ANALISIS KELAYAKAN USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI BHINEKA I, DESA BLENDUNG, KABUPATEN SUBANG SKRIPSI SYAHRA ZULFAH H34050039 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 88 RINGKASAN SYAHRA ZULFAH. Analisis Kelayakan Usaha Pupuk Organik Kelompok Tani Bhineka I, Desa Blendung, Kabupaten Subang. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. (Di bawah bimbingan POPONG NURHAYATI). Industri pupuk organik di Indonesia sangat prospektif untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan berkembanganya pertanian organik yang ikut meningkatkan penggunaan input-input pertanian organik dimana salah satunya adalah pupuk organik. Berdasarkan data Departemen Pertanian tahun 2008, kebutuhan pupuk organik baru dapat dipenuhi 2 persen dari total kebutuhan sebesar 17 juta ton. Hal tersebut menunjukkan bahwa peluang pasar pupuk organik di Indonesia sangat besar. Kelompok tani (Poktan Bhineka I) adalah salah satu UKM pupuk organik di Kabupaten Subang. Usaha ini berdiri sejak tahun 2008 dengan dukungan dana dari Pemerintah Kabupaten Subang. Sejak berdiri pada tahun 2008 hingga September 2009, Poktan Bhineka I menghadapi permintaan yang meningkat hingga 90 persen. Akan tetapi permintaan tersebut belum terpenuhi semuanya karena keterbatasan kapasitas produksi. Oleh karena itu, Poktan Bhineka I berencana untuk meningkatkan kapasitas produksi pupuk organiknya menjadi dua kali lipat pada tahun 2010 . Tujuan penelitian ini adalah (1) Menganalisis aspek kelayakan non finansial dan finansial usaha pupuk organik Poktan Bhineka I yang telah berjalan selama ini dan (2)Menganalisis kelayakan usaha pupuk organik jika kapasitas produksi ditingkatkan. Manfaat dari penelitian ini yaitu : (1) Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah pengalaman dan latihan dalam menerapkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama kuliah, (2) Bagi perusahaan, penelitian ini dapat menjadi referensi dan membantu perusahaan dalam mengambil keputusan pelaksanaan dan pengembangan usaha pupuk organik oleh Poktan Bhineka I, dan (3) Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi penelitian dan pengembangan lebih lanjut mengenai bisnis pupuk organik. Penelitian ini dilakukan di Desa Blendung pada bulan Mei hingga September 2009. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Metode yang digunakan dalam mengolah dan menganalisis data pada penelitian ini adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Analisis kelayakan non finansial dilakukan secara deskriptif dengan mengkaji lima aspek yaitu (1) Teknis dan teknologi, (2) Pasar, (3) Manajemen, (4) Hukum dan (5) Sosial Lingkungan. Analisis kelayakan finansial dilakukan dengan mengkaji arus kas menggunakan program Microsoft Excel. Kriteria-kriteria kelayakan finansial diukur dari nilai NPV, IRR, Net B/C dan Payback Period. Analisis kelayakan non finansial usaha pupuk organik Poktan Bhineka I dikatakan layak jika ditinjau dari aspek : (1) Teknis dan teknologi, (2) Pasar, (3) Manajemen, dan (4) Sosial dan lingkungan. Aspek teknis usaha dikatakan layak karena : (a) Pemilihan teknologi yang tepat, (b) Ketersediaan bahan baku terjamin dan (c)Lokasi usaha yang strategis. Aspek pasar dikatakan layak karena permintaannya yang meningkat dan kondisi pasar yang kompetitif dan teratur dengan adanya APPOS. Aspek manajemen dikatakan layak karena adanya 89 struktur organisai usaha, pembagian tugas dan pembagian wewenang yang sederhana dan jelas. Aspek sosial dan lingkungan dikatakan layak karena usaha ini berdampak positif terhadap lingkungan dan memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat peternak, pengusaha budidaya jamur dan UKM kerupuk di lingkungan sekitar usaha. Analisis kelayakan finansial usaha Poktan Bhineka I dilakukan pada kondisi yang sudah berjalan (Skenario I) dan bila kapasitas produksi ditingkatkan dua kali lipat (Skenario II). Hasil analisis menunjukkan usaha layak pada kedua kondisi tersebut. Peningkatan kapasitas produksi (Skenario II) menghasilkan laba per tahun dan NPV lebih besar daripada Skenario I. Analisis sensitivitas usaha ini menggunakan nilai pengganti (switching value, SV) yaitu kenaikan harga bahan baku, kenaikan upah dan penurunan harga jual. Hasil analisis sensitivitas pada skenario I usaha menunjukkan bahwa batas kenaikan harga bahan baku, kenaikan upah kerja dan penurunan harga jual yang masih membuat usaha ini layak adalah 4,41 persen, 19,2 persen, dan 14,4 persen. Sedangkan Hasil analisis sensitivitas pada skenario II menunjukkan bahwa batas kenaikan harga bahan baku, kenaikan upah kerja dan penurunan harga jual yang membuat usaha ini tetap layak adalah 4,16 persen, 17,85 persen, dan 11,25 persen. Hasil tersebut menunjukkan bahwa usaha ini sangat sensitif terhadap kenaikan biaya bahan baku karena biaya bahan baku memiliki proporsi terbesar dalam anggaran usaha. Penetapan harga jual sebesar Rp 500 pada skenario I ataupun skenario II menyebabkan usaha ini tidak layak karena pada skenario I, harga pasar minimal adalah Rp 556,4 sedangkan pada skenario II adalah Rp 576,8. 90 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI BHINEKA I, DESA BLENDUNG, KABUPATEN SUBANG SYAHRA ZULFAH H34050039 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 91 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Pupuk Organik Kelompok Tani Bhineka I, Desa Blendung, Kabupaten Subang” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini. Bogor, Maret 2010 Syahra Zulfah H34050039 92 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 8 September 1987 dari pasangan Bapak Muhammad Zulfan dan Ibu Rahmawati. Penulis menyelesaikan pendidikan di SDN 060900 Medan pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis diterima di SLTPN 2 Medan dan lulus pada tahun 2002. Kemudian pada tahun 2005, penulis menyelesaikan pendidikan di SMUN 2 Medan. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Departemen Agribinis melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama kuliah penulis aktif pada kegiatan organisasi dan kepanitian di lingkungan kampus. Penulis aktif dalam anggota Bina UKM FEM. Penulis juga aktif di kegiatan luar kampus sebagai pengajar Ekonomi di bimbingan belajar di Bogor. 93 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dalam rangka penulisan skripsi untuk mendapatkan gelar sarjana. Skripsi ini berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Pupuk Organik Kelompok Tani Bhineka I, Desa Blendung, Kabupaten Subang” yang secara umum bertujuan untuk menentukan kelayakan usaha pupuk organik yang dijalankan oleh kelompok tani. Hasil analisis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi perusahaan dalam pengambilan keputusan investasi. Selain itu, hasil analisis penelitian ini juga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan dalam pengembangan industri pupuk organik khususnya di Subang. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak termasuk penulis, pembaca, pemerintah dan terutama untuk perusahaan tempat penulis melakukan penelitian. Penulis juga mengharapkan masukan yang bersifat membangun untuk perbaikan di masa mendatang. Bogor, Maret 2010 Penulis 94 UCAPAN TERIMA KASIH Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat, rahmat dan anugerah-Nya serta jalan dan kemudahan yang Engkau tunjukkan kepada penulis. Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu memberikan bimbingan, bantuan, dukungan dan doa. Dalam kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ir. Popong Nurhayati, MM. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini. 2. Ibu Eva Yolynda, SP, MM. selaku dosen penguji utama yang telah meluangkan waktunya serta memberikan saran demi perbaikan skripsi ini. 3. Bapak Rahmat Yuniar, SP, MM. selaku dosen penguji dari wakil komisi pendidikan Departemen Agribisnis atas segala saran yang telah diberikan. 4. Ibu dan Ayah, atas segala doa dan dukungan baik moral maupun material. 5. Bapak Haji Dedi Sobandi dan keluarga, terima kasih atas segala kebaikan dan bimbingan yang diterima penulis selama penelitian, kesempatan untuk melakukan penelitian, dan pengalaman-pengalaman yang berharga. 6. Kepada para stakeholder (pemasok input, pembeli pupuk dan lain-lain) usaha Potan Bhineka I atas informasi dan data yang telah diberikan. 7. Bapak Suta Suntana (Ketua APPOS) yang telah memberikan informasi dan bimbingan selama penelitian 8. Penyuluh pertanian Kecamatan Purwadadi atas informasi yang diberikan 9. Teman-teman Agribisnis 42 dan FEM yang telah memberikan inspirasi, semangat dan dukungan yang besar kepada penulis. 10. Keluarga besar Arafah, Lorong 10, PPH, Pondok Bu Haji dan Nurul Fikri yang telah memberi dukungan yang besar kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. 11. Semua pihak yang turut membantu dalam pembuatan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 95 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .......................................................................................... x DAFTAR TABEL .................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xiii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xiv I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. Latar Belakang ....................................................................... Perumusan Masalah ................................................................ Tujuan Penelitian ................................................................... Kegunaan Penelitian ............................................................... Ruang Lingkup Penelitian ....................................................... 4 4 6 6 7 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 8 2.1. Karakteristik Pupuk Organik ................................................... 2.1.1 Bahan-Bahan Penyusun Pupuk Organik .......................... 2.1.2 Standar Kualitas Pupuk Organik ..................................... 2.2 Metode Pengomposan ............................................................. 2.3 Program Go Organik 2010 ....................................................... 2.4 Definisi Usaha Mikro Kecil dan Menengah ............................. 2.5 Penelitian Terdahulu ................................................................ 8 9 11 12 13 14 14 III. KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................... 16 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................... 3.1.1. Studi Kelayakan Proyek ................................................. 3.1.2. Teori Biaya dan Manfaat ................................................ 3.1.3. Analisis Kelayakan Investasi......................................... 3.1.4. Analisis Finansial .......................................................... 3.1.4.1 Laporan Laba Rugi ............................................ 3.1.4.2 Net Present Value (NPV) .................................... 3.1.4.3 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) ........................ 3.1.4.3 Internal Rate of Return (IRR) .............................. 3.1.6 Analisis Sensitivitas ....................................................... 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional............................................. 16 18 19 20 20 20 20 21 21 21 22 IV. METODE PENELITIAN .............................................................. 25 II. 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... Data dan Sumber Data ............................................................. Metode Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data .............. Analisis Kelayakan Investasi ................................................... 4.4.1. Analisis Kelayakan Non Finansial.................................. 4.4.2. Analisis Kelayakan Finanisial......................................... 25 25 25 26 26 27 96 4.5 Asumsi Dasar yang digunakan .................................................. 30 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN ........................................ 34 5.1. 5.2. 5.3. 5.4. Karakteristik Wilayah Penelitian ............................................. Asosiasi Produsen Pupuk Organik Subang (APPOS) ............... Kelompok Tani Bhineka I ....................................................... Profil Usaha Pembuatan Pupuk Organik Bhineka I .................. 34 35 36 37 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 39 6.1 Analisis Aspek Kelayakan Non Finansial ................................. 6.1.1 Aspek Teknis dan Teknologi........................................... 6.1.2 Hasil Analalisis Aspek Teknis dan Teknologi ............... 6.1.3 Aspek Pasar .................................................................... 6.1.4 Hasil Analisis Aspek Pasar ............................................. 6.1.5 Aspek Manajemen .......................................................... 6.1.6 Hasil Analisis Aspek Manajemen.................................... 6.1.7 Aspek Hukum ................................................................. 6.1.8 Hasil Analisis Aspek Hukum .......................................... 6.1.9 Aspek Sosial Lingkungan .............................................. 6.1.10 Hasil Analisis Aspek Sosial Lingkungan ....................... 6.2 Analisis Aspek Kelayakan Finansial ........................................ 6.2.1 Analisis Kelayakan Finansial Skenario I ......................... 6.2.1.1 Arus Manfaat (Inflow)........................................ 6.2.1.2 Arus Biaya (Outflow) ......................................... 6.2.1.3 Laporan Laba Rugi ............................................ 6.2.1.4 Hasil Analisis Kelayakan Finansial .................... 6.2.1.5 Analisis Sensitivitas ........................................... 6.2.1 Analisis Kelayakan Finansial Skenario II (Peningkatan Kapasitas Produksi) .................................. 6.2.1.1 Arus Manfaat (Inflow)........................................ 6.2.1.2 Arus Biaya (Outflow) ......................................... 6.2.1.3 Laporan Laba Rugi ............................................ 6.2.1.4 Hasil Analisis Kelayakan Finansial .................... 6.2.1.5 Analisis Sensitivitas ........................................... 6.3 Perbandingan Hasil Analisis Finansial Skenario I dan Skenario II ....................................................... 39 39 49 51 55 57 59 60 60 60 61 62 62 63 64 67 68 69 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 78 7.1. Kesimpulan .............................................................................. 7.2. Saran ........................................................................................ 78 79 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 80 LAMPIRAN ............................................................................................ 82 V. 70 70 71 73 74 75 76 97 DAFTAR TABEL Nomor 1. Halaman Kebutuhan dan Ketersediaan Berbagai Jenis Pupuk Di Indonesia Tahun 2008 ........................................................ 3 2. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik di Indonesia ........ 11 3. Data Kepemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan .............. 34 4. Komposisi Bahan Baku Produksi 10 Ton Pupuk Organik Bhineka I ................................................................................ 39 5. Ketersediaan Kotoran Hewan di Kecamatan Purwadadi .......... 40 6. Rincian Peralatan dan Fungsinya dalam Pembuatan Pupuk Bhineka I ................................................................................ 42 7. Penjualan Pupuk Organik Tahun 2008 hingga September 2009 52 8. Penerimaan Usaha Pupuk Organik Bhineka I .......................... 63 9. Nilai Sisa Invetasi (Skenario I) ................................................ 64 10. Rincian Investasi Usaha Pupuk Organik Bhineka I (Skenario I) 65 11. Rincian Biaya Variabel Produksi 10 Ton Pupuk Organik Tahun 2008 ............................................................................ 67 12. Rincian Biaya Variabel Produksi 10 Ton Pupuk Organik Tahun 2009 ............................................................................. 67 13. Rincian Biaya Tetap Usaha Pupuk Organik Bhineka I ............. 67 14. Proyeksi Laporan Laba Rugi Usaha Usaha Bhineka I .............. 68 15. Hasil Analisis Kelayakan Finansial (Skenario I) ..................... 68 16. Hasil Analisis Sensitivitas (Skenario I) .................................... 70 17. Penerimaan Pupuk Organik (Skenario II) ................................ 71 18. Rincian Penambahan Biaya Investasi (Skenario II).................. 71 19. Rincian Biaya Variabel per Tahun (Skenario II) ...................... 72 20. Rincian Biaya Tetap (Skenario II) .......................................... 73 21. Rincian Laba Rugi Usaha Bhineka I pada (Skenario II) .......... 74 22. Hasil Analisis Kelayakan Finansial (Skenario II)..................... 74 23. Hasil Analisis Sensitivitas (Skenario II) .................................. 75 24. Perbandingan Hasil Analisis Kelayakan Finansial Skenario I dan II...................................................................... 74 98 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Grafik Peningkatan Konsumsi Urea di Indonesia ................... 1 2. Kerangka Pemikiran ................................................................ 24 3. Struktur Organisasi Kelompok Tani Bhineka I ........................ 36 4. Skema Pembuatan Pupuk Organik Poktan Bhineka I ............... 43 5. Susunan Tumpukan Kompos .................................................. 45 6. Bagan Pola Distribusi Langsung Pupuk Organik Bhineka I ..... 55 7. Bagan Pola Distribusi Tidak Langsung Pupuk Organik Bhineka I 55 8. Bagan Organisasi Usaha Pupuk Organik Poktan Bhineka I ...... 57 9. Grafik Arus Manfaat Skenario I dan Skenario II ...................... 76 99 DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. Halaman Komposisi Unsur Hara Kotoran ternak dari Beberapa Jenis Ternak di Indonesia ............................................................... 82 Komposisi dan Aplikasi Bahan Aditif untuk Memperbaiki Kondisi Proses Dekomposisi dan Kualitas Kompos ................. 83 3. Alokasi penggunaan Lahan Desa Blendung Tahun 2007 ........ 84 4. Gambar Bahan Baku Pupuk Organik ....................................... 85 5. Gambar Proses Produksi Pupuk Organik ................................. 86 6. Diagram Grant Siklus Produksi ............................................... 87 7. Layout Usaha Pupuk Organik Bhineka I .................................. 89 8. Rincian Biaya Investasi dan Reinvestasi Skenario I ................. 91 9. Rincian Biaya Penyusutan Skenario I ...................................... 92 10. Cashflow Usaha pupuk Organik Bhineka I Skenario I ............. 93 11. Analisis Sensitivitas terhadap Penurunan Harga Jual Skenario I ............................................................................... 95 12. Analisis Sensitivitas terhadap Kenaikan Harga Bahan Baku Skenario I....................................................................... 96 13. Analisis Sensitivitas terhadap Kenaikan Harga Upah Skenario I ................................................................................ 97 14. Rincian Biaya Investasi, Reinvestasi dan Nilai Sisa Usaha Skenario II .............................................................................. 98 15. Rincian Biaya Penyusutan Skenario II ..................................... 99 16. Cashflow Usaha Pupuk Organik Skenario II ............................ 100 17. Analisis Sensitivitas Terhadap Penurunan Harga Jual Skenario II .............................................................................. 102 18. Analisis Sensitivitas Terhadap Kenaikan Harga Bahan Baku Skenario II ............................................................................. 103 19. Analisis Sensitivitas Terhadap Kenaikan Upah Skenario II ...... 104 2. 100 I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Semenjak dimulainya revolusi hijau (1970-an), kondisi lahan pertanian khususnya lahan pertanian intensif di Indonesia semakin kritis. Sebagian besar lahan pertanian Indonesia mengalami degradasi yang menggerus kandungan bahan organik tanah sehingga menurunkan produktifitas lahan. Hasil penelitian Balai Penelitian Tanah (Balitan) 2005 menunjukkan bahwa sebagian besar lahan pertanian di Indonesia, baik lahan kering maupun lahan sawah, mempunyai kandungan bahan organik (BO) sangat rendah yaitu kurang dari dua persen (<2%). Padahal BO sangat berperan sebagai faktor pengendali (regulating factor) dalam proses-proses penyediaan hara bagi tanaman dan mempertahankan struktur tanah. Rendahnya kandungan hara menyebabkan kebutuhan lahan terhadap pupuk anorganik sebagai asupan hara semakin meningkat. Urea adalah salah satu pupuk anorganik yang pada umumnya digunakan petani Indonesia sebagai asupan hara pokok tanaman. Total konsumsi pupuk urea di Indonesia meningkat dari 0,39 juta ton (1975) menjadi 5,9 juta ton (2008). 