akan berjalan dengan sendirinya apabila masyarakat diberi hak untuk mengelola sumber daya alam yang mereka miliki dan menggunakannya untuk pembangunan masyarakat”. Ada dua versi yang berbeda mengenai “empowerment” yaitu versi dari Paul Freire dan versi yang berasal dari Schumacher. Menurut Paul Freire empowerment bukanlah sekedar hanya memberi kesempatan rakyat menggunakan sumber daya alam dan dana pembangunan saja tetapi lebih dari itu empowerment merupakan upaya untuk mendorong masyarakat untuk mencari cara menciptakan kebebasan struktur-struktur yang opresif. Dengan kata lain empowerment berarti partisipasi masyarakat dalam politik. Sedangkan versi Schumacher tentang empowerment kurang berbau politik. Schumacher percaya bahwa manusia itu mampu untuk membangun diri mereka sendiri tanpa mengharuskan terlebih dahulu menghilangkan ketimpangan struktural yang ada dalam masyarakat. Schumacher menyatakan bahwa strategi yang paling tepat untuk menolong si miskin adalah “memberi kail daripada ikan” dengan demikian mereka dapat mandiri. Akan tetapi empowerment versi Schumacher yang memfokuskan pada pembentukan kelompok mandiri juga masih tetap memerlukan dukungan politik. Tanpa adanya dukungan politik sama saja dengan “membantu orang dengan memberi kail tapi orang tersebut tidak diberi hak untuk mengail di sungai”, maka pastilah mereka tidak akan dapat hidup dengan lebih baik. (Anggito Abimanyu, dkk, 1995: 140-141). Ginandjar Kartasasmita (1996: 159-160) membicarakan konsep pemberdayaan secara luas yaitu pemberdayaan masyarakat. Konsep 12 pemberdayaan masyarakat digunakan dalam penelitian ini dengan asumsi bahwa penyandang cacat netra merupakan anggota dari masyarakat secara luas. Dalam kerangka pembangunan nasional, upaya pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui tiga jurusan: Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan setiap masyarakat mempunyai potensi yang dapat dikembangkan, artinya tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong (encourage), memotivasi, dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif selain hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi semakin berdaya. Ketiga, memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah bertambah lemah karena kurang berdaya dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu dalam konsep pemberdayaan masyarakat, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah sangat diperlukan. Melindungi disini tidak berarti mengisolasi 13 atau menutupi dari interaksi karena hal itu justru akan semakin melemahkan. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi semakin tergantung pada berbagai program pemberian (charity) karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri dan hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain. Dari berbagai konsep pemberdayaan secara luas di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pemberdayaan merupakan upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat dengan cara menggali potensi yang dimilikinya, kemudian memperkuat potensi tersebut dengan memberi input mengembangkan atau masukan-masukan potensi tersebut dan melalui kesempatan pemberian untuk pelatihan, ketrampilan, dorongan, hak dan wewenang untuk mengelola sumber daya yang ada sehingga dapat bermanfaat bagi dirinya. Pemberdayaan di atas adalah pemberdayaan dalam artian luas. Dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada pemberdayaan penyandang cacat netra (tuna netra) yang juga merupakan anggota dari masyarakat luas. Jadi pemberdayaan penyandang cacat netra adalah upaya untuk memampukan dan memandirikan penyandang cacat netra agar dapat sejajar dengan orang normal. 