BAB I - Digital Library UNS

advertisement
Upaya pemberdayaan penyandang cacat netra melalui rehabilitasi
sosial di panti tuna netra dan tuna rungu wicara “Bhakti Candrasa”
Surakarta
Fatmawati Nikmah
Universitas Sebelas Maret
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan merupakan usaha yang secara sadar dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Pelaksanaan pembangunan suatu
bangsa memerlukan dukungan tersedianya sumber daya baik Sumber Daya
Alam (SDA) maupun Sumber Daya Manusia (SDM). Kedua sumber daya
tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan suatu pembangunan. Tersedianya
SDM yang berkualitas baik akan mampu mengolah SDA yang secara efektif
dan efisien sehingga proses pembangunan berjalan lancar. Sebagaimana
dikemukakan oleh Hadari Nawawi (2001: 48) bahwa manusia sebagai sumber
daya merupakan faktor sentral yang harus memberdayakan sumber daya
lainnya. Dalam kedudukannya sebagai faktor sentral itu berarti juga sumber
daya lainnya tidak dapat menjalankan fungsinya tanpa SDM. Hal tersebut
sejalan dengan pendapat Sondang P. Siagian (1996: 3) yang menyatakan
bahwa asset terpenting yang dimiliki oleh suatu bangsa adalah sumber daya
manusianya. Negara yang terdidik, terampil, berdisiplin, tekun dan mau
bekerja keras ternyata dapat berhasil meraih kemajuan yang sangat besar.
1
2
Sumber daya non manusia dan kekayaan alam tidak akan banyak artinya tanpa
dikelola manusia secara baik. Oleh karenanya sumber daya manusia dapat
dikatakan sebagai unsur utama yang menentukan proses pembangunan.
Pembangunan bukan hanya untuk suatu golongan atau sebagian dari
masyarakat, melainkan harus dirasakan oleh seluruh rakyat. Proses
pembangunan membutuhkan adanya partisipasi
dari seluruh lapisan
masyarakat. Partisipasi tersebut tidak hanya dari orang-orang yang
mempunyai kesempurnaan fisik saja, namun orang yang tidak memiliki
kemampuan fisik dan mental pun harus diberikan suatu kesempatan yang
sama dalam pembangunan. Orang-orang yang tidak sempurna baik fisik atau
pun mental disebut dengan penyandang cacat. Meskipun dikatakan cacat,
sebenarnya mereka masih memiliki potensi yang jika dilakukan suatu usaha
dengan penanganan khusus sesuai dengan jenis kecacatannya. Maka para
penyandang cacat tersebut dapat diberdayakan secara optimal sehingga
mereka dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan ikut
berpartisipasi dalam pembangunan.
Penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Akan
tetapi keberadaan mereka dalam kehidupan sehari-hari terasa masih
terpinggirkan. Masyarakat cenderung lebih membelaskasihani daripada
memberikan kesempatan pada penyandang cacat untuk bersemangat mandiri.
Mereka dianggap golongan yang lemah, yang karena kecacatannya tidak
mampu hidup mandiri sehingga perlu bergantung pada belas kasihan orang
lain. Hal ini menyebabkan timbulnya rasa kurang percaya diri, terisolir dan
3
minder pada diri mereka. Terisolasinya penyandang cacat dari masyarakat
umum juga disebabkan adanya sikap malu dari pihak keluarga dengan
kecacatan mereka, sehingga mereka disembunyikan dari masyarakat secara
wajar. Padahal seperti layaknya manusia normal mereka ingin diakui
keberadaannya,
ingin
diperlakukan
wajar,
serta
ingin
mendapatkan
kebahagiaan dan kebutuhan lainnya. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh
Hadari Nawawi (1998: 32) bahwa dalam setiap diri manusia terdapat adanya
kebutuhan sosial antara lain kebutuhan untuk diakui/diterima dan dihormati
serta untuk mengaktualisasi diri.
Sebagai warga negara Indonesia, penyandang cacat mempunyai
kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan warga negara
lainnya. Mereka memiliki hak yang sama untuk mengembangkan diri dalam
rangka mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Hal ini dijamin oleh UUD
1945 pasal 28C ayat 1 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia”. Selain itu dinyatakan pula dalam pasal 31 ayat 1
bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Oleh karena itu
penyandang cacat mempunyai hak yang sama dalam bidang pendidikan. Hal
ini didukung oleh UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional
pasal 8 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Warga negara yang memiliki kelainan
fisik dan/atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa”.
4
Penyandang cacat juga tidak kehilangan hak untuk memperoleh
kesempatan kerja maupun hidup yang layak. Hal itu dijamin dalam UUD 1945
pasal 27 ayat 2 yang berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Oleh karena itu dalam
pelaksanaan suatu kebijakan pemerintah perlu dicegah adanya diskriminasi
yang merugikan para penyandang cacat, kaum muda, mereka yang berusia
lanjut untuk memperoleh dan memiliki pekerjaan yang produktif yang
memberikan imbalan yang layak (Soeroto, 1992: 98). Apalagi dalam UUD
1945 pasal 28 i ayat 2 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Hal ini
menunjukkan bahwa penyandang cacat mempunyai harkat dan martabat yang
sama dengan manusia normal.
Kesempatan untuk mendapat kesamaan kedudukan, hak dan
kewajiban bagi penyandang cacat dapat diwujudkan jika tersedia aksesibilitas
yakni suatu kemudahan bagi penyandang cacat untuk mencapai kesamaan
kesempatan tersebut. Penyediaan aksesibilitas dapat berupa fisik dan non fisik,
antara lain sarana dan prasarana umum serta informasi yang diperlukan
penyandang cacat. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya diskriminasi
antara penyandang cacat dengan orang yang normal.