6000 5000 Ton 4000 3000 2000 1000 0 1975 1985 1990 1995 2000 2005 2008 Tahun Gambar 1: Grafik Peningkatan Konsumsi Urea di Indonesia Akan tetapi, peningkatan kebutuhan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan ketersediaan pupuk urea sehingga mengakibatkan kelangkaan pupuk dan kenaikan harga urea di pasar. Dampaknya secara tidak langsung adalah kesejahteraan petani yang semakin terancam. Kenaikan harga pupuk urea menyebabkan peningkatan biaya usaha tani dan penurunan pendapatan usaha tani. Kenaikan harga urea juga meningkatkan beban pemerintah karena anggaran subsidi ikut meningkat. Pada 101 tahun 2009, anggaran subsidi urea mencapai Rp 7 Triliun untuk 5,5 ton urea dan pada tahun 2010 mencapai Rp 11 Triliun untuk 6 ton urea1. Salah satu alternatif dalam penyelesaian masalah penurunan produktifitas lahan dan kelangkaan pupuk adalah sistem pemupukan terpadu dimana penggunaan pupuk anorganik dikurangi dengan penambahan pupuk organik dalam komposisi pemupukan. Pupuk organik adalah pupuk yang bahan bakunya berasal dari sisa makhluk hidup yang telah mengalami proses pembusukan oleh mikroorganisme pengurai. Pupuk organik biasanya berasal dari pengomposan kotoran ternak,sisa panen seperti jerami dan sampah kota. Hasil penelitian pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak (Crops Livestock System, CLS) pada lahan percobaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai pupuk organik dapat mengurangi pemakaian pupuk anorganik 25-35 persen dan meningkatkan produktivitas 20-29 persen. Mengacu pada hasil penelitian tersebut, pengurangan pemakaian pupuk anorganik dapat meningkatkan pendapatan usaha tani sebesar 20-29 persen dan menghemat anggaran subsidi pemerintah sekitar 30 persen atau sekitar Rp 3,3 Triliun pada tahun 2010. Pengembangan industri pupuk organik tidak hanya berdasarkan atas faktor kerusakan lahan tetapi juga nilai bisnis dan ekonominya. Pertanian organik mengalami perkembangan yang pesat sehingga permintaan pupuk organik ikut meningkat. International Federation for Organic Agriculture Movement (IFOAM), sebuah organisasi internasional yang menjadi payung gerakan organik seluruh dunia, memprediksi bahwa pertumbuhan pasar organik berada di kisaran 20-30 persen setiap tahun. Pengembangan pertanian organik mendapat dukungan besar dari pemerintah melalui program Go Organik yang dicanangkan sejak tahun 2005. Pada tahun anggaran 2007, Departemen Pertanian (Deptan) mengalokasikan dana Rp 30 Milyar untuk pengembangan pertanian organik dan lingkungan hidup. Anggaran dialokasikan ke semua Direktorat jendral (Ditjen) teknis di bawah Deptan yang memiliki program-program teknis pengembangan pertanian organik. Program-program yang mendapatkan dukungan ini berupa pengembangan pilot 1 Koran Republika. Harga Eceran Pupuk Urea 2010 Naik . Jumat, 11 September 2009 102 proyek organik, seperti sosialisasi pertanian organik, studi kelayakan, pengembangan saprodi organik, pengenalan budidaya, panen dan sertifikasi organik. Selain itu, Deptan juga akan memberikan dukungan bagi kelompok tani berupa pemberian kredit usaha 2. Pemerintah mulai menggalakkan pengembangan pertanian organik beberapa tahun terakhir. Pengembangan pertanian organik di Indonesia mengacu pada sasaran Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) 2005 yang antara lain berkaitan dengan aspek produktifitas dan efisiensi, khususnya pada tanaman yang membutuhkan produksi besar dan menyangkut hajat hidup orang banyak seperti tanaman pangan. Industri pupuk di Indonesia pada umumnya terdiri dari usaha kecil menengah dan bersifat parsial. Hal ini mengakibatkan kebutuhan pupuk organik di Indonesia masih belum terpenuhi karena ketersediaan pupuk organik masih relatif kecil dan akses untuk memperolehnya relatif sulit. Menurut data dari Deptan pada tahun 2008 bahwa kebutuhan pupuk organik baru dapat dipenuhi sebesar 2 persen dari total kebutuhan sebesar 17.000.000 ton. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi pasar industri pupuk organik di Indonesia sangat besar. Tabel 1. Kebutuhan dan Ketersediaan Berbagai Jenis Pupuk di Indonesia Tahun 2008 Jenis Pupuk Kebutuhan (Ton) 5.817.974 Ketersediaan Pupuk (Ton) 4.300.000 Sp-36 2.443.169 800.000 1.643.169 ZA 1.164.744 700.000 467.744 NPK 1.269.406 900.000 369.406 17.000.000 345.000 16.655.000 Urea Organik Selisih (Ton) 1.517.917 Sumber : www.deptan.go.id Kabupaten Subang adalah salah satu kabupaten yang berperan besar dalam ketahanan pangan nasional sebagai salah satu lumbung padi nasional yang menyumbangkan produksi padi mencapai 1.020.606 ton terhadap stok padi 2 www.biocert.or.id/.../edition_87fdaf7e36e714da66073a3ce1a2741cc39f86ad.pdf Rp 30 milyar Untuk Pengembangan Pertanian Organik.2007. Diakses pada tanggal 6 juli 2009 103 nasional. Subang mengarahkan pengembangan ekonomi daerah berbasis pertanian yang tertuang dalam visi Pemerintah Kabupaten (Pemkab Subang). Subang sebagai salah satu kabupaten yang mengembangkan program Go organik 2010. Langkah awal kebijakan Go Organik 2010 yang dilakukan Pemkab Subang yaitu melakukan pengalihan secara bertahap pemakaian input-input pertanian anorganik menjadi organik. Salah satunya adalah mengurangi pemakaian pupuk anorganik dan mensubstitusikannya pensubstitusian dengan penggunaan pupuk pupuk organik. anorganik Tujuan menjadi utama organik dari adalah menyehatkan lahan pertanian di Kabupaten Subang. Untuk mendukung kebijakan tersebut, langkah yang diambil adalah menumbuh-kembangkan industri kecil pupuk organik. Pada tahun 2007, Pemkab Subang memberikan bantuan dana sekitar Rp 1 Milyar kepada 32 pelaku usaha yang ingin mendirikan usaha pupuk organik dan mengembangkannya. Sebagian besar pelaku usaha tersebut adalah kelompok tani yang tersebar di beberapa desa di Kabupaten Subang. Pelakupelaku usaha tersebut kemudian membentuk APPOS (Asosiasi Produsen Pupuk Organik Subang). Kelompok Tani (Poktan) Bhineka I adalah salah satu UKM yang tergabung dalam APPOS yang menjalani usaha pupuk organik sejak awal tahun 2008. 1.2 Perumusan Masalah Salah satu alasan penting pengembangan pertanian organik adalah kerusakan lahan pertanian yang semakin buruk. Penggunaan pupuk kimia yang terus-menerus menjadi penyebab menurunnya kesuburan lahan bila tidak diimbangi dengan penggunaan pupuk organik. Hasil penelitian Lembaga Penelitian Tanah (LPT) menunjukkan bahwa 79 persen tanah sawah di Indonesia memiliki bahan organik (BO) yang sangat rendah 3. Kondisi ini berarti bahwa sawah di Indonesia sudah sangat miskin hara bahkan dapat dikatakan sakit sehingga tidak hanya membutuhkan makanan (pupuk kimia), namun juga memerlukan penyembuhan. Cara penyembuhannya adalah dengan menambahkan 3 http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=60687. Falik Rusdayanto. Potensi pasarproduk pertanian organik. 2007. Diakses pada tanggal 13 Juni 2009. 104 BO yang telah diolah menjadi pupuk organik sehingga tanah dapat menjadi lebih sehat. Untuk meningkatkan kandungan BO, dibutuhkan tambahan bahan-bahan organik (pupuk organik) berkisar 5-10 ton/ha. Faktor penting dari pengembangan pertanian organik adalah ketersediaan input-input yang menunjang sistem pertanian organik, dimana salah satunya adalah ketersediaan pupuk organik. Dari data Departemen Pertanian tahun 2008, kebutuhan pupuk organik baru dapat dipenuhi 2 persen dari total kebutuhan sebesar 17 juta ton. Kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi karena jumlah industri pupuk organik yang berkembang di Indonesia sangat lambat. Pupuk organik hanya diproduksi secara parsial dengan skala industri rumah tangga (home industry) sehingga jumlah produksi yang dihasilkan relatif kecil dan tidak kontinu. Oleh karena itu, industri pupuk organik di Indonesia sangat penting dan prospektif untuk dikembangkan. Kebutuhan pupuk organik yang tinggi sedangkan ketersediaannya tidak mencukupi menunjukkan suatu peluang bisnis yang prospektif. Gap yang besar antara kebutuhan dan ketersediaan pupuk organik menunjukkan market potential pupuk organik cukup besar. Market potential yang besar tersebut menjadi peluang pasar bagi para produsen untuk mengembangkan usaha pupuk organik. Kabupaten Subang memiliki luas areal pertanian sebesar 63 persen (129.975 Ha) dari total luas lahan (205.176 Ha). Berdasarkan anjuran pemakaian bahan organik (Balitan 2005) dimana setiap hektar lahan memerlukan minimal 2 ton pupuk organik per tahun, maka kebutuhan pupuk organik Subang sekitar 259.950 ton per tahun. Akan tetapi, menurut ketua APPOS, Bapak Suta Suntana, produksi pupuk organik di Subang hanya mencapai 200 ton per bulan atau 2200 ton per tahun pada tahun 2009. Hal ini dikarenakan usaha pembuatan pupuk organik baru berkembang sejak tahun 2007 dan rata-rata skala usahanya masih tergolong dalam usaha kecil. Poktan Bhineka I adalah salah satu pelaku usaha pembuatan pupuk organik di Subang yang tergabung dalam APPOS. Poktan ini baru menjalankan usaha pembuatan organik sejak awal tahun 2008. Pendirian usaha ini mendapat bantuan Pemkab Subang senilai Rp 32.000.000. Penjualan pupuk organik Poktan Bhineka I meningkat 90 persen dari 120 ton pada tahun 2008 menjadi 230 ton pada September 2009. Menurut pengelola permintaan 105 pupuk organik sangat tinggi sehingga terkadang tidak dapat dipenuhi. Pada bulan Juli 2009 terjadi penolakan permintaan sebesar 20 ton. Alasan penolakan permintaan karena usaha ini memiliki kapasitas produksi yang terbatas. Usaha Poktan Bhineka I hanya mampu menghasilkan 25 ton pupuk per bulan. Oleh karena itu, pengelola Poktan Bhineka I berencana meningkatkan kapasitas usaha menjadi dua kali lipat untuk memenuhi permintaan pasar. Penelitian ini mengkaji kelayakan usaha pupuk organik Poktan Bhineka I dalam jangka waktu sepuluh tahun. Analisa kelayakan usaha ditinjau dari aspek finansial dan non finansial untuk menentukan keputusan mengenai layak atau tidaknya suatu usaha dijalankan hingga kemudian ditingkatkan kapasitas produksi. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa perumusan masalah dalam penelitian ini diantaranya : 1. Bagaimana kelayakan usaha pupuk organik yang telah dijalankan oleh Poktan Bhineka I selama ini bila ditinjau dari aspek non finansial dan finansial? 2. Bagaimana kelayakan usaha pupuk organik Poktan Bhineka I bila dilakukan peningkatan kapasitas produksi? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis kelayakan finansial dan non finasial usaha pupuk organik Poktan Bhineka I yang telah berjalan 2. Menganalisis kelayakan usaha pupuk organik Poktan Bhineka I bila kapasitas produksi ditingkatkan 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi berbagai pihak yaitu: 1. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah pengalaman dan latihan dalam menerapkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama kuliah. 106 2. Bagi Perusahaan, penelitian ini dapat menjadi referensi dan membantu perusahaan dalam mengambil keputusan pelaksanaan dan pengembangan usaha pupuk organik oleh Kelompok Tani Bhineka I 3. Bagi pembaca diharapkan dapat memberikan informasi bagi penelitian dan pengembangan lebih lanjut mengenai bisnis pupuk organik. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menganalisis kelayakan usaha pupuk organik yang dijalankan oleh Kelompok Tani Bhineka I di Desa Blendung, Kabupaten Subang dalam jangka waktu 10 tahun, dimulai dari berjalannya usaha pupuk organik Poktan Bhineka I (tahun 2008). Analisis kelayakan usaha dilakukan dengan menganalisis aspek non finansial dan finansial. Aspek non finansial dijelaskan secara deskriptif dan aspek finansial ditentukan berdasarkan proyeksi arus kas usaha. 107 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Pupuk Organik Berdasarkan komponen utama penyusunnya, pupuk dibedakan atas pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik yaitu pupuk yang bahan bakunya berasal dari sisa makhluk hidup yang telah mengalami proses pembusukan oleh mikroorganisme pengurai sehingga warna, rupa, tekstur, dan kadar airnya tidak serupa lagi dengan aslinya. Pupuk anorganik yaitu pupuk yang bahan bakunya berasal dari bahan mineral, senyawa kimia yang telah diubah menjadi proses produksi sehingga menjadi bentuk senyawa kimia yang dapat diserap tanaman. Dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.2/Pert/Hk.060/2/2006 tentang pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik, berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair dan digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar haranya. Nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik. Karakteristik umum yang dimiliki pupuk organik adalah sebagai berikut : 1. Kandungan hara rendah Kandungan hara pupuk organik pada umumnya rendah tapi bervariasi tergantung pada jenis bahan dasarnya. 2. Ketersediaan unsur hara lambat Hara yang berasal dari bahan organik diperlukan untuk kegiatan mikrobia tanah kemudian dialihrupakan dari bentuk ikatan kompleks organik yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman menjadi bentuk senyawa organik dan anorganik sederhana yang dapat diserap oleh tanaman. 3. Menyediakan hara dalam jumlah terbatas Penyediaan hara yang berasal dari pupuk organik biasanya terbatas dan tidak dapat memenuhi asupan hara yang dibutuhkan tanaman. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah 108 kota. Kompos merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan hewan hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan cacing tanah. Pupuk hijau merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun hanya bagian dari tanaman seperti sisa batang dan tunggul akar misalnya sisa–sisa tanaman, kacang-kacangan, dan tanaman paku air Azolla. Pupuk kandang merupakan hasil pengomposan kotoran ternak. Limbah ternak merupakan limbah dari rumah potong berupa tulang-tulang, darah, dan sebagainya. Limbah industri yang menggunakan bahan pertanian contohnya seperti limbah pabrik gula, limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan sebagainya. Limbah kota yang dapat menjadi kompos berupa sampah kota yang berasal dari tanaman, setelah dipisah dari bahan-bahan yang tidak dapat dirombak misalnya plastik, kertas, botol, dan kertas. Dalam penelitian ini, pupuk organik yang dimaksud adalah pupuk organik yang sumber organiknya berasal dari pengomposan kotoran hewan, jerami dan bahan lainnya. 2.1.1 Bahan-Bahan Penyusun Pupuk organik Menurut Isroi (2009), bahan-bahan yang umumnya digunakan dalam pembuatan pupuk organik adalah sebagai berikut : 1. Bahan Organik a. Kompos Kompos sebagai bahan baku utama dalam pembuatan pupuk organik. Kompos adalah bahan organik padat yang telah mengalami dekomposisi parsial. Bahan baku kompos adalah bahan organik padat, seperti sampah organik, serasah, sisa daun, jerami dan lain-lain. Bahan organik yang telah matang dalam proses pengomposan mempunyai rasio C/N yang cukup rendah atau kurang dari 25. b. Pupuk kandang Pupuk kandang juga termasuk jenis kompos, tetapi berbahan baku kotoran hewan. Pupuk kandang bisa dibuat dari kotoran ternak (sapi, kambing, kerbau, unggas atau kotoran manusia). Kotoran ternak ayam, sapi, kerbau, dan kambing mempunyai komposisi hara yang bervariasi (Lampiran 1). Secara umum, kandungan hara kotoran ternak lebih rendah daripada pupuk kimia sehingga takaran aplikasinya lebih besar. 109 c. Gambut Gambut mirip dengan kompos, namun proses dekomposisinya belum sempurna. Gambut tidak dijadikan sebagai bahan baku utama pupuk organik. Umumnya gambut digunakan sebagai bahan baku organik tambahan untuk pupuk organik 2. Perekat Perekat berfungsi untuk merekatkan pupuk organik agar pencampuran bahan sempurna dan menghasilkan tekstur pupuk yang padat. Beberapa bahan yang biasa digunakan sebagai perekat antara lain adalah molase, tepung tapioka, kalsium, bentonit, kaoline dan lain sebagainya. Perekat ditambahkan dalam jumlah sedikit (kurang dari 10 %). 3. Bahan Aditif (Bahan Tambahan) Bahan aditif adalah semua bahan yang dapat ditambahkan saat melaksanakan proses pengomposan dengan tujuan memperbaiki struktur kompos dalam timbunan. Bahan-bahan aditif yang umumnya digunakan a. Fosfat alam Fosfat Alam ditambahkan untuk meningkatkan P didalam pupuk organik. b. Dolomit Penambahan dolomit digunakan untuk meningkatkan kandungan Magnesium (Mg) dalam pupuk organik. c. Kapur Pertanian (kaptan) Kaptan adalah kapur yang biasa digunakan dalam budidaya pertanian untuk meningkatkan pH tanah, khususnya di tanah-tanah yang bereaksi masam. Dalam pembuatan pupuk organik, kaptan juga berfungsi untuk meningkatkan pH pupuk karena bahan-bahan dalam pupuk organik bereaksi masam. d. Zeolit Zeolit memiliki pengaruh yang baik untuk tanah, yaitu dapat meningkatkan kapasitas tukar kation tanah. Peningkatan kapasitas tukar kation tanah akan meningkatkan efiensi penyerapan hara oleh tanaman. 110 e. Abu atau arang sekam Abu atau arang sekam memiliki kandungan K2O yang cukup tinggi yaitu kurang lebih 30 persen. Penambahan abu atau arang sekam digunakan untuk meningkatkan kandungan hara K. Menurut Sutanto (2002), keberhasilan proses pengomposan dalam pembuatan pupuk organik sangat tergantung pada kesesuaian komposisi bahan. Perlakuan yang paling tepat terhadap bahan dasar untuk berlangsungnya proses dekomposisi sangat tergantung pada karakteristik limbah organik yang digunakan (Lampiran 2). 2.1.2 Standar Kualitas Pupuk organik Mutu atau kualitas adalah segala hal yang menunjukkan keistimewaan atau derajad keunggulan suatu produk. Menurut Sutanto (2002) spesifikasi dari pupuk organik yang berkualitas baik adalah : 1. Kandungan total bahan organik minimal 20 persen 2. Kandungan lengas tidak boleh melampaui 15 persen hingga 25 persen. Pada kenyataannya makin rendah kandungan air, maka kualitas pupuk organik menjadi lebih baik. 3. Nisbah C/N dari bahan organik antara 10/1 sampai 15/1 4. Memiliki pH 6,5 hingga 7,5 Sedangkan standarisasi atas pupuk organik yang telah ditetapkan oleh Deptan diuraikan pada Tabel 2. Tabel 2. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik di Indonesia No Kandungan Parameter Padat Cair 1 C-organik (%) Min 16 >6 2 C/N ratio 12 – 25 - 3 Kadar Air (%) <2 - - As (ppm) < 10 < 10 - Hg (ppm) <1 <1 - Pb (ppm) < 50 <50 - Cd <10 <10 pH >4 - < 8 >4 - < 8 Kadar logam berat 4 5 111 No Kandungan Parameter Padat Cair 6 Kadar total (N + P2O5 + K2O) (%) Dicantumkan Dicantumkan 7 Mikroba patogen (E, coli, salmonella) Dicantumkan Dicantumkan 8 Kadar unsur mikro (Zn, Cu, Co, Fe) (ppm) Dicantumkan Dicantumkan 2.2 Metode Pengomposan Terdapat bermacam-macam metode pengomposan yang telah dikembangkan di Indonesia, baik yang bersifat sederhana maupun modern sesuai dengan skala industri. Masing-masing metode tersebut merupakan usaha untuk memanipulasi agar mampu mempercepat laju proses pengomposan. Pemilihan teknologi dan modifikasinya tergantung kepada jenis bahan yang akan dikomposkan dan ketersediaan peralatan dan bahan pendukungnya. a. Metode Indore Metode pengomposan Indore biasa digunakan di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Prinsip dasar pengomposan metode Indore ada dua yaitu; (1) menggunakan lubang galian (Indore Pit Method) dan (2) menggunakan timbunan (Indore Heap Method). Metode Indore sesuai diterapkan di daerah yang bercurah hujan tinggi dengan lama proses pengomposan kurang lebih tiga bulan. b. Metode Bangalore Metode pengomposan ini dikembangkan di Bangalore India pada tahun 1939. Timbunan bahan disusun sama seperti metode Indore tetapi lubang dipersempit 60 cm dan dilapisi limbah cair. Proses dekomposisi yang berlangsung akan mempertahankan hara yang dikandung dan bahan kompos lebih kaya nitrogen dibandingkan metode Indore. Metode ini cocok untuk wilayah yang memiliki curah hujan yang rendah. c. Metode Berkeley Pada metode ini, bahan yang dikomposkan merupakan campuran bahan organik kaya selulosa dan bahan organik kaya nitrogen. Proses pengomposannya terjadi dengan cepat dan dalam waktu yang relatif singkat d. Metode Vermikompos Vermikompos merupakan bahan campuran hasil proses pengomposan bahan organik yang memanfaatkan kegiatan cacing tanah. 112 e. Metode Jepang Dalam metode ini, lubang galian diganti dengan bak penampung yang terbuat dari anyaman bambu. Dengan metode ini, kehilangan nitrat dapat dihindarkan. 2.3 Program Go Organik 2010 Program pengembangan pertanian organik (Go Organik 2010) adalah salah satu pilihan program untuk mempercepat terwujudnya pembangunan agribisnis berwawasan lingkungan (eco-agribisnis) guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani. Program ini dicanangkan pemerintah mulai tahun 2005. Misi yang diemban dalam program Go Organik 2010 adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan alam Indonesia, dengan mendorong berkembangnya pertanian organik yang berdaya saing dan berkelanjutan. Tujuan yang ingin dicapai dalam program Go Organik 2010 adalah mewujudkan Indonesia sebagai salah satu produsen dan pengekspor pangan organik utama di dunia pada tahun 2010. Sesuai dengan fungsinya sebagai fasilitator dan katalis pembangunan, maka serangkaian strategi yang dilakukan pemerintah dalam hal ini departemen pertanian untuk mewujudkan Go organik 2010 antara lain: 1. Memasyarakatkan pertanian organik kepada konsumen 2. Memfasilitasi percepatan, penguasaan, penerapan, pengembangan, dan penyebarluasan teknologi pertanian organik 3. Memfasilitasi kerjasama terpadu antar masyarakat agribisnis untuk mengembangkan sentra-sentra pertumbuhan pertanian organik 4. Memberdayakan potensi dan kekuatan masyarakat untuk mengembangkan infrastruktur fisik dan kelembagaan pendukung pertanian organik 5. Merumuskan kebijakan, norma, standar teknis, sistem dan prosedur yang kondusif untuk pengembangan pertanian organik. 2.4 Definisi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Definisi usaha mikro Menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 40/KMK.06/2003, tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan Kecil, adalah 113 usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia (WNI) dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp 100.000.000 per tahun. Definisi usaha kecil Menurut UU No. 9/1995, adalah: (1) Usaha produktif milik WNI, yang berbentuk badan usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha berbadan hukum termasuk koperasi, (2) Bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi, baik langsung maupun tidak langsung, dengan Usaha Menengah atau Besar (UMB), dan (3) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp. 100.000.000 per tahun. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu) 571/KMK 03/2003 maka pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutto tak lebih dari Rp 600.000.000. Definisi usaha menengah menurut Instruksi Presiden (Inpres) No. 10/1999, tentang Pemberdayaan Usaha Menengah adalah ; (1) Usaha produktif milik WNI, yang berbentuk badan usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha berbadan hukum termasuk koperasi; (2) Berdiri sendiri, dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi, baik langsung maupun tidak langsung, dengan usaha besar, (3) Memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000, sampai denganb Rp 10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp 100.000.000 per tahun. 2.5 Penelitian Terdahulu Mujiati (2004) menyatakan bahwa berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial pada tingkat diskonto 12 persen, 16 persen dan 18 persen, usaha pengomposan layak untuk diusahakan. Namun usaha pengomposan ini sensitif terhadap perubahan harga input variabel, harga output dan kapasitas produksi. Pada kenaikan harga input variabel, penurunana harga output dan penurunan kapasitas produksi masing-masing 1 persen, usaha ini layak pada tingkat diskonto 12 persen, akan tetapi tidak layak pada tingkat 18 persen. 