14 Oleh karena itu, para penyandang cacat netra harus dibangkitkan kesadarannya akan potensi mereka yang dapat dibangun dan dikembangkan sehingga mereka dapat mandiri dalam arti beraktivitas dan bekerja sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki. Mereka perlu diberi penguatan seperti masukan-masukan, dorongan, semangat, kesempatan dan hak yang sama seperti layaknya orang normal. Hal itu dapat dilakukan dengan upaya rehabilitasi yang diselenggarakan oleh lembaga ataupun panti-panti yang diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan antara lain dengan pemberian bimbingan fisik melalui pemeliharaan kesehatan, bimbingan mental/psikologi dan keagamaan yang bersifat menumbuhkan semangat dan rasa percaya diri, serta pemberian bimbingan pelatihan dan ketrampilan kerja yang bermanfaat bagi mereka. Dengan pemberdayaan ini diharapkan para penyandang cacat netra dapat menjadi orang yang kuat mental dan mempunyai bekal bagi kelangsungan hidupnya sehingga mereka dapat mandiri, tidak menjadi beban orang lain tetapi hidup dari hasil usahanya sendiri. Penelitian ini memfokuskan pada penyandang cacat netra (tuna netra), oleh sebab itu perlu kita ketahui lebih lanjut tentang apa dan siapa penyandang cacat netra tersebut. Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 1997 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja: “Cacat adalah keadaan hilangnya atau berkurangnya fungsi anggota badan secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan (ketentuan umum pasal 1 ayat 7). 15 Sedangkan yang dimaksud dengan kecacatan adalah kerusakan kemampuan untuk kehidupan dan pekerjaan yang disebabkan oleh luka penyakit atau cacat sejak lahir (Y.B. Suparlan dkk, 1983: 53). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kecacatan tidak menyangkut hal mengenai kehilangan kemampuan tetapi lebih bersifat kerusakan kemampuan sebagai akibat dari kerusakan fungsi alat tubuh yang menyebabkan kesulitan dalam beraktivitas seperti manusia normal, sehingga jika diberi suatu upaya penanganan khusus sesuai dengan jenis kecacatannya maka kemampuan beraktivitas tersebut dapat ditingkatkan. Pada dasarnya faktor utama penyebab kecacatan secara umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: a. Faktor keturunan, dikarenakan tingginya mekanisme gen yang terganggu. b. Faktor cacat sejak lahir, dikarenakan infeksi, kurang gizi, posisi bayi yang salah sehingga menyebabkan kelainan pada alat-alat tubuhnya. c. Faktor cacat yang diperoleh, dikarenakan hal-hal yang bersifat kecelakaan yaitu perang, kecelakaan lalulintas, kecelakaan pekerjaan, dan lain sebagainya (Analisis Pendidikan No. 3 Tahun III/1983) Adapun yang dimaksud dengan penyandang cacat berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang ‘Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat’ diartikan sebagai berikut: “Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan 16 rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: a. Penyandang cacat fisik b. Penyandang cacat mental c. Penyandang cacat fisik dan mental Pada penelitian ini lebih memfokuskan pada penyandang cacat netra (tuna netra). Istilah tuna netra terdiri dari kata “tuna” yang berarti rusak, luka, kurang, tidak memiliki dan “netra” yang berarti mata. Jadi tuna netra artinya rusak matanya atau luka matanya atau tidak memiliki mata yang berarti buta atau kurang dalam penglihatannya. Menurut White Conference, pengertian tuna netra adalah sebagai berikut: - Seseorang dikatakan buta baik total maupun sebagian (low vision) dari kedua matanya sehingga tidak memungkinkan lagi baginya untuk membaca sekalipun dibantu dengan kacamata. - Seseorang dikatakan buta untuk pendidikan bila mempunyai ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang, atau mempunyai ketajaman lebih dari 20/200 tetapi mempunyai keterbatasan dalam lantang pandangnya sehingga luas daerah penglihatannya membentuk sudut tidak lebih dari 20 derajat (Anastasia Widjajantin, 1990: 4-5). Istilah tuna netra sering disamakan dengan “buta”, padahal hal tersebut sebenarnya kurang tepat. Istilah “buta” lebih dimaksudkan untuk menunjukkan seseorang yang sudah sedemikian rusak penglihatannya sehingga tidak mungkin lagi difungsikan untuk melihat. Sedangkan istilah “tuna netra” lebih menunjukkan adanya gradasi atau tingkatan kebutaan 17 seseorang. Badan organisasi kesehatan dunia (WHO) menggunakan istilah tuna netra ke dalam dua kategori yaitu: a. Blind atau buta, menggambarkan kondisi dimana penglihatan tidak dapat diandalkan lagi meskipun dengan alat bantu sehingga tergantung pada fungsi indera-indera yang lain. b. Low