1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Humas kini

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
A.
A.Latar
Humas kini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan organisasi atau
perusahaan. Di banyak perusahaan, humas sudah mulai memperoleh tempat yang
cukup baik dalam struktur organisasi (Putra, 2008: 1). Beberapa praktisi humas
bekerja hanya pada satu organisasi. Sementara beberapa lainnya bekerja pada
agensi humas. Praktisi humas bekerja untuk bisnis, pemerintah, organisasi
perdagangan, sekolah, universitas, rumah sakit, hotel dan sebagainya. Mereka
bekerja untuk organisasi berskala besar maupun kecil (Grunig, 2001).
Grunig (2001) menuturkan dalam pidatonya yang berjudul "The Role of Public
Relations in Management and Its Contribution to Organizational and Societal
Effectiveness" bahwa seorang praktisi humas lebih dibekali teknik daripada teori.
Beberapa praktisi humas telah menguasai sejumlah teknik. Praktisi humas
mengetahui bagaimana menangani media coverage, menyiapkan press releases,
menulis pidato, mendesain brosur, memproduksi video news releases, melobi
perwakilan dalam kongres, menjadwalkan event spesial, atau menyiapkan laporan
tahunan.
Selain itu, praktisi humas juga menangani komunikasi melalui media massa.
Sebagian besar percaya bahwa mereka dapat merangkul orang dalam jumlah besar
hanya dengan publisitas. Organisasi yang mempekerjakan humas juga percaya bahwa
mereka dapat membuat banyak orang berperilaku sesuai dengan kemauan organisasi
melalui image yang mereka tampilkan dalam media. Praktisi humas membantu publik
mengkonstruksi image positif mengenai organisasi (Grunig, 2001). Demikian, humas
diakui sebagai salah satu unsur penting dalam mencapai keberhasilan organisasi.
Diakui pula humas merupakan bagian vital dari proses komunikasi yang dijalankan
oleh sebuah lembaga baik itu lembaga ekonomi, sosial, dan pemerintah karena humas
membantu menyeimbangkan kepentingan organisasi dengan kepentingan publik
1
organisasi.
Secara garis besar humas menurut The International Public Relations
Association (dalam Sukendro, 2009: 7) bertanggungjawab membantu manajemen
memberikan tanggapan terhadap opini publik, menetapkan tanggungjawab
manajemen
untuk
melayani
kepentingan
umum,
membantu
manajemen
memanfaatkan perubahan secara efektif, bertindak sebagai sistem peringatan dini,
dan menggunakan penelitian serta teknik komunikasi yang sehat dan etis sebagai
sarana utama.
Salah satu organisasi yang memerlukan humas dalam pelaksanaan tugas-tugasnya
adalah rumah sakit. Menurut data Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) per Mei 2012, jumlah rumah sakit di Indonesia sudah
mencapai 1.959 unit. Rumah Sakit Pemerintah sebanyak 785 unit, yang terdiri dari
Kemenkes sebanyak 40 unit, Pemerintah Provinsi 88 unit, Pemerintah Kabupaten
423 unit, Pemerintah Kota 89 unit, Kementerian lain 2 unit, TNI 109 unit, dan Polri
34 unit. Sedangkan Rumah Sakit Swasta non profit 699 unit, swasta privat 403 unit,
dan BUMN 77 unit (Meryana, 2012).
Rumah sakit sebagai organisasi pelayanan kesehatan haruslah memberikan
pelayanan yang bermutu kepada masyarakat. Oleh karena itu, rumah sakit memiliki
kewajiban meningkatkan mutu pelayanannya. Pemerintah telah membuat kebijakan
berkaitan dengan peningkatan mutu yang harus dijalankan rumah sakit. Kebijakan
tersebut tertuang dalam UU nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, dimana
dalam pasal 40 tercantum bahwa upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit
wajib dilakukan akreditasi secara berkala, minimal tiga tahun sekali. Proses
akreditasi ini dilaksanakan oleh suatu lembaga independen baik dari dalam negeri
seperti halnya Komisi Akreditasi Rumah Sakit maupun dari luar negeri seperti
Joint Commission International sesuai dengan standar akreditasi yang berlaku.
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan dr Supriyantoro, Sp.P MARS dalam
acara Workshop Akreditasi Rumah Sakit Kementrian Kesehatan RI dengan Standar
Internasional, menambahkan bahwa untuk menjawab tantangan era globalisasi dan
2
pasar bebas yang menuntut peningkatan standar mutu dalam berbagai pelayanan,
termasuk pelayanan kesehatan maka pelayanan kesehatan bermutu tinggi di rumah
sakit menjadi hal yang mutlak. Hal ini agar rumah sakit dapat berkompetisi baik di
tingkat regional, nasional maupun internasional serta dapat meningkatkan
kepercayaan masyarakat sehingga dapat mengurangi keinginan masyarakat berobat
ke luar negeri dan mencegah keluarnya devisa negara (Rosdiyansah, 2012).
Saat ini, sembilan rumah sakit di Indonesia telah menyandang gelar rumah sakit
berakreditasi internasional, yaitu RS Siloam Gleneagles Karawaci Banten, RS
Santosa Bandung, RS Eka Bumi Serpong Damai Tangerang, RS Gatot Subroto, RS
Cipto Mangunkusumo, RS Fatmawati, RSUP Sanglah Bali, RS Bintaro Premier
Tangerang, dan RS Premier Jatinegara Jakarta Timur. RS Santosa menjadi rumah
sakit pertama di Jawa Barat yang mendapatkan akreditasi dari Joint Commission
International (JCI) yang berpusat di Amerika Serikat, dengan hasil yang
menggembirakan yaitu tingkat kepatuhan terhadap standar internasional mencapai
lebih dari 97%. Hal inilah yang kemudian mendorong RSUP Dr Sardjito, salah satu
rumah sakit besar di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk meraih gelar rumah sakit
berakreditasi internasional. RSUP Dr Sardjito merupakan rumah sakit umum
berstandar nasional yang terakreditasi ISO 9001/2008. RSUP Dr Sardjito
dilengkapi dengan beragam fasilitas, seperti 29 instalasi dengan 750 bed dan 23
staf medis fungsional yang akan memberikan pelayanan berbasis kepuasan
pelanggan (Humas RSUP Dr Sardjito, 2013).
Dalam upayanya meraih gelar rumah sakit berakreditasi internasional, RSUP Dr
Sardjito melakukan berbagai kegiatan seperti pembentukan kepanitiaan persiapan
akreditasi, seminar penyuluhan, workshop akreditasi, dan lain sebagainya.