114 Manalu (2006) dalam penelitiannya mengenai kelayakan finansial usaha kompos limbah ternak sapi perah di CV Cisarua Integrated Farming 2006 menyimpulkan bahwa usaha tersebut dikatakan layak untuk dijalankan dengan pertimbangan NPV positif dalam keadaan normal dengan DR (14 % − 20 %) dan BCR (Benefit Cost Ratio) lebih besar dari satu. Dalam usaha ini, komposisi limbah ternak sebesar 60 persen dari total bahan baku, harga limbah ternak Rp 2500 per karung dan harga jual pupuk sebesar Rp 750 per kilogram dalam skala kecil dan Rp 400 per kilogram dalam skala besar. Widiastuti (2008) dalam penelitiannya mengenai studi kelayakan usaha pupuk organik cair di PT Mulyo Tani Tani, menyimpulkan bahwa usaha tersebut layak dijalankan dengan pertimbangan NPV bernilai positif (Rp 2.159.141) dan IRR 15 persen dengan tingkat DR sebesar 12 persen. Berdasarkan analisis sensitifitas yang dilakukan dalam penelitian tersebut, usaha pupuk organik cair sangat sensitif terhadap perubahan harga bahan baku, dan jika terjadi kenaikan bahan baku 10 persen menyebabkan usaha tersebut tidak layak untuk dijalankan. Khaddafy (2009) dalam penelitiannya mengenai kelayakan usaha pupuk organik di CV Saung Wira di Kabupaten Bogor didapat kesimpulan bahwa usaha tersebut layak dijalankan pada kondisi normal dengan nilai NPV > 0 (121.292.526), Net B/C >1 (3,22), IRR 47,88 persen dan PP 2,28. Dalam usaha tersebut, asumsi yang digunakan adalah harga jual Rp 2000 per kilogram. Dalam penelitian ini, usaha pupuk organik yang diteliti merupakan usaha kecil yang dikelola oleh kelompok tani di Kabupaten Subang. Usaha ini didirikan dengan bantuan pemerintah Kabupaten Subang. Analisis yang dilakukan meliputi analisis aspek finansial dan non finansial. Analisis aspek non finansial dijelaskan secara deskriptif mengenai: (1) Aspek Teknis dan teknologi, (2) Aspek Pemasaran, (3) Aspek Manajemen, (5) Aspek Hukum, dan (4) Aspek Sosial dan Lingkungan. Analisis aspek finansial dalam penelitian ini menggunakan laporan laba rugi dan arus kas dalam menentukan NPV, IRR, Net B/C dan PP. Dalam aspek finansial juga dilakukan analisis sensitivitas menggunakan switching value. 115 III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Studi Kelayakan Proyek Menurut Gray et al (1985), proyek adalah kegiatan-kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam satu bentuk kesatuan dengan mempergunakan sumber-sumber untuk mendapatkan benefit. Menurut Gittinger (1986) proyek yang bergerak dalam bidang pertanian adalah suatu kegiatan investasi yang mengubah sumber-sumber finansial menjadi barang-barang modal yang dapat menghasilkan keuntungan atau manfaat setelah beberapa periode waktu. Sumber-sumber yang dimaksud dapat berupa barang-barang modal, tanah, bahan setengah jadi, bahan mentah, tenaga kerja dan waktu. Menurut Subagyo (2007), Objek studi kelayakan terbagi dalam 3 jenis yang berbeda, yaitu : 1. Pendirian, berarti objek yang dipelajari dan diteliti merupakan usaha baru yang akan didirikan 2. Pengembangan, berarti objek yang dikaji usahanya sudah berdiri dan mempunyai rencana untuk dikembangkan terutama pada aspek-aspek tertentu, misalnya pembelian teknologi baru karena adanya permintaan pasar yang meningkat. 3. Merger atau akuisisi, berarti objek merupakan usaha yang sudah berdiri kemudian digabungkan dan diambil alih oleh perusahaan lain. Studi kelayakan proyek adalah penelitian tentang kemampuan suatu proyek dilaksanakan dengan berhasil (Husnan dan Suwarsono, 2000). Suatu proyek dapat dikatakan berhasil apabila memenuhi kriteria manfaat investasi sebagai berikut : 1. Manfaat ekonomis proyek terhadap proyek itu sendiri (umumnya disebut sebagai manfaat finansial). 2. Manfaat proyek bagi negara tempat proyek itu dilaksanakan (disebut juga manfaat ekonomi nasional). 3. Manfaat sosial proyek tersebut bagi masyarakat di sekitar proyek. Tujuan dilakukan analisis proyek adalah (1) untuk mengetahui tingkat keuntungan yang dicapai melalui investasi dalam suatu proyek, (2) menghindari pemborosan 116 sumber-sumber, yaitu dengan menghindari pelaksanaan proyek yang tidak menguntungkan, (3) mengadakan penilaian terhadap peluang investasi yang ada sehingga kita dapat memilih alternatif proyek yang paling menguntungkan, dan (4) menentukan prioritas investasi (Gray, et al, 1992). Dalam penelitian ini, ada enam aspek yang dipertimbangkan dalam mengambil keputusan yaitu : 1. Aspek Pasar Untuk mencapai hasil pemasaran yang diinginkan, suatu perusahaan harus menggunakan alat-alat pemasaran yang membentuk suatu bauran pemasaran. Adapun yang dimaksud dengan bauran pemasaran menurut Kottler (2002) yaitu seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan terus menerus untuk mencapai tujuan pemasarannya di pasar sasaran. Analisis aspek pasar mencakup permintaan, penawaran, harga, program pemasaran yang akan digunakan, serta perkiraan penjualan. 2. Aspek Teknis Aspek teknis mencakup masalah penyediaan sumber-sumber dan pemasaran hasil-hasil produksi, seperti lokasi proyek, besaran skala operasional untuk mencapai kondisi yang ekonomis, kriteria pemilihan mesin dan equipment, layout, proses produksi, serta ketepatan penggunaan teknologi. 3. Aspek Manajemen Tujuan analisis kelayakan usaha dari aspek manajemen adalah untuk mengetahui apakah pembangunan dan implementasi usaha dapat direncanakan, dilaksanakan dan dikendalikan, sehingga pada akhirnya rencana usaha dapat dikatakan layak atau tidak layak. Aspek-aspek yang diperhatikan pada studi kelayakan terdiri dari manajemen pada masa pembangunan yaitu pelaksana proyek, jadwal penyelesaian proyek, dan pelaksana studi masing-masing aspek, dan manajemen pada saat operasi yaitu bentuk organisasi, struktur organisasi, deskripsi jabatan, personil kunci, dan jumlah tenaga kerja yang digunakan 4. Aspek Hukum Aspek hukum terdiri dari bentuk usaha yang akan digunakan, jaminan- jaminan yang dapat diberikan apabila hendak meminjam dana seperti akta, sertifikat dan izin yang diperlukan dalam menjalankan usaha. 117 5. Aspek Sosial Lingkungan Aspek sosial lingkungan terdiri dari pengaruh proyek terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, peluang kerja, dan pengembangan wilayah dimana proyek dilaksanakan. 6. Aspek Finansial Aspek finansial terdiri dari uraian mengenai modal kerja, modal investasi, menganalisis laporan keuangan dan arus kas usaha dan memutuskan apakah usaha ini layak berdasarkan indikator-indikator finansial. 3.1.2 Teori Biaya dan Manfaat Dalam menganalisa suatu proyek tujuan analisa harus disertai dengan definisi biaya dan manfaat. Biaya diartikan sebagai salah satu yang mengurangi suatu tujuan, sedangkan manfaat adalah segala sesuatu yang membantu terlaksananya suatu tujuan (Gittinger, 1986). Biaya dapat juga didefinisikan sebagai pengeluaran atau korbanan yang dapat menimbulkan pengurangan terhadap manfaat yang diterima. Biaya dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Biaya modal merupakan dana untuk investasi yang penggunaannya bersifat jangka panjang, seperti tanah , bangunan, pabrik, dan mesin. 2. Biaya operasional atau modal kerja merupakan kebutuhan dana yang diperlukan pada saat proyek mulai dilaksanakan, seperti biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja. 3. Biaya lainnya, seperti pajak, bunga, dan pinjaman. Manfaat dapat diartikan sebagai suatu yang dapat menimbulkan kontribusi terhadap suatu proyek. Manfaat proyek dapat dibedakan menjadi : 1. Manfaat langsung yaitu manfaat yang secara langsung dapat diukur dan dirasakan sebagai akibat dari investasi seperti peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja. 2. Manfaat tidak langsung yaitu manfaat yang secara nyata diperoleh dengan tidak langsung dari proyek dan bukan merupakan tujuan utama proyek. Kriteria yang biasa digunakan sebagai dasar persetujuan atau penolakan suatu proyek yang dilaksanakan adalah kriteria investasi. Dasar penilaian investasi adalah perbandingan antara jumlah nilai yang diterima sebagai manfaat dari investasi tersebut dengan manfaat dalam situasi tanpa proyek. Nilai perbedaannya 118 adalah berupa tambahan manfaat bersih yang akan muncul dari investasi dengan adanya proyek (Gittinger, 1986). 3.1.3 Analisis Kelayakan Investasi Kriteria investasi digunakan untuk mengukur manfaat yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan dari suatu proyek. Dalam mengukur manfaat suatu proyek dapat digunakan dua cara. Pertama, menggunakan perhitungan berdiskonto, yaitu suatu teknik yang dapat “menurunkan” manfaat yang diperoleh pada masa yang akan datang dan arus biaya menjadi nilai biaya pada masa sekarang. Kedua, menggunakan perhitungan tidak berdiskonto. Perbedaan dua cara ini terletak pada konsep Time Value of Money yang digunakan pada model perhitungan berdiskonto. Model perhitungan tidak berdiskonto memiliki kelemahan umum dibandingkan perhitungan berdiskonto yaitu ukuran tersebut belum mempertimbangkan secara lengkap mengenai lamanya arus manfaat yang diterima (Gittinger, 1986). Konsep Time Value of Money menyatakan bahwa nilai sekarang (present value) adalah lebih baik daripada nilai yang sama pada masa yang akan datang (future value) yang disebabkan dua hal, yaitu: (1) time preference (sejumlah sumber yang tersedia untuk dinikmati pada saat ini lebih disenangi dibandingkan jumlah yang sama yang tersedia di masa yang akan datang), (2) Produktifitas atau efisiensi modal (modal yang dimiliki saat ini memiliki peluang untuk mendapatkan keuntungan di masa yang akan datang melalui kegiatan yang produktif) yang berlaku baik secara perorangan maupun bagi masyarakat secara keseluruhan (Kadariah, 2001). Kedua unsur tersebut berhubungan secara timbal balik di dalam pasar modal untuk menentukan tingkat harga modal yaitu tingkat suku bunga, sehingga dengan tingkat suku bunga dapat dimungkinkan untuk membandingkan arus biaya dan manfaat yang penyebarannya dalam waktu yang tidak merata. Untuk tujuan itu, tingkat suku bunga ditentukan melalui proses “discounting” (Kadariah,2001). 119 3.1.4 Analisis Finansial Analisis finansial adalah analisis yang digunakan untuk membandingkan antara biaya dan manfaat untuk menentukan apakah suatu proyek akan menguntungkan selama umur proyek (Husnan dan Suwarsono, 2000). Analisis Finansial terdiri dari: 3.1.4.1 Laporan Laba Rugi Laporan laba rugi melaporkan pendapatan dan beban selama periode waktu tertentu berdasarkan konsep penandingan atau pengaitan. Menurut Warren, et al (2005) laporan laba rugi melaporkan kelebihan pendapatan yang dihasilkan selama periode terjadinya beban tersebut. Kelebihan ini disebut laba bersih atau keuntungan bersih. Jika beban melebihi pendapatan, maka disebut kerugian. Adanya laporan laba rugi akan memudahkan untuk menentukan besarnya aliran kas tahunan yang diperoleh suatu perusahan (Nurmalina, Sarianti dan Karyadi, 2009). 3.1.4.2 Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus kas yang ditimbulkan oleh investasi. Menurut Keown (2004), NPV diartikan sebagai nilai bersih sekarang dari arus kas tahunan setelah pajak dikurangi dengan pengeluaran awal. Dalam menghitung NPV perlu ditentukan tingkat suku bunga yang relevan. Kriteria investasi berdasarkan NPV yaitu: a. NPV = 0, artinya proyek tersebut mampu memberikan tingkat pengembalian sebesar modal sosial Opportunity Cost faktor produksi normal. Dengan kata lain, proyek tersebut tidak untung maupun rugi. b. NPV > 0, artinya suatu proyek dinyatakan menguntungkan dan dapat dilaksanakan. c. NPV < 0, artinya proyek tersebut tidak menghasilkan nilai biaya yang dipergunakan, atau dengan kata lain proyek tersebut merugikan dan sebaiknya tidak dilaksanakan. 3.1.4.3 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Rasio) Net Benefit and Cost Ratio (Net B/C Rasio) merupakan angka perbandingan antara present value dari net benefit yang positif dengan present 120 value dari net benefit yang negatif. Kriteria investasi berdasarkan Net B/C Rasio adalah: a. Net B/C = 1, maka NPV = 0, artinya proyek tidak untung ataupun rugi b. Net B/C > 0, maka NPV > 0, artinya proyek tersebut menguntungkan c. Net B/C < 0, maka NPV < 0, proyek tersebut merugikan 3.1.4.4 Internal Rate Return (IRR) Internal Rate Return adalah tingkat bunga yang menyebabkan present value kas keluar yang diharapkan dengan present value aliran kas masuk yang diharapkan, atau didefinisikan juga sebagai tingkat bunga yang menyebabkan Net Present value (NPV) sama dengan nol. Menurut Gittinger (1986) IRR adalah tingkat rata-rata keuntungan intern tahunan bagi perusahaan yang melakukan investasi dan dinyatakan dalam satuan persen. Tingkat IRR mencerminkan tingkat suku bunga yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumberdaya yang digunakan. Suatu investasi dianggap layak apabila memiliki nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku dan suatu investasi dianggap tidak layak apabila memiliki nilai IRR yang lebih kecil dari tingkat suku bunga yang berlaku. 3.1.4.5 Payback Period (PP) Payback Period atau tingkat pengembalian investasi merupakan suatu metode dalam menilai kelayakan suatu usaha yang digunakan untuk mengukur periode jangka waktu pengembalian modal. Semakin cepat modal kembali, maka akan semakin baik suatu proyek untuk diusahakan karena modal yang kembali dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan lain (Husnan dan Suwarsono, 1999). 3.1.5 Analisis Sensitivitas Analisis senstivitas dilakukan untuk meneliti kembali analisa kelayakan proyek yang telah dilakukan. Tujuannya yaitu untuk melihat pengaruh yang akan terjadi apabila keadaan berubah. Hal ini merupakan suatu cara untuk menarik perhatian pada masalah utama proyek yaitu proyek selalu menghadapi ketidakpastian yang dapat terjadi pada suatu keadaan yang telah diramalkan (Gittinger, 1986). 121 Pada proyek di bidang pertanian terdapat empat masalah utama yang mengakibatkan proyek sensitif terhadap perubahan, yaitu: a. Perubahan harga jual b. Keterlambatan pelaksanaan proyek c. Kenaikan biaya d. Perubahan volume produksi Untuk menentukan ukuran sensitivitas, digunakan formula switching value. Menurut Gittinger (1986), analisis switching value adalah suatu analisa untuk dapat melihat pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubahubah. Pendekatan switching value (nilai ganti), mencari beberapa perubahan maksimum yang dapat ditolerir agar proyek masih bisa dilaksanakan. Perubahanperubahan yang terjadi misalnya perubahan pada tingkat produksi, harga jual output maupun kenaikan harga input. Analisis ini dilakukan dengan teknik trialerror terhadap perubahan yang terjadi sehingga dapat diketahui tingkat kenaikan dan penurunan maksimum yang boleh terjadi dalam suatu usaha. Switching value menggambarkan tingkat perubahan tertentu yang menyebabkan NPV mendekati atau sama dengan nol, IRR sama dengan tingkat suku bunga dan Net B/C sama dengan satu. Parameter yang diambil adalah perubahan yang sangat mempengaruhi kelayakan usaha. Dalam penelitian ini, parameter yang diambil yaitu perubahan harga, harga bahan baku dan upah tenaga kerja. 3. 2 Kerangka Pemikiran Operasional Program pengembangan pertanian organik (Go Organik 2010) adalah salah satu pilihan program untuk mempercepat terwujudnya pembangunan agribisnis berwawasan lingkungan (eco-agribisnis) guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani. Langkah awal Go Organik 2010 yang dilakukan Pemkab Subang yaitu menumbuh-kembangkan industri kecil pupuk organik. Tujuannya yaitu meningkatkan ketersediaan pupuk organik sehingga petani beralih dari pupuk kimia ke organik secara bertahap. Untuk mensukseskan program tersebut, maka pada tahun 2007 Pemkab Subang memberikan bantuan dana dengan total sekitar satu milyar rupiah kepada 32 kelompok tani yang mengembangkan usaha pembuatan pupuk organik yang tersebar di beberapa desa 122 di Kabupaten Subang. Kelompok tani tersebut kemudian tergabung dalam APPOS (Asosiasi Produsen Pupuk Organik Subang). Kelompok tani Bineka I adalah salah satu produsen pupuk organik yang ada di Subang. Usaha ini berdiri sejak awal tahun 2008. Poktan Bhineka I dapat menghasilkan 25 ton pupuk organik per bulannya atau 300 ton per bulannya. Akan tetapi permintaan tersebut diperkirakan akan meningkat mengingat terjadinya peningkatan permintaan 54 persen dari tahun 2008 ke tahun 2009. Bahkan menurut pengelola, pernah terjadinya penolakan permintaan pupuk sebesar 20 ton karena tidak mampu dipenuhi. Menurut Ketua APPOS, potensi pasar pupuk organik yang baru terserap baru sekitar satu persen sehingga diharapkan UKM pupuk organik memanfaatkannya dengan meningkatkan skala produksi. Oleh karena itu, pengelola berencana meningkatkan kapasitas produksi dengan meningkatkan luas bangunan pengomposan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan pengembangan usaha pupuk organik Poktan Bhineka I. Analisis kelayakan dilakukan dengan menganalisis aspek non finansial dan finansial. Aspek non finansial yang menjadi kriteria kelayakan suatu investasi, yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek hukum dan aspek sosial. Analisis finansial mancakup kajian mengenai NPV, IRR, Net B/C Rasio, Payback Period dan kemudian dilakukan analisis sensitivitas usaha dengan switching value. Adapun kerangka operasional penelitian ini adalah sebagai berikut. 123 Program Go Organik 2010 Pemkab Subang Usaha Pupuk Organik Poktan Bhineka I didirikan pada tahun 2008 Permintaan meningkat Kapasitas terbatas Peningkatan Kapasitas Produksi : 25 ton per bulan 50 ton per bulan Studi Kelayakan Aspek Non Finansial 1. Aspek Teknis 2. Aspek Pasar 3. Aspek Manajemen 4. Aspek Hukum 5. Aspek Sosial Lingkungan Aspek Finansial 1. Laba Rugi 2. NPV 3. Net B/C 4. Payback Period Analisis Sensitivitas Tidak Layak 1. Relokasi sumberdaya 2. Reevaluasi aspek-aspek Layak Usaha Pupuk organik dikembangkan Gambar 2: Kerangka Pemikiran 124 IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di usaha pembuatan pupuk organik oleh kelompok tani Bhineka I, di Desa Blendung, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei hingga September 2009. 4.2 Jenis Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara, pemberian kuesioner maupun survey langsung ke pemasok bahan baku pupuk, Poktan Bhineka I dan konsumen pupuk. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), internet, pustaka, dan literatur-literatur lainnya yang mendukung pelaksanaan penelitian ini. 4.3 Metode Pengambilan, Pengolahan dan Analisis Data Metode pengambilan responden (sampling) yang digunakan dalam penelitian ini merupakan teknik non probabality sampling yang terdiri dari dua cara yaitu purpossive sampling dan snowball sampling. Pemilihan Poktan Bhineka I dilakukan secara sengaja purposive sampling yaitu menentukan dengan sengaja objek yang akan diteliti untuk menggambarkan beberapa sifat di populasi tersebut dengan pertimbangan bahwa objek yang dipilih memiliki potensi untuk pengembangan industri pupuk organik. Penentuan stakeholder sebagai sumber informasi dilakukan secara snowball sampling atas rekomendasi pengelola usaha Poktan Bhineka I (Bapak Haji Dedi Sobandy). Menurut Siagian dan Sugiarto (2008), teknik snowball sampling sangat tepat dilakukan bila populasinya kecil dan sangat spesiifk. Metode yang digunakan dalam mengolah dan menganalisis data pada penelitian ini adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui keragaan usaha pupuk organik, sedangkan metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha pupuk organik secara finansial berdasarkan analisis kelayakan usaha. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan software Microsoft Excel untuk membuat proyeksi cash flow dari total biaya dan manfaat yang dihasilkan oleh usaha ini beberapa tahun ke depan. 125 Data dan informasi kuantitatif yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabulasi yang bertujuan untuk mengklasifikasikan serta memudahkan dalam menganalisis data. Sedangkan untuk data yang bersifat kualitatif yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek bahan baku, aspek manajemen, aspek hukum, dan aspek sosial ekonomi dan lingkungan selanjutnya akan disajikan dalam bentuk analisis deskriptif. 4.4 Analisis Kelayakan Investasi Analisis kelayakan investasi dalam penelitian ini mengakaji aspek non finansial dan aspek finansial. Aspek non finansial yang dikaji adalah (1) Aspek teknis, (2) Aspek Pasar, (3) Aspek Manajemen, (4) Aspek Hukum, (5) Aspek Sosial Lingkungan. Aspek finansial yag dikaji dalam penelitian ini yaitu arus kas usaha yang menghasilkan kriteria-kriteria investasi yaitu NPV, IRR, Net B/C dan Payback period. 4.4.1 Analisis Kelayakan Non Finansial Dalam penelitian ini, aspek kelayakan non finansial dikaji secara deskriptif dan kualitatif a. Aspek Teknis Aspek teknis mencakup lokasi dimana suatu proyek akan didirikan, skala operasi yang ditetapkan untuk mencapai skala ekonomis, kriteria pemilihan peralatan, proses produksi dan layout pabrik, serta ketepatan penggunaan teknologi. Dalam penelitian ini, aspek teknis dikaji secara deskriptif dan kualitatif. b. Aspek Pasar Aspek pasar mengkaji permintaan dan market potential serta proyeksi permintaan, harga, program pemasaran, serta perkiraan penjualan yang bisa dicapai perusahaan. c. Aspek Manajemen Aspek manajemen yang dikaji dalam penelitian ini adalah struktur organisasi yang dijalankan, jumlah tenaga kerja yang diperlukan dan pembagian kerja. d. Aspek Hukum Aspek hukum yang dikaji dalam usaha ini yaitu bentuk badan usaha yang digunakan dan perizinan usaha dalam menjalankan usaha. 126 e. Aspek Sosial Lingkungan Aspek sosial merupakan manfaat dan pengorbanan sosial yang mungkin dialami oleh masyarakat yang biasa disepakati secara bersama. Aspek sosial yang dikaji dalam penelitian ini adalah manfaat ekonomi dan sosial yang diterima masyarakat seperti pengurangan pengangguran, peningkatan pendapatan masyarakat dan dampak usaha terhadap lingkungan. 4.4.2 Analisis Kelayakan Finansial Kriteria kelayakan finansial yang digunakan dalam penelitian meliputi Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return, serta Payback Periode. a. Laba Rugi Laba rugi adalah ikhtisar pendapatan dan beban selama periode waktu tertentu. Dalam penelitian ini, laba rugi dianalisis dalam periode satu tahun pada kondisi kapasitas maksimum. Pendapatan dari usaha ini adalah penjualan pupuk organik. Beban usaha terdiri dari beban adiministrasi, listrik dan penyusutan. Beban penyusutan dalam penelitian ini dihitung dengan metode garis lurus (linear) dengan rumus : Beban penyusutan per tahun = Harga pembelian Aktiva − Nilai Akhir Umur Ekonomis Kondisi dimana pendapatan lebih besar dari beban usaha disebut laba atau sebaliknya. Laba bersih setalah dikurangi beban bunga tetapi sebelum pajak disebut EBT (Earning Before Tax) dan laba setelah dikurangi nilai pajak disebut EAT (Earning After Tax). Beban bunga yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah sebesar 16 persen. Bunga dalam perhitungan merupakan bunga sederhana (simple interest) yaitu bunga yang dihitung secara linear dan tidak ditambahkan ke dana pokok untuk menghitung perolehan berikutnya (Soeharto,2002). Beban bunga per tahun = Total pinjaman X 16 % Umur tahun 127 b. Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) suatu proyek menunjukkan manfaat bersih yang diterima proyek selama umur proyek pada tingkat suku bunga tertentu. NPV juga dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus kas yang ditimbulkan oleh investasi. Dalam menghitung NPV perlu ditentukan tingkat suku bunga yang relevan. Rumus perhitungan sebagai berikut: NPV = 𝑛 𝐵𝑡−𝐶𝑡 𝑡=1 (1+𝑖)𝑡 Dimana: Bt : Manfaat proyek pada tahun ke-t (Rp) Ct : Biaya proyek pada tahun ke-t (Rp) i : Tingkat suku bunga (%) t : Umur proyek ke- (per tahun) n : Jumlah umur ekonomis Adapun kriteria investasi berdasarkan NPV yaitu: a. NPV > 0, artinya suatu proyek sudah dinyatakan menguntungkan dan dapat dilaksanakan. b. NPV < 0, artinya proyek tersebut tidak menghasilkan nilai biaya yang dipergunakan. Dengan kata lain, proyek tersebut merugikan dan sebaliknya. c. NPV = 0, artinya proyek tersebut mampu mengembalikan persis sebesar modal sosial Opportunities Cost faktor produksi normal. Dengan kata lain, proyek tersebut tidak untung dan tidak rugi. c. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net Benefit and Cost Ratio menyatakan besarnya pengembalian terhadap setiap satu satuan biaya yang telah dikeluarkan selama umur proyek. Net B/C merupakan angka perbandingan antara present value dari net benefit yang positif dengan present value dari net benefit yang negatif. Rumus perhitungan Net B/C: Net B/C = n Bt −Ct t=1(1−i)t n Bt −Ct t=1(1−i)t Dimana Bt Ct 0 Bt Ct 0 128 Keterangan: Bt = manfaat yang diperoleh setiap tahun Ct = biaya yang dikeluarkan setiap tahun t = umur proyek n = jumlah tahun atau jumlah umur ekonomis i = tingkat bunga (diskonto) Adapun kriteria investasi berdasarkan Net B/C ratio adalah sebagai berikut: d. a. Net B/C > 0, maka NPV>0, proyek menguntungkan b. Net B/C < 0, maka NPV<0, proyek merugikan c. Net B/C = 1, maka NPV=0, proyek tidak untung dan tidak rugi Internal Rate Return (IRR) Internal Rate Return adalah tingkat bunga yang menyamakan present value kas keluar yang diharapkan dengan present value aliran kas masuk yang diharapkan, atau didefinisikan juga sebagai tingkat bunga yang menyebabkan NPV sama dengan nol. Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut: IRR = i NPV i' i ' NPV NPV Keterangan: i = Discount rate yang menghasilkan NPV positif i’ = Discount rate yang menghasilkan NPV negatif NPV = NPV yang bernilai positif NPV’ = NPV yang bernilai negatif Gittinger (1986) menyebutkan bahwa IRR adalah tingkat rata-rata keuntungan intern tahunan bagi perusahaan yang melakukan investasi dan dinyatakan dalam satuan persen. Tingkat IRR mencerminkan tingkat suku bunga maksimal yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumberdaya yang digunakan. Suatu investasi dianggap layak apabila nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku dan sebaliknya jika nilai IRR lebih kecil dari tingkat suku bunga yang berlaku, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan. e. Payback Period (PP) Payback periode atau tingkat pengembalian investasi adalah salah satu metode dalam menilai kelayakan suatu usaha yang digunakan untuk mengukur 129 periode jangka waktu pengembalian modal. Semakin cepat modal itu dapat kembali, semakin baik suatu proyek untuk diusahakan karena modal yang kembali dapat dipakai untuk membiayai kegiatan lain (Husnan dan Suwarsono, 2000). Adapun perhitungan Payback Periode adalah sebagai berikut: Payback Period = I Ab Keterangan: I = Besarnya investasi yang dibutuhkan Ab = Benefit bersih yang dapat diperoleh setiap tahunnya f. Analisis Sensitivitas Analisis Sensitivitas adalah teknik untuk mengantisipasi perubahan yang mungkin terjadi pada parameter-parameter yang diperkirakan dalam perencanaan. Melalui analisis sensitivitas akan diketahui faktor-faktor apa saja yang paling sensitif. Untuk mengukur tingkat sensitivitas digunakan formula Switching Value (SV) yang menggambarkan tingkat perubahan paremater tertentu yang menyebabkan NPV=0 𝑆V = i+ + (NPV+) ∗ (i− − i+) (NPV+ − NPV−) Keterangan : i+ =Tingkat diskon yag membuat nilai NPV positif i- = Tingkat diskon yag membuat nilai NPV negatif NPV+ = Nilai NPV positif NPV- = NIlai NPV negatif 4.5 Asumsi Dasar yang Digunakan Asumsi dasar yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Analisis aspek finansial dan non finansial dalam penelitian ini dilakukan dalam jangka waktu umur proyek. Umur proyek adalah 10 tahun, didasarkan pada umur investasi yang paling berpengaruh signifikan terhadap proses produksi dan paling lama, yaitu bangunan. 2. Dilakukan dua skenario dalam usaha ini yaitu : 130 a. Skenario I yaitu kondisi usaha dengan perolehan bahan baku yang telah dilaksanakan saat ini dan tanpa penambahan kapasitas produksi 25 ton per bulan selama umur proyek. Kapasitas produksi sesuai dengan luas bangunan pengomposan. Pada skeanrio I modal yang digunakan adalah modal sendiri ditambah bantuan pemerintah senilai Rp 32.000.000. Akan tetapi bantuan pemerintah tidak dimasukkan dalam perhitungan dalam nalisis arus kas penelitian ini karena arus kas yang dianalisis adalah arus kas incremental yaitu arus kas yang mempengaruhi kondisi kelayakan finanisial secara langsung selama proyek berlangsung. b. Skenario II yaitu kondisi usaha dengan peningkatan kapasitas produksi menjadi dua kali lipat dari 25 ton menjadi 50 ton per bulan. Pada seknario II dilakukan penambahan luas bangunan pengomposan dan alat produksi. Peningkatan kapasitas akan dilakukan pada tahun ke-3 (Tahun 2010) menyebabkan peningaktan investasi. Modal untuk peningkatan investasi pada skenario II diperoleh dari pinjaman. 3. Pada skenario I, tingkat diskon yang digunakan dalam analisis arus kas merupakan tingkat suku bunga deposito Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada tanggal 1 September 2009 sebesar 7 persen. Hal ini dikarenakan modal yang digunakan adalah modal sendiri sehingga oppourtunity cost dalam investasi adalah bunga deposito. Pada skenario II, tingkat bunga yang digunakan dalam analisis arus kas adalah bunga pinjaman Kredit usaha Rakyat (KUR) dengan tingkat bunga 16 persen. Hal ini dikarenakan pada skenario II, usaha ini memperoleh pinjaman KUR untuk peningkatan investasi. Bank BRI menjadi acuan dalam penentuan tingkat bunga karena BRI adalah bank mitra dari pengelola usaha pupuk organik Poktan Bhineka I. 4. Inflow dan Outflow pada tahun 2010 hingga akhir umur proyek merupakan proyeksi berdasarkan pada penelitian dan informasi yang didapatkan pada tahun 2008 dan tahun 2009. 5. Harga input produksi pupuk organik Bhineka I adalah harga perolehan ditempat produksi (farm gate price) dimana marjin pemasaran tidak termasuk dalam harga. Harga input yang digunakan pada tahun ke-3 131 hingga selanjutnya merupakan harga pada tahun 2009 dan tidak berubah sepanjang umur proyek. 6. Semua bahan baku habis di produksi sehingga tidak ada persediaan bahan baku di awal dan akhir tahun. 7. Harga pupuk Bhineka I yang digunakan mulai tahun ke-3 hingga tahun ke10 adalah harga yang berlaku pada tahun 2009 yaitu Rp 650 per kilogram. Tingkat harga yang digunakan adalah tingkat harga ditempat produksi (farm gate price) 8. Produk yang dihasilkan habis terjual sehingga tidak ada persediaan di akhir dan di awal tahun. 9. Biaya investasi dikeluarkan pada tahun ke-1 dan biaya reinvestasi dikeluarkan untuk peralatan-peralatan yang telah habis umur ekonomisnya. Nilai dari investasi dan reinvestasi merupakan nilai perolehan barang modal (investasi) pada tahun 2008. 10. Pajak yang digunakan dalam usaha ini adalah pajak penghasilan untuk orang pribadi karena usaha ini belum memiliki bentuk badan usaha. Besarnya pajak yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan: a. Tidak dikenakan pajak apabila perusahaan menderita kerugian b. Tarif 5 % untuk nilai penghasilan kena pajak per tahun Rp 50.000.000 c. Tarif 10 % untuk nilai penghasilan kena pajak per tahun Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000 d. Tarif 15 % untuk nilai penghasilan kena pajak per tahun Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000 e. Tarif 5 % untuk nilai penghasilan kena pajak per tahun Rp 500.000.000 hingga lebih. 11. Analisis sensitivitas yang dilakukan dengan switching value yaitu: a. Kenaikan harga bahan baku Asumsi ini didasarkan pada kenaikan harga bahan baku mencapai 14,25 persen dari tahun 2008 hingga tahun 2009. Hal ini sangat 132 berpengaruh terhadap arus kas karena biaya bahan baku mempunyai proporsi 80,17 persen terhadap anggaran b. Kenaikan harga tenaga kerja per HOK Asumsi ini didasarkan pada peningkatan upah 20 persen dari tahun 2008 hingga tahun 2009. Biaya upah mempunya proporsi terhadap anggaran biaya sebesar 13,9 persen. c. Perubahan harga jual Asumsi ini didasarkan karena adanya perkiraan penurunan harga jual pupuk organik kedepannya. Perkiraan ini didasarkan atas kebijakan pemerintah dalam pemasaran pupuk organik. Untuk mendukung pertanian organik, pemerintah membuat kebijakan yang menunjuk perusahaan pupuk nasional menawarkan ke pasar pupuk organik bersubsidi dengan harga eceran tertinggi Rp 500. Kebijakan ini akan diterapkan di Kabupaten Subang pada tahun 2010. Secara tidak langsung, kondisi ini memicu penurunan harga pupuk organik. 133 V GAMBARAN UMUM 5.1 Karakteristrik Wilayah Penelitian Desa Blendung merupakan salah satu desa dari 11 desa di Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang. Desa Blendung merupakan dataran rendah yang memiliki luas 567.318 hektar dan termasuk kawasan yang bebas banjir. Dari total luas lahan di Desa Blendung, 80 persen adalah lahan pertanian dan 59 persen adalah lahan perkebunan milik perorangan (Lampiran 3). Karakter iklim dari Desa Blendung yaitu : 1. Curah hujan 1.721 mm dengan jumlah bulan hujan yaitu 6 bulan hujan 2. Suhu rata-rata harian 29 derajat celcius 3. Ketinggian tempat 35 mdl Jumlah penduduk Desa Blendung yaitu 3354 jiwa. Sebagian besar masyarakat Desa Blendung bermata pencaharian sebagai petani dengan status pemilik lahan rata-rata kurang dari satu hektar. Tabel 3. Data Kepemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Desa Blendung Karakteristik Memiliki lahan pertanian Tidak memiliki lahan pertanian Memiliki lahan < 1 ha Memiliki lahan 1,0-5,0 ha Memiliki lahan 5,0-10 ha Memiliki >10 ha Jumlah total keluarga petani Jumlah (keluarga) 1.014 15 870 108 21 15 1.014 Sumber : Profil Desa Blendung, 2007 Desa Blendung memiliki empat Poktan dan dan satu gabungan kelompok tani (gapoktan). Kelompok tani tersebut tersebar di empat dusun yaitu; Dusun I : Kelompok Tani Bhineka III (Ketua : Bapak Ubay Jasana) Dusun II : Kelompok Tani Bhineka II (Ketua : Bapak Adang Jaya Kusumah) Dusun III : Kelompok Tani Bhineka IV (Ketua : Bapak H. Jumadi) Dusun IV : Kelompok Tani Bhineka I (Ketua : Bapak Ust. Sukarya) Keempat Poktan tersebut kemudian tergabung dalam Gapoktan Bina Usaha yang diketuai oleh Bapak Dedi Sobandi. Keberadaan empat kelompok tani dan Gapoktan di Desa Blendung diharapkan dapat menjadi sarana utama bagi 134 petani dalam penyerapan informasi dan teknologi baru. Dengan adanya kelompok tani dapat menunjang pembangunan desa dalam pengembangan agribisnis pedesaan. Kelompok tani Bhineka II, III, dan IV termasuk Poktan pemula yang dibentuk pada tahun 2007. Poktan Bhineka I merupakan Poktan yang sudah berdiri lama yang menjadi pelopor pembentukan Poktan di Desa. Aktifitas Poktan Bhineka I yaitu usaha pembuatan emping dan kripik nangka, pembibitan dan pembuatan pupuk organik. Pendirian Poktan Bhineka II, III, IV di Desa Blendung dirancang sedemikian rupa oleh hasil musyawarah dengan aparat desa dan masyarakat dimana setiap Poktan mengelola jenis usaha yang spesifik. Poktan Bhineka I difokuskan dalam pengolahan dan penyediaan input, Bhineka II dalam usaha peternakan, Poktan Bhineka III dalam usaha perikanan dan Bhineka IV dalam usaha padi. 5.2 Asosiasi Produsen Pupuk Organik Subang (APPOS) APPOS didirikan sejak tahun 2006 atas dasar inisiatif oleh anggota dan dukungan dari Pemkab Subang. Tujuan didirikan APPOS adalah mengembangkan usaha pupuk organik Subang untuk mendukung berkembangnya pertanian organik di Subang. APPOS teridiri dari 32 produsen pupuk organik yang ada di Kabupaten Subang. Mayoritas anggota APPOS adalah produsen pupuk skala kecil yang dikelola oleh kelompok tani. Rata-rata kapasitas produksi dari produsen pupuk anggota APPOS adalah 10 ton per bulan. Struktur organisasi dari APPOS sebagai berikut : 1. Ketua : Bapak Suta Suntana 2. Wakil : Pak Odeng 3. Sekretaris : Elis Selangi 4. Bendahara : Bapak Dedi Sobandi Dalam mencapai tujuannya, strategi yang dilakukan APPOS antara lain: 1. Melakukan sosialisasi mengenai keberadaan APPOS sebagai suatu organisasi pupuk organik di Subang. 2. Melakukan sosialisasi penggunaan pupuk organik kepada petani 3. Meningkatkan kemitraan untuk memperluas pasar produsen APPOS. 135 4. Meningkatkan pengetahuan dan teknologi mengenai pupuk organik kepada para anggotanya Sejak didirikannya, APPOS telah memberikan kontribusi bagi pengembangan UMKM pupuk organik di Subang terutama dalam hal pemasaran dan teknologi pembuatan pupuk. Dalam hal pemasaran, APPOS telah memberikan kemudahan akses pasar sehingga meningkatkan penjualan yang diproduksi oleh anggotanya. APPOS menjalin kerjasama dengan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pupuk untuk program sosialisasi pertanian organik. APPOS juga berperan layaknya koperasi bagi anggotanya dimana APPOS menyediakan bahan baku seperti zeolit dan kaptan bagi UMKM pupuk organik di Subang. APPOS juga menetapkan harga eceran terendah pupuk organik yaitu Rp 650 per kilogram untuk pupuk organik yang dipasarkan di Subang. Dalam hal teknologi pembuatan, APPOS telah melakukan bimbingan terhadap UMKM pupuk Subang mengenai teknik pembuatan pupuk yang baik. 5.3 Kelompok Tani Bhineka I Poktan Bhineka I didirikan sejak tahun 1998 atas dasar inisiatif dari para petani di Desa Blendung. Lokasi sekretariat Poktan Bhineka I berada di rumah Bapak Sukarya, RT 26/08 Dusun IV Desa Blendung, Purwadadi-Subang. Poktan ini terdiri dari 20 anggota yang diketuai oleh Bapak Sukarya. Visi dari Kelompok Tani Bhineka I adalah ”Melalui Pertanian Kami Hidup Dan Berkembang”. Misi dari kelompok tani Bhineka I adalah Meningkatkan kesejahteraan dan pengetahuan petani Desa Blendung melalui kelembagaan kelompok tani. Ketua Sukarya Sekretaris Opik Bendahara Ajo Anggota kelompok tani Bhineka I Gambar 3. Struktur Organisasi Kelompok Tani Bhineka I 136 Motivasi awal dari pembentukan kelompok tani Bhineka I adalah ingin mengatasi masalah-masalah usahatani bersama-sama terutama dalam hal pemasaran dan budidaya rambutan. Seiring dengan berkembangnya pola pikir anggota petani, usaha dari Poktan ini tidak hanya dalam hal budidaya tetapi juga pembibitan tanaman, pengolahan hasil panen dan pembuatan pupuk organik. Usaha yang dilakukan oleh Poktan Bhineka I adalah : 1. Usaha pembibitan dilakukan sejak tahun 2005 yang terdiri dari pembibitan melinjo, rambutan, durian dan jenis tanaman keras yang dikelola oleh Bapak Dedi Sobandi. 2. Usaha pengolahan yaitu pembuatan kripik nangka dan emping melinjo yang dilakukan sejak tahun 2004. Usaha ini dikelola oleh Bapak Sukarya 3. Usaha pembuatan pupuk organik dilakukan sejak tahun 2008 yang dikelola oleh Bapak Dedi Sobandi. 5.4 Profil Usaha Pembuatan Pupuk Organik Bhineka I Usaha pembuatan pupuk organik yang dimulai sejak tahun 2008 oleh Poktan Bhineka I atas dasar dorongan dari Pemkab Subang dan inisiatif oleh anggota kelompok tani. Pemkab Subang mempunyai proyek yaitu menumbuhkembangkan industri kecil pupuk organik di Subang sebagai program penunjang Go Organik 2010. Motivasi dari petani sendiri atas pembentukan usaha pupuk organik yaitu kebutuhan pupuk organik yang meningkat karena semakin sadarnya para petani akan kerusakana lahan pertanian mereka. Penggunaan pupuk anorganik yang semakin meningkat sementara jumlah pupuk yang ada terbatas menyebabkan seringnya terjadi kelangkaan pupuk. Akibat dari hal tersebut adalah perkembangan usahatani di Desa Belendung menjadi terkendala. Oleh karena itu, para petani berinisiatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap pupuk anorganik khususnya urea dengan cara melakukan pemupukan terpadu dimana mengurangi pemakaian pupuk anorganik dengan penambahan pupuk organik dalam komposisi pemupukan. Usaha pembuatan pupuk organik ini berlokasi di Dusun IV, Desa Blendung. Usaha ini dikelola oleh Bapak Dedi Sobandi. Dalam pendirian usaha ini, usaha ini mendapat bantuan dari Pemkab Subang senilai Rp 32.000.000. Usaha ini baru berproduksi sejak Februari 2008. Produksi awal usaha ini adalah 137 12 ton perbulan. Kemudian seiring dengan semakin bertambahnya pengalaman, produksi meningkat menjadi 25 ton per bulan. Kapasitas usaha adalah 25 ton per bulan diukur berdasarkan luas bangunan sebagai tempat produksi yaitu 7m x 20m diatas lahan seluas 1500m2. Lokasi usaha ini berada di lahan milik pengelola yaitu Bapak Dedi Sobandi. Kepemilikan usaha atas nama Poktan Bhineka I. Pupuk organik yang dibuat oleh Poktan Bhineka I berbahan baku utama yaitu kotoran hewan, jerami dari limbah jamur dan arang sekam. Produk dijual dalam bentuk pupuk organik curah dengan kemasan karung 50 kilogram. Pada awal usaha, target pasar usaha ini adalah petani setempat terutama petani tanaman pangan. Sekarang, penjualan pupuk organik tidak hanya diperuntukkan oleh petani tanaman pangan, tetapi juga untuk perkebunan seperti perkebunan coklat, pepaya, rambutan, kacang koro dan kelengkeng. 138 VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Aspek Kelayakan Non Finansial Aspek kelayakan non finansial penting untuk dianalisis karena sebagai gambaran terhadap usaha yang akan dijalankan maupun yang sudah dijalankan. Kelayakan aspek non finansial menjadi penentu atas kelayakan aspek finansial suatu usaha. Dalam analisis kelayakan usaha pupuk organik Poktan Bhineka I, aspek yang ditinjau meliputi ; (1) Aspek teknis dan teknologi, (2) Aspek pasar, (3) Aspek manajemen, (4) Aspek hukum, dan (5) Aspek sosial lingkungan. 6.1.1 Aspek Teknis dan Teknologi Kajian aspek teknis dan teknologi menitikberatkan pada penilaian atas kelayakan proyek dari sisi teknis dan teknologi. Penilaian meliputi pemilihan bahan baku dan peralatan, penentuan metode dan penentuan lokasi usaha. 1. Bahan Baku dan Peralatan Produksi Pupuk Organik Bhineka I Setiap bahan organik memberikan kandungan khusus dalam pupuk organik. Menurut Bapak Suta Suntana, Ketua APPOS, komposisi pupuk organik yang baik yaitu: 1. Kotoran hewan : 40-50 persen 2. Jerami : 20-30 persen 3. Arang sekam : 20 persen 4. Bahan Tambahan (Molase, zeolit,dll) : 10 persen Komposisi bahan baku pupuk organik Bhineka I diuraikan pada tabel berikut. Tabel 4. Komposisi Bahan Baku 10 Ton Pupuk Organik Bhineka I No Jenis Bahan Baku Jumlah Total (Kg) 1 Kotoran Hewan 460 karung 13800 Proporsi (%) 48.75 2 Arang Sekam 180 karung 5400 19.07 Karung @30 kg 3 Jerami 9 bak mobil 9000 31.79 Bak @500kg 4 Zeolit 1 kwintal 100 0.35 Kwintal@100kg 5 Molase 10 kg 10 0.04 6 Dekomposer 10 botol - - Botol @ 1 liter 7 Air 1500 liter - - 1500 liter 23810 100 Total Keterangan Karung @30 kg 139 a. Kotoran Hewan Produksi pupuk organik yang dilakukan Bhineka I menggunakan kotoran sebagai salah satu sumber bahan organik utama. Kotoran hewan yang digunakan dalam usaha ini berasal dari kotoran sapi pedaging, sapi perah, domba dan ayam. Menurut pengelola, penggabungan dari beragam jenis kotoran ini meningkatkan kualitas pupuk karena setiap kotoran memiliki karakter sendiri (Lampiran 1). Kotoran sapi pedaging lebih banyak digunakan daripada sapi perah karena kandungan airnya lebih sedikit. Pada tahun 2008, sebagian besar kotoran dipasok dari PT Kresna yaitu sebuah perusahaan peternakan terbesar di Kecamatan Purwadadi. Pada tahun 2009, sebagian besar pasokan kotoran berasal dari peternakan milik warga Desa Blendung dan sekitarnya. Menurut pengelola kualitas kotoran dari peternakan warga lebih baik dibandingkan yang berasal dari peternakan besar karena kandungan sampah ransum dan air lebih rendah. Tabel 5. Ketersediaan Kotoran Hewan di Kecamatan Purwadadi No Jenis Ternak Total Produksi Kotoran per Bulan (Kg) 708 Rata-rata Produksi Kotoran per hari (kg) 3 Jumlah (Ekor) 1 Sapi 2 Kambing, Domba 5619 0.5 84.285 3 Ayam Buras, Itik 5650 0.2 33.900 Total 63.720 181,905 Sumber: diolah, Warta Penelitian Pengembangan Pertanian Vol 27. No 25. 2006 dan Laporan Penyuluh Pertanian Desa BLendung, 2007 Seperti diuraikan pada Tabel 3, kebutuhan kotoran dalam pembuatan 10 ton pupuk organik yaitu 20.7 ton per bulan. Jika diasumsikan pasokan kotoran diperoleh dari desa-desa sekitar Kecamatan Purwadadi, maka ketersediaan kotoran terjamin karena ketersediaan kotoran sebesar 181, 9 ton per bulan. b. Jerami dari Limbah Jamur Fungsi jerami dalam pupuk organik yaitu memberikan kandungan karbon dalam pupuk. Jerami yang baik digunakan untuk pembuatan pupuk organik yaitu jerami yang tercacah kasar dan kering agar mudah dikomposkan. Dalam usaha pupuk organik Poktan Bhineka I, jerami yang digunakan berasal dari limbah usaha budidaya jamur yang sudah tercacah dan terurai sehingga proses 140 pengomposan menjadi lebih cepat. Selain itu, alasan penggunaan jerami dari limbah jamur adalah ketersediaanya cukup banyak, harganya lebih murah dan akses memperolehnya lebih dekat. c. Arang sekam Fungsi arang sekam yaitu memberikan kandungan unsur K dalam pupuk organik. Dalam usaha pupuk organik Bhineka I, arang sekam berasal dari usaha penggorengan kerupuk dan pembuatan batu bata. Arang sekam yang berasal dari limbah penggorengan kerupuk lebih banyak digunakan dibandingkan dari pembuatan bata. Alasannya adalah arang sekam dari limbah penggorengan kerupuk tidak terlalu matang dalam pembakaran sehingga lebih banyak mengandung K2O dan tidak berbentuk abu. d. Molase Fungsi molase yaitu sebagai katalisator perkembangan mikroba pembusuk pada proses pengomposan. Selain itu, menurut Isroi (2009), molase sebagai bahan tambahan dalam pembuatan pupuk organik juga dapat berperan sebagai perekat agar pupuk organik yang dihasilkan tidak remah. Pada proses produksi pembuatan pupuk organik Poktan Bhineka I digunakan molase sebanyak 10 kg untuk memproduksi 10 ton pupuk organik. Takaran penggunaan molase tersebut dapat bertambah atau berkurang tergantung kondisi bahan kompos. Jika bahan kompos terlalu basah maka penggunaan molase akan dikurangi. Dan sebaliknya jika kondisi bahan kompos terlalu kering maka takaran molase ditambah. e. Dekomposer Dekomposer berbentuk cairan yang berisi bakteri pembusuk yang berfungsi mendekomposisi sampah organik (timbunan). Menurut Djaja (2008), dekomposer pada prinsipnya hanya sebagai pemacu mikroorganisme dalam proses pengomposan, tetapi tidak dapat menaikkan kandungan unsur hara dari bahan penyusun kompos. Pembuatan kompos tanpa dekomposer membutuhkan waktu pengomposan yang lebih lama. Poktan Bhineka I menggunakan dekomposer dalam pembuatan 10 ton pupuk yaitu sebanyak 1 liter dekomposer yang dilarutkan dengan 150 liter air. Pemakaian tersebut sesuai dengan aturan pakai yang tertera pada label dekomposer. Merek dagang dekomposer yang banyak beredar dipasar yaitu merek Superfarm dan Em4. Merek dekomposer yang 141 digunakan dalam usaha ini yaitu Superfarm yang diproduksi oleh Greenland Agrotecht Industries (Lampiran 4, Gambar 5). Alasan dari penggunaan Superfarm karena mempunyai bakteri lebih banyak sehingga hasil pengomposan lebih baik. Pembelian dekomposer melalui APPOS. f. Kaptan Kaptan dalam pembuatan pupuk organik beperan sebagai zat adiktif untuk mengontrol PH dan kandungan silikat. Kaptan yang digunakan dalam pembuatan ini bermerek dagang Zeolit dan dibeli dalam bentuk curah (karung 50 kg). Kaptan didapatkan dari Jawa Tengah dan pembelian melalui APPOS. g. Mesin dan peralatan Mesin dan peralatan yang digunakan oleh Bhineka I dalam proses produksi tergolong sederhana dapat dilihat pada Tabel 6. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Tabel 6. Rincian Peralatan dan Fungsinya dalam Pembuatan Pupuk Organik Bhineka I Jumlah Jenis Peralatan Fungsi (Unit) Sebagai alas tumpukan kompos Alas bambu 1 dalam proses pengomposan Menghaluskan pupuk organik Mesin giling 1 yang masih kasar Menjahit karung kemasan pupuk Mesin kemas 1 organik Timbangan gantung 100 Menimbang bahan baku dengan 1 kg kapasitas beban dibawah 100 kg Menimbang bahan baku dan Timbangan duduk 500 kg 1 pupuk organik dengan kapasitas beban dibawah 500 kg Sebagai penutup dan alas Terpal 1 sewaktu menjemur Sebagai alat pengaduk bahan Cangkul 4 kompos Sebagai alat pengaduk bahan Sekop 3 kompos Ayakan 1 Menyaring partikel kompos 10 11 12 Drum Garu Embrat /Penyiram 2 1 1 Sebagai tempat penampung air Pengaduk bahan kompos Sebagai alat penyiram 13 Sepatu Boot 2 Melindungi kaki pekerja 14 Ember dan gayung 2 Menampung dan mengambil air 142 2. Penentuan Metode Produksi Proses produksi yang dilakukan oleh Poktan Bhineka I dapat dilihat dari Gambar 4. Proses produksi dimulai dari penyediaan bahan baku hingga penyimpanan produk jadi. Kapasitas produksi Poktan Bhineka I yaitu 25 ton pupuk setiap bulannya. Nilai kapasitas ini diukur berdasarkan luas bangunan pengomposan. Penanganan dan penyimpanan bahan baku Membuat Tumpukan Kompos 15-20 hari Memberikan perlakuan berdasarkan suhu dan kelembapan Pemanenan Penjemuran Pengayakan Penimbangan dan Pengemasan Penyimpanan Pupuk organik Gambar 4. Skema Pembuatan Pupuk Organik Poktan Bhineka I 1. Penanganan dan Penyimpanan Bahan Baku Penanganan dan penyimpanan bahan baku mempengaruhi kualitas pengomposan. Bahan baku seperti kotoran dan limbah jamur tidak dapat dibiarkan lama di ruangan terbuka karena bahan baku tersebut menjadi padat dan bersifat anaerobik. Jika demikian, maka kualitas dari pupuk organik yang dihasilkan akan menurun. Menurut Djaja (2008), bahan baku seperti kotoran, jerami limbah jamur dan arang sekam diletakkan dan disimpan di tempat yang teduh dan tertutup agar 143 tidak terkena air hujan, angin, dan panas. Tempat yang terbuka memungkinkan zat hara bahan baku tercuci oleh air hujan atau menguap karena terbawa angin dan panas. Namun, tempat yang sangat tertutup pun tidak dianjurkan, karena uap bahan baku dapat menumpuk, sehingga bisa menimbulkan alergi pada pekerja, dan keracunan. Jadi, tempat penyimpanan dan penimbunan yang baik adalah tempat setengah terbuka dan beratap. Poktan Bhineka I hanya memiliki bangunan untuk pengomposan sedangkan ruang penyimpanan bahan baku tidak ada. Bahan baku seperti kotoran dan limbah jamur disimpan di luar tanpa atap (Lampiran 4, Gambar 2 ) dan tidak beralas sehingga dapat dikatakan dalam proses penyimpanan bahan baku, penanganan yang dilakukan kurang baik. 2. Membuat Tumpukan Kompos Proses pengomposan yang dilakukan Poktan Bhineka I dengan metode Jepang. Tumpukan dibuat dengan meggunakan alas bambu untuk mempercepat proses pengomposan. Menurut Sutanto (2002) dan Djaja (2008) tinggi tumpukan kompos yang dianjurkan adalah 1 - 1,5 meter. Pada metode ini, tidak digunakan lubang galian untuk pengomposan tetapi menggunakan bak penampung yang terbuat dari anyaman bambu yang disusun bertingkat (alas bambu). Fungsi dari alas bambu tersebut adalah sebagai aerasi (saluran udara). Menurut Sutanto (2002), keunggulan dari metode Jepang adalah memudahkan pengadukan dalam proses pengomposan dan menghindari dari pengurangan nitrat berlebihan akibat pelindian. Sedangkan menurut pengelola, pemilihan metode ini karena mudah diterapkan dan menghasilkan kualitas kompos yang baik.Tumpukan kompos yang terlalu tinggi menyebabkan kekurangan aerasi pada pengomposan. Dalam usaha ini, bahan kompos disusun menurut aturannya dengan tinggi tumpukan kurang lebih 1,5 meter. Setelah tumpukan dibuat, maka yang dilakukan adalah penaburan molase dan penyiraman dengan larutan dekomposer. Keterbatasan luas bangunan produksi dan pasokan bahan baku menyebabkan proses pengomposan dilakukan secara bertahap. Dalam waktu satu bulan, Poktan Bhineka I hanya dapat memproduksi 25 ton pupuk atau 5 tumpukan. Tumpukan kompos dibuat setiap 3 hari sekali dengan volume tumpukan sekitar 12 meter kubik (1,5m x 1,5 m x 4m) atau dengan berat sekitar 5 ton. 144 Zeolit Kapur Kotoran Sapi/Domba Arang Sekam Jerami Limbah Jamur Kotoran Ayam Alas Bambu Gambar 5. Susunan Tumpukan Kompos Pada Lampiran 6 dapat dilihat alur proses pengomposan bertahap. Setelah tumpukan 1 dibuat maka tahap berikutnya adalah membiarkan tumpukan mengalami proses pengomposan sambil memberi perlakuan (pembalikan atau penyiraman). Lima hari kemudian, tumpukan kedua dibuat dan sambil tetap mengontrol kondisi tumpukan 1 hingga matang. Proses ini berlangsung terus menerus selama bahan baku tersedia. 3. Memberikan perlakuan berdasarkan suhu dan kelembapan Setelah dilakukan penumpukan, maka dalam beberapa hari suhu tumpukan akan naik perlahan-lahan yang menandakan bakteri sedang bekerja. Kondisi tumpukan harus terus terpelihara agar kegiatan pelapukan bahan oleh jasad renik berlangsung dengan baik. Perlakuan yang dilakukan antara lain: a. Pemantauan suhu Suhu yang diinginkan selama proses pelapukan berkisar antara 45-65oC. Pengukuran suhu biasanya hanya dirasakan dengan tangan. Bila suhu tumpukan diatas 65oC maka harus dilakukan pembalikan sekaligus penyiraman. Tujuan pembalikan yaitu : (1) meratakan proses pelapukan di setiap bagian tumpukan, (2) membuang panas yang berlebihan, (3) memasukkan udara segar kedalam tumpukan, (3) meratakan pemberian air, dan (4) membantu penghancuran bahan. Jika suhu dibawah 45 oC maka yang dilakukan adalah dengan menutup sedikit tumpukan dan penambahan dekomposer. b. Pemeriksaan kelembapan Kondisi kelembapan yang ingin dicapai yaitu 50 persen dimana jika bahan kompos diremas maka akan terdapat sedikit air pada sela tangan. Jika bahan 145 terlalu kering, dimana saat diremas tidak keluar air dan terlalu remah sehingga harus dilakukan penyiraman. Akan tetapi, jika saat diremas terlalu banyak air maka harus dilakukan pembalikan agar uap air keluar dari tumpukan kompos. 4. Pemanenan Kompos yang siap dipanen memiliki ciri-ciri yaitu suhu rata-rata setelah dua minggu menurun hingga dibawah 45oC dimana bahan kompos telah menyerupai tanah dan warnanya coklat kehitaman. Setelah pengomposan selesai, bahan kompos dijemur terlebih dahulu beberapa jam sebelum dikemas. 5. Penjemuran Bahan kompos yang telah matang kemudian dijemur atau dikeringkan terlebih dahulu sebelum dikemas. Hal ini bertujuan untuk menormalkan suhu bahan kompos dan mengeringkannya. Penjemuran membutuhkan waktu 1-3 hari tergantung dari hasil pengomposan dan cuaca. Jika hasil pengomposan cukup kering saat cuaca kemarau maka penjemuran bisa dilakukan dalam waktu sehari. Penjemuran dilahan kosong disebelah ruang pengomposan. Lokasi penjemuran belum bersemen sehingga digunakan terpal sebagai alas penjemuran (Lampiran 5, Gambar 5). 6. Pengayakan Pengayakan dilakukan untuk memisahkan sampah dan bahan yang tidak terkomposkan sehingga didapatkan pupuk organik bersih. 7. Penimbangan dan Pengemasan Bahan kompos yang telah diayak kemudian dimasukkan ke dalam karung dan ditimbang. Masing-masing karung berisi pupuk organik seberat 50 kilogram. Setelah ditimbang, karung tersebut kemudian dijahit dan pupuk siap dijual. Kemasan yang digunakan Poktan Bhineka I adalah karung goni plastik. 8. Penyimpanan pupuk organik Pupuk yang dikemas kemudian disimpan di tempat yang teduh dan beratap agar tidak terkena cahaya matahari langsung dan hujan. Proses penyimpanan pupuk organik dalam usaha ini kurang baik. Pupuk disimpan diruang terbuka menyebabkan pupuk mengalami pengikisan air hujan dan terlalu kering saat kemarau (Lampiran 5, Gambar 6). 146 3. Penentuan Lokasi Lokasi kantor dan pabrik pupuk organik berada di dusun IV Desa Blendung pada lahan seluas 1500m2 dengan luas bangunan 8m x 20m. Lokasi usaha ini berdekatan dengan lokasi usaha pembibitan Poktan Bhineka I, usaha peternakan ayam milik pengelola, usaha perikanan dan usahatani padi sawah milik warga. Denah lokasi dari usaha ini dapat dilihat pada Lampiran 4. 1. Letak pasar yang dituju Jarak lokasi usaha dengan pasar mempengaruhi besarnya biaya pemasaran. Oleh karena itu, kedekatan lokasi usaha dengan pasar penting untuk di analisis. Penjualan pupuk organik yang dilakukan oleh Poktan Bhineka I dengan cara penjualan di tempat dimana biaya pengangkutan tidak ditanggung oleh penjual. Oleh karena itu, jarak tidak menjadi masalah yang berarti bagi penjual. Sebagian besar pembeli pupuk berlokasi di wilayah sekitar Kabupaten Subang. Konsumen menganggap bahwa lokasi dari usaha ini cukup terjangkau. 2. Kedekatan dengan bahan baku Bahan baku utama dari usaha ini adalah kotoran hewan, jerami dari limbah jamur dan arang sekam. Kotoran hewan seperti sapi dan domba didapat dari peternak sekitar lingkungan usaha yaitu peternak dari Desa Blendung sendiri dan dari desa sekitar seperti Desa Koranji dan Panyingkiran. Sedangkan untuk kotoran ayam diperoleh dari kandang ayam milik pengelola (Bapak Dedy Sobandi). Limbah jamur diperoleh dari Desa Rancabango dimana di daerah tersebut terdapat 20 pengusaha budidaya jamur. Arang sekam diperoleh dari limbah usaha pembuatan kerupuk dan usaha pembuatan bata yang berada di Kalijati yang berjarak sekitar 10 km dari lokasi usaha. Untuk bahan bantu seperti fosfat alam, molase, zeolit dan lain-lain diperoleh dari luar Subang yaitu Jakarta dan Bandung dan dipesan melalui APPOS. 3. Air dan listrik Air sebagai bahan bantu, berperan penting dalam keberhasilan proses produksi. Oleh karena itu, ketersediaan air penting bagi usaha ini. Usaha ini menggunakan air tanah dalam proses produksi. Berdasarkan laporan penyuluhan pertanian 2007, Desa Blendung memiliki drainase yang baik sehingga ketersediaan air cukup dan terjamin. 147 4. Suplai tenaga kerja Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan rata-rata per bulannya yaitu 5 orang yang berasal dari lingkungan sekitar dengan tingkat pendidikan terakhir SD. Ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses produksi pupuk organik Poktan Bhineka cukup terjamin. 5. Fasilitas transportasi Desa Blendung memiliki jalan utama desa dalam kondisi baik dan beraspal. Lokasi usaha berada sekitar 300 meter dari jalan utama desa dengan kondisi jalan kurang baik dan belum beraspal. 6. Iklim dan keadaan tanah Menurut Djaja (2008), cuaca berpengaruh dalam pembuatan pupuk organik terutama dalam pengomposan. Cuaca yang terlalu kering dengan temperatur yang tinggi menyebabkan penguapan yang tinggi. Sedangkan pada musim hujan mengakibatkan terjadinya pencucian mineral bahan baku jika penyimpanan bahan baku tidak dilakukan dengan baik. Cuaca yang terlalu basah dengan kelembapan yang tinggi juga mengakibatkan bahan baku mudah busuk. Lokasi usaha berada di Desa Blendung yang terletak di wilayah dataran sedang dengan ketingggian 35 mdl. Wilayah ini memiliki curah hujan 1.721 mm dengan 6 bulan hujan dan 6 bulan kering. Suhu rata-rata harian adalah 29 derajat celcius. Berdasarkan kondisi geografisnya, maka Desa Blendung cocok dijadikan lokasi pengomposan. Tingkat produksi yang lebih tinggi dapat dilakukan pada saat musim kemarau daripada musim hujan karena saat musim kemarau proses pematangan kompos lebih cepat. 7. Sikap masyarakat Proses pembuatan pupuk organik menghasilkan bau sehingga pemilihan lokasi harus mempertimbangkan kedekatan dengan lokasi pemukiman masyarakat. Lokasi usaha pembuatan pupuk organik Bhineka I berada jauh dari pemukiman penduduk sehingga tidak menimbulkan masalah sosial. Selama berlangsungnya usaha pembuatan pupuk organik, Poktan Bhineka I mendapat dukungan dari masyarakat. 148 8. Rencana untuk perluasan usaha Lokasi tempat proses pembuatan pupuk organik ini berada dilahan seluas 2 1500m milik pengelolanya yaitu Bapak Dedi Sobandi. Luas banguan proses pengomposan yaitu 7x20 meter. Pemanfaatan lahan ini sebagai lokasi usaha baru sekitar 50 persen sehingga perluasan usaha dapat dilakukan. 6.1.2 Hasil Analisis Aspek Teknis dan Teknologi Analisis yang dilakukan terhadap aspek teknis dan teknologis usaha Poktan Bhineka I menghasilkan beberapa hal yang menjadikan usaha ini layak untuk dijalankan dan dikembangkan. Kriteria-kriteria yang menyebabkan usaha ini menjadi layak untuk dikembangkan berdasarkan analisis aspek teknis dan teknologi : 1. Ketersediaan dan kualitas bahan baku Usaha Poktan Bhineka I memanfaatkan 90 persen limbah sebagai bahan baku utama pupuk organik. Ketersediaan dari bahan baku seperti limbah jamur, arang sekam dan kotoran hewan cukup melimpah di daerah sekitar tempat usaha. Berdasarkan data produksi kotoran hewan di sekitar Desa Belendung (Tabel 5), ketersediaan kotoran hewan mencapai 181,9 ton per bulan. Sedangkan pemanfaatan kotoran hewan baru mnecapai 7,5 persen (13,8 ton). Peningkatan kapasitas produksi dua kali lipat tidak akan mengalami kendala dalam pasokan kotoran hewan. Ketersediaan jerami juga cukup terjamin mengingat disekitar Desa Belendung merupakan sawah padi. Berdasarkan data luas panen padi sawah di Kecamatan Purwadai Tahun 2007 denga produksi jerami 5 ton per hektar maka ketersediaan jerami yaitu sekitar 1750 ton per bulan. Sedangkan pemanfaatan jerami baru mencapai 24,5 ton (12,5 persen). Poktan Bhineka I memiliki banyak pemasok dan tidak tergantung pada satu pasokan. Hal ini juga menyebabkan Poktan Bhineka I dapat mengontrol kualitas pasokan bahan baku. Kotoran hewan dipasok dari peternakan anggota Bhineka I, peternakan warga sekitar atau peternakan besar (PT Kresna). Begitu juga dengan arang sekam yang memiliki beberapa pemasok (usaha-usaha kerupuk, usaha-usaha pembuatan batu bata) dan jerami (usaha-usaha jamur dan petani-petani setempat). Sedangkan untuk bahan tambahan seperti molase, dekomposer, zeolit dan lain-lain, ketersediaannya cukup dan tidak menjadi masalah. Hal ini dikarenakan bahan-bahan tambahan tersebut 149 diperoleh dari APPOS yang juga dapat berfungsi layaknya koperasi bagi anggotanya. Jika kedepannya usaha ini mengalami peningkatan kapasitas dua kali lipat, maka kebutuhan bahan baku untuk memenuhi permintaan tersebut dipastikan tercukupi. 2. Lokasi produksi Lokasi usaha produksi pupuk organik Bhineka I sangat strategis dimana usaha ini berada di Desa Blendung yang memiliki jalan desa cukup baik. Akses lokasi terhadap bahan baku dan pasar juga terjangkau. Kondisi geografis lokasi usaha juga mendukung. Selain itu, lokasi produksi berada jauh dari pemukimam penduduk dan berada di lahan yang cukup luas. Sehingga jika dilakukan pengembangan usaha, tidak akan terhambat dengan masalah lokasi produksi. 3. Pemilihan teknologi pengomposan yang tepat Metode pengomposan yang dilakukan oleh Poktan Bhineka I merupakan metode yang sederhana dan mudah dilakukan yaitu metode Jepang. Kelebihan dari metode ini dibandingkan dengan metode lain untuk diterapkan Bhineka I adalah : (1) Lebih menghemat tenaga kerja karena proses pembalikan dan penumpukan praktis sehingga mengurangi biaya upah, (2) Sesuai dengan kondisi geografis lokasi pengomposan dan jenis bahan kompos yang digunakan dan (3) Dapat mengomposkan lebih banyak bahan kompos dengan luas bangunan yang terbatas. Akan tetapi, terdapat juga pertimbangan-pertimbangan yang menyebabkan usaha ini menjadi tidak layak jika ditinjau dari aspek teknis yaitu belum ada uji mutu pupuk organik. Pupuk organik yang dihasilkan oleh Poktan Bhineka I belum ada uji mutu sesuai standarisasi pupuk organik yaitu kandungan C organik, C/N ratio, kadar air, kadar logam berat dan bahan ikutan. Uji mutu pupuk organik penting untuk meningkatkan keyakinan pembeli terhadap kualitas produk. Hasil uji mutu pada umumnya ditunjukkan dalam kemasan pupuk organik (Lampiran 5, Gambar 7). Menurut pengelola, belum dilakukannya pengujian mutu organik karena belum adanya tuntutan dari pembeli terhadap uji mutu dan keterbatasan dana. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, maka secara umum usaha pembuatan pupuk organik Poktan Bhineka I dinilai layak untuk ditingkatkan 150 kapasitas usaha jika dikaji secara aspek teknis dan teknologi. Hal ini dikarenakan atas pertimbangan yang berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan skala usaha dan keberlanjutan usaha yaitu ketersediaan bahan baku dan lokasi strategis. 6.1.3 Aspek Pasar Aspek pasar digunakan untuk mengkaji mengenai potensi pasar produk pupuk baik dari sisi permintaan, penawaran maupun harga yang berlaku, juga strategi pemasaran yang dilakukan perusahaan menyangkut bauran pemasaran yaitu harga, tempat, promosi, dan distribusi. 1. Bentuk Pasar Bentuk pasar yang dihadapi oleh Poktan Bhineka I jika dilihat dari sisi produsen adalah pasar oligopoli. Karakteistik pasar oligopoli yaitu ; (1)Terdapat beberapa perusahaan (penjual) yang menguasai pasar, baik secara independen (sendiri-sendiri) maupun secara bersama-sama, (2) Terdapat rintangan untuk memasuki pasar, dan (3) Setiap keputusan harga yang diambil oleh suatu perusahaan (penjual) harus dipertimbangkan oleh perusahaan lain atau melalui kesepakatan. Menurut Sudarsono (1995) masing-masing perusahaan dalam pasar oligopoli mempunyai hubungan interdependensi diantara yang satu dengan yang lainnya. Dalam industri pupuk organik di Kabupaten Subang terdapat 32 produsen pupuk organik yang tergabung dalam APPOS. APPOS berperan dalam pembentukan harga Rp 650 per kilogram untuk pupuk organik curah yang telah distandarisasi atas kesepakatan bersama. 2. Permintaan dan penawaran pupuk organik Subang memiliki luas areal pertanian yang cukup besar yaitu 63 persen (129.975 Ha) dari total luas lahan (205.176 Ha). Berdasarkan anjuran pemakaian bahan organik (Balitan 2005) dimana setiap hektar lahan memerlukan minimal 2 ton pupuk organik per tahun, maka kebutuhan pupuk organik Subang sekitar 259.950 ton per tahun. Dari kebutuhan tersebut, hanya 1 persen atau 2200 ton per tahun yang dapat disediakan oleh APPOS. Hal itu menunjukkan prospek pasar dari usaha penyediaan pupuk organik kedepannya sangat prospektif. Sejak berdiri dari tahun 2008 hingga Agustus 2009, Poktan Bhineka I menghadapi permintaan yang meningkat hingga 90 persen dari 120 ton pada tahun 2008 menjadi 230 ton hingga Agustus 2009 (Tabel 4). Bahkan menurut 151 pengelola, ada permintaan yang tidak dapat dipenuhi sekitar 20 ton pada bulan Juli 2009. Permintaan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Poktan Bhineka I karena kapasitas produksi. Poktan Bhineka I berencana meningkatkan kapasitas produksinya, dimasa yang akan datang agar dapat memenuhi semua permintaan yang datang. Tabel 7. Penjualan Pupuk Organik Tahun 2008 hingga September 2009 Jumlah Penjualan (ton) Bulan ke- Tahun 1 2 3 4 2008 - - - 4 2009 6 4 4 5 5 11 Total 6 7 8 9 10 11 12 30 20 20 20 - 20 6 120 20 50 90 40 - - - 230 3. Strategi Pemasaran a. Segmentation, Targeting and Positioning (STP) Segmentasi adalah penggolongan konsumen yang ada dan potensial bagi produk dan jasa atas dasar kebutuhan dan keinginan mereka secara umum. Segmen pasar dari pupuk organik Bhineka I adalah pelaku agribisnis budidaya tanaman perkebunan, pangan maupun hias yang berlokasi di sekitar Kabupaten Subang. Segmen pasar diklasifikasikan berdasarkan jenis usaha adalah: 1. Pelaku Bisnis Tanaman Perkebunaan Aktivitas agribisnis perkebunan di Kabupaten Subang cukup tinggi sehingga diperkirakan permintaan pupuk cukup tinggi dari segmen ini. Permintaan pupuk organik Poktan Bhineka I datang dari perkebunan pepaya, rambutan, kacang koro, coklat dan kelengkeng yang berada di Desa Blendung dan desa sekitarnya. 2. Petani Tanaman Pangan Petani yang mengusahakan tanaman pangan seperti padi, cabai dan berbagai jenis sayuran yang berada di sekitar Desa Blendung menjadi segmen pasar dari Poktan Bhineka I. Jumlah permintaan pupuk oleh segmen pasar ini cukup tinggi dan kontinu walaupun dalam jumlah yang relatif kecil. Rata–rata permintaan pupuk dari kelompok ini adalah 2 ton per bulannya. 