Dengan kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala
aspek kehidupan dan penghidupan terutama dalam memperoleh pendidikan
dan pekerjaan akan mendorong terwujudnya peningkatan kesejahteraan sosial
5
mereka. Adapun yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial menurut
penjelasan UU No. 4 tahun 1997 tentang ‘penyandang cacat’ adalah:
“Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun
spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan
ketentraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara
untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah,
dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat
yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara sesuai
dengan Pancasila”.
Upaya peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat dapat
dilakukan dengan memberdayakan mereka dengan cara menggali potensi yang
dimilikinya serta mengembangkan potensi tersebut sehingga mereka menjadi
sumber daya manusia yang produktif tanpa bergantung pada belas kasihan
orang lain. Dengan kata lain pemberdayaan penyandang cacat akan
meningkatkan kemandirian penyandang cacat sehingga mereka dapat berperan
aktif dalam kehidupan masyarakat.
Terdapat berbagai jenis kecacatan namun dalam hal ini penelitian
lebih difokuskan pada penyandang cacat netra (tuna netra). Kecacatan fungsi
penglihatan yang mereka derita menimbulkan berbagai keterbatasan dalam
menjalankan aktivitas mereka sehari-hari, yang berarti mempersempit ruang
gerak mereka untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Padahal indera
penglihatan merupakan salah satu sumber informasi yang vital bagi manusia.
Seseorang yang mengalami gangguan pada indera penglihatan akan
berdampak pada kemampuan aktivitas yang bersangkutan menjadi terbatas,
karena informasi yang diperoleh akan jauh berkurang dibandingkan dengan
orang yang berpenglihatan normal. Hal ini apabila tidak mendapat
penanganan/rehabilitasi khusus akan mengakibatkan timbulnya berbagai
6
kendala psikologis,seperti perasaan inferior, depresi atau hilangnya makna
hidup,dan sebagainya. Oleh karena itu, mereka perlu diberdayakan agar
kecacatan fungsi penglihatan yang mereka derita tidak menghalangi mereka
untuk dapat menjalankan kehidupannya seperti halnya orang yang
berpenglihatan normal, sehingga keberadaan mereka tidak terisolir dari
kehidupan masyarakat yang wajar. Pemberdayaan tersebut memerlukan peran
serta dari berbagai pihak baik dari pemerintah, masyarakat maupun
penyandang cacat netra sendiri.
Seperti halnya daerah lainnya, Surakarta juga tak terlepas dari masalah
keberadaan penyandang cacat netra. Sejauh ini upaya yang telah dilakukan
pemerintah terhadap penyandang cacat netra tersebut adalah dengan
pemberian bantuan pelayanan sosial baik melalui sistem panti maupun non
panti. Sistem non panti dilakukan dengan memberikan pelatihan dan bantuan
usaha. Akan tetapi karena keterbatasan dana, pelaksanaan pelatihan melalui
sistem non panti ini biasanya hanya diselenggarakan setahun sekali dan
berlangsung selama beberapa hari saja. Pada tahun 2002 program tersebut
diselenggarakan selama 3 hari dan hanya diikuti 8 orang dari 176 penyandang
cacat netra yang tercatat di Surakarta (Sumber: Muladi, Kasubsi Rehabilitasi
Tuna Sosial – Dinkesra PP Surakarta). Hal ini menunjukkan pemberdayaan
penyandang cacat netra melalui sistem non panti tersebut belum optimal. Oleh
karena itu, bantuan pelayanan sosial melalui sistem panti dapat dijadikan
alternatif lain dalam upaya memberdayakan penyandang cacat netra.
Adapun salah satu panti yang menyelenggarakan rehabilitasi bagi
penyandang cacat netra adalah Panti Sosial Bina Netra “Bhakti Candrasa”
7
Surakarta, yang kemudian mulai tanggal 2 April 2002 berganti nama menjadi
Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara “Bhakti Candrasa” Surakarta. Panti
tersebut merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kesejahteraan Sosial
propinsi Jawa Tengah yang bertugas memberikan pelayanan sosial yang
meliputi pembinaan fisik, mental, sosial, pelatihan, keterampilan, dan
resosialisasi/penyaluran serta pembinaan lanjut bagi para penyandang cacat
netra agar mampu berperan aktif dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan pra survey yang telah dilakukan, saat ini kapasitas Panti
Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara (PTNRW) “Bhakti Candrasa” Surakarta
adalah 85 orang. Pada tahun 2002 tercatat ada 70 orang penyandang cacat
netra yang rehabilitasi di panti ini. Penyandang cacat yang memperoleh
pelayanan rehabilitasi dalam panti disebut dengan kelayan. Sistem perekrutan
kelayan yang dilakukan PTNRW adalah sistem ‘waiting list’ dimana
perekrutan diadakan setiap ada kelayan yang lulus/keluar, sehingga setiap
tahun menerima penyandang cacat netra dengan jumlah yang berbeda
tergantung pada jumlah kebutuhan yang disesuaikan dengan kapasitas panti.
Proses pelayanan rehabilitasi penyandang cacat netra di PTNRW
“Bhakti Candrasa” dilakukan selama 3 – 3,5 tahun. Selama proses rehabilitasi,
mereka memperoleh pembinaan berupa bimbingan fisik, bimbingan mental,
bimbingan sosial/kemasyarakatan, bimbingan kecerdasan dan bimbingan
keterampilan. Dengan rehabilitasi tersebut diharapkan penyandang cacat netra
dapat mengembangkan diri dan potensinya sehingga akan meningkatkan
8
kemandirian mereka untuk dapat menjalankan kelangsungan hidupnya secara
layak serta berperan aktif dalam masyarakat.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas,
maka dalam penelitian ini penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana upaya rehabilitasi sosial yang dilakukan Panti Tuna Netra dan
Tuna Rungu Wicara “Bhakti Candrasa” Surakarta dalam rangka
memberdayakan penyandang cacat netra?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan rehabilitasi
sosial?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Operasional
a. Untuk mengetahui upaya rehabilitasi sosial yang dilakukan Panti Tuna
Netra dan Tuna Rungu Wicara “Bhakti Candrasa” Surakarta dalam
memberdayakan para penyandang cacat netra.
b. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi pelaksanaan rehabilitasi
sosial.
