Document

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Filosofi “Bhineka Tunggal Ika” merupakan wujud kebhinekaan manusia,
baik vertikal maupun horizontal.
Kebhinekaan vertikal ditandai dengan
perbedaan kecerdasan, fisik, finansial, pangkat, kemampuan, pengendalian diri,
dan sebagainya. Sedangkan kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan
suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, dan sebagainya.
Bertolak dari filosofi tersebut, maka kecacatan maupun keberbakatan
hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, agama, maupun
budaya. Artinya dari individu yang cacat pasti ditemukan keunggulan tertentu,
sebaliknya dalam individu berbakat pasti ditemukan kecacatan tertentu. Dengan
demikian setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama
sebagaimana orang yang normal dalam segala aspek kehidupan, baik dalam
bidang pendidikan, kesehatan, sosial, keamanan maupun bidang lainnya
(Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, 2006).
Dalam
dunia
pendidikan
anak
berkelainan,
sedang
gencar
dikumandangkan pandangan tentang hidup yang berkualitas (Quality of Life).
Bagi anak kecil hidup berkualitas berarti bahwa anak tersebut dapat hidup dalam
lingkungan dimana dia merasakan dirinya aman secara emosional dan memiliki
pilihan untuk mengenyam pendidikan yang sesuai serta kesempatan berekreasi.
Sedangkan bagi orang dewasa kualitas hidup menyangkut tersedianya lapangan
kerja, tempat tinggal, uang, pilihan aktivitas waktu luang dan perasaan aman
secara emosional.
Dalam pasal 51 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
dinyatakan bahwa anak yang menyandang cacat fisik dan atau mental diberikan
kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan
pendidikan luar biasa. Semua anak mempunyai hak yang sama untuk tidak
didiskriminasikan dan memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan
potensi dan kebutuhannya. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya
pergaulan interaksi antar peserta didik yang beragam sehingga mendorong sikap
demokratis dan penghargaan atas hak asasi manusia.
Saat ini jumlah penyandang cacat yang terlayani pendidikan luar biasa
masih sangat kecil. Berdasarkan data Susenas tahun 2003, jumlah penyandang
cacat di Indonesia sebesar 1,48 juta jiwa atau sekitar 0,7% dari populasi penduduk
di Indonesia, dengan jumlah penyandang cacat usia sekolah (5-18 tahun) 317.016
orang atau sekitar 21,42% dari seluruh penyandang cacat di Indonesia. Sementara
jumlah penyandang cacat yang tercatat sebagai siswa di Sekolah Luar Biasa
(SLB) baik negeri ataupun swasta pada tahun 2004/2005 sebesar 57.449 siswa
yang berarti hanya 18,12% penyandang cacat usia sekolah yang mendapat layanan
pendidikan.
Secara keseluruhan, persentase penyandang cacat berumur lima
tahun keatas hanya 5,24% yang masih sekolah, 44,31% tidak/belum pernah
sekolah, dan 50,45% tidak sekolah lagi (Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2005).
Sedikitnya penyandang cacat yang mendapatkan fasilitas pendidikan,
disebabkan antara lain oleh keterbatasan jumlah sekolah luar biasa. Kemampuan
pemerintah dalam menyediakan fasilitas pendidikan untuk menjangkau semua
anak cacat sangat minim, karena 80% tempat pendidikan dikelola swasta
sementara pemerintah hanya 20%. Disamping itu lokasi SLB pada umumnya
2
berada di ibukota kabupaten/kota, padahal anak-anak berkebutuhan khusus
tersebut tersebar tidak hanya di ibukota kabupaten/kota, namun juga di pelosok
kecamatan/desa. Akibatnya, sebagian anak berkebutuhan khusus tidak bersekolah
karena lokasi SLB yang ada jauh dari tempat tinggalnya. Sampai dengan tahun
2005 tercatat 274 SLB Negeri dan 970 SLB Swasta untuk berbagai jenis dan
jenjang ketunaan yang tersebar di seluruh Indonesia (Direktorat Pendidikan Luar
Biasa, 2005).
Hal tersebut di atas diperburuk dengan kondisi sosial ekonomi dan
pandangan masyarakat yang kurang menguntungkan.
Pola pikir masyarakat
Indonesia pada umumnya sering kali mengabaikan potensi anak cacat,
memandang kecacatan (disability) sebagai penghalang untuk berbuat sesuatu,
kurang memberikan kesempatan kepada para penyandang cacat untuk
membuktikan kemampuannya. Bahkan ada sebagian orang tua merasa alergi jika
ada anaknya yang harus duduk di kelas yang sama dengan penyandang cacat.
Selain itu banyak orang tua yang malu memiliki anak cacat dengan
menyembunyikannya di rumah dan tidak membawanya ke sekolah.