Tentunya dalam melaksanakan berbagai kegiatan tersebut RSUP Dr Sardjito
mengerahkan kinerja seluruh satuan kerja di dalamnya. Setiap jabatan yang
dipegang oleh satuan kerja rumah sakit memiliki peranan penting guna
mensukseskan proses penilaian ini termasuk bagian humas RSUP Dr Sardjito.
3
Humas berdasarkan ranahnya memiliki peran dalam beberapa standar. Dalam
proses akreditasi rumah sakit sendiri, JCI mempunyai kriteria penilaian tersendiri.
Secara garis besar JCI mempunyai 14 komponen standar yang terbagi menjadi dua
fokus utama, yaitu fokus pada pasien dan fokus pada manajemen pelayanan
kesehatan. Peran humas salah satunya dapat dilihat dalam pelaksanaan standar
yang memerlukan publikasi. Salah satu komponen standar yang mengharuskan
adanya publikasi berupa leaflet adalah Patient Family Right (PFR). Dalam hal ini
tujuan dicetaknya leaflet adalah untuk mengedukasi pasien dan keluarga mengenai
hak dan kewajiban mereka sebagai pasien dan keluarga. Selain dalam standar PFR,
humas RSUP Dr Sardjito juga berperan dalam standar Management of
Communication and Information (MCI). Humas akan bertanggungjawab pada
pengelolaan komunikasi dan informasi. Humas RSUP berperan dalam proses
produksi media komunikasi dan sosialisasi informasi.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa humas RSUP Dr Sardjito memiliki
peran penting dalam proses akreditasi ini. Berbagai kegiatan yang dijalankan
rumah sakit sebagai upaya meraih gelar rumah sakit berakreditasi internasional ini
nantinya akan berkenaan dengan peran yang dijalankan humas. Penelitian ini
berusaha untuk memberikan gambaran mengenai peran dan kontribusi humas
RSUP Dr Sardjito dalam berbagai kegiatan yang dijalankan rumah sakit sebagai
upaya meraih gelar rumah sakit berakreditasi internasional.
Rumusan Masalah
B.
B.Rumusan
Bagaimana peran Humas RSUP Dr Sardjito dalam upaya meraih gelar rumah
sakit berakreditasi internasional oleh Joint Commission International (JCI)?
Tujuan Penelitian
C.
C.Tujuan
Untuk mengetahui peran dan kontribusi Humas RSUP Dr Sardjito dalam upaya
meraih gelar rumah sakit berakreditasi internasional oleh Joint Commission
4
International (JCI).
Manfaat Penelitian
D.
D.Manfaat
1. Bagi akademisi
a. Meningkatkan pengetahuan mengenai implementasi serta peran humas rumah
sakit dalam upaya meraih gelar rumah sakit berakreditasi internasional.
2. Bagi perusahaan
a. Menjadi bahan kajian dan pertimbangan bagi RSUP Dr Sardjito guna
meningkatkan kinerja humas RSUP Dr Sardjito.
b. Memberikan alternatif solusi dan masukan yang bermanfaat bagi pihak humas
RSUP DR Sardjito terhadap masalah yang dihadapi ketika proses akreditasi
pada RSUP Dr Sardjito berlangsung.
Kerangka Pemikiran
E.
E.Kerangka
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori sesuai dengan topik
penelitian.
Teori
akan
digunakan
sebagai
landasan
pemikiran
dalam
mengelompokkan data dan menganalisis data temuan di lapangan nanti. Pertama,
hubungan masyarakat berisi definisi, fungsi, dan peran hubungan masyarakat.
Kedua, hubungan masyarakat dalam organisasi pelayanan kesehatan yang berisi
fungsi dan peran hubungan masyarakat dalam organisasi rumah sakit. Ketiga,
akreditasi dalam rumah sakit yang berisi jenis akreditasi dan akreditasi oleh JCI itu
sendiri. Peneliti memaparkan secara runtut tiga pemikiran tersebut sehingga akan
muncul kerangka pemikiran yang saling berhubungan.
1. Hubungan Masyarakat
Sebuah organisasi memiliki hubungan interdependensi dengan lingkungan
organisasi. Oleh karena itu, organisasi dibebani tanggungjawab sosial yaitu harus
dapat menerima amanat dari publik, berkomunikasi dengan publik yang beragam,
5
dan berintegrasi dengan komunitas yang akan dilayani. Disinilah kemudian
muncul humas dengan tugasnya yaitu membantu organisasi untuk menyesuaikan
diri dan beradaptasi dengan lingkungannya melalui komunikasi strategis. Humas
juga akan membantu organisasi agar lebih proaktif pada lingkungannya.
Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli guna menangkap esensi dari
humas dengan menyebutkan aktivitas-aktivitas utama dalam prakteknya. Public
Relations Society of America (PRSA) berusaha memberikan definisi bidang ini
kepada masyarakat yakni, pengertian humas yang menekankan kontribusi humas
terhadap masyarakat, “Public Relations is a strategic communications process
that builds mutually beneficial relationships between organizations and their
publics”. Definisi ini lebih fokus pada humas sebagai suatu proses komunikasi
dan menekankan hubungan yang saling menguntungkan. Dalam hal ini, humas
harus mampu menyelaraskan kepentingan kedua belah pihak melalui proses
komunikasi yang strategis.
Selain itu, Long dan Hazelton (dalam Wilcox dan Cameron, 2009: 6)
merumuskan definisi humas modern yaitu, “Public Relations as communication
function of management through which organizations adapt to, alter, or maintain
their environment for the purpose of achieving organizational goals”.
Pendekatan dengan konsep ini menginterpretasikan bahwa kegiatan humas lebih
dari sekedar tindakan persuasif. Komunikasi dua arah dan pemahaman satu sama
lain mengartikan bahwa tidak hanya target audiens (publik) saja yang mengubah
attitude dan behavior dalam prosesnya, tetapi juga organisasinya.
Definisi humas lainnya diungkapkan melalui keberadaan humas dalam
organisasi. Putra (1999: 8) menjelaskan lebih jauh keberadaan humas dengan
membedakannya menjadi :
a. Fungsi manajemen
... humas berkaitan dengan pemikiran-pemikiran pada tingkat manajemen.
Hal ini berkaitan dengan bagaimana sebuah organisasi menyusun kebijakan
6
sehingga memperlihatkan sebuah kinerja yang bertanggungjawab.
