RELASI ANTARA RULE OF LAW, DEMOKRASI, DAN HAK AZASI MANUSIA Sunarto1 Abstrak Istilah Rule of Law diambil dari sistem hukum Anglo Saxon, yang dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan sebagai negara hukum. Asas negara hukum merupakan salah asas yang dianut oleh UUD 1945. Dengan asas negara hukum berarti bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh warga masyarakat maupun pemerintah diatur oleh aturan hukum, dengan sanksi yang dikenakan kepada siapapun yang melanggarnya. Asas lain yang juga dianut oleh UUD 1945 adalah asas demokrasi atau kedaulatan rakyat, yang biasa diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kedua asas ketatanegaraan itu dipertemukan pada titik simpul yaitu perlindungan terhadap hak azasi manusia. Artinya bahwa negara dikatakan menganut prinsip rule of law atau negara hukum apabila hak azasi manusia mendapatkan perlindungan secara baik. Begitu juga dengan demokrasi, bahwa suatu negara dikatakan berdemokrasi apabila terdapat perlindungan terhadap hak azasi manusia, karena perlindungan hak azasi manusia merupakan wujud penghargaan atas harkat dan martabat kemanusiaan dari warga negara sebagai pemilik kekuasaan. Suatu hal yang sulit untuk dipahami ketika suatu negara menyatakan dirinya berdemokrasi akan tetapi hak azasi manusia tidak mendapatkan perlindungan secara wajar. Dengan alur pemikiran yang demikian maka menjadi suatu keniscayaan bagi sebuah negara demokrasi untuk menjunjung tinggi prinsip rule of law, karena dengan itu negara akan terhindar dari adanya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pemerintah, dan yang pada gilirannya akan melanggar hak azasi warga negara. Kata Kunci: rule of law, demokrasi, hak azasi manusia. PENDAHULUAN Prinsip Rule of Law, demokrasi, dan hak azasi manusia di antara ketiganya terdapat kaitan yang sangat erat. Rule of law berarti pemerintahan oleh hukum, yang dapat dikontraskan maknanya dengan pemerintahan menurut kehendak orang perorang. Begitu pun dengan demokrasi, yang sering diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan pengertian yang demikian artinya bahwa kekuasaan dalam negara itu bukan milik seseorang atau sekelompok orang, melainkan milik seluruh rakyat. Oleh karena itu siapa pun yang memegang kekuasaan, harus mdenggunakan kekuasaan itu untuk melayani kepentingan rakyat, dan bukan hanya untuk melayani kepentingan orang-orang tertentu. 1 Penulis adalah Dosen PKn FIS Universitas Negeri Semarang 1 Keduanya bermuara pada penyelenggaraan negara yang dapat membawakan kebahagiaan, kesejahteraan, dan keamanan bagi warhanya. Sedangkan hak asasi manusia merupakan hak dasar yang dimiliki oleh manusia secara kodrati sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Perlindungan terhadap hak asasi manusia dapat dipandang sebagai penghargaan terhadap harkat dan martabat kenamusiaan. Dikaitkan dengan prinsip Rule of law dan demokrasi, perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan salah satu unsur dasar dari keduanya. Artinya bahwa suatu negara yang menganut prinsip Rule of law seharusnya memberikan perlindungan hak asasi warganya dengan baik. Sebab hukum diberlakukan salah satu tujuannya agar setiap individu dapat menikmati hak-haknya dengan baik. Begitu pun dengan demokrasi. Ketika dalam demokrasi dipahami bahwa pemilik kekuasaan dalam negara adalah rakyat, maka siapa pun yang memerintah dalam negara harus menghargai rakyat sebagai pemilik kekuasaan. Wujud penghargaan kepada rakyat sebagai pemilik kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan terhadap hak asasi rakyatnya. Hal yang perlu disadari tentang ketiganya adalah bahwa muncul dan berkembangnya pemikiran tentang Rule of law, demokrasi, dan hak asasi manusia, bukanlah di ruang hampa yang terlepas dari konteks tertentu. Ketiganya muncul dan berkembang dalam konteks sosial pada jamannya. Oleh karena itu bagaimana ketiganya harus