vision atau penglihatan kurang, menggambarkan kondisi penglihatan dengan ketajaman yang kurang, daya tahan rendah mempunyai kesulitan dengan tugas-tugas utama yang menuntut fungsi penglihatan tetapi masih dapat berfungsi dengan alat bantu khusus namun tetap terbatas (Munawir Yusuf, 1998: 21-22). Selain itu cacat netra (tuna netra) juga disebut dengan istilah visually impairment, visually handicapped, visually limited, visually activity. Beragamnya istilah yang dipergunakan untuk menyebut tuna netra terjadi karena alasan dan tujuan-tujuan tertentu namun secara material pada dasarnya memiliki makna yang sama. Menurut Irham Hosni (dalam Analisis Pendidikan No. 1 tahun II/1981) seseorang dikatakan tuna netra kalau kedua penglihatannya mengalami kelainan sedemikian rupa dan setelah dikoreksi, mengalami kesukaran dalam menerima informasi dari lingkungannya. Kelainan penglihatan ini bisa terjadi sejak lahir maupun setelah lahir. Sedangkan dalam Perda Propinsi Jawa Tengah No. 1 tahun 2002 tentang Unit Pelaksana Teknis Dinas di Propinsi Jawa Tengah menyatakan bahwa: “Penyandang cacat/tuna netra adalah seseorang yang mengalami kebutaan, yang tidak dapat melihat atau menghitung jari tangan 18 orang lain dalam jarak satu meter karena bawaan atau kecelakaan, sehingga menjadi hambatan untuk melakukan kegiatan sehari-hari (Penjelasan Pasal 3 ayat 1)”. Sebagai warga masyarakat yang dianggap tidak normal atau berkelainan, para penyandang cacat netra mempunyai berbagai kendala dan masalah dalam kehidupannya sehari-hari. Secara garis besar masalah tersebut menurut Sunardi dalam Munawir Yusuf (1998: 36-38) dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Masalah yang disebabkan oleh kecacatannya Masalah yang dihadapi penyandang cacat netra sebagai akibat ketunanetraannya antara lain: - Hambatan dalam perkembangan membaca dan menulis yang berdampak pada terbatasnya informasi yang dapat ditangkap oleh penyandang cacat netra mengenai perkembangan di sekitarnya. - Keterbatasan dalam kemampuan menolong diri sendiri - Keterbatasan dalam kegiatan yang memerlukan penglihatan - Keterbatasan dalam kesempatan kerja b. Masalah yang disebabkan oleh sikap dan penerimaan masyarakat Masih adanya sikap negatif sebagian masyarakat terhadap kehadiran penyandang cacat berupa pengisoliran dari kehidupan secara normal berdampak pada kesulitan fisik dan psikologis penyandang cacat dimana umumnya mereka harus menanggung beban rasa rendah diri dan harga diri yang kurang. 19 c. Masalah belum tersedianya fasilitas di masyarakat yang memungkinkan mereka hidup mandiri Keterbatasan penyediaan fasilitas penunjang terutama dalam kegiatan bermobilitas para penyandang cacat menyebabkan dalam banyak hal mereka masih sering membutuhkan bantuan orang lain. Akibatnya mereka tidak akan dapat mengembangkan potensinya secara wajar dan cenderung tergantung pada pihak lain. Berbagai kendala tersebut di atas, secara langsung atau tidak langsung dapat berdampak negatif terhadap perkembangan pribadi dan sosial penyandang cacat netra, antara lain yakni munculnya rasa curiga terhadap orang lain, perasaan mudah tersinggung dan ketergantungan pada orang lain. Selain itu juga dapat menyebabkan penyandang cacat netra menjadi tidak produktif, kurang pengetahuan, kurang pendidikan dan ketrampilan sehingga tidak dapat mengembangkan diri, bahkan banyak diantara mereka yang hanya bisa “meminta” tanpa berusaha untuk mandiri dalam artian mencari nafkah sendiri. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pemberdayaan terhadap penyandang cacat netra agar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki sebagai bekal kelangsungan hidupnya. Salah satu upaya tersebut dapat dilakukan melalui pemberian layanan rehabilitasi. 