Ini menunjukan bahwa humas bukan alat manajemen yang dapat
diadakan, dipindah, dan ditiadakan, melainkan fungsi yang melekat menjadi
satu dengan manajemen.
b.Fungsi komunikasi
… humas sebagai fungsi komunikasi penting dipahami bahwa, kegiatan
utama pada humas adalah melakukan komunikasi. Maka dikatakan, humas
sebagai fungsi staf khusus yang memahami para pemimpin organisasi,
khususnya yang membantu organisasi dalam berkomunikasi dengan
publiknya.
Banyaknya definisi tentang humas tersebut mendorong beberapa ahli untuk
memberikan rumusan yang memudahkan mengenal humas. Black misalnya,
menyatakan bahwa istilah humas dapat dirangkum dalam kata kunci yakni
reputation, perceptions, credibility, confidence, harmony, dan seeking mutual
understanding. Sementara Wilcox, Ault, dan Agee (dalam Putra, 1999: 3),
menyarankan penggunaan sejumlah kata kunci untuk mengingat definisi humas
yang beraneka ragam tersebut. Sejumlah kata kunci yang dimaksud adalah:
a. Deliberate (sengaja)
Kegiatan humas pada dasarnya adalah kegiatan yang disengaja atau
intentional. Publik adalah segala-galanya bagi perusahaan. Tak heran jika
perusahaan akan menjamu dan melayani publik dengan sebaik-baiknya.
b. Planned (terencana)
Kegiatan humas adalah kegiatan yang terorganisir rapi, terencana, harus
sistematis dan dilakukan melalui analisis yang cermat dengan bantuan riset.
c. Performance (kinerja)
Humas yang efektif harus didasarkan pada kebijakan dan penampilan
yang sesungguhnya. Dengan kinerja yang baik dan berkualitas, maka citra
serta kredibilitas perusahaan juga akan turut gemilang.
7
d. Public interest (kepentingan publik)
Alasan mendasar dari kegiatan humas adalah untuk memenuhi
kepentingan publik, tidak hanya untuk membantu organisasi meningkatkan
keuntungan. Idealnya, kegiatan humas harus dapat menyeimbangkan
keuntungan antara perusahaan dengan publiknya.
e. Two ways communication (komunikasi dua arah)
Kegiatan humas dikembalikan pada makna komunikasi sesungguhnya
yaitu pertukaran informasi antara pihak-pihak yang berhubungan satu sama
lain.
f. Management function (fungsi manajemen)
Kegiatan humas meliputi kegiatan konseling dan pemberian saran kepada
pihak-pihak lain. Humas juga berperan dalam proses pengambilan
keputusan perusahaan dan ikut terlibat mengarahkan arah pergerakan
perusahaan.
Selain itu, guna memahami humas lebih lanjut juga dapat dilihat melalui
fungsi humas dalam sebuah organisasi. Fungsi humas merupakan harapan publik
terhadap apa yang seharusnya dilakukan oleh humas sesuai dengan
kedudukannya sebagai seorang humas. Jadi, humas dikatakan berfungsi apabila
dia mampu melakukan tugas dan kewajibannya dengan baik.
Canfield (1964: 6) menyebutkan humas mengemban tiga fungsi, yaitu :
a. Praktisi humas harus dapat menciptakan, membina serta memelihara
hubungan baik dengan publiknya baik itu internal maupun eksternal.
b. Sebagai perantara antara pimpinan dan publiknya, praktisi humas harus
dapat membina komunikasi yang terarah dan efektif.
c. Praktisi humas harus menjadi teladan dan panutan dengan cara menjaga
wibawa, moral, dan tingkah laku.
Dari fungsi humas tersebut, dapat dipahami pula kontribusi atau peran humas
dalam organisasi. Peran humas dalam organisasi merujuk pada praktek humas
8
yang didasarkan pada capaian-capaian yang telah diperoleh praktisi humas
dalam setting organisasi. Dozier (dalam Putra, 2008: 18) menjelaskan bahwa
peranan praktisi humas merupakan salah satu kunci untuk pemahaman fungsi
humas dan komunikasi organisasi. Peranan praktisi humas juga merupakan salah
satu kunci untuk pengembangan pencapaian profesional dari praktisi humas.
Artinya, hanya dengan peran manajer realisasi humas yang profesional dapat
tercapai. Grunig & White (dalam Bartlett, 2005) menambahkan bahwa peran
humas, seperti ilmu-ilmu sosial lainnya, terikat untuk memahami dan
menjelaskan perilaku. Cutlip, Center dan Broom (2006: 46) mengkategorikan
empat peran humas, antara lain :
a. Expert Prescriber (Penasehat Ahli)
Praktisi humas dengan pengalaman dan keterampilan yang dimiliki,
membantu manajemen untuk mencari solusi penyelesaian masalah yang
dihadapi oleh organisasi. Manajemen percaya bahwa sebagai ahli, praktisi
humas akan menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah yang
dihadapinya sehingga manajemen menjadi pasif dan menerima apa yang
telah diusulkan praktisi humas.
Organisasi dengan publik yang luas dan memiliki banyak ancaman
membutuhkan peranan expert prescriber. Organisasi sering menghadapi
masalah atau krisis karenanya dibutuhkan humas yang mampu mendeteksi
kemungkinan timbulnya krisis, membuat perencanaan pencegahan atau
penyelesaian, serta melaksanakan evaluasi. Ini dapat ditemui di perusahaan
penerbangan, perusahaan-perusahaan dengan produk atau jasa strategis
seperti listrik, gas, bahan bakar, dan lainnya.
b. Communication Facilitator (Fasilitator Komunikasi)
Humas membantu manajemen menciptakan kesempatan-kesempatan
untuk mendengar apa kata publik. Selain itu, praktisi humas juga dapat
menciptakan peluang agar publik penting seperti konsumen, karyawan,
9
warga komunitas, dapat mengetahui atau mendengar apa yang diharapkan
manajemen.
Humas berfungsi sebagai bagian penting penganalisis situasi, memiliki
peran yang intens dalam pengembangan prosedur, kebijakan, produk dan
aksi perusahaan. Mereka juga memiliki power mengubah sesuatu yang
seharusnya diubah. Mereka harus terlibat dalam segala bentuk perubahan
organisasi.