diterapkan dan cara mensikapi berbagai persoalan menyangkut Rule of law, demokrasi, dan hak asasi manusia harus senantiasa memperhatikan konteks sosial kapan dan di mana prinsip tersebut hendak diterapkan. Tanpa memperhatikan konteks sosial tersebut, masalah Rule of law, demokrasi, dan hak asasi manusia akan kehilangan relevansi dan kurang memberikan manfaat bagi masyarakat. PRINSIP RULE OF LAW DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA Istilah rule of law biasa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yaitu negara hukum. Istilah tersebut bukan sekedar peristilahan yang memiliki padanan kata tertentu tetapi mengacu pada suatu prinsip atau asas dalam penyelenggaraan kehidupan negara yang memiliki cakupan makna yang luas dan kompleks. Konsep rule of law berkembang secara evolusioner (Hadjon dalam: Huda, 2010: 74), dan berkembang dalam sistem hukum Anglo Saxon yang bertumpu pada sistem hukum common law. Konsep rule of law lebih mengutamakan equality before the law (Mahfud MD, 2011:178). Paham rule of law lebih menaruh perhatian pada perlunya persamaan atau 2 kesetaraan setiap warga masyarakat di depan hukum tanpa membedakan antara warga masyarakat biasa ataupun pejabat pemerintah, yang keduanya dapat dihadapkan pada peradilan yang sama. Menurut Dicey, Rule of Law mempunyai tiga arti atau dapat ditinjau dari 3 (tiga) sudut, yaitu (Dicey, 2014: 264): Pertama : “Rule of Law” berarti supremasi atau superioritas hukum mengatasi kekuasaan yang sewenang-wenang dari pemerintah, dan mencabut kekuasaan bertindak yang terlalu besar pihak pemerintah sebagai akibat kesewenang-wenangan tersebut. Kedua : Rule of Law berarti kesetaraan di depan hukum, ketaatan yang sama dari semua golongan (classes) kepada hukum yang ditegakkan oleh mahkamah hukum biasa, dengan mengabaikan gagasan pengecualian kepada pejabat pemerintah atau orang-orang lain dari kewajiban untuk mematuhi hukum. Ketiga : Rule of Law merupakan formula untuk merumuskan fakta, bahwa di negara Inggris hukum konstitsusi itu bukan sumber, melainkan konsekuensi (akibat) daripada hak-hak individu yang dirumuskan dan dipertahankan oleh pengadilan-pengadilan sehingga dengan demikian konstitusi itu merupakan hasil dari hukum biasa di Inggris. Perkembangan negara hukum juga diwarnai oleh adanya pemikiran dari para filsuf kenegaraan yang masing-masing muncul dengan latar belakang sejarah politis, ekonomis, maupun sosial budaya pada jamannya. Pemikiran tersebut antara lain adalah dari Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl, di mana pemikiran keduanya sering dikatakan sebagai pemikiran negara hukum paham Eropa Kontinental dan istilah yang digunakan untuk negara hukum adalah Rechtsstaat. Ada sedikit perbedaan antara Rule of Law menurut faham Anglo Saxon dengan Rechtsstaat menurut faham Eropa Kontinental. Dengan Rule of Law menurut paham Anglo Saxon, yang ditekankan adalah masalah persamaan, sehingga semua golongan wajib tunduk kepada pengadilan yang biasa. Atas dasar itu maka menurut faham ini di suatu negara tidak diperlukan adanya peradilan khusus yang menangani sengketasengkera tertentu, karena semua kasus diselesaikan oleh peradilan yang biasa, termasuk kasus yang timbul akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat negara dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan Rechtsstaat menurut paham Eropa Kontinental, yang 3 hendak ditekankan adalah pembatasan kekuasaan pemerintah agar tidak bertindak sewenang-wenang. Pada abad XX terutama setelah Perang Dunia II terjadi perubahan yang besar dalam lapangan sosial dan ekonomi. Perubahan itu disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain banyaknya kecaman terhadap ekses-ekses dalam industrialisasi dan sistem kapitalis, tersebarnya faham sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata, serta kemenangan beberapa partai sosialis di Eropa seperti Swedia dan