2. Rehabilitasi Sosial 20 Untuk mengetahui lebih jauh tentang rehabilitasi sosial penyandang cacat netra, sebelumnya kita perlu mengetahui apa itu rehabilitasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rehabilitasi diartikan sebagai pemulihan kepada kedudukan atau keadaan semula (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989: 737). Sedangkan menurut Kamus Istilah Kesejahteraan Sosial, rehabilitasi adalah suatu proses kegiatan untuk memperbaiki kembali dan mengembalikan fisik, kemampuan serta mental seseorang sehingga orang itu dapat mengatasi masalah kesejahteraan sosial bagi dirinya serta keluarganya (Y.B. Suparlan, dkk, 1983: 124). Dalam UU No. 4 tahun 1997 tentang “Penyandang Cacat” pasal 1 ayat 5, rehabilitasi diartikan sebagai proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan fungsi sosial adalah kemampuan dan peran seseorang untuk berintegrasi melalui komunikasi dan interaksi dalam hidup bermasyarakat secara wajar. Dari pengertian rehabilitasi di atas, maka dapat diketahui bahwa rehabilitasi sangat diperlukan dalam memberdayakan penyandang cacat netra. Dalam hal ini, refungsionalisasi dan pengembangan kemampuan fisik, sosial serta mental dapat mendorong berkembangnya potensi yang masih dimiliki oleh penyandang cacat netra. Berdasarkan penjelasan pasal 18 ayat 2 UU No. 4 tahun 1997 tentang “penyandang cacat”, maka rehabilitasi meliputi: 21 a. Rehabilitasi medik adalah kegiatan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui tindakan medik agar dapat mencapai kemampuan fungsional semaksimal mungkin. b. Rehabilitasi pendidikan adalah kegiatan pelayanan pendidikan secara utuh dan terpadu melalui proses belajar mengajar agar dapat mengikuti pendidikan secara optimal sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. c. Rehabilitasi pelatihan adalah kegiatan pelayanan pelatihan secara utuh dan terpadu agar penyandang cacat dapat memiliki ketrampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya. d. Rehabilitasi sosial adalah kegiatan pelayanan sosial secara utuh dan terpadu melalui pendekatan fisik, mental, dan sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosial secara optimal dalam hidup bermasyarakat. Adapun upaya rehabilitasi yang dilakukan Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara “Bhakti Candrasa” dalam rangka memberdayakan penyandang cacat netra adalah rehabilitasi sosial. Menurut penjelasan pasal 5 huruf e Perda Propinsi Jawa Tengah no. 1 tahun 2002, rehabilitasi sosial dapat diartikan sebagai: “Suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang masalah kesejahteraan sosial agar mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat” Rehabilitasi sosial dapat pula diartikan sebagai kegiatan lembaga yang bertujuan memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kecintaan kerja dan kesadaran serta tanggung jawab terhadap masa depan diri 22 sendiri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan sosial (Y.B. Suparlan, 1990: 127). Dari beberapa definisi rehabilitasi sosial di atas, dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi sosial penyandang cacat netra merupakan suatu kegiatan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penyandang cacat netra agar mampu bertanggung jawab terhadap masa depan dirinya serta dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam hidup bermasyarakat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 1998 tentang “Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat”, rehabilitasi sosial dilakukan dengan pemberian pelayanan sosial secara utuh dan terpadu melalui kegiatan pendekatan fisik, mental, dan sosial yang berupa: a. Motivasi dan diagnosa psikososial Kegiatan ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan/mendorong penyandang cacat dalam mengikuti program rehabilitasi sosial. b. Bimbingan mental Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendorong kemauan dan kemampuan penerimaan pelayanan serta pembinaan ketaqwaan. c. Bimbingan fisik Kegiatan ini dimaksudkan untuk memelihara kesehatan jasmani dan perkembangannya. 