Selama
ini
pendidikan
bagi
anak
berkelainan
lebih
banyak
diselenggarakan secara segregasi di SLB. Maka sudah seharusnya lembaga ini
memberikan pelayanan pendidikan dan pembinaan yang layak bagi anak-anak
berkebutuhan khusus agar siap menghadapi berbagai tantangan dan siap hidup
mandiri di masyarakat.
Namun untuk mewujudkan kemampuannya secara
optimal diperlukan dukungan dan partispasi penuh dari para orang tua, organisasi
sosial, pemerintah dan masyarakat untuk berperan secara aktif dalam
meningkatkan usaha nyata membangun masa depan anak-anak cacat.
3
Yayasan Santi Rama (YSR) sebagai institusi pendidikan tuna rungu
(SLB-B) merupakan salah satu dari sekian ribu institusi yang memberikan
pendidikan, pembinaan dan pemberdayaan bagi penyandang tuna rungu sehingga
berkembang menjadi manusia seutuhnya, berguna bagi diri sendiri, masyarakat,
nusa dan bangsa.
Sejalan dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi
penyandang tuna rungu dalam kehidupan sosial serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat, maka YSR terus berupaya
meningkatkan kualitas dan profesionalitas dibidang ketunarunguan.
Berbagai
penelitian dan pengembangan dalam bidang kurikulum dan sarana pendidikan
tuna rungu serta pengembangan SDM tenaga pendidik anak tuna rungu tak
kunjung henti dilakukan YSR.
Sebagai organisasi sosial berskala nasional, YSR mengelola satuan
pendidikan lengkap dari pra sekolah sampai jenjang sekolah menengah ditambah
satu unit observasi.
Dengan demikian dapat dibayangkan seberapa luas dan
bervariasinya jenis dan materi pembinaan yang perlu dirancang.
Kenyataan bahwa luasnya unit pelayanan, bertambahnya sarana fisik serta
pengadaan tenaga guru atau instruktor yang diberikan YSR mengandung
konsekuensi dalam bidang keuangan.
Sehingga untuk kebutuhan biaya
operasional YSR seringkali terbentur dalam masalah dana. Sumber dana untuk
kegiatan operasional sekolah YSR sebagian besar berasal dari uang pangkal dan
uang sekolah sekolah siswa, kemudian dari hasil usaha, bantuan tidak tetap dari
masyarakat atau instansi, serta orang tua asuh. Namun dana yang diperoleh masih
belum cukup untuk biaya pendidikan dan pembinaan anak tuna rungu.
4
Keterbatasan
dalam
hal
pendanaan
ini
kemudian
menimbulkan
permasalahan, seperti yang kini tengah dialami antara lain untuk pengadaan dan
pemeliharaan alat elektronik, pengembangan kurikulum dan ekstrakurikuler, serta
penggajian dan pembinaan guru yang sebagian besar berstatus pegawai yayasan
(bukan PNS). Pada akhirnya kondisi ini dapat menimbulkan ketidakpuasan bagi
konsumen jasa pendidikan tuna rungu YSR.
Indikasi ketidakpuasan konsumen misalnya dapat dilihat dari penurunan
jumlah siswa. Sejumlah orang tua murid memindahkan anaknya dari sekolah
YSR ke SLB lain dengan alasan jumlah jam belajar di SLB tersebut lebih panjang.
Penurunan jumlah siswa juga terlihat di unit pendidikan SMALB. Di Indonesia,
jumlah SLB yang menyelenggarakan pendidikan pada jenjang SMA relatif
sedikit, sehingga terlihat kecenderungan banyaknya siswa tuna rungu SMALB
Santi Rama yang bukan berasal dari SMPLB Santi Rama.
Namun demikian justru terlihat gejala penurunan jumlah siswa unit
pendidikan SMALB Santi Rama, baik yang berasal dari SMPLB Santi Rama
maupun yang berasal dari luar Santi Rama.
Penurunan ini mengindikasikan
adanya kemungkinan ketidakpuasan konsumen terhadap satu atau berbagai aspek
pelayanan yang diberikan oleh YSR. Data sekolah asal siswa SMALB Santi
Rama tahun pelajaran 2000/2001 - 2004/2005 dapat dilihat pada Tabel 1.
Lebih jauh, perlu disadari bahwa pelayanan yang diberikan YSR ini
diperuntukkan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Suatu kebutuhan yang tidak
biasa dan tidak sesederhana pendidikan umum untuk anak-anak normal. Ada
berbagai aspek pelayanan yang dianggap penting dalam pendidikan dan
pembinaan anak-anak tuna rungu. Hal ini membuka potensi terjadinya perbedaan
5
pandangan diantara pihak-pihak terkait, misalnya antara orang tua siswa dan pihak
manajemen YSR, terhadap hal-hal apa yang menjadi prioritas utama yang perlu
dirancang untuk kebutuhan peserta didik.