152 3. Pelaku Bisnis Tanaman Hias Pelaku bisnis tanaman hias merupakan segmen pasar dari upuk organik Bhineka I dengan ukuran pasar yang kecil. Permintaan dari segmen pasar ini relatif tidak kontinu dan dalam jumlah kecil. Setelah dilakukan pengelompokan konsumen (segmentation), maka hal yang kemudian dilakukan adalah menetukan target pasar. Pelaku bisnis perkebunan menjadi terget pasar karena permintaan dari segmen ini paling besar yaitu sekitar 80 persen. Penetapan posisi (positioning) yaitu tindakan merancang tawaran dan citra perusahaan sehingga menempati posisi yang khas (diantara para pesaing) di dalam benak pelanggannya. Positioning produk pupuk organik Bhineka I dipasar adalah produk yang berkualitas standar dengan harga standar. Produk yang dihasilkan oleh Bhineka I memiliki standar umum pupuk organik. Citra khusus dari pupuk organik UMKM termasuk Poktan Bhineka I adalah pupuk organik karya petani kecil. Citra tersebut mengartikan bahwa dalam pembelian pupuk organik dari anggota APPOS tidak hanya mendapatkan keuntungan ekonomi tetapi juga sosial karena telah meningkatkan kesejahteraan kelompok tani. Dengan citra tersebut, Poktan Bhineka I mendapat dukungan besar dari pemerintah terutama dalam hal promosi. Pemerintah Daerah Subang merekomendasikan kepada perkebunan besar untuk membeli pupuk organik dari anggotan APPOS. Persaingan yang dihadapi oleh Poktan Bhineka I dalam usaha pupuk tidak berasal dari usaha-usaha lain yang tergabung dalam APPOS akan tetapi dari perusahaan pupuk BUMN yang berlokasi di Subang seperti Petrokimia dan Kujang. Perusahaan pupuk tersebut berencana akan memproduksi pupuk organik dan memasarkannya pada tahun 2010 atas kebijakan pemerintah dengan harga yang telah disubsidi yaitu Rp 500 per kilogram. Kebijakan tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan industri pupuk oganik yang ada di Subang gulung tikar. Untuk menghadapi masalah tersebut, APPOS telah melakukan perundingan dengan pemerintah Subang dan pihak perusahaan pupuk Kujang. Hasil kesepakatan awal adalah bahwa industri kecil pupuk organik berperan sebagai pemasok bahan baku bagi pupuk Kujang dan Petrokimia. UKM penghasil pupuk memasok bahan mentah pupuk yang sudah dikomposkan. Menurut pihak APPOS, hasil 153 kesepakatan ini masih belum menjadi solusi yang tepat untuk dijalankan karena masih merugikan bagi pihak industri kecil. b. Kebijakan produk Produk yang dihasilkan oleh Poktan Bhineka I adalah pupuk organik padat. Pupuk dijual dalam bentuk curah dengan satuan pembelian yaitu karung isi 50 kilogram. Kualitas pupuk organik yang diproduksi oleh Kelompok Tani Bhineka I dikatakan cukup baik jika dilihat secara fisik. Kualitas pupuk organik secara kimia tidak diketahui karena belum pernah dilakukan uji laboratorium. Kualitas fisik dari pupuk organik Bhineka I baik dilihat dari sifat fisik organik antara lain; (1) Warna yang gelap menuju hitam, (2) Bau seperti tanah, (3) Ukuran partikel serbuk gergaji dan (4) Bila dikepal tidak mengumpal keras. c. Kebijakan Harga Kelompok tani Bhineka I menetapkan harga berdasarkan kesepakatan yang ditetapkan oleh APPOS yaitu 650 per kilogram. Harga tersebut dikenakan untuk pembelian dengan syarat FOB shipping point dimana pembeli yang menanggung biaya transportasi. d. Kebijakan Promosi Poktan Bhineka I tidak melakukan kegiatan promosi. Produsen pupuk yang tergabung dalam APPOS tidak melakukan promosi sendiri-sendiri tetapi atas nama APPOS. Promosi APPOS termasuk didalamnya Poktan Bhineka I didukung oleh Pemkab Subang melalui Dinas Pertanian, Dirjen Perkebunan Subang dan Dinas Perindustrian. Promosi yang dilakukan APPOS tersebut dilakukan dari mulut ke mulut, melalui pameran, dan internet. e. Kebijakan Distribusi Distribusi pemasaran pupuk organik kelompok tani Bhineka I dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pada pola distribusi langsung, penjualan dilakukan dengan syarat FOB shipping point dimana biaya angkut dalam proses penjualan ditanggung oleh produsen. Harga jual adalah Rp 650 per kilogram. 154 Pelaku bisnis perkebunan Poktan Bhineka I Petani tanaman pangan Pelaku bisnis tanaman hias Gambar 6. Bagan Distribusi Langsung Pupuk Organik Poktan Bhineka I Pada pola distribusi tidak langsung, pupuk dipasarkan melalui APPOS dengan harga Rp 650 per kilogram dengan pembelian ditempat produksi. Kemudian APPOS menyalurkan kepada konsumennya (pelaku bisnis perkebunan dan tanaman pangan) sebesar Rp 800 per kilogram. Konsumen dari penyaluran pupuk organik APPOS adalah petani sayur, petani buah dan pelaku bisnis perkebunan. Pelaku bisnis Perkebunan Kelompok Tani Bhineka I APPOS Petani Tanaman pangan Gambar 7. Bagan Distribusi Tidak Langsung Pupuk Organik Bhineka I 6.1.4 Hasil Analisis Aspek Pasar Pengkajian aspek pasar berfungsi menghubungkan manajemen suatu organisasi dengan pasar yang bersangkutan melalui informasi. Dari hasil analisis terhadap aspek pasar dapat dinilai apakah suatu usaha marketable atau tidak. Analisis yang dilakukan terhadap aspek pasar usaha Poktan Bhineka I menghasilkan beberapa hal yang menjadikan usaha ini layak untuk dijalankan dan dikembangkan. Kriteria-kriteria yang menyebabkan usaha ini menjadi layak untuk dikembangkan berdasarkan analisis pasar : 155 1. Potensi pasar Ketersediaan pupuk organik di Indonesia baru mencapai dua persen dari total kebutuhan. Hal ini menunjukkan potensi pasar pupuk organik di Indonesia sangat besar. Untuk Kabupaten Subang, ketersediaan pupuk organik baru mencapai 1 persen dari total kebutuhan pupuk organik. Permintaan puupk organik yang dihadapi oleh Poktan Bhineka I meningkat hingga 90 persen dari 120 ton pada tahun 2008 menjadi 230 ton hingga Agustus 2009 (Tabel 4). Bahkan menurut pengelola, ada permintaan yang tidak dapat dipenuhi sekitar 20 ton pada bulan Juli 2009. Permintaan juga kedepannya diperkirakan akan meningkat dengan adanya sosialisasi pemakaian pupuk organik menuju Subang Go Organik 2010 yang dilakukan oleh Pemkab Subang. 2. Adanya APPOS yang mengatur pasar pupuk organik di Subang APPOS memiliki peran yang besar dalam kelangsungan usaha kecil pupuk organik di Subang. APPOS menetapkan harga eceran terendah pupuk organik untuk melindungi produsen. Selain itu, APPOS juga membantu mempromosikan pupuk organik buatan anggotanya. Adanya APPOS membuat posisi tawar (bargaining position) dari UKM pupuk orgnaik di Subang cukup kuat. Akan tetapi, terdapat ancaman yang menyebabkan usaha ini tidak layak kedepannya yaitu penurunan harga jual karena masuknya supply pupuk organik bersubsidi. Penunjukan perusahaan pupuk nasional sebagai supplier pupuk organik memberikan dampak positif bagi konsumen tetapi dampak negatif bagi produsen. Pemerintah menunjuk PT Petrokimia dan PT Kujang sebagai supplier pupuk organik di Subang dan berencana akan memasok pupuk organik bersubsidi seharga Rp 500 per kilogram. Hal ini akan mempengaruhi harga pasar mengalami penurunan harga hingga Rp 500. Menurut ketua APPOS, UKM pupuk organik di Subang tidak dapat menutupi biaya produksi dengan harga Rp 500. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan industri pupuk kecil di Subang akan gulung tikar. Untuk mengatasi masalah tersebut, APPOS telah melakukan perundingan dengan perusahaan-perusahaan tersebut untuk menyelesaikan masalah ini. Akan tetapi, hingga September 2009 perundingan belum mencapai kesepakatan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, maka secara umum usaha pembuatan pupuk organik Poktan Bhineka I dinilai layak untuk ditingkatkan 156 kapasitas usaha jika dikaji secara aspek pasar. Hal ini dikarenakan atas faktor yang berpengaruh signifikan terhadap peningkatan skala usaha pupuk organik Bhineka I dan keberlanjutan usaha yaitu potensi pasar dan kekuatan pasar (bargaining position) yang kuat karena adanya APPOS. 6.1.5 Aspek Manajemen Usaha pupuk organik Bhineka I didirikan pada tahun 2007 atas mandat dari Pemkab Subang dimana setiap desa hendaknya memiliki usaha pembuatan pupuk organik yang dikelola oleh kelompok tani untuk memenuhi kebutuhan pupuk organik di setiap desa. Tujuan dari usaha ini didirikan adalah memenuhi kebutuhan organik petani Desa Blendung dan sekitarnya. Visi dan misi dari usaha ini sama dengan visi dan misi Poktan Bhineka I. Anggota Poktan Bhineka I menyerahkan tanggung jawab pengelolaan usaha ini kepada Bapak Dedi Sobandi. Struktur organisasi dari usaha memiliki tipe organisasi lini. Tipe organisasi ini memiliki struktur organisasi sederhana, jumlah karyawan kecil dan spesialisasi kerja belum tinggi. Bagan organisasi dapat dilihat pada Gambar 8 dimana terdiri dari pengelola, penanggung jawab produksi, penjualan dan keuangan. Pusat wewenang dari usaha pupuk organik Bhineka I telah diberikan kepada Bapak Dedi Sobandi. Menurut Schroef dalam Wibowo (2002), pusat wewenang adalah orang yang memegang kewenangan tertinggi untuk mengambil keputusan, memerintah, dan sekaligus bertanggung jawab atas keberhasilan organisasi mencapai sasaran. Pengelola Dedi Sobandi Penanggung Jawab Produksi Urip Penanggung Jawab Penjualan Agus Penanggung Jawab Keuangan Adok Gambar 8. Bagan Organisasi Usaha Pupuk Organik Poktan Bhineka I Struktur organisasi dari usaha pupuk organik Poktan Bhineka I sangat sederhana dan jelas. Pada umumnya skala usaha kecil memiliki bentuk organisasi yang 157 sangat sederhana untuk memudahkan dalam mengendalikan organisasi. Tugas dan wewenang dari penanggung jawab diuraikan sebagai berikut : 1. Penanggung Jawab Produksi Penanggung jawab produksi usaha ini adalah Bapak Urip yang merupakan anggota Bhineka I dan juga memiliki ikatan keluarga dengan pengelola. Tugas yang diberikan yaitu melakukan pengawasan terhadap proses produksi sedangkan wewenangnya adalah pengendali produksi dan penentu tenaga kerja yang digunakan dalam produksi pupuk organik. Bapak Urip memiliki usia 42 tahun dengan pendidikan terakhir yaitu Sekolah Dasar. Bapak Urip juga berperan sebagai pekerja pembuatan pupuk organik. 2. Penanggung Jawab Penjualan Penanggung jawab penjualan diberikan kepada Bapak Agus yang juga merupakan anggota Bhineka I dan memiliki ikatan keluarga dengan pengelola. Bapak Agus berusia 23 tahun dengan pendidikan terakhir Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP). Bapak Agus juga berperan sebagai tenaga kerja dalam pengemasan pupuk organik. Tugas dari Bapak Agus yaitu melayani pembelian pupuk organik, mencatat transaksi penjualan dan melaporkannya kepada pengelola. Wewenang yang diberikan yaitu mengatur penjualan dan memilih serta merekrut tenaga kerja dalam pengemasan. 3. Penanggung Jawab Keuangan Penanggung jawab keuangan adalah Bapak Adok yang merupakan anggotan Bhineka I dan memiliki ikatan darah dengan pengelola. Bapak Adok berusia 36 tahun dengan pendidikan terakhir Sarjana Pendidikan. Tugas dari Bapak Adok adalah mencatat pendapatan dan pengeluaran uang (kas) dari usaha ini kemudian melaporkannya kepada pengelola. Wewenang dari Adok adalah sebagai pemegang kas. Sistem penggajian dari usaha pupuk organik Bhineka I untuk tenaga kerja langsung dalam produksi yaitu sistem HOK dimana satu hari kerja 8 jam. Tenaga kerja berasal dari Desa Blendung. Harga per HOK yaitu Rp 25.000 pada tahun 2008 dan Rp 30.000 pada tahun 2009. Sedangkan untuk tenaga kerja pengemasan diberi upah per hasil karung yang dikemas yaitu Rp 1000 per karung pada tahun 158 2008 dan Rp 1500 per karung. Untuk penanggung jawab, tidak diberikan gaji tetapi berupa bagi hasil dari pemilik. 6.1.6 Hasil Analisis Kelayakan Aspek Manajemen Berdasarkan hasil kajian terhadap aspek manajemen usaha ini, secara umum usaha ini dinilai layak jika ditinjau dari aspek manajemen. Usaha pupuk organik Bhineka I telah memiliki pembagian tugas dan wewenang yang jelas. Usaha ini telah menjalankan manajemen usaha sederhana yang cukup baik dimana telah terjadi pembagian tugas dan wewenang. Akan tetapi terdapat beberapa hal yang menjadi kendala dalam peningkatan skala usaha ini kedepannya, yaitu : 1. Rangkap tugas penanggung jawab Dalam usaha pupuk organik Bhineka I, penanggung jawab produksi dan penjualan merangkap juga sebagai pekerja. Hal ini dapat menyebabkan tugas dan wewenang yang diberikan kepada penanggung jawab tidak dapat dilaksanakan dengan baik. 2. Administrasi Sistem pembukuan atau administrasi usaha Poktan Bhineka I dinilai kurang baik. Pencatatan yang dilakukan hanya pencatatan pengeluaran dan pemasukan kas per transaksi. Pencatatan dinilai tidak rapi dan tidak sistemik. Menurut Wibowo (2002) dalam bukunya yang berjudul “Pedoman Mengelola Perusahaan Kecil”, sistem pembukuan usaha kecil yang baik setidaknya memuat beberapa hal penting yaitu : (1) Daftar inventaris, (2) Catatan keluar masuk kas, (3) Buku penjualan dan pembelian, (3) Catatan perjanjian dagang dan (5) Catatan produksi 3. Pengelolaan keuangan yang kurang baik. Salah satu akibat dari pembukuan yang buruk adalah pengelolaan keuangan yang kurang baik. Usaha ini belum menyusun laporan keuangan seperti laporan laba rugi, arus kas dan neraca. Penyusunan anggaran belanja usaha hanya dilakukan diawal pendirian usaha saja sedangkan selanjutnya tidak. Pengaturan keuangan merupakan hal yang sering diabaikan oleh usaha kecil yang menyebabkan usaha kecil sulit berkembang. Menurut Iqbal dan Simanjuntak (2004) dalam bukunya yang berjudul “Solusi Jitu Bagi Pengusaha Kecil dan 159 Menengah” menyatakan seringnya usaha kecil kurang mengontrol pengeluaran dan pemasukan uang menyebabkan kurangnya penyertaan modal dalam usaha kecil. 6.1.7 Aspek Hukum Usaha yang dikelola oleh Bhineka I ini merupakan usaha atas nama bersama yaitu kelompok tani Bhineka I tetapi tanggung jawab pengelolaannya diserahkan kepada Bapak Dedi Sobandi. Bapak Dedi Sobandi bertanggung jawab terhadap untung rugi usaha. Hal ini dikarenakan modal usaha dalam menjalankan usaha ini sebagian besar dari Bapak Sobandi. Usaha ini akan terus berjalan atas nama Poktan Bhineka I karena mandat dari Pemerintah Kabupaten Subang. Dari awal usaha hingga September 2009, usaha ini belum memiliki SIUP dan pengelola berencana membuat SIUP pada tahun 2010. 6.1.8 Hasil Analisis Kelayakan Aspek Hukum Usaha pupuk organik Poktan Bhineka I belum memiliki bentuk badan usaha dan SIUP. Hal ini menyebabkan usaha ini sulit memperoleh pinjaman modal dari bank untuk pengembangan usaha. Persyaratan dalam memperoleh Kredit Usaha Rakyat untuk badan usaha kecil menengah adalah menyertakan minimal SIUP untuk batas pinjaman maksimal 100 juta. Pengelola berencana mengurus izin usaha tersebut pada tahun 2010. Usaha pupuk organik memiliki status kepemilikan yang belum jelas. Selama ini usaha berjalan atas nama Poktan Bhineka I, akan tetapi pengelolaan mutlak dimilki oleh Bapak Dedi Sobandi dan keluarga. Adanya badan usaha dan kejelasan dari kepemilikan usaha sangat penting dalam berjalannya suatu usaha terutama dalam pengurusan izin usaha. Berdasarkan uraian tersebut, maka secara umum dapat dinilai bahwa usaha Poktan Bhineka I dikatakan tidak layak ditinjau dari aspek hukum. Hal ini dikarenakan faktor ketidakjelasan kepemilikan usaha. 6.1.8 Aspek Sosial dan Lingkungan Usaha yang dikelola oleh kelompok tani Bhineka I bukan merupakan suatu usaha yang hanya berorientasi pada keuntungan (profit oriented) bagi anggota akan tetapi juga suatu usaha yang bersifat sosial. Pada dasarnya, usaha ini 160 didirikan bertujuan untuk meningkatkan pertanian organik khususnya di Desa Blendung dan juga memperbaiki kondisi lahan yang telah rusak. Masyarakat Desa Blendung sangat mendukung berdirinya usaha ini karena usaha ini dianggap memberi keuntungan sosial bagi mereka. Adanya dukungan besar masyarakat karena usaha ini telah memberikan lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan peternak yang ada di sekitar Desa Blendung. Masyarakat menyatakan tidak ada dampak negatif seperti pencemaran udara atau air yang mereka rasakan selama usaha ini berjalan. 6.1.9 Hasil Analisis Kelayakan Aspek Sosial dan Lingkungan Berdasarkan hasil analisis terhadap aspek sosial lingkungan usaha pupuk organik Poktan Bhineka I, maka usaha ini dinilai sangat layak dijalankan dan dikembangkan karena memberikan benefit social yang besar bagi lingkungannya.. Dampak negatif atau kerugian sosial dari berjalannya usaha ini tidak dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, usaha ini mendapat dukungan dari masyarakat dan juga pemerintah Berdirinya usaha ini, memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat antara lain : 1. Memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat peternak Masyarakat peternak di Desa Blendung dan desa sekitarnya berperan sebagai pemasok kotoran hewan. Penjualan kotoran hewan meningkatkan pendapatan masyarakat peternak dan menjadi manfaat ekonomi dari berjalannya usaha ini. Nilai manfaat ekonomi yang diberikan usaha ini per bulannya adalah Rp 3.220.000 (penjualan 1,38 ton kotoran). 2. Memberikan manfaat ekonomi bagi UMKM sekitar Usaha ini memberikan tambahan pendapatan bagi usaha pembudidayaan jamur dan UKM kerupuk. Bagi usaha budidaya jamur, usaha ini telah memberikan tambahan pendapatan dari penjualan limbah jamur senilai Rp 600.000 per bulannya. Bagi UKM kerupuk, usaha ini memberikan tambahan pendapatan dari penjualan limbah sekam penggorengan kerupuk senilai Rp 540.000. 3. Mengurangi pengangguran di Desa Blendung 161 Kegiatan produksi dalam usaha pupuk organik Bhineka I telah menyerap tenaga kerja rata-rata 5 orang per bulannya. Oleh karena itu, usaha ini berperan dalam pengurangan pengangguran. 4. Ikut serta dalam melestarikan lingkungan Usaha ini memanfaatkan 90 persen limbah sebagai bahan baku utama. Hal ini memberikan dampak positif bagi lingkungan dengan mengurangi sampah. 6.2 Analisis Aspek Kelayakan Finansial Analisis aspek finansial dalam usaha pupuk organik bertujuan untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan sehingga dapat ditentukan layak atau tidaknya suatu pengusahaan tersebut. Kriteria penilaian investasi yang digunakan yaitu NPV, IRR, Net B/C dan PP. Untuk menganalisis keempat kriteria tersebut, digunakan arus kas (cashflow) sehingga dapat diketahui besarnya manfaat dan biaya yang dikeluarkan oleh Poktan Bhineka I dalam pengusahaan pupuk organik. Pada penelitian ini dilakukan analisis kelayakan finansial untuk mengetahui kelayakan pengusahaan pembuatan pupuk organik. Analisis kelayakan finansial yang dilakukan pada dua kondisi yaitu kondisi yang telah berjalan sekarang (Skenario I) dan kondisi yang akan datang dengan peningkatan kapasitas produksi (Skenario II). Kapasitas produksi ditingkatkan dua kali lipat dari 25 ton per bulan menjadi 50 ton per bulan. Peningkatan kapasitas produksi atas dasar : (1) menyerap potensi pasar besar yang 99 persen belum terserap, (2) memenuhi permintaan dan (3) Memanfaatkan lahan usaha yang masih kosong. Kapasitas hanya ditingkatkan dua kali lipat dengan alasan keterbatasan kemampuan manajemen pengelola dan keterbatasan dana. Untuk mengetahui hasil kelayakan pengusahaan pembuatan pupuk organik akan dilihat dari kriteriakriteria kelayakan finansial yang meliputi NPV, Net B/C, IRR, dan Payback Periode. 6.2.1 Analisis Kelayakan Finansial Skenario I (Tanpa Peningkatan Kapasitas Produksi) 162 Kelayakan finansial suatu usaha ditentukan dengan menganalisis laporan arus kas. Analisis kelayakan finansial skenario I dilakukan pada usaha Poktan Bhineka I dengan kondisi usaha berjalan seperti saat sekarang dimana tingkat produksi yang dihasilkan yaitu 25 ton perbulannya. Perhitungan umur proyek dalam analisis ini dimulai dari tahun ke-1 yaitu tahun 2008. Umur proyek adalah 10 tahun berdasarkan umur bangunan sebagai alat investasi utama. 6.2.1.1 Arus Manfaat (Inflow) Manfaat (Inflow) adalah segala sesuatu yang dapat meningkatkan pendapatan suatu proyek. Pada usaha pembuatan pupuk organik ini, inflow diperoleh dari hasil penjualan dan nilai sisa dari investasi. a. Penerimaan Penjualan Rata-rata penjualan pupuk Poktan Bhineka I per bulan yaitu 25 ton. Harga jual pupuk sebesar Rp 650 per kilogram. Pada tahun 2008, penjualan produk dimulai dari bulan April. Total penjualan pada tahun 2008 yaitu 120 ton per tahun. Hingga September tahun 2009, terjadi peningkatan penjualan mencapai 90 persen menjadi 230 ton (Tabel 6). Penjualan hingga akhir tahun 2009 diasumsikan sebesar 300 ton. Hal ini dikarenakan kemampuan produksi dalam satu tahun yaitu 300 ton. Tahun-tahun berikutnya diperkirakan tidak terjadi peningkatan lagi sebab sudah mencapai batas maksimum kapasitas produksi. Tabel 8. Penerimaan Usaha Pupuk Organik Bhineka I (Skenario I) 1 2 Penjualan (Ton) 120 300 Harga (Rp) 650 650 Penerimaan Total (Rp) 78,000,000 195,000,000 3 300 650 195,000,000 4 300 650 195,000,000 5 6 300 300 650 650 195,000,000 195,000,000 7 300 650 195,000,000 8 300 650 195,000,000 9 10 300 300 650 650 195,000,000 195,000,000 Tahun b. Nilai Sisa (Salvage Value) 163 Selain dari penjualan pupuk, penerimaan perusahaan juga diperoleh dari nilai sisa (salvage value) biaya investasi yang terdapat hingga akhir umur proyek sehingga dapat ditambahkan sebagai manfaat proyek. Penentuan umur ekonomis alat investasi berdasarkan pengalaman pengelola dalam pemakaian alat investasi tersebut. Nilai sisa pada proyek dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 9. Nilai Sisa Investasi (Skenario I) Jenis Investasi Jumlah Harga satuan (Rp) Nilai (Rp) Umur Ekonomi Tanah 1500m2 Bangunan (7x20)m 38,000,000 38,000,000 10 - Alas bambu 1 unit 500,000 500,000 1 - Mesin giling 1 unit 3,000,000 3,000,000 5 - Mesin kemas Timbangan gantung 100kg Timbangan duduk 500 kg 1 unit 650,000 650,000 5 - 1 unit 300,000 300,000 5 - 1unit 500,000 500,000 7 200,000 Terpal 1 Rol 500,000 500,000 2 - Cangkul 4 unit 30,000 120,000 2 - Sekop 3 unit 40,000 120,000 2 - Ayakan 1 unit 10,000 10,000 2 - Ember+ gayung 2 unit 20,000 40,000 1 - Garu 1 unit 15,000 15,000 2 - Embrat/penyiram 1 unit 20,000 20,000 2 - 2 pasang 50,000 100,000 2 - 2 unit 100,000 200,000 2 - Sepatu boot Drum 22,500,000 Nilai Sisa (Rp) Total 66,575,000 22,500,000 22,700,000 Dari tabel ditas dapat dilihat bahwa investasi pada usaha ini memiliki nilai sisa pada tanah dan timbangan duduk. Tanah tidak memiliki umur ekonomis sehingga nilai tanah tidak menyusut. Asumsi nilai sisa tanah pada penelitian ini sama dengan nilai pada pembelian di awal proyek. 