Melalui peran ini humas menjadi paham spirit setiap program baik
motivasi maupun tujuan mengapa program harus dilaksanakan, Humas
mendukung perubahan strategis organisasi, keputusan yang sifatnya taktis
dan memiliki komitmen pada perubahan dan mampu menyediakan segala
sesuatu yang dibutuhkan dalam rangka pencapaian tujuan program. Humas
dimasukkan sebagai tim manajemen karena mampu menunjukkan
kemampuan dan nilai dalam membantu manajemen menangani serta
menyelesaikan permasalahan. Peran communication facilitator dijalankan
oleh organisasi yang memiliki lingkungan luas namun tidak mengancam
atau ancamannya rendah bahkan tidak ada ancaman. Ini dapat ditemui di
lembaga pendidikan dan beberapa lembaga pemerintahan.
c. Problem-Solving Facilitator (Fasilitator Proses Pemecahan Masalah)
Humas membantu kerja manajemen melalui kerjasama dengan bagian
lain dalam organisasi guna menemukan pemecahan masalah secara
memuaskan. Humas merupakan bagian dari tim manajemen yang
membantu organisasi dan para pimpinannya melalui proses penyelesaian
masalah secara rasional.
Para pelaku peran ini juga menempatkan dirinya sebagai sumber
informasi dan sebagai kontak antara organisasi dan publiknya. Sebagai
wasit dari interaksi, memantapkan agenda yang akan didiskusikan antara
dua belah pihak, menyimpulkan pandangan, bereaksi terhadap kasus,
10
membantu partisipan mendiagnosa masalah, membantu menyelesaikan
masalah yang berhubungan dengan komunikasi. Humas menjadi boundary
spanner antara perusahaan dan publiknya. Humas bekerja di bawah asumsi
bahwa
two
ways
communication
mampu
meningkatkan
kualitas
pengambilan keputusan organisasi dan publik dalam hal prosedur,
kebijakan, serta tindakan lain yang berhubungan dengan minat kedua belah
pihak.
Organisasi dengan lingkungan sederhana namun penuh ancaman
tentunya akan mengalami banyak permasalahan. Oleh karena itu,
dibutuhkan peranan problem-solving facilitator. Contoh masalah yang
sering dihadapi adalah konflik tenaga kerja, peraturan pemerintah yang
menghambat, dan persaingan yang tidak sehat. Contoh lembaga yang
mengalaminya adalah lembaga keuangan dan asuransi, biro konsultasi
humas, perusahaan marketing communication dan lainnya.
d. Communication Technician (Teknisi Komunikasi).
Humas menyediakan layanan teknis komunikasi untuk organisasi
sehingga kemampuan jurnalistik dan komunikasi sangat diperlukan. Humas
diarahkan untuk berperan menulis news letter, in house journal, news
release, feature, dan lain sebagainya. Biasanya praktisi dalam peran ini
tidak hadir pada saat manajemen menemui kesulitan karena tidak dilibatkan
dalam manajemen sebagai pengambil keputusan. Sedangkan keputusan
untuk teknis komunikasi yang harus dijalankan ditentukan oleh pihak lain
dalam organisasi. Peran humas ini lebih ke arah penulisan tools dan
mengimplementasikan program. Humas sebagai "the last to know".
Communication technician dibutuhkan oleh organisasi yang cenderung
stabil dengan ancaman lingkungan yang rendah. Artinya, lingkungan
organisasi yang sederhana dan tidak banyak ancaman akan menjadikan
organisasi lebih stabil sehingga yang dibutuhkan hanyalah peran teknisi
11
humas. Ini sering ditemui pada lembaga non profit dan lembaga sosial
(charity).
Keempat peran tersebut kemudian dipilah lagi menjadi kedua kategori peran
sebagaimana menurut pendapat Dozier (dalam Putra, 2008: 19), yaitu:
a. Peran Manajer Komunikasi (The Communication Manager Role)
Humas merangkum tiga peran yaitu expert prescriber, problem-solving
facilitator, dan communication facilitator yang bertugas mengelola respon
organisasi terhadap isu dan mencari solusi penyelesaian isu, memanfaatkan
riset untuk segmentasi publik, mengembangkan goals dan objectives untuk
bagian humas, riset evaluasi dan anggaran humas.
b. Peran Teknisi Komunikasi (The Communication Technician Role)
Teknisi humas menyediakan pelayanan teknis untuk implementasi
program kehumasan seperti menulis dan menyunting, memproduksi media
(cetak maupun audio-visual), fotografi, melakukan konferensi press dan
mengatur peliputan media terhadap suatu event, menciptakan dan
mengelola biro jubir.
Hal yang sangat mendasar yang membedakan kedua peran humas tersebut
adalah pada keterlibatan praktisi humas dalam proses pengambilan keputusan di
tingkat korporat. Sebagai teknisi, praktisi humas tidak berpartisipasi dalam
proses pengambilan keputusan manajemen. Sedangkan sebagai manajer, praktisi
humas terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Lauzen (dalam
Putra, 2008: 20), para praktisi yang menjalankan peranan manajerial, utamanya
membuat keputusan kebijakan dan dianggap bertanggung jawab terhadap gagal
atau berhasilnya sebuah program humas.
Lebih lanjut peran humas dalam organisasi disampaikan dalam Penelitian
Universitas Wisconcin dan Universitas San Diego yang menambahkan kedua
peran di atas dengan dua peran lain. Dua peran humas tersebut, yaitu:
12
a. The Media Relation Role
Humas
melayani
tugas-tugas
manajer
kelas
atas
dengan
mengatasnamakan organisasi dalam setiap event dan pertemuan dengan
pihak eksternal serta membuka kesempatan berkomunikasi dua arah antara
manajer dengan publiknya.
b. The Communication Liason Role
Humas menjadikan bagian-bagian organisasi well-informed tentang apa
yang dikerjakan oleh media, menjalankan peran komunikasi yang timbal
balik dengan media, memproduksi media, dan menyebarkan pesan.
Peran humas lainnya disampaikan oleh Waters (2007) dalam “The Roles We
Play: A Study of the Public Relations Roles Nonprofit Organizations' Board
Members Play”. Waters meneliti peran humas dengan mengevaluasi 48 aktivitas
yang dijalankan dewan direksi dalam empat organisasi nirlaba yaitu Healthcare
Organization, Child Welfare Organization, Arts Organization, dan Homeless
Services Organization. 48 aktivitas tersebut dipilih berdasarkan literature review,
wawancara dengan direktur eksekutif organisasi nirlaba, dan focus group yang
dijalankan oleh dewan direksi. Berdasarkan penelitian tersebut terdapat empat peran
humas dalam organisasi nirlaba, yaitu:
a. The Strategist
Humas sebagai the strategist menggunakan perencanaan strategis dalam
setiap aspek organisasi, termasuk komunikasi, outreach, dan penggalangan
dana.
b. The Connector
Humas sebagai jembatan antara organisasi dan masyarakat. Humas
berusaha menjangkau orang lain dalam masyarakat dan mengundang mereka
untuk menjadi bagian dari organisasi. Sama seperti strategis, humas secara
aktif terlibat dalam semua aspek kepemimpinan nirlaba. Salah satu kegiatan
utama dari the connector adalah merekrut relawan dan anggota dewan baru.