2. Tujuan Fungsional
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh instansi yang
bersangkutan sebagai bahan masukan dalam melaksanakan pemberdayaan
terhadap penyandang cacat netra.
3. Tujuan individual
9
Untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan di
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Landasan Teori
Teori merupakan unsur penelitian yang paling besar peranannya
dalam suatu penelitian, karena melalui teori ilmiah peneliti mencoba
menerangkan suatu fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi fokus
perhatiannya. Menurut Kerlinger, teori adalah serangkaian asumsi, konsep,
konstrak, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial
secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep (Masri
Singarimbun dan Sofyan Efendi, 1995: 37). Untuk itulah maka dibawah ini
akan diuraikan beberapa teori yang mendukung dan menjelaskan arahan
penelitian ini, sebagai berikut:
1. Pemberdayaan Penyandang Cacat Netra
Pemberdayaan mempunyai makna harfiah membuat seseorang
berdaya. Istilah lain untuk pemberdayaan adalah penguatan atau
empowerment. Pemberdayaan pada intinya adalah pemanusiaan, dalam arti
mendorong orang untuk menampilkan dan merasakan hak-hak asasinya.
Di dalam pemberdayaan terkandung unsur pengakuan dan penguatan
posisi seseorang melalui penegasan terhadap hak dan kewajiban yang
dimiliki dalam seluruh tatanan kehidupan. Di dalam proses pemberdayaan
diusahakan agar orang berani menyuarakan dan memperjuangkan
ketidakseimbangan hak dan kewajiban. Pemberdayaan mengutamakan
usaha sendiri dari orang yang diberdayakan untuk meraih keberdayaannya.
10
Oleh karena itu pemberdayaan sangat jauh dari konotasi ketergantungan
(Indrasari Tjandraningsih dalam Surya Mulandar, 1996: 3).
Ciri-ciri pemberdayaan menurut Korten adalah:
a. Prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi
kebutuhannya harus diletakkan pada masyarakat atau komunitas itu
sendiri.
b. Meningkatkan
kemampuan
masyarakat
atau
komunitas
untuk
mengelola dan memobilisasi sumber-sumber yang ada untuk
mencukupi kebutuhannya.
c. Mentoleransi variasi lokal dan karenanya sifatnya amat fleksibel
menyesuaikan dengan kondisi lokal.
d. Menekankan pada proses sosial learning yang di dalamnya terdapat
interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses
perencanaan sampai evaluasi proyek.
e. Proses pembentukan jaringan antara birokrat dan lembaga swadaya
masyarakat, satuan-satuan organisasi tradisional yang mandiri,
merupakan bagian integral dari pendekatan ini, baik untuk
meningkatkan kemampuan mereka mengidentifikasi dan mengelola
berbagai sumber maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur
vertikal dan horisontal (Moeljarto T., 1995: 26)
Menurut pendapat Dr. Anggito Abimanyu, dkk (1995: 136)
pemberdayaan diartikan sebagai:
11
“Pemberdayaan masyarakat (empowerment) yang dimaksud bahwa
pembangunan akan berjalan dengan sendirinya apabila masyarakat
diberi hak untuk mengelola sumber daya alam yang mereka miliki
dan menggunakannya untuk pembangunan masyarakat”.
Ada dua versi yang berbeda mengenai “empowerment” yaitu versi
dari Paul Freire dan versi yang berasal dari Schumacher. Menurut Paul
Freire empowerment bukanlah sekedar hanya memberi kesempatan rakyat
menggunakan sumber daya alam dan dana pembangunan saja tetapi lebih
dari itu empowerment merupakan upaya untuk mendorong masyarakat
untuk mencari cara menciptakan kebebasan struktur-struktur yang opresif.
Dengan kata lain empowerment berarti partisipasi masyarakat dalam
politik. Sedangkan versi Schumacher tentang empowerment kurang berbau
politik. Schumacher percaya bahwa manusia itu mampu untuk
membangun diri mereka sendiri tanpa mengharuskan terlebih dahulu
menghilangkan ketimpangan struktural yang ada dalam masyarakat.
Schumacher menyatakan bahwa strategi yang paling tepat untuk menolong
si miskin adalah “memberi kail daripada ikan” dengan demikian mereka
dapat mandiri. Akan tetapi empowerment versi Schumacher yang
memfokuskan pada pembentukan kelompok mandiri juga masih tetap
memerlukan dukungan politik. Tanpa adanya dukungan politik sama saja
dengan “membantu orang dengan memberi kail tapi orang tersebut tidak
diberi hak untuk mengail di sungai”, maka pastilah mereka tidak akan
dapat hidup dengan lebih baik. (Anggito Abimanyu, dkk, 1995: 140-141).
Ginandjar Kartasasmita (1996: 159-160) membicarakan konsep
pemberdayaan secara luas yaitu pemberdayaan masyarakat. Konsep
12
pemberdayaan masyarakat digunakan dalam penelitian ini dengan asumsi
bahwa penyandang cacat netra merupakan anggota dari masyarakat secara
luas. Dalam kerangka pembangunan nasional, upaya pemberdayaan
masyarakat dilakukan melalui tiga jurusan:
Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan
potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah
pengenalan bahwa setiap manusia dan setiap masyarakat mempunyai
potensi yang dapat dikembangkan, artinya tidak ada masyarakat yang
sama sekali tanpa daya. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun
daya
itu
dengan
mendorong
(encourage),
memotivasi,
dan
membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya
serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif
selain hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi
langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan
(input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities)
yang akan membuat masyarakat menjadi semakin berdaya.