Norwegia. Berhubung dengan itu, masalah-masalah sosial dan ekonomi semakin kompleks dan dengan demikian pemerintah harus campur tangan di dalamnya. Dengan demikian konsep negara hukum bergeser menjadi negara kesejahteraan (welfare state). Sejalan dengan itu, konsep demokrasi pun meluas bukan hanya dalam arti politik akan tetapi juga dalam arti ekonomi dengan memperkecil perbedaan sosial ekonomi, terutama yang timbul dari distribusi kekayaan yang tidak merata akibat sistem monopoli, pesaingan bebas, dan sebagainya. Negara Indonesia sesuai ketentuan UUD 1945 juga menganut prinsip negara hukum (rechtsstaats). Hal itu dapat dibaca pada Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen) yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaats), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Sejalan dengan itu juga dianut “Sistem Konstitusional”, dalam pengertian bahwa pemerintahan berdasar sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Dengan amandemen UUD 1945, prinsip negara hukum itu ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Musyawarah Nasional III Persahi mengenai Rule of Law yang diselenggarakan bulan Desember 1966 di Jakarta, merumuskan bahwa negara hukum membawakan sifat di mana alat perlengkapanmya hanya dapat bertindak menurut dan terikat pada aturan-aturan yang telah ditentukan lebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan aturan itu. Sedangkan ciri-ciri negara hukum menurut hasil seminar tersebut adalah : a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan di bidang politik, hukum, ekonomi, dan kebudayaan. b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga. c. Legalitas dalam segala bentuknya. 4 Gagasan tentang negara hukum tersebut telah diadopsi oleh pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan hukumnya melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun I, di mana rule of law menurut dokumen rencana pembangunan tersebut mencakup tiga unsur kebijakan, yaitu bahwa hak-hak asasi manusia diakui dan dilindungi, bahwa peradilan harus bebas dan tidak memihak, dan asas legalitas akan dipegang teguh (Wignyosubroto, 2009: 261). PAHAM DEMOKRASI Secara harfiah demokrasi berarti pemerintahan rakyat. Kemudian oleh Abraham Lincoln diberi pengertian yang kemudian menjadi sangat populer yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam demokrasi dipahami bahwa rakyat adalah pemilik kekuasaan, sedangkan pemerintah berkuasa karena mendapatkan delegasi kekuasaan dari rakyat. Oleh karena itu dalam menjalankan pemerintahan, pemerintah harus benar-benar memperhatikan keinginan rakyat dan berusaha melayani kepentingan rakyat. Jadi dalam sistem demokrasi rakyat menempati posisi yang sangat penting. Walaupun sulit dibayangkan bahwa rakyat yang sedemikian banyaknya ikut menjalankan kekuasaan, akan tetapi dengan faham demokrasi rakyat merasa berhak untuk ikut mempengaruhi jalannya pemerintahan, sedangkan di pihak lain pemerintah tidak dapat menjalankan pemerintahan menurut memperhatikan keinginan rakyat. kehendaknya sendiri tanpa Dalam kerangka pemahaman dan kesadaran tentang kekuasaan rakyat, maka terdapat pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah sehingga pemerintah tidak dapat berlaku sewenang-wenang. Pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah tersebut tercermin dalam undang-undang dasar atau konstitusi. Oleh karena itu di negara yang berdemokrasi memiliki undang-undang dasar atau konstitusi. Suatu pendapat menyatakan bahwa cara terbaik untuk membatasi kekuasaan pemerintah adalah dengan suatu konstitusi. Konstitusi menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan ini dinamakan Konstitusionalisme (Budiardjo, 2010: 112). Henry B. Mayo dalam tulisannya menyatakan bahwa “A democratic political system is one in which public policies are made on a majority basis, by representatives 5 subject to effective popular control at periodic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom.” (Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik).(Mahfud MD, 2000: 19). Demokrasi menjadi asas pemerintahan yang sangat populer sejak selesainya Perang Dunia II, di mana negara-negara yang muncul setelah selesainya Perang Dunia II menyatakan bahwa pemerintahan negaranya adalah pemerintahan yang demokratis. Walaupun dalam kenyataan tampilan sistem pemerintahan mereka berbeda antara satu dengan yang lain. Kendati dari berbagai pengertian itu terlihat bahwa rakyat diletakkan pada posisi sentral “rakyat berkuasa” (government or role by the people) tetapi dalam prakteknya oleh UNESCO disimpulkan bahwa ide demokrasi itu dianggap ambiguity atau ketaktentuan mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kultural serta historik yang mempengaruhi istilah, ide, dan praktek demokrasi . Hal ini bisa dilihat betapa negara-negara yang sama-sama menganut asas demokrasi ternyata mengimplementasikannya secara tidak sama. Ketidaksamaan tersebut bahkan bukan hanya pada pembentukan lembagalembaga atau aparatur demokrasi tetapi juga menyangkut perimbangan porsi yang terbuka bagi peranan negara maupun bagi peranan rakyat. Oleh karena itu maka perlu dibedakan pengertian demokrasi, antara demokrasi sebagai ide atau konsep dan demokrasi sebagai mekanisme pemerintahan yang aktual. Dalam pengungkapan Afan Gaffar, ada dua macam pemahaman tentang demokrasi, yaitu pemahaman secara normatif dan pemahaman secara empirik (Gaffar, 2002: 3). Apa yang normatif belum tentu dapat dilihat dalam konteks kehidupan politik sehari-hari dalam suatu negara. Oleh karena itu sangat perlu untuk melihat bagaimana makna demokrasi secara empirik, yaitu demokrasi dalam perwujudannya dalam kehidupan politik praktis. Demokrasi sebagai ide atau konsep adalah adalah demokrasi sebagaimana ada dalam kerangka berpikir atau kerangka konseptual kita. Sedangkan demokrasi sebagai mekanisme pemerintahan aktual adalah demokrasi sebagaimana tampak dalam praktek 6 pemerintahan, atau demokrasi sebagaimana diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Secara konseptual, hampir semua orang sepakat mengatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk melayani kepentingan rakyat. Di samping itu secara konseptual juga dapat disusun suatu daftar mengenai arti, makna dan sikap serta perilaku yang tergolong demokratis. Kedaulatan tertinggi ditangan rakyat; adanya kebebasan berbicara, berkumpul dan berserikat; adanya kebebasan memilih dalam pemilihan umum adalah beberapa contoh ide yang terdapat dalam demokrasi. Sebagai praksis, demokrasi sudah menjelma menjadi sistem pemerintahan yang aktual. Ketika telah menjadi sistem pemerintahan, pelaksanaan demokrasi terikat oleh seperangkat aturan main tertentu dan dipengaruhi oleh ideologi yang dianut serta sistem nilai budaya masyarakat di mana demokrasi itu diterapkan. Apabila dalam sistem demokrasi ini ada orang atau kelompok yang dalam menjalankan aktivitas berdemokrasinya tidak mentaati aturan main yang berlaku, maka aktivitas ini, walaupun secara ide atau konsep dapat dianggap demokratis, akan merusak demokrasi yang ada. Dengan kata lain, aktivitas ini menjadi aktivitas yang tidak demokratis. Dalam konteks perbedaan ideologi dan sistem nilai budaya, walaupun negara-negara yang ada sama-sama menyatakan berdemokrasi, akan tetapi dalam kenyataan tampilan pemerintahannya sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Karena itulah ada beberapa predikat atau sebutan yang biasa disertakan pada demokrasi liberal (liberal democracy), demokrasi demokrasi, seperti rakyat (people democracy), demokrasi terpimpin (guided democracy). Di Indonesia sendiri sejak memasuki masa Orde Baru diintrodusir sebuah sistem demokrasi yang disebut Demokrasi Pancasila. Walaupun demokrasi bisa tampil dengan “wajah” yang berbeda, namun bukan berarti tidak ada parameter untuk menentukan