BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang A. A.Latar Humas kini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan organisasi atau perusahaan. Di banyak perusahaan, humas sudah mulai memperoleh tempat yang cukup baik dalam struktur organisasi (Putra, 2008: 1). Beberapa praktisi humas bekerja hanya pada satu organisasi. Sementara beberapa lainnya bekerja pada agensi humas. Praktisi humas bekerja untuk bisnis, pemerintah, organisasi perdagangan, sekolah, universitas, rumah sakit, hotel dan sebagainya. Mereka bekerja untuk organisasi berskala besar maupun kecil (Grunig, 2001). Grunig (2001) menuturkan dalam pidatonya yang berjudul "The Role of Public Relations in Management and Its Contribution to Organizational and Societal Effectiveness" bahwa seorang praktisi humas lebih dibekali teknik daripada teori. Beberapa praktisi humas telah menguasai sejumlah teknik. Praktisi humas mengetahui bagaimana menangani media coverage, menyiapkan press releases, menulis pidato, mendesain brosur, memproduksi video news releases, melobi perwakilan dalam kongres, menjadwalkan event spesial, atau menyiapkan laporan tahunan. Selain itu, praktisi humas juga menangani komunikasi melalui media massa. Sebagian besar percaya bahwa mereka dapat merangkul orang dalam jumlah besar hanya dengan publisitas. Organisasi yang mempekerjakan humas juga percaya bahwa mereka dapat membuat banyak orang berperilaku sesuai dengan kemauan organisasi melalui image yang mereka tampilkan dalam media. Praktisi humas membantu publik mengkonstruksi image positif mengenai organisasi (Grunig, 2001). Demikian, humas diakui sebagai salah satu unsur penting dalam mencapai keberhasilan organisasi. Diakui pula humas merupakan bagian vital dari proses komunikasi yang dijalankan oleh sebuah lembaga baik itu lembaga ekonomi, sosial, dan pemerintah karena humas membantu menyeimbangkan kepentingan organisasi dengan kepentingan publik 1 organisasi. Secara garis besar humas menurut The International Public Relations Association (dalam Sukendro, 2009: 7) bertanggungjawab membantu manajemen memberikan tanggapan terhadap opini publik, menetapkan tanggungjawab manajemen untuk melayani kepentingan umum, membantu manajemen memanfaatkan perubahan secara efektif, bertindak sebagai sistem peringatan dini, dan menggunakan penelitian serta teknik komunikasi yang sehat dan etis sebagai sarana utama. Salah satu organisasi yang memerlukan humas dalam pelaksanaan tugas-tugasnya adalah rumah sakit. Menurut data Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per Mei 2012, jumlah rumah sakit di Indonesia sudah mencapai 1.959 unit. Rumah Sakit Pemerintah sebanyak 785 unit, yang terdiri dari Kemenkes sebanyak 40 unit, Pemerintah Provinsi 88 unit, Pemerintah Kabupaten 423 unit, Pemerintah Kota 89 unit, Kementerian lain 2 unit, TNI 109 unit, dan Polri 34 unit. Sedangkan Rumah Sakit Swasta non profit 699 unit, swasta privat 403 unit, dan BUMN 77 unit (Meryana, 2012). Rumah sakit sebagai organisasi pelayanan kesehatan haruslah memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat. Oleh karena itu, rumah sakit memiliki kewajiban meningkatkan mutu pelayanannya. Pemerintah telah membuat kebijakan berkaitan dengan peningkatan mutu yang harus dijalankan rumah sakit. Kebijakan tersebut tertuang dalam UU nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, dimana dalam pasal 40 tercantum bahwa upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala, minimal tiga tahun sekali. Proses akreditasi ini dilaksanakan oleh suatu lembaga independen baik dari dalam negeri seperti halnya Komisi Akreditasi Rumah Sakit maupun dari luar negeri seperti Joint Commission International sesuai dengan standar akreditasi yang berlaku. Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan dr Supriyantoro, Sp.P MARS dalam acara Workshop Akreditasi Rumah Sakit Kementrian Kesehatan RI dengan Standar Internasional, menambahkan bahwa untuk menjawab tantangan era globalisasi dan 2 pasar bebas yang menuntut peningkatan standar mutu dalam berbagai pelayanan, termasuk pelayanan kesehatan maka pelayanan kesehatan bermutu tinggi di rumah sakit menjadi hal yang mutlak. Hal ini agar rumah sakit dapat berkompetisi baik di tingkat regional, nasional maupun internasional serta dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat sehingga dapat mengurangi keinginan masyarakat berobat ke luar negeri dan mencegah keluarnya devisa negara (Rosdiyansah, 2012). Saat ini, sembilan rumah sakit di Indonesia telah menyandang gelar rumah sakit berakreditasi internasional, yaitu RS Siloam Gleneagles Karawaci Banten, RS Santosa Bandung, RS Eka Bumi Serpong Damai Tangerang, RS Gatot Subroto, RS Cipto Mangunkusumo, RS Fatmawati, RSUP Sanglah Bali, RS Bintaro Premier Tangerang, dan RS Premier Jatinegara Jakarta Timur. RS Santosa menjadi rumah sakit pertama di Jawa Barat yang mendapatkan akreditasi dari Joint Commission International (JCI) yang berpusat di Amerika Serikat, dengan hasil yang menggembirakan yaitu tingkat kepatuhan terhadap standar internasional mencapai lebih dari 97%. Hal inilah yang kemudian mendorong RSUP Dr Sardjito, salah satu rumah sakit besar di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk meraih gelar rumah sakit berakreditasi internasional. RSUP Dr Sardjito merupakan rumah sakit umum berstandar nasional yang terakreditasi ISO 9001/2008. RSUP Dr Sardjito dilengkapi dengan beragam fasilitas, seperti 29 instalasi dengan 750 bed dan 23 staf medis fungsional yang akan memberikan pelayanan berbasis kepuasan pelanggan (Humas RSUP Dr Sardjito, 2013). Dalam upayanya meraih gelar rumah sakit berakreditasi internasional, RSUP Dr Sardjito melakukan berbagai kegiatan seperti pembentukan kepanitiaan persiapan akreditasi, seminar penyuluhan, workshop akreditasi, dan lain sebagainya. Tentunya dalam melaksanakan berbagai kegiatan tersebut RSUP Dr Sardjito mengerahkan kinerja seluruh satuan kerja di dalamnya. Setiap jabatan yang dipegang oleh satuan kerja rumah sakit memiliki peranan penting guna mensukseskan proses penilaian ini termasuk bagian humas RSUP Dr Sardjito. 