Ketiga, memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam
proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah bertambah lemah karena
kurang berdaya dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu dalam
konsep pemberdayaan masyarakat, perlindungan dan pemihakan kepada
yang lemah sangat diperlukan. Melindungi disini tidak berarti mengisolasi
13
atau menutupi dari interaksi karena hal itu justru akan semakin
melemahkan. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah
terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas
yang lemah.
Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi
semakin tergantung pada berbagai program pemberian (charity) karena
pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha
sendiri dan hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain.
Dari berbagai konsep pemberdayaan secara luas di atas maka dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa pemberdayaan merupakan upaya untuk
memampukan dan memandirikan masyarakat dengan cara menggali
potensi yang dimilikinya, kemudian memperkuat potensi tersebut dengan
memberi
input
mengembangkan
atau
masukan-masukan
potensi
tersebut
dan
melalui
kesempatan
pemberian
untuk
pelatihan,
ketrampilan, dorongan, hak dan wewenang untuk mengelola sumber daya
yang ada sehingga dapat bermanfaat bagi dirinya. Pemberdayaan di atas
adalah pemberdayaan dalam artian luas. Dalam penelitian ini lebih
memfokuskan pada pemberdayaan penyandang cacat netra (tuna netra)
yang juga merupakan anggota dari masyarakat luas. Jadi pemberdayaan
penyandang cacat netra adalah upaya untuk memampukan dan
memandirikan penyandang cacat netra agar dapat sejajar dengan orang
normal.
14
Oleh karena itu, para penyandang cacat netra harus dibangkitkan
kesadarannya
akan
potensi
mereka
yang
dapat
dibangun
dan
dikembangkan sehingga mereka dapat mandiri dalam arti beraktivitas dan
bekerja sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki. Mereka perlu diberi
penguatan seperti masukan-masukan, dorongan, semangat, kesempatan
dan hak yang sama seperti layaknya orang normal. Hal itu dapat dilakukan
dengan upaya rehabilitasi yang diselenggarakan oleh lembaga ataupun
panti-panti yang diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan antara lain dengan
pemberian bimbingan fisik melalui pemeliharaan kesehatan, bimbingan
mental/psikologi dan keagamaan yang bersifat menumbuhkan semangat
dan rasa percaya diri, serta pemberian bimbingan pelatihan dan
ketrampilan kerja yang bermanfaat bagi mereka. Dengan pemberdayaan
ini diharapkan para penyandang cacat netra dapat menjadi orang yang kuat
mental dan mempunyai bekal bagi kelangsungan hidupnya sehingga
mereka dapat mandiri, tidak menjadi beban orang lain tetapi hidup dari
hasil usahanya sendiri.
Penelitian ini memfokuskan pada penyandang cacat netra (tuna
netra), oleh sebab itu perlu kita ketahui lebih lanjut tentang apa dan siapa
penyandang cacat netra tersebut.
Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 1997 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja:
“Cacat adalah keadaan hilangnya atau berkurangnya fungsi anggota
badan secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang
atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan
(ketentuan umum pasal 1 ayat 7).
15
Sedangkan
yang
dimaksud
dengan
kecacatan
adalah
kerusakan
kemampuan untuk kehidupan dan pekerjaan yang disebabkan oleh luka
penyakit atau cacat sejak lahir (Y.B. Suparlan dkk, 1983: 53). Dari definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa kecacatan tidak menyangkut hal
mengenai kehilangan kemampuan tetapi lebih bersifat kerusakan
kemampuan sebagai akibat dari kerusakan fungsi alat tubuh yang
menyebabkan kesulitan dalam beraktivitas seperti manusia normal,
sehingga jika diberi suatu upaya penanganan khusus sesuai dengan jenis
kecacatannya maka kemampuan beraktivitas tersebut dapat ditingkatkan.
Pada dasarnya faktor utama penyebab kecacatan secara umum
dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Faktor keturunan, dikarenakan tingginya mekanisme gen yang
terganggu.
b. Faktor cacat sejak lahir, dikarenakan infeksi, kurang gizi, posisi bayi
yang salah sehingga menyebabkan kelainan pada alat-alat tubuhnya.
c. Faktor cacat yang diperoleh, dikarenakan hal-hal yang bersifat
kecelakaan yaitu perang, kecelakaan lalulintas, kecelakaan pekerjaan,
dan lain sebagainya (Analisis Pendidikan No. 3 Tahun III/1983)
Adapun yang dimaksud dengan penyandang cacat berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang ‘Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat’ diartikan sebagai berikut:
“Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan
fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan
16
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara
selayaknya, yang terdiri dari:
a. Penyandang cacat fisik
b. Penyandang cacat mental
c. Penyandang cacat fisik dan mental
Pada penelitian ini lebih memfokuskan pada penyandang cacat
netra (tuna netra). Istilah tuna netra terdiri dari kata “tuna” yang berarti
rusak, luka, kurang, tidak memiliki dan “netra” yang berarti mata. Jadi
tuna netra artinya rusak matanya atau luka matanya atau tidak memiliki
mata yang berarti buta atau kurang dalam penglihatannya.
Menurut White Conference, pengertian tuna netra adalah sebagai
berikut:
-
Seseorang dikatakan buta baik total maupun sebagian (low vision) dari
kedua matanya sehingga tidak memungkinkan lagi baginya untuk
membaca sekalipun dibantu dengan kacamata.
-
Seseorang dikatakan buta untuk pendidikan bila mempunyai ketajaman
penglihatan 20/200 atau kurang, atau mempunyai ketajaman lebih dari
20/200 tetapi mempunyai keterbatasan dalam lantang pandangnya
sehingga luas daerah penglihatannya membentuk sudut tidak lebih dari
20 derajat (Anastasia Widjajantin, 1990: 4-5).