apakah suatu negara itu menerapkan sistem demokrasi atau tidak. Para ilmuwan politik, setelah mengamati praktik demokrasi di berbagai negara, merumuskan demokrasi secara empirik dengan menggunakan sejumlah indikator tertentu, misalnya Juan Linz, G. Bingham Powell Jr, dan Robert Dahl. Dari semua indikator yang diajukan oleh ilmuwan politik tersebut, 7 kemudian dapat disimpulkan ada lima indikator untuk melihat apakah suatu negara itu betul-betul demokratis atau tidak (Gaffar, 2002:7). Kelima indikator tersebut adalah sebagai berikut: 1. Akuntabilitas. Dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya, ucapannya dan yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang bahkan akan dijalaninya. 2. Rotasi kekuasaan. Dalam demokrasi peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup sama sekali. 3. Rekruitmen politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu sistem rekruitmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. 4. Pemilihan umum. Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilakukan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih serta bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak nuraninya. 5. Menikmati hak-hak dasar. Dalam suatu negara yang demokratis, setiap warga negara dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk berkumpul dan berserikat, dan hak untuk menikmati pers bebas. PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA Memperhatikan beberapa pemikiran tentang negara hukum sebagaimana diuraikan di atas tampak semua pemikir sepakat bahwa di negara hukum harus ada perlindungan terhadap hak asasi manusia. Hal itu menunjukkan betapa pentingnya masalah perlindungan hak asasi itu sehingga setiap pemerintah perlu mengupayakan hal tersebut. Perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan wujud penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan. 8 Dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa hak azasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak asasi manusia meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan hak kesejahteraan. Hak-hak itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Dengan ungkapan lain dapat dinyatakan bahwa hak azasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Dari rumusan pengertian tersebut tampak bahwa hak azasi manusia merupakan hak dasar sebagai pemberian Tuhan, dan bukan pemberian pemerintah, maupun pemberian masyarakat. Adapun kewajiban pemerintah adalah memberikan perlindungan terhadap hak azasi tersebut melalui berbagai instrumen peraturan perundang-undangan. Sedangkan kewajiban sesama warga masyarakat adalah saling menghormati satu sama lain atas hak azasi masing-masing. Perlu juga disadari bahwa hak azasi manusia terkait langsung dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Oleh karena itu menghargai hak azasi manusia berarti menempatkan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Hak azasi manusia memiliki cakupan yang sangat luas dan meliputi segala aspek kehidupan manusia. Hak azasi manusia meliputi hak azasi politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan sebagainya. Bahkan cakupan itu dari waktu ke waktu tampak semakin luas dan kompleks sejalan dengan semakin kompleksnya kehidupan manusia. Banyak hal yang dialami dalam kehidupan manusia yang sebelumnya tidak pernah dilihat dan dikaitkan dengan perspektif hak azasi manusia, sekarang mulai dikaitkan dengan hak azasi manusia. Perihal perlindungan terhadap seseorang dari kekerasan dalam rumah tangga, perlindungan seseorang dari praktek perdagangan manusia (human trafficking), perlindungan masyarakat dari pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen atas produk-produk yang dikonsumsinya, semua itu sekarang mulai mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari perspektif hak azasi manusia. Di antara berbagai macam hak azasi manusia itu ada yang digolongkan