Selain itu, humas juga terlibat dalam advokasi kepada para pemimpin politik,
13
hosting acara penggalangan dana, dan memperkenalkan masyarakat untuk
organisasi. Disebut sebagai the connector karena bertugas membawa orang
lain ke dalam organisasi dan membuat orang lain itu terlibat dalam organisasi.
c. The Financier
Peran ini berfokus kuat pada uang sehingga diberi label "financier".
Menurut riset, the financier dibagi menjadi dua. Pertama, financier beban
positif akan berkaitan dengan kesehatan fiskal organisasi. Mereka menuntut
laporan fiskal yang berkualitas dan secara aktif terlibat dalam strategi
investasi organisasi. Selain itu, mereka terlibat dalam kegiatan penggalangan
dana untuk memastikan bahwa organisasi aman secara finansial. Sementara
financier dengan beban negatif menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan
organisasi bukanlah suatu kegiatan dimana mereka harus berpartisipasi
d. The Generalist
Peran sebagai the generalist adalah melakukan penelitian dengan
perencanaan strategis, menjangkau para pemangku kepentingan di masyarakat,
dan membantu kampanye penggalangan dana. Salah satu kegiatan yang unik
dalam peran ini yang diidentifikasi sebagai penting untuk keanggotaan dewan
adalah terlibat dalam rapat secara rutin. Generalist menghargai pertemuan dan
waktu. Mereka tidak hanya membaca semua bahan untuk pertemuan, tetapi
mereka juga secara aktif berpartisipasi di dalamnya.
Melihat keempat peran ini dapat disimpulkan bahwa keempat peran ini masih
berhubungan dengan dua peran humas yang disampaikan sebelumnya, yaitu
peran manajerial dan peran teknisi. Keempat peran humas ini masih berkutat
pada peran humas dalam level manajerial dan level teknisi seperti proses
perencanaan strategis yang termasuk pada level manajerial dan proses
penggalangan dana yang termasuk pada level teknisi. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini konsep peran humas yang akan digunakan adalah konsep peran
humas menurut Dozier. Hal ini terkait dengan humas yang pada dasarnya hanya
14
mengemban dua peran pokok meskipun aktivitas humas pada konsep peran
humas lainnya memiliki istilah yang berbeda. Selain itu, konsep peran humas ini
lebih mudah diaplikasikan di lapangan oleh obyek penelitian yaitu Humas RSUP
Dr Sardjito.
Terdapat satu hal kecil tetapi penting untuk diperhatikan dalam menerapkan
peran humas yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan organisasi. Hal tersebut
yaitu peran yang dijalankan oleh humas akan menjadi efektif jika para penentu
jenis peran dan pelaksananya memahami bagaimana peran tersebut nantinya
dapat membantu bertemunya tujuan yang hendak dicapai bagian humas dan
keseluruhan hasil yang ingin dicapai organisasi. Selain peran humas menjadi
efektif, humaspun dapat berperan secara maksimal untuk pencapaian
keberhasilan organisasi.
2. Humas dalam Organisasi Pelayanan Kesehatan
Menurut Cutlip, Center, dan Broom (2006: 514) terdapat dua tantangan utama
yang dihadapi oleh organisasi pelayanan kesehatan. Pertama, menurunnya
pembayaran dari pihak ketiga (perusahaan asuransi, Health Maintenance
Organizations, dan pemerintah). Pendapatan menurun ini berdampak pada
pengurangan anggaran, pemecatan, dan mungkin dapat mempengaruhi
kelangsungan hidup organisasi. Tantangan kedua adalah bertambahnya regulasi
pemerintah atas rumah sakit dan sistem kesehatan. Beberapa regulasi bersifat
wajib, sementara tidak ada pendanaan untuk mengimplementasikan perubahan
yang diwajibkan tersebut.
Untuk menghadapi kedua tantangan ini, para pemimpin organisasi pelayanan
kesehatan berpaling pada humas dan marketing guna mendapatkan bantuan.
Marketing mengidentifikasi apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh konstituen
rumah sakit dan membantu organisasi memenuhi kebutuhan dan keinginan itu
secara efektif. Sebagaimana marketing, humas juga berkembang menjadi fungsi
15
manajemen penting yang diharapkan memberi kontribusi untuk “untung-rugi”
organisasi. Dalam hal ini, humas dan marketing merupakan fungsi manajemen
yang berbeda dengan hasil capaian yang berbeda. Namun mereka bekerjasama
dengan kekuatan masing-masing untuk kelangsungan hidup organisasi.
Faktor yang mendorong perkembangan humas dalam organisasi pelayanan
kesehatan
atau
rumah
sakit
salah
satunya
adalah
kompetisi
untuk
memperebutkan costumer (Cutlip, Center, dan Broom, 2000: 531). Pasien yang
menggunakan jasa layanan kesehatan tidak lagi dianggap sebagai orang sakit
tetapi sebagai pengguna jasa layanan kesehatan sehingga rumah sakit diharapkan
lebih responsif terhadap keinginan dan kebutuhan pasien (customer).
Perkembangan humas dalam industri pelayanan kesehatan juga didorong oleh
pembiayaan rumah sakit yang semakin tinggi, merger antar rumah sakit dan
organisasi pelayanan kesehatan dalam rangka memenangkan persaingan serta
munculnya the third party dalam bidang pelayanan kesehatan, yakni perusahaan
asuransi (Cutlip, Centre, dan Broom, 2000: 529-530)
Oleh karena itu, menurut Cutlip, Center dan Broom (2006: 514), praktisi
humas dewasa ini harus memahami bisnis dan keuangan organisasi kesehatan,
tahu isu-isu kesehatan, memiliki kemampuan berpikir dan menyusun rencana
secara strategis, memiliki keahlian riset untuk memonitor persepsi konsumen,
dan mampu bekerja sebagai bagian dari tim, terutama bersama marketing.
Selain itu praktisi humas menurut PRSA (PRSA.org) harus dapat
bertanggungjawab atas penanganan komunikasi internal dan eksternal untuk
fasilitas perawatan kesehatan. Praktisi humas juga harus memiliki kemampuan
komunikasi yang baik karena praktisi humas berinteraksi dengan dokter, perawat,
manajemen, dan administrasi. Tanggungjawab lainnya adalah menulis publikasi
internal, menangani panggilan media, serta membuat berbagai materi untuk
mempromosikan layanan yang ditawarkan pada fasilitas perawatan kesehatan.