3 Humas berdasarkan ranahnya memiliki peran dalam beberapa standar. Dalam proses akreditasi rumah sakit sendiri, JCI mempunyai kriteria penilaian tersendiri. Secara garis besar JCI mempunyai 14 komponen standar yang terbagi menjadi dua fokus utama, yaitu fokus pada pasien dan fokus pada manajemen pelayanan kesehatan. Peran humas salah satunya dapat dilihat dalam pelaksanaan standar yang memerlukan publikasi. Salah satu komponen standar yang mengharuskan adanya publikasi berupa leaflet adalah Patient Family Right (PFR). Dalam hal ini tujuan dicetaknya leaflet adalah untuk mengedukasi pasien dan keluarga mengenai hak dan kewajiban mereka sebagai pasien dan keluarga. Selain dalam standar PFR, humas RSUP Dr Sardjito juga berperan dalam standar Management of Communication and Information (MCI). Humas akan bertanggungjawab pada pengelolaan komunikasi dan informasi. Humas RSUP berperan dalam proses produksi media komunikasi dan sosialisasi informasi. Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa humas RSUP Dr Sardjito memiliki peran penting dalam proses akreditasi ini. Berbagai kegiatan yang dijalankan rumah sakit sebagai upaya meraih gelar rumah sakit berakreditasi internasional ini nantinya akan berkenaan dengan peran yang dijalankan humas. Penelitian ini berusaha untuk memberikan gambaran mengenai peran dan kontribusi humas RSUP Dr Sardjito dalam berbagai kegiatan yang dijalankan rumah sakit sebagai upaya meraih gelar rumah sakit berakreditasi internasional. Rumusan Masalah B. B.Rumusan Bagaimana peran Humas RSUP Dr Sardjito dalam upaya meraih gelar rumah sakit berakreditasi internasional oleh Joint Commission International (JCI)? Tujuan Penelitian C. C.Tujuan Untuk mengetahui peran dan kontribusi Humas RSUP Dr Sardjito dalam upaya meraih gelar rumah sakit berakreditasi internasional oleh Joint Commission 4 International (JCI). Manfaat Penelitian D. D.Manfaat 1. Bagi akademisi a. Meningkatkan pengetahuan mengenai implementasi serta peran humas rumah sakit dalam upaya meraih gelar rumah sakit berakreditasi internasional. 2. Bagi perusahaan a. Menjadi bahan kajian dan pertimbangan bagi RSUP Dr Sardjito guna meningkatkan kinerja humas RSUP Dr Sardjito. b. Memberikan alternatif solusi dan masukan yang bermanfaat bagi pihak humas RSUP DR Sardjito terhadap masalah yang dihadapi ketika proses akreditasi pada RSUP Dr Sardjito berlangsung. Kerangka Pemikiran E. E.Kerangka Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori sesuai dengan topik penelitian. Teori akan digunakan sebagai landasan pemikiran dalam mengelompokkan data dan menganalisis data temuan di lapangan nanti. Pertama, hubungan masyarakat berisi definisi, fungsi, dan peran hubungan masyarakat. Kedua, hubungan masyarakat dalam organisasi pelayanan kesehatan yang berisi fungsi dan peran hubungan masyarakat dalam organisasi rumah sakit. Ketiga, akreditasi dalam rumah sakit yang berisi jenis akreditasi dan akreditasi oleh JCI itu sendiri. Peneliti memaparkan secara runtut tiga pemikiran tersebut sehingga akan muncul kerangka pemikiran yang saling berhubungan. 1. Hubungan Masyarakat Sebuah organisasi memiliki hubungan interdependensi dengan lingkungan organisasi. Oleh karena itu, organisasi dibebani tanggungjawab sosial yaitu harus dapat menerima amanat dari publik, berkomunikasi dengan publik yang beragam, 5 dan berintegrasi dengan komunitas yang akan dilayani. Disinilah kemudian muncul humas dengan tugasnya yaitu membantu organisasi untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungannya melalui komunikasi strategis. Humas juga akan membantu organisasi agar lebih proaktif pada lingkungannya. Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli guna menangkap esensi dari humas dengan menyebutkan aktivitas-aktivitas utama dalam prakteknya. Public Relations Society of America (PRSA) berusaha memberikan definisi bidang ini kepada masyarakat yakni, pengertian humas yang menekankan kontribusi humas terhadap masyarakat, “Public Relations is a strategic communications process that builds mutually beneficial relationships between organizations and their publics”. Definisi ini lebih fokus pada humas sebagai suatu proses komunikasi dan menekankan hubungan yang saling menguntungkan. Dalam hal ini, humas harus mampu menyelaraskan kepentingan kedua belah pihak melalui proses komunikasi yang strategis. Selain itu, Long dan Hazelton (dalam Wilcox dan Cameron, 2009: 6) merumuskan definisi humas modern yaitu, “Public Relations as communication function of management through which organizations adapt to, alter, or maintain their environment for the purpose of achieving organizational goals”. Pendekatan dengan konsep ini menginterpretasikan bahwa kegiatan humas lebih dari sekedar tindakan persuasif. Komunikasi dua arah dan pemahaman satu sama lain mengartikan bahwa tidak hanya target audiens (publik) saja yang mengubah attitude dan behavior dalam prosesnya, tetapi juga organisasinya. Definisi humas lainnya diungkapkan melalui keberadaan humas dalam organisasi. Putra (1999: 8) menjelaskan lebih jauh keberadaan humas dengan membedakannya menjadi : a. Fungsi manajemen ... humas berkaitan dengan pemikiran-pemikiran pada tingkat manajemen. Hal ini berkaitan dengan bagaimana sebuah organisasi menyusun kebijakan 6 sehingga memperlihatkan sebuah kinerja yang bertanggungjawab. Ini menunjukan bahwa humas bukan alat manajemen yang dapat diadakan, dipindah, dan ditiadakan, melainkan fungsi yang melekat menjadi satu dengan manajemen. b.Fungsi komunikasi … humas sebagai fungsi komunikasi penting dipahami bahwa, kegiatan utama pada humas adalah melakukan komunikasi. Maka