sebagai derogable rights dan ada yang digolongkan sebagai 9 non-derogble rights. Apa yang dimaksud dengan derogable rights adalah hak zazasi manusia yang dalam kondisi yang sangat memaksa dapat dikesampingkan, seperti kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat, kebebasan berorganisasi, hak pilih dalam pemilu, dan sebagainya. Sedangkan non-derogable rights adalah hak azasi manusia yang dalam kondisi apapun tidak boleh dikesampingkan, seperti kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadah. Seperti halnya dengan negara-negara baru lainnya, Indonesia telah mencatumkan beberapa hak asasi di dalam undang-undang dasarnya, baik dalam UUD 1945 maupun dalam undang-undang dasar berikutnya. Hak-hak asasi yang tercantum dalam UUD 1945 tersebar dalam beberapa pasal, terutama pasal 27 sampai pasal 34. Akan tetapi hak-hak asasi yang dimuat dalam UUD 1945 itu sangat terbatas jumlahnya dan dituangkan dalam rumusan yang singkat. Hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa naskah ini disusun pada akhir masa pendudukan Jepang dan dalam suasana yang sangat mendesak, sehingga tidak memungkinkan untuk membicarakan masalah hak-hak asasi tersebut secara mendalam. Selain dari itu diantara tokoh-tokoh yang tergabung dalam BPUPKI sebagai badan yang menyusun rancangan undang-undang dasar, terdapat perbedaan pendapat mengenai pentingnya penuangan hak-hak asasi manusia di dalam undang-undang dasar. Soekarno misalnya, pada waktu itu menyatakan, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap faham individualisme dan liberalisme daripadanya. Sebaliknya Hatta, menyatakan bahwa walaupun kita hendak membentuk negara kekeluargaan, tetapi masih perlu ditetapkan beberapa hak dari warga negara, agar jangan sampai timbul negara kekuasaan. Dalam perkembangannya, penuangan hak asasi manusia yang sangat singkat dalam UUD 1945, dianggap kurang memadai lagi dengan tuntutan perkembangan jaman, di mana hak asasi manusia menjadi salah satu isu global yang mengundang perhatian masyarakat dunia. Oleh karena itu melalui Amandemen UUD 1945, pengaturan hak asasi manusia dalam UUD 1945 dilengkapi dengan menjabarkannya secara lebih rinci dalam pasal-pasalnya. Bahkan kemudian juga muncul berbagai macam peraturan perundangan yang mengatur masalah hak asasi manusia. 10 RULE OF LAW, DEMOKRASI, DAN PERLINDUNGAN HAM DI INDONESIA Rule of Law, demokrasi, dan hak azasi manusia merupakan hal yang sulit dipisahkan satu sama lain. Sebagai prinsip penyelenggaraan negara, Rule of Law menekankan pada gagasan dan praktek penyelenggaraan negara di mana negara diselenggarakan bukan menurut kehendak orang-perorang, melainkan dikendalikan oleh hukum. Hukum sebagai landasan penyelenggaraan negara mengatur dan mengikat setiap orang, baik sebagai penyelenggara negara maupun warga negara biasa. Sedangkan prinsip demokrasi menekankan pada gagasan dan praktek penyelenggaraan negara, di mana kekuasaan negara adalah bersumber dari rakyat sehingga pemerintah tidak dapat bertindak menurut keinginannya sendiri, melainkan berusaha melayani kepentingan masyarakat. Prinsip Rule of Law dan prinsip demokrasi ini berkait erat satu sama lain, di mana pemerintahan yang berdemokrasi tidak dapat terwujud tanpa adanya penegakan supremasi hukum yang mengatur kehidupan negara. Sedangkan perlindungan terhadap hak azasi manusia merupakan salah satu indikator dari prinsip Rule of Law dan prinsip demokrasi. Sebagaimana diuraikan di atas, baik Rule of Law maupun demokrasi keduanya mengandung indikator perlindungan terhadap hak azasi manusia. Baik Rule of Law maupun demokrasi dipahami sebagai penyelenggaraan negara di mana warga negara harus ditempatkan dalam harkat dan martabatnya sebagai manusia, sehingga tidak dapat diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa yang memerintah. Dalam perspektif sosiologis, bahwa hukum tidak pernah bekerja dalam lingkungan yang