23 d. Bimbingan sosial Kegiatan ini dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan peserta latih secara perseorangan agar dapat mengatasi segala permasalahan sosial yang dihadapi. e. Bimbingan ketrampilan Kegiatan ini dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang cacat agar mau dan mampu bekerja sesuai dengan bakat, kemampuan, dan pengalamannya. f. Terapi penunjang Kegiatan ini ditujukan kepada penyandang cacat yang mempunyai kelainan tambahan agar dapat menunjang dalam kegiatan lainnya. g. Bimbingan Resosialisasi Kegiatan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan penyandang cacat dan masyarakat lingkungannya agar terjadi integrasi sosial dalam hidup bermasyarakat. h. Bimbingan dan Pembinaan Usaha Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan dan ketrampilan agar usaha/kerja yang dilakukan dapat berdaya guna dan berhasil guna. i. Bimbingan lanjut Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya pemantapan dalam kehidupan dan penghidupan penyandang cacat dalam hidup bermasyarakat. 24 Adapun proses rehabilitasi sosial terhadap penyandang cacat netra dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: a) Pendekatan awal, meliputi: 1. Orientasi dan konsultasi 2. Identifikasi 3. Motivasi 4. Seleksi b) Penerimaan, meliputi: 1. Registrasi 2. Penelaahan dan pengungkapan masalah 3. Penentuan program pelayanan c) Kegiatan bimbingan, meliputi: 1. Bimbingan fisik dan mental 2. Bimbingan sosial 3. Bimbingan ketrampilan kerja/usaha d) Resosialisasi 1. Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat 2. Bimbingan hidup bermasyarakat 3. Bimbingan pembinaan stimulan usaha produktif 4. Bimbingan usaha kerja 5. Penyaluran 25 e) Pembinaan lanjut 1. Bimbingan peningkatan kehidupan bermasyarakat dan berperan serta dalam pembangunan. 2. Bimbingan pengembangan usaha 3. Bimbingan pemantapan usaha Untuk melaksanakan proses rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat netra di atas, Dinas Kesehatan Sosial propinsi Jawa Tengah menetapkan Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara sebagai Unit Pelaksana Teknis yang berfungsi merehabilitasi para penyandang cacat netra. Salah satu panti yang ditetapkan itu adalah Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara “Bhakti Candrasa” Surakarta. E. Kerangka Dasar Pemikiran Teori yang penulis uraikan di depan menjadi pijakan bagi penulis guna menjawab permasalahan mengenai upaya rehabilitasi sosial yang dilakukan PTNRW “Bhaki Candrasa” Surakarta dalam memberdayakan penyandang cacat netra serta untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi pelaksanaan rehabilitasi sosial tersebut. Keberadaan penyandang cacat netra sebagai bagian integral dari masyarakat dan sebagai warga negara, tidak selayaknya diabaikan begitu saja. Para penyandang cacat netra ini perlu diberdayakan agar kecacatan fungsi penglihatan yang mereka derita tidak menjadi penghalang untuk dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam proses pembangunan. Adapun salah satu upaya pemberdayaan yang dilakukan pemerintah adalah dengan 26 memberikan pelayanan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan di panti-panti. Upaya rehabilitasi tersebut mencakup beberapa kegiatan bimbingan. Adapun kegiatan bimbingan yang dilaksanakan PTNRW “Bhakti Candrasa” antara lain bimbingan fisik, bimbingan mental, bimbingan sosial/kemasyarakatan, bimbingan kecerdasan, bimbingan ketrampilan, bimbingan resosialisasi/ penyaluran, serta bimbingan lanjut. Dari kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan akan dapat mewujudkan kesejahteraan sosial penyandang cacat netra, dimana mereka mempunyai kemampuan dan kemandirian dari segi fisik, mental, sosial serta ketrampilan sehingga hidupnya tidak bergantung pada orang lain dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Secara singkat kerangka berfikir di atas dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut: Penyandang cacat netra Pemberdayaan Upaya Rehabilitasi sosial : 1. Pra rehabilitasi 2. Rehabilitasi sosial di dalam panti - bimbingan fisik - bimbingan mental - bimbingan sosial/kemasyarakatan - bimbingankecerdasan - bimbingan ketrampilan 3. Resosialisasi/penyaluran 4. Pembinaan lanjut Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan rehabilitasi sosial Gambar I.1. Skema Kerangka Pemikiran Kesejahteraan sosial penyandang cacat netra 27 F. Definisi Konseptual Definisi konseptual dimaksudkan untuk menegaskan konsep atau batasan yang digunakan untuk mengantisipasi agar tidak terjadi perbedaan penafsiran antara peneliti dan pembaca. Adapun definisi konseptual dalam penelitian ini adalah: 1. Penyandang cacat netra adalah seseorang yang menderita kelainan/kekurangan fungsi penglihatan atau mengalami kebutaan/tidak dapat melihat, baik karena bawaan sejak lahir maupun kecelakaan, sehingga menjadi hambatan untuk melakukan aktivitas sehari-hari secara layak. 