Istilah tuna netra sering disamakan dengan “buta”, padahal hal
tersebut sebenarnya kurang tepat. Istilah “buta” lebih dimaksudkan untuk
menunjukkan seseorang yang sudah sedemikian rusak penglihatannya
sehingga tidak mungkin lagi difungsikan untuk melihat. Sedangkan istilah
“tuna netra” lebih menunjukkan adanya gradasi atau tingkatan kebutaan
17
seseorang. Badan organisasi kesehatan dunia (WHO) menggunakan istilah
tuna netra ke dalam dua kategori yaitu:
a. Blind atau buta, menggambarkan kondisi dimana penglihatan tidak
dapat diandalkan lagi meskipun dengan alat bantu sehingga tergantung
pada fungsi indera-indera yang lain.
b. Low vision atau penglihatan kurang, menggambarkan kondisi
penglihatan dengan ketajaman yang kurang, daya tahan rendah
mempunyai kesulitan dengan tugas-tugas utama yang menuntut fungsi
penglihatan tetapi masih dapat berfungsi dengan alat bantu khusus
namun tetap terbatas (Munawir Yusuf, 1998: 21-22).
Selain itu cacat netra (tuna netra) juga disebut dengan istilah visually
impairment, visually handicapped, visually limited, visually activity.
Beragamnya istilah yang dipergunakan untuk menyebut tuna netra terjadi
karena alasan dan tujuan-tujuan tertentu namun secara material pada
dasarnya memiliki makna yang sama.
Menurut Irham Hosni (dalam Analisis Pendidikan No. 1 tahun
II/1981) seseorang dikatakan tuna netra kalau kedua penglihatannya
mengalami kelainan sedemikian rupa dan setelah dikoreksi, mengalami
kesukaran dalam menerima informasi dari lingkungannya. Kelainan
penglihatan ini bisa terjadi sejak lahir maupun setelah lahir. Sedangkan
dalam Perda Propinsi Jawa Tengah No. 1 tahun 2002 tentang Unit
Pelaksana Teknis Dinas di Propinsi Jawa Tengah menyatakan bahwa:
“Penyandang cacat/tuna netra adalah seseorang yang mengalami
kebutaan, yang tidak dapat melihat atau menghitung jari tangan
18
orang lain dalam jarak satu meter karena bawaan atau kecelakaan,
sehingga menjadi hambatan untuk melakukan kegiatan sehari-hari
(Penjelasan Pasal 3 ayat 1)”.
Sebagai warga masyarakat yang dianggap tidak normal atau
berkelainan, para penyandang cacat netra mempunyai berbagai kendala
dan masalah dalam kehidupannya sehari-hari. Secara garis besar masalah
tersebut menurut Sunardi dalam Munawir Yusuf (1998: 36-38) dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Masalah yang disebabkan oleh kecacatannya
Masalah yang dihadapi penyandang cacat netra sebagai akibat
ketunanetraannya antara lain:
-
Hambatan dalam perkembangan membaca dan menulis yang
berdampak pada terbatasnya informasi yang dapat ditangkap oleh
penyandang cacat netra mengenai perkembangan di sekitarnya.
-
Keterbatasan dalam kemampuan menolong diri sendiri
-
Keterbatasan dalam kegiatan yang memerlukan penglihatan
-
Keterbatasan dalam kesempatan kerja
b. Masalah yang disebabkan oleh sikap dan penerimaan masyarakat
Masih adanya sikap negatif sebagian masyarakat terhadap kehadiran
penyandang cacat berupa pengisoliran dari kehidupan secara normal
berdampak pada kesulitan fisik dan psikologis penyandang cacat
dimana umumnya mereka harus menanggung beban rasa rendah diri
dan harga diri yang kurang.
19
c. Masalah
belum
tersedianya
fasilitas
di
masyarakat
yang
memungkinkan mereka hidup mandiri
Keterbatasan penyediaan fasilitas penunjang terutama dalam kegiatan
bermobilitas para penyandang cacat menyebabkan dalam banyak hal
mereka masih sering membutuhkan bantuan orang lain. Akibatnya
mereka tidak akan dapat mengembangkan potensinya secara wajar dan
cenderung tergantung pada pihak lain.
Berbagai kendala tersebut di atas, secara langsung atau tidak
langsung dapat berdampak negatif terhadap perkembangan pribadi dan
sosial penyandang cacat netra, antara lain yakni munculnya rasa curiga
terhadap orang lain, perasaan mudah tersinggung dan ketergantungan pada
orang lain. Selain itu juga dapat menyebabkan penyandang cacat netra
menjadi tidak produktif, kurang pengetahuan, kurang pendidikan dan
ketrampilan sehingga tidak dapat mengembangkan diri, bahkan banyak
diantara mereka yang hanya bisa “meminta” tanpa berusaha untuk mandiri
dalam artian mencari nafkah sendiri.
Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pemberdayaan terhadap
penyandang cacat netra agar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki
sebagai bekal kelangsungan hidupnya. Salah satu upaya tersebut dapat
dilakukan melalui pemberian layanan rehabilitasi.
2. Rehabilitasi Sosial
20
Untuk mengetahui lebih jauh tentang rehabilitasi sosial penyandang
cacat netra, sebelumnya kita perlu mengetahui apa itu rehabilitasi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rehabilitasi diartikan sebagai
pemulihan kepada kedudukan atau keadaan semula (Tim Penyusun Kamus
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989: 737).