Tabel 1. Data Sekolah Asal Siswa SMALB Santi Rama Tahun Pelajaran
2000/2001 Sampai Dengan 2004/2005
Asal Siswa
Dari luar
Santi Rama
Dari
SMPLB
Santi Rama
Jumlah
00/01
Tahun Pelajaran
01/02
02/03
03/04
04/05
Jumlah
19
27
28
18
19
111
35
50
49
46
43
223
54
77
77
64
62
334
Sumber : Lustrum VII Yayasan Santi Rama (2005)
Belum tentu hal yang dianggap penting oleh orang tua siswa untuk
pendidikan sang anak juga dianggap penting oleh pihak manajemen YSR. Kondisi
ini tentu saja dapat menyulitkan dalam penyusunan program pendidikan dan
pembinaan bagi penyandang tuna rungu. Terlebih tidak semua hal yang dianggap
prioritas oleh orang tua siswa atau pun pihak manajemen dapat dituangkan
seluruhnya karena keterbatasan dana.
Sebuah organisasi yang merencanakan untuk meningkatkan kepuasan
konsumen, barangkali akan dihadapkan pada lebih dari 100 hal yang harus
diperbaiki. Mulai dari hal-hal yang bersifat fisik hingga masalah yang
berhubungan dengan manusia, misalnya apakah knowledge, skill, atau attitude
yang harus diperbaiki.
Cara yang paling baik untuk menentukan prioritas
perbaikan adalah dengan melakukan survei kepada konsumen. Tanpa aktivitas ini
sangat mungkin bagi suatu organisasi melakukan perbaikan yang tidak penting
bagi konsumen. Biaya karena alokasi investasi yang tidak tepat pada akhirnya
6
menyebabkan penurunan efisiensi yang signifikan. Survei ini pun perlu dilakukan
secara berkala untuk melihat pergeseran trend dari hasil survei-survei
sebelumnya.
1.2
Rumusan Masalah
Pengalaman YSR menunjukkan bahwa penyandang tuna rungu yang
memperoleh pembinaan dan pendidikan bermutu akan mampu menunjukkan
kebolehannya diberbagai bidang
penyandang
cacat
tersebut.
dan mampu meningkatkan kualitas hidup
Dengan
demikian
YSR
terus
berupaya
mengembangkan dan memajukan sistem dan metode pendidikan dan pembinaan
bagi penyandang tuna rungu.
Namun proses pengembangan pendidikan dan pembinaan anak tuna rungu
di YSR dihadapkan pada suatu kenyataan adanya potensi perbedaan pandangan
diantara pihak-pihak yang berkepentingan terhadap hal-hal yang menjadi prioritas
dalam pengembangan program pendidikan dan pembinaan tersebut, serta adanya
keterbatasan sumber daya. Sementara bagi organisasi apapun, biaya dan investasi
untuk melakukan peningkatan kepuasaan konsumen selalu terbatas. Bukan hanya
terbatas, organisasi juga dituntut untuk menciptakan program kepuasan pelanggan
yang efisien dan efektif.
Oleh karena itu diperlukan informasi yang akurat
mengenai hal-hal yang menjadi prioritas untuk diperbaiki.
Fakta dan uraian tersebut di atas selanjutnya memotivasi dilakukannya
penelitian untuk menganalisa tingkat kepuasan konsumen terhadap pelayanan
yang diberikan YSR.
Penelitian ini juga menganalisa perbedaan persepsi
konsumen dengan pihak manajemen YSR terhadap atribut-atribut pelayanan yang
dianggap penting. Hal ini penting untuk memperkirakan keinginan dan harapan
7
konsumen agar pelayanan yang disediakan bisa memberikan kepuasan optimal
bagi seluruh pihak yang berkepentingan.
Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan :
1. Bagaimana tingkat kepuasan konsumen terhadap pelayanan pendidikan tuna
rungu YSR?
2. Bagaimana persepsi manajemen YSR terhadap pelayanan yang telah
diberikan?
3. Bagaimana perbandingan antara persepsi dari manajemen YSR dengan
persepsi konsumen jasa pendidikan tuna rungu YSR?
4. Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan YSR untuk meningkatkan kualitas
pelayanannya?
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisa tingkat kepuasan konsumen terhadap pelayanan pendidikan tuna
rungu YSR.
2. Menganalisa persepsi manajemen YSR terhadap pelayanan yang telah
diberikan.
3. Menganalisa perbandingan antara persepsi dari manajemen YSR dengan
persepsi konsumen pengguna jasa pendidikan tuna rungu.
4. Merumuskan langkah-langkah yang perlu dilakukan YSR untuk meningkatkan
kualitas pelayanannya.
8
UNTUK SELENGKAPNYA TERSEDIA DI
PERPUSTAKAAN MB IPB
9
Download