hampa. Berbagai struktur, kelembagaan, dan proses dalam masyarakat berada dan bekerja berdampingan dengan hukum. Bahkan dapat juga dikatakan bahwa hukum merupakan bagian dari proses sosial yang lebih besar, tetapi biasanya dikatakan antara hukum dan masyarakat terdapat hubungan saling memasuki dan saling mempengaruhi (Rahardjo, 2010: 130). Sesuai perspektif tersebut, hal yang perlu dipahami adalah bahwa Rule of Law dan demokrasi lahir dalam situasi dan kondisi sosio-budaya masyarakat pada jamannya. Oleh karena itu ketika kedua prinsip itu diadopsi oleh suatu negara, maka tidaklah pada tempatnya apabila kedua prinsip tersebut diterapkan sama persis dengan makna asli yang dikandung sejak kelahirannya. Penerapan prinsip Rule of Law dan pelaksanaan sistem demokrasi perlu dilakukan secara 11 kontekstual, disesuaikan dengan perkembangan jaman dan kondisi sosio-budaya masyarakat di mana kedua prinsip itu hendak diterapkan. Begitu pun masalah perlindungan hak azasi. Bagaimana perlindungan hak azasi harus dilaksanakan, juga tidak harus sama antara satu negara dengan negara lain karena sistem nilai yang dianut oleh masyarakatnya berbeda. Setiap negara memiliki sistem hukumnya sendiri sesuai dengan kondisi sosiobudaya masyarakatnya. Ketika prinsip Rule of Law megharuskan adanya supremasi hukum dan persamaan setiap warga negara di hadapan hukum, setiap masyarakat negara akan dapat memiliki penafsiran yang berbeda. Masyarakat yang sudah maju dan modern di mana proses pelembagaan hukum yang dilakukan oleh pemerintah juga sedemikian jauh, mereka cenderung memaknai hukum sebagai aturan yang tertulis yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sementara dalam masyarakat tradisional perilaku mereka lebih terikat pada kebiasaan-kebiasaan hidup bermasyarakat yang muncul bersamaan dengan perjalanan hidup mereka, dan nilai-nilai dalam kebiasaan itu yang mereka yakini sebagai sesuatu yang baik, sesuatu yang patut, begitu juga mencerminkan rasa keadilan mereka. Di sinilah dalam konteks sosiologis penerapan prinsip Rule of Law dalam masyarakat yang masih tradisional tampak kurang begitu relevan. Begitupun ketika berbicara persamaan di depan hukum yang merupakan salah satu aspek dari Rule of Law. Dalam tatanan masyarakat yang masih diwarnai oleh stratifikasi sosial yang tajam, yakni masyarakat yang masih dilingkupi oleh budaya feodalisme, prinsip persamaan di depan hukum merupakan sesuatu yang sulit untuk diwujudkan dalam kenyataan. Masyarakat yang demikian merasakan bahwa perbedaan sosial di antara mereka adalah bagian dari kodrat hidup yang harus mereka terima, tanpa ada sesuatu yang harus dipersoalkan. Kondisi yang demikian akan mewarnai cara mereka berhukum, dan prinsip persamaan di depan hukum tidak dirasa sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan. Hal yang dianggap lebih penting adalah bagaiamana dalam perbedaan sosial yang ada mereka dapat menikmati kehidupan yang tenang, tenteram, dan bahagia, tanpa adanya pertentangan di antara mereka. Hal ini lepas dari penilaian baik/buruk yang datang dari pihak lain terhadap kondisi tersebut. Pemikiran demokrasi lahir dalam konteks sosial di mana masyarakat diwarnai oleh faham dan budaya leberalisme individualistik. Dalam budaya dan faham yang demikian nilai keutamaan yang hendak diwujudkan adalah kebebasan individu. Masyarakat yang dicita-citakan adalah masyarakat yang dapat memberikan kebebasan 12 kepada setiap individu untuk melaksanakan hak-haknya. Dalam konteks kehidupan berdemokrasi suara individu yang lebih dihargai sehingga pengambilan keputusan mesti berdasarkan voting di mana setiap individu menyampaikan suaranya dan keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Ketika prinsip demokrasi diterapkan dalam konteks sosial yang berbeda yaitu di tengah-tengan masyarakat yang lebih menilai tinggi aspek kebersamaan, demokrasi sebagaimana dikemukakan di atas menjadi