dikatakan, humas sebagai fungsi staf khusus yang memahami para pemimpin organisasi, khususnya yang membantu organisasi dalam berkomunikasi dengan publiknya. Banyaknya definisi tentang humas tersebut mendorong beberapa ahli untuk memberikan rumusan yang memudahkan mengenal humas. Black misalnya, menyatakan bahwa istilah humas dapat dirangkum dalam kata kunci yakni reputation, perceptions, credibility, confidence, harmony, dan seeking mutual understanding. Sementara Wilcox, Ault, dan Agee (dalam Putra, 1999: 3), menyarankan penggunaan sejumlah kata kunci untuk mengingat definisi humas yang beraneka ragam tersebut. Sejumlah kata kunci yang dimaksud adalah: a. Deliberate (sengaja) Kegiatan humas pada dasarnya adalah kegiatan yang disengaja atau intentional. Publik adalah segala-galanya bagi perusahaan. Tak heran jika perusahaan akan menjamu dan melayani publik dengan sebaik-baiknya. b. Planned (terencana) Kegiatan humas adalah kegiatan yang terorganisir rapi, terencana, harus sistematis dan dilakukan melalui analisis yang cermat dengan bantuan riset. c. Performance (kinerja) Humas yang efektif harus didasarkan pada kebijakan dan penampilan yang sesungguhnya. Dengan kinerja yang baik dan berkualitas, maka citra serta kredibilitas perusahaan juga akan turut gemilang. 7 d. Public interest (kepentingan publik) Alasan mendasar dari kegiatan humas adalah untuk memenuhi kepentingan publik, tidak hanya untuk membantu organisasi meningkatkan keuntungan. Idealnya, kegiatan humas harus dapat menyeimbangkan keuntungan antara perusahaan dengan publiknya. e. Two ways communication (komunikasi dua arah) Kegiatan humas dikembalikan pada makna komunikasi sesungguhnya yaitu pertukaran informasi antara pihak-pihak yang berhubungan satu sama lain. f. Management function (fungsi manajemen) Kegiatan humas meliputi kegiatan konseling dan pemberian saran kepada pihak-pihak lain. Humas juga berperan dalam proses pengambilan keputusan perusahaan dan ikut terlibat mengarahkan arah pergerakan perusahaan. Selain itu, guna memahami humas lebih lanjut juga dapat dilihat melalui fungsi humas dalam sebuah organisasi. Fungsi humas merupakan harapan publik terhadap apa yang seharusnya dilakukan oleh humas sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang humas. Jadi, humas dikatakan berfungsi apabila dia mampu melakukan tugas dan kewajibannya dengan baik. Canfield (1964: 6) menyebutkan humas mengemban tiga fungsi, yaitu : a. Praktisi humas harus dapat menciptakan, membina serta memelihara hubungan baik dengan publiknya baik itu internal maupun eksternal. b. Sebagai perantara antara pimpinan dan publiknya, praktisi humas harus dapat membina komunikasi yang terarah dan efektif. c. Praktisi humas harus menjadi teladan dan panutan dengan cara menjaga wibawa, moral, dan tingkah laku. Dari fungsi humas tersebut, dapat dipahami pula kontribusi atau peran humas dalam organisasi. Peran humas dalam organisasi merujuk pada praktek humas 8 yang didasarkan pada capaian-capaian yang telah diperoleh praktisi humas dalam setting organisasi. Dozier (dalam Putra, 2008: 18) menjelaskan bahwa peranan praktisi humas merupakan salah satu kunci untuk pemahaman fungsi humas dan komunikasi organisasi. Peranan praktisi humas juga merupakan salah satu kunci untuk pengembangan pencapaian profesional dari praktisi humas. Artinya, hanya dengan peran manajer realisasi humas yang profesional dapat tercapai. Grunig & White (dalam Bartlett, 2005) menambahkan bahwa peran humas, seperti ilmu-ilmu sosial lainnya, terikat untuk memahami dan menjelaskan perilaku. Cutlip, Center dan Broom (2006: 46) mengkategorikan empat peran humas, antara lain : a. Expert Prescriber (Penasehat Ahli) Praktisi humas dengan pengalaman dan keterampilan yang dimiliki, membantu manajemen untuk mencari solusi penyelesaian masalah yang dihadapi oleh organisasi. Manajemen percaya bahwa sebagai ahli, praktisi humas akan menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah yang dihadapinya sehingga manajemen menjadi pasif dan menerima apa yang telah diusulkan praktisi humas. Organisasi dengan publik yang luas dan memiliki banyak ancaman membutuhkan peranan expert prescriber. Organisasi sering menghadapi masalah atau krisis karenanya dibutuhkan humas yang mampu mendeteksi kemungkinan timbulnya krisis, membuat perencanaan pencegahan atau penyelesaian, serta melaksanakan evaluasi. Ini dapat ditemui di perusahaan penerbangan, perusahaan-perusahaan dengan produk atau jasa strategis seperti listrik, gas, bahan bakar, dan lainnya. b. Communication Facilitator (Fasilitator Komunikasi) Humas membantu manajemen menciptakan kesempatan-kesempatan untuk mendengar apa kata publik. Selain itu, praktisi humas juga dapat menciptakan peluang agar publik penting seperti konsumen, karyawan, 9 warga komunitas, dapat mengetahui atau mendengar apa yang diharapkan manajemen. Humas berfungsi sebagai bagian penting penganalisis situasi, memiliki peran yang intens dalam pengembangan prosedur, kebijakan, produk dan aksi perusahaan. Mereka juga memiliki power mengubah sesuatu yang seharusnya diubah. Mereka harus terlibat dalam segala bentuk perubahan organisasi. Melalui peran ini humas menjadi paham spirit setiap program baik motivasi maupun tujuan mengapa program harus dilaksanakan, Humas mendukung perubahan strategis organisasi, keputusan yang sifatnya taktis dan memiliki komitmen pada perubahan dan mampu menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam rangka pencapaian tujuan program. Humas dimasukkan sebagai tim manajemen karena mampu menunjukkan kemampuan dan nilai dalam membantu manajemen menangani serta menyelesaikan permasalahan. Peran communication facilitator dijalankan oleh organisasi yang memiliki lingkungan luas namun tidak mengancam atau ancamannya rendah bahkan tidak ada ancaman. Ini dapat ditemui di lembaga pendidikan dan beberapa lembaga