6.2.1.3 Arus Biaya (Outflow) Biaya adalah segala sesuatu yang menjadi biaya dan mengurangkan nilai suatu proyek. Arus pengeluaran terdiri dari pengeluaran untuk biaya investasi dan biaya operasional. a. Biaya Investasi dan Reinvestasi 164 Biaya investasi dikeluarkan pada tahun pertama proyek (tahun 2008). Total biaya investasi usaha Poktan Bhineka I senilai Rp 66.575.000. Biaya investasi dikeluarkan oleh pengelola (Dedi Sobandi) setengahnya dari total biaya yaitu Rp 34.575.000 dan sisanya dari bantuan Pemkab Subang (Rp 32.000.000). Biaya investasi terbesar yang dikeluarkan usaha ini adalah bangunan yang seluas 7x20 meter persegi. Nilai investasi tersebut didapat pada tahun 2008. Tabel 10. Rincian Investasi Usaha Pupuk Organik Bhineka I (Skenario I) Jenis Investasi Tanah Bangunan dan instalasi listrik Alas bambu Mesin giling Mesin kemas Timbangan gantung 100kg Timbangan duduk 500 kg Terpal Cangkul Sekop Ayakan Ember+ gayung Garu Embrat/penyiram Sepatu boot Drum Total Jumlah Harga satuan (Rp) 1500m2 Nilai (Rp) 22,500,000 (7x20)m 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 38,000,000 500,000 3,000,000 650,000 300,000 38,000,000 500,000 3,000,000 650,000 300,000 1unit 1 rol 4 unit 3 unit 1 unit 2 unit 1 unit 1 unit 2 pasang 2 unit 500,000 500,000 30,000 40,000 10,000 20,000 15,000 20,000 50,000 100,000 500,000 500,000 120,000 120,000 10,000 40,000 15,000 20,000 100,000 200,000 66,575,000 Selain biaya investasi juga ada biaya reinvestasi yang dikeluarkan oleh perusahaan apabila ada komponen pada investasi telah habis umur ekonomisnya. Komponen investasi yang mengalami reinvestasi jika memiliki umur ekonomis tidak sepanjang umur proyek. Rincian dari biaya reinvestasi dapat dilihat pada Lampiran 8. Total biaya reinvestasi yang dikeluarkan oleh Poktan Bhineka I dari tahun ke-2 hingga umur proyek selesai adalah Rp 36.250.000. Nilai dari biaya reinvestasi per unit diasumsikan tetap atau sama dengan nilai per unit pada tahun 2008. b. Biaya Operasional 165 Biaya operasional terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel meliputi biaya bahan baku dan upah tenaga kerja produksi. Biaya tetap meliputi beban listrik, beban administrasi. Terjadi peningkatan biaya variabel sebesar 17, 14 persen dari tahun 2008 hingga tahun 2009. Total produksi pupuk pada tahun 2008 adalah 120 ton pupuk sehingga total pengeluaran biaya variabel adalah Rp 54.996.000.Pembelian bahan baku dilakukan dengan cara FOB destination dimana harga bahan baku sudah termasuk biaya pengangkutan hingga ke tempat. Dari tabel diatas dapat dilihat rincian biaya produksi pada tahun 2008. Pada tahun 2008, bahan baku merupakan biaya dengan proporsi terbesar yaitu 82.22 persen. Tabel 11. Rincian Biaya Variabel Produksi 10 Ton Pupuk pada Tahun 2008 Uraian Bahan baku : Kotoran Hewan Arang Sekam Jerami Zeolit Dekomposer Molase Total bahan baku Karung Benang Tenaga kerja produksi Upah kemas Total Jumlah Tahun 2008 Nilai per satuan (Rp) 2 bak mobil 180 karung 9 bak mobil 1 kwintal 10 botol 10 kg 1,000,000 /mobil 4000/ karung 200.000/ 3 mobil 78,000/kwintal 2500/ botol 3000/ kg 200 karung 2 gulung 15 HOK 1000/karung 10,000/gulung 25,000/HOK 1000/karung Nilai Total (Rp) 2,000,000 540,000 600,000 78,000 250,000 30,000 3,788,000 200,000 20,000 375,000 200,000 4,583,000 Proporsi biaya (%) 44.71 16.10 13.41 1.74 5.59 0.67 82.22 4.47 0.45 8.38 4.47 100.00 Pada tahun 2009, proporsi biaya bahan baku sebesar 80,17 persen dimana komposisi biaya bahan baku terbesar adalah kotoran hewan. Total produksi pupuk pada tahun 2009 adalah 300 ton pupuk sehingga total pengeluaran biaya variabel adalah Rp 16.940.000. Total biaya variabel mengalami kenaikan pada tahun 2009 sebesar 17,14 persen. Biaya bahan baku mengalami kenaikan sebesar 14,25 persen dimana kenaikan terbesar pada kotoran hewan sebesar 27,5 persen. Hal ini dikarenakan semakin berkembangnya usaha-usaha yang memanfaatkan kotoran hewan sehingga harga kotoran meningkat. Biaya bahan baku yang mengalami penurunan yaitu arang sekam yang turun hingga 33,33 persen. Hal ini dikarenakan 166 sebagian pasokan arang sekam dialihkan dari industri batako ke industri Uraian Tahun 2009 Nilai per satuan (Rp) Jumlah Proporsi Biaya (%) Perubahan biaya (2008-2009) 2,760,000 540,000 600,000 78,000 320,000 30,000 4,328,000 300,000 20,000 51.13 10.00 11.12 1.44 5.93 0.56 80.17 5.56 0.37 27.54 -33.33 0.00 0.00 21.88 0.00 14.25 33.33 0.00 450,000 300,000 5,398,000 8.34 5.56 100 16.67 33.33 17.14 Nilai Total (Rp) Bahan baku : Kotoran Hewan Arang Sekam Jerami Zeolit Dekomposer Molase 460 karung @ karung =30 kg 180 karung 9 bak mobil 1 kwintal 10 botol 10 kg 6000 /karung 3000/karung 200.000 / 3mobil 78,000/ kwintal 25,000 /botol 3000/kg 200 karung 2 gulung 1500/karung 10,000 15 HOK - 30,000/HOK 1500 per karung Total bahan baku Karung Benang Tenaga kerja produksi Upah kemas Total penggorengan kerupuk. Arang sekam dari penggorengan kerupuk jauh lebih murah dibandingkan industri batako. Pada tahun berikutnya (tahun ke-3 hingga ke-10) diasumsikan biaya tidak mengalami perubahan lagi. Biaya yang mengalami kenaikan paling tinggi dan sangat dirasakan oleh pengelola yaitu biaya tenaga kerja dan harga karung pembungkus sebesar 33,3 persen. Tabel 12. Rincian Biaya Variabel 10 Ton Pupuk pada Tahun 2009 Selain biaya variabel, yang juga menjadi pengeluaran usaha ini adalah beban operasi meliputi beban administrasi dan komunikasi, beban listrik, dan beban pajak. Tabel 13. Rincian Biaya Tetap Usaha Pupuk Organik Poktan Bhineka I No Uraian Nilai Per Tahun (Rp) 1 Beban Administrasi dan Komunikasi 360.000 2 Listrik 1.020.000 Total 1.386.000 Biaya administrasi termasuk biaya pembukuan dan komunikasi senilai Rp 30.000 per bulannya atau Rp 360.000 per tahun. Beban listrik selama setahun 167 senilai Rp 1.020.000 dihitung dari rata-rata pembayaran iuran listrik per bulan yaitu Rp 85.000 dikali 12 (jumlah bulan dalam setahun). Pada tahun-tahun berikutnya, diasumsikan nilai biaya administrasi dan listrik tetap per bulannya. 6.2.1.3 Laporan Laba Rugi (Skenario I) Laporan laba rugi usaha dapat dilihat pada Tabel 14. Laporan laba rugi Poktan Bhineka I diasumsikan sama mulai dari tahun ke-2 hingga ke-10 dimana usaha ini telah mencapai kapasitas penuh. Tabel 14. Proyeksi Laporan Laba Rugi per Tahun Usaha Pupuk Organik Poktan Bhineka I (Skenario I) Uraian Pendapatan: I. Pendapatan penjualan II. Pengeluaran 1.Beban Pokok produksi: Bahan baku Karung Benang Tenaga kerja produksi Upah kemas 2.Beban Operasi: Beban Administrasi Beban Listrik Beban Penyusutan Total Beban (a+b) III. Laba (I-II) Beban Pajak IV.Laba setelah pajak Tahun ke 1 2,3…10 78,000,000 195,000,000 44,136,000 2,400,000 240,000 4,500,000 2,400,000 129,840,000 9,000,000 600,000 13,500,000 9,000,000 360,000 1,020,000 5,743,929 60,799,929 17,200,071 860,004 16,340,068 360,000 1,020,000 5,743,929 169,063,929 25,936,071 1,296,804 24,639,268 Beban pajak dihitung berdasarkan laporan laba rugi usaha per tahun. Beban pajak yang ditanggung usaha ini sebesar 5 persen dari laba. Pada kondisi yang terjadi (aktual), usaha ini tidak mengeluarkan pajak. Pertimbangan dimasukkan beban pajak adalah agar penilaian laba dan NPV usaha tidak terlalu tinggi (overstated). Pada tahun pertama (tahun 2008) usaha ini mendapat laba setelah dikurangi pajak usaha sebesar Rp 16.340.068 dan pada tahun ke-2 hingga tahun berikutnya sebesar Rp 24.639.268. 6.2.1.4 Hasil Analisis Kelayakan Finansial (Skenario I) Analisis kelayakan finansial dilihat dari kriteria nilai NPV, Net B/C, IRR, dan payback periode. Discount rate yang digunakan dalam analisis arus kas 168 skenario I sebesar 7 persen (suku bunga deposito BRI September 2009). Hasil analisis kelayakan finansial Poktan Bhineka I dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 15. Hasil Analisis Finansial Skenario I Kriteria Net Present Value (NPV) Net Benefit and Cost Ratio (Net B/C) Internal Rate Return (IRR) Payback Periode (PP) Hasil Rp 156,179,316 4.5104 65% 2.7948 Berdasarkan analisis finansial di atas, dapat disimpulkan bahwa usaha pembuatan pupuk organik yang dijalankan oleh Poktan Bhineka I layak dijalankan. NPV usaha ini bernilai Rp 156.179.316 lebih besar dari nilai investasi sebesar Rp 66.575.000. Usaha ini memperoleh NPV>0 yaitu sebesar 156,179,316 yang artinya bahwa usaha ini layak untuk dijalankan. NPV yang bernilai Rp 156.179.316 menunjukkan manfaat bersih yang diterima dari usaha ini selama umur proyek terhadap tingkat diskon (discount rate) yang berlaku. Kriteria lain yang dianalisis adalah Net B/C, pada Skenario I usaha ini diperoleh nilai Net B/C >0 yaitu sebesar 4,5 yang menyatakan bahwa usaha isi ini layak dijalankan. Nilai Net B/C sama dengan 4,5 artinya setiap Rp 1 yang dikeluarkan selama umur proyek menghasilkan Rp 4,5 satuan manfaat bersih. IRR yang diperoleh dari analisis finansial pada skenario I adalah 65 persen dimana IRR tersebut lebih besar dari discount factor (rate) yang berlaku yaitu 7 persen. IRR juga menunjukkan bahwa usaha ini akan layak jika nilai DR masih dibawah 52 persen. Nilai IRR tersebut menunjukkan tingkat pengembalian internal proyek sebesar 71 persen dan karena IRR>8 persen, maka usaha ini layak dan menguntungkan. Usaha pupuk organik ini memiliki periode pengembalian (payback periode) 2 tahun 9 bulan. Berdasarkan keempat kriteria kelayakan finansial usaha tersebut, maka dapat disimpulkan usaha ini sangat layak untuk dijalankan. 6.2.1.5 Analisis Sensitivitas (Skenario I) Analisis sensitivitas dilakukan dengan menggunakan nilai pengganti (switching value) sampai memperoleh nilai NPV yang mendekati nol, IRR 7 persen dan Net B/C mendekati satu. Nilai pengubah dalam analisis ini adalah biaya bahan baku, upah tenaga kerja ( upah produksi dan kemas) dan harga jual. 169 Penentuan nilai pengganti terhadap bahan baku dan upah tenaga kerja berdasarkan analisis terhadap perubahan biaya pada tahun 2008 dan 2009 dimana bahan baku dan tenaga kerja mengalami peningkatan yang cukup besar (Tabel 8). Pertimbangan perubahan harga jual sebagai nilai pengganti atas dasar adanya kecenderungan penurunan harga akibat masuknya pasokan pupuk organik bersubsidi dengan harga Rp 500 di Subang tahun 2010. Hasil switching value adalah sebagai berikut. Tabel 16. Hasil Analisis Sensitivitas (Skenario I) Perubahan Kenaikan Biaya Bahan Baku per tahun Kenaikan Upah Tenaga Kerja per Tahun Penurunan Harga Jual Persentase (%) 4,41 19,20 14,4 Hasil analisis sensitivitas usaha Poktan Bhineka I menunjukkan bahwa batas kenaikan harga bahan baku, kenaikan upah kerja dan penurunan harga jual yang membuat usaha ini masih layak adalah 4,41 persen, 19,20 persen, dan 14,4 persen. Dari hasil analisis sensitivitas dapat dilihat bahwa perubahan harga bahan baku yang paling mempengaruhi kelayakan finansial usaha ini. Kenaikan bahan baku sebesar diatas 4,41 persen per tahun menyebabkan usaha ini tidak layak. Kenaikan upah tenaga kerja diatas 19,20 persen per tahun menyebabkan usaha ini tidak layak untuk dijalankan. Penurunan harga jual dibawah 14,4 persen menyebabkan usaha ini tidak layak dijalankan. Batas harga jual dari pupuk organik ini adalah Rp 556,4 per kilogram. Oleh karena itu, jika harga pasar pupuk organik ditetapkan Rp 500 merugikan usaha ini dan UKM pupuk organik lainnya yang ada di Subang. 6.2.2 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Skenario II (Peningkatan Kapasitas) 170 Peningkatan kapasitas produksi dari 300 ton menjadi 600 ton per tahun dilakukan dengan penambahan luas tempat usaha dan penambahan investasi. Rencana ini akan dilakukan pada tahun 2010. 6.2.2.1 Arus Manfaat (Inflow) Manfaat adalah segala sesuatu yang dapat meningkatkan pendapatan suatu proyek. Pada usaha pembuatan pupuk organik ini, inflow diperoleh dari hasil penjualan dan nilai sisa dari investasi. a. Penerimaan penjualan Peningkatan kapasitas produksi menjadi dua kali lipat juga meningkatkan penerimaan penjualan dua kali lipatnya. Peningkatan kapasitas dilakukan pada tahun ke-3 sehingga penjualan meningkat pada tahun tersebut menjadi 50 ton per bulan. Harga jual pupuk diasumsikan tetap sebesar Rp 650 per kilogram selama umur proyek. Tabel 17. Penerimaan Pupuk Organik (Skenario II) Tahun b. Jumlah pupuk (Ton) Harga (Rp) Penerimaan Total (Rp) 1 120 650 78,000,000 2 300 650 195,000,000 3 600 650 390,000,000 4 600 650 390,000,000 5 600 650 390,000,000 6 600 650 390,000,000 7 600 650 390,000,000 8 600 650 390,000,000 9 600 650 390,000,000 10 600 650 390,000,000 Nilai Sisa Biaya-biaya investasi pada usaha ini yang masih memiliki nilai hingga akhir umur proyek tanah, bangunan tambahan investasi, dan timbangan duduk. Total nilai sisa hingga akhir umur proyek adalah Rp 51.080.000 (Lampiran 14). 6.2.2.2 Arus Biaya(Outflow) 171 Skenario II adalah suatu kondisis dimana terjadi peningkatan kapasitas produksi dua kali lipat. Arus pengeluaran pada Skenario II terdiri dari pengeluaran untuk biaya investasi, biaya operasional, dan biaya tetap. a. Biaya Investasi dan Reinvestasi Biaya investasi dikeluarkan pada pada tahun pertama dan ketiga proyek. Pada tahun ketiga, kapasitas produksi ditingkatkan sehingga biaya investasi dikeluarkan lagi. Investasi yang mengalami penambahan diuraikan pada Tabel 18. Tabel 18. Rincian Penambahan Investasi pada Skenario II Jenis Investasi Jumlah Bangunan Alas bambu Mesin kemas Timbangan gantung 100kg Terpal Cangkul Sekop Ayakan Ember+ gayung Garu Embrat/penyiram Sepatu boot Drum Total (15m x 20m) 1 unit 1 unit 1 unit 1 Rol 4 unit 3 unit 1 unit 2 unit 1 unit 1 unit 2 pasang 2 unit Harga Satuan (Rp) 70,000,000 500,000 650,000 300,000 500,000 30,000 40,000 10,000 20,000 15,000 20,000 50,000 100,000 Nilai (Rp) 70,000,000 500,000 650,000 300,000 500,000 120,000 120,000 10,000 40,000 15,000 20,000 100,000 200,000 73,575,000 Bangunan yang ditambah dalam peningkatan kapasitas produksi seluas 15 m x 20 m. Bangunan tersebut digunakan untuk ruang pengomposan seluas (7m x 20 m) dan ruang penyimpanan produk (8mx20m). Peningkatan kapasitas produksi membutuhkan tambahan peningkatan mesin dan peralatan. Akan tetapi ada beberapa investasi yang tidak memerlukan penambahan yaitu luas lahan, timbangan duduk 500 kg dan mesin giling. Luas lahan yang ada masih dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kapasitas produksi. Menurut pengelola, mesin giling dan timbangan duduk tidak perlu ditambah jumlahnya karena pemanfaatannya selama ini belum optimal. Selain biaya investasi juga ada biaya reinvestasi yang dikeluarkan oleh perusahaan apabila ada komponen pada investasi telah habis umur ekonomisnya. Komponen investasi yang mengalami 172 reinvestasi jika memiliki umur ekonomis tidak sepanjang umur proyek. Rincian dari biaya reinvestasi dapat dilihat pada Lampiran 14. b. Biaya Operasional Biaya operasional pada skenario II terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel pada skenario II mengalami peningkatan dua kali lipat karena penggunaan input variabel juga ikut meningkat dengan proporsi yang sama. Asumsi harga pada setiap input variabel tidak mengalami perubahan dari tahun 2009. Tabel 19. Rincian Biaya Variabel per Tahun Skenario II Tahun ke1 Jumlah produksi (ton) 120 Total Biaya variabel (Rp) 53,676,000 2 300 161,940,000 3 600 323,880,000 4 600 323,880,000 5 600 323,880,000 6 600 323,880,000 7 600 323,880,000 8 600 323,880,000 9 600 323,880,000 10 600 323,880,000 Selain biaya variabel, biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan sebagai biaya operasional adalah biaya tetap. Biaya tetap pada skenario II memiliki nilai sama dengan skenario I karena biaya ini tidak terpengaruh terhadap peningkatan kapasitas produksi. Tabel 20. Rincian Biaya Tetap Usaha Produksi Pupuk Organik (Skenario II) No Uraian Nilai Per Tahun (Rp) 1 Beban Administrasi dan Komunikasi 360,000 2 Listrik 1,020,000 Total 1,386,000 173 Biaya administrasi termasuk biaya pembukuan dan komunikasi senilai Rp. 30.000 per bulannya atau Rp 360.000 per tahun. Beban listrik selama setahun senilai Rp 1.020.000 dihitung dari rata-rata pembayaran iuran listrik per bulan yaitu Rp 85.000 dikali 12 (jumlah bulan dalam setahun). Pada tahun-tahun berikutnya, diasumsikan nilai biaya administrasi dan listrik tetap per bulannya. 6.2.2.3 Laporan Laba Rugi (Skenario II) Laporan laba rugi Poktan Bhineka I diasumsikan sama mulai dari tahun ke-3 hingga ke-10 dimana usaha ini telah mencapai kapasitas penuh (50 ton per bulan). Diasumsikan pada tahun ketiga terjadi kenaikan kapasitas usaha yang ikut meningkatkan penjualan. Laba setelah pajak per tahunnya setelah peningkatan kapasitas yaitu sebesar Rp 46.737.268. Laba tersebut merupakan laba bersih setelah dikurangi beban bunga senilai 16 persen dari total investasi (Rp 73.575.000). Asumsi dikeluarkan bunga pada tahun ketiga dan seterusnya karena modal untuk meningkatkan kapasitas di tahun ke-3 merupakan pinjaman. Tabel 21. Proyeksi Laba Rugi per Tahun Usaha Bhineka I (Skenario II) Tahun ke Uraian 1 2 3 Pendapatan: 78,000,000 195,000,000 390,000,000 44,136,000 129,840,000 259,680,000 Karung 2,400,000 9,000,000 18,000,000 Benang 240,000 600,000 1,200,000 Tenaga kerja produksi 4,500,000 13,500,000 27,000,000 Upah kemas 2,400,000 9,000,000 18,000,000 360,000 360,000 360,000 Beban Listrik 1,020,000 1,020,000 1,020,000 Beban Penyusutan 5,743,929 5,743,929 13,993,929 Total Beban (a+b) 60,799,929 169,063,929 339,253,929 Laba (I-II) 17,200,071 25,936,071 50,746,071 I. Pendapatan penjualan II. Pengeluaran 1.Beban Pokok produksi: Bahan baku 2.Beban Operasi: Beban Administrasi Beban Bunga (16 %) Laba setelah bunga Beban Pajak Laba setelah pajak - 1,471,500 17,200,071 25,936,071 49,274,571 860,004 1,296,804 2,537,304 16,340,068 24,639,268 46,737,268 174 6.2.2.4 Analisis Kelayakan Finansial (Skenario II) Analisis kelayakan finansial dilihat dari kriteria nilai NPV, Net B/C, IRR, dan payback periode. Pada Skenario II, Discount Rate yang digunakan sebesar 16 persen (Suku bunga pinjaman KUR BRI September 2009). Pertimbangan nilai tersebut karena modal untuk peningkatan investasi merupakan modal pinjaman. Tabel 22. Hasil Analisis Finansial Skenario II Kriteria Net Present Value (NPV) Net Benefit and Cost Ratio (Net B/C) Internal Rate Return (IRR) Payback Periode (PBP) Hasil Rp164,690,803 4.0936 68% 3.1822 Berdasarkan analisis finansial di atas dapat dilihat bahwa pada skenario II yang akan dijalankan oleh Poktan Bhineka I memperoleh NPV>0 yaitu sebesar Rp164,690,803 yang artinya bahwa usaha ini layak untuk dijalankan. NPV yang bernilai Rp164,690,803 menunjukkan manfaat bersih yang diterima dari usaha ini selama umur proyek terhadap tingkat diskon (discount rate) yang berlaku. Kriteria lain yang dianalisis adalah Net B/C. Pada Skenario II usaha ini diperoleh nilai Net B/C >0 yaitu sebesar 4 yang menyatakan bahwa usaha ini ini layak dijalankan. Nilai Net B/C sama dengan 4 artinya setiap Rp 1 yang dikeluarkan selama umur proyek menghasilkan Rp 4 satuan manfaat bersih. IRR yang diperoleh dari analisis finansial pada skenario I adalah 68 persen dimana IRR tersebut lebih besar dari discount factor (rate) yang berlaku yaitu 16 persen. Payback period dengan adanya peningkatan kapasitas yaitu enam tahun enam bulan. 6.2.2.5 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat pengaruh yang akan terjadi apabila keadaan berubah dengan menggunakan nilai pengganti (switching value). Nilai pengganti (switching value) didapat setelah memperoleh nilai NPV yang mendekati nol. Dengan pertimbangan yang sama pda analisis sensitivitas skenario I, nilai pengubah dalam skenario II adalah biaya bahan baku, upah tenaga kerja (upah produksi dan kemas) dan harga jual. Hasil switching value pada Skenario II adalah sebagai berikut. Tabel 23. Hasil Analisis Sensitivitas (Skenario II) 175 Perubahan Persentase (%) Kenaikan Biaya Bahan Baku Kenaikan Upah Tenaga Kerja Penurunan Harga Jual 4,16 17,85 11,25 Hasil switching value pada skenario II menunjukkan bahwa batas perubahan terhadap kenaikan harga bahan baku, kenaikan upah kerja dan penurunan harga jual yang membuat usaha ini tetap layak adalah 4,16 persen, 17,85 persen, dan 11,25persen. Kenaikan bahan baku sebesar diatas 4,16 persen per tahun selama umur proyek menyebabkan usaha ini tidak layak. Kenaikan upah tenaga kerja diatas 17,85 persen per tahun menyebabkan usaha ini tidak layak untuk dijalankan. Penurunan harga jual dibawah 11,25 persen menyebabkan usaha ini tidak layak dijalankan. Pada skenario II, batas harga jual dari pupuk organik ini adalah Rp 576,8 per kilogram. Hasil analisis switching value skenario II tidak jauh berbeda dengan skenario I. Walaupun usaha ini meningkatkan output, kenaikan harga bahan baku masih sangat sensitif. 6.2.3 Perbandingan Hasil Analisis Finansial Skenario I dan Skenario II Hasil kelayakan finansial untuk skenario I dan skenario II menunjukkan bahwa usaha Poktan Bhineka I pada kedua kondisi tersebut layak untuk dijalankan. Menurut Soeharto (2002), penilaian pengembangan suatu proyek dapat dilihat dari peningkatan arus kas bersih yang bersifat incremental. Peningkatan kaapsitas produksi meningkatkan arus kas bersih (netflow) dari usaha ini. Skenario I Skenario II 150,000,000 100,000,000 50,000,000 (50,000,000) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 (100,000,000) Gambar 9: Grafik Arus manfaat Skenario I dan Skenario II 176 Peningkatan kapasitas produksi menjadi dua kali lipatnya (skenario II) menyebabkan peningkatan nilai pendapatan setelah dikurangi pajak per tahunnya, nilai NPV dan Net B/C. Peningkatan kapasitas juga memperpanjang periode pengembalian (PP) karena nilai investasi terlalu besar. Tabel 24. Perbandingan Hasil Analisis Kelayakan Finansial Skenario I dan Skenario II Uraian Skenario I Skenario II Kriteria Laba Rugi Laba per tahun (setelah pajak) Rp 24,639,268 Rp 46,737,268 DR 7 % DR 16 % Kriteria Kelayakan Cashflow NPV Rp 156,179,316 Rp164,690,803 Net B/C 4.5104 4.0936 IRR 65% 68% PP 2.7948 3.1822 Analisis Sensitivitas Kenaikan Biaya Bahan Baku per tahun Kenaikan Upah Kerja per tahun 4,41% 4,16% 19,2% 17,85% Penurunan Harga Jual 14,4% 11,25% Dari perbandingan hasil analisis sensitivitas, skenario I dan skenario II dapat dilihat bahwa pada kedua skenario usaha sangat sensitif terhadap perubahan biaya bahan baku. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara sensitivitas usaha sebelum peningkatan kapasitas dan setalah terjadi peningkatan kapasitas. Penetapan harga jual sebesar Rp 500 pada skenario I ataupun skenario II menyebabkan usaha ini tidak layak. Pada skenario I, batas harga terndah yang menyebabkan usaha ini layak adalah Rp 552,5 sedangkan pada skenario II adalah Rp 544,7. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dinilai bahwa peningkatan kapasitas produksi layak dilakukan dalam kondisi yang sesuai dengan asumsiasumsi penelitian ini. Hal ini dikarenakan peningkatan kapasitas produksi menyebabkan penambahan net inflow, peningkatan laba per tahun, NPV dan IRR. 177 VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, maka kesimpulan yang didapat : 1. Analisis kelayakan non finansial usaha pupuk organik Poktan Bhineka I dikatakan layak jika ditinjau dari aspek : (1) Teknis dan teknologi, (2) Pasar, (3) Manajemen, dan (4) Sosial dan lingkungan. Aspek teknis usaha dikatakan layak karena pemilihan teknologi yang tepat, ketersediaan bahan baku terjamin dan lokasi usaha yang strategis. Aspek pasar dikatakan layak karena permintaan pasar pupuk organik di Subang sangat potensial dan kondisi pasar yang kompetitif dan teratur dengan adanya APPOS. Aspek Manajemen dikatakan layak karena struktur organisai usaha, pembagian tugas dan pembagian wewenang sederhana dan jelas. Aspek sosial dan lingkungan dikatakan layak karena usaha ini berdampak positif terhadap lingkungan dan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat peternak, pengusaha budidaya jamur dan UKM kerupuk di lingkungan sekitar usaha. 