kehilangan relevansi. Persoalan yang muncul adalah di mana aspirasi atau keinginan dari kelompok yang jumlah suaranya lebih kecil dalam pemungutan suara itu mendapatkan penyaluran. Muncullah kemudian apa yang dinamakan kelompok oposisi. Dalam konteks sosial yang menilai tinggi aspek kebersamaan, demokrasi mesti diterapkan melalui cara yang berbeda. Kalau dalam masyarakat liberal-individualistik demokrasi diwujudkan melalui pengambilan keputusan dengan suara terbanyak, demokrasi dalam masyarakat yang diwarnai kebersamaan diwujudkan melalui pengambilan keputusan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan demikian apa yang diputuskan mencerminkan kehendak bersama dari masyarakat atau kelompok yang bersangkutan dan tidak ada pihak yang kalah yang kemudian menjadi kelompok oposisi. Begitupun terkait dengan masalah perlindungan hak azasi. Walaupun sering dikatakan bahwa hak azasi manusia itu adalah nilai yang bersifat universal namun dalam pelaksanaannya perlu disesuaikan dengan nilai-nilai falsafah dan pandangan hidup bangsa serta kondisi sosio-budaya masyarakat. Dengan demikian pelaksanaan hakazasi manusia di Indonesia harus disesuaikan dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila. Dalam hal ini sistem nilai Pancasila merupakan margin of appreciation bagi pelaksanaan hak azasi manusia di Indonesia, yakni sistem nilai yang memberikan batasan mengenai sejauh mana pelaksanaan hak azasi manusia itu dapat diterapkan di Indonesia. SIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rule of law, demokrasi, dan HAM merupakan prinsip penyelenggaraan negara, secara sosiologis merupakan prinsip yang lahir dalam konteks sosial tertentu dengan kondisi jaman dan budayanya masingmasing. Oleh karena itu relevansi dari prinsip rule of law, demokrasi, dan HAM sangat tergantung pada kondisi sosio-budaya masyarakatnya. 13 Dengan demikian ketika prinsip tersebut diterapkan dalam penyelenggaraan negara di Indonesia, hal itu perlu disesuaikan dengan kondisi sosio-budaya masyarakat Indonesia. Kalau rule of law, demokrasi, dan HAM lahir dalam konteks masyarakat Barat yang individualistik, penerapannya di Indonesia harus disesuaikan dengan kondisi sosio-budaya masyarakat Indonesia yang secara sosiologis merupakan masyarakat yang memiliki budaya kekeluargaan. Dalam konteks penghargaan tergadap hukum, kaidah hukum yang hidup di masyarakat Indonesia bukan semata-mata hukum tertulis, namun kebiasaan atau adat istiadat dalam masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dalam mewujudkan tertib kemasyarakatan. Begitu pun tentang penghargaan terhadap hak asasi manusia, bahwa HAM di Indonesia tidak berada dalam konteks pengutamaan kepentingan individu untuk melaksanakan hak-haknya, melainkan diletakkan dalam konteks keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakatnya. Dengan demikian perlu ditekankan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. DAFTAR PUSTAKA Afan, Gaffar. 2002. Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dicey, A.V. 2014. Pengantar Studi Hukum Konstitusi. Bandung: Penerbit Nusa Media Ni’matul Huda. 2010. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Notohamidjojo O. 1970. Makna Negara Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Kristen. Miriam Budiardjo. 2010. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Moh. Mahfud MD. 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan kehidupan Ketatanegaraan. Jakarta: Rineka Cipta -------------------------. 2011. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Rajawali Press. Soetandyo Wignosoebroto. 2009. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Suatu Kajian tentang Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1840-1990). Yogyakarta: Genta Publishing. 14 Satjipto Rahardjo. 2010. Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Yogyakarta: Genta Publishing. ----------ooo0ooo----------- 15