pemerintahan. c. Problem-Solving Facilitator (Fasilitator Proses Pemecahan Masalah) Humas membantu kerja manajemen melalui kerjasama dengan bagian lain dalam organisasi guna menemukan pemecahan masalah secara memuaskan. Humas merupakan bagian dari tim manajemen yang membantu organisasi dan para pimpinannya melalui proses penyelesaian masalah secara rasional. Para pelaku peran ini juga menempatkan dirinya sebagai sumber informasi dan sebagai kontak antara organisasi dan publiknya. Sebagai wasit dari interaksi, memantapkan agenda yang akan didiskusikan antara dua belah pihak, menyimpulkan pandangan, bereaksi terhadap kasus, 10 membantu partisipan mendiagnosa masalah, membantu menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan komunikasi. Humas menjadi boundary spanner antara perusahaan dan publiknya. Humas bekerja di bawah asumsi bahwa two ways communication mampu meningkatkan kualitas pengambilan keputusan organisasi dan publik dalam hal prosedur, kebijakan, serta tindakan lain yang berhubungan dengan minat kedua belah pihak. Organisasi dengan lingkungan sederhana namun penuh ancaman tentunya akan mengalami banyak permasalahan. Oleh karena itu, dibutuhkan peranan problem-solving facilitator. Contoh masalah yang sering dihadapi adalah konflik tenaga kerja, peraturan pemerintah yang menghambat, dan persaingan yang tidak sehat. Contoh lembaga yang mengalaminya adalah lembaga keuangan dan asuransi, biro konsultasi humas, perusahaan marketing communication dan lainnya. d. Communication Technician (Teknisi Komunikasi). Humas menyediakan layanan teknis komunikasi untuk organisasi sehingga kemampuan jurnalistik dan komunikasi sangat diperlukan. Humas diarahkan untuk berperan menulis news letter, in house journal, news release, feature, dan lain sebagainya. Biasanya praktisi dalam peran ini tidak hadir pada saat manajemen menemui kesulitan karena tidak dilibatkan dalam manajemen sebagai pengambil keputusan. Sedangkan keputusan untuk teknis komunikasi yang harus dijalankan ditentukan oleh pihak lain dalam organisasi. Peran humas ini lebih ke arah penulisan tools dan mengimplementasikan program. Humas sebagai "the last to know". Communication technician dibutuhkan oleh organisasi yang cenderung stabil dengan ancaman lingkungan yang rendah. Artinya, lingkungan organisasi yang sederhana dan tidak banyak ancaman akan menjadikan organisasi lebih stabil sehingga yang dibutuhkan hanyalah peran teknisi 11 humas. Ini sering ditemui pada lembaga non profit dan lembaga sosial (charity). Keempat peran tersebut kemudian dipilah lagi menjadi kedua kategori peran sebagaimana menurut pendapat Dozier (dalam Putra, 2008: 19), yaitu: a. Peran Manajer Komunikasi (The Communication Manager Role) Humas merangkum tiga peran yaitu expert prescriber, problem-solving facilitator, dan communication facilitator yang bertugas mengelola respon organisasi terhadap isu dan mencari solusi penyelesaian isu, memanfaatkan riset untuk segmentasi publik, mengembangkan goals dan objectives untuk bagian humas, riset evaluasi dan anggaran humas. b. Peran Teknisi Komunikasi (The Communication Technician Role) Teknisi humas menyediakan pelayanan teknis untuk implementasi program kehumasan seperti menulis dan menyunting, memproduksi media (cetak maupun audio-visual), fotografi, melakukan konferensi press dan mengatur peliputan media terhadap suatu event, menciptakan dan mengelola biro jubir. Hal yang sangat mendasar yang membedakan kedua peran humas tersebut adalah pada keterlibatan praktisi humas dalam proses pengambilan keputusan di tingkat korporat. Sebagai teknisi, praktisi humas tidak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan manajemen. Sedangkan sebagai manajer, praktisi humas terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Lauzen (dalam Putra, 2008: 20), para praktisi yang menjalankan peranan manajerial, utamanya membuat keputusan kebijakan dan dianggap bertanggung jawab terhadap gagal atau berhasilnya sebuah program humas. Lebih lanjut peran humas dalam organisasi disampaikan dalam Penelitian Universitas Wisconcin dan Universitas San Diego yang menambahkan kedua peran di atas dengan dua peran lain. Dua peran humas tersebut, yaitu: 12 a. The Media Relation Role Humas melayani tugas-tugas manajer kelas atas dengan mengatasnamakan organisasi dalam setiap event dan pertemuan dengan pihak eksternal serta membuka kesempatan berkomunikasi dua arah antara manajer dengan publiknya. b. The Communication Liason Role Humas menjadikan bagian-bagian organisasi well-informed tentang apa yang dikerjakan oleh media, menjalankan peran komunikasi yang timbal balik dengan media, memproduksi media, dan menyebarkan pesan. Peran humas lainnya disampaikan oleh Waters (2007) dalam “The Roles We Play: A Study of the Public Relations Roles Nonprofit Organizations' Board Members Play”. Waters meneliti peran humas dengan mengevaluasi 48 aktivitas yang dijalankan dewan direksi dalam empat organisasi nirlaba yaitu Healthcare Organization, Child Welfare Organization, Arts Organization, dan Homeless Services Organization. 