2. Hasil analisis kelayakan finansial usaha Poktan Bhineka I pada kondisi yang sudah berjalan (Skenario I) dan jika kapasitas produksi ditingkatkan (Skenario II) yaitu usaha ini layak dalam kedua kondisi tersebut. Peningkatan kapasitas produksi (Skenario II) mendapatkan nilai NPV lebih besar daripada Skenario I. Hasil analisis sensitivitas pada skenario I usaha menunjukkan bahwa batas kenaikan harga bahan baku, kenaikan upah kerja dan penurunan harga jual yang masih membuat usaha ini layak adalah 4,41 persen, 19,2 persen, dan 14,4 persen. Sedangkan hasil analisis sensitivitas pada skenario II menunjukkan bahwa batas kenaikan harga bahan baku, kenaikan upah kerja dan penurunan harga jual yang membuat usaha ini tetap layak adalah 4,16 persen, 17,85 persen, dan 11,25 persen. Hasil tersebut menunjukkan bahwa usaha ini sangat sensitif terhadap kenaikan biaya bahan baku karena biaya bahan baku memiliki proporsi terbesar dalam anggaran usaha. Penetapan harga jual sebesar Rp 500 pada 178 skenario I ataupun skenario II menyebabkan usaha ini tidak layak. Pada skenario I, harga pasar minimal adalah Rp 556,4 sedangkan pada skenario II adalah Rp 576,8. 7.2 Saran Dari hasil peneleitian ini, maka saran yang bisa direkomendasikan sebagai berikut : 1. Perusahaan sebaiknya memperbaiki aspek-aspek usaha yang menyebabkan perkembangan usaha ini menjadi terkendala. Dari aspek teknis yang harus diperbaiki adalah uji mutu produk dan penanganan bahan baku dan produk jadi. Sedangkan dalam aspek hukum, yang perlu diperbaiki adalah bentuk badan usaha dan status kepemilikan usaha. Sebaiknya Poktan Bhineka I membentuk badan usaha sendiri untuk usaha pupuk organik bila kedepannya usaha ini dikembangkan. 2. Pemerintah sebaiknya meninjau kembali penetapan harga eceran pupuk untuk wilayah Subang. Penetapan harga eceran ini menyebabkan industri pupuk yang sudah cukup berkembang di Kabupaten Subang menjadi gulung tikar. Selain itu, sebaiknya pemerintah memberikan subsidi pupuk organik tidak hanya kepada produsen yang ditunjuk (pupuk nasional) tetapi kepada industri kecil juga. 179 DAFTAR PUSTAKA Djaja W. 2008. Langkah Jitu Membuat Kompos dari Kotoran Ternak dan Sampah. Jakarta : PT Agro Media Pustaka. Gittinger J P. 1985. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Jakarta : UIPress. Gray C, Simanjuntak P, Sabur LK, Maspaitella PFL, Varley RCG. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum. Husnan S dan Suwarsono. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta : Unit Penerbit dan Pencetak AMP YPKN. Isroi. 2009. Pupuk Organik Granul. Sebuah http://isroi.wordpress.com. [2 Juli 2009] Petunjuk Praktis. Iqbal M dan Simanjuntak KMM. 2004. Solusi Jitu Bagi Pengusaha Kecil dan Menengah. Jakarta: PT. Elek Media Komputindo. Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Keown AJ, Scott DF, Martin JD and Petty JW. 2002. Financial Management. Singapore : Simon and Schuster (Asia) Pte. Ltd. Khadaffy M. 2009. Analisis kelayakan usaha pupuk organik di CV Saung Wira Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kottler P. 2005. Manajemen Pemasaran Jilid 1. Jakarta : PT Indeks Kottler P. 2005. Manajemen Pemasaran Jilid 2. Jakarta : PT Indeks Mujiati. 2004. Analisis kelayakan finansial usaha pengomposan di Kawasan Peternakan Sapi Perah Pondok Ranggon [Skripsi]. Bogor : Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Manalu P. 2006. Analisis kelayakan finanisal Usaha Kompos Limbah Ternak Sapi Perah ( Studi Kasus di CV. Cisarua Integrated Farminng) [Skripsi]. Bogor : Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Nurmalina R, Sarianti T, Karyadi A. 2009. Modul Pembelajaran Studi Kelayakan Bisnis. Bogor: Lembaga Penerbit Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Siagian D dan Sugiarto. 2000. Metode Statistika untuk Ekonomi dan Bisnis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Simanungkalit RDM. 2006. Prospek Pupuk hayati dan Pupuk Organik di Indonesia.http://balitan.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/.../pupuk/p upuk13.pdf. [22 Agustus 2009]. Soeharto I. 2002. Studi Kelayakan Proyek Industri. Jakarta : Erlangga 180 Subagyo A. 2007. Studi Kelayakan Teori dan Aplikasi. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. Sudarsono. 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Edisi 8. Jakarta : PT Pustaka LP3ES Indonesia Suriadikarta DA dan Styorini D. 2005. Laporan Hasil Penelitian Standar Mutu Pupuk Organik. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/ pupuk%20organik. [2 Juli 2009] Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Yogyakarta : Kanisius Sutanto R. 2002. Pertanian Organik. Menuju Alternatif dan Berkelanjutan. Yogyakarta : Kansisius Husein U. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Edisi Kedua. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Rusastra W, Saptana dan Djulin A. 2005. Road Map Pengembangan Pupuk Organik Dalam Mendukung Pembangunan Pertanian di Indonesia. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_05.pdf.c om [8 Juli 2009]. Wibowo S. 1999. Petunjuk Mendirikan Usaha Kecil. Jakarta : PT. Penebar Swadaya Wibowo S. 2002. Pedoman Mengelola Perusahaan Kecil. Edisi Revisi. Jakarta : PT. Penebar Swadaya Widiastuti W. 2008. Studi kelayakan usaha pupuk organik cair ( Kasus PT Mulyo Tani, Salatiga, Jawa tengah) [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. [BPP Purwadadi Subang]. Badan penyuluhan Pertanian Purwadadi. 2007. Program Penyuluhan Desa Blendung, Purwadadi-Subang. Subang : BPP Purwadadi [BPP Purwadadi]. Badan penyuluhan Pertanian Kecamatan PurwadadiSubang. 2007. Program Penyuluhan pertanian Kecamatan Purwadadi Kabupaten Subang. Subang : BPP Purwadadi [Dinas Pertanian Subang]. 2007. Profil Pertanian Kabupaten Subang. Subang : Dinas Pertanian Subang. 181 Lampiran 1. Komposisi Unsur Hara Kotoran Ternak dari Beberapa Jenis Ternak Kadar Hara (%) Jenis ternak Keterangan Nitrogen Fosfor Kalium Air -Padat 0,55 0,30 0,40 75 -Cair 1,40 0,22 1,60 90 -Padat 0,40 0,20 0,10 85 -Cair 1,00 0,50 1,50 92 -Padat 0,60 0,30 0,34 85 -Cair 1,00 0,15 1,50 92 -Padat 0,60 0,30 0,17 60 -Cair 1,35 0,05 2,10 85 -Padat 0,75 0,50 0,45 60 -Cair 1,35 0,05 2,10 85 -Padat 0,95 0,35 0,40 80 -Cair 0,40 0,10 0,45 87 -Padat 1,00 0,80 0,40 55 -Cair 1,00 0,80 0,40 55 Kuda Pupuk panas Sapi Pupuk dingin Kerbau Pupuk dingin Kambing Pupuk dingin Domba Pupuk panas Babi Pupuk panas Ayam Pupuk dingin 182 Lampiran 2. Komposisi dan Aplikasi Bahan Aditif untuk Memperbaiki Kondisi Proses Dekomposisi dan Kualitas Kompos Bahan Aditif Kompos standar Komposisi dan Aplikasi Kaya akan mikroorganisme untuk inokulasi pematangan bahan dasar Berasal dari alga yang hidup di permukaan batu kapur Kapur alginik Mengandung hara dan bakteri Sangat cocok untuk menetralisir keasaman tanah gambut dan kulit kayu Makanan alga Karakter hampir mirip dengan kapur alginik tetapi kandungan kalsium lebih rendah Darah kental Bahan pupuk nitrogen organic Gerusan batu halus, Mengandung hara dan mineral basalt, kalsium bentonit, Memperbaiki stabilisasi biologi bahan yang granulasi lempung Kapur pertanian Serbuk tulang dikomposisi Digunakan bila terjadi kekahatan kalsium atau pH bahan dasar atau tanah terlalu rendah Mengandung kapur fosfor yang bersifat asam Berguna untuk meningkatkan kandungan fosfor dan kalsium Batuan fosfat (Fosfat alam) Batuan sedimen alami dalam bentuk gerusan Kandungan fosfat larut air sangat rendah tetapi dapat ditingkatkan dengan mikroorganisme Pasir Mengandung asam silikat dan digunakan dalam jumlah kecil Berperan dalam pertumbuhan tanaman 183 Lampiran 3. Alokasi Penggunaan Lahan Desa Blendung Tahun 2007 Alokasi Penggunaan 1.Tanah Sawah - Sawah tadah hujan 2.Tanah kering - Pemukiman - Pekarangan 3.Tanah Basah - Tanah GG 4.Tanah Perkebunan - Tanah perkebunan perorangan 5.Tanah Fasilitas Umum - Prasarana Umum lainnya - Lapangan Olahraga - Perkantoran Pemerintah - Tempat pemakaman desa/umum - Bangunan Sekolah - Usaha Perikanan Total Luas Lahan Luas 50,600 ha 92,340 ha 73,247 ha 0,1 ha 334,937 ha 1,884 ha 1,951 ha 0,864 ha 2,800 ha 3,908 ha 4,687 ha 567,318 ha 184 Lampiran 4. Gambar Bahan Baku Pupuk Organik Gambar 1 : Tumpukan Kohe Gambar 2. Tempat Penumpukan Jerami di Bawah Pohon Gambar 3 : Arang Sekam Gambar 4 : Molase Gambar 5: Dekomposer 1 Liter Merek Super farm Gambar 6 : Zeolit 185 Lampiran 5. Gambar Proses Produksi Gambar 1: Proses Pengomposan Pupuk Organik Gambar 3. Penimbanagn Pupuk Organik Gambar 3: Penimbangan Pupuk Organik Gambar 5A : Tempat Penjemuran pupuk organik Poktan Bhineka I ( Tidak berlantai /beralas terpal) Gambar 2: Penjemuran Pupuk Organik Gambar 4 : Pengemasan Pupuk Organik Gambar 5B : Tempat Penjemuran yang dianjurkan ( Usaha Pupuk Organik Poktan Mekarsari ) 186 Lanjutan Lampiran 5. Gambar Proses Produksi Gambar 6A : Tempat Penyimpanan Pupuk Organik Poktan Bhineka I ( Diluar/ Tidak Beratap ) Gambar 6B : Tempat penyimpanan pupuk organik yang dianjurkan Gambar 7A: Pupuk organik dalam kemasan yang dianjurkan Gambar 7B: Pupuk organik dalam kemasan yang melampirkan komposisi pupuk dan merek 187 Lampiran 6. Diagram Grant Siklus Usaha dan Produksi Poktan Bhineka I 1 2 3 Siklus Usaha Tahun 2008 Tahun ke-1` 4 5 6 7 8 9 10 11 12 3 Siklus Usaha Tahun 2009 Tahun ke-2 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Pengurusan administrasi usaha Pembangunan tempat pengomposan Penyediaan Peralatan Penyediaan bahan baku Produksi Penjualan 1 2 Pengurusan administrasi usaha Pembangunan tempat pengomposan Penyediaan Peralatan Penyediaan bahan baku Produksi Penjualan 88 Lanjutan Lampiran 6 Siklus Produksi per Bulan Aktivitas Penyediaan Bahan Baku Kohe Limbah Jamur Arang sekam Bahan Tambahan Membuat Tumpukan Kompos Tumpukan 1 Tumpukan 2 Tumpukan 3 Tumpukan 4 Tumpukan 5 Pengomposan Tumpukan 1 Tumpukan 2 Tumpukan 3 Tumpukan 4 Tumpukan 5 Pemanenan dan Penjemuran Tumpukan 1 Tumpukan 2 Tumpukan 3 Tumpukan 4 Tumpukan 5 Pengemasan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Hari ke16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 2 89 Lampiran 7. Layout Usaha Pupuk Organik Bhineka I. Longyam Bapak Dedi Sobandi Sawah Warga Penyimpanan Alat dan Saung Istirahat Tempat Penjemuran Tempat Penumpukan Kohe dan Limbah Jamur Pembibitan Ruang Kompos Jalan Desa 90 Lampiran 8. Rincian Biaya Investasi dan Reinvestasi Skenario I Jenis Investasi Jumlah Harga satuan Umur Ekonomi Investasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 500,000 500,000 500,000 500,000 500,000 500,000 500,000 500,000 500,000 Tanah 1500m2 Bangunan (7x20)m 38,000,000 10 38,000,000 Alas bambu 1 500,000 1 500,000 Mesin giling 1 3,000,000 5 3,000,000 3,000,000 Mesin kemas Timbangan gantung 100 kg Timbangan duduk 500 kg 1 650,000 5 650,000 650,000 1 300,000 5 300,000 300,000 1 500,000 7 500,000 1 Rol 500,000 2 500,000 500,000 500,000 500,000 500,000 Cangkul 4 30,000 2 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 Sekop 3 40,000 2 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 Ayakan 1 10,000 2 10,000 10,000 10,000 10,000 10,000 Ember+ gayung 2 20,000 1 40,000 40,000 40,000 40,000 40,000 Garu 1 15,000 2 15,000 15,000 15,000 15,000 15,000 1 2 pasang 20,000 2 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 50,000 2 100,000 100,000 100,000 100,000 100,000 2 100,000 2 200,000 200,000 200,000 200,000 200,000 Terpal Embrat/penyiram Sepatu boot Drum 22,500,000 Total Total Reinvestasi 66,575,000 500,000 500,000 1,625,000 500,000 1,625,000 4,450,000 1,625,000 1,000,000 1,625,000 500,000 36,250,000 91 Lampiran 9. Rincian Biaya Penyusutan Skenario I Jenis Investasi Jumlah Penyusutan per tahun 10 1 5 5 5 Nilai Investasi 22,500,000 38,000,000 500,000 3,000,000 650,000 300,000 500,000 7 500,000 71,429 1 Rol 500,000 4 30,000 3 40,000 1 10,000 2 20,000 1 15,000 1 20,000 2 50,000 pasang 2 100,000 Total Penyusutan 2 2 2 2 1 2 2 2 500,000 120,000 120,000 10,000 40,000 15,000 20,000 100,000 250,000 60,000 60,000 5,000 40,000 7,500 10,000 50,000 2 200,000 66,575,000 100,000 5,743,929 Tanah Bangunan Alas bambu Mesin giling Mesin kemas Timbangan gantung 100 kg Timbangan duduk 500 kg Terpal Cangkul Sekop Ayakan Ember+ gayung Garu Embrat/penyiram Sepatu boot Drum Harga satuan 1500m2 (7x20)m 38,000,000 1 500,000 1 3,000,000 1 650,000 1 300,000 1 Umur Ekonomi 3,800,000 500,000 600,000 130,000 60,000 92 Lampiran 10. Cashflow Usaha Pupuk Organik Bhineka I (Skenario I) Tahun Uraian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 78,000,000 195,000,000 195,000,000 195,000,000 195,000,000 195,000,000 195,000,000 195,000,000 195,000,000 195,000,000 INFLOW 1. Penjualan 2. Nilai Sisa Total Inflow 22,700,000 78,000,000 195,000,000 195,000,000 195,000,000 195,000,000 195,000,000 195,000,000 195,000,000 195,000,000 217,700,000 500,000 500,000 500,000 500,000 500,000 500,000 500,000 500,000 500,000 OUTFLOW 1. Biaya Investasi Tanah Bangunan dan instalasi listrik 22,500,000 38,000,000 Alas bambu 500,000 Mesin giling 3,000,000 3,000,000 Mesin kemas 650,000 650,000 Timbangan gantung 100 kg 300,000 300,000 Timbangan duduk 500 kg 500,000 Terpal 500,000 500,000 500,000 500,000 500,000 Cangkul 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 Sekop 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 Ayakan 10,000 10,000 10,000 10,000 10,000 Ember+ gayung 40,000 40,000 40,000 40,000 40,000 Garu 15,000 15,000 15,000 15,000 15,000 Embrat/Penyiram Sepatu boot 500,000 20,000 20,000 20,000 20,000 20,000 100,000 100,000 100,000 100,000 100,000 93 Tahun Uraian 1 Drum 2 200,000 3 4 200,000 5 6 200,000 7 8 200,000 9 10 200,000 2. Biaya Operasional a. Biaya Variabel Bahan baku 44,136,000 129,840,000 129,840,000 129,840,000 129,840,000 129,840,000 129,840,000 129,840,000 129,840,000 129,840,000 Karung 2,400,000 9000000 9000000 9000000 9000000 9000000 9000000 9000000 9000000 9000000 Benang 240,000 600,000 600,000 600,000 600,000 600,000 600,000 600,000 600,000 600,000 Tenaga kerja produksi 4,500,000 13,500,000 13,500,000 13,500,000 13,500,000 13,500,000 13,500,000 13,500,000 13,500,000 13,500,000 Upah kemas 2,400,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 9,000,000 360,000 360,000 360,000 360,000 360,000 360,000 360,000 360,000 360,000 360,000 Listrik 1,020,000 1,020,000 1,020,000 1,020,000 1,020,000 1,020,000 1,020,000 1,020,000 1,020,000 1,020,000 Pajak 860,004 1,296,804 1,296,804 1,296,804 1,296,804 1,296,804 1,296,804 1,296,804 1,296,804 1,296,804 Total Outflow 122,491,004 165,116,804 166,241,804 165,116,804 166,241,804 169,066,804 166,241,804 165,616,804 166,241,804 165,116,804 Net Benefit (44,491,004) 29,883,196 28,758,196 29,883,196 28,758,196 25,933,196 28,758,196 29,383,196 28,758,196 52,583,196 1.0000 0.9346 0.8734 0.8163 0.7629 0.7130 0.6663 0.6227 0.5820 0.5439 PV DF 7% (44,491,004) 27,928,221 25,118,523 24,393,590 21,939,490 18,490,011 19,162,801 18,298,378 16,737,532 28,601,775 PV Negatif (44,491,004) PV Positif 200,670,320 NPV 156,179,316 b. Biaya Tetap Administrasi DF 7% Net B/C IRR Payback Period 4.5104 65% 2.7948 94 Lampiran 11. Analisis Sensitivitas terhadap Penurunan Harga Jual Skenario I (14,4%) Uraian Tahun ke1 2 (44,491,004) 29,883,196 678,196 1,803,196 678,196 (2,146,804) 678,196 1,303,196 678,196 24,503,196 1.0000 0.9346 0.8734 0.8163 0.7629 0.7130 0.6663 0.6227 0.5820 0.5439 PV DF 7% (44,491,004) 27,928,221 592,363 1,471,945 517,393 (1,530,641) 451,911 811,565 394,716 13,328,115 PV Negatif (44,491,004) PV Positif 43,965,589 NPV (525,415) Net Benefit DF 7% Net B/C IRR Payback Period 3 4 5 6 7 8 9 10 0.9882 7% - 95 Lampiran 12. Analisis Sensitivitas terhadap Kenaikan Harga Bahan Baku pada Skenario I (4,41 %) Tahun ke- Uraian 1 2 3 4 (44,491,004) 29,883,196 22,635,352 17,367,491 1.0000 0.9346 0.8734 0.8163 PV DF 7% (44,491,004) 27,928,221 19,770,593 14,177,046 PV Negatif (44,491,004) Net Benefit DF 7% PV Positif NPV 5 9,567,704 0.7629 7,299,156 6 (226,440) 0.7130 (161,449) 7 8 9 10 (4,677,924) (11,650,301) (20,207,722) (4,664,963) 0.6663 0.6227 0.5820 0.5439 (11,761,078) (2,537,431) (3,117,098) (7,255,222) 44,342,737 (148,266) Net B/C 0.9967 IRR Payback Period 7% - 96 Lampiran 13. Analisis Sensitivitas Kenaikan Upah pada Skenario I (19,2 %) Tahun ke- Uraian 1 2 3 4 5 (44,491,004) 29,883,196 24,438,196 20,413,756 13,150,624 1.0000 0.9346 0.8734 0.8163 PV DF 7% (44,491,004) 27,928,221 21,345,267 16,663,706 PV Negatif (78,282,554) Net Benefit DF 7% PV Positif NPV Net B/C IRR Payback Period 6 7 8 9 10 3,008,970 (2,887,481) (12,658,452) (25,675,448) (16,621,708) 0.7629 0.7130 0.6663 0.6227 0.5820 0.5439 10,032,548 2,145,354 (1,924,051) (7,883,047) (14,943,345) (9,041,108) 78,115,096 (167,458) 0.9979 7% - 97 Lampiran 14. Rincian Biaya Investasi, Reinvestasi dan Nilai Sisa Usaha (Skenario II) Jenis Investasi Tanah Jumlah total Harga satuan Investasi Umur Ekonomi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1500m2 (7x20)m+ (15x30)m 38,000,000 10 38,000,000 Alas bambu 2 500,000 1 500,000 Mesin giling 1 3,000,000 5 3,000,000 Mesin kemas Timbangan gantung 100 kg Timbangan duduk 500 kg 2 650,000 5 650,000 650,000 650,000 650,000 260,000 2 300,000 5 300,000 300,000 300,000 300,000 120,000 1 500,000 7 500,000 500,000 200,000 2 roll 500,000 2 500,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 Cangkul 8 30,000 2 120,000 240,000 240,000 240,000 240,000 Sekop 6 40,000 2 120,000 240,000 240,000 240,000 240,000 Ayakan 2 10,000 2 10,000 20,000 20,000 20,000 20,000 Ember+ gayung 4 20,000 1 40,000 80,000 80,000 80,000 80,000 Garu 2 15,000 2 15,000 30,000 30,000 30,000 30,000 Embrat/penyiram 2 20,000 2 20,000 40,000 40,000 40,000 40,000 Sepatu Boot 2 50,000 2 100,000 100,000 100,000 100,000 100,000 Drum 4 100,000 2 200,000 400,000 400,000 400,000 400,000 Bangunan Terpal Total 22,500,000 Nilai Sisa 66,575,000 22,500,000 70,000,000 500,000 1,000,000 28,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 3,000,000 500,000 74,100,000 1,000,000 3,150,000 4,950,000 3,150,000 2,450,000 3,150,000 1,000,000 51,080,000 98 Lampiran 15. Rincian Biaya Penyusutan Skenario II Total Investasi Bangunan Jumlah Total Nilai Investasi Umur Ekonomi Penyusutan per tahun (7x20)m+ (15x30)m 108,000,000 10 10,800,000 Alas bambu 2 1,000,000 1 1,000,000 Mesin kemas 2 1,300,000 5 260,000 Mesin giling 1 3,000,000 5 600,000 Timbangan gantung 100kg 2 600,000 5 120,000 Timbangan duduk 500 kg 1 500,000 7 71,429 Terpal 2 Rol 1,000,000 2 500,000 Cangkul 8 unit 240,000 2 120,000 Sekop 6 unit 240,000 2 120,000 Ayakan 2 unit 40,000 2 20,000 Ember+ gayung 4 unit 160,000 1 160,000 Garu 2 unit 15,000 2 7,500 Embrat/penyiram 2 unit 30,000 2 15,000 4 pasang 200,000 2 100,000 4 unit 200,000 2 100,000 Sepatu boot Drum Total Penyusutan 116,525,000 13,993,929 99 Lampiran 16. Cashflow Usaha Pupuk Organik (Skenario II) Tahun Uraian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 78,000,000 195,000,000 390,000,000 390,000,000 390,000,000 390,000,000 390,000,000 390,000,000 390,000,000 390,000,000 INFLOW 1. Penjualan 2. Nilai Sisa Total Inflow 51,080,000 78,000,000 195,000,000 390,000,000 390,000,000 390,000,000 390,000,000 390,000,000 390,000,000 390,000,000 441,080,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 OUTFLOW 1. Biaya Investasi Tanah 22,500,000 Bangunan 38,000,000 70,000,000 Alas bambu 500,000 Mesin giling 3,000,000 Mesin kemas 650,000 650,000 650,000 650,000 Timbangan gantung 100 kg 300,000 300,000 300,000 300,000 Timbangan duduk 500 kg 500,000 Terpal 500,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 Cangkul 120,000 240,000 240,000 240,000 240,000 Sekop 120,000 120,000 120,000 120,000 120,000 10,000 10,000 10,000 10,000 10,000 Ayakan 500,000 1,000,000 3,000,000 500,000 100 Tahun Uraian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ember+ gayung 40,000 80,000 80,000 80,000 80,000 Garu 15,000 30,000 30,000 30,000 30,000 Gembrot/penyiram Sepatu Boot Drum 20,000 40,000 40,000 40,000 40,000 100,000 100,000 100,000 100,000 100,000 400,000 400,000 400,000 200,000 400,000 10 2. Biaya Operasional a. Biaya Variabel Bahan baku 44,136,000 129,840,000 Karung 2,400,000 9000000 Benang 240,000 600,000 Tenaga kerja produksi 4,500,000 Upah kemas 259,680,000 259,680,000 259,680,000 259,680,000 259,680,000 259,680,000 259,680,000 259,680,000 18000000 18000000 18000000 18000000 18000000 18000000 18000000 1,200,000 1,200,000 1,200,000 1,200,000 1,200,000 1,200,000 1,200,000 1,200,000 13,500,000 27,000,000 27,000,000 27,000,000 27,000,000 27,000,000 27,000,000 27,000,000 27,000,000 2,400,000 9,000,000 18,000,000 18,000,000 18,000,000 18,000,000 18,000,000 18,000,000 18,000,000 18,000,000 360,000 360,000 360,000 360,000 360,000 360,000 360,000 360,000 360,000 360,000 1,020,000 1,020,000 1,020,000 1,020,000 1,020,000 1,020,000 1,020,000 1,020,000 1,020,000 1,020,000 860,004 1,296,804 2,537,304 2,537,304 2,537,304 2,537,304 2,537,304 2,537,304 2,537,304 2,537,304 Total Outflow 122,491,004 165,116,804 401,767,304 328,797,304 330,817,304 332,747,304 330,817,304 330,247,304 330,817,304 328,797,304 Net Benefit (44,491,004) 29,883,196 (11,767,304) 61,202,696 59,182,696 57,252,696 59,182,696 59,752,696 59,182,696 112,282,696 1.0000 0.8621 0.7432 0.6407 0.5523 0.4761 0.4104 0.3538 0.3050 0.2630 PV DF 16% (44,491,004) 25,761,376 (8,745,023) 39,209,977 32,686,076 27,258,754 24,291,079 21,142,268 18,052,229 29,525,070 PV Negatif (53,236,027) PV Positif 217,926,830 NPV 164,690,803 18000000 b. Biaya Tetap Administrasi Listrik, Air, Telepon Pajak DF 16% Net B/C IRR 4.0936 68% 101 Tahun Uraian 1 Payback Period 2 3 4 5 6 7 8 9 10 3.1822 Lampiran 17. Analisis Sensitivitas terhadap Penurunan Harga Skenario II (11,25 %) Uraian Tahun ke1 2 3 4 5 Net Benefit DF 16% (44,491,004) 1.0000 29,883,196 0.8621 (55,642,304) 0.7432 17,327,696 0.6407 15,307,696 0.5523 PV DF 16% (44,491,004) 25,761,376 (41,351,296) 11,101,122 8,454,304 PV Negatif (85,842,299) PV Positif NPV Net B/C IRR Payback Period 6 7 8 9 10 13,377,696 0.4761 15,307,696 0.4104 15,877,696 0.3538 15,307,696 0.3050 68,407,696 0.2630 6,369,295 6,282,925 5,617,998 4,669,237 17,988,008 86,244,266 401,966 1.0047 16% - 102 Lampiran 18. Analisis Sensitivitas terhadap Kenaikan Biaya Bahan Baku Skenario II (4,16 %) Uraian Tahun ke5 6 1 2 3 4 (44,491,004) 29,883,196 (55,642,304) 17,327,696 15,307,696 13,377,696 15,307,696 15,877,696 15,307,696 68,407,696 1.0000 0.8621 0.7432 0.6407 0.5523 0.4761 0.4104 0.3538 0.3050 0.2630 PV DF 16% (44,491,004) 25,761,376 (41,351,296) 11,101,122 8,454,304 6,369,295 6,282,925 5,617,998 4,669,237 17,988,008 PV Negatif (61,264,184) Net Benefit DF 16% PV Positif NPV Net B/C IRR Payback Period 7 8 9 10 61,227,067 (37,117) 0.9994 16% - 103 Lampiran 19. Analisis Sensitivitas terhadap Kenaikan Upah Skenario II (17,85 %) Uraian Tahun ke1 2 3 4 5 (44,491,004) 29,883,196 (19,799,804) 43,703,895 30,527,859 15,450,471 1.0000 0.8621 0.7432 0.6407 0.5523 PV DF 16% (44,491,004) 25,761,376 (14,714,479) 27,999,236 16,860,265 PV Negatif (59,205,483) Net Benefit DF 16% PV Positif NPV Net B/C IRR Payback Period 6 7 8 9 10 1,886,273 (15,803,638) (37,892,944) (10,153,446) 0.4761 0.4104 0.3538 0.3050 0.2630 7,356,170 774,206 (5,591,794) (11,558,312) (2,669,879) 58,931,268 (274,215) 0.9954 16% - 104 105