Sedangkan
menurut
Kamus
Istilah
Kesejahteraan
Sosial,
rehabilitasi adalah suatu proses kegiatan untuk memperbaiki kembali dan
mengembalikan fisik, kemampuan serta mental seseorang sehingga orang
itu dapat mengatasi masalah kesejahteraan sosial bagi dirinya serta
keluarganya (Y.B. Suparlan, dkk, 1983: 124). Dalam UU No. 4 tahun
1997 tentang “Penyandang Cacat” pasal 1 ayat 5, rehabilitasi diartikan
sebagai proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan
penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar
dalam kehidupan masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan fungsi
sosial adalah kemampuan dan peran seseorang untuk berintegrasi melalui
komunikasi dan interaksi dalam hidup bermasyarakat secara wajar.
Dari pengertian rehabilitasi di atas, maka dapat diketahui bahwa
rehabilitasi sangat diperlukan dalam memberdayakan penyandang cacat
netra. Dalam hal ini, refungsionalisasi dan pengembangan kemampuan
fisik, sosial serta mental dapat mendorong berkembangnya potensi yang
masih dimiliki oleh penyandang cacat netra. Berdasarkan penjelasan pasal
18 ayat 2 UU No. 4 tahun 1997 tentang “penyandang cacat”, maka
rehabilitasi meliputi:
21
a. Rehabilitasi medik adalah kegiatan pelayanan kesehatan secara utuh
dan terpadu melalui tindakan medik agar dapat mencapai kemampuan
fungsional semaksimal mungkin.
b. Rehabilitasi pendidikan adalah kegiatan pelayanan pendidikan secara
utuh dan terpadu melalui proses belajar mengajar agar dapat mengikuti
pendidikan
secara
optimal
sesuai
dengan
bakat,
minat
dan
kemampuannya.
c. Rehabilitasi pelatihan adalah kegiatan pelayanan pelatihan secara utuh
dan terpadu agar penyandang cacat dapat memiliki ketrampilan kerja
sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
d. Rehabilitasi sosial adalah kegiatan pelayanan sosial secara utuh dan
terpadu melalui pendekatan fisik, mental, dan sosial agar dapat
melaksanakan fungsi sosial secara optimal dalam hidup bermasyarakat.
Adapun upaya rehabilitasi yang dilakukan Panti Tuna Netra dan
Tuna Rungu Wicara “Bhakti Candrasa” dalam rangka memberdayakan
penyandang cacat netra adalah rehabilitasi sosial. Menurut penjelasan
pasal 5 huruf e Perda Propinsi Jawa Tengah no. 1 tahun 2002, rehabilitasi
sosial dapat diartikan sebagai:
“Suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk
memungkinkan penyandang masalah kesejahteraan sosial agar
mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam
kehidupan masyarakat”
Rehabilitasi sosial dapat pula diartikan sebagai kegiatan lembaga yang
bertujuan memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kecintaan
kerja dan kesadaran serta tanggung jawab terhadap masa depan diri
22
sendiri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan sosial (Y.B.
Suparlan, 1990: 127).
Dari beberapa definisi rehabilitasi sosial di atas, dapat disimpulkan
bahwa rehabilitasi sosial penyandang cacat netra merupakan suatu
kegiatan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan
fisik, mental, dan sosial penyandang cacat netra agar mampu bertanggung
jawab terhadap masa depan dirinya serta dapat melaksanakan fungsi
sosialnya secara wajar dalam hidup bermasyarakat.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 1998 tentang
“Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat”, rehabilitasi
sosial dilakukan dengan pemberian pelayanan sosial secara utuh dan
terpadu melalui kegiatan pendekatan fisik, mental, dan sosial yang berupa:
a. Motivasi dan diagnosa psikososial
Kegiatan ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan/mendorong
penyandang cacat dalam mengikuti program rehabilitasi sosial.
b. Bimbingan mental
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendorong kemauan dan kemampuan
penerimaan pelayanan serta pembinaan ketaqwaan.
c. Bimbingan fisik
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memelihara kesehatan jasmani dan
perkembangannya.
23
d. Bimbingan sosial
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan
kemampuan peserta latih secara perseorangan agar dapat mengatasi
segala permasalahan sosial yang dihadapi.
e. Bimbingan ketrampilan
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan
kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang cacat agar mau dan
mampu bekerja sesuai dengan bakat, kemampuan, dan pengalamannya.
f. Terapi penunjang
Kegiatan ini ditujukan kepada penyandang cacat yang mempunyai
kelainan tambahan agar dapat menunjang dalam kegiatan lainnya.
g. Bimbingan Resosialisasi
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan penyandang cacat
dan masyarakat lingkungannya agar terjadi integrasi sosial dalam
hidup bermasyarakat.
h. Bimbingan dan Pembinaan Usaha
Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan dan ketrampilan agar usaha/kerja yang dilakukan dapat
berdaya guna dan berhasil guna.
i. Bimbingan lanjut
Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya pemantapan dalam kehidupan
dan penghidupan penyandang cacat dalam hidup bermasyarakat.
24
Adapun proses rehabilitasi sosial terhadap penyandang cacat netra
dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
a) Pendekatan awal, meliputi:
1. Orientasi dan konsultasi
2. Identifikasi
3. Motivasi
4. Seleksi
b) Penerimaan, meliputi:
1. Registrasi
2. Penelaahan dan pengungkapan masalah
3. Penentuan program pelayanan
c) Kegiatan bimbingan, meliputi:
1. Bimbingan fisik dan mental
2. Bimbingan sosial
3. Bimbingan ketrampilan kerja/usaha
d) Resosialisasi
1. Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat
2. Bimbingan hidup bermasyarakat
3. Bimbingan pembinaan stimulan usaha produktif
4. Bimbingan usaha kerja
5. Penyaluran
25
e) Pembinaan lanjut
1. Bimbingan peningkatan kehidupan bermasyarakat dan berperan
serta dalam pembangunan.
2. Bimbingan pengembangan usaha
3. Bimbingan pemantapan usaha
Untuk melaksanakan proses rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat
netra di atas, Dinas Kesehatan Sosial propinsi Jawa Tengah menetapkan Panti
Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara sebagai Unit Pelaksana Teknis yang
berfungsi merehabilitasi para penyandang cacat netra. Salah satu panti yang
ditetapkan itu adalah Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara “Bhakti
Candrasa” Surakarta.