Anand dan Chakravarti (1981) menambahkan tanggungjawab humas rumah
16
sakit dengan mengidentifikasikan menjadi dua yaitu primer dan sekunder.
Tanggungjawab primer humas rumah sakit adalah urusan gabungan antara wali
yang dikuasakan (trustee), administrasi dan anggota humas yang bersangkutan.
Sedangkan tanggungjawab sekunder humas terletak pada semua fungsionaris
rumah sakit lainnya. Banyak pihak berwenang di dunia yang merasa bahwa
dokter justru harus terlibat lebih aktif secara total pada upaya humas rumah sakit
karena dokter adalah link yang layak dan terlihat langsung oleh pasien, keluarga,
pengunjung, dan masyarakat.
Cutlip, Center, dan Broom (1994: 469) kemudian mendefinisikan peran humas
dalam organisasi pelayanan kesehatan, yakni humas berperan dalam membangun
dan memelihara hubungan baik dengan publik dalam rangka menjaga otonomi
organisasi dan sumber daya yang diperlukan untuk meraih misi kemanusiaan
mereka. Publik yang dimaksud meliputi karyawan, customer, dokter, media lokal
dan nasional, kalangan eksekutif dan legislatif, komunitas lokal organisasi,
kalangan pendidikan dan akademisi, pihak asuransi dan perbankan, dan
kelompok-kelompok penekan.
Rumah sakit membutuhkan kerjasama dengan konstituen pokok (konsultan,
staff perawat, dokter, bagian pegawai administrasi, dan pasien) agar berhasil
melakukan diagnosis penyakit maupun dalam rangka melakukan perawatan
kesehatan (Black, 1993: 58). Hal ini ditegaskan oleh pendapat Anand dan
Chakravarti (1981) bahwa dengan sistem humas yang baik rumah sakit tidak
hanya mendapat nama baik tetapi juga membantu dalam pemulihan awal pasien.
Oleh karena itu, staf rumah sakit dianggap perlu menyadari aspek ini dalam
rangka mendapat dukungan penuh dan bantuan aktif.
Masing-masing organisasi pelayanan kesehatan memiliki strategi yang
berbeda dalam melakukan praktek kehumasan. Beberapa organisasi pelayanan
kesehatan atau rumah sakit melakukan pendekatan integratif antara fungsi humas
dengan marketing seperti diungkapkan Cutlip, Centre, dan Broom (2000: 531),
17
“public relations in many hospital setting has assumed a marketing or
“integrated marketing communication” orientation similar to that in business
and industry.” Namun demikian, dalam konteks rumah sakit seperti ditegaskan
oleh Cutlip, Center, dan Broom (1994: 505) bahwa rumah sakit memerlukan
baik itu humas maupun marketing mengingat mereka mencari hasil yang secara
substansial berbeda.
3. Akreditasi dalam Rumah Sakit
Rumah sakit, menurut WHO, Expert Committee on Organization of Medical
Care, (Yaslis Ilyas, 1999) adalah bagian integral dari organisasi sosial dan
kesehatan, yang fungsinya menghasilkan pelayanan kesehatan lengkap kepada
masyarakat, baik kuratif maupun preventif dan pelayanan kesehatan pasien
termasuk keluarga dan lingkungannya, serta menjadi pusat praktik tenaga
kesehatan dan dapat pula menjadi sarana penelitian biososial.
Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan harus mampu memberikan
pelayanan kepada masyarakat dalam lingkup lokal maupun internasional.
Berdasarkan hal tersebut, beberapa dekade terakhir ini muncul istilah akreditasi
untuk menilai kualitas suatu organisasi termasuk rumah sakit. Menurut Komisi
Akreditasi Rumah Sakit (KARS.or.id) akreditasi rumah sakit adalah suatu
pengakuan yang diberikan oleh pemerintah pada manajemen rumah sakit, karena
telah memenuhi standar yang ditetapkan. Akreditasi rumah sakit merupakan
upaya peningkatan mutu yang harus dilaksanakan oleh rumah sakit. Akreditasi
juga merupakan tanda pembeda atas kualitas pelayanan yang diberikan rumah
sakit terhadap pasien (Armen & Azwar, 2013: 42).
Sejak tahun 1993 telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan tentang standar
pelayanan rumah sakit, dimana semua rumah sakit di Indonesia, baik rumah
sakit pemerintah maupun swasta, wajib melaksanakan dan memenuhi standar
pelayanan yang telah ditetapkan.
18
Dalam upaya mendukung peningkatan mutu pelayanan rumah sakit,
Pemerintah membuat kebijakan dalam UU nomor 44 tahun 2009 tentang rumah
sakit, dimana pada pasal 40 ayat 1 tercantum bahwa upaya peningkatan mutu
pelayanan rumah sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala, minimal 3
tahun sekali.
Status akreditasi ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Medik. Adapun
hasil status akreditasi rumah sakit terdiri dari :
a. Tidak akreditasi (gagal)
b. Akreditasi bersyarat
c. Akreditasi penuh
d. Akreditasi istimewa.
Status akreditasi ini dibuat berdasarkan temuan survei. Keputusan akreditasi
ini juga didasarkan pada apakah rumah sakit telah memenuhi Kaidah Keputusan.
Deskripsi Kaidah Keputusan dapat dilihat dalam Panduan Proses Survei dari
lembaga pengakreditasi rumah sakit tersebut.
Indonesia sendiri memiliki lembaga pengakreditasi berskala nasional yang
bernama Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). KARS adalah lembaga
independen pelaksana akreditasi rumah sakit yang bersifat fungsional, non struktural
dan bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan. KARS tersebut dibentuk
pertama kali pada tahun 1995 dan setiap 3 (tiga) tahun peraturan diperbarui, yang
terakhir
diperbarui
melalui
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
:
417/Menkes/Per/II/2011 tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit, dengan tugas dan
fungsi melaksanakan akreditasi di Indonesia (KARS.or.id).
Di Indonesia sendiri, Akreditasi Rumah Sakit pertama kali dilaksanakan pada
tahun 1995, dengan 5 pelayanan, kemudian pada tahun 1998 bertambah menjadi 12
pelayanan dan pada tahun 2001 menjadi 16 pelayanan. Namun dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta makin kritisnya
masyarakat Indonesia dalam menilai mutu pelayanan kesehatan, maka dianggap
perlu perubahan yang bermakna terhadap mutu rumah sakit di Indonesia.