2. Upaya pemberdayaan penyandang cacat netra melalui rehabilitasi sosial merupakan suatu upaya untuk memampukan dan memandirikan penyandang cacat netra dengan cara menggali potensi yang dimilikinya dan memperkuat potensi tersebut dengan memberi input atau masukan dan kesempatan untuk mengembangkannya dengan pemberian pelayanan sosial secara terpadu melalui pendekatan fisik, mental dan sosial yang dapat memulihkan dan mengembangkan kemauan dan kemampuan penyandang cacat netra agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal dalam hidup bermasyarakat. G. Definisi Operasional Definisi operasional merupakan konsep yang telah diturunkan derajatnya sesuai dengan waktu dan tempat suatu penelitian dilakukan. Adapun definisi operasional dari penelitian ini adalah: 28 1. Penyandang cacat netra Dalam penelitian ini adalah penyandang cacat netra dengan kriteria: a. Terdaftar sebagai kelayan di Panti yang diteliti (PTNRW “Bhakti Candrasa” Surakarta). b. Sedang dan atau pernah mengikuti kegiatan-kegiatan rehabilitasi sosial penyandang cacat netra yang dilaksanakan oleh panti yang diteliti. 2. Upaya pemberdayaan penyandang cacat netra melalui rehabilitasi sosial yang dilakukan oleh panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara “Bhakti Candrasa” Surakarta dalam memberdayakan penyandang cacat netra dengan pemberian pelayanan rehabilitasi yang meliputi: - bimbingan fisik - bimbingan mental - bimbingan sosial/kemasyarakatan - bimbingan ketrampilan - bimbingan resosialisasi/penyaluran - bimbingan/pembinaan lanjut 3. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan rehabilitasi sosial tersebut meliputi: a. Faktor intern (dari dalam) - Respon/tanggapan kelayan - Sarana dan prasarana - Pembimbing atau instruktur - Jangka waktu pelaksanaan 29 b. Faktor ekstern (dari luar) - Masyarakat H. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif, dengan tujuan untuk menggambarkan realitas yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu dengan mengembangkan konsep dan menghimpun data tetapi tidak melakukan pengujian hipotesis. Data yang dikumpulkan terutama berupa kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih daripada sekedar angka atau frekuensi (H.B. Sutopo, 2002: 35). Penelitian ini menitikberatkan pada field research atau penelitian lapangan, namun juga tidak mengesampingkan pada studi kepustakaan atau library research terutama dalam menyusun landasan teori. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara ‘Bhakti Candrasa’ Surakarta, di Jl. Dr. Rajiman 622 Surakarta. Adapun alasan pemilihan lokasi tersebut adalah: a. Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara “Bhakti Candrasa” Surakarta merupakan unit Pelaksana Teknis Dinas Kesejahteraan Sosial propinsi Jawa Tengah yang bertugas memberikan pelayanan 30 rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat netra yang merupakan fokus dari penelitian ini. b. Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara “Bhakti Candrasa” Surakarta tidak hanya menampung penyandang cacat netra yang berasal dari daerah Surakarta saja namun juga menerima penyandang cacat netra dari luar kota Surakarta. Selain itu kelayan lulusan PTNRW “Bhakti Candrasa” ini umumnya bisa langsung dapat bekerja sehingga mereka bisa mandiri dan tidak tergantung pada orang lain. c. Adanya ketertarikan penulis untuk mengetahui upaya rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara “Bhakti Candrasa” Surakarta dalam memberdayakan penyandang cacat netra. Hal ini didasarkan pada rasa keingintahuan penulis akan bagaimana upaya mengembangkan potensi para penyandang cacat netra. d. Memungkinkan peneliti mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini. 3. Teknik Penarikan Sampel Penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling dalam menangkap kelengkapan dan kedalaman data di dalam menghadapi realitas yang tidak tunggal. Pilihan sampel diarahkan pada sumber data yang dipandang memiliki data yang penting yang berkaitan dengan permasalahan secara mendalam. Selain itu digunakan juga teknik snowball sampling, dimana pemilihan informasi pada waktu di 31 lokasi penelitian berdasarkan petunjuk dari informan sebelumnya dan seterusnya bergulir sehingga didapatkan data yang lengkap dan akurat. 4. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari pihakpihak yang berkepentingan dengan obyek penelitian melalui wawancara dan observasi yang kemudian diolah sendiri oleh peneliti. Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah: - Staff rehabilitasi dan penyaluran - Staff penyantunan - Pembimbing/instruktur - Kelayan/penyandang cacat netra yang sedang dan atau pernah menerima layanan rehabilitasi sosial di Panti Tuna Netra “Bhakti Candrasa” Surakarta. - Masyarakat dan pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan rehabilitasi sosial, yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai layanan rehabilitasi yang diselenggarakan. b. Data sekunder Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung, melalui buku-buku, kepustakaan, dokumentasi dan keterangan lain yang berhubungan dengan masalah penelitian yang digunakan sebagai pelengkap dan pendukung data primer. 32 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Indepth Interview (Wawancara Mendalam) Teknik wawancara mendalam ini tidak dilakukan dalam struktur yang ketat dan formal agar informasi yang dikumpulkan lebih mendalam. Dalam memperoleh informasi, penulis menggunakan panduan wawancara berupa garis-garis besar/pokok pertanyaan. b. Observasi Dalam penelitian ini penulis mengadakan pengamatan langsung dan pencatatan tentang keadaan atau fenomena yang diselidiki/dijumpai secara sistematis. c. Dokumentasi Yaitu teknik pengumpulan data dengan jalan membaca dan mempelajari buku-buku kepustakaan yang ada hubungannya dengan materi penelitian serta pengumpulan data berdasarkan catatan yang berupa dokumen/arsip-arsip yang terdapat di Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara “Bhakti Candrasa” Surakarta. 6. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif (interactive model of analysis). Dalam model ini terdapat 3 komponen pokok. Menurut Miles dan Huberman dalam H.B. Sutopo (2002; 91-96), ketiga komponen tersebut adalah: 33 a. Data Reduction (Reduksi Data) Merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data dari fieldnote. Proses ini berlangsung terus sampai laporan akhir penelitian selesai disusun. b. Data Display (Sajian Data) Merupakan suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan. Riset dapat dilakukan dengan melihat suatu penyajian data, peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan peneliti untuk berbuat sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pemahaman tersebut. c. Conclusion Drawing (Penarikan Kesimpulan) Dalam awal pengumpulan data peneliti sudah harus mulai mengerti apa arti dari hal-hal yang ia temui dengan melakukan pencatatan peraturan-peraturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan berbagai proposisi sehingga memudahkan dalam pengambilan kesimpulan. Dalam proses analisisnya, ketiga komponen tersebut akan beraktivitas secara interaksi dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus. Dalam penelitian ini, peneliti tetap bergerak diantara ketiga komponen pengumpulan data dan pengambilan kesimpulan dengan menggunakan waktu yang ada. 34 Proses analisa data dengan menggunakan model interaktif ini dapat digambarkan sebagai berikut: Pengumpulan Data Sajian Data Reduksi Data Penarikan Kesimpulan Gambar I.2. Model Analisis Interaktif (H.B. Sutopo, 2002: 96) 7. Validitas Data Validitas data dimaksudkan sebagai pembuktian bahwa data yang diperoleh peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dalam kenyataan di lokasi penelitian. Guna menjamin kevalidan data penulis menggunakan cara triangulasi data (untuk mendapatkan data tidak dari satu sumber). Hal ini untuk mengecek kebenaran data tersebut dengan cara membandingkan dengan data sejenis dari sumber yang berbeda (Lexy J. Moleong, 2002: 178).