E. Kerangka Dasar Pemikiran
Teori yang penulis uraikan di depan menjadi pijakan bagi penulis
guna menjawab permasalahan mengenai upaya rehabilitasi sosial yang
dilakukan PTNRW “Bhaki Candrasa” Surakarta dalam memberdayakan
penyandang cacat netra serta untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan rehabilitasi sosial tersebut.
Keberadaan penyandang cacat netra sebagai bagian integral dari
masyarakat dan sebagai warga negara, tidak selayaknya diabaikan begitu saja.
Para penyandang cacat netra ini perlu diberdayakan agar kecacatan fungsi
penglihatan yang mereka derita tidak menjadi penghalang untuk dapat
memberikan kontribusi yang berarti dalam proses pembangunan. Adapun
salah satu upaya pemberdayaan yang dilakukan pemerintah adalah dengan
26
memberikan pelayanan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan di panti-panti.
Upaya rehabilitasi tersebut mencakup beberapa kegiatan bimbingan. Adapun
kegiatan bimbingan yang dilaksanakan PTNRW “Bhakti Candrasa” antara lain
bimbingan fisik, bimbingan mental, bimbingan sosial/kemasyarakatan,
bimbingan kecerdasan, bimbingan ketrampilan, bimbingan resosialisasi/
penyaluran,
serta
bimbingan
lanjut.
Dari
kegiatan-kegiatan
tersebut
diharapkan akan dapat mewujudkan kesejahteraan sosial penyandang cacat
netra, dimana mereka mempunyai kemampuan dan kemandirian dari segi
fisik, mental, sosial serta ketrampilan sehingga hidupnya tidak bergantung
pada orang lain dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.
Secara singkat kerangka berfikir di atas dapat digambarkan dalam
skema sebagai berikut:
Penyandang
cacat netra
Pemberdayaan
Upaya Rehabilitasi sosial :
1. Pra rehabilitasi
2. Rehabilitasi sosial di dalam panti
- bimbingan fisik
- bimbingan mental
- bimbingan sosial/kemasyarakatan
- bimbingankecerdasan
- bimbingan ketrampilan
3. Resosialisasi/penyaluran
4. Pembinaan lanjut
Faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan rehabilitasi sosial
Gambar I.1. Skema Kerangka Pemikiran
Kesejahteraan
sosial penyandang
cacat netra
27
F. Definisi Konseptual
Definisi konseptual dimaksudkan untuk menegaskan konsep atau
batasan yang digunakan untuk mengantisipasi agar tidak terjadi perbedaan
penafsiran antara peneliti dan pembaca. Adapun definisi konseptual dalam
penelitian ini adalah:
1.
Penyandang
cacat
netra
adalah
seseorang
yang
menderita
kelainan/kekurangan fungsi penglihatan atau mengalami kebutaan/tidak
dapat melihat, baik karena bawaan sejak lahir maupun kecelakaan,
sehingga menjadi hambatan untuk melakukan aktivitas sehari-hari secara
layak.
2.
Upaya pemberdayaan penyandang cacat netra melalui rehabilitasi sosial
merupakan suatu upaya untuk memampukan dan memandirikan
penyandang cacat netra dengan cara menggali potensi yang dimilikinya
dan memperkuat potensi tersebut dengan memberi input atau masukan
dan kesempatan untuk mengembangkannya dengan pemberian pelayanan
sosial secara terpadu melalui pendekatan fisik, mental dan sosial yang
dapat memulihkan dan mengembangkan kemauan dan kemampuan
penyandang cacat netra agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara
optimal dalam hidup bermasyarakat.
G. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan konsep yang telah diturunkan
derajatnya sesuai dengan waktu dan tempat suatu penelitian dilakukan.
Adapun definisi operasional dari penelitian ini adalah:
28
1. Penyandang cacat netra
Dalam penelitian ini adalah penyandang cacat netra dengan kriteria:
a. Terdaftar sebagai kelayan di Panti yang diteliti (PTNRW “Bhakti
Candrasa” Surakarta).
b. Sedang dan atau pernah mengikuti kegiatan-kegiatan rehabilitasi sosial
penyandang cacat netra yang dilaksanakan oleh panti yang diteliti.
2. Upaya pemberdayaan penyandang cacat netra melalui rehabilitasi sosial
yang dilakukan oleh panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara “Bhakti
Candrasa” Surakarta dalam memberdayakan penyandang cacat netra
dengan pemberian pelayanan rehabilitasi yang meliputi:
- bimbingan fisik
-
bimbingan mental
-
bimbingan sosial/kemasyarakatan
-
bimbingan ketrampilan
-
bimbingan resosialisasi/penyaluran
-
bimbingan/pembinaan lanjut
3. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan rehabilitasi sosial tersebut
meliputi:
a. Faktor intern (dari dalam)
-
Respon/tanggapan kelayan
-
Sarana dan prasarana
-
Pembimbing atau instruktur
-
Jangka waktu pelaksanaan
29
b. Faktor ekstern (dari luar)
-
Masyarakat
H. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif
kualitatif, dengan tujuan untuk menggambarkan realitas yang cermat
terhadap fenomena sosial tertentu dengan mengembangkan konsep dan
menghimpun data tetapi tidak melakukan pengujian hipotesis. Data yang
dikumpulkan terutama berupa kata-kata, kalimat atau gambar yang
memiliki arti lebih daripada sekedar angka atau frekuensi (H.B. Sutopo,
2002: 35). Penelitian ini menitikberatkan pada field research atau
penelitian lapangan, namun juga tidak mengesampingkan pada studi
kepustakaan atau library research terutama dalam menyusun landasan
teori.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Panti Tuna Netra dan Tuna
Rungu Wicara ‘Bhakti Candrasa’ Surakarta, di Jl. Dr. Rajiman 622
Surakarta. Adapun alasan pemilihan lokasi tersebut adalah:
a. Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara “Bhakti Candrasa”
Surakarta merupakan unit Pelaksana Teknis Dinas Kesejahteraan
Sosial propinsi Jawa Tengah yang bertugas memberikan pelayanan
30
rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat netra yang merupakan fokus
dari penelitian ini.
b. Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara “Bhakti Candrasa”
Surakarta tidak hanya menampung penyandang cacat netra yang
berasal dari daerah Surakarta saja namun juga menerima penyandang
cacat netra dari luar kota Surakarta. Selain itu kelayan lulusan PTNRW
“Bhakti Candrasa” ini umumnya bisa langsung dapat bekerja sehingga
mereka bisa mandiri dan tidak tergantung pada orang lain.
c. Adanya ketertarikan penulis untuk mengetahui upaya rehabilitasi sosial
yang diselenggarakan oleh Panti Tuna Netra dan Tuna Rungu Wicara
“Bhakti Candrasa” Surakarta dalam memberdayakan penyandang cacat
netra. Hal ini didasarkan pada rasa keingintahuan penulis akan
bagaimana upaya mengembangkan potensi para penyandang cacat
netra.
d. Memungkinkan peneliti mendapatkan data-data yang diperlukan dalam
penelitian ini.
3. Teknik Penarikan Sampel
Penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling dalam menangkap kelengkapan dan kedalaman data di
dalam menghadapi realitas yang tidak tunggal. Pilihan sampel diarahkan
pada sumber data yang dipandang memiliki data yang penting yang
berkaitan dengan permasalahan secara mendalam. Selain itu digunakan
juga teknik snowball sampling, dimana pemilihan informasi pada waktu di
31
lokasi penelitian berdasarkan petunjuk dari informan sebelumnya dan
seterusnya bergulir sehingga didapatkan data yang lengkap dan akurat.
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari pihakpihak
yang berkepentingan dengan obyek
penelitian melalui
wawancara dan observasi yang kemudian diolah sendiri oleh peneliti.
Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah:
-
Staff rehabilitasi dan penyaluran
-
Staff penyantunan
-
Pembimbing/instruktur
-
Kelayan/penyandang cacat netra yang sedang dan atau pernah
menerima layanan rehabilitasi sosial di Panti Tuna Netra “Bhakti
Candrasa” Surakarta.
-
Masyarakat dan pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan
rehabilitasi sosial, yang dianggap dapat memberikan informasi
mengenai layanan rehabilitasi yang diselenggarakan.
b. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung, melalui
buku-buku, kepustakaan, dokumentasi dan keterangan lain yang
berhubungan dengan masalah penelitian yang digunakan sebagai
pelengkap dan pendukung data primer.
32
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
a. Indepth Interview (Wawancara Mendalam)
Teknik wawancara mendalam ini tidak dilakukan dalam struktur yang
ketat dan formal agar informasi yang dikumpulkan lebih mendalam.
Dalam memperoleh informasi, penulis menggunakan panduan
wawancara berupa garis-garis besar/pokok pertanyaan.
b. Observasi
Dalam penelitian ini penulis mengadakan pengamatan langsung dan
pencatatan tentang keadaan atau fenomena yang diselidiki/dijumpai
secara sistematis.
c. Dokumentasi
Yaitu teknik pengumpulan data dengan jalan membaca dan
mempelajari buku-buku kepustakaan yang ada hubungannya dengan
materi penelitian serta pengumpulan data berdasarkan catatan yang
berupa dokumen/arsip-arsip yang terdapat di Panti Tuna Netra dan
Tuna Rungu Wicara “Bhakti Candrasa” Surakarta.
6. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
model analisis interaktif (interactive model of analysis). Dalam model ini
terdapat 3 komponen pokok. Menurut Miles dan Huberman dalam H.B.
Sutopo (2002; 91-96), ketiga komponen tersebut adalah:
33
a. Data Reduction (Reduksi Data)
Merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi
data dari fieldnote. Proses ini berlangsung terus sampai laporan akhir
penelitian selesai disusun.
b. Data Display (Sajian Data)
Merupakan suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan
kesimpulan. Riset dapat dilakukan dengan melihat suatu penyajian
data, peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan
peneliti untuk berbuat sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain
berdasarkan pemahaman tersebut.
c. Conclusion Drawing (Penarikan Kesimpulan)
Dalam awal pengumpulan data peneliti sudah harus mulai mengerti
apa arti dari hal-hal yang ia temui dengan melakukan pencatatan
peraturan-peraturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi
yang mungkin, arahan sebab akibat, dan berbagai proposisi sehingga
memudahkan dalam pengambilan kesimpulan.
Dalam proses analisisnya, ketiga komponen tersebut akan
beraktivitas secara interaksi dengan proses pengumpulan data sebagai
proses siklus. Dalam penelitian ini, peneliti tetap bergerak diantara ketiga
komponen pengumpulan data dan pengambilan kesimpulan dengan
menggunakan waktu yang ada.
34
Proses analisa data dengan menggunakan model interaktif ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Sajian Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan
Gambar I.2. Model Analisis Interaktif (H.B. Sutopo, 2002: 96)
7. Validitas Data
Validitas data dimaksudkan sebagai pembuktian bahwa data yang
diperoleh peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dalam
kenyataan di lokasi penelitian. Guna menjamin kevalidan data penulis
menggunakan cara triangulasi data (untuk mendapatkan data tidak dari
satu sumber). Hal ini untuk mengecek kebenaran data tersebut dengan cara
membandingkan dengan data sejenis dari sumber yang berbeda (Lexy
J. Moleong, 2002: 178).
Download