19
Perubahan tersebut tentunya harus diikuti dengan pembaharuan standar
akreditasi rumah sakit yang lebih berkualitas dan menuju standar Internasional.
Hal ini didukung dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan No.
659 tahun 2009 tentang Rumah Sakit Indonesia Kelas Dunia, serta SK Menteri
Kesehatan No. 1195 Tahun 2010 tentang Lembaga Akreditasi Rumah Sakit
Bertaraf Internasional. Semua peraturan tersebut menunjukkan betapa besarnya
perhatian pemerintah terhadap mutu pelayanan rumah sakit, sekaligus
mengisyaratkan bahwa arah pengembangan mutu pelayanan rumah sakit adalah
menuju kualitas pelayanan berstandar Internasional.
Salah satu kelompok akreditasi internasional yang paling dikenal adalah Joint
Commission International (JCI). JCI merupakan versi internasional dari The
Joint Commission (USA). Selama lebih dari 75 tahun, The Joint Commission
(USA) dan organisasi pendahulunya didedikasikan untuk meningkatkan kualitas
dan keamanan pelayanan kesehatan. Kini The Joint Commission (USA)
merupakan pemberi akreditasi terbesar di Amerika Serikat pada bidang
organisasi pelayanan kesehatan. Lembaga ini menyurvei lebih dari 16.000
program
layanan
kesehatan
mealui
proses
akreditasi
sukarela
(jointcommissioninternational.org).
JCI sendiri telah memeriksa dan mengakreditasi fasilitas perawatan kesehatan
dan rumah sakit di luar Amerika Serikat sejak tahun 1999. Sama halnya dengan
The Joint Commission (USA), JCI merupakan lembaga nirlaba nonpemerintah.
JCI memiliki misi untuk memperbaiki mutu dan keselamatan pelayanan
kesehatan pada masyarakat Internasional. Kegiatan dilakukan melalui proses
akreditasi yang dirancang untuk meningkatkan budaya mutu dan keselamatan
pasien di rumah sakit sehingga rumah sakit dapat senantiasa meningkatkan
proses dan hasil pelayanan kesehatan (Humas RSUP Dr Sardjito, 2012).
Standar JCI disusun berdasarkan dua fungsi utama yaitu fungsi menyediakan
pelayanan bagi pasien dengan dukungan fungsi organisasi yang mengutamakan
20
keselamatan, keefektivitasan, dan pengelolaan yang baik (Humas RSUP Dr
Sardjito, 2012). Standar tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bagian I: Standar yang berfokus pada pasien (Patient Centered Standards)
Bagian ini terdiri dari 8 komponen dan setiap komponen memiliki standar
yang harus dipenuhi oleh rumah sakit. Delapan komponen tersebut adalah:
a. IPSG- International Patient Safety Goal (Sasaran Internasional
Keselamatan Pasien)
b. CC- Access to Care and Continuity of Care (Akses Pelayanan dan
Kesinambungan Pelayanan)
c. PFR- Patient Family Right (Hak Pasien dan Keluarga)
d. AOP- Assessment of Patient (Asesmen Pasien)
e. COP- Care of Patient (Perawatan Pasien)
f. ASC- Anesthesia and Surgical Care (Perawatan Anestesi dan Bedah)
g. MMU- Medication Management and Use (Penggunaan dan Manajemen
Obat-obatan)
h. PFE- Patient and Family Education (Penyuluhan Pasien dan Keluarga
Pasien)
2. Bagian II: Standar Manajemen Organisasi Pelayanan Kesehatan (Care
Organization Management Standards)
Bagian ini terdiri dari enam komponen dengan standarnya masing-masing
yang harus dipenuhi dalam pengelolaan rumah sakit. Enam komponen
tersebut adalah:
a. QPS- Quality Improvement and Patient Safety (Peningkatan Mutu dan
Keselamatan Pasien)
b. PCI- Prevention and Control Infection (Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi)
c. GLD-
Governance,
Leadership,
and
Direction
(Tata
Kelola,
Kepemimpinan, dan Pengarahan)
21
d. FMS- Facility Management and Safety (Manajemen dan Keamanan
Fasilitas)
e. SQE- Staff Qualification and Education (Kualifikasi dan Pendidikan
Staff
f. MCI- Management of Communication and Information (Manajemen
Komunikasi dan Informasi)
Standar di atas diterapkan pada berbagai tingkatan organisasi di rumah sakit.
JCI akan menilai kepatuhan rumah sakit dalam melaksanakan 14 standar tersebut.
Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan berkewajiban untuk memantau, menilai
serta mendorong rumah sakit untuk melaksanakan standar sehingga mutu
pelayanan rumah sakit dapat dipertanggung-jawabkan.
F. Kerangka Konsep
Penelitian ini berfokus pada peran humas dalam proses akreditasi rumah sakit.
Dalam konsep peran humas, humas memainkan dua peranan yaitu peran manajerial
dan peran teknisi. Dua konsep peran humas ini akan digunakan untuk menganalisis
peran humas dalam komponen standar akreditasi rumah sakit oleh JCI.
Akreditasi rumah sakit oleh JCI memiliki 14 komponen standar yang harus
dipenuhi oleh rumah sakit. Standar disusun berdasarkan dua fungsi utama yaitu
fungsi menyediakan pelayanan bagi pasien dengan dukungan fungsi organisasi
yang mengutamakan keselamatan, keefektivitasan, dan pengelolaan yang baik.
Standar diterapkan pada berbagai tingkatan organisasi di rumah sakit dan dinilai
berdasarkan kepatuhan rumah sakit dalam melaksanakan standar tersebut.
Secara operasional, peran humas dalam akreditasi dapat dilihat dari kegiatan
atau aktivitas yang dilakukan humas dalam proses akreditasi, yaitu:
1. Peran manajerial
a. Memiliki keterlibatan dalam proses perencanaan hingga pembuatan
keputusan dalam komponen standar akreditasi.
22
b. Memberi masukan, pertimbangan dan saran kepada tim dalam proses
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan komponen standar.
c. Melakukan riset dan evaluasi terhadap pelaksanaan komponen standar.
d. Mengelola respon organisasi terhadap isu dan mencari solusi penyelesaian
isu yang berkaitan dengan komponen standar.
e. Menyusun anggaran humas yang berkaitan dengan komponen standar.