48 aktivitas tersebut dipilih berdasarkan literature review, wawancara dengan direktur eksekutif organisasi nirlaba, dan focus group yang dijalankan oleh dewan direksi. Berdasarkan penelitian tersebut terdapat empat peran humas dalam organisasi nirlaba, yaitu: a. The Strategist Humas sebagai the strategist menggunakan perencanaan strategis dalam setiap aspek organisasi, termasuk komunikasi, outreach, dan penggalangan dana. b. The Connector Humas sebagai jembatan antara organisasi dan masyarakat. Humas berusaha menjangkau orang lain dalam masyarakat dan mengundang mereka untuk menjadi bagian dari organisasi. Sama seperti strategis, humas secara aktif terlibat dalam semua aspek kepemimpinan nirlaba. Salah satu kegiatan utama dari the connector adalah merekrut relawan dan anggota dewan baru. Selain itu, humas juga terlibat dalam advokasi kepada para pemimpin politik, 13 hosting acara penggalangan dana, dan memperkenalkan masyarakat untuk organisasi. Disebut sebagai the connector karena bertugas membawa orang lain ke dalam organisasi dan membuat orang lain itu terlibat dalam organisasi. c. The Financier Peran ini berfokus kuat pada uang sehingga diberi label "financier". Menurut riset, the financier dibagi menjadi dua. Pertama, financier beban positif akan berkaitan dengan kesehatan fiskal organisasi. Mereka menuntut laporan fiskal yang berkualitas dan secara aktif terlibat dalam strategi investasi organisasi. Selain itu, mereka terlibat dalam kegiatan penggalangan dana untuk memastikan bahwa organisasi aman secara finansial. Sementara financier dengan beban negatif menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan organisasi bukanlah suatu kegiatan dimana mereka harus berpartisipasi d. The Generalist Peran sebagai the generalist adalah melakukan penelitian dengan perencanaan strategis, menjangkau para pemangku kepentingan di masyarakat, dan membantu kampanye penggalangan dana. Salah satu kegiatan yang unik dalam peran ini yang diidentifikasi sebagai penting untuk keanggotaan dewan adalah terlibat dalam rapat secara rutin. Generalist menghargai pertemuan dan waktu. Mereka tidak hanya membaca semua bahan untuk pertemuan, tetapi mereka juga secara aktif berpartisipasi di dalamnya. Melihat keempat peran ini dapat disimpulkan bahwa keempat peran ini masih berhubungan dengan dua peran humas yang disampaikan sebelumnya, yaitu peran manajerial dan peran teknisi. Keempat peran humas ini masih berkutat pada peran humas dalam level manajerial dan level teknisi seperti proses perencanaan strategis yang termasuk pada level manajerial dan proses penggalangan dana yang termasuk pada level teknisi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini konsep peran humas yang akan digunakan adalah konsep peran humas menurut Dozier. Hal ini terkait dengan humas yang pada dasarnya hanya 14 mengemban dua peran pokok meskipun aktivitas humas pada konsep peran humas lainnya memiliki istilah yang berbeda. Selain itu, konsep peran humas ini lebih mudah diaplikasikan di lapangan oleh obyek penelitian yaitu Humas RSUP Dr Sardjito. Terdapat satu hal kecil tetapi penting untuk diperhatikan dalam menerapkan peran humas yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan organisasi. Hal tersebut yaitu peran yang dijalankan oleh humas akan menjadi efektif jika para penentu jenis peran dan pelaksananya memahami bagaimana peran tersebut nantinya dapat membantu bertemunya tujuan yang hendak dicapai bagian humas dan keseluruhan hasil yang ingin dicapai organisasi. Selain peran humas menjadi efektif, humaspun dapat berperan secara maksimal untuk pencapaian keberhasilan organisasi. 2. Humas dalam Organisasi Pelayanan Kesehatan Menurut Cutlip, Center, dan Broom (2006: 514) terdapat dua tantangan utama yang dihadapi oleh organisasi pelayanan kesehatan. Pertama, menurunnya pembayaran dari pihak ketiga (perusahaan asuransi, Health Maintenance Organizations, dan pemerintah). Pendapatan menurun ini berdampak pada pengurangan anggaran, pemecatan, dan mungkin dapat mempengaruhi kelangsungan hidup organisasi. Tantangan kedua adalah bertambahnya regulasi pemerintah atas rumah sakit dan sistem kesehatan. Beberapa regulasi bersifat wajib, sementara tidak ada pendanaan untuk mengimplementasikan perubahan yang diwajibkan tersebut. Untuk menghadapi kedua tantangan ini, para pemimpin organisasi pelayanan kesehatan berpaling pada humas dan marketing guna mendapatkan bantuan. Marketing mengidentifikasi apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh konstituen rumah sakit dan membantu organisasi memenuhi kebutuhan dan keinginan itu secara efektif. Sebagaimana marketing, humas juga berkembang menjadi fungsi 15 manajemen penting yang diharapkan memberi kontribusi untuk “untung-rugi” organisasi. Dalam hal ini, humas dan marketing merupakan fungsi manajemen yang berbeda dengan hasil capaian yang berbeda. Namun mereka bekerjasama dengan kekuatan masing-masing untuk kelangsungan hidup organisasi. Faktor yang mendorong perkembangan humas dalam organisasi pelayanan kesehatan atau rumah sakit salah satunya adalah kompetisi untuk memperebutkan costumer (Cutlip, Center, dan Broom, 2000: 531). Pasien yang menggunakan jasa layanan kesehatan tidak lagi dianggap sebagai orang sakit tetapi sebagai pengguna jasa layanan kesehatan sehingga rumah sakit diharapkan lebih responsif terhadap keinginan dan kebutuhan pasien (customer). Perkembangan humas dalam industri pelayanan kesehatan juga didorong oleh pembiayaan rumah sakit yang semakin tinggi, merger antar rumah sakit dan organisasi pelayanan kesehatan dalam rangka memenangkan persaingan serta munculnya the third party dalam bidang pelayanan kesehatan, yakni perusahaan asuransi (Cutlip, Centre, dan Broom, 2000: 529-530) Oleh karena itu, menurut Cutlip, Center dan Broom (2006: 514), praktisi humas dewasa ini harus memahami bisnis dan keuangan organisasi kesehatan, tahu isu-isu kesehatan, memiliki kemampuan berpikir dan menyusun rencana secara strategis, memiliki keahlian riset untuk memonitor persepsi konsumen, dan mampu bekerja sebagai bagian dari tim, terutama bersama marketing. Selain itu praktisi humas menurut PRSA (PRSA.org) harus dapat bertanggungjawab atas penanganan komunikasi internal dan eksternal untuk fasilitas perawatan kesehatan. Praktisi humas juga harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik karena praktisi humas berinteraksi dengan dokter, perawat, manajemen, dan administrasi. Tanggungjawab lainnya adalah menulis publikasi internal, menangani panggilan media, serta membuat berbagai materi untuk mempromosikan layanan yang ditawarkan pada fasilitas perawatan kesehatan. Anand dan Chakravarti (1981) menambahkan tanggungjawab humas rumah 16 sakit dengan mengidentifikasikan menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Tanggungjawab primer humas rumah sakit adalah urusan gabungan antara wali yang dikuasakan (trustee), administrasi dan anggota humas yang bersangkutan. Sedangkan tanggungjawab sekunder humas terletak pada semua fungsionaris rumah sakit lainnya. Banyak pihak berwenang di dunia yang merasa bahwa dokter justru harus terlibat lebih aktif secara total pada upaya humas rumah sakit karena dokter adalah link yang layak dan terlihat langsung oleh pasien, keluarga, pengunjung, dan masyarakat. Cutlip, Center, dan Broom (1994: 469) kemudian mendefinisikan peran humas dalam organisasi pelayanan kesehatan, yakni humas berperan dalam membangun dan memelihara hubungan baik dengan publik dalam rangka menjaga otonomi organisasi dan sumber daya yang diperlukan untuk meraih misi kemanusiaan mereka. Publik yang dimaksud meliputi karyawan, customer, dokter, media lokal dan nasional, kalangan eksekutif dan legislatif, komunitas lokal organisasi, kalangan pendidikan dan akademisi, pihak asuransi dan perbankan, dan kelompok-kelompok penekan. Rumah sakit membutuhkan kerjasama dengan konstituen pokok (konsultan, staff perawat, dokter, bagian pegawai administrasi, dan pasien) agar berhasil melakukan diagnosis penyakit maupun dalam rangka melakukan perawatan kesehatan (Black, 1993: 58). Hal ini ditegaskan oleh pendapat Anand dan Chakravarti (1981) bahwa dengan sistem humas yang baik rumah sakit tidak hanya mendapat nama baik tetapi juga membantu dalam pemulihan awal pasien. Oleh karena itu, staf rumah sakit dianggap perlu menyadari aspek ini dalam rangka mendapat dukungan penuh dan bantuan aktif. Masing-masing organisasi pelayanan kesehatan memiliki strategi yang berbeda dalam melakukan praktek kehumasan. Beberapa organisasi pelayanan kesehatan atau rumah sakit melakukan pendekatan integratif antara fungsi humas dengan marketing seperti diungkapkan Cutlip, Centre, dan Broom (2000: 531), 17 “public relations in many hospital setting has assumed a marketing or “integrated marketing communication” orientation similar to that in business and industry.” Namun demikian, dalam konteks rumah sakit seperti ditegaskan oleh Cutlip, Center, dan Broom (1994: 505) bahwa rumah sakit memerlukan baik itu humas maupun marketing mengingat mereka mencari hasil yang secara substansial berbeda. 3. Akreditasi dalam Rumah Sakit Rumah sakit, menurut WHO, Expert Committee on Organization of Medical Care, (Yaslis Ilyas, 1999) adalah bagian integral dari organisasi sosial dan kesehatan, yang fungsinya menghasilkan pelayanan kesehatan lengkap kepada masyarakat, baik kuratif maupun preventif dan pelayanan kesehatan pasien termasuk keluarga dan lingkungannya, serta menjadi pusat praktik tenaga kesehatan dan dapat pula menjadi sarana penelitian biososial. Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam lingkup lokal maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut, beberapa dekade terakhir ini muncul istilah akreditasi untuk menilai kualitas suatu organisasi termasuk rumah sakit. Menurut Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS.or.id) akreditasi rumah sakit adalah suatu pengakuan yang diberikan oleh pemerintah pada manajemen rumah sakit, karena telah memenuhi standar yang ditetapkan. Akreditasi rumah sakit merupakan upaya peningkatan mutu yang harus dilaksanakan oleh rumah sakit. Akreditasi juga merupakan tanda pembeda atas kualitas pelayanan yang diberikan rumah sakit terhadap pasien (Armen & Azwar, 2013: 42). Sejak tahun 1993 telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan tentang standar pelayanan rumah sakit, dimana semua rumah sakit di Indonesia, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta, wajib melaksanakan dan memenuhi standar pelayanan yang telah ditetapkan. 18 Dalam upaya mendukung peningkatan mutu pelayanan rumah sakit, Pemerintah membuat kebijakan dalam UU nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, dimana pada pasal 40 ayat 1 tercantum bahwa upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala, minimal 3 tahun sekali. Status akreditasi ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Medik. Adapun hasil status akreditasi rumah sakit terdiri dari : a. Tidak akreditasi (gagal) b. Akreditasi bersyarat c. Akreditasi penuh d. Akreditasi istimewa. Status akreditasi ini dibuat berdasarkan temuan survei. Keputusan akreditasi ini juga didasarkan pada apakah rumah sakit telah memenuhi Kaidah Keputusan. Deskripsi Kaidah Keputusan dapat dilihat dalam Panduan Proses Survei dari lembaga pengakreditasi rumah sakit tersebut. Indonesia sendiri memiliki lembaga pengakreditasi berskala nasional yang bernama Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). KARS adalah lembaga independen pelaksana akreditasi rumah sakit yang bersifat fungsional, non struktural dan bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan. KARS tersebut dibentuk pertama kali pada tahun 1995 dan setiap 3 (tiga) tahun peraturan diperbarui, yang terakhir diperbarui melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 417/Menkes/Per/II/2011 tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit, dengan tugas dan fungsi melaksanakan akreditasi di Indonesia (KARS.or.id). Di Indonesia sendiri, Akreditasi Rumah Sakit pertama kali dilaksanakan pada tahun 1995, dengan 5 pelayanan, kemudian pada tahun 1998 bertambah menjadi 12 pelayanan dan pada tahun 2001 menjadi 16 pelayanan. Namun dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta makin kritisnya masyarakat Indonesia dalam menilai mutu pelayanan kesehatan, maka dianggap perlu perubahan yang bermakna terhadap mutu rumah sakit di Indonesia. 19 Perubahan tersebut tentunya harus diikuti dengan pembaharuan standar akreditasi rumah sakit yang lebih berkualitas dan menuju standar Internasional. Hal ini didukung dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan No. 659 tahun 2009 tentang Rumah Sakit Indonesia Kelas Dunia, serta SK Menteri Kesehatan No. 1195 Tahun 2010 tentang Lembaga Akreditasi Rumah Sakit Bertaraf Internasional. Semua peraturan tersebut menunjukkan betapa besarnya perhatian pemerintah terhadap mutu pelayanan rumah sakit, sekaligus mengisyaratkan bahwa arah pengembangan mutu pelayanan rumah sakit adalah menuju kualitas pelayanan berstandar Internasional. Salah satu kelompok akreditasi internasional yang paling dikenal adalah Joint Commission International (JCI). JCI merupakan versi internasional dari The Joint Commission (USA). Selama lebih dari 75 tahun, The Joint Commission (USA) dan organisasi pendahulunya didedikasikan untuk meningkatkan kualitas dan keamanan pelayanan kesehatan. Kini The Joint Commission (USA) merupakan pemberi akreditasi terbesar di Amerika Serikat pada bidang organisasi pelayanan kesehatan. Lembaga ini menyurvei lebih dari 16.000 program layanan kesehatan mealui proses akreditasi sukarela (jointcommissioninternational.org). JCI sendiri telah memeriksa dan mengakreditasi fasilitas perawatan kesehatan dan rumah sakit di luar Amerika Serikat sejak tahun 1999. Sama halnya dengan The Joint Commission (USA), JCI merupakan lembaga nirlaba nonpemerintah. JCI memiliki misi untuk memperbaiki mutu dan keselamatan pelayanan kesehatan pada masyarakat Internasional. Kegiatan dilakukan melalui proses akreditasi yang dirancang untuk meningkatkan budaya mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit sehingga rumah sakit dapat senantiasa meningkatkan proses dan hasil pelayanan kesehatan (Humas RSUP Dr Sardjito, 2012). Standar JCI disusun berdasarkan dua fungsi utama yaitu fungsi menyediakan pelayanan bagi pasien dengan dukungan fungsi organisasi yang mengutamakan 20 keselamatan, keefektivitasan, dan pengelolaan yang baik (Humas RSUP Dr Sardjito, 2012). Standar tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bagian I: Standar yang berfokus pada pasien (Patient Centered Standards) Bagian ini terdiri dari 8 komponen dan setiap komponen memiliki standar yang harus dipenuhi oleh rumah sakit. Delapan komponen tersebut adalah: a. IPSG- International Patient Safety Goal (Sasaran Internasional Keselamatan Pasien) b. CC- Access to Care and Continuity of Care (Akses Pelayanan dan Kesinambungan Pelayanan) c. PFR- Patient Family Right (Hak Pasien dan Keluarga) d. AOP- Assessment of Patient (Asesmen Pasien) e. COP- Care of Patient (Perawatan Pasien) f. ASC- Anesthesia and Surgical Care (Perawatan Anestesi dan Bedah) g. MMU- Medication Management and Use (Penggunaan dan Manajemen Obat-obatan) h. PFE- Patient and Family Education (Penyuluhan Pasien dan Keluarga Pasien) 2. Bagian II: Standar Manajemen Organisasi Pelayanan Kesehatan (Care Organization Management Standards) Bagian ini terdiri dari enam komponen dengan standarnya masing-masing yang harus dipenuhi dalam pengelolaan rumah sakit. Enam komponen tersebut adalah: a. QPS- Quality Improvement and Patient Safety (Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien) b. PCI- Prevention and Control Infection (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) c. GLD- Governance, Leadership, and Direction (Tata Kelola, Kepemimpinan, dan Pengarahan) 21 d. FMS- Facility Management and Safety (Manajemen dan Keamanan Fasilitas) e. SQE- Staff Qualification and Education (Kualifikasi dan Pendidikan Staff f. MCI- Management of Communication and Information (Manajemen Komunikasi dan Informasi) Standar di atas diterapkan pada berbagai tingkatan organisasi di rumah sakit. JCI akan menilai kepatuhan rumah sakit dalam melaksanakan 14 standar tersebut. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan berkewajiban untuk memantau, menilai serta mendorong rumah sakit untuk melaksanakan standar sehingga mutu pelayanan rumah sakit dapat dipertanggung-jawabkan. F. Kerangka Konsep Penelitian ini berfokus pada peran humas dalam proses akreditasi rumah sakit. Dalam konsep peran humas, humas memainkan dua peranan yaitu peran manajerial dan peran teknisi. Dua konsep peran humas ini akan digunakan untuk menganalisis peran humas dalam komponen standar akreditasi rumah sakit oleh JCI. Akreditasi rumah sakit oleh JCI memiliki 14 komponen standar yang harus dipenuhi oleh rumah sakit. Standar disusun berdasarkan dua fungsi utama yaitu fungsi menyediakan pelayanan bagi pasien dengan dukungan fungsi organisasi yang mengutamakan keselamatan, keefektivitasan, dan pengelolaan yang baik. Standar diterapkan pada berbagai tingkatan organisasi di rumah sakit dan dinilai berdasarkan kepatuhan rumah sakit dalam melaksanakan standar tersebut. Secara operasional, peran humas dalam akreditasi dapat dilihat dari kegiatan atau aktivitas yang dilakukan humas dalam proses akreditasi, yaitu: 1. Peran manajerial a. Memiliki keterlibatan dalam proses perencanaan hingga pembuatan keputusan dalam komponen standar akreditasi. 22 b. Memberi masukan, pertimbangan dan saran kepada tim dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan komponen standar. c. Melakukan riset dan evaluasi terhadap pelaksanaan komponen standar. d. Mengelola respon organisasi terhadap isu dan mencari solusi penyelesaian isu yang berkaitan dengan komponen standar. e. Menyusun anggaran humas yang berkaitan dengan komponen standar. 2. Peran teknisi. a. Menjalankan program-program hasil implementasi kebijakan yang berdasarkan komponen standar. b. Memproduksi media seperti brosur dan poster berdasarkan pada komponen standar. c. Menyebarkan brosur dan memasang poster sebagai bentuk sosialisasi dan publikasi program. d. Melakukan dokumentasi kegiatan yang terkait dengan komponen standar. e. Bertindak sebagai juru bicara dalam konferensi pers terkait dengan komponen standar. ologi Penelitian G. Metod Metodologi 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk menekankan pada persoalan kedalaman (kualitas) data, dengan cara menjelaskan fenomena dengan pengumpulan data sedalam-dalamnya. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yang hanya memaparkan situasi dan peristiwa, tidak mencari atau menjelaskan hubungan serta tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Penelitian kualitatif menurut Denzin dan Lincoln (2008: 3) merupakan penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan 23 melibatkan berbagai metode yang ada. Penelitian dengan jenis ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data berupa kata-kata dan gambar dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya. Data yang sudah terkumpul tersebut kemudian akan dianalisis untuk menghasilkan sebuah kesimpulan. 2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus. Menurut Yin (2009: 18) studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tidak tampak dengan tegas dan dimana multisumber bukti dimanfaatkan. Yin (2009: 9) juga menuturkan bahwa studi kasus juga lebih banyak berupaya menjawab pertanyaan “how” atau “why”, serta pada tingkat tertentu menjawab pertanyaan "what" dalam kegiatan penelitian. 3. Lokasi dan Obyek Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di RSUP Dr Sardjito yang beralamatkan di Jalan Kesehatan No. 1 Sekip, Yogyakarta. Obyek penelitian ini adalah kegiatan-kegiatan yang dijalankan oleh Humas RSUP Dr Sardjito dalam proses meraih akreditasi internasional oleh JCI. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif, penelitian ini akan menggunakan berbagai macam sumber data yaitu sumber data primer dan sekunder. Data primer berasal dari pihak-pihak yang berhubungan langsung dan memahami objek penelitian. Sedangkan data sekunder merupakan teori dan konsep dari literatur-literatur seperti pemikiran beberapa ahli, pakar komunikasi, 24 jurnal, kajian ilmiah, artikel di media cetak maupun elektronik serta arsip-arsip yang berkaitan dengan penelitian. Peneliti mengumpulkan data dengan teknik wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi. a. Wawancara mendalam Peneliti akan melakukan wawancara dengan pihak humas RSUP Dr Sardjito yang terdiri dari kepala bagian, kepala sub bagian, dan staf humas lainnya. Hasil wawancara yang diperoleh meliputi pendapat dan informasi tentang proses akreditasi. Wawancara ini akan dilakukan secara mendalam dengan menggunakan panduan wawancara (interview guide) sebagai acuan agar peneliti dapat melakukan wawancara secara terarah dan tidak menyimpang dari aspek-aspek relevan yang akan dibahas. b. Observasi Peneliti melakukan kunjungan ke RSUP Dr Sardjito selama proses persiapan akreditasi berlangsung. Peneliti mengamati peran humas pada level manajerial dan teknisi dalam proses akreditasi. Melalui pengamatan atau observasi secara langsung peneliti dapat memperoleh data yang tidak semuanya mampu diungkap secara detail melalui wawancara. Salah satunya seperti tempat dimana media dipasang. c. Studi dokumentasi Peneliti berupaya untuk menjawab masalah penelitian dengan menggunakan dokumen yaitu data tertulis yang telah diolah oleh orang lain atau suatu lembaga (Adi, 2004: 61). Dokumen ini meliputi pedoman akreditasi, surat-surat, notulensi rapat, laporan, artikel, proposal dan lain-lain. Studi dokumentasi merupakan cara untuk meminimalisir bias dari teknik wawancara sekaligus untuk menguji keabsahan data dari hasil studi lapangan. 25 5. Uji Validitas Data Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dikatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Cara menguji validitas data adalah dengan menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi berarti menggunakan bukti dari berbagai sumber (Yin, 2009: 114). Peneliti menggunakan triangulasi bertujuan untuk membandingkan data tentang peran humas RSUP DR Sardjito dalam upaya meraih akreditasi internasional dari berbagai sumber data agar ada jaminan tentang tingkat kepercayaan data. Teknik ini berupaya menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang terjadi pada pengumpulan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan, dengan kata lain peneliti akan melakukan "check dan recheck" temuan-temuanya dengan cara membandingkan. Peneliti menggunakan tiga sumber data yang berasal dari wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi. Peneliti akan membandingkan data dari hasil wawancara mendalam mengenai peran humas RSUP Dr Sardjito dalam proses akreditasi dengan observasi, dan dokumen berkaitan yang didapatkan selama penelitian. Dokumen ini meliputi surat-surat, notulensi rapat, laporan, artikel, proposal dan lain sebagainya. 6. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan dengan mengamati, mengkategorikan, menyusun dan menggabungkan data-data yang telah dikumpulkan. Strategi umum pertama yang digunakan adalah proporsi teoritis yang akan menuntun studi kasus digambarkan dengan sejumlah pertanyaan riset, tinjauan pustaka, dan pemahaman baru. Kedua, membentuk rencana pengumpulan data dari proporsi teoritis tersebut dan dilanjutkan dengan memberikan prioritas pada strategi analisis yang berkaitan. 26 Strategi khusus dalam teknik analisis penelitian ini adalah menggunakan pattern matching. Teknik analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan antara data yang diperoleh dengan suatu pola yang telah dibuat berupa teori-teori yang telah disusun. Apabila pola tersebut sesuai maka hasilnya dapat membantu studi kasus untuk memperkuat validitas internalnya (Yin, 2005: 140). Keseluruhan data disajikan dalam bentuk penjelasan tertulis. Hal ini agar penjelasan dapat dengan mudah dimengerti. Hasil dari penelitian ini adalah deskripsi secara menyeluruh mengenai peran humas RSUP Dr Sarjito dalam upaya meraih gelar rumah sakit berakreditasi internasional oleh Joint Commission International. 27