2. Peran teknisi.
a. Menjalankan
program-program
hasil
implementasi
kebijakan
yang
berdasarkan komponen standar.
b. Memproduksi media seperti brosur dan poster berdasarkan pada komponen
standar.
c. Menyebarkan brosur dan memasang poster sebagai bentuk sosialisasi dan
publikasi program.
d. Melakukan dokumentasi kegiatan yang terkait dengan komponen standar.
e. Bertindak sebagai juru bicara dalam konferensi pers terkait dengan
komponen standar.
ologi Penelitian
G. Metod
Metodologi
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif
dilakukan untuk menekankan pada persoalan kedalaman (kualitas) data, dengan
cara menjelaskan fenomena dengan pengumpulan data sedalam-dalamnya. Jenis
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yang hanya memaparkan situasi dan
peristiwa, tidak mencari atau menjelaskan hubungan serta tidak menguji
hipotesis atau membuat prediksi. Penelitian kualitatif menurut Denzin dan
Lincoln (2008: 3) merupakan penelitian yang menggunakan latar alamiah,
dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan
23
melibatkan berbagai metode yang ada.
Penelitian dengan jenis ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data berupa
kata-kata dan gambar dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video,
dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya. Data yang
sudah terkumpul tersebut kemudian akan dianalisis untuk menghasilkan sebuah
kesimpulan.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus. Menurut Yin (2009:
18) studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di
dalam konteks kehidupan nyata bilamana batas-batas antara fenomena dan
konteks tidak tampak dengan tegas dan dimana multisumber bukti dimanfaatkan.
Yin (2009: 9) juga menuturkan bahwa studi kasus juga lebih banyak berupaya
menjawab pertanyaan “how” atau “why”, serta pada tingkat tertentu menjawab
pertanyaan "what" dalam kegiatan penelitian.
3. Lokasi dan Obyek Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di RSUP Dr Sardjito yang beralamatkan di
Jalan Kesehatan No. 1 Sekip, Yogyakarta.
Obyek penelitian ini adalah kegiatan-kegiatan yang dijalankan oleh Humas
RSUP Dr Sardjito dalam proses meraih akreditasi internasional oleh JCI.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif, penelitian ini akan
menggunakan berbagai macam sumber data yaitu sumber data primer dan
sekunder. Data primer berasal dari pihak-pihak yang berhubungan langsung dan
memahami objek penelitian. Sedangkan data sekunder merupakan teori dan
konsep dari literatur-literatur seperti pemikiran beberapa ahli, pakar komunikasi,
24
jurnal, kajian ilmiah, artikel di media cetak maupun elektronik serta arsip-arsip
yang berkaitan dengan penelitian. Peneliti mengumpulkan data dengan teknik
wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi.
a. Wawancara mendalam
Peneliti akan melakukan wawancara dengan pihak humas RSUP Dr
Sardjito yang terdiri dari kepala bagian, kepala sub bagian, dan staf humas
lainnya. Hasil wawancara yang diperoleh meliputi pendapat dan informasi
tentang proses akreditasi. Wawancara ini akan dilakukan secara mendalam
dengan menggunakan panduan wawancara (interview guide) sebagai acuan
agar peneliti dapat melakukan wawancara secara terarah dan tidak
menyimpang dari aspek-aspek relevan yang akan dibahas.
b. Observasi
Peneliti melakukan kunjungan ke RSUP Dr Sardjito selama proses
persiapan akreditasi berlangsung. Peneliti mengamati peran humas pada
level manajerial dan teknisi dalam proses akreditasi. Melalui pengamatan
atau observasi secara langsung peneliti dapat memperoleh data yang tidak
semuanya mampu diungkap secara detail melalui wawancara. Salah satunya
seperti tempat dimana media dipasang.
c. Studi dokumentasi
Peneliti
berupaya
untuk
menjawab
masalah
penelitian
dengan
menggunakan dokumen yaitu data tertulis yang telah diolah oleh orang lain
atau suatu lembaga (Adi, 2004: 61). Dokumen ini meliputi pedoman
akreditasi, surat-surat, notulensi rapat, laporan, artikel, proposal dan
lain-lain. Studi dokumentasi merupakan cara untuk meminimalisir bias dari
teknik wawancara sekaligus untuk menguji keabsahan data dari hasil studi
lapangan.
25
5. Uji Validitas Data
Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dikatakan valid apabila
tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang
sesungguhnya terjadi. Cara menguji validitas data adalah dengan menggunakan
teknik triangulasi. Triangulasi berarti menggunakan bukti dari berbagai sumber
(Yin,
2009:
114).
Peneliti
menggunakan
triangulasi
bertujuan
untuk
membandingkan data tentang peran humas RSUP DR Sardjito dalam upaya
meraih akreditasi internasional dari berbagai sumber data agar ada jaminan
tentang tingkat kepercayaan data. Teknik ini berupaya menghilangkan
perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang terjadi pada pengumpulan data
tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan, dengan kata
lain peneliti akan melakukan "check dan recheck" temuan-temuanya dengan cara
membandingkan.
Peneliti menggunakan tiga sumber data yang berasal dari wawancara
mendalam, observasi, dan studi dokumentasi. Peneliti akan membandingkan
data dari hasil wawancara mendalam mengenai peran humas RSUP Dr Sardjito
dalam proses akreditasi dengan observasi, dan dokumen berkaitan yang
didapatkan selama penelitian. Dokumen ini meliputi surat-surat, notulensi rapat,
laporan, artikel, proposal dan lain sebagainya.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan mengamati, mengkategorikan, menyusun dan
menggabungkan data-data yang telah dikumpulkan. Strategi umum pertama
yang digunakan adalah proporsi teoritis yang akan menuntun studi kasus
digambarkan dengan sejumlah pertanyaan riset, tinjauan pustaka, dan
pemahaman baru. Kedua, membentuk rencana pengumpulan data dari proporsi
teoritis tersebut dan dilanjutkan dengan memberikan prioritas pada strategi
analisis yang berkaitan.
26
Strategi khusus dalam teknik analisis penelitian ini adalah menggunakan
pattern matching. Teknik analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan
antara data yang diperoleh dengan suatu pola yang telah dibuat berupa teori-teori
yang telah disusun. Apabila pola tersebut sesuai maka hasilnya dapat membantu
studi kasus untuk memperkuat validitas internalnya (Yin, 2005: 140).
Keseluruhan data disajikan dalam bentuk penjelasan tertulis. Hal ini agar
penjelasan dapat dengan mudah dimengerti. Hasil dari penelitian ini adalah
deskripsi secara menyeluruh mengenai peran humas RSUP Dr Sarjito dalam
upaya meraih gelar rumah sakit berakreditasi internasional oleh Joint
Commission International.
27
Download